Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Halusinasi
1. Pengertian Halusinasi
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana
klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu
penerapan pancaindra tanpa ada rangsangan dari luar atau suatu
penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui pancaindra tanpa
stimulus eksternal: persepsi palsu (Maramis, 2009). Halusinasi adalah
pengalaman pancaindra tanpa adanya rangsangan (stimulus) misalnya
penderita mendengar suara-suara, bisikan ditelinganya padahal tidak ada
sumber dari suara bisikan itu (Hawari, 2012).
Halusinasi juga merupakan gejala dari beberapa gangguan psikiatrik,
seperti skizofrenia, gangguan skizoniform, gangguan skizoafektif, mania,
depresi psikotik, gangguan kepribadian ambang, psikosis reaktif sejenak,
dan gangguan psikotik yang disengaja (Nevid, 2005).
Halusinasi pada orang-orang yang tidak mengalami kondisi psikiatri
sering kali dipicu oleh stimulasi sensoris dalam tingkat rendah yang tidak
biasa (berbaring dalam kegelapan diruangan yang kedap suara untuk
waktu yang lama) atau tingkat pengaktifan yang rendah. Tidak seperti
individu yang psikotik, orang-orang tersebut menyadari bahwa halusinasi
mereka tidak nyata dan merasa dapat mengontrolnya (Nevid, 2005).
7
Orang-orang yang bebas dari gangguan psikologis terkadang
mengalami halusinasi dalam rangka pengalaman religius atau ritual.
Partisipan dalam peristiwa semacam ini mungkin melaporkan keadaan
seperti kerasukan yang cepat dengan penglihatan atau persepsi lain yang
berbeda. Kita semua mengalami halusinasi diwaktu malam, jika kita
menganggap mimpi sebagai sebuah bentuk halusinasi (pengalaman
persepsi tanpa adanya stimulus dari luar) (Nevid, 2005).
Halusinasi mungkin juga terjadi sebagai respons terhadapat obat-
obatan halusinogenik, seperti Lysergic syntetic diethylamide (LSD).
Halusinasi juga mungkin terjadi selama reaksi berkabung. Ketika
bayangan orang yang meninggal tampak, dan dalam kondisi yang sangat
menimbulkan stress lainnya. Pada kebanyakkan kasus halusinasi yang
dibangkitkan oleh duka cita dapat dibedakan dari halusinasi psikotik
dimana individu dapat membedakannya dari realitas (Nevid, 2005).
Halusinasi merupakan gejala psikotik, keberadaannya memerlukan
suatu diagnosis sebelum pengobatan dapat diberikan. Halusinasi visual,
olfaktorik, dan gustatorik paling sering dijumpai pada gangguan organik
(contoh, pada epilepsi temporalis). Halusinasi taktil berupa kutu yang
merayap diatas atau di bawah kulit (formikasi) sering dijumpai pada
keadaan intoksikasi kokain, keadaan putus alkohol dan hipnotika-sedatif.
Halusinasi yang timbul hanya pada saat pasien tidur (hipnagogik) atau saat
terbangun dari tidur (hipnopompik) biasanya dianggap tidak patologik
(David, 2004).
8
Intoksikasi dengan halusinogenika, kokain, amfetamin atau
stimulansia lain dapat menyebabkan halusinasi, demikian juga peristiwa
putus zat alkohol, dan hipnotika-sedatif. Banyak medikasi lain dapat
menyebabkan timbulnya halusinasi sebagai efek samping. Kondisi
gangguan organik seperti epilepsi sering terkait dengan halusinasi juga.
Derilium juga dapat disertai oleh halusinasi sebagai gambaran klinis. Obat
yang digunakan untuk mengobati penyakit Parkinson (contoh, L-dopa
[Larodopa, Dopar] dapat menyebabkan juga halusinasi (David, 2004).
B. Konsep Dasar Skizofrenia
1. Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia berasal dari dua kata “skizo” yang artinya retak atau pecah
(spilit), dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang
menderita gangguan jiwa skizofrenia adalah orang yang mengalami
keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (spliting of personality)
(Hawari, 2012). Skizofrenia merupakan gangguan psikiatrik yang ditandai
dengan disorganisasi pola pikir yang signifikan dan dimanisfestasikan
dengan masalah komunikasi dan kognisi, gangguan presepsi terhadap
realitas yang dimanifestasikan dengan halusinasi dan waham, dan
terkadang penurunan fungsi yang signifikan (O’brien, 2013). Skizofrenia
adalah sautu penyakit yang mempengaruhi dan menyebabkan timbulnya
pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu,
skizofrenia tidak dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom atau proses
penyakit yang mencakup banyak jenis (Videbeck, 2011).
9
Skizofrenia merupakan sekelompok gangguan psikotik, dengan
gangguan dasar pada kepribadian, distorsi khas pada proses pikir. Kadang-
kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh
kekuatan dari luar. Gangguan skizofrenia pada umumnya ditandai oleh
distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar dan khas, dan afek yang tidak
serasi (inappropriate) atau tumpul (blunted) (Sani, 2011).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa skizofrenia
merupakan sindrom dengan berbagai macam penyebab dan perjalanan
yang banyak dan beragam, dimana kepribadian mengalami keretakan,
alam pikir, perasaan, dan perbuatan individu terganggu. Pada orang
normal, alam pikiran, perasaan, dan perbuatan ada kaitannya atau searah,
tetapi pada klien skizofrenia ketiga alam itu terputus, baik satu maupun
semuanya.
2. Psikodinamika Skizofrenia
Sindrom gejala yang kompleks pada skizofrenia memunculkan
berbagai faktor tentang etiologi gangguan skizofrenia :
a. Faktor predisposisi
Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya
respon neurobiologi seperti:
1) Faktor genetik
Sebagai besar penelitian mengindikasikan hubungan genetik dan
pola familial. Semakin dekat hubungan darah dengan individu yang
menderita skizofrenia, semakin tinggi risiko genetik terhadap
10
skizofrenia. Penelitian yang paling penting memusatkan pada
penelitian anak kembar yang menunjukkan bahwa kembar identik
(kembar monozigot) berisiko mengalami gangguan skizofrenia
sebesar 50%, sedangkan kembar fraternal (kembar dizigot) berisiko
hanya 15%. Hal ini mengindikasikan bahwa skizofrenia sedikit
diturunkan. Penelitian penting lain menunjukan bahwa anak-anak
yang memiliki satu orang tua biologis penderita skizofrenia memiliki
resiko 15%, angka ini meningkat sampai 35% jika kedua orang tua
biologis menderita skizofrenia (Videbeck, 2011).
