Upload
tina-wellajat
View
497
Download
7
Embed Size (px)
Askep Emfisema
A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal pada anatomi paru dengan adanya kondisi
klinis berupa melebarkan saluran udara bagian distal bronkhiolus terminal yang disertai
dengan kerusakan dinding alveoli.(Muttaqin,2008)
Menurut WHO, emfisema merupakan gangguan pengembangan paru yang ditandai dengan
pelebaran ruang udara didalam paru-paru disertai destruksi jaringan.(Somantri, 1996)
Emfisema adalah perubahan anatomis dari parenkim paru yang ditandai oleh perbesaran
abnormal alveoli dan duktus alveolar serta kerusakan dinding alveolar. (Asih, 2003)
Emfisema adalah penyakit yang ditandai dengan pelebaran dari alveoli yang diikuti oleh
destruksi dari dinding alveoli. (RAB, 1996)
2. Faktor Resiko
Emfisema disebabkan oleh faktor lingkungan dan gaya hidup, yang sebagian besar dapat
dicegah. Merokok diperkirakan menjadi penyebab timbulnya 80-90% kasus emfisema. Faktor
resiko lainnya termasuk keadaan sosial ekonomi dan status pekerjaan yang rendah, kondisi
lingkungan yang buruk karena dekat dengan lokasi pertambangan, perokok pasif atau terkena
polusi udara.
(Reeves,dkk, 2001)
3. Klasifikasi
Terdapat dua tipe emfisema, yaitu :
a. Emfisema Centriolobular
Merupakan tipr yang sering muncul, menyebabkan kerusakan bronkiolus, biasanya pada
region paru atas, inflamasi berkembang pada bronkiolus tetapi biasanya kantong alveolar
tetap bersisa.
b. Emfisema Panlobular (Panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya termasuk pada paru bagian bawah.
Bentuk ini bersama disebut centriacinar emfisema, sangat sering timbul pada seorang
perokok.
c. Emfisema Paraseptal
Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi dari blebs sepanjang
perifer paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumotorak spontan.
Paracinal timbul pada orang tua dan klien dengan defisiensi enzim alpha-antitripsin. Pada
keadaan lanjut, terjadi peningkatan dispnea dan infeksi pulmoner serta sering kali timbul kor
pulmonal (CHF bagian kanan).
(Somantri, 2009)
4. Etiologi
Merokok. Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungan yang
erat antara merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV).(Nowak,2004)
Keturunan. Belum diketahui jelas apakah faktor keturunan berperan atau tidak pada
emfisema kecuali pada penderita dengan enzim alfa 1-antitripsin. Kerja enzim ini
menetralkan enzim proteoitik ysng sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak
jaringan, termasuk jaringan paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah.
Defisiensi alfa 1-antitripsin adalah suatu kelainan yang diturunkan secara autosom resesif.
Orang yang sering menderita emfisema paru dalah penderita yang memiliki gen S atau Z.
Emfisema paru akan lebih cepat timbul bila penderita tersebut merokok.
Infeksi. Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-
gejalanya pun menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernafasan atas pada seseorang penderita
bronkhitis kronis hampir selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, dan menyebabkan
kerusakan paru bertambah. Eksaserbasi bronkhitis kronis disangka paling sering diawali
dengan infeksi virus, yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.
Hipotesis Elastase-Antielastase. Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim
proteolitik elastase dan antielastase agar tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan
keseimbangan antara keduanya akan menimbulkan kerusakan pada jaringan elastis paru.
Struktur paru akan berubah dan timbulah emfisema. Sumber elastase yang penting adalah
pankreas, sel-sel PMN, dan marofag alveolar (pulmonary alveolar macrophage-PAM).
Rangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok dan infeksi menyebabkan elastase
bertambah banyak. Aktivitas sistem antielastase, yaitu sistem enzim alfa 1-protease-inhibitor
terutama enzim alfa 1-antitripsin menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak
ada lagi keseimbangan antara elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan
elastis paru dan kemudian emfisema. (Muttaqin, 2008)
5. Patofisiologi
Adanya inflamasi, pembengkakan bronkhi, produksi lendir yang berlebihan, kehilangan
rekoil elastisitas jalan napas, dan kolaps bronkhiolus, serta penurunan redistribusi udara ke
alveoli menimbulkan gejala sesak pada klien dengan emfisema.
Pada paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru ke
luar (yang disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada) dengan tekanan yang
menarik jaringan paru ke dalam (elastisitas paru). Keseimbangan timbul karena kedua
tekanan tersebut, volume paru yang terbentuk disebut functional residual capacity (FRC)
yang normal. Bila elastisitas paru berkurang timbul keseimbangan baru yang menghasilkan
FRC yang lebih besar. Volume residu bertambah pula, tetapi VC menurun. Pada orang
normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan
berkurang, sehingga saluran napas bagian bawah paru akan tertutup.
Pada klien dengan emfisema, saluran-saluran pernapasan tersebut akan lebih cepat dan
lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan menutup dan dinding alveoli
yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Namun, semua itu
tergantung pada kerusakannya. Mungkin saja terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak
ada, tetapi perfusinya baik sehingga penyebaran udara pernapasan maupun aliran darah ke
alveoli tidak sama dan merata. Atau dapat dikatakan juga tidak ada keseimbangan antara
ventilasi dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama).
Pada tahap akhir penyakit, sistem eliminasi karbon dioksida mengalami kerusakan. Hal
ini mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida dalam darah arteri (hiperkapnea) dan
menyebabkan asidosis respiratorik. Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan,
maka jaring-jaring kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan
ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam area
pulmonal.
Sekresi yang meningkat dan tertahan menyebabkan klien tidak mampu melakukan batuk
efektif untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis menetap dalam paru yang
mengalami emfisema ini memperberat masalah. Individu dengan emfisema akan mengalami
obstruksi kronis yang ditandai oleh peningkatan tahanan jalan napas aliran masuk dan aliran
keluar udara dari paru. Jika demikian paru berada dalam keadaan hiperekspansi kronis.
Untuk mengalirkan udara ke dalam dan ke luar paru dibutuhkan tekanan negatif selama
inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat adekuat yang harus dicapai dan dipertahankan
selama ekspirasi berlangsung. Kinerja ini membutuhkan kerja keras otot-otot pernapasan
yang berdampak pada kekakuan dada dan iga-iga terfiksasi pada persendiannya dengan
bermanifestasi pada berubahan bentuk dada dimana rasio diameter AP:Transversal
mengalami peningkatan (barrel chest). Hal ini terjadi akibat hilangnya elastisitas paru karena
adanya kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.
Pada bebrapa kasus, barrel chest terjadi akibat kifosis dimana tulang belakang bagian
napas secara abnormal bentuknya membulat atau cembung. Beberapa klien membungkuk ke
depan untuk dapat bernapas, menggunakan otot-otot bantu napas. Retraksi fosa
supraklavikula yang terjadi pada inspirasi mengakibatkan bahu melengkung ke depan.
Pada penyakit lebih lanjut, otot-otot abdomen juga ikut berkontraksi saat inspirasi.
Terjadi penurunan progresif dalam kapasitas vital paru. Ekshalasi normal menjadi lebih sulit
dan akhirnya tiodak memungkinkan terjadi. Kapasitas vital total (VC) mungkin normal, tetapi
rasio dan volume ekspirasi kuat dalam 1 detik dengan kapasitas vital (FEV1:VC) rendah. Hal
ini terjadi karena elastisitas alveoli sangat menurun. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya bagi
klien untuk menggerakkan udara dari alveoli yang mengalami kerusakan dan jalan napas
yang menyempit meningkatkan upaya pernapasan. (Smeltzer dan Bare, 2002) (Muttaqin,
2008)
6. Tanda dan Gejala
1) Kurus
2) Warna kulit pucat
3) Nafas pendek
4) Produksi sputum dan batuk jarang
(Somantri, 2009)
7. Pemeriksaan Diagnostik
1) Rontgen dada: menunjukkan hiperinflasi paru, pendataran diafragma, peningkatan ruang
udara retrostrenal, menurunnya marking vaskular/bullae.
