Upload
okky-tiar-giovani
View
634
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Coalbed Methane (CBM) telah menjadi sumber energi alternatif baru.
Peningkatan eksplorasi dalam bidang ini dapat meningkatkan persediaan untuk
keamanan pasokan energi di Indonesia. Berdasarkan penelitian penyelidikan oleh
Pertamina dan PT. Caltex Pacific (Kun Kurnely et ai., 2003 dalam Permana,
2007), Potensi Coalbed Methane di Indonesia adalah sekitar 337 triliun kaki kubik
(TCF). Potensi sumber daya ini menyebar di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Tetapi potensi terbesar terdapat di cekungan Sumatera Selatan dengan cadangan
tidak kurang dari 183 TCF (Permana, 2007).
Menurut Permana (2007) Secara geologi karakteristik batubara Formasi
Muaraenim di Kabupaten Sarolangun memiliki prospek untuk eksploitasi sumber
daya Coalbed Methane. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik mengenai
potensi dan sumber daya Coalbed Methane di daerah ini, penelitian difokuskan
pada tempat yang sudah dilakukan inventarisasi sebelumnya. Seperti pada tahun
2006, dilakukan penelitian Proyek Pengembangan Coalbed Methane yang
merupakan sebuah program dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Minyak dan
Gas Bumi (LEMIGAS).
Beberapa data penelitian yang terkait dengan penelitian sebelumnya,
diperoleh dari laporan, baik yang diterbitkan maupun tidak, terutama data
batubara perusahaan swasta, menjadi data yang mendukung penelitian
laboratorium selanjutnya. Lebih banyak lagi, data terbaru menuju pemahaman
yang lebih baik pada batubara, yang berkaitan dengan kemungkinan Coalbed
Methane dari daerah penelitian.
1.2. Tujuan Penulisan
Fokus penelitian ini untuk memperkirakan potensi dan sumber daya CBM
di Sumatera Tengah, diperoleh dari sampel batubara, baik secara lapangan
1
maupun analisis laboratorium. Hasil analisis ini sangat penting karena sebagai
pemahaman mengenai karakteristik batubara yang berkaitan dengan potensi CBM,
khususnya Formasi Muaraenim.
Studi ini menggunakan metode petrografi organik dan geokimia organik
batubara dari Formasi Muaraenim. Tujuan dari penelitian ini antara lain:
a. menentukan, menganalisis, dan mengevaluasi karakteristik batubara.
b. menentukan kuantitas dan kualitas yang dihasilkan dari CBM Sarolangun.
Tujuan dari laporan ini adalah untuk mempersiapkan informasi geologi
daerah studi, informasi baru mengenai karakteristik batubara secara makroskopik
dan mikroskopis yang terkait dengan potensi CBM.
1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, rumusan
masalah yang penulis ajukan adalah bagaimana karakteristik dari batubara
Formasi Muaraenim secara analisis petrografi organik dan analisis geokimia dan
seberapa besar potensi CBM yang bisa dieksploitasi di Formasi Muaraenim
dengan menggunakan metode petrografi organik dan analisis geokimia organik di
daerah tersebut.
1.4. Lingkup Kajian
Kajian ini meliputi daerah Sarolangun-Pauh, terletak di Kabupaten
Sarolangun, termasuk ke Provinsi Sumatera Selatan. Tetapi, penelitian difokuskan
di Lapangan Batubara Sungai Belati, Lubuk Napal, Karangjering, Sungai Dingin.
Keempat daerah tersebut diduga memiliki potensi cadangan Coalbed Methane.
Selain itu, lapisan batubara juga dipelajari untuk memperoleh lebih banyak
informasi batubara untuk referensi dan perbandingan.
1.5. Metode Pengumpulan Data
Mencapai tujuan penelitian, spesifik bidang geologi teknik investigasi dan
laboratorium dilakukan. Sampel yang dipilih merupakan sampel yang berasal dari
lapisan batubara yang relatif lengkap, termasuk pengamatan, dan pengukuran
2
dengan jelas, tipe batuan, posisi dan karakteristik batubara dan juga gas dalam
pengukuran.
Penyusunan makalah menggunakan referensi utama dari makalah yang
berjudul “Coal Characteristics of Sarolangun – Pauh Region: Implication for
Coalbed Methane Potential” yang disusun oleh A.K. Permana yang dimuat dalam
Jurnal Sumber Daya Geologi Vol. 18 No. 6 Bulan Desember 2008, Hal. 351 –
360.
1.6. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis membagi ke dalam beberapa bab.
Bab pertama merupakan bab pendahuluan, yang berisi mengenai latar belakang,
tujuan, rumusan masalah, lingkup kajian, metoda pengumpulan data, serta
sistematika pembahasan.
Bab kedua berisi tentang keadaan geologi regional di Cekungan Sumatra
Selatan. Bab ini berisi informasi berupa geologi regional, tektonik regional,
stratigrafi regional dan Formasi Muaraenim.
Sedangkan bab ketiga penulis menguraikan landasan teori yang
berhubungan dengan permasalahan yang ada di dalam makalah ini. Pada bab ini
penulis membahas mengenai batubara, pembentukan batubara, pengenalan CBM,
proses terbentuknya CBM.
Bab keempat penulis memaparkan data hasil dari empat lapangan batubara
yang berbeda, kemudian melakukan analisis secara petrografi dan analisis
geokimia untuk menentukan karaktersitik batubara, kemudian dilakukan
pembahasan mengenai masalah yang menjadi tujuan pembuatan makalah. Pada
bab ini penulis juga membahas potensi yang dihasilkan dalam suatu daerah
lapangan batubara. Dan bab yang terakhir, Bab kelima, berisi mengenai
kesimpulan dari permasalahan yang telah dibahas dalam makalah ini.
3
BAB II
GEOLOGI REGIONAL
2.1 Geologi Regional
Secara geologi, daerah Pauh – Sarolangun berlokasi pada sub-cekungan
Palembang Tengah, bagian baratlaut dari cekungan Sumatera Selatan (Gambar 1).
