65
1 BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: BELAJAR DARI KISAH JEMBRANA Studi ini berbicara tentang kekuasaan dalam reformasi. Ada dua alasan yang mengilhami lahirnya studi ini. Pertama, keterbatasan teorisasi tentang kekuasaan dalam reformasi. Mayoritas studi tentang reformasi pemerintahan lokal cenderung apolitik yang mengabaikan dimensi kekuasaan; sebaliknya mengedepankan dimensi teknokrasi-manajerial (keahlian, efektivitas, efisiensi, kinerja dan sebagainya) dalam inovasi birokrasi dan administrasi. 1 Sebagian studi yang lain telah memperhatikan dimensi kekuasaan dalam reformasi; yakni memusatkan perhatian pada insentif politik di balik kehendak pemimpin melancarkan reformasi, sekaligus kontestasi kekuasaan dalam proses reformasi. Tetapi studi yang terfokus pada “kekuasaan untuk reformasi” ini kurang memperhatikan sisi lain dan dilema reformasi, bahwa reformasi yang sarat dengan kontestasi kekuasaan bukan hanya untuk mencapai perubahan, tetapi reformasi juga menjadi alat baru bagi penguasa untuk mendominasi kekuasaan. Dominasi kekuasaan ini lebih banyak diperhatikan oleh mainstream studi kekuasaan elite, tetapi sebaliknya studi elite mengabaikan faktor reformasi sebagai basis dan alat untuk dominasi kekuasaan. Karena itu, studi ini, hendak berbicara tentang kekuasaan dalam reformasi pada dua sisi. Di satu sisi kekuasaan merupakan alat untuk melancarkan reformasi, dan di sisi lain, reformasi merupakan alat untuk membangun dan mendominasi kekuasaan. 1 Pendekatan teknokrasi-manajerial tetap penting, terutama untuk mencermati secara kritis terhadap kebijakan populis yang terjebak menyenangkan rakyat tetapi tidak menolong rakyat, karena pehitungan teknokratik yang tidak memadai. Tetapi reformasi bukanlah perkara teknokrasi-manajerial, melainkan merupakan bentuk kontestasi politik. Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di Jembrana SUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI. Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

1

BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN

DALAM REFORMASI: BELAJAR DARI KISAH JEMBRANA

Studi ini berbicara tentang kekuasaan dalam reformasi. Ada dua alasan

yang mengilhami lahirnya studi ini. Pertama, keterbatasan teorisasi tentang

kekuasaan dalam reformasi. Mayoritas studi tentang reformasi pemerintahan lokal

cenderung apolitik yang mengabaikan dimensi kekuasaan; sebaliknya

mengedepankan dimensi teknokrasi-manajerial (keahlian, efektivitas, efisiensi,

kinerja dan sebagainya) dalam inovasi birokrasi dan administrasi.1 Sebagian studi

yang lain telah memperhatikan dimensi kekuasaan dalam reformasi; yakni

memusatkan perhatian pada insentif politik di balik kehendak pemimpin

melancarkan reformasi, sekaligus kontestasi kekuasaan dalam proses reformasi.

Tetapi studi yang terfokus pada “kekuasaan untuk reformasi” ini kurang

memperhatikan sisi lain dan dilema reformasi, bahwa reformasi yang sarat dengan

kontestasi kekuasaan bukan hanya untuk mencapai perubahan, tetapi reformasi

juga menjadi alat baru bagi penguasa untuk mendominasi kekuasaan. Dominasi

kekuasaan ini lebih banyak diperhatikan oleh mainstream studi kekuasaan elite,

tetapi sebaliknya studi elite mengabaikan faktor reformasi sebagai basis dan alat

untuk dominasi kekuasaan. Karena itu, studi ini, hendak berbicara tentang

kekuasaan dalam reformasi pada dua sisi. Di satu sisi kekuasaan merupakan alat

untuk melancarkan reformasi, dan di sisi lain, reformasi merupakan alat untuk

membangun dan mendominasi kekuasaan.

1Pendekatan teknokrasi-manajerial tetap penting, terutama untuk mencermati secara

kritis terhadap kebijakan populis yang terjebak menyenangkan rakyat tetapi tidak menolong rakyat, karena pehitungan teknokratik yang tidak memadai. Tetapi reformasi bukanlah perkara teknokrasi-manajerial, melainkan merupakan bentuk kontestasi politik.

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 2: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

2

Kedua, studi ini diilhami oleh pengalaman pergulatan kekuasaan dan

reformasi di Kabupaten Jembrana selama dipimpin oleh Bupati I Gede Winasa

(IGW). Jembrana telah menjadi ikon dan teladan reformasi pemerintahan daerah.

Bupati IGW meraih kejayaan ganda (reformasi dan kekuasaan), tetapi reformasi

dan kekuasaan itu berakhir dengan keruntuhan secara dramatis.

Penulis hendak mendialogkan antara narasi besar (kekuasaan dalam

reformasi) dengan narasi kecil (pengalaman Jembrana) itu. Dengan kalimat lain,

studi ini mengkaji kekuasaan dalam reformasi yang bekerja secara kontekstual di

Jembrana. Narasi kecil Jembrana tentu telah memberi ilham besar bagi penulis

untuk menantang narasi besar kekuasaan dalam reformasi. Jembrana menjadi

medan studi dan medan dialektika antara narasi kecil dan narasi besar, sekaligus

menjadi modalitas untuk membangun teori alternatif tentang dua sisi kekuasaan

dalam reformasi, yakni kekuasaan sebagai alat reformasi dan reformasi sebagai

alat kekuasaan.

A. Latar Belakang

Negara, Jembrana, 16 November 2010. Barisan massa Forum Daerah

(Forda) LSM meruntuhkan dan membakar (ngaben) patung besar I Gede Winasa

(IGW) di RSUD Negara, sehari sesudah sang bupati itu turun dari tahta. Mereka

bersama pihak RSUD kemudian mengantar patung yang telah dibakar itu dengan

ambulance sampai ke rumah IGW di Kelurahan Tegalcangkring, Mendoyo.

Tindakan politik simbolik itu merupakan sebuah akumulasi panjang setelah

bertahun-tahun kekuatan aksi kolektif (Jaringan Anti Korupsi, Forda LSM,

Jembrana Forum, Komunitas Warga Jembrana Antikorupsi, dan lain-lain)

melakukan perlawanan terhadap praktik-praktik KKN (korupsi, kolusi dan

nepotisme) yang dilakukan Bupati IGW dan teman-temannya. Dedengkot LSM

Jembrana, Ketut Sujana, yang mempunyai jaringan luas secara nasional,

memperoleh dua ilham ketika merobohkan dan membakar patung IGW. Pertama,

patung bagi orang Bali merupakan simbol yang sakral. Forda LSM menganggap

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 3: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

3

patung IGW merupakan simbol terakhir kekuasaan IGW. "Ini merupakan pukulan

terakhir terhadap kekuasaan yang korup dan penuh kebohongan," ujar Ngurah

Karyadi, seorang aktivis Forda LSM (Antara News, 17 November 2010; Bali Post, 19

November 2010). Kedua, tindakan masyarakat sipil prodemokrasi yang

meruntuhkan patung-patung Stalin di Uni Soviet dua dekade silam setelah

gerakan mereka memenangkan pertarungan atas totalitarianisme.

Aksi LSM itu merupakan bentuk delegitimasi IGW di saat dia tengah

memromosikan anak sulungnya, I Gede Ngurah Patriana Krisna, bersama dengan

Ketut Subanda, untuk menjadi Bupati dan Wakil Bupati dalam pilkada langsung

Desember 2010. Mereka secara lantang menyerukan “Jangan Pilih Anak Koruptor”

sebagai bentuk negative campaign untuk mengalahkan pasangan I Gede Ngurah

Patriana Krisna dan Ketut Subanda yang didukung Partai Demokrat dan IGW. Pada

saat yang sama mereka mendukung pasangan Putu Artha-Kembang Hartawan

(Wakil Bupati dan Ketua DPRD Jembrana) yang didukung Partai Demokrasi

Indonesia Perjuangan (PDIP). Pertarungan pilkada langsung 27 Desember 2010

membuahkan kemenangan kubu Putu Artha-Kembang Hartawan, sekaligus

kekalahan dan kegagalan IGW dalam membangun dinasti politik.

Hari-hari setelah kelengseran dan kegagalan IGW, pihak kepolisian dan

kejaksaan – yang memperoleh endorsement Gubernur Bali Mangku Pastika –

melakukan penyidikan secara intensif terhadap IGW yang sejak April 2009 diduga

kuat terlibat dalam kasus korupsi sebesar Rp 2,3 M dalam pabrik kompos di Desa

Kaliakah, Kecamatan Negara, Jembrana. Pada tanggal 19 Januari 2011, IGW secara

resmi ditahan oleh Kejaksaan Negeri di rumah tahanan. Di penjara, Winasa

bertemu dengan Nyoman Suryadi (mantan Kadis PULH) Jembrana, Nyoman Gede

Sadguna (PPTK), IGK Muliarta (Mantan Direktur Perusda) Jembrana dan Agung

Permadi (Direktur CV Puri Bening). Mereka saling berangkulan, dan Suryadi

dengan nada prihatin berujar: “Akhirnya kita bertemu di sini”. Para kerabat dan

para pendukungnya tentu sangat prihatin dengan peristiwa yang tragis itu, sebab

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 4: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

4

menurut mereka, Winasa ketika berkuasa, telah membuktikan sebagai bupati

yang benar-benar pro rakyat.

Meskipun pada awal Juli 2011 Pengadilan Negeri Negara memutus bebas

IGW, tetapi rentetan cerita kekalahan dan kegagalan IGW di penghujung

kekuasaannya, memberikan pertanda delegitimasi terhadap IGW dan kemerosotan

reformasi. Kementerian Dalam Negeri maupun Gubernur Bali Mangku Pastika

mengingatkan kepada Bupati dan Wakil Bupati baru agar menghentikan proyek-

proyek mercusuar warisan IGW, menjalankan inovasi pemerintahan yang sesuai

dengan regulasi dan menjalankan agenda kebijakan yang sejalan dan sinergi

dengan kebijakan Pemerintah Pusat dan Provinsi Bali. Permintaan ini diindahkan

oleh penguasa baru, Putu Artha dan Kembang Hartawan, yang menghentikan

berbagai kebijakan unggulan dan proyek mercusuar warisan (legacy) IGW.

Meskipun penguasa baru belum memiliki paradigma alternatif dalam pengelolaan

pemerintahan, tetapi paradigma efisiensi DOA (dana, orang dan alat) yang

dibangun IGW, dihentikan dengan cara menata kembali struktur birokrasi daerah.

Karya besar IGW, Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ), yang digunakan untuk

menopang kesehatan gratis, telah mengalami krisis finansial dan krisis

kepercayaan dari para tenaga kesehatan sejak pertengahan 2010, dan kemudian

dihentikan oleh penguasa baru pada bulan Februari 2011. Bupati Putu Artha, yang

didukung DPRD, mengambil keputusan untuk mengintegrasikan JKJ ke dalam

JKBM (Jaminan Kesehatan Bali Mandara) milik Provinsi Bali, mulai tahun 2012.

Keruntuhan IGW dan krisis reformasi warisan IGW pada tahun 2010

sungguh kontras jika dibandingkan dengan kejayaan tahun-tahun sebelumnya.

Jembrana, di bawah pimpinan Bupati IGW, adalah perintis reformasi kebijakan

sekolah dan kesehatan gratis sejak 2001, serta reformasi birokrasi yang membuat

birokrasi menjadi lebih ramping, efisien, bersih dari korupsi dan disiplin sejak

2003/2004. IGW mampu menyulap gedung-gedung Pemda -- yang sempat dibakar

massa pada saat Megawati kalah bertarung melawan Abdurrahman Wahid dalam

pemilihan presiden di MPR pada Oktober 1999 – menjadi lebih bagus dan megah;

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 5: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

5

membangun kembali Pura Jagat Natha sebuah pura besar yang menjadi simbol

religiusitas masyarakat Hindu Bali; juga mampu menyulap kawasan rawa-rawa

kota Negara menjadi lebih bersih, rapi, indah, hijau dan manusiawi. Jembrana

menjadi lebih maju dan terkenal. Penghargaan dan pujian kepada Jembrana dan

secara khusus kepada sang bupati IGW mengalir dari berbagai pihak, termasuk

rakyat Jembrana sendiri. Majalah nasional terkemuka, Tempo, pada akhir tahun

2004 memberikan anugerah “The Man of The Year” kepada IGW karena ia dinilai

sebagai pemimpin daerah yang telah sukses membawa perubahan besar dan

bermanfaat bagi rakyat.

Sepanjang 2004-2009 sudah lebih dari seribu kunjungan untuk

mempelajari rahasia “cerita sukses” Jembrana. Kecuali daerah-daerah tetangganya

di Bali, hampir semua daerah di Indonesia telah datang belajar ke Jembrana,

mempelajari resep reformasi birokrasi dan pelayanan publik. Para pejabat Jakarta,

aktivis NGOs, peneliti dalam negeri dan mancanegara, maupun lembaga-lembaga

donor juga mempelajari kisah sukses Jembrana. Yayasan Tifa, misalnya, pada

tahun 2005 meneliti dan memublikasikan sebuah buku kecil bertitel “Semua Bisa

Seperti Jembrana”, yang diharapkan menjadi bahan pembelajaran dan

percontohan inovasi pemerintahan daerah. Kemendagri dan Kemenpan juga

menjadikan Jembrana sebagai teladan reformasi birokrasi pemerintahan daerah

untuk bisa dicontoh oleh daerah-daerah lain di Indonesia.

Tetapi setelah IGW runtuh dan reformasi mengalami krisis, Jembrana tidak

lagi menjadi “teladan” reformasi. Jembrana pasca-IGW kembali menjadi daerah

yang “biasa” seperti daerah-daerah lainnya. Banyak pihak dari luar Jembrana,

termasuk para peneliti dan promotor Jembrana, mempunyai pertanyaan besar,

mengapa karya reformasi yang gemilang bisa berhenti secara bersamaan dengan

keruntuhan sang bupati.

Tentu kisah paradoks Jembrana itu sangat menarik dan menantang bagi

studi politik lokal, baik studi tentang pergulatan kekuasaan maupun studi tentang

perubahan (reformasi). Di satu sisi kisah Jembrana tidak cukup dilihat dari cara

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 6: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

6

pandang reformasi (perubahan) semata meskipun reformasi merupakan realitas

dan ikon utama Jembrana. Pertama, studi reformasi pada umumnya, termasuk

studi reformasi Jembrana (Eko Prasojo, 2005; Ketut Putra Erawan, 2007; R.

Nugroho, 2008), hanya melihat dari sisi kepemimpinan dan manajerial yang

membawa perubahan, namun abai terhadap dimensi pergulatan kekuasaan.

Seolah-olah reformasi berjalan di ruang yang hampa politik, baik politik sebagai

instrumen atau kekuatan untuk menjalankan reformasi maupun politik sebagai

akibat reformasi.

Kedua, studi reformasi cenderung mengabaikan dilema reformasi. Sebagian

studi seperti studi C. von Luebke (2009) hanya melihat dimensi insentif politik

yang menjadi pendorong bagi pemimpin daerah untuk melakukan reformasi. Lebih

dari sekadar insentif politik (pemimpin reformis memperoleh legitimitasi,

popularitas dan elektabilitas yang kuat) dalam perspektif rational choices,

reformasi juga menjadi instrumen baru bagi penguasa untuk mengawetkan dan

mendominasi kekuasaan. Ketika dominasi kekuasaan tercapai maka nilai,

semangat dan hasil reformasi akan mengalami kemerosotan, bahkan

menghasilkan korupsi yang endemik. Dominasi kekuasaan hingga korupsi itu

merupakan dilema serius reformasi yang kurang diperhatikan studi reformasi.

Ketiga, berbagai studi reformasi terjebak pada pujian dan memberikan

predikat cerita sukses pada reformasi, termasuk di Jembrana. Posisi ini sangat

masuk akal, mengingat reformasi adalah proses dan hasil politik yang sulit dan

langka di tengah lembamnya birokrasi dan pemerintahan lokal di Indonesia. Para

pengikut studi reformasi pasti sangat kecewa dan akan melakukan studi ulang

ketika reformasi Jembrana membuahkan cerita sukses secara temporer tetapi

ternyata membuahkan krisis dan kegagalan. Salah satu pelajaran penting bahwa

cerita sukses reformasi yang temporer tidak cukup memadai untuk menjadi

teladan sempurna yang disuarakan besar-besaran secara nasional. Pertanyaan

tentang “cerita sukses” harus ditinjau ulang, tidak cukup memadai menjadi

pertanyaan utama, dan sebaiknya memunculkan pertanyaan baru, mengapa

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 7: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

7

reformasi Jembrana pada tahun-tahun awal mengalami kesuksesan tetapi

belakangan mengalami kegagalan.

Tiga kritik penulis itu relevan untuk memahami praksis reformasi

pemerintahan dan birokrasi di Indonesia yang sulit dan gagal. Reformasi tidak

cukup ditempuh dengan regulasi yang progresif, kepemimpinan yang visioner,

pengambangan kapasitas birokrasi, maupun inovasi organisasi dan pelayanan

secara parsial. Reformasi adalah pergulatan kekuasaan yang penuh dengan

pertarungan antara aktor-aktor yang mendukung versus aktor-aktor yang menolak

reformasi. Pemimpin yang reformis dan visioner harus menggalang para

pendukung reformasi untuk mengalahkan para penentang reformasi, serta

menggunakan kekuasaannya untuk menelorkan kebijakan baru dengan berani dan

nekat (audacious reform). Namun jika kemenangan reformasi yang dihasilkan oleh

pemimpin visioner, legitimate, berani dan nekat itu digunakannya sebagai alat

untuk mendominasi kekuasaan, maka kejayaan reformasi hanya berlangsung

sementara dan bakal berujung pada kegagalan. Bagaimanapun dominasi

kekuasaan selalu melemahkan kontrol publik dan menghadirkan korupsi.

Di sisi lain Jembrana juga tidak cukup dilihat dengan cara pandang

kekuasaan elite. Berbagai studi yang terpusat pada kekuasaan elite pada umumnya

menampilkan kabar-kabar buruk, seraya tidak percaya terhadap teori arus utama

(desentralisasi menumbuhkan demokrasi lokal). Para penganut studi elite yakin

bahwa desentralisasi merupakan bentuk lokalisasi kekuasaan yang menyediakan

ruang bagi elite lokal untuk membangun kekuasaan secara tidak demokratis

(otokratis atau oligarkhis).

Konsep elite capture selalu dipakai oleh studi elite untuk menunjukkan

serangkaian ancaman serius bagi desentralisasi (Remy Prud’homme, 1995, P.

