26
Laporan Kasus KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kelas C Ciamis LAPORAN KASUS BAGIAN KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU PENYAKIT DALAM RSUD KELAS C CIAMIS 1. Identitas Pasien Nama : Tn. H Usia : 53 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Imbanagara Pekerjaan : Wiraswasta Agama : Islam Status : Menikah Tanggal Masuk RS : 14 Juni 2013 Jam Masuk RS : 18.00 WIB 2. Anamnesis Keluhan Utama : sesak napas Riwayat Penyakit Sekarang : Os datang dengan keluhan sesak napas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas disertai dengan bunyi mengi dan dirasakan semakin lama semakin berat. Sesak timbul bila cuaca dingin dan berada di lingkungan berdebu, dan os mengatakan sesaknya terjadi sebanyak 3 kali dalam seminggu. Os mengatakan sering bersin-bersin jika berada di lingkungan yang berdebu, kemudian hidung berair pada pagi hari dan menghilang pada siang hari. Keluhan sesak disertai dengan rasa dada seperti ditekan benda berat. Os juga mengeluhkan batuk berdahak. Keluhan demam, nyeri dada, terbangun pada malam hari karena sesak dan bengkak- bengkak pada tubuh disangkal os. Riwayat Penyakit Dahulu : Os diketahui menderita asma sejak kecil, dan os menggunakan obat Salbutamol tablet untuk meredakan sesaknya.

Asma Bronchiale

Embed Size (px)

Citation preview

Laporan Kasus KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kelas C CiamisLAPORAN KASUSBAGIAN KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU PENYAKIT DALAMRSUD KELAS C CIAMIS

1. Identitas PasienNama : Tn. HUsia : 53 TahunJenis Kelamin : Laki-lakiAlamat : ImbanagaraPekerjaan : WiraswastaAgama : IslamStatus : MenikahTanggal Masuk RS : 14 Juni 2013Jam Masuk RS : 18.00 WIB

2. AnamnesisKeluhan Utama : sesak napas

Riwayat Penyakit Sekarang :Os datang dengan keluhan sesak napas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas disertai dengan bunyi mengi dan dirasakan semakin lama semakin berat. Sesak timbul bila cuaca dingin dan berada di lingkungan berdebu, dan os mengatakan sesaknya terjadi sebanyak 3 kali dalam seminggu. Os mengatakan sering bersin-bersin jika berada di lingkungan yang berdebu, kemudian hidung berair pada pagi hari dan menghilang pada siang hari. Keluhan sesak disertai dengan rasa dada seperti ditekan benda berat. Os juga mengeluhkan batuk berdahak. Keluhan demam, nyeri dada, terbangun pada malam hari karena sesak dan bengkak-bengkak pada tubuh disangkal os.

Riwayat Penyakit Dahulu :Os diketahui menderita asma sejak kecil, dan os menggunakan obat Salbutamol tablet untuk meredakan sesaknya.

Riwayat Keluarga:Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan serupa dengan os. Namun, orang tua os memiliki riwayat alergi makanan laut.

Riwayat Habituasi:Os mengaku merokok sejak usia 10 tahun hingga sekarang. Dalam sehari menghabiskan sebungkus rokok.

3. Pemeriksaan FisikKeadaan umum : tampak sakit sedangKesadaran : compos mentis

Tanda VitalTekanan Darah : 120/80 mmHgNadi : 96 x / menit, reguler, isi cukupPernapasan: 20 x / menit, abdominal-thorakalSuhu: 36,5oCKepala Inspeksi : normocephali, rambut hitam lebat, tidak tampak benjolan atau lesi, wajah simetris, ekspresi wajah sesuai mood dan tidak ada paralisis, pernapasan cuping hidung (-). Palpasi : tidak teraba benjolan, tidak teraba krepitasi. Perkusi : ketuk glabella (-)

Mata: simetris, edema palpebra (-/-), eksoftalmus (-/-), strabismus (-/-), conjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor, refleks cahaya (+/+), sekret (-/-)

Leher: deviasi trakea (-), KGB tidak teraba membesar, JVP 5+2 cm H2O, kelenjar tiroid tidak tampak dan tidak teraba membesar, retraksi suprasternal (-)

