55
44 BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN DAN PERLAWANAN SOSIAL DI SULAWESI UTARA Dalam bab ini penulis akan membahas tentang temuan hasil penelitian terkait dengan resistensi masyarakat Minahasa terhadap desakralisasi situs suci Waruga atas nama pembangunan di Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Deskripsi hasil penelitian ini akan diawali dengan uraian gambaran umum Desa Kawangkoan dan Desa Kuwil serta sejarah dan tradisi Waruga di Minahasa. 3.1 Gambaran Umum Desa Kawangkoan 3.1.1 Sejarah Singkat Desa Kawangkoan 1 Berdasarkan penelitian, ada dua versi terkait dengan sejarah Desa Kawangkoan. Versi pertama, secara historis, ada sepasang suami dan istri yang berasal dari Walantakan Kembuan (Tonsea Lama) hendak mencari tempat untuk dijadikan pemukiman. Dalam perjalanan, mereka harus menyusuri tepi aliran sungai Tondano dan harus mendaki pegunungan yang bernama kero-kero. Ketika sampai puncak, mereka melihat suatu tanah datar yang sangat luas. Kemudian, mereka membuat sebuah patung batu di tepi tanah datar itu sebagai tanda serta tempat itu diberi nama Kina'engkoan yang artinya setelah melihat tanah datar. Lalu, sepasang suami dan istri tinggal di tempat tersebut. Berpuluh-puluh tahun lamanya, semakin banyak penduduk yang menempati kampung Kina'engkoan. Adapun seorang yang pandai dalam kampung tersebut bernama Makalow sekaligus juga adalah Kepala Balak atau yang sekarang ini disebut sebagai Kepala Distrik. Daerah kepemimpinannya yakni dari seluruh Kalawat sampai ke Lekepan 1 Arsip Desa Kawangkoan, diambil di Kantor Pemerintahan Desa Kawangkoan, Minahasa Utara.

BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

44

BAB 3

WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN DAN

PERLAWANAN SOSIAL DI SULAWESI UTARA

Dalam bab ini penulis akan membahas tentang temuan hasil penelitian terkait

dengan resistensi masyarakat Minahasa terhadap desakralisasi situs suci Waruga

atas nama pembangunan di Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Deskripsi hasil

penelitian ini akan diawali dengan uraian gambaran umum Desa Kawangkoan dan

Desa Kuwil serta sejarah dan tradisi Waruga di Minahasa.

3.1 Gambaran Umum Desa Kawangkoan

3.1.1 Sejarah Singkat Desa Kawangkoan1

Berdasarkan penelitian, ada dua versi terkait dengan sejarah Desa

Kawangkoan. Versi pertama, secara historis, ada sepasang suami dan istri yang

berasal dari Walantakan Kembuan (Tonsea Lama) hendak mencari tempat untuk

dijadikan pemukiman. Dalam perjalanan, mereka harus menyusuri tepi aliran

sungai Tondano dan harus mendaki pegunungan yang bernama kero-kero. Ketika

sampai puncak, mereka melihat suatu tanah datar yang sangat luas. Kemudian,

mereka membuat sebuah patung batu di tepi tanah datar itu sebagai tanda serta

tempat itu diberi nama Kina'engkoan yang artinya setelah melihat tanah datar.

Lalu, sepasang suami dan istri tinggal di tempat tersebut. Berpuluh-puluh tahun

lamanya, semakin banyak penduduk yang menempati kampung Kina'engkoan.

Adapun seorang yang pandai dalam kampung tersebut bernama Makalow

sekaligus juga adalah Kepala Balak atau yang sekarang ini disebut sebagai Kepala

Distrik. Daerah kepemimpinannya yakni dari seluruh Kalawat sampai ke Lekepan

1 Arsip Desa Kawangkoan, diambil di Kantor Pemerintahan Desa Kawangkoan,

Minahasa Utara.

Page 2: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

45

(Likupang). Dalam masa kepemimpinannya, nama Kina'engkoan menjadi

Kinawangkoan yang berarti kampung yang kecil telah terbit seorang pandai yang

menjadi besar (wangke). Pada tahun 1845 terjadi peristiwa kebakaran besar di

perkampungan tua sehingga penduduk harus berpindah ke tempat yang sekarang

ini. Peristiwa tersebut terjadi pada zaman kepemimpinan Kepala Desa (Hukum

Tua) yang bernama Paulus Rotinsulu. Kepindahan penduduk meninggalkan kubur

Opo Makalow yang kemudian dipugar oleh Gubernur Muda Drs. H. R. Ticoalu

pada tahun 1966. Penghidupan masyarakat saat itu bercocok tanah jagung, padi

dan kelapa.2

Adapun versi kedua, para leluhur telah membangun Waruga sekaligus juga

memberi nama tempat itu, yaitu Wanua ure Kina-angko‟an dan Wanua Ure

Pinandeian.3 Tempat itu diyakini bukan hanya sekedar tempat pemukiman, tetapi

tempat bagi para leluhur melakukan ritual ungkapan syukur karena telah berjuang

dan memenangkan peperangan dari penjajahan. Nama „Kina-angko'an‟ terkait

dengan kisah para leluhur dahulu ketika menemukan pemukiman tersebut. Nama

itu jika dieja dalam bahasa Melayu Manado adalah sesampainya terlihat (pe

tahoba kasana). Kata Kina-angko‟an yang kemudian menjadi Kawangkoan terkait

dengan kisah tentang para leluhur yang mencari hunian baru. Menurut informan,

perjalanan para leluhur untuk mendapatkan pemukiman tidaklah mudah. Mereka

harus menyusuri sungai dan lembah, mendaki bukit dan melewati jurang. Ketika

sampai puncak, para leluhur melihat tanah yang rata, lalu mereka memutuskan

untuk menjadikan tempat itu sebagai pemukiman. Ungkapan Kina-angko‟an

2 Rignolda Djamaluddin, Kabupaten Minahasa Utara: Profil: Sejarah dan Potensi

Unggulan Desa, (Manado: Pusat Pengelolaan dan Pengembangan Kuliah Kerja Nyata Terpadu,

Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Unsrat, 2016) 157

3 Wanua berarti kampung atau negeri, sedangkan ure berarti tua.

Page 3: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

46

mengekspresikan pandangan bahagia dan teriakan sukacita para leluhur karena

telah menemukan tempat tersebut. Dataran itu tidak hanya rata tetapi

memungkinkan bagi kelanjutannya sebagai sebuah pemukiman yang layak bagi

suatu negeri. Ungkapan ini juga menandai persetujuan Tuhan Semesta Alam

(Empung Wailan Wangko)4 oleh para leluhur melalui tanda “Kuwil” dari bilangan

“Manguni”. Itulah kawasan Wanua ure Kina-angko‟an, tempat puluhan Waruga

berada.5 Selain itu terkait dengan penelitian, perlu juga dijelaskan mengenai

Pinandeian karena bukit itu berada di wilayah Desa Kawangkoan dan tempat

adanya Waruga. Pinandeian yang berarti tempat para orangtua yang cerdas

(tempat jadi pande atau pintar). Pinandeian juga adalah tempat masyarakat

dididik ketika hendak berperang.6

3.1.2 Keadaan Geografis

Desa Kawangkoan adalah salah satu desa dari wilayah Kecamatan Kalawat,

Kabupaten Minahasa Utara yang terletak 1 km ke arah Timur dari kota

Kecamatan. Desa Kawangkoan mempunyai luas wilayah seluas ± 270 hektar.

Desa Kawangkoan berbatasan dengan:

- Sebelah Utara : Desa Kolongan;

- Sebelah Selatan : Desa Kolongan Suwaan dan Sukur;

- Sebelah Timur : Kali Tondano, Desa Kuwil, Kaleosan;

- Sebelah Barat : Desa Kalawat, Kawangkoan Baru.7

4 Istilah Empung Wailan Wangko merupakan istilah yang lama. Istilah ini kemudian

mengalami transformasi, yakni dengan istilah Opo Empung. Kedua istilah itu memiliki esensi yang

sama.

5 Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 11 Juli 2019, pukul

18:18 WITA, di Sonder, Minahasa.

6 Hasil Wawancara dengan Jan Wurangian (Ketua Lembaga Adat Kewalakan Tonsea

Lawat), 10 Juli 2019, pukul 12:18 WITA, di Watutumou, Minahasa Utara

7 Arsip Desa Kawangkoan, diambil di Kantor Pemerintahan Desa Kawangkoan,

Minahasa Utara.

Page 4: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

47

Tabel 1. Pola Tata Guna Lahan Desa Kawangkoan

No. Lahan Luas (ha)

1. Bangunan/Pekarangan 55 ha

2. Ladang Pekuburan 1 ha

3. Sawah 25 ha

4. Hutan8 -

5. Perkebunan 315 ha

6. Perkantoran 56 m²

Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kawangkoan, Minahasa Utara.

3.1.3 Kependudukan

Berdasarkan Data Pemerintah Desa, jumlah penduduk yang tercatat secara

administrasi berjumlah 1.815 jiwa tahun 2019. Secara rinci jumlah penduduk pada

tabel di bawah ini:

Tabel 2. Jumlah Penduduk

JAGA JUMLAH JIWA JUMLAH

KK L P Total

1 130 132 262 79

2 117 130 247 80

3 163 156 319 85

4 181 193 374 102

5 123 128 251 85

6 172 193 365 89

Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kawangkoan, Minahasa Utara.

3.1.4 Mata Pencaharian

Secara umum kondisi perekonomian Desa Kawangkoan ditopang oleh

beberapa mata pencaharian warga masyarakat dan dapat teridentifikasi ke dalam

beberapa bidang mata pencaharian, seperti petani, buruh, PNS/TNI/Polri,

karyawan swasta, pedagang, wirausaha, pensiunan, buruh bangunan/tukang,

8 Hutan yang ada di Desa Kawangkoan sedang diratakan karena proses pembangunan

Waduk dan Jalan Tol sehingga pemerintah Desa Kawangkoan belum bisa memastikan luas hutan

yang tersisa atau bahkan sudah tidak ada hutan sama sekali di Desa ini nantinya.

Page 5: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

48

peternak, dan lain-lain. Secara khusus di bidang pertanian, masyarakat belum

memakai alat teknologi yang memadai untuk membantu dalam proses menanam

sehingga masih secara manual.

Tabel 3. Perkembangan Jumlah Penduduk Desa Kawangkoan

Menurut Mata Pencaharian.

No. Pekerjaan Jumlah

1. Petani 159

2. Buruh Tani 129

3. Peternak 4

4. Pedagang 26

5. Perawat 2

6. Wirausaha 11

7. Karyawan Swasta 67

8. PNS 44

9. TNI/POLRI 2

10. Pensiunan 2

11. Tukang Bangunan 11

12. Sopir/Ojek 13

Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kawangkoan, Minahasa Utara.

Selain itu, lahan kebun di Desa Kawangkoan banyak ditanami pisang dan

palawija. Kedua komoditi pertanian tersebut masih menjadi andalan petani di desa

ini, dan dapat dikembangkan. Selain kedua komoditi tersebut, pepaya banyak

dihasilkan dari perkebunan di desa ini. Potensi lain yang dimiliki oleh Desa

Kawangkoan berupa pabrik minyak kelapa.

3.1.5 Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan masyarakat Desa Kawangkoan dapat dijabarkan

sebagaimana tabel di bawah ini:

Page 6: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

49

Tabel 4. Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah

TK/PAUD 39 orang

Sekolah Dasar (SD) 208 orang

Sekolah Menengah Pertama

(SMP/SLTP) 84 orang

SMA/SMK 67 orang

D2 – D4 2 orang

S1 – S3 29 orang

Tidak Sekolah9 161 orang

Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kawangkoan, Minahasa Utara.

3.1.6 Sistem Pemerintahan

Berikut ini nama-nama Kepala Desa (Hukum Tua10

) yang telah bertugas

dalam pemerintahan Desa Kawangkoan, Minahasa Utara:

9 Di Desa ini banyak anak-anak (seumuran SD) yang tidak sekolah disebabkan karena

tingkat perekonomian dari keluarga yang rendah dan anak-anak memilih untuk membantu

orangtua mereka di Kebun. Namun ada juga keluarga yang memiliki tingkat perekonomian yang

baik, namun anak-anak mereka tidak berminat untuk sekolah – Hasil Wawancara dengan

Anggreifi Manikome (Masyarakat Lokal Desa Kawangkoan), 05 Agustus 2019, pukul 14:30

WITA, di Desa Kawangkoan.

10

Sebutan Hukum Tua digunakan pada abad ke-18 dan awal abad ke-19 di samping

sebutan Walak. Sejak tahun 1825, sebutan Hukum Tua adalah sebutan resmi untuk seorang Kepala

desa atau Kepala kampung – lih. F. S. Watuseke, Sejarah Minahasa, (Manado: Yayasan

Penerbitan Merdeka, 1962) 65

Page 7: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

50

Tabel 5. Nama-nama Kepala Desa Kawangkoan

No. Nama Kepala Desa Masa Jabatan

1. Paulus Rotinsulu -

2. Pontororing Wagiu 1845 – 1869

3. Bastianus Mandey -

4. Manuel Wariki 1869 – 1911

5. Hermanus Sumeisey 1911 – 1927

6. Alexander Andries Ticoalu 1927 – 1950

7. Samuel Hein Ticoalu 1950 – 1952

8. Bastian E. T. Gerung 1953 – 1959

9. Herling M. Rotinsulu 1959 – 1962

10. Frederik M. Pangemanan 1962 – 1964

11. Tayu Wellem Korah 1964 – 1965

12. Hendrik D. Rotinsulu 1981 - 1983

13. Petrus Dumanauw 1972 – 1976

14 Alex R. Wagiu 1976 – 1981

15. Hendrik D. Rotinsulu 1981 – 1983

16. Jopie Ticoalu 1983 – 1996

17. Tinneke Dumanauw 1996 – 2006

18. Franky Sigarlaki 2006 – 2013

19. Paulus Kodong 2013 – Sekarang

Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kawangkoan, Minahasa Utara.

3.1.7 Kehidupan Sosial, Budaya dan Agama

Dalam kehidupan sosial di Desa Kawangkoan, masyarakat biasanya

berbahasa Tonsea, Manado, Sangihe, serta bahasa Indonesia. Kebanyakan

masyarakat didominasi oleh masyarakat yang berasal dari Kepulauan Sangihe

sehingga ada budaya Sangihe yang disebut Tulude yang baru diadakan sekali di

Desa ini.11

Dalam keseharian, masyarakat selalu menjaga ketentraman dan

ketertiban serta saling membantu satu dengan yang lain. Masyarakat selalu

memelihara budaya Mapalus (gotong royong). Misalnya, ketika ada salah satu

11 Hasil Wawancara dengan Anggreifi Manikome (Masyarakat Lokal Desa Kawangkoan),

05 Agustus 2019, pukul 13:00 WITA di Desa Kawangkoan, Minahasa Utara.

Page 8: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

51

anggota keluarga yang mengalami kedukaan, masyarakat secara spontan

membantu keluarga melalui pendirian tenda di sekitaran rumah duka. Adapun

ketika salah satu anggota keluarga yang hendak pindah rumah, masyarakat

diberitahukan melalui pengeras suara desa kemudian dikumpulkan bersama.

