Upload
restu-ramadhan
View
43
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
oke
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.2.Latar Belakang
Memotret situasi politik Indonesia pasca reformasi 1998 ibarat memotret
karnaval yang meriah dan penuh warna, sementara di pinggir jalan raya sepanjang
karnaval rakyat miskin menonton untuk melupakan pahitnya penderitaan hidup
mereka, seolah rakyat diajak melupakan penderitaannya. Sebuah karnaval
hakikatnya adalah sebuah hiburan massal. Tapi hiburan massal secanggih apa pun
sebenarnya takkan pernah benar-benar mampu mengajak rakyat untuk melupakan
lapar yang menggigit, panas yang membakar, atau dingin yang menusuk tulang.
Perjalanan sembilan tahun reformasi memang telah membuahkan
beberapa langkah maju di dunia politik Indonesia, sebut misalnya kebebasan pers
dan kebebasan berekspresi. Lalu ada juga kemajuan dalam upaya pemberantasan
korupsi, tentu dengan segala kekurangan dan catatan kaki. Dan kenyatanya di
negeri ini kita masih banyak mendengar segudang berita korupsi yang terus
bermunculan para aktornya. Baik yang dilakukan oleh anggota parlemen daerah
maupun birokratnya. Atau menemukan sekian ragam peraturan yang justru
bertentangan dengan semangat demokrasi.
Tipologi korupsi pasca-reformasi mengalami pergeseran baik secara
vertikal maupun horizontal. Bila dulu korupsi hanya jadi barang mainan para
kroni dan kerabat Soeharto, kini korupsi telah menyebar rata di partai-partai serta
lapis-lapis politisi baru dan para birokrat dari pusat hingga daerah. Sepertinya
korupsi sudah menjadi hal yang wajar dan bahkan “mendarah daging” di negeri
ini. Tak heran jika Indonesia menjadi salah satu negara yang terkorup di dunia.
Hal-hal seperti itu tidak mencerminkan indonesia yang berdasarkan pada
Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, yang menjadi dasar dan ideologi
bangsa Indonesia.
Mungkin dalam pandangan masyarakat luas para koruptor seharusnya
dihukum dengan hukuman seberat-beratnya, karena atas apa yang dilakukannya.
Seperti halnya memakan uang rakyat, bermiliar bahkan bertriliun yang bukan
haknya. Dan berapa banyak undang-undang dan hak rakyat yang dirampas oleh
para koruptor tanpa kompensasi. Sudah selayaknya mereka dihukum dengan
seberat-beratnya tanpa kompensasi, dan tidak ada hak spesial atas apa yang telah
mereka perbuat.
Namun Indonesia adalah negara hukum. Segala sesuatunya diatur oleh
hukum yang berlaku, serta peraturan-peraturan yang ada yang tentunya masih
dalam undang-undang yang berlaku. Begitupun dengan para koruptor tersebut,
mereka dihukum berdasarkan pada hukum yang ada dan yang berlaku sesuai
undang-undang, memiliki hak-hak yang sesuai dengan hukum dan lain sebagainya
yang kesemuanya masih diatur oleh undang-undang. Jikapun ada perubahan, pasti
ada polemik dan juga tujuan dalam perubahan tersebut.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini akan mencoba mengulas tentang
polemik-polemik yang terjadi dalam hal-hal yang berkaitan dengan perketatan
remisi para koruptor, dalam hal ini adalah penundaan atau penangguhan atau yang
lebih dikenal dengan moratorium dalam meremisi para koruptor yang masih
hangat untuk menjadi topik pembicaraan saat ini.
BAB II
PERMASALAHAN
Polemik pasca pergantian Menkuham dan pengangkatan wakil menteri
yang kemudian mengeluarkan kebijakan moratorium remisi koruptor, belakangan
kebijakan ini ditentang oleh para politisi-politisi yang menilai kebijakan itu
menyalahi aturan.