2) Uji fungsi paru: lihat pada asma; kapasitas total paru (TLC: Total LungCapcity) menurun,
kapasitas inspiratori menurun, dan volume residual meningkat.
3) Analisa Gas Darah : PaO₂ (parsial O2) menurun, PaCO₂ (parsial CO2) normal atau
meningkat, pH normal atau asidosis, respiratori alkalosis ringan sekunder akibat
hiperventilasi.
4) Bronkhogram : menunjukkan dilatasi silindris bronkhi pada saat inspirasi, kolaps bronkhial
pada saat ekspirasi akut.
5) HSD dan hitung banding : Hemoglobin meningkat pada emfisema lanjut.
6) Kimia darah : pemeriksaan antitripsin-α1 dilakukan untuk memastikan defisiensi dan
diagnosis emfisema primer.
7) EKG saat latihan fisik, tes stres : membantu dalam mengkaji tingkat disfungsi pulmonal,
mengevaluasi keefektifan terapi bronkhodilator, merencanakan atau mengevaluasi program
latihan.
(Asih, 2003)
8. Penatalaksanaan
a. Pentalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan utama pada klien emfisema adalah meningkatkan kualitas hidup,
memperlambat perkembangan proses penyakit, dan mengobati obstruksi saluran napas agar
tidak terjadi hipoksia. Pendekatan terapi mencakup :
Pemberian terapi untuk meningkatkan ventilasi dan menurunkan kerja napas
Mencegah dan mengobati infeksi
Teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatlan ventilasi paru
Memelihara kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk memfasilitasi
pernapasan yang adekuat
Dukungan psikologis
Edukasi dan rehabilitasi klien
b. Penatalaksanaan Medis
Jenis obat yang diberikan berupa :
Bronkodilator. Terdapat dua jenis bronkodilator yaitu simpatomimetik (adrenergik)
dan senyawa xanthine. Bronkodilator ini bekerja pada tempat yang berbeda dan tampaknya
bekerja secara sinergis bilamana digunakan bersama-sama. Obat-obatan adrenalik yang
bekerja pada beta 2 yang terletak pada otot polos saluran nafas memiliki efek samping
terhadap jantung yang lebih kecil daripada obat-obatan golongan beta 1 yang memiliki
reseptor myokardium. (Long, 1996)
Terapi aerosol, Terapi aerosol membantu mengencerkan sekresi sehingga dapat
dibuang. Tindakan terapi aerosol harus diberika sebelum waktu makan untuk memperbaiki
ventilasi paru dan dengan demikian mengurangi keletihan yang menyertai aktivitas makan.
Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid tetap kontroversial dalam pengobatan
emfisema. Kortikosteroid digunakan untuk melebarkan bronkhiolus yang membuang sekresi
setelah tindakan lain tidak menunjukkan hasil. Prednison biasanya diresepkan. Dosis
disesuaikan untuk menjaga klien pada dosis yang serendah mungkin. Efek samping jangka
pendek termasuk gangguan gastrointestinal dan peninkatan nafsu makan. Pada jangka
panjang, klien mungkin mengalami ulkus peptikum,osteoporosis, supresi adrenal, miopati
steroid, dan pembentukan katarak.
Oksigenasi. Terapi oksigenasi dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada klien
emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi oksigen rendah untuk
meningkatkan PaO2 hingga antara 65 dan 80 mmHg. Pada emfisema berat, oksigen diberikan
sedikitnya 16 jam per hari, dengan 24 jam lebih baik. Modalitas ini dapat menghilangkan
gejala-gejala klien dan memperbaiki kulaitas hidup klien.(Muttaqin, 2008; Somantri, 2009)
9. Komplikasi
Pada tahap akhir penyakit, sistem eliminasi karbon dioksida mengalami kerusakan. Hal ini
mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida dalam darah arteri (hiperkapnea) dan
menyebabkan asidosis respiratorik. Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan,
maka jaringan kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel
kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah (kor pulmonal) adalah salah satu
komplikasi emfisema.terdapatnya kongesti, edema tungkai (edema dependen), distensi vena
jugularis, atau nyeri apada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung. (Nowak,2004;
Muttaqin,2008)
B. Konsep Askep
I. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan klien dan keluarga. Sejak kapan klien menderita penyakit tersebut dan
apakah anggota keluarga ada yang menderita penyakit yang sama.
b. Pola makan : kehilangan nafsu makan, atau tidak, terjadi penurunan berat badan atau tidak,
turgor kulit.
c. Pola tidur/aktivitas : kelelahan, kesulitan tidur, nafas pendek, kelelahan otot.
d. Pemeriksaan fisik mencakup
1. Inspeksi
Pada klien dengan emfisema terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan
serta penggunaan obat bantu napas. Pada inspeksi, klien biasanya tapak mempunyai bentuk
dada barrel chest(akibat udara yang terperangkap), penipisan massa otot, dan pernapasan
dengan bibir dirapatkan. Pernapasan abnormal tidak efektif dan penggunaan otot-otot bantu
napas (sternokleidomastoideus). Pada tahap lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada
aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dengan
sputum purulen disertai demam mengindikasikan adanya tanda pertama infeksi pernapasan.
2. Palpasi
Ekspansi meningkat dan taktil femitus biasanya menurun.
3. Perkusi
Didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma menurun.
4. Auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat beratnya obstruksi
pada bronkhiolus.
e. Pengkajian psikososial : klien sangat sulit membangun hubungan sosial dengan
lingkungannya, mengurung diri.
II. Diagnosa Keperawatan yang muncul
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d adanya bronkhokonstriksi, akumulasi sekret jalan
nafas, dan menurunnya kemampuan batuk efektif.
2. Gangguan perukaran gas b.d peningkatan kerja pernafasan, hipoksemia secara
reversible/menetap.
3. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan nafsu
makan.
4. Kurangnya pengetahuan b.d informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan
pengobatan.
askep emfisema
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GAGAL NAFAS
I. PENGERTIAN
• Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi
darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat
disebabkanoleh masalah ventilasi difusi atau perfusi (Susan Martin T, 1997)
• Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen
dankarbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan (RS
Jantung “Harapan Kita”, 2001)
• Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-paru
tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-
sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan
peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner &
Sudarth, 2001)
II. PATOFISIOLOGI
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing
masing mempunyai pengertian yang bebrbeda. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang
timbul pada pasien yang parunyanormal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan
penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit
paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang
batubara).Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk
secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya.
Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan
normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan
ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital
adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuatdimana terjadi obstruksi
jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang
otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor
otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan
pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode
postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen
menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkanatau dengan meningkatkan efek dari
analgetik opiood. Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas
akut.
PATHWAYS
III. ETIOLOGI
1. Depresi Sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang
menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla) sehingga
pernafasan lambat dan dangkal.
2. Kelainan neurologis primer
Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat pernafasan
menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor
pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot
pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan
sangatmempengaruhiventilasi.
3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi paru.
Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma
dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafas.
4. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas. Kecelakaan yang
mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat
mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks,
pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas.
Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk
memperbaiki patologi yang mendasar
5. Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia diakibatkan
oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma
bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang
menyababkan gagal nafas.
IV. TANDA DAN GEJALA
A. Tanda
Gagal nafas total
• Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan.
• Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela iga serta tidak ada
pengembangan dada pada inspirasi
• Adanya kesulitasn inflasi parudalam usaha memberikan ventilasi buatan
Gagal nafas parsial
• Terdenganr suara nafas tambahan gargling, snoring, Growing dan whizing.