Selain itu di Desa ini terdiri dari masyarakat yang plural dari segi agama yakni

Kristen Protestan (Gereja Masehi Injili di Minahasa atau GMIM, Advent,

Pantekosta) serta Katolik dan Islam. Meskipun begitu, mesyarakat menjalani

kehidupan dengan rukun dan damai bahkan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi

antarumat beragama.

3.2 Gambaran Umum Desa Kuwil

3.2.1 Sejarah Singkat Desa Kuwil12

Desa Kuwil merupakan desa pertanian yang terletak sekitar 10 km sebelah

selatan pusat Kec. Kalawat. Desa ini memiliki luas wilayah 600 Ha yang sebagian

besar wilayahnya berupa kawasan pertanian dan peternakan, sementara sisanya

menjadi kawasan pemukiman, sarana, dan prasarana desa. Secara historis, asal-

usul Desa Kuwil bermula dari perpindahan penduduk Kalewoan untuk

menghindari serangan Suku Bantik sebagai balasan peristiwa Pinandean dan

Siridisa. Peristiwa tersebut banyak menelan korban jiwa karena orang yang akan

melakukan musyawarah dijebak dan dijatuhkan saat berada di tengah jembatan.

Disa sebagai pemimpin di kala itu berupaya melarikan diri, tetapi kemudian

tertangkap. Ia dibunuh dan jasadnya dibuang ke jurang. Lokasi pembangunan

jasad Disa dengan masyarakat dengan sebutan Siridisa. Pada saat itu, penduduk

Kalewoan melakukan perjalanan dengan berpencar mengikuti arah mata angin.

12 Arsip Desa Kuwil, diambil di Kantor Pemerintahan Desa Kuwil, Minahasa Utara.

Page 9: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

52

Mereka yang menuju arah utara membangun perkampungan Kina'engkoan yang

kemudian bernama Kawangkoan, dan yang ke arah selatan membangun

perkampungan Kina‟leosan yang kemudian bernama Kaleosan. Mereka yang

menuju ke arah Barat bersama pemimpinnya Opo Pinatik Ne Kalawat Timani

Umbanua kemudian membangun perkampungan Wanue Ure yang merupakan

cikal bakal berdirinya Desa Kuwil.

Desa Kuwil berdiri pada tahun 1878 di bawah pimpinan Tunduan Lucas

Sendow. Cerita dari tua-tua kampung bahwa nama tersebut diperoleh dari sebuah

upacara adat yang dilakukan oleh Tona‟as, Tunduan, Walian dan beberapa tua-

tua, yang memohon kepada leluhur untuk memberi suatu tempat yang baik

sebagai tempat pemukiman yang baru. Saat upacara adat tengah berlangsung,

seekor burung berkicau dari suatu tempat berjarak sekitar 250 m dari lokasi

upacara dengan suara kicauan nyaring…koeil…koeil… sebanyak beberapa kali.

Atas kesepakatan bersama, pemukiman lama dipindahkan ke lokasi baru di sekitar

asal bunyi suara burung. Mereka menamakan pemukiman baru dengan sebutan

sebagaimana suara kicauan burung yaitu Koeil. Sebutan ini kemudian berubah

menjadi Kuwil.

“Burung yang mengeluarkan bunyi kicauan… koeil… adalah

jenis burung berukuran kecil, warna sayap hitam keabu-abuan

dengan bulu bagian dada berwarna putih”.13

3.2.2 Keadaan Geografis

Desa Kuwil adalah salah satu desa wilayah Kecamatan Kalawat, Kabupaten

Minahasa Utara yang terletak 15 km dari ibukota Provinsi, 10 km dari ibukota

Kabupaten dan 5 km ke arah Timur dari kota kecamatan. Desa Kuwil mempunyai

13 Rignolda Djamaluddin, Kabupaten Minahasa Utara: Profil: Sejarah dan Potensi

Unggulan Desa, 161

Page 10: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

53

luas wilayah 600 hektar (918,49 km²) yang terdiri dari perkampungan,

perkebunan, sawah, kolam ikan, hutan dan rawa. Desa Kuwil berbatasan dengan:

- Sebelah Utara : Sungai Tondano;

- Sebelah Selatan : Desa Kaleosan;

- Sebelah Timur : Desa Kawangkoan;

- Sebelah Barat : Desa Maumbi, Desa Watutumow, Desa

Sawangan.14

3.2.3 Kependudukan

Berdasarkan data dari Pemerintah Desa, jumlah penduduk yang tercatat

secara administrasi, berjumlah 918 jiwa di tahun 2019. Secara rinci, jumlah

penduduk dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 6. Jumlah Penduduk

JAGA JUMLAH JIWA JUMLAH

KK L P Total

1 70 71 141 50

2 62 74 136 43

3 73 83 156 48

4 68 73 141 46

5 97 90 187 68

6 82 75 157 54

Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kuwil, Minahasa Utara.

3.2.4 Mata Pencaharian

Secara umum kondisi perekonomian Desa Kuwil ditopang oleh beberapa

mata pencaharian warga masyarakat dan dapat teridentifikasi ke dalam beberapa

bidang mata pencaharian, seperti petani, buruh, PNS/TNI/Polri, karyawan swasta,

pedagang, wirausaha, pensiunan, buruh bangunan/tukang, peternak, dan lain-lain.

14 Arsip Desa Kuwil, diambil di Kantor Pemerintahan Desa Kuwil, Minahasa Utara.

Page 11: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

54

Tabel 7. Perkembangan Jumlah Penduduk Desa Kawangkoan

Menurut Mata Pencaharian.

No. Pekerjaan Jumlah

1. Petani 200

2. Buruh Tani 100

3. Peternak 20

4. Pedagang 20

5. Petani Ikan 5

6. Wirausaha 10

7. Karyawan Swasta 28

8. PNS 28

9. TNI/POLRI 3

10. Pensiunan 15

11. Tukang Bangunan 11

12. Sopir/Ojek 28

Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kuwil, Minahasa Utara.

3.2.5 Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan masyarakat Desa Kuwil dapat dijabarkan sebagaimana

tabel di bawah ini:

Tabel 8. Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah

TK/PAUD 12 orang

Sekolah Dasar (SD) 70 orang

Sekolah Menengah Pertama

(SMP/SLTP) 46 orang

SMA/SMK 53 orang

D2 – D4 6 orang

S1 – S3 40 orang

Tidak Sekolah 2 orang

Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kuwil, Minahasa Utara.

3.2.6 Sistem Pemerintahan

Sejak berdirinya Pemukiman Koeil yang kemudian menjadi Desa Kuwil,

tercacat kepemimpinan sebagai berikut:

Page 12: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

55

Tabel 9. Nama-nama Kepala Desa Kuwil

No. Nama Kepala Desa Masa Jabatan

1. Lukas Sendow 1878 – 1880

2. Hermanus Maramis 1880 – 1882

3.

Mesak Damapoli (Penghargaan

Hukum Tua Bintang oleh

Belanda)

1882 – 1927

4. Worotikan Tegas 1927 – 1945

5. James Wurangian 1945 – 1946

6. Andrias T. Okem 1946 – 1959

7. Sigar Lengkong (Pjs.) 1959 – 1960

8. Frans Sambow (Pjs.) 1960 – 1969

9. Andrias T. Okem -

10. Ratu Gustaf Okem 1969 – 1975

11. Frederik Wurangian 1975 – 1981

12. Herman Nicolas Wangania 1981 – 1982

13. Drs. Welly Wangania 1982 – 1986

14 Yopie Karongkong 1986 – 1989

15. Piet Damapoli 1989 – 1998

16. Max P. Sambow 1998 – 2007

17. Henkie L. Runtuwene 2007 – sekarang

Sumber: Arsip dari Kantor Desa Kuwil, Minahasa Utara.

3.2.7 Kehidupan Sosial, Budaya dan Agama

Dalam kehidupan sosial, masyarakat selalu menjaga ketentraman dan

ketertiban serta saling membantu satu dengan yang lain. Bahasa yang biasa

digunakan ialah bahasa Manado, bahasa daerah Tonsea dan juga bahasa

Indonesia. Masyarakat selalu memelihara budaya Mapalus (gotong royong).

Misalnya, ketika ada salah satu anggota keluarga yang mengalami kedukaan,

masyarakat secara spontan membantu keluarga melalui pendirian tenda di

sekitaran rumah duka. Adapun ketika salah satu anggota keluarga yang hendak

pindah rumah, masyarakat diberitahukan melalui pengeras suara desa kemudian

dikumpulkan bersama. Selain itu, tradisi Pengucapan syukur (thanksgiving) pada

Page 13: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

56

setiap tahun dilakukan oleh masyarakat Desa Kuwil yang pada waktu dan

tanggalnya disesuaikan dengan program gereja. Dari segi keagamaan, Desa Kuwil

membuat Badan Kerja Sama antarumat beragama (BKSAUA). Kerukunan

keagamaan terjalin dengan baik dan kondusif. Misalnya setiap sebulan sekali,

BKSAUA membuat program Ibadah Oikoumene yang dihadiri oleh seluruh

denominasi gereja yang berada di Desa Kuwil. Kemudian dalam ibadah duka

misalnya dari anggota keluarga yang beragama Kristen, orang yang beragama lain

diberi kesempatan untuk menyampaikan sambutan.15

3.3 Sejarah dan Tradisi Waruga

Secara umum kebanyakan orang melihat Waruga hanya sebuah kubur batu

semata. Namun, bagi masyarakat adat, Waruga adalah asal-usul, identitas keluarga

(silsilah) dan memiliki nilai historis yang sangat penting terkait dengan

perjuangan para leluhur.16

Ketika masyarakat melihat Waruga, maka mereka akan

mengingat identitas dan sejarah hidup orang Minahasa. Waruga menjadi memori

atau ingatan tentang para leluhur dengan nilai-nilai yang telah mereka tanamkan.

Hingga saat ini, kebaikan para leluhur sangat berharga bagi masyarakat Minahasa

karena para leluhur telah menjaga dan memperjuangkan tanah ini.17

Waruga adalah artefak budaya berupa kubur batu berbentuk kubus dan

beratap seperti rumah dengan hiasan motif-motif artistik yang tersebar di beberapa

tempat di Sulawesi Utara. Penelitian yang dilakukan oleh Badan Arkeologi,

menyebutkan bahwa jumlah keseluruhan Waruga yang tersebar di seluruh tanah

15 Hasil Wawancara dengan Selvie Agu (Sekretaris Desa Kuwil), 07 Agustus 2019, pukul

09:30 WITA, di Desa Kuwil, Minahasa Utara.

16

Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 04 Januari 2019,

pukul 12:18 WITA, di Sonder, Minahasa dan Iswan Sual (Masyarakat Adat Minahasa), 12 Juli

2019, pukul 19:00 WITA, di Kota Manado.

17

Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25

WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

Page 14: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

57

Minahasa sebanyak 1.859 buah.18

Arti Waruga itu sendiri dari yang diperoleh

penulis memiliki beberapa versi. Ada yang mendefinisikan Waruga berasal dari

kata moruga yang berarti „direbus‟.19

Hal ini didasarkan karena jenazah yang

diletakkan dalam Waruga setelah dimakamkan akan membengkak seperti daging

yang direbus. Versi yang kedua, secara etimologis, Waruga berasal dari kata wa

sebagai singkatan dari wawa, yang berarti „sepenuhnya, secara menyeluruh‟ dan

kata ruga yang secara harafiah berarti „pakaian usang‟ atau „dirusak dari tubuh‟.20

Dari pengertian literal dua kata tersebut, Waruga berarti „tempat di mana tubuh

larut‟. Versi yang ketiga, mendefinisikan Waruga dari kata Wale dan roha (Wale:

rumah, roha: roh) yang berarti tempat bersemayam roh. Hal ini berkaitan dengan

kepercayaan masyarakat Minahasa terhadap roh leluhur yang senantiasa

menolong manusia yang dianggap sebagai cucu mereka (puyun).

Gambar 1. Kubur Batu Waruga

Sumber: Dokumentasi Pribadi di Situs Waruga, Minahasa Utara

18 Sriwigati, Persebaran Waruga: Situs-Situs dan Populasinya, cet. ketiga – sebuah bunga

rampai- Waruga: Peti Kubur Baru dari Tanah Minahasa Sulawesi Utara, (Manado: Balai

Arkeologi Sulawesi Utara, 2016) 77

19

Santoso Soegondho, Akar Budaya Waruga di Tanah Minahasa, cet. ketiga – sebuah

bunga rampai- Waruga: Peti Kubur Baru dari Tanah Minahasa Sulawesi Utara, (Manado: Balai

Arkeologi Sulawesi Utara, 2016)

20

Denni Pinontoan, “Waruga dan Pembangunan Sadar Budaya”, Center for Religious and

Cross Cultural Studies Graduate School, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 2018.,

https://crcs.ugm.ac.id/perspective/13260/waruga-dan-pembangunan-yang-sadar-budaya.html

diakses pada tanggal 21 November 2018, pukul 13:11 WIB.

Page 15: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

58

Para antropolog memperkirakan, cara pemakaman Waruga sudah berusia

ribuan tahun. Secara historis, Waruga merupakan kuburan tua peninggalan zaman

dan budaya Megalitikum (zaman batu besar) yang tersebar di Sulawesi Utara.

Awalnya Waruga masuk ke Sulawesi Utara melalui Minahasa Utara yaitu daerah

Likupang atau daerah-daerah sekitarnya lalu menyebar di tanah Tonsea dan terus

berkembang ke Kabupaten Minahasa, Kota Tomohon, Kabupaten Minahasa

Selatan dan Kabupaten Minahasa Tenggara. Dari hasil penelitian arkeologi

menyebutkan bahwa kubur batu Waruga mulai dikenal sejak abad ke-4 SM.