2) Faktor struktur dan fungsi otak (neuroanatomi)
Hipotesis perkembangan saraf dalam perkembangan skizofrenia
didasarkan pada observasi skizofrenia pada bayi yang terpajan
dengan infeksi virus pada trimester kedua serta tanda neurologis
ringan yang ditemukan ketika mengevaluasi klien skizofrenia. Faktor
perkembangan, struktur saraf, biokimia, dan lingkungan
mempengaruhi kemampuan individu dalam memproses informasi.
Masalah dalam memfokuskan perhatian, mengkaji stimulus, dan
menetapkan makna afek terhadap pengalaman dapat menggangu
kognisi dan menghambat kemampuan berinteraksi secara afektif
dengan lingkungan. Faktor hambatan dalam memproses informasi
terus terjadi karena ketidakmampuan memodulasi stresor biologis
(O’Brien, 2013).
11
3) Faktor neurotransmiter (neurokimia)
Penurunan aktivitas lobus frontal pada klien skizofrenia
dianggap berkaitan dengan penurunan aktivitas glutamatergik dan
dengan gejala negatif serta defisit kognitif. Peningkatan aktivitas
dopamin mesolimbik diperkirakan berkaitan dengan efek
farmakologis obat antipsikotik dalam memblok dopamin dan
pengaruh obat tersebut pada berbagai sistem neurotransmiter
(Kaplan, 2010).
4) Faktor psikososial
Menurut teori psikoanalisis, kerusakan yang menentukan
penyakit mental adalah gangguan dalam organisasi „ego‟. Gangguan
ini terjadi sebagai akibat distorsi dalam hubungan timbal balik antara
bayi dan ibunya, dimana si anak tidak dapat berkembang melampui
fase oral dari perkembangan jiwanya. Didapati juga bahwa penderita
skizofrenia tidak pernah dapat mencapai hubungan yang erat dengan
ibunya pada masa bayinya. Beberapa psikoanalisis beranggapan
bahwa gangguan pada fungsi ego seseorang dapat menyebabkan
perasaan bermusuhan. Distorsi hubungan ibu-bayi ini kemudian
mengakibatkan terbentuknya suatu kepribadian yang peka terhadap
stress. Teori psikoanalis beranggapan bahwa berbagai gejala
skizofrenia mempunyai arti simbolik untuk si penderita secara
individu (Simanjutak, 2008).
12
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi disebut juga faktor pencetus respon neurobiologis
meliputi:
1) Lingkungan
Faktor lingkungan yang menjadikan pencetus terjadinya
skizofrenia lingkungan yang mempengaruhi atau menimbulkan
penyakit diantara lain: ekonomi, pendidikan, masalah rumah tangga,
kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan hidup, pola
aktivitas sehari-hari, kesukaran berhubungan dengan orang lain,
isolasi sosial, kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja, stigmasiasi,
kemiskinan, kurangnya alat transportasi dan ketidakmampuan
mendapatkan pekerjaan (Simanjutak, 2008).
2) Sikap/perilaku
Sikap/perilaku juga menjadikan pencetus skizofrenia. Karena
sikap atau perilaku timbul terdapat merasa tidak mampu, tekanan
psikologis, putus asa, merasa gagal, kehilangan kendali diri
(demoralisasi), merasa punya kekuatan berlebihan dengan gejala
tersebut, merasa malang, dari segi usia maupun kebudayaan,
rendahnya kemampuan sosialisasi, perilaku agresif, perilaku
kekerasan, ketidak adekuatan pengobatan dan ketidak adekuatan
penanganan gejala stresor seseorang terpaksa mengadakan adaptasi
(penyesuain diri) untuk menanggulangi stresor (tekanan) yang
timbul. Namun, tidak semua orang mampu mengadakan adaptasi dan
13
mampu menanggulanginya, sehingga dampak dari stresor yang ada
berdampaklah seseorang terkena skizofrenia (Hawari, 2012).
Dari penyebab skizofrenia diatas dapat disimpulkan bahwa
skizofrenia. Sampai sekarang belum diketahui dasar penyebab
skizofrenia secara pasti. Dapat dikatakan bahwa faktor keturunan
mempunyai pengaruh. Faktor yang mempercepat, yang menjadikan
manifestasi atau faktor pencetus atau presipitasi faktor seperti
penyakit badaniah atau stress psikologis, biasanya bisa menyebabkan
skizofrenia (Maramis,2009).
3. Perjalanan Penyakit Skizofrenia
a. Fase prodomal
Gangguan skizofrenia dapat menyerang secara tiba-tiba dan
berlangsung dalam beberapa hari. Penderitanya mungkin mengalami
penurunan fungsi-fungsi tertentu, seperti fungsi perawatan diri, sosial,
waktu luang, pekerjaan atau pendidikan akademik.
Berlangsung antara 6 bulan sampai 1 tahun
1) Gangguan dapat berupa self care, gangguan dalam akademik,
gangguan dalam pekerjaan.
2) Gangguan fungsi sosial, gangguan pikiran dan persepsi. Perlahan-
lahan ini akan menggangu individu serta membuat resah keluarga
dan teman, mereka akan mengatakan “orang ini tidak seperti yang
dulu”. Semakin lama fase prodomal semakin buruk prognosisnya
14
seperti pemburukan perilaku menarik diri dan penurunan aktivitas
yang biasa dilakukan mulai tampak(Copel, 2007).
Ciri-ciri umum pada fase prodromal antara lain :
1) Berhenti memperhatikan dan mempedulikan penampilan dan
kebersihan, seperti lupa mandi, lupa tidur, atau lupa makan.
2) Sering mengalami kebingungan.
3) Berbicara tidak jelas dan serampangan.
4) Prestasi sekolah atau pekerjaan secara drastis menurun.
5) Sering melakukan kesalahan, seperti sering terlambat datang kerja,
sering ceroboh, dan kurang konsentrasi.
6) Sering melakukan aktivitas yang aneh, seperti berpakaian aneh atau
tidak pas dengan situasi dan berjalan tanpa busana.
7) Senang memungut sampah.
b. Fase aktif
1) Berlangsung kurang lebih 1 bulan.
2) Gangguan dapat berupa gejala psikotik antara lain :
Delusi, disorganisasi proses berfikir, gangguan bicara, gangguan
perilaku, disertai kelainan neurokimiawi. Pada fase ini penderitanya
harus diberikan asuhan keperawatan yang bersifat hospitalistik,
seperti terapeutik psikiatrik. Bila tidak diberikan, gejala-gejala
tersebut dapat hilang secara spontan tetapi suatu saat mengalami
eksaserbasi (terus bertahan dan tidak dapat disembuhkan). Fokus
asuhan keperawatannya adalah rehabilitasi psikiatrik terutama pada
15
pikiran, perasaan, dan perilaku. Fase aktif akan diikuti oleh fase
residual (Videbeck, 2011).
c. Fase residual
Tipe ini merupakan sisa-sisa (residu) dari gejala skizofrenia yang
tidak begitu menonjol. Misalnya, alam perasaan yang tumpul dan
mendatar serta tidak serasi (inappropriate), penarikan diri, pikiran tidak
logis dan tidak rasional.