• Ada retraksi dada
B. Gejala
• Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2)
• Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2 menurun)
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Pemerikasan gas-gas darah arteri
Hipoksemia
Ringan : PaO2 <> 60 mmHg. PaO2 dan PCO2 meningkat dengan frekuensi 5 mmHg/jam.
PaO2 tidak dapat dipertahankan pada 60 mmHg atau lebih, atau pasien memperlihatkan
keletihan atau depresi mental atau sekresi menjadi sulit untuk diatasi.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi sekunder
terhadap hipoventilasi
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan pertukaran gas yang
adekuat
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan :
• Bunyi paru bersih
• Warna kulit normal
• Gas-gas darah dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan
Intervensi :
• Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia
• Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap[ jam dan prn, laporkan perubahan
tinmgkat kesadaran pada dokter.
• Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan kenaikan dalam PaCO2
atau penurunan dalam PaO2
• Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji perlunya CPAP atau PEEP.
• Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam
• Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan peningkatan atau
penyimpangan
• Pantau irama jantung
• Berikan cairan parenteral sesuai pesanan
• Berikan obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik, steroid.
• Evaluasi AKS dalam hubungannya dengan penurunan kebutuhan oksigen.
3. Kelebihan volume cairan b.d. edema pulmo
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan perawatan pasien tidak terjadi kelebihan volume cairan
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan:
• TTV normal
• Balance cairan dalam batas normal
• Tidak terjadi edema
Intervensi :
• Timbang BB tiap hari
• Monitor input dan output pasien tiap 1 jam
• Kaji tanda dan gejala penurunan curah jantung
• Kaji tanda-tanda kelebihan volume : edema, BB , CVP
• Monitor parameter hemodinamik
• Kolaburasi untuk pemberian cairandan elektrolit
4. Gangguan perfusi jaringan b.d. penurunan curah jantung
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien mampu mempertahankan perfusi jaringan.
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan
• Status hemodinamik dalam bata normal
• TTV normal
Intervensi :
• Kaji tingkat kesadaran
• Kaji penurunan perfusi jaringan
• Kaji status hemodinamik
• Kaji irama EKG
• Kaji sistem gastrointestinal
Daftar pustaka
Hudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB Lippincott
company, Philadelpia.
Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan,
pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, EGC, Jakarta.
Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta.
Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth edition, JB
Lippincott Company, Philadelphia.
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
JURUSAN S1 KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
A. Pengertian
Penyakit Paru Obstruksi Menahun (PPOM) adalah kelainan dengan klasifikasi
yang luas, termasuk bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema, dan asma. Ini merupakan
kondisi yang terdapat pulih yang berkaitan dengan dispnea pada aktivitas fisik dan
mengurangi aliran udara (Baughman, 2000 : 444).
Penyakit paru obstruksi menahun (PPOM) adalah kondisi kronis yang berhubungan
dengan riwayat emfisema, asma, bronkiektasis, merokok sigaret, atau terpajan pada polusi
udara, terdapat sumbatan jalan nafas yang secara progresif meningkat (Tucker, 1998 : 237).
Penyakit paru obtruksi menahun (PPOM) adalah aliran udara mengalami obstruksi
yang kronis dan pasien mengalami kesulitan dalam pernafasan. PPOM sesungguhnya
merupakan kategori penyakit paru-paru yang utama dan bronkitis kronis, dimana keduanya
menyebabkan perubahan pola pernafasan (Reeves, 2001 : 41).
B. Etiologi
Faktor-faktor resiko penting yang menyebabkan PPOM
1. Perokok kretek
2. Polusi udara
3. Pemajanan di tempat kerja (batu bara, kapas, padi-padian)
Prosesnya dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20 sampai 30 tahun (Smeltzer, 2002 :
756).
Faktor penyebab lain menurut (Doenges, 1999 : 152) alergen, masalah emosi,
cuaca dingin, latihan, obat, kimia, dan infeksi.
C. Manifestasi Klinik
1. ) Batuk
2. Sputum atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.
3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan otot-otot pernafasan tambahan untuk
bernafas (Mansjoer, 2000 : 480
Manifestasi klinis dari PPOM adalah malfungsi kronis pada sistem pernafasan
yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak pada pagi hari.
Napas pendek sedang berkembang menjadi napas pendek akut. Batuk yang produktif dahak
memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak yang semakin
banyak. Pasien sering mengalami infeksi pernapasan dan kehilangan berat badan menurun
atau cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara
maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga. Pasien mudah lelah, mudah mengalami
penurunan berat badan sebagai akibat dari nafsu makan yang menurun. Penurunan daya
kekuatan tubuh, kehilangan selera makan, penurunan kemampuan pencernaan sekunder
karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem gastrointestinal (Reeves, 2001 : 44).
D. Patofisiologi
Pada bronkhitis kronik maupun emfisema terjadi penyempitan saluran nafas,
penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan menimbulkan sesak. Pada
bronkhitis kronik, saluran pernafasan kecil yang berdiameter kurang dari 2 mm menjadi lebih
sempit berkelok-kelok dan berobliterasi. Penyempitan ini terjadi karena metaplasia sel
gobles. Saluran napas besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mukus.
Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas disebabkan oleh berkurangnya elastisitas
paru-paru (Mansjoer, 2000 : 480).
Obstruksi jalan nafas yang menyebabkan reduksi aliran udara beragam tergantung
pada penyakit. Pada bronkitis kronis dan bronkiolitis penumpukan lendir dan sekresi yang
sangat banyak menyumbat jalan nafas. Pada emfisema, obstruksi pada pertukaran oksigen
dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan dinding alveoli yang disebabkan oleh
overekstensi ruang udara yang mengalir ke dalam paru-paru (Smeltzer, 2002 : 594).
E. Pathway dan Masalah Keperawatan
F. Pengkajian Dasar
Menurut Doenges (2000 : 152-155) pengkajian dasar PPOM antara lain
1. Aktivitas / istirahat
Gejala : a. Keletihan, kelelahan, malaise
b. Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas.
c. Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi tubuh tinggi.
d. Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan.
Tanda : a. Keletihan
b. Gelisah, insomnia
c. Kelelahan umum atau kehilangan massa otot
2. Sirkulasi
Gejala : Pembengkakan pada ekstremitas bawah.
Tanda : a. Peningkatan tekanan darah
b. Peningkatan frekuensi jantung atau takikardia berat, disritmia
c. Distensi vena leher
d. Edema tidak berhubungan dengan penyakit jantung
e. Bunyi jantung redup
3. Integritas ego
Gejala : a. Peningkatan faktor resiko
b. Perubahan pola hidup
Tanda : Ansietas, ketakutan, peka rangsang
4. Makanan dan cairan
Gejala : a. Mual atau muntah
b. Anoreksia
c. Penurunan berat badan
Tanda : a. Turgor kulit buruk
b. Edema
c. Berkeringat
d. Penurunan massa otot
5. Higiene
Gejala : Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan melakukan aktivitas
Tanda : Kebersihan buruk, bau badan.
6. Pernapasan
Gejala : a. Napas pendek, rasa dada tertekan
b. Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari
c. Riwayat pneumonia berulang
d. Faktor keluarga dan keturunan
e. Penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus
Tanda : a. Pernafasan cepat atau lambat, ekspirasi memanjang dengan mendengkur
b. Adanya penggunaan otot bantu pernapasan
c. Bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi
d. Perkusi hipersonan
e. Kesulitan bicara
f. Warna pucat dan sianosis bibir dan dasar kuku
g. Terdapat jari tabuh (clupping finger)
7. Keamanan
Gejala : a. Riwayat reaksi alergi, sensitif terhadap faktor lingkungan
b. Adanya atau berulangnya infeksi
Tanda : Kemerahan atau berkeringat
8. Seksualitas
Gejala : Penurunan libido
9. Interaksi sosial
Gejala : a. Hubungan ketergantungan
b. Kurang sistem pendukung
c. Kegagalan dukungan orang terdekat
d. Penyakit lama
Tanda : a. Keterbatasan mobilitas fisik
b. Kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain
10. Penyuluhan atau pembelajaran
Gejala : a. Penyalahgunaan obat pernafasan
b. Kesulitan menghentikan rokok
c. Penggunaan alkohol secara teratur
Menurut Engram (1999 : 32-33) pengkajian dasar PPOM antara lain :
1. Riwayat atau adanya faktor-faktor penunjang :
a. Merokok produk tembakau (faktor-faktor penyebab utama).
b. Tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat.
c. Riwayat alergi pada keluarga.
d. Riwayat asma pada masa anak-anak.