Kemudian penggunaan Waruga mulai ditinggalkan sekitar awal abad 20 M. Kini

peti kubur batu Waruga dan situsnya sebagian telah dialihkan fungsinya atau

dimanfaatkan menjadi objek pariwisata dan budaya serta situs cagar alam budaya

Minahasa.21

Waruga terbuat dari jenis batuan beku atau sedimen dengan nama batuan tufa

atau lava basal (dalam bahasa daerah disebut tras atau domato dan juga batu asli

dari sungai)22

, yang semakin mengeras, kuat dan tahan lama bila berada di tempat

terbuka. Bentuk penutup Waruga yang tersebar di wilayah Minahasa umumnya

berbentuk seperti atap rumah. Masyarakat memiliki kepercayaan bahwa kubur

harus dianggap sebagai tiruan rumah untuk penghormatan dan kenyamanan bagi

orang yang telah meninggal. Pada bagian penutup dan di bawah, terdapat ornamen

unik dan pola hias yang dipahatkan pada Waruga. Waruga yang tidak memiliki

ornamen menunjukkan Waruga yang sudah sangat tua. Pola hias tersebut

menunjukkan status sosial semasa hidupnya. Ada yang berupa manusia

(anthropomorphic), binatang, benda dan pola hias geometri. Penelitian Kolibu

21 Soegondho, Akar Budaya Waruga, 17.

22

Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25

WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

Page 16: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

59

menuliskan bahwa motif dan ornamen-ornamen pada Waruga merupakan simbol

falsafah dan pedoman hidup masyarakat Minahasa. Di samping untuk kepentingan

estetika, ornamen-ornamen Waruga merupakan gambaran keyakinan masyarakat

Minahasa terhadap kehidupan kekal setelah kematian. Sebagai sebuah kekekalan,

maka berbagai usaha dilakukan guna mendapatkan kekekalan tersebut.23

Ornamen

dan pola hias ini menggambarkan nilai-nilai kepercayaan yang pernah hadir di

Tanah Minahasa.

Waruga dikenal sebagai wadah kubur komunal, artinya kubur batu ini dapat

berisi lebih dari satu orang.24

Pada masa lalu di Tanah Minahasa, Waruga terletak

di pekarangan rumah atau di sekitar rumah penduduk. Di setiap rumah penduduk,

biasanya terdapat sebuah Waruga atau lebih. Di Waruga itu diletakkan benda-

benda yang disebut bekal kubur. Bekal kubur identik dengan si mati. Benda-benda

itu antara lain periuk, panci berisi beras atau nasi, piring, botol, saguer, keris,

tombak dan lain-lain sebagainya. Bekal kubur tersebut ada yang terbuat dari tanah

liat, keramik, perunggu, besi dan lain-lain. Dengan bekal kubur, masyarakat

Minahasa berharap agar orang yang meninggal memakai bekal kubur untuk pergi

ke alam lain (arwah). Dari segi ekonomis, bekal-bekal kubur ini memiliki nilai

jual yang sangat tinggi sehingga tak jarang Waruga dirusak oleh oknum-oknum

yang tidak bertanggung jawab.25

Misalnya, observasi yang dilakukan oleh penulis

di Desa Sawangan dan juga hasil perekaman dan dokumentasi dari Tim Peneliti

Badan Arkeologi Kota Manado menunjukkan beberapa Waruga yang pada bagian

23 Ronald Kolibu, “Ornamen Waruga Pada Rumah Minahasa Sebagai Pencitraan

Budaya”, Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni Vol. 7 No. 2 2011, Surakarta, Sekolah Tinggi

Seni Indonesia, 260-281

24

Soegondho, Akar Budaya Waruga, 3

25

Hasil Wawancara dengan Aneth Umboh (Penjaga Situs Budaya Waruga), 02 Januari

2019, pukul 12:25 WITA, di Desa Sawangan, Minahasa Utara.

Page 17: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

60

penutupnya ada bekas pemangkasan tanda seseorang yang berusaha mencuri

bagian dari Waruga dan juga bekal kubur.26

Di dalam artefak Waruga ini, jenazah didudukkan dengan tumit kaki

menempel pada pantat dan kepala mencium lutut. Posisi ini layaknya posisi

jongkok. Filosofinya adalah “sebagaimana manusia dilahirkan dengan posisi

jongkok, maka dengan posisi itulah saat manusia meninggal”.27

Masyarakat

Minahasa pada masa lalu menganut kepercayaan kelahiran kembali (rebirth).

Konsepsi lahir kembali adalah bahwa si mati akan lahir kembali di alam yang

berbeda yaitu dari alam yang fana ke alam yang baka. Kepercayaan Minahasa ini

disebut dengan Malesung (agama asli Minahasa). Dalam tradisi Minahasa tidak

mengenal adanya sorga dan neraka, mereka meyakini sebuah tempat yang disebut

Kesendukan. Arti Kesendukan adalah suatu tempat yang tinggi dan di sana ada

semua leluhur dan orangtua Minahasa yang sangat dirindukan oleh masyarakat

Minahasa. Konsep Tuhan menurut tradisi Minahasa adalah leluhur yang paling

awal. Dia adalah sumber yang menentukan keberadaan manusia sampai saat ini.

Sistem kepercayaan Malesung mengenal adanya dewa atau Yang Maha Tinggi

yang disebut Opo Empung. Penyebutan Opo Empung merupakan penyebutan

yang terkemudian. Awalnya ungkapan tua yang disebut Empung Wailan Wangko

adalah leluhur atau Tuhan.28

Opo Empung dianggap sebagai pencipta seluruh

alam, dunia dan segala isinya, yang dikenal oleh manusia yang memujanya.

Kepercayaan Malesung mempercayai roh leluhur atau yang disebut dotu

26 Laporan Perekaman dan Pendokumentasian Situs Megalitik Kawangkoan, Kecamatan

Kalawat, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara oleh Kementrian Pendidikan dan

Kebudayaan, Balai Arkeologi Sulawesi Utara, 2016.

27

Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25

WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

28

Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25

WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

Page 18: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

61

merupakan seorang yang sakti dan juga sebagai pahlawan, seperti pemimpin

komunitas besar yang juga disebut kepala walak dan komunitas desa, Tona‟as.29

Sekalipun para leluhur sudah mati, mereka senantiasa menolong manusia, yang

dianggap sebagai cucu mereka (puyun). Karena itu, Waruga merupakan

manifestasi dari penghormatan masyarakat pendukung budaya megalitik terhadap

leluhur atau nenek moyang (dotu-dotu). Ritual-ritual yang dilakukan masyarakat

adat Minahasa sampai saat ini terus dilakukan untuk menunjukkan bahwa hidup

mereka tidak dapat dilepaskan dengan Yang Maha Tinggi (Opo Empung) dan para

leluhur (dotu-dotu).

Waruga bernilai tinggi bagi orang Minahasa karena merupakan penanda dari

perjalanan para leluhur. Benda itu adalah tempat penitipan jiwa sementara para

leluhur Minahasa. Zaman dahulu, jika ada orang yang dapat memperlihatkan

kesungguhannya menjaga tanah tempat hidup bersama, maka dia akan sangat

dihargai. Kuburannya dibuat dengan pahatan khusus yang mendeskripsikan

mengenai peran semasa hidupnya di tengah masyarakat.30

Waruga menjadi

penting karena di dalam kubur batu Waruga terdiri dari orang-orang penting,

berwibawa dan merupakan pahlawan kehidupan dan pahlawan kemanusiaan.

Mereka juga dianggap memiliki kelebihan dengan anggota masyarakat lain pada

umumnya.31

29 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, cetakan ke-14, (Jakarta:

Djambatan, 1993) 159-160

30

Marheini L. Mawuntu, “Redefinisi dan Rekonstruksi Tou: Kajian Sosial terhadap

Identitas Sosial Minahasa dalam Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia”, (Disertasi,

Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2017) 2

31

Hasil Wawancara dengan Iswan Sual (Masyarakat adat Minahasa), 12 Juli 2019, pukul

19:00 WITA, di Kota Manado. Adapun dari beberapa informan yang mengatakan bahwa orang-

orang yang diwarugakan (ada di dalam Waruga) adalah orang-orang yang penting, berjasa dan

telah memberi diri mereka untuk menjaga tanah Minahasa ini. Penulis mempertanyakan

bagaimana dengan orang-orang Minahasa atau masyarakat „biasa‟ dulu? Menurut informan orang-

Page 19: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

62

Masyarakat Minahasa mempercayai roh leluhur memiliki kekuatan magis

sehingga wadah harus dibuat sebaik dan seindah mungkin. Masyarakat juga

percaya bahwa apabila manusia meninggal dunia, maka rohnya (spirit) akan

pindah ke alam lain. Karena itu, kubur batu ini menjadi rumah jiwa (house of

soul) bagi mereka yang meninggal. Dengan demikian, Waruga mengandung nilai-

nilai leluhur yang patut mendapat apresiasi tinggi dari bangsa pewaris budaya

nenek moyang itu.

3.3.1 Tata Cara Penghormatan Leluhur (Sumiri/Sumigi)

Ekspresi penghormatan dalam ritus-ritus di sekitaran Waruga terus dilakukan.

Masyarakat adat mempertahankan nilai-nilai luhur dengan melakukan ritual (tata

cara) dengan menjadikan Waruga sebagai media. Waruga merupakan wujud dari

kepercayaan asli Minahasa (agama lokal) atau Malesung.32

Praktik keagamaan

yang biasa dilakukan oleh masyarakat adat Minahasa ialah ritual penghormatan

leluhur (Sumigi atau Sumiri), ucapan syukur, ritual dalam rangka meminta

petunjuk dan yang terpenting ialah “kembali mengingat dan mengenang”.

Misalnya permohonan bagi Yang Maha Tinggi (Opo Empung) untuk menurunkan

hujan dan menjadikan lahan padi menjadi lahan subur dan sebagainya.33

Ekspresi

penghormatan kepada leluhur juga menjadi bagian dalam tata cara orang

Minahasa.

Ritual penghormatan yang dilakukan oleh masyarakat adat Minahasa biasa

disebut ritual Zumeta atau ba lepas dan ritual dengan sesajian. Secara sistematis,

orang Minahasa biasa (orang-orang yang tidak terlalu memiliki pengaruh signifikan) mereka hanya

dikuburkan di dalam tanah dan di atasnya terdapat batu sebagai penanda.

32

Hasil Wawancara dengan Jan Wurangian (Ketua Lembaga Adat Kewalakan Tonsea

Lawat), 02 Januari 2019, pukul 14:31 WITA, di Desa Kuwil, Minahasa Utara.

33

Hasil Wawancara Via Telepon dengan Alfa Sumolang, 10 September 2018, pukul

14:33 WIB.

Page 20: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

63

penghormatan pertama, dimulai ketika memasuki Waruga dengan melepaskan

alas kaki, menghentakan kaki tiga kali (batada kaki) sambil mengucapkan

“permisi” dan “ehem” (batuk). Ketiga hal ini merupakan simbol dari masyarakat

Minahasa yang sedang mempraktekkan tradisi dari para leluhur tempo dulu saat

bertamu masuk ke dalam rumah seseorang. Pada saat bertamu, seseorang harus

menghentakkan kaki (batada kaki) sebagai simbol pembersihan alas kaki

(pembersihan diri). Masyarakat adat juga menghentakkan kaki di tanah sebagai

simbol penghormatan seperti seseorang memasuki pintu rumah pada waktu

bertamu.34

Kemudian, angka tiga memiliki arti relasi antara manusia, alam dan

Yang Maha Tinggi (Opo Empung).

Gambar 2. Alas kaki yang dilepas sebelum masuk dalam situs Waruga

Sumber: Dokumentasi oleh Aneth Umboh (Penjaga Situs Waruga) di

Desa Sawangan, Minahasa Utara.

Penghormatan kedua, masyarakat Minahasa melakukan pembersihan di

sekitaran Waruga (ba bersih) sebagai wujud menyatunya masyarakat dengan

tempat atau area Waruga serta menjadi bagian dari alam. Penghormatan ketiga,

masyarakat adat memutari Waruga sebanyak tiga atau sembilan kali yang berarti

masyarakat semakin dekat dengan para leluhur dan menunjukkan bahwa tradisi itu

masih tetap dilakukan. Angka tiga merupakan simbol yang diyakini adanya relasi

antara Yang Maha Tinggi (Opo Empung), alam dan manusia, sedangkan angka

34 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25

WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

Page 21: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

64

sembilan bagi orang Minahasa adalah simbol angka kesempurnaan. Tetapi juga,

makna simbol angka sembilan yakni bentuk kerendahan hati sebelum angka

sepuluh yang hanya dimiliki oleh Yang Maha Tinggi (Opo Empung).

Penghormatan keempat, ritual dengan memasang rokok (Zumeta atau Ba

Lepas) di salah satu Waruga yang diyakini sebagai leluhur mereka. Asap dan api

rokok memberi sebuah tanda bagi leluhur, bahwa ada yang berkunjung dan

hendak memohon berkat atau petunjuk, rezeki untuk keluarga, permohonan

memiliki keturunan, usaha dan pekerjaan dilancarkan, dan lain-lain sebagainya.

Rokok juga menjadi simbol purifikasi atau pemurnian untuk membersihkan area

di sekitaran Waruga.35

Leluhur memang sudah mati tapi masih ada dalam hati

semua masyarakat Minahasa serta mampu menolong manusia. Selain rokok, ada

yang ba lepas saguer36

, sirih, pinang, telur, nasi bungkus dan lain-lain. Benda-

benda itu adalah hal yang disukai oleh para leluhur.37

Dalam proses ritual Zumeta, terjadi proses dialog antara orang yang masih

hidup dan leluhur bagaikan seorang anak yang mengadu kepada orangtuanya. Di

sekitaran Waruga, masyarakat biasanya bercerita dengan leluhur, mencurahkan isi

hati mereka, menceritakan bagaimana usaha dan kerja yang sementara dilakukan.

Mereka juga rela menghabiskan waktu sepanjang hari duduk di sekitaran Waruga.

Karena itu, selain jadi panutan dan orangtua, leluhur bisa jadi teman bercerita.

Orang Minahasa memiliki ajaran agar anak-anak menghormati orangtua mereka.

Ketika berdialog, para leluhur akan memberikan pesan, mandat atau

35 Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 11 Juli 2019, pukul

18:18 WITA, di Sonder, Minahasa.

36

Saguer merupakan minuman khas Minahasa yang keluar dari mayang pohon enau dan

mengandung alkohol. Saguer dianggap sebagai minuman para leluhur dan dianggap suci oleh

penduduk purba Minahasa.

37

Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25

WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

Page 22: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

65

menyampaikan hal-hal penting lainnya. Pesan moral seperti saling mengasihi

(baku-baku bae), jangan mencari masalah dengan orang lain (jang bking suka

orang lain) serta tidak melupakan Yang Maha Tinggi (jang lupa ada Opo

Empung), dan lain-lain. Dengan maksud mengingatkan adanya Yang Maha Tinggi

(Opo Empung) maka masyarakat dapat menjalani hidup dengan tidak

sembarangan. Setelah mendapatkan pesan tersebut, maka masyarakat Minahasa

berupaya untuk menerapkan pesan tersebut dalam kehidupan mereka.38

Gambar 3. Rokok yang dinyalakan & Dialog dengan leluhur

di dalam situs Waruga

Sumber: Dokumentasi Pribadi di Situs Waruga

Desa Tonsewer, Minahasa.