ThoraxInspeksi : bentuk dada normal, simetris, jejas (-), retraksi interkostalis (-)Palpasi : nyeri tekan (-), krepitasi (-), massa abnormal (-)

Paru-paruAnterior:Inspeksi : simetris, deformitas (-)Palpasi : vokal fremitus normal simetris kanan dan kiri Perkusi : sonor di kedua lapang paru Auskultasi : vesikular breathing sound simetris kanan dan kiri, ronkhi -/-, wheezing +/+Posterior:Inspeksi : simetris, deformitas (-)Palpasi : vokal fremitus normal simetris kanan dan kiri Perkusi : sonor di kedua lapang paru Auskultasi : vesikular breathing sound simetris kanan dan kiri, ronkhi -/-, wheezing +/+

JantungInspeksi : ictus cordis tidak tampak Palpasi : ictus cordis tidak teraba Perkusi Batas kanan atas : ICS II linea parasternalis dextra Batas kanan bawah : ICS IV linea parasternalis dextra Batas kiri atas : ICS II linea parasternalis sinistra Batas kiri bawah : ICS V linea midclavicularis sinistra Auskultasi : bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

AbdomenInspeksi : sikatriks (-), striae (-), rata, benjolan (-), simetris Auskultasi : bunyi usus (+) normalPerkusi : timpani pada keempat kuadranPalpasi : nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, spleen tidak teraba pembesaran, ballotement -/-

EkstremitasHangat + ++ +Edema- - -

Kekuatan otot 5 5 5 5

Capillary refill < 2 detik

5. Resume Pasien datang dengan keluhan sesak napas yang disertai bunyi mengi sejak 3 hari SMRS, timbul jika cuaca dingin dan berada di lingkungan berdebu. Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak. Pasien diketahui menderita asma sejak kecil. Pasien memiliki riwayat keluarga dengan alergi makanan laut. Pasien mengkonsumsi rokok sejak usia 10 tahun, menghabiskan 1 bungkus rokok setiap harinya hingga saat ini. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 96 x/menit (reguler, isi cukup), pernapasan 20 x/menit (abdominal-thorakal), suhu 36,5oC, wheezing +/+ pada thorax anterior maupun posterior.

6. Pemeriksaan PenunjangTanggal 14/06/2013 HematologiHb:17,7g/dl( = 14-18, = 12-16)Ht: 50,9 % ( = 40-50, = 35-45)Leu: 9.100/L(5.000 10.000)Trom: 223.000/L(150.000 350.000)Kimia DarahUreum: 24 mg/dl( 10 50 )Kreatinin: 0,89 mg/dl( 0,5 1,1 )Asam urat: 5,6 mg/dl( 3,4 7,0 )Kolesterol total: 110 mg/dl ( < 200 )Trigliserida: 61 mg/dl( 60 200)

7. Diagnosis KlinisAsma bronchiale persisten ringanDD/ Bronkitis kronik

8. Penatalaksanaan- IVFD Ring As 20 tpm- Nebulizer Combivent + 2 cc NaCl 0,9% / 12 jam- O2 nasal canule 4 lpm (lembab)- Nairet Syrup 3xC1

9. Usulan Pemeriksaan- Pemeriksaan sputum- Rontgen thorax

FOLLOW UP HARIANTanggal15 Juni 201317 Juni 2013

SSesak napas berkurang, batuk berkurangSesak napas berkurang, batuk berkurang

OKU : tampak sakit sedang, Kes : CMT: 130/80 mmHgN : 80 x/menitS : 36,3CR : 20 x/menitParu : wheezing +/+ (anterior dan posterior)KU : tampak sakit sedang,Kes : CMT : 120/80 mmHgN : 80 x/menitS : 36,5CR : 20 x/menitParu : wheezing +/+ (anterior dan posterior)

AAsma bronchiale persisten ringanDD/ bronchitis kronikAsma bronchiale persisten ringanDD/ bronchitis kronik

P IVFD Ring As 20 gtt/mnt Nairet syrup 3xC1 Nebulizer per 12 jam IVFD Ring As 20 gtt/mnt Nairet syrup 3xC1 Nebulizer per 12 jam Metilprednisolon 3x1tab

