Upload
doanliem
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penerjemahan di Indonesia sekarang ini masih merupakan kegiatan yang
amat penting. Seiring dengan adanya komunikasi global yang sedang
berlangsung, beragam informasi yang masuk ke Indonesia seringkali perlu
diterjemahkan. Seorang penerjemah haruslah menguasai bahasa sumber (Bsu) dan
bahasa sasaran (Bsa) serta mengerti perbedaan antara kedua bahasa yang
diterjemahkan. Hasil terjemahannya haruslah jelas, mudah dimengerti serta
dipahami pembaca maupun pendengar yang diasumsikan hanya memahami satu
bahasa saja, yakni bahasa sasaran (Bsa). Kegiatan penerjemahan itu sendiri
didefinisikan oleh Kridalaksana (2008: 181) sebagai pemindahan suatu amanat
antarbudaya dan/atau antarbahasa dalam tataran gramatikal dan leksikal dengan
tetap mempertahankan makna sedapat mungkin. Lebih lanjut ditambahkan oleh
Kridalaksana bahwa kegiatan penerjemahan juga melibatkan berbagai metode dan
teknik pengalihan amanat dari satu bahasa ke bahasa lain. Dengan demikian
kegiatan penerjemahan bahasa baik secara lisan maupun tulisan menuntut seorang
penerjemah untuk menguasai baik aspek linguistik maupun aspek non-linguistik
dari bahasa sumber (Bsu) dan bahasa sasaran (Bsa). Dalam menerjemahkan novel
berbahasa Inggris misalnya, seorang penerjemah tidak hanya memerlukan
penguasaan bahasa Inggris saja, akan tetapi juga memerlukan pemahaman
mengenai budaya bahasa sumber (Bsu), bahasa sasaran (Bsa) serta pendekatan
penerjemahan yang sesuai untuk diterapkan pada teks-teks karya sastra, terlebih
lagi jika menemui bahasa kiasan seperti metafora.
2
Metafora banyak sekali ditemukan dalam berbagai bentuk komunikasi
bahasa seperti dalam media massa serta di dalam karya-karya sastra seperti novel,
syair, sajak, puisi, dan lain sebagainya. Metafora juga sering muncul dalam bahasa
sehari-hari, walaupun seringkali pengguna bahasa tidak menyadari telah
menggunakan metafora dalam ucapannya. Ullman (dalam Sumarsono, 2007: 265)
memerikan dua hal sederhana yang menjadi struktur dasar metafora, yakni sesuatu
yang dibandingkan dan sesuatu yang dipakai sebagai bandingan. Parera (2004:
119) menambahkan satu hal lagi, yakni titik kemiripan atau kesamaan. Setiap kata
atau frase metaforis mengandung satu „ide pokok‟, menurut Rosamund Moon
dalam tulisannya yang berjudul Language Awareness-Metaphor yang diterbitkan
oleh MED Magazine (2009: 1) Beliau juga menambahkan bahwa ide pokok
tersebut adalah hal yang menjadi penghubung atau yang menjadi persamaan
antara makna literal dan makna metaforisnya.
Dalam menerjemahkan metafora, umumnya dilakukan dua langkah
berikut. Pertama-tama seorang penerjemah harus mengidentifikasi metafora yang
akan diterjemahkan dengan teliti. Menerjemahkan metafora secara kata per kata
haruslah dihindari karena mengakibatkan salah makna dan salah penafsiran.
Setelah proses identifikasi metafora, langkah selanjutnya adalah
mempertimbangkan cara-cara menerjemahkan metafora tersebut ke dalam bahasa
sasaran dengan tetap mempertahankan maknanya. Menerjemahkan metafora dari
bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan tetap mempertahankan maknanya
jelas merupakan tantangan bagi seorang penerjemah, karena metafora hasil
reproduksi dari bahasa sumber (Bsu) haruslah berterima dalam konteks serta
budaya bahasa sasaran (Bsa). Beberapa permasalahan terkait dengan
3
penerjemahan metafora sempat diutarakan oleh Larson (1984: 293) dalam
bukunya yang berjudul Meaning-Based Translation. Permasalahan tersebut
meliputi:
a. Citra yang dipergunakan di dalam metafora atau simile mungkin tidak dikenal
dalam bahasa sasaran. Sebagai contoh, simile yang menggunakan kata salju
mungkin akan kurang dipahami oleh masyarakat dimana di tempat tinggalnya
tidak mengenal empat musim, sehingga tidak pernah turun salju. Oleh karena
itu, ungkapan yang menggunakan frase white as snow apabila diterjemahkan
dalam bahasa lain mungkin akan diterjemahkan menjadi white as seashell atau
white as bone, tergantung dari citra yang dikenal dalam bahasa tersebut, yang
berhubungan dengan warna putih. Dalam bahasa Indonesia sekarang ini,
ungkapan white as snow tersebut sudah dapat diterima sebagai „seputih salju‟.
