Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Analisis Risiko Kesehatan Pajanan PM10 dan SO2 di Kelapa Gading Jakarta Utara Tahun 2014
Sukadi, Abdur Rahman
Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Indek standar pencemaran udara DKI Jakarta tahun 2012 dan 2013, prosentase parameter kritis terbanyak berada di Kelapa Gading. PM10 merupakan salah satu parameter kritis, dan SO2 juga menjadi parameter tertinggi di
Kelapa Gading dibanding 5 wilayah lain. Untuk mengestimasi risiko kesehatan terhadap populasi berisiko maka dilakukan analisis risiko kesehatan PM10 dan SO2 di Kelapa Gading. Konsentrasi risk agent diperoleh dari stasiun pemantau kualitas udara BPLHD DKI Jakarta selama 365 hari pada tahun 2013. Berat badan, waktu
pajanan harian, frekuensi pajanan dan lama pajanan diukur dari 80 responden. Estimasi risiko kesehatan dinyatakan dalam Risk Quotient (RQ), dihitung dari intake risk agent dan dosis referensinya (RfC). Risiko
kesehatan dianggap berisiko apabila RQ>1. Hasil penelitian menunjukkan RQ PM10 dan SO2 pajanan realtime tidak berisiko. Pajanan lifespan konsentrasi maksimum PM10 berisiko terhadap kesehatan populasi kecuali
tukang parkir. Konsentrasi PM10 harus diturunkan hingga 130 µg/m3 yang merupakan batas aman untuk semua pupolasi, atau mengurangi waktu pajanan dan frekuensi pajanan.
Analysis of the Health Risks of Exposure to PM10 and SO2 at Kelapa Gading, North
Jakarta in 2014
Abstract
Air pollution standard index of Jakarta in 2012 and 2013, the percentage of the most critical parameters are in Kelapa Gading. PM10 is one of the critical parameters, and SO2 also became the highest parameters in Kelapa
Gading than 5 other regions. To estimate the health risks to the population at risk the health risk analysis of PM10 and SO2 in Kelapa Gading. Concentration risk agent obtained from the air quality monitoring station BPLHD for
365 days in 2013. Weight, daily exposure time, exposure frequency and duration of exposure were measured from 80 respondents. Health risk estimates expressed in the Risk Quotient (RQ), calculated from the intake and
the risk agent reference dose (RFC). The health risks are considered at risk if RQ>1. The results showed RQ PM10 and SO2 exposure risk is not realtime. Lifespan exposure to the maximum concentration of PM10 risk for
population health except parking attendants. PM10 concentration must be lowered to 130 µg/m3 which is the safe limit for all pupolasi, or reduce the time of exposure and frequency of exposure.
Keywords: Kelapa Gading; risk analysis; PM10, SO2
Pendahuluan
Pencemaran udara merupakan masalah lingkungan global yang menjadi perhatian semua
negara. Negara berkembang menghadapi masalah polusi udara yang jauh lebih serius
dibandingkan negara maju. Pencemar udara berasal dari kegiatan yang bersifat alami seperti
letusan gunung berapi, kebakaran hutan, dekomposisi biotik spora tumbuhan dan lain
sebagainya. Sumber pencemar akibat aktivitas manusia yaitu akibat aktivitas transportasi,
Analisis risiko…, Sukadi, FKM UI, 2014
2
industri, persampahan, baik akibat proses dekomposisi ataupun pembakaran dari rumah
tangga (Soedomo, 2001). Ada enam kriteria polutan udara yang terdiri dari lima polutan
primer (langsung) dan satu polutan sekunder. Polutan primer yaitu particulate matter yang
diameternya kurang dari 10µm (PM10), SO2, NO2, CO, dan partikulat timbal, polutan
sekunder yaitu Ozon (EPA, 1990).
Pencemar udara di DKI Jakarta digolongkan dalam dua kelompok sumber yaitu sumber
bergerak dan tidak bergerak. Sumber tidak bergerak yaitu kegiatan industri, rumah tangga dan
pembakaran sampah, sedangkan sumber bergerak yaitu kegiatan transportasi (SLHD, 2012).
Polutan debu (total partikel) berasal dari sumber tidak bergerak sebesar 279,45 ton/tahun dan
sumber bergerak sebesar 4.486.991,00 ton/tahun. SO2 berasal dari sumber tidak bergerak
sebesar 46,86 ton/tahun dan sumber bergerak sebesar 9.844.545,90 ton/tahun (SLHD, 2012).
Sumber bergerak merupakan penyebab terbesar pencemaran untuk parameter SO2 dan debu.
Data ISPU DKI Jakarta tahun 2013, hanya 1% hari dengan kriteria sehat, 42% sedang,
50% tidak sehat dan 7% sangat tidak sehat. Parameter kritis ISPU yang dominan adalah Ozon
dan PM10. Data indek standar pencemar udara tahun 2012 dan 2013 menyatakan Kelapa
Gading merupakan daerah dengan prosentasi parameter kritis pencemaran udara yang paling
tinggi di DKI Jakarta.
Parameter PM10 dipilih karena merupakan parameter kritis yang dominan pada ISPU di
Jakarta setelah ozon. Sedangkan SO2 menjadi parameter paling tinggi di Kelapa Gading
dibandingkan dengan lima wilayah yang lain. Udara yang tercemar polutan termasuk PM10
dan SO2 sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat yang beraktivitas sehari-hari di tempat
ini. Kajian risiko kesehatan di kawasan ini belum dilakukan sehingga tidak diketahui besarnya
tingkat risiko kesehatan oleh pajanan PM10 dan SO2 pada masyarakat berisiko yang
menghabiskan sebagian besar aktivitasnya di wilayah ini. Untuk memprediksi risiko
kesehatan maka dilakukan studi analisis risiko pajanan PM10 dan SO2 pada masyarakat yang
berisiko dikawasan Kelapa Gading. Penelitian ini bertujuan untuk meprakirakan risiko
kesehatan pajanan PM10 dan SO2 pada masyarakat yang berisiko serta merumuskan
pengendaliannya.
Tinjauan Teoritis
Particulate matter atau partikel debu melayang merupakan campuran yang sangat
kompleks dari berbagai senyawa organik dan anorganik seperti sulfat, nitrat, ammonia,
sodium klorida, karbon, debu mineral, dan air (WHO, 2011). Partikel debu yang sering
Analisis risiko…, Sukadi, FKM UI, 2014
3
dikenal adalah partikel debu 10 mikron atau sering disebut PM10. PM10 memiliki ukuran
diameter 10 mikron yang secara umum partikel ini bisa masuk melalui hidung maupun
tenggorokan dan nantinya akan sampai ke paru-paru. PM10 yang terhirup ini bisa memberikan
efek kesehatan yang buruk bagi organ paru-paru dan jantung (EPA, 2013).
Nilai baku mutu PM10 udara ambien tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara adalah 150 µg/m3
untuk episode 24 jam. Nilai ini sama dengan yang ditetapkan Pemda Provinsi DKI Jakarta
yaitu 150 µg/m3 untuk episode 24 jam. WHO menetapkan 50 µg/m3 untuk episode 24 jam.
Sedangkan NAAQS menetapkan 150 µg/m3 untuk episode 24 jam dan 50 µg/m3 untuk
arithmatic mean tahunan.(EPA, 1990).
Sulfur dioksida (SO2) merupakan salah satu dari kelompok sulfur oksida (SOx) selain
sulfur trioksida (SO3). SO2 memiliki karakteristik bau yang tajam dan tidak mudah terbakar
diudara. Konsentrasi SO2 di udara akan mulai terdeteksi oleh indera penciuman manusia
ketika konsentrasi berkisar antara 0,3 – 1 ppm (Wardana, 2004). Sulfur dioksida (SO2)
memberikan efek negatif pada sistem pernafasan dan fungsi paru-paru. Peradangan yang
disebabkan SO2 akan mengakibatkan batuk, sekresi lendir yang berlebihan, peningkatan
gejala asma dan bronkitis kronis serta membuat manusia lebih mudah mendapatkan infeksi
pada saluran pernafasan (WHO, 2005). Paparan jangka pendek bahkan untuk tingkat tinggi
SO2 dapat memiliki merugikan efek pada fungsi pernapasan , khususnya bagi mereka yang
menderita asma.