Klien mengalami minimal 2 gejala antara lain:
Gangguan afek dan gangguan peran, serangan biasanya berulang.
Fase ini memiliki gejala-gejala yang sama dengan fase prodomal tetapi
gejala positif/psikotiknya sudah berkurang. Perjalanan skizofrenia tidak
menunjukan gejala yang sama pada setiap pasien, bila deteriorasinya.
Beberapa pasien dapat pulih total setelah jangka waktu yang lama
dengan terapi yang baik berkelanjutan termasuk terapi pemeliharaan.
Pengetahuan mengenai perjalan penyakit sangat penting untuk
perencanaan terapi. Perjalanan penyakit yang berbeda-beda,
mencerminkan perbedaan dari kelompok skizofrenia (Ibrahim,2011).
4. Kriteria Diagnostik
Pasien dikatakan skizofrenia apabila termasuk dalam kriteria diagnostik
(DSM IV TR) :
1. Gejala-gejala yang khas : 2 atau lebih dari gejala berikut yang
bermakna dalam periode 1 bulan (atau kurang jika berhasil diterapi):
16
a. Waham.
b. Halusinasi.
c. Pembicaraan yang janggal (mis. sering derailment atau
inkohorensia).
d. Perilaku janggal atau katatonik
e. Adanya gejala negatif (seperti afek datar,alogia,abulia).
Catatan : Hanya satu dari kriteria A yang diperlukan jika wahamnya
janggal atau jika halusinasinya berupa suara yang terus menerus
mengomentari tingkah laku atau pikiran yang bersangkutan atau
berisi 2 (atau lebih) suara-suara yang saling bercakap-cakap.
2. Disfungsi sosial atau pekerjaan: 1 atau lebih dari area fungsional utama
menunjukkan penurunan nyata di bawah tingkat yang dicapai sebelum
onset dalam suatu rentang waktu yang bermakna sejak onset gangguan
(atau bila onset pada masa anak-anak atau remaja terdapat kegagalan
pencapaian tingkat interpersonal, akademik atau okupasi lainnya) seperti
pekerjaan, hubungan interpersonal atau perawatan diri.
3. Durasi: tanda-tanda gangguan terus berlanjut dan menetap sedikitnya 6
bulan. Periode 6 bulan ini meliputi 1 bulan gejala-gejala fase aktif yang
memenuhi kriteria A (atau kurang bila berhasil diterapi) dan dapat juga
mencakup fase prodromal atau residual. Selama berlangsung. fase
prodormal atau residual ini, tanda-tanda gangguan dapat bermanifestasi
hanya sebagai gejala-gejala negatif saja atau lebih dari atau 2 dari gejala-
gejala dalam kriteria A dalam bentuk yang lebih ringan (seperti
17
kepercayaan-kepercayaan ganjil, pengalaman perseptual yang tidak
biasa).
4. Penyingkiran skizofektif dan gangguan mood: Gangguan skizoafektif dan
mood dengan gambaran psikotik dikesampingkan karena : (1) tidak ada
episode depresi, mania atau campuran keduanya yang terjadi bersamaan
dengan gejala-gelala fase aktif, (2) jika episode mood terjadi intra fase
aktif maka perlangsungannya relatif singkat dibanding periode fase aktif
dan residual.
5. Penyingkiran kondisi medis dan zat: Gangguan ini bukan disebabkan oleh
efek fisiologis langsung dari suatu zat (seperti obat-obatan medikasi atau
yang disalah gunakan) atau oleh suatu kondisi medis umum.
6. Hubungan dengan suatu gangguan perkembangan pervasif: Jika terdapat
riwayat autistik atau gangguan pervasif lainnya maka tambahan diagnosa
skizofernia hanya dibuat bila juga terdapat delusi atau halusinasi yang
menonjol dalam waktu sedikitnya 1 bulan (atau kurang jika berhasil
diterapi).
5. Tanda dan Gejala Skizofrenia
a. Gejala positif
1) Halusinasi, yaitu pengalaman pancaindra tanpa ada rangsangan
(stimulus) misalnya, penderita mendengar suara-suara atau bisikan-
bisikan ditelinganya padahal tidak ada sumber dari suara atau bisikan
itu (Videbeck, 2008).
18
2) Delusi atau waham yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional (tidak
masuk akal). Meskipun telah dibuktikan secara objektif bahwa
keyakinannya itu tidak rasional, namun penderita tetap menyakini
kebenarannya. Umumnya waham muncul dalam bentuk waham
kejar, waham kebesaran, atau waham menyangkut diri sendiri.
Waham dapat terjadi pada penyakit psikotik lainnya, sedangkan
kesan klinik menunjukan waham yang terdapat pada skizofrenia
umumnya lebih bizar (aneh) (Copel, 2007).
3) Kekacauan alam pikiran, yaitu dapat dilihat dari isi pembicaraanya.
Misalnya bicaranya kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur
pikirannya (Ibrahim, 2011).
4) Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar mandir, agresif, bicara
dengan semangat dan gembira berlebihan (O’brien, 2013).
b. Gejala Negatif
Gejala-gejala negatif yang diperlihatkan pada penderita skizofrenia
adalah sebagai berikut:
1) Pendataran afektif (ekspresi afektif/ hidup emosi) merupakan
ekspresi perasaan yang tampil sesaat dari perasaan seseorang pada
waktu pemeriksaan dan merupakan penyelarasan yang langsung
daripada hidup mental dan instingual, penderita skizofrenia respon
emosional yang tidak sesuai, alam perasaan yang datar tanpa
ekspresi serta tidak serasi, maupun afek klien dangkal (Ibrahim,
2011). Pendataran afek pada penderita skizofrenia meliputi :
19
a) Tidak ada atau kehilangan dorongan kehendak (avoliotion) dan
tidak ada inisiatif, tidak upaya dan usaha, tidak ada spontanitas
menonton, serta tidak ingin apa-apa dan serba malas (kehilangan
nafsu).
b) Ekspresi wajah yang tidak berubah.
c) Penurunan spontanitas gerak.
Berkurangnya pembicaraan spontan atau gerakan dan tidak
adanya tingkah laku yang bertujuan, termasuk gerak-gerakan
yang kurang luwes atau kaku, merupakan tanda penurunan
spontanitas gerak.
d) Hilangnya gerakan ekspresif.
Penderita acuh tak acuh terhadap hal penting untuk dirinya.
e) Kontak mata yang minim
Pada penderita skizofrenia terutama pada tipe hebefrenik seringai-
seringai wajah yang sangat khas disertai kontak mata yang minim
ditemukan pada tipe ini.
f) Non-responsivitas afektif
Penderita skizofrenia dengan pendataran afektif tampak kaku
dalam penggambaran respon wajahnya, yang terlihat dalam
bentuk kurangnya respon gerakan, seperti misalnya sukar
tersenyum.