Seandainya ungkapan white as snow tersebut diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia sebelum kata „salju‟ terdapat pada kosakata Bahasa Indonesia, maka
citra „kapas‟ akan lebih tepat digunakan sehingga terjemahannya menjadi
„seputih kapas‟.
b. Topik metafora tidak diungkapkan secara jelas. Contohnya kalimat the tide
turned against the government apabila diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran
akan mengalami kesulitan karena acuan dari kata “the tide” dibiarkan implisit,
yaitu „opini publik‟.
c. Titik kemiripan yang implisit dan sulit dikenali. Ungkapan he is a pig tidak
menyertakan titik kemiripan secara jelas. Pig yang artinya babi, mungkin
dihubungkan dengan kata „keras kepala‟ dalam budaya barat, akan tetapi dapat
juga dihubungkan dengan seseorang yang memiliki perilaku „jorok‟ dalam
4
budaya lain. Hal ini tentu berakibat pada pemahaman yang berbeda-beda,
tergantung dari bahasa sasaran yang menjadi acuan penerjemah.
d. Titik kemiripan dapat diinterpretasikan secara berbeda-beda dalam kebudayaan
yang berbeda pula. Apabila terdapat ungkapan John is a rock, dapat diartikan
seseorang yang bernama John tidak dapat menggerakkan tubuhnya karena kaku
seperti batu, atau mungkin dalam budaya lain dapat juga berarti John membisu.
Karakteristik „batu‟ dapat juga dihubungkan dengan „kekuatan‟ dalam budaya
lain, sehingga ungkapan tersebut mengandung arti lain yakni John adalah orang
yang sangat kuat.
e. Tidak terdapat perbandingan dari metafora bahasa sasaran seperti yang terdapat
dalam metafora bahasa sumber. Misalnya dalam teks bahasa sumber terdapat
sebuah kalimat there was a storm in the national parliament yesterday. Dalam
kalimat tersebut kata storm digunakan untuk menggambarkan situasi debat
nasional yang memanas. Ketika menerjemahkan kalimat tersebut ke dalam
bahasa sasaran, terdapat kemungkinan bahwa kata storm tidak dapat
dipertahankan karena bisa jadi dalam bahasa sasaran digunakan kata lain
seperti fire untuk menyatakan situasi perdebatan yang panas dan sengit.
f. Setiap bahasa memiliki perbedaan dalam frekuensi pemakaian metafora dan
penciptaannya.
Penerjemahan metafora antar budaya tidak selalu berjalan dengan lancar.
Ada kalanya pesan yang ingin disampaikan oleh penulis Bsu tidak dapat
tersampaikan dengan baik kepada pembaca Bsa, karena terhambat oleh
permasalahan struktur metafora seperti citra, topik, serta titik kemiripan. Untuk
mengatasi berbagai permasalahan dalam penerjemahan tersebut, berbagai strategi
5
penerjemahan digunakan untuk menghasilkan terjemahan yang baik dan akurat.
Topik inilah yang akan dibahas dalam penelitian ini, yakni mengenai metafora
dan aneka strategi penerjemahan yang digunakan dalam menerjemahkan metafora
dari bahasa sumber (Inggris) ke dalam bahasa sasaran (Indonesia). Penelitian ini
perlu dilakukan untuk melihat hubungan antara metafora, kognisi, serta budaya
dalam lingkup penerjemahan dari bahasa sumber (Bsu) ke dalam bahasa sasaran
(Bsa). Sumber data yang dipilih adalah karya sastra berjenis novel fiksi populer
karangan J.K Rowling, seorang penulis berkebangsaan Inggris, yang dirilis di
pertengahan tahun 1997 di London oleh penerbit Bloomsburry dan merupakan
debut novelnya yang pertama dengan judul Harry Potter and The Sorcerer‟s
Stone yang diterjemahkan menjadi Harry Potter dan Batu Bertuah yang
diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Dalam mengembangkan novel ini,
daya imajinatif memiliki peran yang sangat penting sehingga bahasa kiasan
berbentuk metafora seringkali dipakai untuk menjelaskan hal-hal yang mungkin
kurang tepat apabila dideskripsikan dengan kata-kata biasa. Hal tersebut dapat
dilihat melalui contoh dibawah ini:
1) He was a big, beefy man with hardly any neck, although he did have a very
large mustache.
„Dia laki-laki besar-gemuk, nyaris tanpa leher, walaupun kumisnya besar
sekali.‟
2) Mr. Dursley stood rooted to the spot.
„Mr. Dursley berdiri terpaku di tempatnya.‟
3) A low rumbling sound had broken the silence around them.
„Derum rendah memecah kesunyian di sekitar mereka.‟
6
Contoh (1) adalah metafora yang mendeskripsikan seseorang dengan
memakai persamaan ciri daging sapi yang tebal dan empuk dengan daging
manusia sehingga kata beefy diterjemahkan menjadi „gemuk‟. Pada contoh (2)
rooted diterjemahkan menjadi „terpaku‟ karena terdapat persamaan makna antara
root sebagai „akar‟ dengan „paku‟ yang sifatnya sama-sama menancap kuat pada
media tertentu. Sedangkan contoh (3) tetap mempertahankan metafora seperti
aslinya. Dengan bervariasinya metafora serta strategi penerjemahan dalam novel
tersebut, maka terdapat beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai
berikut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian mengenai latar belakang diatas, maka peneliti dapat
merumuskan permasalahan yang hendak dipecahkan melalui penelitian ini.
Rumusan masalah tersebut dapat diuraikan sebagaimana berikut ini:
1) Bagaimana konseptualisasi metafora pada novel Harry Potter and The
Sorcerer‟s Stone?