2. Riwayat atau adanya faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi, seperti alergen
(serbuk, debu, kulit, serbuk sari, jamur), stres emosional, aktivitas fisik berlebihan, polusi
udara, infeksi saluran napas, kegagalan program pengobatan yang dianjurkan.
3. Pemeriksaan fisik berdasarkan pengkajian sistem pernapasan yang meliputi :
a. Manisfestasi klasik dari PPOM :
1) Peningkatan dypsnea (paling sering ditemukan)
2) Penggunaan otot-otot asesori pernapasan (retraksi otot-otot abdominal, mengangkat bahu
saat inspirasi, napas cuping hidung)
3) Penurunan bunyi napas
4) Takipnea
5) Ortopnea
b. Gejala-gejala menetap pada proses penyakit dasar
1) Asma
a)Batuk (mungkin produktif atau nonproduktif), dan perasaan dada seperti terikat.
b) Mengi saat inspirasi dan ekspirasi, yang sering terdengar tanpa stetoskop.
c)Pernapasan cuping hidung.
d) Ketakutan dan diaforesis
2) Bronkitis
a)Batuk produktif dengan sputum berwarna putih keabu-abuan, yang biasanya terjadi pada pagi
hari dan sering diabaikan oleh perokok (disebut batuk perokok).
b) Inspirasi ronki kasar (crakcles) dan mengi.
c)Sesak napas
3) Bronkitis (tahap lanjut)
a)Penampilan sianosis (karena polisitemia yang terjadi sebagai akibat dari hipoksemia kronis).
b) Pembengkakan umum atau penampilan “puffy” (disebabkan oleh edem asistemik yang
terjadi sebagai akibat dari kor pulmonal); secara klinis, pasien ini umumnya disebut “blue
bloaters”.
4) Emfisema
a)Penampilan fisik kurus dengan dada “barrel chest” (diameter toraks anterior-posterior
meningkat sebagai akibat hiperinflasi paru-paru).
b) Fase ekspirasi memanjang.
5) Emfisema (tahap lanjut)
a) Hipoksemia dan hiperkapnia tetapi tak ada sianosis : pasien ini sering digambarkan secara
klinis sebagai “pink puffers”
b) Jari-jari tubuh
4. Kaji berat badan dan rata-rata masukan cairan dan diet harian.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar X dada
Hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma, peningkatan area udara retrosternal,
penurunan tanda vaskularisasi (emfisema), peningkatan tanda bronkovaskular (bronkitis).
2. Tes fungsi paru
Untuk menentukan penyebab dipsnea, menentukan apakah fungsi abnormal adalah
obstruksi atau restruksi, dan untuk mengevaluasi efek terapi.
3. Kapasitas inspirasi : menurun pada emfisema
4. Volume residu : meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma.
5. AGD
PaO2 menurun, PaCO2 normal atau meningkat (bronkitis kronis dan emfisema), dan
menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap
hiperventilasi.
6. Bronkogram
Menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps bronkial pada ekspirasi
kuat (emfisema), pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkhitis.
7. Kimia darah : meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
8. Sputum : menentukan adanya infeksi, patogen, gangguan alergi.
9. EKG : deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat), disritmia atrial (bronkitis),
peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emifisema), aksis vertikal QRS
(emfisema)
10. JDL (jumlah darah lengkap) dan diferensial
Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma) (Doenges,
2000 : 155).
H. Komplikasi
Komplikasi dari PPOM menurut Tucker (1998 : 238) adalah
1. Disritmia
2. Gagal pernafasan akut
3. Gagal jantung
4. Kor pulmoner
5. Edema perifer
6. Hepatomegali
7. Sianosis
8. Distensi vena leher
9. Murmur regurgitasi
10. Polisitemia
11. Peptik dan refluks esofagus
Komplikasi dari PPOM menurut Mansjoer (2000 : 481) infeksi yang berulang,
pneumothoraks spontan, eritrositosis karena keadaan hipoksia kronis, gagal nafas, dan cor
pulmonal.
Komplikasi dari PPOM menurut Smeltzer (2002 : 596)
1. Gagal atau insufisiensi pernapasan
2. Atelektasis
3. Pneumonia
4. Pneumothoraks
5. Hipertensi paru
I. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis menurut Tucker (1998 : 238)
a. Terapi oksigen
b. Berikan nafas buatan atau ventilasi mekanik sesuai kebutuhan
c. Fisioterapi dada
d. Pengkajian seri GDA
e. Obat-obatan
f. Bronkodilator
g. Antibiotik
h. Kortikosteroid
i. Diuretik
j. Vaksinasi influensa
k. Kardiotonik
2. Penatalaksanaan keperawatan
Tindakan keperawatan menurut Doenges (2000 : 156-163), tindakan keperawatan
yang penting pada pasien PPOM adalah fisioterapi dada, batuk efektif, latihan nafas
dalam, memberikan posisi semi fowler, cegah terjadinya polusi lingkungan, kaji tingkat
ketergantungan pasien, mendiskusikan efek bahaya merokok dan menganjurkan pasien
untuk menghindari rokok, tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari, diskusikan
kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
J. Fokus Intervensi
Menurut Donges (2000 : 156) fokus intervensi PPOM antara lain :
1. Inefektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkospasme, peningkatan produksi
sekret, sekresi tertahan tebal, sekresi kental, penurunan energi atau kelemahan.
Tujuan yang ditetapkan adalah mempertahankan potensi jalan nafas dengan kriteria
hasil :
a. Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih dan jelas.
b. Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas, misal : batuk efektif dan
mengeluarkan sekret.
Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi inefektif bersihan jalan nafas adalah :
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas.
b. Pantau frekuensi pernafasan.
c. Catat adanya derajat dypsnea.
d. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman.
e. Pertahankan polusi lingkungan minimum.
f. Bantu latihan nafas abdomen.
g. Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (obstruksi jalan
nafas oleh sekresi, spasme bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
Tujuan yang ditetapkan adalah mempermudah pertukaran gas dengan kriteria hasil :
a. Pasien akan menunjukkan perbaikan ventilasi dengan oksigenasi jaringan adekuat dengan
GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distres pernafasan.
b. Pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan atau
situasi.
Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi kerusakan pertukaran gas adalah :
a. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan, catat penggunaan otot aksesori, nafas bibir,
ketidakmampuan bicara atau berbincang.
b. Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien memilih posisi yang mudah untuk bernafas dan
latihan nafas dalam.
c. Kaji kulit dan warna membran mukosa.
d. Dorong pengeluaran sputum.
e. Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan bunyi tambahan.
f. Awasi tingkat kesadaran atau status mental.
g. Awasi tanda vital dan irama jantung.
h. Berikan O2 tambahan sesuai indikasi hasil GDA dan intoleransi pasien.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dypsnea, kelemahan
efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
Tujuan yang ditetapkan adalah meningkatkan masukan nutrisi dengan kriteria hasil :
a. Pasien akan menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat.
b. Pasien akan menunjukkan perilaku atau perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau
mempertahankan berat yang tepat.
Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi perubahan nutrisi adalah
a. Kaji kebiasaan diit, masukan makanan saat ini.
b. Auskultasi bunyi usus.
c. Berikan perawatan oral, buang sekret.
d. Dorongan periode istirahat selama 1 jam, sebelum dan sesudah makan.
e. Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.
f. Hindari makanan yang sangat panas atau sangat dingin.
g. Timbang berat badan sesuai indikasi.
h. Kaji pemeriksaan laboratorium.
i. Konsul dengan ahli gizi.