Menurut (de Coster, 1974 dalam Permana, 2007), cekungan ini terletak di bagian
selatan Pulau Sumatera yang merupakan back-arc basin.
Gambar 1. Batas cekungan dan tektonik di Pulau Sumatera dan sekitarnya serta lokasi Cekungan Sumatera Selatan (lingkaran merah) (de Coster, 1974 dalam Kelembagaan dan Kelitbangan Pusat Survei Geologi, 2007)
4
Secara morfologi, ke arah barat, cekungan dibatasi oleh Pegunungan
Barisan. Cekungan Sumatera Selatan terbentuk selama Kapur Akhir sampai awal
Tersier akibat lempeng Indian-Australian di bawah lempeng Eurasia dalam batas
bagian barat kepulauan Sumatera. (Daly et al., 1987 dalam Permana, 2007).
Gambar 2. Lokasi penelitian pengambilan sampel batubara Sarolangun-Pauh yang masuk ke dalam sub-Cekungan Palembang Tengah, Sumatera Selatan (Adaptasi dari Bishop, 2001 dalam Permana 2007)
Secara fisiografis Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan Tersier
berarah barat laut – tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan Bukit Barisan di
sebelah barat daya, Paparan Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di
5
sebelah tenggara yang memisahkan cekungan tersebut dengan Cekungan Sunda,
serta Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di sebelah barat laut
yang memisahkan Cekungan Sumatra Selatan dengan Cekungan Sumatera
Tengah.
2.2 Tektonik Regional
Blake (1989 dalam Ardiansyah, 2009) menyebutkan bahwa daerah
Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan busur belakang berumur
Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda
(sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera India.
Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah barat
daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh
Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh
dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.
Gambar 3. Posisi Cekungan Sumatera Selatan sebagai cekungan busur belakang (back-arc basin) (Blake, 1989 dalam Ardiansyah, 2009)
Menurut Salim et al. (1995 dalam Ardiansyah, 2009) Cekungan Sumatera
Selatan terbentuk selama Awal Tersier (Eosen – Oligosen) ketika rangkaian (seri)
6
graben berkembang sebagai reaksi sistem penunjaman menyudut antara lempeng
Samudra India di bawah lempeng Benua Asia.
Menurut De Coster (1974 dalam Ardiansyah, 2009), diperkirakan telah
terjadi 3 episode orogenesa yang membentuk kerangka struktur daerah Cekungan
Sumatera Selatan yaitu orogenesa Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir –
Tersier Awal dan Orogenesa Plio – Plistosen.
Episode pertama, endapan – endapan Paleozoik dan Mesozoik
termetamorfosa, terlipat dan terpatahkan menjadi bongkah struktur dan diintrusi
oleh batolit granit serta telah membentuk pola dasar struktur cekungan. Menurut
Pulunggono (1992 dalam Ardiansyah, 2009), fase ini membentuk sesar berarah
barat laut – tenggara yang berupa sesar – sesar geser.
Episode kedua pada Kapur Akhir berupa fase ekstensi menghasilkan gerak
– gerak tensional yang membentuk graben dan horst dengan arah umum utara –
selatan. Dikombinasikan dengan hasil orogenesa Mesozoik dan hasil pelapukan
batuan – batuan Pra – Tersier, gerak gerak tensional ini membentuk struktur tua
yang mengontrol pembentukan Formasi Pra – Talang Akar.
Episode ketiga berupa fase kompresi pada Plio – Plistosen yang
menyebabkan pola pengendapan berubah menjadi regresi dan berperan dalam
pembentukan struktur perlipatan dan sesar sehingga membentuk konfigurasi
geologi sekarang. Pada periode tektonik ini juga terjadi pengangkatan
Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan sesar mendatar Semangko yang
berkembang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan. Pergerakan horisontal yang
terjadi mulai Plistosen Awal sampai sekarang mempengaruhi kondisi Cekungan
Sumatera Selatan dan Tengah sehingga sesar – sesar yang baru terbentuk di
daerah ini mempunyai perkembangan hampir sejajar dengan sesar Semangko.
Akibat pergerakan horisontal ini, orogenesa yang terjadi pada Plio – Plistosen
menghasilkan lipatan yang berarah barat laut – tenggara tetapi sesar yang
terbentuk berarah timur laut – barat daya dan barat laut – tenggara. Jenis sesar
yang terdapat pada cekungan ini adalah sesar naik, sesar mendatar dan sesar
normal.
7
Kenampakan struktur yang dominan adalah struktur yang berarah barat
laut – tenggara sebagai hasil orogenesa Plio – Plistosen. Dengan demikian pola
struktur yang terjadi dapat dibedakan atas pola tua yang berarah utara – selatan
dan barat laut – tenggara serta pola muda yang berarah barat laut – tenggara yang
sejajar dengan Pulau Sumatera .
2.3 Stratigrafi Regional
Secara geologi, Sub-Cekungan Palembang Tengah berasal dari laut
dangkal (pada bagian dasar), paludal, dan dataran delta dan lingkungan non-
marin. Menurut Permana (2007), selama pengendapan sedimen klastik, seperti
batupasir, batulempung dan adanya sisipan batubara. Batas paling bawah dari
bagian selatan cekungan ini biasanya ditandai dengan adanya lapisan batubara,
dan di daerah Jambi setara dengan bagian atas kontak batupasir glaukonitik dalam
Formasi Airbenakat. Lapisan batubara ini semakin menipis ke arah utara dalam
Cekungan Sumatera Selatan.
Lapisan utama batubara disebut Formasi Muaraenim yang diperkirakan
pembentukan pada Miosen Akhir sampai Awal Pliosen. Formasi Muaraenim
mengalami penggangkatan Pegunungan Bukitbarisan Secara lithologi, Formasi
Muaraenim terdiri dari batulempung dan batulanau dengan adanya sisipan
batupasir dan sisipan batubara. Lebih spesifik ketebalan Formasi Muaraenim
bervariasai antara 450-750m (Darman dan Sidi, 2000, dalam Permana, 2007).
