25
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerjemahan di Indonesia sekarang ini masih merupakan kegiatan yang amat penting. Seiring dengan adanya komunikasi global yang sedang berlangsung, beragam informasi yang masuk ke Indonesia seringkali perlu diterjemahkan. Seorang penerjemah haruslah menguasai bahasa sumber (Bsu) dan bahasa sasaran (Bsa) serta mengerti perbedaan antara kedua bahasa yang diterjemahkan. Hasil terjemahannya haruslah jelas, mudah dimengerti serta dipahami pembaca maupun pendengar yang diasumsikan hanya memahami satu bahasa saja, yakni bahasa sasaran (Bsa). Kegiatan penerjemahan itu sendiri didefinisikan oleh Kridalaksana (2008: 181) sebagai pemindahan suatu amanat antarbudaya dan/atau antarbahasa dalam tataran gramatikal dan leksikal dengan tetap mempertahankan makna sedapat mungkin. Lebih lanjut ditambahkan oleh Kridalaksana bahwa kegiatan penerjemahan juga melibatkan berbagai metode dan teknik pengalihan amanat dari satu bahasa ke bahasa lain. Dengan demikian kegiatan penerjemahan bahasa baik secara lisan maupun tulisan menuntut seorang penerjemah untuk menguasai baik aspek linguistik maupun aspek non-linguistik dari bahasa sumber (Bsu) dan bahasa sasaran (Bsa). Dalam menerjemahkan novel berbahasa Inggris misalnya, seorang penerjemah tidak hanya memerlukan penguasaan bahasa Inggris saja, akan tetapi juga memerlukan pemahaman mengenai budaya bahasa sumber (Bsu), bahasa sasaran (Bsa) serta pendekatan penerjemahan yang sesuai untuk diterapkan pada teks-teks karya sastra, terlebih lagi jika menemui bahasa kiasan seperti metafora.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116609/potongan/S2-2017... · memerikan dua hal sederhana yang menjadi struktur dasar metafora, yakni sesuatu

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penerjemahan di Indonesia sekarang ini masih merupakan kegiatan yang

amat penting. Seiring dengan adanya komunikasi global yang sedang

berlangsung, beragam informasi yang masuk ke Indonesia seringkali perlu

diterjemahkan. Seorang penerjemah haruslah menguasai bahasa sumber (Bsu) dan

bahasa sasaran (Bsa) serta mengerti perbedaan antara kedua bahasa yang

diterjemahkan. Hasil terjemahannya haruslah jelas, mudah dimengerti serta

dipahami pembaca maupun pendengar yang diasumsikan hanya memahami satu

bahasa saja, yakni bahasa sasaran (Bsa). Kegiatan penerjemahan itu sendiri

didefinisikan oleh Kridalaksana (2008: 181) sebagai pemindahan suatu amanat

antarbudaya dan/atau antarbahasa dalam tataran gramatikal dan leksikal dengan

tetap mempertahankan makna sedapat mungkin. Lebih lanjut ditambahkan oleh

Kridalaksana bahwa kegiatan penerjemahan juga melibatkan berbagai metode dan

teknik pengalihan amanat dari satu bahasa ke bahasa lain. Dengan demikian

kegiatan penerjemahan bahasa baik secara lisan maupun tulisan menuntut seorang

penerjemah untuk menguasai baik aspek linguistik maupun aspek non-linguistik

dari bahasa sumber (Bsu) dan bahasa sasaran (Bsa). Dalam menerjemahkan novel

berbahasa Inggris misalnya, seorang penerjemah tidak hanya memerlukan

penguasaan bahasa Inggris saja, akan tetapi juga memerlukan pemahaman

mengenai budaya bahasa sumber (Bsu), bahasa sasaran (Bsa) serta pendekatan

penerjemahan yang sesuai untuk diterapkan pada teks-teks karya sastra, terlebih

lagi jika menemui bahasa kiasan seperti metafora.

2

Metafora banyak sekali ditemukan dalam berbagai bentuk komunikasi

bahasa seperti dalam media massa serta di dalam karya-karya sastra seperti novel,

syair, sajak, puisi, dan lain sebagainya. Metafora juga sering muncul dalam bahasa

sehari-hari, walaupun seringkali pengguna bahasa tidak menyadari telah

menggunakan metafora dalam ucapannya. Ullman (dalam Sumarsono, 2007: 265)

memerikan dua hal sederhana yang menjadi struktur dasar metafora, yakni sesuatu

yang dibandingkan dan sesuatu yang dipakai sebagai bandingan. Parera (2004:

119) menambahkan satu hal lagi, yakni titik kemiripan atau kesamaan. Setiap kata

atau frase metaforis mengandung satu „ide pokok‟, menurut Rosamund Moon

dalam tulisannya yang berjudul Language Awareness-Metaphor yang diterbitkan

oleh MED Magazine (2009: 1) Beliau juga menambahkan bahwa ide pokok

tersebut adalah hal yang menjadi penghubung atau yang menjadi persamaan

antara makna literal dan makna metaforisnya.

Dalam menerjemahkan metafora, umumnya dilakukan dua langkah

berikut. Pertama-tama seorang penerjemah harus mengidentifikasi metafora yang

akan diterjemahkan dengan teliti. Menerjemahkan metafora secara kata per kata

haruslah dihindari karena mengakibatkan salah makna dan salah penafsiran.

