34
Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Studi ini dipicu oleh menggejalanya politik klan yang terlihat dari tampilnya kekuatan Klan Qahhar Mudzakkar dalam pentas politik di Sulawesi Selatan. Nama Qahhar Mudzakkar yang dalam wacana politik nasional diidentikkan dengan pemberontak (DI/TII), terbukti memiliki kekuatan politik yang signifikan bagi keturunannya untuk berkompetisi menduduki jabatan politik di Sulawesi Selatan. Kajian ini mencoba untuk melihat bagaimana pola relasi kuasa dalam politik klan terkait dengan sumber daya yang mereka gunakan dan implikasinya terhadap masa depan demokrasi Indonesia. Dengan menguraikan hadirnya politik klan khususnya di tingkat lokal, studi ini memberikan update bagi pemahaman fenomena politik lokal dalam demokrasi yang berkembang pasca reformasi di Indonesia. Demokratisasi dan desentralisasi telah membuka peluang bagi perubahan dinamika politik lokal di berbagai daerah. Kajian politik lokal di Indonesia menunjukkan bahwa transisi konstitusional tersebut telah melahirkan dominasi kekuasaan. Hampir di semua daerah mengindikasikan hal tersebut, sehingga dengan mudah akan kita temukan adanya orang kuat lokal maupun kembalinya entitas politik masa lalu yang mendominasi kekuasaan (Dwipayana, 2004; Hadiz, 2005; Nordholt, 2007; Palmer, 2010; dan Luthfillah, 2012). Dalam dinamika ini, para aktor politik di tingkat lokal menjalankan mobilisasi politik berdasarkan identitas (misalnya: klan, suku, agama dan bahasa) dan jaringan (misalnya birokrat dan pengusaha), dimana hasilnya menunjukkan bahwa kandidat dengan jejaring personal (personal network) terkuat yang akan memenangkan pemilihan (Supriatma, 2009; Buehler, 2009). Seperti misalnya oligarki politik di Sumatera Utara, keluarga politik Chasan Sochib di Provinsi Banten, di Sulawesi Selatan dengan keluarga Yasin Limpo dan Qahhar Mudzakkar, atau revivalitas bangsawan (misalnya keraton dan karaeng), serta transformasi GAM di Aceh. Selain itu, masih banyak lagi di provinsi dan kabupaten/kota lain di Nusantara.

Bab I Pendahuluan A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68842/potongan/S2-2014... · keturunannya untuk berkompetisi menduduki jabatan politik di Sulawesi Selatan

  • Upload
    lexuyen

  • View
    227

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Studi ini dipicu oleh menggejalanya politik klan yang terlihat dari tampilnya

kekuatan Klan Qahhar Mudzakkar dalam pentas politik di Sulawesi Selatan. Nama

Qahhar Mudzakkar yang dalam wacana politik nasional diidentikkan dengan

pemberontak (DI/TII), terbukti memiliki kekuatan politik yang signifikan bagi

keturunannya untuk berkompetisi menduduki jabatan politik di Sulawesi Selatan.

Kajian ini mencoba untuk melihat bagaimana pola relasi kuasa dalam politik klan

terkait dengan sumber daya yang mereka gunakan dan implikasinya terhadap masa

depan demokrasi Indonesia. Dengan menguraikan hadirnya politik klan khususnya di

tingkat lokal, studi ini memberikan update bagi pemahaman fenomena politik lokal

dalam demokrasi yang berkembang pasca reformasi di Indonesia.

Demokratisasi dan desentralisasi telah membuka peluang bagi perubahan

dinamika politik lokal di berbagai daerah. Kajian politik lokal di Indonesia

menunjukkan bahwa transisi konstitusional tersebut telah melahirkan dominasi

kekuasaan. Hampir di semua daerah mengindikasikan hal tersebut, sehingga dengan

mudah akan kita temukan adanya orang kuat lokal maupun kembalinya entitas politik

masa lalu yang mendominasi kekuasaan (Dwipayana, 2004; Hadiz, 2005; Nordholt,

2007; Palmer, 2010; dan Luthfillah, 2012). Dalam dinamika ini, para aktor politik di

tingkat lokal menjalankan mobilisasi politik berdasarkan identitas (misalnya: klan,

suku, agama dan bahasa) dan jaringan (misalnya birokrat dan pengusaha), dimana

hasilnya menunjukkan bahwa kandidat dengan jejaring personal (personal network)

terkuat yang akan memenangkan pemilihan (Supriatma, 2009; Buehler, 2009).

Seperti misalnya oligarki politik di Sumatera Utara, keluarga politik Chasan Sochib

di Provinsi Banten, di Sulawesi Selatan dengan keluarga Yasin Limpo dan Qahhar

Mudzakkar, atau revivalitas bangsawan (misalnya keraton dan karaeng), serta

transformasi GAM di Aceh. Selain itu, masih banyak lagi di provinsi dan

kabupaten/kota lain di Nusantara.

2 Bab I: Pendahuluan

Fenomena munculnya sentimen kekeluargaan dalam politik lokal di

Indonesia dipahami sebagai hasil kombinasi tekanan politik sentripugal (sentralisasi)

pada masa Suharto dan tekanan politik sentripetal (desentralisasi) pasca Suharto

(Nordholt, 2005). Meskipun di awal-awal pelembagaan desentralisasi pola ini belum

terlihat, akan tetapi memasuki dekade kedua pasca reformasi, kecenderungan pada

semakin oligarkisnya kekuasaan politik lokal semakin terlihat nyata. Berbagai

kesimpulan pun telah diajukan, bahwa transisi konstitusional ini bukanlah demokrasi

(Robison & Hadiz, 2004). Kehadiran keluarga misalnya, Thomas Meyer (2002: 50)

menyebutkan bahwa kelompok kekuasaan berdasarkan keturunan adalah salah satu

musuh demokrasi yang dapat menimbulkan ancaman struktural terhadap demokrasi.

Budaya ataupun struktur sosial masyarakat adalah pemicu dalam konteks ini. Pada

akhirnya, terkait dengan proses demokratisasi di Indonesia, kini para ilmuwan politik

menemukan kritik telak terhadap demokrasi Schumpeterian, yang tidak melihat

faktor budaya dan segmentasi masyarakat sebagai sumber legitimasi politik.

Larry Diamond, Juan Linz dan Seymour Martin Lipset (1990) sebetulnya

sudah menjelaskan bekerjanya kekuatan “budaya” – misalnya kekerasan, patronase

termasuk kekerabatan – yang menghasilkan demokrasi semu (pseudo democracy).

Dalam logika tersebut, keberadaan lembaga politik demokrasi secara formal

mengakibatkan dominasi kekuasaan menjadi tidak kasat mata (Dwipayana, 2004: 6,

154).1 Akan tetapi, desakan globalisasi dan dukungan modernisasi saat ini telah

“memaksa” banyak negara mendemokratisasikan dirinya. David Held (2007)

menguraikan bahwa walaupun saat ini banyak negara menganut paham demokrasi,

tetapi sejarah politiknya mengungkapkan adanya kerapuhan dan kerawanan tatanan

demokrasi. Dengan melihat sejarah Eropa pada abad ke-20, demokrasi merupakan

sebuah sistem yang sulit untuk diwujudkan dan dijaga (Dahl, 2001: 197).

Kesimpulannya, demokrasi dalam perjalanan sejarahnya membentuk berbagai

macam varian-varian transisi yang berbeda. Mengutip istilah Huntington (1990),

1 “Juan Linz, Seymour Martin Lipset, and I term these regimes pseudo-democracies, because the

existence of formally democratic political institutions, such as multiparty electoral competition,

masks (often in part to legitimate) the reality of authoritarian domination.” Lihat Larry Diamond

(2003), “Defining and Developing Democracy” dalam R. Dahl, I. Shapiro & J. A. Cheibub (eds)

The Democracy Sourcebook, Cambridge: The MIT Press, halaman 37.

3 Bab I: Pendahuluan

demokrasi dalam kaitannya dengan budaya di berbagai negara adalah sebuah clash of

civilization.

Pada akhirnya, perdebatan ilmiah mengenai demokrasi demikian berlanjut,

dan dengan jawaban berbeda. Seymour Martin Lipset (1950), menghubungkan

demokrasi yang stabil dengan kondisi latar belakang ekonomi dan sosial tertentu,

seperti pendapatan per kapita yang tinggi. Almond dan Verba (1989) mengatakan

sistem politik yang demokratis menuntut adanya keserasian budaya politik, misalnya

sikap kewargaan. Robert A. Dahl (2001) berpendapat bahwa stabilitas demokrasi

memerlukan komitmen untuk aturan lembaga demokrasi, bukan di masyarakat

(pemilih), tetapi di antara elit politik profesional sebagai representasi politik melalui

ikatan politik yang efektif, yang sering dia sebut sebagai poliarchy. Begitu halnya

Guillermo O‟Donnell, Philippe C. Schmitter, dan Laurence Whitehead (1993) yang

cenderung pada pendekatan agensi, dimana demokrasi sangat tergantung pada peran

dan kepentingan elit politik. Akhirnya, Aurel Croissant (2004), merangkum

keseluruhan jawaban-jawaban tersebut melalui kesimpulannya tentang demokrasi di

Asia, dimana stabilitas demokrasi dipengaruhi oleh kondisi sosial dan ekonomi;

budaya politik dan sejarah kolonial; kenegaraan dan pembangunan bangsa; dan

lembaga-lembaga politik. Debat ilmiah ini memang berkelindan dengan kondisi

praktik demokrasi negara-negara global south seperti Indonesia, yang seringkali

disebut sebagai transisi demokrasi.

Dalam konteks transisi demokrasi, kecenderungan para pengkaji politik saat

ini memahami praktik dominasi dalam demokrasi, lebih pada perspektif aktor. Para

ilmuwan sampai pada kesimpulan bahwa aktor politik adalah penentu dari lahirnya

dominasi. Gagasan ini tentunya menimbulkan pertanyaan, apakah “kegagalan”

praktik demokrasi, sejatinya disebabkan oleh aktor? Agensi dianggap sosok yang

memiliki kekuatan “super” yang bisa merubah – menentukan pembukaan

kesempatan ataupun sebaliknya – bagi praktik demokrasi (O‟Donnell et.al, 1993).

Untuk itu, perlunya kita memikirkan kembali bahwa terdapat sisi lain yang juga

memberi peluang kuatnya praktik dominasi dalam demokrasi. Ataupun

memungkinkan bagi kita untuk sampai pada kesimpulan besar bahwa dalam konteks

tertentu kedua hal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi perkembangan

demokrasi.

4 Bab I: Pendahuluan

Di Indonesia, kasus-kasus pasca reformasi menjadi sebuah “laboratorium”

untuk teori demokrasi. Berbagai kesimpulan pun telah diajukan oleh ilmuwan politik

dalam mengkaji demokrasi di Indonesia. Sebagian menyebutnya sebagai masa

transisi demokrasi atau konsolidasi demokrasi, dan sebagian yang lain menolak

pendapat tersebut. Defective Democracy, Deficit Democracy, Politicizing

Democracy, Changing Continuities, dan Patronage-Based Democracy adalah

sebagian dari berbagai gagasan untuk menjelaskan praktik demokrasi di Indonesia,

baik dalam ranah nasional dan lokal (Croissant, 2004; Priyono et.al., 2007; Harris,

et.al., 2005; Nordholt, 2005, 2007; Palmer, 2010). Untuk itulah, sampai saat ini kasus

menguatnya oligarki politik dekade kedua reformasi khususnya dalam politik lokal,

memberikan banyak pertanyaan bagi para peneliti untuk menjawab pengaruhnya

terhadap perkembangan masa depan demokrasi Indonesia.