Tanggal18 Juni 201319 Juni 2013

SSesak berkurang, batuk berkurangSesak (-), batuk berkurang

OKU : tampak sakit sedang,Kes : CMT : 120/80 mmHgN : 80 x/menitS : 36CR : 20 x/menitParu : wheezing +/+ (anterior dan posterior)KU : tampak membaikKes : CMT : 120/80 mmHgN : 80 x/menitS : 36,5CR : 20 x/menitParu : wheezing -/- (anterior dan posterior)

AAsma bronchiale persisten ringanDD/ bronchitis kronikAsma bronchiale persisten ringanDD/ bronchitis kronik

P IVFD Ring As 20 gtt/mnt Nairet syrup 3xC1 Nebulizer per 12 jam Metilprednisolon 3x1tabBLPL

TINJAUAN PUSTAKAASMA BRONKIAL

1. DEFINISIAsma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari. (PDPI, 2006; GINA, 2009). Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada individu yang rentan, gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan menyebabkan obstruksi dan hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi derajatnya.

Gambar 2.1 Hubungan antara inflamasi, gejala klinis, dan patofisiologi Asma Sumber: NHLBI, 2007.

2. EPIDEMIOLOGIAsma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak (GINA, 2003). Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima dari sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik, dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau sebesar 5,6%. Lalu pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13 per 1.000 penduduk (PDPI, 2006).Dari hasil penelitian Riskesdas, prevalensi penderita asma di Indonesia adalah sekitar 4%. Menurut Sastrawan, dkk (2008), angka ini konsisten dan prevalensi asma bronkial sebesar 515%.

3. PENYEBABa. Faktor Ekstrinsik (asma imunologik / asma alergi)- Reaksi antigen-antibodi- Inhalasi alergen (debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang)b. Faktor Intrinsik (asma non imunologi / asma non alergi)- Infeksi : parainfluenza virus, pneumonia, mycoplasmal- Fisik : cuaca dingin, perubahan temperatur- Iritan : kimia- Polusi udara : CO, asap rokok, parfum- Emosional : takut, cemas dan tegang- Aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus.(Suriadi, 2001 : 7)

4. FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ASMAAdapun faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asma adalah: 1. Imunitas dasar Mekanisme imunitas terhadap kejadian inflamasi pada asma kemungkinan terjadi ekspresi sel Th2 yang berlebihan (NHLBI, 2007). Menurut Moffatt, dkk (2007), gen ORMDL3 mempunyai hubungan kuat sebagai faktor predisposisi asma.

2. Umur Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak (7-10%), yaitu umur 5 14 tahun. Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian asma lebih kecil yaitu sekitar 3-5% (Asthma and Allergy Foundation of America, 2010). Menurut studi yang dilakukan oleh Australian Institute of Health and Welfare (2007), kejadian asma pada kelompok umur 18 34 tahun adalah 14% sedangkan >65 tahun menurun menjadi 8.8%. Di Jakarta, sebuah studi pada RSUP Persahabatan menyimpulkan rerata angka kejadian asma adalah umur 46 tahun (Pratama dkk, 2009).

3. Jenis Kelamin Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki merupakan sebuah faktor resiko terjadinya asma pada anak-anak. Akan tetapi, pada masa pubertas, rasio prevalensi bergeser dan menjadi lebih sering terjadi pada perempuan (NHLBI, 2007). Pada manusia dewasa tidak didapati perbedaan angka kejadian asma di antara kedua jenis kelamin (Maryono, 2009).

