11
ARSITEKTUR NUSANTARA PADA ERA Hindu dan Buddha A. Kerajaan Hindu dan Budha di Nusantara Selama era kerajaan Hindu dan Buddha terdapat dua dinasti yang berkuasa sekitar abad ke-8 hingga ke-10 yaitu dinasti Sanjaya dan Syailendra. Dinasti Sanjaya beragama Hindu aliran Siwa, sementara dinasti Syailendra menganut agama Buddha Mahayana atau Vajrayana. Peninggalan dari ketdua dinasti ini berupa prasasti dan candi. Keluarga Sanjaya memiliki kekuasaan di bagian utara Jawa Tengah, dan keluarga Syailendra di bagian Selatan Jawa Tengah. Sehingga dari abad ke-8 dan ke-9, candi yang ada di Jawa Tengah Utara bersifat Hindu, dan yang ada di Jawa Tengah Selatan bersifat Buddha Pembangunan candi terkait dengan kerajaan di Nusantara pada masa perkembangan agama Buddha dan Hindu di Indonesia. Terdapat ratusan prasasti-prasasti yang ditanda tangani oleh raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Keberadaan kerajaan-kerajaan Hindu Budha dimasa lampau diketahui dari prasasti-prasasti. Prasasti dari kerajan tertua di nusantara ditemukan di Kutei, Kalimantan Timur. Prasati ni berbentuk ‘yupa’. Yaitu tugu peringatan upacara kurban. Menurut bentuk dan tulisan yang digunakan, prasasti ini diperkirakan dibuat pada tahun 400 Masehi, prasasti ini menceritakan sebuah kerajaan di Kalimantan timur (Kutei) diperintah oleh seorang raja bernama Mulawarman. Setelah prasasti Kutei ini, terdapat ratusan prasasti yang bercerita

Arsitektur Nusantara Pada Era Hindu Budha

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Arsitektur Nusantara Pada Era Hindu Budha

ARSITEKTUR NUSANTARA PADA ERA

Hindu dan Buddha

A. Kerajaan Hindu dan Budha di Nusantara

Selama era kerajaan Hindu dan Buddha terdapat dua dinasti yang berkuasa sekitar abad

ke-8 hingga ke-10 yaitu dinasti Sanjaya dan Syailendra. Dinasti Sanjaya beragama Hindu

aliran Siwa, sementara dinasti Syailendra menganut agama Buddha Mahayana atau

Vajrayana. Peninggalan dari ketdua dinasti ini berupa prasasti dan candi. Keluarga

Sanjaya memiliki kekuasaan di bagian utara Jawa Tengah, dan keluarga Syailendra di

bagian Selatan Jawa Tengah. Sehingga dari abad ke-8 dan ke-9, candi yang ada di Jawa

Tengah Utara bersifat Hindu, dan yang ada di Jawa Tengah Selatan bersifat Buddha

Pembangunan candi terkait dengan kerajaan di Nusantara pada masa perkembangan

agama Buddha dan Hindu di Indonesia. Terdapat ratusan prasasti-prasasti yang ditanda

tangani oleh raja-raja yang berkuasa pada saat itu.

Keberadaan kerajaan-kerajaan Hindu Budha dimasa lampau diketahui dari prasasti-

prasasti. Prasasti dari kerajan tertua di nusantara ditemukan di Kutei, Kalimantan Timur.

Prasati ni berbentuk ‘yupa’. Yaitu tugu peringatan upacara kurban. Menurut bentuk dan

tulisan yang digunakan, prasasti ini diperkirakan dibuat pada tahun 400 Masehi, prasasti

ini menceritakan sebuah kerajaan di Kalimantan timur (Kutei) diperintah oleh seorang

raja bernama Mulawarman. Setelah prasasti Kutei ini, terdapat ratusan prasasti yang

bercerita tentang kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha di Nusantara sekaligus juga

bercerita tentang bangunan suci (candi), bahkan ada nama candi di prasasti yang tidak

bisa ditelusuri namanya dengan candi yang dikenal.

Umumnya prasasti tersebut dibuat pada abad ke-9. Selain peninggalan prasasti,

terdapat pula candi-candi yang didalamnya terdapat arca yang menjadi bukti keberadaan

kerajaan-kerajaan tersebut di masa lampau. Ada juga berita tentang keberadaan kerajaan

tersebut berasal dari berita ekspedisi pada pendeta Buddha Tiongkok (Cina) ke nusantara

misalnya berita dari pendeta I-Tsing yang menyebutkan keberadaan kerajaan Holing

(Kaling), kerajaan-kerajaan di Sumatera : Tulang Bawang (Sumatera Selatan), Melayu

(Jambi), dan Sriwijaya. Dari I-Tsing diketahui bahwa Sriwijaya merupakan pusat

kegiatan ilmiah agama Budha pada masa itu. Buku atau kitab kuno juga merupakan

Page 2: Arsitektur Nusantara Pada Era Hindu Budha

sumber informasi keberadaan kerajaan-kerajaan di masa lampau, seperti kitab Pararaton

dan juga kitab Negara kertagama.

