52
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi dan Fisiologi Apendiks Apendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil dan payer patch membentuk produk immunoglobulin, berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm) dengan diameter 0,5-1 cm, dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastik membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan limfe. Gambar 2.1. Apendiks

bab 2

  • Upload
    riri

  • View
    238

  • Download
    6

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bab 2

Citation preview

35

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi ApendiksApendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil dan payer patch membentuk produk immunoglobulin, berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm) dengan diameter 0,5-1 cm, dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastik membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan limfe.

Gambar 2.1. ApendiksTaenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari apendiks. Apendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8 yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi apendiks, yang akan berpindah dari medial menuju katup ileosekal. Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65 % kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apediks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens.Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut associated Lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.B. Definisi dan Etiologi ApendisitisApendisitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada appendix vermiformis. Etiologi pasti dari apendisitis belum diketahui dengan pasti. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa ada tendensi keturunan. Belakangan diketahui bahwa hal tersebut disebabkan oleh kesamaan kebiasaan makan, resistensi genetik dari flora bakteri. Kebiasaan memakan makanan rendah serat, tinggi gula dan lemak juga merupakan predisposisi terjadi buang air besar yang tidak banyak, waktu transit makanan di usus jauh lebih lama, dan peningkatan tekanan di dalam lumen usus. Pada appendisitis kronis terjadi obstruksi lumen yang bersifat parsial, jika obstruksi parsial tersebut berubah menjadi total maka akan berkembang menjadi apendisitis akut.

C. PatofisiologiApendisitis disebabkan oleh obstruksi yang diikuti oleh infeksi. Kira-kira 60% kasus berhubungan dengan hiperplasia submukosa yaitu pada folikel limfoid, 35% menunjukkan hubungan dengan adanya fekalit, 4% kaitannya dengan korpus alienum dan 1% kaitannya dengan tumor dinding apendiks ataupun sekum. Hiperplasia limfatik penting pada obstruksi dengan frekuensi terbanyak terjadi pada anak-anak, sedangkan limfoid folikel adalah respon apendiks terhadap adanya infeksi. Obstruksi karena fecalit lebih sering terjadi pada orang tua. Adanya fekalit didukung oleh kebiasaan, seperti pada orang barat urban yang cenderung mengkonsumsi makanan rendah serat, dan tinggi karbohidrat dalam diet mereka.Obstruksi menyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut sebagai apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. D. Diagnosis Gejala klasik yaitu nyeri sebagai gejala utama. Nyeri dimulai dari epigastrium, secara bertahap berpindah ke region umbilical, dan akhirnya setelah 1-12 jam nyeri terlokalisir di region kuadrant kanan bawah. Titik maksimal nyeri adalah pada sepertiga dari umblikus ke fossa ilaka kanan, itu disebut titik Mc Burney. Nyeri biasanya tajam dan diperburuk dengan gerakan (seperti batuk dan berjalan). Urutan nyeri bisa saja berbeda, terutama pada anak muda atau pada seseorang yang memiliki lokasi anatomi apendiks yang berbeda.Nyeri pada titik Mc Burney juga dirasakan pada penekanan iliaka kiri, yang biasa disebut tanda Rovsing. Posisi pasien dipengaruhi oleh posisi dari apendiks. Jika apendiks ditemukan di posisi retrosekal (terpapar antara sekum dan otot psoas) nyeri tidak terasa di titik Mc Burney, namun ditemukan lebih ke lateral pinggang. Jika apendiks terletak retrosekal nyeri jika ilaka kiri ditekan tidak terasa. Ketika apendiks dekat dengan otot psoas, pasien datang dengan pinggul tertekuk dan jika kita coba meluruskan maka akan terjadi nyeri pada lokasi apendiks (tanda psoas). Ketika apendiks terletak retrosekal maka bisa menyebabkan iritasi pada ureter sehingga darah dan protein dapat ditemukan dalam urinalisis. Jika apendiks terletak di pelvis, maka tanda klinik sangat sedikit, sehingga harus dilakukan pemeriksaan rektal, menemukan nyeri dan bengkak pada kanan pemeriksaan. Jika apendiks terletak di dekat otot obturator internus, rotasi dari pinggang meningkatkan nyeri pada pasien (tanda obturator). Hiperestesia kutaneus pada daerah yang dipersarafi oleh saraf spinal kanan T10,T11 dan T12 biasanya juga mengikuti kejadian appendisitis akut. Jika apendiks terletak di depan ileum terminal dekat dengan dinding abdominal, maka nyeri sangat jelas. Jika apendiks terletak di belakang ileum terminal maka diagnosa sangat sulit, tanda-tanda yang ada samar dan nyeri terletak tinggi di abdomen.Anoreksia adalah gejala kedua yang menonjol dan biasanya selalu ada untuk beberapa derajat kasus. Muntah terjadi kira-kira pada tiga perempat pasien. Urutan gejala sangat penting untuk menegakkan diagnosis. Anoreksia diikuti oleh nyeri kemudian muntah (jika terjadi) adalah gejala klasik. Muntah sebelum nyeri harus ditanyakan untuk kepentingan diagnosis.Pemeriksaan fisik yang ditemukan tergantung dari tahapan penyakit dan lokasi dari apendiks.1. Suhu dan nadi sedikit lebih tinggi pada awal penyakit. Suhu yang lebih tinggi mengindikasikan adanya komplikasi seperti perforasi maupun abses.2. Nyeri pada palpasi titik McBurney ( satu pertiga jarak dari umbilicus ke spina iliaca anterior) ditemukan bila lokasi apendiks terletak di anterior. Jika lokasi apendiks pada pelvis, pemeriksaan fisik abdomen sedikit ditemukan kelainan, dan hanya pemeriksaan rectal toucher ditemukan gejala signifikan.3. Tahanan otot dinding perut dan rebound tenderness mencerminkan tahap perkembangan penyakit karena berhubungan dengan iritasi peritoneum.4. Beberapa tanda, jika ada dapat membantu dalam menegakkan diagnosisa. Rovsings sign yaitu nyeri pada kuadran kanan bawah pada palpasi kuadran kiri bawah.b. Psoas sign yaitu nyeri rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel di m.psoas mayor, tindakan tersebut akan menyebabkan nyeri.c. Obturator sign adalah nyeri pada gerakan endotorsi dan fleksi sendi panggul kanan, pasien dalam posisi terlentang.Hasil pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan sebagai berikut:1. Leukositosis moderat/ sedang (10.000-16.000 sel darah putih) dengan predominan neutrofil. Jumlah normal sel darah putih tidak dapat menyingkirkan adanya apendisitis.2. Urinalisis kadang menunjukkan adanya sel darah merah.Pemeriksaan radiologi yang dapat digunakan dalam menunjang diagnosis adalah:1. Foto polos abdomen menunjukkan lokal ileus kuadran kanan bawah atau fecalith radiopak.2. USG abdomen3. Barium enema mungkin dapat membantu pada kasus sulit ketika akurasi diagnosis tetap sukar untuk ditegakkan. Barium enema akan mengisi defek pada sekum, hal ini adalah indikator yang sangat bisa dipercaya pada banyak penelitian apendisitis.

