161
ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU KLORPIRIFOS DALAM BAYAM (Amaranthus sp.) PADA MASYARAKAT DI KABUPATEN GOWA Health Risk Analysis of Chlorpyrifos Residual Exposure in Spinach (Amaranthus sp.) to Community in The Gowa Regency. FAJAR AKBAR PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDUKLORPIRIFOS DALAM BAYAM (Amaranthus sp.) PADA

MASYARAKAT DI KABUPATEN GOWA

Health Risk Analysis of Chlorpyrifos Residual Exposure inSpinach (Amaranthus sp.) to Community in The Gowa

Regency.

FAJAR AKBAR

PROGRAM PASCA SARJANAUNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR2013

Page 2: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDUKLORPIRIFOS DALAM BAYAM (Amaranthus sp.) PADA

MASYARAKAT DI KABUPATEN GOWA

TesisSebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar magister

Program StudiKesehatan Masyarakat

Disusun dan diajukan oleh

Fajar Akbar

kepada

PROGRAM PASCA SARJANAUNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR2013

Page 3: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …
Page 4: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Fajar Akbar

Nomor mahasiswa : P1801211003

Program studi : Kesehatan Masyarakat

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini

benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian

hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis

ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan

tersebut.

Makassar, 26 Juli 2013

Yang menyatakan

Fajar Akbar

Page 5: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

PRAKATA

Tiada kata yang patut diungkapkan seorang hamba dihadapan

Allah SWT, kecuali ungkapan syukur yang dalam dan pengabdian yang

abadi atas segala karunia yang diberikan-Nya kepada setiap hamba.

Salawat dan salam kepada Rasulullah SAW, sahabat, keluarga dan

mereka yang senantiasa mengikuti jalan yang telah beliau SAW gariskan.

Karena hanya dalam dua hal inilah setiap hamba akan memperoleh rasa

kebermaknaan yang hakiki atas setiap aktivitas hidup termasuk dalam

penyelesaian tesis ini, sebagai sebuah persembahan kepada Sang Khalik

dan semoga dapat bermanfaat kepada sebanyak-banyaknya manusia.

Tesis ini terwujud atas bimbingan dan pengarahan dari berbagai

pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Pada kesempatan ini

penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada :

1. Prof Dr. Ir. Mursalim selaku Direktur Pascasarjana Universitas

Hasanuddin.

2. Dr. dr. H. Noer Bahry Noor, M.Sc. selaku Ketua Program Studi

Kesehatan Masyarakat.

3. Dr. Anwar Daud, SKM, M.Kes, selaku Ketua Komisi Penasihat

sekaligus ketua Konsentrasi Kesehatan Lingkungan, atas

segala bimibingan dan ilmu yang telah diberikan selama masa-

masa peneliti menempuh studi dan pada saat penelitian.

Page 6: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

4. Prof.Dr. Ridwan Amiruddin, SKM., M.Kes., M.Sc.Ph. selaku

pembimbing II, atas segala kesabaran dan bimbingannya

selama peneliti melaksanakan penelitian hingga tesis ini dapat

diselesaikan.

5. Dr. Ir. Hasan Hasyim, M.Si ; Dr.Nurhaedar Jafar, Dra., Apt.,

M.Kes dan dr. Hasanuddin Ishak,M.Sc, Ph.D selaku penguji

yang banyak memberikan masukan dan koreksi untuk perbaikan

tesis ini.

6. Kepada pemerintah Kecamatan Barombong Kabupaten Gowa,

serta seluruh warga masyarakat Kecamatan Barombong yang

telah memberikan bantuan dan kemudahan serta kerjasamanya

selama pelaksanaan penelitian ini.

7. Terkhusus kepada istri saya Hadrawati, SP yang selama ini

memberikan semangat dan saran dalam menyusun tesis ini.

8. Ayahanda Drs.H.A.Gaffar dan ibunda Hj.St.Subaedah yang

telah mempersembahkan hal yang terbaik bagi peneliti dalam

menjalani kehidupan, juga ayah mertua Abd. Rasyd, SH., MM.,

ibu mertua Dra.Hj.St. Hadasiah, S.Pd., MM.,. kepada saudara-

saudaraku Zulkarnain, Sufriyati, Suriyanti, Nur Qadri,

Nurfajriyanti, dan Syahrul serta keluarga atas dorongan dan

semangatnya.

9. Teman-teman konsentrasi kesehatan lingkungan program

pasaca sarjana Pasca Kesling 2011 (Aji, Iccang, Sabril, Anca,

Page 7: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Ricky, Abel, Dedy, Moses, Ros, Bu Nova, Bu Niar, Lesly, Miftah,

Debora dan Sri)

10.Serta semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu

di tulisan ini, atas sumbangan semangat dan kerjasamanya

sejak awal pendidikan sampai selesainya penyusunan tesis ini.

Penulis sangat menyadari bahwa tesis ini masih sangat jauh dari

kesempurnaan, tetapi dengan segenap upaya yang tulus dan ikhlas,

penulis mencoba menyelesaikan tesis ini. Koreksi dan saran yang

membangun sangat penulis harapkan demi penyempurnaan tesis ini.

Alhamdulillah, tesis ini dapat diselesaikan, setelah karunia Allah SWT,

adalah berkat bantuan banyak pihak, baik pihak pengajar, akademik,

instansi dan tentu kepada keluarga dan teman-teman.

Semoga Allah SWT, menilai semua sumbangsih tersebut sebagai

amal ibadah yang tak pernah putus, dan terakhir semoga Allah SWT

mengampunkan atas segala kekhilafan yang mungkin terjadi selama

proses studi sampai pada penulisan tesis ini. Amin.

Makassar, 26 Juli 2013

Fajar Akbar

Page 8: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …
Page 9: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …
Page 10: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………….... i

HALAMAN PENGAJUAN…………………………………………….. .. ii

HALAMAN PENGESAHAN.............................................................. iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ................................ iv

PRAKATA ..................................................................................... v

ABSTRAK .................................................................................... viii

ABSTRACT ..................................................................................... ix

DAFTAR ISI ................................................................................... x

DAFTAR TABEL ............................................................................ xii

DAFTAR GAMBAR ......................................................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... xv

DAFTAR SINGKATAN .................................................................... xvi

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................... 10

C. Tujuan Penelitian .................................................... 10

D. Manfaat Penelitian ................................................... 11

E. Ruang Lingkup Penelitian ........................................... 12

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

A. Bayam......................................................................... 14

B. Pestisida ..................................................................... 18

C. Klorpirifos….…............................................................ 38

D. Analisis Resiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) ....... 47

E. Tinjauan Umum Tentang Penelitian Terkait …………. 66

F. Kerangka Teori Penelitian........................................... 68

Page 11: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

G. Kerangka Konsep ....................................................... 69

H. Variabel dan Definisi Operasional............................... 70

BAB III : METODE PENELITIAN

A. Jenis Dan Desain Penelitian ....................................... 72

B. Waktu Dan Lokasi Penelitian ...................................... 72

C. Populasi dan sampel penelitian .................................. 75

D. Pemeriksaan residu Klorpirifos . ................................. 80

E. Metode Pengumpulan data......................................... 83

F. Metode Analisi Data ................................................... 85

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ........................................................... 89

B. Pembahasan............................................................... 110

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................ 127

B. Saran .......................................................................... 128

DAFTAR PUSTAKA

Page 12: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

2.1 Sifat fisika dan kimia senyawa klorpirifos 39

2.2Merek dagang pestisida bahan aktif golongan organofosfat

yang diizinkan di Indonesia40

2.3Batas maksimum residu dalam makanan

46

2.4

2.5

Penilaian risiko pajanan klorpirifos pada manusia

Beberapa penelitian paparan klorpirifos terhadap risiko

kesehatan

46

67

2.6 Defenisi operasional penelitian 71

3.1Sepuluh penyakit terbesar di wilayah kerja Puskesmas

Moncobalang Tahun 201275

4.1 Karakteristik Responden Menurut Kelompok Umur, Jenis

Kelamin, & Tingkat Pendidikan di Desa Moncobalang dan

Tinggimae Kec. Barombong Tahun 2013

90

4.2 Konsentrasi Residu Klorpirifos Dalam Sayur Bayam Yang

Dikonsumsi Masyarakat di Desa Moncobalang dan

Tinggimae Tahun 2013.

91

Page 13: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

4.3 Laju Asupan Responden Berdasarkan Konsumsi Bayam di

Desa Moncobalang dan Tinggimae Tahun 2013

92

4.4 Durasi Paparan Berdasarkan Konsumsi bayam Yang

Mengandung Residu Klorpirifos Di Desa Moncobalang dan

Tinggimae Tahun 2013

93

4.5 Frekuensi Paparan Responden Berdasarkan Konsumsi

Bayam Yang Mengandung Residu Klorpirifos di Desa

Moncobalang dan Tinggimae Tahun 2013

94

4.6Distribusi Berat Badan Responden di Desa Moncobalang

dan Tinggimae Tahun 201395

4.7 Frekuensi paparan responden berdasarkan konsumsi sayur

lainnya di Desa Moncobalang dan Tinggimae Tahun 2013

96

4.8 Uji Klomogorov Smirnov Untuk Mengetahui Normal Atau

Tidaknya Distribusi Data Variabel Penelitian

103

4.9

Konsentrasi Profenofos dalam Bayamt yang Aman di

Konsumsi Responden Menurut Kelompok Berat Badan

Untuk Risiko Karsinogen Dan Non Karsinigen Di Desa

Moncobalang dan Tinggimae Tahun 2013

106

4.10Laju Asupan Klorpirifos dalam bayam yang Aman di

Konsumsi Responden Menurut Kelompok Berat Badan

Untuk Risiko Karsinogen Dan Non Karsinigen Di Desa

Tinggimae dan Moncobalang Tahun 2013

108

Page 14: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

4.11Durasi Paparan Klorpirifos dalam bayam yang Aman di

Konsumsi Responden Menurut Kelompok Berat Badan

Untuk Risiko Karsinogen Dan Non Karsinigen Di Desa

Moncobalang dan Tinggimae Tahun 2013

110

4.12 Pengaruh pencucian dan pemasakan terhadap kadar

residu pada kubis

114

4.13 Residu insektisida diazinon pada selada pada interval

waktu yang berbeda sebelum panen

114

Page 15: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

DAFTAR GAMBAR

NOMOR HALAMAN

2.1

Analisis Risiko; Ruang lingkup langkah-langkah risk

analysis. Risk assessment hanya pada bagian kotak

garis titik-titik sedangkan risk management dan risk

communication berada di luar lingkup risk assessment

(Louvar JF dan Louvar BD, 1998).

50

2.2 Paradigma Analisis Risiko (NRC, 1983) 55

2.3Ilustrasi logika pengambilan keputusan untuk menetukan

tipe studi yang dapat dilakukan dalam mempelajari efek

lingkungan terhadap kesehatan manusia (Rahman, 2007)

56

2.4 Kerangka Teori 68

2.5 Kerangka Konsep 69

4.1

Distribusi RQ pajanan klorpirifos untuk risiko penyakit

karsinogen pada responden di Desa Moncobalang dan

Tinggimae Tahun 2013

100

4.2

Distribusi RQ pajanan klorpirifos untuk risiko penyakit

non-karsinogen pada responden di Desa Moncobalang

dan Tinggimae Tahun 2013

101

Page 16: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

1 Hasil pemeriksaan residu bayam di laboratorium

2Ketetapan EPA tahun 2006 tentang batas toksisitas

dalam tubuh

3 Ketetapan EPA tahun 2006 tentang batas maksimum

residu dalam sayuran

4 Kuesioner penelitian

5 Hasil perhitungan nila RQ untuk karsinogen

6 Hasil perhitungan nila RQ untuk karsinogen

7

8

9

10

Manajemen risiko untuk risiko kanker

Manajemen risiko untuk risiko non-kanker

Dokumentasi penelitian

Surat izin penelitian

Page 17: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

Lambang /

Singkatan

Arti dan keterangan

AMDAL

ATSDR

ARKL

BMR

C

CNS

Dt

ECR

EKL

fE

LOAEL

IR

MRL

NOAEL

NRC

OPT

Rate

RFC

RFD

RQ

tavg

US-EPA

Wb

WHO

Analisis mengenai dampak lingkungan

Agency for Toxic Substances and Disease Registry

Analisis risiko kesehatan lingkungan

Batas maksimum residu

Concentration (konsentrasi risk agent)

Central nervous system

Durasi pajanan

Excess Cancer Risk

Epidemiologi Kesehatan Lingkungan

Frekuensi pajanan

Lowest Observed Adverse Effect Level

Intake rate (asupan)

Maximum residue limit (batas maksimum residu)

No Observed Adverse Effect Level

National Research Council

Organisme pengganggu tanaman

Rate (laju asupan)

Reference concentration

Reference dose

Risk Qoutien ( tingkat risiko)

Periode waktu rata-rata

United State-Environmental Protection Agency

Berat badan

World Health Organitation

Page 18: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Sayuran merupakan komoditas penting dalam mendukung

ketahanan pangan nasional. Sayuran dibutuhkan manusia karena

memegang peranan penting bagi kesehatan manusia, dimana sumber

vitamin, karbohidrat dan mineral yang terdapat dalam sayuran tidak dapat

disubstitusi oleh bahan makanan pokok. Sedangkan kandungan vitamin

dan mineralnya mudah rusak oleh panas sehingga lebih banyak

dikonsumsi dalam bentuk segar.

Menurut Direktur Jenderal Hortikultura (2010), pada tahun

2007 konsumsi sayuran masyarakat Indonesia sebesar 40,90 kilogram

perkapita pertahun meningkat pada tahun 2008 menjadi 41,32

kilogram perkapita pertahun. Kemudian pada tahun 2009 konsumsi

sayuran semakin mengalami peningkatan hingga 43,5 kilogram

perkapita pertahun. Nilai ini masih jauh di bawah standar konsumsi

sayur yang direkomendasikan Food and Agriculture Organization

(FAO), yaitu sebesar 73 kilogram perkapita pertahun, sedangkan

standar kecukupan untuk sehat sebesar 91,25 kilogram perkapita

pertahun. Namun, peningkatan jumlah konsumsi dari tahun 2007

hingga tahun 2009 tersebut menunjukkan bahwa masyarakat semakin

Page 19: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

sadar akan kebutuhan sayuran sebagai pemenuhan gizi dan

kesehatan.

Bayam (Amaranthus sp.) merupakan tumbuhan yang biasa

ditanam untuk dikonsumsi daunnya sebagai sayuran hijau. Tumbuhan ini

berasal dari Amerika tropik namun sekarang tersebar ke seluruh dunia.

Tumbuhan ini dikenal sebagai sayuran sumber zat besi yang penting.

Kandungan besi pada bayam relatif lebih tinggi daripada sayuran daun

lain (besi merupakan penyusun sitokrom, protein yang terlibat dalam

fotosintesis) sehingga berguna bagi penderita anemia ( Wikipedia, 2013).

Berdasarkan data Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan

Hortikultura Provinsi Sulawesi Selatan 2011, bahwa komoditi tanaman

bayam di Sulawesi Selatan dengan luas panen 2.975 Ha, produktivitas

1,98 ton/Ha, dan produksi mencapai 5.885 ton yang tersebar di 24

kabuten/kotamadya dimana Kabupaten Gowa merupakan salah satu

kabupaten dengan luas panen 434Ha, produktivitas 2,49 ton/Ha dan

produksinya mencapai 1.082 ton pertahun.

Kecamatan Barombong merupakan salah satu daerah penghasil

tanaman bayam di Kabupaten Gowa. Para petani di daerah tersebut

menggunakan pestisida untuk membasmi hama tanaman, meningkatkan

mutu dan produktivitas hasil pertanian. Pada umumnya petani bayam di

daerah tersebut menggunakan pestisida merek dagang Dursban. Jenis

Page 20: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

pestisida ini menggunakan zat aktif klorpirifos yang termasuk dalam

golongan pestisida organofosfat.

Penggunaan pestisida merupakan alternatif utama yang dilakukan

dalam mengendalikan hama penyakit tanaman, terutama pada daerah-

daerah sentral penghasil sayur, karena dianggap paling efektif

dibandingkan cara biologis dan fisik (Suprapta, 2005). Pada tahun

1984, sekitar 20% produksi pestisida dunia diserap oleh Indonesia.

Pemakaian pestisida dalam periode 1982 – 1987 meningkat sebesar

236% dibandingkan periode sebelumnya. Sementara itu pemakaian

insektisida meningkat sebesar 710% pada periode yang sama. Pada

tahun 1986 total pemakaian insektisida mencapai 17.230 ton atau setara

dengan 1,69 kg insektisida setiap hektar lahan pertanian. Pada dekade

1990-an, pemakaian insektisida telah mencapai 20 ribu ton/tahun dengan

nilai Rp. 250 milyar (Novizan 2002).

Penggunaan pestisida secara berlebihan dan tidak terkendali

seringkali memberikan risiko keracunan pestisida bagi petani. Risiko

keracunan pestisida ini terjadi karena penggunaan pestisida pada lahan

pertanian khususnya sayuran. Penggunaan pestisida dengan dosis besar

dan dilakukan secara terus menerus akan menimbulkan beberapa

kerugian, antara lain residu pestisida akan terakumulasi pada produk-

produk pertanian, pencemaran pada lingkungan pertanian, penurunan

produktivitas, keracunan pada hewan, keracunan pada manusia yang

berdampak buruk terhadap kesehatan. Manusia akan mengalami

Page 21: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

keracunan baik akut maupun kronis yang berdampak pada kematian

(Khisi, et all. 1993).

WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terjadi 1–5 juta kasus

keracunan pestisida pada petani dengan tingkat kematian mencapai

220.000 korban jiwa. Sekitar 80% keracunan dilaporkan terjadi di

negara-negara sedang berkembang (Runia 2008). Penggunaan pestisida

sintetis mengakibatkan sekitar 2 juta orang dilaporkan menderita

keracunan dan 40.000 diantaranya berakibat fatal (Suprapta, 2005)

Pestisida biasanya masuk ke dalam tubuh melalui saluran

pernafasan, oral dan absorpsi kulit, tetapi masalah utama bagi kesehatan

masyarakat adalah adanya residu pestisida dalam makanan, karena

ini dapat melibatkan sejumlah besar orang (masyarakat) selama jangka

waktu yang pajang (Frank, 1994). Residu pestisida adalah zat tertentu

yang terkandung dalam hasil pertanian bahan pangan atau pakan hewan,

baik sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari penggunaan

pestisida. (Sakung, 2004).

Residu pestisida menimbulkan efek yang bersifat tidak langsung

terhadap manusia, namun dalam jangka panjang dapat menyebabkan

gangguan kesehatan diantaranya berupa gangguan pada syaraf dan

metabolisme enzim. Residu pestisida yang terbawa bersama makanan

akan terakumulasi pada jaringan tubuh yang mengandung lemak.

Akumulasi residu pestisida ini pada manusia dapat merusak fungsi hati,

Page 22: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

ginjal, sistem syaraf, menurunkan kekebalan tubuh, menimbulkan cacat

bawaan, alergi dan kanker (Munarso, 2006).

Hasil penelitian Sudewa dkk menunjukkan adanya residu

insektisida, Klorpirifos, Diazinon Fentoat, Karbaril dan BPMC yang

terdapat pada polong kacang panjang yang dijual di pasar Badung

Denpasar dengan nilai residu klorpirifos sebesar 1,296 ppm. Dimana nilai

residu klorpirifos pada kacang panjang melebihi nilai MRL (Maximum

Residue Limit) pada sayuran yaitu sebesar 0,5 ppm. Penelitian lain

tentang residu pestisida dalam komoditi cabe merah besar dan cabe

merah keriting yang berasal dari pasar di kota Cianjur, Semarang dan

Surabaya. Dari hasil pemeriksaan terdeteksi pestisida golongan

organofosfat yang terdeteksi adalah paration, klorpirifos, dimethoat,

profenofos, protiofos (Afriyanto, 2008).

Salah satu masalah utama yang berkaitan dengan keracunan

pestisida adalah gejala dan tanda keracunan khususnya pestisida dari

golongan organofosfat umumnya tidak spesifik bahkan cenderung

menyerupai gejala penyakit biasa seperti pusing, mual dan lemah

sehingga oleh masyarakat dianggap suatu penyakit yang tidak

memerlukan terapi khusus. Gejala klinik baru akan timbul bila aktivitas

kolinesterase 50% dari normal atau lebih rendah. Akan tetapi gejala dan

tanda keracunan organofosfat juga tidak selamanya spesifik bahkan

cenderung menyerupai gejala penyakit biasa (Gallo 1991 dan Raini 2004).