Ketika ditelisik lebih jauh tentang studi politik lokal yang ada dalam domain

modalitas politik, secara teoritis para keluarga/kerabat/kelompok politik

menggunakan berbagai modal sebagai basis legitimasi kekuasaan. Pada umumnya,

dari sekian banyak kesimpulan tersebut, mayoritas studi-studi di Indonesia lebih

melihat pada pasca keberhasilan mereka (baca: oligarki) dan proses-proses tata

kelola politik pemerintahan yang mereka lakukan – kepiawaian mengelola modal

politik – sebagai pejabat, pengusaha, ataupun bangsawan (Dwipayana, 2004;

Hidayat, 2007; Haboddin, 2010; Lutfillah 2012). Berangkat dari fenomena ini yang

kemudian melatarbelakangi studi tentang Klan Qahhar Mudzakkar. Saya mencoba

untuk melihat lebih kedepan lagi pada pertanyaan mengapa dan bagaimana mereka

hadir? Selain itu, terdapat karekteristik yang berbeda dari kasus yang diteliti dalam

studi ini dengan studi-studi yang telah dihasilkan, terkait bahwa hadirnya Klan

Qahhar Mudzakkar yang menduduki jabatan politik di tingkat pusat dan daerah,

bukan dari golongan bangsawan, pejabat, ataupun memiliki basis ekonomi yang kuat

(pengusaha). Realita inilah yang menarik untuk diteliti, apa sumber daya yang

menjadi modal politik klan tersebut dan bagaimana modal tersebut bekerja. Oleh

karena itu, dimungkinkan untuk menemukan perspektif lain dalam memahami

fenomena hadirnya oligarki politik di Indonesia.

5 Bab I: Pendahuluan

B. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penelitian ini ditujukan untuk

menjawab pertanyaan “bagaimana relasi hadirnya politik klan dengan demokrasi

dalam kasus Klan Qahhar Mudzakkar di Sulawesi Selatan pasca reformasi?” Adapun

pertanyaan turunan adalah:

1. Apa sumber daya yang dimiliki oleh Klan Qahhar Mudzakkar?

2. Bagaimana sumber daya tersebut mereproduksi kekuasaan?

3. Bagaimana implikasi dari kehadiran mereka terhadap masa depan demokrasi

Indonesia?

Penelitian ini mengajukan beberapa misi utama. Pertama, menjelaskan

kekuatan keluarga yang memperoleh kekuasaan dalam politik lokal di Sulawesi

Selatan. Kedua, menguraikan perkembangan karakteristik terbaru dalam politik lokal

di Indonesia, terkait dengan reproduksi kekuasaan. Terakhir, sebagai perspektif lain

dalam melihat demokasi dan masa depannya di Indonesia.

C. Tinjauan Pustaka: Karakteristik Politik Lokal

Terkait dengan karakteristik politik lokal di Indonesia, berikut ini akan

diuraikan beberapa studi tentang hal tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk

menjelaskan posisi tulisan ini dengan studi-studi sebelumnya. Selain itu

dimaksudkan untuk melihat letak perbedaan dari karakteristik kekuasaan tersebut.

Dari hasil penelusuran saya, setidaknya ada beberapa karya ilmiah akademis

yang menyinggung secara langsung mengenai praktik politik lokal di beberapa

didaerah pasca reformasi. Akan tetapi, sebelumnya marilah kita sedikit melihat

kebelakang tentang studi dari John T. Sidel (2005) mengenai orang kuat lokal di

Indonesia yang dia sebut dengan Bossism atau bos lokal.

Dalam studi Sidel, secara umum bos lokal adalah local power broker yang

memperoleh posisi monopoli terhadap kekerasan dan sumber daya ekonomi dalam

wilayahnya masing-masing seperti: penguasaan atas kontrak infrastruktur, kontrak

pertambangan atau penebangan kayu, perusahaan transportasi, aktifitas ekonomi

ilegal termasuk diantaranya kemampuan untuk memobilisasi suara, dan vote buying.

Konsep boss berbeda dari patron karena tingkat monopoli diperoleh melalui koersif

sebagai pilar utama dan disisi lain otoritas bos tidak bergantung pada afeksi dan

6 Bab I: Pendahuluan

status, melainkan atas dasar hasrat untuk bertindak. Sidel menyebut demokrasi di

Indonesia merupakan mafia lokal, jaringan dan marga atau klan (2005: 85).

Walaupun studi ini dilakukan pada tahun 2004, sebelum adanya liberalisasi

politik di Indonesia dengan pelaksanaan pemilihan umum secara langsung.2 Namun,

satu hal yang menjadi ketepatan argumen Sidel bahwa dalam konteks Indonesia,

dinasti politik atau orang kuat lokal diperkirakan akan muncul bersamaan dengan

pemilihan langsung. Di lain hal yang menjadi kekurangan, seperti patrimonialisme

yang kurang mendapatkan perhatian serius dalam analisa Sidel mengenai Indonesia.

Kenyataan menunjukkan bahwa dinasti dan oligarki politik yang dibangun

berdasarkan nilai-nilai patrimonial, telah terjadi di beberapa daerah (Nordholt dan

van Klinken: 2007). Satu hal yang menjadi ide utama dalam studi Sidel adalah

adanya liberalisasi politik (demokrasi) di Indonesia dengan pelaksanaan pemilihan

umum lokal secara langsung, berkorelasi dengan hadirnya praktik politik: mafia,

jaringan dan kekerabatan di tingkat lokal.

Studi kedua mengenai politik lokal ditulis oleh Syarif Hidayat (2007). Dalam

studi Syarif Hidayat yang berjudul “Shadow State? Bisnis dan Politik di Provinsi

Banten”, secara umum tulisan ini menjelaskan bagaimana praktik oligarki melalui

pendekatan ekonomi politik. Bagaimana bekerjanya sektor informal dalam

mempengaruhi proses politik dan pemerintahan dalam hal ini diperankan oleh

kelompok Jawara yang di motori oleh TB.Chasan Sochib. Selain itu, monopoli

terhadap kekerasan dan sumber daya ekonomi seperti penguasaan atas kontrak

infrastruktur (premanisme proyek) merupakan cara-cara yang digunakan dalam

langkah awal menjalankan dominasi politik di provinsi Banten. Kekurangan tulisan

ini adalah tidak menjelaskan bagaimana kemudian keluarga Chasan Sochib

membangun dinasti politik dengan menempatkan kerabatnya sebagai elit politik di

beberapa daerah di provinsi tersebut. Informasi penting yang yang bisa dijadikan

referensi adalah modal yang digunakan dan pola-pola reproduksi kekuasaan yang

dilakukan melalui basis ekonomi dan kekerasan.

Studi yang lebih spesifik tentang keluarga politik di provinsi Banten ditulis

oleh Kiki Luthfillah (2012) dalam studinya “Demokrasi dan Kekuasaan dalam

Politik Lokal: Dominasi Kekuasaan Keluarga TB. Chasan Sochib di Provinsi Banten

2 Diterbitkan pertama kali dalam buku dengan editor John Harriss, Kristian Stokke and Olle Törnquist

(2004), “Politicising Democracy: The New Local Politics of Democratisation”, Palgrave Macmillan.

7 Bab I: Pendahuluan

pasca Reformasi.” Studi ini menjelaskan bagaimana dominasi kekuasaan yang

dilakukan oleh Chasan Sochib dengan menempatkan jaringan keluarganya pada

jabatan politik dan pemerintahan. Secara kronologis studi ini menguraikan

bagaimana kemudian keluarga Chasan Sochib menciptakan jaringan kekuasaan di

provinsi Banten. Sejalan dengan tulisan Syarif Hidayat, studi ini banyak melihat dari

perspektif ekonomi politik sebagai modal (sumberdaya) kekuasaan. Mengenai

demokrasi, studi ini menyimpulkan bahwa di era demokratisasi, dominasi kekuasaan

tersebut justru semakin kuat dan meluas. Salah satu penyebabnya adalah lemahnya

kontrol publik terhadap penyelenggara pemerintah daerah. Kesimpulannya adalah

institusi yang lemah mengakibatkan aktor dapat leluasa mendominasi kekuasaan.

Selanjutnya, studi dari Michael Buehler (2007) “Rise of the Clans: Direct

Elections in South Sulawesi”, yang nampaknya merupakan kajian yang lebih dekat

untuk menggambarkan politik kekerabatan di Sulawesi Selatan. Buehler menulis

tentang kebangkitan dari keluarga Yasin Limpo melalui pendekatan aktor. Dengan

metode etnografi, Buehler menguraikan bagaimana sistem dari negara dalam

kaitannya dengan pemilihan umum, birokrasi, dan institusionalisasi partai mampu

dimanipulasi oleh agen. Walaupun dalam tulisan Buehler menggunakankan kata

“clans”, akan tetapi, keluarga Yasin Limpo lebih tepat disebut sebagai dinasti karena

kekuasaan itu sudah ada sebelum desentralisasi politik tahun 2004. Selain itu kajian

yang luput dari studi ini adalah institusi yang tidak dilihat dalam mempengaruhi

aktor untuk menciptakan dominasi kekuasaan dan terkait juga dengan modal yang

menjadi basis kuatnya jaringan dinasti Yasin Limpo sejak orde baru. Gagasan utama

yang dapat disimpulkan mengenai sumber daya kekuasaan adalah berupa jaringan

birokrasi, partai, premanisme, dan uang sebagai modal untuk mereproduksi

kekuasaan. Studi ini menyimpulkan bahwa demokrasi dan desentralisasi

mengakibatkan tidak ada “orang baru” yang memiliki kesempatan nyata untuk

memenangkan pemilihan langsung di Sulawesi Selatan. Gagasannya tentang praktik

demokrasi adalah “Old Elite, New Competition” yang menegaskan tesis Henk

Schulte Nordholt tentang Changing Continuities.

Masih berkaitan dengan Sulawesi Selatan, studi dari Muhtar Haboddin (2010)

tentang “Karaeng dalam Pusaran Politik: Studi Kasus di Kabupaten Jeneponto

Sulawesi Selatan” adalah salah satu dari studi hadirnya bangsawan dalam institusi

8 Bab I: Pendahuluan

politik lokal. Melalui pendekatan local strongmen, argumen utama yang ingin

disampaikan dalam studi ini adalah dominasi bangsawan (dinasti politik) terjadi

ketika desentralisasi dan liberalisasi politik yang berimplikasi pada aktor-aktor

politik lokal. Studi ini juga mulai menyinggung modal kultural/budaya yang menjadi

basis lahirnya kekuasaan yakni hubungan patron-klien, akan tetapi masih dalam

perspektik ekonomi. Dalam konteks demokratisasi, studi ini menolak pandangan

dominan bahwa demokratisasi dan desentralisasi telah membangkitkan sentimen

primordial. Baginya keberhasilan aristokrat dalam menguasai institusi-institusi

politik modern mestinya dibaca sebagai sebuah kreasi yang paling jitu dalam upaya

menghadirkan agensi dalam kancah politik dan kenegaraan.

Selain Haboddin, studi tentang kekuasaan bangsawan ditulis oleh Ari

Dwipayana (2004) yang menjelaskan kembalinya para bangsawan di Surakarta dan

Denpasar. Melalui pendekatan komparatif ruang dan waktu, studi ini menjabarkan

bagaimana genealogi kekuasaan para bangsawan sejak masa kolonial, revolusi

kemerdekaan, orde lama, dan orde baru serta tindakan survivalitas para bangsawan

menghadapi masa transisi demokrasi. Dengan basis ekonomi, kultural, dan partai

politik, para bangsawan di dua kota tersebut berhasil mereposisi kedudukan

politiknya sebagai bentuk revivalitas di era demokratisasi. Studi ini sampai pada

kesimpulan bahwa kekuasaan tersebut menimbulkan kemungkinan “abuse of power”.

