16
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian ini berawal dari program tahunan yang diselenggarakan jurusan Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Tertarik dengan lokasi akhir penelitian yang akan diadakan di Jerman, penulis memutuskan untuk mengikuti seleksi, dan akhirnya pergi ke Jerman untuk penelitian di sana. Jerman bukan hanya negara yang sangat maju, namun juga negara yang sangat dominan di bidang ekonomi dan politik Eropa, dan juga sangat terbuka dengan para pendatang dari negara lain di Eropa dan di luar Eropa. Hal ini menjadi daya tarik Jerman sebagai sebuah lokasi penelitian. Keterbukaan Jerman terhadap imigran menjadi hal yang sangat menarik bagi saya. Siapa itu imigran? Di dalam Meriam-Webster (1996) imigran adalah orang yang bermigrasi: pindah dari satu negara, tempat ke tempat yang lain. Tidak hanya berpindah begitu saja, mereka adalah warga negara yang meninggalkan negaranya tidak hanya secara hukum dan administratif tetapi juga secara kultural (Olwig 1 2003: 66). Mereka bermigrasi dengan berbagai alasan dan mencoba peruntungannya di negeri barunya tersebut. Migrasi terjadi di seluruh dunia dengan banyak motivasi yang melatarbelakangi mereka. Para migran juga datang dari berbagai negara di dunia. Sebagian datang dari negara dunia ketiga menuju negara 1 “Global Places and Place Identities – Lessons from Caribbean Research”, dalam Globalisation: Studies in Anthropology. Thomas H. Eriksen. London: PLUTO PRESS.

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71240/potongan/S1-2014... · kewarganegaraan, bahasa, budaya, umur dan pekerjaan yang berbeda. Dari berbagai

  • Upload
    ledung

  • View
    222

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Penelitian ini berawal dari program tahunan yang diselenggarakan jurusan

Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Tertarik dengan lokasi akhir

penelitian yang akan diadakan di Jerman, penulis memutuskan untuk mengikuti

seleksi, dan akhirnya pergi ke Jerman untuk penelitian di sana. Jerman bukan hanya

negara yang sangat maju, namun juga negara yang sangat dominan di bidang

ekonomi dan politik Eropa, dan juga sangat terbuka dengan para pendatang dari

negara lain di Eropa dan di luar Eropa. Hal ini menjadi daya tarik Jerman sebagai

sebuah lokasi penelitian.

Keterbukaan Jerman terhadap imigran menjadi hal yang sangat menarik

bagi saya. Siapa itu imigran? Di dalam Meriam-Webster (1996) imigran adalah

orang yang bermigrasi: pindah dari satu negara, tempat ke tempat yang lain. Tidak

hanya berpindah begitu saja, mereka adalah warga negara yang meninggalkan

negaranya tidak hanya secara hukum dan administratif tetapi juga secara kultural

(Olwig1 2003: 66). Mereka bermigrasi dengan berbagai alasan dan mencoba

peruntungannya di negeri barunya tersebut. Migrasi terjadi di seluruh dunia dengan

banyak motivasi yang melatarbelakangi mereka. Para migran juga datang dari

berbagai negara di dunia. Sebagian datang dari negara dunia ketiga menuju negara

1 “Global Places and Place Identities – Lessons from Caribbean Research”, dalam Globalisation: Studies in Anthropology. Thomas H. Eriksen. London: PLUTO PRESS.

2

maju untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan aman, dan sebagian lagi

datang dari negara maju ke negara dunia ketiga atau antara dua negara dengan level

yang sama karena alasan dan latar belakang yang berbeda. Tidak sedikit dari

mereka yang tidak memiliki bekal apapun, baik secara material, intelektual ataupun

kultural.

Seiring berjalannya waktu, angka migrasi meningkat tajam, khususnya pada

negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa Barat

(Jerman, Belanda, dan negara lainnya). Hal ini didukung dengan perkembangan

teknologi komunikasi dan transportasi yang berkembang dengan pesat saat ini.