Nilai baku mutu SO2 udara ambien tercantum dalam PP No. 41 tahun 1999 Tentang
Pengendalian Pencemaran Udara yaitu 365 µg/m3 untuk episode 24 jam. Sedangkan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan 260 µg/m3 untuk episode 24 jam. WHO
menetapkan 20 µg/m3 untuk episode 24 jam. Sedangkan NAAQS menetapkan 75 ppb (198
µg/m3) untuk episode 1 jam dan 80 µg/m3 untuk arithmatic mean tahunan (EPA,1990).
Model kajian dampak lingkungan terhadap kesehatan yang selama ini dilakukan ada dua,
yaitu studi epidemiologi kesehatan lingkungan (EKL) dan analisis risiko kesehatan
lingkungan (ARKL). EKL umumnya dilakukan atas dasar kejadian penyakit (disease
oriented) atau kondisi lingkungan yang spesifik (agent oriented) (WHO 1983), sedangkan
ARKL bersifat agent spesifik dan site spesifik. ARKL adalah proses perhitungan atau
prakiraan risko pada suatu organisme sasaran, sistem atau sub populasi, termasuk identifikasi
ketidakpastian-ketidakpastian yang menyertainya, setelah terpajan oleh agent tertentu,
dengan memerhatikan karakteristik yang melekat pada agent itu dan karakteristik sistem
Analisis risiko…, Sukadi, FKM UI, 2014
4
sasaran yang spesifik (IPCS, 2004a). Risko itu sendiri didefinisikan sebagai kebolehjadian
(probabilitas) efek merugikan pada suatu organisme, sistem atau (sub) populasi yang
disebabkan oleh pemajanan suatu agent dalam keadaan tertentu (IPCS, 2004a).
Penelitian di Kelapa Gading ini bermula dari risk agent yaitu PM10 dan SO2, bukan dari
data kejadian penyakit yang ada di wilayah ini. Model analisis dampak yang tepat untuk
digunakan adalah ARKL, karena kajian kilas depan dengan meramalkan besaran tingkat
risiko kesehatan yang bisa menimpa populasi yang berisiko pada suatu waktu.
Analisi resiko kesehatan lingkungan adalah salah satu bagian dari manajemen risiko
dimana merupakan proses memperkirakan peningkatan risiko kesehatan pada populasi yang
terpajan oleh sejumlah zat beracun (EPA, 2011). Analisis risiko adalah proses yang
dimaksudkan untuk menghitung atau memperkirakan risiko pada suatu organisme sasaran,
sistem atau (sub) populasi, termasuk identifikasi ketidakpastian yang menyertainya setelah
terpajan oleh agen tertentu dengan memperhatikan karakteristik yang melekat pada agen yang
menjadi perhatian dan karakteristik sistem sasaran yang spesifik (IPCS, 2004). Bahaya
lingkungan terdiri atas tiga agen risiko, yaitu chemical agents (zat-zat kimia), physical agents
(energi radiasi atau gelombang elektromagnetik berbahaya) dan biological agents (organisme
patogen) (Rahman, 2010).
Analisis risiko merupakan studi yang melakukan estimasi tingkat risiko pada populasi
yang setelah terkena suatu pajanan yang membahayakan (Louvar and Louvar, 1998).
Penilaian risiko dan manajemen risiko merupakan dasar dari pelaksanaan peraturan. Penilaian
risiko digunakan untuk menilai efek kesehatan individu atau populasi dari suatu bahan dan
situasi berbahaya. Sedangkan manajemen risiko adalah proses menimbang alternatif
kebijakan dan memilih yang paling sesuai dengan peraturan, mengintegrasikan hasil penilaian
risiko dengan teknik data dan masalah sosial, ekonomi, dan politik untuk mencapai keputusan
(NRC, 1983).
Analisis risiko kesehatan (health risk assessment) adalah suatu proses memperkirakan
masalah kesehatan yang mungkin timbul dan besarnya akibat yang ditimbulkannya pada suatu
waktu tertentu. Analisis risiko terdiri dari empat tahap kajian, yaitu identifikasi bahaya
(hazard potential identification), analisis dosis-respon (dose-response assesment), analisis
pemajanan (exposure assesment) dan karakterisasi risiko (risk characterization), yang
kemudian dilanjutkan dengan manajemen risiko dan komunikasi risiko (US-EPA/NRC,1983
dalam Louvar, 1998).
Analisis risiko…, Sukadi, FKM UI, 2014
5
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode prediksi atau prakiraan, dengan desain penelitiannya
estimasi pajanan, estimasi asupan, estimasi risiko dan rumusan manajemen. Metode ini
disebut juga metode ARKL yang di harmonisasikan IPCS, yaitu studi untuk menghitung atau
memperkirakan risiko akibat pajanan beberapa agen pada suatu populasi dengan
memperhatikan karakteristik agent dan populasi.
Subjek studi dalam penelitian adalah populasi manusia yang berisiko yaitu satpam,
tukang ojeg, pedagang kaki lima dan tukang parkir dimana populasi tersebut relatif sering
terpajan oleh polusi pada udara ambien di kawasan Kelapa Gading. Sedangkan risk agent
berupa konsentrasi PM10 dan SO2. yang tedapat dalam udara ambien di kawasan Kelapa
Gading.
Populasi yang berisiko pada penelitian ini adalah masyarakat yang menghabiskan
sebagian besar aktivitas hariannya di luar rumah di kawasan Kelapa Gading. Sampel yang
diambil adalah satpam, tukang ojeg, pedagang kaki lima, tukang parkir, dengan radius 0 – 1
kilo meter dari stasiun pemantau kualitas udara DKI2 (Kelapa Gading), dengan kriteria
inklusi berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan yang bekerja lebih atau sama dengan
satu tahun di tempat tersebut. Sampel lingkungan adalah konsentrasi PM10 dan SO2 di
kawasan Kelapa Gading, yang didapatkan dari data pengukuran stasiun pemantau kualitas
udara otomatis DKI2 (Kelapa Gading) tahun 2013.
Penelitian ini dilakukan di Kelapa Gading Provinsi DKI Jakarta pada Bulan Pebruari-
Maret 2014. Pengambilan data antropometri pada tukang ojeg, tukang parkir, pedagang kaki
lima dan satpam dilakukan di jalan yang berada dalam radius 1 km dari stasiun pemantau
udara otomatis DKI2 (Kelapa Gading) yang terletak di komplek Kantor Kelurahan
Pegangsaan Dua, Kelapa Gading.
Besar responden ditentukan dengan by criteria, yaitu jumlah responden yang ditemukan
di tempat penelitian sesuai dengan kriteria sampel. Besar sampel lingkungan yaitu konsentrasi
PM10 dan SO2 hasil pengukuran stasiun pemantau udara otomatis DKI2 selama 365 hari mulai
bulan Januari – Desember 2013.
Pengambilan sampel responden tersebut menggunakan metode purposive sampling.
Responden dipilih sesuai dengan kirteria yang ditentukan dan bersedia untuk dijadikan
responden kemudian dilakukan wawancara dan penimbangan berat badan. Sampel konsentrasi
PM10 dan SO2 diambil dari data hasil pengukuran stasiun pemantau udara otomatis DKI2
yang telah terkumpul di kantor BPLHD Provinsi DKI Jakarta. Pengukuran di stasiun
Analisis risiko…, Sukadi, FKM UI, 2014
6
pemantau kualitas udara otomatis PM10 menggunakan alat Verewa F701-20 dengan metode
Beta-Absorption C-14 dan SO2 menggunakan Alat Horiba APSA – 370 dengan metode UV
Fluorescence.