2) Apa sajakah strategi penerjemahan metafora yang dipergunakan oleh
penerjemah dalam menerjemahkan konsep-konsep metafora dari novel Harry
Potter and The Sorcerer‟s Stone ke dalam novel Harry Potter dan Batu
Bertuah?
3) Mengapa strategi penerjemahan tertentu dipilih oleh penerjemah dalam
menerjemahkan metafora dari novel Harry Potter and The Sorcerer‟s Stone ke
dalam novel Harry Potter dan Batu Bertuah?
7
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini berdasarkan rumusan masalah diatas adalah
sebagai berikut:
1) Mendeskripsikan konseptualisasi metafora pada novel Harry Potter and The
Sorcerer‟s Stone.
2) Mengidentifikasi strategi penerjemahan metafora yang dipergunakan oleh
penerjemah dalam menerjemahkan metafora dari novel Harry Potter and The
Sorcerer‟s Stone ke dalam novel Harry Potter dan Batu Bertuah.
3) Memprediksi alasan yang melatarbelakangi pemilihan strategi oleh
penerjemah dalam menerjemahkan metafora dari novel Harry Potter and The
Sorcerer‟s Stone ke dalam novel Harry Potter dan Batu Bertuah.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1) Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
wawasan mengenai metafora konseptual dan memberikan kontribusi terhadap
kajian linguistik terapan khususnya bidang penerjemahan. Penelitian ini juga
diharapkan dapat memotivasi atau mendorong peneliti-peneliti selanjutnya
yang ingin meneliti tentang penerjemahan metafora.
2) Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi terhadap pengajaran dan pembelajaran bahasa Inggris. Secara
khusus, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan bagi
pembelajar bahasa Inggris yang menekuni bidang penerjemahan.
8
1.5 Tinjauan Pustaka
Studi mengenai metafora konseptual dan penerjemahan metafora cukup
banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Di bawah ini akan penulis
uraikan beberapa penelitian mengenai metafora dan strategi penerjemahannya.
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Aqiana Eka Yonatri (2016)
dengan judul “Metafora Konseptual Pendidikan dalam Bahasa Inggris”. Objek
dari penelitian ini adalah tuturan-tuturan yang mengandung ungkapan metaforis
tentang konsep pendidikan yang kemudian dianalisis untuk mengetahui
bagaimana penutur bahasa Inggris memandang konsep pendidikan tersebut. Dari
hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa metafora konseptual dapat digunakan
untuk mengetahui bagaimana penutur memandang suatu konsep.
Kedua, Candra Putri Rachmawati (2015) dalam tesisnya yang berjudul
“Metafora Konseptual Language dalam Bahasa Inggris” yang juga meneliti
mengenai tuturan-tuturan yang mengandung suatu konsep, dalam hal ini konsep
language. Tujuan dari penelitian ini serta kesimpulan yang didapatkan ini kurang
lebih lama dengan penelitian yang dilakukan oleh Yonatri. Perbedaan antara
kedua penelitian tersebut terletak pada ranah sasaran yang dikaji.
Ketiga, penelitian yang juga mengkaji ranah sasaran berupa konsep, yakni
konsep cinta, dilakukan oleh Dian Mukhlisa (2014) dengan judul “Metafora Cinta
dalam Karya-Karya Shakespeare”yang bertujuan untuk melihat sistem konsep
metafora cinta dalam karya-karya Shakespeare dan mendeskripsikan jenis-jenis
medan semantik metafora cinta berdasarkan hierarki ruang persepsi manusia
menurut Michael C. Haley. Selain itu, penelitian ini juga menelaah cara pandang
Shakespeare terkait cinta yang tercermin dari ungkapan-ungkapan metaforis
9
dalam karya-karyanya serta melihat persentase masing-masing kategori medan
semantik metafora cinta. Dari penelitian ini ditemukan 14 ranah sumber yang
menerangjelaskan cinta, sembilan kategori medan semantik, dan tujuh cara
pandang Shakespeare mengenai cinta.
Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian-penelitian mengenai
metafora konseptual yang telah disebutkan sebelumnya, yakni pada teori yang
digunakan. Perbedaannya terletak pada tujuan penelitian yang ingin dicapai.
Penelitian-penelitian mengenai metafora konseptual sebelumnya bertujuan untuk
mengetahui cara pandang penutur bahasa Inggris mengenai suatu konsep yang ada
di sekitarnya, sedangkan penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran
umum mengenai metafora konseptual, contoh-contoh, serta aneka konsep ranah
sumber dan ranah sasaran. Hal ini dilakukan karena peneliti merasa perlu untuk
menulis sumber bacaan yang berisikan contoh-contoh metafora konseptual bahasa
Inggris secara umum yang disajikan dalam bahasa Indonesia supaya dapat
menjangkau semua kalangan yang ingin mempelajari bahasa Inggris.