Setelah proses identifikasi metafora, langkah selanjutnya adalah

mempertimbangkan cara-cara menerjemahkan metafora tersebut ke dalam bahasa

sasaran dengan tetap mempertahankan maknanya. Menerjemahkan metafora dari

bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan tetap mempertahankan maknanya

jelas merupakan tantangan bagi seorang penerjemah, karena metafora hasil

reproduksi dari bahasa sumber (Bsu) haruslah berterima dalam konteks serta

budaya bahasa sasaran (Bsa). Beberapa permasalahan terkait dengan

3

penerjemahan metafora sempat diutarakan oleh Larson (1984: 293) dalam

bukunya yang berjudul Meaning-Based Translation. Permasalahan tersebut

meliputi:

a. Citra yang dipergunakan di dalam metafora atau simile mungkin tidak dikenal

dalam bahasa sasaran. Sebagai contoh, simile yang menggunakan kata salju

mungkin akan kurang dipahami oleh masyarakat dimana di tempat tinggalnya

tidak mengenal empat musim, sehingga tidak pernah turun salju. Oleh karena

itu, ungkapan yang menggunakan frase white as snow apabila diterjemahkan

dalam bahasa lain mungkin akan diterjemahkan menjadi white as seashell atau

white as bone, tergantung dari citra yang dikenal dalam bahasa tersebut, yang

berhubungan dengan warna putih. Dalam bahasa Indonesia sekarang ini,

ungkapan white as snow tersebut sudah dapat diterima sebagai „seputih salju‟.

Seandainya ungkapan white as snow tersebut diterjemahkan dalam bahasa

Indonesia sebelum kata „salju‟ terdapat pada kosakata Bahasa Indonesia, maka

citra „kapas‟ akan lebih tepat digunakan sehingga terjemahannya menjadi

„seputih kapas‟.

b. Topik metafora tidak diungkapkan secara jelas. Contohnya kalimat the tide

turned against the government apabila diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran

akan mengalami kesulitan karena acuan dari kata “the tide” dibiarkan implisit,

yaitu „opini publik‟.

c. Titik kemiripan yang implisit dan sulit dikenali. Ungkapan he is a pig tidak

menyertakan titik kemiripan secara jelas. Pig yang artinya babi, mungkin

dihubungkan dengan kata „keras kepala‟ dalam budaya barat, akan tetapi dapat

juga dihubungkan dengan seseorang yang memiliki perilaku „jorok‟ dalam

4

budaya lain. Hal ini tentu berakibat pada pemahaman yang berbeda-beda,

tergantung dari bahasa sasaran yang menjadi acuan penerjemah.

d. Titik kemiripan dapat diinterpretasikan secara berbeda-beda dalam kebudayaan

yang berbeda pula. Apabila terdapat ungkapan John is a rock, dapat diartikan

seseorang yang bernama John tidak dapat menggerakkan tubuhnya karena kaku

seperti batu, atau mungkin dalam budaya lain dapat juga berarti John membisu.

Karakteristik „batu‟ dapat juga dihubungkan dengan „kekuatan‟ dalam budaya

lain, sehingga ungkapan tersebut mengandung arti lain yakni John adalah orang

yang sangat kuat.

e. Tidak terdapat perbandingan dari metafora bahasa sasaran seperti yang terdapat

dalam metafora bahasa sumber. Misalnya dalam teks bahasa sumber terdapat

sebuah kalimat there was a storm in the national parliament yesterday. Dalam

kalimat tersebut kata storm digunakan untuk menggambarkan situasi debat

nasional yang memanas. Ketika menerjemahkan kalimat tersebut ke dalam

bahasa sasaran, terdapat kemungkinan bahwa kata storm tidak dapat

dipertahankan karena bisa jadi dalam bahasa sasaran digunakan kata lain

seperti fire untuk menyatakan situasi perdebatan yang panas dan sengit.

f. Setiap bahasa memiliki perbedaan dalam frekuensi pemakaian metafora dan

penciptaannya.

Penerjemahan metafora antar budaya tidak selalu berjalan dengan lancar.

Ada kalanya pesan yang ingin disampaikan oleh penulis Bsu tidak dapat

tersampaikan dengan baik kepada pembaca Bsa, karena terhambat oleh

permasalahan struktur metafora seperti citra, topik, serta titik kemiripan. Untuk

mengatasi berbagai permasalahan dalam penerjemahan tersebut, berbagai strategi

5

penerjemahan digunakan untuk menghasilkan terjemahan yang baik dan akurat.

Topik inilah yang akan dibahas dalam penelitian ini, yakni mengenai metafora

dan aneka strategi penerjemahan yang digunakan dalam menerjemahkan metafora

dari bahasa sumber (Inggris) ke dalam bahasa sasaran (Indonesia). Penelitian ini

perlu dilakukan untuk melihat hubungan antara metafora, kognisi, serta budaya

dalam lingkup penerjemahan dari bahasa sumber (Bsu) ke dalam bahasa sasaran

(Bsa). Sumber data yang dipilih adalah karya sastra berjenis novel fiksi populer

karangan J.K Rowling, seorang penulis berkebangsaan Inggris, yang dirilis di

pertengahan tahun 1997 di London oleh penerbit Bloomsburry dan merupakan

debut novelnya yang pertama dengan judul Harry Potter and The Sorcerer‟s

Stone yang diterjemahkan menjadi Harry Potter dan Batu Bertuah yang

diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Dalam mengembangkan novel ini,

daya imajinatif memiliki peran yang sangat penting sehingga bahasa kiasan

berbentuk metafora seringkali dipakai untuk menjelaskan hal-hal yang mungkin

kurang tepat apabila dideskripsikan dengan kata-kata biasa. Hal tersebut dapat

dilihat melalui contoh dibawah ini:

1) He was a big, beefy man with hardly any neck, although he did have a very

large mustache.