4. Faktor pencetus Paparan terhadap alergen merupakan faktor pencetus asma yang paling penting. Alergenallergen ini dapat berupa kutu debu, kecoak, binatang, dan polen/tepung sari. Kutu debu umumnya ditemukan pada lantai rumah, karpet dan tempat tidur yang kotor. Kecoak telah dibuktikan menyebabkan sensitisasi alergi, terutama pada rumah di perkotaan (NHLBI, 2007). Menurut Ownby dkk (2002) dalam GINA (2009), paparan terhadap binatang, khususnya bulu anjing dan kucing dapat meningkatkan sensitisasi alergi asma. Konsentrasi polen di udara bervariasi pada setiap daerah dan biasanya dibawa oleh angin dalam bentuk partikel partikel besar.Iritan iritan berupa paparan terhadap rokok dan bahan kimia juga telah dikaitkan dengan kejadian asma. Dimana rokok diasosiasikan dengan penurunan fungsi paru pada penderita asma, meningkatkan derajat keparahan asma, dan mengurangi responsivitas terhadap pengobatan asma dan pengontrolan asma. Menurut Dezateux dkk (1999), balita dari ibu yang merokok mempunyai resiko 4 kali lebih tinggi menderita kelainan seperti mengi dalam tahun pertama kehidupannya.Kegiatan fisik yang berat tanpa diselingi istirahat yang adekuat juga dapat memicu terjadinya serangan asma (Nurafiatin dkk, 2007). Riwayat penyakit infeksi saluran pernapasan juga telah dihubungkan dengan kejadian asma. Menurut sebuat studi prospektif oleh Sigurs dkk (2000), sekitar 40% anak penderita asma dengan riwayat infeksi saluran pernapasan (Respiratory syncytial virus) akan terus menderita mengi atau menderita asma dalam kehidupannya.

5. Status sosioekonomik Mielck dkk (1996) menemukan hubungan antara status sosioekonomik / pendapatan dengan prevalensi derajat asma berat. Dimana, prevalensi derajat asma berat paling banyak terjadi pada penderita dengan status sosioekonomi yang rendah, yaitu sekitar 40%.

5. PATOFISIOLOGI Inflamasi berperan dalam peningkatan reaktifitas jalan napas. Mekanisme yang menyebabkan inflamasi jalan napas cukup beragam, dan peran setiap mekanisme tersebut bervariasi dan satu anak ke anak lain serta selama perjalanan penyakit. Komponen penting asma lainnya adalah bronkosplasma dan obstruksi. Mekanisme yang menyebabkan gejala obstruktif meliputi: Inflamasi dan udemamembran mukosa, akumulasi sekresi yang berlebihan dari kelenjar mukosa, spasma otot otot halus dan bronkiolus yang menurunkan diameter bronkiolus. Konstriksi bronkus merupakan reaksi normal terhadap stimulus asing, namun pada anak yang menderita asma biasanya sangat parah hingga menyebabkan gangguan fungsi pernapasan: otot halus, berbentuk kumparan spiral disekeliling jalan napas, menyebabkan penyempitan dan pemendekan jalan napas, yang secara signifikan meningkatkan resistensi jalan napas terhadap aliran udara. Pada saat inspirasi dan berkontraksi serta memendek selama ekspresi. Oleh karena itu, kesulitan bernapas lebih berat terjadi selama fase ekspresi. Peningkatan tahanan dalam jalan napas menyebabkan ekspresi yang dipaksakan melewati lumen sempit. Volume udara yang terjebak dalam parumeningkat pada saat jalan napas secara fungsional menutup di titik antara alveoli dan bronkus lobucus. Gas yang terjebak ini mendorong individu untuk bernapas pada volume paru yang semakin tinggi. Akibatnya orang yang menderita asma harus berjuang untuk menginspirasi jumlah udara yang cukup. Upaya keras untuk bernapas ini akan menyebabkan keletihan, penurunan efektivitas pernapasan, dan peningkatan konsumsi oksigen. Inspirasi yang terjadi ketika volume paru lebih tinggi akan menginflasi alveoli secara berlebihan dan menurunkan efektivitas batuk. Jika obstruksi semakin parah, terjadi penurunan ventilasi alveolus disertai retensi karbondioksida, hipoksemia, asidosis pernapasan dan akhirnya gagal napas (Wong, 2003).