4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama (penurunan
kerja silia, menetapnya sekret)
Tujuan yang diterapkan tidak ada tanda dan gejala infeksi dengan kriteria hasil :
a. Menyatakan pemahaman penyebab atau faktor resiko individu.
b. Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko individu.
c. Menunjukkan teknik, perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang aman.
Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi infeksi adalah :
a. Kaji suhu tubuh pasien
b. Kaji pentingnya nafas dalam, batuk efektif, perubahan posisi sering, dan masukan cairan
adekuat.
c. Kaji warna, karakter, bau sputum.
d. Ajarkan cuci tangan yang benar.
e. Awasi pengunjung.
f. Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
g. Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi atau tidak mengenal sumber
informasi, salah mengerti tentang informasi, kurang mengingat atau keterbatasan kognitif.
Tujuan yang ditetapkan adalah meningkatkan tingkat pengetahuan dengan kriteria
hasil :
a. Menyatakan pemahaman kondisi atau proses penyakit dan tindakan.
b. Mengidentifikasi hubungan tanda dan gejala yang ada dari proses penyakit dan
menghubungkan dengan faktor penyebab.
c. Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan.
Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah kurang pengetahuan adalah :
a. Jelaskan proses penyakit individu.
b. Diskusikan obat pernafasan, efek samping, dan reaksi yang tak diinginkan.
c. Anjurkan menghindari agen sedatif anti anestesi.
d. Tekankan pentingnya perawatan oral atau kebersihan gigi.
e. Diskusikan pentingnya menghindari orang yang sedang infeksi pernafasan akut.
f. Kaji efek bahaya merokok dan nasehatkan menghentikan rokok pada pasien dan atau
orang terdekat.
g. Berikan reinforcement tentang pembatasan aktivitas.
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff Hood, Mukty, H.A., 2006, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University Press,
Surabaya.
Asih. N.L.G.Y., Effendy, C., 2004, Keperawatan Medikal Bedah : Klien dengan Gangguan Sistem
Pernafasan, Editor Monika Ester, EGC, Jakarta.
Baughman, Diane, C., 2000, Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.
Carpenito, L.J., 1998, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik, (terjemahan), Alih
Bahasa : PSIK, Universitas Padjajaran, EGC, Jakarta.
Carpenito, L.J., 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan Diagnosa Keperawatan dan
Masalah Kolaboratif, Alih Bahasa : PSIK, Universitas Padjajaran, EGC, Jakarta.
Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik, (terjemahan), Alih
Bahasa : PSIK, Universitas Padjajaran, EGC, Jakarta.
Danusanto, H., 2000, Ilmu Penyakit Paru, Hipokrates, Jakarta.
Doenges, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1999, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman
untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, (terjemahan), Alih Bahasa : I
Made Krisiana dan Ni Made Sumarwati, Ed. 3, EGC, Jakarta.
Doenges, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman
untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, (terjemahan), Alih Bahasa : I
Made Krisna dan Ni Made Sumarwati, Ed. 3, EGC, Jakarta.
Engram, Barbara, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, (terjemahan), Alih Bahasa :
Suharyati Samba, Vol. 1, EGC, Jakarta.
Engram, Barbara, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, (terjemahan), Alih Bahasa :
Suharyadi Samba, EGC, Jakarta.
Kee, J.L., 2008, Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik dengan Implikasi
Keperawatan, (terjemahan), Ed. 2, EGC, Jakarta.
Mansjoer, Arif, M., 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Editor Mansjoer Arif, Media Aesculapius,
Jakarta.
askep emfisema
09 Apr 2012 Tinggalkan Sebuah Komentar
by adindadienz in tugas Kaitkata:tugas
1. A. PENGERTIAN
Emfisema adalah perubahan anatomis paremkim paru yang biasanya ditandai dengan
perbesaran alveolus dan duktus alveolaris serta destruksi dinding alveolus (Price).
Emfisema adalah penyakit obstruksi kronik akibat berkurangnya elastisitas paru dan luas
permukaan alveolus (Corwin).
Emfisema kronik adalah penyakit yang ditandai dengan pelebaran dari alveoli yang
diikuti oleh destruksi dari dinding alveoli. Biasanya terdapat bersamaan dengan bronchitis
kronik, akan tetapi dapat pula berdiri sendiri. Penyebabnya juga sama dengan bronchitis,
antara lain pada perokok. Akan tetapi pada yang hedediter, dimana terjadi kekurangan pada
globulin alfa antitrypsin yang diikuti oleh fibrosis, maka emfisema muncul pada lobus bawah
pada usia muda tanpa harus terdapat bronchitis kronik. (Tabrani Rab, 2006)
Emfisema paru dapat pula terjadi setelah atelektasis atau setelah lobektomi, yang
disebut emfisema kompensasi dimana tanpa didahului dengan bronchitis kronik dahulu.
Kebanyakan emfisema terjadi pada daerah distal dari bronkus, terutama pada asma bronchial.
Penyempitan bronkus kadang kala menimbulkan perangkap udara (air tapering), dimana
udara dapat masuk tetapi tidak keluar, sehingga menimbulkan emfisema yang akut. Frekuensi
emfisema lebih banyak pada pria daripada wanita. (Tabrani Rab, 2006)
Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal pada anatomi paru dengan adanya kondisi
klinis berupa melebarnya saluran udara bagian distal bronkiolus terminal yang disertai
dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini meupakan tahap akhir proses yang mengalami
kemajuan dengan lambat selama beberapa tahun. Pada kenyataannya, ketika klien mengalami
gejala emfisema, fungsi paru sudah sering mengalami kerusakan permanen (irreversible)
yang disertai dengan bronchitis obstruksi kronis. Kondisi ini merupakan penyebab utama
kecacatan. (Arif Muttaqin, 2008)
Yang menjadi pokok utama pada emfisema adalah adanya hiperinflasi dari paru yang bersifat
irreversible dengan konsekuensi rongga toraks berubah menjadi gembung atau barrel chest.
Gabungan dari alveoli yang pecah dapat menimbulkan bula yang besar yang kadang-kadang
memberikan gambaran seperti pneumotoraks. (Tabrani Rab, 2006)
1. B. ETIOLOGI
(Menurut Arif Muttaqin , 2008)
Berikut ini merupakan penyebab dari emfisema adalah:
1. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungan yang erat antara
merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV) (Nowak, 2004).
1. Keturunan
Belum diketahui jelas apakah factor keturunan berperan atau tidak pada emfisema kecuali
pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Kerja enzim ini menetralkan enzim
proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan
paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah. Defisiensi alfa 1-antitripsin
adalah suatu kelainan yang diturunkan secara autosom resesif. Orang yang sering menderita
emfisema paru adalah penderita yang memiliki gen S atau Z. Emfisema paru akan lebih cepat
timbul bila penderita tersebut merokok.
1. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-gejalanya pun
menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernapasan atas pada seseorang penderita bronchitis
kronis hamper selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, dan menyebabkan kerusakan
paru bertambah. Eksaserbasi bronchitis kronis disangka paling sering diawali dengan infeksi
virus, yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.
1. Hipotesis Elastase – Antielastase
Di dalam paruterdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase agar
tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara keduanya akan
menimbulkan kerusakan pada jaringan elastic paru. Struktur paru akan berubah dan timbullah
emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pancreas, sel-sel PMN, dan makrofag
alveolar (pulmonary alveolar macrophage-PAM). Rangsangan pada paru antara lain oleh
asap rokok dan infeksi virus menyebabkan elastase virus bertambah banyak. Aktivitas system
antielastase, yaitu system enzim alfa 1-protease-inhibitor terutama enzim alfa 1-antitripsin
menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada lagi keseimbangan antara
elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru dan kemudian
emfisema.