Page 23: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Dampak dan patofisiologi keracunan pestisida tergantung jenis

dan sifat pestisida tersebut. Misalnya, golongan organoklorin dapat

mengganggu fungsi susunan syaraf pusat. Golongan karbamat dan

organofosfat menimbulkan gangguan susunan syaraf pusat dan perifer,

melalui mekanisme ikatan kolinesterase, dan lain-lain ( Achmadi, 2012).

Pestisida golongan sintetik yang banyak digunakan petani di

Indonesia adalah golongan organofosfat. Dampak penggunaan pestisida

sering ditemui keluhan antara lain muntah-muntah, ludah terasa lebih

banyak, mencret, gejala ini dianggap oleh petani sebagai sakit biasa.

Beberapa efek kronis akibat dari keracunan pestisida adalah berat badan

menurun, anorexia, anemia, tremor, sakit kepala, pusing, gelisah,

gangguan psikologis, sakit dada dan lekas marah (Prijanto 2009).

Pestisida organofosfat masuk ke dalam tubuh, melalui alat

pencernaan atau digesti, saluran pernafasan atau inhalasi dan melalui

permukaan kulit yang tidak terlindungi atau penetrasi (Prijanto,2009).

Pestisida organofosfat yang masuk ke dalam tubuh manusia

mempengaruhi fungsi syaraf dengan jalan menghambat kerja enzim

kholinesterase, suatu bahan kimia esensial dalam menghantarkan impuls

sepanjang serabut syaraf (Achmadi 2012 dan Wudianto 1998). Enzim

kholinesterase berfungsi memecah asetilkolin menjadi kolin dan asam

asetat. Asetilkolin dikeluarkan oleh ujung-ujung syaraf ke ujung syaraf

berikutnya, kemudian diolah dalam central nervous system (CNS),

akhirnya terjadi gerakan-gerakan tertentu yang dikoordinasikan oleh otak.

Page 24: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Apabila tubuh terpapar secara berulang pada jangka waktu yang lama,

maka mekanisme kerja enzim kholinesterase terganggu, dengan akibat

adanya ganguan pada sistem syaraf (Prijanto, 2009).

Klorpirifos merupakan salah satu zat aktif dari pestisida golongan

organofosfat. Organ target utama untuk toksisitas klorpirifos adalah sistem

saraf pusat dan perifer, karena kemampuan para klorpirifos oxon-metabolit

untuk menghambat aktivitas enzim dari acetylcholinesterase, yang

berakhir neurotransmisi pada sinapsis kolinergik (Eaton et al, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh US-EPA 2006 mengindikasikan

bahwa paparan pestisida klorpirifos melalui oral dengan konsentrasi 0,03

mg/kg/hari pada lima penelitian yaitu anjing selama 2 tahun, anjing 90

hari, tikus 2 tahun, tikus 90 hari, DNT (pada 2 minggu) dimana terjadi

penghambatan kolinesterase plasma dan sel darah merah pada 0,22 - 0,3

mg/kg/hari.

Menurut perkiraan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan

Program Lingkungan Hidup Persatuan Bangsa Bangsa (UNEP), 1-5 juta

kasus keracunan pestisida terjadi pada pekerja yang bekerja di sektor

pertanian. Sebagian besar kasus terjadi di negara berkembang dan

20.000 kasus diantaranya berujung pada kematian (Anonim, 2000). Data

terbaru WHO memotret, paling tidak 20.000 orang per tahun meninggal

akibat keracunan pestisida. Sekitar 5.000 hingga 10.000 orang per tahun

terkena efek sampingnya, seperti menderita gangguan system saraf,

Page 25: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

kanker, cacat tubuh, kemandulan, dan sakit lever. (Riyadi, 1995; Riza,

1994; Munarso, et. al., 2006).

Kajian keracunan pestisida pada Petani di Desa Candi Kecamatan

Bandungan Kabupaten Semarang mengindikasikan bahwa dari 50

responden yang diambil sampel darahnya sebanyak 13 responden atau

26% keracunan berat dan sebanyak 37 responden atau 74% keracunan

ringan (Afrianto, 2008). Penelitian prospective cohort study dilakukan

untuk melihat hubungan paparan pestisida dan kejadian kanker prostat di

Lowa dan Carolina Utara. Sampel penelitian adalah laki-laki sebanyak

55.332 orang dimana 566 penderita kanker prostat dan 54.766 control.

Selama proses penelitian sebanyak 1.197 kematian terjadi dalam waktu

4,3 tahun. Berdasarkan hasil uji statististik diperoleh kesimpulan bahwa

paparan pestisida dapat meningkatkan risiko 1,14 kali menderita kanker

prostat (Alavanja.M, et al.,2003).

Coulston et al (1972) melaksanakan studi efek klinis selama 28 hari

dari beberapa konsumsi harian dengan dosis yang berbeda (0,10

mg/kg/hari selama 9 hari; 0,03 mg/ kg/hari selama 20 hari; 0,014

mg/kg/hari selama 28 hari) dosis klorpirifos 99,5%. Bahwa paparan

berulang klorpirifos pada dosis harian kurang dari 14 mg/kg/hari akan

memiliki sedikit atau tidak berpengaruh pada aktivitas kedua

cholinesterase asetil atau butiril dalam jaringan target pada orang dewasa.

Oleh karena itu, paparan harian untuk klorpirifos kurang dari 10 mg/kg/hari

Page 26: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

diharapkan tidak memiliki efek yang terlihat pada aktivitas enzim target

jaringan AChE atau Buche.

Cometa et al. (2007) meneliti efek metabolisme dan anti-

kolinesterase akut pada tikus dengan dosis berulang klorpirifos pada dosis

antara 12,5 dan 100 mg/kg berat badan. Dengan dosis tunggal 12,5 mg/kg

atau 25 mg/kg, diamati efek yang timbul dari penghambatan darah dan

AChE otak mulai dua jam setelah pengobatan, dengan penghambatan

puncak diamati setelah dosis enam jam. Dosis berulang selama 5 hari

pada 1,56-25 mg/ kg/hari berkonsultasi dalam depresi awal sedikit

carboxylesterases hati dan penurunan yang signifikan dalam tingkat

glutathione (sekitar 80% dari nilai kontrol).

Kajian tentang pestisida terhadap peningkatan risiko kronis

bronchitis.

Sebanyak 654 petani dilaporkan didiagnosa bronchitis kritis setelah 20

tahun terpapar pestisida. Terdapat 41 orang terpajan klorpirifos dengan

kontrol 42 orang diperoleh OR : 1,13; 95% interval kepercayaan : 0.96 ,

1.32 (Hoppin, et al. 2010). Penelitian tentang hubungan pestisida

pertanian dan insiden kanker kolorektal di Lowa dan Carolina Utara.

Sebanyak 305 insiden kanker kolorektal yang didiagnosa selama masa

studi 1993-2002. Dari 50 jenis pestisida yang diujikan, penggunaan

klorpirifos menunjukkan pajanan yang signifikan dengan P = 0,008 dan

95% confidence interval 2,7 kali lipat: 1,2-6,4 (Lee, et al.2010).

Page 27: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Berdasarkan data dan teori di atas maka timbul keinginan yang

sangat kuat untuk melakukan penelitian analisis risiko kesehatan

pajanan residu klorpirifos dalam bayam (Amaranthus sp.) pada

masyarakat di Desa Moncobalang dan Tinggimae Kabupaten Gowa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang ada, maka dapat dirumuskan

permasalahan penelitian yaitu seberapa besar risiko kesehatan yang

timbul akibat pajanan residu klorpirifos dalam bayam (Amaranthus sp.)

pada masyarakat di Kabupaten Gowa.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui risiko

kesehatan pajanan residu klorpirifos dalam bayam pada masyarakat di

Kecamatan Barombong Kabupaten Gowa.

2. Tujuan Khusus.

a) Mengetahui konsentrasi residu klorpirifos dalam sayur bayam

berdasarkan titik pengambilan sampel di Kec. Barombong Kab.

Gowa.

Page 28: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

b) Mengetahui laju asupan (Intake Rate/IR) sayur bayam yang

mengandung residu klorpirifos pada responden di Kec. Barombong

Kab. Gowa.

c) Mengetahui durasi pajanan residu klorpirifos pada responden di

Kec. Barombong Kabupaten Gowa.

d) Mengetahui frekuensi pajanan residu klorpirifos pada responden di

Kec. Barombong Kabupaten Gowa.

e) Mengetahui tingkat risiko (Risk Quotient / RQ) kesehatan pajanan

residu klorpirifos dalam bayam pada masyarakat di Kec.

Barombong Kabupaten Gowa.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi masyarakat :

Sebagai informasi untuk menambah pengetahuan masyarakat

khususnya petani terhadap risiko kesehatan pajanan residu klorpirifos

pada bayam (Amaranthus sp.).

2. Bagi Pemerintah :

a. Sebagai masukan dalam membuat kebijakan Standar Nasional

Indonesia pada pestisida dan residu pestisida dalam sayuran

sehingga tidak mencemari lingkungan dan tidak membahayakan

bagi kesehatan masyarakat di lingkungan tersebut.

Page 29: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

b. Sebagai acuan bagi pemerintah agar pengawasan penggunaan

pestisida lebih ditingkatkan lagi.

3. Bagi Institusi :

Sebagai tambahan informasi dan pengembangan materi dalam bidang

ilmu dan analisis risiko kesehatan lingkungan (ARKL) dan pestisida

pada pertanian.

4. Bagi Mahasiswa :

Sebagai wahana untuk mengembangkan ilmu dan pengetahuan dalam

bidang ilmu analisis risiko kesehatan lingkungan dan pestisida pada

pertanian.

E. Ruang Lingkup / Batasan Penelitian

1. Lingkup Materi :

Penelitian ini termasuk lingkup materi analisis risiko kesehatan

lingkungan (ARKL).

2. Lingkup Sasaran :

Sasaran dalam penelitian adalah masyarakat di Desa Tinggimae dan

Moncobalang Kec. Barombong Kab. Gowa yang mengkonsumsi

bayam dan tinggal menetap.

3. Lingkup bahasan :

Pembahasan dalam penelitian ini lebih ditekankan pada mengukur

konsentrasi agent (bahan pencemar) dan menganalisisnya dengan

Page 30: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

metode Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan ( ARKL) untuk

mengetahui risiko kesehatan masyarakat akibat pencemaran agent

tersebut.

4. Lingkup Lokasi :

Lokasi penelitian ini adalah Desa Tinggimae dan Moncobalang Kec.

Barombong Kab. Gowa Provinsi Sulawesi Selatan.

5. Lingkup Waktu :

Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari – April 2013.

Page 31: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Bayam

1. Sejarah bayam (Amaranthus sp.)

Bayam merupakan tanaman sayuran yang dikenal dengan

nama ilmiah Amaranthus sp. Kata "amaranth" dalam bahasa Yunani

berarti "everlasting" (abadi). Tanaman bayam berasal dari daerah

Amerika tropik. Tanaman bayam semula dikenal sebagai tumbuhan

hias. Dalam perkembangan selanjutnya. Tanaman bayam

dipromosikan sebagai bahan pangan sumber protein, terutama untuk

negara-negara berkembang. Diduga tanaman bayam masuk ke

Indonesia pada abad XIX ketika lalu lintas perdagangan orang luar

negeri masuk ke wilayah Indonesia.

2. Pengertian dan jenis bayam

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bayam berarti

tumbuhan sayuran daun, bentuk daunnya bulat telur dengan ujung

meruncing dan urat-urat yang jelas, bunganya berbentuk malai yang

tegak (banyak macamnya, ada yang dibuat sayur, ada yang untuk

obat); Amarantus.

Page 32: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Klasifikasi ilmiah bayam (Amaranthus sp.) :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Caryophyllales

Famili : Amaranthaceae

Upafamili : Amaranthoideae

Genus : Amaranthus

Bayam (Amaranthus sp.) merupakan sayuran yang banyak

mengandung vitamin dan mineral, dapat tumbuh sepanjang tahun

pada ketinggian sampai dengan 1000 m dpl. dengan pengairan

secukupnya. Terdapat 3 jenis sayuran bayam, yaitu (Edi, Safrie dan

Bobihoe, Julistia. 2010) :

1. Bayam cabut, batangnya berwarna merah dan juga ada

berwarna hijau keputih-putihan.

2. Bayam petik, pertumbuhannya lebih tegak serta berdaun lebar,

warna daun hijau tua dan ada yang berwarna kemerah-merahan.

3. Bayam yang biasa dicabut dan juga dapat dipetik. Jenis

bayam ini tumbuh tegak, berdaun besar berwarna hijau keabu-

abuan.

3. Manfaat Kesehatan Bayam yaitu (Johson dalam Jaimin, 2011):

a) Jantung

Asam folat sangat kaya di bayam yang diketahui dapat

mengurangi tekanan darah tinggi atau hipertensi. Asam folat

juga dapat mengurangi risiko terjadinya tekanan darah tinggi.

Page 33: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Asam folat terbukti dapat menurunkan kadar homosistein, yaitu

komponen darah dan penanda peradangan yang dapat merusak

pembuluh darah. Selain itu, asam folat juga dapat meningkatkan

aliran darah.

Ko-enzim Q10 yang juga ada pada bayam memainkan

peranan sebagai antioksidan. Ia memiliki potensi untuk mencegah

dan mengobati penyakit kardiovaskular, terutama hipertensi,

hiperlipidemia, penyakit arteri koroner, dan gagal jantung. Lutein,

yang merupakan antioksidan karotenoid juga kaya di bayam,

mencegah atau mengurangi aterosklerosis, atau pengerasan

arteri. Betaine yang kaya pada bayam dapat mengurangi risiko

kardiovaskular melalui aksi metabolisme homosistein.

b) Otak

Bayam memainkan peranan yang luar biasa dalam

menjaga kesehatan otak manusia. Studi-studi ilmiah telah

menunjukkan hubungan yang jelas antara diet asam folat

tinggi dengan pengurangan risiko stroke. Studi lain oleh

Sekolah Kedokteran Keck dari Universitas California Selatan

dan UCLA School of Medicine telah menunjukkan bahwa

lutein membantu untuk mencegah penyakit jantung dan stroke di

otak.

Page 34: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

c) Kesehatan dan perkembangan bagi maternal dan fetal

Perkembangan janin yang sehat membutukan ibu untuk

memiliki asupan asam folat yang memadai. Beberapa negara,

termasuk Amerika Serikat, kini telah memandatkan produk

tepung fortifikasi folat dan sereal dalam rangka untuk

meningkatkan kadar folat rata-rata penduduk dan mencegah cacat

lahir yang serius. Hasil mandat ini telah melebihi ekspektasi yang

diharapkan.

Vitamin A merupakan nutrisi penting untuk

perkembangan janin selama kehamilan dan juga selama

menyusui. Bayam merupakan salah satu sumber alami yang paling

ampuh bagi beta karoten, yaitu prekursor bagi vitamin A, yang

mudah dikonversi menjadi vitamin A.

d) Mata dan Penglihatan

Lutein dan zeaxanthin yang terdapat pada bayam

membentuk zat berminyak kekuning-kuningan yang dikenal

sebagai pigmen makula. Seiring bertambahnya usia, tingkat

pigmen makula umumnya menurun dan mengarah ke Age-

related Macula Degeneration (AMD). Penyakit ini semakin

mengganggu penglihatan dan akhirnya dapat menyebabkan

kebutaan. Bayam yang tinggi lutein dan zeaxanthin merupakan

langkah yang paling penting dalam pencegahan Age-related

Macula Degeneration.

Page 35: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Bayam juga membantu untuk mencegah katarak mata.

Lutein dan zeaxanthin yang ada pada bayam adalah

antioksidan kuat yang melindungi mata dari rusak akibat

radiasi UV, terutama dari paparan sinar matahari, yang

merupakan salah satu penyebab utama katarak.

e) Tulang

Vitamin K sangat kaya pada bayam. Vitamin K penting

untuk menjaga kesehatan tulang. Vitamin K1 membantu

mencegah aktivasi berlebihan osteoklas, yaitu sel-sel yang

menghancurkan tulang. Tambahan pula, bakteri flora normal

dalam usus kita mengubah vitamin K1 menjadi vitamin K2,

yang mengaktifkan osteokalsin, yaitu protein non-kolagen

utama dalam tulang. Osteokalsin menjangkar molekul kalsium

dalam tulang. Bayam juga merupakan sumber yang sangat baik

untutk nutrisi tulang selain kalsium dan magnesium.

B. Pestisida

1. Pengertian pestisida

Istilah pestisida merupakan terjemahan dari pesticide yang

berasal dari bahasa latin pestis dan cedo yang bisa diterjemahkan

secara bebas menjadi racun untuk mengendalikan jasad pengganggu.

Istilah jasad pengganggu pada tanaman sering juga disebut dengan

organisme pengganggu tanaman (OPT) ( Wudianto, 1998).

Page 36: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1973,

SK Menteri Pertanian RI No. 434.1/Kpts/TP. 270/7/2001, dan

Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 24/Permentan /SR.140/4/2011

tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida, dan yang

dimaksud dengan pestisida adalah semua zat kimia atau bahan lain

serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk beberapa tujuan

berikut:

a. Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak

tanaman, bagian tanaman, atau hasil-hasil pertanian.

b. Memberantas rerumputan.

c. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak

diinginkan.

d. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-

bagian tanaman (tetapi tidak termasuk golongan pupuk).

Sementara itu, The United States Environmental Control Act

mendefinisikan pestisida sebagai berikut (Runia 2008) :

a. Pestisida merupakan semua zat atau campuran zat yang khusus

digunakan untuk mengendalikan, mencegah atau menangkis

gangguan serangga, binatang pengerat, nematoda, gulma, virus,

bakteri, serta jasad renik yang dianggap hama; kecuali virus,

bakteri, atau jasad renik lain yang terdapat pada hewan dan

manusia.

Page 37: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

b. Pestisida merupakan semua zat atau campuran zat yang

digunakan untuk mengatur pertumbuhan atau mengeringkan

tanaman.

Dalam bidang pertanian pestisida merupakan sarana untuk

membunuh jasad pengganggu tanaman. Dalam konsep Pengendalian

Hama Terpadu, pestisida berperan sebagai salah satu komponen

pengendalian, yang mana harus sejalan dengan komponen

pengendalian hayati, efisien untuk mengendalikan hama tertentu,

mudah terurai dan aman bagi lingkungan sekitarnya. Penerapan

usaha intensifikasi pertanian yang menerapkan berbagai teknologi,

seperti penggunaan pupuk, varietas unggul, perbaikan pengairan,

pola tanam serta usaha pembukaan lahan baru akan membawa

perubahan pada ekosistem yang sering kali diikuti dengan timbulnya

masalah serangan jasad penganggu. Cara lain untuk mengatasi jasad

penganggu selain menggunakan pestisida kadang-kadang

memerlukan waktu, biaya dan tenaga yang besar dan hanya dapat

dilakukan pada kondisi tertentu. Sampai saat ini hanya pestisida yang

mampu melawan jasad penganggu dan berperan besar dalam

menyelamatkan kehilangan hasil (Sastroutomo 1992).

Toksisitas atau daya racun adalah sifat bawaan pestisida

yang menggambarkan potensi pestisida untuk menimbulkan kematian

langsung (atau bahaya lainnya) pada hewan tingkat tinggi, termasuk

manusia. Toksisitas dibedakan menjadi toksisitas akut, toksisitas

Page 38: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

kronik, dan toksisitas subkronik. Toksisitas akut merupakan pengaruh

merugikan yang timbul segera setelah pemaparan dengan dosis

tunggal suatu bahan kimia atau pemberian dosis ganda dalam waktu

kurang lebih 24 jam. Toksisitas akut dinyatakan dalam angka LD50,

yaitu dosis yang bisa mematikan (lethal dose) 50% dari binatang uji

(umumnya tikus, kecuali dinyatakan lain) yang dihitung dalam mg/kg

berat badan. LD50 merupakan indikator daya racun yang utama, di

samping indikator lain. Dibedakan antara LD50 oral (lewat mulut) dan

LD50 dermal (lewat kulit). LD50 oral adalah potensi kematian yang

terjadi pada hewan uji jika senyawa kimia tersebut termakan,

sedangkan LD50 dermal adalah potensi kematian jika hewan uji

kontak langsung lewat kulit dengan racun tersebut (Djojosumarto,

2008).