20
g) Afek yang tidak sesuai
Afek yang tidak sesuai apabila ekspresi afektifnya tidak sesuai
dengan pikiran yang dipikirkan dan muncul tidak sesuai dengan
suara hati yang sedang dialaminya..
h) Tidak ada lagu suara
Pada saat pembicaraan, intonasi tampak monoton. Lagu suara
dikatakan tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan dan hati yang
sedang disandangnya.
2) Alogia
a) Kemiskinan bicara
Berkurangnya pengolahan atau peumusan ide-ide dan miskinnya
pengetahuan yang akan menyebabkan gangguan dalam bahasa.
b) Kemiskinan isi bicara
Pikiran yang tidak logis dan kemiskinan pikiran membuat isi
bicara penderita skizofrenia menjadi kacau dan sukar dimengerti.
c) Penghambatan
Penghambatan (blocking) adalah keadaan dimana pikiran
mendadak berhenti seolah-olah berhadapan dengan sebuah
tembok. Pikirannya menjadi kosong dan timbul pikiran baru yang
sama sekali berbeda dengan pikiran semula (Hawari, 2012).
21
3) Tidak ada kemauan (apatis)
a) Berdandan dan higinis
Terdapat penurunan dalam fungsi rutin sehari-hari seperti mandi,
menyisir rambut, gosok gigi dan tidak memperdulikan kerapian
diri atau berpakaian.
b) Tidak tetap dalam pekerjaan atau sekolah
Penderita skizofrenia yang mengalami gangguan pada penilaian
realitasnya akan mengakibatkan turunnya fungsi personal dan
sosialnya. Biasanya pasien tidak mampu melakukan pekerjaan
dengan baik. Pada anak dan remaja yang menderita skizofrenia
ditandai dengan gangguan belajar, dan turunnya hubungan sosial
dan prestasi akademik sekolahnya.
c) Anergia fisik
Banyak penderita skizofrenia mengalami kelemahan dalam
kemauan. Mereka tidak dapat mengambil keputusan, tidak
bertindak dalam suatu keadaan, terkadang terdapat
ketidakwajaran aktivitas psikomotor seperti berdiam diri.
d) Anhodia-asosalitas
Anhodia-asosalitas adalah keadaan dimana seseorang tidak dapat
merasakan kesenangan atau kegembiraan dan terjadi penurunan
emosional dan terjadi penurunan emosional terhadap lingkungan
sekitarnya. Penderita skizofrenia cenderung untuk menarik diri
secara ekstrim dan hubungan sosial.
22
e) Hubungan dengan teman sebaya
Anak-anak dan remaja dengan skizofrenia cenderung memiliki
riwayat adanya penolakan sosial, hubungan dengan teman sebaya
yang buruk, perilaku menarik diri dan gangguan akademik.
f) Atensi
Atensi merupakan ikhtiar manusia yang dikerjakannya dalam
keadaan sadar. Guna mencurahkan tenaga/energi ke suatu objek
tertentu dan hal ini disadari oleh individu itu sendiri. Pada
penderita skizofrenia mengalami kehilangan atensi (Copel, 2007).
6. Klasifikasi Skizofrenia
Skizofrenia menurut DSM IV, Terdiri dari lima kategori, meliputi :
Skizofrenia terbagi dalam beberapa jenis berdasarkan gejala utama antara
lain:
a. Skizofrenia paranoid F20.0
Skizofrenia paranoid ditandai dengan kecurigaan terhadap orang
lain dan dengan halusinasi serta waham curiga (paranoid) dan waham
kebesaran. Individu sering kali tegang dan bersikap hati-hati serta
argumentatif, kasar, dan agresif (Kaplan, 2010). Jenis skizofrenia ini
sering mulai sesudah umur 30 tahun. Permulaannya mungkin sub akut,
tetapi mungkin juga akut. Kepribadian penderita sebelum sakit sering
dapat digolongkan skizoid. Mereka mudah tersinggung, suka
menyendiri, agak congkak dan kurang percaya pada orang lain.
23
Tipe ini paling stabil dan paling sering terjadi dan biasanya terjadi
lebih lambat dibandingkan dengan bentuk-bentuk skizofrenia lain.
Pasien harus menunjukan adanya waham yang konsisten, sering berupa
waham paranoid, dia dapat atau tidak bertindak terhadap waham
tersebut. Pasien sering tidak kooperatif dan sulit untuk bekerjasama dan
dapat menjadi agresif, marah atau ketakutan, tetapi pasien jarang sekali
memperlihatkan perilaku inkoheren atau disorganisasi (Maramis, 2009).
b. Skizofrenia hebefrenik atau tipe tak terorganisasi F20.1
Permulaannya perlahan-lahan atau sub akut dan sering timbul pada
masa remaja atau antaraa 15-25 tahun (Maramis, 2009).
Gambaran utama terdapatnya :
1) Inkoherensi yang jelas (pikiran yang “disorganized”)
2) Afek yang mendatar, tidak serasi (incongruous) atau ketololan-
tololan (silly). Sering disertai dengan cara tertawa kekanak-kanakan
(giggling), senyum yang menunjukkan rasa puas diri, atau senyum
yang hanya dihayati sendiri.
3) Tidak ada waham sistematis yang jelas, tetapi sering terdapat waham
atau
4) Halusinasi yang terpecah-pecah dan isi temanya tidak terorganisir
sebagai suatu kesatuan.
c. Skizofrenia katatonik F20.2
Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, dan biasanya
akut serta sering didahului oleh stres emosional. Merupakan salah satu
24
tipe skizofrenia yang gambaran klinisnya didominasi oleh suatu hal
berikut ini, yaitu :
1) Stupor katatonik
Paasien tidak berespons terhadap lingkungan atau orang.
Menunjukkan pengurangan hebat dalam reaktivitas terhadap
lingkungan dan atau pengurangan dari pergerakan. Walaupun
penampilan klinisnya demikian, pasien sering menyadari hal-hal
yang sedang berlangsung disekitarnya.
2) Kekakuan (rigiditas) katatonik
Mempertahankan sikap kaku terhadap semua upaya untuk
menggerakan dirinya.
3) Kegaduhan katatonik
Kegaduhan aktivitas motorik yang tidak bertujuan dan tidak
dipengaruhi oleh rangsangan yang datangnya dari luar.
4) Sikap tubuh katatonik
Secara sadar mengambil sikap tidak wajar atau aneh.