E. ApendiktomiApendiktomi adalah tata laksana utama pada apendisitis. Apendiktomi dapat dilakukan secara terbuka maupun laparoskopi. Laparoskopi apendiktomi adalah operasi pengangkatan apendiks yang dilakukan dengan teknik bedah laparoskopi. Laparoskopi adalah bagian dari teknik endoskopi yang berasal dari kata lapar yang berarti abdomen dan oskopi yang berarti melihat melalui pencitraan pada monitor video menggunakan teleskop dan sistem endokamera.Bedah laparoskopi berbeda dengan debah konvensional karena hanya memerlukan akses minimal ke tubuh pasien. Pada bedah konvensional, sayatan di perut bisa sepanjang belasan sentimeter. Sedangkan pada bedah laparoskopi, hanya dibutuhkan 2-10 mm. Hanya dibutuhkan 3 lubang kecil untuk memasukkan alat pada laparoskopi apendiktomi sehingga tindakan penjahitan tidak diperlukan lagi, cukup ditutup dengan plester pembalut khusus.Lubang pertama dibuat dibawah umbilikus yang berfungsi untuk memasukkan kamera yang terhubung ke monitor. Sumber cahaya masuk melalui lubang ini juga. Dua lubang yang lain diposisikan sebagai jalan masuk peralatan bedah seperti penjepit atau gunting.Sebelum operasi dimulai, perut akan dipompa dengan gas CO2 agar menggembung dan peralatan bedah dapat bekerja di dalam tubuh dengan leluasa. Setelah itu, trocart, pipa berdiameter 2-10 mm dimasukkan. Trocart memiliki katup yang berfungsi menutup rapat perut agar CO2 tidak keluar dan perut tetap menggelembung. Melalui lubang trocart, peralatan bedah masuk ke tubuh.Luka sayatan yang kecil meminimalkan kerusakan jaringan sehingga waktu penyembuhan relatif lebih cepat dibandingkan bedah konvensional. Rasa nyeri pasca operasi juga dirasakan lebih ringan sehingga jangka waktu untuk pemakaian obat analgetik dan antibiotik lebih singkat.Pada kasus tindakan laparoskopi apendiktomi diperlukan pemilihan penanganan anestesi yang tepat. General anestesi dengan intubasi endotrakea dapat dipilih karena padalaparoskopi terjadi penggunaan gas (insuflasi CO2). Jika menggunakan teknik regional anastesi akan menimbulkan perasaan tidak nyaman pada pasien karena adanya iritasi peritoneal langsung yang menimbulkan rasa sakit selama laparoskopi. CO2 membentuk asam karbonat saat bersentuhan dengan permukaan peritoneum sehingga menyebabkan rasa nyeri pada pundak. Selain itu, selama prosedur laparoskopi biasanya pasien diposisikan tredelenburg atau reverse tredelenburg, jika menggunakan teknik regional anastesi, perubahan posisi ini akan menimbulkan rasa tidak nyaman pada pasien.Pada bedah laparoskopi diperlukan relaksasi otot agar organ abdomen tidak keluar dan terjadi relaksasi sehingga diperlukan muscle relaxant, obat ini bekerja pada otot lurik kemudian terjadi kelumpuhan otot pernapasan, otot interkostalis, otot abdominalis, dan relaksasi otot-otot ekstremitas. Pasien tidak bisa bernapas spontan sehingga memerlukan kontrol pernapasan. Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik yang terkontrol dalam teknik anestesi dapat mengurangi peningkatan PaCO2dan mencegah kelainan ventilasi yang disebabkan oleh pneumoperitoneum dan posisi Trendelenburg.Karakteristik respons hemodinamik dijelaskan sebagai berikut : diawali dengan terjadinya penurunan cardiac index setelah insuflasi gas CO2intra peritoneum dan selanjutnya diikuti dengan pemulihan. Joris dkk. menemukan penurunan yang signifikan dari cardiac index (30 40%) setelah induksi anestesi dan kebalikan posisi trendelenburg (head-up position), selanjutnya terjadinya penurunan cardiac index sampai 50% setelah insuflasi intra peritoneum. Kembalinya cardiac index secara bertahap setelah terjadinya penurunan SVR. Fraksi ventrikel kiri menurun sesaat setelah insuflasi intraperitoneum dan kembali ke nilai awal setelah 30 menit pneumoperitoneum.Insuflasi ruang intra peritoneum dengan dengan gas CO2menghasilkan pneumoperitoneum, efek sistemik dari absorbsi CO2dan peningkatan refleks tonus vagal yang bisa berkembang menjadi aritmia. Pada tekanan insuflasi sedang biasanya frekuensi denyut jantung, tekanan vena sentral, dan cardiac output tidak berubah atau hanya meningkat ringan. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan pengisian jantung, karena darah cenderung dipaksa keluar dari abdomen masuk kedalam thoraks.Tekanan insuflasi yang lebih tinggi (>25 cmH2O/18 mmHg) cenderung membuat kolaps vena besar abdomen (khususnya vena cava inferior) yang akan menurunkan aliran darah balik vena dan menyebabkan penurunan cepat preload dan cardiac output pada beberapa pasien.Penurunan venous return dan cardiac output dapat dikurangi dengan cara meningkatkan volume sirkulasi sebelum dilakukan pneumoperitoneum. Peningkatan tekanan pengisian dapat dicapai dengan pemberian cairan atau memposisikan pasien sedikit head down sebelum insuflasi peritoneum, dengan mencegah pengumpulan darah dengan pneumatic compression device, atau dengan pembalutan kaki dengan elastic bandages. Fraksi ejeksi ventrikel kiri tidak mengalami penurunan yang signifikan ketika tekanan intraabdomen meningkat sampai 15 mmHg. Peningkatan SVR bisa dikoreksi dengan pemakaian obat anestesi yang menyebabkan vasodilatasi seperti isofluran atau obat vasodilatasi langsung seperti nitrogliserin atau nikardipin.Walaupun posisi trendelenburg meningkatkan tekanan vena sentral (preload), namun MAP dan cardiac output tidak berubah atau menurun. Hal ini merupakan respon paradoksikal yang dijelaskan dengan mediasi refleks karotis dan baroreseptor aortic yang menyebabkan vasodilatasi sistemik dan bradikardia. Perubahan volume vena sentral dan perubahan tekanan yang lebih besar pada pasien dengan penyakit arteri koroner (CAD), khususnya yang disertai dengan fungsi ventrikel yang jelek menyebabkan perburukan secara potensial dan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Posisi trendelenburg ini juga mempengaruhi sirkulasi serebral, khususnya pada pasien dengan komplians intrakranial yang rendah dan mengakibatkan peningkatan tekanan intraocular. 