1. C. PATOFISIOLOGI
(Menurut Arif Muttaqin, 2008)
Adanya inflamasi, pembengkakan bronchi, produksi lendir yang berlebihan, kehilangan recoil
elastisitas jalan napas, dan kolaps bronkhiolus, serta penurunan redistribusi udara ke alveoli
menimbulkan gejala sesak pada klien dengan emfisema.
Pada paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru ke luar
(yang disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada) dengan tekanan yang
menarik jaringan paru ke dalam (elastisitas paru). Keseimbangan timbul antara kedua tekanan
tersebut, volume paru yang terbentuk disebut sebagai functional residual capacity (FRC)
yang normal. Bila elastisitas paru berkurang timbul keseimbangan baru dan menghasilkan
FRC yang lebih besar. Volume residu bertambah pula, tetapi VC menurun. Pada orang
normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan
berkurang, sehingga saluran pernapasan bagian bawah paru akan tertutup.
Pada klien dengan emfisema, saluran-saluran pernapasan tersebut akan lebih cepat dan lebih
banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan menutup dan dinding alveoli yang
rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Namun semua itu
bergantung pada kerusakannya. Mungkin saja terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak
ada, tetapi perfusinya baik sehingga penyebarannya udara pernapsan maupun aliran darah ke
alveoli tidak sama dan merata. Atau dapat dikatakan juga tidak ada keseimbangan antara
ventilasi dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama)
Pada tahap akhir penyakit, system eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan. Hal ini
mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri (hiperkapnea) dan
menyebabkan asidosis respiratorik. Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan,
maka jaringan-jaringan kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan
ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam area
pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (edema dependen), distensi vena
jugularis, atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung (Nowak, 2004).
Sekresi yang meningkat dan tertahan menyebabkan klien tidak mampu melakukan batuk
efektif untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis menetap dalam paru yang
mengalami emfisema, ini memperberat masalah. Individu dengan emfisema akan mengalami
obstruksi kronis yang ditandai oleh peningkatan tahanan jalan napas aliran masuk dan aliran
keluar udara dari paru. Jika demikian, paru berada dalam keadaan hiperekspansi kronis.
Untuk mengalirkan udara ke dalam dan ke luar paru dibutuhkan tekanan negative selama
inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat adekuat yang harus dicapai dan dipertahankan
selama ekspirasi berlangsung. Kinerja ini membutuhkan kerja keras otot-otot pernapasan
yang berdampak pada kekuatan dada dan iga-iga terfiksasi pada persendiannya dengan
bermanifestasi pada perubahan bentuk dada dimana rasio diameter AP:Transferal mengalami
peningkatan (barrel chest). Hal ini terjadi akibat hilangnya elastisitasparu karena adanya
kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.
Pada beberapa kasus, barrel chest terjadi akibat kifosis di mana tulang belakang bagian atas
secara abnormal bentuknya membulat atau cekung. Beberapa klien membungkuk ke depan
untuk dapat bernapas, menggunakan otot-otot bantu napas. Retraksi fosa supraklavikula yang
terjadi pada inspirasi mengakibatkan bahu melengkung ke depan
1. D. PATHWAY
1. E. KLASIFIKASI
(Menurut Tabrani Rab, 2006)
Sebagai klinis diagnosis dari emfisema berdasarkan atas:
1. Pelebaran yang permanen dari sakus alveolaris. Pelebaran yang refersibel, seperti
pada asma, yang disebabkan oleh karena terperangkapnya udara dan dapat kembali
menjadi normal tidak digolongkan ke dalam emfisema.
2. Pelebaran dari sakus alveolaris (asinus) dan rusaknya dinding alveoli merupakan
gambaran normal pada usia lanjut dan perubahan fisiologi ini bukan merupakan
emfisema.
3. Yang terpenting pada emfisema adalah terdapatnya destruksi dari jaringan alveoli.
Secara faal menyebabkan paru kehilangan recoilnya dan kehilangan pembuluh darah
yang terdapat di unit paru tersebut, sehingga sebagian unit paru ini tidak berfungsi
lagi dan diambil alih oleh unit paru yang lainnya.
Berdasarkan efek emfisema pada asinus maka emfisema dapat dibagi menjadi 4 tipe, yakni:
1. Emfisema asinus distal atau disebut juga dengan emfisema paraseptal Lesi ini
biasanya terjadi di sekitar septum lobules, bronkus, dan pembuluh darah atau di
sekitar pleura maka mudah menimbulkan pneumotoraks pada orang muda.
2. Emfisema sentrilobular disebut juga emfisema asinus proksimal atau emfisema
bronkiolus respiratorius. Biasanya terjadi bersama-sama dengan pneumoconiosis atau
penyakit-penyakit oleh karena debu lainnya. Penyakit ini erat hubungannya dengan
perokok, bronchitis kronik, dan infeksi saluran napas distal. Penyakit ini sering
didapat bersamaan dengan obstruksi kronik dan berbahaya bila terdapat pada bagian
atas paru.
3. Emfisema parasinar
Biasanya terjadi pada seluruh asinus. Secara klinis berhubungan erat dengan:
1. Defisiensi alfa antitrypsin
2. Bronkus dan bronkiolus obliterasi (biasanya lebih jarang)
3. Emfisema irregular atau disebut juga dengan emfisema jaringan parut. Biasanya
terlokalisir, bentuknya irregular dan tanpa gejala klinis. Salah satu bentuk emfisema
yang lain adalah emfisema jaringan parut yang berbentuk irregular. Jaringan parut
yang menyebabkan irregular dan emfisema ini berhubungan dengan tuberkulosa,
histoplasmosis, dan pnemokoniosis. Begitu pula eosinofilik granuloma dalam bentuk
irregular dan limfangileiomiomatosis.
1. F. TANDA DAN GEJALA
Gambaran Emfisematosa
AwitanUsia saat
didiagnosisSebab
Sputum
Dispnea
Rasio V/Q
Bentuk tubuh
Usia 30-40 tahun±60 tahunFaktor-faktor yang
tidak diketahui
Predisposisi genetic
Merokok
Polusi udara
Sedikit
Diameter AP dada
PA paru
Pola pernapasan
Volume paru-paru
PaCO2
PaO2
SaO2
Hematokrit
Polisetemia
Sianosis
Kor pulmoner
Relatif dini
Ketidakseimbangan V/Q minimal
Kurus dan ramping
Sering berbentuk seperti tong
Emfisema panlobular
Hiperventilasi dan dispnea yang jelas, dapat
timbul sewaktu istirahat
FEV1 rendah
TLC dan RV meningkat
Normal atau rendah (35-40 mmHg)
65-75 mmHg
Normal
35 sampai 45%
Hb dan Hct normal sampai tahap akhir
Jarang
Jarang kecuali tahap akhir
1. G. PENATALAKSANAAN
Klien dengan emfisema rentan terhadap infeksi paru dan harus diobati pada awal timbulnya
ranch-ranch infeksi. Organisme yang paling umum menyebabkan infeksi tersebut adalah S.
pneumonia, H.influenzae, dan Branhamella catarrhalis. Terapi antimikroba dengan
tetrasiklin, amficilin, amoxicillin, atau trimetoprim-sulfametoxazol (bactrim) biasanya
diresepkan. Regimen antimikroba digunakan pada tanda pertanda infeksi pernapasan seperti
yang dibuktikan dengan adanya sputum purulen, batuk meningkat, dan demam.
Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid tetap controversial dalam pengobatan emfisema. Kortikosteroid
digunakan untuk melebarkan bronkhiolus dan membuang sekresi setelah tindakan lain tidak
menunjukkan hasil. Prednison biasanya diresepkan.
Dosis disesuaikan untuk menjaga klien pada dosis yang serendah mungkin. Efek samping
jangka pendek termasuk gangguan gastrointestinal dan peningkatan nafsu makan. Pada
jangka panjang, klien mungkin mengalami ulkus peptikum, osteoporosis, supresi adrenal,
miopati steroid, dan pembentukan katarak.