5) Kegembiraan katatonik
Pasien sangat aktif dan gembira. Mungkin dapat mengancam
jiwanya (misal, karena kelelahan) (Maramis, 2009).
d. Skizofrenia simplek atau tipe takterinci F20.3
Skizofrenia tak terinci umumnya ditandai perilaku tidak terarah di
karakteristik dari persepsi serta efek yang tak wajar, kemunduran
kongitif tertentu. Klien dengan skizofrenia paling sedikit dua gejala
25
dibawah ini yang terus ada secara jelas yaitu: halusinasi yang menetap
yang dan waham yang mengembang, arus pikir yang terputus (break)
atau yang mengalami sisipan, Perilaku katatonik seperti gaduh dan
gelisah (Kaplan, 2010).
e. Skizofrenia residual F20.5
Tipe ini merupakan sisa-sisa (residu) dari gejala skizofrenia yang
tidak begitu menonjol. Misalnya alam perasaan yang tumpul dan
mendatar serta tidak serasi (inappropriate), penarikan diri dari
pergaulan sosial, tingkah laku eksentrik, pikiran tidak logis dan tidak
rasional atau pelonggaran asosiasi pikiran (Hawari, 2012).
7. Penatalaksanaan Skizofrenia
a. Rawat inap
Rawat inap diindikasikan terutama untuk tujuan diagnostik untuk
stabilisasi pengobatan, untuk keamanan pasien karena adanya ide bunuh
diri atau pembunuhan, termasuk ketidakmampuan dalam mengurus
kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan. Rawat inap
mengurangi stress pasien dan membantunya menyusun aktivitas harian.
Keparahan penyakit pasien serta ketersediaan fasilitas rawat jalan
menentukan lamanya rawat inap. Rencana perawatan dirumah sakit
seyoginya berorientasi ke masalah praktis perawatan diri, kualitas
hidup, pekerjaan dan hubungan sosial. Perawatan dirumah sakit harus
diarahkan untuk mengikat pasien dengan fasilitas perawatan termasuk
26
keluarga pasien. Pusat perawatan dan kujungan keluarga pasien kadang
membantu pasien dalam memperbaiki kualitas hidup (Sadock, 2010).
b. Terapi biologis
1) Farmakoterapi
Dua kelompok utama obat digunakan untuk mengatasi gangguan
skizofrenia, yaitu tipikal dan atipikal. Agens tipikal adalah
neuroleptik sangat poten, seperti flufenazin (prolixin), haloperidol
(haldol), dan trifluoperazin (stelazin). Agen ini efektif memblok
reaksi dopamin diarea reseptor. Agens tipikal dianggap penting
dalam menahan gejala positif.
Agens atipikal adalah antagonis serotonergik-dopamin. Agens
ini termasuk risperidone (risperdal), olanzapine (zypreza), dan
kuetiapin (seroquel), memblok area serotonin dan dopamin tertentu.
Obat ini dimetabolisme dihati dan diekskresi oleh ginjal, sehingga
fungsi hati dan fungsi ginjal harus dipantau secara ketat. Agens
atipikal digunakan untuk mengatasi gejala positif dan negatif
(O’Brien, 2008).
Obat psikosis akut dengan obat antipsikotik, lebih disukai
dengan antispikotik “atipikal” baru (berkisaran dosis ekuivalen =
klorpromazin 300-600 mg/hari, kadang-kadang lebih). Rumatan
dengan dosis rendah antipsikotik diperlukan, setelah kekambuhan
pertama. Dosis rumatan sebaiknya diteruskan untuk beberapa tahun.
Ketidakpatuhan lazim terjadi (terutama pada subjek dengan
27
penyalahgunaan zat, sehingga depo flufenazin atau haloperidol
kerja-lama merupakan obat terpilih. Waspadai penggunaan dosis
berlebihan dalam jangka lama karena secara kronis dapat
menggangu fungsi pasien. Penambahan litium atau benzodiazepine,
misal diazepam 15-30 mg/hari atau klornazepam 5-15 mg/hari, pada
sub group skizofrenia (terutama pada pasien agitasi atau cemas)
dapat sangat berguna.
Standar emas baru adalah klozapin (clozaril), yaitu antipsikotik
yang mahal, berbahaya (tidak dapat diprediksi, berpotensi terjadi
agranulositosis letal) tetapi efektif, yang secara klinis memperbaiki
gejala dan diterima lebih baik (karena efek samping lebih ringan)
oleh 1/3 atau lebih pasien kronis refrakter. Dapat digunakan dengan
aman tanpa interupsi pemantauan jumlah sel darah putih setiap
minggu. Gunakanlah antipsikotik ini setelah gagal menggunakan
antipsikotik lain (tidak sebagai obat pertama) tetapi anda harus
memantaunya secara ketat (Muhith, 2015).
2) Terapi Elektrokonvulsif
Efektif pada sebagian pasien skizofrenia, khususnya sub tipe
katatonik. Pasien dengan lama penyakit kurang dari satu tahun
merupakan jenis skizofrenia yang paling responsif dengan pemberian
terapi elektrokonvulsif (Sani, 2011).
Terapi elektrokonvulsif (ECT) menginduksi kejang grand mal
secara buatan dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang
28
dipasang pada satu atau kedua pelipis. Jumlah terapi yang diberikan
dalam satu rangkaian bervariasi sesuai dengan masalah awal pasien
dan respon terapeutik yang dikaji selama terapi. Untuk pasien
skizofrenia jumlah terapinya 20-30 kali terapi. ECT biasanya
diberikan dua sampai tiga kali dalam seminggu dengan hari yang
bergantian walaupun terapi ini dapat diberikan lebih sering atau lebih
jarang.
Indikasi ECT adalah:
a) Pasien dengan penyakit depresif mayor yang tidak berespon
terhadap antidepresan atau yang tidak dapat meminum obat.
b) Pasien dengan gangguan bipolar yang tidak berespon terhadap
obat.
c) Pasien bunuh diri akut yang cukup lama tidak dapat menerima
pengobatan untuk mencapai efek terapeutik.
d) Ketika efek samping ECT yang diantisipasi kurang dari efek
samping yang berhubungan dengan terapi obat, seperti pada
pasien lansia, pasien dengan blok jantung, dan selama kehamilan.
Kontraindikasi ECT adalah :
a) Tumor intracranial
b) Kehamilan
c) Osteoporosis
d) Infark miokardium
e) Asma bronchial (Puri, 2011).
29
c. Terapi psikososial
Terapi psikososial mencakup berbagai metode untuk meningkatkan
kemampuan sosial, kecukupan diri, ketrampilan praktis, dan
komunikasi interpersonal pada pasien skizofrenia. Tujuannya adalah
memungkinkan seseorang yang sakit parah untuk membangun
keterampilan sosial dan keterampilan pekerjaan untuk hidup yang
mandiri (Sadock, 2010).
Secara umum tujuan psikoterapi adalah untuk memperkuat struktur
kepribadian, mematangkan kepribadian (maturing personality),
memperkuat ego (ego strength), meningkatkan citra diri (self
confidence), yang kesemuanya itu untuk mencapai kehidupan yang
berarti dan bermanfaat (meaning fullness of life).