Masyarakat Minahasa mencurahkan kerinduan mereka terhadap para

orangtua atau leluhur. Dalam pengertian bahwa Waruga menjadi tempat yang

tepat untuk bisa meluapkan perasaan dan kerinduan mereka. Waruga menjadi

simbol yang menegaskan siapa yang patut menjadi teladan. Teladan-teladan sosial

yang ditinggalkan oleh para leluhur karena telah mempertahankan tanah Minahasa

menjadi pembelajaran bagi generasi masa kini dalam mewujudkan keutuhan dari

Tou Minahasa (karakter bangsa).39

Kualitas dari para orangtua juga ada dan

38 Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 04 Januari 2019,

pukul 12:18 WITA, di Sonder, Minahasa.

39

Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 04 Januari 2019,

pukul 12:18 WITA, di Sonder, Minahasa.

Page 23: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

66

diteruskan oleh keturunannya sehingga tradisi menghormati orangtua harus tetap

dijaga dari generasi ke generasi. Generasi saat ini dituntut untuk terus

mengoptimalkan diri bahkan menapaki jalan yang lurus (Karondoran). Artinya

masyarakat Minahasa melakukan kebaikan bagi sesama, selalu mengoreksi diri,

tidak membuat masalah dan sebagainya: “Karena kita hidup dari kasih sayang

Tuhan” (Karna torang ini hidop dari Opo Empung pe sayang)”.40

Selanjutnya, ritual sebagai simbol dan ekspresi penghormatan leluhur melalui

ritual dengan menyediakan sesajian. Orang Minahasa menyebutnya ritual dengan

tata cara (ba ator). Sesajian ini antara lain sirih pinang, rokok, kapur, bulu yang

berisikan saguer, telur, nasi bungkus, daun, lilin, darah segar ayam, terkadang juga

kepala babi dan lain-lain. Tujuan dari ritual ini ialah masyarakat menghormati

leluhur, berobat, bernazar, dan meminta petunjuk sesuai kebutuhan masyarakat.

Bagi masyarakat adat, sesajian merupakan simbol makanan pokok atau bahan

alami yang sering dimakan oleh para leluhur ketika mereka masih hidup.41

Karena

itu, makanan-makanan tersebut bukanlah dimakan dalam pengertian harafiah oleh

roh leluhur, tetapi sebagai simbol penghormatan kepada leluhur.42

Berkaitan

dengan waktu pelaksanaan ritual di Waruga biasanya ketika terjadi bulan

purnama, tapi juga sifatnya relatif karena sesuai dengan tanda-tanda, yakni

melalui mimpi atau ketika burung Manguni (lambang atau simbol Minahasa)

40 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25

WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

41

Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 04 Januari 2019,

pukul 12:18 WITA, di Sonder, Minahasa.

42

Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25

WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

Page 24: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

67

mengeluarkan bunyi. Hal itu menandakan bahwa para leluhur meminta untuk

dikunjungi dan dihormati.43

Gambar 4. Proses Ritual dengan Sesajian

Sumber: Dokumentasi oleh Aneth Umboh (Penjaga Situs Waruga) di

Desa Sawangan, Minahasa Utara.

Pada akhirnya, masyarakat Minahasa menaikkan doa (kunci deng doa) sambil

mengangkat kedua tangan layaknya seorang anak yang meminta kepada orangtua

dan mensyukuri kehidupan manusia. Doa menghubungkan manusia dengan para

leluhur dan juga alam semesta ini. Pada saat berdoa atau selesai berdoa,

masyarakat biasanya melihat suatu tanda atau merasakan dan mendengar bisikkan

yang berisi pesan-pesan, petunjuk atau mandat dari para leluhur. Berikut ini

adalah isi doa yang biasanya disampaikan di sekitar Waruga:

Opo Empung,

Opo Ririmpuran

Iko si timani, timotol langi‟ lesar wo

Untampa kenu

Endo inaniya kenu

Nikai si makawia lesar kenu

Pahaleien nai, rapitenai nikai

Wo pakelu-kelunganla, piki-pikian an reges lewo

Toro tumoro nikai, lekep.44

43 Hasil Wawancara dengan Jan Wurangian (Ketua Lembaga Adat Kewalakan Tonsea

Lawat), 10 Juli 2019, pukul 12:18 WITA, di Watutumou, Minahasa Utara.

44

Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25

WITA, di Desa Warembungan, Minahasa. Menurut Charlie Samola, masyarakat diajarkan oleh

Tona‟as bagaimana melakukan ritual penghormatan kepada leluhur ketika berziarah ke situs

Waruga. Setelah itu, masyarakat dapat melakukan ritual sendiri tanpa ada Tona‟as karena telah

diajarkan sebelumnya – Hasil Wawancara Charlie Samola (Anggota Komunitas Masyarakat Adat

Mawale Movement), 18 Juli 2019, pukul 17:11 WITA, di Kota Manado.

Page 25: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

68

Secara harfiah dapat diterjemahkan:

Ya Tuhan,

Engkau yang memulai menciptakan langit dan tempat ini.

Di hari ini, kami yang telah berada di tempat ini, yang meminta,

Mendekatlah kepada kami dan lindungilah kami serta

jauh-jauhkanlah angin jahat/yang jahat/tak baik.

Boleh-bolehkanlah kami, sempurna/genap.

3.3.2 Ziarah Kultural (Lumales)

Masyarakat adat dan pemerhati budaya mendapatkan mandat dari para

leluhur ketika mereka melaksanakan ritual untuk melakukan ziarah kultural atau

yang disebut dengan Lumales. Dalam istilah filosofis, tradisi Lumales berarti

“menapaki jalan leluhur”.45

Ziarah ini biasa dilakukan masyarakat Minahasa pada

saat berkunjung ke situs Waruga, tempat rumah jiwanya para leluhur. Sejak tahun

± 2004, masyarakat adat dan para pemerhati budaya melakukan ziarah kultural

dan menyaksikan secara langsung situs-situs budaya secara khusus kubur batu

Waruga yang telah menjadi korban vandalisasi, penjarahan, pengkrusakkan

Waruga, pencurian Waruga, serta Waruga yang rusak karena waktu atau proses

alam.46

Secara historis, pada tahun 1960-1970, telah terjadi pencurian Waruga dan

juga perdagangan barang antik (Pasar Gelap) tahun 2005.47

Tetapi juga di tahun

2019, telah terjadi pengrusakkan Waruga oleh oknum yang tidak

bertanggungjawab di Desa Kaima, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa

Utara.48

45 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25

WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

46

Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 11 Juli 2019, pukul

18:18 WITA, di Sonder, Minahasa.

47

Hasil Wawancara dengan Rikson Karundeng (Pemerhati Budaya Minahasa dan

Gerakan Minahasa Muda), 26 Juli 2019, pukul 14:30 WITA di Kota Tomohon.

48

Harian Komentar Manado, Senin, 17 Juni 2019 Nomor 5332 Tahun XIX.

Page 26: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

69

Ziarah Lumales ini bertujuan untuk memperbaiki dan mengatur benda-benda

kultural yang telah mengalami kehancuran serta yang terpenting ialah

penghormatan kepada leluhur. Selain itu, dengan melakukan perjalanan ziarah,

masyarakat dapat menemukan, mempelajari sejarah dan asal-usul benda-benda

budaya seluruh daerah Minahasa, termasuk Waruga yang ada di Minahasa Utara.

Menurut informan, dalam selang beberapa tahun ini, masyarakat adat dan para

pemerhati budaya semakin menggebu-gebu untuk mencari lebih dalam mengenai

jati diri orang Minahasa. Karena itu, Minahasa sedang mengalami kebangkitan

kultural. Selain komunitas adat atau penghayat adat mendapatkan mandat dari

leluhur, Lumales ini juga dilakukan oleh komunitas intelektual. Masyarakat adat

dan juga para pemerhati budaya terdiri atas orang-orang yang berpendidikan

Sarjana, Magister dan juga Doktoral. Karena itu, melalui komunitas intelektual

yang melakukan ziarah kultural serta menyaksikan ritual dari masyarakat adat,

mereka dapat merekonstruksi makna-makna, nilai historis dan kultural, lalu

mempublikasikannya melalui media cetak, media sosial serta tulisan-tulisan,

sehingga semua orang memiliki pemahaman tentang betapa pentingnya Waruga

sebagai budaya Minahasa.

3.3.3 Tindakan Penyimpangan terhadap Waruga

Orang Minahasa khususnya masyarakat adat dan pemerhati budaya meyakini

ada akibat-akibat bagi mereka yang mencoba mengganggu Waruga. Menurut

penjaga situs Waruga di Desa Sawangan, Minahasa Utara, menyaksikan ada

dampak-dampak secara langsung terjadi bagi tindakan yang mengganggu Waruga

(mo dapa depe katula).49

Bagi masyarakat adat, Waruga adalah tempat yang tidak

49 Hasil Wawancara dengan Aneth Umboh (Penjaga Situs Budaya Waruga), 02 Januari

2019, pukul 12:25 WITA, di Desa Sawangan, Minahasa Utara.

Page 27: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

70

sembarangan (nd boleh tasalah akang kwa). Salah satu kasus akibat tidak

menghormati Waruga, yakni seorang laki-laki yang jatuh akibat memiliki niat

jahat dan ingin menentang roh leluhur ketika hendak masuk ke dalam situs

Waruga. Selain itu salah satu keluarga atau sanak saudara mengalami sakit yang

parah bahkan mengalami kematian.50

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, di

dalam Waruga bukan hanya diletakkan jenazah, tapi apa yang disebut dengan

„bekal kubur‟. Bekal kubur berkaitan dengan „si mati‟ yang juga merupakan

benda-benda kesayangan mereka sewaktu hidup. Berbagai jenis bekal kubur ialah

benda-benda seperti logam, pedang, tombak, gelang perunggu maupun piring.

Fungsi bekal kubur dianggap akan membekali „si mati‟ ke alam lain. Bagi

masyarakat adat, bekal kubur diyakini memiliki daya kekuatan. Berikut ini sebuah

kesaksian dari masyarakat lokal:

Seorang bapak mencoba mengambil barang (bekal kubur) yang

ada di Waruga. Di dalam Waruga terdapat peninggalan dari

leluhur saat dia meninggal. Tujuan dari bapak mengambil

barang tersebut, ialah untuk mendapatkan kekuatan agar dapat

memindahkan gunung klabat. Besoknya, ketika ia bangun, ia

terkejut karena tidak bisa berjalan. Keluarganya pun shock

beserta dengan warga sekitar. Ketika ditelusuri penyebabnya,

masyarakat (tua-tua) menganjurkan agar beliau mengembalikan

barang tersebut. Masyarakat dan keluarganya mengangkat dia

dan bersama-sama pergi ke tempat Waruga berada. Pada besok

hari, bapak ini kembali berjalan seperti semula.51

Bukan hanya itu, beberapa orang mencoba mencuri barang tersebut karena

nilai jualnya yang sangat tinggi, serta penawaran untuk menjual Waruga kepada

orang asing. Dampak yang ditimbulkan yaitu sakit, gangguan mental dan sampai

kepada kematian.

50 Hasil Wawancara dengan Aneth Umboh, (Penjaga Situs Budaya Waruga), 02 Januari

2019, pukul 12:25 WITA, di Desa Sawangan, Minahasa Utara.

51

Hasil Wawancara dengan Aneth Umboh (Penjaga Situs Budaya Waruga), 02 Januari

2019, pukul 12:25 WITA, di Desa Sawangan, Minahasa Utara.

Page 28: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

71

3.3.4 Penetrasi Kekristenan dan Kepercayaan Lokal Minahasa

Secara historis, tradisi penguburan menggunakan Waruga di Minahasa mulai

ditinggalkan pada pertengahan abad ke-19 ditandai dengan munculnya sistem

penguburan tanah yang diperkenalkan oleh bangsa Belanda. Perubahan ini terjadi

bersamaan dengan semakin kuatnya agama Kristen di Minahasa. Belanda

mendatangkan para penginjil, mendirikan sekolah-sekolah Kristen, munculnya

komunitas-komunitas kecil, serta para pedagang asing. Egoisme Barat yang

memandang orang Minahasa memiliki pemikiran yang kuno sehingga mendorong

mereka memperkenalkan konsep Tuhan yang benar.52

Tradisi penguburan

menggunakan Waruga yang dilatarbelakangi kepercayaan Malesung yakni

pengkultusan arwah leluhur dan nenek moyang lambat laun beralih ke tradisi

penguburan dalam tanah dengan konsep kepercayaan agama Kristen.53

Jenazah

yang dikuburkan dalam Waruga mengeluarkan bau yang tidak sedap dan menjadi

wabah penyakit kolera sehingga banyak anggota masyarakat mengalami

kematian.54

Karena itu, Belanda dan Kekristenan memperkenalkan kuburan yang

dikenal sampai saat ini, yakni jenazah dikuburkan di dalam tanah. Perubahan

seperti itu tidak terjadi seketika, melainkan secara bertahap hingga pada awal abad

52 Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 11 Juli 2019, pukul

18:18 WITA, di Sonder, Minahasa.

53

Hasil Wawancara dengan Jan Wurangian (Ketua Lembaga Adat Kewalakan Tonsea

Lawat), 10 Juli 2019, pukul 12:18 WITA, di Watutumou, Minahasa Utara.

54

Pinontoan mengutip Watuseke dalam bukunya menjelaskan di Minahasa terjadi

epidemik wabah cacar yang menewaskan sebanyak 15.600 atau ± 1/6 dari total jumlah penduduk

waktu itu. Menurutnya karena banyaknya orang yang meninggal pada waktu bersamaan, maka

cara pemakaman Waruga berubah menjadi cara pemahaman di kubur di dalam tanah - lih. Denni

H. R. Pinontoan, Walian dan Tuang Pandita: Perjumpaan Agama Minahasa dan Agama Kristen

pada abad XIX, (Yogyakarta: Pustaka Pranala, 2019) 63. Bila dibandingkan dengan informan

yang lain, ada yang tidak setuju dengan mengatakan bahwa wabah penyakit tersebut hanya bagian

dari politik kolonial Belanda di saat itu agar kuburan batu Waruga digantikan dengan kuburan

dalam tanah mengikuti kuburan Kekristenan seperti sekarang ini. Hal ini masih menjadi

perbincangan dan perlu untuk dikaji lebih lanjut.

Page 29: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

72

ke-20.55

Belanda menyebut masyarakat lokal Minahasa sebagai bangsa Alifuru.