Pengolahan dan analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut : data konsentrasi PM10 dan SO2 dalam 365 hari yang terkumpul dikonversi
menjadi satuan mg/m3, data sampel antropometri dan data risk agent di input terpisah, data
dianalisis diskriptif untuk memperoleh sebaran datanya normal atau tidak normal. Uji
normalitas dilakukan untuk mengetahui distribusi data dalam suatu variabel penelitian itu
normal atau tidak normal. Jika p-value Uji Normalitas > 0,05 maka data normal dan jika p-
value Uji Normalitas < 0,05 maka data tidak normal. Untuk data yang normal maka
dipergunakan nilai mean dan jika data tidak normal dipergunakan nilai median.
Prosedur dalam analisis risiko kesehatan pajanan PM10 dan SO2 dengan langkah-langkah
ARKL meliputi sebagai berikut :
Identifikasi bahaya (Hazard Identification), Penelitian ini dilakukan analisis risk agent
dengan mengumpulkan data dan informasi mengenai agent yang diteliti yaitu PM10 dan SO2.
Efek debu (PM10) terhadap saluran pernafasan telah terbukti bahwa kadar debu berasosiasi
dengan insidens gejala penyakit pernafasan terutama gejala batuk. Debu yang mengendap di
dalam saluran pernafasan, menyebabkan oedema mukosa dinding saluran pernafasan sehingga
terjadi penyempitan saluran. Faktor yang mendasari timbulnya gejala penyakit pernafasan
adalah batuk, dahak, sesak nafas, bunyi mengi (Putranto, 2007). Sulfur dioksida (SO2)
memberikan efek negatif pada sistem pernafasan dan fungsi paru-paru. Peradangan yang
disebabkan SO2 akan mengakibatkan batuk, sekresi lendir yang berlebihan, peningkatan
gejala asma dan bronkitis kronis serta membuat manusia lebih mudah mendapatkan infeksi
pada saluran pernafasan (WHO, 2005).
Analisis Pemajanan (Eksposure Assesement), Analisa pajanan dilakukan dengan
mengestimasi jumlah asupan atau intake inhalasi setiap harinya dengan menghitung
konsentrasi PM10 dan SO2, laju asupan, frekuensi pajanan, durasi pajanan, dan berat badan.
Data konsentrasi PM10, SO2 dan data antropometri kemudian dianalisis untuk mendapatkan
nilai Intake pemajanan realtime dan lifespan dari PM10 dan SO2 dengan menggunakan
persamaan berikut :
I =C x R x tE x fE x Dt
Wb x tavg (1) nk
I adalah asupan/intake (mg/kg/hari), C adalah konsentrasi agen risiko (mg/m3), R adalah laju
inhalasi (m3/jam), tE adalah waktu pajanan (jam/hari), fE adalah frekuensi pajanan
Analisis risiko…, Sukadi, FKM UI, 2014
7
(hari/tahun), Dt adalah durasi pajanan (tahun), Wb adalah berat badan (kg), dan tavg adalah
periode rata-rata harian (30 x 365 hari/tahun untuk zat non karsinogenik).
Nilai tE didapatkan dari penelitian, fE dihitung dengan mengurangi waktu satu tahun (365 hari)
dengan lama responden (dalam hari) meninggalkan lokasi studi. Nilai Dt merupakan hasil
penelitian yang menyatakan waktu responden tinggal di lokasi studi dan terpajan agen risiko
untuk perhitungan realtime, sedangkan untuk perhitungan sepanjang hayat dapat digunakan
nilai Dt default, yaitu 30 tahun. R adalah laju inhalasi, berdasarkan US-EPA, 1990 nilai R
default adalah 20 m3/hari untuk laju inhalasi dengan berat badan 70 kg. Dikarenakan
antropometri masyarakat Indonesia berbeda, maka laju inhalasi diturunkan dari berat badan
dengan persamaan logaritmik y= 5,3ln(x)–6,9 dengan y = R (m3/hari) dan x = Wb (kg)
(Abrianto, 2004).
Analisis Dosis Respon (Dose-Respones Assessment), Dalam penelitian ini analisis respon
dilakukan dengan melakukan kajian literatur terhadap PM10 dan SO2. Dosis referensi adalah
konsentrasi rujukan yang merupakan nilai toksisitas kuantitatif non karsinogenik sebagai
estimasi dosis pajanan harian yang tidak menimbulkan efek merugikan kesehatan sepanjang
hayat (IPCS, 2004). Untuk menentukan Dosis referensi (RfC) dapat dilihat dalam daftar IRIS
(EPA, 2006) dan MRL (ATSDR, 2008). PM10 dan SO2 belum tersedia dalam daftar keduanya.
RfC debu dan SO2 tidak ditetapkan dari NOAEL atau LOAEL melainkan diturunkan dari
National Ambient Air Quality Standard (NAAQS) (Rahman, et. Al., 2008). Baku Primer
(Primary Standard) NAAQS (EPA, 1990) untuk PM10 yaitu 50 µg/m3 (arithmatic mean
tahunan) dan SO2 yaitu 80 µg/m3 (arithmatic mean tahunan). Berdasarkan konsentrasi aman I
= RfC, maka dapat digunakan persamaan berikut :
RfC =C x R x tE x fE Wb x tavg (2)
RfC adalah dosis atau konsentrasi referensi secara inhalasi (mg/kg/hari), C adalah konsentrasi
(mg/m3), R adalah laju asupan (m3/jam), tE adalah waktu pajanan (jam/hari), fE adalah
frekuensi pajanan (hari/tahun), Wb adalah berat badan (kg), tavg adalah periode rata-rata harian
(365 hari/tahun).
Karakteristik Resiko (Risk Characterization), Karakteristik resiko adalah perkiraan risiko
numerik, didapat dari perbandingan asupan (intake) dengan dosis respons (RfC). Tingkat
risiko dinyatakan dengan Risk Quotient (RQ). Untuk mengetahui karakteristik risiko (RQ),
digunakan persamaan :
RQ =IRfC (3)
Analisis risiko…, Sukadi, FKM UI, 2014
8
Risiko kesehatan perlu dikendalikan jika RQ >1, jika RQ <1 risiko tidak perlu dikendalikan
tetapi kondisi harus dipertahankan agar nilai numerik RQ tidak melebihi 1.
Manajemen Risiko, merumuskan manajemen risiko pada responden yang berisiko (nilai
RQ>1) dengan menghitung konsentrasi yang aman , lama pajanan harian yang aman (tE aman)
dan frekuensi pajanan tahunan yang aman (fE aman) bagi kelompok responden yang berisiko.
Perhitungan dilakukan dengan menggunakan persamaan dibawah ini:
Cnk (aman) = Wb x t avg x RfCR x tE x fE (4)
tEnk aman =Wb x t avg x RfC
C x R x fE (5)
fEnk aman = Wb X tavg x RfC
C x R X tE (6)
Hasil Konsentrasi PM10 dan SO2
Konsentrasi PM10 dan SO2 di kawasan Kelapa Gading diperoleh dari pengukuran stasiun
pemantau kualitas udara Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Propinsi DKI
Jakarta. Konsentrasi PM10 dan SO2 harian mulai 1 Januari sampai 31 Desember 2013, yang
didapatkan dalam satuan µg/m3 dikonversi menjadi mg/m3. Konsentrasi PM10 dan SO2 dalam
satu tahun diperoleh data minimum, rata-rata dan maksimum tercantum dalam table 1.
berikut: Tabel 1. Konsentrasi PM10 dan SO2 di Kelapa Gading, 365 hari bulan Januari– Desember 2013
Parameter Konsentrasi (mg/m3) Min Maks Mean/Median SD p-value**) Distribusi
PM10 0,014 0,203 0,065* 0,023 0,005 Tidak normal SO2 0,001 0,114 0,033^ 0,019 0,065 Normal
Keterangan = * : Nilai median ^ = Nilai mean ** : Uji Normalitas Data Kolmogrov-Smirnov
Karakteristik Antropometri
Data karakteristik antropometri seperti berat badan, pajanan harian, frekuensi pajanan,
durasi pajanan pada total responden maupun per kelompok berisiko dikawasan Kelapa
Gading dapat dilihat dalam tabel 2.