Secara umum material organik Formasi Muaraenim ini sistem deltaik tropis.
8
Gambar 4. Kolom lithostratigafi umum Cekungan Sumatera Selatan (Modifikasi dari Tarazona et. al, dalam Kelembagaan dan Kelitbangan Pusat Survei Geologi. 2006)
2.4 Formasi Muara Enim
Formasi Muara Enim mewakili tahap akhir dari fase regresi tersier.
Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Air Benakat pada
lingkungan laut dangkal, paludal, dataran delta dan non marin. Ketebalan formasi
9
ini 500 – 1000m, terdiri dari batupasir, batulempung, batulanau dan batubara.
Batupasir pada formasi ini dapat mengandung glaukonit dan debris volkanik. Pada
formasi ini terdapat oksida besi berupa konkresi-konkresi dan silisified wood.
Sedangkan batubara yang terdapat pada formasi ini umumnya berupa lignit.
Formasi Muara Enim berumur Miaosen Akhir – Pliosen Awal.
10
BAB III
LANDASAN TEORI
3.1 Analisis Kimia Batubara
Batubara adalah campuran dari beragam senyawa organik, yang bersatu
dengan sejumlah material anorganik tertentu dalam bentuk moisture dan mineral
pengotor. Sisa-sisa tumbuhan dapat menjadi sumber utama penghasil batubara
karena mengandung bahan-bahan organik penyusun batubara. Sisa-sisa tumbuhan
tersebut, pada umumnya, dapat berupa pepohonan, ganggang, lumut, bunga, serta
tumbuhan yang biasa hidup di rawa-rawa. Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan
yang telah membusuk dan terakumulasi dalam suatu daerah dengan kondisi
banyak air seperti rawa-rawa. Kondisi tersebut yang dapat menghambat kerja dari
bakteri anaeorob dalam penguraian menyeluruh dari sisa-sisa tumbuhan yang
kemudian mengalami proses perubahan menjadi batubara.
3.1.1 Penggologan Analis Batubara
Untuk keperluan penelitian, material ini dapat dievaluasi dengan
kombinasi dari dua set data analisis:
a. Analisa proksimat
Analisa ini memberikan jumlah relatif dari senyawa organik ringan
(volatile matter), sebagai lawan dari material organik non volatile (fixed
carbon). Analisa ini juga memberikan jumlah dari moisture dari batubara, dan
pengukuran dari komponen inorganik yang tersisa, seperti residu atau abu
ketika batubara dibakar.
b. Analisa ultimat
Analisa ini mendeterminasi jumlah total dari masing-masing elemen
kimia yang penting dalam batubara: seperti karbon, hidrogen, oksigen,
nitrogen, dan sulfur. Hasil dari analisa ultimat dan proksimat adalah untuk
mengindikasikan bagaimana peran batubara dalam industri.
11
3.1.2 Sampling Untuk Analisis Batubara
Sampel batubara dapat diambil dari luar pertambangan, dalam tambang,
atau dari insitu yang terekspos, dari data pengoboran dan cuttings, dan dari massa
batubara yang hancur seperti dalam conveyor belts dan stockpiles.
Sampling batubara di dalam pertambangan. Sampel dapat diambil dari
salah satu metode dibawah ini:
a. Pillar Sampling
Metode ini melibatkan pengambilan blok batubara yang menerus, yang
terdapat diantara atas dan bawah bidang perlapisan yang menandakan batas dari
interval dari perlapisan batubara. Sampel ini membutuhkan biaya yang besar
dalam pengambilannnya, sulit untuk diambil, dan jarang digunakan kecuali untuk
pekerjaan detail.
b. Strip atau channel sampling
Metode ini melibatkan cutting dari channel atau alur dari tubuh batubara,
dan pengumpulan dari semua bagian yang terlepas dalam plastik sampel yang
bersih pada saat pengambilan.
Jumlah dari material dalam sampel strip atau sampel channel dapat
direduksi, ini diperlukan dalam teknik ’cone and quarter’ untuk memberikan berat
yang pantas dalam pengangkutan.
3.2 Analisis proksimat
Analisis proksimat memberikan pengukuran dari jumlah relatif volatile
dan non-volatile matter senyawa organik dalam batubara sebagai jumlah
prosentase dari air dan mineral yang tidak terbakar.
3.2.1. Moisture
Moisture (lengas) dalam batubara dapat muncul dalam 4 bentuk:
a. surface moisture
total moisture
12
inherent atau air-dried moisture
b. hygroskopik moisture
c. decomposition moisture
d. mineral moisture
3.2.2. Volatile Matter
Material yang berkenaan dengan volatile matter (zat terbang) dalam
sampel batubara merepresentasikan komponen-komponen dalam batubara, kecuali
kandungan moisture, yang dibebaskan pada temperatur tinggi dengan tidak
hadirnya udara.
3.2.3. Abu
Abu dari batubara adalah residu inorganik yang tidak terbakar yang masih
tersisa ketika batubara tersebut dibakar.
Batubara yang mengandung kandungan abu dengan jumlah yang tinggi
kurang digunakan dibandingkan dengan kandungan abunya yang sedikit.
3.2.4. Fixed carbon
Fixed carbon terdiri dari jumlah karbon yang terkandung dalam batubara
yang masih tersisa setelah volatile matter dikeluarkan.
3.3 Analisis Ultimat
Komponen organik dari batubara pada dasarnya terdiri dari senyawa
kimia, terbentuk dari karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen dan sulfur. Analisis
ultimat melibatkan prosentase determinasi dari masing-masing senyawa kimia di
atas dalam sampel.
Prosentase dari karbon, hidrogen dan oksigen dalam fraksi organik dalam
batubara dapat juga digunakan sebagai indikasi tingkat dan parameter dalam
klasifikasi batubara.