Dengan berkembangnya teknologi transportasi yang canggih dan murah, para

migran dengan mudah pergi keluar negeri. Selain perkembangan teknologi, konflik

juga menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya migrasi. Korban perang atau

konflik sipil di negara asal imigran, memaksa mereka untuk mencari tempat

mengungsi di negara yang mampu melindungi mereka, dan kemudian para imigran

menetap di sana.

Jerman merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah imigran yang

besar. Menurut Federal Statistical Office, pada tahun 2011 terdapat 958.000 orang

yang berimigrasi ke Jerman. Angka tersebut naik sekitar 120.000 orang atau 20%

dari data tahun 2010, meningkat jauh dari rekor angka tertinggi tahun 1996, yaitu

679.000 orang. Melihat ke belakang, hal ini terjadi setelah holokos perang dunia

kedua, yang menyebabkan empat juta orang mati di Jerman. Kekurangan tenaga

kerja menjadi sebuah masalah yang besar yang dihadapi oleh pemerintah Jerman.

Perekrutan tenaga kerja dari luar Jerman dilakukan untuk mengatasi masalah

3

tersebut. Lepas dari masalah ketenagakerjaan, arus migrasi terus meningkat ke

Jerman karena pertumbuhan penduduk yang terus menurun. Seperti dua sisi mata

uang, imigran memberikan dampak positif namun juga negatif. Kedatangan mereka

tidak serta-merta tanpa masalah. Di satu pihak, imigran di Jerman menjadi

penolong, sebab mereka meningkatkan neraca pertumbuhan populasi di Jerman.

Tetapi orang Jerman juga melihat imigrasi sebagai sumber konflik antara para

imigran dengan ‘native’ Jerman2. Perbedaan latar belakang, membuat para imigran

tidak sepenuhnya terintegrasi dengan masyarakat Jerman dan identitas asli mereka

tidak bisa lepas begitu saja. Kegagalan proses integrasi tersebut akhirnya membawa

masalah demi masalah di Jerman, seperti angka kriminalitas yang semakin tinggi

dari tahun ke tahun yang disebabkan banyak imigran yang masuk ke Jerman

(Albrecht, 1997: 31).

Di kota kecil bernama Freiburg yang berada di bagian selatan Jerman,

penulis melihat fenomena tersebut dengan sangat jelas. Saat memesan sesuatu di

beberapa tempat makan, atau berbelanja di toko-toko kebutuhan sehari-hari, yang

melayani sering kali adalah para imigran dan bukan Jerman. Hebatnya, mereka

dapat menggunakan bahasa Jerman, walaupun masih terbata-bata.

Keberhasilan para imigran menjalani kehidupan sehari-harinya di luar tanah

kelahirannya tentu memerlukan proses yang tidak singkat, karena seperti yang

disebutkan sebelumnya, bahwa imigran meninggalkan negaranya juga secara

kultural, yang artinya mereka menerima kultur yang baru, di wilayah yang baru.

Dari semua fenomena di atas pertanyaan adalah, siapa yang membantu mereka

2 Informasi ini diperoleh dari Emnid Bertelsmann Foundation

4

dalam proses tersebut? Integrationkurse atau integration course atau kursus

integrasi menjadi salah satu jawabannya. Lantas, mengapa kursus integrasi menjadi

salah satu jawabannya?

Menurut Immigration Policy in The Federal Republic of Germany, sejak

Juli 2006, para imigran wajib mengikuti kursus integrasi. Kursus ini diadakan

dalam rangka transparansi hukum integrasi yang dibuat oleh pemerintah Jerman.

Keterbukaan pemerintah Jerman terhadap para pendatang tentu dilandasi dengan

persyaratan hukum yang ketat, untuk menjamin kehidupan mereka di Jerman.

Kursus integrasi sendiri merupakan kursus yang diberikan kepada para imigran

untuk mengasah kemampuan komunikasi mereka. Di dalam kursus ini para imigran

diperkenalkan dan diajarkan bahasa Jerman, baik dalam berbicara, menulis,

membaca, maupun mendengarkan. Hasil dan sertifikasi dari kursus ini sangat

berguna bagi mereka dalam kehidupan selanjutnya di Jerman. Selain kursus bahasa,

para imigran juga diberikan pengetahuan umum tentang Jerman seperti bidang

politik, hukum, pemerintahan, sosial dan kultur.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah kursus integrasi sudah

menjadi medium yang ideal bagi para imigran dalam proses integrasi mereka? Dari

pertanyaan tersebut, muncul keinginan penulis untuk menelaah lebih dalam tentang

kursus integrasi di Jerman.