4.Efek Absorbsi Sistemik gas CO2Hiperkapni dan asidosis yang terjadi selama laparoskopi karena absorbs CO2. Hiperkapni menyebabkan penurunan kontraktilitas miokardium dan menurunkan nilai ambang aritmia. Efek antisipasi langsung vaskular terhadap hiperkapni adalah terjadinya dilatasi arterioler dan penurunan SVR, yang dimodulasi oleh respon mekanik dan neuro humoral dengan pengeluaran katekolamin.Hiperkarbia akan menstimulasi system syaraf simpatis yang akan menyebabkan peningkatan tekanan darah, frekuensi denyut jantung, dan resiko aritmia. Usaha untuk mengkompensasi dengan meningkatkan volume tidal atau frekuensi nafas akan meningkatkan tekanan intrathoraks, selanjutnya menurunkan aliran darah balik vena dan peningkatan tekanan rata rata arteri pulmonalis. Efek ini merupakan kendala pada pasien dengan penyakit restriktif paru,gangguan fungsi jantung dan kurangnya volume intravaskular.Efek Respirasi1.Efek MekanikInsuflasi intraperitoneum oleh CO2untuk membuat pneumoperitoneum pada laparoskopi, mengakibatkan perubahan pada ventilasi dan respirasi yang dapat menyebabkan 4 komplikasi respirasi : empisema subkutis CO2, pneumothoraks, intubasi endobronkial, dan emboli gas.Hipoksemia oleh karena penurunan kapasitas residu fungsional (FRC) pada pasien yang sehat sangat jarang selama laparoskopi. Penurunan oksigenasi arteri (hipoksemia) disebabkan penurunan FRC, atelektasis, gangguan ventilasi perfusi, dan pintasan intrapulmoner pada pasien obesitas dengan riwayat merokok yang lama atau pasien dengan penyakit paru.Posisi trendelenburg menyebabkan perpindahan organ visceral dan diafragma. FRC, volume total paru, dan komplians paru akan menurun, bahkan bisa berkembang menjadi atelektasis. Perubahan ini biasanya dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien sehat, namun pada pasien obesitas, pasien tua, dan pasien dengan penyakit paru meningkatkan resiko hipoksemia. Posisi trendelenburg cenderung menyebabkan pergeseran trakea ke atas, sehingga pipa endotrakea yang terfiksasi dimulut bisa bermigrasi kedalam bronkus utama kanan. Pergeseran trakeobronkial ini diperbesar oleh insuflasi abdomen.2.Efek Pertukaran Gas Absorbsi CO2CO2adalah pilihan gas untuk insuflasi pada bedah laparoskopi.CO2tidak mudah terbakarseperti N2O, sehingga dapat digunakan secara aman untuk diatermi. Dibandingkan dengan helium,kelarutan CO2darah lebih tinggi dan ekskresinya lewat paru menurunkan resiko efek samping emboli gas,CO2juga mudah di eliminasi, dan dosis letal lima kali dari udara. Insuflasi CO2kedalam ruang peritonem meningkatkan CO2arteri (PaCO2), yang akan dikompensasi dengan peningkatan ventilasi semenit.Absorbsi gas dari ruang peritoneum tergantung pada kemampuan difusinya, luas daerah absorbsinya, dan vaskularisasi atau perfusi dinding insuflasi. Karena difusi CO2tinggi, maka terjadi absorbsi CO2dalam jumlah besar kedalam darah yang ditandai dengan peningkatan PaCO2. Kelarutan CO2yang tinggi meningkatkan absorbsi sistemik oleh pembuluh darah peritoneum, ditambah dengan volume tidal yang lebih rendah karena rendahnya komplian paru menyebabkan peningkatan kadar CO2arteri dan penurunan pH.Peningkatan PaCO2yang progresif mencapai kondisi konstan 15 30 menit setelah mulainya insuflasi CO2pada pasien dengan kontrol ventilasi mekanik selama laparoskopi ginekologi dengan posisi trendelenburg atau laparoskopi kolesistektomi pada posisi head up. Peningkatan PaCO2tergantung pada tekanan intra abdomen. Selama laparoskopi dengan anestesi lokal, PaCO2tetap tidak berubah namun ventilasi semenit meningkat. Pada anestesi umum dengan nafas spontan kompensasi hiperventilasi tidak mencukupi untuk menghindari hiperkapnea karena anestesi menginduksi depresi ventilasi dan peningkatan kerja pernafasan yang disebabkan oleh penurunan komplian torakopulmonal. Oleh karena hal ini terjadi dalam waktu 15 30 menit untuk mencapai PaCO2konstan, teknik anestesi dengan menggunakan nafas spontan harus dibatasi untuk prosedur operasi yang pendek pada tekanan intraabdomen yang rendah.Penyebab peningkatan PaCO2saat pneumoperitoneum adalah multifaktorial yaitu :1. Absorbsi CO2dari ruang peritoneum.2. Gangguan ventilasi dan perfusi oleh faktor faktor mekanik seperti distensi abdomen, posisi pasien, dan kontrol ventilasi mekanik, penurunan cardiac output.3. Depresi ventilasi yang disebabkan oleh obat obat premedikasi dan anestesi yang terjadi pada pasien dengan nafas spontan.4. Peningkatan metabolisme (anestesi yang kurang dalam).5. Kejadian yang tidak diinginkan, seperti emfisema CO2subkutis atau dalam ruang tubuh, kapnothorak, emboli CO2, intubasi bronkus.Mekanisme utama peningkatan PaCO2pada pasien sehat selama pneumoperitoneum CO2 lebih disebabkan oleh absorbsi CO2daripada efek ventilasi mekanik akibat peningkatan tekanan intraabdomen. Tetapi pada pasien dengan masalah kardiorespirasi, perubahan ventilasi juga bertanggung jawab meningkatkan PaCO2. PaCO2harus dipertahankan dalam rentang fisiologis dengan menyesuaikan kontrol ventilasi mekanik, kecuali pada kondisi khusus seperti emfisema subkutis CO2, koreksi peningkatan PaCO2bisa dengan mudah dicapai dengan peningkatan 10 25% ventilasi alveolar.Anestesi Pada LaparoskopiManajemen anestesi pada pasien yang menjalani pembedahan laparoskopi harus mengakomodasi kebutuhan pembedahan dan sesuai dengan perubahan fisologis yang terjadi selama pembedahan. Peralatan pemantauan disediakan untuk deteksi dini komplikasi. Pemulihan anestesi harus cepat dengan efek residual yang minimal, dan antisipasi kemungkinan prosedur laparoskopi berubah menjadi laparotomi.Evaluasi Pasien Preoperasi Dan PremedikasiPneumoperitoneum tidak dikehendaki pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial (tumor, hydrocephalus, trauma kepala), hipovolumia, ventrikuloperitoneal shunt, dan peritoneojugular shunt. Pneumoperitoneum dapat dilakukan secara aman pada pasien dengan shunt ini, dengan melakukan klem pada shunt sebelum insuflasi peritoneum. Efek terhadap tekanan intraokuler secara klinis tidak signifikan pada pasien glaucoma. Laparoskopi tanpa gas dapat menjadi alternatif laparoskopi yang aman untuk semua kasus ini.Oleh karena efek samping peningkatan tekanan intraabdominal pada fungsi ginjal, pasien dengan gagal ginjal harus mendapat perhatian khusus untuk mengoptimalkan hemodinamik selama pneumoperitoneum, dan menghindari penggunaan obat obat nefrotoksik. Pada pasien dengan penyakit respirasi, laparoskopi lebih dipilih dibandingkan dengan laparotomi oleh karena disfungsi respirasi pasca operasi lebih ringan. Efek positif ini harus dipertimbangkan dengan resiko terjadinya pneumothorak selama pneumoperitoneum dan