Bardhan dan D. Mookherjee, 2000; Jean-Paul Faguet, 2004). Menurut cara

pandang ini, tujuan-tujuan desentralisasi dipastikan terancam gagal ketika

diserobot oleh barisan elite yang kuat, sebab tindakan itu memotong jalur delivery

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 8: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

8

kebijakan redistributif dan menutup akses ekonomi-politik masyarakat terutama

kaum miskin dan kelompok-kelompok marginal.

Serupa dengan konsep elite capture, elite predator merupakan konsep

kunci yang dikemukakan Vedi Hadiz (2010). Menurut Hadiz, kemunculan politik

lokal di Indonesia merupakan instrumen atau menjadi bagian dari kemunculan

dan konsolidasi atas jaringan-jaringan patronase predatori yang terdesentralisasi

ke daerah setelah keruntuhan Soeharto. Elite lokal bercorak predator itu memiliki

kepentingan, institusi dan kendaraan untuk meraih atau mengamankan posisinya

dalam tatakelola pemerintahan baru yang desentralistis-demokratis. Lokalisasi

kekuasaan melalui desentralisasi meneguhkan praktik-praktik korupsi oleh elite

predator, sekaligus memfasilitasi elite lokal belajar mendominasi demokrasi lokal

melalui penggunaan politik uang dan berbagai instrumen untuk intimidasi dan

mobilisasi politik.

Dengan cara pandang kekuasaan elite itu, baik HS Nordholt (2007) dan Vedi

Hadiz (2010), yang menolak narasi reformasi Jembrana, sekaligus mengatakan

bahwa Bupati IGW bukan sebagai teknokrat unggul melainkan orang kuat lokal

baru yang memenangkan kekuasaan dengan cara membagi-bagi uang kepada para

anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Karya-karya di atas memang sangat provokatif dan meyakinkan. Secara

empirik kabar-kabar buruk (oligarki, defisit politik, lokalisme, korupsi, konflik dan

sebagainya) ditemukan secara menyolok di sebagian besar daerah di Indonesia.

Tetapi karya-karya itu mengandung beberapa kelemahan. Pertama, konsep-

konsep kunci (boss lokal, raja kecil, orang kuat, mafia lokal, negara bayangan, elite

predator, dan sejenisnya) telah menjadi jargon parsimoni yang simpel dan telah

mengalami inflasi dan involusi. Seperti halnya kacamata kuda, studi-studi elite itu

akan menggunakan konsep kunci itu untuk menghakimi setiap daerah, tanpa

melihat konteks lokal yang unik dan beragam. Para pengikut studi elite selalu setia

pada jargon-jargonnya setiap kali mendatangi dan meneliti daerah-daerah yang

berbeda. Dengan kalimat lain, mereka dengan mudah menjatuhkan predikat

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 9: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

9

“orang kuat” (atau jargon-jargon lain) kepada penguasa daerah yang mereka kaji.

Kalau mereka sudah mengatakan “orang kuat” di setiap daerah, lalu what next?

Kedua, tanpa mengembangkan inovasi cara pandang dan analisis yang

mendalam, studi-studi elite selalu menunjukkan cara-cara lama yang digunakan

elite lokal dalam membangun dan mengawetkan kekuasaan. Cara-cara lama itu

seperti penggunaan jaringan patronase, politik parokhial, politik uang, kekerasan

dan lain-lain. Narasi seperti ini, bagi penulis, tidak terlalu relevan untuk

memahami kisah Jembrana, meskipun IGW juga menggunakan cara-cara lama

dalam membangun kekuasaan. Tetapi studi elite studi elite tidak memperhatikan

bahwa IGW juga menggunakan kecerdasan dan reformasi untuk membangun dan

mengawetkan kekuasaan. Melalui reformasi, Bupati IGW mampu secara efektif

mendongkrak kepercayaan dan dukungan mayoritas rakyat Jembrana, sekaligus

melemahkan lawan-lawan politiknya. Karena itu studi elite yang terpusat pada

pergulatan kekuasaan tidak mampu menangkap dan menjelaskan drama reformasi

Jembrana secara utuh dan kontekstual.

Bagi penulis, kabar baik Jembrana yang dikaji oleh studi reformasi dan

kabar buruk yang dipotret oleh studi elite tidak cukup memadai. Pertarungan

antara reformasi dan kekuasaan maupun antara kabar baik dan kabar buruk di

Jembrana sungguh menghadirkan conundrum (teka-teki yang pelik dan rumit)

yang menarik dan menantang, yang sekaligus menjadi titik pijak studi ini. Untuk

memperoleh pengetahuan yang utuh tentang kejayaan dan keruntuhan kekuasaan

dan reformasi di Jembrana tentu dibutuhkan kajian yang induktif dan kontekstual.

Dengan cara yang induktif dan kontekstual, studi ini handak memecahkan

conundrum Jembrana, dengan mengangkat tema utama “politik di balik reformasi”

(the politics behind the reform), yakni politik di balik kejayaan dan keruntuhan

reformasi maupun kekuasaan Bupati IGW. Politik di balik reformasi mengandung

makna bahwa di balik reformasi ada kekuasaan dan dibalik kekuasaan ada

reformasi, yang hadir dalam bentuk pergulatan Bupati IGW dalam membangun

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 10: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

10

kekuasaan dan melancarkan reformasi, yang mengalami kejayaan ganda tetapi

berakhir dengan keruntuhan.

B. Pertanyaan Penelitian

Studi ini berangkat dari sebuah pertanyaan besar: bagaimana kekuasaan

bekerja di balik reformasi? Bagaimana pergulatan kekuasaan dalam proses

reformasi? Bagaimana cerita sukses reformasi diraih dengan pergulatan

kekuasaan? Bagaimana kontestasi reformasi bekerja di balik pergulatan

kekuasaan? Bagaimana reformasi digunakan sebagai instrumen konsolidasi dan

dominasi kekuasaan? Untuk menjawab pertanyaan besar itu, studi ini hendak

melakukan pelacakan pada tiga sisi secara kontekstual di Jembrana.

Pertama, pelacakan dari sisi aktor. Bagaimana Bupati IGW membangun

kekuasaan dengan reformasi? Bagaimana Bupati IGW menggunakan kekuasaan

untuk melancarkan reformasi? Bagaimana perjalanan IGW dalam meraih kejayaan

sampai dengan menuai keruntuhan di ujung kekuasaannya? Siapa kekuatan yang

mendukung dan melawan IGW?

Kedua, pelacakan dari sisi pertarungan politik. Bagaimana IGW

menggalang pendukung dan mengalahkan penentangnya untuk meraih kejayaan?

Bagaimana pertarungan dalam perjuangan reformasi dan kekuasaan? Bagaimana

pertarungan antara kekuasaan dan reformasi? Bagaimana pergulatan kekuasaan

membuahkan reformasi, bagaimana reformasi menghasilkan kekuasaan, dan

bagaimana kekuasaan meruntuhkan reformasi? Bagaimana para penentang

melawan reformasi dan kekuasaan yang berujung pada keruntuhan Bupati IGW?

Ketiga, pelacakan dari sisi konteks. Mengapa kekuasaan IGW dan reformasi

sempat membuahkan kejayaan pada tahun-tahun awal? Mengapa kejayaan IGW

yang dibangun dengan konsolidasi kekuasaan dan reformasi akhirnya mengalami

keruntuhan? Mengapa reformasi mengalami keruntuhan bersamaan dengan

keruntuhan sang bupati? Apa konteks dan bagaimana konteks itu membentuk

pertarungan politik serta kejayaan dan keruntuhan Bupati IGW?

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 11: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Studi ini bertujuan mengkaji ulang teori reformasi dan teori kekuasaan

elite, sekaligus membangun teori alternatif tentang “kekuasaan dalam reformasi”,

baik kekuasaan sebagai alat reformasi dan reformasi sebagai alat kekuasaan.

Untuk mencapai tujuan besar-makro ini, penulis melakukan eksplorasi,

pemahaman dan penjelasan terhadap kesuksesan dan krisis reformasi di

Jembrana, yang berjalan bersama dengan kejayaan dan keruntuhan Bupati IGW.

Berbasis pada tujuan itu, studi ini berharap memberikan sejumlah manfaat

akademik dan praksis. Secara akademik studi ini tidak hanya memperkaya analisis

politik kontekstual, tetapi juga menyajikan cara pandang dan model baru yang

lebih kritis dalam melihat reformasi dan kekuasaan. Penulis berharap bahwa hasil

studi ini bermanfaat sebagai referensi bagi sarjana ilmu politik dan administrasi

publik agar tidak mudah latah bertutur tentang cerita sukses reformasi, atau

terjebak pada citra reformis pada sang pemimpin, sekaligus juga tidak gampang

latah menuding orang kuat atau elite predator. Kisah cerita sukses reformasi

maupun pemimpin reformis pada satu kutub dan kisah orang kuat pada kutub lain

memang merupakan fenomena politik nyata. Tetapi analisis politik menjadi

dangkal kalau penilaian dilakukan secara cepat dan latah. Studi ini menyajikan

pelajaran dan cara pandang baru dengan memperhatikan konteks dan dinamika

pergulatan kekuasaan dalam reformasi, sehingga bisa melihat dengan baik

mengapa sukses reformasi bisa dibangun, tetapi mengapa berakhir dengan

kegagalan; serta mengapa dan bagaimana orang kuat lahir karena reformasi dan

mengapa orang kuat bisa runtuh.

Secara praksis studi ini tidak secara eksplisit memberikan rekomendasi

untuk para praktisi profesional. Tetapi studi ini berguna mengingatkan agar

mereka tidak terpesona pada pemimpin yang berwatak malaikat, tidak

berpandangan bahwa politik (kekuasaan) merupakan penghambat reformasi,

serta agar mereka tidak mudah terjebak pada mantra “cerita sukses” dan “praktik

baik” yang bersifat sementara dan semu. Bagaimanapun baik praktisi maupun para

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 12: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

12

pembelajar sering mudah kecewa ketika cerita sukses dan praktik baik itu

mengalami erosi menjadi cerita gagal dan praktik buruk. Karena itu, meskipun

tidak eksplisit, hasil studi ini menyajikan manfaat bagi para praktisi, khususnya

tentang model reformasi yang utuh, kokoh dan berkelanjutan.

D. Pencarian Kerangka Konseptual

Untuk menjawab rangkaian pertanyaan penelitian, penulis berupaya

melakukan pencarian dan permusan kerangka konseptual yang memadai dan

relevan. Penulis hendak menempuh peta jalan (road map) sebagai berikut.

Pertama, menelusuri dan mengkaji ulang terhadap beragam studi sebelumnya

yang relevan dengan pertanyaan penelitian dan relevan dengan tema “kekuasaan

dalam reformasi”. Seperti akan penulis tunjukkan kemudian, sejumlah studi yang

tersedia tidak cukup memadai untuk memahami dan menjelaskan “kekuasaan

dalam reformasi”, khususnya dalam konteks Jembrana.

Kedua, penulis meminjam teori contentious politics dan teori strukturasi

(agensi-struktur) untuk memahami dan menjelaskan kekuasaan dalam reformasi.

Teori contentious politics antara lain mengedepankan konsep “mekanisme” – yang

berbeda dengan institusi dalam dunia politik konvensional – sebagai bingkai

interaksi berbagai elemen dalam contentious politics: aksi kolektif, politik dan

pertarungan. Namun teori contentious politics tidak sepenuhnya relevan untuk

konteks reformasi Jembrana. Penulis meminjam juga teori agen-struktur untuk

memodifikasi elemen dan mekanisme contentious politics, sehingga menghasilkan

sebuah bangunan mekanisme contentious reform yang dibentuk oleh tiga elemen:

agensi politik (political agency), konteks politik (political context) dan pertarungan

politik (political contention). Karena itu, di satu sisi kedua teori ini merupakan

perspektif alternatif atas sejumlah studi yang kurang relevan untuk menjawab

pertanyaan penelitian. Di sisi lain modifikasi kedua teori itu yang penulis gunakan

sebagai pengantar dan kerangka untuk membangun teori contentious reform.

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 13: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

13

D.1. Tinjauan Pustaka

Melalui tinjauan pustaka, penulis hendak melacak sejumlah literatur atau

studi sebelumnya, yang relevan dengan apa dan bagaimana kekuasaan dalam

reformasi. Pada bagian pertama penulis menelusuri posisi argumen beragam studi

yang kemudian menjadi referensi bagi penulis untuk menunjukkan bahwa

“kekuasaan dalam reformasi” mengandung dua frasa yang berkaitan, yakni

“kekuasaan untuk reformasi” dan “reformasi untuk kekuasaan”. Pada bagian kedua

penulis menelusuri dan menyampaikan kritik terhadap beragam literatur tentang

bagaimana “kekuasaan dalam reformasi” bekerja. Dari kritik, penulis bisa

membangun argumen teoretik alternatif.

D.1.1. Makna “Kekuasaan Dalam Reformasi”

Sebagai titik pijak, studi ini berargumen bahwa reformasi (pemerintahan,

birokrasi, administrasi) bukan perkara administratif-manajerial yang apolitik

sebagaimana dikonstruksi oleh para sarjana administrasi publik. Reformasi adalah

politik, reformasi adalah pergulatan kekuasaan.

Kecuali studi administrasi publik lama tentang reformasi, sebenarnya telah

hadir banyak studi yang memperhatikan dimensi kekuasaan (politik) dalam

reformasi. Namun sebagian studi mengedepankan konstruksi teoretis tentang

“kekuasaan untuk reformasi”, yang menempatkan kekuasaan sebagai variabel

bebas atas reformasi, insentif politik dalam reformasi, maupun kotestasi politik

dalam proses reformasi. Penulis sempat tertarik pada tema Journal of Communist

Studies and Transition Politics (Volume 24 Nomor 1 2008) yang mengusung tema

Putting Administrative Reform in a Broader Context of Power. Dengan membaca

jurnal itu penulis berharap memperoleh perspektif dan pengetahuan yang

memadai tentang “reformasi untuk kekuasaan”, selain tema “kekuasaan untuk

reformasi”. Tetapi sejumlah artikel dalam jurnal ini tidak mengelaborasi kaitan

timbal balik antara kekuasaan dan reformasi. Bahkan artikel Valeri Ledyaev,

“Domination, Power and Authority in Russia: Basic Characteristics and Forms”

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 14: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

14

lebih banyak berbicara struktur dominasi kekuasaan yang membatasi reformasi.

Sedangkan artikel Karine Clément, “New Social Movements in Russia: A Challenge to

the Dominant Model of Power Relationships?”, menunjukkan masyarakat sipil

sebagai aktor baru yang menantang kekuasaan dan mendorong reformasi.

Masyarakat sipil mulai tumbuh, tetapi mereka menghadapi kesulitan untuk

memperluas gerakan mereka dan mengafirmasi nilai, identitas dan klaim mereka

di hadapan negara. Karena itu reformasi administrasi di Russia hanya melalui

rekayasa teknokratis yang bekerja dalam konteks office politics negara dan

birokrasi.

Pada titik yang lain studi tentang kekuasaan elite cenderung abai terhadap

dimensi reformasi. Studi tentang elite memusatkan perhatian pada asal-usul elite,

cara elite merebut kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan, pembentukan elite

predator atau orang kuat, serta pembajakan demokrasi yang dilakukan oleh orang

kuat itu. Mereka lebih banyak menunjukkan cara elite dengan koersi, manipulasi,

bujuk rayu, kooptasi dan suap untuk membangun dan mengawetkan kekuasaan,

atau membangun dinasti politik yang berkelanjutan. Hampir tidak ada studi

tentang elite yang menunjukkan kehadiran orang kuat melalui jalan reformasi atau

mengangkat tema “reformasi untuk kekuasaan”.

Teori elite tentu memberikan pelajaran tentang bagaimana elite

membangun kekuasaan dan bagaimana terjadi dominasi segelintir elite (oligarkhi)

terhadap mayoritas. Cara pandang seperti ini mengajarkan kepada penulis untuk

membaca secara kritis terhadap demokrasi secara umum dan bahkan reformasi

yang terjadi di Jembrana. Dengan kalimat lain, teori elite mengingatkan kepada

setiap orang untuk tidak terlalu dini (prematur) memberi predikat “cerita sukses”

pada reformasi Jembrana. Tetapi kalau cara pandang teori elite klasik dipakai

terus-menerus (misalnya menghakimi elite capture, oligarkhi atau elite preadator

sebagaimana dilakukan oleh studi elite), maka akan menghasilkan involusi yang

tidak inovatif. Dinamika dan konteks lokal yang beragam tentu akan menghasilkan

cara pandang yang lebih inovatif, misalnya reformasi di Jembrana tidak mungkin

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 15: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

15

bisa diabaikan begitu saja, setidaknya reformasi menjadi cara baru penguasa lokal

seperti IGW untuk membangun kekuasaan.

Melampaui teori elite itu, penulis menemukan sedikit literatur yang melihat

reformasi dari sisi kekuasaan, yang berguna untuk memahami tema “reformasi

untuk kekuasaan”. Tema “reformasi untuk kekuasaan” menempatkan reformsi

sebagai variabel dependen yang berpengaruh terhadap kekuasaan, yakni

reformasi bukan sekadar alat untuk memperkuat legitimasi, bukan juga sebagai

alat untuk merombak struktur kekuasaan yang nondemokratis, melainkan

reformasi sebagai alat untuk memperkuat dan mengawetkan dominasi kekuasaan.

Studi Willem Van Vuuren (1985) tentang reformasi nasional di Afrika pada

dekade 1980-an, misalnya, memberikan pelajaran penting tentang cara pandang

reformasi sebagai alat kekuasaan. Vuuren berpendapat bahwa reformasi nasional

di Afrika Selatan sebelum demokratisasi bukan sekadar merupakan manifestasi

dari perubahan konstitusional dan refleksi dari pergeseran ideologi, tetapi

reformasi dilakukan oleh elite untuk merawat dominasi kekuasaan.

D. Acemoglu dan J. Robinson (2008) mempunyai pendapat serupa. Dengan

mendasarkan diri pada teori elite klasik Gaetano Mosca, Acemoglu dan Robinson

berpendapat bahwa perubahan institusi politik melalui reformasi menciptakan

distribusi kekuasaan secara de jure tetapi juga menciptakan insentif bagi investasi

kekuasaan secara de facto, yang secara parsial atau penuh, mampu melemahkan

struktur kekuasaan de jure. Model ini, menurut mereka, sebagai bentuk

pemeliharaan oligarkhi elite dan penyerobotan demokrasi.