Hadirnya para aristokrat pasca reformasi dengan kekuatan ekonomi, politik,

kenegaraan (birokrasi) dan kultural yang digenggam dalam satu tangan dapat

menjadi musibah bagi perkembangan demokrasi di Indonesia atau dalam istilah

Dwipayana, “aristokratisasi demokrasi”.

Mencermati beberapa pustaka di atas, penelitian ini merupakan kajian terbaru

yang akan fokus pada masyarakat untuk melihat bagaimana klan dapat hadir dalam

politik lokal di Indonesia dan pengaruhnya terhadap demokrasi. Berbeda dengan

studi-studi sebelumnya yang lebih cenderung fokus pada pendekatan aktor. Lokus

penelitian dalam studi ini digunakan untuk mempelajari bagaimana norma dan nilai

yang dikandung dalam struktur sosial politik membentuk perilaku individu, dan

bagaimana institusi informal atau budaya dipandang sebagai sistem aturan dan

desakan yang didalamnya individu berusaha untuk memaksimalkan kegunaan

mereka. Pendekatan dalam studi ini menggunakan paparan deduktif yang berawal

9 Bab I: Pendahuluan

dari dalil-dalil teoritis tentang cara institusi bekerja (institusionalis baru) (Mars dan

Stoker, 2011: 113). Mungkin sebaiknya studi ini dipandang kurang lebih sebagai

studi yang melengkapi fenomena kontemporer tentang demokrasi lokal. Studi ini

juga bertujuan untuk menambah khasanah politik lokal di Indonesia yang selama ini

dikenal dengan istilah bossisme, local strongmen, dan dinasti politik.

D. Kerangka Teori

Dalam upaya mengungkap sumber daya sehingga mampu menjadi basis

kekuatan Klan Qahhar Mudzakkar, ada beberapa hal yang perlu dijadikan kerangka

teori. Oleh karena itu, menggunakan beberapa konsep dari Pierre Bourdieu. Konsep

habitus, modal, dan arena digunakan karena secara internal ketiga konsep tersebut

terkait satu sama lain, dan masing-masing dapat mencapai potensi analisis yang

penuh hanya apabila digunakan bersama-sama dengan yang lain. Sedangkan doxa

merupakan bagian dari produk ketiga konsep tersebut (Wacquant, 2007: 270).

Penggunaan konsep modal dan arena, dipinjam untuk menjelaskan bagaimana kedua

konsep ini sebagai alat reproduksi kekuasaan, sedangkan untuk melihat sumber

legitimasi kekuasaan digunakan konsep habitus dan doxa. Untuk menjawab

implikasi terhadap demokrasi akan diuraikan perdebatan teoritik mengenai

demokrasi Indonesia. Selain itu, beberapa argumentasi awal untuk memahami

penggunaan konsep klan dalam studi ini.

Mendefinisikan Politik Klan

Penggunaan politik klan dalam studi ini bermaksud untuk menjelaskan politik

yang dijalankan oleh keluarga untuk memperoleh kekuasaan. Penggunaan istilah

klan disini juga menggambarkan hal yang sama dengan penggunaan istilah oligarki

politik dalam studi yang lain.

Berdasarkan hasil penelusuran saya, belum banyak studi yang menjelaskan

pengertian politik klan secara spesifik. Hal ini disebabkan oleh arti dari klan itu

sendiri yang umumnya berarti keluarga/kelompok. Klan di gambarkan sebagai suku,

yang dalam bahasa Gaelic Skotlandia dan Irlandia, clan berarti anak. Sementara itu,

istilah klan lebih banyak digunakan dalam bidang antropologi sebagai analisis sistem

kekerabatan yang didefinisikan sebagai sebuah kelompok sosial yang permanen

10 Bab I: Pendahuluan

berdasarkan keturunan langsung atau fiktif (dugaan) dari nenek moyang yang sama

(Kirchhoff, 1955; Kontjaraningrat, 1974). Para antropolog menggunakannya sebagai

analisis dalam studi masyarakat primitif. Namun, istilah ini kemudian digunakan

untuk menjelaskan masyarakat modern. Misalnya penggunaan istilah klan di negara

pasca Soviet, cukup umum untuk berbicara tentang klan mengacu pada jaringan

informal dalam bidang ekonomi dan politik (Kosals, 2007: 72). Penggunaan ini atas

asumsi bahwa anggota mereka bertindak terhadap satu sama lain dalam cara yang

sangat dekat dan saling mendukung kurang lebih sama dengan solidaritas di dalam

keluarga.

Selain itu, terdapat istilah yang biasa digunakan dalam menjelaskan

fenomena keluarga politik, misalnya politik dinasti. Pada akhirnya, para akademisi

lebih banyak menggunakan politik dinasti untuk menjelaskan bagaimana politik

dalam lingkaran keluarga karena definisinya yang mudah dipahami. Kamus Oxford,

Advanced Learner‟s Dictionary mendefinisikannya sebagai “a period of years during

which members of a particular family rule a country”. Dinasti politik didefinisikan

sebagai suatu periode tahun di mana anggota keluarga tertentu memerintah sebuah

negara. Singkatnya bahwa politik dinasti adalah bagian dari produksi kekuasaan yang

dilakukan oleh keluarga dalam struktur sosial dan politik yang kemudian berlanjut

secara turun-temurun.

Berdasarkan hal tersebut, sebagaimana tujuan studi ini yang mencoba melihat

bagaimana reproduksi kuasa – atau bagaimana keluarga dapat hadir dalam politik –

keluarga Qahhar Mudzakkar, maka penggunaan istilah politik klan akan lebih tepat

untuk menjelaskannya. Sementara itu, penggunaan istilah politik dinasti dalam

tulisan ini dianggap kurang tepat, mengingat objek yang menjadi studi adalah

keluarga Qahhar Mudzakkar yang secara historis belum dapat dikategorisasikan

sebagai penguasa (pejabat publik) sebelum era reformasi. Walaupun secara harfiah

politik dinasti dan politik klan cenderung memiliki kesamaan perspektif. Akan tetapi,

politik dinasti lebih tepat diartikan sebagai hasil dari kekuasaan keluarga dalam garis

keturunan langsung yang telah mendominasi dan dilakukan dengan turun temurun,

sedangkan politik klan lebih tepat digunakan untuk mengartikan bagaimana keluarga

menghadirkan kekuasaan.

11 Bab I: Pendahuluan

Modal dan Arena: Alat Reproduksi Kekuasaan

Pierre Bourdieu (1986) melihat dalam arena sosial selalu ada yang

mendominasi dan didominasi. Kondisi ini tidak lepas dari situasi dan sumber daya

capital (modal) yang dimiliki seseorang, dimana modal tersebut adalah sesuatu yang

langka dan berharga dalam ruang sosial tertentu. Menurutnya, modal adalah

akumulasi kerja, berupa barang baik material maupun simbolik yang apabila

dialokasikan secara privat oleh agen atau kelompok agen, memungkinkan mereka

untuk memperoleh kekuatan sosial (Bourdieu, 1986: 241).

“Capital is accumulated labor (in its materialized form or its

„incorporated,‟ embodied form) which, when appropriated on a

private, i.e., exclusive, basis by agents or groups of agents, enables

them to appropriate social energy in the form of reified or living

labor.”

“Modal adalah kerja yang terakumulasi (bentuk materi atau dalam

bentuk yang mirip „badan hukum‟) yang ketika dialokasikan secara

pribadi, yaitu, secara eksklusif, menjadi dasar oleh agen atau

kelompok agen, yang memungkinkan menyediakan energi sosial yang

sesuai dalam bentuk abstrak atau kerja kehidupan.”

Pandangannya tentang modal dimaksudkan sebagai hubungan sosial, karena

modal merupakan suatu energi sosial yang hanya ada dan membuahkan hasil dalam

arena perjuangan dimana modal memproduksi dan mereproduksi. Bourdieu

menegaskan bahwa modal adalah hasil dari sebuah proses kerja yang perlu waktu

untuk diakumulasikan, sebagai kapasitas potensi untuk menghasilkan keuntungan

dan untuk mereproduksi dirinya sendiri dalam bentuk yang sama atau diperluas.

Modal juga mengandung kecenderungan untuk bertahan dalam eksistensinya,

sebagai kekuatan yang terkandung dalam obyektivitas sesuatu, sehingga semuanya

tidak mungkin setara (Bourdieu, 1986: 241).

Pertarungan tentang modal dalam konsepsi Bourdieu, tidak lepas dari

sumbangsih pemikiran Marx dalam dialektika ketimpangan sosial (Field, 2011: 20).

Jika Marx menekankan pada basis struktur dan ekonomi, maka Bourdieu kemudian

menguraikan modal tidak sebatas pada ekonomi. Bourdieu mengatakan tidaklah

cukup melihat modal dari aspek ekonomi saja, walaupun ia berpendapat bahwa

12 Bab I: Pendahuluan

modal ekonomi adalah akar dari semua jenis modal lain. Selain aspek ekonomi,

modal budaya dan modal sosial juga merupakan aset sebagai representasi akumulasi

kerja. Bourdieu beralasan bahwa mustahil memahami dunia sosial tanpa mengetahui

peran modal dalam segala bentuknya (Field, 2011: 24). Artinya bahwa modal

memiliki energi yang penting dalam arena sosial dan politik. Adapun ciri-ciri modal

dalam pandangan Bourdieu dapat disimpulkan antara lain: (1) modal terakumulasi

melalui investasi; (2) modal bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan dan; (3)

modal dapat memberi keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh

pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya (Mutahir, 2011: 68).

Modal secara prinsipil dibedakan menjadi empat kategori (Bourdieu, 1989:

17): modal ekonomi (berupa uang, kekayaan, properti); modal sosial (berbagai jenis

relasi, jaringan); modal kultural (misalnya pengetahuan, kualifikasi pendidikan, gelar

akademik, bahasa); dan modal simbolik (seperti prestise, kehormatan, karisma).

Salah satu sifat yang paling penting adalah di mana memungkinkan satu bentuk

modal dapat dikonversi ke modal yang lain, misalnya, kualifikasi pendidikan tertentu

dapat diuangkan melalui pekerjaan yang menguntungkan. Modal-modal inilah yang

kemudian memiliki kekuatan-kekuatan sosial yang fundamental (Bourdieu, 1987:

152):

“…ces pouvoirs sociaux fondamentaux sont, d'apres mes recherches

empiriques, le capital economique, sous ses differentes formes, et le

capital culturel, le capital social et le capital symbolique, forme que

revetent les differentes especes de capital lorqu 'elles sont percues et

reconues comme legitimes.”

“…kekuatan-kekuatan sosial yang fundamental ini, menurut penelitian

empiris saya, pertama adalah modal ekonomi dalam berbagai

bentuknya, modal kultural, modal sosial dan modal simbolik yang

merupakan bentuk lain dari kapital-kapital tersebut ketika dianggap

dan diakui dengan sah atau terlegitimasi.”3

Bourdieu kemudian mendefinisikan modal-modal tersebut dalam pengertian

yang berbeda-beda. Menurut Bourdieu, modal ekonomi merupakan modal yang

paling cepat dan dapat langsung dikonversi menjadi uang dan dapat dilembagakan

dalam bentuk hak milik (Bourdieu, 1986: 242). Sedangkan, modal sosial adalah

jumlah sumber daya, aktual atau maya, yang bertambah pada seorang individu atau

3

Choses Dites telah diterjemahkan dalam edisi bahasa Indonesia dengan judul “Choses Dites: Uraian

dan Pemikiran”, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2011.