Penelitian yang akan ditinjau selanjutnya adalah mengenai metafora dan
strategi penerjemahan metafora. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Albertus
Suwardi (2005) dengan judul “An Analysis on The Translation of The Metaphors
in Danielle Steel‟s The Wedding into Indonesian in Ade Dina Sigarlaki‟s
Pernikahan” yang membahas mengenai strategi penerjemahan metafora,
kesepadanan terjemahan metafora, dan faktor-faktor yang menyebabkan tercapai
atau tidaknya kesepadanan terjemahan terhadap metafora teks sumber. Dari karya
sastra novel tersebut, ditemukan 41 metafora dan lima strategi penerjemahan. Dari
hasil analisis data dan penilaian evaluator, terungkap bahwa sebagian besar
10
penerjemahan metafora adalah sepadan dan ditemukan dua faktor penyebab
kesepadanan dan ketidaksepadanan terjemahan metafora, yakni citra pada
metafora atau simile teks sasaran, dan penafsiran titik kemiripan yang ada dalam
metafora teks sumber.
Kedua, penelitian disertasi yang ditulis oleh Rudi Hartono (2011) yang
berjudul “Penerjemahan Idiom dan Gaya Bahasa (Metafora, Kiasan,
Personifikasi, dan Aliterasi) dalam Novel To Kill a Mockingbird Karya Harper
Lee dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia (Pendekatan Kritik Holistik)”.
Penelitian tersebut memiliki tiga tujuan pokok, yakni (1) mendeskripsikan hasil
analisis terjemahan idiom, gaya bahasa metafora, kiasan, personifikasi, dan
aliterasi dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, (2) mengungkap latar
belakang, pengalaman, kompetensi, dan strategi penerjemah novel yang
berpengaruh pada hasil terjemahannya, (3) mendeskripsikan tanggapan para
pembaca tentang kualitas terjemahan novel To Kill a Mockingbird, dan (4)
menemukan rumusan solusi yang paling tepat untuk penerjemahan novel,
khususnya penerjemahan idiom, gaya bahasa metafora, personifikasi, kiasan, dan
aliterasi dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut, disimpulkan bahwa idiom sudah diterjemahkan dengan metode dan
teknik yang tepat, sedangkan metafora, kiasan, personifikasi, dan aliterasi belum
diterjemahkan dengan metode dengan teknik yang tepat. Untuk latar belakang
penerjemah, tidak cukup relevan dengan dunia penerjemahan novel, sehingga
terjemahan yang dihasilkan belum cukup memuaskan.
Penelitian ketiga yang juga membahas metafora sebagai objek
penelitiannya adalah “Strategi Penerjemahan Metafora Bahasa Indonesia ke dalam
11
Bahasa Inggris dalam Antologi Puisi On Foreign Shores: American Image in
Indonesian Poetry” yang dilakukan oleh Parlindungan Pardede (2013). Dari
penelitian tersebut, temuan yang dihasilkan adalah sebagai berikut: pertama, untuk
menerjemahkan 174 metafora bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris,
digunakan tiga strategi penerjemahan. Kedua, terdapat beberapa strategi
penerjemahan yang kurang tepat digunakan pada penerjemahan metafora puisi
tersebut, karena justru mengacaukan makna pesan dari teks sumber.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian diatas terletak pada
teori strategi penerjemahan metafora yang digunakan, sedangkan perbedaannya
terletak pada teori metafora yang digunakan dan tujuan penelitian ketiga dari
penelitian ini, yakni memprediksi alasan yang melatarbelakangi pemilihan strategi
penerjemahan metafora.
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Metafora
Metafora merupakan bahasa kiasan yang membandingkan dua hal yang
mana terdapat kesamaan antara kedua hal tersebut. Perbandingan kedua hal
tersebut dilakukan secara langsung dan singkat karena tidak menggunakan kata-
kata seperti, bak, bagaikan, dan sebagainya (Keraf, 1984: 139). Ullman (dalam
Sumarsono, 2007: 265) memerikan dua hal sederhana yang menjadi struktur dasar
metafora, yakni sesuatu yang dibandingkan dan sesuatu yang dipakai sebagai
bandingan. Parera (2004: 119) menambahkan satu hal lagi, yakni titik kemiripan
atau kesamaan. Definisi dari para ahli diatas cenderung mengacu pada metafora
dalam ruang lingkup linguistik saja, yang memandang metafora sebagai sebuah
12
fenomena kebahasaan. Konsep metafora yang dikemukakan oleh George Lakoff
dan Mark Johnson pada tahun 1980 dalam bukunya Metaphor We Live By,
merupakan cara pandang terhadap metafora bukan hanya sebagai bagian dari
bahasa saja, namun juga sebagai bagian dari cara berpikir (kognitif) manusia,
yang dinamakan metafora konseptual. Buku lain yang juga mendiskusikan
metafora konseptual adalah yang ditulis oleh Zoltan Kovecses pada tahun 2010
yaitu Metaphor: A Practical Introduction. (2nd edition). Terdapat lima hal yang
diklaim oleh Lakoff dan Johnson (dalam Kovecses, 2010: x) terkait dengan
metafora, yaitu: (1) metafora merupakan serangkaian konsep, bukan hanya
serangkaian kata-kata saja; (2) fungsi dari metafora adalah memahami konsep
tertentu dan bukan hanya ditujukan untuk tujuan artistik atau estetika saja; (3)
metafora biasanya tidak didasarkan pada persamaan; (4) metafora digunakan oleh
orang biasa dalam kehidupan sehari-hari dan bukan hanya oleh orang-orang yang
berbakat dalam bahasa; (5) metafora merupakan perwujudan dari proses berpikir
manusia, bukan hanya sebagai ornamen atau hiasan dalam linguistik. Dari
pendapat para ahli diatas, dapat diketahui bahwa teori metafora konseptual
merupakan perluasan dari teori metafora linguistik. Kata-kata atau ungkapan
metaforis adalah perwujudan atau manifestasi dari metafora konseptual.