6. TANDA DAN GEJALA1. Stadium diniFaktor hipersekresi yang lebih menonjola. Batuk dengan dahak bisa dengan maupun tanpa pilekb. Rochi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilangtimbulc. Whezing belum adad. Belum ada kelainan bentuk thorake. Ada peningkatan eosinofil darah dan IG Ef. BGA belum patologisFaktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominana. Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputumb. Whezingc. Ronchi basah bila terdapat hipersekresid. Penurunan tekanan parsial O22. Stadium lanjut/kronika. Batuk, ronchib. Sesak nafas berat dan dada seolah olah tertekanc. Dahak lengket dan sulit untuk dikeluarkand. Suara nafas melemah bahkan tak terdengar (silent Chest)e. Thorak seperti barel chestf. Tampak tarikan otot sternokleidomastoideusg. Sianosish. BGA Pa O2 kurang dari 80%i. Ro paru terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kanan dankirij. Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik(Halim Danukusumo, 2000, hal 218-229)

7. PEMERIKSAAN PENUNJANGSpirometriUji provokasi bronkusPemeriksaan sputumPemeriksaan cosinofit totalUji kulitPemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputumFoto dadaAnalisis gas darah

8. Diagnosis Seperti pada penyakit lain, diagnosis penyakit asma dapat ditegakkan dengan anamnesis yang baik. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.

Anamnesis Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit/gejala, yaitu: 1. Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan 2. Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap alergen, gejala musiman, riwayat alergi/atopi, dan riwayat keluarga pengidap asma 3. Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik, rasa berat di dada dan berdahak yang berulang 4. Gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari 5. Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik 6. Respon positif terhadap pemberian bronkodilator

Pemeriksaan Fisik Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal (GINA, 2009). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada auskultasi adalah mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis jika pada saat pemeriksaan terdapat gejala-gejala obstruksi saluran pernapasan (Chung, 2002). Sewaktu mengalami serangan, jalan napas akan semakin mengecil oleh karena kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi mukus. Keadaan ini dapat menyumbat saluran napas; sebagai kompensasi penderita akan bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas yang mengecil (hiperinflasi). Hal ini akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa batuk, sesak napas, dan mengi (GINA, 2009).

1. Faal Paru Pengukuran faal paru sangat berguna untuk meningkatkan nilai diagnostik. Ini disebabkan karena penderita asma sering tidak mengenal gejala dan kadar keparahannya, demikian pula diagnosa oleh dokter tidak selalu akurat. Faal paru menilai derajat keparahan hambatan aliran udara, reversibilitasnya, dan membantu kita menegakkan diagnosis asma. Akan tetapi, faal paru tidak mempunyai hubungan kuat dengan gejala, hanya sebagai informasi tambahan akan kadar kontrol terhadap asma (Pellegrino dkk, 2005). Banyak metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah dianggap sebagai standard pemeriksaan adalah: (1) pemeriksaan spirometri dan (2) Arus Puncak Ekspirasi meter (APE). Pemeriksaan spirometri merupakan pemeriksaan hambatan jalan napas dan reversibilitas yang direkomendasi oleh GINA (2009). Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui spirometri. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 3 ekspirasi. Banyak penyakit paru-paru menyebabkan turunnya angka VEP1. Maka dari itu, obstruksi jalan napas diketahui dari nilai VEP1 prediksi (%) dan atau rasio VEP1/KVP (%). Pemeriksaan dengan APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore (tidak lebih dari 20%). Untuk mendapatkan variabiliti APE yang akurat, diambil nilai terendah pada pagi hari sebelum mengkonsumsi bronkodilator selama satu minggu (Pada malam hari gunakan nilai APE tertinggi). Kemudian dicari persentase dari nilai APE terbaik (PDPI, 2006).

9. Klasifikasi Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan faal paru dapat ditentukan klasifikasi (derajat) asma. Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran KlinisDerajat AsmaGejalaGejala MalamFaal Paru

I. Intermiten BulananAPE 80 %

Gejala < 1x / minggu Tanpa gejala di luar serangan Serangan singkat

2 kali sebulan

VEP1 80 % nilai prediksi APE 80 % nilai terbaik Variabiliti APE < 20 %

II. Persisten Ringan MingguanAPE 80 %

Gejala > 1x / minggu, tetapi < 1x / hari Serangan dapat mengganggu aktiviti dan tidur

> 2 kali sebulan

VEP1 80 % nilai prediksi APE 80 % nilai terbaik Variabiliti APE 20-30%

III. Persisten sedangHarianAPE 60 - 80 %

Gejala setiap hari Serangan mengganggu aktiviti dan tidur Membutuhkan bronkodilator setiap hari