2. Permasalahan

Pada skripsi ini, penulis hendak memaparkan tentang persepsi para migran

akan kehadiran kursus integrasi di keseharian mereka dan apa yang mereka

5

dapatkan dari kursus tersebut. Para imigran datang dari berbagai latar belakang

kewarganegaraan, bahasa, budaya, umur dan pekerjaan yang berbeda. Dari berbagai

literatur yang ada, imigran memiliki peran tersendiri bagi Eropa, khususnya Jerman.

Pemerintah Jerman menyadari pentingnya keberadaan imigran di negara mereka

dan mulai memfasilitasi kebutuhan para imigran dengan banyak kebijakan dan

salah satunya mengadakan kursus integrasi bagi para imigran demi kelancaran

komunikasi para imigran di Jerman dan juga peningkatan kualitas sumber daya

manusia yang mereka miliki.

Terdapat tiga turunan pertanyaan menjelaskan tentang keberadaan kursus

integrasi dalam persepsi para imigran di Jerman, khususnya Freiburg:

1. Apa itu kursus integrasi?

2. Bagaimana persepsi imigran terhadap kursus integrasi?

3. Apa manfaat kursus integrasi dalam proses integrasi imigran?

3. Tinjauan Pustaka

Isu migrasi sudah banyak dikupas oleh tokoh antropologi maupun kajian

sosial lainnya, mulai dari migrasi yang dilakukan ratusan tahun yang lalu, abad

pertengahan, hingga migrasi yang terjadi di abad modern ini. Salah satu contohnya

adalah buku yang ditulis oleh Patrick Manning (2005). Manning dalam bukunya

Migration in World History menggambarkan perubahan dan pola-pola migrasi dari

masa ke masa. Kehidupan para imigran juga ia tuliskan dalam bukunya.

Sebagai acuan tentang beberapa jenis pengakomodasian imigran sebagai

minoritas, penulis memakai tulisan dari Thomas Hylland Eriksen (1998) dari

6

bukunya yang berjudul Small Places, Large Issues An Introduction to Social and

Cultural Anthropology. Lebih spesifik lagi penulis melihat tulisan dari Christian

Joppke (2007) dalam artikel yang berjudul Beyond National Models: Civic

Integration Policies for Immigrants in Western Europe. Dalam artikel ini dibahas

secara jelas bagaimana integrasi sipil berjalan di Eropa bagian barat, salah satunya

adalah Jerman. Berikutnya, penulis mengacu pada tulisan Joppke yang lain tentang

kursus integrasi yang ada di beberapa negara di Eropa, yang berjudul Do Obligatory

Civic, Integration Courses for Immigrants in Western Europe further Integration?

(2007).

4. Kerangka Pemikiran

Globalisasi menyebabkan masyarakat dunia bermigrasi dengan sangat

mudah, namun kemampuan berkomunikasi tetap dibutuhkan di manapun seseorang

berada. Saat komunikasi tidak berjalan, maka tahap-tahap berikutnya tidak dapat

berjalan dengan baik. Dalam penelitian ini, masalah utama imigran dalam proses

integrasi adalah komunikasi, di mana bahasa menjadi kunci utama. Pemerintah

Jerman cukup tanggap dalam menyelesaikan masalah ini dengan memfasilitasi

imigran dengan mengadakan kursus integrasi sebagai medium utama imigran untuk

berintegrasi. Lewat kursus bahasa, para imigran diharapkan dapat lebih lancar

berkomunikasi, namun kebijakan pemerintah tersebut memerlukan masukan balik

dari imigran sendiri. Dalam tulisan ini, kita akan melihat kursus integrasi dalam

sudut pandang atau persepsi dari imigran, dengan asumsi fasilitas yang diberikan

harus sesuai dengan kebutuhan para imigran.

Komunikasi merupakan salah satu hal yang penting bagi makhluk sosial.