B. Arts dan JV Tatenhove (2004) memberikan argumen tentang relasi

timbal balik antara kekuasaan dan reformasi (perubahan) secara menarik. Di satu

sisi agen politik menggunakan tiga lapis kekuasaan (relasional, disposisional dan

struktural) untuk menghasilkan reformasi (inovasi kebijakan, susunan kebijakan

dan modernisasi politik). Agen memanfaatkan kapasitas kekuasaan (power

capacity atau power to) dan perjuangan politik (kekuasaan transitif) untuk meraih

perubahan kebijakan dengan cara melawan kehendak aktor-aktor lain yang

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 16: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

16

berposisi penentang dalam pertarungan zero sum game. Sebaliknya, tiga dimensi

reformasi (inovasi kebijakan, susunan kebijakan dan modernisasi politik) juga

menjadi jalan baru bagi pembentuk tatanan (order) dominasi dan legitimasi

struktur kekuasaan. Pola ini membentuk susunan korporatis yang stabil, dimana

negara menjamin perwakilan kepentingan masyarakat dan kelompok-kelompok

kepentingan dalam proses politik dan kebijakan, seraya memberikan informasi,

pengaruh, dan status; sementara masyarakat maupun kelompok-kelompok

kepentingan memperoleh akses serta memberikan dukungan, kerjasama, disiplin

dan legitimasi.

Secara empirik arus reformasi di China memberikan gambaran konkret

tentang pertautan antara reformasi dan dominasi. Banyak studi telah

memperlihatkan dinamika, cerita sukses dan dilema reformasi China (Joseph

Fewsmith, 1994; Cheng Li, 1997; Wang Gungwu dan Zheng Yongnian, 2001; Zheng

Yongnian, 2004). Reformasi telah mengubah ekonomi sosialis menuju ekonomi

kapitalis yang membuat China menjadi raksasa ekonomi baru, dengan percepatan

dan pertumbuhan ekonomi yang fantastis. Secara sosial reformasi, yang sangat

dipengaruhi oleh tradisi konfunianis, semakin memperkuat kohesi sosial dan

identitas kolektif China di tengah pentas global. Namun secara politik reformasi

tidak menciptakan distribusi kekusaan secara demokratis-pluralis melainkan

meneguhkan dominasi kekuasaan secara otokratis-korporatis, yakni dominasi

pemerintah pusat atas daerah, dominasi negara terhadap masyarakat, maupun

dominasi partai politik terhadap birokrasi.

Rangkaian argumen di atas memberikan keyakinan pada penulis untuk

memaknai frasa “kekuasaan dalam reformasi”, yang mengandung dimensi

“kekuasaan untuk reformasi” dan “reformasi untuk kekuasaan”. Tema “kekuasaan

untuk reformasi” tentu sudah lazim, sejalan dengan argumen bahwa reformasi

adalah pergulatan kekuasaan. Sejumlah argumen dalam tema “reformasi untuk

kekuasaan” sungguh menarik dan menghilhami penulis, sebab tema itu sangat

relevan dengan konteks Jembrana. Bupati IGW, selain menggunakan kekuasaan

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 17: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

17

untuk melancarkan reformasi, juga menggunakan reformasi untuk kekuasaan.

Namun studi ini bukan meletakkan “kekuasaan dalam reformasi” dalam kerangka

kekuasaan, melainkan dalam kerangka reformasi.

D.1.2. Studi tentang Kekuasaan Dalam Reformasi

Studi tentang kekuasaan dalam reformasi sudah banyak bertebaran,

meskipun studi yang mengambil tema “reformasi untuk kekuasaan” masih sedikit.

Melalui tabel 1.1 penulis memetakan sejumlah perspektif dan studi yang telah

mengkaji reformasi. Penulis akan menguraikannya sekaligus menyampaikan kritik

terhadap semua perspektif, kecuali perspektif teori elite dan studi reformasi untuk

kekuasaan, sebab keduanya sudah penulis tampilkan sebelumnya. Namun izinkan

penulis melakukan pengelompokan semua perspektif menjadi tiga kluster

berdasarkan aktor penggerak reformasi: reformasi yang digerakkan oleh lembaga

donor (donor driven reform) yang mengusung persepktif global governance;

reformasi yang digerakkan oleh masyarakat (society driven reform) yang

mencakup perspektif gerakan sosial, asosiasionalisme demokrasi lokal, maupun

politik representasi merebut negera; serta reformasi yang digerakkan oleh

pemimpin atau elite (elite driven reform).

Tabel 1.1

Peta studi kekuasaan dalam reformasi Perspektif Argumen/orientasi Aktor dan proses Studi Global governance & neoliberal

Politik menghambat reformasi, sehingga perlu intervensi apolitik dari eksternal.

Menciptakan pelayanan publik yang akuntabel-responsif, demokrasi liberal, ekonomi pasar dan kapitalisme global

Lembaga internasional pemberi utang dan bantuan melakukan intervensi reformasi pemerintahan dan pembangunan ke Dunia Ketiga, dengan membawa new public management dan good governance.

Konsensus global, kerjasama donor dengan pemerintah, konsultan ahli dan NGOs, melakukan diseminasi dan publikasi

J. Tendler (1997), R. Bennett (1990), S. Burki (1999), T. Campbell (2003), World Bank (1997, 2005a, 2005b, 2007, 2008), Stone & Wright (2007), Cheung, (2005), Schoburgh, (2007), Pollitt (2001), Mosse (2005), Batley (2004), Crook dan Sverisson (2002), Manor (2004); Goetz

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 18: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

18

ide-wacana, rekayasa kebijakan dan kelembagaan, capacity bulding, aksi kolektif, pemberdayaan.

& Jenkins (2004)

Gerakan sosial Melawan negara, meruntuhkan otoritarianisme, demokrasi dan HAM, melawan korupsi, perjuangan keadilan gender, reformasi agraria

Aktor-aktor nonnegara menggelar gerakan sosial berbasis massa untuk melawan negara, protes terhadap kebijakan yang bermasalah dan diskriminatif, dan memperjuangkan kebijakan baru.

Clément (2008), Tarrow (1994, 1998, 2011)

Politik representasi dan merebut negara

Negara dikuasi oleh oligarkhi elite, sementara gerakan sosial sangat lambat, sehingga negara dan kekuasaan harus direbut oleh aktor masyarakat.

Menggeser gerakan sosial ke gerakan politik

Aktor-aktor pembawa reformasi menggalang dukungan, bergabung dalam partai politik, berkompetisi dalam proses elektoral untuk merebut kekuasaan

Sekarang di Indonesia tengah ada trend baru,bahwa para aktivis merebut posisi kepala daerah maupun parlemen,

Hampir tidak ada studi tentan tema ini. DEMOS Indonesia (2007) hanya merekomendasikan para aktivis prodemokrasi masuk ke ranah politik merebut kekuasaan. Mietzner (2013) telah meneliti tindakan dan pengaruh politisi-aktivis di DPR.

Asosiasionalisme demokrasi lokal

Memupuk modal sosial, memperkuat masyarakat sipil, partisipasi warga, memperdalam demokrasi lokal, dan membuat pemerintah lokal semakin akuntabel

Warga membangun organisasi masyarakat sipil, membangun kerjasama dan jaringan, mengisi ruang publik, dan civic engagement dalam pemerintahan lokal, untuk memperjuangkan kepentingan warga dan menantangkan akuntabilitas-responsivitas pemerintah lokal.

Putnam (1993), Abers (2001), Heller (2001), Gaventa (2001, 2006), Avritzer (2002), Fung dan Wright (2003), Alagappa (2004), Diamond (2003), Cornwall dan Coelho (2007), Baiocchi et. al (2008), Takhesi (2006)

Institusionalisme aktor rasional (elite led reform)

Kalkulasi manfaat lebih besar daripada ongkos, atau karena insentif politik, pemimpin melakukan reformasi

Pemimpin secara visioner, berani dan nekat melakukan perubahan terhadap kebijakan, organisasi, personel, penganggaran, pelayanan publik yang pro rakyat

Schneider dan Teske (1995), Grindle (2000), Pollitt and Boukaert (2004), Heyse et. al. (2006), Luebke (2009).

Institusionalisme sosiologis-historis (institutionalized reform)

Reformasi sarat dengan kontestasi dan pertarungan politik antaraktor, sehingga perlu konsensus dan pelembagaan, agar

Reformasi bisa muncul dari bawah (masyarakat), dari samping (politisi) dan bisa dari atas (pemimpin).

Reformasi menjadi menjadi arena kontestasi

Grindle (2004, 2007), Blom-Hansen et. al (2012), Berg & Rao, (2005), Manor (2007), Robinson (2007); Wollmann

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 19: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

19

reformasi berjalan secara smart, kokoh dan berkelanjutan

beragam aktor, sehingga ditempuh dengan deliberasi dan konsensus kolektif.

(2008); Gains, Greasley, Peter John dan Stoker (2009)

Teori kekuasaan elite

Elite yang kuat, dominan, otokratis

Elite melakukan bujuk rayu, suap, koersi dan manipulasi untuk meraih dan mengawetkan kekuasaan.

Elite melakukan perampasan terhadap sumberdaya.

Elite pradator memanfaatkan dan membajak demokrasi.

Nordholt (2007), Hadiz (2010), Sidel (2005).

Reformasi untuk kekuasaan

Elite reformis dominan

Elite menggalang dukungan kekuasaan dan reformasi, menggunakan reformasi untuk melemahkan lawan-lawan politik, meningkatkan legitimasi, dan meraih dominasi kekuasaan.

Vuuren (1985), Acemoglu & Robinson (2008), B. Arts dan JV Tatenhove (2005), Fewsmith (1994); Cheng Li (1997); Gungwu dan Yongnian, (2001); Yongnian (2009)

Reformasi yang digerakkan dari luar oleh lembaga donor internasional

(donor driven reform). Sejumlah lembaga donor seperti World Bank, UNDP,

USAID, UKAid, dan lain-lain membawa perspektif “global governance” atau

“agenda kebijakan baru” untuk mendesakkan reformasi pemerintahan di seluruh

negara di dunia. Perspektif normatif-preskriptif ini sangat dominan, yang tersedia

di banyak dokumen resmi lembaga-lembaga donor internasional maupun

lietaratur yang bertitel “public sector reform” atau “public management reform”.

Lembaga-lembaga internasional (pemberi utang dan bantuan) merupakan aktor

penting dalam reformasi sektor publik ketika pemerintah (nasional dan lokal) di

negara-negara berkembang tidak memiliki kapasitas pengetahuan dan finansial

yang memadai. Mereka hadir ke banyak negara, dengan membawa bantuan dan

utang, menjalin kerjasama resmi dengan pemerintah untuk melancarkan reformasi

sektor publik. Di dalam negeri seperti Indonesia, lembaga-lembaga internasional

bekerjasama dengan konsultan ahli, para birokrat profesional, maupun NGOs –

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 20: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

20

yang oleh NH Nordholt (2007) disebut sebagai kaum optimis profesional –

menggelar ide, wacana dan praksis reformasi. Ide (substansi) reformasi dibimbing

oleh tradisi neoliberal yang mengutamakan New Public Management (privatisasi,

desentralisasi, contracting out, pemberdayaan, pemerintahan wirausaha, dan

sebagainya) dan good governance (transparansi, akuntabilitas, responsivitas,

kemitraan). Ide dan wacana normatif itu merupakan preskripsi reformasi

(Anthony B. L. Cheung, 2005), yang dijalankan dengan praksis “program

reformasi” (Eris Schoburgh, 2007). Imposisi New Public Management (NPM) dari

luar itu belangsung secara apolitik dengan diskusi, keputusan, tindakan dan hasil

(Pollitt, 2001).

NPM dan good governance sebagai resep (preskripsi) reformasi tentu tidak

relevan untuk alat deskripsi dan ekplanasi terhadap kekuaaan di balik reformasi.

Namun preskripsi itu juga dijalankan secara praksis melalui pelembagaan

reformasi yang digerakkan oleh pemimpin dari atas, partisipasi warga, maupun

kemitraan pemerintah dengan NGOs. Lembaga donor seperti World Bank sangat

optimis bahwa proyek desentralisasi, NPM, good governance, hingga community

driven development menuai keberhasilan karena setidaknya telah diadopsi dan

dijalankan oleh banyak negara.

Paling tidak ada empat faktor yang membuat sukses tekanan internasional

terhadap reformasi. Pertama, krisis menciptakan ketidakpastian, yang membuka

ruang dan menciptakan insentif untuk perubahan; dan semakin banyak bentuk

kritis, ada ruang yang lebih besar untuk belajar. Kedua, hadirnya pemimpin baru.

Bulan madu pemimpin baru dalam transisi umumnya membuka penerimaan

terhadap pembelajaran untuk perubahan. Ketiga, transisi demokrasi.

Pemerintahan yang demokratis jauh lebih terbuka dengan perubahan dan

beragam aktor, dibandingkan dengan pemerintan otokratis. Keempat, kapasitas

negara terbatas dalam merespons beragam masalah dan tantangan, sehingga

negara membuka diri untuk kerjasama, belajar dan berubah (Bermeo, 1992; Hall,

1993; McCoy, 2000; Hochstetler, 2002; Bräutigam dan Segarra, 2008).

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 21: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

21

Tetapi di balik optimisme program reformasi dari lembaga donor itu ada

sederet kritik yang disampaikan oleh banyak sarjana. Pertama, perubahan hanya

semu dan sementara yang gagal menghasilkan perubahan berkelanjutan, sekaligus

tidak ada hubungan dekat antara apa yang negara lakukan dengan apa yang

mereka janjikan ketika mereka menandatangani utang atau bantuan (Killick 1998;

Burnside dan Dollar 2000; Drazen 2002). Kedua, ada kepentingan politik di

negara-negara berkembang yang sering resisten meskipun lembaga-lembaga

internasional bekerjasama dengan NGOs nasional telah melakukan tekanan

perubahan (Nelson, 1995; Fox, 2000; Hunter dan Brown, 2000; Goldman, 2005).

Pemerintah sering mempertanyakan legitimasi NGOs dan menuding NGOs sebagai

“agen asing”. Ketiga, keterlibatan aktor-aktor internasional dalam reformasi

kebijakan cenderung bersifat pemaksaaan (imposition) yang mengurangi kepekaan

politik lokal atas proses reformasi (Eris Schoburgh, 2007), melemahkan

kepemilikan lokal atas reformasi (David Mosse, 2005), dan sekaligus merusak

hubungan akuntabilitas antara warga, pembuat keputusan dan penyedia layanan

publik (Richard Batley, 2004).

Memang NPM dan good governance sebagai resep reformasi sektor publik

tersebar ke penjuru dunia, termasuk Indonesia, baik level nasional maupun

daerah. Mulai dari privatisasi, kemitraan publik dan privat dalam pengadaan

barang dan jasa, penggunaan tenaga alih daya (outsourcing), sampai dengan

pelayanan satu atap (one stop service) merupakan pengaruh perspektif global

governance. Di Jembrana juga terdapat alih daya dan pelayanan satu atap. Tetapi

Bupati IGW sama sekali tidak bekerjasama dengan lembaga internasional, juga

tidak menggelar ide dan wacana demokrasi maupun good governance, dalam

menggelar pertarungan kekuasaan dan reformasi di Jembrana. Karena itu studi ini

mengabaikan reformasi yang digerakkan oleh lembaga-lembaga donor

internasional yang membawa persepktif global governance.

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 22: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

22

Reformasi yang digerakkan masyarakat. K. Weyland (2008) maupun C. von

Luebke (2009) menyebutnya sebagai demand side based reform atau reformasi

yang berasal dari sisi tuntutan/desakan masyarakat dari bawah. Gerakan sosial

merupakan bentuk reformasi yang digerakkan oleh masyarakat dengan cara

radikal. Gerakan sosial juga sering disebut sebagai aksi kolektif. Sydney Tarrow

(1994) misalnya, mendefinisikan aksi kolektif sebagai perlawanan bersama oleh

rakyat (people) dengan upaya bersama dan solidaritas dalam interaksi yang

berlanjut dengan elite, musuh-musuhnya dan pemegang kekuasaan. Aksi kolektif

hadir dalam bentuk asosiasi kepentingan, gerakan protes sosial, pemberontakan,

pembangkangan, pemogokan, kampanye antikorupsi dan lain-lain. Gerakan sosial

membentang luas dari bentuk gerakan buruh, gerakan petani, gerakan HAM,

gerakan persamaan warga negara, gerakan demokrasi antiotokrasi, gerakan

lingkungan, gerakan multikulturalisme, gerakan antikorupsi, dan masih banyak

lagi. Orientasi gerakan sosial dalam reformasi tampak beragam, seperti gerakan

memperjuangkan kebebasan sipil, melawan dan meruntuhkan rezim

otoritarianisme seperti gerakan reformasi 1998, gerakan melawan kebijakan yang

bermasalah, menekan pemerintah dan parlemen agar melakukan reformasi,

maupun gerakan melawan dan memberantas praktik korupsi penguasa.

Jika gerakan sosial secara radikal melawan negara, perspektif masyarakat

sipil dan asosiasionalisme demokrasi lokal hadir lebih moderat, yakni menjalin

kemitraan dengan pemerintah dan keterlibatan masyarakat dalam arena

pemerintahan lokal. Robert Putnam (1993), yang dipengaruhi oleh Alexis

Tocqueville, merupakan ilmuwan terkemuka yang meyakini vitalitas

asosionalisme masyarakat sipil untuk memperdalam demokrasi dan reformasi

pemerintahan lokal. Dengan studi yang panjang di Italia, Putnam membangun

argumen yang bertenaga bahwa desentralisasi menumbuhkan modal sosial dan

tradisi kewargaan di aras lokal. Partisipasi demokratis warga telah membiakkan

komitmen warga yang luas maupun hubungan-hubungan horizontal: kepercayaan

(trust), toleransi, kerjasama, dan solidaritas yang membentuk apa yang disebut

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 23: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

23

Putnam sebagai komunitas sipil (civic community). Indikator-indikator civic

engagement (seperti solidaritas sosial dan partisipasi massal) yang membentang

luas berkorelasi tinggi dengan kinerja pembangunan ekonomi dan kualitas

kehidupan demokrasi. Selama seperempat abad terakhir, desentralisasi di Italia

telah mentransformasikan kultur politik elite yang demokratis. Pembentukan

pemerintahan lokal yang mendapatkan sejumlah kekuasaan otonom dan kontrol

atas sumberdaya lokal, menghasilkan suatu tipe politik yang secara ideologis tidak

terlalu terpolarisasi, lebih moderat, toleran, pragmatis, lebih fleksibel dan suatu

penerimaan mutual yang lebih besar di antara hampir semua partai. Secara

berangsur-angsur warga mulai mengidentifikasi diri dengan pemerintahan lokal dan

bahkan lebih menghargainya ketimbang pemerintahan nasional. Putnam juga

menegaskan bahwa desentralisasi dan demokratisasi lokal mempunyai potensi

besar untuk merangsang pertumbuhan organisasi-organisasi dan jaringan

masyarakat sipil (civil society). Arena kehidupan komunitas dan lokal lebih

menawarkan cakupan terbesar bagi organisasi-organisasi independen untuk

membentuk dan mempengaruhi kebijakan. Pada level lokal, rintangan-rintangan

sosial dan organisasional terhadap aksi kolektif lebih rendah dan sederet masalah

yang menuntut perhatian (dari layanan sosial sampai transportasi dan lingkungan)

berdampak langsung pada kualitas hidup warga. Keterlibatan langsung warga dalam

penyelenggaraan layanan publik pada level lokal menghasilkan suatu peluang

penting untuk memperkuat keterampilan warga secara individual dan akumulasi

modal sosial, seraya membuat pelayanan publik lebih reponsif dan akuntabel.