Bagi mereka, Alifuru dikaitkan dengan ketidakberadaban, liar (barbar) dan

memiliki pemikiran kuno. Kekristenan melihat bahwa masyarakat adat melakukan

penyembahan atau „mentuhankan‟ kubur batu Waruga. Karena itu pemahaman

terhadap penyembahan berhala tersebut harus dijauhi. Menurut informan,

masyarakat adat melihat bahwa Kekristenan menjadi anti-adat dan budaya bahkan

dengan statement „kebudayaan Minahasa itu sesat‟.56

“Jauh sebelum Kekristenan datang, orang Minahasa sudah

memuja pada Yang Maha Tinggi (Opo Empung). Zaman

dahulu tidak pernah memuja patung-patung atau berhala”57

Kepala Adat Desa Kuwil

Seiring berjalannya waktu hingga saat ini, kepercayaan lokal masyarakat

Minahasa yang disebut dengan Malesung mulai tergerus dengan pemahaman dan

pemikiran dari Kekristenan. Karena itu, bagi masyarakat adat dan pemerhati

budaya, kebanyakan orang Minahasa telah melupakan leluhurnya akibat dari

pengkristenan dan juga ajaran dan doktrin yang menyebutkan bahwa kepercayaan

lokal adalah menyembah batu (ba opo-opo). Adapun istilah-istilah seperti:

“Mereka yang sering pergi ke batu dan memanggil arwah orang mati” (dorang

kwa tu ja pigi-pigi di batu, pi balapas deng pangge arwah orang so mati).

“Hebat sekali orang yang berasal dari luar, datang cari makan

di sini lalu berbuat seenaknya kepada kami!” (Hebat sekali

orang dari luar, cari makang dari sini, kong beking sagala

rupa bgni pa torang).58

55 Jhohannes Marbun, “Misionaris dan Perubahan Budaya Masyarakat Minahasa di balik

Waruga”, 2010, https://joemarbun.wordpress.com/2010/08/31/missionaris-dan-perubahan-budaya-

masyarakat-minahasa-di-balik-waruga., diakses tanggal tanggal 19 November 2018, pukul 14:50

WIB.

56

Hasil Wawancara Via Telepon dengan Alfa Sumolang, 10 September 2018, pukul

14:33 WIB.

57

Hasil Wawancara dengan Jan Wurangian (Ketua Lembaga Adat Kewalakan Tonsea

Lawat), 10 Juli 2019, pukul 12:18 WITA, di Watutumou, Minahasa Utara.

58

Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh, (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul

16:25 WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

Page 30: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

73

Bagi masyarakat adat, istilah ba opo-opo dari Kekristenan menjadi stigma yang

sangat kejam. Kekristenan menganggap bahwa masyarakat adat Minahasa terdiri

dari orang-orang yang bodoh dan tidak tahu apa-apa. Menurut informan, mereka

tidak menyadari bahwa mereka telah kehilangan pijakan, identitas dan jati diri.59

Ketika Kekristenan dan bangsa Belanda datang di tanah Minahasa, kepercayaan

lokal dalam hal ini dari para leluhur menerima Kekristenan dengan tangan

terbuka. Lambat laun, masyarakat Minahasa mulai melepaskan kepercayaan lokal

dan menganut agama yang datang dari luar Indonesia. Pada tahun 2016, terkait

dengan pembangunan di Minahasa Utara, menurut informan, ketika proses

pembangunan pelaksana proyek melaksanakan ibadah menurut kepercayaan

Kekristenan di lokasi Waruga Kina-angko‟an. Ibadah tersebut dipimpin oleh

seorang Pendeta dengan menggunakan Liturgi Kematian. Tata cara untuk

mendoakan orang-orang mati karena Waruga adalah kuburan. Setelah ibadah

menurut kepercayaan Kekristenan, masyarakat adat melakukan ritual-ritual terkait

dengan pemindahan Waruga (Mera Waruga atau I To‟tol Sumaup).60

Dalam ritual

Mera Waruga, masyarakat adat memerlukan sesajian. Karena itu, masyarakat

meminta kepada pihak pelaksana proyek untuk bertanggungjawab dalam hal

pendanaan. Menurut informan yang menyaksikan secara langsung ritual tersebut,

terlihat seorang Tona‟as mendapat izin pada leluhur untuk memindahkan

Waruga.61

Pada tahun 2018, ketika pembangunan sampai di lokasi Waruga Wanua

59 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25

WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

60

Hal ini juga senada dengan pendapat dari Balai Arkeologi Manado: „berdoa saja‟ tidak

perlu melakukan ritual-ritual seperti itu. Tapi di sisi lain, menolak juga pemindahan dengan

menggunakan alat berat.

61

Dalam hasil wawancara dengan beberapa informan, pemindahan melakukan ritual ini

dilakukan oleh seorang Tona‟as yang berasal dari luar Minahasa Utara. Ini menjadi permasalahan

besar bagi seluruh komunitas adat Minahasa juga karena yang memimpin bukan dari Minahasa

Page 31: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

74

Ure Pinandeian, tidak lagi menggunakan ritual pemindahan Waruga. Menurut

informan, pemerintah telah bekerja sama dan sepakat dengan masyarakat adat

Desa Kawangkoan dengan hanya doa menurut kepercayaan Kekristenan, namun

dengan bahasa daerah Tonsea.62

Menurut informan, pemerintah sempat

mengeluarkan statement dengan menyatakan:

Hanya masalah kecil saja kok, berdoa saja kepada Tuhan bukan

kepada Alifuru! (ngoni le cuma begitu, berdoa jo pa Tuhan, nd

usah pa Alifuru!”).63

3.4 Dinamika dan Kronologi Pembangunan Waduk dan Jalan Tol

Keputusan untuk melaksanakan pembangunan awalnya diterima secara baik

melalui institusi Presiden tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang di

dalamnya pembangunan Jalan Tol Manado-Bitung dan Waduk Kuwil, Minahasa

Utara. Namun, seiring berjalannya waktu, situasi dan kondisi pembangunan

mengandung kompleksitas, dinamika dan dilema antara pemerintah dan

masyarakat sehingga terjadi pro dan kontra. Pembangunan ini dilakukan di

wilayah Desa Kawangkoan sekitar 315 hektar dan Desa Kuwil sekitar 19 hektar di

bawah pelaksana proyek Balai Wilayah Sungai Provinsi Sulawesi Utara I yang

bekerja sama dengan Perusahaan PT. Wika – DMT, KSO, PT. Nindya Karya

(Persero) dengan supervisi Konsultan PT. Indra Karya (Persero) Wilayah II – PT.

Darma Dedana Cipta Consultans – PT. Maxitech Utama Indonesia.

Utara tapi dari luar. Informan yang lain berpendapat bahwa sudah ada kepentingan di antara yang

membuat ritual dan dengan pihak pelaksana proyek. Semua Tona‟as menolak ketika dihubungi

untuk melaksanakan ritual karena mereka tidak setuju Waruga harus dipindahkan. Namun, tiba-

tiba muncul Tona‟as yang menyetujui pemindahan tersebut dan selanjutnya melakukan upacara

adat sehingga proyek pemindahan tetap berjalan.

62

Hasil Wawancara dengan anggota Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten

Minahasa Utara, 25 Juli 2019, pukul 14:30 WITA di Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan

Minahasa Utara.

63

Hasil Wawancara Via Telepon dengan Juan Ratu (Pemerhati Budaya Minahasa), 05

September 2018, pukul 13:50 WIB.

Page 32: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

75

Kawasan pembangunan Waduk Kuwil-Kawangkoan merupakan salah satu

program pembangunan nasional, yang direncanakan sebagai daerah tangkapan air

dan sumber air yang berada di sekitar wilayah tersebut, sehingga pada musim

hujan, air akan mengalir ke arah waduk tersebut dan bahaya banjir dapat

dicegah.64

Waduk berfungsi sebagai tempat menampung aliran air yang berasal

dari DAS (Daerah Aliran Sungai) Tondano dan juga dapat mengontrol curah

hujan. Selain itu, Waduk juga bisa jadi tempat rekreasi, destinasi pariwisata,

tenaga listrik, dan penyediaan air bersih.65

Alasan dinamakan Waduk Kuwil itu

karena melihat aliran sungai melewati Desa Kuwil dan berdampak pula bagi Desa.

Karena itu, masyarakat lokal Desa Kuwil mengizinkan pembangunan tersebut

dengan tanda tangan dari masyarakat menjadi bukti dilaksanakannya

pembangunan Waduk ini.66

Pengerjaan proyek strategis nasional ini berdasarkan peraturan yang

tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) RI 3/2016 tentang Percepatan

Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan perubahannya, yaitu Perpres 56/2017,

Peraturan Daerah (Perda) Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara Nomor 01

Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Minahasa Utara

2013-2033 yang pada bagian tentang sistem jaringan sumber daya air,

menyebutkan pembangunan waduk multifungsi di Desa Kuwil-Kawangkoan.

64 Banjir Bandang pernah terjadi di Kota Manado tahun 2014 dan beberapa tahun

belakangan ini.

65

Hasil Wawancara dengan anggota Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten

Minahasa Utara, 25 Juli 2019, pukul 14:30 WITA di Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan

Minahasa Utara.

66

Hasil Wawancara dengan Henkie Runtuwene (Kepala Desa Kuwil), 30 Juli 2019, 14:00

WITA, di Desa Kuwil, Minahasa Utara. Berdasarkan observasi penulis, seperti halnya yang

disampaikan Kepala Desa, dampak yang dimaksud ialah dampak dari curah hujan yang sangat

tinggi yang terjadi pada tahun 2014 sehingga membuat jembatan dari Desa Kuwil mengalami

kerusakan yang cukup parah. Karena itu, pemerintah dan masyarakat berinisiatif untuk

membangun kembali jembatan yang terbuat dari kayu-kayu sehingga jembatan dapat diakses bagi

pengguna jalan transportasi.

Page 33: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

76

Rencana tersebut dipertegas pula dalam Perda 1/2014 tentang RT/RW Provinsi

Sulawesi Utara tahun 2014-2034, yang juga menyebutkan rencana pembangunan

bendungan di Desa Kuwil dan Sawangan.67

Dalam harian Kompas, menyebutkan

bahwa Waruga harus dipindahkan untuk kelanjutan pembangunan Bendungan

Kuwil senilai Rp. 1.413.605.000.000 (termasuk PPN) atau 1,4 Triliun atas biaya

Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).68

Selain itu, berdasarkan

informasi umum, masa pelaksanaan konstruksi pembangunan yakni 8 Agustus

2016 – 6 Agustus 2020 dengan tahun anggaran 2016-2020.

Pada Oktober 2016 dan Juli 2018, pembangunan ini menggerus Waruga yang

terletak di dua lokasi yakni Waruga Kinaengkoan dan Waruga di Bukit

Pinandeian dengan wilayah yang sama. Mega proyek tersebut membuat Waruga

yang harus dipindahkan ke lokasi strategis yang tidak terkena pembangunan.

Lokasi tersebut masih berada di wilayah Desa Kawangkoan. Bagi pihak pelaksana

proyek, kedudukkan awal masing-masing Waruga berada di “zona inti” yang

menjadi daerah genangan air waduk.69

Polemik pembangunan mulai terjadi.

Waruga yang berada di Bukit Pinandean yang berada di wilayah Desa

Kawangkoan. Tapi menurut informan, memang Waruga berada di wilayah Desa

Kawangkoan, tapi pemiliknya berasal dari Desa Kuwil. Selain itu, Kepala Desa

Kuwil mengaku tidak dilibatkan dalam proses relokasi tersebut.70

Proses relokasi

menggunakan fasilitas pengangkutan atau alat berat yang disebut alat eskavator.

67 Denni Pinontoan, “Waruga dan Pembangunan Sadar Budaya”, Center for Religious and

Cross Cultural Studies Graduate School, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 2018.,

https://crcs.ugm.ac.id/perspective/13260/waruga-dan-pembangunan-yang-sadar-budaya.html

diakses pada tanggal 21 November 2018, pukul 13:11 WIB.

68

Koran Harian Kompas, Kamis, 26 Juli 2018. Jumlah anggaran tersebut juga

dicantumkan dalam Informasi Umum di lokasi pembangunan Waduk Kuwil-Kawangkoan.

69

Hasil Wawancara dengan Ipak Fahriani (Peneliti Balai Arkeologi Manado), 15 Juli

2019, 11:34 WITA, di Kota Manado.

70

Hasil Wawancara dengan Henkie Runtuwene (Kepala Desa Kuwil), 30 Juli 2019, 14:00

WITA, di Desa Kuwil, Minahasa Utara.

Page 34: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

77

Alasannya kubur batu tersebut tidak dapat diangkat dengan tenaga manusia dan

juga ada beberapa Waruga tertahan dengan akar pohon. Akan tetapi, hal ini juga

menuai polemik dari masyarakat Minahasa yang dengan tegas menolak relokasi

dengan cara tidak etis tersebut karena mengakibatkan Waruga menjadi rusak dan

hancur. Apalagi ketika masyarakat menyaksikan secara langsung, bekas puing

hancurnya Waruga, gigi-gigi dan tulang dari para leluhur berserakan di jalan dan

di atas tanah.71

Padahal, menurut informan, di beberapa tempat di Minahasa,

pemindahan Waruga dilakukan masyarakat adat secara Mapalus (gotong royong)

dengan cara memikul serta harus dilakukan dengan hati-hati.72

Cara pemindahan

ini menuai polemik dan kontroversial. Ada yang setuju dengan pemindahan tapi

harus disertai dengan perbaikan terhadap Waruga. Di sisi lain, ada yang tidak

setuju karena bukan hanya melihat Waruga tetapi juga melihat nilai-nilai dari

tanah tersebut.

Gambar 5. Gigi para leluhur yang ditemukan.

Sumber: Dokumentasi oleh Rinto Taroreh

Pada tahun 2016, awalnya Waruga dipindahkan secara manual yakni dengan

menggunakan bambu dan diangkat oleh masyarakat. Akan tetapi, hanya dua

71 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25

WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

72

Hasil Wawancara dengan Bode Talumewo (Sejahrawan Minahasa), 23 Juli 2019, 15:03

WITA, di Kota Manado. Ketika membandingkan hasil wawancara dengan beberapa informan,

mereka mengaku kaget ketika Waruga dipindahkan dengan menggunakan alat berat.

Page 35: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

78

Waruga saja yang dapat diangkat secara manual karena kondisi masyarakat sudah

dalam keadaan lelah. Karena itu, pihak kontraktor menawarkan cara dengan

menggunakan alat eskavator kepada masyarakat mengingat proyek ini memiliki

target yakni waktu yang harus ditempuh. Sedangkan pada tahun 2018, proses

pemindahan Waruga di Bukit Pinandeian, langsung menggunakan alat eskavator

dan tidak melalui ritual dan pengangkatan secara manual.