7

Thomas M. Scheidel (1976) mengemukakan bahwa kita berkomunikasi terutama

untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial

dengan orang di sekitar kita, dan untuk mempengaruhi orang lain untuk merasa,

berpikir atau berperilaku seperti yang kita inginkan. Namun menurut Scheidel

tujuan dasar kita berkomunikasi adalah untuk mengendalikan lingkungan fisik dan

psikologis kita. Lebih dalam lagi Zimmerman (1977) merumuskan bahwa kita dapat

membagi tujuan komunikasi menjadi dua kategori besar. Pertama, kita

berkomunikasi untuk menyelesaikan tugas-tugas yang penting bagi kebutuhan kita-

-untuk memberi makan dan pakaian kepada diri sendiri, memuaskan rasa penasaran

kita akan lingkungan dan menikmati hidup. Kedua, kita berkomunikasi untuk

menciptakan dan memupuk hubungan dengan orang lain. Kemampuan

berkomunikasi dibutuhkan di manapun seseorang berada, karena komunikasi

berkaitan erat dengan bagaimana seseorang beradaptasi dengan lingkungannya,

khususnya lingkungan yang sama sekali baru bagi seseorang. Pengertian

komunikasi di atas mempertegas bahwa dalam pemenuhan kebutuhan pokok,

seperti makan, pakaian, pekerjaan memerlukan kemampuan berkomunikasi yang

baik.

Kemampuan berkomunikasi dibutuhkan terutama bagi kelompok

minoritas. Mengapa kelompok minoritas lebih memerlukannya daripada kaum

mayoritas? Minoritas didefinisikan sebagai satu kelompok yang secara politis tidak

dominan, dan berada sebagai satu kategori etnis (Eriksen, 1998). Sebagai kelompok

yang tidak dominan mereka (kelompok minoritas), memerlukan usaha yang lebih

untuk memenuhi atau memperjuangkan haknya. Sudah menjadi kebiasaan dan

8

mungkin keharusan jika kelompok minoritas harus menyesuaikan dirinya dengan

kelompok yang lebih dominan dengan menjadi bagian dari kelompok mayoritas

atau setidaknya menjalin komunikasi dengan kaum mayoritas yang memiliki posisi

politis lebih strategis demi tercapainya sebuah hubungan yang lebih harmonis. Para

imigran atau perantau adalah kaum minoritas yang khusus. Mereka berada di negeri

orang terkadang tanpa memiliki kewarganegaraan yang sah, dan hanya berdiam diri

di negeri yang didatanginya. Riset antropologis tentang migrasi dari negara-negara

miskin ke negara-negara kaya terutama terpusat pada tiga tema ini, yaitu segi-segi

diskriminasi dan diskualifikasi pada pihak penduduk negara tuan rumah; rupa-rupa

strategi untuk melestarikan identitas kelompok; serta relasi antara kebudayaan

imigran dan kebudayaan kaum mayoritas.

Dalam tataran negara, pemerintah atau negara itu sendiri berperan dalam

proses integrasi kelompok minoritas dengan kelompok mayoritas yang ada.

Mengapa integrasi? Pengakomodasian kelompok minoritas dalam sebuah negara

bisa terjadi dalam tiga model, segregasi, asimilasi dan integrasi (Eriksen, 1998).