Perspektif Putnam itu sangat berpengaruh terhadap perspektif dan studi

para sarjana generasi berikutnya. M. Alagappa (2004), menyampaikan sebuah

kesimpulan bahwa organisasi masyarakat sipil berperan penting membuat

perubahan politik yang mengarah pada institusi dan sistem politik yang lebih

terbuka, partisipatoris dan akuntabel. Melimpahnya ruang baru bagi partisipasi

warga menghasilkan reformasi tatapemerintahan (Cornwall dan Coelho, 2007). Di

Brasil, sejumlah studi menunjukkan vitalitas masyarakat sipil menjadi kekuatan

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 24: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

24

pengimbang terhadap dominasi penguasa lokal. Organisasi masyarakat sipil bukan

saja memperkuat suara-suara kritis, tetapi juga melakukan transformasi norma

dan praktik demokrasi lokal (Avritzer 2002, Gianpaolo Baiocchi etl. al. 2008)

Di Indonesia, Ito Takhesi (2006), misalnya, menunjukkan peran vital

organisasi masyarakat sipil dalam reformasi pemerintahan lokal di Kabupaten

Bandung. Ketika kekuasaan tidak hanya terpusat di tangan pemerintah daerah,

tetapi mengalami penyebaran ke berbagai institusi politik, dan hal ini menciptakan

kompetisi politik, pemerintah daerah berupaya meningkatkan akuntabilitas

melalui kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil (OMS). OMS, yang memiliki

pengetahuan tentang kebijakan publik dan berjaringan dengan pemerintah daerah,

mampu memainkan peran penting dalam transformasi konsep tentang reformasi

pemerintahan lokal ke dalam model perencanaan partisipatoris dan

pemberdayaan desa secara konkret. Dalam situasi kompetisi politik, keterlibatan

OMS dalam reformasi pemerintahan lokal memfasilitasi komunikasi, mengurangi

ketegangan antaraktor politik, serta menjembatani kesenjangan antara negara dan

masyarakat sipil.

Penulis sangat sadar bahwa kehadiran organisasi masyarakat sipil itu

masih prematur, rentan, dan tidak mungkin membuahkan perubahan secara cepat

karena masih kuatnya struktur politik oligarkhis. Masyarakat sipil tentu bukanlah

malaikat sempurna, yang tidak luput dari masalah-masalah yang serius. Organisasi

masyarakat menampakkan dua sisi yang paradoks, ada yang civil tetapi juga ada

yang uncivil. Di satu ada gerakan sosial yang hendak menuntut perubahan, tetapi

di sisi lain ada kelompok masyarakat yang berburu money politics pada perhelatan

pemilihan umum maupun pilkada. Ada juga organisasi berbasis primordial yang

menebar kekerasan dan konflik horizontal. Tetapi modernisasi maupun

pembangunan yang berjalan selama ini tentu menghasilkan begitu banyak ragam

generasi: ada generasi yang hedonis tetapi juga ada generasi transformatif.

Generasi baru yang transformatif ini adalah kekuatan masyarakat sipil, mereka

adalah kalangan terdidik baik di dunia pendidikan maupun organisasi masyarakat,

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 25: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

25

yang mempunyai integritas moral, kritis, beradab dan berpandangan visioner.

Mereka menaruh perhatian pada isu-isu publik, antikemapanan, antilokalisme,

antikorupsi dan tentu juga kritis terhadap pemerintahan daerah, sehingga mereka

menjadi kekuatan kontrol sosial yang memberi makna terhadap daerah.

Berbeda dengan pemilihan umum yang dalam tempo singkat

memperlihatkan “hasil siapa memperoleh apa”, pertumbuhan masyarakat sipil

beserta hasil dan manfaatnya tidak bisa dirasakan secara langsung saat ini. Ralp

Dahrendorf (1990) pernah menyampaikan petuah berharga: “Sebuah negara bisa

membangun demokrasi politik selama 6 bulan, bisa menciptakan ekonomi pasar

selama 6 tahun, tetapi tumbuhnya masyarakat sipil yang kuat di Eropa Timur

membutuhkan waktu selama 60 tahun”.

Di balik petuah itu tampak mengandung makna bahwa gerakan sosial,

partisipasi warga, maupun gerakan masyarakat sipil berperan penting terhadap

transformasi politik menuju demokrasi, termasuk membuat pemerintahan lokal

yang lebih responsif dan akuntabel. Kehadiran kekuatan masyarakat bukan

menggerakkan reformasi dalam tempo yang cepat. Studi Grindle (2007) terhadap

30 daerah di Meksiko maupun studi C. Von Luebke (2009) atas 8 kabupaten di

Indonesia, menunjukkan bahwa reformasi pemerintahan lokal datang dari

pemimpin daerah ketimbang dari aktor masyarakat.

Kehadiran kekuatan masyarakat memang tidak serta merta menghasilkan

perubahan kebijakan maupun struktur dan institusi pemerintahan lokal. Tetapi

baik komunitas warga maupun masyarakat sipil tidak bisa dianggap remeh. Studi

penulis bersama YAPPIKA di enam daerah (Bandar Lampung, Pekalongan,

Surakarta, Malang, Kupang dan Sinjai) menemukan vitalitas komunitas warga dan

LSM menantang akuntabilitas pelayanan publik. Pertama, kekuatan masyarakat

menjadi pengimbang dan kontrol publik terhadap pemerintah lokal, termasuk

menjadi watch dog terhadap korupsi. Kedua, mereka menciptakan ruang-ruang

publik dan membangkitkan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan lokal,

termasuk pengaduan mereka terhadap pelayanan publik. Ketiga, unit pelayanan

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 26: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

26

(seperti Puskesmas, RSUD, Dinas Dukcapil hingga PLN) memberikan respons

positif terhadap tuntutan masyarakat, yang membuat mereka melakukan

perubahan pelayanan, baik dari sisi standar, prosedur, kualitas, biaya dan akses

(Sutoro Eko, 2014).

Karena kekuatan gerakan masyarakat sipil hanya mampu mendorong

transformasi secara gradual dan kurang signifikan mendesakan reformasi, maka

lahirlah perspektif politik representasi yang merebut negara (reclaiming the

state). Penulis menyebut perspektif ini sebagai aliran ketiga dalam masyarakat

sipil, dan sekaligus aliran keempat dalam politik representasi. Dari sisi

masyarakat sipil, perspektif “merebut negara” (gerakan sosial) melampaui

“melawan negara” dan “berkawan dengan negara” (partisipasi dan citizen

engagement). Dalam perspektif “merebut negara”, masyarakat tidak lagi

menantang kebijakan atau mempengaruhi kebijakan, melainkan menentukan

kebijakan secara langsung.

Dari sisi representasi, selama ini dikenal ada tiga bentuk. Pertama,

representasi dengan rantai kedaulatan rakyat melalui hubungan antara agen dan

principal. Dalam representasi politik, orang-orang yang diwaliki disebut

konstituen atau principal dan yang mewakili disebut secara populer sebagai wakil

rakyat atau agent. Pembentukan wakil atau agent dilakukan dengan pemilihan

umum (election), dimana konstituen memberikan mandat atau perintah kepada

wakil dan wakil mengambil keputusan atas nama konstituen, serta akuntabel dan

responsif pada konstituen. Kedua, partisipasi rakyat secara massif dan langsung,

tanpa melalui perantara atau agen. Ketiga, representasi asosiasional melalui NGOs

(Olle Tornquist, 2009).

Perspektif merebut negara menjadi bentuk keempat dalam politik

representasi. Dalam konteks ini merebut negara mempunyai dua makna. Pertama,

partisipasi radikal membangun demokrasi yang kuat (strong democracy) untuk

merebut arena dan sumberdaya negara. Kisah participatory budgeting di Porto

Alegre, misalnya, memberikan contoh terkemuka kemenangan radikalisme

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 27: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

27

masyarakat sipil dan masyarakat politik (partai politik) yang sukses melakukan

reklaim atas negara (Hillary Wainwraight, 2003; dan Bruno Jobert, 2008). Kedua,

representasi organisasi rakyat, organisasi masyarakat sipil, atau aktivis

prodemokrasi dan reformasi merebut jabatan-jabatan publik seperti parlemen

atau kepala daerah.

Dalam tema merebut negara, aktor-aktor masyarakat berubah dari

prinsipal ke agen. Perspektif ini sebenarnya tidak begitu populer, sebab merebut

negara sama saja dengan kombinasi antara partisipasi rakyat dan asosiasionalisme

yang masuk ke ranah rantai kedaulatan rakyat. Dilihat dari rantai kedaulatan

rakyat, setiap orang – entah dari organisasi rakyat, NGOs, pedagang, petani,

nelayan, buruh dan sebagainya – mempunyai hak dan kesempatan yang sama

untuk menjadi agen (wakil rakyat). Tetapi orang biasa merebut negara dengan

menjadi agen bukan representasi yang konvensional. Hal ini menjawab struktur

kepartaian yang oligarkhis-eksklusif, representasi mengambang, elite capture dan

oligarkhi elite yang tidak pro rakyat.

Di Indonesia, organisasi masyarakat sipil berhasil mendesakkan

representasi calon independen dalam sistem pemilihan kepala daerah, dengan

tujuan agar aktor-aktor prorakyat, prodemokrasi dan proreformasi mempunyai

kesempatan merebut negara melalui kontestasi sebagai calon kepala daerah, di

tengah struktur partai yang oligarkhis-eksklusif. Sementara DEMOS dan

Pergerakan, merupakan organisasi masyarakat sipil yang lebih jauh

mengembangkan perspektif masyarakat merebut negara. Pilihan ini didasari oleh

beberapa hal dan juga dipengaruhi oleh keyword ala Olle Tornquist (2006, 2009)

seperti demokrat mengambang, representasi mengambang, desentralisasi

oligarkhis, pembajakan demokrasi, representasi popular dan sebagainya. Pertama,

elite telah membajak demokrasi, representasi bersifat mengambang dan suasana

apolitik. Kedua, para aktivis prodemokrasi tidak mempunyai basis dukungan

kerakyatan yang kuat, serta tidak terlibat dalam pemerintahan dan representasi.

Karena tidak adanya konstituen yang jelas, para aktor prodemokrasi seakan-akan

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 28: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

28

menjadi “demokrat mengambang” di tengah-tengah massa mengambang. Dengan

tetap memegang teguh prinsip nonpartisan, elemen-elemen masyarakat sipil

prodemokrasi cenderung menggunakan cara-cara tradisional dalam memobilisasi

dukungan terhadap kebijakan mereka. Ketiga, pengalaman Lech Wałęsa (tukang

listik, aktivis serikat pekerja) yang berhasil menjadi presiden Polandia (1990-

1995) maupun pengalaman Evo Morales (petani kokain dan aktivis gerakan

sosialis) yang sukses menjadi Presiden Bolivia 2006, selalu menjadi referensi

besar bagi perspektif masyarakat merebut negara.

Karena itu DEMOS merekomendasikan dan secara praksis memfasilitasi

para aktivis prodemokrasi di banyak daerah mengubah haluan dari gerakan sosial

ke gerakan politik, yakni merebut jabatan publik di parlemen dan kepala daerah.

Namun DEMOS tampaknya belum melakukan overview terhadap signifikansi

kehadiran politisi-aktivis tersebut terhadap democratic reform. Apakah para

politisi-aktivis yang menjadi kepala daerah maupun parlemen berpengaruh secara

signifikan terhadap reformasi dan demokrasi?

DEMOS belum memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Studi Marcus

Mietzner (2013), misalnya, bisa menjadi referensi untuk menjawab signifikansi

perspektif merebut negara. Dia telah melakukan studi tentang representasi aktivis

ke dalam DPR pada pemilu 2009, yang berjumlah 37 orang (setara 7% dari total

560 anggota DPR), lebih besar dari 2% mantan tentara dalam DPR. Dari 37

anggota politisi-aktivis itu, Marcus membagi menjadi 3 kategori. Pertama, politisi-

aktivis yang berorientasi pada karir, yakni mencari kedudukan dan kekayaan

ekonomi. Dengan kalimat lain, aktivis hijrah menjadi politisi DPR dalam rangka

mencari kerja. Kedua, politisi-aktivis berorientasi politik, yang memupuk

kekuasaan atas dirinya sendiri dan untuk partainya. Kedua kelompok ini

mempunyai kesamaan. Mereka terjebak (kooptasi) dalam pragmatisme dan

patronage politik, termasuk dalam pencarian dana melalui cara yang tidak

transparan dan tidak akuntabel. Ketiga, kelompok politisi-aktivis yang berorientasi

pada perubahan dan demokrasi. Mereka tidak terjebak dalam korupsi dan

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 29: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

29

patronase politik sebagaimana dilakukan oleh kelompok pertama dan kedua,

namun kelompok reformis ini tidak mampu mendorong perubahan besar, kecuali

hanya mendorong sebagian produk legislasi yang mengarah pada reformasi.

Kekuatan ini tidak mampu mendobrak “demokrasi patronase” yang terbangun di

Indonesia pasca-Soeharto.

Reformasi yang digerakkan dari atas oleh elite (pemimpin). Perspektif ini yang

paling dominan dalam studi reformasi atau dalam kerangka “kekuasaan untuk

reformasi”. Sejumlah studi menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa elite atau

kepemimpinan (kekuasaan, kapasitas, strategi, tindakan, dan lain-lain) merupakan

variabel penjelas utama atas cerita sukses reformasi (Merilee Grindle, 2004 dan

2007, Rikke Berg dan Nirmala Rao, 2005, James Manor, 2007, Mark Robinson,

2007; Hellmut Wollmann, 2008; Francesca Gains, Stephen Greasley, Peter John dan

Gerry Stoker, 2009).

Ada dua aliran dalam studi reformasi berbasis elite ini, yakni teori aktor

rasional atau yang biasa disebut teori kalkulus; dan teori pelembagaan reformasi

yang dipengaruhi oleh institusionalisme sosiologis-historis.

Teori kalkulus dalam reformasi antara lain melihat insentif, pembatas atau

hambatan, kesempatan, serta perhitungan atas ongkos, manfaat (hasil) dan risiko.

Teori kalkulus mengatakan bahwa aktor bertindak sesuai dengan nalar

konsekuensi. Pendekatan ini memperhatikan secara langsung terhadap prosedur,

institusi dan struktur yang melingkupi kebijakan, yang mempengaruhi

kesempatan bagi aktor politik untuk mengubah kebijakan. Dalam cara pandang ini,

hambatan perubahan bisa muncul ketika struktur dan institusi membatasi

prakarsa reformasi, dan karena itu kesempatan aktor sangat terbatas dalam

mendorong reformasi. Pemain veto sering disebut sebagai pembatas/penghambat,

yang menolak usulan dari pembawa reformasi (Immergut, 1992; Cortell &

Peterson, 1999; Pollitt & Bouckaert, 2004; Bannink dan Sandra Resodihardjo,

2006). Parlemen, pemerintah nasional maupun partai politik dapat disebut sebagai

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 30: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

30

pemain veto, yang bisa menolak usulan reformasi dari bupati. Partai politik dan

parlemen bisa menghambat atau menolak usulan reformasi karena reformasi

berisiko mengancam kepentingan mereka terhadap anggaran.

Selain ada hambatan, tentu juga ada kesempatan. Krisis merupakan pintu

kesempatan yang sangat besar bagi aktor pembawa reformasi. Krisis dapat

dikonstruksi secara deliberatif oleh aktor yang mempunyai motivasi melakukan

reformasi. Aktor reformis dapat menggunakan retorika krisis untuk

mendiskreditkan struktur dan kebijakan sekaligus melegitimasi untuk melakukan

gebrakan perubahan yang drastis. Di satu sisi, hambatan reformasi dapat dengan

mudah ditembus dengan legitimasi krisis, dan di sisi lain legitimasi krisis

memudahkan perubahan kebijakan (Grindle & Thomas, 1991; Cortell & Peterson,

1999; Kuipers, 2006; Bannink dan Sandra Resodihardjo, 2006). Dengan kalimat

lain, pemimpin reformasi dapat memanfaatkan krisis sebagai jendela kesempatan

untuk menembus hambatan dan melangkah maju melakukan reformasi.

Proses menembus hambatan, memanfaatkan kesempatan, melakukan

kalkulasi reformasi merupakan jantung perhatian pendekatan institusional atas

reformasi. Semua ini adalah perkara kedua yang bisa dimainkan oleh elite. Perkara

pertama sebenarnya terletak pada insentif dan keberanian. Menurut teori

kalkulus, reformasi memang bisa terjadi kalau ada kepastian perhitungan ongkos

yang besar tetapi menghasilkan manfaat dan hasil yang besar pula, dengan risiko

yang kecil. Kalau aktor takut dengan biaya besar, apalagi risiko besar, maka dia

tidak berani melakukan reformasi. Tetapi insentif dan keberanian mampu

menembus pembatas kalkulus itu.

, Faktor insentif politik itu menonjol dalam studi Christian von Luebke

(2009). Luebke berangkat dari pertanyaan, mengapa banyak pemerintah daerah

berkinerja baik, sementara yang lain-lainnya tampil buruk? Untuk menjawab

pertanyaan itu, dia melakukan studi secara deduktif-komparatif di delapan

kabupaten di Indonesia (Solok, Pesisir Selatan, Klaten, Kebumen, Karangasem,

Gianyar, Bima dan Lombok Timur). Solok, Kebumen, Gianyar dan Lombok Timur

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 31: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

31

dikategorikan sebagai daerah yang berkinerja baik dan bersih dari korupsi,

sementara Pesisir Selatan, Klaten, Karangasem dan Bima dikategorikan tampil

buruk dan koruptif. Ia mengambil kesimpulan bahwa tekanan sisi tuntutan

(demand-side pressures) dari pengusaha lokal, asosiasi dan DPRD tidak cukup

signifikan membawa perubahan dibandingkan dengan tekanan sisi penyediaan

(supply-side pressures) dari pemimpin pemerintah lokal. Dalam konteks transisi

menuju desentralisasi demokratis, tekanan masyarakat sangat dibatasi oleh

kelemahan aksi kolektif dan insentif politik yang busuk (jahat). Sebaliknya,

pemimpin daerah, mempunyai kekuasaan kuat dan insentif baru untuk

melancarkan reformasi kebijakan.