2. Penggolongan Pestisida

a. Berdasarkan jasad pengganggu

Banyaknya jenis jasad pengganggu yang bisa mengakibatkan

fatalnya hasil pertanian, pestisida dapat dibedakan sesuai dengan

sasaran yang akan dikendalikan (Wudianto 1998, Pohan 2004) :

1) Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia

berbahaya yang digunakan untuk mematikan atau memberantas

semua jenis serangga.

Page 39: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

2) Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia

berbahaya yang beracun yang digunakan untuk memberantas

dan mencegah fungi / cendawan.

3) Bakterisida adalah senyawa yang mengandung bahan aktif

beracun yang bisa membunuh bakteri.

4) Nematisida yaitu pestisida pemberantas cacing nematode

5) Akarisida yaitu bahan yang mengandung senyawa kimia

berbahaya untuk memberantas tungau, caplak dan laba-laba.

6) Rodentisida yaitu bahan yang mengandung senyawa kimia

berbahaya untuk mematikan hewan perusak,pengerat/ tikus.

7) Molluscisida yaitu pemberantas hewan-hewan molusca, seperti

siput.

8) Herbisida yaitu bahan yang mengandung senyawa kimia

berbahaya pestisida pemberantasa tumbuhan pengganggu yang

disebut gulma.

9) Pestisida lain. Selain pestisida di atas masih banyak jenis pestisida

lain. Namun, karena kegunaannya jarang maka produsen belum

banyak yang menjual.

b. Berdasarkan bahan asal :

1) Pestisida organik alam, misalnya dari tanaman nimba dan

tembakau

2) Pestisida organik sintetik seperti klor-organik, fosfat organik,

karbamat

Page 40: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

3) Pestisida an-organik seperti asefat, tembaga sulfat

4) Pestisida mikroba seperti bakteri Bacillus thuringiensis Berliner

c. Berdasarkan cara kerja

Jenis pestisida berdasarkan cara kerjanya menurut Novisan

(2000) diuraikan sebagai berikut :

1) Racun kontak

Pestisida ini akan bekerja dengan baik jika terkena atau kontak

langsung dengan hama sasaran dan tidak begitu efektif untuk

mengendalikan hama yang berpindah-pindah dan terbang,

kecuali jika serangga jenis ini hinggap pada tanaman yang masih

menyimpan residu pestisida sehingga terjadi kontak antara

serangga dan pestisida.

2) Racun pernapasan

Cara kerja racun pernafasan hanya dimiliki oleh insektisida dan

rodentisida. Pestisida jenis ini dapat membunuh serangga jika

terhisap melalui organ pernafasan. Racun in sering juga disebut

sebagai racun fumigan dan sering digunakan untuk

mengendalikan hama gudang.

3) Racun lambung

Racun yang terdapat dalam pestisida ini baru bekerja jika bagian

tanaman yang telah disemprot dimakan oleh hama sehingga

racun yang ada pada permukaan daun ikut termakan.

Page 41: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

4) Racun sistemik

Racun sistemik setelah disemprotkan atau ditebarkan pada

bagian tanaman yang terserap ke dalam jaringan tanaman

melalui akar dan daun sehingga dapat membunuh hama yang

ada dalam jaringan tanaman seperti jamur dan bakteri.

d. Berdasarkan struktur kimia

Sedangkan jenis pestisida menurut struktur kimianya terbagai

atas (Sastroutomo SS,1992; Grace JA,1999;Morley HV dalam Anonim,

2006 ):

1) Organokhlorin

Organokhlorin adalah senyawa insektisida yang

mengandung atom karbon , khlor dan hidrogen dan kadangkala

oksigen. Senyawa ini sering kali juga disebut sebagai hidrokarbon

khlorinat, khlorinat organik, insektisida khlorinat atau khlorinat

sintesis. Golongan organoklorin mempunyai 3 golongan utama yaitu

DDT (DDT, Dikofol, Metoksikhlor), BHC (Lindan, Aldrin, Endosulfan,

Heptakhlor, Khlordan, Polikhlorterpen)., siklodien.

Organoklorin memberikan pengaruh terhadap sistem saraf

yang lokasinya berbeda-beda tergantung dari jenis senyawanya,

DDT memberikan pengaruh pada sistem saraf perifer, sedangkan

BHC dan aldrien menyerang sistem saraf pusat (Hassal,1969

dalam Sastroutomo S, 1992). DDT juga diduga dapat menghambat

Page 42: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

ATPase yang bertanggung jawab terhadap pengangkutan ion di

dalam saraf dan meningkatkan aktivitas enzim dari mikrosoma.

Juga telah dilaporkan bahwa DDT dapat menghambat enzim

karbonik anhidrase (Peakall, 1970 dalam Sastroutomo S, 1992).

2) Organofosfat

Senyawa organofosfat merupakan golongan insektisida

yang cukup besar, lebih dari 100.000 senyawa organofosfat telah

diuji untuk mencari senyawa – senyawa yang mempunyai sifat

sebagai insektisida. Senyawa organofosfat tidak stabil , karena itu

dari segi lingkungan senyawa ini lebih baik daripada organokhlorin.

Meskipun demikian , senyawa organofosfat lebih toksik terhadap

hewan-hewan bertulang belakang jika dibandingkan dengan

senyawa organokhlorin. Senyawa organofosfat mempengaruhi

sistem saraf dan mempunyai cara kerja menghambat fungsi enzim

asetilkolin esterase.

3) Karbamat

Kelompok ini merupakan ester N-metilkarbamat dan

merupakan turunan dari pada asam karbamik HOCO-NH2. Seperti

juga organophosphat bekerja menghambat asetilkolinestrase. Tetapi

pengaruhnya terhadap enzym tersebut tidak berlangsung lama,

karena prosesnya cepat reversibel. Kalau timbul gejala, gejala itu

tidak bertahan lama dan cepat kembali normal. Pestisida kelompok

Page 43: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

ini dapat bertahan dalam tubuh antara 1 sampai 24 jam sehingga

cepat dapat dieksresikan.

4) Piretroid

Piretroid berasal dari piretrum diperoleh dari bunga

crysanthemum cinerariaefolium. Insektisida tanaman lain adalah

nikotin yang sangat toksik secara akut dan bekerja pada susunan

syaraf cara kerjanya juga hampir sama dengan organokhlorin.

Piretrum mempunyai toksitas rendah pada manusia tetapi dapat

menimbulkan alergi pada orang yang peka.

3. Formulasi pestisida

Bahan terpenting yang bekerja aktif dalam pestisida terhadap

hama sasaran dinamakan bahan aktif (Active ingridient atau bahan

tehnis). Dalam pembuatan pestisida di pabrik (manufacturing plant),

bahan aktif tersebut tidak dibuat secara murni, tetapi dicampur sedikit

dengan bahan-bahan pembawa lainnya (Afriyanto, 2008).

Munaf (1997) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan

formulasi (formulated product) ialah komposisi dan bentuk produk

pestisida yang dipasarkan. Pestisida yang terdapat dipasaran

umumnya tidaklah merupakan bahan aktif 100%, karena selain zat

pengisi atau bahan tambahan yang tidak aktif (inert ingredient) juga

ada yang berisi campuran dari dua atau lebih pestisida.

Page 44: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Bentuk–bentuk formulasi pestisida menurut Munaf (1997),

Wudianto (1998) dan Djojosumarto (2008) yaitu :

a. Formulasi cair :

1. Pekatan yang dapat diemulsikan (emulsifeable concentrate

disingkat EC). Pestisida dengan formulasi ini dibuat dengan

melarutkan zat aktif dalam pelarut tertentu dan ditambahkan

surfaktan atau bahan pengemulsi. Penggunaan penyemprotan

dengan volume utra rendah . Contoh : Grothion 50 EC, Basudin

60 EC.

2. Pekatan yang larut dalam air (water soluble concentrate =

WSC). Pestisida dengan formulasi ini diencerkan lebih dulu

dengan air baru disemprotkan. Contoh : Azodrin 15 WSC.

3. Pekatan dalam air (aqueous concentrate). Umumnya yang

diformulasikan dalam bentuk ini ialah bentuk garam dari

herbisida asam yang mempunyai kelarutan tinggi dalam air.

Contoh : 2-metil -4-klorofenoksiasetat (MPCA), dan 2,4-

diklorofenoksi asetat (2,4-D).

4. Pekatan dalam minyak (oil concentrate) adalah formulasi cair

yang berisi bahan aktif dalam konsentrasi tinggi yang dilarutkan

dalam pelarut hidrokarbon aromatik seperti xilin atau nafta.

Penggunaannya biasa diencerkan dengan pelarut hidrokarbon

yang lebih murah (misalnya solar), baru disemprotkan atau

dikabutkan (fogging). Contoh : Sevin 4 oil.

Page 45: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

5. Formulasi aerosol. Dalam hal ini pestisida dilarutkan dalam

pelarut organic, dalam konsentrasi rendah dimasukkan dalam

kaleng berisi gas yang bertekanan, dikemas dalam bentuk

aerosol siap pakai. Contoh : Flygon aerosol.

6. Bentuk cairan yang mudah menguap (liquefied gases).

Pestisida ini terdapat dalam bentuk gas yang dimampatkan

pada tekanan tertentu dalam satu kemasan. Penggunaannya

dengan cara fumigasi ke dalam ruangan atau tumpukn bahan

makanan atau penyuntikan ke dalam tanah. Contoh : methyl

bromide.

b. Formulasi padat :

1. Tepung disuspensikan atau wetable powder (WP) atau

dispersible powder (DP). Contoh : Basimen 235.

2. Tepung yang dapat dilarutkan atau soluble powder (SP).

Contoh : Dowpon M.

3. Butiran atau granule (G). Bahan aktif pestisida dicampur

dengan bahan pembawa, seperti tanah lait, pasir, tongkol

jagung yang ditumbuk. Kadar bahan aktifnya antara 1-40 %.

Penggunaan biasanya dengan menaburkan. Contoh : Ekaluk

5G

4. Pekatan debu atau dust concentrate. Kadar biasa antara 25-

75%.

Page 46: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

5. Debu atau dust (D). Pestisida dicampur dengan bahan

pembawa dalam bentuk debu. Kadar zat biasa 1-10% dengan

ukuran partikel <70 mikron. Contoh : Lannate 2 D.

6. Umpan atau bait (B). Bahan aktif pestisida dicampurkan

dengan bahan pembawa. Bila terdapat dalam bentuk bubuk,

pasta dan butiran. Penggunannya dicampurkan dengan bahan

makanan yang disukai oleh hewan sasaran. Contoh : Zink

Fosfit, Klerat RM.

7. Tablet, terdapat dua bentuk :

a). Tablet yang bila kena udara akan menguap jadi fumigant,

yang umumnya digunakan untuk gudang atau

perpustakaan.

b). Tablet yang pada penggunaannya memerlukan pemanasan.

Uap dari hasil pemanasan dapat membunuh atau pengusir

hama (nyamuk). Contoh : Fumakki

8. Padat lingkar. Biasanya digunakan untuk membakar Contoh :

obat nyamuk bakar Moon Deer 0,2 MC.

4. Dampak Penggunaan Pestisida

Pestisida merupakan bahan kimia, campuran bahan kimia,

atau bahan-bahan lain yang bersifat bioaktif. Pada dasarnya,

pestisida itu bersifat racun. Oleh sebab sifatnya sebagai racun

pestisida dibuat, dijual, dan digunakan untuk meracuni organisme

pengganggu tanaman (OPT). Setiap racun berpotensi mengandung

Page 47: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

bahaya bagi makhluk hidup termasuk manusia. Oleh karena itu,

ketidakbijaksanaan dalam penggunaan pestisida pertanian bisa

menimbulkan dampak negatif.

Beberapa dampak negatif dari penggunaan pestisida antara lain

(Sudarmo 1991) :

1. Dampak bagi keselamatan pengguna

Penggunaan pestisida bisa mengkontaminasi pengguna

secara langsung sehingga mengakibatkan keracunan. Dalam hal

ini, keracunan bisa dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu,

keracunan akut ringan, akut berat dan kronis. Keracunan akut

ringan menimbulkan pusing, sakit kepala, iritasi kulit ringan, badan

terasa sakit, dan diare. Keracunan akut berat menimbulkan gejala

mual, menggigil, kejang perut, sulit bernafas, keluar air liur, pupil

mata mengecil, dan denyut nadi meningkat. Keracunan yang

sangat berat dapat mengakibatkan pingsan, kejang-kejang,

bahkan bisa mengakibatkan kematian.

Keracunan kronis lebih sulit dideteksi karena tidak segera

terasa dan tidak menimbulkan gejala serta tanda yang spesifik.

Namun, keracunan kronis dalam jangka waktu lama bisa

menimbulkan gangguan kesehatan. Beberapa gangguan

kesehatan yang sering dihubungkan dengan penggunaan

pestisida diantaranya iritasi mata dan kulit, kanker, cacat pada

bayi, serta gangguan saraf, hati, ginjal dan pernafasan.

Page 48: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

2. Dampak bagi konsumen

Dampak pestisida bagi konsumen umumnya berbentuk

keracunan kronis yang tidak segera terasa. Namun, dalam jangka

waktu lama mungkin bisa menimbulkan gangguan kesehatan.

Meskipun sangat jarang, pestisida dapat pula menyebabkan

keracunan akut, misalnya dalam hal konsumen mengkonsumsi

produk pertanian yang mengandung residu dalam jumlah besar.

3. Dampak bagi kelestarian lingkungan

Dampak penggunaan pestisida bagi lingkungan terbagi

menjadi 2 kategori, yaitu :

a. Bagi lingkungan umum

1) Pencemaran lingkungan (air, tanah, dan udara)

2) Terbunuhnya organisme non-target karena terpapar secara

langsung.

3) Terbunuhnya organisme non-target karena pestisida

memasuki rantai makanan.

4) Menumpuknya pestisida dalam jaringan tubuh organisme

melalui rantai makanan (bioakumulasi).

5) Pada kasus pestisida yang persisten (bertahan lama),

konsentrasi pestisida dalam tingkat trofik rantai makanan

semakin ke atas akan semakin tinggi (biomagnifikasi).

6) Menimbulkan efek negatif terhadap manusia secara tidak

langsung melalui rantai makanan.

Page 49: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

b. Bagi lingkungan pertanian

1) OPT menjadi kebal terhadap suatu pestisida (timbul

resistensi).

2) Meningkatnya populasi hama setelah penggunaan pestisida.

3) Terbunuhnya musuh alami hama.

4) Fitotoksik (meracuni tanaman).

4. Dampak sosial ekonomi

a. Penggunaan pestisida yang tidak terkendali menyebabkan biaya

produksi menjadi tinggi.

b. Timbulnya hambatan perdagangan karena residu pestisida pada

bahan ekspor menjadi tinggi.

c. Timbulnya biaya sosial yaitu biaya pengobatan dan hilangnya

hari kerja akibat keracunan pestisida.

Penderita keracunan pestisida dapat dibedakan menjadi dua

golongan, yaitu :

1. Penderita yang karena pekerjaannya selalu berhubungan dengan

pestisida, seperti para pekerja dalam proses pembuatan,

penyimpanan dan penggunaan pestisida.

2. Penderita keracunan pestisida karena tidak sengaja, seperti makan

buah-buahan atau sayuran yang masih tercemar pestisida, tidak

sengaja memasuki daerah yang sedang disemprot dengan

pestisida, dan sebagai akibat penyimpanan pestisida yang kurang

baik.

Page 50: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Penetapan keracunan yang dilakukan menurut ketentuan

Direktorat Jenderal PPM & PLP Departemen Kesehatan

menggunakan tintometer kit. Subyek dinyatakan keracunan jika

mempunyai aktivitas kolinesterase ≤ 75%, dengan kategori 75 –

100% kategori normal; 50 – <75% kategori keracunan ringan; 25 –

<50% kategori keracunan sedang dan 0 – <25% kategori keracunan

berat. Menurut Gallo et al. (1991), ada beberapa faktor yang

mempengaruhi tingkat keracunan pestisida antara lain dosis pestisida,

toksisitas senyawa pestisida, lama terpapar pestisida dan jalan masuk

pestisida dalam tubuh.

Menurut WHO 1986, ada beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi keracunan pestisida antara lain (Afriyanto 2008) :

a. Dosis.

Dosis pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya

keracunan pestisida, karena itu dalam melakukan pencampuran

pestisida untuk penyemprotan petani hendaknya memperhatikan

takaran atau dosis yang tertera pada label. Dosis atau takaran

yang melebihi aturan akan membahayakan penyemprot itu sendiri.

Setiap zat kimia pada dasarnya bersifat racun dan terjadinya

keracunan ditentukan oleh dosis dan cara pemberian.

b. Toksisitas senyawa pestisida.

Merupakan kesanggupan pestisida untuk membunuh

sasarannya. Pestisida yang mempunyai daya bunuh tinggi dalam

Page 51: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

penggunaan dengan kadar yang rendah menimbulkan gangguan

lebih sedikit bila dibandingkan dengan pestisida dengan daya

bunuh rendah tetapi dengan kadar tinggi. Toksisitas pestisida

dapat diketahui dari LD 50 oral dan dermal yaitu dosis yang

diberikan dalam makanan hewan-hewan percobaan yang

menyebabkan 50% dari hewan-hewan tersebut mati.

c. Jangka waktu atau lamanya terpapar pestisida.

Paparan yang berlangsung terus-menerus lebih berbahaya

daripada paparan yang terputus-putus pada waktu yang sama.

Jadi pemaparan yang telah lewat perlu diperhatikan bila terjadi

resiko pemaparan baru. Karena itu penyemprot yang terpapar

berulan kali dan berlangsung lama dapat menimbulkan keracunan

kronik.

d. Jalan masuk pestisida dalam tubuh.

Keracunan pestisida terjadi bila ada bahan pestisida yang

mengenai dan/atau masuk ke dalam tubuh dalam jumlah tertentu.

Keracunan akut atau kronik akibat kontak dengan pestisida dapat

melalui mulut, penyerapan melalui kulit dan saluran pernafasan.

Pada petani pengguna pestisida keracunan yang terjadi lebih

banyak terpapar melalui kulit dibandingkan dengan paparan

melalui saluran pencernaan dan pernafasan.

Page 52: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Pestisida dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui berbagai

rute, yakni (Djojosumarto, 2008):

1. Penetrasi lewat kulit (dermal contamination)

Pestisida yang menempel di permukaan kulit dapat

meresap ke dalam tubuh dan menimbulkan keracunan. Kejadian

kontaminasi pestisida lewat kulit merupakan kontaminasi yang

paling sering terjadi. Pekerjaan yang menimbulkan resiko tinggi

kontaminasi lewat kulit adalah:

a. Penyemprotan dan aplikasi lainnya, termasuk pemaparan

langsung oleh droplet atau drift pestisida dan menyeka wajah

dengan tangan, lengan baju, atau sarung tangan yang

terkontaminsai pestisida.

b. Pencampuran pestisida.

c. Mencuci alat-alat aplikasi

2. Terhisap lewat saluran pernafasan (inhalation)

Keracunan pestisida karena partikel pestisida terhisap

lewat hidung merupakan terbanyak kedua setelah kulit. Gas dan

partikel semprotan yang sangat halus (kurang dari 10 mikron)

dapat masuk ke paru-paru, sedangkan partikel yang lebih besar

(lebih dari 50 mikron) akan menempel di selaput lendir atau

kerongkongan. Pekerjaan-pekerjaan yang menyebabkan

terjadinya kontaminasi lewat saluran pernafasan adalah :

Page 53: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

a. Bekerja dengan pestisida (menimbang, mencampur, dsb) di

ruang tertutup atau yang ventilasinya buruk.

b. Aplikasi pestisida berbentuk gas atau yang akan membentuk

gas, aerosol, terutama aplikasi di dalam ruangan, aplikasi

berbentuk tepung mempunyai resiko tinggi.

c. Mencampur pestisida berbentuk tepung (debu terhisap

pernafasan).

3. Masuk ke dalam saluran pencernaan makanan lewat mulut (oral)

Pestisida keracunan lewat mulut sebenarnya tidak sering

terjadi dibandingkan dengan kontaminasi lewat kulit. Keracunan

lewat mulut dapat terjadi karena :

a. Kasus bunuh diri.

b. Makan, minum, dan merokok ketika bekerja dengan pestisida.

c. Menyeka keringat di wajah dengan tangan, lengan baju, atau

sarung tangan yang terkontaminasi pestisida.

d. Drift pestisida terbawa angin masuk ke mulut.

e. Makanan dan minuman terkontaminasi pestisida.