Metafora konseptual didefinisikan sebagai ungkapan yang dipahami dari
satu ranah konsep melalui ranah konsep yang lain. Contohnya ketika konsep
kehidupan dipahami melalui konsep perjalanan, konsep teori dipahami melalui
konsep bangunan, konsep cinta dipahami melalui konsep perjalanan, dan lain-lain.
Dapat dilihat dari contoh diatas bahwa terdapat dua ranah yang berperan penting
dalam membentuk metafora konseptual, yang dinamakan ranah sumber dan ranah
13
sasaran. Kehidupan, teori, dan cinta adalah contoh ranah sasaran, sedangkan
perjalanan dan bangunan adalah contoh ranah sumber. Dari konsep-konsep
tersebut, terbentuklah metafora konseptual dengan struktur RANAH SASARAN
ADALAH RANAH SUMBER, yakni KEHIDUPAN ADALAH PERJALANAN,
TEORI ADALAH BANGUNAN, dan CINTA ADALAH PERJALANAN.
Dibawah ini akan dipaparkan klasifikasi berdasarkan ranah sumber dan ranah
sasaran secara ringkas.
1.6.1.1 Ranah Sumber
Berdasarkan studi literatur mengenai metafora yang dilakukan oleh Zoltan
Kovecses (2010) dari berbagai penelitian metafora serta bermacam macam kamus
metafora seperti Collins Cobuild English Guides 7: Metaphor, bagian metafora
dalam Rodale‟s Phrase Finder, the Metaphor Dictionary, the Dictionary of
Everyday English Metaphor, Roget‟s Thesaurus dan daftar metafora konseptual
seperti Master Metaphor List, ditemukan sejumlah ranah sumber dan ranah
sasaran yang secara kuantitatif memiliki frekuensi kemunculan yang tinggi, yang
dimuat dalam bukunya yang berjudul Metaphor: A Practical Introduction (2nd
edition). Di bawah ini akan diuraikan satu per satu ranah sumber dan ranah
sasaran tersebut secara ringkas.
1. Tubuh Manusia
Di dalam berbagai penelitian metafora yang disurvey oleh Kovecses, ungkapan
metaforis yang berhubungan dengan tubuh manusia menduduki urutan pertama
terbanyak. Hal ini tidaklah mengherankan sebab tubuh manusia berserta
anggotanya adalah sesuatu yang konkrit dan yang paling dekat dengan manusia
14
itu sendiri sehingga banyak dari ungkapan metaforis yang langsung dikaitkan
dengan tubuh manusia.
2. Kesehatan dan Keadaan Sakit
Ranah ini cukup dekat dengan tubuh manusia, karena tubuh manusia apabila
dirawat dengan baik akan menjadi sehat, akan tetapi apabila kurang dijaga
maka akan mudah sakit. Sifat-sifat dari kesehatan dan keadaan sakit juga
memiliki frekuensi tinggi dalam pemakaian metafora.
3. Hewan
Seringkali manusia disamakan dengan hewan dalam hal sifat atau karakter,
seperti halnya hewan babi yang menyenangi kubangan, maka manusia yang
suka hal-hal yang kotor dan jorok dapat juga dijuluki babi. Dengan
membandingkan dengan sifat hewan seperti contoh diatas, akan lebih mudah
memahami manusia.
4. Tumbuh-tumbuhan
Ungkapan metaforis yang berhubungan dengan tumbuhan meliputi bagian-
bagian tumbuhan (mis: daun, batang, bunga, buah), kegiatan manusia yang
berhubungan dengan tumbuhan (mis: menanam, menyiram, memetik,
memangkas) serta tahapan-tahapan dalam pertumbuhan tanaman.
5. Bangunan dan Konstruksi
Manusia membangun rumah untuk tempat tinggal dan bangunan-bangunan
lainnya yang berfungsi untuk perkantoran, sarana pendidikan, sarana
kesehatan, dan lain-lain. Ranah ini terutama berhubungan dengan bangunan
seperti rumah beserta bagian-bagiannya, serta tahapan-tahapan dalam
pembangunan rumah.
15
6. Mesin dan Peralatan
Manusia menggunakan mesin dan peralatan untuk memudahkan mereka dalam
mengerjakan kegiatan dan pekerjaan sehari-hari. Segala hal yang berkaitan
dengan mesin dan peralatan serta aktivitas yang berkaitan dengan kedua hal
tersebut seringkali dijadikan ranah sumber dalam metafora.
7. Permainan dan Olahraga
Permainan dan olahraga adalah dua hal yang dapat menghibur dan
menyegarkan pikiran manusia. Hal-hal yang berkaitan dengan kedua hal
tersebut sering muncul sebagai ranah sumber dalam metafora.
8. Uang dan Transaksi Ekonomi (Bisnis)
Ranah ini berkaitan dengan aktivitas yang berhubungan dengan uang dan
transaksi ekonomi yang seringkali melibatkan penggunaan uang dan komoditas
secara umum.