Indonesia adalah negara hukum, dan negara hukum itu menjunjung tinggi
asas legalitas. Artinya tidak ada tindakan dari aparatur negara boleh dilakukan
tetap berdasarkan norma hukum yang berlaku, lalu bagaimana dengan
Moratorium Remisi Untuk Koruptor, Legal atau Melanggar Hukum yang berlaku.
BAB III
PEMBAHASAN
I. Apa
Dalam suatu bidang hukum, moratorium (dari Latin, morari yang berarti
penundaan) adalah otorisasi legal untuk menunda pembayaran atau kewajiban
tertentu selama batas waktu yang ditentukan. Istilah ini juga sering digunakan
untuk mengacu ke waktu penundaan itu sendiri, sementara otorisasinya disebut
sebagai undang-undang moratorium. Undang-undang moratorium umumnya
ditetapkan pada saat terjadinya tekanan berat secara politik atau komersial.
Kemudian juga moratorium adalah keputusan berdaulat dari sebuah pemerintahan
untuk menunda kewajiban atau hak tertentu, jika hal tersebut dapat
mengakibatkan kerugian terhadap kesejahteraan rakyatnya.
Sadangkan remisi adalah pengurangan masa hukuman yang didasarkan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Yang menurut Pasal 1
Ayat 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia No.174 Tahun 1999, remisi
adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak
pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana
Jadi moratorium remisi koruptor atau yang belakangan disebut
pengetatan remisi koruptor merupakan penangguhan atau penundaan dalam hal
pengurangan masa hukuman kepada para koruptor. Atau singkatnya penundaan
remisi kepada para koruptor, yang merugikan bagi para koruptor tersebut, dan
bagi pihak-pihak tertentu. Yang akhirnya menimbulkan polemik-polemik saat ini.
II. Kenapa
Tidak bisa dipungkiri, pemberantasan korupsi belakangan ini terasa
makin sulit. Pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) yang seharusnya menjadi
lembaga penjera bagi tersangka korupsi malah jadi ”penyelamat”. Sejumlah
koruptor dibebaskan. Meski ada koruptor divonis, aspek penjeraannya ternyata
kurang sekali menimbulkan efek. Pasalnya, ada fasilitas pengurangan masa
hukuman (remisi). Dengan remisi, para pengerat uang negara tak perlu meringkuk
lebih lama dalam penjara.
Mungkin karena kurang melahirkan efek jera, Menteri Hukum dan HAM
yang baru dilantik, Amir Syamsuddin dan wakilnya Deny Indrayana langsung
mengumumkan dengan cepat rencana moratorium remisi bagi koruptor.
Menghentikan sementara pemberian remisi bagi terdakwa korupsi.
Adanya keringanan hukuman bagi tahanan kasus korupsi dan terorisme
dinilai sejumlah kalangan tidak efektif dalam pemberantasan kasus korupsi dan
terorisme. Pemerintah pun diminta untuk meninjau ulang keringanan hukuman
untuk tahanan kasus tersebut.
Selain dengan tidak memberlakukan lagi pembebasan bersyarat bagi
tahanan kasus korupsi dan terorisme, Kementerian Hukum dan HAM juga telah
mencanangkan moratorium (pembekuan) pemberian remisi atau pengurangan
hukuman bagi para koruptor dan pelaku teroris, Remisi akan dimoratorium dan
akan dikaji ulang. Rencana penghentian pemberian remisi ini untuk memberikan
efek jera kepada pelaku tindak pidana korupsi dan terorisme karena tergolong
sebagai kejahatan luar biasa.
Sebelumnya, pemerintah memang telah lama mengkaji pengentian
pemberian remisi kepada para koruptor. Kemenkumham telah membentuk tim
untuk mengkaji hal itu sewaktu masih dipimpin Patrialis Akbar. Rencana
moratorium remisi ini pun kini dibebankan kepada Menkumham yang baru saja
dilantik, Amir Syamsuddin dan wakilnya Deny Indrayana.
