29
 PENGARUH KONSELING OBAT TERHADAP KEPATUHAN PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI POLIKLINIK KHUSUS RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. M. DJAMIL PADANG ARTIKEL Oleh : ADE RAMADONA 08 212 13 056 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2011

Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056

Embed Size (px)

Citation preview

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 1/29

PENGARUH KONSELING OBAT TERHADAP

KEPATUHAN PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2

DI POLIKLINIK KHUSUS RUMAH SAKIT UMUM PUSATDR. M. DJAMIL PADANG

ARTIKEL

Oleh :

ADE RAMADONA

08 212 13 056

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2011

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 2/29

1

PENGARUH KONSELING OBAT TERHADAP KEPATUHAN

PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI POLIKLINIK KHUSUS

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. M. DJAMIL PADANG

Oleh : Ade Ramadona

(Dibawah bimbingan Prof. Dr. H. Almahdy, A., MS, Apt;

Prof. DR. dr. H. Nasrul Zubir, Sp.PD-KGEH; Khairil Armal, S.Si, Sp.FRS, Apt)

ABSTRAK

Keberhasilan suatu pengobatan tidak hanya dipengaruhi oleh kualitas

pelayanan kesehatan, sikap dan keterampilan petugasnya, sikap dan pola hidup

pasien beserta keluarganya, tetapi dipengaruhi juga oleh kepatuhan pasienterhadap pengobatannya. Salah satu upaya untuk meningkatkan kepatuhan pasien

terhadap pengobatannya adalah dengan konseling.

Penelitian ini dilakukan dengan analisis statistik yang dikerjakan secara

prospektif tehadap suatu populasi terbatas yaitu sebanyak 50 orang pasien

Diabetes Mellitus tipe 2 di Poliklinik Khusus RSUP DR. M. Djamil Padang

selama bulan Februari sampai April 2011. Penelitian ini dilakukan untuk 

mengetahui pengaruh konseling terhadap kepatuhan pasien Diabetes Mellitus tipe

2, dimana aspek yang dinilai yaitu pengetahuan, sikap, kadar glukosa darah puasa

dan Pill Count (menghitung sisa obat yang didapat pasien selama periode waktu

tertentu). Rancangan penelitian yang dipakai adalah The One Group Pretest-

Posttest Design yang merupakan penelitian experimental, yaitu Pre-Experimental Design.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 50 pasien terdapat perbedaan

pengetahuan, sikap dan kadar glukosa darah puasa sebelum dan setelah konseling

dengan menggunakan analisis uji t berpasangan. Nilai t hitung diperoleh berturut-

turut -16.157, -15.968 dan 4.578, dengan tingkat signifikansi 0.000, 0.000, dan

0.000 (p<0.05). Sedangkan hasil analisis dengan menggunakan uji Regresi Linear

Sederhana untuk menilai pengaruh konseling obat terhadap pengetahuan, sikap

dan kadar glukosa darah puasa pasien diperoleh nilai F hitung berturut-turut

109.363, 175.888 dan 53.241, dengan tingkat signifikansi 0.000, 0.000 dan 0.000

(p<0.05) yang berarti terdapat pengaruh konseling obat terhadap pengetahuan,

sikap dan kadar glukosa darah puasa pasien. Untuk melihat hubungan

karakteristik demografi (usia, jenis kelamin, pendidikan dan lama menderita)

terhadap pengetahuan dan sikap digunakan analisis uji Chi-Square dan diperoleh

nilai berturut-turut 8.374, 0.046, 9.796, dan 4.325 pada aspek pengetahuan dengan

tingkat signifikansi 0.212, 0.977, 0.133 dan 0.827 (p>0.05), serta 8.595, 0.989,

4.766, dan 4.323 pada aspek sikap dengan tingkat signifikansi 0.198, 0.610, 0.574

dan 0.827 (p>0.05). Sedangakan hasil Pill Count didapatkan data sebesar 36% (18

dari 50 orang) pasien yang mempunyai kepatuhan 100% terhadap terapi

pengobatannya.

Dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa konseling dapat

meningkatkan pengetahuan dan sikap pasien yang akan berpengaruh terhadapkepatuhan pasien terhadap pengobatannya.

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 3/29

2

I.  PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Keberhasilan suatu pengobatan tidak hanya dipengaruhi oleh kualitas

pelayanan kesehatan, sikap dan keterampilan petugasnya, sikap dan pola hidup

pasien beserta keluarganya, tetapi dipengaruhi juga oleh kepatuhan pasien

terhadap pengobatannya. Hasil terapi tidak akan mencapai tingkat optimal tanpa

adanya kesadaran dari pasien itu sendiri, bahkan dapat menyebabkan kegagalan

terapi, serta dapat pula menimbulkan komplikasi yang sangat merugikan dan pada

akhirnya dapat berakibat fatal (Hussar, 1995).

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan pasien pada

pengobatan penyakit yang bersifat kronis pada umumnya rendah. Penelitian yang

melibatkan pasien berobat jalan menunjukkan bahwa lebih dari 70% pasien tidak 

minum obat sesuai dengan dosis yang seharusnya (Basuki, 2009). Menurut

laporan WHO pada tahun 2003, kepatuhan rata-rata pasien pada terapi jangka

panjang terhadap penyakit kronis di negara maju hanya sebesar 50%, sedangkan

di negara berkembang, jumlah tersebut bahkan lebih rendah (Asti, 2006).

Ketidakpahaman pasien terhadap terapi yang sedang dijalaninya akan

meningkatkan ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi obatnya (Sitorus,

2010). Faktor tersebut akibat dari kurangnya informasi dan komunikasi antara

tenaga kesehatan dengan pasien. Biasanya karena kurangnya informasi mengenai

hal-hal di atas, maka pasien melakukan self-regulation terhadap terapi obat yang

diterimanya (Anonim, 2007).

Salah satu upaya untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap

pengobatannya saat ini adalah dengan melakukan konseling pasien. Dengan

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 4/29

3

adanya konseling dapat mengubah pengetahuan dan kepatuhan pasien. Dalam hal

ini farmasis harus berinteraksi dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya

dengan komunikasi yang efektif untuk memberikan pengertian ataupun

pengetahuan tentang obat dan penyakit. Pengetahuan yang dimilikinya diharapkan

dapat menjadi titik tolak perubahan sikap dan gaya hidup pasien yang pada

akhirnya akan merubah perilakunya serta dapat meningkatkan kepatuhan pasien

terhadap pengobatan yang dijalaninya. Komunikasi antara farmasis dengan pasien

disebut konseling, dan ini merupakan salah satu bentuk implementasi dari

Pharmaceutical Care (Siregar, 2006).