Pemerintah setempat dan pelaksana proyek menilai masyarakat adat

Minahasa dan para pemerhati budaya tidak merawat Waruga sebelum

dipindahkan. Menurut observasi yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan, mereka menemukan kubur batu Waruga dalam keadaan terlilit

dengan pohon dan bagian kepala Waruga dipenuhi rerumputan bahkan terpisah

dengan badan dari Waruga itu sendiri. Namun, dengan tegas masyarakat

Minahasa menolak hal tersebut, karena sebelum pembangunan dilakukan di Desa

Kuwil-Kawangkoan, mereka telah melakukan ziarah kultural terlebih dahulu dan

merawat Waruga atas mandat dari para leluhur.73

Awalnya masyarakat sebenarnya mengetahui akan ada pembangunan di

daerah Kawangkoan pada tahun 2016, tetapi mereka tidak mengetahui jika

pembangunan terkena situs budaya Waruga. Ketika masyarakat ber-Lumales,

mereka terkejut di tempat adanya Waruga telah dilingkari dengan police line.

Melihat hal itu, aparat keamanan mengusir masyarakat secara langsung.74

Masyarakat mengakui bahwa mereka tidak menerima pemberitahuan dari

pemerintah dan pihak pelaksana proyek terkait dengan pembangunan yang akan

73 Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 11 Juli 2019, pukul

18:18 WITA, di Sonder, Minahasa.

74

Hasil Wawancara dengan Charles Somba (Pemerhati Budaya Minahasa), 17 Juli 2019,

pukul 15:00 WITA, di Mapanget, Kota Manado.

Page 36: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

79

dilakukan di sekitaran situs dan di atas tanah tersebut. Padahal tanah itu bukanlah

tanah pribadi, tapi merupakan tanah adat satu-satunya di Minahasa. Segera setelah

itu, masyarakat melakukan semacam sosialisasi di Balai Desa Kawangkoan.

Sosialisasi tersebut berisikan makna dan pentingnya Waruga beserta tanah yang

memiliki nilai historis dan kultural. Tetapi juga mereka menyatakan tidak setuju

terhadap pemindahan Waruga. Pembangunan tersebut juga membuat penduduk

yang tinggal di lokasi pembangunan, menimbulkan persoalan mengenai tanah

mereka.

“Coba bayangkan bila itu kuburan orangtua sendiri, bagaimana

perasaan kita bila ada yang seenaknya mengobrak-abrik!”.75

Selain itu, masyarakat telah mendengarkan janji dari pemerintah. Janji

tersebut ialah setelah pemindahan akan dilakukan perbaikan terhadap Waruga,

mengitari Waruga dengan pagar dan mengatur kembali semua Waruga sesuai

dengan tradisi kultural masyarakat adat. Setelah melakukan perbaikan, pemerintah

juga berjanji untuk membangun tempat itu sebagai tempat pariwisata sehingga ada

pendapatan daerah secara ekonomis. Namun, janji-janji tersebut tidak ditepati oleh

pemerintah sampai penulis melakukan observasi di lokasi pembangunan. Karena

itu, masyarakat Minahasa berinisiatif untuk memperbaiki Waruga Kuwil-

Kawangkoan. “Tidak usah menunggu pemerintah, kita saja yang bergerak!“

(sudah jo mo tunggu tu pemerintah, torang jo bergerak). Menurut informan,

masyarakat adat dan pemerhati budaya tidak perlu menunggu pemerintah atau dari

siapapun untuk memperbaiki Waruga-Waruga yang sudah hancur ini.76

75 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25

WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

76

Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25

WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

Page 37: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

80

3.4.1 Konflik di antara Masyarakat Minahasa

Berdasarkan penelitian, dinamika pembangunan menyebabkan perpecahan di

antara masyarakat adat, pemerhati budaya dan organisasi-organisasi masyarakat

adat karena perbedaan pemahaman di antara mereka. Dari satu sisi, menyetujui

pemindahan Waruga asalkan pemerintah memperbaiki Waruga tersebut. Di sisi

lain, tidak menyetujui pemindahan Waruga karena bukan hanya sekedar objek

atau kubur batu semata, tetapi juga berkaitan dengan tanah. Tanah tersebut

diyakini merupakan tanah adat dan masyarakat menyebutnya sebagai tanah milik

bersama (Kalakeran). Masyarakat memahami bahwa Waruga menyatu dengan

tanah, tempat Waruga didirikan.77

Secara spontan, masyarakat Minahasa

merespon serta melakukan perlawanan di tempat pelaksana proyek pembangunan.

Di tempat tersebut terjadi perpecahan yakni saling mengancam di antara anggota

masyarakat satu dengan yang lain: “Mereka berbaju budaya, tapi mendukung

pelaksana proyek. Kami melihat sudah ada kepentingan di antara mereka dengan

pelaksana proyek pembangunan”. Masyarakat yang melakukan kepentingan

dengan pihak pelaksana proyek yakni penduduk lokal Desa Kawangkoan dan

Desa Kuwil. Situasi lebih memanas ketika semua masyarakat berada di lokasi

pembangunan, ada seorang laki-laki yang tiba-tiba kemasukkan arwah leluhur.

Setelah itu seorang bapak yang dianggap sebagai pemimpin dari suatu kelompok

memarahinya secara langsung karena ia hanya berpura-pura kemasukkan arwah.

Hal itu diketahui karena leluhur tidak pernah berbicara dengan dialek Manado,

tapi menggunakan bahasa daerah (bahasa asli). Bapak tersebut mengecewakan

situasi „memalukan‟ ini terjadi di atas tanah para leluhur. Tetapi juga, berdasarkan

77 Hasil Wawancara dengan Charles Somba (Pemerhati Budaya Minahasa), 17 Juli 2019,

pukul 15:00 WITA, di Mapanget, Kota Manado.

Page 38: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

81

wawancara penelitian dengan beberapa informan yang menyatakan kekecewaan

dengan teman-teman mereka yang baru saja muncul pada saat pembangunan yang

menggerus Waruga Pinandeian di tahun 2018. Padahal, kejadian ini sudah terjadi

sejak tahun 2016 pada Waruga Kina'engkoan. Mereka tiba-tiba muncul dan

berlagak seperti Pahlawan Kesiangan.

3.5 Resistensi Masyarakat Minahasa

Penghancuran, ketidakadilan serta keberpihakan dari pembangunan proyek

raksasa dari pemerintah membuat masyarakat Minahasa yang terdiri atas

masyarakat adat, komunitas-komunitas adat, organisasi-organisasi masyarakat

adat (ormas adat) dan para pemerhati budaya melakukan perlawanan (resistensi).

Komunitas-komunitas adat ini adalah orang-orang yang memang sejak dulu peduli

terhadap situs-situs budaya, merawat dan melakukan penataan tanpa dibayar dan

apa yang mereka lakukan dipublikasikan di media sosial. Masyarakat ini bukan

hanya yang ada di wilayah Tonsea78

, tapi juga dari semua wilayah Minahasa turut

melakukan perlawanan.79

Selain itu, masyarakat mainstream80

yang awalnya tidak

menaruh perhatian besar dengan budaya dan tradisi Minahasa, juga turun ambil

bagian dalam upaya perlawanan ini dan mengakui diri sebagai masyarakat adat.

Masyarakat merasa sepenanggungan karena ini terkait dengan persoalan

Minahasa. Gugatan masyarakat berangkat dari pemindahan Waruga Kina-

angko‟an dan Waruga Pinandeian. Pembangunan mega proyek dinilai

78 Suku Tonsea adalah salah satu sub-etnis di Provinsi Sulawesi Utara yang meliputi Kota

Bitung, Airmadidi, Kauditan, Kema, Tatelu, Talawaan dan Likupung Timur. Terdapat sembilan

sub-etnis Minahasa yakni Tontemboan, Tonsea, Toulour, Tonsawang, Ratahan, Ponosakan, Pasan,

Babontehu dan Bantik.

79

Hasil Wawancara dengan Juan Ratu (Pemerhati Budaya Minahasa), 24 Juli 2019, pukul

14:00 WITA, di Kota Manado.

80

Penyebutan mainstream oleh informan dimaksudkan kepada masyarakat “kekinian”

yang berpijak pada pengetahuan modern - Hasil Wawancara dengan Juan Ratu (Pemerhati Budaya

Minahasa), 24 Juli 2019, pukul 14:00 WITA, di Kota Manado.

Page 39: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

82

mengabaikan nilai-nilai historis dan kultural yang diyakini oleh masyarakat

Minahasa. Padahal kubur batu Waruga ini juga telah diakui dan dilindungi oleh

UNESCO. Secara prinsipal-kultural, pemerintah tidak bisa memindahkan Waruga

dengan menggunakan alat berat.81

Waruga menjadi bukti adanya peradaban,

masyarakat juga memandang penting mengenai tanah atau tempat tersebut

sebagai:“Tempat yang sangatlah spesial!”.82

Tanah Adat di Bukit Pinandeian yang merupakan tanah

kedudukan Waruga. Itu adalah “Negeri Tua” yang merupakan

milik dari Masyarakat Budaya”. “Pemerintah harus peka

terhadap budaya, ini kekayaan budaya”.83

Masyarakat memaknai tanah sebagai hal yang tidak dapat dipisahkan dengan

Waruga. Tanah Kina'engkoan dan Pinandeian merupakan tanah adat sekaligus

tanah kedudukkan tempat Waruga berada. Tempat tersebut seharusnya tidak

diganggu, apalagi dengan proyek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.

Jika diganggu, maka masyarakat Minahasa akan kehilangan pijakan serta penanda

identitas budaya.84

Pemindahan dan perubahan lokasi menghilangkan makna

aslinya. Masyarakat menginginkan agar Waruga dan tanah tetap dalam kondisi

keaslian dan apa adanya. Selain itu, tanah itu adalah penanda dan bukti peradaban

paling pertama dan tertua masyarakat Tonsea.85

“Bagaimana dengan anak dan

81 Hasil Wawancara dengan Jan Wurangian (Ketua Lembaga Adat Kewalakan Tonsea

Lawat), 10 Juli 2019, pukul 12:18 WITA, di Watutumou, Minahasa Utara.

82

Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25

WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

83

Hasil Wawancara dengan Jan Wurangian (Ketua Lembaga Adat Kewalakan Tonsea

Lawat), 10 Juli 2019, pukul 12:18 WITA, di Watutumou, Minahasa Utara.

84

Hasil Wawancara Via Telepon dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 24 April

2019, pukul 11:25 WITA.

85

Hasil Wawancara dengan Rikson Karundeng (Pemerhati Budaya Minahasa dan

Gerakan Minahasa Muda), 26 Juli 2019, pukul 14:30 WITA di Kota Tomohon.

Page 40: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

83

cucu kita nanti secara khusus bagi masyarakat Tonsea? Ketika mereka lahir,

mereka sudah tidak memiliki pijakan dan jati diri”.86

“Tanah itu adalah milik adat. Tanah itu bukan tanah biasa.

Tanah itu adalah warisan leluhur kami dari satu generasi ke

generasi lainnya”.87

Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa masyarakat melakukan

perlawanan karena kubur batu Waruga sebagai penanda identitas dan jati diri

orang Minahasa, tetapi juga persoalan tanah yang merupakan tanah adat satu-

satunya di Minahasa. Tujuan perlawanan adalah untuk menegur, mengingatkan

serta menolak keras kepada pemerintah atau lembaga pelaksana proyek untuk

tidak memindahkan Waruga.88

Perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh

masyarakat Minahasa, yakni sebagai berikut:

3.5.1 Aksi Protes

Aksi Protes ini langsung dilakukan oleh masyarakat Minahasa di tempat

pelaksana proyek pembangunan tersebut dengan kemarahan, kesedihan,

kekecewaan mereka karena hancurnya Waruga-Waruga. Mereka menilai

pemerintah telah sengaja melakukan pengrusakkan atas nama pembangunan.89

Dalam aksi protes tersebut masyarakat menggunakan pakaian adat Minahasa serta

ada di antara mereka membawa senjata tajam.90

Di saat itu hendak terjadi

86 Hasil Wawancara dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 15 Juli 2019, pukul 16:25

WITA, di Desa Warembungan, Minahasa.

87

Hasil Wawancara dengan Juan Ratu (Pemerhati Budaya Minahasa), 24 Juli 2019, pukul

14:00 WITA, di Kota Manado.

88

Hasil Wawancara Via Telepon dengan Rinto Taroreh (Tona‟as Minahasa), 24 April

2019, pukul 11:25 WITA.

89

Hasil Wawancara dengan Rikson Karundeng (Pemerhati Budaya Minahasa dan

Gerakan Minahasa Muda), 26 Juli 2019, pukul 14:30 WITA di Kota Tomohon.

90

Dalam wawancara dengan Ipak Fahriani (Tim Peneliti Balai Arkeologi Kota Manado),

mereka juga mengaku tidak mendapatkan pemberitahuan secara langsung untuk melakukan

perekaman dan dokumentasi Waruga sebagai upaya penyelamatan data terhadap situs megalitik.

Seperti halnya yang dilakukan sebelumnya pada tahun 2016 pada situs megalitik Waruga

Kina'engkoan. Dari pihak arkeologi, mereka menyatakan tidak setuju dengan pemindahan

Page 41: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

84

pertumpahan darah: “waktu itu semua masyarakat sudah siap untuk mati!”

(samua tu masyarakat so siap skali for mati!). Masyarakat lebih memilih

kematian fisik dibandingkan kematian ingatan para leluhur dan identitas kultural.

Menurut informan, aksi yang dilakukan tidak hanya sampai pada aksi protes, tapi

juga masyarakat dengan jumlah yang sangat besar bersamaan dengan komunitas-

komunitas adat seluruh Minahasa bergantian mendatangi lokasi pembangunan dan

menetap di sana dengan tujuan menjaga Waruga beserta tanah di lokasi proyek.

Selama ± 1 (satu) bulan masyarakat bertahan dan menjaga tempat itu dengan

membuat tenda (camp) dan tidur di lokasi pembangunan serta mereka memilih

untuk tidak makan sekalipun.

“Kami cinta Minahasa, ini jati diri Minahasa. Jati diri kami

seperti dihina dan diinjak-injak!”.91

Namun, masyarakat tidak mampu melanjutkan aksi karena langsung diblok

oleh aparat keamanan. Menurut informan, beberapa aparat keamanan saat itu pun

mengalami dilema, di mana di sisi lain mereka harus menjalankan tugas untuk

mengamankan lokasi pembangunan dan polemik yang terjadi, namun di sisi pula,

mereka mengaku sedih dengan kondisi Waruga yang telah mengalami kehancuran

karena mereka juga ada dalam identitas yang sama sebagai orang Minahasa.