5. Dampak Residu Pestisida

Residu pestisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam

hasil pertanian bahan pangan atau pakan hewan, baik sebagai akibat

langsung maupun tidak langsung dari penggunaan pestisida. Istilah ini

mencakup juga senyawa turunan pestisida, seperti senyawa hasil

konversi, metabolit, senyawa hasil reaksi dan zat pengotor yang dapat

Page 54: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

bersifat toksik (Sakung, 2004). Residu pestisida menimbulkan efek

yang bersifat tidak langsung terhadap konsumen, namun dalam

jangka panjang dapat menyebabkan gangguan kesehatan di

antaranya berupa gangguan pada syaraf dan metabolisme enzim.

Residu pestisida yang terbawa bersama makanan akan terakumulasi

pada jaringan tubuh yang mengandung lemak. Akumulasi residu

pestisida ini pada manusia dapat merusak fungsi hati, ginjal, sistem

syaraf, menurunkan kekebalan tubuh, menimbulkan cacat bawaan,

alergidan kanker (Munarso, dkk. 2006).

Penggunaan pestisida khususnya pada tanaman terutama

pangan segar akan meninggalkan residu pada produk pertanian.

Bahkan untuk pestisida tertentu masih dapat ditemukan sampai saat

produk pertanian tersebut diproses untuk pemanfaatan selanjutnya

maupun saat konsumsi. Besarnya residu yang tertinggal dalam

produk pertanian tersebut tergantung pada dosis, banyaknya dan

interval aplikasi, faktor lingkungan fisik yang mempengaruhi

pengurangan residu, jenis tanaman yang diperlakukan, formulasi

pestisida, jenis bahan aktif serta saat aplikasi terakhir sebelum

produk pertanian dipanen (Sudarmo,1991), sejalan dengan

Wudianto (1998) yang menyatakan bahwa penggunaan pestisida

bisa menyebabkan residu pestisida pada produk pertanian dan

resiko kerancunan sehingga diupayakan penyemprotan tidak

dilakukan dua minggu sebelum panen.

Page 55: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Dampak residu pestisida ini dapat berakibat langsung

maupun bereaksi dalam jangka waktu yang panjang. Akumulasi

pestisida melalui residu yang tertinggal pada tanaman dapat

mengakibatkan beberapa penyakit antara lain tumor, kanker,

penyempitan pembuluh darah, pengapuran, dapat menyebabkan

kanker dan cacat kelahiran dan merusak atau mengganggu

sistem syaraf, endokrin, reproduktif, dan kekebalan pada mamalia

(Sarjan, 2009).

C. Klorpirifos

1. Karakteristik klorpirifos

Klorpirifos merupakan salah satu jenis insektisida dari

golongan organofosfat.. Klorpirifos, pertama kali diperkenalkan ke

pasar pada tahun 1965, telah banyak digunakan secara global

sebagai insektisida untuk mengendalikan tanaman hama di bidang

pertanian, mengurangi hama rumah tangga seperti rayap, mengurangi

kerusakan serangga ke rumput di rumput dan lapangan golf, dan

untuk pengendalian nyamuk. Penggunaan klorpirifos tersingkir di

Amerika Serikat pada tahun 2001, dan dihapus dalam Uni Eropa (UE)

( Eaton et al 2008). Di Indonesia salah satu nama dagang yang

menggunakan zat aktif ini adalah dursban 20 EC.

Page 56: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Sifat-sifat fisika dan kimia dari senyawa klorpirifos ini dapat

dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini.

Tabel 2.1 Sifat Fisika dan Kimia Senyawa klorpirifos

Kriteria Hasil

Rumus kimia C9-H11-CL3-N-O3-P-S

Golongan Organofosfat

Bentuk kristal padat

Warna Putih

Bau bau telur busuk

Waktu paruh 30 hari

Titik lebur 106 – 108 0F ( 41 – 42 0C )

Berat molekul 350, 57

Tekanan uap pada

@ 250 C

0,0000187 mmHg

Kelarutan dalam air

pada @ 250 C 2 ppm

Larut dalam aseton, benzene, kloroform,

etanol, isooctan, metanol, pelarut organik

Sumber : EPA 2006 dan Eaton et al 2008.

Setiap pestisida mempunyai tiga jenis nama yaitu nama umum,

nama dagang, dan nama kimia. Nama dagang suatu jenis pestisida

diberikan oleh pembuatnya atau pabriknya sendiri sehingga

Page 57: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

kadangkala terdapat beberapa jenis pestisida mempunyai bahan aktif

yang sama tetapi dengan nama dagang yang berbeda. Senyawa

organofosfat merupakan golongan insektisida yang cukup besar.

Lebih daripada 100.000 senyawa organofosfat telah diuji untuk

mencari senyawa-senyawa yang mempunyai sifat sebagai insektisida.

Dari jumlah ini hanya 100 senyawa saja yang berhasil

diperdagangkan sebagai insektisida secara luas (Sastroutomo, 1992).

Beberapa merek dagang yang sering digunakan dalam tabel

2.2 di bawah ini.

Tabel 2.2 Merek Dagang Pestisida Bahan Aktif Golongan

Organofosfat Yang Diizinkan Di Indonesia

No Merek Dagang Bahan Aktif

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

Ambush 2 EC

Basudin 60 EC

Bayrusil 250 EC

Bionik 400 EC

Curacron 500 EC

Decis 25 EC

Dursban 20 EC

Matador 25 EC

Meothrin 50 EC

Monitor 200LC

Orthene 75 EC

Sumisidin 5 EC

Permetrin

Diazinon

Kuinolfos

Dimetoat

Profonofos

Deltametrin

Klorfirifos

Sihalotrin

Fenpropatrin

Metamidafos

Asefat

Fenfalerat

Page 58: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

13

14

Supracide 40 EC

Sumithion 50 EC

Metidation

Fenitrotion

Sumber: Pestisida dan penggunaannya yang diizinkan di Indonesia,2004.

2. Mekanisme keracunan klorpirifos

Pestisida organofosfat memasuki tubuh manusia atau hewan,

maka menempel pada enzim kholinesterase. Karena kholinesterase

tidak dapat memecahkan asetilkholin, impuls syaraf mengalir terus

(konstan) menyebabkan suatu twiching yang cepat dari otot-otot dan

akhirnya mengarah kepada kelumpuhan. Pada saat otot-otot pada

sistem pernafasan tidak berfungsi terjadilah kematian (Dirjen

PPM&PL, 2000). Hadirnya pestisida golongan organofosfat di dalam

tubuh akan menghambat aktifitas enzim asetilkholinesterase,

sehingga terjadi akumulasi substrat (asetilkholin) pada sel efektor.

Keadaan tersebut diatas akan menyebabkan gangguan sistem syaraf

yang berupa aktifitas kolinergik secara terus menerus akibat

asetilkholin yang tidak dihidrolisis. Gangguan ini selanjutnya akan

dikenal sebagai tanda-tanda atau gejala keracunan (Prihadi, 2008).

Dampak pestisida terhadap kesehatan bervariasi, antara lain

tergantung dari golongan, intensitas pemaparan, jalan masuk dan

bentuk sediaan. Dalam tubuh manusia diproduksi asetikolin dan

enzim kholinesterase. Enzim kholinesterase berfungsi memecah

asetilkolin menjadi kolin dan asam asetat. Asetilkolin dikeluarkan oleh

ujung-ujung syaraf ke ujung syaraf berikutnya, kemudian diolah

Page 59: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

dalam central nervous system (CNS), akhirnya terjadi gerakan-

gerakan tertentu yang dikoordinasikan oleh otak. Apabila tubuh

terpapar secara berulang pada jangka waktu yang lama, maka

mekanisme kerja enzim kholinesterase terganggu, dengan akibat

adanya ganguan pada sistem syaraf.

Asetikholinesterase adalah suatu enzim, terdapat pada

banyak jaringan yang menghidrolisis asetilkholin menjadi kholin dan

asam asetat. Asetilkholin berperan sebagai jembatan penyeberangan

bagi mengalirnya getaran syaraf. Melalui sistem syaraf inilah organ-

organ di dalam tubuh menerima informasi untuk mempergiat atau

mengurangi efektifitas sel. Pada sistem syaraf, stimulas yang diterima

dijalarkan melalui serabut-serabut syaraf (akson) dalam betuk impuls.

Setelah impuls syaraf oleh asetikholin dipindahkan (diseberangkan)

melalui serabut, enzim kholinesterase memecahkan asetilkholin

dengan cara meghidrolisis asetilkholin menjadi kholin dan sebuah ion

asetat, impuls syaraf kemudian berhenti. Reaksi-reaksi kimia ini terjadi

sangat cepat ( Prijanto, 2009).

Klorpirifos merupakan insektisida non sistemik yang

digunakan untuk mengontrol lalat, hama pada rumah tangga,

nyamuk (larva dan dewasa) dan hama saat panen ditanah dan

daun-daun. Kontrol untuk ectoparasit pada ternak / sapi dan domba,

tanah berumput, acaricida. Bahaya utama terhadap kesehatan yaitu

berbahaya bila tertelan, iritasi kulit, iritasi mata, dan kerusakan sistem

Page 60: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

syaraf. Toksisitas klorpirifos pada manusia TDLo oral –manusia 300

mg/kg. Sasaran organ yang diserang zat aktif ini adalah system

syaraf. Klorpirifos secara kimia memiliki waktu paruh dalam air lebih

dari dua bulan, dalam tanah lebih dari enam bulan,dan dalam

sedimen lebih dari enam bulan. Degradasi klorpirifos secara signifikan

sangat lambat di air laut dibandingkan dengan di air tawar.

3. Efek klinis paparan klorpirifos terbagi dua yaitu :

A) Keracunan akut

Terhirup

Bila terinhalasi, efek pertama dari penghambatan enzim

cholinesterase biasanya pernafasan termasuk nasal hyperemia

dan pengeluaran cairan, batuk, chest discomfort, dyspnea,

wheezing dengan peningkatan sekresi bronchial dan

bronchoconstriksi. Bila diserab dalam jumlah cukup banyak,

akan terlihat efek sistemik lain dalam beberapa menit sampai

12 jam kemudian. Gejala yang muncul pucat, mual, muntah,

diare, kejang perut, sakit kepala, pusing, mata sakit, pandangan

kabur, miosis atau dalam beberapa kasus, terutama diawali

midriasis, lakrimasi, salivasi, berkeringat, dan bingung .

Page 61: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Dilaporkan juga berefek pada sistem syaraf pusat atau

neuromuskuler seperti ataxia, susah bicara, areflexia, lemas,

lelah, fasciculations, twitching, mungkin juga kejang pada lidah

dan kelopak mata, dan akhirnya kelumpuhan (tangan dan kaki)

dan mungkin otot pernafasan. Dalam kasus yang berat tanpa

disadari keluar kotoran dan urin, cyanosis, psychosis,

hyperglycemia, pancreatitis acute, detak jantung tak beraturan,

pulmonary edema, unconsciousness, konvulsi dan koma.

Kematian terutama disebabkan kegagalan pernafasan

meskipun efek cardiovascular (cardiac arrest) juga

mempengaruhi. Dalam waktu yang lama dapat terjadi

gangguan neuropsychiatric dan myopathy disertai kelemahan otot.

Kontak dengan kulit

Berkeringat lokal dan fasciculasi pada bagian kulit

yang terkontaminasi. Bila diserap dalam jumlah yang cukup,

efek lain dari penghambatan cholinesterase sama seperti bila

terhirup akut. Gejala dapat muncul 2 – 3 jam kemudian,

biasanya tidak lebih dari 12 jam. Kecepatan absorbsi akan

meningkat dengan adanya dermatitis atau ambang suhu yang

tinggi.

Kontak dengan mata

Kontak langsung dapat menimbulkan rasa nyeri, hyperemia,

lakrimasi, twitching pada kelopak mata, miosis, dan ciliary

Page 62: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

muscle spasm diikuti hilangnya akomodasi, pandangan kabur

dan mengecil. Kadang-kadang terjadi midriasis menggantikan

miosis. Bila terpapar dalam jumlah yang cukup gejala-gejala

penghambatan cholinesterase yang terjadi sama seperti bila

terhirup akut.

Tertelan

Bila tertelan dapat menimbulkan mual, muntah, anorexia, kejang

perut dan diare. Penyerapan melalui gastrointestinal dapat

menimbulkan gejala gejala penghambatan cholinesterase

sama seperti bila terhirup akut. Gejala gejala muncul

setelah beberapa menit atau lebih lama.

B) Keracunan kronik

Terhirup

Paparan berulang atau berlangsung dalam jangka waktu yang

lama menimbulkan efek sama seperti bila terhirup akut. Juga

dilaporkan efek pada para pekerja yang kontak berulang

dapat mengganggu ingatan dan konsentrasi, psychosis akut,

depressi berat, irritabilitas, bingung, apathy, emosi labil, social

withdrawal, sakit kepala, susah bicara, reaksi lambat, spatial

disorientasi, mimpi, berjalan sambil tidur, mengantuk atau susah

tidur. Juga dilaporkan kondisi influenza disertai sakit

kepala, mual, lemas, anorexia dan malaise.

Kontak dengan kulit

Page 63: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Paparan yang berulang atau dalam jangka waktu yang lama

menimbulkan efek sama seperti pada paparan akut.

Beberapa organofosfat dapat menyebabkan sensitisasi.

Kontak dengan mata

Paparan dalam jangka waktu yang lama atau berulang

berakibat sama seperti pada paparan akut. Beberapa senyawa

dapat menimbulkan efek toksik pada crystalline lens,

conjunctival thickening dan obtruksi nasolacrimal canals bila

menggunakan tetes mata miotic.

Tertelan

Penelanan yang berulang dapat menimbulkan efek sama seperti

paparan akut.

EPA 2006 telah menetapkan batas maksimum residu pada

makanan dapat dilihat dalam tabel 2.3.

Tabel 2.3 Batas maksimum residu dalam makanan

Komoditas BMR ( mg/kg )

Apel 1

Kubis 0,05

Wortel 0,5

Daging ayam 0,1

Telur 0,005

Sayuran berdaun 1

Page 64: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Susu 0,01

Beras 0,1

Sumber : EPA 2006

Sedangkan ringkasan toksikologi klorpirifos berdasarkan jalur masuk

ke dalam tubuh dapat dilihat pada tabel 2.4 berikut :

Tabel 2.4 Penilaian Risiko Pajanan Klorpirifos pada Manusia

Jalur

Pajanan

Studi NOEL

(mg/kg/hari)

Penyakit

Oral tikus 0,5 Gangguan enzim

kolinesterase

Kulit (1-

30 hari)

Kulit (1-

6 bulan)

tikus

anjing

dan

tikus

5

0,03

Gangguan enzim

kolinesterase

Gangguan enzim

kolinesterase

Pernapa

san

tikus 0,1 Gangguan enzim

kolinesterase

Sumber : EPA, 2006D. Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL)

1. Pengertian ARKL

Di Indonesia Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL)

masih belum banyak dikenal dan digunakan sebagai metode kajian

dampak lingkungan terhadap kesehatan. Padahal, di beberapa negara

Uni Eropa, Amerika dan Australia ARKL telah menjadi proses central

idea legislasi dan regulasi pengendalian dampak lingkungan. Dalam

Page 65: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

konteks AMDAL, efek lingkungan terhadap kesehatan umumnya masih

dikaji secara epidemiologis (Syalbi, 2010).

Analisis risiko adalah padanan istilah untuk risk assessment,

yaitu karakterisasi efek-efek yang potensial merugikan kesehatan

manusia oleh pajanan bahaya lingkungan (Aldrich and Griffith,

1993). Analisis risiko merupakan suatu alat pengelolaan risiko, proses

penilaian bersama para ilmuwan dan birokrat untuk memprakirakan

peningkatan risiko kesehatan pada manusia yang terpajan (NRC,

1983).

WHO (2004) mendefinisikan analisis risiko sebagai proses yang

dimaksudkan untuk menghitung atau memprakirakan risiko pada suatu

organisme sasaran, sistem atau subpopulasi, termasuk identifikasi

ketidakpastian yang menyertainya, setelah terpajan oleh agent

tertentu, dengan memerhatikan karakteristik yang melekat pada

penyebab (agent) yang menjadi perhatian dan karakteristik sistem

sasaran yang spesifik. Risiko itu sendiri didefiniskan sebagai

kebolehjadian (probabilitas) suatu efek merugikan pada suatu

organisme, sistem atau (sub) populasi yang disebabkan oleh pemajanan

suatu agent dalam keadaan tertentu. Definisi lain menyebutkan risiko

kesehatan manusia sebagai kebolehjadian kerusakan kesehatan

seseorang yang disebabkan oleh pemajanan atau serangkaian

pemajanan bahaya lingkungan.

Page 66: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Analisis risiko digunakan untuk menilai atau menaksir risiko

kesehatan manusia yang disebabkan oleh pajanan bahaya lingkungan.

Bahaya adalah sifat yang melekat pada suatu risk agent atau situasi

yang memiliki potensi menimbulkan efek merugikan jika suatu

organisme, sistem atau subpopulasi terpajan oleh risk agent tersebut

(WHO, 2004). Bahaya lingkungan terdiri atas tiga risk agent yaitu

chemical agents (bahan-bahan kimia), physical agents (energi radiasi

dan gelombang elektromagnetik berbahaya) dan biological agents

(makhluk hidup atau organisme). Analisis risiko bisa dilakukan untuk pe-

majanan yang telah lampau (past exposure), dengan efek yang

merugikan sudah atau belum terjadi, bisa juga untuk studi prediksi

risiko pemajanan yang akan datang (future exposure). Studi-studi

amdal masuk dalam kategori yang kedua.

Jelas bahwa bahaya tidak sama dengan risiko. Bahaya

adalah suatu potensi risiko, dan risiko tidak akan terjadi kecuali

syarat-syarat tertentu terpenuhi. Syarat-syarat dimaksud adalah

toksisitas risk agent yang bersangkutan dan pola-pola pajanannya.

Suatu risk agent, sekalipun toksik, tidak akan berisiko bagi kesehatan

jika tidak memajani dengan dosis dan waktu tertentu (WHO, 2006).

2. Paradigma analisis risiko

Paradigma risk analysis untuk kesehatan masyarakat pertama

kali dikemukakan tahun 1983 oleh US National Academic of Science

untuk menilai risiko kanker oleh bahan kimia di dalam makanan

Page 67: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

(NRC, 1983). Menurut paradigma ini, risk analysis terbagi dalam tiga

langkah utama yaitu penelitian (research), analisis risiko (risk

assessment) dan manajemen risiko.

Analisis risiko terbagi menjadi empat langkah yaitu (1) identifikasi

bahaya (hazard identification), (2) analisis dosis-respon (dose-respone

assessment), (3) analisis pemajanan (exposure assessment) dan (4)

karakterisasi risiko (risk characterization) (Mukono, 2002). Risk analysis

menggunakan sains, teknik, probabilitas dan statistik untuk

memprakirakan dan menilai besaran dan kemungkinan risko kesehatan

dan lingkungan yang akan terjadi sehingga semua pihak yang peduli

mengetahui cara mengendalikan dan mengurangi risko tersebut (NRC,

1983).

Pengelolaan risiko terdiri dari tiga unsur yaitu evaluasi risiko,

pengendalian emisi, pemajanan dan pemantauan risiko. Ini berarti,

pengelolaan risiko merupakan bagian analisis risiko sedangkan

manajemen risiko bukan bagian analisis risiko tetapi kelanjutan dari

analisis risiko. Supaya tujuan pengelolaan risiko tercapai dengan

baik maka pilihan-pilihan manajemen risiko itu harus dikomunikasikan

kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Langkah ini dikenal sebagai

komunikasi risiko. Manajemen dan komunikasi risiko bersifat spesifik

yang bergantung pada karakteristik risk agent, pola pemajanan, individu

atau populasi yang terpajan, sosio-demografi dan kelembagaan

masyarakat dan pemerintah setempat.

Page 68: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Gambar 2.1. Analisis Risiko; Ruang lingkup langkah-langkah risk analysis. Risk

assessment hanya pada bagian kotak garis titik-titik sedangkan risk

management dan risk communication berada di luar lingkup risk

assessment (Louvar JF dan Louvar BD, 1998).