„Dia laki-laki besar-gemuk, nyaris tanpa leher, walaupun kumisnya besar

sekali.‟

2) Mr. Dursley stood rooted to the spot.

„Mr. Dursley berdiri terpaku di tempatnya.‟

3) A low rumbling sound had broken the silence around them.

„Derum rendah memecah kesunyian di sekitar mereka.‟

6

Contoh (1) adalah metafora yang mendeskripsikan seseorang dengan

memakai persamaan ciri daging sapi yang tebal dan empuk dengan daging

manusia sehingga kata beefy diterjemahkan menjadi „gemuk‟. Pada contoh (2)

rooted diterjemahkan menjadi „terpaku‟ karena terdapat persamaan makna antara

root sebagai „akar‟ dengan „paku‟ yang sifatnya sama-sama menancap kuat pada

media tertentu. Sedangkan contoh (3) tetap mempertahankan metafora seperti

aslinya. Dengan bervariasinya metafora serta strategi penerjemahan dalam novel

tersebut, maka terdapat beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai

berikut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian mengenai latar belakang diatas, maka peneliti dapat

merumuskan permasalahan yang hendak dipecahkan melalui penelitian ini.

Rumusan masalah tersebut dapat diuraikan sebagaimana berikut ini:

1) Bagaimana konseptualisasi metafora pada novel Harry Potter and The

Sorcerer‟s Stone?

2) Apa sajakah strategi penerjemahan metafora yang dipergunakan oleh

penerjemah dalam menerjemahkan konsep-konsep metafora dari novel Harry

Potter and The Sorcerer‟s Stone ke dalam novel Harry Potter dan Batu

Bertuah?

3) Mengapa strategi penerjemahan tertentu dipilih oleh penerjemah dalam

menerjemahkan metafora dari novel Harry Potter and The Sorcerer‟s Stone ke

dalam novel Harry Potter dan Batu Bertuah?

7

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini berdasarkan rumusan masalah diatas adalah

sebagai berikut:

1) Mendeskripsikan konseptualisasi metafora pada novel Harry Potter and The

Sorcerer‟s Stone.

2) Mengidentifikasi strategi penerjemahan metafora yang dipergunakan oleh

penerjemah dalam menerjemahkan metafora dari novel Harry Potter and The

Sorcerer‟s Stone ke dalam novel Harry Potter dan Batu Bertuah.

3) Memprediksi alasan yang melatarbelakangi pemilihan strategi oleh

penerjemah dalam menerjemahkan metafora dari novel Harry Potter and The

Sorcerer‟s Stone ke dalam novel Harry Potter dan Batu Bertuah.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1) Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan

wawasan mengenai metafora konseptual dan memberikan kontribusi terhadap

kajian linguistik terapan khususnya bidang penerjemahan. Penelitian ini juga

diharapkan dapat memotivasi atau mendorong peneliti-peneliti selanjutnya

yang ingin meneliti tentang penerjemahan metafora.

2) Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi terhadap pengajaran dan pembelajaran bahasa Inggris. Secara

khusus, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan bagi

pembelajar bahasa Inggris yang menekuni bidang penerjemahan.

8

1.5 Tinjauan Pustaka

Studi mengenai metafora konseptual dan penerjemahan metafora cukup

banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Di bawah ini akan penulis

uraikan beberapa penelitian mengenai metafora dan strategi penerjemahannya.

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Aqiana Eka Yonatri (2016)

dengan judul “Metafora Konseptual Pendidikan dalam Bahasa Inggris”. Objek

dari penelitian ini adalah tuturan-tuturan yang mengandung ungkapan metaforis

tentang konsep pendidikan yang kemudian dianalisis untuk mengetahui

bagaimana penutur bahasa Inggris memandang konsep pendidikan tersebut. Dari

hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa metafora konseptual dapat digunakan

untuk mengetahui bagaimana penutur memandang suatu konsep.

Kedua, Candra Putri Rachmawati (2015) dalam tesisnya yang berjudul

“Metafora Konseptual Language dalam Bahasa Inggris” yang juga meneliti

mengenai tuturan-tuturan yang mengandung suatu konsep, dalam hal ini konsep

language. Tujuan dari penelitian ini serta kesimpulan yang didapatkan ini kurang

lebih lama dengan penelitian yang dilakukan oleh Yonatri. Perbedaan antara

kedua penelitian tersebut terletak pada ranah sasaran yang dikaji.

Ketiga, penelitian yang juga mengkaji ranah sasaran berupa konsep, yakni

konsep cinta, dilakukan oleh Dian Mukhlisa (2014) dengan judul “Metafora Cinta

dalam Karya-Karya Shakespeare”yang bertujuan untuk melihat sistem konsep

metafora cinta dalam karya-karya Shakespeare dan mendeskripsikan jenis-jenis

medan semantik metafora cinta berdasarkan hierarki ruang persepsi manusia

menurut Michael C. Haley. Selain itu, penelitian ini juga menelaah cara pandang

Shakespeare terkait cinta yang tercermin dari ungkapan-ungkapan metaforis

9

dalam karya-karyanya serta melihat persentase masing-masing kategori medan

semantik metafora cinta. Dari penelitian ini ditemukan 14 ranah sumber yang

menerangjelaskan cinta, sembilan kategori medan semantik, dan tujuh cara

pandang Shakespeare mengenai cinta.

Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian-penelitian mengenai

metafora konseptual yang telah disebutkan sebelumnya, yakni pada teori yang

digunakan. Perbedaannya terletak pada tujuan penelitian yang ingin dicapai.