9. Memasak dan Makanan
Memasak sebagai salah satu kegiatan manusia sehari-hari terdiri atas beberapa
unsur, seperti orang yang memasak, resep, bahan-bahan untuk memasak, cara-
cara memasak, dan juga hasil/produk dari memasak yakni makanan. Ranah ini
berkaitan erat dengan aktivitas memasak beserta unsur-unsurnya dan produk
dari memasak yakni makanan.
10. Panas dan Dingin
Panas dan dingin adalah pengalaman yang sangat mendasar, yang dijangkau
manusia melalui indera perabanya. Manusia merasakan panas dan dingin
sebagai akibat dari suhu udara sekitar. Kedua hal yang sangat bertolak
16
belakang ini seringkali dipakai untuk menggambarkan perilaku manusia
terhadap manusia yang lain atau sesuatu hal.
11. Terang dan Gelap
Cahaya dan kegelapan dapat dirasakan manusia melalui indera penglihatannya.
Hal-hal yang berkaitan dengan cahaya dan kegelapan seringkali muncul dalam
bentuk kondisi cuaca apabila manusia berbicara dan berpikir secara metaforis.
12. Kekuatan
Ranah ini merefleksikan kekuatan dalam berbagai bentuk dan aktivitas pelaku.
Bentuk kekuatan secara fisik yang dapat dirasakan manusia contohnya
gelombang air/ombak, angin, badai, dan api. Aktivitas pelaku yang
menggunakan kekuatan contohnya mendorong, menarik, memaksa, dan lain-
lain.
13. Gerakan dan Arah
Ranah ini melibatkan perubahan lokasi atau bisa juga tidak melibatkan
perubahan lokasi alias statis. Apabila gerakan tersebut disertai perubahan
lokasi, maka gerakan akan mengarah kedepan dan kebelakang, keatas dan
kebawah.
1.6.1.2 Ranah Sasaran
1) Emosi
Ranah emosi adalah ranah yang frekuensi kemunculannya tinggi dalam
metafora. Konsep emosi seperti marah, takut, cinta, bahagia, sedih, malu,
bangga, dapat dipahami melalui metafora konseptual. Ranah sumber untuk
konsep emosi biasanya melibatkan kekuatan.
17
2) Hasrat
Dalam hal metafora konseptual, hasrat memiliki persamaan dengan emosi.
Hasrat juga dapat dipahami melalui konsep kekuatan, bukan hanya dalam hal
fisik, tetapi juga fisiologis seperti rasa lapar dan haus. Selain kekuatan, rasa
panas juga dapat digunakan untuk memahami ranah ini.
3) Moral
Moral dapat dibagi menjadi dua, yakni moral baik dan moral yang buruk,
seperti kejujuran, keberanian, ketulusan, rasa hormat, dan kebalikannya. Ranah
moral dapat dipahami melalui ranah sumber transaksi ekonomi, kekuatan,
cahaya, kegelapan, dan lain sebagainya.
4) Pikiran
Ranah ini berhubungan dengan cara metafora menggambarkan pemikiran
sebagai sesuatu yang dapat dijangkau oleh indera manusia, seperti penglihatan,
sehingga pemikiran yang tadinya abstrak dapat lebih mudah dipahami.
5) Masyarakat/Negara
Masyarakat/Negara adalah hal yang sangat luas dan kompleks. Ranah ini
umumnya dipahami melalui ranah sumber seseorang, keluarga, mesin, dan
tubuh manusia.
6) Politik
Politik berhubungan sengan kekuatan, terutama kekuatan fisik. Politik dapat
dipahami melalui ranah sumber permainan, olahraga, bisnis, dan perang.
7) Ekonomi
Ranah sumber yang paling sering dihubungkan dengan ekonomi adalah
bangunan, tumbuh-tumbuhan, dan perjalanan (gerakan, arah)
18
8) Hubungan Manusia
Pertemanan, hubungan cinta, dan pernikahan termasuk konsep hubungan
manusia yang paling umum. Konsep hubungan seperti diatas secara metaforis
dapat dipandang melalui ranah sumber tumbuh-tumbuhan, bangunan, dan
mesin.
9) Komunikasi
Manusia berkomunikasi dengan mengirimkan pesan yang berupa ekspresi
linguistik, yang melibatkan pembicara sebagai penyampai pesan dan pendengar
sebagai menerima pesan. Secara metaforis, elemen-elemen pembentuk proses
berkomunikasi ini dapat dipahami melalui ranah sumber wadah, objek, dan
proses mengirim pesan.
10) Waktu
Waktu adalah konsep abstrak yang tidak mudah untuk dipahami. Cara
memahami waktu melalui metafora adalah dengan menggambarkan waktu
sebagai objek yang bergerak.
11) Kehidupan dan Kematian
Kehidupan digambarkan sebagai perjalanan yang memiliki tujuan akhir, yang
secara metaforis dihubungkan dengan hari, cahaya, kehangatan, dan lain-lain.
Kelahiran manusia dimaknai sebagai kedatangan, sedangkan kematian
dimaknai sebagai keberangkatan, seperti halnya malam, kegelapan, dan rasa
dingin.
12) Agama
Kunci pokok dari agama adalah hubungan manusia secara vertikal dengan
Tuhan YME dan secara horisontal dengan manusia yang lainnya. Ranah agama
19
menggambarkan Tuhan sebagai seseorang. Aspek lain dari pengalaman agamis
yang metaforis adalah keabadian, kehidupan setelah kematian, dan lain-lain.