Adanya remisi diharapkan KPK bisa memberikan efek jera kepada para
koruptor setelah KPK berupaya keras untuk memberikan penindakan. Sayangnya,
selama ini penindakan KPK terbentur pada tidak maksimalnya masa hukuman
yang dijalani para koruptor. Karena selama ini, rata-rata tahanan kasus korupsi
mendapat vonis selama 5 - 7 tahun penjara. Masa penahanan ini dianggap tidak
memberikan efek jera, apalagi dengan adanya remisi maka masa penahanan bisa
berkurang menjadi hanya selama 3 - 5 tahun. Adapun, vonis terberat yang
diberikan kepada pelaku tindak pidana korupsi adalah 20 tahun. Vonis ini
diberikan kepada jaksa senior, Urip Tri Gunawan, yang didakwa kasus
penyuapan, melibatkan Artalyta Suryani. Artalyta sendiri dikenai vonis 5 tahun.
Di dalam penjarapun bag surga bagi para koruptor yang semestinya
penjara adalah neraka. Bagaimana tidak Asal mampu membayar, banyak fasilitas
bisa didapat. Kamar khusus lengkap dengan pendingin ruangan dan kulkas. Bisa
pula leluasa menggunakan telepon seluler. Jika ingin menyantap makanan
kesukaan pun ada yang siap melayani. Masih ada yang lain? Tentu saja.
Pengurangan hukuman alias remisi pun mudah diperoleh. Koruptor bisa mendapat
remisi terkait hari raya keagamaan, HUT kemerdekaan, dan juga kegiatan sosial di
penjara, misalnya menjadi donor darah. Koruptor juga mendapatkan pembebasan
bersyarat. Artinya, sudah bisa keluar dari penjara sebelum berakhir masa
hukuman.
Hak-hak narapidana diatur dalam UU No 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan. Khusus Pasal 14 di antaranya menyebutkan narapidana berhak
mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), mendapatkan kesempatan
berasimilasi mengunjungi keluarga, mendapatkan pembebasan bersyarat, dan
mendapatkan cuti menjelang bebas. Bagi koruptor, teroris, maupun bandar dan
pengedar narkotika. Terhadap pelaku tiga kejahatan ini mestinya diberlakukan
hukuman maksimal tanpa ada remisi, tanpa pembebasan bersyarat, pun tanpa
asimilasi serta cuti menjelang bebas.
Namun, kita ingatkan bahwa semua itu harus dilakukan di bawah payung
hukum yang jelas agar tidak muncul tuduhan diskriminasi dan sikap otoriter.
Perintah lisan seorang pemangku jabatan tidak boleh menjadi pegangan yang
menggugurkan keputusan yang sudah diambil berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
III. Bagaimana
Kontra
Dalam Pasal 14 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
disebutkan salah satu hak terpidana adalah mendapatkan remisi. Bagi terpidana
korupsi, berlaku ketentuan khusus. Pasal 34 ayat 3 PP 28/2006 mengatur bahwa
remisi baru dapat diberikan setelah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa hukuman
pidana.
Rencana pemerintah untuk melakukan moratorium remisi kepada para
pelaku kejahatan luar biasa dinilai tidak tepat. Karena dalam Undang-Undang
Permasyarakatan, remisi merupakan hak setiap terpidana dan pembekuan remisi
itu justru dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Kritik terhadap moratorium
remisi terhadap koruptor dan teroris bahkan diungkapkan Kalau Undang-Undang
menyatakan bisa remisi, maka salah kalau Menteri tidak laksanakan pemberian
remisi itu.
Kepada seluruh narapidana harus diperlakukan sama tanpa membedakan
jenis kejahatan dilakukan. Lembaga Pemasyarakatan bukan lagi penjara, hanya
hak-hak kebebasan diambil. Jadi kalau remisi diambil sama saja dengan telah
merampas hak mereka sebagai masyarakat Indonesia.