13 Bab I: Pendahuluan

kelompok karena memiliki jaringan tahan lama melalui hubungan timbal balik dari

perkenalan dan pengakuan yang kurang lebih terlembagakan (Bourdieu & Wacquant,

1992: 119). Dalam pandangan Bourdieu, modal sosial sederhananya merupakan

kumpulan relasi-relasi sosial yang mengatur individu atau kelompok, dapat berupa

jaringan informasi, norma-norma sosial dan kepercayaan yang melahirkan

kewajiban-kewajiban dan harapan.

Lain halnya dengan modal sosial, modal kultural merupakan konversi

budaya, seperti pengetahuan ilmiah, kualifikasi pendidikan, ataupun fasilitas verbal

(bahasa), dengan kata lain ingin menunjukkan bahwa budaya (dalam arti luas) dapat

menjadi modal (Swartz, 1997: 43). Modal kultural bisa eksis dalam tiga bentuk:

pertama, dalam keadaan diwujudkan (non-fisik), yaitu dalam bentuk disposisi tahan

lama dari pikiran dan tubuh seperti cara berbicara (bahasa), cara berjalan, atau

perilaku-perilaku lain; kedua, dalam keadaan materi, seperti dalam bentuk barang

budaya (lukisan, buku, alat elektronik, mesin-mesin, dll), yang menunjukkan status

sosial karena kepemilikan benda-benda tersebut; terakhir, dalam keadaan

terlembagakan (institusional) seperti kualifikasi akademik, gelar atau ijasah yang

berhubungan dengan kualitas intelektual (Bourdieu, 1986: 242). Modal ini berperan

dalam penentuan kedudukan sosial.

Terakhir, modal simbolik didefinisikan sebagai bentuk yang sama atau lain

dari jenis modal yang lainnya, diperoleh melalui kategorisasi persepsi yang

mengakui logika tertentu, sehingga merupakan akumulasi kehormatan yang dimiliki

oleh pelaku sosial. Modal simbolik disimpulkan sebagai sebuah pengakuan,

dilembagakan atau tidak, yang diterima dari kelompok (Bourdieu, 1991: 72). Pada

dasarnya modal simbolik adalah tidak lain dari modal lainnya ketika diketahui dan

diakui, melalui kategori persepsi yang memaksakan, hubungan kekuasaan simbolis

yang cenderung untuk mereproduksi dan memperkuat hubungan kekuasaan yang

merupakan struktur dalam ruang sosial. (Bourdieu, 1989: 21). Singkatnya, modal

simbolik adalah transformasi dari modal ekonomi, sosial, dan kultural kedalam

bentuk yang baru, dan memiliki kekuatan yang besar.

Kekuatan modal simbolik yang sangat besar pada akhirnya akan menciptakan

kuasa simbolik (symbolic power). Menurut Bourdieu, penguasaan modal simbolik

14 Bab I: Pendahuluan

adalah salah satu syarat dibangunnya kekuasan simbolik, disamping sejauh mana visi

yang ditawarkan berpijak pada realitas (Bourdieu, 1987: 164; 2011: 183).

“Premierement, ...le pouvoir symbolique doit etre fondee sur la

possession d'un capital symbolique...” “Deuxiemement, l'efficacite

symbohque depend du degre auquel vision propose est fonde dans la

realite.”

“Pertama, …kekuasaan simbolik harus didasarkan pada kepemilikan

modal simbolik…” “Kedua, efektivitas simbolik bergantung pada

sejauh mana visi yang ditawarkan dapat berpijak dalam realitas.”

Bourdieu mengambil dari gagasan Max Weber yakni karisma dan legitimasi

untuk mengembangkan teori kekuasaan simbolik (Swartz, 1996: 76).4 Seperti Weber,

Bourdieu berpendapat bahwa pelaksanaan kekuasaan membutuhkan legitimasi.5

Pada

akhirnya, Bourdieu berkata untuk kekuasan simbolik adalah kekuasaan tak terlihat

yang dapat dilaksanakan hanya dengan keterlibatan orang-orang yang tidak ingin

tahu bahwa mereka tunduk atau bahkan mereka sendiri menjalankan itu (Bourdieu,

1991: 164). Pertanyaannya kemudian apa sumber dan efek dari kuasa simbolik?

Bourdieu (1991: 168-170) menjawabnya dengan panjang lebar: sebagai instrumen

dominasi, kuasa simbolik adalah menstrukturkan (karena ia terstruktur), yang

merupakan sistem ideologis yang spesialis memproduksi kedalam dan perjuangan

atas monopoli produksi ideologis yang terlegitimasi dalam bentuk tidak dikenali

(misrecognizable), melalui perantaraan homologi antara arena produksi ideologis dan

arena kelas sosial. Efeknya, kekuatan simbolik sebagai kekuatan yang diberikan

melalui ucapan atau kata-kata (bahasa), membuat orang melihat dan percaya,

mengkonfirmasi atau mengubah visi pandangannya tentang dunia, dan dengan

demikian, tindakan pada dunia adalah dunia itu sendiri. Selain itu, merupakan

magical power yang memungkinkan seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang

4 Lihat secara lengkap di Pierre Bourdieu (1991), “Language and Symbolic Power”, Cambridge:

Polity Press, halaman 163-170. 5

Max Weber mengajukan tiga dasar legitimasi yakni rasional, tradisional dan karisma (Weber, 1947:

328). Menurut Weber, legitimasi rasional bertumpu pada kepercayaan legalitas melalui pola aturan

normatif, dan hak atas kekuasaan itu di bawah aturan tersebut untuk mengeluarkan perintah

(kewenangan hukum). Legitimasi tradisional bertumpu pada keyakinan yang didirikan pada

kesakralan tradisi yang telah lama bertahan, patron-klien misalnya. Sedangkan legitimasi karismatik

bertumpu pada pengabdian khusus, kesucian, kepahlawanan atau karakter teladan dari seorang

individu, yang kemudian menjadi nilai (otoritas karismatik). Dalam kasus otoritas karismatik,

pemimpin memenuhi syarat untuk dipatuhi berdasarkan kepercayaan pribadi yang ada dalam diri,

kepahlawanan atau kualitas teladan yang dimiliki secara individu.

15 Bab I: Pendahuluan

setara dengan apa yang diperoleh melalui force, baik fisik maupun ekonomi, dan

berdasarkan mobilisasi yang dapat dijalankan hanya jika diakui, tidak dikenali bahwa

itu sewenang-wenang (misrecognized as arbitrary).

Kesimpulannya, legitimasi dalam konsepsi Bourdieu adalah kuasa simbolik.

Lebih konkret lagi, legitimasi dunia sosial bukanlah produk dari tindakan yang

memang diorientasikan untuk propaganda atau pemaksaan simbolis, sebaliknya

legitimasi ini hadir karena agen-agen mengaplikasikannya kedalam struktur obejektif

itu sendiri, dan karenanya cenderung menggambarkan dunia itu sesuatu yang sudah

terbukti dengan sendirinya (Bourdieu, 2011: 181). Untuk itu, dalam banyak tempat di

studi ini, legitimasi akan digunakan secara bergantian dengan kuasa simbolik.

Berdasarkan konsepsi Bourdieu tentang modal tersebut memungkinkan bagi

studi ini untuk mengetahui modal apa saja yang dimiliki oleh Klan Qahhar

Mudzakkar. Ketokohan Qahhar Mudzakkar bagi masyarakat Sulawesi Selatan

memberikan pemahaman awal bahwa salah satu modal yang dimiliki adalah modal

simbolik. Disamping itu konsep modal yang dikatakan Bourdieu terakumulasi dari

proses panjang sehingga memiliki peran yang penting bagi kontestasi politik,

mengajak kita untuk mengaitkan dan mengujinya dalam arena elektoral.

Keberhasilan Klan Qahhar Mudzakkar untuk terpilih sebagai pejabat publik di pusat

dan daerah adalah langkah awal untuk mengetahui karakteristik modal yang dimiliki

klan tersebut.

Menurut Bourdieu, modal adalah setiap sumber daya yang efektif di ruang

sosial tertentu yang memungkinkan seseorang untuk memastikan adanya keuntungan

khusus yang timbul dari partisipasi dan kontestasi di dalamnya. Modal tersebut

berada dalam sebuah champ (bahasa Perancis) atau arena, dimana berbagai jenis

modal itu diperebutkan, dipertahankan dan dipertukarkan. Arena secara sederhana

dapat disimpulkan sebagai jaringan hubungan sosial, sistem terstruktur dari posisi

sosial di mana perjuangan atau manuver perebutan sumber daya, wilayah dan akses –

beberapa akan berusaha untuk mempertahankan status quo, sedangkan yang lain

berusaha untuk mengubahnya. Bourdieu mendefinisikan arena sebagai:

“A network, or configuration of objective relations between positions.

These positions are objectively defined in their existence and in the

determinations they impose upon their occupants, agents or

16 Bab I: Pendahuluan

institutions, by their present and potential situation in the structure of

the distribution of species of power (or capital) whose possession

commands access to the specific profits that are at stake in the field, as

well as by their objective relation to other positions (domination,

subordinaton, homology, etc).” (Bourdieu & Wacquant, 1992: 97).

“Suatu jaringan, atau konfigurasi hubungan antara posisi-posisi

obyektif. Posisi ini secara objektif didefinisikan dalam eksistensinya

dan dalam determinasi yang mereka paksakan atas para penghuninya,

agen atau lembaga, oleh kehadirannya dan situasi potensial dalam

struktur dari distribusi jenis kekuasaan (atau modal), yang memiliki

akses mengendalikan keuntungan tertentu yang dipertaruhkan di

arena, serta hubungan yang bertujuan untuk posisi lain (dominasi,

subordinasi, homologi, dll).”

Arena dilambangkan sebagai arena-arena produksi, sirkulasi dan perebutan

barang kebutuhan, pelayanan, pengetahuan atau status, dan posisi kompetitif yang

diperebutkan oleh agen-agen sebagai bentuk akumulasi dan monopoli jenis-jenis

kapital yang beragam (Swartz, 1997: 117). Konsep arena merupakan tempat

pertarungan kekuatan atau tempat mempertahankan dan mengubah struktur

hubungan-hubungan kekuasaan. Sebagai contoh pertama, arena adalah sebuah ruang

terstruktur dari posisi, dimana kekuatan arena menetapkan penentuan spesifik kepada

semua orang yang memasukinya. Misalnya seseorang ingin berhasil sebagai seorang

ilmuwan, maka dia tidak memiliki pilihan selain untuk mendapatkan minimal “modal

ilmiah” yang diperlukan dan untuk mematuhi adat istiadat dan peraturan yang

ditegakkan oleh lingkungan ilmiah tersebut. Dalam contoh kedua, arena merupakan

“arena of struggle” di mana agen dan institusi berusaha untuk melestarikan atau

membatalkan distribusi yang ada terhadap modal (Wacquant, 2007: 268).