resiko ketidakadekuatan pertukaran gas yang disebabkan oleh gangguan ventilasi perfusi.Tes fungsi paru preoperasi seperti volume ekspirasi paksa dan kapasitas vital dan tingginya status ASA mungkin bisa memprediksi resiko pasien akan mengalami hiperkapnea dan asidosis selama laparoskopi. Hiperkapnea dan asidosis yang persisten mungkin memerlukan penghilangan insuflasi dari pneumopertoneum, penurunan tekanan insuflasi atau konversikan ke prosedur terbuka.Premedikasi harus disesuaikan dengan durasi laparoskopi dan keperluan untuk pemulihan cepat pada pasien rawat jalan. Pemberian NSAID dan opioid dapat bermanfaat mengurangi nyeri pasca operasi. Premedikasi anxiolitik (benzodazepin) biasanya tidak perlu kecuali pasien dengan kecemasan tinggi.Pada pasien dengan penyakit jantung, fungsi jantung harus dievaluasi saat terjadi perubahan hemodinamik yang ringan oleh karena pneumoperitoneum dan posisi pasien, khususnya pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel. Pasien dengan gagal jantung kongestif yang berat dan insufisiensi katup yang terminal lebih cenderung mengalami komplikasi kardiak daripada pasien denganpenyakit jantung iskemik selama laparoskopi. Untuk pasien seperti ini keuntungan laparoskopi pasca operasi harus dipertimbangkan dengan resiko intraoperasi dalam menentukan pilihan apakah laparotomi atau laparoskopi.Teknik AnestesiPendekatan anestesi untuk operasi laparoskopi meliputi : infiltrasi anestesi lokal dengan sedatif intravena, anestesi epidural dan spinal, dan anestesi umum. Pemilihan teknik anestesi tidak merupakan penentu dalam outcome pasien.Tidak ada teknik anestesi yang secara klinis lebih superior dari pada teknik lain, anestesi umum dengan ventilasi terkontrol tampaknya merupakan teknik yang paling aman untuk operasi laparoskopi.Anestesi lokal dibatasi untuk prosedur laparoskopi ginekologi singkat (sterilisasi tuba perlaparoskopi, transfer intrafallopi) pada orang muda, sehat dan punya motivasi. Walaupun pemulihan pasca operasi cepat, namun perasaan tidak enak/nyaman pada pasien, dan visualisasi organ organ intraabdomen yang tidak optimal merupakan pengecualian penggunaan teknik anestesi lokal ini untuk laparoskopi kolesistektomi.Alternatif anestesi regional untuk operasi laparoskopi adalah anestesi epidural dan spinal. Anestesi regional ini tidak dianjurkan sebagai teknik anestesi tunggal karena pada operasi laparoskopi membutuhkan level blok yang tinggi, perubahan posisi yang ekstrem, dan adanya pneumoperitoneum yang bisa menyebabkan gangguan mekanik respirasi. Laparoskopi ini membutuhkan blok pada level yang tinggi untuk mendapat relaksasi otot yang lengkap dan untuk mencegah iritasi diafragma yang disebabkan oleh insuflasi gas dan manipulasi pembedahan.Pada anestesi umum dengan intubasi endotrakea dan pemberian pelumpuh otot disertai pemberian ventilasi tekanan positif lebih disukai karena beberapa alasan :adanya resiko regurgitasi yang disebabkan peningkatan tekanan intraabdominal saat insuflasi; perlunya ventilasi terkontrol untuk mencegah hiperkapnea, dibutuhkan tekanan inspirsi yang tinggi secara relatif karena pneumoperitoneum; kebutuhan relaksasi otot selama pembedahan karena tekanan insuflasi yang rendah, menyediakan visualisasi yang lebih baik, mencegah pergerakan pasien yang tidak diinginkan.Pada saat induksi anestesi penting untuk menghindari inflasi lambung selama ventilasi karena hal ini akan meningkatkan resiko trauma lambung saat insersi trokar. Pemasangan pipa nasogastrik dan dekompresi lambung untuk meminimalkan resiko perforasi organ visceral saat insersi trokar dan mengoptimalkan visualisasi. Intubasi memberikan keuntungan pada pasien obesitas untuk mengurangi hipoksemia, hiperkarbia, dan aspirasi. Penggunaan teknik ventilasi spontan tidak dianjurkan dalam perspektif adanya pneumoperitoneum intraoperasi dan posisi pasien.Selama pneumoperitoneum kontrol ventilasi disesuaikan untuk mempertahankan PETCO2 kira kira 35 mmHg, untuk ini membutuhkan tak lebih dari 15 25% peningkatan ventilasi semenit, kecuali bila terjadi emfisema subcutis. Peningkatan frekuensi nafas lebih dpilih daripada peningkatan volume tidal pada pasien dengan PPOK dan pada pasien dengan pneumothorak spontan atau emfisema bulosa untuk menghindari peningkatan inflasi alveolar dan menurunkan resiko pneumothorak. Pemberian obat obatan vasodilator seperti nikardipin, agonis 2-adrenergik dan remifentanil mengurangi dampak hemodinamik pneumoperitoneum dan dapat memfasilitasi manajemen anestesi pada pasien dengan penyakit jantung.Tekanan intraabdomen harus dimonitor, dipertahankan serendah mungkin untuk mengurangi perubahan hemodinamik dan respirasi, dan tidak boleh lebih dari 20 mmHg. Peningkatan tekanan intraabdomen dapat dihindari dengan menjaga kedalaman anestesi. Karena kecenderungan terjadi refleks peningkatan tonus vagus selama laparoskopi, atropine harus disediakan untuk injeksi jika diperlukan.Manajemen jalan nafasTeknik anestesi dilakukan dengan intubasi endotrakeal dan kontrol ventilasi mekanik untuk mengurangi peningkatan PaCO2dan menghindari gangguan ventilasi akibat pneumoperitoneum dan posisi trendelenburg saat awal operasi. Pelumpuh ototPemilihan obat obat pelumpuh otot tergantung pada lamanya operasi dan profil efek samping obat secara individual. Reverse terhadap obat pelumpuh otot dengan neostigmin meningkatkan terjadinya mual muntah pasca operasi (PONV) setelah laparoskopi dibandingkan dengan pemulihan secara spontan, dan beberapa klinisi menghindari reverse ini. Nitrous Oxide (N2O)N2O lebih mudah larut (30X) dari pada Nitrogen (N2), ruang udara tertutup akan mengakumulasi N2O lebih cepat dari eliminasi N2. Edger dkk. mendapatkan adanya peningkatan lebih dari 200% ukuran lumen usus setelah 4 jam pernafasan dengan N2O. keamanan dan efikasi N2O khususnya selama laparoskopi kolesistektomi diteliti oleh tailor dkk. mendapatkan bahwa N2O berdifusi kedalam CO2pneumoperitoneum dan fraksi N2O lebih dari 29%, level seperti ini dapat menyebabkan luka bakar pada operasi lebih dari 2 jam.N2O biasanya memberikan kontribusi terhadap PONV. Lomie dan Harper dalam studi randomized prospective pada 87 pasien yang menjalani prosedur laparoskopi ginekologi, mendapatkan penurunan mual muntah pasca operasi dari 49% menjadi 17% bila tidak menggunakan N2O.