Oksigenasi
Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada klien dengan emfisema berat.
Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi oksigen rendah untuk meningkatkan PaO2
hingga antara 65 dan 80 mmHg. Pada emfisema berat, oksigen diberikan sedikitnya 16 jm per
hari, dengan 24 jam lebih baik. Modalitas ini dapat menghilangkan gejala-gejala klien dan
memperbaiki kualitas hidup klien.
1. H. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
(Menurut Arif Muttaqin, 2008)
Anamnesa
Dispnea adalah keluhan utama emfisema dan mempunyai serangan (onset) yang
membahayakan. Klien biasanya mempunyai riwayat merokok, batuk kronis yang lama,
mengi, serta nafas pendek dan cepat (takipnea). Gejala-gejala diperburuk oleh infeksi
pernapasan. Perawat perlu mengkaji obat-obat yang biasa diminum klien, memeriksa kembali
setiap jenis obat apakah masih relevan untuk digunakan kembali.
Pemeriksaan Fisik Fokus
1. 1. Inspeksi
Pada klien dengan emfisema terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan
serta penggunaan otot bantu napas. Pada inspeksi, klien biasanya tampak mempunyai bentuk
dada barrel chest (akibat udara yang terperangkap), penipisan massa otot, dan pernapasan
dengan bibir dirapatkan. Pernapasan abnormal tidak efektik dan penggunaan otot-otot bantu
napas (sternokleidomastoideus). Pada tahap lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada
aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dengan
sputum purulen disertai demam mengindikasi adanya tanda pertama infeksi pernapasan
1. Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun.
1. 3. Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma menurun.
1. 4. Auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat beratnya obstruktif
pada bronkhiolus. Pada pengkajian lain, didapatkan kadar oksigen yang rendah (hipoksemia)
dan kadar karbondioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut penyakit. Pada
waktunya, bahkan gerakan ringan sekalipun seperti membungkuk untuk mengikatkan tali
sepatu, mengakibatkan dispnea dan keletihan (dispnea eksersional). Paru yang mengalami
emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi dan bronkhiolus tidak dikosongkan secara
efektif dari sekresi yangf dihasillkan. Klien rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi
akibat pengumpulan sekresi ini. Setelah infeksi ini terjadi, klien mengalami mengi yang
berkepanjangan saat ekspirasi. Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan merupakan
hal yang umum terjadi. Vena jugularis mungkin mengalami distensi selama ekspirasi.
1. a. Pemeriksaan Diagnostik
2. 1. Pengukuran Fungsi Paru (Spirometri)
Pengukuran fungsi paru biaasanya menunjukkan peningkatan kapasitas paru total (TLC) dan
volume residual (RV). Terjadi penurunan dalam kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi
paksa (FEV). Temuan-temuan ini menegaskan kesulitan yang dialami klien dalam
mendorong udara ke luar dari paru.
1. 2. Pemeriksaan Laboratorium
Hemoglobin dan hematokrit mungkin normal pada tahap awal penyakit. Dengan
berkembangnya penyakit, pemeriksaan gas darah arteri dapat menunjukkan adanya hipoksia
ringan dengan hiperkapnea.
1. 3. Pemeriksaan Radiologis
Rontgen thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi, pendataran diafragma, pelebaran margin
interkosta, dan jantung sering ditemukan bagai tergantung (heart till drop).
1. I. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
(Menurut Muttaqin A,dkk,2006)
1. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-perfusi.
Tujuan: Perbaikan dalam pertukaran gas.
Intervensi :
1) Berikan bronkodilator sesuai yang diresepkan.
2) Evaluasi tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB.
3) Instruksikan dan berikan dorongan pada pasien pada pernapasan diafragmatik dan batuk
efektif.
4) Berikan oksigen dengan metode yang diharuskan.
Rasional:
1) Bronkodilator mendilatasi jalan napas dan membantu melawan edema mukosa
bronchial dan spasme muscular.
2) Mengkombinasikan medikasi dengan aerosolized bronkodsilator nebulisasi biasanya
digunakan untuk mengendalikan bronkokonstriksi.
3) Teknik ini memperbaiki ventilasi dengan membuka jalan napas dan membersihkan
jalan napas dari sputum. Pertukaran gas diperbaiki.
4) Oksigen akan memperbaiki hipoksemia.
Evaluasi:
1. Mengungkapkan pentingnya bronkodilator.
2. Melaporkan penurunan dispnea.
3. Menunjukkan perbaikan dalam laju aliran ekspirasi.
4. Menunjukkan gas-gas darah arteri yang normal.
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif yang berhubungan dengan bronkokontriksi,
peningkatan produksi lendir, batuk tidak efektif, dan infeksi bronkopulmonal.
Tujuan : Pencapaian klirens jalan napas.
Intervensi :
1) Beri pasien 6-8 gelas cairan/hari, kecuali terdapat kor pulmonal.
2) Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmaik dan batuk.
3) Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler, atau IPPB.
4) Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan malam hari
sesuai yang diharuskan.
5) Instruksikan pasien untuk menghindari iritan, seperti asap rokok, aerosol, dan asap
pembakaran.
6) Berikan antibiotik sesuai yang diresepkan.
Rasional :
1) Hidrasi sistemik menjaga sekresi tetap lembab dan memudahkan untuk pengeluaran.
2) Teknik ini akan membantu memperbaiki ventilasi dan untuk menghasilkan sekresi
tanpa harus menyebabakan sesak napas dan keletihan.
3) Tindakan ini menambahakan air ke dalam percabangan bronchial dan pada sputum
menurunkan kekentalannya, sehingga memudahkan evakuasi sekresi.
4) Menggunakan gaya gravitasi untuk membantu membangkitkan sekresi sehingga sekresi
dapat lebih mudah dibatukkan atau diisap.
5) Iritan bronkial menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan pembentukan lendir,
yang kemudian mengganggu klirens jalan napas.
6) Antibiotik mungkin diresepkan untuk mencegah atau mengatasi infeksi.
Evaluasi :
1. Mengungkapkan pentingnya untuk minum 6-8 gelas per hari.
2. Batuk berkurang.
3. Jalan napas kembali efektif.
1. Pola pernapasan tidak efektif yang berhubungan dengan napas pendek, lendir,
bronkokonstriksi, dan iritan jalan napas.
Tujuan : perbaikan dalam pola pernapasan.
Intervensi :
1) Ajarkan pasien pernapasan diafragmatik dan pernapasan bibir dirapatkan.
2) Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode istirahat.
3) Berikan dorongan penggunaan pelatihan otot-otot pernapasan jika diharuskan.
Rasional :
1) Membantu pasien memperpanjang waktu ekspirasi. Dengan teknik ini pasien akan
bernapas lebih efisien dan efektif.
2) Memberikan jeda aktivias akan memungkinkan pasien untuk melakukan aktivitas tanpa
distres berlebihan.
3) Menguatkan dan mengkoordinasiakn otot-otot pernapasan.
Evaluasi :
1. Melatih pernapasan bibir dirapatkan dan diafragmatik serta menggunakannya ketika
sesak napas dan saat melakukan aktivitas.
2. Memperlihatkan tanda-tanda penurunan upaya bernapas dan membuat jarak dalam
aktivitas.
3. Menggunakan pelatihan otot-otot inspirasi, seperti yang diharuskan.
4. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan keletihan sekunder akibat
peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
Tujuan : kemandirian dalam aktivitas perawatn diri.
Intervensi :
1) Ajarkan pasien untuk mengkoordinasikan pernapasan diafragmatik dengan aktivitas.
2) Berikan pasien dorongan untuk mulai mandi sendiri, berpakaian sendiri, berjalan.
3) Ajarkan tentang drainase postural bila memungkinkan.
Rasional :
1) Akan memungkinkan pasien untuk lebih aktif dan untuk menghindari keletihan yang
berlebihan atau dispnea selama aktivitas.