Kemudian bila seorang napi yang memenuhi syarat remisi 'dicabut' hak
remisinya karena latar belakang kasusnya bukan karena persyaratan yang harus
dipenuhi, maka sama saja memberikan hukuman dua kali. Bagi napi yang telah
diperlakukan berbeda akibat kebijakan formal dan bukan karena tidak memenuhi
syarat, maka yang bersangkutan bisa menggugat. Sebab, napi bersangkutan punya
hak hukum, tetapi tidak diberikan bukan karena kesalahannya melainkan karena
ada perubahan kebijakan yang tidak melalui revisi UU.
Kebijakan moratorium remisi dan bebas bersyarat bagi koruptor itu juga
berpotensi menimbulkan kekacauan dalam penjara. Sebab, kebijakan tersebut
sangat diskriminatif. Contoh, pada Lebaran lalu napi yang beragama Islam
mendapat remisi. Tetapi Natal mendatang, napi Kristiani tidak memperoleh remisi
karena kebijakan ini. Ini bisa mengadu domba umat Islam dan Kristiani.
Kemudian juga akan membuat mental para narapidana menjadi jatuh. Para napi di
LP juga tidak akan lagi ada yang berbuat baik. Karena kalau perbuatannya di
penjara baik, maka haknya mendapat remisi, tetapi kalau perbuatannya tidak baik,
maka tidak mendapat remisi. Prinsipnya, reward and punishment tetap harus ada
dari seorang napi saat di penjara. Kalau dihapus, lalu untuk apa napi berbuat baik?
Yang ada malah justru akan hancur-hancuran di dalam LP.
Kenapa pengadilan tidak menghukum koruptor dengan hukuman
maksimal. Kenapa pengadilan tidak memiskinkan dia, kalaupun semua korupsi
merugikan negara. Kemenkum HAM, berfungsi memenuhi hak-hak para
narapidana sebagaimana amanat undang-undang. Meski demikian ia menyarankan
pelaksanaan remisi haruslah transparan dan sesuai prosedur yang sudah
ditetapkan.
PRO
Kita terjebak pada orientasi penegakan hukum yang tidak bermuara pada
rasa keadilan rakyat, namun hanya untuk politik pencitraan. Muncullah ide-ide
untuk menekan koruptor; lalu malah pemaafan, hukuman berat, hingga hukuman
mati; dan kembali ke ide klasik penghapusan remisi. Lalu apa artinya dihukum
berat hingga hukuman mati, jika para koruptor diselamatkan oleh remisi? Apa
artinya remisi jika para koruptor dimanjakan oleh vonis-vonis ringan, bahkan
pembebasan? Ditahan atau dipenjara pun masih nyaman ketika ruangan sel
disulap seperti hotel.
Pemerintah bukan meniadakan remisi bagi koruptor, tetapi melakukan
pengetatan. Koruptor itu harus dihukum berat, mereka itu sungguh merusak masa
depan bangsa dan tega memiskinkan jutaan rakyat. Hukumnya memang bisa
diperdebatkan, tapi tak ada isi UU yang secara terang-terangan dilanggar oleh
kebijakan itu.
Moratorium remisi sekedar membatasi hak manusia yang memang
berdasarkan undang-undang ada yang dapat dibatasi. Dan hak napi itu adalah hak
yang bisa dibatasi. Karena penjara itu memang pembatasan (HAM), justru tidak
adil kalau tidak ada pembatasan. Kemudian juga pengetatan pemberian remisi
pada koruptor dilakukan untuk memberikan rasa keadilan kepada terpidana kasus
lain yang lebih ringan. Dicontohkan, antara kasus pencurian kakao oleh seorang
nenek, yang jelas tidak bisa disamakan dengan kasus korupsi yang merugikan
rakyat dalam jumlah besar.