B. Arsitektur Candi

Fungsi Candi

Kata Candi pada umumnya dianggap berasal dari kata candikagrha, nama tempat

tinggal Candika, Dewi Kematian dan Permaisuri Siwa. Maka, secara harfiah Candi bisa

ditafsirkan sebagai bangunan yang digunakan untuk keperluan pemakaman, atau bahkan

sebagai makam. 1. Dahulukala, diduga abu dari jenazah seorang raja dikubur dibawah

bagian tengah candi (peripih). Sehingga seringkali dulu candi digunakan sebagai tempat

pemujaan dan memuliakan raja yang sudah meninggal. Akan tetapi, Candi dibangun

bukan semata hanyalah sebagai makam atau tempat pemujaan dan memuliakan raja yang

sudah meninggal, lebih dari candi itu, candi juga difungsikan sebagai tempat pemujaan

kepada para Dewa yang dilambangkan sebagai arca. Arca tersebut diletakan di ruang

tengah candi dahulu kala hanya Pendeta yang memimpin acara pemuajaan yang

diperkenankan masuk kedalam ruang tersebut. Candi lebih diyakini sebagai kuil atau

tempat pemujaan daripada sebagai makam.

Gambar 1 : Struktur Candi

Page 3: Arsitektur Nusantara Pada Era Hindu Budha

Secara vertikal, struktur bangunan candi terdiri dari tiga bagian yang melambangkan

kosmologi atau kepercayaan terhadap pembagian dunia sebagai satu kesatuan alam

semesta yang sering disebut dengan ‘Triloka’ terdiri dari dunia manusia (bhurloka), dunia

tengah untuk orang-orang yang disucikan (bhuvarloka) kemudian dunia untuk para dewa

(svarloka). Ketiga tingkatan ini, dalam struktur candi adalah digambarkan sebagai bagian

kaki, badan dan kepala. Arsitektur candi sering juga diidentikan dengan makna

perlambangan Gunung Meru.

Dalam mitologi Hindu-Buddha, Gunung Meru adalah sebuah gunung di pusat

jagat yang berfungsi sebagai pusat bumi dan mencapai tingkat tertinggi surga. Keyakinan

seolah-olah mengatakan bahwa gunung sebagai tempat tinggal para dewa. Pada bangunan

candi di Indonesia, selain berbagai macam arca Budha dan para dewa yang terdapat di

ruang dalam candi, elemen atau bagian bangunan yang terdapat pada arsitektur candi baik

candi Hindu dan Buddha yaitu kala-mekara, peripih, stupa, ratha (mahkota), lingga dan

yoni. ¾ Kala merupakan makhluk legenda yang diciptakan Siwa untuk membunuh

seorang raksasa.

Kala ini diwujudkan dalam berbagai variasi bentuk seperti mahkluk aneh tanpa

rahang bawah atau hiasan dengan satu mata. Sedangkan Mekara adalah binatang mitologi

berbelalai gajah, surai singa, paruh burung nuri, dan ekor seperti ikan, yang semuanya

merupakan lambang air dan birahi.2 Hiasan mekara ini sering ditemukan baik pada candi

Hindu dan Buddha. Biasanya patung makara ditemukan pada gapura sebagian besar candi

klasik awal, makara jarang ditemukan pada jaman klasik akhir di Jawa, tetapi di Sumatra,

seperti di kompleks candi Padang Lawas, dimana didirikan perkiraan pada abad 10

mekara ini masih terus digunakan. ¾ Peripih adalah sebuah peti batu yang digunakan

awalnya sebagai tempat abu jenazah seorang raja, kemudian pada kenyataan lain, peripih

digunakan sebagai wadah untuk menaruh unsur-unsur yang melambangkan dunia materi :

emas, perak, perunggu, batu akik dan biji-bijian yang diduga sebagai benda-benda

upacara pemujaan.

Di dalam peripih terdapat bagian-bagian yang diatur dalam pola seperti mandala,

sembilan atau 25 titik. 3 ¾ Stupa merupakan unsur perlambang Buddha dengan bentuk

setengah bulatan mempunyai pengertian falsafah melambangkan “kubah syurga” (Dome

og Heaven) atau melambangkan struktur kosmik yang menetap. Biasanya diletakkan di

Page 4: Arsitektur Nusantara Pada Era Hindu Budha

bagian atas candi. ¾ Lingga dan yoni adalah sepasang relief atau monumen yang terdapat

pada candi Hindu Siwa. Lingga terdiri dari silinder terpadu atau berdiri diatas dasar yang

disebut yoni.

Gambar 2 :

Teknik Konstruksi dan Pembangunan Candi

Bangunan candidi Indonesia umumnya dibangun dengan cara a joint vif, yaitu

bebatuan yang saling ditumpuk diatasnya tanpa ada bahan pengikat. Pada awalnya teknik

penumpukan batu dilakukan dengan cara membuat perkuatan dengan memotong bagian

balok batu untuk membuat semacam lidah dan tekukan yang saling mengunci dengan

balok-balok yang bersebelahan baik secara mendatar maupun ke atas. Pada awal abad ke-

9, ahli bangunan Jawa menggunakan teknik India mengenai dinding batu berdaun ganda.