Segregasi, ini berarti bahwa kelompok minoritas dipisahkan secara fisik dari

kelompok mayoritas, sering kali bersamaan dengan gagasan bahwa para anggota

kaum minoritas itu bermutu rendah. Berbeda dengan segregasi, asimilasi

menyebabkan menghilangnya kaum minoritas, yang sengaja dibaurkan dalam

kelompok mayoritas. Yang terakhir, integrasi; Integrasi merujuk pada partisipasi

dalam pranata-pranata bersama masyarakat, dibarengi pelestarian identitas

kelompok dan, sampai pada taraf tertentu, kekhasan budayanya. Saat mendengar

kata ‘integrasi’ maka kebanyakan orang akan mengacu pada banyak pihak yang

9

berjalan bersamaan. Tentu hal tersebut tidak salah; integrasi memang menampilkan

satu kompromi antara dua pilihan utama sebelumnya. Mengacu pada European

Unite (EU) ‘Common Basic Principles’ of Immigrant Integration Policy, pengertian

integrasi disederhanakan menjadi a dynamic, two way process of mutual

accommodation by all immigrants and residents of the Member States’. Terjalinnya

hubungan dua arah yang saling menguntungkan satu sama lain tidak begitu saja

terjadi. Campur tangan pemerintah menjadi tulang punggung proses integrasi di

teritorialnya, salah satunya dengan membuat kebijakan serta fasilitas sebagai

instrumen utama dalam mengatur jalannya proses integrasi. Disamping itu semua,

dengan lebih dalam lagi, Eriksen (1998) mengatakan bahwa integrasi merupakan

salah satu cara pengakomodasian hubungan antara kelompok mayoritas dengan

kelompok minoritas. Apa sebenarnya integrasi dalam studi tentang imigran,

khususnya tentang kursus integrasi di Jerman?

Integrasi sendiri merujuk pada partisipasi dalam pranata-pranata bersama

masyarakat, dibarengi dengan pelestarian identitas kelompok sampai pada taraf

tertentu (Eriksen, 1998: 482). Berbeda dengan dua cara akomodasi yang disebutkan

sebelumnya, integrasi meminta seluruh pihak berpartisipasi dalam membentuk

pranata bersama masyarakat, yang artinya tanpa terkecuali. Negara memiliki

kewajiban untuk menyama-ratakan hak dan kewajiban bagi para penduduknya,

tanpa memandang mereka mayoritas atau minoritas. Namun, keistimewaan dari

integrasi adalah latar belakang budaya setiap pihak dihargai sepenuhnya. Mereka

diberi ruang untuk menunjukkan identitas asli mereka dengan tidak memaksakan

mereka meninggalkannya dan menggantinya dengan yang baru.

10

Pengadaan kebijakan dan fasilitas tentunya harus bisa memenuhi kebutuhan

kelompok-kelompok yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung.

Persepsi dari masing-masing kelompok diperlukan untuk menilai apakah fasilitas

yang ada sudah sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masing-masing kelompok,

terutama kelompok yang secara khusus ditangani dan difasilitasi. Persepsi menurut

Tim Ingold (2000), adalah how anything can be translated or ‘cross over’ from the

outside to the inside, from the macrocosm of the world to the microcosm of the

mind. Di sini berarti sudut pandang individu menjadi sangat penting, apakah sesuatu

bermanfaat bagi diri seseorang, atau malah merugikan.

5. Tujuan Penulisan Skripsi

Perkembangan imigrasi di dunia terus melaju dengan pesat dan globalisasi

membuat imigrasi menjadi lebih fenomenal. Tetapi seperti banyak fenomena

lainnya di dunia, imigrasi memiliki masalahnya sendiri, baik dari sisi pemerintah

dari sebuah negara (baik negara asal imigran atau negara tujuan imigran), orang-

orang lokal, dan yang paling penting adalah masalah yang dirasakan oleh para

imigran sendiri.

‘Migrants are often perceived as people who come from a qualitative

different place, and who are therefore radically different culturally, which marks

them as different’ (Olwig 2003: 66). Tanda yang disematkan pada imigran

terkadang membuat mereka sulit untuk masuk ke dalam komunitas lokal. Melihat

apa yang sebenarnya menjadi masalah mereka dapat menjadi satu kunci untuk

mengetahui apa yang harus dilakukan berikutnya atau setidaknya memitigasi

11

masalah mereka. Lewat penelitian, persepsi imigran terhadap kursus integrasi

sebagai sebuah medium untuk membantu proses integrasi.

Adapun tujuan khusus dari skripsi ini, tersedianya literatur tambahan bagi

program penelitian tandem antara Jurusan Antropologi UGM dengan Jurusan

Ethnologie Albert-Ludwig Universität.

6. Metode Penelitian

6.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini berada di kota Freiburg im Breisgau, di Jerman Selatan.