Obat InduksiPropofol merupakan obat induksi pilihan karena non emetogenik dan pemulihannya yang baik. Propofol memberikan efek samping pasca operasi yang lebih kecil.Obat Anestesi InhalasiHalotan meningkatkan insiden aritmia pada prosedur laparoskopi, khususnya bila terjadi hiperkarbia penggunaan halotan sudah digantikan oleh obat obat inhalasi yang baru seperti isofluran, desfluran, dan sevofluran yang mempunyai efek depresi miokardium lebih rendah dan kurang aritmogenik.AnalgesiaOpioid masih merupakan komponen penting untuk teknik balans anestesi umum untuk prosedur laparoskopi. Opioid kerja pendek seperti fentanyl, alfentanyl dan remifentanyl bisa digunakan intraoperatif untuk mencegah stimulus pembedahan yang hebat. Walaupun laparoskopi merupakan prosedur invasif yang minimal, namun tetap berhubungan dengan nyeri intraabdomen, nyeri insisional, dan nyeri bahu setelah operasi. Obat obat analgesia multimodal kombinasi dengan opioid, NSAID dan anestesi lokal infiltrasi sangat efektif mengurangi dosis opioid untuk meminimalkan efek samping. Mual dan Muntah Pasca Operasi (PONV)PONV merupakan salah satu keluhan utama yang umum terjadi juga merupakan gejala yang sangat mencemaskan setelah prosedur laparoskopi (40 75% pasien) dan merupakan faktor yang paling penting yang menyebabkan lamanya perawatan rumah sakit setelah anestesi. Penggunaan opioid intraoperasi secara signifikan meningkatkan insiden PONV masih kontroversial. Drainase isi lambung juga mengurangi insiden PONV. Pengurangan dosis opioid dengan obat obatan analgesia multimodal bisa menurunkan insiden PONV. Selektif reseptor antagonis 5 HT, ondansetron dengan dosis 4 mg efektif sebagai profilaksis terhadap emesis pasca operasi laparoskopi. Penelitian yang lain mendapatkan tidak ada perbedaan antara ondansetron 4 mg dan siklizin 50 mg sebagai antiemesis pada pasien yang menjalani laparoskopi rawat jalan. Waktu yang tepat pemberian ondansetron ditemukan lebih signifikan sebagai antiemesis pada akhir pembedahan dibandingkan pemberian saat preinduksi. Pendekatan multimodal untuk mencegah PONV bisa dilakukan dengan menggunakan obat kombinasi droperidol 0,625 1 mg, antagonis 5 HT3 (ondansetron 4 mg atau dolasetron 2.5 5 mg), dan deksamethason 4 8 mg, disertai dengan hidrasi yang cukup, penggunaan dosis minimal opioid.MonitoringPemantauan intraoperasi standar dianjurkan untuk semua pasien yang menjalani prosedur dengan akses yang minimal. Monitor standar yang digunakan : pulse rate, kontnyu ECG, Intermiten NIBP, Pulse oximetry (SpO2), Capnography (EtCO2), suhu, tekanan intraabdominal, pulmonary airway pressure. Pemantauan hemodinamik invasif sesuai pada pasien ASA III IV untuk memonitor respon kardiovaskular terhadap pneumoperitoneum, perubahan posisi dan untuk memberikan terapi. Kapnografi dan pulse oximetri merupakan monitor PaCO2dan saturasi oksigen arteri yang dapat dipercaya pada pasien sehat tanpa gangguan intraoperasi akut. PaCO2dan a-ETCO2meningkat lebih besar pada pasien ASA II III daripada pasien ASA I. Pemeriksaan analisis gas arteri danjurkan bila secara klinis diduga adanya hiperkapnea bahkan pada pasien tanpa adanya PETCO2abnormal. Pemantauan ETCO2pasca operasi paling sering digunakan sebagai indikator non invasif dari PaCO2dalam menilai dan memberikan petunjuk keadekuatan ventilasi semenit untuk mempertahankan normokarbia selama prosedur laparoskopi. Penurunan perfusi paruterjadi jika cardiac output menurun dengan cepat oleh karena tekanan inflasi yang tinggi, perubahan posisi yang berlawanan dengan posisi trendelenburg, atau terjadi emboli gas. Selanjutnya distensi abdomen menurunkan komplian paru. Volume tidal yang besar dihindari karena akan meningkatkan tekanan puncak inspirasi dan menyebabkan pergerakan/perpindahan lapangan operasi. Pilihan untuk menghindari hal ini menggunakan volume tidal yang lebih rendah dan frekuensi nafas yang lebih cepat namun bisa menyebabkan sampel gas alveolar yang buruk dan kesalahan pengukuran ETCO2. Nilai ETCO2tidak bisa dipercaya khususnya pada pasien dengan penyakit jantung dan paru yang menjalani laparoskopi. Pemasangan kateter arteri seharusnya dilakukan dan analisa gas darah penting untuk mendeteksi hiperkarbia. Monitor PETCO2juga bermanfaat untuk deteksi dini emboli gas vena (VGE) pada pasien dengan penyakit kardiopulmoner.Terjadi peningkatan yang proporsional dari ETCO2dan PaCO2setelah Insuflasi CO2pada pasien sehat. Sebaliknya pasien dengan penyakit kardiopulmoner PaCO2meningkat secara bertahap selama insuflasi CO2dan hal ini tidak mencerminkan paningkatan ETCO2.Monitor tekanan jalan nafas adalah mutlak pada pasien yang teranestesi yang diberikan IPPV. Alarm tingginya tekanan jalan nafas dapat membantu mendeteksi peningkatan berlebihan tekanan intraabdomen, juga mencegah pergerakan pasien tiba tiba selama pembedahan yang dapat menyebabkan trauma organ intraabdomen oleh peralatan laparoskopi.