Penelaahan International Programme on Chemical Safety

(IPCS) lebih mendalam mengenai metoda analisis risiko dan

manajemen risiko menyimpulkan bahwa langkah-langkah analisis

risiko dan manajemen risiko tidaklah lurus dan satu arah melainkan

merupakan proses siklus interaktif dan bahkan interative (berulang-

ulang). Manajemen risiko berinteraksi dan beriteratif dengan analisis

risiko, terutama di dalam perumusan masalah. Secara umum dapat

dirumuskan bahwa analisis risiko formal didahului oleh analisis risiko

pendahuluan yang biasanya bersifat subyektif dan informal.Pada tahap

awal ini masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat

Identifikasi Bahaya

Manajemen Risiko

Karakteristik Risiko

Identifikasi Sumber

Analisis Dosis-Respons

Komunikasi Risiko

Analisis Pemajanan

Page 69: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

lingkungan dan kesehatan biasanya lebih peka daripada badan-badan

otoritas negara.Namun, seringkali kebanyakan masalah didasarkan

pada persepsi dan opini yang tidak dapat dirumuskan secara ilmiah.

Misalnya, bau yang berasal dari emisi suatu industri bisa dirasakan

oleh semua orang yang secara obyektif telah mengganggu

kenyamanan. Namun, risk agent apa yang menyebabkan bau itu, hanya

bisa dikenali oleh mereka yang terlatih, berpengalaman dalam teknik-

teknik analisis pencemaran udara dan mengetahui proses-proses

industrinya (WHO, 2004).

Dalam perkembangan selanjutnya disadari bahwa interaksi tidak

hanya perlu dilakukan antara risk assessor dan risk manager tetapi

harus melibatkan semua pihak yang tertarik atau yang berkepentingan.

Masalah risiko, faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko dan

persepsi tentang risiko perlu dikomunikasikan secara transparan. Pro-

ses ini dikenal sebagai komunikasi risiko. Komunikasi risiko berperan

untuk menjelaskan secara transparan dan bertanggungjawab tentang

proses dan hasil karakterisasi risiko serta pilihan-pilihan manajemen

risikonya kepada pihak-pihak yang relevan (WHO, 2004).

Berdasarkan paradigma risk analysis tersebut, WHO, 2004

kemudian merumuskan aturan umum bahwa analisis risiko perlu

diawali dengan analisis risiko pendahuluan yang bersifat subyektif dan

informal. Langkah ini dilakukan untuk memastikan apakah suatu kasus

memerlukan analisis risiko secara formal atau tidak. Analisis risiko

Page 70: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

pendahuluan merupakan transisi menuju analisis risiko formal, suatu

proses iteratif yang memudahkan persinggungan kritis analisis risiko

dengan manajemen risiko. Proses ini disebut sebagai perumusan

masalah.

Analisis risiko kesehatan lingkungan masih jarang digunakan

dalam kajian dampak lingkungan terhadap kesehatan masyarakat.

Kebanyakan analisis dilakukan secara konservatif dengan studi

epidemiologi. Memang, selama berabad-abad studi epidemiologi telah

menjadi metoda investigasi penyakit infeksi di masyarakat (NRC,

1983).Boleh jadi sebagian akademisi dan praktisi kesehatan

masyarakat berpendapat bahwa epidemiologi merupakan satu-satunya

metoda kajian dampak lingkungan terhadap kesehatan. Oleh karena itu

bisa difahami jika masih banyak salah persepsi dan pemertukaran studi

Epidemiologi Kesehatan Lingkungan (EKL) dengan ARKL. Sekurang-

kurangnya ada enam ciri yang membedakan EKL dan ARKL, yaitu:

1. Dalam ARKL, pajanan risk agent yang diterima setiap individu

dinyatakan sebagai intake atau asupan. Studi epidemiologi umumnya

tidak perlu memperhitungkan asupan individual ini;

2. Dalam ARKL, perhitungan asupan membutuhkan konsentrasi risk

agent di dalam media lingkungan tertentu, karakteristik antropometri

(seperti berat badan dan laju inhalasi atau pola konsumsi) dan pola

aktivitas waktu kontak dengan risk agent. Dalam EKL konsentrasi

dibutuhkan tetapi karakteristik antropometri dan pola aktivitas

Page 71: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

individu bukan determinan utama dalam menetapkan besaran risiko;

3. Dalam ARKL, risiko kesehatan oleh pajanan setiap risk agent

dibedakan atas efek karsinogenik dan nonkarsinogenik dengan

perhitungan yang berbeda. Dalam EKL, teknik analisis efek kanker

dan nonkanker pada dasarnya sama;

4. Dalam EKL, efek kesehatan (kanker dan nonkanker) yang

ditentukan dengan berbagai pernyataan risiko (seperti odd ratio,

relative risk atau standardized mortality ratio) didapat dari populasi

yang dipelajari. ARKL tidak dimaksudkan untuk mencari indikasi atau

menguji hubungan atau pengaruh dampak lingkungan terhadap

kesehatan (kejadian penyakit yang berbasis lingkungan) melainkan

untuk menghitung atau menaksir risiko yang telah, sedang dan akan

terjadi. Efek tersebut, yang dinyatakan sebagai nilai kuantitatif dosis-

respon, harus sudah ditegakkan lebih dahulu, yang didapat dari luar

sumber-sumber populasi yang dipelajari, bahkan dari studi-studi

toksisitas uji hayati (bioassay) atau studi keaktifan biologis risk agent.

5. Dalam ARKL, besaran risiko (dinyatakan sebagai RQ untuk

nonkarsinogenik dan ECR untuk karsinogenik) tidak dibaca

sebagai perbandingan lurus (directly proportional) melainkan

sebagai probalitias. Dalam EKL pernyataan risiko seperti OR, RR

atau SMR dibaca sebagai perbandingan lurus. Jadi misalnya, RQ

= 2 tidak dibaca sama dengan OR = 2.

Page 72: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

6. Kuantitas risiko nonkarsinogenik dan karsinogenik digunakan untuk

merumuskan pengelolaan dan komunikasi risiko secara lebih

spesifik. ARKL menawarkan pengelolaan risiko secara kuantitatif

seperti penetapan baku mutu dan reduksi konsentrasi.

Pengelolaan dan komunikasi risiko bukan bagian integral studi EKL

dan, jika ada, hanya relevan untuk populasi yang dipelajari

(Rahman, 2007).

Epidemiologi Kesehatan Lingkungan umumnya dilakukan atas

dasar kejadian penyakit (disease oriented) atau kondisi lingkungan

yang spesifik (agent oriented), sedangkan Analisis Risiko Kesehatan

Lingkungan bersifat agent specific dan site specific. Analisis risiko

kesehatan lingkungan adalah proses perhitungan atau perkiraan risiko

pada suatu organisme sasaran, sistem atau (sub)populasi, termasuk

identifikasi ketidakpastian-ketidakpastian yang menyertainya, setelah

terpajan oleh agent tertentu, dengan memerhatikan karakterisktik yang

melekat pada agent itu dan karakterisktik system sasaran yang

spesifik. Metode, teknik dan prosedur analisis risiko kesehatan

lingkungan saat ini dikembangkan dari paradigma analisis risiko yang

terbagan pada gambar 2.2. berikut (NRC, 1983) :

PENELITIAN ANALISIS RISIKO MANAJEMEN

RISIKO

Pemeriksaan :

LaboratoriumLapangan

KlinikEpidemiologi

Mekanisme toksisitas :

pengembanganmetode dan validasi

Identifikasi bahaya :

agen kimia, fisika,biologi yangberbahaya

Analsisidosis-respons :

Bagaimana dosis

Karakterisasi risiko :

Efek apa yangmungkin akan terjadi

Pengembanganperaturan

perundang-undangan

Pertimbanganekonomi, sosial,politik dan teknis

Page 73: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Gambar 2.2 Paradigma Analisis Risiko (NRC, 1983)

Dalam Public Health Assessment kedua studi tersebut dapat

digabungkan dengan tidak menghilangkan cirinya masing-masing.

Analisis risiko kesehatan lingkungan mampu meramalkan besaran

tingkat risiko secara kuantitatif sedangkan epidemiologi kesehatan

lingkungan dapat membuktikan apakah prediksi itu sudah terbukti atau

belum. Public Health Assessment tidak saja memberikan estimasi

numerik risiko kesehatan melainkan juga perspektif kesehatan

masyarakat dengan memadukan analisis mengenai kondisi-kondisi

pemajanan setempat, data efek-efek kesehatan dan kepedulian

masyarakat (NRC, 1983).

1. Prinsip dasar ARKL

AKRL berjalan dengan proses yang dibagankan dalam alur

pengambilan keputusan seperti pada gambar 2.3 berikut ini.

Page 74: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Gambar 2.3 Ilustrasi logika pengambilan keputusan untuk menetukan

tipe studi yang dapat dilakukan dalam mempelajari efek

lingkungan terhadap kesehatan manusia (Rahman, 2007)

Decesion logic ini menentukan komponen studi mana yang

dapat dilakukan berdasarkan data dan informasi awal yang tersedia.

Decesion logic ini dijelaskan dalam Guidance for ASTDR Health

Studies (ATSDR, 1996).

Secara garis besarnya analisis risiko kesehatan lingkungan

(ARKL) menurut National Research Council (NRC) terdiri dari empat

tahap kajian, yaitu : Identifikasi bahaya, Analisis pemajanan, Analisis

dosis-respon, dan Karakterisasi risiko (NRC, 1983).

Kategori 1a :

Dosis-respon

risk agent telah

tersedia

Kategori 1b :

Dosis-respon

risk agent

belum tersedia

ARKL

EKL

Penyelidikan efekbiologis kesehatan yangmasuk akal

Penyelidikan pajanan(sumber yang lalu dansekarang, produksi danpelepasan)

Kategori 2 :

Pajanan manusia

pada tingkat yang

harus dipedulikan

belum cukup

terdokumentasi

Kategori 1 :

Pajanan manusia

pada tingkat yang

harus dipedulikan

terdokumentasi Tipe, media,

konsentrasi risk

agents (polutan)

Jalur pajanan

Populasi berisiko

Page 75: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Langkah – langkah ini tidak harus dilakukan secara berurutan,

kecuali karakterisasi risiko sebagai tahap terakhir. Karakterisasi risiko

kesehatan pada populasi berisiko dinyatakan secara kuantitatif dengan

menggabungkan analisis dosis-respon dengan analisis pemajanan.

Nilai numerik estimasi risiko kesehatan kemudian digunakan untuk

merumuskan pilihan-pilihan manajemen risiko untuk mengendalikan

risiko tersebut. Selanjutnya opsi-opsi manajemen risiko itu

dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan agar risiko

potensial dapat diketahui, diminimalkan atau dicegah (NRC, 1983).

2. Metode, Teknik dan Prosedur ARKL

Kajian ARKL dimulai dengan memeriksa secara cermat

apakah data dan informasi berikut sudah tersedia (ATSDR, 2005) :

a. Jenis spesi kimia risk agent.

b. Dosis referensi untuk setiap jenis spesi kimia risk agent.

c. Media lingkungan tempat risk agent berada (udara, air, tanah,

pangan).

d. Konsentrasi risk agent dalam media lingkungan yang

bersangkutan.

e. Jalur-jalur pemajanan risk agent (sesuai dengan media

lingkungannya).

f. Populasi dan sub-sub populasi yang berisiko.

g. Gangguan kesehatan (gejala-gejala penyakit atau penyakit-

penyakit) yang berindikasikan sebagai efek pajanan risk agent

yang merugikan kesehatan pada semua segmen populasi

berisiko.

Page 76: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Jika sekurang-kurangnya data dan informasi 1 s/d 4 sudah

tersedia, ARKL sudah bisa dikerjakan. Ada dua kemungkinan kajian

ARKL yang dapat dilakukan, yaitu (NRC, 1983) :

a. Evaluasi di atas meja (Desktop Evaluation), selanjutnya disebut

ARKL Meja. Analisis risiko kesehatan lingkungan (ARKL) meja

dilakukan untuk menghitung estimasi risiko dengan segera tanpa

harus mengumpulkan data dan informasi baru dari lapangan.

Evaluasi di atas meja hanya membutuhkan konsentrasi risk agent

dalam media lingkungan bermasalah, dosis referensi risk agent dan

nilai default faktor-faktor antropometri pemajanan untuk menghitung

asupan menurut Persamaan (1).

b. Kajian lapangan (Field Study), selanjutnya disebut ARKL Lengkap.

ARKL Lengkap pada dasarnya sama dengan evaluasi di atas meja

namun didasarkan pada data lingkungan dan faktor-faktor

pemajanan antropometri sebenarnya yang didapat dari lapangan,

bukan dengan asumsi atau simulasi. Kajian ini membutuhkan data

dan informasi tentang jalur pemajanan dan populasi berisiko.

Berikut adalah langkah-langkah ARKL, baik ARKL meja

maupun ARKL Lengkap.

a. Identifikasi Bahaya

Page 77: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Identifikasi bahaya atau hazard identification adalah tahap

awal analisis risiko kesehatan lingkungan untuk mengenali risiko.

Tahap ini adalah suatu proses untuk menentukan bahan kimia yang

berpengaruh terhadap kesehatan manusia, misalnya kanker dan

cacat lahir (Mukono, 2002).

Data identifikasi bahaya risk agent dari berbagai sumber

pencemaran dapat dirangkum dalam suatu tabel. Bila data awal

tidak tersedia, harus dilakukan pengukuran pendahuluan dengan

sedikitnya 2 sampel yang mewakili konsentrasi risk agent paling

tinggi dan paling rendah. Selanjutnya dihitung Risk Quotient (RQ)

untuk asupan konsentrasi risk agent. Bila ternyata RQ> 1 berarti

ada risiko potensial dan perlu untuk dikendalikan. Sedangkan bila

RQ ≤ 1 untuk sementara pencemaran dinyatakan masih aman dan

belum perlu dikendalikan (Rahman, 2007).

b. Analisis Pemajanan

Analisis pemajanan atau exposure assessment yang

disebut juga penilaian kontak, bertujuan untuk mengenali jalur-jalur

pajanan risk agent agar jumlah asupan yang diterima individu

dalam populasi berisiko bisa dihitung. Data dan informasi yang

dibutuhkan untuk menghitung asupan adalah semua variabel yang

terdapat dalam persamaan (1) (ATSDR, 2005).

× × ×

×

(1)

Page 78: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Keterangan :

I : Asupan (intake), mg/kg/hari

C : konsentrasi risk agent, mg/M3 untuk medium udara, mg/L untukair minum, mg/kg untuk makanan atau pangan

R : laju asupan atau konsumsi, M3/jam untuk inhalasi, L/hari untukair minum, g/hari untuk makanan

fE : frekuensi pajanan

Dt : durasi pajanan, tahun (real time atau proyeksi, 30 tahun untuknilai default residensial)

Wb : Berat badan, kg

tavg : Periode waktu rata-rata (Dt x 365 hari/tahun untuk zatnonkarsinogen, 70 tahun x 365 hari/tahun untuk zat karsinogen)

Frekuensi pajanan (fE), kebiasaan apa yang dilakukan setiap

tahun meninggalkan tempat mukim seperti pulang kampung, mengajak

anak berlibur ke rumah orang tua, rekreasi dan sebagainya dalam

hitungan hari. Untuk durasi pajanan (Dt), harus diketahui berapa lama

sesungguhnya (real time) responden berada di tempat mukim sampai

saat survey dilakukan dalam hitungan tahun. Selain durasi pajanan

lifetime, durasi pajanan real time penting untuk dikonfirmasi dengan

studi epidemiologi kesehatan lingkungan (EKL) apakah estimasi risiko

kesehatan sudah terindikasikan (ATSDR, 2005).

Konsentrasi risk agent dalam media lingkungan diperlakukan

menurut karakteristik statistiknya. Jika distribusi konsentrasi risk agent

normal, bisa digunakan nilai arithmetik meannya. Jika distribusinya

tidak normal, harus digunakan log normal atau mediannya. Normal

tidaknya distribusi konsentrasi risk agent bisa ditentukan dengan

Page 79: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

menghitung coefficience of variance(CoV), yaitu SD dibagi mean. Jika

CoV ≤ 20% distribusi dianggap normal dan karena itu dapat digunakan

nilai mean (NRC, 1983). Sebelum nilai default nasional tersedia

berdasarkan hasil survey maka tE, fE dan Wb dapat dipakai sebagai

nilai numerik faktor antropometri pemajanan.

c. Analisis Dosis-Respon

Analisis dosis-respon, disebut juga dose-response assessment

atau toxicity assessment, menetapkan nilai-nilai kuantitatif toksisitas

risk agent untuk setiap bentuk spesi kimianya. Toksisitas dinyatakan

sebagai dosis referensi (reference dose, RfD) untuk efek-efek

nonkarsinogenik dan Cancer Slope Factor (CSF) atau Cancer Unit

Risk (CCR) untuk efek-efek karsinogenik. Analisis dosis-respon

merupakan tahap yang paling menentukan karena ARKL hanya bisa

dilakukan untuk risk agent yang sudah ada dosis-responnya.

Menurut IPCS, Reference dose adalah toksisitas kuantitatif

nonkarsinogenik, menyatakan estimasi dosis pajanan harian yang

diprakirakan tidak menimbulkan efek merugikan kesehatan meskipun

pajanan berlanjut sepanjang hayat.

Dosis referensi dibedakan untuk pajanan oral atau tertelan

(ingesi, untuk makanan dan minuman) yang disebut RfD (saja) dan

untuk pajanan inhalasi (udara) yang disebut reference concentration

(RfC). Dalam analisis dosis-respon, dosis dinyatakan sebagai risk

Page 80: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

agent yang terhirup (inhaled), tertelan (ingested) atau terserap melalui

kulit (absorbed) per kg berat badan per hari (mg/kg/hari). (US-EPA,

1997).

Dosis yang digunakan untuk menetapkan RfD adalah yang

menyebabkan efek paling rendah yang disebut NOAEL (No Observed

Adverse Effect Level) atau LOAEL (Lowest Observed Adverse Effect

Level). NOAEL adalah dosis tertinggi suatu zat pada studi toksisitas

kronik atau subkronik yang secara statistik atau biologis tidak

menunjukkan efek merugikan pada hewan uji atau pada manusia

sedangkan LOAEL berarti dosis terendah yang (masih) menimbulkan

efek. Secara numerik NOAEL selalu lebih rendah daripada LOAEL.

RfD atau RfC diturunkan dari NOAEL atau LOAEL menurut persamaan

berikut ini (ATSDR, 2005) :

UF adalah uncertainty factor (faktor ketidakpastian) dengan

nilai UF1 = 10 untuk variasi sensitivitas dalam populasi manusia (10H,

human), UF2 = 10 untuk ekstrapolasi dari hewan ke manusia (10A,

animal), UF3 = 10 jika NOAEL diturunkan dari uji subkronik, bukan

kronik, UF4 = 10 bila menggunakan LOAEL bukan NOAEL. MF adalah

modifying factor bernilai 1 s/d 10 untuk mengakomodasi kekurangan

RfD atau RfC =

NOAEL atau LOAEL

UF1x UF2x UF3x UF4x MF

(2)

Page 81: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

atau kelemahan studi yang tidak tertampung UF. Penentuan nilai UF

dan MF tidak lepas dari subyektivitas. Untuk menghindari

subyektivitas, tahun 2004 telah diajukan model dosis-respon baru

dengan memecah UF menjadi ADUF (= 100,4 atau 2,5), AKUF (= 100,6

atau 4,0), HDUF (=100,5 atau 3,2) dan HKUF (=100,5 atau 3,2)8

(ATSDR, 2005).

d. Karakteristik Risiko

Karakteristik risiko kesehatan dinyatakan sebagai Risk Quotient

(RQ, tingkat risiko) untuk efek-efek nonkarsinogenik dan Excess

Cancer Risk (ECR) untuk efek-efek karsinogenik . RQ dihitung dengan

membagi asupan nonkarsinogenik (Ink) risk agent dengan RfD atau

RfC-nya menurut persamaan (3) (ATSDR, 2005).

Baik Ink maupun RfD atau RfC harus spesifik untuk bentuk spesi

kimia risk agent dan jalur pajanannya. Risiko kesehatan dinyatakan

ada dan perlu dikendalikan jika RQ> 1. Jika RQ ≤ 1, risiko tidak perlu

dikendalikan tetapi perlu dipertahankan agar nilai numerik RQ tidak

melebihi satu.

ECR dihitung dengan mengalikan CSF dengan asupan

karsinogenik risk agent (Ink) menurut Persamaan (4). Harap

diperhatikan, asupan karsinogenik dan nonkarsinogenik tidak sama

RfCatauRfD

InkRQ (3)

Page 82: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

karena perbedaan bobot waktu rata-ratanya (tavg) seperti dijelaskan

dalam keterangan rumus asupan Persamaan (1) (ATSDR, 2005).