Diabetes Mellitus adalah penyakit kronis gangguan metabolisme yang

ditandai dengan kadar glukosa darah melebihi nilai normal (hiperglikemia),

sebagai akibat dari kelainan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Di

Indonesia DM tipe 2 merupakan yang terbanyak ditemukan yaitu sekitar 95% dari

keseluruhan kasus diabetes. Walaupun diabetes tidak menyebabkan kematian

secara langsung, tetapi berakibat fatal bila pengelolaannya tidak tepat. Dalam

pengelolaan pengobatan DM tipe 2, pasien selalu mendapatkan pengobatan dalam

waktu lama (long life) dan jumlah obat yang banyak (polifarmasi), sehingga

kemungkinan terjadinya masalah yang terkait dengan obat (DRP) sangat besar.

Dalam hal ini farmasis sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya

berperan dari aspek pelayanan kefarmasiannya dalam rangka menerapkan

“Pharmaceutical Care“ sebagaimana mestinya (Depkes RI, 2005; Anonim, 2007). 

Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan

dengan harapan mendapatkan suatu gambaran mengenai pengaruh konseling obat

terhadap kepatuhan pasien diabetes mellitus tipe 2 rawat jalan sehingga

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 5/29

4

didapatkan model yang sesuai untuk konseling obat pada pasien diabetes mellitus

tipe 2 rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang, serta

masukan bagi manajemen rumah sakit untuk mempertimbangkan perlunya

farmasis sebagai konselor di ruangan maupun di poliklinik untuk mendukung

tercapainya tujuan terapi yang diharapkan.

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh konseling obat terhadap kepatuhan pasien

diabetes mellitus tipe 2 rawat jalan di Poliklinik Khusus Rumah Sakit Umum

Pusat Dr. M. Djamil Padang, dimana khusunya :

a.  Untuk mengetahui perbedaan pengetahuan, sikap dan kadar glukosa darah

puasa pasien diabetes mellitus sebelum dan sesudah konseling obat.

b.  Untuk mengetahui pengaruh konseling obat terhadap pengetahuan, sikap dan

kadar glukosa darah puasa pasien diabetes mellitus.

II. METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan metode penelitian eksperimental, dengan

menggunakan pra-eksperimental (Pre-Experimental), dengan rancangan yang

digunakan adalah The One Group Pretest  – Posttest Design. Dalam rancangan ini

digunakan satu kelompok subjek, pertama-tama dilakukan pengukuran (pretest),

lalu dikenakan perlakuan untuk jangka waktu tertentu, kemudian dilakukan

pengukuran untuk kedua kalinya (posttest) (Sugiyono, 2007). Pengambilan data

dilakukan secara prospektif.

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 6/29

5

Populasi : pasien diabetes mellitus rawat jalan di Poliklinik Khusus

Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang.

Sampel : pasien diabetes mellitus tipe 2 di Poliklinik Khusus Rumah Sakit

Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang dengan kriteria inklusi. 

Kriteria Inklusi Sampel

a. Pasien diabetes mellitus tipe 2 yang hanya mendapat obat oral anti diabetes.

b. Pasien yang berusia > 40 tahun.

c. Pasien yang belum diberi konseling obat.

d. Pasien yang ada data kadar gula darah puasa.

e. Bersedia secara suka rela menjadi responden.

Kriteria Eklusi Sampel

a. Pasien diabetes mellitus dengan komplikasi yang dapat mempengaruhi

pemeriksaan kadar gula dalam darah.

b. Pasien dengan gangguan kejiwaan.

c. Pasien yang sudah pernah mendapat konseling obat.

d. Pasien mengundurkan diri menjadi responden selama penelitian.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di poliklinik khusus Rumah Sakit Umum Pusat

Dr. M. Djamil Padang selama 3 bulan dari bulan Februari sampai April 2011.

Prosedur Pengumpulan Data

a. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi (calon responden) dijelaskan mengenai

tujuan konseling dan penelitian, lalu diminta kesediaannya menjadi responden.

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 7/29

6

Bila pasien setuju, maka data dari hasil pemeriksaan untuk kadar gula darah puasa

yang dicatat dari rekam medik pasien dimasukkan ke dalam lembar pengumpul

data untuk hasil pemeriksaan laboratorium.

b. Kemudian pada saat pasien selesai melakukan pemeriksaan dan telah diberikan

resep, dilakukan pretest untuk mengetahui pengetahuan pasien dan sikap pasien

dengan wawancara dan menggunakan lembar kuesioner, setelah itu dilakukan

konseling obat dengan menggunakan modul, brosur obat dan kartu minum obat

mandiri.

c. Dua minggu kemudian dilakukan pemeriksaan ulang kadar glukosa darah puasa

pasien. Hal ini dilakukan selama 3 x 2 minggu. Selanjutnya pada minggu keenam

dilakukan penilaian ulang atau posttest untuk menilai pengetahuan dan sikap

pasien setelah konseling obat dengan menggunakan lembar kuesioner. Selain itu

  juga dilakukan penghitungan sisa obat pasien (pill count) untuk menilai %

kepatuhan (Jasti et al, 2005) :

% Kepatuhan = Jumlah obat yang diperoleh – jumlah obat sisa x 100%

Jumlah obat yang diperoleh

d. Data yang didapat kemudian direkapitulasi dalam tabel induk untuk 

pengetahuan dan tabel induk untuk sikap dalam bentuk yang sudah dinominalkan.

Analisis Data

Data yang sudah direkapitulasi untuk hasil wawancara dan hasil

laboratorium untuk kadar glukosa darah, kemudian dilakukan analisis data secara

statistik sebagai berikut :

a.  Uji validitas dan reliabilitas

Untuk menguji keandalan (validitas) dan keajengan (reliabilitas) kuisioner.

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 8/29

7

b.  Uji t berpasangan

Untuk mengetahui perbedaan pengetahuan, sikap, kadar glukosa darah

puasa dan kepatuhan pasien sebelum dan sesudah konseling obat. Pada penelitian

ini hasil analisis statistik dinyatakan bermakna apabila didapatkan harga P < 0,05

dan sangat bermakna apabila harga P < 0,01.

c.  Regresi linier sederhana dan berganda

Untuk menilai pengaruh konseling obat terhadap pengetahuan, sikap dan

kadar gula darah puasa.

d.  Crosstab dan Chi-Square 

Crosstab atau tabulasi silang untuk menampilkan kaitan antara dua atau

lebih variabel yaitu melihat pengaruh umur, jenis kelamin, pendidikan dan

lama menderita DM terhadap pengetahuan dan sikap. Sedangkan Chi-Square 

untuk menguji ada tidaknya hubungan baris dan kolom dari sebuah Crosstab

(Sugiyono, 2007).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Data Demografi Pasien

Dalam penelitian ini, digunakan sampel sebanyak 50 orang pasien yang

berobat ke poliklinik khusus RSUP Dr. M. Djamil Padang yang mendapatkan

terapi Obat Anti Diabetes (OAD) oral.