Analisis risiko…, Sukadi, FKM UI, 2014
9
Tabel 2. Karakteristik Antropometri Responden (n=80) per kelompok populasi berisiko di Kelapa Gading Tahun 2014
Kelompok populasi berisiko Min Maks Mean/
Median SD p-value
**) Distribusi
Semua Kelompok Populasi Berat badan (kg) Wb 44 110 63* 13,58 0,037 Tidak normal Pajanan harian (jam/hari) tE 5 15 10* 2,58 0,000 Tidak normal Frekuensi pajanan (hari/tahun) fE 155 363 310,5* 42,75 0,000 Tidak normal Durasi pajanan (tahun) Dt 1 25 7,5* 6,6 0,000 Tidak normal Laju inhalasi (m3/jam) R 0,55 0,75 0,63^ 0,04 0,182 Normal Tukang Ojeg (n=35) Berat badan (kg) Wb 47 110 61* 13,95 0,040 Tidak normal Pajanan harian (jam/hari) tE 5 15 12* 2,59 0,004 Tidak normal Frekuensi pajanan (hari/tahun) fE 255 363 310* 25,59 0,000 Tidak normal Durasi pajanan (tahun) Dt 1 24 10* 6,95 0,037 Tidak normal Laju inhalasi (m3/jam) Rα 0,56 0,75 0,63^ 0,04 0,200 Normal Tukang Parkir (n=14) Berat badan (kg) Wb 44 94 62,21^ 13,17 0,200 Normal Pajanan harian (jam/hari) tE 5 12 7,93^ 1,85 0,200 Normal Frekuensi pajanan (hari/tahun) fE 155 362 346* 83,07 0,001 Tidak normal Durasi pajanan (tahun) D 2 20 7,86^ 6,88 0,110 Normal Laju inhalasi (m3/jam) Rα 0,55 0,72 0,62^ 0,04 0,200 Normal Pedagang Kaki Lima (n=21) Berat badan (kg) Wb 46 109 62,71^ 15,33 0,058 Normal Pajanan harian (jam/hari) tE 5 15 9,38^ 2,52 0,060 Normal Frekuensi pajanan (hari/tahun) fE 287 358 335* 21,18 0,006 Tidak normal Durasi pajanan (tahun) Dt 2 25 9,29^ 6,49 0,096 Normal Laju inhalasi (m3/jam) Rα 0,56 0,75 0,62^ 0,05 0,079 Normal Satpam (n=10) Berat badan (kg) Wb 51 80 70^ 7,85 0,078 Normal Pajanan harian (jam/hari) tE 8 12 12* 1,39 0,000 Tidak normal Frekuensi pajanan (hari/tahun) fE 255 362 304^ 39,34 0,132 Normal Durasi pajanan (tahun) Dt 2 11 5,10^ 3,32 0,143 Normal Laju inhalasi (m3/jam) Rα 0,58 0,68 0,66* 0,03 0,006 Tidak normal
Keterangan : * = Nilai median ^ = Nilai mean ** = Uji Normalitas Data Kolmogrov-Smirnov α = dari persamaan y = 5,3 ln(x)–6,9, dengan y = R (m3/hari) dan x = Wb (kg) (Abrianto, 2004)
Data karakteristik antropometri rata-rata berat badan paling rendah pada tukang ojeg dan
paling tinggi pada satpam. Rata-rata pajanan harian paling rendah pada tukang parkir dan
paling tinggi pada tukang ojeg dan satpam. Rata-rata frekuensi pajanan paling rendah pada
satpam dan paling tinggi pada tukang parkir. Rata-rata durasi pajanan paling rendah satpam
dan paling tinggi tukang ojeg.
Responden rata-rata berusia 36,65 tahun dan berjenis kelamin laki-laki (98,75%).
Responden paling banyak bekerja sebagai tukang ojeg(43,8%) dan berpendidikan SLTP
(48,8%). Sebagian besar responden tidak memakai masker selama bekerja (91,2%) dan
memiliki kebiasaan merokok (87,5%). Variabel gangguan kesehatan bahwa 35 (43,8%) orang
Analisis risiko…, Sukadi, FKM UI, 2014
10
pernah mengalami gangguan pernafasan dalam 2 minggu terakhir, dan sebagian besar pernah
mengalami gangguan pernafasan selama bekerja di daerah Kelapa Gading (58,8%).
Analisis Pajanan dan Perhitungan Intake
Analisis pajanan dilakukan berdasarkan dua kategori yaitu pajanan realtime dan
pajajanan lifespan. Pajanan realtime menggunakan nilai durasi pajanan (Dt) sebenarnya, yaitu
lama responden bekerja atau beraktivitas dilokasi penelitian dengan satuan tahun. Besarnya
nilai laju inhalasi (R) yaitu berdasarkan persamaan y = 5,3 ln(x)–6,9, dengan y = R (m3/hari)
dan x = Wb (kg) (Abrianto, 2004). Perhitungan Intake PM10 dan SO2 pada responden wilayah
Kelapa Gading digunakan persamaan (1). Nilai rata-rata Intake realtime PM10 dan SO2 pada
kelompok populasi berisiko berdasarkan konsentrasi pajanan di kawasan Kelapa Gading dapat
dilihat pada tabel 3. berikut : Tabel 3. Intake PM10 dan SO2 Konsentrasi Minimum, Rata-rata, Maksimum untuk Pajanan realtime
pada kelompok populasi berisiko di kawasan Kelapa Gading
Kelompok populasi Intake PM10 (mg/kg/hari) Intake SO2 (mg/kg/hari) Cmin
(0,014) Crata-rata
(0,065) Cmaks (0,203)
Cmin (0,001)
Crata-rata (0,033)
Cmaks (0,114)
Tukang Ojeg 0,0005^ 0,0022^ 0,0070^ 0,00003^ 0,0011^ 0,0039^ Tukang Parkir 0,0002* 0,0010^ 0,0032^ 0,00002^ 0,0005^ 0,0018^ Pedagang Kaki Lima 0,0003^ 0,0016^ 0,0051^ 0,00003^ 0,0008^ 0,0029^ Satpam 0,0001* 0,0009^ 0,0021* 0,00002^ 0,0003* 0,0017^
Keterangan : * = Distribusi tidak normal (Nilai median)
^ = Distribusi normal (nilai mean) Dari tabel diatas diketahui bahwa kelompok pekerjaan tukang ojeg memiliki Intake pajanan
PM10 dan SO2 paling tinggi untuk pajanan realtime.
Nilai rata-rata Intake lifespan PM10 dan SO2 pada kelompok populasi berisiko dapat dilihat
pada table 4 berikut : Tabel 4. Intake PM10 dan SO2 Konsentrasi Minimum, Rata-rata, Maksimum untuk Pajanan lifespan pada
kelompok populasi berisiko di Kawasan Kelapa Gading
Kelompok populasi Intake PM10 (mg/kg/hari) Intake SO2 (mg/kg/hari) Cmin
(0,014) Crata-rata
(0,065) Cmaks (0,203)
Cmin (0,001)
Crata-rata (0,033)
Cmaks (0,114)
Tukang Ojeg 0,0014* 0,0060^ 0,0188^ 0,00009^ 0,0031^ 0,0106^ Tukang Parkir 0,0009^ 0,0044^ 0,0137^ 0,00007^ 0,0022^ 0,0077^ Pedagang Kaki Lima 0,0012^ 0,0055^ 0,0173^ 0,00009^ 0,0028^ 0,0097^ Satpam 0,0012^ 0,0056^ 0,0176^ 0,00009^ 0,0029^ 0,0099^
Keterangan : * = Distribusi tidak normal (Nilai median)
^ = Distribusi normal (nilai mean)
Analisis risiko…, Sukadi, FKM UI, 2014
11
Dari tabel diatas diketahui bahwa kelompok pekerjaan tukang ojeg memiliki Intake pajanan
PM10 dan SO2 paling tinggi untuk pajanan lifespan.