13
3.3.1. Karbon dan hidrogen
Karbon dan hidrogen hadir pada umumnya sebagai senyawa kompleks
hidrokarbon. Tersusun sebagai CO dan H2O ketika batubara tersebut dibakar.
Hidrogen juga ditemukan dalam inherent moisture dari batubara yang bebas dari
udara, dan pada akhirnya semua pengukuran total karbon dan hidrogen meliputi
jumlah pasti dari material yang didapat dari sumber inorganik.
Pada kebanyakan teknik determinasi dari karbon dan hidrogen didasarkan
pada pemanasan air-dried coal dalam uap oksigen kering, dan pengumpulan dari
CO2 dan H2O yang diproduksi dalam rangkaian tabung adsorpsi.
3.3.2. Nitrogen
Nitrogen ditemukan dalam batubara dalam senyawa organik tertekan yang
hadir.
3.3.3. Sulfur
Sulfur dapat hadir dalam batubara dengan beberapa cara:
a. Sulfur organik
b. Sebagai mineral sulfida
c. Sebagai mineral sulfat
Dalam analisis ultimat, total sulfur yang terkandung yang terdeterminasi,
merepresentasikan material yang hadir dalam segala bentuk yang mungkin
muncul.
Batubara yang kandungan sulfurnya tinggi menimbulkan banyak problem
dalam penggunaannya.
3.3.4 Oksigen
Oksigen adalah komponen dari banyak senyawa organik dalam batubara.
Jika batubara tidak segar, oksigen dapat ditemukan dalam oksida besi, hidroksida
dan berbagai macam mineral sulfat. Oksigen dalam batubara juga perlu untuk
indikasi tingkat batubara. Oksigen juga berperan penting dalam gasifikasi dan
14
operasi liquefaction, yang didapat dari hidrogen selain itu untuk menghasilkan
senyawa hidrokarbon.
Oksigen yang terkandung dalam batubara biasanya dideterminasi dengan
menyubtraksi jumlah dari komponen kimia lainnya (C, H, N dan S) dalam persen.
3.4. Analisis Kimia Lainnya
Tidak jauh berbeda dari analisis proksimat dan analisis ultimat, analisis
kimia laninnya sering digunakan dalam testing sampel batubara. Prosedur analisis
tersebut antara lain:
3.4.1. Bentuk dari sulfur
Walaupun total dari sulfur yang terkandung menyediakan data dalam
jumlah terbatas untuk aplikasi komersial, pengetahuan dari masing-masing tiga
bentuk prinsipel dapat berguna untuk keperluan-keperluan berikut ini:
a. Untuk menemukan level dari total sulfur yang terkandung dapat direduksi
atau tidak dari proses preparasi batubara.
b. Untuk menemukan perhitungan secara normatif dari jumlah material
mineral dalam batubara.
3.4.2. Karbonat karbondioksida
Mineral karbonat, umumnya merupakan unsur utama dari batubara.
Mineral-mineral bebas CO2, pada pembakaran dan selanjutnya diperuntukkan
pada kandungan total karbon pada batubara yang mana dideterminasi dari analisa
ultimat. Proses ini merupakan proses endoterm dan pengurangan dari jumlah
energi yang ada dari batubara dengan kata lain mempunyai kandungan karbon
semu yang tinggi. Jumlah dari karbon ini diperlukan untuk tujuan-tujuan berikut
ini:
a. determinasi dari jumlah karbon yang dapat terbakar dari kandungan total
karbon
b. estimasi dari persentase dari mineral matter yang didapat dari perhitungan
15
3.4.3. Klorin
Klorin dapat dideterminasi oleh metoda Eschka, dimana batubara
dioksidasi pada temperatur 6750C dalam magnesium oksida dan sodium karbonat.
3.4.4. Fosfor
Analisa kimia untuk fosfor berdasarkan proses oksidasi dari batubara
dalam asam kuat atau dalam larutan asam dari abu batubara diikuti dengan
determinasi spektrofotometri dengan amonium molybdate.
3.4.5. Analisa abu
Analisa abu terdiri hampir seluruhnya dari terdekomposisinya sisa
karbonat, silikat, sulfat, dan mineral lainnya, dan sedikitnya 99% dari komposisi
kimianya.
3.4.6. Elemen jejak
Bagian dari organik komponen utama dan unsur pokok dari komponen
inorganik. Jenis tumbuhan yang terdapat pada sebuah lapisan batubara tergantung
pada kondisi iklim setempat. Dalam suatu cebakan lapisan batubara yang sama,
sifat-sifat analitik yang ditemukan pada komposisi penyusunnya dapat berbeda,
selain karena jenis tumbuhan asalnya yang mungkin berbeda, juga karena
banyaknya reaksi kimia yang mempengaruhi kematangan suatu batubara.
3.5. Coalbed Methane (CBM)
3.5.1 Pendahuluan CoalBed Methane
Coalbed Methane adalah gas alam yang berasal dari batubara. Batubara
memiliki lapisan-lapisan berisi gas alam dengan kandungan utamanya berupa
metana (CH4). Walaupun tidak semua batubara menghasilkan CBM. Adapun gas
metana ini terbentuk dari aktivitas mikrobakteri (biogenik) atau panas
(termogenik) selama proses pembentukan batubara (pembatubaraan).
Karakteristik dari CBM yaitu tidak berbau, tidak berwarna dan sangat mudah
terbakar.
16
Jumlah kandungan CBM dalam lapisan batubara sangat tergantung pada
kedalaman dan kualitas batubaranya. Semakin dalam lapisan batubara terbenam
dari permukaan tanah, sebagai hasil dari tekanan formasi batuan di atasnya,
semakin tinggi nilai energi dari batubara tersebut, dan semakin banyak pula
kandungan CBM. Secara umum, lapisan batubara bisa menyimpan gas metana
sebesar 6 - 7 kali lebih banyak daripada jenis batuan lain dari reservoir gas.