Data demografi pasien yang diteliti pada penelitian ini adalah usia pasien,

 jenis kelamin, pendidikan dan lama menderita DM. Hasil selengkapnya mengenai

distribusi data demografi pasien dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 9/29

8

Tabel 1. Distribusi Usia Pasien Penderita DM

No.Kategori Usia Jumlah (orang) Persentase

1. 41 - 50 tahun 6 12%

2. 51 - 60 tahun 25 50%

3. 61 - 70 tahun 17 34%

4. > 70 tahun 2 4%

JUMLAH 50 100%

Tabel 2. Distribusi Jenis Kelamin Pasien Penderita DM

No. Kategori Jenis Kelamin Jumlah (orang) Persentase

1. Laki-laki 13 26%

2. Perempuan 37 74%

JUMLAH 50 100%

Tabel 3. Distribusi Pendidikan Pasien Penderita DM

No. Kategori Pendidikan Jumlah (orang) Persentase

1. SD 0 0%

2. SLTP 6 12%

3. SLTA 38 76%

4. S1 5 10%

5. S2 0 0%

6. S3 1 2%

JUMLAH 50 100%

Tabel 4. Distribusi Lama Menderita DM

No. Lama Menderita Jumlah (orang) Persentase1. < 1 tahun 7 14%

2. 1 - 5 tahun 17 34%

3. 6 - 10 tahun 13 26%

4. 11 - 15 tahun 10 20%

5. > 15 tahun 3 6%

JUMLAH 50 100%

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 10/29

9

Hubungan Karakteristik Demografi Pasien Terhadap Pengetahuan dan

Sikap

Untuk melihat adanya hubungan antara karakteristik demografi pasien

dengan pengetahuan dan sikap, dapat dilihat dengan menggunakan uji statistik 

Crosstabs (tabulasi silang). Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah

ini :

Tabel 5. Hubungan Karakteristik Demografi Pasien Terhadap Pengetahuan

dan Sikap (Uji Crosstabs)

Karakteristik DemografiPengetahuan Sikap

Kategori Baik (%)

Usia (tahun)

41 - 50 tahun 33,3 0

51 - 60 tahun 32 24

61 - 70 tahun 41,2 41,2

> 70 tahun 50 50

Jenis Kelamin

Laki-laki 38,5 38,5

Perempuan 35,1 24,3

Pendidikan

SD 0 0

SLTP 0 16,7

SLTA 39,5 26,3

S1 40 40

S2 0 0

S3 100 100

Lama Menderita DM

< 1 tahun 28,6 42,91 - 5 tahun 41,2 29,4

6 - 10 tahun 38,5 15,4

11 - 15 tahun 30 30

> 15 tahun 33,3 33,3

Dari penelitian yang dilakukan di Poliklinik Khusus Rumah Sakit Umum

Pusat Dr. M. Djamil Padang ditemukan hubungan usia terhadap pengetahuan

menunjukkan bahwa pasien yang berusia >70 tahun memiliki pengetahuan dan

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 11/29

10

sikap yang baik yaitu sebesar 50%. Hal ini terjadi karena berdasarkan

pengamatan, pasien yang berusia ini lebih aktif dan terbuka menerima konseling

dari konselor mengenai informasi penyakit dan terapi yang diberikan.

Pada penelitian ini, pasien yang berusia di bawah 60 tahun menunjukkan

pengetahuan yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang berusia di atas

60 tahun. Hal ini disebabkan karena berdasarkan pengamatan, pasien tersebut

memiliki semangat dan motivasi hidup yang tinggi terhadap penyakitnya,

sehingga pasien menerima dengan baik segala informasi yang diberikan oleh

konselor. Selain itu juga peran keluarga sangat membantu dalam mengingatkan

dan memberikan informasi mengenai cara minum obat, waktu minum obat, aturan

diet dan olahraga serta adanya finansial yang cukup.

Hubungan jenis kelamin terhadap pengetahuan, menunjukkan bahwa

pasien laki-laki yang masuk kategori pengetahuan yang baik adalah sebesar

38,5%, sedangkan pasien perempuan yang masuk kategori baik sebesar 35,1%.

Dalam penelitian dapat dilihat bahwa pasien laki-laki lebih tinggi pengetahuannya

dibandingkan dengan pasien perempuan. Hal ini disebabkan karena pasien laki-

laki dalam hal ini lebih terbuka menerima konseling obat yang diberikan

dibandingkan dengan pasien perempuan.

Dari data terlihat juga bahwa pasien perempuan lebih banyak daripada

pasien laki-laki. Hal ini dikarenakan sebagian faktor yang dapat mempertinggi

resiko DM tipe 2 yang dialami oleh perempuan, seperti riwayat kehamilan dengan

berat badan lahir bayi > 4 kg, riwayat DM selama kehamilan (diabetes

gestasional), obesitas, penggunaan kontrasepsi oral, dan tingkat stress yang cukup

tinggi (Mansjoer, 2000; Therney, 2002). Pasien dengan diabetes gestasional

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 12/29

11

memiliki resiko sekitar 30-50% untuk berkembang menjadi DM tipe 2 (Oki,

2002).

Dari hasil penelitian hubungan pendidikan terhadap pengetahuan terlihat

bahwa pasien dengan pendidikan di perguruan tinggi menunjukkan pengetahuan

yang baik yaitu pendidikan S3 sebesar 100%, dan pendidikan S1 sebesar 40%.

Sedangkan pasien dengan pendidikan SLTA yang masuk kategori pengetahuan

baik sebesar 39,5%, dan pendidikan SLTP yang masuk kategori pengetahuan baik 

sebesar 0%. Dalam hal ini pasien yang berpendidikan S3 hanya 1 orang, sehingga

tidak dapat dibuat perbandingannya.

Dari data ini terlihat semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin tinggi

peningkatan pengetahuannnya. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi

pendidikan seseorang maka akan semakin baik atau cepat menerima dan

menyerap informasi yang diberikan oleh konselor, serta mempunyai pola pikir

yang lebih baik terhadap penyakit dan terapi yang dijalaninya.

Untuk hubungan lama menderita DM terhadap pengetahuan, menunjukkan

adanya pengaruh pasien dengan lama menderita diabetes 1-5 tahun yang termasuk 

kategori pengetahuan yang baik sebesar 41,2%, dan yang < 1 tahun sebesar

28,6%. Hal ini disebabkan karena mereka baru mengetahui tentang penyakit dan

obatnya sehingga mereka mempunyai rasa ingin tahu yang besar dan ingin

sembuh. Lama menderita DM akan mempengaruhi sikap pasien terhadap

pengobatan penyakitnya. Dimana pasien yang masih tergolong baru didiagnosa

DM pada umumnya mereka sangat terbuka dan senang untuk diberikan konseling

obat, karena mereka masih belum paham mengenai penyakit dan pengobatan yang

dideritanya, sehingga mereka mempunyai rasa ingin tahu yang besar terhadap itu.