Arena dapat dianggap sebagai semacam pasar atau permainan (jeu), karena

dalam arena, kita memiliki saham (enjeux), investasi (illusio), dan kita juga memiliki

kartu truf (Bourdieu & Wacquant, 1992: 98). Arena ditempati oleh yang dominan

dan yang didominasi, dua set aktor yang berusaha merebut, mengeluarkan, dan

membangun monopoli atas mekanisme reproduksi arena dan jenis kekuasaan yang

efektif di dalamnya (pp. 106). Namun, arena juga selalu relasional, mikrokosmos

sosial yang dinamis. Mereka bergantung dan terus berubah, yang berarti bahwa untuk

memikirkan arena, orang perlu untuk berpikir relasional atau secara dialektis (pp.

96).

17 Bab I: Pendahuluan

Dalam upaya perjuangan perebutan kekuasaan di dalam arena, Bourdieu

membedakan tiga jenis strategi yang dipakai oleh para agen (Swartz, 1997: 125).

Pertama, conservation, yaitu strategi yang biasa dipakai oleh pemegang posisi

dominan dalam sebuah arena. Kedua, succession, yaitu strategi yang bertujuan untuk

mendapatkan akses terhadap posisi-posisi dominan didalam arena. Posisi dominan

tersebut biasanya dikejar oleh para agen pendatang baru. Ketiga, subversion, yaitu

strategi yang dipakai oleh mereka yang mengharapkan mendapat bagian kecil dari

kelompok-kelompok dominan. Strategi ini mengambil bentuk kurang lebih

perpecahan radikal dengan kelompok dominan dengan menantang legitimasi untuk

menentukan standar arena.

Penggunaan strategi oleh agen pelaku sosial adalah untuk mempertahankan

posisi, memperbaiki posisi dan memperoleh posisi-posisi baru di dalam arena.

Strategi ini menyangkut penempatan modal dan habitus dalam arena, sehingga

individu atau kelompok kemudian memiliki posisi di bagian kelas atas, menengah

atau bawah. Semakin besar kepemilikan modal, maka semakin tinggi posisinya

dalam hirarki ruang sosial di masyarakat. Untuk mengetahui strategi dalam arena

sosial, Bourdieu (1998: 5) mengajukan matriks analisa posisi individu dalam

penempatan modal (lihat bagan 1). Hanya saja tipologi arena sosial tersebut

berdasarkan pada realita masyarakat Perancis pada saat itu.

Berdasarkan bagan tersebut, Bourdieu (1998: 6-7) mengatakan bahwa untuk

pembacaan terhadap analisis hubungan antara posisi sosial (hubungan relasional),

disposisi (habitus), dan pengambilalihan-posisi (strategi), yakni pilihan yang dibuat

oleh agen-agen sosial dalam ranah dengan berbagai macam praktik, dalam makanan

atau olahraga, musik atau politik, dan sebagainya. Selain itu, penempatan modal

sangat penting untuk melihat posisi pelaku sosial di setiap kelas, menentukan gaya

hidup dan selera (distinction). Arena dibangun sedemikian rupa sehingga agen atau

kelompok berada sesuai dengan posisi mereka dalam distribusi statistik modal secara

keseluruahan, dan didasarkan pada dua prinsip diferensiasi yakni modal ekonomi dan

modal kultural. Dalam dimensi pertama (vertikal), agen didistribusikan sesuai

dengan volume keseluruhan dari berbagai jenis modal (ekonomi, sosial, budaya dan

simbolik) yang mereka miliki, dan dalam dimensi kedua (horisontal) berdasarkan

18 Bab I: Pendahuluan

dengan struktur modal mereka, yakni sesuai dengan relativitas berbagai jenis modal

ekonomi dan budaya, dalam bobot komposisi volume modal mereka.

Bagan 1

Ruang Sosial (Arena) berdasarkan Strategi Penempatan Modal

Dengan demikian, dalam dimensi pertama, yang paling utama (kelas atas)

adalah para pemegang volume modal terbesar secara keseluruhan, seperti pengusaha,

pegawai profesional, dan profesor universitas (intelektual). Sedangkan guru,

sekretaris profesional atau teknisi berada di garis pembelah yang dikelompokkan di

dalam kelas menengah. Sementara yang terendah (kelas bawah), dalam bentuk massa

adalah mereka yang paling kekurangan modal, seperti pekerja tidak terampil dan

petani. Akan tetapi, dari sudut pandang bobot modal kultural, profesor relatif kaya

19 Bab I: Pendahuluan

modal budaya daripada modal ekonomi, sehingga berlawanan dengan pengusaha

yang relatif kaya modal ekonomi daripada modal kultural. Dimensi kedua

(horisontal), adalah sumber dari perbedaan dalam disposisi (habitus), sehingga

sebagai cara pengambilalihan posisi (strategi). Misalnya pertentangan antara

intelektual dan pengusaha atau pada tingkat yang lebih rendah dari hirarki sosial,

antara guru sekolah dasar dan pedagang kecil. Jika dimensi vertikal berdasarkan pada

distribusi modal, maka dimensi horisontal berdasarkan diferensiasi habitus, misalnya

selera.

Untuk menganalisa arena tersebut mencakup tiga hal yang diperlukan dan

secara internal saling berhubungan (Bourdieu & Wacquant, 1992: 104-5). Pertama,

kita harus menganalisis posisi-posisi arena kekuasaan yang saling berhadapan (vis-à-

vis). Kedua, kita harus memetakan struktur obyektif terhadap relasi antara posisi

yang diduduki oleh agen-agen sosial atau institusi yang bersaing untuk mendapatkan

bentuk-bentuk legitimasi dari otoritas tertentu atas sebuah arena. Ketiga, menganalisa

habitus agen sosial, sistem-sistem disposisi yang berbeda, yang diperoleh diperoleh

melalui internalisasi pengaruh dari kondisi ekonomi dan sosial, serta menemukan

sebuah jalan/masa depan (trajectory) yang pasti kedalam arena atas pertimbangan

kesempatan yang menguntungkan untuk dapat teraktualisasikan. Kesimpulannya,

untuk melihat strategi adalah dengan cara “mapping” posisi agen di dalam arena

berdasarkan akumulasi modal – khususnya ekonomi dan kultural – kemudian

mengelompokkan secara bersama profil individu dan institusi yang memiliki

karakteristik sama dan bertentangan – habitus – dimana sebuah peluang atau

kesempatan dalam arena sangat mempengaruhi.

Pada akhirnya, dunia sosial dengan pembagian kelas-kelasnya adalah sesuatu

yang dilakukan oleh para agen pelaku sosial untuk berkuasa – dalam artian politik.

Dilakukan secara individu dan kolektif, dalam kerjasama dan konflik, dimana posisi

yang diduduki dalam ruang sosial berdasarkan distribusi berbagai jenis modal, dan

diferensiasi habitus, yang dapat digunakan sebagai senjata, penentu representasi dari

arena, dan untuk pengambilalihan posisi, dalam upaya perjuangan untuk

melestarikan atau mengubahnya (Bourdieu, 1998: 12).

Konsep arena tersebut diatas digunakan untuk menjelaskan bagaimana

pertarungan modal yang dimiliki Klan Qahhar Mudzakkar. Seperti apa modal

20 Bab I: Pendahuluan

tersebut digunakan oleh para agen untuk memperebutkan kekuasaan dalam arena

politik. Seperti yang Bourdieu katakan, “capital does not exist and function except in

relation to a field” (Bourdieu & Wacquant, 1992: 101). Arena yang dimaksud dalam

studi ini adalah kontestasi demokrasi elektoral dalam ruang kekuasaan. Demokrasi

elektoral, sama seperti arena, adalah ruang di mana permainan berlangsung, yang

merupakan hubungan antara individu yang bersaing untuk keuntungan pribadi.

Dalam arena demokrasi elektoral terdapat aturan dan batasan-batasan yang harus

dilalui oleh para agen atau pelaku sosial (diluar dari pelaku sosial dan menjadi bagian

dari diri pelaku sosial).6

Habitus dan Doxa: Sumber Legitimasi Kekuasaan

Konsep habitus digunakan dalam studi ini bertujuan untuk melihat bagaimana

disposisi7 individu ke dalam suatu praktik tertentu. Apakah individu cenderung

mendisposisikan dirinya dalam skema praktik yang dikonstruksi oleh masyarakat

ataukah sebaliknya. Bagaimana praktik sosial dipahami sebagai agregat perilaku

individu ataukah sebagai sesuatu yang ditentukan oleh struktur supra individual.

Sedangkan konsep doxa dipinjam untuk menjelaskan bagaimana wacana dominan

yang diproduksi oleh institusi sosial dapat diterima sebagai kebenaran obyektif bagi

masyarakat Sulawei Selatan. Dengan kata lain, doxa merupakan basis bagi Klan

Qahhar Mudzakkar sebagai legitimasi wacana dominan yang diproduksi oleh

institusi masyarakat. Dalam studi ini institusi yang dimaksud adalah institusi yang

sifatnya informal.

Mengenai habitus, Bourdieu ingin keluar dari dualisme obyektivisme dan

subyektivisme, dan reaksi terhadap strukturalisme yang mereduksi agen hanya

sekedar pelaksana bagi struktur (Bourdieu: 1990a: 52). Bourdieu telah melampaui

jalan dari perdebatan dua kutub subyektivisme dan obyektivisme yang mewarnai

ilmu sosial hingga sekarang. Subyektivisme melalui eksistensialisme yang melihat

individu sebagai penentu utama dalam tindakan sosial, sedangkan obyektvisme

6 Dialectic of the internalization of externality and the externalization of internality (externality adalah

struktur dan internality adalah pelaku sosial). Lihat Bourdieu (1995), “Outline of A Theory of

Practice”, New York: Cambridge University Press, halaman 72.

7 Pengertian disposisi menurut Bourdieu memiliki tiga makna: (a) hasil dari suatu tindakan

pengorganisasian, (b) suatu keadaan habitual/kebiasaan (terutama dari tubuh); (c) tendensi, niat, atau

kecenderungan (Bourdieu, 1995: 214, no. 1; Jenkins, 2010: 110).

21 Bab I: Pendahuluan

melalui strukturalisme menempatkan struktur sosial sebagai faktor dominan yang

mempengaruhi sebuah tindakan. Bourdieu ingin mendamaikan pertentangan kedua

pendekatan tersebut yang menurutnya “absurd opposition between individual and

society”, sehingga kemudian melahirkan konsep habitus (Bourdieu, 1990b: 31).

Bourdieu kemudian mendefenisikan habitus sebagai sesuatu yang tahan lama,

disposisi yang dapat berganti, struktur yang distrukturkan, yaitu sebagai prinsip yang

mengatur praktik dan gambaran representasi/perwakilan yang dapat disesuaikan

secara objektif untuk mendapatkan hasil tanpa mensyaratkan akan tujuan akhir atau

penguasaan atas operasi-operasi yang diperlukan dalam mencapai tujuan. Secara

obyektif “teratur” dan “berkala” tanpa harus menjadi hasil dari ketaatan kepada

aturan, mereka dapat diatur secara kolektif tanpa terorganisir oleh pelaku (Bourdieu,

1990a: 53; 1995: 72).

“Systems of durable, transposable dispositions, structured structures

predisposed to function as structuring structures, that is, as principles

which generate and organize practices and representations that can be

objectively adapted to their outcomes without presupposing a

conscious aiming at ends or an express mastery of the operations

necessary in order to attain them. Objectively „regulated‟ and „regular‟

without being in any way the product of obedience to rules, they can

be collectively orchestrated without being the product of the

organizing action of a conductor.”

Habitus berdasarkan dengan apa yang diterima, nilai, dan cara bertindak di

dalam arena sosial. Bourdieu kadang menggambarkan habitus sebagai “logika

permainan” sebuah “rasa praktik” yang mendorong aktor bertindak dan bereaksi

dalam situasi spesifik dengan suatu cara yang tidak dikalkulasikan sebelumnya dan

bukan sekedar kepatuhan sadar pada peraturan-peraturan (Johnson, 2012: xvi).