1) Psikoterapi supportif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan dorongan,
semangat dan motivasi agar penderita tidak merasa putus asa dan
semangat juangnya (flighting spirit) dalam menghadapi hidup tidak
kendur dan menurun.
2) Psikoterapi re-edukatif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan pendidikan
ulang yang maksudnya memperbaiki kesalahan pendidikan diwaktu
lalu, dan pendidikan ini juga dimaksudkan mengubah pendidikan
lama dengan yang baru sehingga penderita lebih adaptif terhadap
dunia luar.
30
3) Psikoterapi kognitif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi
kognitif (daya pikir dan daya ingat) rasional sehingga penderita
mampu membedakan nilai-nilai moral etika mana yang baik dan
buruk, mana yang boleh dan tidak, mana yang halal dan haram dan
lain sebagainya (discriminative judgement).
4) Psikoterapi psiko-dinamik
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk menganalisis dan
menguraikan proses dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan
seseorang jatuh sakit dan upaya untuk mencari jalan keluarnya.
Dengan psikoterapi ini diharapkan penderita dapat memahami
kelebihan dan kelemahan dirinya dan mampu menggunakan
mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) dengan baik.
5) Psikoterapi perilaku
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan gangguan
perilaku yang terganggu (maladaptif) menjadi perilaku yang adaptif
(mampu menyesuaikan diri).
6) Psikoterapi keluarga
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan hubungan
penderita dengan keluarganya. Dengan psikoterapi ini diharapkan
keluarga dapat memahami mengenai gangguan jiwa skizofrenia dan
dapat membantu mempercepat penyembuhan pederita (Hawari,
2014).
31
C. Konsep Halusinasi Pada Skizofrenia
1. Pengertian Halusinasi pada Skizofrenia
Halusinasi merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada
klien dengan gangguan jiwa. Halusinasi identik dengan skizofrenia.
Seluruh klien dengan skizofrenia diantaranya mengalami halusinasi.
Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan
sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu pencerapan panca indera
tanpa ada rangsangan dari luar (Maramis, 1998). Pendapat (Neligh,1989)
yang menyatakan bahwa gangguan skizofrenia sering mengenai pada umur
dewasa, puncak umur wanita penderita skizofrenia berkisar 25-35 tahun
dan kira-kira pasien dalam masa pengobatan skizofrenia adalah antara
umur 15-55 tahun.
Orang tidak bekerja mempunyai kemungkinan lebih besar untuk
mengalami skizofrenia dibandingkan orang yang bekerja. Orang yang
tidak berkerja akan lebih mudah menjadi stress, hal ini berhubungan
dengan tinggi kadar hormone stress (kadar katekolamin) dan
mengakibatkan ketidakberdayaan (Mallet, 2002). Menurut pendapat
Alexander (2005) menyatakan bahwa wanita lebih mempunyai risiko
untuk menderita stress psikologik dan rentan terkena trauma.
Suatu penghayatan yang dialami seperti suatu persepsi melalui
pancaindra tanpa stimulus eksternal, persepsi palsu. Berbeda dengan ilusi
dimana klien mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus, salah
persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus eksternal yang
32
terjadi. Stimulus internal dipersepsikan sebagai suatu yang nyata ada oleh
klien (Maramis, 1998).
Klien yang mengalami halusinasi menunjukkan perubahan persepsi.
Meskipun halusinasi dapat terjadi pada semua modalitas sensori-auditori,
visual. olfaktori, gustatori, kinetik dan taktil. Namun, halusinasi
pendengaran lebih sering terjadi pada klien skizofrenia. Klien yang
mengalami halusinasi pendengaran biasanya melaporkan mendengar
suara-suara (pria atau wanita) yang berbeda dan terkadang “bicara” dalam
kalimat penuh atau perintah (Stuart, 2005). Pendapat (Noviandi,2008)
yang menyatakan lama perawatan pasien tergantung dari tingkat keparahan
pasien. Pasien dengan halusinasi rata-rata selama 1-21 hari dimana pada
hari tersebut pasien berupaya menggunakan teknik menghardik untuk
mengontrol halusinasinya.
Dari beberapa pengertian kesimpulan bahwa halusinasi adalah
penilaian yang salah dari yang dianggap ada sebenarnya tidak ada.
2. Rentang Respon Neurobiologi
Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang
berada dalam rentang respon neurobiologis. Ini merupakan respon persepsi
paling maladaptif. Jika klien sehat persepsinya akurat, mampu
mengidentifikasi dan menginterprestasikan stimulus berdasarkan informasi
yang diterima melalui pancaindra (pendengaran, penglihatan, penghidu,
pengecapan, dan perabaan), klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu
stimulus pancaindra walaupun sebenarnya stimulus tersebut tidak ada.
33
Respon individu (yang karena suatu hal mengalami kelainan persepsi)
yaitu salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya yang disebut
sebagai ilusi. Klien mengalami ilusi jika interpretasi yang dilakukan
terhadap stimulus pancaindra tidak akurat sesuai dengan stimulus yang
diterima. Rentang respon tersebut digambarkan seperti pada gambar di
bawah ini.
a. Respon adaptif
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman ahli.
4) Perilaku sesuai sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran.
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan.
b. Respon psikososial
Respon psikososial meliputi :
1) Proses pikiran terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan
gangguan.
2) Ilusi adalah miss intepretasi atau penilaian yang salah tentang
penerapan yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan
pancaindra.
3) Emosi berlebihan atau berkurang.
34
4) Perilaku tidak biasa.
5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan
orang lain.
c. Respon maladaptif
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
kenyataan sosial.
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi
eksternal yang tidak realita atau tidak ada.
3) Sulit merespon emosi
4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak teratur.
5) Isolasi sosial adalah kesendirian yang di alami individu dan diterima
sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan yang
negatif mengancam (Stuart, 2005).
3. Psikodinamika Halusinasi
Penyebab halusinasi adalah sebagai berikut :
a. Faktor predisposisi
Faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang
dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh
baik dari klien maupun keluarganya, mengenai faktor perkembangan
sosial kultural, biokimia, psikologis dan genetik yaitu faktor risiko yang
mempengaruhi jenis dan jumlah sumber risiko. Beberapa faktor
35
predisposisi yang berkontribusi pada munculya respon neurobiologi
seperti pada halusinasi antara lain :
1) Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol
dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri
sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentang
terhadap stress.
2) Faktor sosial kultural
Seseorang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada
lingkungannya.
3) Faktor biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya
stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia.
Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya
neurotransmitter otak.
4) Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh
pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat
demi masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan
lari alam nyata menuju alam khayal.