Pada tanggal 22 April 2019 di Bundaran Airmadidi, Minahasa Utara

bertepatan dengan Hari Lingkungan Nasional, komunitas adat yang terdiri atas

para aktivis dan seniman turun ke jalan melakukan “aksi solidaritas”. Selain

menolak pengrusakkan alam oleh manusia, aksi tersebut banyak menyinggung

serta menolak pengrusakkan Waruga yang terjadi akibat pembangunan di

memakai alat berat eskavator. Akan tetapi, pembangunan terus berjalan dan Waruga menjadi

hancur.

91

Hasil Wawancara dengan anggota Masyarakat adat Minahasa, 03 Januari 2019, pukul

11:51 WITA, di Watu Pinabetengan, Minahasa.

Page 42: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

85

Minahasa Utara. Masyarakat Minahasa meyakini bahwa alam juga menjadi bagian

dari hidup mereka terutama terkait dengan warisan leluhur. Menurut informan,

aksi tersebut secara langsung berfokus pada pembangunan yang mengorbankan

peninggalan leluhur dan tambang yang merusak tanah dan air sebagai sumber

hidup.92

Masyarakat mendukung jalannya pembangunan, tapi tidak dengan

menghancurkan Waruga karena tidak hanya sekedar kubur batu biasa. Masyarakat

menilai bahwa pembangunan dilakukan hanya untuk segelintir orang saja, dan

tidak bagi masyarakat adat dan para pemerhati budaya. Menurut informan,

pembangunan bukannya menghidupkan dan memajukan masyarakat Minahasa,

namun justru pembangunan secara perlahan membunuh orang Minahasa itu

sendiri.93

Dalam aksi solidaritas, masyarakat membuat sebuah pementasan teater.

Gambar 6. Pementasan Teater di Bundaran, Airmadidi, Minahasa Utara

Sumber: Dokumentasi oleh Bode Grey Talumewo94

Dalam gambar tersebut terlihat dua orang yang tubuhnya dicat masing-

masing berwarna biru dan merah. Biru melambangkan alam dan bumi yang dihuni

oleh manusia, sedangkan merah melambangkan keserakahan manusia

92 Hasil Wawancara dengan Charlie Samola (Anggota Komunitas Masyarakat Adat

Mawale Movement), 18 Juli 2019, pukul 17:11 WITA, di Kota Manado.

93

Hasil Wawancara dengan Rikson Karundeng (Pemerhati Budaya Minahasa dan

Gerakan Minahasa Muda), 26 Juli 2019, pukul 14:30 WITA di Kota Tomohon.

94

Bode Grey Talumewo, “Peringatan Hari Bumi, 22 April 2019, di Bundaran

Tumatenden Airmadidi”.,

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10217113202115635&set=p.10217113202115635&ty

pe=3&theater diakses pada tanggal 15 Juli 2019, pukul 20:16 WITA.

Page 43: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

86

menghancurkan alam karena lajunya modernisasi dan pembangunan. Adapun

sekelompok orang yang memakai pakaian Kawasaran yang melambangkan orang

Minahasa yang selama ini menjaga tanah dan alam tempat mereka tinggal.95

3.5.2 Aksi Save Waruga

Aksi tersebut ternyata tidak berhenti sampai di situ, pada bulan Juli 2019,

ketika Presiden Indonesia berkunjung ke Kota Bitung, Sulawesi Utara, komunitas

adat dan organisasi masyarakat adat Kota Bitung juga melakukan aksi dan

menunjukkan tulisan spanduk “Selamat datang Pak De”. Namun, di balik itu ada

tulisan-tulisan #SaveWaruga #SaveTanahAdat. Aksi tersebut secara spontan

dilakukan dengan harapan bahwa Presiden Indonesia dapat memberikan solusi

dan memperhatikan situasi situs Waruga yang menjadi korban pembangunan di

Minahasa Utara. Secara spontan, aksi tersebut dihentikan oleh aparat yang sedang

menjaga keamanan di daerah tersebut karena tidak memiliki izin melakukan aksi

serta kalimat: “Di sini bukan tempat yang cocok mengatakan hal itu!” (bukang di

sini depe tampa ngoni bilang begitu).96

Adapun momen Hari Ulang Tahun

Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 2018 di Istana Presiden,

beberapa anggota masyarakat Minahasa diundang untuk melakonkan Tarian

Kawasaran. Momen tersebut mereka pakai untuk mengunggah foto di media

sosial dengan latar belakang Istana Presiden dengan memakai pakaian adat serta

memegang secarik kertas dengan tulisan #SaveWaruga.

Selain itu, beberapa anggota masyarakat adat Minahasa yang diutus pada

Kongres Masyarakat adat Nasional yang diselenggarakan oleh AMAN (Aliansi

95 Hasil Wawancara dengan Charlie Samola (Anggota Komunitas Masyarakat Adat

Mawale Movement), 18 Juli 2019, pukul 17:11 WITA, di Kota Manado.

96

Hasil Wawancara dengan Charles Somba (Pemerhati Budaya Minahasa), 17 Juli 2019,

pukul 15:00 WITA, di Mapanget, Kota Manado.

Page 44: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

87

Masyarakat Adat Nusantara) tahun 2017 memakai momen ini untuk menyuarakan

#SaveWaruga. Menurut informan, dalam Kongres tersebut pihak AMAN

mengundang Presiden Joko Widodo untuk datang dalam Kongres AMAN tahun

2017, tapi Presiden saat itu berhalangan hadir. Beberapa waktu kemudian

Presiden mengundang AMAN di Istana Presiden dan membicarakan terkait

dengan masyarakat adat. Di saat itu AMAN membawa Surat Terbuka “Titip

Salam untuk Jokowi”97

yang di dalamnya merupakan suara dari masyarakat adat

Minahasa terkait dengan proyek pembangunan nasional yang menggerus warisan-

warisan kultural. Surat terbuka tersebut tertulis demikian:

“Titip Salam Buat Jokowi”98

Kebijakan pemerintah yang berpihak pada Masyarakat Adat selama ini

sangat baik. Apresiasi tentu harus diberikan untuk Pak Presiden, Jokowi,

terutama dari masyarakat adat. Tetapi berbarengan dengan itu (bahkan lebih

cepat dari itu) proyek-proyek pembangunan nasional pemerintahan Jokowi-

JK sering menyakitkan hati masyarakat adat.

Di Sulawesi Utara, Proyek Strategis Nasional yang ditetapkan dengan

Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 dan Inpres Nomor 1 Tahun 2016,

secara sistematis telah menghancurkan kawasan situs sejarah budaya

masyarakat adat Minahasa.

Proyek tersebut adalah Pembangunan Waduk Kuwil di Minahasa Utara

yang ditinjau langsung oleh Jokowi Desember 2016 lalu dan Pembangunan

Jalan Tol Manado-Bitung.

Masyarakat Minahasa adalah masyarakat yang kondisinya termasuk

paling tragis. Hampir seluruh ingatan tentang jati dirinya, nilai-nilai warisan

leluhur telah dirampas sejak era kolonial hingga kini. Situs sejarah budaya

seperti Waruga (makam tua leluhur Minahasa) dan Watu Tumotowa (situs

penanda pendirian kampung) adalah sedikit ingatan yang tersisa. Karena

itulah Waruga dan Watu Tumotowa sangat berharga bagi masyarakat

Minahasa.

Situs-situs itu bukan hanya sekedar objek penelitian, sumber studi yang

dilindungi Undang-Undang tapi terutama adalah bukti peradaban, pintu

masuk menuju ingatan tentang siapa orang Minahasa dan tempat

persemayaman para leluhur.

97 Surat ini juga dimuat di Surat Kabar Media Sulut berjudul “Sorot Kezaliman atas Situs

Budaya: AMAN Sulawesi utara Titip Salam Buat Jokowi”, Kamis 19 Juli 2018.

98

Surat ini diambil dari Rivo Gosal (Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sulawesi

Utara), Agustus 2019.

Page 45: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

88

Penghormatan terhadap leluhur adalah hal penting bagi masyarakat

Minahasa. Karena itu, penghancuran situs-situs ini juga dianggap tindakan

kurang ajar, bentuk penghinaan terhadap orang Minahasa.

Sejak awal teriakan demi teriakan disuarakan masyarakat Minahasa,

mengritisi rencana penghancuran kawasan situs tersebut. Sayang, teriakan itu

tak pernah didengar.

Ada harapan besar, tangis masyarakat adat Minahasa ini bisa didengar

Bapak Presiden Joko Widodo yang kami banggakan. Hingga segala bentuk

penghancuran situs sejarah budaya atas nama pembangunan di Minahasa

bisa dihentikan.

Masyarakat Minahasa tidak pernah menolak pembangunan, apalagi

dengan alasan untuk kesejahteraan masyarakat. Tapi pembangunan yang

mengabaikan situs sejarah budaya, harta penting warisan leluhur Minahasa,

tentu akan selalu ditolak.

Namun, setelah disampaikan, tidak ada jawaban bahkan hingga saat ini

pembangunan masih terus berlanjut. Selain itu, pada Hari Masyarakat Adat di

Bali, mereka mengkampanyekan hal yang sama. Menurut informan, mereka

melakukan hal tersebut „keluar daerah‟ supaya upaya menyelamatkan budaya di

Minahasa dapat diketahui oleh masyarakat secara nasional bahkan internasional.99

3.5.3 Mediasi dan Dialog di Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Utara

Dengan berpakaian adat Minahasa, masyarakat melakukan hearing atau

mendatangi Kantor DPRD Kota Manado untuk berdialog dengan pihak dan

oknum yang terkait dengan persoalan pembangunan di Minahasa Utara.100

Gerakan ini merupakan perwakilan komunitas adat di Sulawesi Utara. Menurut

informan, sebelum masyarakat melakukan gerakan, mereka mengadakan upacara

adat di Waruga Wanue Ure Lotta, Pineleng. Tujuan diadakan upacara adat,

masyarakat memohon restu dan perlindungan dari Yang Maha Tinggi (Opo

Empung) karena persoalan yang sedang mereka hadapi adalah persoalan yang

99 Hasil Wawancara dengan Charles Somba (Pemerhati Budaya Minahasa), 17 Juli 2019,

pukul 15:00 WITA, di Mapanget, Kota Manado.

100

Hasil Wawancara dengan Charles Somba (Pemerhati Budaya Minahasa), 17 Juli 2019,

pukul 15:00 WITA, di Mapanget, Kota Manado.

Page 46: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

89

sangat serius. Mereka juga memohon agar para leluhur ikut terlibat dalam upaya

perjuangan yang dilakukan.

Di Kantor Dewan, terjadi mediasi dan dialog dengan pemerintah. Dalam

proses dialog, masyarakat membaca gagasan pengetahuan yang merupakan hasil

diskusi dari 29 orang mengenai pentingnya Waruga dan tanah adat Kina-angko‟an

dan Pinandeian.101

Masyarakat menyatakan untuk tetap melanjutkan

pembangunan, tapi dengan tegas menolak untuk memindahkan Waruga. Gugatan-

gugatan masyarakat Minahasa termuat dalam tulisan antara lain:

Mengutuk tindakan penghancuran Waruga Kuwil-Kawangkoan;

Menolak relokasi Waruga tersebut dari tempat aslinya, Wanua Ure

Kina-angko‟an;

Meminta DPRD Sulawesi Utara untuk bersama-sama dengan

masyarakat Adat Minahasa menuntut oknum-oknum yang tidak

bertanggungjawab karena telah merusak situs-situs budaya di

Kuwil-Kawangkoan;

Meminta DPRD Sulut untuk bersama-sama mendesak aparat

hukum mengusut kasus pengrusakkan situs budaya di Kuwil-

Kawangkoan hingga tuntas;

101 Ke-29 orang tersebut merupakan perwakilan dari komunitas-komunitas adat di

Minahasa antara lain: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sulawesi Utara (AMAN), Gerakan

Minahasa Muda, Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur, Institut Kajian Budaya Minahasa,

Mawale Cultural Center, Tou Muda Sumonder, Pinaesaan Tontemboan, Waraney Wuaya, Barisan

Pemuda Adat Nusantara, Komunitas Mapatik, Tou Muda Tolour, Gerakan Mahasiswa Minahasa,

Tou Muda Tombulu, Tou Muda Tonsawang, Tontemboan Muda, Komunitas Tondano, Tou

Rangow Muda, Masyarakat Muda Bersatu Wuwuk, Pawowasan Tondano, Klabat Muda, Tou

Muda Tonsea, Pinawetengan Muda, Sanggar Tumondei, Kama Mawale, Sanggar Bukit Berbunga

Amurang, Tou Muda Bitung Tonsea, Mahasiswa Pecinta Budaya dari Universitas Sam Ratulangi

(UNSRAT), Universitas Negeri Manado (UNIMA), dan Universitas Kristen Indonesia Tomohon

(UKIT).

Page 47: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

90

Mendesak Pemerintah (termasuk DPRD) untuk mencegah pihak

manapun melakukan pengrusakkan terhadap situs sejarah budaya

di Minahasa;

Meminta kepada pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Eksekutif

dan Legislatif) dan Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara untuk

membuat program yang bisa merangsang kesadaran masyarakat

agar bisa mencintai warisan budaya leluhur, membuat Perda

(Peraturan Daerah) perlindungan terhadap situs-situs budaya

Minahasa, melakukan penataan kembali Waruga yang telah dirusak

dan dijarah.102

Gambar 7. Komunitas Adat di Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Utara

Sumber: Dokumentasi oleh Rikson Karundeng103

Hasil-hasil dari dialog tersebut ialah meninjau kembali lokasi pembangunan,

mengeluarkan Surat Resmi dan menyampaikan aspirasi masyarakat ke Pemerintah

Pusat serta mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) untuk melindungi situs dan

warisan budaya. Menurut informan, pemerintah telah melakukan peninjauan

102 Jaringan Komunitas Budaya, “Save Waruga, Save Minahasa”, 10 November 2016 di

Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Utara.

103

Rikson Childwan Karundeng, Album Foto Facebook “Save Waruga, Save Minahasa”.,

https://www.facebook.com/rikson.karundeng/media_set?set=a.10209668856135757&type=3

diakses pada tanggal 17 Juli 2019, pukul 18:00 WITA.

Page 48: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

91

kembali, tapi setelah itu, tidak ada hasil bahkan sampai saat ini belum ada

informasi terkait dengan aturan yang dibuat oleh pemerintah.104

Hal ini membuat

masyarakat semakin kecewa dan marah dengan tindakan pemerintah. Ditambah

lagi tidak ada perwakilan pemerintah dari Kabupaten Minahasa Utara dalam

proses mediasi dan dialog tersebut.

Sebelum melakukan dialog, beberapa anggota komunitas adat secara kolektif

melakukan tarian Kawasaran di depan Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Utara.