ECR = CSF × Ink

Baik CSF maupun Ink harus spesifik untuk bentuk spesi kimia

risk agent dan jalur pajanannya. Karena secara teoritis

karsinogenisitas tidak mempunyai ambang non threshold, maka risiko

dinyatakan tidak bisa diterima (unacceptable) bila E-6<ECR<E-4.

Kisaran angka E-6 s/d E-4 dipungut dari nilai default karsinogenistas

US-EPA(US-EPA, 1997).

e. Manajemen Risiko

Berdasarkan karakterisasi risiko, dapat dirumuskan pilihan-

pilihan manajemen risiko untuk meminimalkan RQ dan ECR dengan

memanipulasi (mengubah) nilai faktor-faktor pemajanan yang tercakup

dalam Persamaan (1) sedemikian rupa sehingga asupan lebih kecil

atau sama dengan dosis referensi toksisitasnya. Pada dasarnya hanya

ada dua cara untuk menyamakan Ink dengan RfD atau RfC atau

mengubah Ink sedemikian rupa sehingga ECR tidak melebihi E-4, yaitu

menurunkan konsentrasi risk agent atau mengurangi waktu kontak. Ini

berarti hanya variabel-variabel Persamaan (1) tertentu saja yang bisa

diubah-ubah nilainya. Berikut, penjelasan cara-cara manajemen risiko

secara lengkap (Basri, 2010).

(4)

Page 83: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

3mg/mavgb

t

tW

DfRCRFC

1) Menurunkan konsentrasi risk agent bila pola dan waktu konsumsi

tidak dapat di ubah. Cara ini menggunakan prinsip RFC= Ink, maka

persamaan yang digunakan adalah :

2) Mengurangi pola (laju) asupan bila konsentrasi risk agent dan

waktu konsumsi tidak dapat diubah. Persamaan yang digunakan

dalam manajemen risiko cara ini adalah :

3) Mengurangi waktu kontak bila konsentrasi risk agent dan pola

konsumsi tidak dapat di ubah. Cara ini sering juga digunakan

dalam strategi studi Epidemiologi Kesehatan Lingkungan.

Persamaan yang digunakan disini adalah :

E. Tinjauan Tentang Penelitian Terkait

Penelitian tentang analisis risiko kesehatan pajanan residu

klorpirifos di Indonesia belum pernah dilakukan. Namun penelitian yang

berhubungan dangan pajanan klorpirifos terus berkembang di seluruh

dunia. Di bawah ini terdapat beberapa penelitian yang terkait hubungan

antara paparan klorpirifos terhadap risiko kesehatan.

/harim3

tE

avgB

DfC

tWRfCR

tahunE

avgB

tfRC

tWRfDD

(5)

(6)

(7)

Page 84: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan antara lain seperti tercantum dalam tabel 2.5:

Tabel 2.5 Beberapa Penelitian Paparan Klorpirifos Terhadap Risiko Kesehatan

NoPeneliti dan

DesainSubyek Tujuan Hasil

1 Lee, et al.2010 305 insiden kanker

kolorektal petani yang

didiagnosa selama

masa studi 1993-2002

di Lowa dan Carolina

Utara.

Mengetahui hubungan pestisida

pertanian dan insiden kanker

kolorektal

Dari 50 jenis pestisida yang diujikan,

penggunaan klorpirifos menunjukkan

pajanan yang signifikan dengan P =

0,008 dan 95% confidence interval 2,7

kali lipat: 1,2-6,4

2 Sudewa,

Suprapta Dan

Mahendra.

ECOTROPHIC,

Studi

observasional

pedagang sayuran

kubis dan kacang

panjang yang ada di

pasar Badung,

Denpasar

mengetahui tingkat residu

pestisida yang terdapat pada

sayuran kubis dan kacang

panjang yang dijual di Pasar

Badung, Denpasar

nilai residu klorpirifos pada kubis dan

kacang panjang melebihi nilai MRL

(Maximum Residue Limit) pada

sayuran yaitu sebesar 0,5 ppm

3 Alavanja.M, et

al.,2003Penelitian

prospective

Laki-laki sebanyak

55.332 orang dimana

566 penderita kanker

melihat hubungan paparan

pestisida dan kejadian kanker

prostat di Lowa dan Carolina

Selama proses penelitian sebanyak

1.197 kematian terjadi dalam waktu 4,3

tahun.

Page 85: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

cohort study prostat dan 54.766

control.

Utara. Berdasarkan hasil uji statististik diperoleh

kesimpulan bahwa paparan pestisida

dapat meningkatkan risiko 1,14 kali

menderita kanker prostat

Page 86: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

F. Kerangka Teori

Gambar 2.4. Kerangka Teori

AnalisisDosisResponKonsumsi/Oral

Zat Aktif Lain

EnzimKholinesterase

GangguanSistem SyarafAnalisis

KarakteristikRisiko

SumberPestisida Lain

Residu Pestisida

Klorpirifos pada Bayam

Tubuh

Manusia

Tingkat Risiko

Konsentrasiklorpirifos

Laju Asupan Durasi Paparan Frekuensi Paparan Berat Badan

Sayur Bayam

IdentifikasiBahaya

AnalisisPaparan

ProduksiBayam

AplikasiPestisida

PestisidaKlorpirifos

Pencemaran

Lingkungan

Air

Negatif Positif

Udara Tanah

Organisme

Lain

Page 87: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

G. Kerangka Konsep

Gambar 2.5 Kerangka Konsep

Keterangan:

: Varabel Independen

: Variabel Dependen

: Variabel Tidak Diteliti

ResiduKlorpirifos pada

bayam

Tingkat Risiko

Zat Aktif LainEnzim

Kholinesterase

Konsentrasi klorpirifos Laju Asupan (IR) Durasi Paparan Frekuensi paparan Berat badan

Page 88: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

H. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel

A. Variabel pengaruh (independent variabel ) adalah konsentrasi residu

pestisida organofosfat zat aktif klorpirifos pada sayur bayam, durasi

paparan, laju asupan, frekuensi paparan, dan berat badan.

B. Variabel terpengaruh (dependent variabel), adalah tingkat risiko (RQ)

kesehatan yang akan timbul akibat pajanan residu klorpirifos. Jadi

pendekatan Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) digunakan

untuk menghitung tingkat risiko yang dijadikan sebagai variabel

dependen dalam penelitian ini.

Page 89: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

2. Defenisi Operasional

Defenisi operasional penelitian tersaji dalam tabel 2.6 berikut ini :

NOVARIABEL DEFINISI OPERASIONAL SKALA ALAT UKUR CARA UKUR STANDAR

HASIL

UKUR

1

Konsentrasi

Residu

Klorfirifos

Konsentrasi Klorpirifos yang terukur,

memenuhi syarat atau tidak berdasarkan

BMR

Rasio

Gas

Chromatography

(GC)

Pemeriksaan

Laboratorium

Normal : ≤ 1 mg/kg

Tidak Normal : > 1 mg/kg

(EPA, 2006)mg/kg

2 Laju AsupanBanyaknya Bayam yang

dikonsumsi dalam waktu 24 jamRasio Kuesioner/rumus Hitung -

m³/Ha

ri

3

Durasi

Pajanan

Lamanya waktu (tahun)

responden mengkonsumsi

Bayam mengandung residu Klorfirifos

Rasio Kuesioner/rumus Hitung - Tahun

4Frekuensi

Pajanan

Banyaknya jumlah hari dalam satu tahun

responden mengkonsumsi Bayam Yang

mengandung Residu Klorpirifos

Rasio Kuesioner/rumus Hitung -Hari/

Tahun

5 Berat Badan

Berat Badan responden

pada saat dilakukan

penelitian

RasioTimbangan

Berat Badan

Melakukan

Penimbangan- Kg

Page 90: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

6Tingkat Risiko

Nilai prakiraan besarnya kemungkinaan

untuk terjadinya gangguan kesehatan

pada responden akibat pajanan residu

klorpirifos dalam bayamRasio Kuesioner/rumus Hitung

RQ > 1 adalah indikasi besarnya

risiko untuk terjadinya gangguan

kesehatan sehingga perlu dilakukan

pengendalian dan manajemen

risiko.

RQ < 1 adalah indikasi kecilnya

risiko bagi terjadinya gangguan

kesehatan sehingga kondisinya

perlu dipertahankan

-

Page 91: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode observasional dengan Rancangan Analisis

Risiko Kesehatan Lingkungan yaitu berupa pengamatan pada sampel - sampel untuk

mengetahui variabel yang diteliti yaitu pestisida klorpirifos di Desa Tinggimae dan

Moncobalang Kec. Barombong Kab. Gowa. Dari hasil pemeriksaan sampel kemudian

dianalisa dengan menggunakan formula untuk mengetahui besar risiko kesehatan yang

dapat timbul.

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

1. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan berlangsung selama 3 bulan, mulai dari bulan

Februari - April 2013 yang diawali dengan survei lokasi dan penelusuran daftar

pustaka. Dalam hal pengambilan sampel dan wawancara responden, penelitian ini

dilaksanakan pada tanggal 20 Februari 2013 – 28 Maret 2013 di Desa Tinggimae dan

Moncobalang Kecamatan Barombong Kabupaten Gowa.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Moncobalang dan Tinggimae Kecamatan

Barombong Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis wilayah

Kabupaten Gowa terletak pada 119,3773o Bujur Barat dan 120,0317o Bujur Timur serta

5,0829342862o Lintang Utara dan 5,577305437o Lintang Selatan, dimana wilayahnya

terletak di bagian selatan Provinsi Sulawesi Selatan dengan luas wilayah 1.883,33

Page 92: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

km atau setara dengan 3,01 % dari luas Provinsi Sulawesi Selatan, dengan batas-

batas wilayah sebagai berikut:

1). Sebelah Utara :Kota Makassar, Kabupaten Maros, dan Kabupaten Bone

2). Sebelah Timur : Kabupaten Sinjai, Bulukumba, dan Bantaeng

3).Sebelah Selatan : Kabupaten Takalar dan Jeneponto

4). Sebelah Barat : Kabupaten Takalar dan Kota Makassar.

Sedangkan batas wilayah untuk Kecamatan Barombong sebagai berikut :

1). Sebelah Utara : Sungai Je’neberang

2). Sebelah Timur : Kecamatan Bajeng dan Pallangga

3). Sebelah Selatan : Kab. Takalar

4). Sebelah Barat : Kota Makassar.

Keadaan geografis wilayah Kabupaten Gowa terdiri atas dataran tinggi seluas

1.509,87 km atau setara dengan 80,17 % yang meliputi sembilan kecamatan yakni

Parangloe, Manuju, Tinggi Moncong, Tombolo Pao, Parigi, Bungaya, Bontolempangan,

Tompobulu dan Biringbulu. Sedangkan dataran rendah seluas 373,46 km atau setara

dengan 19,83 % yang juga terdiri dari sembilan kecamatan yaitu Bontonompo,

Bontonompo Selatan, Bajeng, Bajeng Barat, Pallangga, Barombong, Somba Opu,

Bontomarannu dan Pattallassang. Wilayah Administrasi Kabupaten Gowa terdiri dari 18

kecamatan, 122 desa dan 45 kelurahan.

Jumlah penduduk Kabupaten Gowa pada tahun 2010 sebanyak 652.329 jiwa

yang terdiri dari 320.568 jiwa atau 49,1 % penduduk laki-laki dan 331.761 jiwa atau

50,9 % penduduk perempuan. Jumlah penduduk di Kecamatan Barombong Tahun

2013 adalah 35.055 jiwa yang terdiri dari laki-laki 17.279 jiwa dan perempuan 17.776

jiwa. Sedangkan jumlah penduduk di Desa Moncobalang dan Tinggimae masing-

masing yaitu 4.226 dan 4.402 jiwa.

Page 93: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Desa Moncobalang dan Tinggimae marupakan daerah sentra petani bayam,

sebagian besar masyarakatnya adalah petani khususnya petani sayur bayam. Para

petani di daerah tersebut sangat berisiko terpajan pestisida. Dengan dosis dan durasi

tertentu pajanan pestisida dapat menyebabkan penyakit baik akut maupun kronik.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Moncobalang sebagian besar

penyakit di Desa Moncobalang dan Tinggimae adalah penyakit yang berhubungan

dengan pajanan pestisida seperti reumatik, dermatitis, hipertensi dan sakit kepala. Data

10 penyakit terbesar di Puskesmas Moncobalang dapat dilihat pada tabel 3.1 di bawah

ini.

Tabel 3.1 Sepuluh Penyakit Terbesar di Wilayah Kerja PuskesmasMoncobalang Kec. Barombong Tahun 2012.

No Nama Penyakit Jumlah Penderita

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

ISPA

Gastritis

Reumatik

Dermatitis

Penyakit Pulpa

Infeksi Kulit

Hipertensi

Sakit Kepala

Diare

Penyakit lainnya

4763

1909

1669

971

911

906

850

746

714

466

Sumber : Puskesmas Moncobalang 2012

Page 94: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Kecamatan Barombong memiliki wilayah strategis yang berbatasan langsung

dengan Kota Makassar sehingga memudahkan para petani untuk menjual hasil

pertaniannya. Untuk mecapai Kota Makassar hanya membutuhkan waktu ± 15 menit.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi penelitian adalah keseluruhan obyek penelitan atau obyek yang diteliti

(Notoatmodjo, 2005). Maka populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penduduk

yang tinggal menetap dan sayur bayam yang ditanam di Desa Tinggimae dan

Moncobalang Kecamatan Barombong Kabupaten Gowa.

2. Sampel

a. Kriteria Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian masyarakat yang bermukim dan

sayur bayam di Desa Tinggimae dan Moncobalang Kecamatan Barombong

Kabupaten Gowa.

Adapun kriteria sampel responden dalam penelitian ini adalah:

a) Menetap di Desa Tinggimae dan Moncobalang Kabupaten Gowa.

b) Mengkonsumsi sayur bayam

c) Bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

Sedangkan sampel sayur bayam yang diambil adalah sebagian sayur bayam

yang ada di kebun petani di Desa Tinggimae dan Moncobalang, dan di pasar

tempat sayur tersebut di jual.

Adapun kriteria petani sampel dalam penelitian ini adalah :

a) Petani yang menanam bayam di Desa Tiggimae dan Moncobalang Kab.

Gowa.

b) Petani bayam yang menggunakan pestisida zat aktif klorpirifos.

Page 95: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

b. Metode pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Purposive

sampling adalah pengambilan sampel yang berdasarkan pada suatu

pertimbangan tertentu (Notoatmodjo, 2005).

c. Besar Sampel

Jumlah sampel dalam penelitian ini dihitung berdasarkan proporsi

kejadian atau kasus yang pernah terjadi sebelumnya. Bila tidak diketahui

proporsi kasus sebelumnya, maka ditetapkan proporsi sebesar 0,5 atau 50%

(Notoatmodjo, 2005). Jumlah penduduk di Kec. Barombong hingga bulan Maret

2013 yaitu 35.055 jiwa terdiri dari 6 desa dan 1 kelurahan. Adapun jumlah

penduduk di Desa Tinggimae dan Moncobalang sebanyak 4.226 dan 4.402

jiwa sehingga totalnya menjadi 8.628 jiwa (Anonim, 2012 a). Ukuran sampel

dalam penarikan sampel untuk proporsi menggunakan rumus sebagai berikut :

n =N

1 + N (d )

Keterangan :

N = Besar populasi

n = Jumlah sampel

p = proporsi

d = tingkat kepercayaan / ketepatan yang diinginkan

Nilai d yang digunakan: 0,1 maka jumlah sampel dalam penelitian

ini adalah :

n =N

1 + N (d )

n =8.628

1 + 8.628(0.1 )

n = 98,85 dibulatkan menjadi 100 orang

Page 96: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Sampel sayur diambil di Desa Tinggimae dan Moncobalang, dan di

pasar tempat sayur tersebut di pasarkan. Sampel yang di ambil pada kebun

petani jumlahnya tiga sampel dengan variasi masa tanam yang berbeda untuk

melihat perbedaan residu pada sampel. Adapun lokasi titik pengambilan

sampel di setiap kebun yaitu diambil pada bagian tepi luar, bagian tengah dan

bagian tepi dalam kemudian di campur jadi satu.

Sampel I kebun petani diambil berdasarkan hasil wawancara awal

bahwa pestisida zat aktif klorpirifos hanya digunakan pada saat penanaman

benih bayam, dimana benih bayam direndam dengan pestisida Dursban agar

menghindarkan benih tersebut dari serangga selanjutnya untuk pertumbuhan

bayam digunakan pestisida merek lain sesuai jenis hama yang menyerang.

Sampel II di kebun petani diambil berdasarkan hasil wawancara, petani

tersebut hanya menggunakan satu jenis pestisida merek Dursban (zat aktif

klorpirifos) hingga bayam tersebut dipanen dan takaran penggunaan racunnya

disesuaikan berdasarkan petunjuk dengan frekuensi semprot hanya tiga kali

hingga tiba masa panen. Sedangkan sampel III diambil berdasarkan

pertimbangan penggunaan racun Dursban yang telah melebihi takaran dan

frekuensi semprot empat kali hingga tiba masa panen serta jarak semprot

sebelum panen hanya lima hari.

Adapun sampel bayam yang diambil di pasar jumlahnya tiga yaitu Pasar

Terminal Sungguminasa, Pasar Kalegowa dan Pasar Panciro dengan membeli

kepada beberapa pedagang kemudian di campur menjadi satu. Sampel bayam

IV yang diambil di pasar Sungguminasa berdasarkan pertimbangan survei

awal, sampel diambil pada tiga pedagang bayam yang menggunakan pestisida

dan banyak pembelinya kemudian dicampur menjadi satu sampel. Sampel

bayam V diambil di pasar Kalegowa dengan pertimbangan bayam yang dijual

Page 97: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

di pasar tersebut pada umumnya berasal dari daerah Kec. Barombong dan

bayam yang dijual sangat bagus tidak berlubang. Sedangkan sampel VI pasar

Panciro diambil dengan pertimbangan tempat penjualan para petani bayam

mejual sayur bayamnya di pasar Panciro yang berjarak 1km dari daerah Kec.

Barombong sehingga besar kemungkinan memperoleh bayam yang

mengandung residu klorpirifos. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah

enam sampel. Dari hasil analisis sampel kemudian diandingkan dengan

ketetapan MRL (Maximum residue limit) US-EPA (2006) untuk sayuran

berdaun yaitu 1 mg/kg.

D. Metode Analisis Residu Klorpirifos

Metode in digunakan untuk penetapan residu pestisida golongan organofosfat,

salah satunya pengujian residu zat aktif klorpirifos. Metode ini mengacu pada metode

pengujian residu pestisida dalam hasil pertanian oleh Direktorat Jenderal Tanaman

Pangan Tahun 2006.

1. Prinsip

Pestisida diekstraksi dengan aseton, diklorometana dan petroleum eter 400 -

600. Ekstrak diuapkan sampai hamper kering dan residu dilarutkan dalam iso oktana

/ toluena. Umumnya tidak diperlukan pembersihan (clean up), dan ditetapkan

dengan alat kromatograf gas menggunakan detektor spesifik untuk senyawa yang

mengandung unsur fosfor, yaitu detektor fotometri nyala (FPD) dengan filter P (526

nm) atau detektor ionisasi nyala alkali (AFID).

2. Pereaksi

a. Aseton 30 ml

b. Diklorometana 30 ml

c. Petroleum eter 400 - 600 30 ml

d. Iso oktana 5 ml

e. Toluena

Page 98: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

3. Peralatan

a. Gas Chromatografi Agilent A dengan detektor FPD (Flame Photometric

Detector) dengan tıngkat ketelıtıan alat mampu mendeteksı hıngga

konsentrası rata-rata 0.05 ppm

b. Pencincang

c. Blender atau ultra turaks

d. Pisau

e. Talenan

f. Pipet ukur

g. Gelas Ukur

h. Pipet tetes

i. Labu bulat

j. Rotavapor

4. Prosedur Ekstaksi

a. Bayam yang telah dicincang, ditimbang seberat 15 gram.

b. Lumatkan dengan ultra turaks (blender) dengan 30 ml aseton 30

detik.

c. Tambahkan 30 ml diklorometan dan 30 ml Petroleum eter 400 - 600.

d. Campuran dilumatkan selama 30 detik

e. Sentrifugasi selama2 menit pada 4.000 rpm

f. Enap tuangkan fase organic

g. Pipet 25 ml fase organic ke dalam labu bulat

h. Pekatkan dalam rotavapor pada suhu tangas air 400 C sampai

hampir kering kemudian keringkan dengan mengalirkan gas

nitrogen gas nitrogen sampai kering

i. Larutkan residu dalam 5 ml iso oktana : toluene

5. Pembersihan (Clean Up)

Umumnya tidak diperlukan pembersihan

6. Penetapan

Page 99: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Suntikkan 1 – 2 µL ektrak ke dalam kromatograf gas dengan kondisi sebagai

berikut :

a. Gas Chromatografi Agilent A dengan detektor FPD (Flame Photometric

Detector)

b. Kolom kapiler : DB-5, panjang 30 m x 0,320 mm

c. Suhu oven : 100 0C – 25 0C

d. Suhu injector : 230 0C

e. Suhu detector : 250 0C

f. Gas Nitrogen UHP : 40 mL/min. Lalu hasilnya dengan menggunakan tabel.