Koruptor tidak pantas mendapatkan remisi karena tindakannya jauh lebih
berdampak negatif daripada seorang teroris. Korupsi berdampak destruktif lebih
berat bagi bangsa. Korupsi memiskinkan bangsa, merontokkan moralitas dan
budaya bangsa, sehingga sebagai imbalannya koruptor tidak perlu diberi remisi.
moratorium yang dikeluarkan akan mampu memberi efek jera lebih bagi terpidana
korupsi dan terorisme. Dengan tidak diberikannya remisi dan pembebasan
bersyarat, mereka akan segan mengulangi perbuatannya.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Moratorium remisi koruptor berdasarkan sudut pandang publik dalam hal
ini saya sebagai warga negara, merupakan penangguhan atau penundaan remisi
terhadap koruptor. Polemik muncul ketika pasca pergantian Menkumham Amir
Syamsuddin dan pengangkatan Deny Indrayana sebagai wakil menteri yang
kemudian mengeluarkan kebijakan moratorium remisi koruptor, belakangan
kebijakan ini ditentang oleh para politisi. Lantas apa yang salah dengan kebijakan
moratorium remisi koruptor, bukan dalam rangka membela kemenkumham jika
saya katakan yang salah adalah koruptor yang dihukum terlalu ringan. Jika
moratorium dianggap melanggar undaang-undang dan hak koruptor, berapa
banyak undang-undang dan hak rakyat dirampas tanpa kompensasi.
Dan tidak lepas dari landasan hukum bahwa berdasarkan Pasal 1 Ayat (3)
UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum. Artinya, penyelenggara negara
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya tidak boleh melanggar hukum.
Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dan demikian
pula penerapan moratorium remisi berangkat dari semangat pemberantasan
korupsi, juga menangkap aspirasi dan rasa keadilan bagi masyarakat, menegakkan
keadilan. Jika merupakan pencitraan, yang dilakukannya adalah pencitraan bagi
penegakan hukum Indonesia. Menjadikan penjara seperti neraka bagi koruptor,
bukannya surga.
Saran
Berdasarkan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum.
Artinya, penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya tidak boleh melanggar hukum. Tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan. Aturan pemberian remisi yang
diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 2006 menyatakan bahwa remisi
diberikan kepada koruptor apabila memenuhi dua syarat. Telah menjalani
1/3 dari masa pidana dan berkelakuan baik. Ketentuan ini harus diubah
terlebih dahulu. Presiden SBY sebagai kepala pemerintahan harus
menerbitkan PP perubahan untuk menghapus ketentuan yang mengatakan
”telah menjalani 1/3 masa pidana”. Lebih baik lagi, jika pemerintah
mengusulkan perubahan UU Nomor 12 Tahun 1995 yang memuat remisi
sebagai hak narapidana tipikor. Hak remisi perlu dihapuskan bagi
koruptor, mengingat ini adalah bagian dari usaha luar biasa untuk
memberantas kejahatan luar biasa.
Jika perubahan PP dan UU membutuhkan waktu yang lama, maka
Menhukham bisa mengambil langkah lain. Dalam PP Nomor 28 Tahun
2006 disebutkan, remisi bagi koruptor diberikan oleh menteri dengan
memperhatikan pertimbangan dari dirjen pemasyarakatan. Menhukham
bisa menerbitkan surat edaran kepada setiap dirjen agar lebih ketat
memberikan pertimbangan atas napi koruptor
Pemerintah melakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai remisi, pembebasan bersyarat, sebelum
melakukan moratorium apabila tidak ingin melanggar hukum yang ada.
harus dirumuskan mendetil, melibatkan semua pemangku kepentingan
serta aspirasi masyarakat. Harus dirumuskan pula, jenis-jenis kejahatan
apa saja (yang layak dan pantas tak mendapatkan remisi). Lebih dari itu,
koruptor pun boleh dibedakan berdasarkan jumlahnya (volume uang serta
kerugian negara)
Medai indonesiaSegera Terbit Aturan Moratorium Remisi Koruptor Penulis : Amahl Sharif AzwarSelasa, 01 November 2011 23:03 WIB
Ilustrasi--MI/Tiyok/rjJAKARTA--MICOM: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengklaim penghentian sementara pemberian remisi serta pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus korupsi akan segera memiliki landasaran hukum.