Penelitian-penelitian mengenai metafora konseptual sebelumnya bertujuan untuk

mengetahui cara pandang penutur bahasa Inggris mengenai suatu konsep yang ada

di sekitarnya, sedangkan penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran

umum mengenai metafora konseptual, contoh-contoh, serta aneka konsep ranah

sumber dan ranah sasaran. Hal ini dilakukan karena peneliti merasa perlu untuk

menulis sumber bacaan yang berisikan contoh-contoh metafora konseptual bahasa

Inggris secara umum yang disajikan dalam bahasa Indonesia supaya dapat

menjangkau semua kalangan yang ingin mempelajari bahasa Inggris.

Penelitian yang akan ditinjau selanjutnya adalah mengenai metafora dan

strategi penerjemahan metafora. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Albertus

Suwardi (2005) dengan judul “An Analysis on The Translation of The Metaphors

in Danielle Steel‟s The Wedding into Indonesian in Ade Dina Sigarlaki‟s

Pernikahan” yang membahas mengenai strategi penerjemahan metafora,

kesepadanan terjemahan metafora, dan faktor-faktor yang menyebabkan tercapai

atau tidaknya kesepadanan terjemahan terhadap metafora teks sumber. Dari karya

sastra novel tersebut, ditemukan 41 metafora dan lima strategi penerjemahan. Dari

hasil analisis data dan penilaian evaluator, terungkap bahwa sebagian besar

10

penerjemahan metafora adalah sepadan dan ditemukan dua faktor penyebab

kesepadanan dan ketidaksepadanan terjemahan metafora, yakni citra pada

metafora atau simile teks sasaran, dan penafsiran titik kemiripan yang ada dalam

metafora teks sumber.

Kedua, penelitian disertasi yang ditulis oleh Rudi Hartono (2011) yang

berjudul “Penerjemahan Idiom dan Gaya Bahasa (Metafora, Kiasan,

Personifikasi, dan Aliterasi) dalam Novel To Kill a Mockingbird Karya Harper

Lee dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia (Pendekatan Kritik Holistik)”.

Penelitian tersebut memiliki tiga tujuan pokok, yakni (1) mendeskripsikan hasil

analisis terjemahan idiom, gaya bahasa metafora, kiasan, personifikasi, dan

aliterasi dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, (2) mengungkap latar

belakang, pengalaman, kompetensi, dan strategi penerjemah novel yang

berpengaruh pada hasil terjemahannya, (3) mendeskripsikan tanggapan para

pembaca tentang kualitas terjemahan novel To Kill a Mockingbird, dan (4)

menemukan rumusan solusi yang paling tepat untuk penerjemahan novel,

khususnya penerjemahan idiom, gaya bahasa metafora, personifikasi, kiasan, dan

aliterasi dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian

tersebut, disimpulkan bahwa idiom sudah diterjemahkan dengan metode dan

teknik yang tepat, sedangkan metafora, kiasan, personifikasi, dan aliterasi belum

diterjemahkan dengan metode dengan teknik yang tepat. Untuk latar belakang

penerjemah, tidak cukup relevan dengan dunia penerjemahan novel, sehingga

terjemahan yang dihasilkan belum cukup memuaskan.

Penelitian ketiga yang juga membahas metafora sebagai objek

penelitiannya adalah “Strategi Penerjemahan Metafora Bahasa Indonesia ke dalam

11

Bahasa Inggris dalam Antologi Puisi On Foreign Shores: American Image in

Indonesian Poetry” yang dilakukan oleh Parlindungan Pardede (2013). Dari

penelitian tersebut, temuan yang dihasilkan adalah sebagai berikut: pertama, untuk

menerjemahkan 174 metafora bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris,

digunakan tiga strategi penerjemahan. Kedua, terdapat beberapa strategi

penerjemahan yang kurang tepat digunakan pada penerjemahan metafora puisi

tersebut, karena justru mengacaukan makna pesan dari teks sumber.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian diatas terletak pada

teori strategi penerjemahan metafora yang digunakan, sedangkan perbedaannya

terletak pada teori metafora yang digunakan dan tujuan penelitian ketiga dari

penelitian ini, yakni memprediksi alasan yang melatarbelakangi pemilihan strategi

penerjemahan metafora.

1.6 Landasan Teori

1.6.1 Metafora

Metafora merupakan bahasa kiasan yang membandingkan dua hal yang

mana terdapat kesamaan antara kedua hal tersebut. Perbandingan kedua hal

tersebut dilakukan secara langsung dan singkat karena tidak menggunakan kata-

kata seperti, bak, bagaikan, dan sebagainya (Keraf, 1984: 139). Ullman (dalam

Sumarsono, 2007: 265) memerikan dua hal sederhana yang menjadi struktur dasar

metafora, yakni sesuatu yang dibandingkan dan sesuatu yang dipakai sebagai

bandingan. Parera (2004: 119) menambahkan satu hal lagi, yakni titik kemiripan

atau kesamaan. Definisi dari para ahli diatas cenderung mengacu pada metafora

dalam ruang lingkup linguistik saja, yang memandang metafora sebagai sebuah

12

fenomena kebahasaan. Konsep metafora yang dikemukakan oleh George Lakoff

dan Mark Johnson pada tahun 1980 dalam bukunya Metaphor We Live By,

merupakan cara pandang terhadap metafora bukan hanya sebagai bagian dari

bahasa saja, namun juga sebagai bagian dari cara berpikir (kognitif) manusia,

yang dinamakan metafora konseptual. Buku lain yang juga mendiskusikan

metafora konseptual adalah yang ditulis oleh Zoltan Kovecses pada tahun 2010

yaitu Metaphor: A Practical Introduction. (2nd edition). Terdapat lima hal yang

diklaim oleh Lakoff dan Johnson (dalam Kovecses, 2010: x) terkait dengan

metafora, yaitu: (1) metafora merupakan serangkaian konsep, bukan hanya

serangkaian kata-kata saja; (2) fungsi dari metafora adalah memahami konsep

tertentu dan bukan hanya ditujukan untuk tujuan artistik atau estetika saja; (3)