Analisis Dosis Respon
Tahapan analisis resiko ini disebut juga dengan toxicity assessment, analisis tahap ini
menyangkut identifikasi jenis efek yang merugikan yang berhubungan dengan pemajanan zat
toksik yang telah diidentifikasi dan hubungan besar pajanan dengan efek merugikan
kesehatan. Ukuran toksisitas dari suatu risk agent dengan efek non karsinogen dalam Analisa
Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) untuk dihirup (inhalasi) dinyatakan dengan RfC
(Reference Concentration) (Rahman, 2004). Dosis referensi adalah konsentrasi rujukan yang
merupakan nilai toksisitas kuantitatif non karsinogenik sebagai estimasi dosis pajanan harian
yang tidak menimbulkan efek merugikan kesehatan sepanjang hayat (IPCS, 2004).
Dosis referensi (RfC) PM10 dan SO2 belum tersedia, baik dalam daftar IRIS (EPA, 2006)
maupun dalam tabel MRL (ATSDR, 2008). RfC PM10 dan SO2 tidak ditetapkan dari NOAEL
atau LOAEL melainkan diturunkan dari National Ambient Air Quality Standard (NAAQS)
(Rahman, et. Al., 2008). Baku mutu nasional udara ambien menurut Peraturan Pemerintah
No. 41 tahun 1999 maupun Keputusan Gubernur DKI Jakarta No 551 tahun 2001, tidak dapat
digunakan karena nilai default faktor-faktor pemajanannya tidak diketahui.
RfCPM10
Baku Primer (Primary Standard) NAAQS (EPA, 1990) untuk PM10 adalah 50 µg/m3
(arithmatic mean tahunan). Berdasarkan konsentrasi aman I = RfC, dengan nilai default R =
0,83 m3/jam, tE = 24 jam/hari, fE = 350 hari/tahun, Wb = 70 kg, tavg = 365 hari/tahun, maka
dapat dihitung dengan persamaan (2) :
!"# =0,05mgm3 x 0,83
m3jam x 24 jamhari x 350
haritahun
70 kg x 365 hari/tahun = 0,014 mg/kg/hari
RfCSO2
Baku Primer (Primary Standard) NAAQS (EPA, 1990) untuk SO2 adalah 80 µg/m3
(arithmatic mean tahunan). Berdasarkan konsentrasi aman I = RfC, dengan nilai default R =
0,83 m3/jam, tE = 24 jam/hari, fE = 350 hari/tahun, Wb = 70 kg, tavg = 365 hari/tahun, maka
dapat dihitung dengan persamaan (2) :
!"# =0,08mgm3 x 0,83
m3jam x 24 jamhari x 350
haritahun
70 kg x 365 hari/tahun = 0,022 mg/kg/hari
Analisis risiko…, Sukadi, FKM UI, 2014
12
Karakteristik Risiko
Karakteristik risiko dilakukan untuk menetapkan tingkat risiko. Karakteristik risiko ini
dinyatakan dalam notasi Risk Quotien (RQ). Hasil perhitungan di dapatkan nilai RQ > 1 dan
nilai RQ < 1. Suatu keadaan dinyatakan berisiko(tidak aman) apabila nilai RQ > 1 sehingga
keadaan ini perlu dilakukan pengendalian dan tidak berisiko (aman) apabila nilai RQ < 1.
Untuk mengehitung RQ maka digunakan persamaan (3). Nilai rata-rata Tingkat Risiko
realtime untuk parameter PM10 dan SO2 pada kelompok populasi berisiko dapat dilihat pada
tabel 5 berikut : Tabel 5. Tingkat Risiko (RQ) PM10 dan SO2 Konsentrasi Minimum, Rata-rata, Maksimum untuk Pajanan
realtime pada kelompok populasi berisiko di Kawasan Kelapa Gading
Kelompok populasi RQ PM10 RQ SO2 Cmin
(0,014) Crata-rata
(0,065) Cmaks (0,203)
Cmin (0,001)
Crata-rata (0,033)
Cmaks (0,114)
Tukang Ojeg 0,035^ 0,160^ 0,500^ 0,002^ 0,052^ 0,179^ Tukang Parkir 0,016^ 0,074^ 0,231^ 0,001^ 0,024^ 0,083^ Pedagang Kaki Lima 0,025^ 0,117^ 0,366^ 0,001^ 0,038^ 0,131^ Satpam 0,010* 0,048* 0,151* 0,001^ 0,016* 0,054*
Keterangan : * = Distribusi tidak normal (Nilai median)
^ = Distribusi normal (nilai mean)
Tingkat resiko (RQ) PM10 dan SO2 pada semua kelompok populasi untuk realtime hasilnya
masih dibawah 1 (RQ<1), kelompok tukang ojeg memiliki RQ paling tinggi dan tukang parkir
memiliki RQ paling rendah. Dari data ini berarti RQ realtime tidak berisiko (aman).
Nilai rata-rata Tingkat Risiko lifespan untuk parameter PM10 dan SO2 pada kelompok
populasi berisiko dapat dilihat pada tabel 6. Tingkat resiko (RQ) PM10 pajanan lifespan pada
konsentrasi maksimum untuk kelompok populasi tukang ojeg, pedagang kaki lima dan satpam
nilai diatas 1 (RQ>1), sedangkan pada konsentrasi minimum dan rata-rata nilai dibawah 1
(RQ<1). RQ SO2 pajanan lifespan pada semua tingkat konsentrasi dan semua kelompok
populasi memiliki RQ kurang dari 1. Tabel 6. Tingkat Risiko (RQ) PM10 dan SO2 Konsentrasi Minimum, Rata-rata, Maksimum untuk Pajanan
lifespan pada kelompok populasi berisiko di Kawasan Kelapa Gading
Kelompok populasi RQ PM10 RQ SO2 Cmin
(0,014) Crata-rata
(0,065) Cmaks (0,203)
Cmin (0,001)
Crata-rata (0,033)
Cmaks (0,114)
Tukang Ojeg 0,093^ 0,430^ 1,344^ 0,005^ 0,139^ 0,480^ Tukang Parkir 0,068^ 0,314^ 0,981^ 0,003^ 0,102^ 0,351^ Pedagang Kaki Lima 0,085^ 0,395^ 1,233^ 0,004^ 0,128^ 0,441^ Satpam 0,087^ 0,402^ 1,256^ 0,004^ 0,130^ 0,449^
Keterangan : * = Distribusi tidak normal (Nilai median)
^ = Distribusi normal (nilai mean)
Analisis risiko…, Sukadi, FKM UI, 2014
13
Pembahasan Konsentrasi PM10 dan SO2
Sebaran data konsentrasi PM10 di kawasan Kelapa Gading selama 365 hari pada tahun
2013 tidak normal (p-value 0,005) sehingga digunakan nilai median, sedangkan sebaran data
konsentrasi SO2 normal (p-value 0,065) maka yang dipakai nilai mean. Nilai median
konsentrasi PM10 adalah 0,065 mg/m3, minimum 0,014 mg/m3 dan maksimum 0,203 mg/m3,
sedangkan nilai mean konsentrasi SO2 adalah 0,033 mg/m3, minimum 0,001 mg/m3 dan
maksimum 0,114 mg/m3(Tabel 5.1). Dengan baku mutu 150 µg/m3 (0,15 mg/m3) untuk PM10
dan 365 µg/m3 (0,365 mg/m3) untuk SO2 (PP 41/1999), rata-rata konsentrasi kedua parameter
tersebut masih memenuhi baku mutu. Berdasarkan Keputusan Gubernur Propinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta No.551 tahun 2001 tentang Penetapan Baku Mutu Udara Ambien dan
Baku Mutu Tingkat Kebisingan di Propinsi DKI Jakarta, yaitu PM10 150 µg/m3 dan SO2 260
µg/m3, rata-rata konsentrasi kedua parameter tersebut juga masih dibawah baku mutu.