13) Peristiwa dan Aksi
Aspek-aspek dari peristiwa dan aksi seringkali digambarkan melalui ranah
sumber gerakan dan arah. Aspek-aspek tersebut meliputi perubahan, penyebab,
tujuan, cara, dan lain-lain.
1.6.2 Penerjemahan
Menerjemahkan merupakan kegiatan yang melibatkan dua bahasa, yakni
bahasa sumber (Bsu) dan bahasa sasaran (Bsa). Menurut Kridalaksana (2008: 181)
pada proses penerjemahan sedapat mungkin ditekankan pada pemertahanan
makna sehingga terjemahannya menjadi baik dan mudah dimengerti oleh
pembaca.
Kegiatan penerjemahan yang meliputi pengalihan amanat antarbudaya dan
antarbahasa dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran tentu saja melalui
serangkaian proses penerjemahan. Nababan (2003: 25) membagi proses
penerjemahan menjadi tiga tahap, sedangkan Nida dan Taber (dalam Suryawinata
& Hariaynto, 2003: 19) menambahkan satu tahap lagi, yakni tahap evaluasi dan
revisi. Berikut merupakan keempat tahap yang dimaksud.
1) Analisis teks bahasa sumber
Tahap pertama dalam menerjemahkan teks adalah dengan menganalisis teks
bahasa sumber terlebih dahulu sembari memahami isi teks tersebut.
Pemahaman yang baik mencakup pemahaman mengenai unsur linguistik serta
ekstralinguistik dari teks bacaan tersebut.
20
2) Pengalihan pesan
Setelah menganalisis bahasa sumber, tahap kedua adalah menemukan padanan
kata yang dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Pesan yang
terkandung dalam teks harus mampu diungkapkan sepadan mungkin ke dalam
bahasa sasaran.
3) Restrukturisasi
Pada tahap ketiga ini, penerjemah berusaha mencari padanan kata, ungkapan,
dan struktur kalimat yang sesuai dalam Bsa sehingga isi, makna, pesan yang
terkandung dalam teks Bsu dapat tersampaikan dengan baik dalam Bsa.
4) Evaluasi dan revisi
Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dimana hasil tahap restrukturisasi
atau hasil terjemahan dievaluasi dengan cara mencocokkan kembali dengan
teks Bsu dan melihat apakah kesepadanan antara teks Bsu dengan Bsa sudah
tercapai. Apabila belum tercapai, maka akan dilakukan revisi.
1.6.3 Strategi Penerjemahan Metafora
Seperti yang telah diuraikan dalam latar belakang penelitian ini, bahwa
menerjemahkan metafora tidaklah mudah dan kerap kali menimbulkan sejumlah
permasalahan. Metafora kurang tepat apabila diterjemahkan secara harfiah karena
tiap bahasa memiliki keunikan serta perbedaan budaya. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, Larson (1984: 276) menyarankan lima cara untuk
menerjemahkan metafora, yakni:
a. Metafora tetap dipertahankan apabila dirasa jelas dan wajar bagi pembaca.
21
b. Metafora dapat diterjemahkan menjadi simile dengan cara menambahkan
kata-kata seperti, bagai, bagaikan, dll.
c. Metafora dalam bahasa sumber dapat ditransfer ke dalam metafora dalam
bahasa sasaran yang memiliki makna yang sama.
d. Metafora dapat dipertahankan dengan cara menjelaskan maknanya atau
menambahkan topik pembicaraan, atau titik kemiripannya.
e. Makna metafora dijelaskan tanpa menggunakan citra metaforisnya.
Newmark (1981: 88-91) juga meyakini bahwa metafora dapat
diterjemahkan melalui strategi penerjemahan. Tujuh strategi yang disarankan oleh
Newmark, yakni:
a. Menerjemahkan metafora menjadi metafora yang sama dalam bahasa sasaran.
b. Mengganti citra dalam bahasa sumber dengan citra yang berterima dalam
bahasa sasaran, atau menerjemahkan metafora menjadi metafora lain namun
maknanya sama.
c. Menerjemahkan metafora menjadi simile dengan tetap mempertahankan citra.
d. Menerjemahkan metafora menjadi simile dengan deskripsi atau informasi
tambahan.
e. Menerjemahkan metafora dengan mengubahnya menjadi makna harfiah.
f. Menghapus metafora apabila dirasa tidak ada manfaatnya.
g. Mempertahankan bentuk metafora namun dikombinasikan dengan deskripsi
atau informasi tambahan.