36
5) Faktor genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi
menunjukksn bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang
sangat berpengaruh pada penyakit ini (Stuart, 2012).
b. Faktor Presipitasi
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, perilaku merusak diri,
kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat
membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Masalah halusinasi
berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang individu sebgai makhluk
yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual
sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi yaitu :
1) Dimensi fisik
Manusia dibangun oleh sistem indra untuk menanggapi rangsang
eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat
ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar
biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi
alkohol, dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
2) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi
dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak
37
sanggup lagi menentang peritah tersebut hingga dengan kondisi
tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
3) Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan
halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada
awalnya, halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk
melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian
klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
4) Dimensi sosial
Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan
adanya kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan
halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri, dan harga diri yang
tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan kontrol
oleh individu tersebut sehingga jika perintah halusinasi berupa
ancaman, maka individu tersebut bisa membahayakan orang lain.
Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi
keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi
yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan,
serta mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu
berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
38
5) Dimensi spiritual
Manusia diciptakan tuhan sebagai makhluk sosial sehingga interaksi
dengan manusia lainya merupakan kebutuhan yang mendasar.
Individu tidak sadar dengan keberadaannya sehingga halusinasi
menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi
menguasai dirinya, individu kehilangan kontrol kehidupan dirinya.
Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup,
rutinitas, tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang
berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri, ia sering tidur larut
malam dan bangun sangat siang. Saat ia terbangun merasa hampa
dan tidak jelas tujuan hidupnya. Ia sering memaki takdir tetapi lemah
dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan orang
lain yang menyebabkan takdirnya memburuk (Stuart, 2005).
4. Jenis-jenis Halusinasi
Jenis-jenis halusinasi adalah :
a. Auditory : halusinasi pendengaran dimana seseorang mendengar suara-
suara contohnya, suara beisik atau suara-suara yang bicara tentang
pasien, suara perbincangan beberapa orang, suara yang membicarakan
apa yang pasien pikirkan suara memerintah dan kadang suara tersebut
memerintahkan pasien untuk melakukan sesuatu yang mungkin
berbahaya.
39
b. Visual : halusinasi penglihatan dimana seseorang melihat gambaran
mungkin dalam bentuk lintasan cahaya, gambaran geometris, gambaran
kartun, atau pandangan yang terperinci atau kompleks. Penglihatan
tersebut bisa jadi menyenangkan atau malah menakutkan misalnya
melihat monster.
c. Olfactory : halusinasi penghidu dimana seseorang membaui bau busuk,
sangat menjijikan, bau tengik seperti darah, air kencing atau kotoran
manusia tetapi kadang-kadang bau bisa menyenangkan. Halusinasi
penghidu umumnya berkaitan dengan stroke, tumor atau kejang.
d. Gustatory : halusinasi pengecap dimana seseorang merasa mengecap
sesuatu yang busuk, menjijikan, rasa tengik seperti darah, air kencing
dan kotoran manusia.
e. Tactile : halusinasi peraba dimana seseorang mengalami perasaan tidak
nyaman atau nyeri tanpa adanya rangsangan. Misalnya, merasakan
sensasi listrik datang dari tanah, objek mati atau orang lain.
f. Cenesthetik : halusinasi dimana seseorang merasa fungsi tubuhnya
sendiri misalnya seseorang merasakan darah mengalir melalui
pembuluh darah, merasakan bagaimana makanan dicerna dan
merasakan bagaimana pembentukkan air kencing.
g. Kinesthetic : halusinasi dimana seseorang mengalami sensasi
pergerakan saat berdiri tidak bergerak atau mungkin sebaliknya pada
saat bergerak tetapi merasa seperti hanya diam saja (Stuart, 2001).
40
5. Fase Halusinasi
Halusinasi intensif 1 (24jam pertama) dengan perilaku kelihangan
kontrol terhadap halusinasinya, halusinasi berupa hal yang menyenangkan
sehingga gejala dapat di temukan secara terus menerus pada pasien.
Penilaian realitas terganggu sehingga pasien tidak bisa membedakan yang
nyata maupun tidak nyata. Halusinasi internsif II (24-72 jam) dimana
pasien memiliki sikap curiga dan mulai bermusuhan, melebur dengan
halusinasinya, frekuensi munculnya halusinasi masih sering dan gambaran
yang dibentuk pasien semakin banyak terkadang pasien menutupi
halusinasi dengan orang sekitar. Halusinasi intensif III (72 jam-10hari)
halusinasi semakin tidak terkontrol, tetapi munculnya frekuensi halusinasi
lebih jarang, pasien berperilaku sesuai dengan menutupi munculnya
halusinasi, perasaan pasien cemas apabila halusinasi tidak muncul (Yusuf,
2015).
Halusinasi yang dialami klien bisa berbeda intensitas dan
keparahannya.
Terbagi 4 fase halusinasi berdasarkan tingkat ansietas yang dialami
dan kemampuan klien mengendalikan dirinya. Semakin berat fase
halusinasinya, klien semakin berat mengalami ansietas dan makin
dikendalikan oleh halusinasinya. 4 fase-fase halusinasi pendengaran, yaitu:
a. Comforting
Ansietas sedang, halusinasi menyenangkan
1) Karakteristik : Non Psikotik
41
Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas sedang,
kesepian, rasa bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada
pikiran yang menyenangkan untuk meredakan ansietas.
2) Perilaku klien :
a) Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai.
b) Menggerakkan bibir tanpa suara.
c) Pergerakan mata yang cepat.
d) Respon verbal yang lambat jika sedang asik.
e) Diam dan asik sendiri.
b. Condemning
Ansietas berat, halusinasi menjadi menjijikan
1) Karakteristik : psikotik ringan
a) Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan.
b) Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk
mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan.
Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat
ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital seperti denyut
jantung, pernapasan dan tekanan darah, asyik dengan pengalaman
sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan
halusinasi dengan realita.
c) Klien mungkin mengalami dipermalukan oleh pengalaman
sensori dan menarik diri dari orang lain.
42
d) Pasien mulai kehilangan kontrol, tingkat kecemasan berat, secara
umum halusinasi menyebabkan perasaan antisipasi.
2) Perilaku klien :
a) Meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas
seperti peningkatan denyut jantung, pernafasan, dan tekanan
darah.
b) Asik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan
membedakan halusinasi dan realita.
c) Menyalahkan dan menarik diri dari orang lain.
c. Controling
Ansietas berat, pengalaman sensori menjadi berkuasa.
1) Karakteristik : psikotik
a) Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan
menyerah pada halusinasi tersebut. Disini klien sukar
berhubungan dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak
mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam
kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan
berhubungan dengan orang lain.
b) Isi halusinasi menjadi menarik.
c) Klien mungkin mengalami pengalaman kesepian jika sensori
halusinasi berhenti.
2) Perilaku klien :
a) Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti.