Tarian Kawasaran adalah tarian perang tradisional Minahasa yang berfungsi

sebagai penunjuk jalan dan perintis jalan. Dengan melakonkan tarian Kawasaran

menjadi simbol masyarakat melakukan peperangan terhadap jiwa keserakahan dan

bagi oknum-oknum yang berusaha menghancurkan Waruga. Tarian ini juga

menunjukkan bahwa eksistensi keminahasaan itu masih dan akan terus ada.

Dalam pengertian yang lain pula, tarian Kawasaran berada di posisi terdepan

untuk menuntun masyarakat agar proses mediasi berlangsung lancar dan damai.

Menurut informan, ketika memasuki Kantor Dewan, masyarakat memiliki rasa

kecewa dan kemarahan yang sangat besar terhadap pemerintah. Karena itu, tarian

Kawasaran berperan sebagai penengah atas persoalan yang terjadi antara

masyarakat dan pemerintah.105

Perlawanan ini juga dilakukan di tempat-tempat

yang dapat menarik perhatian banyak orang seperti di pusat kota Manado yakni

daerah pertokoan modern yang berada di Jl. Boulevard Manado. Dalam aksinya,

setiap anggota masyarakat memegang sebuah kertas dengan tulisan #SaveWaruga

#SaveTanahAdat.

104 Hasil Wawancara dengan Rikson Karundeng (Pemerhati Budaya Minahasa dan

Gerakan Minahasa Muda), 26 Juli 2019, pukul 14:30 WITA di Kota Tomohon.

105

Hasil Wawancara dengan Juan Ratu (Pemerhati Budaya Minahasa), 24 Juli 2019,

pukul 14:00 WITA, di Kota Manado.

Page 49: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

92

Gambar 8. Tarian Kawasaran sebelum proses mediasi di Kantor Dewan

(kiri); Masyarakat adat melakukan aksi #SaveWaruga (kanan) dengan

melakonkan Tarian Kawasaran di sekitar pertokoan modern di Kota Manado.

Sumber: Dokumentasi oleh Rikson Karundeng106

3.5.4 Perlawanan berbasis Seni dan Sastra

Masyarakat adat dan pemerhati budaya juga melakukan perlawanan yang

berbasis pada sastra dan budaya. Respon masyarakat bukan hanya aksi secara

langsung tapi melalui seni. Melalui komunitas Mawale Movement, anggota-

anggota yang mempunyai minat di bidang seni memiliki tujuan: (1) Menanamkan

kembali spirit keminahasaan: (2) Menyorot isu-isu kebudayaan yang terjadi di

Minahasa.107

Dinamika pembangunan yang terjadi di Minahasa Utara membuat

komunitas seni ini menggambar sebuah lukisan, seperti berikut:

106 Rikson Childwan Karundeng, Album Foto “Save Waruga, Save Minahasa”.,

https://www.facebook.com/rikson.karundeng/media_set?set=a.10209668856135757&type=3

diakses pada tanggal 17 Juli 2019, pukul 18:00 WITA.

107

Hasil Wawancara dengan Charlie Samola (Anggota Komunitas Masyarakat Adat

Mawale Movement), 18 Juli 2019, pukul 17:11 WITA, di Kota Manado.

Page 50: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

93

Gambar 9. “Mawalui” karya Charlie Samola.

Mawalui berarti orang yang kelihatannya berasal dari Minahasa, tapi

memiliki kepentingan di baliknya dan suatu saat akan berkhianat. Gambar yang

menyerupai „hantu‟ tersebut merupakan simbol dari suatu kekuasaan atau energi

yang sangat kuat dan orang Minahasa tidak mampu untuk melawan. Menurut

informan, komunitas sastra memiliki harapan bahwa karya mereka akan

memberikan penyadaran kepada seluruh masyarakat Minahasa tentang pentingnya

budaya sebagai jati diri dan identitas orang Minahasa.108

Melalui gambar ini juga

hendak memberi peringatan agar kasus seperti pembangunan di Minahasa Utara

dan ketidakpedulian kultural ini tidak akan pernah terjadi lagi. Selain itu, gambar

ini memberikan pemahaman kepada generasi muda yang tak lagi peduli dengan

budaya karena adanya pengaruh modernisasi yang menimbulkan sikap

“pembiaran budaya”. Hal tersebut menyebabkan krisis identitas dari seluruh

masyarakat Minahasa.109

108 Hasil Wawancara dengan Charlie Samola (Anggota Komunitas Masyarakat Adat

Mawale Movement), 18 Juli 2019, pukul 17:11 WITA, di Kota Manado.

109

Hasil Wawancara dengan Charlie Samola (Anggota Komunitas Masyarakat Adat

Mawale Movement), 18 Juli 2019, pukul 17:11 WITA, di Kota Manado.

Page 51: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

94

3.5.5 Mulut Ke Mulut, Media Sosial, Lagu “Rumah Jiwa”

Dampak pembangunan ini ternyata tidak main-main. Informasi mengenai

pembangunan dan hancurnya situs Waruga mewabah yakni dengan istilah mulut

ke mulut masyarakat Minahasa bahkan di dalam media sosial. Menurut informan,

mulut ke mulut ini merupakan cara tua dan sederhana dari masyarakat sehingga

masyarakat yang sejak awal tidak menaruh perhatian mengenai adat dan budaya

Minahasa ikut mencari informasi lebih mendalam mengenai persoalan

pembangunan yang terjadi.110

Diskusi-diskusi, seminar dan focus group

discussion (FGD) mulai bermunculan akibat dari pembangunan tersebut, seperti

Diskusi Ilmiah yang bertemakan “Waruga, mau ke mana?” yang dimediasi oleh

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Sam Ratulangi Manado, Forum Bakudapa “Selamatkan

Waruga”, dan lain-lain sebagainya. Hasil dari diskusi tersebut dilanjutkan dengan

aksi oleh masyarakat dengan kembali mengunjungi situs-situs dan benda-benda

purbakala seperti Waruga dan melakukan perawatan (ba bersih). Mereka telah

kehilangan kepercayaan kepada pemerintah sehingga tidak lagi menunggu janji

pemerintah untuk menindaklanjuti mengenai keberadaan Waruga. “Hari ini kita

bicara baik-baik, besoknya mereka langsung bongkar”.111

Karena itu, muncul

inisiatif dari berbagai kalangan komunitas untuk meninjau warisan budaya yang

ada di Minahasa. Selain itu, masyarakat Minahasa juga menciptakan sebuah lagu:

110 Menurut informan, masyarakat juga yang awalnya merasa budaya dan adat Minahasa

sebagai sesuatu yang menjijikan, ikut dalam pencarian informasi bahkan mulai mencintai budaya

Minahasa - Hasil Wawancara dengan Juan Ratu (Pemerhati Budaya Minahasa), 24 Juli 2019,

pukul 14:00 WITA, di Kota Manado.

111

Hasil Wawancara dengan Juan Ratu (Pemerhati Budaya Minahasa), 24 Juli 2019,

pukul 14:00 WITA, di Kota Manado.

Page 52: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

95

Di masa lampau itu keringat darah terbuang dan

Tanah pijakan ini pengorbanan

Terima kasih mereka atas kedamaian ini

Ketenangan sukacita kami.

*Reff:

Saudara lihatlah sejenak Rumah Jiwa para leluhur kita

Mengenang semua terlintas angin

Hati menangis bangga menatap kita.

Kini raga terkulai, tulang gigi tersebar.

Suara hati kami terabaikan!

Dengarkan jerit kami, dengarkan tangis kami!

Ketenangan sukacita kami*.

(Ciptaan: Andre Lengkong)

Sebuah lagu dan video diciptakan oleh masyarakat Minahasa sebagai bagian

dari ekspresi kekecewaan dan kesedihan mereka terhadap tindakan pembangunan

yang menggusur jati diri mereka. Lagu ini ternyata berdampak bagi orang-orang

yang bukan berasal dari Minahasa. Mereka menyatakan kepedulian mereka

dengan budaya Minahasa. Salah satunya ialah seseorang yang berasal dari

Sangihe ketika mendengar lagu “Rumah Jiwa” secara spontan teringat dengan

leluhurnya di tanah Sangihe bahkan langsung memberi diri untuk menyanyikan

lagu ini dan dimasukan dalam bentuk video tersebut ke dalam dunia maya. Video

dan lagu tersebut diunggah di sosial media dan You Tube.112

Lagu ini juga

dinyanyikan dalam festival budaya Minahasa seperti festival Kimuwu.113

Adapun

propaganda media melalui video yang disebarluaskan dengan #SaveWaruga

#SaveTanahAdat. Dari seluruh masyarakat adat se-nusantara dan Aliansi

Masyarakat Adat Nusantara bahkan film dokumenter #SaveWaruga “Rumah Jiwa

112 Minahasa Poenya, “Lagu Minahasa – Rumah Jiwa”,

https://www.youtube.com/watch?v=_AX09yP4Lq8 Published on Oct 16, 2018, diakses pada

tanggal 16 Juli 2019, pukul 19:30 WITA dengan 2.151 views.

113

Hasil Wawancara dengan Andre Lengkong (Pemerhati Budaya Minahasa), 1 Agustus

2019, pukul 15:18 WITA, di Kota Manado.

Page 53: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

96

Leluhur”.114

Masyarakat nusantara tersebut dari Kalimantan Barat, Kalimantan

Tengah, Jawa Timur, Bogor, Palu, Halmahera, Lombok, Goa, Sumatera Utara,

Palembang, Jawa Barat, Maluku Utara, Maluku Tengah dan juga Swiss

menyatakan mendukung gerakan masyarakat Minahasa “Selamatkan Waruga!”

serta mendukung kembalinya jati diri Minahasa. Mereka juga menyatakan bahwa

pengrusakkan Waruga adalah bunuh diri.115

Tragis! Hampir seluruh ingatan tentang jati diri telah

dirampas oleh era kolonial hingga kini.

Ini merupakan tindakan kurang ajar! Bentuk penghinaan

terhadap orang Minahasa Pengrusakkan secara sistematis

ini akan selalu kami tolak!

I Yayat U Santi!116

Beberapa kali kami mencoba melawan, tapi apalah daya

tangan kapitalis terlalu besar!

3.5.6 Perlawanan Alam

Dalam pemahaman masyarakat Minahasa khususnya masyarakat adat,

Waruga bukanlah kubur biasa, tapi Waruga itu sakral. Menurut para informan,

mereka memaknai ketika ada yang mengganggu, merusak, mencuri, bahkan tidak

menghormati Waruga maka akan ada dampak yang serius. Persoalan

pembangunan ini ternyata meninggalkan korban yang tidak sedikit, yakni 7

(tujuh) korban yang meninggal dunia.117

Ada yang mengalami sakit hingga pada

akhirnya meninggal. Selain itu, mesin yang dipakai dalam pembangunan dan alat

114 Armando Loho, “Film Dokumenter #SaveWaruga Rumah Jiwa Leluhur”,

https://www.youtube.com/watch?v=Uippp7e5Ol4&t=452s, published on Sept 24, 2019, diakses

pada tanggal 30 September 2019, pukul 00:34 WITA dengan 5.586 views.

115

Rikson Karundeng, “Masyarakat Adat Se-Nusantara Gugat Pengrusakkan Waruga”,

https://www.youtube.com/watch?v=yCLc8Y1tPAI, published on Aug 2, 2018, diakses pada

tanggal 23 Juli 2019, pukul 12:06 WITA dengan 1.575 views.

116

Akar Kanonang, “Waruga, Warisan Leluhur Minahasa Terancam”,

https://www.youtube.com/watch?v=04tiuGbnTuY&t=19s , published on Jul 19, 2018, diakses

pada tanggal 23 Juli 2019, pukul 11:00 WITA dengan 1.741 views.

117

Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 11 Juli 2019, pukul

18:18 WITA, di Sonder, Minahasa.

Page 54: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

97

berat seperti eskavator masing-masing mengalami kerusakkan. Masyarakat

meyakini hal tersebut adalah bagian dari karma karena menggerus Waruga dan

tanah leluhur mereka. Tetapi juga menjadi tanda untuk memberhentikan proyek

pemerintah ini. Ketika hal itu terjadi serta aksi yang dilakukan oleh masyarakat

Minahasa, selama 3 (tiga) bulan proyek tersebut terjeda untuk sementara waktu.

Menurut masyarakat adat dan lokal, waktu selesai relokasi Waruga Kina'engkoan,

badai dan hujan keras dari sore menjelang malam terjadi usai mengangkat Waruga

Kepala Walak Kalawat Atas, Dotu Makalew ne Wurangian Dua. Karena itu,

muncul istilah dari masyarakat yakni “Pinandeian Menangis”. Menurut kesaksian

warga sekitar, bagian tangan alat eskavator patah. Truk pekerja terperosok dan

para pekerja meninggal dunia akibat jatuh ke sungai, lalu diikuti longsor. Ada

juga penampakan nenek, penghuni negeri tua, Waruga yang bergerak serta

mengeluarkan suara, bahkan seseorang yang mengaku didatangi arwah leluhur.

Tak sampai di situ, seorang mantan pejabat Minahasa Utara, yang memfasilitasi

pemindahan waruga, tak berselang lama diberhentikan dan jatuh sakit. Seperti

yang telah disebutkan sebelumnya, ini merupakan fenomena yang diyakini oleh

masyarakat adat, karena karma.

3.6 Kesimpulan

Dalam penelitian ini didapati betapa dalamnya pemaknaan masyarakat

Minahasa terhadap warisan leluhur kubur batu Waruga. Waruga tidak hanya

dilihat dari objeknya, tapi nilai-nilai yang merefleksikan siapa, bagaimana dan jati

diri orang Minahasa serta tanah adat (kalekeran). Waruga merupakan memori atau

ingatan tentang para leluhur dengan nilai-nilai yang mereka tanamkan, sehingga

melalui ritual-ritual di sekitaran Waruga membuktikan masyarakat terus

Page 55: BAB 3 WARUGA DALAM BUDAYA MINAHASA, PEMBANGUNAN …

98

mempertahankan tradisi luhur Minahasa. Pemaknaan itu yang membuat

masyarakat mengeskpresikan kemarahan, kesedihan, kekecewaan dengan

melakukan perlawanan. Mereka bahkan bersedia untuk mengorbankan nyawa dan

bentrok dengan aparat keamanan demi menjaga ikatan dari generasi ke generasi

dengan para orangtua (leluhur). Selain dengan tujuan menolak dan mengutuk

tindakan pemerintah atas pembangunan yang menghancurkan warisan leluhur

Minahasa, mereka juga berkeinginan agar melalui aksi memberi peringatan

kepada seluruh masyarakat Minahasa bahwa lambat laun pijakan, identitas

kultural serta jati diri tentang siapa orang Minahasa akan semakin hilang.

Masyararakat memang tidak bisa menahan lajunya modernitas dan pembangunan,

namun pembangunan yang tidak melihat tradisi dan kepercayaan adalah bukti

Minahasa sedang dihancurkan perlahan-lahan.