Keberanian, bahkan kenekatan, juga merupakan faktor lain yang

membangkitkan adrenalin pemimpin. Seorang pemimpin yang mempunyai insentif

besar (berprestasi, memperoleh dukungan rakyat, mampu mempertahankan

kekuasaan, atau meraih kekuasaan lebih besar) bisa nekat melakukan reformasi

meskipun harus menggunakan ongkos besar dan manfaat besar, tetapi juga

dengan risiko besar. Studi Grindle (2000), yang menemukan konsep reformasi

nekat (audacious reform) memberikan contoh hal ini.

Studi-studi itu bisa penulis katakan telah membuahkan parsimoni “tidak

ada pemimpin yang kuat, tidak ada reformasi”. Tetapi studi mereka tidak cukup

memahami dinamika reformasi yang sangat kompleks, dan tidak memberikan

eksplanasi bagaimana dinamika pasca reformasi serta mengapa ada reformasi

yang gagal. Pendekatan aktor rasional mampu memahami insentif politik yang

diperoleh oleh aktor, tetapi ia kurang memahami kondisi dan proses bagaimana

kepentingan dan tindakan aktor berjalan (Doug MacAdam, Sidney Tarrow dan

Charles Tilly, 2004).

Pendekatan kalkulus yang kurang memperhatkan proses itu dikembangkan

oleh pendekatan institusionalisasi reformasi. Pendekatan ini tidak hanya melihat

proses dan dinamika reformasi, tetapi juga memperhatikan keberhasilan dan

kegagalan reformasi. J. Manor (2006), misalnya, mengkaji kesuksesan dan

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 32: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

32

kegagalan reformasi di di dua negara bagian India. Di satu sisi, reformasi bisa gagal

bila: (a) reformasi mempengaruhi kepentingan vital kelompok-kelompok yang

kuat; (b) pemimpin enggan dan ragu-ragu menyentuh sektor-sektor yang akan

direformasi; dan (c) reformasi mengancam kerusakan serius pada partai yang

berkuasa. Di sisi lain, keberhasilan reformasi tergantung pada pemimpin yang

mempunyai komitmen kuat dan mempunyai taktik politik yang canggih untuk

menerobos institusi, sekaligus meraih dukungan yang besar dan mengalahkan

kelompok-kelompok oposisi. Tetapi kepemimpinan yang sukses itu juga

tergantung pada konteks politik: (a) daya tahan, prediktabilitas dan legitimasi

institusional yang dirancang oleh reformasi; (b) perubahan komposisi elite dan

keragaman organisasi masyarakat sipil yang mendukung reformsi; (c) reformasi

tidak merusak stabilitas fiskal; (d) dan mempunyai kapasitas teknis.

Studi Merilee Grindle (2007) tentang reformasi dan kinerja pemerintahan

daerah di 30 daerah di Meksiko menjadi contoh menarik dari sisi pendekatan

institusionalisasi politik. Dia menelusuri mengapa satu daerah mengalami

perubahan dan mempunyai kinerja baik, sementara daerah lain tidak demikian.

Variabel apa yang yang secara komparatif bisa menjelaskan variasi antardaerah

itu? Buku itu dengan metode deduktif komparatif mengajukan hipotesis tentang

beberapa variabel yang berpengaruh terhadap perubahan dan kinerja pemda,

yakni kompetisi politik dalam pemilhan lokal, kewirausahaan pemimpin,

modernisasi birokrasi dan partisipasi masyarakat sipil.

Setelah melakukan studi lapangan, Grindle melakukan verifikasi dan

penyempurnaan atas hipotesis yang dibangun sebelumnya. Ada beberapa argumen

penting Grindle sebagai kesimpulan utama buku itu. Pertama, kompetisi politik

dan kinerja pemerintah lokal mempunyai hubungan yang tidak langsung. Kedua,

kompetisi merupakan kondisi penting yang memfasilitasi kesempatan untuk

melakukan perubahan. Ketiga, kepemimpinan merupakan variabel yang konsisten

terhadap perubahan kinerja pemerintahan lokal. Komitmen, kepribadian yang baik

dan jaringan yang dimiliki pemimpin lokal menjadi kekuatan penggerak

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 33: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

33

perubahan. Keempat, kepemimpinan wirausaha, yang didorong oleh kompetisi

politik yang terbuka, merupakan variabel yang sangat penting dan sangat

berpengaruh terhadap perubahan, karena kelemahan struktur institusional.

Kelima, modernisasi birokrasi, bukanlah variabel yang bediri sendiri, tetapi

dibentuk oleh variabel pertama dan kedua, dan ia digerakkan oleh sang pemimpin.

Keenam, pengembangan kapasitas, sebagai komponen utama dalam modernisasi

birokrasi, merupakan sebuah alat bagi kepemimpinan yang efektif, bukan sebagai

sumber independen bagi perubahan. Ketujuh, kekuatan civil society sama sekali

tidak berhubungan dengan kompetisi politik, kepemimpinan dan modernisasi

birokrasi; bahkan lemahnya civil society di ranah lokal tidak berpengaruh

terhadap perubahan.

Jika studi itu mengutamakan keterkaitan beragam variabel penjelas, studi

Grindle (2004) menyajikan proses institusionalisasi reformasi pendidikan di

Amerika Latin, sebagaimana tersaji dalam bagan 1.1. Bagan itu secara jelas

menunjukkan bahwa reformasi mengandung proses teknokrasi sekaligus

pertarungan politik (contentious politics) beragam aktor. Arena menggambarkan

sebuah road map reformasi yang berhasil dan berkelanjutan, mulai dari agenda

setting, disain, adopsi, implementasi dan keberlanjutan. Peta jalan itu tidak mudah

untuk dijalankan karena terdapat beragam kepentingan dan struktur yang bisa

membatasi atau menghambat prakarsa reformasi. Pilihan dan tindakan (inisiasi,

penyusunan proposal, kontestasi, pengeloaan konflik dan penciptaan aktor baru)

dibutuhkan untuk mengelola beragam aktor dan kepentingan, sekaligus

melakukan political crafting untuk melembagakan reformasi yang berhasil dan

berkelanjutan.

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 34: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

34

Bagan 1.1 Proses dan institusionalisasi reformasi

Sumber: M. Grindle, Despite the Odds: The Contentious Politics of Education Reform,

Princeton: Princeton University Press, 2004.

******

Agenda Disain Adopsi Implementasi Keberlanjutan

Struktur kepentingan Peran kebijakan eksekutif Sistem partai

Keterkaitan internasional

Relasi pemerintah -masyarakat Relasi kementerian-masyarakat Relasi partai-masyarakat

Kepentingan birokrasi

Karakteristik pelaksana Struktur antarpemerintahan

Kepentingan baru

Inisiasi Proyek Reformasi Motivasi pemimpin

Strategi pemimpin

Susun Proposal Disain tim, jaringan pembaharu,

strategi pembaharu

Kontestasi Reformasi Karakteristik kebijakan, keluhan dan strategi oposisi, strategi

pembaharu

Mengelola konflik Strategi pemimpin & Strategi oposisi

Menciptakan aktor baru Insentif dan aliansi

Kepentingan& institusi

institusi

Pilihan & tindakan

Arena

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 35: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

35

Apa dan bagaimana relevansi reformasi yang digerakkan oleh masyarakat

di atas dengan drama reformasi di Jembrana? Pertama, perspektif politik

representasi masyarakat merebut negara mempunyai relevansi di Jembrana. IGW

adalah orang biasa, bukan elite berkasta tinggi bukan pula warisan Orde Baru;

tetapi trajektori politik IGW dimulai dari gerakan masyarakat sipil (LSM) yang

menantang penguasa. Ia membawa reformasi dan sukses merebut kekuasaan pada

tahun 2000. Kehadiran IGW, sebagai politisi-aktivis, dalam pemerintahan lokal

Jembrana mempunyai signifikansi terhadap reformasi.

Kedua, gerakan masyarakat menjadi elemen penting dalam trajektori

politik dan drama reformasi Jembrana selama sepuluh tahun. Ketika IGW

berkuasa, gerakan sosial masyarakat memang tidak menjadi penggerak reformasi,

tetapi mereka mengkondisikan pertarungan politik yang memicu IGW

melancarkan reformasi. Ketika IGW sangat kuat dan dominan pada tahun 2005,

gerakan masyarakat tiarap, karena tidak mempunyai basis legitimasi dan

dukungan dari publik. Ketika mereka tiarap, IGW melakukan korupsi. Ketika IGW

melakukan korupsi, gerakan masyarakat bangkit kembali. Dengan legitimasi dan

dukungan yang kuat, mereka bergerak melawan korupsi IGW serta

mendelegitimasi dan meruntuhkan kekuasaannya.

Ketiga, teori kekuasaan elite dan perspektif “reformasi untuk kekuasaan”

memiliki relevansi terhadap trajektori politik dan drama reformasi Jembrana.

Teori kekuasaan elite mempunyai relevansi secara parsial. Sebagai penguasa, IGW

juga melakukan cara-cara tradisional seperti buju rayu, suap, konsesi, transaksi,

koersi dan kooptasi. Namun cara-cara itu tidak semata untuk membangun

kekuasaan, tetapi juga untuk melicinkan reformasi, misalnya IGW merebut APBD

dengan cara transaksi dan konsensi kepada DPR. Reformasi tentu mempunyai

andil yang lebih besar bagi IGW untuk memukul lawan-lawan politiknya,

mendongkrak legitimasi dan dukungan rakyat, dan mendominasi kekuasaan.

Keempat, perspektif “kekuasaan untuk reformasi” yang tercermin dalam

reformasi yang digerakkan oleh elite, sangat dominan dalam bangunan reformasi

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 36: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

36

di Jembrana. Bupati IGW adalah tokoh sentral dalam reformasi Jembrana. Ia juga

menerapkan kalkulasi politik, meskipun berbeda dengan mainstream kalkulasi

teori aktor rasional. Jika teori aktor rasional mengutamakan ongkos besar, manfaat

besar dan risiko kecil, tetapi IGW memilih pertarungan ganda (reformasi dan

kekuasaan) yang membutuhkan ongkos besar, manfaat besar tetapi rentan, serta

berisiko besar. Sementara perspektif pelembagaan reformasi juga relevan untuk

melihat reformasi Jembrana, mulai dari sisi agenda setting, kalkulasi, disain

kebijakan, kontestasi, pemenangan dukungan, hingga pelembagaan dan

implementasi reformasi. Namun demikian, perspektif institusionalisasi reformasi

yang bersifat linear itu tidak menangkap wajah audacious reform yang ditempuh

IGW maupun dimensi “reformasi untuk kekuasaan”.

Perspektif aktor rasional dan institusional juga tidak mampu secara

sempurna menjawab pertanyaan mengapa reformasi Jembrana membuahkan

kesuksesan gemilang tetapi kemudian mengalami kegagalan dan keruntuhan. Jika

menggunakan teori kalkulus aktor rasional, reformasi Jembrana gagal karena

menyimpang dari kalkulasi rasional. Seharusnya dengan kalkulasi ongkos besar,

manfaat besar dan risiko kecil, tetapi kalau menyimpang dengan skema ongkos

besar, manfaat tidak pasti, dan risiko tinggi, maka reformasi akan gagal.

Kalau menggunakan teori elite, meskipun tidak mengenal reformasi, orang

bisa mengatakan bahwa reformasi mengalami kegagalan karena Bupati IGW

melakukan pembajakan terhadap reformasi. Sementara teori aksi kolektif

memandang kegagalan reformasi Jembrana karena Bupati IGW menjadi

“penumpang gelap” atas reformasi yang dia ciptakan sendiri, atau menikmati

keuntungan pribadi di balik reformasi. Namun penjelasan dua perspektif itu

terlalu singkat dan parsimonis, tidak melihat secara dalam bagaimana proses,

konteks dan pertarungan di balik pembajakan atau pencarian keuntungan.

Perspektif institusional melihat kegagalan reformasi lebih kompleks.

Pertama, reformasi tidak didukung oleh legitimasi dan akuntabilitas yang kuat.

Kedua, pemimpin reformasi gagal mengelola beragam kepentingan banyak aktor.

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 37: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

37

Ketiga, pemimpin reformasi bersikap eksklusif yang tidak membuka kesempatan

stakeholder yang lebih luas. Keempat, disain kebijakan yang salah. Kelima,

pemimpin reformasi gagal melakukan institusionalisasi secara sempurna, antara

lain tidak melakukan deliberasi, negosiasi dan crafting dengan baik.

Pada prinsipnya perspektif institusional itu hanya melihat dari sisi

kekuasaan untuk reformasi. Grindle sudah mulai menyebut contentious politics

dalam proses reformasi, tetapi ia tidak melihat dimensi “reformasi untuk

kekuasaan” dan juga pertarungan kekuasaan yang berhimpitan dengan

pertarungan reformasi. Dilihat dari sisi aktor, tentu tidak hanya hadir aktor

pembawa reformasi, pendukung dan penentang atas reformasi, tetapi juga ada

pendukung dan penentang kekuasaan.

D.2. Perspektif Alternatif: Contentious Reform

Paparan di atas telah menunjukkan dialog antara pengalaman Jembrana

dan perspektif teori. Tidak ada teori tunggal yang mampu menjawab kisah

Jembrana. Dari paparan itu pengalaman drama reformasi Jembrana mengandung

gerakan sosial masyarakat, prakarsa reformasi oleh pemimpin, hasrat kekuasaan

elite, insentif dan keberanian elite melakukan reformasi, perebutan kekuasaan,

pelembagaan reformasi, penggunaan kekuasaan untuk melancarkan reformasi,

dan juga penggunaan reformasi untuk membangun kekuasaan. Dengan kalimat

lain, trajektori politik Jembrana selama 10 tahun mengandung “kekuasaan untuk

reformasi” dan juga “reformasi untuk kekuasaan”.

Karena anomalie itu, penulis berupaya meminjam dua teori, yaitu

contentious politics dan teori strukturasi (agensi-struktur), untuk mengantarkan

pemahaman dan penjelasan atas seluruh pertanyaan penelitian. Penulis akan

mengelaborasi kedua teori itu, dan penulis berkepentingan untuk membangun

“teori himpunan” antara kedua teori tersebut agar memiliki relevansi untuk

deskripsi dan ekplanasi terhadap drama reformasi Jembrana.

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 38: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

38

D.2.1. Contentious Politics

Studi ini diilhami oleh teori pertarungan politik (contentious politics), yang

berguna untuk memahami dan menjelaskan contentious reform ala Jembrana. Doug

McAdam, Sidney Tarrow, dan Charles Tilly – atau mereka menyebut sebagai

McTeam-- adalah pencetus teori contentious politics setelah mereka melakukan

evolusi yang panjang bersama teori gerakan sosial. Charles Tilly sebenarnya

perintis awal yang kemudian direkonstruksi dan dikembangkan bersama dua

koleganya, Doug McAdam dan Sidney Tarrow. Ketika masih menekuni perspektif

proses politik dalam gerakan sosial pada tahun 1980-an hingga 1990-an, Charles

Tilly belum memperkenalkan konsep teori contentious politics, kecuali hanya

menggunakan konsep “peristiwa pertarungan” (contentious events) yang dia

munculkan dalam dua karyanya (1986 dan 1995), masing-masing mengungkap

sejarah pertarungan dalam Revolusi Perancis dan pertarungan massal di Inggris

Raya pada masa Revolusi Industri. Karya terkemuka Sydney Tarrow, Power in

Movement (1994, edisi pertama), juga belum memperkenalkan konsep contentious

politics. McTeam mulai merayakan konsep contentious politics pada karya mereka

tahun 1996, disusul karya Sydney Tarrow pada tahun yang sama. Jika karya

Sydney Tarrow (1994) menekankan proses politik dalam gerakan sosial, karya

revisi 1998 memasukkan gerakan sosial ke dalam contentious politics. Charles Tilly

(1999) juga mulai menggunakan konsep contentious politics. Tahun-tahun

berikutnya McTeam maupun Charles Tilly dan Sydney Tarrow secara sendirian

maupun berdua terus memperkaya teori contentious politics (Charles Tilly, 2006,

2008; Charles Tilly dan Sydney Tarrow, 2006; Sydney Tarrow dan Charles Tilly,

2007; Doug McAdam, Sidney Tarrow, dan Charles Tilly, 2009; Sydney Tarrow,

2012), sembari mereka menggunakan teori itu untuk menganalisis gerakan sosial,

perang sipil, revolusi, terorisme maupun demokratisasi (Charles Tilly, 2004;

Sydney Tarrow, 2005; Doug McAdam, Sidney Tarrow, dan Charles Tilly, 2001).

McTeam (2009) menegaskan bahwa contentious politics merupakan teori

himpunan dari berbagai perspektif gerakan sosial generasi 1970-an hingga 1990-

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 39: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

39

an seperti perspektif pilihan rasional, perspektif proses politik, perspektif

mobilisasi sumberdaya, dan perspektif organisasi gerakan sosial. Karya Sydney

Tarrow satu dekade sebelumnya telah menekankan bahwa gerakan sosial

merupakan alur politik pertarungan yang berbasis pada jaringan sosial dan

kerangka aksi kolektif, dan yang mengembangkan kapasitas merawat

keberlanjutan menentang musuh-musuh yang kuat (Sydney Tarrow, 1998).

Kemudian McTeam mendefinisikan contentious politics sebagai interaksi kolektif

yang bersifat publik dan episodik di antara pembuat klaim dan obyek-obyek

mereka ketika (a) pemerintah menjadi obyek yang diklaim, atau pihak yang

melakukan klaim (b) klaim jika direalisasikan akan berdampak terhadap

kepentingan paling tidak satu pihak yang diklaim (Doug McAdam, Sidney Tarrow,

dan Charles Tilly 2001; Charles Tilly, 2004). Mereka menyederhanakan definisi itu

menjadi “perjuangan politik kolektif”.

Para sarjana di luar McTeam, sekaligus kritikus teori contentious politics,

umumnya menunjukkan tidak adanya perbedaan antara gerakan sosial dan

contentious politics. Antara gerakan sosial dan contentious politics saling

dipertukarkan (Mark I. Lichbach, 1998; Karen Stanbridge, 2006; David S. Meyer dan

Daisy Verduzco Reyes, 2010). Gerakan sosial merupakan bentuk contentious

politics dan contentious politics mengandung gerakan sosial.