metafora biasanya tidak didasarkan pada persamaan; (4) metafora digunakan oleh

orang biasa dalam kehidupan sehari-hari dan bukan hanya oleh orang-orang yang

berbakat dalam bahasa; (5) metafora merupakan perwujudan dari proses berpikir

manusia, bukan hanya sebagai ornamen atau hiasan dalam linguistik. Dari

pendapat para ahli diatas, dapat diketahui bahwa teori metafora konseptual

merupakan perluasan dari teori metafora linguistik. Kata-kata atau ungkapan

metaforis adalah perwujudan atau manifestasi dari metafora konseptual.

Metafora konseptual didefinisikan sebagai ungkapan yang dipahami dari

satu ranah konsep melalui ranah konsep yang lain. Contohnya ketika konsep

kehidupan dipahami melalui konsep perjalanan, konsep teori dipahami melalui

konsep bangunan, konsep cinta dipahami melalui konsep perjalanan, dan lain-lain.

Dapat dilihat dari contoh diatas bahwa terdapat dua ranah yang berperan penting

dalam membentuk metafora konseptual, yang dinamakan ranah sumber dan ranah

13

sasaran. Kehidupan, teori, dan cinta adalah contoh ranah sasaran, sedangkan

perjalanan dan bangunan adalah contoh ranah sumber. Dari konsep-konsep

tersebut, terbentuklah metafora konseptual dengan struktur RANAH SASARAN

ADALAH RANAH SUMBER, yakni KEHIDUPAN ADALAH PERJALANAN,

TEORI ADALAH BANGUNAN, dan CINTA ADALAH PERJALANAN.

Dibawah ini akan dipaparkan klasifikasi berdasarkan ranah sumber dan ranah

sasaran secara ringkas.

1.6.1.1 Ranah Sumber

Berdasarkan studi literatur mengenai metafora yang dilakukan oleh Zoltan

Kovecses (2010) dari berbagai penelitian metafora serta bermacam macam kamus

metafora seperti Collins Cobuild English Guides 7: Metaphor, bagian metafora

dalam Rodale‟s Phrase Finder, the Metaphor Dictionary, the Dictionary of

Everyday English Metaphor, Roget‟s Thesaurus dan daftar metafora konseptual

seperti Master Metaphor List, ditemukan sejumlah ranah sumber dan ranah

sasaran yang secara kuantitatif memiliki frekuensi kemunculan yang tinggi, yang

dimuat dalam bukunya yang berjudul Metaphor: A Practical Introduction (2nd

edition). Di bawah ini akan diuraikan satu per satu ranah sumber dan ranah

sasaran tersebut secara ringkas.

1. Tubuh Manusia

Di dalam berbagai penelitian metafora yang disurvey oleh Kovecses, ungkapan

metaforis yang berhubungan dengan tubuh manusia menduduki urutan pertama

terbanyak. Hal ini tidaklah mengherankan sebab tubuh manusia berserta

anggotanya adalah sesuatu yang konkrit dan yang paling dekat dengan manusia

14

itu sendiri sehingga banyak dari ungkapan metaforis yang langsung dikaitkan

dengan tubuh manusia.

2. Kesehatan dan Keadaan Sakit

Ranah ini cukup dekat dengan tubuh manusia, karena tubuh manusia apabila

dirawat dengan baik akan menjadi sehat, akan tetapi apabila kurang dijaga

maka akan mudah sakit. Sifat-sifat dari kesehatan dan keadaan sakit juga

memiliki frekuensi tinggi dalam pemakaian metafora.

3. Hewan

Seringkali manusia disamakan dengan hewan dalam hal sifat atau karakter,

seperti halnya hewan babi yang menyenangi kubangan, maka manusia yang

suka hal-hal yang kotor dan jorok dapat juga dijuluki babi. Dengan

membandingkan dengan sifat hewan seperti contoh diatas, akan lebih mudah

memahami manusia.

4. Tumbuh-tumbuhan

Ungkapan metaforis yang berhubungan dengan tumbuhan meliputi bagian-

bagian tumbuhan (mis: daun, batang, bunga, buah), kegiatan manusia yang

berhubungan dengan tumbuhan (mis: menanam, menyiram, memetik,

memangkas) serta tahapan-tahapan dalam pertumbuhan tanaman.

5. Bangunan dan Konstruksi

Manusia membangun rumah untuk tempat tinggal dan bangunan-bangunan

lainnya yang berfungsi untuk perkantoran, sarana pendidikan, sarana

kesehatan, dan lain-lain. Ranah ini terutama berhubungan dengan bangunan

seperti rumah beserta bagian-bagiannya, serta tahapan-tahapan dalam

pembangunan rumah.

15

6. Mesin dan Peralatan

Manusia menggunakan mesin dan peralatan untuk memudahkan mereka dalam

mengerjakan kegiatan dan pekerjaan sehari-hari. Segala hal yang berkaitan

dengan mesin dan peralatan serta aktivitas yang berkaitan dengan kedua hal

tersebut seringkali dijadikan ranah sumber dalam metafora.