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 13/29

12

Sedangkan pasien dengan lama menderita diabetes 6-10 tahun yang masuk 

kategori pengetahuan yang baik sebesar 38,5%, dan pasien yang lama menderita

diabetes 11-15 tahun dan >15 tahun yang masuk kategori pengetahuan yang baik 

sebesar 30% dan 33,3%. Hal ini disebabkan karena mereka menganggap

penyakitnya tidak membahayakan, atau menurut pengalaman mereka hasilnya

tidak begitu memuaskan selama mereka dalam pengobatan, karena menurut

pengalaman mereka walaupun sudah rajin minum obat tetap saja hasilnya tidak 

memuaskan, sehingga mereka pasrah dan kurang peduli terhadap penyakitnya,

akibatnya mereka tidak begitu tertarik untuk diberikan informasi mengenai obat

dan penyakit yang dideritanya.

Dari penelitian yang dilakukan di Poliklinik Khusus Rumah Sakit Umum

Pusat Dr. M. Djamil Padang didapatkan hasil pengaruh usia terhadap sikap,

dimana pasien dengan usia 41-50 tahun yang termasuk kategori sikap yang baik 

sebesar 0%, pasien dengan usia 51-60 tahun yang masuk kategori sikap yang baik 

sebesar 24%, sedangkan pasien dengan usia 61-70 tahun dan >70 tahun yang

masuk kategori sikap yang baik sebesar 41,2% dan 50%.

Dari hasil data ini terlihat bahwa pasien dengan usia yang lebih tua

memperlihatkan perubahan sikap yang lebih baik dibandingkan dengan pasien

yang berusia lebih muda. Hal ini disebabkan karena pasien yang berusia lebih

muda kurang mempunyai motivasi yang kuat untuk sembuh, karena mereka masih

belum menyadari betul dampak atau bahaya komplikasi yang dapat ditimbulkan

dari penyakit DM ini, meskipun kadangkala sudah didukung oleh faktor keluarga

dan lingkungan serta ditunjang oleh finansial yang memadai. Sedangkan pasien

yang berusia lebih tua menunjukkan perubahan sikap yang lebih baik terhadap

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 14/29

13

pengobatannya karena mereka biasanya menyadari betul bahaya penyakit ini dan

  juga sudah ada yang mendapatkan komplikasi ataupun mempunyai pengalaman

yang tidak menyenangkan terhadap penyakit ini dari lingkungan atau orang

terdekat mereka, sehingga mereka merasa perlu lebih waspada terhadap

penyakitnya. Selain itu juga didukung oleh keluarga dan lingkungan untuk 

mendapatkan diet yang teratur dan olahraga rutin sesuai yang dianjurkan.

Pada dasarnya, usia dewasa terutama usia 45 tahun ke atas memiliki resiko

tinggi terhadap DM tipe 2. Hal ini terutama disebabkan karena dengan

bertambahnya usia, maka fungsi sel pankreas dan sekresi insulin akan berkurang,

dan juga berkaitan dengan resistensi insulin akibat berkurangnya massa otot dan

perubahan vaskular, berkurangnya aktivitas fisik, sehingga rentan terhadap berat

badan berlebih bahkan obesitas (Misnadiarly, 2006).

Untuk melihat hubungan pengaruh jenis kelamin terhadap sikap

menunjukkan pasien laki-laki dengan kategori sikap yang baik adalah sebesar

38,5%, lebih tinggi dibandingkan pasien perempuan yang masuk kategori sikap

yang baik yaitu sebesar 24,3%. Dalam penelitian ini, pasien laki-laki memiliki

sikap yang lebih baik daripada pasien perempuan, karena berdasarkan pengamatan

pada peneletian ini, pada umumnya pasien laki-laki lebih care terhadap

penyakitnya daripada pasien perempuan, misalnya seperti rajin berolahraga secara

rutin, mengatur pola diet, dan teratur minum obat. Dari penelitian sebelumnya,

  juga disebutkan bahwa pasien laki-laki memiliki sikap atau perilaku yang baik 

dalam menjalani diet yaitu sebesar 45%, dibandingkan dengan pasien perempuan

yaitu sebesar 30% (Darusman, 2009).

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 15/29

14

Untuk melihat hubungan pengaruh tingkat pendidikan pasien terhadap

perubahan sikapnya didapatkan hasil dimana pasien dengan pendidikan S3

menunjukkan kategori sikap yang baik adalah 100%, pendidikan S1 yang masuk 

kategori sikap yang baik 40%, pendidikan SLTA yang masuk kategori sikap yang

baik 26,3%, dan pendidikan SLTP yang masuk kategori sikap yang baik 16,7%.

Dalam hal ini pasien yang berpendidikan S3 hanya 1 orang, sehingga tidak dapat

dibuat perbandingannya.

Dari penelitian yang dilakukan ini terlihat bahwa pendidikan seseorang

dapat merubah sikap seseorang dengan baik. Hal ini disebabkan karena

peningkatan pengetahuan yang mereka miliki selain untuk dipahami tetapi juga

mereka aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk merubah sikap seseorang

diperlukan motivasi yang kuat dari dalam diri mereka, dimana dalam hal ini

mereka perlu meyakinkan diri mereka sendiri bahwa dengan meningkatnya

pengetahuan dan perubahan sikap akan meningkatkan kepatuhan, yang mana hasil

akhirnya akan mengendalikan penyakit mereka dan mencegah terjadinya

komplikasi yang tidak diinginkan. Selain itu faktor lingkungan dan keluarga juga

sangat berperan penting sekali dalam menunjang perubahan sikap ini.

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Poliklinik Khusus Rumah Sakit

Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang didapatkan hubungan lama menderita DM

terhadap sikap didapatkan bahwa hasil yang menunjukkan perubahan sikap yang

baik adalah pasien yang menderita DM < 1 tahun. Hal ini disebabkan karena

pasien yang baru didiagnosa menderita DM dan mempunyai motivasi yang besar

untuk sembuh, sehingga mereka tertarik untuk mendengarkan informasi mengenai

obat dan penyakitnya, atau mereka mempunyai pengalaman melihat keluarga atau

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 16/29

15

kenalan mereka yang mendapatkan komplikasi yang cukup serius akibat penyakit

DM ini. Sedangkan pasien yang sudah lama menderita DM agak berkurang

perubahan sikapnya, hal ini disebabkan karena mereka belum mendapatkan atau

merasakan komplikasi yang cukup serius yang merugikan mereka, atau mereka

tidak mau mengontrol diet karena sudah terbiasa makan sesuai keinginan mereka

serta malas untuk berolahraga, atau karena mereka juga sudah pasrah dengan

penyakitnya karena pengobatan yang sangat lama, sekaligus kurang didukung

oleh faktor lingkungan dan keluarga. Konseling bertujuan agar pasien lebih

memahami tentang penyakitnya dan menekankan bahwa akan lebih baik 

mencegah terjadinya komplikasi daripada mengobatinya.

Untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antar variabel tersebut,

digunakan uji Chi-Square. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah

ini :

Tabel 6. Hubungan Karakteristik Demografi Pasien Terhadap

Pengetahuan dan Sikap (Uji Chi-Square)

No. Karakteristik

Demografi

Pengetahuan Sikap

Nilai Signifikansi Nilai Signifikansi

1. Usia 8,374 0,212ns

8,595 0,198ns

2. Jenis Kelamin 0,046 0,977ns

0,989 0,610ns

3. Pendidikan 9,796 0,133ns

4,766 0,574ns

4. Lama Menderita DM 4,325 0,827ns

4,323 0,827ns

Dari hasil terlihat bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara

variabel demografi (usia, jenis kelamin, pendidikan dan lama menderita) terhadap

pengetahuan dan sikap pasien tentang obat dan penyakitnya (P > 0,05).

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh konseling terhadap

kepatuhan pasien diabetes mellitus, dimana sampel yang diteliti untuk usia, jenis

kelamin, pendididikan dan lama menderita jumlahnya tidak sama sehingga setelah

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 17/29

16

dibagi dalam kategori masing-masing dalam jumlah yang sangat kecil sehingga

didapatkan hasil tidak signifikan. Untuk mengetahui hubungan faktor demografi

tersebut terhadap sikap perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah

sampel dan dengan pendekatan yang sesuai.

Perbedaan dan Pengaruh Konseling Terhadap Pengetahuan Pasien

Gambar 1. Diagram perbedaan skor pengetahuan pasien DM dari hasil pengisian

kuisioner sebelum dan setelah konseling obat di Poliklinik Khusus

RSUP Dr. M. Djamil Padang

Data rerata skor pengetahuan pasien DM dari hasil pengisian kuisioner

sebelum maupun setelah konseling obat di Poliklinik Khusus RSUP Dr. M.

Djamil Padang diperoleh :

Skor Sebelum Konseling Obat Skor Setelah Konseling Obat

37.18 ± 5.025 44.50 ± 2.589

Dari rerata skor pengetahuan sebelum dan setelah konseling terdapat

perbedaan pengetahuan yang bermakna pada pasien diabetes mellitus, berdasarkan

hasil pengujian statistik dengan menggunakan uji t berpasangan diperoleh nilai t

hitung -16,157 dengan tingkat signifikansinya 0,000 (p < 0,000).

S

o

r

Pasien

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 18/29

17

Peningkatan skor pengetahuan yang terjadi setelah konseling

menunjukkan bahwa tujuan konseling tercapai. Sesuai dengan teori edukasi yang

menyatakan bahwa konseling harus bertujuan untuk mendidik pasien sehinggga

pengetahuan pasien terhadap obat akan meningkat dan hal ini akan mendorong

pada perubahan perilaku. Melalui konseling (disertai dengan penjelasan yang

memadai) maka asumsi dan perilaku pasien yang salah akan dapat

diperbaiki/dikoreksi (Rantucci, 2007).

Peningkatan skor pengetahuan setelah diberikan konseling menunjukkan

bahwa konseling merupakan metode yang sesuai untuk meningkatkan

pengetahuan, sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan

pengetahuan seseorang dapat digunakan dengan cara ceramah, membaca, dan

konseling (Rantucci, 2007). Konseling dapat meningkatkan pengetahuan pasien

karena pasien diberikan informasi tentang obat mencakup nama obat, indikasi,

dosis, waktu dan jadwal minum obat serta informasi mengenai penyakitnya.

Sedangkan untuk melihat pengaruh konseling terhadap pengetahuan

dilakukan dengan uji regresi linier sederhana. Dari data yang diperoleh terdapat

pengaruh konseling terhadap pengetahuan nilai F hitung 109,363 dengan tingkat

signifikansi 0,000 (p < 0,05) dan nilai R² (koefisien determinasi) sebesar 0,695.

Sedangkan nilai R (koefisien korelasi) diperoleh sebesar 0,834 (83,4%). Ini berarti

konseling berpengaruh terhadap pengetahuan sebesar 83,4%, dan sisanya

dipengaruhi oleh variabel lain selain variabel bebas yang diteliti, seperti jumlah

dan karakteristik sampel. Hal ini karena disebabkan waktu konseling yang dirasa

masih kurang atau situasi dan kondisi konseling yang kurang memadai, selain itu

  juga pada penelitian ini sampel yang diteliti tidak seragam tingkat pendidikan,

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 19/29

18

status sosial, umur dan lama menderita DM, sehingga didapatkan hasil yang

kurang optimal, karena untuk meningkatkan pengetahuan merupakan proses yang

memerlukan waktu yang berbeda untuk setiap pasien (Niven, 2002).

Perbedaan dan Pengaruh Konseling Terhadap Sikap Pasien

Gambar 2. Diagram perbedaan skor sikap pasien DM dari hasil pengisian

kuisioner sebelum dan setelah konseling obat di Poliklinik Khusus

RSUP Dr. M. Djamil Padang

Data rerata skor sikap pasien DM dari hasil pengisian kuisioner sebelum

maupun setelah konseling obat di Poliklinik Khusus RSUP Dr. M. Djamil Padang

diperoleh :

Skor Sebelum Konseling Obat Skor Setelah Konseling Obat

46.62 ± 4.323 51.34 ± 3.230

Dari rerata skor sikap sebelum dan setelah konseling terdapat perbedaan

sikap yang bermakna pada pasien diabetes mellitus, berdasarkan hasil pengujian

statistik dengan menggunakan uji t berpasangan diperoleh nilai t hitung -15,968

dengan tingkat signifikansinya 0,000 (p < 0,05).