Adapun karakteristik batubara yang baik untuk menghasilkan CBM, yaitu:
a. Batubara memiliki kandungan gas yang tinggi, yaitu berkisar antara 15m3 –
30m3 per ton.
b. Batubara memiliki permeabilitas yang baik, yaitu antara 30mD – 50mD.
c. Lapisan batubara berada pada kedalaman yang cukup dangkal yaitu kurang
dari 1000 m di bawah permukaan. Adanya batasan kedalaman ini karena
semakin dalam suatu lapisan batubara,tekanannya juga akan semakin besar
dan akan menyebabkan gas terakumulasi saat lapisan batubara mengalami
dewatered. Hal ini disebabkan oleh semakin besar tekanan akibat
pembebanan, maka semakin besar kemungkinan cleat pada batubara akan
tertutup dan menyebabkan berkurangnya permeabilitas.
d. Tingkat batubara. Pada umumnya CBM menghasilkan gas dari batubara pada
tingkat bituminus, tetapi tidak menutup kemungkinan pada tingkat antrasit
juga dapat menghasilkan gas.
Terdapat empat mekanisme penyimpanan CBM pada lapisan batubara,
yaitu:
– sebagai gas bebas di dalam micropore (pori-pori dengan diameter kurang
dari 0,0025 inchi) dan cleats (rekahan alami pada batubara);
– sebagai gas yang terlarut dalam air yang ada di batubara;
– sebagai gas yang teradsorpsi oleh daya tarik molekuler pada permukaan
maseral (material organik yang menyusun batubara), micropori, dan cleats
di dalam batubara; dan
– sebagai gas yang teradsorpsi dalam sturuktur molekuler dari molekul
batubara.
17
Gas yang terperangkap di dalam lapisan batubara akan sangat bergantung
dari posisi ketinggian air bawah tanah. Sebenrnya, air bawah tanah ini akan
berada pada bagian atas lapisan batubara dan berfungsi menahan gas yang ada
pada lapisan batubara tersebut. Dengan menurunkan tinggi air, maka tekanan
dalam reservoar akan berkurang dan dapat melepaskan CBM.
3.5.2 Proses Pembentukan Coal Bed Methane
Adapun proses terbentuknya CBM dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Biogenic methane
Selama proses perubahan material organik menjadi batubara atau biasa
dikenal dengan proses pembatubaraan, terbentuk beberapa gas, salah satunya
adalah gas metana (CH4). Gas metana in terbentuk sebagai hasil dari aktivitas
mikrobakteri. Selama tahap awal dari proses pembentukan batubara, biogenic
methane terbentuk sebagai produk sampingan dari respirasi bakteri. Bakteri
aerobik, yaitu bakteri yang menggunakan oksigen untuk respirasi, menggunakan
oksigen bebas yang tertinggal di lapisan sedimen untuk metabolisme. Pada
lingkungan fresh water, produksi metana dimulai segera setelah oksigen habis.
Kemudian bakteri anaerobik (bakteri yang tidak menggunakan oksigen untuk
respirasi) menurunkan kandungan karbondioksida dan memproduksi metana
dengan respirasi anaerobik. Gas metana mulai terbentuk oleh proses biogenik
pada suhu sekitar 50°C.
Aktivitas bakteri sangat dipengaruhi oleh sirkulasi air. Sirkulasi air yang
baik menyebabkan gas biogenik dapat berkembang hingga tahap akhir. Selain itu,
proses pembentukan gas metana pada batubara merupakan fungsi dari tekanan,
temperatur dan waktu. Umumnya CBM terbentuk pada kedalaman yang dangkal.
Temperatut ideal yang dibutuhkan untuk bakteri metana berkisar antara 40-90°C.
Gambar di bawah ini merupakan model lapisan batubara yang menghasilkan
metana karena berhubungan dengan sirkulasi air yang baik.
18
b. Thermogenic methane
Ketika temperatur batubara di bawah permukaan meningkat hingga lebih
dari 50°C karena peningkatan gradien geotermal, proses termogenik dimulai dan
penambahan air, pembentukan karbondioksida dan nitrogen sebagai produk dari
pembatubaraan (Rightmire, 1984). Pembentukan karbondioksida mencapai
maksimum pada suhu sekitar 100°C. pembentukan termogenik metana dimulai
pada tingkat volatil batubara yang lebih tinggi dan pada suhu 120°C, jumlah
metana yang dihasilkan melebihi jumlah karbondioksida. Puncak pembentukan
metana terjadi pada suhu 150°C. Mungkin pada temperatur yang lebih tinggi dan
kelas batubara yang lebih baik, metana masih terbentuk tetapi dengan volume
yang lebih kecil (Rightmire, 1984; dalam Katz, 1987).
c. Late Biogenic
Proses ini berlangsung setelah batubara mencapai kematangan. Gas
metana terbentuk dari aktivitas bakteri. Hal ini menunjukkan bahwa CBM
merupakan gas yang dapat terbaharui walaupun proses pembatubaraan sudah tidak
berlangsung lagi.
19
BAB IV
DATA DAN PEMBAHASAN
4.1 Data Geologi Batubara
Jika dilihat dari stratigrafi, Pauh-Sarolangun terdiri dari batubara,
batulumpur, batulanau, tuff, batupasir, dan sisipan batubara. Secara umum,
batubara, berwarna hitam, getas,tidak mengandung mineral, dalam batulumpur
berwarna cokelat, dengan ketebalan 3 m, terutama pada bagian bawah stratigrafi
strata I.
Gambar 5. Peta Geologi yang memperlihatkan daerah penelitian. Pada bagian (A) merupakan letak penelitian Lubuk Napal dan Sungai Belati; (B) Karangjering dan Sungai Dingin (Suwarna, et al., 1992, dalam Permana 2007)
20
Daerah Pauh - Sarolangun, penelitian telah difokuskan di Sungai Belati
Coal, Lubuk Napal, Sungai Dingin dan daerah Karangjering (Gambar 5). Sifat dan
karakteristik Batubara masing-masing daerah penelitian yang terkait dengan
potensi CBM, digambarkan sebagai berikut.