Habitus sebagai sistem skema persepsi dan apresiasi dari praktik, struktur kognitif

dan evaluatif yang diperoleh melalui pengalaman abadi pada posisi sosial (Bourdieu,

1989: 19). Habitus ada dalam bentuk mental dan skema jasmani, matriks persepsi,

apresiasi, dan tindakan (Bourdieu & Wacquant, 1992: 16, 18).

Kesimpulannya bahwa habitus bukan sesuatu yang alami atau bawaan

melainkan pengalaman sosial ataupun pendidikan, dapat diubah oleh sejarah, yaitu

dengan pengalaman baru, pendidikan atau pelatihan. Disposisi yang tahan lama yang

22 Bab I: Pendahuluan

cenderung melanggengkan, untuk memperbanyak diri, tetapi tidak kekal. Setiap

dimensi habitus sangat sulit untuk mengubah, tetapi dapat diubah melalui proses

kesadaran dan usaha pedagogik (mendidik). Secara sederhana habitus dapat diartikan

sebagai hasil dari proses keterampilan berupa tindakan praktis (sadar ataupun tidak

disadari) yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial

tertentu.

Kita dapat memahami pengoperasian habitus dengan mengamati

diberlakukannya disposisi dalam praktik. Praktik seseorang-kelompok “corporeal

hexis” (jasmani) dan “style of expression” (mental) adalah manifestasi empiris dari

disposisi yang terletak di habitus. Ketika orang masuk ke dalam ruang sosial, maka

mereka membawa habitus dan berhubungan dengan tatanan sosial yang lebih luas,

sehingga praktik individu dalam organisasi diinformasikan (tapi tidak menentukan)

oleh habitus (terkait dengan posisi dalam tatanan sosial yang lebih luas). Oleh sebab

itu, dalam menyelesaikan tugas-tugas sosial dan politik, orang bertindak atas dasar

tidak hanya aturan institusi, tetapi juga dari habitus.

Berangkat dari konsep tiga serangkai (habitus, modal, dan arena), Bourdieu

secara sosiologis kemudian menguraikan gagasan tentang doxa. Doxa adalah

hubungan kepatuhan langsung yang didirikan dalam praktik antara habitus dan arena

yang sangat menyesuaikan diri, dan sesuatu yang diterima begitu saja dari dunia

yang mengalir dari pikiran (Bourdieu, 1990a: 68).

Doxa hadir ketika kita mempertanyakan tentang legitimasi yang tidak

muncul, ataupun perjuangan simbolik tidak bertarung. Hal ini terjadi pada

masyarakat doxic, suatu masyarakat yang menetapkan tatanan kosmologi dan politik

dianggap tidak sewenang-wenang, dan bukan urutan kemungkinan, tetapi sebagai

perintah yang sudah jelas dan alami (Bourdieu, 1995: 166). Dalam masyarakat doxic

kebutuhan subjektif dan akal sehat divalidasi oleh konsensus obyektif tentang

memahami dunia.

Gagasan doxa milik Bourdieu menunjukkan dua hal: pertama, bahwa sikap

alami dari kehidupan sehari-hari yang membawa kita menerima dunia yang di yakini

bergantung pada kesesuaian antara kategori subjektif dari habitus dan struktur tujuan

dari setting sosial di mana orang bertindak. Kedua, bahwa setiap alam semesta relatif

otonom mengembangkan doxa sendiri sebagai satu set pendapat bersama dan

23 Bab I: Pendahuluan

keyakinan yang tidak diragukan lagi yang mengikat pelaku satu sama lain

(Wacquant, 2007: 270).

Mereka yang menduduki posisi dominan dalam arena, dan mereka yang

berada dalam posisi terdominasi tunduk sebagai bentuk penerimaan di arena, sikap

mereka di dalamnya berdasarkan dari aturan keterlibatan. Bourdieu menyebut sikap

ini sebagai doxa. Bourdieu menggunakan istilah doxa untuk menunjukkan apa yang

diterima begitu saja (taken for granted) dalam setiap masyarakat tertentu. Doxa,

dalam pandangannya adalah pengalaman dimana dunia alam dan sosialnya muncul

secara alami dan terbukti dengan sendirinya (the natural and social world appears as

self-evident) (Bourdieu, 1995: 164). Bourdieu berangkat dari pandangan bahwa

setiap tatanan yang mapan cenderung menghasilkan (untuk derajat yang sangat

berbeda dan dengan cara yang sangat berbeda) naturalisasi kesewenang-wenangan

tersendiri. Disebabkan oleh korespondensi antara kelas yang obyektif dan kelas yang

diinternalisasikan, struktur sosial dan struktur mental, yang merupakan dasar dari

kepatuhan. Artinya, nilai dan wacana yang dihasilkan oleh doxa merupakan sebuah

kebenaran yang sah dan tidak perlu dipertanyakan lagi.

Bagan 2

Doxa, Heterodoxy dan Orthodoxy (Bourdieu, 1995: 168)

Didalam doxa ini terdapat seperangkat nilai dan wacana, sebagai prinsip-

prinsip fundamental bagi arena, dimana kebenaran terkandung didalamnya. Doxic

attitude (sikap) telah membuat tubuh dan ketidaksadaran menerima kondisi-kondisi

universe of undispute (undisputed)

opinion

heterodoxy orthodoxy

- +

doxa

universe of discourse (argument)

24 Bab I: Pendahuluan

yang sebenarnya tidak masuk akal dan bersifat mengikat. Doxa beroperasi seolah-

olah itu adalah kebenaran obyektif di ruang sosial secara keseluruhan. Praktik dan

persepsi individu (pada tingkat habitus) ke praktik dan persepsi dari negara dan

kelompok sosial (pada tingkat arena) (Bourdieu, 1995: 165-8). Dengan demikian,

doxa sesungguhnya merupakan kebenaran obyektif yang diterima dalam lintas ruang

sosial, dari praktik dan persepsi individu menjadi praktik dan persepsi yang diterima

kelompok atau institusi sosial lainnya (universe of undispute). Artinya, doxa dapat

menciptakan legitimasi bagi wacana dominan yang diproduksi dan direproduksi oleh

institusi yang ada dalam masyarakat.

Sebagaimana ruang sosial (arena) yang selalu bergerak, didalam doxa

terdapat pertarungan dunia wacana (universe of discourse) antara heterodoxy dan

orthodoxy (lihat bagan 2). Heterodoxy adalah opini (wacana) yang berusaha

memberikan penilaian negatif terhadap doxa, sedangkan orthodoxy adalah wacana

yang terus berusaha mempertahankan (semakin membenarkan) doxa (Bourdieu,

1995: 168-9).

Dalam konteks Klan Qahhar Mudzakkar ditemukan bahwa perolehan suara

terbanyak dalam Pemilu dan Pemilukada di Sulawesi Selatan, berada pada wilayah

gerakan Qahhar Mudzakkar pada masa lalu. Daerah-daerah tersebut terdapat jaringan

pengikut Qahhar Mudzakkar yang loyal. Kepercayaan bahwa Qahhar Mudzakkar

masih hidup, terpelihara dengan baik dalam pikiran dan perilaku masyarakat

setempat, serta menjadikannya sebagai mitos. Konsepsi Bourdieu tentang habitus

dan doxa digunakan untuk mengkaji fenomena tersebut, sehingga memungkinkan

untuk menjawab bagaimana individu memberikan legitimasi kekuasaan bagi Klan

Qahhar Mudzakkar, yang juga menjadikannya sebagai modal yang signifikan bagi

keberhasilan mereka dalam politik.

Demokrasi Indonesia

Diawali dari runtuhnya rezim Soeharto dan hadirnya reformasi, banyak

ilmuwan mengatakan Indonesia memasuki masa transisi demokrasi (Emmerson,

2001; Mishra, 2002; Webber, 2005). Demokrasi pluralis dan Pemilu kompetitif

kemudian diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1999. Hal ini ditandai dengan

transisi dari otokrasi terpusat ke pemilihan demokrasi dibantu oleh transformasi elit

25 Bab I: Pendahuluan

politik, langkah-langkah membangun kontrol sipil atas aparat keamanan, sejumlah

undang-undang tentang desentralisasi, pembentukan komisi independen untuk

mempromosikan transparansi dan akuntabilitas dan pencegahan korupsi, kebebasan

pers, dan pembentukan pengadilan niaga (Mishra, 2002). Salah satu bagian dari

transisi yang dimaksud, misalnya, sebagai bagian dari proses desentralisasi,

pemilihan kepala daerah secara langsung diyakini membuat tata pemerintahan

demokratis: lebih transparan (local accountability), partisipatif (political equality)

dan meningkatkan pembangunan sosial ekonomi (local responsiveness)

(Hasanuddin, 2003). Pada akhirnya, Indonesia disebut sebagai negara yang sedang

mengkonsolidasikan demokrasi. Sedangkan ilmuwan lain, cenderung

menggambarkan reformasi kedalam bentuk transisi dari “orde ke dis-orde” atau

changing continuities, yakni dengan adanya penguasaan elit lama terhadap institusi

pemerintahan lokal baru (Robison & Hadiz, 2004; Slater, 2006); desentralisasi tidak

secara otomatis menghasilkan demokrasi lokal, melainkan keberlanjutan masa lalu

(Nordholt & van Klinken, 2007). Pada akhirnya mereka menyimpulkan bahwa

Indonesia bukanlah berjalan pada trek demokrasi yang sesungguhnya. Singkatnya,

reformasi telah mengundang debat akademik tentang demokrasi Indonesia dan masa

depan dari demokrasi itu sendiri.

Saya memulai perdebatan ini dari argumen sebagian ilmuwan yang

menampilkan Indonesia ke dalam sistem politik yang demokratis, setelah satu dekade

reformasi politik, administrasi dan beberapa putaran pemilihan yang dinilai

kompetitif. Mereka optimis menyebut Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi

yang paling bersemangat di dunia. Demokrasi Indonesia jika diukur terhadap negara-

negara lain pada tahap perbandingan demokratisasi, Indonesia adalah contoh yang

mengesankan dari keberhasilan transisi menuju demokrasi pada periode

kontemporer, dengan catatan-catatan didalamnya (Aspinall dan Mietzner, 2010: 17).

Mengenai catatan-catatan empirik yang terkandung dalam demokrasi

Indonesia yang dikemukakan oleh penganut teori konsolidasi demokrasi, mengatakan

bahwa bagaimanapun, konsolidasi demokrasi di Indonesia akan terus

membingungkan karena pelembagaan yang buruk dalam hal supremasi hukum,

kekerasan dan peran militer yang tidak akan berkurang dalam waktu dekat.