F. Tata laksana Anestesi F.1. Persiapan PreoperatifSebelum tindakan operasi dilakukan, penting diperhatikan persiapan preoperasi salah satunya adalah kunjungan pasien sebelum dibedah sehingga dapat diketahui kelainan di samping kelainan yang akan dioperasi. Tujuannya adalah: 1. Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien2. Melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik berupa dyspneu maupun urtikaria).3. Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien4. Tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status praoperasi (pemeriksaan tambahan dan atau/terapi diperlukan)5. Pemilihan jenis anestesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed consent) kepada pasien.6. Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat mengurangi dosis obat induksiKunjungan preoperatif dapat melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensatio cordis. Selain itu dapat mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan. Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa menghindarkan kejadian salah identitas dan salah operasi. Evaluasi preoperasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, EKG, USG, foto thorax, dan sebagainya. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent.

a.) History TakingHistory taking dapat dimulai dengan menanyakan riwayat alergi terhadap makanan, obat-obatan dan suhu. Alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus dibedakan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosis.

b.) Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, laju pernapasan, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan sistem muskuloskeletal.Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker untuk anestesi harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnormalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), incisivus bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal.Skoring Mallampati:I. Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhanII. Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvulaIII. Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvulaIV. Hanya terlihat palatum durum

Gambar 2.2. Kriteria Mallampati

Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi perioperatif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.

Tabel 2.1 Klasifikasi ASAKelas IPasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.

Kelas IIPasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari.

Kelas IIIPasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.

Kelas IVPasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan maupun tanpa operasi.

Kelas V

Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tapi tetap dilakukan operasi sebagai upaya resusitasi.

Kelas VI

Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan diambil untuk tujuan donor

EOperasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I VI diatas.

c.) Pemeriksaan PenunjangDasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung pada umur pasien, ada tidaknya kondisi co-morbid saat ini, sama seperti dasar dan luas dari prosedur bedah yang direncanakan.Tabel 2.2 Pemeriksaan Tambahan yang DibutuhkanPemeriksaan rutinIndikasi

UrinalisisPada semua pasien (periksa konsentrasi glukosa darah jika glukosa urine positif)

FBCPada semua wanita: pria > 40 tahun; semua bedah mayor

Ureum, Creatinin, ElektrolitBedah mayor

ECGUmur > 50 tahun

Foto TorakUmur > 60 tahun

Tes fungsi hati (Liver Function Test)Bedah mayor pada pasien umur > 50 tahun.

Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari yang 1 minggu (FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1 bulan (ECG), sampai 6 bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam keadaan berikut; Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium untuk hipokalemia, terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis untuk pasien dengan gagal ginjal, produk darah untuk koreksi koagulopati.

d). Informed ConsentHal penting lainnya pada kunjungan preoperasi adalah inform consent. Inform consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi dokter bila ada tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan resikonya.

G.2. Masukan OralReflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.

Tabel 2.4 Fasting Guideline Pre-operatif (American Society of Anesthesiologist, 2011)Usia pasienIntake oralLama puasa (jam) puasa yg diberikan

< 6 blnClear fluidBreast milkFormula milk23420 cc/kg

6 bln 5 thnClear fluidFormula milkSolid24610 cc/kg

>5 thnClear fluidSolid2610 cc/kg

Adult, op. pagiClear fuid Solid2Puasa mulai jam 12 mlm

Adult, op. siangClear fluidSolid2Puasa mulai jam 8 pagi

G.3. Terapi CairanTerapi cairan preoperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya, kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible water losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah:

Tabel 2.5 Kebutuhan Maintenance Normal (Morgan, 2006)Berat BadanJumlah

10kg pertama4 mL/kg/jam

10kg berikutnya+ 2 mL/kg/jam

Tiap kg di atas 20kg+ 1 mL/kg/jam

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami defisit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.F.4. PremedikasiPremedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya: Meredakan kecemasan dan ketakutan Memperlancar induksi anesthesia Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus Meminimalkan jumlah obat anestetik Mengurangi mual muntah pasca bedah Menciptakan amnesia Mengurangi isi cairan lambung Mengurangi reflek yang membahayakan

Tabel 2.6 Obat-Obat Yang Dapat Digunakan Untuk PremedikasiNo.Jenis ObatDosis (Dewasa)

1Sedatif: Diazepam Difenhidramin Midazolam 5-10 mg1 mg/kgBB0,1-0,2 mg/kgBB

2Analgetik Opiat Morfin Fentanil Analgetik non opiat0,1-0,2 mg/kgBB1-2 g/kgBBDisesuaikan

3Antikholinergik: Sulfas atropine0,1 mg/kgBB

4Antiemetik: Ondansetron4-8 mg (iv) dewasa

Pemberian premedikasi dapat diberikan secara (a) suntikan intramuskuler, diberikan 30-45 menit sebelum induksi anestesia. (b) suntikan intravena diberikan 5-10 menit sebelum induksi anestesia. Komposisi dan dosis obat premedikasi yang akan diberikan kepada pasien serta cara pemberiannya disesuaikan dengan masalah yang dijumpai pada pasien.