4.1.1 Sungai Belati
Sungai Belati yang tidak jauh dari Kota Sarolangun, sekitar 15 km
ke arah timur laut, merupakan lapangan batubara yang terbentuk secara baik
dan menyisip ke dalam lapisan batulumpur dan batupasir.
Tabel 1. Data hasil analisis petrografi organik dari sampel yang diambil dari Sarolangun (Permana, 2007)
Di daerah ini, terdiri atas sedimen klastik berbutir halus-sedang
yang merupakan lanjutan dari Formasi Muaraenim. Bagian atas formasi ini
21
berasal dari sedimen klastik vulkanik yang berasal dari Formasi Kasai. Dua
kolom stretigrafi menunjukan perubahan batubara, batupasir dan
batulumpur. Secara megaskopis, batubara dicirikan kilap buram, warna
cokelat kehitaman, agak keras, belahan chonchoidal. Kualitas batubara di
daerah ini sedang-rendah.
Kualitas batubara, diukur secara analisis data petrografi (tabel 1).
Hasilnya batubara Sungai Belati memiliki kandungan maseral vitrinit yang
sangat dominan (77,4%) (foto 2), dengan sedikit inertinit (13%), ekstinite
(6,8%), dan nilai dari reflektansi vitrinit sebesar 0,45%.
Gambar 6. Foto dari Singkapan Batubara yang memperlihatkan dull banded lithotype (Permana, 2007)
Hasil analisis geokimia, sampel batubara di Sungai Belati, terdiri
atas kandungan abu sebesar 0,68%, material volatil 28.57%, total sulfur
adalah 0,11-0,90%, sedangkan kadar air adalah 42,60% (Tabel 2)
22
Tabel 2. Hasil dari analisis geokimia organik pada sampel batubara dari Sarolangun (Permana, 2007)
4.1.2 Lubuk Napal
Daerah ini terletak sekitar 60 km timur laut Kota Sarolangun.
Pengambilan sampel dilakukan di dua lokasi, Pertama, tidak jauh dari jalan
Pauh ke Lubuk Napal (km-18) dan yang kedua adalah sekitar 3 km ke utara
dari daerah pertama.
Gambar 7. Singkapan batubara yang memperlihatkan dull banded lithotype di Sungai Monobegading, Lubuk Napal (Permana,2007)
23
Pada lapisan batubara di daerah tersebut, seperti pada gambar 7,
menunjukkan bahwa batubara di Sungai Monobegading berkisar dari dull
untuk lithotype banded. Namun, yang dominan adalah dull lithotype
banded. Secara megaskopis, batubara berwarna coklat kehitaman, cokelat,
beberapa lapisan sangat tipis. Ketebalan dari masing-masing sub-lapisan
batubara kurang dari 1,5 m.
Gambar 8. Kolom startigrafi menunjukan rangkaian Formasi Muaraenim Lubuk Napal (Permana, 2007)
Analisis kualitas batubara menggunakan analisis petrografi
batubara dan analisis data. Secara Petrografi, batubara Lubuk Napal yang
mengandung kelompok maseral vitrinit yang dominan (hingga 93,8%)
dengan sedikit inertinit berkisar dari 1,6% - 19,2%, dan eksinite 2,8% -
9,6% (Foto 4), nilai reflektansi vitrinit berkisar 0,46 % - 0.47%.
kemudainsecara analisis geokimia, batubara Lubuknapal mengandung abu
antara 1,05%- 6,20%, material volatil 24,39% - 33,50%, total sulfur adalah
0.13% - 1.21%, sedangkan kadar air inheren adalah dari 34,06% -40,40%.
24
Gambar 9. Photomicrograph dari hasil reflektansi virinit dari sampel 06 AP 05C. menunjukan adanya telokolinit, sklerotinit, suberinit, dan kandungan mineral (Permana, 2007)
Berdasarkan parameter yang mempengaruhi kapasitas adsorpsi
batubara, kandungan Coalbed Methane yang berasal dari lapisan batubara
Lubuk Napal memiliki kadar rendah – sedang, dengan kandungan metan
berkisar antara 3,73 m3/t - 5,3 m3/t.
4.1.3 Sungai Dingin
Lokasi daerah Sungai Dingin kira-kira 40 km ke arah baratdaya dari
Kota Sarolangun. Banyak terdapat singkapan batubara sepanjang Sungai
Keruh.
Daerah Sungai Dingin merupakan lapisan batubara yang dicirikan
kilap kusam, warna coklat, kekerasan sedang-keras, resin sekitar 0,5-3,5 cm
(Gambar 5).Secara petrografi, terdiri atas kelompok maseral vitrinit yang
dominan (hingga 91,0%) dengan sedikit eksinit dari 1,4% - 3,4% (Gambar
25
5), inertinit mulai dari 0,6% - 2,4%, dan nilai dari pantulan vitrinit
bervariasi dari 0,37% - 0,40%.
Gambar 10. Kolom startigrafi menunjukan adanya sisipan batubara dalam rangakaian Formasi Muaraenim Sungai Dingin (Permana, 2007)
Selain itu, Secara geokimia, karakteristik batubara dicirikan dengan
kandungan abu dari 22,42% - 37,18%, material volatile 20,43% - 23,44%,
total sulfur adalah antara 0.44% - 0.56%, dan kadar air berkisar antara
18,01% - 22,77%.
Gambar 11. Photomicrograph dari hasil reflektansi virinit dari sampel 06 TH 21F menunjukan adanya telokolinit, eksudanit, sporinit, dan kandungan mineral (pyrit) (Permana, 2007)
26
Berdasarkan diagram Barbara-Winter, kandungan Coalbed Methane
yang berasal dari lapisan bat ubara Sungai Dingin memiliki kandungan
sedang, dengan kisaran kandungan metana sekitar 5,35 m3/t.