Nilai Konsentrasi PM10 dan SO2 ini lebih rendah dibanding di 9 kota besar dengan nilai
median PM10 165 µg/m3 dan nilai mean SO2 33,14 µg/m3 (Nukman et al., 2005). Penelitian
lain di kawasan Bunderan HI mendapatkan hasil konsentrasi PM10 pada hari kerja 0,0571
mg/m3, hari libur 0,0524 mg/m3, HBKB 0,0479 mg/m3 dan SO2 pada hari kerja 0,0370
mg/m3, hari libur 0,0352 mg/m3, 0,0306 mg/m3 (Wardani, 2012). Konsentrasi PM10 ini lebih
rendah dari konsentrasi di Kelapa Gading, sedangkan konsentrasi SO2 lebih tinggi dari
konsentrasi di Kelapa Gading.
Karakteristik Antropometri
Variabel antropometri berat badan dan laju inhalasi merupakan variabel yang sangat
berpengaruh terhadap besar dosis aktual suatu risk agent yang diterima individu. Hasil
pengukuran antropometri dan pola aktivitas menghasilkan nilai faktor-faktor pemajanan, yaitu
berat badan untuk semua kelompok populasi rata-rata 63 kg, waktu pajanan 10 jam/hari,
frekuensi pajanan 310,5 hari/tahun durasi pajanan 7,5 tahun dan laju inhalasi 0,63 m3/jam.
Sedangkan untuk kelompok populasi berisiko seperti tukang ojeg, tukang parkir, pedagang
kaki lima dan satpam nilainya bervariasi tercantum dalam tabel 2.
Hasil ini berbeda dengan studi ARKL di 9 kota besar padat transportasi (Nukman et al.,
2005), di 5 lokasi tambang kapur (Rahman et al., 2008), pemukiman dekat tambang batu
kapur di Sukabumi (Suryaman et al., 2011) yaitu berat badan rata-rata 55 kg, frekuensi
pajanan 350 hari/tahun. Hasil ini juga berbeda dengan nilai default EPA (1990), yaitu berat
Analisis risiko…, Sukadi, FKM UI, 2014
14
badan 70 kg, frekuensi pajanan 350 hari/tahun, laju inhalasi 0,83 m3/jam. Rata-rata berat
badan 63 kg ini merupakan temuan baru yang berbeda dengan penelitian sebelumnya.
Penelian ini responden yang diteliti laki-laki sangat dominan (98,75%), sehingga
memungkinkan didapat rata-rata berat badan yang lebih tinggi dari penelitian sebelumnya.
Perbedaan laju inhalasi disebabkan perbedaan berat badan, untuk nilai default berdasarkan
rata-rata berat badan orang Eropa yaitu 70 kg, sedangkan untuk orang Indonesia lebih rendah.
Laju inhalasi dalam penelitian ini di turunkan dari kurva logaritmik berat badan terhadap laju
inhalasi normal (Abrianto, 2004), yatu persamaan y = 5,3 ln(x)–6,9, dengan y = R (m3/hari)
dan x = Wb (kg). Laju inhalasi berdasarkan persamaan ini dianggap lebih cocok untuk orang
Indonesia.
Sebagian besar responden berpendidikan SLTP 48,8%. Dengan rendahnya tingkat
pendidikan responden ini akan berpengaruh pada rendahnya pengetahuan tentang pencemaran
udara dan perlindungan diri dari udara yang tercemar. Perilaku responden menunjukkan
bahwa sebagian responden tidak memakai masker pada waktu kerja yaitu 91,2% dan
kebiasaan merokok sebanyak 87,5% responden merokok. Perilaku responden ini dapat
menyebabkan responden lebih berisiko untuk terkena gangguan pernafasan. Sebanyak 58,8%
responden pernah mengalami gangguan pernafasan selama bekerja.
Analisis Pajanan dan Perhitungan Intake
Analisis pajanan dilakukan berdasarkan dua kategori yaitu pajanan realtime dan
pajajanan lifespan. Intake pajanan realtime menggunakan nilai durasi pajanan (Dt)
sebenarnya seperti pada Tabel 3. Berdasarkan kelompok populasi berisiko Intake realtime
PM10 dan SO2 paling tinggi pada tukang ojeg baik pada konsentrasi pajanan minimum, rata-
rata maupun maksimum. Sedangkan Intake pajanan lifespan yaitu lama responden yang
melakukan aktivitasnya sampai 30 tahun kedepan seperti pada Tabel 4. Berdasarkan
kelompok populasi berisiko Intake lifespan PM10 dan SO2 paling tinggi juga pada tukang
ojeg baik pada konsentrasi pajanan minimum, rata-rata maupun maksimum. Hasil penelitian
ini sama dengan di Bunderan HI, kelompok tukang ojeg memiliki Intake realtime dan
lifespan lebih tinggi dibanding kelompok lainnya (Wardani, 2012).
Karakteristik Risiko
Karakteristik risiko dilakukan untuk menetapkan tingkat risiko. Karakteristik risiko atau
Risk Quotien (RQ) yang di kaji pada kelompok populasi berisiko yaitu tukang ojeg, tukang
parkir, pedagang kaki lima, dan satpam di Wilayah Kelapa Gading. Tingkat Resiko (RQ)
Analisis risiko…, Sukadi, FKM UI, 2014
15
dihitung berdasarkan pajanan realtime dan lifespan dengan konsentrasi PM10 dan SO2
minimum, rata-rata, maksimum.
Nilai RfCPM10 adalah 0,014 mg/kg/hari diturunkan dari Baku Primer (Primary Standard)
arithmatic mean tahunan NAAQS (EPA, 1990). Nilai RfCPM10 ini sama dengan nilai yang
digunakan pada penelitian di 5 lokasi penambangan kapur (Rahman et al., 2008) dan pada
penelitian di pemukiman disekitar tambang kapur di Sukabumi (Suryaman & Rahman, 2011).
Berbeda dengan nilai yang digunakan pada 9 kota besar (Nukman et al., 2005), yaitu RfCPM10
0,03 mg/kg/hari, yang diturunkan dari studi epidemiologi di Taiwan (Chen et al., 1998).
Berbeda juga dengan nilai yang digunakan pada penelitian Wardani (2012) dan Suhananto
(2013), yaitu RfCPM10 0,0018 mg/kg/hari diturunkan dari Baku Primer (Primary Standard)
NAAQS untuk episode 24 jam. Nilai RfCSO2 adalah 0,022 mg/kg/hari, diturunkan dari Baku
Primer (Primary Standard) arithmatic mean tahunan NAAQS (EPA, 1990). Berbeda dengan
nilai yang digunakan Nukman et al (2005), yaitu RfCSO2 0,0125 mg/kg/hari, yang diturunkan
dari studi epidemiologi di Taiwan (Chen et al., 1998). Episode arithmatic mean tahunan
digunakan karena penelitian analisis risiko pajanan kronis atau jangka panjang.
Nilai Tingkat Risiko (RQ) realtime PM10 dan SO2 pada konsentrasi minimum, rata-rata,
maksimum untuk semua kelompok populasi tidak berisiko/aman (RQ<1) seperti tercantum
pada Tabel 5. Nilai RQ lifespan SO2 pada konsentrasi minimum, rata-rata, maksimum untuk
semua kelompok populasi tidak berisiko/aman (RQ<1). Nilai RQ lifespan PM10 pada
konsentrasi minimum dan rata-rata untuk semua kelompok populasi tidak berisiko/aman
(RQ<1), sedangkan pada konsentrasi maksimum untuk kelompok populasi tukang ojeg,
pedagang kaki lima dan satpam berisiko/tidak aman (RQ>1) seperti tercantum pada Tabel 6.