F.5. Persiapan Di Kamar OperasiHal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukanb. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnyac. Alat-alat resusitasi (STATICS)d. Obat-obat anestesia yang diperlukan.e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium bikarbonat dan lain-lainnya.f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya; Pulse Oxymeter.i. Kartu catatan medic anestesiaj. Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.

Tabel 2.7 Komponen STATICSSScopeStetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

TTubesPipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balloon (cuffed).

AAirwaysPipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan napas.

TTapesPlaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.

IIntroducerMandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.

CConnectorPenyambung antara pipa dan peralatan anastesia.

SSuctionPenyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

F.6. Pemilihan Teknik Anestesi Secara umum, pemilihan teknik anestesi harus selalu memprioritaskan keamanan dan kenyamanan pasien. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam hal ini adalah:1. Usia pasienPada bayi dan anak paling baik dilakukan teknik general anestesi. Pada pasien dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipermukaan dapat dilakukan teknik anestesi lokal atau umum.2. Status fisik pasiena. Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Penting untuk mengetahui apakah pasien pernah menjalani suatu pembedahan dan anestesi. Apakah ada komplikasi anestesi dan paska pembedahan yang dialami saat itu. Pertanyaan mengenai riwayat penyakit terutama diarahkan pada ada tidaknya gejala penyakit kardiorespirasi, kebiasaan merokok, meminum alkohol, dan obat-obatan. Harus menjadi suatu perhatian saat pasien memakai obat pelumpuh otot nondepolarisasi bila didapati atau dicurigai adanya penyakit neuromuskular, antara lain poliomielitis dan miastenia gravis. Sebaiknya tindakan anestesi regional dicegah untuk pasien dengan neuropati diabetes karena mungkin dapat memperburuk gejala yang telah ada.b. Gangguan fungsi kardiorespirasi berat. Sedapat mungkin hindari penggunaan anestesi umum dan sebaiknya dilakukan dengan anestesi lokal atau regional.c. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi, dan/atau dengan gangguan jiwa sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.d. Pasien obesitas. Bila disertai leher pendek atau besar atau sering timbul gangguan sumbatan jalan nafas, sebaiknya dipilih teknik anestesi regional, spinal, atau anestesi umum endotrakeal.3. Posisi pembedahanPosisi seperti miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesi umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan. Demikian juga dengan pembedahan yang berlangsung lama.4. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedahMemilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan kebutuhan dokter bedah, antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin untuk bedah plastik, dan lain-lain.5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiPreferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi sangat menentukan pilihan-pilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan teknik anestesi tertentu bila belum ada pengalaman dan keterampilan.6. Keinginan pasienKeinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan dipertimbangkan bila keadaan pasien memang memungkinkan dan tidak membahayakan keberhasilan operasi.7. Bahaya kebakaran dan ledakanPemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah pilihan utama pada pembedahan dengan memakai alat elektrokauter.8. PendidikanDi kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat berjalan lama karena sering terjadi percakapan instruktor dengan residen, mahasiswa, atau perawat. Oleh sebab itu, sebaiknya pilihan adalah anestesi umum atau bila dengan anestesi spinal atau regioal perlu diberikan sedasi yang cukup.

F.7.General AnesthesiaGeneral anesthesia atau anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri secara sentral yang disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen anestesi ideal (trias anestesi) terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi. Trias anestesi ini dapat dicapai dengan menggunakan obat yang berbeda secara terpisah. Sekarang anestesi umum tidak hanya mempunyai ketiga komponen tersebut namun lebih luas, hypnosis (hilangnya kesadaran), analgesia (hilangnya rasa sakit), arefleksia (hilangnya reflek-reflek motorik tubuh, memungkinkan imobilisasi pasien), relaksasi otot (memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi intubasi trakeal), amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalan prosedur) Perjalanan anestesi umum terdiri dari enam bagian yang berbeda yang meliputi: premedikasi, induksi, pemeliharaan, pengembalian, pemulihan dan masa pasca operasi. Obat yang dipakai pada masing masing bagian berinteraksi dengan obat yang dipakai pada bagian lain dan interaksi obat ini merupakan hal yang penting. Anestesi umum bukan hanya masalah farmakologi melainkan juga merupakan suatu keseimbangan antara kerja obat dan rangsangan pembedahan.Pada tahap premedikasi ada dua tujuan jelas dalam penggunaan obat premedikasi yang pertama, adalah mencegah efek parasimpatometik anastesi, dan yang kedua berhubungan dengan kebutuhan untuk menghilangkan sedasi aktif atau untuk menimbulkan amnesia. Tahap Induksi adalah bagian kedua anestesi, tujuan dari tahap ini bukan untuk menganestesi tetapi hanya untuk memulai agar proses anestesi cepat dan nyaman. Masa pemeliharaan merupakan tahap ketiga, masa pemeliharaan adalah masa sesudah induksi dan ketika prosedur pembedahan atau prosedur lain dilaksanakan. Sesudah masa pemeliharaan dilanjutkan pada tahap berikutnya yaitu masa pengembalian. Pada bagian pemulihan ini biasanya sangat cepat, tetapi sangat penting dan berbahaya. Masa pengembalian ini merupakan bagian pertama pemulihan dan dikerjakan dibawah pengawasan langsung dokter ahli anestesi dan biasanya dilakukan didalam ruang operasi dan tahap terakhir dari anestesia umum adalah masa pasca operasi.