Lokasi penelitian yang dipilih dari program tandem penelitian antara jurusan

Antropologi UGM dengan Ethnology Albert-Ludwig Universität, Freiburg. Tahun

2013 giliran mahasiswa Antropologi bertandang ke Freiburg setelah tahun 2012

lalu mahasiswa etnologi mengadakan penelitian di Yogyakarta. Kegiatan penelitian

ini berlangsung dari 3 Juni sampai dengan 30 Juni 2013.

6.2. Pengumpulan Data

6.2.1 Tandem Program

Pengumpulan data saya lakukan lewat tandem program. Rekan kerja saya

dalam tandem membantu saya dalam memahami bahasa informan yang tidak

semuanya dapat berbahasa Inggris. Tandem memiliki fungsi sebagai interpreter dan

peneliti utama. Penelitian tandem ini seperti yang diungkapkan oleh Heinz Göhring

dalam makalah yang ditulis oleh Sebnem Bahadir,

“Major emphasis is put on close contacts and exchanges with members

of the cultures concerned in multicultural working groups and during

12

longer stays in those cultures. In this context Göhring proposes and

applies in his teaching praxis the idea of Tandem-Lehre or ‘tandem-

learning,’ a type of training based on the principle of consciousness-

raising through ‘intercultural exchange’ that can only be realized in

inter-/multicultural group settings (1977:175)” (Bahadir, 2004: 809)

Sebelum penelitian ini dilakukan di kota Freiburg, tandem saya di

Yogyakarta adalah Alena Rohrbach dan Christie Afriani. Untuk penelitian di kota

Freiburg, jumlah tandem saya bertambah satu orang, yaitu Alena Rohrbarch,

Siobhan Kaltenbacher dan Lena Kebi. Siobhan dan Lena adalah mahasiswa

Ethnologie semester dua yang mengikuti program ini sebagai sarana pelatihan

metodologi penelitian dan Alena adalah mahasiswa program master di jurusan yang

sama. Kami saling melengkapi satu sama lain dalam melakukan penelitian. Mereka

memperkenalkan saya pada kota Freiburg, mencari informasi tentang tempat kursus

integrasi di sana, membuat jadwal wawancara dengan para informan, terlebih saat

menyepakati jadwal dengan institusi resmi seperti kursus integrasi yang harus

menggunakan surail dalam bahasa Jerman dan yang paling penting mereka

membantu saya sebagai interpreter saat melakukan wawancara dengan para

informan, sehingga saya dapat memahami isi apa yang dimaksud oleh informan

kami.

Ada dua kali workshop dalam penelitian ini. Workshop pertama dilakukan

pada minggu pertama. Dalam workshop ini kami mempresentasikan rencana

penelitian kami; apa dan bagaimana kami akan melakukan penelitian ini selama

satu bulan ke depan. Workshop kedua dilakukan di akhir penelitian kami. Dalam

workshop ini kami kembali mempresentasikan hasil penelitian kami selama satu

bulan dan bagaimana alur kerja sama kami saat penelitian berlangsung. Di sela-sela

13

penelitian, kami diberi kesempatan untuk berkonsultasi dengan para dosen, baik

dosen dari UGM maupun dosen dari Freiburg Universitat.

6.2.2 Menentukan Informan

Terdapat dua informan yang diwawancarai dalam penelitian ini, yaitu

informan kunci dan informan pendukung. Informan kunci adalah orang-orang yang

mempunyai kedudukan atau yang dianggap mengetahui persoalan yang dikaji

(Pelto dan Pelto, 1978: 73). Informan kunci dalam penelitian ini adalah para

imigran yang mengikuti Integration Course. Sedangkan informan pendukung

merupakan informan yang dipakai untuk menjawab latar belakang serta melengkapi

data dari informan kunci.

Penentuan informan menggunakan proses seleksi dengan kriteria tertentu.

Kriterianya adalah imigran yang mengikuti kursus integrasi dan guru kursus

integrasi. Di luar informan kunci, peneliti memilih beberapa informan, yaitu mereka

yang bekerja di kursus integrasi bagian administrasi. Hal ini sangat membantu

peneliti untuk mendapatkan informasi administratif di sebuah kursus integrasi.