Tingkat risiko berdasarkan Risk Agent PM10 lebih berisiko dibandingkan SO2. Hasil ini
sama dengan penelitian pada 9 kota besar bahwa risiko debu (PM10 dan TSP) jauh lebih besar
dari pada SO2 dan NO2 (Nukman et al., 2005). Hasil yang sama juga penelitian di Bunderan
HI bahwa PM10 lebih berisiko dibandingkan SO2 dan NO2 (Wardani, 2010). Tingkat risiko
berdasarkan segmen populasi yang paling tinggi pada tukang ojeg, dan yang paling rendah
pada tukang parkir, perbedaan ini dipengaruhi oleh variabel pemajanan seperti berat badan,
waktu pajanan, frekuensi pajanan.
Manajemen Risiko
Pajanan jalur inhalasi pilihan alternatif pengelolaan risiko yang memungkinkan dengan
menurunkan konsentrasi pajanan, mengurangi waktu keterpajanan dan frekuensi pajanan
Analisis risiko…, Sukadi, FKM UI, 2014
16
(Kemenkes, 2012). Upaya manajemen risiko dilakukan dengan cara memanipulasi komponen
yang ada kecuali nilai RfC, sehingga nilai RQ = 1.
Berdasarkan hasil perhitungan tingkat resiko diatas maka RQ realtime tidak berisiko pada
konsentrasi minimum, rata-rata, maksimum untuk semua kelompok populasi. RQ SO2
lifespan tidak berisiko pada konsentrasi minimum, rata-rata, maksimum untuk semua
kelompok pupulasi. RQ PM10 lifespan tidak berisiko pada konsentrasi minimum, rata-rata
untuk semua kelompok pekerjaan, sehingga tidak perlu dilakukan manajemen risiko, tetapi
perlu dipertahankan variabel-variabel pemajanannya sehingga tidak menyebabkan RQ>1. RQ
PM10 lifespan berisiko pada konsentrasi maksimum untuk kelompok populasi tukang ojeg,
pedagang kaki lima dan satpam, sehingga harus dilakukan manajemen risiko. Penentuan Konsentrasi Aman (C)
Penentuan konsentrasi aman dilakukan berdasarkan persamaan (4), hasilnya dapat dilihat
pada tabel 7. Konsentrasi PM10 dan SO2 yang aman untuk kelompok populasi berbeda-beda
sesuai hasil perhitungan (Tabel7). Konsentrasi maksimum PM10 di Kelapa Gading pada saat
pengukuran 0,203 mg/m3, maka harus diturunkan sampai konsentrasi aman. Konsentrasi
aman untuk semua kelompok populasi diambil dari yang paling rendah yaitu tukang ojeg
0,130 mg/m3. Jadi konsentrasi PM10 harus diturunkan sebesar 0,073 mg/m3 (35,9%).
Konsentrasi aman untuk SO2 masih diatas konsentrasi maksimum pada saat pengukuran 0,224
mg/m3. Tabel 7. Konsentrasi aman (mg/m3) PM10 dan SO2 pada kelompok populasi berisiko di kawasan Kelapa
Gading dengan fE 350 hari/tahun
Kelompok Populasi Konsentrasi PM10 (mg/m3) Konsentrasi PM10 (mg/m3) Saat pengukuran
(maks) Batas tertinggi
aman Saat pengukuran
(maks) Batas tertinggi
aman Semua kelompok populasi 0,203 0,143* 0,114 0,225* Tukang Ojeg 0,203 0,130* 0,114 0,227* Tukang Parkir 0,203 0,195^ 0,114 0,307^ Pedagang Kaki Lima 0,203 0,165^ 0,114 0,259^ Satpam 0,203 0,143^ 0,114 0,224^
Keterangan : * = Nilai Median ^ = Nilai Mean
Dibandingkan dengan baku mutu yang berlaku yaitu Keputusan Gubernur Propinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta No.551 tahun 2001 tentang Penetapan Baku Mutu Udara
Ambien dan Baku Mutu Tingkat Kebisingan di Provinsi DKI Jakarta, konsentrasi aman PM10
dan SO2 masih dibawah baku mutu. Baku mutu yang berada diatas konsentrasi aman berarti
belum melindungi pada populasi yang ada di Kelapa Gading. Penetapan baku mutu yang
Analisis risiko…, Sukadi, FKM UI, 2014
17
berlaku tidak mencantumkan nilai default faktor pemajanan. Apabila dalam penetapan baku
mutu di adopsi dari negara lain seperti Amerika dengan default berat badan 70 kg, maka baku
mutu tidak akan melindungi orang Indonesia yang berat badannya dibawah dari 70 kg
(Nukman, et. Al., 2005).
Penurunan konsentrasi Risk Agent ini berkaitan dengan sumber pencemar utama yaitu
sumber bergerak atau transportasi. Manajemen risiko untuk mengurangai pencemaran PM10
akibat transportasi antara lain membatasi usia kendaraan bermotor, penggunaan bahan bakar
gas, membatasi kendaraan bermesin dua langkah.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan program untuk menurunkan pencemaran
udara yang bersumber dari kendaraan bermotor, yaitu penerapan Hari Bebas Kendaraan
Bermotor (HBKB), pengurangan penggunaan kendaraan bermotor. Program-program ini
harus diikuti penerapan aturan yang tegas sehingga bisa menurunkan pencemaran udara.
Pemberlakuan HBKB di Jalan Sudirman-Thamrin bisa menurunkan konsentrasi PM10 di
Bunderan HI (Wardani, 2012). Maka perlu diberlakukan HBKB di kawasan Kelapa Gading
setiap seminggu sekali. Penanaman pohon atau penghijauan juga bisa menurunkan
konsentrasi PM10, terbukti konsentrasi PM10 daerah bervegetasi lebih rendah dibanding yang
tidak bervegetasi (Suhananto, 2013).
Penentuan Waktu Pajanan Aman dan Frekuensi Pajanan Aman
Penentuan waktu pajanan aman dilakukan berdasarkan persamaan (5) dan frekuensi
pajanan aman berdasarkan persamaan (6), hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 8. Rekomendasi waktu pajanan aman (jam/hari) dan frekuensi pajanan aman (hari/tahun) untuk
konsentrasi maksimal PM10 dan SO2 pada kelompok populasi berisiko di kawasan Kelapa Gading
Kelompok populasi berisiko PM10 SO2 tE fE tE fE Semua kelompok populasi 7,9* 246,1* 22* 310,5* Tukang Ojeg 8,2* 223,5* 23^ 310* Tukang Parkir 7,6* 336,8^ 21,2* 346* Pedagang Kaki Lima 7,3* 283,9^ 20,5* 335* Satpam 9^ 245,8^ 25,3^ 313^
Keterangan : * = Nilai median ^ = Nilai mean
Waktu pajanan aman PM10 dan SO2 untuk kelompok populasi berbeda-beda sesuai hasil
perhitungan (Tabel 8). Rata-rata waktu pajanan untuk semua kelompok populasi berdasarkan
hasil pengukuran adalah 10 jam/hari, sedangkan waktu pajanan aman PM10 adalah 7,9
jam/hari. Jadi harus mengurangi waktu pajanan sesuai waktu pajanan aman.