a). Stadium AnestesiGuedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium (stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu : Stadium I (analgesi):Mulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran. Walaupun disebut Stadium analgesia, tapi sensasi terhadap ransang sakit tidak berubah, biasanya operasi-operasi kecil sudah bisa dilakukan. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya refleks bulu mata. Stadium II (eksitasi):Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan yang irreguler, pupil melebar dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata. Stadium III (pembedahan): Plana 1: Ditandai dengan pernafasan teratur, pernafasan torakal sama kuat dgn pernafasan abdominal, pergerakan bola mata terhenti, kadang-kadang letaknya eksentrik, pupil mengecil lagi dan refleks cahaya (+), lakrimasi akan meningkat, refleks farings dan muntah menghilang, tonus otot menurun. Plana 2: Ditandai dengan pernafasan yang teratur, volume tidal menurun dan frekuensi pernafasan naik. Mulai terjadi depresi pernafasan torakal, bola mata terfiksir ditengah, pupil mulai midriasis dengan refleks cahaya menurun dan refleks kornea menghilang. Reflek kornea dan laring hilang. Plana 3: Ditandai dgn pernafasan abdominal yang lebih dominan daripada torakal karena paralisis otot interkostal yang makin bertambah sehingga pada akhir plana 3 terjadi paralisis total otot interkostal, juga mulai terjadi paralisis otot-otot diafragma, pupil melebar dan refleks cahaya akan menghilang pada akhir plana 3 ini, lakrimasi refleks faring & peritoneal menghilang, tonus otot-otot makin menurun. Plana 4: Kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi abdominal. Pernafasan tidak adekuat, irreguler, jerky karena paralisis otot diafragma yg makin nyata, pada akhir plana 4, paralisis total diafragma, tonus otot makin menurun dan akhirnya flaccid, pupil melebar dan refleks cahaya (-), refleks sfingter ani menghilang.

Stadium IV (paralisis medulla oblongata): Dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah tidak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernafasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernafasan buatan. Komplikasi general anestesi meliputi durante operasi dan pasca operasi. Komplikasi yang mungkin terjadi pada durante operasi dapat meliputi obstruksi respirasi, batuk, depresi respirasi, hipotensi, hipertensi, aritmia, hiccup (cegukan), gigi patah, mual muntah, menggigil.

b). IntubasiIntubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakeal ke dalam trakea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu atau dikendalikan. Tiga hal yang harus diperhatikan untuk dapat membantu memudahkan atau mengurangi trauma pada waktu intubasi trakea adalah : Penderita tidak sadar/tidur (pada penderita sadar teknis lebih sulit). Posisi kepala (kepala lebih ekstensi dengan bantal tipis dibawah kepala). Relaksasi otot yang baik.

Saat melakukan intubasi pada pasien, terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan untuk memastikan keamanan proses intubasi yang disebut SALT, yaitu: Suction. Merupakan hal yang sangat penting. Seringkali pada faring pasien terdapat benda asing yang menyulitkan visualisasi dari pita suara. Disamping itu, aspirasi dari paru juga harus dihindari. Airway. Pastikan jalan nafas melalui mulut baik, untuk mencegah jatuhnya lidah ke bagian belakang faring. Laryngoscope. Merupakan alat yang paling penting untuk membantu penempatan pipa endotracheal. Tube. Pipa Endotrakeal memiliki berbagai macam ukuran. Umumnya pada orang dewasa menggunakan ukuran 7 atau 8.9

Hal-hal yang harus diperhatikan setelah pipa endotrakea masuk: Rongga dada kiri dan kanan harus sama-sama mengembang serta bunyi udara inspirasi paru kanan dan kiri harus terdengar sama keras dengan memakai stetoskop. Bila pipa masuk terlalu dalam seringkali pipa masuk ke bronkus kanan sehingga bunyi nafas hanya terdengar pada satu paru. Pipa harus ditarik sedikit, lalu periksa kembali dengan stetoskop. Balon cuff diisi sampai tidak ada tanda-tanda bocor (kebocoran dapat diketahui dengan mendengar bunyi di mulut pada saat paru di inflasi/ditiup). Lakukan fiksasi dengan plester atau dengan tali pengikat agar pipa tidak bergerak (malposisi).

c). MonitoringParameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah: Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter Heart rate, nadi, dan kualitasnya Warna membran mukosa, dan capillary refill time Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek palpebra) Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

F.8. Manajemen Anestesi Post-Operasia). Recovery dari General OperasiPemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus diperiksa tiap 5 menit selama 15 menit atau sampai pasien stabil. Pulse oximetry harus dimonitor terus menerus pada pasien yang masih berada dalam proses recovery dari general anestesi, paling tidak sampai pasien mulai sadar. Fungsi neuromuskuler juga harus dinilai misalnya mengangkat kepala. Monitoring tambahan berupa penilaian nyeri (skala deskriptif atau numerik), ada atau tidak mual atau muntah, input dan output cairan termasuk produksi urin, drainase, dan perdarahan.Semua pasien yang masih recovery dari general anestesi harus mendapatkan oksigen 30-40% karena bisa terjadi transient hipoksemia pada pasien yang sehat sekalipun. Resiko hipoksemia meningkat pada pasien-pasien yang menjalani operasi di daerah upper abdominal atau toraks, sehingga harus terus dimonitor dengan pulse oxymeter dan mungkin memerlukan oksigenasi dalam waktu yang lebih lama. Keputusan rasional untuk meneruskan suplementasi oksigen ketika mengeluarkan pasien dari Recovery room bisa dibuat berdasarkan SpO2 dengan udara ruangan. Pasien dimotivasi untuk nafas dalam dan batuk.

b). Kriteria Discharge dari Recovery RoomSemua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari Recovery room berdasarkan kriteria discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah Aldrete Score. Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan di-discharge ke Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan biasa.Tabel 2.8 Aldrete ScoreObjekKriteriaNilai

Aktivitas1. Mampu menggerakkan 4 ekstremitas1. Mampu menggerakkan 2 ekstremitas1. Tidakmampu menggerakkan ekstremitas210

Respirasi1. Mampu nafas dalam dan batuk1. Sesak atau pernafasan terbatas1. Henti nafas210

Tekanan Darah1. Berubah sampai 20 % dari pra bedah 1. Berubah 20-50% dari pra bedah1. Berubah > 50% dari pra bedah210

Kesadaran1. Sadar baik dan orientasi baik1. Sadar setelah dipanggil1. Tak ada tanggapan terhadap rangsang210

Warna Kulit1. Kemerahan1. Pucat agak suram1. Sianosis210

Nilai Total

c). Kunjungan Post-OperatifEvaluasi post operatif harus dilakukan dalam 24 48 jam setelah operasi dan dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini harus meliputi review dari rekam medis, anamnesis terkait perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan pemeriksaan fisik serta penunjang, termasuk pemeriksaan kemungkinan komplikasi seperti muntah, nyeri tenggorokan, kerusakan gigi, cedera saraf, cedera okular, pneumonia, atau perubahan status mental. Bila diperlukan, harus dilakukan terapi atau konsultasi lebih lanjut.