7. Perhitungan

Bandingkan waktu lambat dan tinggi atau luas puncak kromatogram yang

diperoleh dari larutan cuplikan dan larutan baku pembanding.

8. Nilai Perolehan Kembali

Nilai perolehan kembali 80 – 100 %.

9. Batas Penetapan

Batas penetapan < 0,1 mg/kg.

E. Metode Pengumpulan Data

1. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari :

a. Data primer diperoleh dari hasil pemeriksaan residu klorpirifos dalam bayam di

Laboratorium Pengujian Pestisida PTPH Makassar di Kab. Maros, data hasil

wawancara kuesioner dan hasil penimbangan berat badan.

b. Data sekunder diperoleh dari pencatatan data-data tentang masyarakat dari

kantor Kecamatan Barombong dan Kantor Desa Tinggimae. Data kesehatan

diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Gowa dan Puskesmas

Page 100: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Moncobalang, serta data komoditi sayuran dan pestisida diperoleh dari Dinas

Pertanian Kab. Gowa tahun 2011 dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan

Holtikultura Sulawesi Selatan Tahun 2011.

2. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Data konsentrasi residu klorpirifos diambil dari sampel sayuran di Desa

Tinggimae dan Moncobalang yang terdiri dari 3 titik pengambilan sampel dan 3

sampel di pasar.

b. Data individu dengan pengisian kuesioner dan hasil penimbangan. Data

kuesioner diperoleh dari hasil wawancara peneliti dengan responden yang

mengkonsumsi bayam yang mengandung residu klorpirifos. Sebelum dilakukan

wawancara maka peneliti menanyakan kesediaan responden untuk dijadikan

sebagai subyek dalam penelitian. Data-data yang telah diperoleh selanjutnya

digunakan untuk menghitung asupan klorpirifos dalam bayam yang masuk ke

tubuh manusia melalui jalur oral.

3. Teknik Pengumpulan Data

Data-data primer yang telah dihitung kemudian dilanjutkan dengan tahap-tahap

sebagai berikut :

a. Editing (pemeriksaan data)

Editing yaitu kegiatan pengecekan terhadap semua isian kuesioner

yang telah dikumpulkan yang dilakukan setelah pengambilan data di lapangan

dan uji laboratorium telah selesai. Kegiatan ini untuk memastikan bahwa data

yang diperoleh tersebut semua telah terisi, konsisten, relevan, dan dapat

dibaca dengan baik.

b. Coding (pemberian kode)

Page 101: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Data yang telah terkumpul dan dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya

kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan

menggunakan perangkat software komputer program SPSS for windows

versi.17.00.

c. Entry (pemasukan data ke komputer)

Data yang telah dibersihkan kemudian dimasukkan ke program

komputer untuk diolah.

d. Cleaning Data Entry

Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam program

komputer guna menghindari terjadinya kesalahan pemasukan data.

e. Penyajian data / laporan

Disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan narasi sesuai

dengan referensi yang relevan serta grafik.

F. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan. Penelitian ini memperkirakan tingkat risiko

kesehatan pajanan residu pestisida klorpirifos dalam bayam pada masyarakat di Desa

Tinggimae dan Moncobalang Kecamatan Barombong Kabupaten Gowa.

Adapun tahapan analisis data dalam penelitian ini adalah :

1. Analisis Risiko

Page 102: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Analisis risiko kesehatan lingkungan yang dilakukan untuk mengetahui tingkat

pajanan responden (Intake / I) dan tingkat risiko responden (Risk Quotient / RQ)

(Rahman, 2007).

a. Perhitungan tingkat pajanan (intake) (ATSDR, 2005) :

Keterangan :

Ink : intake (asupan), jumlah risk agent yang diterima individu per berat badan

per hari (mg/kg/hari)

C : konsentrasi risk agent (mg/kg) atau (mg/L)

R : laju (rate) asupan (gr/hari) atau (L/hari)

fE : frekuensi pajanan tahunan (hari/tahun)

Dt : durasi pajanan (tahun)

Wb : berat badan (kg)

tavg : perioda waktu rata-rata (70 tahun x 365 hari/tahun) untuk efek karsinogen

b. Untuk mengetahui tingkat risiko kesehatan yang akan terjadi dari masing-

masing individu, maka dilakukan perhitungan RQ sesuai dengan persamaan

berikut (ATSDR, 2005) :

Hasil perhitungan RQ dapat menunjukkan tingkat risiko kesehatan

masyarakat akibat mengkomsumsi bayam yang mengandung klorpirifos.

Apabila RQ ≤ 1menunjukkan paparan masih berada di bawah batas normal

dan masyarakat yang mengkonsumsi bayam tersebut masih dalam batas

aman dari risiko menderita penyakit sepanjang hidupnya.

avgb

tE

tW

DfRCInk

RfD

InkRQ

Page 103: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Sedangkan, bila RQ > 1 menunjukkan paparan berada diatas batas normal

dan masyarakat yang mengkonsumsi bayam tersebut berisiko menderita

penyakit sepanjang hidupnya.

2. Analisis manajemen pengurangan risiko :

Analisis ini berguna untuk mengetahui manajemen pengurangan risiko kesehatan

akibat paparan klorpirifos pada bayam pada masyarakat Kec. Barombong Kab.

Gowa. Manajemen pengurangan risiko yang dapat digunakan adalah (Rahman,

2007) :

a. Penurunan konsentrasi :

b. Mengurangi laju konsumsi :

c. Membatasi durasi pajanan :

Keterangan :

Dt : Durasi pajanan (tahun)

RfD : Dosis referensi

WB : Berat badan (kg)

tavg : perioda waktu rata-rata (70 tahun untuk efek kanker)

C : konsentrasi bahan pencemar (mg/kg) atau (mg/L)

R : Laju (rate) asupan

fE : frekuensi pajanan tahunan (hari/tahun)

tahunE

avgB

tfRC

tWRfDD

mg/LtE

avgB

DfR

tWRfDC

L/haritEAs

avgB

DfC

tWRfDR

Page 104: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran hasil penelitian

a. Karakteristik responden

Responden yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 100 orang.

Responden dalam penelitian ini dibagi secara merata ke dua desa yaitu Moncobalang

dan Tinggimae Kecamatan Barombong. Data karakteristik responden secara lengkap

dapat dilihat pada tabel 4.1. Data pada tabel 4.1 diambil dengan menggunakan

kuesioner pada masyarakat di Desa Moncobalang dan Tinggimae yang mengkonsumsi

sayur bayam yang mengandung residu klorpirifos.

Tabel 4.1. Karakteristik responden menurut kelompok umur, jenis kelamin,tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan di Desa Moncobalang danTinggimae tahun 2013

No Karakteristik Jumlah %

1 Kelompok Umur :

a. 20 - 30 tahun

b. 31 - 40 tahun

c. 41 - 50 tahun

d. 51 - 60 tahun

e. 61 - 70 tahun

f. > 70 tahun

14

36

31

14

4

1

14

36

31

14

4

1

2 Jenis Kelamin

a. Laki-laki

b. Perempuan

31

69

31

69

3 Tingkat Pendidikan :

a. TTSD

b. SD

8

54

8

54

Page 105: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

c. SMP

d. SMA

e. Perguruan tinggi

26

10

2

26

10

2

4 Kebiasaan Merokok

a. Ya

b. Tidak

20

80

20

80

5 Lama Tinggal

a. 1-10 tahun

b. 11-20 tahun

c. 21-30 tahun

d. 31-40 tahun

e. 41-50 tahun

f. 51-60 tahun

g. > 60 tahun

20

11

21

15

19

11

3

20

11

21

15

19

11

3

6 Jenis Pekerjaan

a. Petani

b. PNS/TNI/POLRI

c. P. Swasta

d. IRT

e. Wiraswasta

f. Belum kerja

g. Lainnya

12

1

1

63

12

2

9

12

1

1

63

12

2

9

Sumber : Data Primer 2013

b. Residu klorpirifos dalam bayam

Pengukuran residu klorpirifos dalam sayur bayam dilakukan di laboratorium.

Sampel bayam diambil langsung di kebun petani bayam di Desa Moncobalang dan

Tinggimae, dan pasar. Adapun hasil pengukuran residu klorpirifos di dalam sayur

bayam dapat dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini.

Tabel 4.2 Residu klorpirifos dalam sayur bayam yang dikonsumsi masyarakatdi Desa Moncobalang dan Tinggimae tahun 2013.

No SampelKonsentrasi Residu

Klorpirifos (mg/kg)

Lokasi

Sampel

1. Bayam I 0,0089 kebun petani

Page 106: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Sumber : Data Primer 2013. Standar konsentrasi klorpirifos dalam bayam adalah 1mg/kg (EPA, 2006)

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa residu klorpirifos di dalam sayur bayam yang

diperoleh di Desa Moncobalang dan Tinggimae paling tinggi pada sampel III yaitu

3,9894 mg/kg dan telah melewati BMR yang ditetapkan US-EPA 2006 yaitu 1 mg/kg,

sedangkan yang paling rendah pada sampel IV (Pasar Sungguminasa) yaitu 0,0015

mg/kg. Adapun rata-rata residu dari seluruh sampel yang diperoleh yaitu 0,8392 mg/kg.

c. Laju asupan klorpirifos dalam bayam

Laju asupan merupakan banyaknya bayam yang dikonsumsi responden dalam

waktu 24 jam. Secara lengkap gambaran laju konsumsi sayur bayam pada responden

di Desa Moncobalang dan Tinggimae dapat dilihat pada tabel 4.3. di bawah ini.

Tabel 4.3. Laju asupan responden berdasarkan konsumsi bayam di Desa

Moncobalang dan Tinggimae tahun 2013

No Laju Asupan (gr/hari) Frekuensi Persen (%)

1 1 – 5 10 10

2 6 – 10 79 79

3 11 – 15 8 8

4 16 – 20 3 3

Total 100 100 %

2. Bayam II 0,8362 kebun petani

3. Bayam III 3,9894 kebun petani

4. Bayam IV 0,0015

Pasar Terminal

Sungguminasa

5. Bayam V 0,0028

Pasar

Kalegowa

6 Bayam VI 0,1964 Pasar Panciro

Page 107: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Sumber : Data Primer 2013

Nilai laju asupan diperoleh dari hasil wawancara responden, dimana

sebelumnya telah diukur bayam untuk memperoleh berat rata-rata bayam yaitu 20

gram perikat bayam. Setelah itu dilakukan wawancara untuk menanyakan jumlah

konsumsi bayam perikat dalam sehari kemudian dibagi dengan jumlah keluarga yang

mengkonsumsi bayam tersebut sehingga dapat diperoleh nilai asupan responden.

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa laju asupan terhadap 100 responden

berdasarkan konsumsi bayam yang mengandung residu klorpirifos dalam 24 jam, laju

asupan tertinggi yaitu 79 % responden mengkonsumsi bayam 6-10 gr/hari, sedangkan

laju asupan terendah yaitu 3 % responden mengkonsumsi bayam 16-20 gr/hari.

d. Durasi pajanan klorpirifos dalam bayam

Durasi pajanan adalah banyaknya waktu dalam tahun responden mengkonsumsi

bayam yang mengandung residu klorpirifos. Secara lengkap gambaran durasi pajanan

responden mengkonsumsi sayur bayam yang mengandung residu klorpirifos di Desa

Moncobalang dan Tinggimae dapat dilihat pada tabel 4.4. di bawah ini.

Tabel 4.4. Durasi pajanan berdasarkan konsumsi bayam yang mengandung

residu klorpirifos di Desa Moncobalang dan Tinggimae tahun 2013

No Durasi Pajanan (Tahun) Frekuensi Persen (%)

1 1 – 5 3 3

2 6 – 10 47 47

3 11 – 15 50 50

Total 100 100 %

Sumber : Data Primer 2013

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa durasi pajanan responden berdasarkan konsumsi

bayam yang mengandung residu klorpirifos, durasi pajanan tertinggi yaitu 50 %

Page 108: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

responden mengkonsumsi bayam selama 11-15 tahun, dan durasi pajanan paling

rendah yaitu 3 % responden mengkonsumsi bayam selama 1-5 tahun.

e. Frekuensi pajanan klorpirifos dalam bayam

Frekuensi pajanan merupakan jumlah hari dalam setahun dimana responden

tinggal atau berada di lokasi penelitian dan mengkonsumsi bayam yang mengandung

residu klorpirifos. Secara lengkap gambaran frekuensi pajanan responden dapat dilihat

berdasarkan konsumsi bayam pada tabel 4.5 di bawah ini.

Tabel 4.5. Frekuensi pajanan responden berdasarkan konsumsi bayam yang

mengandung residu klorpirifos di Desa Moncobalang dan

Tinggimae tahun 2013

NoFrekuensi pajanan

(Hari/Tahun) Frekuensi Persen (%)

1 1 – 100 68 68

2 101 – 200 28 28

3 201 – 300 1 1

4 301 - 400 2 2

5 >400 1 1

Total 100 100 %

Sumber : Data Primer 2013

Tabel 4.5 terlihat bahwa frekuensi pajanan responden berdasarkan konsumsi

bayam yang mengandung residu klorpirifos, frekuensi tertinggi yaitu 68 % responden

mengkonsumsi bayam selama 1-100 hari/tahun, sedangkan yang terendah yaitu 1 %

responden mengkonsumsi bayam selama 201-300 dan >400 hari/tahun.

f. Berat badan responden

Page 109: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Berat badan merupakan komponen yang ikut menentukan besarnya intake yang

diterima responden dari suatu pajanan. Berat badan responden hasil penelitian ini

bervariasi antara 30 kg hingga 100 kg. Rata-rata berat badan responden adalah 52,37

kg. Gambaran tentang distribusi berat badan responden secara lengkap dapat di lihat

pada tabel 4.6 di bawah ini.

Tabel 4.6. Distribusi berat badan responden di desa Moncobalangdan Tinggimae tahun 2013.

No Berat Badan (Kg) Frekuensi Persent (%)

1 31 – 40 15 15

2 41 – 50 42 42

3 51 – 60 27 27

4 61 – 70 7 7

5 71 – 80 8 8

6 80 1 1

Total 100 100 %

Sumber : Data Primer 2012

Tabel 4.6 di atas menunjukkan bahwa berat badan tertinggi pada responden

yaitu 42 % responden memiliki berat badan antara 41- 50 kg. Sedangkan berat badan

terendah yaitu 1 % responden memiliki berat badan > 80 kg.

g. Konsumsi jenis sayur lainnya

Masyarakat di Desa Moncobalang dan Tinggimae selain mengkonsumsi sayur

bayam, mereka juga mengkonsumsi jenis sayuran lain seperti : kangkung, kacang

panjang, tomat, sawi hijau dan sawi putih. Secara lengkap gambaran skor konsumsi

responden yang berasal dari jenis sayur lainnya yang dapat dilihat pada tabel 4.7 di

bawah ini.

Page 110: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Tabel 4.7. Skor konsumsi sayur jenis lainnya di Desa Moncobalang danTinggimae tahun 2013.

Jenis sayur

Frekuensi Konsumsi

Tiap

maka

n

1x

sehari

>3x

semingg

u

<3x

semingg

u

JarangTdk

PernahTotal Skor

Skor (50) (25) (15) (10) (1) (0)

Kangkung 500 625 450 160 17 0 1752 17,52

Kacang Pjg 400 500 405 250 18 0 1573 15,73

Tomat 1000 775 315 180 10 0 2296 22,96

Sawi Hijau 250 375 375 270 26 0 1296 12,96

Sawi Putih 150 75 90 110 56 0 481 4,81

Sumber : data primer 2013

Sumber pencemaran pestisida selain dari sayur bayam dapat pula berasal dari

jenis sayuran lainnya yaitu kangkung, kacang panjang, tomat, sawi hijau dan sawi.

Hasil penelitian pada tabel 4.7 menunjukkan pola konsumsi tomat merupakan sayur

dengan pola konsumsi hampir setiap hari. Sayur kangkung dan kacang panjang

merupakan sayur dengan pola konsumsi > 3x seminggu. Sedangkan sayur sawi hijau

dengan pola konsumsi < 3x seminggu dan sayur sawi putih merupakan sayur yang

jarang dikonsumsi oleh masyarakat di daerah tersebut.

h. Analisis Risiko

Analisis risiko ada dua tahap yaitu analisis tingkat pajanan atau intake (I) dan

analisis tingkat risiko atau Risk Qoutien (RQ).

1) Analisis intake

Analisis tingkat pajanan atau Intake dilakukan untuk mengetahui besarnya

pajanan risk agent klopirifos yang diterima responden per kilogram berat badan

tE

tW

DfRCInk

Page 111: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

setiap harinya. Perhitungan intake menggunakan persamaan sebagai berikut

(ATSDR, 2005):

Keterangan :

Ink : intake (asupan), jumlah risk agent yang diterima responden

per berat badan per hari (mg/kg/hari)

C : konsentrasi risk agent (mg/kg)

R : laju (rate) asupan (gr/hari) atau (L/hari)

fE : frekuensi pajanan tahunan (hari/tahun)

Dt : durasi pajanan (tahun)

Wb : berat badan (kg)

tavg : periode waktu rata-rata (30 tahun x 365 hari/tahun) untuk

efek non karsinogen dan (70 tahun x 365 hari/tahun) untuk

efek karsinogen

Nilai C didapat dari pemeriksaan laboratorium terhadap konsentrasi klorpirifos

dalam sayur bayam. Nilai R, fE dan Dt, didapat dari hasil wawancara responden. Nilai

Wb didapat dari pengukuran berat badan responden. Nilai tavg didapat dari standar US-

EPA untuk efek risk agent. Contoh perhitungan untuk intake tiap responden adalah

sebagai berikut :

Responden dengan nomor responden 066, setiap hari berada di Desa

Tinggimae. Memiliki berat badan 43 kg, mengkonsumsi bayam selama 144 hari/tahun

selama 10 tahun. Setiap hari mengkonsumsi bayam sebanyak 6 gr. Konsentrasi

klorpirifos dalam bayam adalah 0.8392 mg/kg. Maka besarnya intake klorpirifos untuk

paparan 30 tahun (Non Karsinogen) dan 70 tahun (Karsinogen) adalah sebagai berikut

:

a) Intake klorpirifos dalam bayam pada pajanan 70 tahun :

=0,8392

mgkg

x 6gr

harix 144

hrtahun

x 10 tahun

43 kg x 25550

Page 112: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

= 0,0066 / / ℎ

b) Intake klorpirifos dalam bayam pada pajanan 30 tahun :

=0,8392

mgkg

x 6gr

harix 144

hrtahun

x 10tahun

43 kg x 10950

= 0,0154 / /ℎ

Jumlah asupan (Ink) klorpirifos dalam bayam pada responden 066 untuk

perhitungan risiko penyakit karsinogen adalah 0,0066 mg/kg/hari dan untuk risiko

penyakit non karsinogen adalah 0,0154 mg/kg/hari.

Nilai perhitungan Intake (asupan) klorpirifos dalam bayam untuk risiko

karsinogen (paparan 70 tahun) dan risiko non karsinogen (paparan 30 tahun) pada

semua responden dapat dilihat pada lampiran.