Konsolidasi akan terjadi sampai elit dan pejabat pemerintah (aktor) diperkirakan

26 Bab I: Pendahuluan

dapat diandalkan untuk menegakkan lembaga-lembaga demokrasi, dan tunduk pada

hukum itu sendiri adalah jawaban untuk masa depan demokrasi di Indonesia

(Davidson, 2009; Freedman, 2007). Dari kalangan ilmuwan Indonesia sendiri,

menyimpulkan bahwa mandek atau tidaknya demokrasi Indonesia pasca reformasi

bergantung pada elit politik, sebagaimana yang telah terjadi pada demokrasi liberal

tahun 1950-an (Bakti, 2004: 206). Menurutnya, Indonesia telah berjuang dengan

demokrasi selama beberapa dekade dengan tiga jenis demokrasi, yang semuanya

gagal. Demokrasi Parlementer (1949-1957), Demokrasi Terpimpin (1957-1965), dan

Demokrasi Pancasila (1966-1998) adalah kegagalan yang dimaksud. Sebagai

kesimpulan, tidak adanya demokrasi di kalangan elit politik, dan kecenderungan

militer untuk melihat dirinya sebagai “the guardian of the state”, mengancam transisi

demokrasi di Indonesia. Akan tetapi, penjelasan tersebut dijawab oleh dua ilmuwan

Australia, Andrew MacIntyre dan Douglas E. Ramage. Mereka menjelaskan bahwa

reformasi sipil-militer cukup berhasil di terapkan di Indonesia. Keluarnya militer dari

politik telah membantu untuk memastikan konsolidasi demokrasi yang relatif stabil

dan terutama mengenai kesepakatan perdamaian yang berhasil di Aceh (Macintyre &

Ramage, 2008: 17).

Kesimpulan yang sedikit berbeda dihasilkan dalam dua survei Demos (sejak

tahun 2003-2007). Mereka menyimpulkan bahwa walaupun pada awalnya,

demokrasi Indonesia mengalami defisit, akan tetapi telah bergerak pada kemajuan

demokrasi yang mengesankan (Samadhi & Asgart, 2009: 53). Hal ini berdasarkan

indikasi adanya perkembangan relasi aturan-aturan dan perundang-undangan dengan

instrumen-instrumen operasional tata pemerintahan demokratis. Namun, disisi lain

selama dekade awal reformasi, demokrasi juga dibarengi dengan kemunduran dan

stagnasi. Demokrasi Indonesia dibayangkan sebagai bangunan yang berdiri diatas

pasir, tidak mempunyai pondasi yang kuat (Samadhi & Asgart, 2009: 55). Mereka

pada prinsipnya optimis dengan masa depan demokrasi yang telah bekerja dan

berhasil, dan relatif lebih baik dengan pengalaman negara lain seperti Thailand dan

Filipina.

Berbagai teorisasi – terdapat juga prediksi – diatas, menggunakan perspektif

prosedural demokrasi dalam menjelaskan demokrasi Indonesia. Ketersediaan tools

demokrasi beserta dengan kemandirian aktor adalah jawaban atas masa depan

27 Bab I: Pendahuluan

demokrasi. Merangkum dari keseluruhan teori diatas, bahwa pengalaman demokrasi

dekade awal telah menjadi contoh yang menjanjikan terhadap konsolidasi demokrasi

yang bertahap: sistem Pemilu, kemapanan elit politik, maupun aturan-aturan dan

kebijakan-kebijakan politik. Transisi demokrasi ataupun konsolidasi demokrasi

merupakan jawaban dari dominannya pendekatan aktor dalam memahami realita

demokrasi Indonesia. Hal yang akan selalu dikritik oleh penganut strukturalis.

Kubu yang berseberangan berpendapat bahwa demokrasi di Indonesia

bukanlah sebuah proses transisi demokrasi (Robison & Hadiz, 2004; Nordholt & van

Klinken, 2007; Boudreau, 2009; Choi 2009). Pemahaman transisi demokrasi yang

diiringi dengan proses desentralisasi, sebagai harapan untuk tata pemerintahan yang

lebih transparan dan kompetitif perlu untuk dikaji ulang. Reformasi yang ditandai

dengan runtuhnya rezim otoriter, tidak secara pasti diiringi dengan demokrasi yang

bermutu di ranah lokal. Selain itu, desentralisasi yang dipraktikkan pada dasarnya,

mengembalikan penguasa-penguasa lama dan kelompok-kelompok kepentingan

dapat mengambil peran dan bahkan menjadi raja-raja kecil di daerah.

Salah satu penggagas politik strukturalis Indonesia, Richard Robison dan

Vedi R. Hadiz (2004) menyatakan oligarki politik masa lalu masih berkuasa pasca

reformasi, meskipun pemerintahan otoriter Orde Baru telah tumbang dan digantikan

dengan lembaga-lembaga yang secara formal demokratis. Elemen oligarki tersebut,

kini telah menciptakan kembali diri mereka sendiri, dan berusaha untuk

mempertahankan posisi mereka dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga

negara dan sumber daya dalam format baru demokratisasi dan desentralisasi

(Heryanto & Hadiz, 2005: 270). Henk Schulte Nordholt bahkan menyebut pasca

reformasi sebagai changing continuities (2005, 2007: 2). Kontinuitas perubahan yang

dimaksud adalah struktur berpikir dan tindakan masa lalu, mempengaruhi secara

terus menerus praktik politik kontemporer, dan menghambat kemungkinan terjadinya

perubahan (demokrasi).

Menurut mereka, pemahaman kontemporer yang mengatakan bahwa

Indonesia berada dalam fase transisi, dari masyarakat otoritarian tertutup menuju

masyarakat yang terbuka merupakan teori yang keliru. Kecenderungan pada basis

aktor dengan menekankan unsur-unsur kebetulan (accidents), pilihan aktor dan

dilema-dilema etis yang muncul dalam periode ketidakpastian politik yang terbatas,

28 Bab I: Pendahuluan

tidak cukup kuat sebagai dasar untuk menganalisa kesinambungan hubungan-

hubungan kekuasaan yang mendasarinya. Institusi-institusi baru yang terbentuk

bersamaan dengan runtuhnya otoritarian lama, tidak menghilangkan kepentingan-

kepentingan dalam kontestasi kekuasaan para elit lama (Hadiz, 2005: 238).

Salah satu gagasan utama dari ilmuwan mazhab ini, bahwa terbentuknya

pola-pola baru dari penggunaan kekuasaan sosial, ekonomi dan politik yang terjadi

dalam politik lokal adalah cara yang dilakukan oleh kepentingan-kepentingan lama

untuk bertahan dan menguasai lembaga-lembaga demokrasi Indonesia melalui aliansi

dan kesepakatan baru (Hadiz, 2005: 237-9). Pada kesimpulannya bahwa masa depan

demokrasi Indonesia tidak akan jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh Filipina,

terkait dengan besarnya peluang rent-seeking melalui perebutan akses menuju posisi

aparatur negara untuk tujuan pribadi oleh aktor-aktor lama. Tradisi yang panjang dan

berurat akar dalam masyarakat lokal, seperti misalnya kekerasan, politik uang dan

patronase yang kemudian menyesuaikan diri dengan koalisi-koalisi dan aliansi-

aliansi baru di dalam lembaga baru demokrasi, adalah salah satu penyebab dari

kenyataan tersebut.

Pasca transisi, praktik-praktik otoriter bertahan dan dibentuk oleh rezim

transisi dalam proses pemilihan dan kebijakan, serta pola represi menunjukkan cara

di mana otoritarianisme dapat bertahan dalam transisi rezim yang merusak janji

demokrasi (Boudreau, 2009: 233). Selain itu, perubahan-perubahan institusional

tidak mampu mengubah konfigurasi kekuasaan di daerah, dimana demokrasi dan

desentralisasi di Indonesia telah memungkinkan elit lokal yang telah mengakar untuk

meningkatkan basis kekuasaan mereka dan akses ke sumber daya, dan yang paling

penting, memberikan mereka peluang baru untuk berkontestasi dalam pemerintahan

(Choi, 2009: 162). Kesimpulannya adalah kenyataan politik dari berbagai studi diatas

menjadikan tidak adanya jalan pasti, Indonesia menuju sebuah demokrasi yang ideal.

Pengalaman Indonesia yang demikian, memerlukan cara lain untuk memahami

lintasan pasca otoriter yang berbeda dari yang ditawarkan dalam literatur tentang

teori transisi dan konsolidasi demokrasi yang tidak memuaskan (Hadiz, 2009: 536).

Masa depan demokrasi Indonesia dari teorisasi beberapa ilmuwan diatas,

dapat dilihat sebagai pijakan awal untuk menjelaskan demokrasi pasca reformasi

yang telah memasuki masa dekade kedua. Berbagai teorisasi tersebut merupakan

29 Bab I: Pendahuluan

hasil dari praktik demokrasi yang telah terjadi pada masa awal reformasi. Hal utama

yang perlu diingat dari perdebatan diatas adalah penganut agensi atau lebih dikenal

dengan penganut teori transisi demokrasi yang berfokus pada badan elit politik

(Harris et.al., 2005: 8), menyimpulkan bahwa masalah-masalah yang muncul dalam

kaitannya dengan desentralisasi dan demokrasi, didasarkan pada produk yang

dirancang dengan buruk (aturan) ataupun implementasi dari kerangka kebijakan itu

sendiri. Sedangkan kaum strukturalis menyimpulkannya sebagai produk dari jenis

kepentingan sosial yang sudah berurat akar pada masa lalu, memimpin lembaga-

lembaga pemerintahan daerah kontemporer pasca reformasi.

Saya menyimpulkan secara lebih sederhana bahwa ada dua hal yang berbeda

dari perdebatan tersebut. Satu sisi begitu optimistik dalam menapaki masa depan

demokrasi Indonesia, sedangkan yang lainnya cenderung untuk pesimistik dengan

demokrasi yang akan terjadi. Namun pada dasarnya mereka semua sepakat bahwa

demokrasi yang terjadi di Indonesia tidaklah seperti harapan dari demokrasi yang

terjadi di Barat. Untuk itu, studi ini sebagai kesimpulan terbaru dari serangkaian

kajian yang menjelaskan seperti apa demokrasi kontemporer dan masa depannya

dalam dekade kedua reformasi dalam kasus kehadiran Klan Qahhar Mudzakkar

dalam politik lokal.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus (case study).

Metode studi kasus adalah metode pengumpulan informasi yang cukup secara

sistematis tentang orang tertentu, pengaturan sosial, peristiwa, atau kelompok untuk

memungkinkan peneliti memahami secara efektif bagaimana hal tersebut beroperasi

atau berfungsi (Berg, 2001: 224). Studi kasus digunakan untuk mengetahui dan

memahami kasus hadirnya Klan Qahhar Mudzakkar dalam politik lokal di Sulawesi

Selatan terkait dengan setting social yang berlangsung dan berfungsi dalam

demokrasi lokal. Studi kasus dipilih karena karakteristik kekuasaan dari hadirnya

keluarga/kerabat Qahhar Mudzakkar yang menduduki jabatan politik merupakan cara

yang berbeda. Berkaca pada studi aktor politik lokal yang ada, dimana secara teoritis

para keluarga/kerabat/kelompok politik menggunakan berbagai modal sebagai basis

legitimasi kekuasaan: sebagai pejabat; pengusaha; ataupun bangsawan. Namun

30 Bab I: Pendahuluan

berbeda dengan Klan Qahhar Mudzakkar, yang hadir bukan dari golongan tersebut.

Kesimpulannya, tampilnya aktor ini, bukanlah karena hasil pengolahan modal

tersebut.

Dalam masyarakat Sulawesi Selatan, Qahhar Mudzakkar adalah tokoh yang

dikagumi, bahkan dibeberapa daerah, Qahhar Mudzakkar telah menjadi mitos.

Keyakinan mitos (setting social) inilah yang terus terpelihara, sehingga fenomena

tersebut menjadi menarik untuk diteliti. Apa sumber daya yang menjadi modal

politik klan tersebut, sehingga dimungkinkan untuk menemukan perspektif lain

dalam memahami fenomena hadirnya klan politik di Indonesia.