Untuk menentukan informan kunci, langkah yang penulis ambil adalah

mencari tahu keberadaan kursus integrasi di kota Freiburg. Setelah menemukan

beberapa kursus integrasi, penulis mulai menghubungi staf yang ada di sana,

kemudian mewawancarai mereka sebagai dasar awal mengetahui aktivitas di

Integration Course. Dengan para staff pula penulis diberikan kontak beberapa

imigran untuk menjadi informan kunci. Di iOr Sprachschule, penulis dan rekan

kerja penulis ditawarkan untuk bergabung dalam salah satu kelas, dengan tujuan

14

membantu kami dalam mengobservasi kelas integrasi itu sendiri. Selain imigran

yang kontaknya diberikan oleh pihak kursus integrasi, penulis juga menghubungi

beberapa imigran Indonesia dari komunitas Indonesia yang ada di Freiburg.

6.2.3 Dokumentasi dan Data Sekunder

Data lapangan saja tentu tidak memadai untuk penulisan ini. Jarak waktu

dan dana menjadi kendala utama sehingga penulis membutuhkan literatur sebagai

pendukung. Pustaka yang digunakan dalam skripsi ini antara lain literatur yang

mengulas tentang kursus integrasi di Jerman, brosur dan artikel yang ada di laman

masing-masing tempat kursus integrasi dan dari laman imigrasi Jerman.

Dokumentasi penulis ambil melalui hasil observasi penulis dalam bentuk foto.

Selain itu peneliti juga mengambil beberapa foto dan data statistik dari laman dan

jurnal terkait.

6.2.4 Wawancara Mendalam dan Partisipasi Observasi

Wawancara mendalam merupakan alat yang paling penting dalam penelitian

ini. Lewat wawancara mendalam peneliti mampu melihat secara lebih dalam

perilaku dan keseharian informan. Informan merupakan mereka yang mengetahui

dengan baik bagaimana proses dalam komunitas berjalan. Wawancara bertujuan

untuk mengumpulkan keterangan, informasi dan pendapat tentang kehidupan

informan. Kegiatan ini merupakan pembantu utama metode observasi

(Koentjaraningrat, 1997: 129). Aktivitas yang tidak dapat dilihat atau dipahami

lewat observasi di lapangan dapat ditelusuri lewat wawancara mendalam.

15

Wawancara bertujuan untuk melihat pengalaman, sudut pandang dan sejarah

individu terhadap topik tertentu.

Wawancara mendalam dilakukan dengan informan yang sudah disebutkan

di subbab sebelumnya. Pendekatannya adalah penulis pergi ke beberapa tempat

kursus integrasi, dan meminta izin untuk mendapatkan kontak para peserta kursus.

Pertama penulis dipersilakan untuk ikut berpartisipasi dalam kelas, diperkenalkan

oleh guru, dan yang terakhir penulis mulai mengumpulkan kontak dari peserta

kursus. Dari situ penulis menghubungi mereka satu per satu untuk melakukan

wawancara lebih mendalam. Ada yang bersedia, ada juga yang tidak. Alasan

mereka yang tidak bersedia adalah masalah keterbatasan berbahasa, baik bahasa

Inggris maupun Jerman. Ada tujuh informan yang penulis libatkan dalam

wawancara mendalam ini. Wawancara mendalam penulis lakukan dengan membuat

janji sebelumnya, dan dilakukan di manapun yang informan mau, seperti di tempat

makan atau di kampus. Kami menyusun pertanyaan besar, yang akan kami

kembangkan saat wawancara berlangsung. Suasana wawancara kami bangun secara

informal, sehingga informan merasa nyaman untuk bercerita menjawab pertanyaan

kami. Wawancara diusahakan dalam bahasa Inggris, jika informan keberatan, maka

akan diadakan dengan bahasa Jerman.

Partisipasi observasi dilakukan di tempat kursus integrasi dengan cara ikut

serta dalam kelas. Para guru sangat senang kami berada di kelas, para imigran pun

terlihat antusias dengan keberadaan kami. Mereka (para imigran) bertanya banyak

hal kepada kami, begitu pun kami bertanya banyak hal dengan mereka. Tidak

segan-segan mereka memberitahukan keluh kesah tentang sulitnya pelajaran yang

16

mereka tempuh. Observasi ini berlangsung dua kali.