4.1.4 Karangjering
Daerah Karangjering terletak di antara Desa Muaralimun dan Desa
Hulumengkua, sekitar 35 km ke arah barat dari Sarolangun. Lokasi ini dapat
dicapai dengan kendaraan roda 4 langsung dari Muara Limun atau
Sarolangun. Jika dilihat dari karakteristik batubara daerah Karangjering,
memiliki kilap dull dan dull banded, warna coklat, agak keras, mengandung
resinyang menyebar (0.5 - 1,5 cm), beberapa sampel menunjukkan lapisan
sangat tipis warna cerah dengan ketebalan sekitar 0,5 mm (Gambar 6).
Gambar 12 Kolom startigrafi menunjukan adanya sisipan batubara dalam rangakaian Formasi Muaraenim Karangjering (Permana, 2007)
Kandungan batubara Karangjering terdiri dari maseral vitrinit
maceral yang dominan (40.6%) dengan sedikit inertinit (2,0%), eksinit
(1,0%), dan material mineral yang tinggi (59,4%) (Foto 6); sedangkan nilai
pantulan vitrinit sekitar 0,35%. Selain itu, batubara mengandung abu sekitar
52,40%, material volatile 13,01%, dan total sulfur 2,38%, dengan
kandungan moistur 23,9 1%.
27
Gambar 13 Photomicrograph dari hasil reflektansi virinit dari sampel 06 TH 27A menunjukan adanya telokolinit, detrovitrinit, skelotinit, pyrite dan mineral lempung (Permana, 2007)
Berdasarkan parameter yang mempengaruhi kapasitas adsorpsi
batubara, kandungan coalbed methane yang berasal dari lapisan batubara
Sungai Dingin berada pada tingkat sedang, dengan kandungan metana 6,02
m3/t. (Gambar 7).
Gambar14 Mengukur in-situ gas methane di Sungai Mengkua, Karangjering, menggunakan peralatan sederhana.(Permana, 2007)
28
4.2. Pembahasan
4.2.1 Potensi Coalbed Methane dan Kualitas Batubara
Karakteristik batubara Sarolangun-Pauh menunjukkan kilap dull sampai
dull banded. Dari analisis petrografi sampel menunjukkan bahwa batubara
didominasi oleh vitrinit dengan sedikit kandungan inertinit dan eksinit. Meskipun
pada beberapa sampel menunjukkan kandungan vitrinit rendah hanya 40,6%. Dari
seluruh sampel batubara menunjukkan bahwa kadar batubara tidak termasuk
dalam kategori rendah, dan kandungan maseral eksinite rendah sampai sedang,
mulai dari 1,0% sampai dengan 9,6%. Selain itu, nilai dari pantulan vitrinit
menunjukkan 0,35% sampai dengan 0,47%, yang menunjukkan kadar batubara
rendah sampai sedang. Oleh karena itu, berdasarkan karakteristik di atas, batubara
di Pauh-Sarolangun ini diprediksi memiliki memiliki potensi biogenik Coalbed
Methane. Bukti pendukung lain, yaitu hasil analisis kandungan gas metan dalam
lapisan bawah batubara daerah Sarolangun bervariasi sekitar 13,56-100%.
Rata-rata total moisture masing-masing sampel berkisar antara 18,01%
sampai 40,18%; dengan rata-rata nilai kalori sekitar 5.545-5.745 kal/g. Tetapi
terdapat sampel yang memiliki nilai kalori yang rendah di daerah Karangjering
yaitu, 1225 kkal/kg. Hal ini karena kandungan abu tinggi sekitar 52,40%.
Rata-rata kandungan abu masing-masing sampel, mulai dari 0,11% sampai
dengan 2,38%. Nilai-nilai ini berkorelasi dengan kandungan mineral lempung
(hasil analisis petrografi organik) sebesar 0,8%-52,2%. Nilai-nilai ini juga
berkorelasi dengan nilai kalori. Maka sampel ini bukan sampel batubara, tapi
mungkin serpih sisipan batubara.
Material Volatil di Sarolangun-Pauh menunjukkan bahwa beberapa sampel
berkisar antara 13,39% sampai dengan 33,50%. Kandungan material volatile di
daerah ini rendah sampai menengah, sehingga kandungan gas masuk kategori
sedang-tinggi potensi metana berkisar antara 10,68% dan 31,91%.
Meskipun karakteristik secara petrografi, tekstur cleat sangat penting yang
harus dipertimbangkan dalam semua analisis sampel. Karena akan berguna dalam
membantu menentukan kandungan potensi CBM. Secara umum, kandungan cleat
cukup sedang di semua lokasi, kecuali di wilayah Karangjering.
29
Hasil analisis SEM untuk setiap sampel, selain dari maseral dan material
organik, semua tekstur, fitur dan karakteristik lainnya secara visual dengan baik
terpapar dalam tiga dimensi. Oleh karena itu, dimensi micro-cleat atau retakan
mikro secara kuantitatif dapat diukur dalam skala mikron. Hasil pengukuran
micro-cleat atau retakan mikro yang ditemukan di setiap sampel (Panggabean dan
Hermiyanto, 2006 dalam Permana, 2007).
Fitur mikro-cleat atau retakan mikro didominasi oleh jurus meskipun
beberapa melengkung dan agak melengkung juga hadir. Open microcleats sangat
dominan dibandingkan dengan close microcleats.
Nilai micro-cleat yang cukup baik atau memiliki kepadatan tinggi
diidentifikasi dalam sampel 06 TH 21A, 06 TH 22D, dan 06 TH 23 berkisar 0,4-
0,8. Di sisi lain, nilai micro-cleat yang rendah ditemukan dalam sampel 06 TH 26,
06 TH 27B, 06 TH 28.
4.2.2 Sumber Daya Gas in-Place
Parameter yang digunakan untuk menghitung potensial gas in-place dari
Sarolangun-Pauh berdasarkan teori kandungan gas Barbara and Winter Diagram,
and Lost selama pengeboran Gas (Q1) ditambah desorption selama transportasi
gas (Q2).