Metode studi kasus ini juga digunakan untuk menggabungkan sejumlah

langkah pengumpulan data dari studi lapangan dan data pustaka. Penelitian ini ingin

mengetahui “nature” kasus hadirnya Klan Qahhar Mudzakkar secara lebih mendalam

dengan cara mendekatinya, kemudian dilanjutkan dengan menciptakan proposisi dan

model untuk memprediksi masa depan demokrasi di Indonesia. Dalam studi kasus ini

akan menggunakan jenis instrumental, dimana kasus diselidiki secara mendalam,

semua aspek dan kegiatan yang rinci, tetapi tidak hanya untuk menjelaskan kasus

semata, melainkan tujuannya adalah untuk membantu peneliti lebih memahami

beberapa pertanyaan teoritis yang lebih luas (Berg, 2001: 229). Jenis studi kasus ini

digunakan untuk mendukung/merevisi konsepsi tentang reproduksi kuasa dan

demokrasi berdasarkan kasus hadirnya Klan Qahhar Mudzakkar dalam politik lokal.

Lokasi Penelitian

Studi ini dilakukan di Provinsi Sulawesi Selatan. Lokasi penelitian akan

difokuskan pada daerah utara Sulawesi Selatan. Daerah utara secara administratif

terdiri dari Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur dan Kota Palopo. Wilayah

utara dipilih karena merupakan tanah kelahiran dan basis gerakan Qahhar

Mudzakkar, dimana para pendukungnya sangat banyak diwilayah ini. Kedua, daerah

ini memiliki kesamaan struktur sosial dan budaya. Selain itu, daerah utara merupakan

mayoritas arena kontestasi politik bagi Klan Qahhar Mudzakkar dalam pemilihan

elektoral.

31 Bab I: Pendahuluan

Teknik Pengumpulan Data

Berikut ini merupakan langkah-langkah dalam pencarian data meliputi data

lapangan dan data pustaka. Sumber datanya berupa manusia, peristiwa, tingkah laku,

benda, arsip, dan dokumen. Strategi pengumpulan data dilakukan dengan dua cara.

Pertama, melalui field study (studi lapang), peneliti berinteraksi langsung

dengan realita yang sedang ditelitinya sehingga dapat diperoleh data primer, yaitu

data yang berasal langsung dari informan berupa hasil pengamatan berperan serta

(observasi partisipatif) maupun berupa hasil wawancara mendalam (indepth

interview).

1) Pengamatan Berperan Serta (Observasi Partisipatif)

Penggunaan teknik observasi partisipatif dalam penelitian ini dimaksudkan

untuk menjaring informasi atau data mengenai konteks penelitian yang meliputi:

manusianya; kondisi sosial budaya, politik, dan lingkungan; kegiatan program dan

aktor yang terlibat, interaksi informal yang digunakan dalam masyarakat Sulawesi

Selatan. Berbagai realita tentang Qahhar Mudzakkar dalam masyarakat, dengan

melihat, mendengarkan serta merasakan apa yang terjadi, dimana, kapan, siapa yang

terlibat, dan bagaimana sesuatu bisa terjadi. Hal ini dapat berupa berperan serta

dalam kegiatan-kegiatan kampanye, pembicaraan keseharian masyarakat yang

berkaitan dengan Qahhar Mudzakkar, dan kehidupan keseharian masyarakat

Sulawesi Selatan.

2) Wawancara Mendalam

Data yang dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam,

meliputi: pengalaman, pendapat dan kepercayaan/keyakinan, pengetahuan mengenai

program, norma, nilai, sikap, harapan, orientasi pandangan dan tanggapan terhadap

berbagai hal yang berkaitan dengan Qahhar Mudzakkar dan klannya, seperti

misalnya perjalanan hidup subjek. Dalam pelaksanaan wawancara, dilakukan secara

formal dan non-formal. Untuk itu, peneliti menyusun desain penelitian sebagai

pedoman wawancara (map interview guide) agar wawancara tetap terarah pada fokus

penelitian.

Adapun informan dari studi ini dibagi dalam tiga kelompok. Pertama,

masyarakat setempat yang tinggal dibeberapa daerah di Kabupaten Luwu, Luwu

Utara, Luwu Timur dan Kota Palopo. Pengambilan populasi ini dengan dasar bahwa

32 Bab I: Pendahuluan

wilayah tersebut merupakan daerah basis Qahhar Mudzakkar dengan DI/TII. Oleh

karena itu, diharapkan dapat memberikan data terkait dengan hubungan-hubungan

yang terjadi antara individu, item sosial dan peristiwa yang terjadi di masyarakat

berupa wacana, perilaku memilih, pemilu, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan

studi ini. Kedua, tokoh masyarakat yang mengetahui budaya dan sejarah masyarakat

Sulawesi Selatan dan Qahhar Mudzakkar. Tokoh yang dimaksud antara lain,

akademisi, peneliti, budayawan, purnawirawan TNI, dan keluarga DI/TII, yang

mengetahui tentang sejarah Qahhar Mudzakkar dan Sulawesi Selatan. Hal ini

dimaksudkan untuk mendapatkan data yang lebih luas maupun sebagai perbandingan

terhadap penelitian sebelumnya. Ketiga, aktor politik yakni Klan Qahhar Mudzakkar

yang berhasil menduduki jabatan publik di Sulawesi Selatan, beserta dengan para

jaringan organisasi Klan Qahhar Mudzakkar. Hal ini dimaksudkan untuk

menghubungkan antara realita yang ada dimasyarakat terhadap pola perilaku

individu/aktor. Pandangan dan sikap mereka terhadap Qahhar Mudzakkar,

demokrasi, reformasi, dan masyarakat. Pemilihan informan ini sebagai salah satu

cara menghubungkan keterkaitan antara individu dan struktur sosial. Mengenai daftar

nama dan biodata informan dapat dilihat pada bagian lampiran.

Kedua, melalui analisis teks, yang merupakan eksplorasi dari studi-studi yang

telah dihasilkan (studi pustaka). Hal ini dipilih untuk membantu menemukan

bagaimana dinamika realitas sosial mengenai Qahhar Mudzakkar dan bagaimana

mengkerangkai realitas tersebut berdasarkan data-data pendukung yang telah ada.

Data-data pendukung tersebut merupakan data penunjang, yaitu data-data tertulis

yang terkait dengan Sulawesi Selatan dan masyarakatnya, Qahhar Mudzakkar dan

klannya, dan konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Dokumen yang

dimaksud berupa rekapitulasi suara pemilu, dokumen tertulis, data statistik, laporan

penelitian, tulisan-tulisan ilmiah dan liputan media yang merupakan dokumen

penting untuk memperkaya data yang dikumpulkan.

Analisis Data

Penelitian ini menggunakan proses analisis yang dilakukan bersamaan

dengan pengumpulan data (flow model of analysis) atau model analisis interaktif

(Miles dan Haberman, 1992). Dalam melakukan pengumpulan data, peneliti

33 Bab I: Pendahuluan

membuat catatan singkat dengan kata-kata kunci, misalnya mengenai mitos Qahhar

Mudzakkar yang berkembang dalam masyarakat. Selanjutnya dari deskripsi singkat

tersebut dikembangkan menjadi deskripsi lengkap, dilanjutkan dengan refleksi

(metode, teori, analisis). Deskripsi data dengan refleksinya tersebut disusun dalam

fieldnote. Setelah unit data lengkap, dilanjutkan dengan tiga komponen analisis yaitu:

(1) reduksi data, yang isinya rumusan singkat dari setiap jenis temuan fieldnote; (2)

sajian data, yang berawal dari pokok-pokok temuan dalam reduksi data, penulisan

mengenai kondisi sesuai dengan konteks yang diteliti; (3) penarikan kesimpulan,

dilakukan berdasarkan uraian yang telah dibuat dalam sajian data. Dari hasil ini

selanjutnya meneruskan dan melakukan pemantapan dengan verifikasi. Artinya, guna

meningkatkan validitas data yang diperoleh dan demi kemantapan kesimpulan dan

tafsir makna penelitian, maka penelitian ini menggunakan pengolahan data yang

bersifat triangulasi. Metode triangulasi dipakai guna memperoleh validitas data yakni

menggunakan sumber data yang berbeda untuk mengumpulkan data yang sejenis

atau sama serta digunakan untuk mengorganisir informasi yang ada.

Sistematika Penulisan

Tesis ini terdiri dari enam bagian. Bab Satu (I) seperti yang telah kita lewati,

berisi seputar penjelasan kepada pembaca tentang masalah mendasar dari penelitian,

termasuk didalamnya mengapa masalah penelitian ini penting untuk dikaji pada masa

sekarang. Bab Dua (II) akan memuat bagaimana penegasan dari bertahannya budaya

dalam masyarakat di Sulawesi Selatan. Tujuan utamanya menguraikan karakteristik

masyarakat Sulawesi Selatan yang culture oriented. Pada bab ini, alur argumentasi

akan dimulai dari menjelaskan secara singkat setting sosial politik Sulawesi Selatan,

kemudian mengkategorisasikan beberapa konsep budaya yang dijadikan sebagai

orientasi politik masyarakat Sulawesi Selatan. Pengkategorisasian ini meminjam

konsep dari Bourdieu mengenai arena, habitus dan doxa.

Bab Tiga (III) mengambil topik dengan judul klan, merupakan deskripsi hal-

hal yang berkaitan dengan Qahhar Mudzakkar beserta dengan anggota klannya yang

ada dalam politik. Tujuan utamanya adalah menguraikan tingkah laku politik Klan

Qahhar Mudzakkar berdasarkan profil sosiologis dan jaringan-jaringan yang

mendukung kehadiran klan. Bab ini juga menampilkan modal yang dimiliki oleh

34 Bab I: Pendahuluan

klan seperti jaringan dan ketokohan Qahhar Mudzakkar dalam pandangan

masyarakat Sulawesi Selatan. Secara garis besar bab ini menguraikan modal

simbolik dan modal sosial Klan Qahhar Mudzakkar.

Bab Empat (IV) mengambil topik tentang reproduksi kuasa klan, bagaimana

keberhasilan dan kegagalan para anggota klan dalam reproduksi kuasa tersebut. Bab

ini menampilkan pertumbuhan kuasa klan yang terbentuk secara struktural maupun

kultural. Bagaimana masa reformasi menjadi titik awal reproduksi kuasa juga

diperbincangkan dalam bab ini. Selain itu, bab ini menjelaskan bagaimana budaya

politik yang terbangun sejak lama mampu menghasilkan sebuah otoritas politik,

melalui strategi yang dilakukan oleh anggota klan ataupun dari hasil legitimasi

kultural.

Bab Lima (V) mengajukan topik tentang demokrasi Indonesia dalam

kaitannya dengan oligarki politik. Pada bagian awal bab ini, mendiskusikan

bagaimana sudut pandang dalam demokrasi dilihat secara prosedural dan kultural.

Setelah itu, mencoba mengaitkan dengan hasil studi yang telah ada. Demokrasi yang

dibahas disini akan cenderung dalam perspektif kultural, dimana budaya politik lokal

kemudian berdampak pada proses demokrasi Indonesia. Setelah melihat dampak

tersebut kemudian menyimpulkan secara hipotetik masa depan demokrasi Indonesia

terkait dengan praktik demokrasi dengan kehadiran klan dalam politik lokal. Bab ini

juga mengajukan beberapa tawaran mengenai masa depan demokrasi Indonesia,

sebut saja salah satunya mengenai bagaimana menghabituasikan demokrasi.

Sedangkan pada Bab Enam (VI) adalah bab terakhir yang merupakan rekapitulasi

argumen berupa kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian

yang telah diajukan sebelumnya.

***