Jawa merupakan satu-satunya wilayah di Asia Tenggara yang menggunakan cara

konstruksi seperti ini.

Teknik ini memerlukan pembuatan sepasang dinding sejajar dan pengisian rongga

diantaranya dari puing atau dari batu dengan bentuk yang tidak beraturan direkatkan

dengan lumpur, kadang-kadang ditambah sedikit kapur seperti di Loro Joggrang. Lapisan

luar batu biasanya diarahkan ke bagian luar dalam serangkaian bebatuan menggantung

berjarak tidak rata yang menghasilkan kesan bagian luar bagikan dipahat atau di sesak.

Page 5: Arsitektur Nusantara Pada Era Hindu Budha

Setelah abad ke 9, teknik kontruksi candi agak sedikit berubah sejalan dengan peralihan

pusat politik pada masa itu ke Jawa Timur.

Gambar 3 : Teknik Konstruksi dan Pembangunan Candi

Pembangunan candi memiliki tata cara dn upacara ritual. Upacara yang

dilaksanakan serigkali dicatat dalam tulisan batu (piagem) atau lempengan perak atau

tembaga. Yang brinisiatif membangun candi pada pertama kalinya adalah bangsawan

(orang suci) dengan mengajak orang-orang di kampungnya (sekelilingnya) untuk

bergotong royong membangun candi. Pertama sekali bangsawan yang menyelenggarakan

acara membagikan hadiahpada semua orang yang datang. Kemudian peserta menghiasi

diri dengan bunga dan pewarna dan batu suci diletakkan ditengah halaman candi yang

yang akan dibangun. Tata cara urutan pembangunan candi seperti yang terlihat pada

gambar berikut ini.

Page 6: Arsitektur Nusantara Pada Era Hindu Budha

Gambar 4 : Tata cara urutan pembangunan candi

Pembagian kelompok arsitektur candi Melihat dari masa pembangunan candi-

candi di Nusantara, maka dibagi atas tiga periode1 yaitu masa Klasik Awal (600 M-900

M), dimana candi Prambanan dan Borobudur dibangun pada masa ini, kemudian masa

Klasik Madya (900 M- 1250 M) yaitu candi-candi yang terdapat di Sumatera seperti

candi-candi yang ada di Padang Lawas, Muara Takus, dan Muara Jambi. Candi-candi

yang dibangun pada Masa Klasik Akhir (1250 M – 1500 M) umumnya terdiri dari

konstruksi bata yang secara meluas banyak terdapat di Jawa Timur dimana candi

berundak di lereng gunung popular pada akhir periode ini.

Jika dilihat dari sudut pengelompokkan langgam atau jenis serta agama yang

mewakili keberadaan candi tersebut, Soekmono membagi menjadi tiga jenis yaitu jenis

Jawa tengah Utara mewakili agama Hindu (Siwa jenis Jawa Tengah Selatan mewakili

agama Budha (Mahayana) dan jenis Jawa Timur mewakili aliran Tantrayana (baik Siwa

maupun Budha). Dalam hal ini kellompok candi Loro Jonggrang meruipakan

perkecualian, karena berasal dari jaman setelah berpadunya keluarga Sanjaya dan

keluarga Syailendra sehingga susunannya terlihat sebagai kelompok candi di Jawa

Page 7: Arsitektur Nusantara Pada Era Hindu Budha

Tengah Selatan akan tetapi keagamaannya mewakili agama Hindu. Pengelompokkan ini

sejalan dengan pengelompokkan candi berdasarkan masa pembangunannya.

Candi-candi di Jawa Tengah Utara merupakan candi pada masa klasik awal.

Candi di wilayah ini merupakan pemujaan terhadap Siwa dengan bentuk mendekati tipe

candi di India, sebagai contoh yaitu candi Arjuna yang merupakan kelompok candi

Dieng. Dahulunya, diperkirakan di candi tersebut pernah terdapat arca atau lingga yang

akan dimandikan dengan upacara khusus, dengan pengaturan bilik dan saluran air suci

menembus tembok, upacara ini mirip dengan upacara Siwais dengan cara yang sama

seperti candi-candi Palawa di India selatan. Begitu pula halnya dengan candi Bima

dimana pada awalnya sama dengan bentuk candi dari provinsi Orissa di India, akan tetapi

kemudian banyak mengalami perubahan sekitar tahun 800 M disesuaikan dengan

penggunaannya oleh penganut Budha. Beberapa candi yang terpenting lain pada masa

dan wilayah ini adalah Candi Gunung Wukir dekat Magelang (732 M), Candi Badut,

dekat Malang (760 M), kelompok candi Gedong Songo di lereng gunung Ungaran.

Gambar 1.5 : Candi Gunung Wukir dan Candi Badut