43
b) Kesukaran berhubungan dengan orang lain.
c) Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit.
d) Adanya tanda-tanda fisik ansietas berat : berkeringat, tremor, dan
tidak mampu mematuhi perintah.
e) Isi halusinasi menjadi atraktif
f) Perintah halusinasi ditaati.
d. Consquering
Panik, umumnya menjadi melebur dalam halusinasinya.
1) Karakteristik : psikotik berat
a) Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti
perintah halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi,
menarik diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang
kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang. Kondisi
klien sangat membahayakan.
b) Halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak ada
intervensi terapeutik.
2) Perilaku klien :
a) Potensi kuat suicide atau homicide.
b) Aktifitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku
kekerasan, menarik diri.
c) Tidak mampu merespon perintah yang kompleks.
d) Tidak mampu merespon lebih dari satu orang.
e) Agitasi atau kataton (Stuart, 2012).
44
6. Tanda dan Gejala Halusinasi
Seseorang yang mengalami halusinasi pendengaran mempunyai tanda dan
gejala seperti pada halusinasi pada umumnya, yaitu:
a. Bicara sendiri, klien berbicara pembicaraan kacau kadang tidak masuk
akal dengan halusinasinya.
b. Senyum sendiri, klien bisa merupakan sesuatu hal yang menyenangkan
dan klien merespon dengan tersenyum sendiri.
c. Tertawa sendiri, selain tersenyum sendiri biasanya klien tampak tertawa
karena halusinasinya.
d. Menggerakkan bibir tanpa suara, keadaan klien berusaha untuk
merespon halusinasinya dengan bercakap-cakap dengan halusinasinya.
e. Respon klien jika mendengar halusinasinya berbeda-beda berdasarkan
isi dari halusinasinya klien, Klien biasanya tampak tegang.
f. Klien tampak ketakutan dan panik
g. Klien mudah jengkel dan marah
h. Klien tampak menyendiri ketika mendengar halusinasinya.
i. Klien mengarahkan telinga pada sumber suara atau menutup telinga
j. Klien mengalami disorientasi waktu dan tempat
Klien sering mengalami gangguan persepsi sensorik berupa halusinasi
yang perlu di kaji dari pasien halusinasi :
a. Isi halusinasi
Adalah tema halusinasi dan interprestasi pasien tentang halusinasinya,
seperti mengancam, menyalahkan, keagamaan, menghinakan,
45
kebesaran, seksual, membesarkan hati, membujuk atau hal-hal yang
baik. Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar,
apa yang di katakan suara tersebut.
b. Waktu dan frekuensi
Tanyakan kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa kali sehari,
seminggu, atau sebulan pengalaman halusinasi itu muncul. Informasi
ini sangat penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dan
menentukan bilamana klien perlu perhatian saat mengalami halusinasi.
c. Situasi pencetus halusinasi
Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami sebelum halusinasi
muncul. Selain itu perawat juga bisa mengobservasi apa yang dialami
klien menjelang munculnya halusinasi untuk memvalidasi pernyataan
klien.
d. Respon klien
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien
bisa dikaji dengan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami
halusinasi. Apakah klien masih bisa mengontrol stimulus halusinasinya
atau sudah tidak berdaya terhadap halusinasinya (Muhith, 2015).
7. Mekanisme koping
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi
meliputi :
a. Regresi: menjadi malas beraktivitas sehari-hari.
46
b. Proyeksi: mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu benda.
c. Menarik diri: sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus
internal.
d. Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien (Stuart, 2005).
8. Penatalaksanaan Halusinasi
a. Penggunaan obat antipsikosis
Indikasi pemberian obat antipsikotik pada pasien halusinasi
pendengaran adalah: pertama untuk mengendalikan gejala aktif dan
kedua mencegah kekambuhan.
1) CPZ (Clorpromazine)
Indikasi: halusinasi, waham, gangguan alam perasaan dalam fungsi
kehidupan sehari-hari.
Efek samping: gejala ekstrapiramidal serupa dengan yang terlihat
pada Parkinsonisme, hipotensi sering terlihat pada penderita yang
mempunyai sistem vasomotor labil. Dapat juga berupa hipotermia,
kadang-kadang takikardia atau mulut dan tenggorokan kering,
mengantuk, konstipasi dan retensi urin.
Dosis: tablet 25 dan 100 mg, dengan dosis 150-600 mg/hari, injeksi
25 mg/ml.
2) THP (Trihexiphenidyl)
Indikasi: untuk merileksasikan pikiran dan otot.
47
Efek samping: mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih, gelisah agar
tidak kaku.
Dosis : Tablet diberikan 1 mg pada hari pertama dan hari kedua
diberikan 2 mg/hari hingga mencapai 6-10 mg/hari.
3) HLP (Haloperidol)
Indikasi: obat HLP gunanya untuk membuat pikiran menjadi tenang
Efek samping ekstrapiramidal : gejala fisik, termasuk tremor , bicara
cadel, akatisia, distonia , kecemasan, kesedihan, paranoia.
Indikasi: tablet 0,5 mg, 1,5 mg, 5 mg, injeksi 5 mg/ml, dosis yang
diberikan 5-15 mg/hari (Videbeck, 2011).
b. Berikut adalah penatalaksanaan pada pasien halusinasi pendengaran
non farmakologi :
1) Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan
pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan
dilakukan secara individual dan usahakan agar terjadi kontak mata,
kalau bisa pasien disentuh atau dipegang. Pasien jangan diisolasi
baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar
atau mendekati pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila
akan meninggalkannya hendaknya pasien diberitahu. Pasien
diberitahu tindakan yang akan dilakukan. Di ruangan itu hendaknya
disediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan mendorong
48
pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding,
gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan.
2) Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah
yang ada.
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat
menggali masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya
halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada.
Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga pasien
atau orang lain yang dekat dengan pasien.
3) Memberi aktivitas pada pasien
Pasien diajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik,
misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan
ini dapat membantu mengarahkan pasien kekehidupan nyata dan
memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien diajak menyusun
jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
4) Terapi kelompok
Terapi kelompok ini termasuk satu jenis terapi humanistik. Pada
terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan
terapi berperan sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah
didalamnya. Diantara peserta terapi tersebut saling memberikan
feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami oleh
mereka.Klien dihadapkan pada setting sosial yang mengajaknya
untuk berkomunikasi, sehingga terapi ini dapat memperkaya
49
pengalaman mereka dalam kemampuan berkomunikasi. Dirumah
sakit jiwa, terapi ini sering dilakukan. Melalui terapi kelompok ini
iklim interpersonal relatuin ship yang kongkrit akan tercipta,
sehingga klien selalu diajak untuk berpikir secara realitas dan
menilai pikiran dan perasaanya yang tidak realitas.
Terapi aktivitas kelompok (TAK) dibagi menjadi:
a) TAK orientasi realitas
b) TAK stimulasi persepsi (Keliat, 2006).