Gambar 15. Diagram Barbara-Winter untuk menentukan potensi cadangan CBM
(Suwarna, N., et al.,2006)
30
Untuk menghitung secara teoritis gas in-place potensi daerah studi,
parameter penting yang diperlukan adalah kandungan material volatile dari
batubara.
Potensi atau kandungan gas in-place dari masing-masing lapisan batubara
yang dipilih akan ditampilkan sebagai berikut:
– Daerah Sungai Belati diagram Barbara-Winter menunjukkan bahwa
kandungan gas rata-rata 3,98 m3/t dari batubara.
– Daerah Lubuk Napal dan sekitarnya diagram Barbara-Winter menunjukkan
bahwa kandungan gas berkisar antara 3,73 m3/t. - 5.3 m3/t dari batubara.
– Daerah Sungai Dingin diagram Barbara-Winter menunjukkan nilai rata-rata
5,35 m3/t.
– Daerah Karangjering dan sekitarnya Diagram barbara / winter menunjukkan
kandungan gas rata-rata 6,02 m3/t dari batubara.
Dapat disimpulkan, bahwa berdasarkan parameter yang mempengaruhi
kapasitas adsorpsi batubara (diagram Barbara Winter), kandungan gas yang
berasal dari lapisan batubara Sarolangun berada pada tingkat rendah sampai
sedang, dengan kandungan metana dari 2,89 m3/ t - 6,02 m3/t.
Selain itu, gas dalam reservoir CBM disimpan dalam matriks batubara oleh
sorption. Persamaan berikut (Aminian, 2007 dalam Permana, 2007) umumnya
digunakan untuk memperkirakan total adsorbed awal gas dalam reservoir CBM.
Seperti dapat dilihat dari Persamaan, rata-rata konten gas, ketebalan
batubara, reservoir atau drainase yang baik, dan rata-rata massa jenis batubara
insitu adalah parameter yang dibutuhkan untuk memperkirakan gas in-place
dalam reservoir CBM. Dari parameter ini, potensi gas in-place dari setiap lapisan-
lapisan batubara sebagai berikut:
– Daerah Sungai Belati menunjukkan bahwa kandungan gas sekitar
338,001,354.6234 SCF.
– Daerah Lubuk Napal dan sekitarnya menunjukkan bahwa kandungan gas 743,
232,370.6576 SCF.
31
– Sungai Dingin daerah dan sekitarnya menunjukkan bahwa kandungan gas
sekitar 419.343.508.7245 SCF.
Selain itu, menurut parameter tersebut dapat disimpulkan bahwa lapisan
batubara Sarolangun rata-rata memiliki kandungan gas sekitar 500, 189,411.3382
SCF.
32
BAB V
KESIMPULAN
– Hasil analisis petrografi, batubara secara umum terdiri dari vitrinit yang
dominan, dengan sedikit inertinit, exinite, dan mineral lainnya. Pengukuran
pantulan vitrinit menunjukkan nilai rata-rata berkisar dari 0,35% sampai
0,47%. Selain itu, Karakteristik batubatubara Sarolangun-Pauh umumnya
memiliki lithotype dari dull sampai dull banded, tetapi didominasi oleh dull.
Hal tersebut menunjukan bahwa sampel batubara termasuk kategori sedang –
tinggi.
– Hasil analisis geokimia menunjukkan bahwa batubara secara umum batubara
mengandung material volatile bervariasi dari 13,39% sampai dengan 33,50%,
total sulfur 0,11-2,38%, kandungan abu antara 0,11% sampai dengan 2,38%,
dan kandungan moisture dari 18,01% hingga 40,18%.
– Dengan menggunakan Diagram Barbara-Winter diperkirakan potensi
Coalbed Methane daerah Sungai Belati sekitar 33,8 TCF. Sedangkan, di
Lubuk Napal kandungan gas mencapai 74,3 TCF, sementara di Sungai Dingin
dan sekitarnya kandungan gas sekitar 41,9 TCF. Dan Sarolangun rata-rata
memiliki kandungan gas sekitar 50,18 TCF
33
DAFTAR PUSTAKA
Ardiasyah, H. 2009. Geologi Regional Cekungan Sumatera Selatan, e-book. 80
KB; http://hidayatardiansyah.files.com/2008/07blake.htm. Tgl. 31/10/09
Pkl. 19.06
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 2002. Rekaman Kegiatan dan
Pengembangan Geologi 2001. Bandung: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi. Hal. 101 – 124
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 2003. Rekaman Kegiatan dan
Pengembangan Geologi 2002. Bandung: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi. Hal. 282 – 284.
Kelembagaan dan Kelitbangan Pusat Survei Geologi. 2006. Laporan Tahunan
2006. Bandung: Pusat Survei Geologi. Hal. 133 -144
Kelembagaan dan Kelitbangan Pusat Survei Geologi. 2007. Laporan Tahunan
2007. Bandung: Pusat Survei Geologi. Hal. 163 -165
Permana, A.K. 2007. Coal Characteristics of Sarolangun – Pauh Region:
Implication for Coalbed Methane Potential. Bandung: Jurnal Sumber
Daya Geologi Vol. 18 No. 6 Hal. 351 – 360
Suwarna, N., Hermanto, B., Sihombing, T., Kusumah, K.D., 2006. Coalbed
Methane Potential and Coal Characteristics in the Lati region, Berau
basin, East Kalimantan. Bandung: Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 1
Maret 2006. Hal. 19-30
34
LAMPIRAN- LAMPIRAN
35
LAMPIRAN I
REFERENSI UTAMA: Permana A.K., 2007. Coal Characteristics of Sarolangun
– Pauh Region: Implication for Coalbed Methane Potential”. Bandung: Jurnal
Sumber Daya Geologi Vol. 18 No. 6 Bulan Desember 2008, Hal. 351 – 360.