Strategi penerjemahan metafora yang disarankan oleh dua pakar
penerjemahan diatas memiliki kesamaan, sehingga dapat dibuat paduan dari teori
tersebut. Kelima strategi penerjemahan metafora yang diusulkan oleh Larson
22
(1984) sama dengan yang diusulkan oleh Newmark (1981). Yang membedakan
adalah Newmark (1981) menambahkan dua strategi penerjemahan metafora, yakni
penambahan deskripsi atau informasi tambahan pada simile dan penghapusan
metafora (metaphor to zero). Untuk menyesuaikan dengan objek yang akan
dibahasa dalam penelitian ini, yakni metafora konseptual, maka istilah „citra‟ pada
strategi penerjemahan metafora akan digantikan oleh istilah „ranah sumber (Rsu)‟.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dimana data serta fenomena
penelitian ini dideskripsikan secara sistematis, tepat, serta akurat Djajasudarma,
1993: 9). Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data
sekunder, yakni novel berbahasa Inggris karangan J.K Rowling yang berjudul
Harry Potter and The Sorcerer‟s Stone dan novel terjemahan berbahasa Indonesia
yang berjudul Harry Potter dan Batu Bertuah. Objek penelitian dalam tulisan ini
adalah metafora, sedangkan data penelitian ini adalah kosakata dan frase yang
mengandung makna metafora, baik dari bahasa Inggris beserta terjemahannya
dalam bahasa Indonesia. Data penelitian dibatasi pada ungkapan metaforis yang
mengandung kata, dan frase selain preposisi dan frase preposisi. Langkah pertama
yang dilakukan yakni data yang berkemungkinan mengandung makna metafora
dikumpulkan, selanjutnya data tersebut diidentifikasi dengan seksama. Peneliti
menggunakan dua cara untuk mengidentifikasi metafora, yakni:
1) Mencari makna literal atau makna dasar dari kosakata menggunakan kamus
online (Oxford Learner‟s Dictionary dan Macmillan Dictionary). Metafora
23
mempunyai makna figuratif atau makna kiasan, yakni makna selain makna
literal atau makna dasar. Dalam mengidentifikasi metafora melalui pencarian
makna figuratifnya di dalam kamus, peneliti memastikan supaya data yang
tersaring tidak tertukar dengan konstruksi bahasa kiasan lainnya seperti
idiom, dengan cara mendeteksi unsur-unsur pembentuk metafora, yakni ranah
sumber (Rsu), ranah sasaran (Rsa), dan titik kesamaan antara keduanya.
2) Menggunakan prosedur identifikasi metafora yang disebut dengan MIP
(Metaphor Identification Procedure) yang didesain oleh sekelompok peneliti
yang menamakan dirinya sebagai Pragglejaz Group (Kovecses, 2010: 5),
yakni dengan cara mencari makna kosakata tersebut di dalam konteks
kalimat. Kosakata yang mengandung metafora mempunyai makna
kontekstual dan makna leksikal yang berbeda, akan tetapi masih memiliki
kaitan satu sama lain.
1.7.2 Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul, dilakukan analisis data yang melibatkan
pencatatan data ke dalam tabel. Setelah mengidentifikasi metafora, data diberi
nomor, kemudian diurutkan dan diklasifikasikan berdasarkan ranah sumber (Rsu)
dan ranah sasaran (Rsa) menurut Kovecses (2010).
Setelah dilakukan klasifikasi ranah sumber (Rsu) dan ranah sasaran (Rsa),
langkah berikutnya adalah menentukan data hasil terjemahan metafora mana saja
yang akan dianalisis untuk keperluan klasifikasi strategi penerjemahan metafora.
Langkah ini penting dilakukan karena tidak semua data metafora hasil
penerjemahan dalam bahasa sasaran (Bsu) memenuhi kriteria penerjemahan yang
baik. Data hasil terjemahan metafora yang akan dianalisis menurut strategi
24
penerjemahannya adalah data yang sepadan, berterima, serta wajar menurut intuisi
lingual penulis sebagai penutur asli bahasa sasaran.
Setelah dilakukan klasifikasi strategi penerjemahan metafora, langkah
berikutnya yakni menghitung persentase masing-masing penggunaan strategi
penerjemahan dalam data hasil terjemahan metafora secara keseluruhan. Langkah
terakhir adalah memprediksi alasan penggunaan strategi tertentu yang dipilih oleh
penerjemah dalam menerjemahkan metafora dalam novel tersebut.
1.7.3 Metode Penyajian Analisis Data
Setelah semua data dianalisis, hasil penelitian kemudian dituangkan ke
dalam tulisan berupa kata-kata dengan maksud supaya mudah dipahami dan
dimengerti oleh pembaca. Metode penyajian semacam ini disebut sebagai metode
informal, yakni penyajian dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993: 145). Selain
penyajian informal, data penelitian juga disajikan dalam bentuk visual, yakni
berupa tabel yang berisikan angka persentase.
1.8 Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian laporan penelitian ini selanjutnya akan dibagi
menjadi lima bab. Bab I yakni pendahuluan yang berisikan latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
landasan teori, hipotesis, metode penelitian, serta sistematika penyajian. Bab II
berisikan mengenai aneka ranah sumber dan ranah sasaran yang mendasari
metafora konseptual yang terdapat pada novel Harry Potter and The Sorcerer‟s
Stone. Dalam bab III peneliti akan memaparkan berbagai jenis strategi yang
digunakan penerjemah dalam menerjemahkan metafora dari novel Harry Potter
25
and The Sorcerer‟s Stone ke dalam novel Harry Potter dan Batu Bertuah. Bab IV
berisikan mengenai alasan yang melatarbelakangi pemilihan strategi dalam
menerjemahkan metafora dari novel Harry Potter and The Sorcerer‟s Stone ke
dalam novel Harry Potter dan Batu Bertuah. Bab V merupakan bab penutup yang
akan memuat kesimpulan serta saran.