Dalam merespons berbagai kritik, McTeam menegaskan bahwa contentious

politics bukan sekadar gerakan sosial dan bukan sekadar politik yang rutin.

Contentious politics lebih sempit daripada politik dalam pengertian umum. Namun

tidak semua politik mengandung contentious. Upacara, proses birokrasi,

pengumpulan informasi, kegiatan pendidikan, dan lain-lain merupakan bentuk-

bentuk kehidupan politik rutin sehari-hari yang tidak termasuk contentious politics

(Charles Tilly dan Sydney Tarrow, 2007). Selain itu tidak semua gerakan sosial

sebagai contentious politics. Contentious politics lebih besar daripada gerakan

sosial karena di dalamnya mengandung politik. Dalam karya terbarunya, Sydney

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 40: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

40

Tarrow (2012) menegaskan bahwa episode pertarungan politik jauh lebih luas

daripada kampanye gerakan sosial.

Sejak 2007 McTeam, khususnya karya-karya Charles Tilly dan Sydney

Tarrow, semakin memantapkan teori contentious politics. Definisi awal dalam

karya McTeam (2001, 2004) dielaborasi lebih jauh, dengan penekanan bahwa

contentious politics mengandung tiga komponen (pertarungan, aksi kolektif dan

politik) seperti terlihat dalam bagan 1.2. Pertama, komponen pertarungan

(contention), yakni satu pihak (subyek) membuat klaim atas pihak lain (obyek).

Kedua, aksi kolektif merupakan koordinasi upaya atas nama kepentingan dan

tujuan bersama. Ketiga, politik berarti ada proses interaksi dengan pemerintah,

yakni menantang kewenangan, regulasi dan kepentingan pemerintah.

Bagan 1.2 Kerangka contentious politics

Sumber: Charles Tilly dan Sydney Tarrow, Contentious Politics (Boulder CO: Paradigm Publisher, 2007), hal. 7.

Jika politik konvensional mengenal institusi, McTeam menggunakan

mekanisme (mechanism) – yang dalam sosiologi klasik disebut sebagai proses

sosial dalam struktur-sistem sosial – untuk membingkai teori contentious politics.

Pertarungan

Aksi kolektif Politik

Contentious Politics

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 41: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

41

Mereka mendefinisikan mekanisme sebagai berikut: rangkaian peristiwa terbatas

yang mengubah hubungan antara sekumpulan elemen spesifik dengan cara yang

mirip atas beragam situasi. Definisi ini sungguh sulit untuk dipahami. J. Mahoney

(2001) pernah mengidentifikasi sejumlah 24 definisi yang berbeda-beda tentang

mekanisme, dan karena itu membingungkan. Ada beberapa definisi lain yang

sederhana dan membantu untuk memahami mekanisme. M. Bunge (1997)

menyebut mekanisme sebagai sebuah proses dalam sistem yang konkret, dimana

sistem adalah hubungan antarlemen yang saling tergantung. R. Mayntz (2004)

mendefinisikan mekanisme sebagai proses pengulangan (recurrent process) yang

menghubungkan antara kondisi awal dan hasil spesifik. J. Elster (1998) menyomot

metafora “jeruji dan roda” untuk memahami mekanisme.

McTeam (Doug McAdam, Sydney Tarrow dan Charles Tilly, 2004 dan 2009;

Charles Tilly, 2004; Sydney Tarrow dan Charles Tilly, 2007; Charles Tilly dan

Sydney Tarrow, 2007; Sydney Tarrow, 2012) lalu mengidentifikasi tiga bentuk

mekanisme dalam contentious politics. Pertama, mekanisme lingkungan

(environmental mechanism): pengaruh eksternal atas kondisi yang membentuk

kehidupan sosial. Sebagai contoh, penguatan sumberdaya mempengaruhi

kapasitas orang untuk terlibat dalam pertarungan politik. Kedua, mekanisme

disposisional yang mencakup perubahan perspepsi, cara pandang, tindakan

individu maupun kolektif. Ketiga, mekanisme relasional mencakup perubahan

hubungan antara orang, kelompok dan jaringan interpersonal. Dalam konteks ini

kehadiran perantara disebut sebagai mekanisme relasional, yang menghubungkan

aktor satu dengan aktor lainnya, serta untuk mobilisasi sumberdayan selama

episode pertarungan politik.

Studi ini berupaya mengadaptasi sebagian komponen dalam teori politik

pertarungan, sekaligus juga memodifikasinya agar relevan untuk memahami dan

menjelaskan drama contentious reform di Jembrana. Ada sejumlah argumen

penting yang penulis sampaikan.

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 42: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

42

Pertama, studi ini tidak mengambil narasi besar teori pertarungan politik

yang berpusat pada gerakan sosial yang masuk dalam ranah pertarungan,

melainkan mengambil narasi kecil teori pertarungan politik. Narasi kecil itu adalah

konsep “peristiwa pertarungan” (contentious events) yang diperkenalkan pertama

kali oleh Charles Tilly pada tahun 1986, atau konsepsi McTeam tentang perjuangan

politik (political struggle).

Sejumlah studi sebenarnya juga telah mengadaptasi teori pertarungan

politik dalam pengertian dan skope narasi kecil itu. M. Hanagan, L. Moch dan W.

Brake (1998) memaknai pertarungan politik secara sederhana sebagai interaksi

timbal balik antara pemerintah sebagai subyek pemegang kekuasaan-kewenangan

dengan masyarakat yang berposisi sebagai obyek kekuasaan-kewenangan. Thomas

Maher dan Lindsey Peterson (2008), tanpa melakukan elaborasi narasi besar teori

contentious, memahami pertarungan politik dalam bentuk interaksi perlawanan

massa dengan represi penguasa. Dan Slater (2010) memahami pertarungan politik

sebagai konflik, yang antara lain hadir dalam bentuk konflik sosial, konflik kelas,

konflik internal, mobilisasi massa dan perang sipil, yang semua itu merupakan

subtipe pertarungan yang berada di bawah payung besar contentious politics. A.

Oberschall (2010) memahami pertarungan politik sebagai klaim politik kolektif

yang berdampak terhadap kepentingan musuh. Tuong Vu (2006), melalui studi

tentang pertarungan politik berbasis massa di Asia Tenggara, melakukan

penyimpangan dari definisi politik pertarungan ala McTeam, seraya menawarakan

definisi politik pertarungan sebagai politik yang tidak terlembaga yang melibatkan

nonelite dan sebuah kontestasi untuk kekuasaan atau kewenangan dalam

masyarakat-negara (polity) tetapi tidak selalu bersifat publik dan kolektif.

Pemahaman tentang contentious politics dari beberapa studi itu sungguh

memberikan ilham studi ini. Namun yang paling berpengaruh terhadap studi ini

adalah studi M. Grindle (2004), yang menggunakan narasi kecil contentious politics

– tanpa mengutip teori contentious politics ala McTeam -- untuk menganalisis

politik reformasi pendidikan di Amerika Latin. Bagi Grindle, reformasi pendidikan

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 43: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

43

bukan sekadar perkara administrasi dan teknokrasi, tetapi mengandung

pertarungan politik antara pencetus (penggerak) reformasi yang memobilisasi

pendukung secara luas melawan aktor-aktor penentangnya.

Kedua, pertarungan politik merupakan peristiwa politik yang tidak biasa,

nonrutin, nonlinear dan nonkonvensional. Upacara, konsultasi, kunjungan kerja,

pemilihan umum, pilkada, musrenbang, dan lain-lain termasuk bentuk-bentuk

politik biasa yang rutin dan konvensional. Sementara reformasi merupakan salah

satu bentuk politik yang tidak biasa, nonrutin, nonkonvensional, yang sarat

dengan pertarungan. Drama contentious reform di Jembrana menggambarkan

politik nonrutin yang mengandung pertarungan. Namun bukan berarti politik

Jembrana selama satu dekade berwajah contentiuous secara keseluruhan, dan

contentious reform bukan berarti merupakan drama politik Jembrana secara total.

Selain ada drama contentious reform, politik rutin juga tetap berjalan. Aksi kolektif

melawan bupati terkadang hadir dan pergi, tetapi rutinitas tetap berjalan,

termasuk kunjungan kerja dan studi banding dari tempat lain ke Jembrana.

Ketiga, pertarungan politik tidak sepenuhnya hadir dalam bentuk aksi

kolektif komponen nonpemerintah maupun massa dalam bentuk gerakan sosial,

terorisme, perang sipil maupun revolusi menentang dan melawan penguasa. Studi

ini menekankan interaksi timbal balik dan kompleks diantara beragam aktor:

masyarakat, birokrasi, politisi dan bupati. Pertarungan politik dapat hadir dalam

bentuk aksi kolektif masyarakat menantang politisi maupun bupati, bisa juga

dalam bentuk koalisi partai melawan birokrasi dan bupati, atau bisa juga aksi para

birokrat melawan penguasa. Sebaliknya pertarungan bisa muncul dari bupati.

Penulis berpendapat bahwa reformasi yang dilancarkan bupati merupakan pilihan

dan tindakan yang membuka pertarungan politik, yang menantang komponen

birokrasi, politisi dan bahkan masyarakat.

Keempat, pertarungan politik bersifat episodik. Proses pertarungan politik

berjalan dalam rangkaian repertoire (alur dan penggalan) laksana drama yang

mengalir dalam banyak babak (episode) secara dinami, dialektik dan spiral: ada

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 44: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

44

proses pengulangan, kemajuan dan kemunduran, kesuksesan dan kegagalan, serta

banyak kejadian dan kejutan yang tidak terbayangkan. Penulis meminjam term

episodik ini membuat narasi tentang drama reformasi di Jembrana yang terdiri

dari banyak babak, mulai dari babak kesatu (melawan penguasa, merebut

kekuasan), babak kedua (konsolidasi kekuasaan, inisiasi reformasi), babak ketiga

(meraih kejayaan kekuasaan dan reformasi); dan babak keempat (krisis reformasi,

keruntuhan kekuasaan). Dalam setiap babak mengandung pertarungan politik

yang kompleks, dinamis, nonlinear dan bahkan dramatis. Kesuksesan reformasi

dan kejayaan kekuasaan IGW yang menggumpal pada tahun 2003 hingga 2008;

dan akhirnya berbuntut pada keruntuhan reformasi dan kekuasaan pada tahun

2009-2010, sungguh mencerminkan pola pertarungan yang episodik-spiral itu.

Namun pertarungan episodik itu tidak sepenuhnya bersifat publik dan

terbuka. Selain publik, pertarungan politik dapat berbentuk privat. Politik privat

pada dasarnya merupakan interaksi kolektif parapihak yang mengutamakan

kepentingan mereka dengan tidak tergantung pada hukum, tatanan publik atau

negara (David Baron, 2003). Dalam masyarakat Indonesia, biasa terjadi konflik

privat berdampak terhadap konflik publik, dan konflik publik bisa dibawa ke ranah

konflik privat. Studi ini menunjukkan konflik privat yang berkembang menjadi

pertarungan publik. Sebagai contoh adalah ketegangan personal antara Bupati

IGW dengan seorang tokoh bernama IGN Ngurah Hartono, yang berdampak

terhadap aksi perlawanan publik Hartono melawan kekuasaan IGW. Di sisi lain,

pertarungan politik tidak selalu berjalan secara terbuka dalam ruang publik (di

depan layar), tetapi bisa juga berbentuk pertarungan bawah tanah (underground

politics) atau di balik layar.

Kelima, konsep mekanisme sebagai bingkai pertarungan politik juga

memberikan ilham bagi studi ini. Drama reformasi tentu tidak bekerja dalam

mekanisme institusional, namun ia juga tidak sepenuhnya bekerja dalam bingkai

mekanisme dan proses semata. Institusi (kultur, nilai, visi, kebijakan, aturan main,

prosedur, tatakelola dan lainnya), mekanisme dan proses membentuk dan

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 45: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

45

menjadi bingkai pertarungan politik. Proses menunjuk pada tindakan, peristiwa,

relasi, maupun alur dalam drama contentious reform. Sedangkan mekanisme

menunjuk pada interaksi atau jalinan sejumlah elemen dalam pertarungan.

Hubungan antara proses dan mekanisme ibarat hubungan antara telur dan ayam.

Mekanisme melahirkan proses, dan proses membentuk mekanisme. Secara

konkret interaksi tiga elemen penting (aksi kolektif, pertarungan dan politik)

seperti tergambar dalam bagan 1.2 merupakan bentuk mekanisme, seperti halnya

interaksi jeruji, velg dan roda dan perputaran roda.

Dalam studi ini penulis mengadaptasi tiga elemen contentious politics (aksi

kolektif, pertarungan dan politik) dan tiga mekanisme (lingkungan, disposisional

dan relasional) untuk memahami dan menjelaskan drama reformasi di Jembrana.

Namun adaptasi itu tidak penulis lakukan secara total, sebab teori McTeam

cenderung mengabaikan komponen institusi, dan hanya menekankan pertarungan

satu arah, yakni dari penentang -- atau sebagai “orang asing di pintu gerbang” jika

meminjam istilah Sydney Tarrow (2012) – melawan penguasa.

Mark Lichbach dan Helma De Vries (2007) telah mengingatkan tiga level

pertarungan politik yang perlu diperhatikan oleh pengguna teori contentious

politics: (a) level makro yang berbicara tentang konteks budaya ekonomi politik

yang melingkupi pertarungan politik; (b) level meso yang mencakup struktur

kesempatan politik bagi aksi kolektif; dan (c) level mikro: motif, insentif dan

tindakan yang membawa aktor dalam pertarungan, termasuk sumberdaya,

komitmen dan jaringan mereka.

Teori contentious politics di atas mengantarkan pemahaman bahwa

pertarungan politik bisa terjadi secara bersamaan di ranah reformasi (kekuasaan

untuk reformasi) dan di ranah kekuasaan (reformasi untuk kekuasaan).

Pertarungan di dua ranah ini tidak hanya menghasilkan aktor pembawa reformasi

beserta pendukung dan penentang reformasi, juga menghadirkan pemegang

kekuasaan beserta pendukung dan penentang kekuasaan. Setiap aktor mempunyai

kepentingan, sikap, cara pandang, preferensi dan afiliasi yang berbeda-beda

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 46: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

46

terhadap kekuasaan dan reformasi. Bagan 1.3 memberikan peta tipologis tentang

sikap politik aktor terhadap kekuasaan dan reformasi. Pertama, kelompok

konformis atau kelompok liberal bersikap menerima kekuasaan dan menerima

reformasi. Kedua, kelompok konsevatif bersikap menerima kekuasaan tetapi

menolak (anti) reformasi. Ketiga, kaum radikal bersikap menerima reformasi

tetapi menolak (anti) kekuasaan. Keempat, kelompok reaksioner bersikap menolak

kekuasaan dan menolak reformasi.

Bagan 1.3 Tipologi sikap politik

terhadap kekuasaan dan reformasi

Sikap terhadap kekuasaan

Menerima

Menolak

Sikap terhadap reformasi

Menerima

Konformis

Radikal

Menolak

Konservatif

Reaksioner

Sumber: Diadaptasi dan dimodifikasi dari Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, Jakarta: LP3ES, 1991, hal. 112.

Teori contentious politics bersifat fleksibel, bisa dimaksukkan dalam

kerangka kekuasaan dan bisa juga ditempatkan dalam kerangka reformasi. Karena

berangkat dari tema reformasi, studi ini memilih kerangka reformasi ketimbang

kerangka kekuasaan. Penulis akan menggabungkan antara teori contentious

politics dengan model reformasi, yang akan menghasilkan contentious reform,

pada uraian di bawah ini.

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 47: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

47

D.2.2. Model Reformasi

Model reformasi merupakan alat deskripsi dan eksplanasi yang berangkat

dari sejumlah pertanyaan. Siapa yang melakukan reformasi? Bagaimana proses

dan hasil reformasi? Apakah perbedaan aktor pendorong dan proses reformasi

mempengaruhi perbedaan hasil reformasi? Bagaimana kekuasaan bermain dalam

reformasi? Bagaimana memahami reformasi yang berhasil sementara, reformasi

yang berhasil dengan gemilang, kokoh dan berkelanjutan, serta reformasi yang

rentan, gagal dan tidak berkelanjutan?

Tabel 1.2

Dinamika pasca reformasi

Investasi Kelompok

Identitas dan Afiliasi Kelompok STABIL (Identitas dan afiliasi kelopok relatif stabil, banyak pengikut memiliki preferensi kebijakan yang sama)

CAIR (Kelompok-kelompok baru muncul, koalisi cepat berubah, kohesi kelompok kepentingan lemah)

SEDERHANA (Aktor-aktor sosial politik gagal melakukan investasi berskala besar; adaptasi organisasional untuk melakukan reformasi sangat minimal)

Pembalikan Reformasi

Erosi Reformasi

EKSTENSIF (Kelompok-kelompok membuat investasi berskala besar, sering berbentuk investasi spesifik yang tinggi berbasis pada harapan bersama bahwa reformasi akan berlanjut)

Reformasi kokoh dan berkelanjutan

Rekonfigurasi, hasil reformasi ditata ulang

Sumber: Eric M. Patashnik, Reforms at Risk: What Happens After Major Policy Changes Are Enacted, Princeton: Princeton University Press, 2008.

Eric M. Patashnik (2008) memberikan kontribusi yang berharga dalam

menganalisis dinamika pascareformasi, sebagaimana tersaji dalam tabel 1.2.

Patashnik membuat tipologi dinamika pascareformasi dengan dua variabel

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 48: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

48

penting: identitas dan afiliasi kelompok serta investasi kelompok. Identitas dan

afiliasi kelompok ia bagi menjadi dua: stabil (Identitas dan afiliasi kelopok relatif

stabil, banyak pengikut memiliki preferensi kebijakan yang sama) dan cair

(kelompok-kelompok baru muncul, koalisi cepat berubah, kohesi kelompok

kepentingan lemah).

Empat tipe hasil pasca reformasi itu sangat menarik untuk diadaptasi,

tetapi masih perlu elaborasi lebih lanjut tentang dinamika proses reformasi, relasi

antaraktor dan juga pertarungan politik yang melingkupi reformasi. Untuk itu

dibutuhkan model-model reformasi yang bisa memberikan jawaban lebih

memadai dan melengkapi tipologi karya Eric Patashnik.

Penulis mengadaptasi cara pandang Adrienne Heritier (2007) yang

mengidentifikasi dua perspektif atau model perubahan institusional (reformasi).