Menurut juru bicara Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakata Kemenkum dan HAM Akbar Hadi Wibowo, moratorium itu merupakan kebijakan yang akan segera dibuat dalam bentuk peraturan menteri dan perundang-undangan (peraturan pemerintah/PP).
"Moratorium itu kebijakan, makanya dalam waktu dekat akan terbit aturan berupa PP dan Permen," ujar Akbar melalui pesan singkat, Selasa (1/11).
Lebih jauh, Akbar menekankan Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan sementara pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor untuk memberikan efek jera bagi para koruptor. (SZ/OL-2)
Cara Bikin Koruptor Takut, Miskinkan!
Rochmanuddin
Liputan6.com, Jakarta: Koruptor telah merampas hak orang banyak. Hukumannya pun tak boleh tanggung-tanggung. Jika perlu miskinkan saja, karena korutor takut miskin.
Cara-cara itu diyakini dapat memberikan efek jera kepada para koruptor."Jadi menurut saya berikan hukuman seberat-beratnya, tidak memberikan remisi,
miskinkan koruptor. Itu yang akan membuat mereka takut, karena semua orang takut miskin. Orang korupsi itu kan karena nggak mau miskin," ujar Praktisi hukum senior,
Todung Mulya Lubis, saat ditemui wartawan di sela-sela seleksi calon anggota LPSK di hotel Sahid, Jakarta, Senin (31/10).
Selain itu, Todung juga mendukung kebijakan pembebasan bersyarat kepada koruptor. Hukuman untuk koruptor juga jangan ringan karena tidak sebanding dengan dampak
yang telah dilakukanya. Seperti pengalaman sebelumnya, banyak koruptor yang sudah bebas dari hukumannya. Sementara hasil korupsi masih dapat mereka nikmati.
"Setuju 100 persen. Karena menurut saya akan memberikan rasa takut untuk melakukan korupsi, efek jera. Karena ada kecenderungan hukuman semakin lunak, dibebaskan, dan
hukumnya diperingankan," Todung menambahkan, selain rendahnya hukuman koruptor, juga terdapat masalah lain
yang selama ini meringankan hukuman bagi koruptor seperti lemahnya tututan jaksa, hakim terlalu toleran terhadap korupsi, dan kecurangan hakim.
"Saya juga sepakat dengan hukuman koruptor minimal lima tahun, memang korupsi tersangka tidak sama skalanya. Ada yang 100 miliar, 200 miliar, bahkan ada yang
triliunan," ujarnya mencontohkan.
TUGAS KEWARGANEGARAAN
MAKALAH POLITIK
MORATORIUM REMISI KORUPTOR
Oleh :
Restu Andri Setiyanto
25010111110223
R1-B
Fakultas Kesehatan Masyarakat
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2011
SUARA MERDEKA
02 Nopember 2011 | 17:46 wibBerita Aktual » Nasional
Moratorium Remisi Koruptor Diskriminatif
Jakarta, CyberNews. Moratorium remisi seyogyanya tidak dilakukan terlebih dahulu, sebelum melakukan perubahan UU Pemasyarakatan. Sebab, produk hukum berupa kebijakan pemerintah dalam bentuk peraturan di bawah UU, hanya akan menimbulkan diskriminasi.
"Sebelum ada revisi UU, maka setiap narapidana dengan latar belakang apapun kasusnya berhak mendapatkan perlakuan yang sama," kata praktisi hukum, Taufik Basari, dalam pesan singkatnya, Rabu (2/11).
Sebab, bila seorang napi yang memenuhi syarat remisi 'dicabut' hak remisinya karena latar belakang kasusnya bukan karena persyaratan yang harus dipenuhi, maka sama saja memberikan hukuman dua kali.