2) Sejalan dengan teratasinya kondisi, pasien akan mampu melakukan lebih banyak
namun perlu didorong untuk menghindari peningkatan ketergantungan.
3) Memberikan dorongan pada pasien untuk terlibat dalam perawtan dirinya.
Evaluasi :
1. Menggunakan pernapasan terkontrol ketika beraktivitas.
2. Menguraikan strategi penghematan energi.
3. Melakukan aktivitas perawatan diri seperti sebelumnya.
1. Intoleran aktivitas akibat keletihan, hipoksemia, dan pola pernapasan tidak efektif.
Tujuan: perbaikan dalam toleran aktivitas.
Intervensi:
1) Dukungan pasien dalam menegakkan regimen latihan teratur.
Rasional:
1) Otot-otot yang mengalami kontaminasi membutuhkan lebih banyak oksigen dan
memberikan beban tambahan pada paru-paru. Melalui latihan yang teratur, kelompok otot
menjadi lebih terkondisi.
Evaluasi:
1. Melakukan aktivitas dengan napas pendek lebih sedikit.
2. Berjalan secara bertahap meningkatkan waktu dan jarak berjalan untuk memperbaiki
kondisi fisik.
1. Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas,
depresi, tingkat aktivitas rendah, dan ketidakmampuan untuk bekerja.
Tujuan: pencapaian tingkat koping yang optimal.
Intervensi:
1) Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat yng ditujukan
kepada pasien.
2) Dorongan aktivitas sampai tingkat toleransi gejala.
3) Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi pasien.
Rasional:
1) Suatu perasaan harapan akan memberikan pasien sesuatu yang dapat dikerjakan.
2) Aktivitas mengurangi ketegangan dan mengurangi tingkat dispnea sejalan dengan
pasien menjadi terkondisi.
3) Relaksasi mengurangi stres dan ansietas dan membantu pasien untuk mengatasi
ketidakmampuannya.
Evaluasi :
1. Mengekspresikan minat di masa depan.
2. Mendiskusikan aktivitas dan metode yang dapat dilakukan untuk menghilangkan
sesak napas.
3. Menggunakan teknik relaksasi dengan sesuai.
1. Defisit pengetahuan tentang prosedur perawatan diri yang akan dilakukan di rumah.
Tujuan: kepatuhan dengan program terapeutik dan perawatan di rumah.
Intervensi:
1) Bantu pasien mengerti tentang tujuan-tujuan jangka pendek dan jangka panjang.
2) Diskusikan keperluan untuk berhenti merokok.
Rasional:
1) Pasien harus mengetahui bahwa ada metoda dan rencana dimana ia memainkan peranan
yang besar.
2) Asap tembakau menyebabkan kerusakan pasti pada paru dan menghilangkan
mekanisme proteksi paru-paru. Aliran udara terhambat dan kapasitas paru menurun.
Evaluasi:
1. Mengerti tentang penyakitnya dan apa yang mempengarukinya.
2. Berhenti merokok
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin,Arif.2008.Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan.Jakarta:Salemba Medika.
Rab,Tabrani.2006.Ilmu Penyakit Paru.Jakarta:Hipokrutes.
Muttaqin,A.dkk.2006.Standard Operating Procedure dan Standard Asuhan Keperawatan
RSUD Ulin Banjarmasin.Banjarmasin:Komite Keperawatan dan Keteknisian Medis RSUD
Ulin.
http://www.ziddu.com/download/64755169/pathway-emfisema.doc.html
Anonim. 2009. Penyakit Obstruksi Paru Kronik. http://www.kalbeportal.com.
———. 2009. COPD in Smoker. http://content.nejm.org/.
Davey. 2006. At a Glance Medicine: Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Jakarta: Erlangga
Guyton dan Hall. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9: Insufesiensi Pernapasan.
Jakarta: EGC
Kumar dkk. 2006. Buku Ajar Patologi Jilid 2 Edisi 7: Paru dan Saluran Napas Atas.
Jakarta: EGC
LAPORAN PENDAHULUAN
EMFISEMA
A. Pengertian
Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku mengembang dan terus menerus
terisi udara walaupun setelah ekspirasi.(Kus Irianto.2004.216)
Emfisema merupakan morfologik didefisiensi sebagai pembesaran abnormal ruang-ruang
udara distal dari bronkiolus terminal dengan desruksi dindingnya.(Robbins.1994.253)
Emfisema adalah penyakit obtruktif kronik akibat kurangnya elastisitas paru dan luas
permukaan alveoli.(Corwin.2000.435)
B. Klasifikasi
Terdapat 2 (dua) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan yang
terjadi dalam paru-paru :
1. Panlobular (panacinar), yaitu terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus alveolar, dan
alveoli. Semua ruang udara di dalam lobus sedikit banyak membesar, dengan sedikit penyakit
inflamasi. Ciri khasnya yaitu memiliki dada yang hiperinflasi dan ditandai oleh dispnea saat
aktivitas, dan penurunan berat badan.
2. Sentrilobular (sentroacinar), yaitu perubahan patologi terutama terjadi pada pusat lobus
sekunder, dan perifer dari asinus tetap baik. Seringkali terjadi kekacauan rasio perfusi-
ventilasi, yang menimbulkan hipoksia, hiperkapnia (peningkatan CO2 dalam darah arteri),
polisitemia, dan episode gagal jantung sebelah kanan. Kondisi mengarah pada sianosis,
edema perifer, dan gagal napas.
C. Etiologi
Beberapa hal yang dapat menyebabkan emfisema paru yaitu :
1. Rokok
Rokok secara patologis dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas,
menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar
mukus bromkus.
2. Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka kematian
emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi, polusi udara
seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan gangguan pada silia menghambat fungsi
makrofag alveolar.
3. Infeksi
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih berat. Penyakit infeksi saluran
nafas seperti pneumonia, bronkiolitis akut dan asma bronkiale, dapat mengarah pada
obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya emfisema.
4. Genetik
5. Paparan Debu
D. Manifestasi Klinis
1. Dispnea
2. Pada inspeksi: bentuk dada ‘burrel chest’
3. Pernapasan dada, pernapasan abnormal tidak efektif, dan penggunaan otot-otot aksesori
pernapasan (sternokleidomastoid)
4. Pada perkusi: hiperesonans dan penurunan fremitus pada seluruh bidang paru.
5. Pada auskultasi: terdengar bunyi napas dengan krekels, ronki, dan perpanjangan ekspirasi
6. Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan umum
7. Distensi vena leher selama ekspirasi.
E. Patofisiologi
Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai perobekan alveolus-alveolus
yang tidak dapat pulih, dapat bersifat menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai sebagian tau
seluruhparu.
Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstrusi sebagian yang
mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus
menjadi lebih sukar dari pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi penimbunan udara
yang bertambah di sebelah distal dari alveolus.
Pada emfisema terjadi penyempitan saluran nafas, penyempitan ini dapat mengakibatkan
obstruksi jalan nafas dan sesak, penyempitan saluran nafas disebabkan oleh berkurangnya
elastisitas paru-paru.
F. Komplikasi
1. Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan
2. Daya tahan tubuh kurang sempurna
3. Tingkat kerusakan paru semakin parah
4. Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas
5. Pneumonia
6. Atelaktasis
7. Pneumothoraks
8. Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien.
G. Pemeriksaan diagnostik
· Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma;
peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema);
peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
· Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan
apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat
disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, mis., bronkodilator.
· TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma; penurunan
emfisema
· Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema
· Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma
· FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada
bronkitis dan asma
· GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis
h.Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kollaps bronkial
pada ekspirasi kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkitis
· JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma)
· Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa
emfisema primer
· Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen; pemeriksaan
sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi
· EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia atrial
(bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis
vertikal QRS (emfisema)
· EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi
keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan/evaluasi program latihan.
Sumber : http://download-askep.blogspot.com