7. Permainan dan Olahraga

Permainan dan olahraga adalah dua hal yang dapat menghibur dan

menyegarkan pikiran manusia. Hal-hal yang berkaitan dengan kedua hal

tersebut sering muncul sebagai ranah sumber dalam metafora.

8. Uang dan Transaksi Ekonomi (Bisnis)

Ranah ini berkaitan dengan aktivitas yang berhubungan dengan uang dan

transaksi ekonomi yang seringkali melibatkan penggunaan uang dan komoditas

secara umum.

9. Memasak dan Makanan

Memasak sebagai salah satu kegiatan manusia sehari-hari terdiri atas beberapa

unsur, seperti orang yang memasak, resep, bahan-bahan untuk memasak, cara-

cara memasak, dan juga hasil/produk dari memasak yakni makanan. Ranah ini

berkaitan erat dengan aktivitas memasak beserta unsur-unsurnya dan produk

dari memasak yakni makanan.

10. Panas dan Dingin

Panas dan dingin adalah pengalaman yang sangat mendasar, yang dijangkau

manusia melalui indera perabanya. Manusia merasakan panas dan dingin

sebagai akibat dari suhu udara sekitar. Kedua hal yang sangat bertolak

16

belakang ini seringkali dipakai untuk menggambarkan perilaku manusia

terhadap manusia yang lain atau sesuatu hal.

11. Terang dan Gelap

Cahaya dan kegelapan dapat dirasakan manusia melalui indera penglihatannya.

Hal-hal yang berkaitan dengan cahaya dan kegelapan seringkali muncul dalam

bentuk kondisi cuaca apabila manusia berbicara dan berpikir secara metaforis.

12. Kekuatan

Ranah ini merefleksikan kekuatan dalam berbagai bentuk dan aktivitas pelaku.

Bentuk kekuatan secara fisik yang dapat dirasakan manusia contohnya

gelombang air/ombak, angin, badai, dan api. Aktivitas pelaku yang

menggunakan kekuatan contohnya mendorong, menarik, memaksa, dan lain-

lain.

13. Gerakan dan Arah

Ranah ini melibatkan perubahan lokasi atau bisa juga tidak melibatkan

perubahan lokasi alias statis. Apabila gerakan tersebut disertai perubahan

lokasi, maka gerakan akan mengarah kedepan dan kebelakang, keatas dan

kebawah.

1.6.1.2 Ranah Sasaran

1) Emosi

Ranah emosi adalah ranah yang frekuensi kemunculannya tinggi dalam

metafora. Konsep emosi seperti marah, takut, cinta, bahagia, sedih, malu,

bangga, dapat dipahami melalui metafora konseptual. Ranah sumber untuk

konsep emosi biasanya melibatkan kekuatan.

17

2) Hasrat

Dalam hal metafora konseptual, hasrat memiliki persamaan dengan emosi.

Hasrat juga dapat dipahami melalui konsep kekuatan, bukan hanya dalam hal

fisik, tetapi juga fisiologis seperti rasa lapar dan haus. Selain kekuatan, rasa

panas juga dapat digunakan untuk memahami ranah ini.

3) Moral

Moral dapat dibagi menjadi dua, yakni moral baik dan moral yang buruk,

seperti kejujuran, keberanian, ketulusan, rasa hormat, dan kebalikannya. Ranah

moral dapat dipahami melalui ranah sumber transaksi ekonomi, kekuatan,

cahaya, kegelapan, dan lain sebagainya.

4) Pikiran

Ranah ini berhubungan dengan cara metafora menggambarkan pemikiran

sebagai sesuatu yang dapat dijangkau oleh indera manusia, seperti penglihatan,

sehingga pemikiran yang tadinya abstrak dapat lebih mudah dipahami.

5) Masyarakat/Negara

Masyarakat/Negara adalah hal yang sangat luas dan kompleks. Ranah ini

umumnya dipahami melalui ranah sumber seseorang, keluarga, mesin, dan

tubuh manusia.

6) Politik

Politik berhubungan sengan kekuatan, terutama kekuatan fisik. Politik dapat

dipahami melalui ranah sumber permainan, olahraga, bisnis, dan perang.

7) Ekonomi

Ranah sumber yang paling sering dihubungkan dengan ekonomi adalah

bangunan, tumbuh-tumbuhan, dan perjalanan (gerakan, arah)

18

8) Hubungan Manusia

Pertemanan, hubungan cinta, dan pernikahan termasuk konsep hubungan

manusia yang paling umum. Konsep hubungan seperti diatas secara metaforis

dapat dipandang melalui ranah sumber tumbuh-tumbuhan, bangunan, dan

mesin.

9) Komunikasi

Manusia berkomunikasi dengan mengirimkan pesan yang berupa ekspresi

linguistik, yang melibatkan pembicara sebagai penyampai pesan dan pendengar

sebagai menerima pesan. Secara metaforis, elemen-elemen pembentuk proses

berkomunikasi ini dapat dipahami melalui ranah sumber wadah, objek, dan

proses mengirim pesan.

10) Waktu

Waktu adalah konsep abstrak yang tidak mudah untuk dipahami. Cara

memahami waktu melalui metafora adalah dengan menggambarkan waktu

sebagai objek yang bergerak.

11) Kehidupan dan Kematian

Kehidupan digambarkan sebagai perjalanan yang memiliki tujuan akhir, yang

secara metaforis dihubungkan dengan hari, cahaya, kehangatan, dan lain-lain.