"Bagi napi yang telah diperlakukan berbeda akibat kebijakan formal dan bukan karena tidak memenuhi syarat, maka yang bersangkutan bisa menggugat," ujarnya. Sebab, napi bersangkutan punya hak hukum, tetapi tidak diberikan bukan karena kesalahannya melainkan karena ada perubahan kebijakan yang tidak melalui revisi UU.
Dalam kesempatan itu dia membantah bila kalangan yang keberatan dengan moratorium adalah tidak mendukung pemberantasan korupsi. Sebab, ada hal yang berbeda antara hak napi, keadilan reparatif dan sistem pemidanaan modern.
"Itu berbeda dengan upaya pemberantasan korupsi. Adanya hak napi atas remisi tidak lantas bisa dituding seolah-olah menjadi penghambat dari efek jera yang ditimbulkan pemberantasan korupsi," tegasnya.
Menurutnya, kuncinya lebih ke soal penegakan hukum dan pemberian sanksi atau hukuman yang sepadan dengan kerugian dan perbuatan yang dilakukan. "Setelah menjalani pidana, timbul soal lain yakni hak napi dan hak untuk diperlakukan sama di depan hukum," imbuhnya.
( Saktia Andri Susilo / CN31 / JBSM )
Kementerian hukum dan HAM moratorium remisi koruptorSabtu, 29 Oktober 2011 19:06 WIB
Banjarmasin (ANTARA News) - Kementerian Hukum dan HAM melakukan moratorium pemberian remisi atau keringanan waktu hukuman untuk koruptor dan teroris.
Hal tersebut disampaikan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana pada pidato pembukaan bedah buku karangannya "Indonesia Optimis" di Aula Rektorat Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu.
Menurut Denny, moratorium tersebut telah diberlakukan kecuali kepada koruptor yang membantu pengungkapan kasus-kasus korupsi yang lebih besar.
"Seperti Agus Condro masih bisa diberikan remisi karena banyak membantu KPK dan aparat penegak hukum dalam pengungkapkan berbagai kasus korupsi yang besar," katanya.
Hal tersebut, kata dia, sebagai salah satu bukti bahwa masyarakat yang bersedia membantu aparat hukum akan mendapatkan keringanan hukuman sesuai dengan peraturan yang ditetapkan.
Tentang syarat dan aturannya, kata dia, sedang dalam proses penyusunan tetapi moratoriumnya sudah diberlakukan.(U004)
Editor: Aditia Maruli
Maruli A.2011. Judulnya apa.diakses dari www apa.pukul 21.00 WIB
Menteri Amir Akan Moratorium Remisi Koruptor
Pembahasan moratorium remisi koruptor sudah dibahas sejak zaman Menteri Patrialis Akbar.
Rabu, 19 Oktober 2011, 18:24 WIB
VIVAnews - Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menegaskan akan melakukan moratorium terkait wacana pemberian remisi bagi koruptor."Kemungkinan besar kami akan lakukan moratorium," kata Amir di Kantor Kemenkumham, Jakarta, Rabu 19 Oktober 2011.
Menurut Amir wacana pemberian remisi bagi koruptor sebelumnya sudah dilakukan kajian oleh Patrialis Akbar dengan membentuk tim. Hanya saja tugas tim tersebut belum rampung, namun Menteri sudah lebih dulu diganti. "Memang Pak Patrialis sudah melakukan kajian sambil menunggu kita lakukan moratorium," ujarnya.
Sementara itu Wakil Menkumham Denny Indrayana menambahkan bahwa penerapan moratorium ini berangkat dari semangat pemberantasan korupsi, sekaligus juga dalam rangka menangkap aspirasi dan rasa keadilan bagi masyarakat. "Di sana pasti akan ada perlawanan tentu kita hadapi, kita perhatikan tapi aspirasi juga akan kita pertimbangkan," kata Denny.
• VIVAnews
BAB V
REFERENSI
mediaindonesia.com
liputan6.com
suaramerdeka.com
antaranews.com
vivanews.com