Pertama, model proses reformasi, yang mencakup jalur reformasi, aktor atau

kekuatan-kekuatan pendorong reformasi, sebab akibat dan hasil reformasi, serta

mengidentifikasi tipe sekuen-sekuen khas perubahan. Kedua, model struktural

reformasi, yang mencakup proses reformasi, level dan arena reformasi, interaksi

dan kontestasi antaraktor, penggunaan kekuasaan, tipe organisasi dan aktor-aktor

yang terlibat dalam proses reformasi, serta tipe dan hasil reformasi.

Model proses selalu digunakan para analis dalam memahami jalur

reformasi, apakah “reformasi dari bawah” (reform from bellow) yang digerakkan

oleh masyarakat (society driven reform), yang juga sering disebut sebagai demand

side reform, atau reformasi dari atas (reform from above) yang digerakkan oleh

elite (elite driven reform atau elite led reform), yang memiliki kesamaan dengan

supply side reform.2 Berbeda dengan cara pandang “reformasi dari atas” dan

2Lihat misalnya Susan E. Scarrow, “Direct Democracy and Institutional Change: A

Comparative Investigation”, Comparative Political Studies, 34; 651, 2001; Kurt Weyland, “Toward a New Theory of Institutional Change, World Politics, No. 60, Januari 2008; Christopher W. Close, The Negotiated Reformation: Imperial Cities and the Politics of Urban Reform, Cambridge: Cambridge University Press, 2009.

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 49: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

49

“reformasi dari bawah” ini, Alan Renwick melihat jalur dan kekuatan penggerak

reformasi yang berasal “dari dalam” (endogen) dan reformasi dari luar (eksogen).3

Berdasarkan varian tentang kekuatan (aktor) dan jalur reformasi

(reformasi dari atas dan reformasi dari bawah serta reformasi dari dalam dan

reformasi dari luar) itu penulis melakukan rekonstruksi model proses reformasi

yang secara interaktif dan tipologis tersaji dalam bagan 1.4.

Kuadran I (reformasi elitis) menggambarkan proses reformasi yang bekerja

dari atas dan dari dalam, yang tidak menyertakan unsur-unsur di luar elite dan

pemerintah daerah. Proses ini terjadi ketika organisasi masyarakat sipil dalam

posisi lemah yang tidak mengambil inisiatif reformasi, atau di dalam elite sendiri

terjadi proses kompetisi dan negosiasi atas reformasi. Kuadran II (rekayasa

teknokratis) menyajikan reformasi yang terbatas, menggunakan keahlian

teknokratis dari pihak luar, yang dipakai oleh penguasa. Proses ini tidak

melibatkan engagement antara penguasa dengan politisi, melainkan hanya

membuat kebijakan baru yang dilembagakan dalam tubuh pemda dan birokrasi.

Kuadran III (reformasi partisipatoris konsensual) menggambarkan proses

reformasi yang ditempuh melalui deliberasi dan negosiasi secara internal (pemda,

DPRD dan birokrasi) maupun secara eksternal antara pemda, politisi dan

masyarakat. Proses ini berlangsung kritis, terbuka dan elegan yang membuahkan

keputusan kolektif untuk reformasi. Kuadran IV (aksi kolektif atau gerakan sosial)

adalah proses reformasi yang digerakkan oleh kekuatan dari luar bersama

organisasi masyarakat dari bawah. Pola ini bisa muncul ketika jajaran elite, DPRD,

birokrasi dalam posisi yang lembam, konservatif dan bahkan penuh dengan KKN.

Dalam konteks demokratisasi, pola aksi kolektif ini disebut dengan jalur

replacement atau rupture yang menjatuhkan dan menggantikan penguasa

otokratis, seperti pengalaman jatuhnya Soeharto pada tahun 1998.

3Adrienne Heritier, Explaining Institutional Change in Europe, Oxford: Oxford

University Press, 2007 dan Alan Renwick, The Politics of Electoral Reform: Changing the Rules of Democracy, Cambridge: Cambridge University Press, 2010.

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 50: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

50

Model kedua, adalah model struktural, menggambarkan tentang

penggunaan kekuasaan dalam reformasi, pertarungan antaraktor dalam reformasi,

pertarungan antara reformasi dan kekuasaan; tindakan aktor dalam menghadapi

regulasi; serta sifat, tujuan dan hasil reformasi. Berdasarkan “model struktural” ini

penulis membagi ada empat bentuk reformasi seperti terlihat dalam tabel 1.3.

Pertama, incremental reform, sebuah reformasi yang pelan-pelan,

bertahap, dan tidak penuh dengan kejutan-kejutan politik. Model ini bisa juga

disebut dengan transformasi jangka panjang melalui inovasi yang berlangsung

terus-menerus. Elite politik dan jajaran teknokrat-birokrat adalah pelaku utama

yang menggerakkan reformasi. Jajaran elite ini secara hati-hati merespons

regulasi, sekaligus mengelola kekuasaan secara hati-hati agar tidak menimbulkan

gejolak yang serius.

Bagan 1.4 Model “proses” reformasi

Kedua, smart reform atau institutionalized reform, yakni terjadi

perubahan institusional secara cerdas dengan pendekatan win-win solutions.

Dalam model ini, terjadi kompetisi-kontestasi yang dinamis antaraktor politik,

Dari dalam: (Pemda, DPRD, birokrasi)

Dari atas: elite

II:

Dari bawah: organisasi masyarakat, massa

Dari luar: donor, NGOs luar, akademisi, konsultan, aktor-aktor di balik layar

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 51: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

51

terjadi titik temu antara desakan (demand) dari bawah dan kehendak atau supply

dari atas. Dengan kalimat lain, beragam aktor duduk bersama melakukan

deliberasi dan negosiasi untuk melahirkan visi dan agenda reformasi, sehingga

hampir tidak ada kepentingan aktor yang terganggu atau dirugikan. Karena itu

model ini identik dengan kombinasi antara identitas dan afiliasi kelompok yang

bersifat stabil dan investasi kelompok yang bersifat ekstensif, sehingga

membuahkan reformasi yang sukses, kokoh dan berkelanjutan, meskipun proses

politik membutuhkan waktu panjang dan energi yang besar.

Tabel 1.3 Model “struktural” reformasi

Incremental

Reform Smart Reform Audacious

Reform Contentious Reform

Makna Inovasi yang pelan-pelan bertahap

Perubahan institusional secara smart dan win-win.

Reformasi yang dilakukan dengan nekat dan cepat

Kekuasaan digunakan untuk reformasi, reformasi digunakan kekuasaan

Aktor penggerak

Elite atau teknokrat dan birokrat

Elite penguasa dan/atau oposisi atau aksi kolektif masyarakat sipil

Elite penguasa Elite penguasa dan/atau organisasi oposisi yang saling bertarung

Kalkulasi rasional

Ongkos kecil, manfaat kecil, risiko kecil.

Ongkos besar, manfaat besar, risiko kecil

Ongkos kecil, manfaat besar, risiko besar

Ongkos besar, manfaat/hasil tidak pasti, risiko besar

Kekuasaan Kekuasaan digunakan secara minimalis, dikelola secara hati-hati dan tidak menimbulkan gejolak

Kekuasaan digunakan secara optimal untuk reformasi, terjadi kontestasi dan negosiasi antaraktor

Kekuasaan digunakan secara nekat untuk menembus rintangan-rintangan reformasi

Antara kekuasaan dan reformasi saling mempengaruhi dan saling bertarung (contentious)

Relasi antaraktor

Terjadi proses kompetisi dan negosiasi internal di kalangan elite. Tidak ada desakan (demand) dan perlawanan dari masyarakat

Terjadi titik temu (engagement) dan crafting antara demand side pressure dan supply side pressure.

Penggerak reformasi tidak peduli dengan aktor-aktor penghambat. Ia melaju secara nekat karena yakin bahwa reformasi akan didukung rakyat

Pertarungan tiada henti antara penguasa dengan aktor-aktor politik lain.

Kesuksesan dan keberlanjutan

Kesuksesan bersifat parsial, atau kesuksesan jangka panjang

Sukses, kokoh dan berlanjut

Kesuksesan bersifat sementara, rentan atau sulit berlanjut.

Kesuksesan dan kegagalan silih berganti. Keberlanjutan rentan

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 52: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

52

Ketiga, audacious reform. Model ini penulis adaptasi dan modifikasi dari

gagasan dan temuan M. Grindle (2000) dalam studinya tentang penemuan

institusional dan demokratisasi di Amerika Latin. Grindle merumuskan tiga makna

audacious reform: (1) aktor-aktor politik dengan nekat melakukan perubahan dan

menciptakan aturan baru tentang distribusi kekuasaan yang sangat berisiko

terhadap kekuasaan mereka; (2) perubahan tidak berlangsung secara

inkremental-evolutif melainkan berlangsung secara dramatis; dan (3) perubahan

membawa dampak terhadap perilaku politik, kompetisi politik dan insentif politik

yang tidak dapat diantisipasi secara pasti.

Konsep itu sungguh memberi ilham kepada penulis, tetapi penulis berupaya

melakukan modifikasi gagasan Grindle agar bisa digunakan secara kontekstual.

Dalam konteks ini, penguasa lokal seperti kepala daerah secara nekat dan dramatis

melakukan perombakan terhadap struktur pemerintahan dan birokrasi, termasuk

penganggaran, agar dengan cepat menciptakan distribusi kue pembangunan

kepada rakyat banyak. Dengan semboyan “pukul dulu urusan belakang”, penguasa

melancarkan audacious reform secara nekat menabrak regulasi dan tanpa payung

regulasi yang akuntabel secara hukum, sebab dia mempunyai keyakinan kuat

bahwa reformasi dimaksudkan untuk menjawab kehendak rakyat dan karena itu

reformasi akan memperoleh dukungan dari rakyat, meskipun ditentang oleh

kalangan elite. Cara reformasi yang nekat ini pasti menghadapi rintangan dan

perlawanan dari kaum konservatif, reaksioner dan radikal, tetapi elite penggerak

reformasi melaju terus dengan nekat, dengan semangat “anjing menggongong

khafilah tetap berlalu”. Reformasi nekat membuahkan kesuksesan secara cepat,

tetapi cenderung bersifat sementara dan tidak berkelanjutan. Ketika kekuasaan

mengalami pergantian, dan penguasa penggerak reformasi lengser, maka akan

terjadi pembaliklan reformasi ketika penguasa baru hadir. Warisan reformasi

karya penguasa lama akan dirombak oleh penguasa baru.

Keempat, contentious reform. Konsep dan model contentious reform ini

merupakan gagasan dari penulis pribadi, yang berupaya menggabungkan antara

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 53: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

53

konsep contentious politics dengan reformasi. Jika dalam berbagai literatur ilmu

politik ada contentious action, contentious politics, contentious democratization,

contentoius history, contentious performances, contentious protest, dan juga

contentious issues, kenapa contentious reform tidak bisa diciptakan. M. Grindle

(2004) sebenarnya pernah mengadaptasi konsep contentious politics dalam

reformasi pendidikan di Amerika Latin, namun dia hanya menunjukkan

pertarungan, dalam bentuk kontestasi antaraktor dalam proses reformasi, dan

tidak merekonstruksi contentious reform. Celah dan kesempatan inilah yang

penulis manfaatkan untuk merumuskan contentious reform (reformasi penuh

pertarungan).

Dalam reformasi pasti terdapat pertarungan seperti dirumuskan dalam

model audacious reform. Namun dalam model contentious reform, yang terjadi

bukan sekadar pertarungan antara penggerak, pendukung dan penolak reformasi.

Model contentious reform lebih kompleks daripada audacious reform. Dalam

audacious reform hanya terjadi pertarungan kekuasaan untuk mencapai reformasi,

tetapi dalam contentious reform, kekuasaan dan reformasi saling mempengaruhi,

memanfaatkan dan saling bertarung. Cara pandang contentious politics

menegaskan bahwa reformasi sarat dengan dilema: penguasa yang sukses

melakukan reformasi cenderung mendominasi dan mengawetkan kekuasaan,

bahkan menumpuk kekayaan, yang tidak terkontrol. Konteks politik yang

kompetitif, bahkan penuh pertarungan (penuh dengan perlawanan kaum radikal

dan reaksioner), akan membuat penguasa mengambil inisiatif reformasi.

Kehendak dan agenda reformasi itu bisa melemahkan perlawanan kaum radikal

dan reaksioner, sehingga kekuasaan penguasa lokal menjadi lebih kuat. Tetapi

ketika kekuasaan menjadi kuat, dominatif dan tidak terkontrol, reformasi akan

melemah dan kekuasaan itu menjadi korup. Dalam situasi seperti ini akan

melahirkan perlawanan dari kaum radikal (mendukung reformasi tetapi menolak

kekuasaan, misalnya melakukan gerakan antikorupsi) dan kaum reaksioner (yang

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 54: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

54

menolak kekuasaan dan menolak reformasi). Karena itu reformasi hanya sukses

sementara, tetapi rentan dan tidak berkelanjutan.

Kombinasi sejumlah bagan dan tabel di atas menghasilkan beberapa varian

reformasi yang penulis rekonstruksi secara hipotetik:

1. Reformasi elitis tidak mungkin mengarah pada smart reform, melainkan

condong mengarah pada incremental reform, audacious reform atau contentious

reform. Reformasi elitis cenderung abai pada keterlibatan organisasi

masyarakat sipil (OMS), atau memang OMS dalam kondisi yang lemah dan

tidak mendorong reformasi. Proses reformasi model ini digerakkan oleh elite,

bekerja dalam tubuh pemerintah daerah, birokrasi dan DPRD, sehingga hanya

membuahkan reformasi incremental. Reformasi ini akan hadir dalam bentuk

inovasi pelan-pelan dan gradual, ketika bekerja dalam situasi harmoni,

sehingga tidak menimbulkan gejolak kekuasaan yang berarti. Dinamika pasca

reformasi bisa mengarah pada pembalikan reformasi ketika terjadi pergantian

kekuasaan, atau inovasi gradual tetap berjalan secara inkremental ketika

pergantian kekuasaan juga berlangsung secara inkremental.

2. Reformasi elitis bisa mengarah pada audacious reform, ketika kehendak

reformasi kepala daerah ditentang oleh aktor-aktor politik lainnya. Ia nekat

menembus rintangan-rintangan reformasi, seraya melancarkan reformasi

secara cepat dan dramatis. Hasil reformasi cenderung bersifat sementara dan

tidak berkelanjutan, bahkan bisa terjadi pembalikan reformasi ketika telah

terjadi pergantian kekuasaan.

3. Reformasi elitis bisa mengarah ke contentious reform ketika pertarungan dan

perlawanan politik telah terjadi di babak awal. Penguasa melakukan reformasi

dengan tujuan melemahkan dan menundukkan perlawanan politik, seraya

membawa perubahan pemerintahan yang membuahkan kepercayaan dan

legitimasi dari rakyat. Dukungan rakyat itulah yang melemahkan perlawanan

kaum radikal dan reaksioner, sehingga kekuasaan penguasa menjadi lebih kuat

dan dominatif. Ketika kekuasaan menjadi kuat, dominatif dan tidak terkontrol,

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 55: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

55

reformasi akan melemah dan kekuasaan itu menjadi korup. Kondisi ini akan

disambut kembali perlawanan kaum reaksioner dan radikal. Identitas dan

afiliasi kelompok menjadi cair, sementara investasi kelompok tetap sederhana

dan terbatas, sehingga membuahkan erosi reformasi di penghujung kekuasaan

penguasa.

4. Audacious reform bisa mengarah pada contentious reform, tetapi tidak semua

audacious reform bisa berubah menjadi contentious reform. Audacious reform

malah bisa mengarah pada institutionalized reform jika reformasi berjalan

secara konsisten, memperoleh dukungan luas dari politisi maupun organisasi

masyarakat sipil, sekaligus terjadi negosiasi dan konsolidasi yang kuat di

antara mereka. Tetapi audacious reform akan mengarah pada contentious

reform jika contentious politics terus berjalan, jika reformasi tetap digerakkan

oleh penguasa semata tanpa dukungan luas, dan jika penguasa menggunakan

reformasi untuk membangun kekuasaan.

5. Rekayasa teknokratis, seperti halnya reformasi elitis, tidak mungkin mengarah

pada smart reform, melainkan hanya membuahkan incremental reform. Pola

seperti ini akan tetap berkelanjutan ketika tidak ada desakan dan perlawanan

yang berarti, baik di dalam lingkaran elite maupun dari masyarakat. Tetapi

ketika terhadi kontestasi dan pertarungan, maka bisa mengarah pada

contentius reform.

6. Reformasi partisipatoris-konsensual yang bekerja dalam konteks kontestasi

politik yang dinamis dapat membuahkan smart reform atau institutionalized

reform. Smart reform ini akan membuahkan kesuksesan dalam jangka pendek

dan menghasilkan reformasi yang kokoh dan berlanjut dalam jangka panjang.

Identitas dan afilisiasi kelompok yang stabil, serta investasi kelompok yang

ekstensif, karena proses deliberasi dan negosiasi antaraktor dalam proses

reformasi, mampu merawat keberlanjutan reformasi, meski terjadi pergantian

kekuasaan.

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 56: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

56

7. Aksi kolektif, atau society led reform atau demand side reform, membuahkan

beberapa kemungkinan, kecuali incremental reform dan audacious reform.

Pertama, sama sekali tidak ada reformasi ketika aksi kolektif itu melemah atau

ketika penguasa otokratis-konservatif melemahkan aksi kolektif dengan cara

represi atau kooptasi. Kedua, terjadi smart reform ketika penguasa

memberikan respons positif, yang mendorong penguasa dan pejuang reformasi

duduk bersama, melakukan deliberasi dan negosiasi untuk melahirkan visi-

agenda reformasi secara kolektif. Jika hal ini terjadi maka reformasi akan

kokoh dan berkelanjutan. Ketiga, terjadi contentious reform yang berbasis atau

digerakkan masyarakat. Model ini mendorong terjadinya delegitimasi

penguasa atau bahkan pemakzulan penguasa, yang berikutnya akan

melahirkan penguasa baru yang akan melancarkan reformasi.

Studi ini berargumen bahwa reformasi Jembrana bukanlah reformasi

inkremental yang bekerja dengan rekayasa teknokratis dan berjalan secara

gradual dalam ruang yang hampa politik. Reformasi Jembrana bukan juga sebagai

institutionalized reform yang dihasilkan melalui negosiasi dan pakta sosial

beragam aktor baik dari bawah maupun dari atas, apalagi reformasi Jembrana

hanya membuahkan keberhasilan secara temporer dan akhirnya mengalami

keruntuhan di titik akhir. Reformasi Jembrana tidak bisa juga dilihat sebagai

audacious reform yang penuh. Bupati IGW memang bertindak secara berani dan

nekat menggunakan kekuasaan dan otoritasnya untuk melancarkan reformasi

secara cepat. Namun drama reformasi Jembrana tidak hanya mengisahkan tentang

keberanian dan kenekatan Bupati IGW dalam memperjuangkan reformasi,

maupun pertarungan beragam aktor dalam mengkontestasikan reformasi.