Kelahiran manusia dimaknai sebagai kedatangan, sedangkan kematian

dimaknai sebagai keberangkatan, seperti halnya malam, kegelapan, dan rasa

dingin.

12) Agama

Kunci pokok dari agama adalah hubungan manusia secara vertikal dengan

Tuhan YME dan secara horisontal dengan manusia yang lainnya. Ranah agama

19

menggambarkan Tuhan sebagai seseorang. Aspek lain dari pengalaman agamis

yang metaforis adalah keabadian, kehidupan setelah kematian, dan lain-lain.

13) Peristiwa dan Aksi

Aspek-aspek dari peristiwa dan aksi seringkali digambarkan melalui ranah

sumber gerakan dan arah. Aspek-aspek tersebut meliputi perubahan, penyebab,

tujuan, cara, dan lain-lain.

1.6.2 Penerjemahan

Menerjemahkan merupakan kegiatan yang melibatkan dua bahasa, yakni

bahasa sumber (Bsu) dan bahasa sasaran (Bsa). Menurut Kridalaksana (2008: 181)

pada proses penerjemahan sedapat mungkin ditekankan pada pemertahanan

makna sehingga terjemahannya menjadi baik dan mudah dimengerti oleh

pembaca.

Kegiatan penerjemahan yang meliputi pengalihan amanat antarbudaya dan

antarbahasa dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran tentu saja melalui

serangkaian proses penerjemahan. Nababan (2003: 25) membagi proses

penerjemahan menjadi tiga tahap, sedangkan Nida dan Taber (dalam Suryawinata

& Hariaynto, 2003: 19) menambahkan satu tahap lagi, yakni tahap evaluasi dan

revisi. Berikut merupakan keempat tahap yang dimaksud.

1) Analisis teks bahasa sumber

Tahap pertama dalam menerjemahkan teks adalah dengan menganalisis teks

bahasa sumber terlebih dahulu sembari memahami isi teks tersebut.

Pemahaman yang baik mencakup pemahaman mengenai unsur linguistik serta

ekstralinguistik dari teks bacaan tersebut.

20

2) Pengalihan pesan

Setelah menganalisis bahasa sumber, tahap kedua adalah menemukan padanan

kata yang dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Pesan yang

terkandung dalam teks harus mampu diungkapkan sepadan mungkin ke dalam

bahasa sasaran.

3) Restrukturisasi

Pada tahap ketiga ini, penerjemah berusaha mencari padanan kata, ungkapan,

dan struktur kalimat yang sesuai dalam Bsa sehingga isi, makna, pesan yang

terkandung dalam teks Bsu dapat tersampaikan dengan baik dalam Bsa.

4) Evaluasi dan revisi

Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dimana hasil tahap restrukturisasi

atau hasil terjemahan dievaluasi dengan cara mencocokkan kembali dengan

teks Bsu dan melihat apakah kesepadanan antara teks Bsu dengan Bsa sudah

tercapai. Apabila belum tercapai, maka akan dilakukan revisi.

1.6.3 Strategi Penerjemahan Metafora

Seperti yang telah diuraikan dalam latar belakang penelitian ini, bahwa

menerjemahkan metafora tidaklah mudah dan kerap kali menimbulkan sejumlah

permasalahan. Metafora kurang tepat apabila diterjemahkan secara harfiah karena

tiap bahasa memiliki keunikan serta perbedaan budaya. Untuk mengatasi

permasalahan tersebut, Larson (1984: 276) menyarankan lima cara untuk

menerjemahkan metafora, yakni:

a. Metafora tetap dipertahankan apabila dirasa jelas dan wajar bagi pembaca.

21

b. Metafora dapat diterjemahkan menjadi simile dengan cara menambahkan

kata-kata seperti, bagai, bagaikan, dll.

c. Metafora dalam bahasa sumber dapat ditransfer ke dalam metafora dalam

bahasa sasaran yang memiliki makna yang sama.

d. Metafora dapat dipertahankan dengan cara menjelaskan maknanya atau

menambahkan topik pembicaraan, atau titik kemiripannya.

e. Makna metafora dijelaskan tanpa menggunakan citra metaforisnya.

Newmark (1981: 88-91) juga meyakini bahwa metafora dapat

diterjemahkan melalui strategi penerjemahan. Tujuh strategi yang disarankan oleh

Newmark, yakni:

a. Menerjemahkan metafora menjadi metafora yang sama dalam bahasa sasaran.

b. Mengganti citra dalam bahasa sumber dengan citra yang berterima dalam

bahasa sasaran, atau menerjemahkan metafora menjadi metafora lain namun

maknanya sama.

c. Menerjemahkan metafora menjadi simile dengan tetap mempertahankan citra.

d. Menerjemahkan metafora menjadi simile dengan deskripsi atau informasi

tambahan.

e. Menerjemahkan metafora dengan mengubahnya menjadi makna harfiah.

f. Menghapus metafora apabila dirasa tidak ada manfaatnya.

g. Mempertahankan bentuk metafora namun dikombinasikan dengan deskripsi

atau informasi tambahan.

Strategi penerjemahan metafora yang disarankan oleh dua pakar

penerjemahan diatas memiliki kesamaan, sehingga dapat dibuat paduan dari teori

tersebut. Kelima strategi penerjemahan metafora yang diusulkan oleh Larson

22

(1984) sama dengan yang diusulkan oleh Newmark (1981). Yang membedakan

adalah Newmark (1981) menambahkan dua strategi penerjemahan metafora, yakni

penambahan deskripsi atau informasi tambahan pada simile dan penghapusan

metafora (metaphor to zero). Untuk menyesuaikan dengan objek yang akan

dibahasa dalam penelitian ini, yakni metafora konseptual, maka istilah „citra‟ pada

strategi penerjemahan metafora akan digantikan oleh istilah „ranah sumber (Rsu)‟.