S

k o

r

Pasien

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 20/29

19

Peningkatan skor sikap yang terjadi setelah konseling menunjukkan bahwa

informasi yang didapatkan setelah konseling dapat meningkatkan pengetahuan

pasien yang akan berdampak terhadap perubahan sikap pasien terhadap penyakit

dan pengobatannya. Untuk melihat pengaruh konseling terhadap sikap dilakukan dengan uji

regresi linier sederhana. Dari data yang diperoleh terdapat pengaruh konseling

terhadap sikap nilai F hitung 175,888 dengan tingkat signifikansi 0,000 (p < 0,05)

dan nilai R² (koefisien determinasi) sebesar 0,786. Sedangkan nilai R (koefisien

korelasi) diperoleh nilai sebesar 0,886 (88,6%). Ini berarti konseling berpengaruh

terhadap sikap sebesar 88,6%, dan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain selain

variabel bebas yang diteliti. Hal ini karena disebabkan waktu konseling yang

dirasa masih kurang atau situasi dan kondisi konseling yang kurang memadai,

selain itu juga pada penelitian ini sampel yang diteliti tidak seragam tingkat

pendidikan, status sosial, umur dan lama menderita DM, sehingga didapatkan

hasil yang kurang optimal, karena sikap merupakan reaksi atau respon yang masih

tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek, atau sikap adalah

kecenderungan yang tertata untuk berpikir, merasa, menyerap dan berperilaku

terhadap suatu referen atau objek kognitif (Soegondo, 2002). Berbagai sikap yang

diperkirakan ada pada pasien diabetes antara lain adalah sikap terhadap diet

makanan, jenis pengobatan, olahraga, bahkan sampai pada sikap mereka terhadap

dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Untuk mengubah sikap diperlukan motivasi

pasien sehingga diperlukan keterampilan konselor untuk memotivasi pasien. 

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 21/29

20

Perbedaan dan Pengaruh Konseling Terhadap Kadar Gukosa Darah Puasa

Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2

Gambar 3. Diagram perbedaan kadar gula darah puasa pasien DM baik sebelum

dan setelah konseling obat di Poliklinik Khusus RSUP Dr. M. Djamil

Padang.

Data rerata kadar gula darah puasa pasien DM sebelum dan setelah

konseling obat di Poliklinik Khusus RSUP Dr. M. Djamil Padang diperoleh :

Kadar GDP Sebelum Konseling Obat Kadar GDP Setelah Konseling Obat

142.66 ± 50.329 119.26 ± 26.244

Dari rerata kadar glukosa darah puasa pasien sebelum dan setelah

konseling terdapat perbedaan yang bermakna, berdasarkan hasil pengujian

statistik dengan menggunakan uji t berpasangan diperoleh nilai t hitung 4,578

dengan tingkat signifikansinya 0,000 (p < 0,05).

Penurunan kadar glukosa darah puasa setelah konseling obat menunjukkan

bahwa konseling yang diberikan berpengaruh terhadap pengetahuan dan sikap

pasien sehingga akan menimbulkan tindakan untuk patuh terhadap pengobatan.

Kadar

GDP

(mg/dl)

Pasien

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 22/29

21

Untuk melihat pengaruh konseling terhadap kadar glukosa darah puasa

pasien dilakukan dengan uji regresi linier sederhana. Dari data yang diperoleh

terdapat pengaruh konseling terhadap kadar glukosa darah puasa pasien nilai F

hitung 53,241 dengan tingkat signifikansi 0,000 (p < 0,05) dan nilai R² (koefisien

determinasi) diperoleh nilai sebesar 0,526. Sedangkan nilai R (koefisien korelasi)

diperoleh sebesar 0,725 (72,5%). Ini berarti konseling berpengaruh terhadap kadar

glukosa darah puasa pasien sebesar 72,5%, dan sisanya dipengaruhi oleh variabel

lain selain variabel bebas yang diteliti, diantaranya kepatuhan terhadap diet dan

olahraga. Selain itu pada penelitian ini sampel yang diteliti tidak seragam tingkat

pendidikan, status sosial, umur dan lama menderita DM, sehingga didapatkan

hasil yang kurang optimal.

Faktor lainnya juga disebabkan karena pasien masih ada yang tidak patuh

untuk minum obat dan tidak melakukan diet seperti yang dianjurkan, dengan

alasan lupa, sibuk, faktor finansial, pasrah dengan penyakitnya, tidak peduli

dengan penyakit, lingkungan yang tidak mendukung atau memang pasien sudah

tersugesti di pikirannya bahwa obat itu adalah racun. Hal ini didukung oleh teori

yang menyatakan bahwa untuk terwujudnya sikap agar menjadi suatu perbuatan

nyata, diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan,

antara lain adalah fasilitas. Sebagai contoh seorang pasien yang telah mempunyai

pengetahuan dan sikap yang baik terhadap keteraturan berolahraga, mungkin tidak 

dapat menjalankan perilaku tersebut karena keterbatasan waktu. Seorang pasien

yang telah berniat untuk makan sesuai dengan pola diet makanan yang telah

dianjurkan ahli gizi, kadang-kadang keluar dari jalur tersebut karena situasi di

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 23/29

22

rumah atau di kantor yang tidak mendukung, seperti sedang ada pesta atau

perayaan (Basuki, 2009).

Perhitungan Pill Count

Hasil perhitungan Pill Count  digunakan untuk menilai kepatuhan pasien

berdasarkan masing-masing obat yang didapatkan. Metode ini dilakukan dengan

menghitung sisa obat yang didapatkan pasien selama terapi pada periode waktu

tertentu. Dalam hal ini, perhitungan Pill Count dilakukan di rumah pasien hanya

pada minggu kedua setelah pasien berobat ke Poliklinik Khusus RSUP Dr. M.

Djamil Padang. Dari hasil penelitian, hanya sebesar 36% (18 dari 50 orang) pasien

yang mempunyai kepatuhan 100% terhadap terapi pengobatan yang

didapatkannya. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel : 