Jembrana tidak hanya menyajikan drama reformasi, tetapi drama besar yang

melibatkan pertarungan kekuasaan dan reformasi, yang membuahkan kejayaan

dan keruntuhan ganda (kekuasaan dan reformasi) Bupati IGW.

Drama reformasi Jembrana lebih tepat dipahami dengan model contentious

reform. Model ini bukan hanya mampu memahami tentang interplay antara

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 57: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

57

kekuasaan dan reformasi, tetapi juga menunjukkan pertarungan secara episodik,

dramatis dan dinamik, yang membuahkan cerita sukses reformasi dan kejayaan

kekuasaan secara temporer, yang berakhir dengan kegagalan-keruntuhan

reformasi maupun kekuasaan.

D.2.3. Mekanisme Contentious Reform

Studi ini berupaya membangun “teori himpunan” antara agensi-konteks

dengan teori contentious politics di atas untuk memahami dan menjelaskan drama

contentious reform di Jembrana. Jika teori contentious politics merumuskan

mekanisme pertarungan politik mengandung tiga elemen (politik, pertarungan

dan aksi kolektif), maka “teori himpunan” studi ini membangun mekanisme

contentious reform yang dibentuk oleh tiga elemen: konteks politik (political

context), agensi politik (political agency) dan pertarungan politik (political

contention), seperti tersaji dalam bahan 1.5.

Bagan 1.5 Mekanisme contentious reform

Pertarungan Politik

Agensi politik

Konteks Politik

Contentious Reform

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 58: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

58

Pertama, konteks politik (political context), yang mencakup kultur politik,

struktur birokrasi, komposisi partai dan parlemen lokal, formasi elite, regulasi

nasional, maupun institusi informal. Konteks bukan bermakna sebagai variabel

pendahulu yang mempengaruhi variabel bebas dan kemudian berpengaruh

terhadap variabel terikat; konteks bukan juga sebagai variabel bebas yang

mempengaruhi variabel terikat. Konteks sebenarnya merupakan konsep kenyal,

yang bisa dimengerti sebagai kesempatan politik yang memberikan peluang bagi

tindakan aktor, atau lingkungan politik yang melatari tindakan pertarungan politik

dan prakarsa reformasi. Jika dikaitkan dengan pengertian politik (siapa

memperoleh apa, bagimana dan kapan), konteks sebenarnya berkaitan dengan

pertanyaan kapan, atau lebih tepatnya berkaitan dengan pertanyaan bilamana

atau dalam kondisi apa. Bilamana dan dalam kondisi apa Bupati IGW melakukan

tindakan reformasi? Apakah prakarsa reformasi Bupati IGW hadir dalam kondisi

politik harmoni atau dalam kondisi penuh pertarungan? Ini merupakan

pertanyaan yang terkait dengan konteks.

Kedua, aktor dan tindakan politik (political agency) yang mencakup

tindakan IGW sebagai aktor utama maupun aktor-aktor pendukung maupun aktor-

aktor yang menentang kekuasaan IGW dan menentang reformasi. IGW tentu

merupakan aktor pemimpin-penguasa yang menggunakan kekuasaan untuk

menjalankan reformasi, sekaligus mempunyai hasrat kekuasaan ketika memulai

reformasi. Ia memiliki barisan pendukung kekuasaan dan reformasi baik di

kalangan birokrasi maupun di luar institusi pemerintah. Ia juga mempunyai

strategi untuk memenangkan reformasi dan kekuasaan sehingga meraih kejayaan

meskipun berakhir dengan keruntuhan.

Ketiga, proses pertarungan politik (political contention), yang di dalamnya

terjadi pertarungan ide, klaim kepentingan dan wacana dalam proses konsolodasi

kekuasaan dan agenda reformasi antara IGW, pendukung dan penentang.

Baik political context maupun political agency tidak berdiri sendiri

membentuk dan mempengaruhi cerita sukses atau cerita gagal reformasi

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 59: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

59

Jembrana. Keduanya saling berhubungan dan mempengaruhi (interplay). Berbeda

dengan cara pandang strukturalis, political context bukanlah faktor-faktor yang

menentukan cerita sukses reformasi Jembrana, tetapi sebagai kondisi yang

membentuk karakteristik, motivasi, strategi dan tindakan aktor (political agency).

Political agency, terutama IGW, tidak mungkin berdiri sendiri sebagai kekuatan

yang menghasilkan reformasi dan membangun kekuasaan, tetapi juga dibentuk

oleh political context baik yang bersifat statis dan obyektif maupun dinamis-

subyektif yang menjadi the bases of legacy kekuasaan IGW. Political contention

menjadi arena (ranah) pertemuan antara political context dan political agency,

yang membentuk contentious reform, dimana aktor-aktor terus bertarung dalam

memperebutkan kekuasaan dan melancarkan reformasi, yang berlangsung secara

episodik, dinamis dan dramatis.

E. Metode Penelitian

Studi ini bekerja dengan analisis politik kontekstual sebagai jalan tengah

antara tradisi positivisme dan postmodernisme. Dihadapkan pada tradisi

positivisme yang bersifat nomotetik dan mengutamakan parsimoni, analisis

kontekstual berargumen bahwa perhatian terhadap konteks tidak mengacaukan

deskripsi dan penjelasan tentang proses politik. Namun, sebaliknya, analisis

kontekstual memromosikan pengetahuan sistematis. Terhadap versi

postmodernisme yang mengutamakan kompleksitas, analisis politik kontekstual

berpendapat bahwa efek konteks dan kontekstual mengedepankan deskripsi

secara sistematis dan penjelasan (eksplanasi) yang memadai, sehingga

memfasilitasi penemuan keteraturan proses politik (Charles Tilly dan Robert

Goodin, 2006).

Analisis kontekstual bukanlah sebuah studi kasus yang melakukan

verifikasi teori secara deduktif, bukan juga sebagai etnografi yang melakukan

eksplorasi dan interprestasi secara induktif. Analisis kontekstual merupakan jalan

tengah antara dua ekstrem itu. Berbeda dengan ekplanasi konvensional (berbasis

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 60: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

60

variabel) dalam logika deduktif maupun interprestasi dalam logika induktif, studi

ini menawarkan logika reflektif yang mendialogkan antara narasi besar dan narasi

kecil dengan menggunakan interprestasi dan eksplanasi berbasis mekanisme.

Teori contentious reform merupakan hasil rekonstruksi dari narasi besar (teori

contentious politics dan model reformasi) dan narasi kecil (pengalaman pergulatan

kekuasaan dan reformasi di Jembrana). Dengan kalimat lain studi kontekstual atas

Jembrana juga memberi sumbangan terhadap modifikasi, revisi dan

pengembangan teori contentious politics.

Sebagai analisis kontekstual, studi ini membutuhkan kedalaman data

dibanding dengan studi deduktif, meskipun tingkat kedalaman studi ini tidak

sebanding dengan studi sejarah dan etnografi. Sebelum ke lapangan penulis

memanfaatkan berbagai dokumen baik buku yang dipublikasikan oleh Tim Bupati

IGW maupun laporan penelitian berbagai lembaga tentang Jembrana. Dalam studi

lapangan mulai dari Oktober 2009 hingga Mei 2011, penulis melakukan dan

menerapkan tiga metode.

Pertama, diskusi terbatas secara terfokus (focus groups discussion – FGD).

FGD ini merupakan metode pengumpulan data paling awal yang penulis tempuh

sebelum menempuh metode lain. Dengan difasilitasi oleh DS Putra, pada akhir

Oktober 2009, penulis melakukan melakukan FPD dengan sejumlah 12 orang dari

komunitas Jembrana Forum. Mereka terdiri dari kaum intelektual, tokoh agama,

budayawan, dan wartawan, yang penulis sebut sebagai kelompok kritis-rasional,

karena melihat Jembrana dan Bupati IGW secara obyektif, jernih dan kritis. Dari

FGD ini penulis memperoleh gambaran besar (big picture) tentang sejumlah hal:

perjalanan reformasi Jembrana, perjalanan Bupati IGW termasuk jalan yang

ditempuh sang Bupati dalam membangun kekuasaan dan melancarkan reformasi,

kisah sukses reformasi hingga tanda-tanda krisis reformasi. Dari FGD ini penulis

juga memperoleh petunjuk tentang peta aktor, baik pendukung maupun

penentang Bupati IGW.

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 61: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

61

FGD lanjutkan penulis selenggarakan pada bulan Agustus 2010 dan bulan

Januari 2011. FGD bulan Agustus, di saat krisis reformasi Jembrana, penulis

lakukan dengan para aktivis LSM yang menentang Bupati IGW dan melancarkan

gerakan antikorupsi. FGD bulan Januari 2011 penulis lakukan kembali dengan

Jembrana Forum yang mendiskusikan dan menganalisis tentang krisis reformasi

dan keruntuhan Bupati IGW.

Kedua, wawancara mendalam dengan Bupati IGW beserta aktor-aktor

pendukungnya dan aktor-aktor penentangnya. Wawancara pertama penulis

dengan Bupati IGW akhir Oktober 2009 memperoleh gambaran yang memadai

tentang konsep dan visi reformasi serta strategi kekuasaan Bupati IGW dalam

melancarkan kekuasaan. Tentu informasi sisi gelap sang Bupati tidak penulis

peroleh dari IGW melainkan dari sumber-sumber lain baik dari kawan dekat

maupun para penentangnya. Sejumlah kawan dekat Bupati IGW memberikan

informasi yang lengkap tentang perjalanan IGW mulai dari asal-usul, sampai

dengan IGW meraih kekuasaan pada tahun 1998-2000 dan menderita kekalahan

pada tahun 2010. Informasi serupa juga penulis peroleh dari para penentang abadi

Bupati IGW maupun para pendukungnya pada tahun-tahun awal yang kemudian

berubah menjadi penentangnya pada tahun-tahun akhir karena kekecewaan.

Ketiga, dokumentasi, yakni mengumpulkan berbagai data dokumen baik

dokumen resmi yang dipublikasikan oleh Kabupaten Jembrana maupun berita dari

berbagai koran. Para wartawan Nusa, Bali Post, Radar Jembrana dan Antara

memberikan informasi yang memadai tentang Jembrana khususnya sejak tahun

2005. Untuk memperoleh informasi Jembrana sebelum 2005 penulis melacak ke

kantor Bali Post maupun Perpustakaan Daerah Jembrana, tetapi hasilnya nihil.

Penulis memperoleh data Jembrana dan Bupati IGW dari koran secara lengkap di

Perpustakaan Daerah Provinsi Bali.

Bersamaan dengan pengumpulan data penulis juga melakukan analisis

data. Mengorganisir, memilah, memilih dan melengkapi data merupakan pekerjaan

konvensional yang penulis lakukan. Penulis menggunakan metode triangulasi

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 62: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

62

antara data dokumen, data FGD maupun data wawancara untuk keperluan

membangun validitas data, sekaligus melakukan konfirmasi (cross check) antara

satu sumber dengan sumber lain dengan wawancara.

Melampaui tugas penyiapan data ini, langkah penting pertama penulis

adalah merekonstruksi narasi drama reformasi, mulai perebutan kekuasaan pada

tahun 1998-2000 hingga keruntuhan reformasi dan kekuasaan pada akhir tahun

2010. Langkah kedua adalah penyusunan episode (babak) drama reformasi

Jembrana yang berbentuk spiral, yakni mulai dari gerakan reformasi dan

perebutan kekuasaan (1998-2000), inisiasi reformasi dan konsolidasi kekuasaan

(2001-2003), kejayaan reformasi dan dominasi kekuasaan (2003-2008) hingga

krisis reformasi dan keruntuhan kekuasaan (2008-2010). Langkah ketiga adalah

memberikan interpretasi dan ekplanasi setiap babak drama reformasi dengan cara

menunjukkan pemetaan dan narasi terhadap mekanisme interaksi antara political

agency (aktor-aktor beserta sikap dan tindakan mereka), political contention

(pertarungan politik antaraktor) serta political context (situasi dan kesempatan

yang membentuk tindakan dan pertarungan politik antaraktor). Langkah keempat

adalah menarik abstraksi dan kesimpulan untuk membangun teori serta

menyajikan pembelajaran berharga tentang reformasi dan pergulatan kekuasaan.

F. Alur dan Sistematika

Narasi karya ini disajikan ibarat sebuah panggung drama (repertoire) yang

berlangsung secara episodik dan tematik ke dalam depalan bab. Setiap penonton

drama biasanya berharap dan sangat senang kalau alur cerita berakhir dengan

kemenangan dan kebahagiaan (happy ending), dan sangat sedih jika sang pelaku

utama akhirnya menderita kekalahan. Karya ini tidak menyajikan sebuah drama

yang lumrah, drama yang berakhir dengan happy ending, melainkan drama yang

berakhir dengan tragedi yang menyedihkan (sad ending).

Menyusul paparan di Bab I yang telah memberikan pengantar

konseptualisasi, Bab II memberikan latar konteks, sebagai tempat (place) dan

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 63: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

63

ruang (space), bagi arena pergulatan kekuasaan dan reformasi di Jembrana. Cerita

terpenting dalam bab ini adalah arus reformasi nasional 1998 yang berdampak

signifikan terhadap struktur dan institusi politik di Jembrana. Reformasi telah

meruntuhkan dominasi ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar) dan dominasi kasta

tinggi (brahmana dan ksatria); menghadirkan PDIP sebagai partai dominan baru

sejak 1999 yang menjadi arena baru bagi aktor-aktor baru termasuk yang berasal

dari kasta rendah (weisa dan sudra); serta perubahan politik Islam yang lebih cair

dan kompetitif.

Bab III bercerita tentang babak pertama, yakni perlawanan terhadap

penguasa dan perebutan kekuasaan, yang terdiri dari dua babak sekaligus. Babak

pertama, tahun 1998 hingga 2000, bercerita tentang aksi IGW di luar pagar

kekuasaan yang membawa reformasi untuk menentang penguasa, dan secara

gemilang meraih kemenangan dalam perebutan kekuasaan melalui Pilkada 2000.

IGW memenangkan Pilkada Jembrana pada bulan Juli 2000, tetapi ia gagal dilantik

pada 15 Agustus 2000 karena dilawan dan digagalkan oleh aksi massa Partai

Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Setelah melewati jeda selama tiga bulan,

IGW dilantik secara aman dan resmi pada tanggal 15 November 2000.

Bab IV merupakan narasi babak kedua, 2000 hingga 2003, menceritakan

tentang konsolidasi kekuasaan dan inisiasi reformasi. Pasca pelantikan Bupati 15

November 2000, IGW merasa memiliki kekuasaan yang sangat powerful di

hadapan birokrasi tetapi ia merasa sangat lemah (powerless) di hadapan DPRD dan

partai politik terutama PDIP sebagai partai dominan. Resistensi Fraksi PDIP dan

perlawanan reaksioner dari elite dan massa PDIP masih tetap berlanjut, yang

cukup menggoncang legitimasi IGW. Dalam konteks ini IGW melancarkan

reformasi dan konsolidasi kekuasaan yang berhasil meredam resistensi dan

berujung pada penguatan kekuasaan setelah berhasil merebut PDIP tahun 2003.

Bab V bercerita tentang babak ketiga, 2003-2008, episode kejayaan

reformasi dan dominasi kekuasaan. Keberhasilan IGW merebut PDIP tahun 2003

menjadi puncak konsolidasi kekuaaan, dan awal dominasi kekuasaan. Konsolidasi

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 64: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

64

kekuasaan dan inisiasi reformasi pada baba kedua yang berhasil itu membuahkan

hasil ganda: dominasi kekuasaan dan sukses reformasi. IGW kian

mempertahankan dan mengwetkan kekuasaan pada pilkada 2005. Pada saat yang

sama ia melanjutkan reformasi. Namun di balik ini IGW mulai mencari keuntungan

ekonomi dan akumulasi kekayaan sebagai modal untuk bertarung menjadi

gubernur bali 2008.

Bab VI adalah babak keempat, 2008-2011, yang menampilkan cerita

tentang krisis, kemesorotan, kegagalan dan keruntuhan reformasi dan kekuasaan

bupati IGW. Pecah kongsi antara IGW dengan PDIP serta kekalahan IGW dalam

pemilihan gubernur Bali pada pertengahan 2008 menjadi titik puncak kekayaan,

dan titik awal keruntuhan. PDIP sebagai partai dominan terus melawan IGW. BPK

juga terus menunjukkan penyimpangan dan ketidakberesan keuangan Jembrana.

Lawan-lawan politik di masyarakat melawan IGW dengan gerakan antikorupasi

sejak 2009. Warisan reformasi, seperti Jaminan Kesehatan Jembrana, mengalami

krisis dan kebangkutan. Tahun 2010 pertarungan menjadi kompleks dan dramatis.

Semua aktor bertarung melawan IGW sehingga IGW jatuh dan gagal membangun

dinasti politik pada pilkada 2010. Pada saat yang sama ia diseret menjadi

tersangka korupsi, yang pada bulan Januari 2011, ia dimasukkan ke penjara.

Bab VII mengatakan bahwa rangkaian narasi reformasi Jembrana

merupakan contentious reform secara episodik dan spiral yang berakhir secara

tragis. Contentious reform dibentuk oleh contentious politics. Penulis merangkum

dan merajut rangkaian empat babak drama reformasi Jembrana, sekaligus menarik

abstraksi dengan menggunakan kerangka konseptual tentang contentious reform.

Tentu bab VII itu berguna untuk mengantarkan abstraksi teori pada bab

VIII. Agenda terpenting dalam bab terakhir ini adalah membangun konstruksi teori

contentious reform dengan memperhatikan dimensi aktor, konteks dan

pertarungan. Di bagian akhir bab VII ini penulis menampilkan tema “Melampaui

Jembrana” sebagai narasi yang menarik pembelajaran serta mengkaji ulang atau

menantang teori-teori reformasi dan teori-teori kekuasaan elite, bahkan

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 65: BAB I MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN DALAM REFORMASI: …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/90377/potongan/S3-2015-240699-introduction.pdf · menjadi modalitas untuk membangun teori

65

mengajukan revisi atas teori contentious politics. Dengan kalimat lain, bagian ini

menampilkan sisi novelty model contentious reform bila disandingkan dengan

teori-teori sebelumnya, sekaligus menyajikan sisi kontribusi contentious reform

bagi studi politik.

Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di JembranaSUTORO EKO YUNANTO, SIP.,M.SI.Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/