> 1x / seminggu

VEP1 60 - 80 % nilai prediksi APE 60 - 80 % nilai terbaik Variabiliti APE > 30%

IV. Persisten beratKontinyuAPE 60 %

Gejala terus menerus Sering kambuh Aktiviti fisik terbatas

Sering

VEP1 60 % nilai prediksi APE 60 % nilai terbaik Variabiliti APE > 30%

Sumber: PDPI, 2006

10. Penatalaksanaan Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol manifestasi klinis dari penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. GINA (2009) dan PDPI (2006) menganjurkan untuk melakukan penatalaksanaan berdasarakan kontrol. Untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol terdapat dua faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu: 1. Medikasi 2. Pengobatan berdasarkan derajat

Medikasi Menurut PDPI (2006), medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara seperti inhalasi, oral dan parenteral. Dewasa ini yang lazim digunakan adalah melalui inhalasi agar langsung sampai ke jalan napas dengan efek sistemik yang minimal ataupun tidak ada. Macammacam pemberian obat inhalasi dapat melalui inhalasi dosis terukur (IDT), IDT dengan alat bantu (spacer), Dry powder inhaler (DPI), breathactuated IDT, dan nebulizer. Medikasi asma terdiri atas pengontrol (controllers) dan pelega (reliever). Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang, terutama untuk asma persisten, yang digunakan setiap hari untuk menjaga agar asma tetap terkontrol (PDPI, 2006). Menurut PDPI (2006), pengontrol, yang sering disebut sebagai pencegah terdiri dari: 1. Glukokortikosteroid inhalasi dan sistemik 2. Leukotriene modifiers 3. Agonis -2 kerja lama (inhalasi dan oral) 4. Metilsantin (teofilin) 5. Kromolin (Sodium Kromoglikat dan Nedokromil Sodium) Pelega adalah medikasi yang hanya digunakan bila diperlukan untuk cepat mengatasi bronkokonstriksi dan mengurangi gejala gejala asma. Prinsip kerja obat ini adalah dengan mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, dan batuk. Akan tetapi golongan obat ini tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hipersensitivitas jalan napas. Pelega terdiri dari: 1. Agonis -2 kerja singkat 2. Kortikosteroid sistemik 3. Antikolinergik (Ipratropium bromide) 4. Metilsantin

Pengobatan Berdasarkan Derajat Menurut GINA (2009), pengobatan berdasarkan derajat asma dibagi menjadi: 1. Asma Intermiten (Lihat Gambar 2.5) a. Umumnya tidak diperlukan pengontrol b. Bila diperlukan pelega, agonis -2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan. Alternatif dengan agonis -2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi c. Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan.2. Asma Persisten Ringan (Lihat Gambar 2.5) a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan sekaligus atau terbagi dua kali sehari) dan agonis -2 kerja lama inhalasi Budenoside : 200400 g/hari Fluticasone propionate : 100250 g/hari Teofilin lepas lambat Kromolin Leukotriene modifiers b. Pelega bronkodilator (Agonis -2 kerja singkat inhalasi) dapat diberikan bila perlu. 3. Asma Persisten Sedang (Lihat Gambar 2.5) a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis -2 kerja lama inhalasi Budenoside: 400800 g/hari Fluticasone propionate : 250500 g/hari Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah teofilin lepas lambat Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah agonis -2 kerja lama oral Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 g/hari) Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah leukotriene modifiers

b. Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu Agonis -2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 34 kali sehari, atau Agonis -2 kerja singkat oral, atau Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol

c. Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis -2 kerja lama inhalasi

d. Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada inhalasi bentuk IDT atau kombinasi dalam satu kemasan agar lebih mudah

4. Asma Persisten Berat Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat mengontrol asma, dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis -2 kerja lama inhalasi Beclomethasone dipropionate: >800 g/hari Selain itu teofilin lepas lambat, agonis -2 kerja lama oral, dan leukotriene modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis -2 kerja lama inhalai ataupun sebagai tambahan terapi Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena dapat mencegar efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk karena iritasi saluran napas atas

Gambar. Penatalaksanaan Berdasarkan Derajat Asma. Sumber: GINA, 2009.