Tabel 7. Hasil Perhitungan Pill Count  

No. Nama Terapi OAD

Jumlah

Obat yang

Diberikan

Jumlah

Obat

Sisa

%Kepatuhan

Rata-rata %Kepatuhan

1. A Metformin 3 x 500 mg 45 4 91,11% 91,11%

2. B Metformin 3 x 500 mg 45 0 100% 100%

Glucobay 2 x 50 mg 30 0 100%

3. C Glibenklamid 1 x 2,5 mg 7.5 1 86,67% 86,67%

4. D Metformin 3 x 500 mg 45 3 93,33% 93,33%

5. E Metformin 3 x 500 mg 45 17 62,22% 74,45%

Glibenklamid 1 x 5 mg 15 2 86,67%

6. F Metformin 3 x 500 mg 45 5 88.89% 88.89%7. G Metformin 3 x 500 mg 45 15 66,67% 83.34%

Gliklazid 1 x 80 mg 15 0 100%

8. H Metformin 3 x 500 mg 45 0 100% 100%

Gliklazid 1 x 80 mg 15 0 100%

9. I Metformin 3 x 500 mg 45 15 66,67% 46,67%

Gliklazid 1 x 80 mg 15 11 26,67%

10. J Metformin 3 x 500 mg 45 4 91,11% 95,55%

Solosa 1 x 2 mg 15 0 100%

11. K Metformin 3 x 500 mg 45 0 100% 100%

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 24/29

23

12. L Glucodex 1 x 80 mg 15 0 100% 100%

13. M Metformin 3 x 500 mg 45 32 28,89% 39,45%

Glucobay 2 x 50 mg 30 15 50%

14. N Metformin 3 x 500 mg 45 0 100% 100%Glimepirid 1 x 1 mg 15 0 100%

15. O Metformin 3 x 500 mg 45 3 93,33% 97,78%

Glimepirid 1 x 2 mg 15 0 100%

Glucobay 2 x 50 mg 30 0 100%

16. P Metformin 3 x 500 mg 45 4 91,11% 85,55%

Glucobay 2 x 50 mg 30 6 80%

17. Q Metformin 3 x 500 mg 45 17 62,22% 62,22%

18. R Metformin 3 x 500 mg 45 5 88,89% 94,45%

Glucodex 1 x 80 mg 15 0 100%19. S Glikuidon 2 x 30 mg 30 0 100% 100%

20. T Metformin 3 x 500 mg 45 11 75,56% 74,45%

Gliklazid 1 x 80 mg 15 4 73,33%

21. U Gliklazid 1 x 80 mg 15 0 100% 100%

Glucobay 3 x 50 mg 30 0 100%

22. V Metformin 3 x 500 mg 45 8 82,22% 84,45%

Solosa 1 x 2 mg 15 2 86,67%

23. W Metformin 3 x 500 mg 45 3 93,33% 93,23%

Solosa 1 x 1 mg 15 0 100%

Glucobay 3 x 50 mg 45 6 86,67%

24. X Metformin 3 x 500 mg 45 4 91,11% 95,55%

Glibenklamid 1 x 5 mg 15 0 100%

25. Y Metformin 3 x 500 mg 45 12 73,33% 73,33%

26. Z Metformin 3 x 500 mg 45 2 95,56% 97,78%

Glucobay 2 x 50 mg 30 0 100%

27. AA Metformin 3 x 500 mg 45 7 84,44% 88,86%

Glucodex 1 x 80 mg 15 1 93,33%

28. BB Metformin 3 x 500 mg 45 0 100% 100%

29. CC Glucodex 1 x 80 mg 15 0 100% 100%

30. DD Metformin 3 x 500 mg 45 9 80% 77%

Glimepirid 1 x 1 mg 15 4 73,33%

31. EE Metformin 3 x 500 mg 45 0 100% 100%

Glucodex 1 x 80 mg 15 0 100%

32. FF Metformin 3 x 500 mg 45 6 86,67% 93,34%

Solosa 1 x 1 mg 15 0 100%

33. GG Metformin 3 x 500 mg 45 0 100% 100%

Glimepirid 1 x 1 mg 15 0 100%

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 25/29

24

34. HH Metformin 3 x 500 mg 45 2 95,56% 97,78%

Glucodex 1 x 80 mg 15 0 100%

35. II Metformin 3 x 500 mg 45 3 93,33% 96,67%

Glimepirid 1 x 2 mg 15 0 100%36. JJ Metformin 3 x 500 mg 45 7 84,44% 92,22%

Glucodex 1 x 80 mg 15 0 100%

37. KK Metformin 3 x 500 mg 45 0 100% 100%

Solosa 1 x 1 mg 15 0 100%

38. LL Metformin 3 x 500 mg 45 4 91,11% 95,55%

Solosa 1 x 1 mg 15 0 100%

39. MM Gliklazid 1 x 80 mg 15 0 100% 100%

40. NN Metformin 3 x 500 mg 45 0 100% 100%

Akarbose 3 x 50 mg 45 0 100%41. OO Metformin 3 x 500 mg 45 0 100% 100%

42. PP Metformin 3 x 500 mg 45 0 100% 100%

Glucodex 1 x 80 mg 15 0 100%

43. QQ Metformin 3 x 500 mg 45 16 64,44% 82,22%

Glimepirid 1 x 1 mg 15 0 100%

44. RR Metformin 3 x 500 mg 45 9 80% 80%

45. SS Glucophage 3 x 500 mg 45 3 93,33% 96,67%

Glucodex 1 x 80 mg 15 0 100%

46. TT Metformin 3 x 500 mg 45 6 86,67% 86,67%

Solosa 1 x 1 mg 15 2 86,67%

47. UU Metformin 3 x 500 mg 45 0 100% 100%

Solosa 1 x 2 mg 15 0 100%

48. VV Metformin 3 x 500 mg 45 0 100% 100%

Solosa 1 x 1 mg 15 0 100%

49. WW Metformin 3 x 500 mg 45 7 84,44% 88,86%

Glikuidon 1 x 30 mg 15 1 93,33%

50. XX Metformin 3 x 500 mg 45 8 82,22% 84,45%

Gliklazid 1 x 80 mg 15 2 86,67%

Pada penelitian ini tingkat kepatuhan yang kurang adalah dalam

pemakaian obat yang frekuensinya banyak (3 x sehari) seperti Metformin. Alasan

pasien ini bermacam-macam tidak meminum obat sesuai anjuran dokter, ada yang

karena tidak sempat minum obat dengan alasan sibuk bekerja pada siang hari dan

obat ditinggal di rumah, ada yang karena alasan efek samping obat dimana pasien

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 26/29

25

merasa mual atau mengalami gangguan pencernaan setelah minum obat tersebut,

dan juga ada pasien beranggapan bahwa obat itu racun (zat kimia), jadi tidak baik 

diminum seringkali. Untuk mengatasi hal ini, pasien menyeimbangkannya dengan

minum obat tradisonal, seperti air rebusan daun sirih merah. Jadi pada umumnya

pasien lebih menyukai minum obat yang frekuensi minumnya 1 kali dalam sehari.

Untuk Glucobay, ada pasien yang tidak meminumnya karena alasan efek 

samping obat yang menyebabkan pasien sering buang angin, sehingga kadangkala

mengganggu dalam aktivitasnya sehari-hari. Begitu juga dengan Glibenklamid,

dimana ada pasien yang langsung merasa lemas, pusing dan berkeringat dingin

setelah meminumnya (gejala hipoglikemi).

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk dapat meningkatkan kepatuhan

pasien seperti memberikan obat dengan jadwal minum obat satu kali sehari,

memberikan obat sesuai dengan kemampuan pasien untuk membelinya, tidak 

mengubah jenis obat dari yang biasanya dikonsumsi oleh pasien apabila tidak 

dibutuhkan. Selain itu juga bisa dengan memberikan alat bantu seperti kartu

pengingat obat yang bisa ditandai apabila pasien sudah minum obat, memberikan

dukungan kepada anggota keluarga untuk mengingatkan pasien minum obat, dan

lain sebagainya (Rantucci, 2007).

IV.  KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian mengenai pengaruh konseling obat terhadap

kepatuhan pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Poliklinik Khusus RSUP Dr. M.

Djamil Padang, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 27/29

26

-  Terdapat perbedaan pengetahuan dan sikap yang bermakna pada pasien DM

setelah dilakukan konseling pasien dalam interval waktu 3 x 2 minggu.