Analisis risiko…, Sukadi, FKM UI, 2014
18
Perhitungan frekuensi pajanan aman PM10 dan SO2 untuk kelompok populasi berbeda-
beda sesuai hasil perhitungan (Tabel 8). Rata-rata frekuensi pajanan untuk semua kelompok
populasi berdasarkan hasil pengukuran adalah 310,5 hari/tahun, sedangkan frekuensi pajanan
aman PM10 adalah 246,1 hari/tahun. Jadi harus mengurangi frekuensi pajanan sesuai
frekuensi pajanan aman. Penurunan waktu pajanan dan frekuensi pajanan ini berkaitan
dengan jam kerja harian kelompok populasi. Untuk satpam bisa terapkan jam kerja dengan 8
jam/hari karena ada aturan jam kerja harian, tetapi untuk tukang ojeg, tukang parkir,
pedagang kaki lima tidak ada jam kerja harian, sehingga sangat tergantung pada kesadaran
individu masing-masing. Perlu sosialisasi kepada kelompok masyarakat berisiko mengenai
jam kerja yang aman dari risiko kesehatan akibat pajanan pajanan PM10. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan yang muncul dalam penelitian analisis risiko di Kelapa Gading ini antara lain :
Variasi responden 98,75 % laki-laki, sehingga memungkinkan rata-rata berat badan lebih
besar dibanding penelitian sebelumnya. Data jumlah dan jenis kendaraan bermotor yang
berlalu lintas, serta konsumsi bahan bakar dan kebiasaan berkendaraan tidak dihitung dalam
penelitian ini, sehingga pengelolaan resiko dengan penurunan konsentrasi PM10 tidak bisa
diestimasikan secara tepat. Kesimpulan
Tingkat resiko pajanan realtime PM10 dan SO2 pada kelompok populasi berisiko di
Wilayah Kelapa Gading masih aman, sedangkan tingkat risiko pajanan lifespan PM10 pada
konsentrasi maksimum tidak aman bagi kelompok populasi tukang ojeg, pedagang kaki lima
dan satpam sehingga perlu dikendalikan. Manajemen risiko pajanan PM10 harus dilakukan
agar tidak mengganggu kesehatan kelompok populasi berisiko, yaitu dengan mengurangi
konsentrasi PM10 yang berasal dari kendaraan bermotor, dan mengurangi waktu pajanan,
frekuensi pajanan untuk kelompok populasi tertentu.
Saran
Masyarakat perlu memperhatikan waktu kerja harian sesuai batas waktu pajanan aman
agar tidak terkena risiko kesehatan yang merugikan akibat pajanan udara ambien yang
tercemar PM10. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu melakukan revisi baku mutu udara
ambien yang didasarkan pada nilai default faktor pemajanan yang sesuai dengan masyarakat
Jakarta. Penelian selanjutnya agar memperhatiakan variasi jenis kelamin responden secara
Analisis risiko…, Sukadi, FKM UI, 2014
19
proporsional sehingga rata-rata berat badan mewakili populasi yang sebenarnya serta
menambahkan variabel jumlah, jenis kendaraan bermotor yang berlalu lintas, konsumsi bahan
bakar dan kebiasaan berkendaraan untuk merumuskan pengelolaan risiko yang tepat sasaran. Daftar Referensi Abrianto, Harry. (2004), Analisis Risiko Pencemaran Partikel Debu Terhirup (PM10)
Terhadap Siswa Selama Berada di Sekolah Dasar Negeri 1 Pondok Cina, Kota Depok, Jawa Barat, 2004. Skripsi Universitas Indonesia.
BPLHD DKI Jakarta. (2012). Status Lingkungan Hidup Daerah Propinsi DKI Jakarta Tahun
2012. diakses tanggal 25 Pebruari 2014. http://bplhd.jakarta.go.id/slhd2012/Docs/pdf/Buku%20I/Buku%20I%20Bab%202D.pdf
Chen, P.C., et al.(1998). Adverse Effect of Air Pollution on Respiratory Health of Primary School Children in Taiwan. Environmental Health porspectives. Vol.106. No.6. di akses 12 Maret 2014.
IPCS. (2004), IPCS Risk Assessment Terminology, Part 1: IPCS/OECD Key Generic Terms
used in Chemical Hazard/Risk Assessment; Part 2: IPCS Glossary of KeyExposure Assessment Terminology, Geneva: World Health Organization and Environmental Programme on Chemical Safety.
Keputusan Gubernur Popinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. (2001). Keputusan Gubernur
propinsi Daerah Khusus Ibukota Nomor 551 Tahun 2001 Tentang Penetapan Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan Di Propinsi DKI Jakarta.
Kolluru, R.V., Bartell, S.M., Pitblado, R.M., Stricoff, R.S. (1996), Risk Assesment and
Management Handbook, McGraw-Hill Inc. Louvar, J.F., Louvar,B.D. (1998). Health and Environmental Risk Analysis : Fundamentals
with Aplication, New jersey: Prentice Hall
Nukman et.al. (2005). Analisis dan Manajemen Risiko Kesehatan Pencemaran Udara; Studi Kasus di Sembilan Kota Besar Padat Transportasi. Jurnal Ekologi Kesehatan 4(2) : 270-289.
NRC. (1983). Risk Assessment in The Federal Goverment: Managing Process Washington DC
: National Research Council, National Academic of Science Press. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (1999). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No.41 Tahun 1999 Tentang Pengendlian Pencemaran Udara. Putranto, A., (2007). Pajanan Debu Kayu (PM10) dan Gejala Penyakit Saluran Pernafasan
pada Pekerja Mebel Sektor Informal di Kota Pontianak Kalimantan Barat, Thesis, PS-UI.
Analisis risiko…, Sukadi, FKM UI, 2014
20
Rahman et. al. (2008). Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan Pertambangan Kapur Di Sukabumi, Cirebon, Tegal, Jepara dan Tulung Agung. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol.7 No.1 : 665 – 677.
Rahman, A. (2007). PUBLIC HEALTH ASSESSMENT: Model Kajian Prediktif Dampak
Lingkungan dan Aplikasinya untuk Manajemen Risiko Kesehatan. Pusat Kajian Kesehatan Lingkungan dan Industri FKM UI. Depok.
Rahman A. (2010), Prinsip-prinsip dasar dan metode analisis risiko kesehatan
lingkungan, Bahan ajar pelatihan teknis dan manajemen amdal bagi petugas kesehatan Suhananto, Z. (2013). Perbandingan Tingkat Risiko Pajanan PM10 Pada Jalan Raya
Bervegetasi dan Tidak Bervegetasi terhadap Gangguan Kesehatan Penduduk yang Tinggal di Dekat Jalan Raya Bogor, Kota Depok. Skripsi, Program Studi Kesehatan Lingkungan FKM UI.
Suryaman,U.S., Rahman, A. (2011). Wilayah Aman Bagi Pemukiman Dekat Tambang Batu
Kapur ; Suatu pendekatan Manajemen Risiko. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol.10 No.4 : 256 – 265.
US EPA. (1990). Exposure Factors Handbook, U.S Environmental Protection Agency EPA
600/8-89/043 United States. Environmental Protection Agency (EPA). (2011). Air Quality Planning and
Standards. www.epa.gov di akses pada tanggal 12 Maret 2014. United States. Environmental Protection Agency (EPA). (2013). Particulate Matter (PM) –
Basic Information. www.epa.gov di akses pada tanggal 12 Maret 2014. Wardani, Tri Kusuma (2012). Perbedaan Tingkat Risiko Kesehatan oleh Pajanan PM10,
SO2, dan NO2 pada Hari Kerja, Hari Libur dan Hari Bebas kendaraan Bermotor di Bunderan HI Jakarta. Skripsi, Program Studi Kesehatan Lingkungan FKM UI.
Wardhana, WA.(2004). Dampak Pencemaran lingkungan. Yogyakarta. Penerbit Andi. WHO. (1983). Environmental Health Criteria 27: Guidelines on Studies in Environmental
Epidemiology. Geneva: World Health Organization. World Health Organization.(2005). Air Quality Guidelines for Particulate Matter, Ozon,
Nitrogen Dioxide and Sulfur Dioxide. Geneva : WHO press. Diunduh dari www.who.int. Pada tanggal 28 Maret 2014.
WHO.(2011). Health Aspect of Air Pollution with Particulate Matter, Ozone and Nitrogen
Dioxide. Report on WHO Working Group: Bonn
Analisis risiko…, Sukadi, FKM UI, 2014