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dimana data serta fenomena

penelitian ini dideskripsikan secara sistematis, tepat, serta akurat Djajasudarma,

1993: 9). Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data

sekunder, yakni novel berbahasa Inggris karangan J.K Rowling yang berjudul

Harry Potter and The Sorcerer‟s Stone dan novel terjemahan berbahasa Indonesia

yang berjudul Harry Potter dan Batu Bertuah. Objek penelitian dalam tulisan ini

adalah metafora, sedangkan data penelitian ini adalah kosakata dan frase yang

mengandung makna metafora, baik dari bahasa Inggris beserta terjemahannya

dalam bahasa Indonesia. Data penelitian dibatasi pada ungkapan metaforis yang

mengandung kata, dan frase selain preposisi dan frase preposisi. Langkah pertama

yang dilakukan yakni data yang berkemungkinan mengandung makna metafora

dikumpulkan, selanjutnya data tersebut diidentifikasi dengan seksama. Peneliti

menggunakan dua cara untuk mengidentifikasi metafora, yakni:

1) Mencari makna literal atau makna dasar dari kosakata menggunakan kamus

online (Oxford Learner‟s Dictionary dan Macmillan Dictionary). Metafora

23

mempunyai makna figuratif atau makna kiasan, yakni makna selain makna

literal atau makna dasar. Dalam mengidentifikasi metafora melalui pencarian

makna figuratifnya di dalam kamus, peneliti memastikan supaya data yang

tersaring tidak tertukar dengan konstruksi bahasa kiasan lainnya seperti

idiom, dengan cara mendeteksi unsur-unsur pembentuk metafora, yakni ranah

sumber (Rsu), ranah sasaran (Rsa), dan titik kesamaan antara keduanya.

2) Menggunakan prosedur identifikasi metafora yang disebut dengan MIP

(Metaphor Identification Procedure) yang didesain oleh sekelompok peneliti

yang menamakan dirinya sebagai Pragglejaz Group (Kovecses, 2010: 5),

yakni dengan cara mencari makna kosakata tersebut di dalam konteks

kalimat. Kosakata yang mengandung metafora mempunyai makna

kontekstual dan makna leksikal yang berbeda, akan tetapi masih memiliki

kaitan satu sama lain.

1.7.2 Metode Analisis Data

Setelah data terkumpul, dilakukan analisis data yang melibatkan

pencatatan data ke dalam tabel. Setelah mengidentifikasi metafora, data diberi

nomor, kemudian diurutkan dan diklasifikasikan berdasarkan ranah sumber (Rsu)

dan ranah sasaran (Rsa) menurut Kovecses (2010).

Setelah dilakukan klasifikasi ranah sumber (Rsu) dan ranah sasaran (Rsa),

langkah berikutnya adalah menentukan data hasil terjemahan metafora mana saja

yang akan dianalisis untuk keperluan klasifikasi strategi penerjemahan metafora.

Langkah ini penting dilakukan karena tidak semua data metafora hasil

penerjemahan dalam bahasa sasaran (Bsu) memenuhi kriteria penerjemahan yang

baik. Data hasil terjemahan metafora yang akan dianalisis menurut strategi

24

penerjemahannya adalah data yang sepadan, berterima, serta wajar menurut intuisi

lingual penulis sebagai penutur asli bahasa sasaran.

Setelah dilakukan klasifikasi strategi penerjemahan metafora, langkah

berikutnya yakni menghitung persentase masing-masing penggunaan strategi

penerjemahan dalam data hasil terjemahan metafora secara keseluruhan. Langkah

terakhir adalah memprediksi alasan penggunaan strategi tertentu yang dipilih oleh

penerjemah dalam menerjemahkan metafora dalam novel tersebut.

1.7.3 Metode Penyajian Analisis Data

Setelah semua data dianalisis, hasil penelitian kemudian dituangkan ke

dalam tulisan berupa kata-kata dengan maksud supaya mudah dipahami dan

dimengerti oleh pembaca. Metode penyajian semacam ini disebut sebagai metode

informal, yakni penyajian dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993: 145). Selain

penyajian informal, data penelitian juga disajikan dalam bentuk visual, yakni

berupa tabel yang berisikan angka persentase.

1.8 Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian laporan penelitian ini selanjutnya akan dibagi

menjadi lima bab. Bab I yakni pendahuluan yang berisikan latar belakang,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka,

landasan teori, hipotesis, metode penelitian, serta sistematika penyajian. Bab II

berisikan mengenai aneka ranah sumber dan ranah sasaran yang mendasari

metafora konseptual yang terdapat pada novel Harry Potter and The Sorcerer‟s

Stone. Dalam bab III peneliti akan memaparkan berbagai jenis strategi yang

digunakan penerjemah dalam menerjemahkan metafora dari novel Harry Potter

25

and The Sorcerer‟s Stone ke dalam novel Harry Potter dan Batu Bertuah. Bab IV

berisikan mengenai alasan yang melatarbelakangi pemilihan strategi dalam

menerjemahkan metafora dari novel Harry Potter and The Sorcerer‟s Stone ke

dalam novel Harry Potter dan Batu Bertuah. Bab V merupakan bab penutup yang

akan memuat kesimpulan serta saran.