Berdasarkan hasil pengujian statistik menggunakan uji t berpasangan diperoleh

nilai t hitung untuk pengetahuan -16,157 dengan tingkat signifikansi 0,000 (p <

0,05), dan untuk sikap -15,968 dengan tingkat signifikansi 0,000 (p < 0,05).

-  Ada pengaruh positif konseling obat terhadap pengetahuan dan sikap pasien

DM berdasarkan hasil pengujian statistik dengan nilai F hitung berturut-turut

109,363, dan 175,888 , probabilitas 0,000 dan 0,000 (p < 0,05). Sedangkan

nilai R (koefisien korelasi) diperoleh nilai 0,834 untuk pengetahun, dan 0,886

untuk sikap. Ini berarti konseling obat berpengaruh terhadap pengetahuan

pasien DM sebesar 83,4%, dan untuk sikap sebesar 88,6% sedangkan sisanya

dipengaruhi oleh variabel lain selain variabel bebas yang diteliti.

-  Terdapat perbedaan kadar glukosa darah puasa yang bermakna pada pasien

DM setelah dilakukan konseling obat dalam interval waktu 3 x 2 minggu.

Berdasarkan hasil pengujian statistik menggunakan uji t berpasangan diperoleh

nilai t hitung 4,578 dengan tingkat signifikansi 0,000 (p < 0,05).

-  Ada pengaruh positif konseling obat terhadap kadar glukosa darah puasa pasien

DM berdasarkan hasil pengujian statistik dengan nilai F hitung 53,241 dengan

tingkat signifikansi atau probabilitas 0,000 (p < 0,05). Sedangkan nilai R

(koefisien korelasi) diperoleh nilai 0,725. Ini berarti konseling obat

berpengaruh terhadap penurunan kadar glukosa darah puasa pasien DM sebesar

72,5%, dan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain selain variabel bebas yang

diteliti.

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 28/29

27

-  Dalam penelitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna antara faktor

demografi pasien (usia, jenis kelamin, pendidikan dan lama menderita DM)

terhadap pengetahuan, sikap dan kadar glukosa darah puasa pasien diabetes

mellitus setelah konseling obat.

Saran

-  Meningkatkan waktu dan frekuensi konseling obat untuk mendapatkan hasil

yang optimal.

-  Melakukan konseling obat dengan bantuan peralatan audio visual agar pasien

yang dikonseling lebih tertarik dan mendapatkan hasil yang optimal.

-  Meningkatkan jumlah sampel sekaligus menyeragamkan jumlah sampel

berdasarkan kategori demografi pasien agar mendapatkan hasil yang optimal.

-  Perlu dilakukannya kembali penyediaan fasilitas untuk dilakukannya konseling

pada pasien diabetes mellitus di Poliklinik Khusus RSUP DR. M. Djamil

Padang.

DAFTAR PUSTAKA

Aslam M., C.K. Tan, A. Prayitno. 2007. Farmasi Klinis : Menuju Pengobatan

  Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta : PT Elex Media

Komputindo Gramedia.

Anonim. 2007. Pelayanan Konseling Akan Meningkatkan Kepatuhan PasienPada Terapi Obat , diakses Januari 2011 dari http://indonesiasehat.

blogspot.com/2007/06/pelayanan-konseling-akanmeningkatkan9866.html

Asti, Tri. 2006. Kepatuhan Pasien : Faktor Penting dalam Keberhasilan Terapi.

Info POM, Vol. 7, No. 5, diakses Januari 2011 dari http:// 

perpustakaan.pom.go.id/KoleksiLainnya/Buletin%20Info%20POM/0506.

pdf 

Basuki, Endang. 2009. Konseling Medik : Kunci Menuju Kepatuhan Pasien.

 Majalah Kedokteran Indonesia, Vol 59 Nomor 2 Februari 2009.

Darusman. 2009. Perbedaan Perilaku Pasien Diabetes Mellitus Pria dan Wanita

dalam Mematuhi Pelaksanaan Diet.  Berita Kedokteran Masyarakat , Vol.

25, No. 1 Maret 2009, hal 31-33.

5/13/2018 Artikel Ade Ramadona s.farm Apt 0821213056 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-ade-ramadona-sfarm-apt-0821213056 29/29

28

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Phamaceutical Care untuk 

Penyakit Diabetes Melitus, Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas

dan Klinik.

Hussar, D.A. 1995. Patient Compliance, in Remington : The Science and Practice

of Pharmacy, Volume II, USA : The Philadelpia College of Pharmacyand Science.

Jasti, Sunita. 2005. Pill Count Adherence to Prenatal Multivitamin/Mineral

Supplement Use Among Low-Income Women. The American Society

 Journal of Nutritions, 135, 1093-1101.

Mansjoer, A.K., Triyanti R., Savitri W.I., (Editor). 2000. Kapita Selekta

Kedokteran (Edisi 3), Jilid I. Jakarta : Media Aesculapius FKUI.

Metry, Jean-Michel. 2002. Patient Compliance, in Principles and Practice of 

Pharmaceutical Medicine. John Wiley and Sons Ltd.

Misnadiarly. 2006.   Diabetes Mellitus, Gangren, Ulcer, Infeksi. Jakarta : Pustaka

Populer Obor.

Niven, Neil. 2002. Psikologi Kesehatan : Pengantar untuk Perawat dan

Profesional Kesehatan Lain (Edisi 2). Penerjemah : A. Waluyo. Jakarta :

EGC.

Oki, J.C., dan Isley W.L. 2002.   Diabetes Mellitus in Pharmacotherapy a

Pathophysiologic Approach (5th

Ed). New York : The McGraw Hill Co.

Palaian, Subish. 2005. Patient Counseling By Pharmacist - A Focus On Chronic

Illness. The Internet Journal of Pharmacology, Vol. 4.

Rantucci, M.J. 2007. Komunikasi Apoteker-Pasien : Panduan Konseling Pasien 

(Edisi 2). Penerjemah : A.N. Sani. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran

EGC.

Siregar, Charles J.P. dan Endang Kumolosasi. 2006. Farmasi Klinik Teori danPenerapan, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta.

Soegondo, Sidartawan dan Pradana Soewondo. 2002. Penatalaksanaan Diebetes

 Mellitus Terpadu. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Soegondo, S. 2008. Diabetes : The Silent Killer , Bagian Metabolik dan Endokrin

FKUI/RSCM Jakarta, diakses Januari 2011 dari

http://www.medicastore.com

Therney, Lawrence, Stephen J., dan Papedakis. 2002.   Diagnosis dan Terapi

Kedokteran Ilmu Penyakit Dalam. Penerjemah : Abdul Gafur. Jakarta.

Trisna Yulia. 2004. Idealisme Farmasis Klinik di Rumah Sakit . Pengantar Farmasi

Klinik. Jakarta.