2) Tingkat Risiko (RQ)

Langkah selanjutnya adalah menghitung tingkat risiko (RQ) klorpirifos terhadap

responden tersebut. RQ didapat dari perbandingan antara intake dan nilai dosis acuan

(Rfd), dengan menggunakan rumus berikut (ATSDR,2005):

Dosis acuan (Rfd) untuk klorpirifos menurut US-EPA tahun 2006 adalah 0,005

mg/kg/hari. Maka perhitungan RQ klorpirifos dalam bayam untuk risiko penyakit

karsinogen dan non karsinogen adalah sebagai berikut :

1. RQ klorpirifos dalam bayam untuk risiko penyakit karsinogen

=0,0066 / / ℎ

0,005 mg/kg/hari

= 1,32

2. RQ klorpirifos dalam bayam untuk risiko penyakit non karsinogen

=0,0154 / /ℎ

0,005 mg/kg/hari

= 3,08

RfD

InkRQ

Page 113: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Responden no. 066 memiliki nilai RQ >1 yaitu RQ 1,32 untuk pajanan risiko

karsinogen dan RQ 3,08 untuk risiko non karsinogen maka dapat disimpulkan bahwa

responden no. 066 termasuk dalam kelompok berisiko terhadap efek penyakit

karsinogen dan non karsinogen.

Nilai perhitungan RQ klorpirifos dalam bayam untuk risiko karsinogen (paparan

70 tahun) dan risiko non karsinogen (paparan 30 tahun) pada semua responden dapat

dilihat pada lampiran. Sedangkan distribusi RQ klorpirifos dalam bayam untuk risiko

karsinogen (paparan 70 tahun) dan risiko non karsinogen (paparan 30 tahun) pada

responden dapat dilihat pada gambar 4.1 dan 4.2 di bawah ini.

Gambar 4.1 Distribusi RQ pajanan klorpirifos untuk risiko penyakit karsinogen

pada responden di Desa Moncobalang dan Tinggimae tahun 2013

Gambar 4.1 terlihat bahwa RQ karsinogen responden tertinggi untuk penyakit

karsinogen yaitu 76 % responden pada RQ 0,6 - 1,0 sebanyak dan RQ terendah

berada yaitu 7 % responden pada RQ 1,6 - 2,0 yaitu. Dari gambar 4.1 juga

menjelaskan bahwa sebanyak 85 responden memiliki nilai rata-rata RQ ≤ 1.

Sedangkan 15 orang lainnya memiliki nilai RQ > 1, dengan gangguan kesehatan yang

Page 114: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

dialami tiga bulan terakhir diantaranya sakit kepala, batuk, diabetes, gangguan system

saraf dan diabetes. Kelompok dengan nilai RQ ≤ 1 dikategorikan sebagai kelompok

aman, sedangkan kelompok dengan nilai RQ > 1 disebut kelompok berisiko terhadap

efek karsinogen.

Gambar 4.2 Distribusi RQ pajanan klorpirifos untuk risiko penyakit non-

karsinogen pada responden di Desa Moncobalang dan Tinggimae

tahun 2013.

Gambar 4.2 terlihat bahwa RQ responden untuk penyakit non karsinogen paling

tinggi yaitu 43 % responden pada RQ 2,1 - 2,5 sedangkan RQ terendah pada yaitu

masing-masing 1 % responden pada RQ 0 - 0,5 dan 2,6 – 3,0. Dari gambar 4.2 juga

menjelaskan bahwa sebanyak 4 responden memiliki nilai rata-rata RQ ≤ 1. Sedangkan

96 orang lainnya memiliki nilai RQ > 1. Kelompok dengan nilai RQ ≤ 1, dikategorikan

sebagai kelompok aman, sedangkan kelompok dengan nilai RQ > 1 disebut kelompok

berisiko terhadap efek penyakit non karsinogen.

Page 115: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

2. Analisis univariat variabel penelitian

Analisis univariat digunakan untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi

data variabel penelitian. Uji yang digunakan dalam analisis ini adalah uji Kolmogorov-

Smirnov untuk variabel dengan jumlah sampel ≥ 50. Sedangkan untuk variabel dengan

jumlah sampel < 50, digunakan uji Shapiro-Wilk (Dahlan, 2009).

Hasil analisis univariat variabel konsentrasi klorpirifos dalam bayam, frekuensi

paparan, durasi paparan, laju konsumsi, berat badan dan tingkat risiko (RQ) secara

lengkap dapat dilihat pada tabel 4.8.

Tabel 4.8. Uji Klomogorov Smirnov untuk mengetahui normal atau tidaknyadistribusi data variabel penelitian

Variabel

Mean

Median

Min

MaksSD

p-value

Klomogorov

Smirnov

Konsentrasi klorpirifos

dalam bayam (mg/kg)

Tidak Dilakukan uji distribusi dikarenakan

konsentrasi yang didapat homogen

Frekuensi Paparan

(hari/tahun)

104,74

96,00

48

48068,98 0,000

Durasi Paparan

(tahun)

10,81

10,50

4

132,286 0,000

Laju asupan (gr/hari)7,80

7,00

5

182,558 0,000

Berat badan (kg)52,37

50,00

30

8511,064 0,030

RQ untuk risiko non

karsinogen (paparan

30 tahun)

0,96

0,92

0,24

1,990,33 0,000

RQ untuk risiko

karsinogen (paparan

70 tahun)

2,17

2,12

0,59

4,660,76 0,000

Page 116: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Sumber: Data Primer 2013

Tabel 4.8 di atas terlihat bahwa semua data variabel yang ada terdistribusi tidak

normal karena nilai p < 0,05. Untuk perhitungan atau penggunaan selanjutnya, pada

data yang distribusinya tidak normal (p ≤ 0,05) digunakan nilai median, sedangkan

pada data yang distribusinya normal (p > 0,05) digunakan nilai rata-rata.

Analisis univariat digunakan untuk melanjutkan perhitungan ke tahapan

manajemen risiko, dengan mengurangi konsentrasi, laju asupan serta durasi pajanan

yang didapatkan dari hasil perhitungan manajemen risiko dengan menggunakan nilai

median dan mean.

3. Manajemen Risiko

Berdasarkan karakterisasi risiko, dapat dirumuskan pilihan-pilihan manajemen

risiko untuk meminimalkan nilai RQ sehingga sama atau lebih kecil dari 1. Cara yang

dapat dilakukan yaitu dengan memanipulasi (mengubah) nilai faktor-faktor pemajanan

yang tercakup dalam persamaan (1) sedemikian rupa sehingga nilai asupan (Ink)

menjadi lebih kecil atau sama nilainya dengan dosis referensi (Rfd) toksisitasnya.

Terdapat tiga pilihan cara untuk menyamakan nilai Ink dengan Rfd yaitu menurunkan

konsentrasi risk agent (C), mengurangi jumlah konsumsi (R) atau mengurangi durasi

paparan (Dt). Ini berarti hanya variabel-variabel pada persamaan (1) tersebut saja yang

bisa diubah-ubah atau disesuaikan nilainya (Rahman, 2007).

a. Penurunan konsentrasi klorpirifos dalam bayam.

Penurunan konsentrasi klorpirifos pada dasarnya berbeda-beda untuk setiap

responden. Hal ini dipengaruhi oleh pola paparan dan karakteristik antropometri tiap

responden berbeda. Berikut contoh perhitungan penurunan konsentrasi klorpirifos pada

bayam untuk risiko karsinogen (pajanan 70 tahun) yang dikonsumsi oleh responden

dengan berat badan 30 kg, durasi paparan 10,5 tahun, frekuensi paparan 96

Page 117: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

hari/tahun, laju konsumsi 7 gr/hari, dan nilai Rfd = 0,005 mg/kg/hari. Rfd = Ink, maka

rumusnya menjadi :

0,005 =C x 7 gr/hr x 96 hr/th x 10,5 th

30 kg x 25550

= 0,543

Konsentrasi klorpirifos 0,543 mg/kg adalah konsentrasi yang aman terhadap

risiko karsinogen bagi responden dengan berat badan 30 kg dan mengkonsumsi sayur

7 gr/hari untuk dikonsumsi terus-menerus selama 10,5 tahun dengan frekuensi 96

hari/tahun. Berdasarkan hasil perhitungan di atas, diperoleh nilai C klorpirifos dalam

bayam yang aman dikonsumsi untuk risiko non karsinogen (durasi pajanan 30 tahun)

adalah 0,233 mg/kg.

Perhitungan selengkapnya mengenai manajemen risiko pengurangan

konsentrasi klorpirifos dalam bayam dapat dilihat pada lampiran. Gambaran tentang

konsentrasi klorpirifos dalam bayam yang aman dikonsumsi oleh responden terhadap

risiko karsinogen dan risiko non karsinogen berdasarkan kelompok berat badan dapat

dilihat pada tabel 4.9 di bawah ini.

avgb

tE

tW

DfRCRfd

Page 118: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Tabel 4.9 Konsentrasi klorpirifos dalam bayam yang aman di konsumsiresponden menurut kelompok berat badan untuk risiko karsinogendan non karsinogen di Desa Moncobalang dan Tinggimoncong tahun2013.

Berat badan

(kg)

Konsentrasi Klorpirifos

dalam Bayam Risiko

Karsinogen (mg/kg)

Konsentrasi Klorpirifos

dalam Bayam Risiko Non

Karsinogen (mg/kg)

30 0.543 0.233

35 0.634 0.271

40 0.724 0.310

45 0.815 0.349

50 0.905 0.387

55 0.996 0.426

60 1.086 0.465

65 1.177 0.504

70 1.267 0.543

75 1.358 0.582

80 1.448 0.621

85 1.539 0.659

Sumber : Data Primer 2013

Tabel 4.9 menunjukkan hasil perhitungan konsentrasi klorpirifos dalam bayam

yang aman dikonsumsi terhadap risiko karsinogen dan non karsinogen untuk frekuensi

pajanan 96 hari/tahun, durasi pajanan 10.5 tahun, dan laju asupan 7 gr/hari

berdasarkan kelompok berat badan. Dari tabel di atas terlihat bahwa semakin tinggi

berat badan responden semakin tinggi pula konsentrasi klorpirifos dalam bayam yang

aman dikonsumsi responden terhadap risiko penyakit karsinogen dan non karsinogen.

Selain itu tabel 4.9 di atas juga memperlihatkan bahwa konsentrasi klorpirifos dalam

bayam yang aman dikonsumsi responden lebih tinggi pada risiko karsinogen

dibandingkan risiko non karsinogen.

Page 119: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

b. Pengurangan jumlah konsumsi.

Upaya lain yang dapat dilakukan untuk menurunkan atau memanipulasi nilai

intake agar sama dengan Rfd adalah mengurangi jumlah konsumsi atau dengan kata

lain menurunkan laju asupan. Sebagai contoh, perhitungan penurunan laju asupan

klorpirifos dalam bayam untuk risiko karsinogen pada responden dengan berat badan

30 kg, frekuensi pajanan 96 hari/tahun, durasi paparan 10.5 tahun konsentrasi

klorpirifos dalam bayam 0,8392 mg/kg, dan nilai Rfd = 0,005 mg/kg/hari. Rfd = Ink,

maka rumusnya menjadi :

0,005 =0,8392 mg/kg x R x 96 hr/th x 10.5 th

30 kg x 2550

= 4,531 /ℎ

Laju asupan 4,531 mg/hari adalah jumlah yang aman untuk risiko karsinogen

bagi responden dengan berat badan 30 kg, durasi pajanan 10,5 tahun, frekuensi 96

hari/tahun, dan konsentrasi klorpirifos 0,8392 mg/kg. Berdasarkan hasil perhitungan di

atas, didapat nilai R (laju asupan) klorpirifos dalam bayam untuk risiko non kanker

(pajanan 30 tahun) adalah 1,942 mg/hari.

Perhitungan selengkapnya mengenai manajemen risiko pengurangan laju

asupan klorpirifos dalam bayam dapat dilihat pada lampiran. Gambaran tentang laju

asupan klorpirifos dalam bayam yang aman dikonsumsi oleh responden terhadap risiko

karsinogen dan non karsinogen berdasarkan kelompok berat badan dapat dilihat pada

tabel 4.10 di bawah ini.

avgb

tE

tW

DfRCRfd

Page 120: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Tabel 4.10. Laju asupan klorpirifos dalam bayam yang aman di konsumsiresponden menurut kelompok berat badan untuk risiko karsinogendan non karsinigen di Desa moncobalang dan tinggimae tahun2013

Berat badan

(kg)

Laju Asupan Klorpirifos

dalam Bayam Risiko

Karsinogen (gr/hr)

Laju Asupan Klorpirifos

dalam Bayam Risiko Non

Karsinogen (gr/hr)

30 4.531 1.9417

35 5.286 2.265

40 6.041 2.589

45 6.796 2.912

50 7.551 3.236

55 8.306 3.559

60 9.061 3.883

65 9.816 4.207

70 10.571 4.531

75 11.326 4.854

80 12.082 5.178

85 12.837 5.501

Sumber : Data Primer 2013

Tabel 4.10 memperlihatkan hasil perhitungan laju asupan klorpirifos dalam

bayam yang aman dikonsumsi terhadap risiko karsinogen dan non-karsinogen untuk

frekuensi pajanan 96 hari/tahun, durasi pajanan 10,5 tahun, dan konsentrasi klorprifos

0,8392 mg/kg berdasarkan kelompok berat badan. Dari tabel di atas terlihat bahwa

semakin tinggi berat badan responden semakin tinggi pula laju asupan yang aman

terhadap risiko penyakit karsinogen dan non karsinogen. Selain itu tabel 4.10 di atas

juga memperlihatkan bahwa laju asupan klorpirifos dalam bayam yang aman

dikonsumsi responden lebih tinggi pada risiko karsinogen dibandingkan risiko non

karsinogen.

Page 121: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

c. Pengurangan durasi pajanan.

Upaya ke tiga yang dapat dilakukan untuk menurunkan atau memanipulasi nilai

intake agar sama dengan Rfd adalah mengurangi durasi paparan klorpirifos. Sebagai

contoh, perhitungan penurunan durasi paparan klorpirifos dalam bayam untuk risiko

karsinogen pada responden dengan berat badan 30 kg, frekuensi pajanan 96

hari/tahun, konsentrasi klorpirifos dalam bayam 0,8392 mg/kg, dan nilai Rfd = 0,005

mg/kg/hari. Rfd = Ink, maka rumusnya menjadi :

0,005 =0,8392 mg/kg x 7 gr/hari x 96 hr/th x Dt

30 kg x 25550

= 6,8 ℎ

Durasi pajanan 6,8 tahun adalah lama

paparan yang aman untuk risiko karsinogen bagi responden dengan berat badan 30 kg,

frekuensi paparan 96 hari/tahun, laju asupan 7 gr/hari dan konsentrasi klorpirifos

0,8392 mg/kg. Berdasarkan hasil perhitungan diatas, didapat nilai Dt ( Durasi Pajanan)

klorpirifos dalam bayam untuk risiko non kanker (pajanan 30 tahun) adalah 2,9 tahun.

Perhitungan selengkapnya mengenai manajemen risiko pengurangan durasi

paparan klorpirifos dalam bayam dapat dilihat pada lampiran. Gambaran tentang durasi

paparan klorpirifos dalam bayam yang aman dikonsumsi oleh responden terhadap

risiko karsinogen dan risiko non karsinogen berdasarkan kelompok berat badan dapat

dilihat pada tabel 4.11 di bawah ini.

avgb

tE

tW

DfRCRfd

Page 122: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Tabel 4.11. Durasi pajanan klorpirifos dalam bayam yang aman di konsumsiresponden menurut kelompok berat badan untuk risiko karsinogendan non karsinigen di Desa Moncobalang dan Tinggimae tahun2013

Berat badan

(kg)

Durasi Paparan

Klorpirifos dalam Bayam

Risiko Karsinogen (gr/hr)

Durasi Paparan

Klorpirifos dalam Bayam

Risiko Non Karsinogen

(gr/hr)

30 6.796 2.912

35 7.928 3.398

40 9.061 3.883

45 10.194 4.368

50 11.326 4.854

55 12.459 5.339

60 13.592 5.825

65 14.724 6.310

70 15.857 6.795

75 16.989 7.281

80 18.122 7.767

85 19.255 8.252

Sumber : Data Primer 2013

Tabel 4.11 memperlihatkan hasil perhitungan durasi paparan klorpirifos dalam

bayam yang aman dikonsumsi terhadap risiko karsinogen dan non karsinogen untuk

frekuensi paparan 96 hari/tahun, laju asupan 7 gr/hari, dan konsentrasi klorpirifos

0,8392 mg/kg berdasarkan kelompok berat badan. Dari tabel di atas terlihat bahwa

semakin tinggi berat badan responden semakin lama pula durasi paparan yang aman

terhadap risiko penyakit karsinogen dan non karsinogen. Selain itu tabel 4.11 di atas

juga memperlihatkan bahwa durasi paparan klorpirifos dalam bayam yang aman bagi

responden lebih lama pada risiko karsinogen dibandingkan risiko non karsinogen.

Page 123: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

B. Pembahasan

1. Konsentrasi klopirifos dalam bayam

Penggunaan pestisida dalam sayuran menyebabkan adanya residu pada

sayuran tersebut. Menurut Mc Eween dan Stephenson (1979), residu pestisida dalam

bahan makanan khususnya sayuran, selain dari pestisida yang langsung diaplikasikan

pada tanaman dapat juga karena kontaminasi atau karena tanaman ditanam pada

tanah yang mengandung residu pestisida yang persisten.

Pengukuran residu adanya klorpirifos dalam bayam bertujuan untuk

mengetahui tingkat pencemaran penggunaan pestisida dalam proses penanaman

bayam. Konsumsi sayur bayam yang mengandung residu klorpirifos dalam konsentrasi

dan lama paparan tertentu dapat menyebabkan penyakit baik karsinogen maupun non

karsinogen.

Berdasarkan hasil pemeriksaan residu klorpirifos dalam sayur bayam paling

tinggi pada sampel III di kebun petani yaitu 3,9894 mg/kg dan paling rendah pada

sampel IV pada pasar Sungguminasa yaitu 0,0015 mg/kg, sedangkan konsentrasi rata-

rata yaitu 0,8392 mg/kg. Konsentrasi residu pada sampel III tergolong tinggi karena

telah melewati standar yang ditetapkan oleh EPA 2006 yaitu 1 mg/kg sedangkan

sampel yang lainnya masih di bawah standar.

Konsentrasi klorpirifos di dalam sayur bayam pada sampel III jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan sampel lainnya karena sampel III baru saja dilakukan

pengaplikasian pestisida bahan aktif klorpirifos yaitu satu hari sebelum pengambilan

sampel dilakukan dan masa tanam sampel baru mencapai 15 hari. Sampel II

merupakan sampel yang diambil satelah dilakukan aplikasi pestisida 5 hari sebelum

sampel diambil dan masa tanam sampel 18 hari sehingga residu yang tertinggal cukup

tinggi.

Page 124: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Sedangkan sampel I residunya cukup rendah oleh karena aplikasi yang

dilakukan berdasarkan wawancara dengan petani bahwa racun Dursban bahan aktif

klorpirifos hanya digunakan untuk merendam benih bayam sebelum ditanam agar

benih bayam terhindar dari serangga. Penggunaan pestisida selanjutnya mereka

sesuaikan dengan jenis hama yang akan menyerang tanamannya. Adapun hasil

pemeriksaan sampel di pasar menunjukkan konsentrasi yang berbeda-beda.

Terjadinya penurunan residu klorpirifos pada sampel pasar dibandingkan dengan

residu pada sampel kebun petani, hal ini disebabkan terjadinya penguapan, degradasi

sinar matahari serta perlakuan dengan mencuci sampel sebelum dipasarkan.

Hasil pemeriksaan menunjukkan residu bayam di kebun jauh lebih tinggi

daripada di pasar. Hal ini disebabkan bayam dikebun diambil masih dalam keadaan

segar sehingga kadar residu yang tingal cukup tinggi begitu pula apabila waktu

penyemprotan dan pemetikan cukup dekat. Berdasarkan penelitan Sakung (2004)

menjelaskan apabila waktu penyemprotan dan pemetikan antara 2-5 hari maka

pestisida yang diaplikasikan meninggalkan residu yang banyak karena belum terurai

secara alami oleh hujan dan embun pada malam hari serta matahari pada siang hari.

Menurut Tarumingkeng (1992) dan Matsumura residu permukaan dapat hilang karena

pencucian, penggosokan dan hidrolisis. Dalam waktu 1-2 jam setelah tanaman

diperlakukan dengan pestisida, kemungkinan besar 90 deposit telah hilang karena

tercuci oleh air hujan, sisanya terurai oleh sinar ultraviolet.

Sedangkan bayam yang dijual di pasar kadar residunya cukup rendah oleh

karena bayam tersebut sudah mengalami perlakuan dengan mencuci sebelum

dipasarkan, begitu pula dengan proses penguraian yang secara alami oleh air hujan

dan panas matahari. Pengaruh pencucian dan pemasakan terhadap insektisida pada

kubis telah dipelajari oleh Santoso dan Wirawan yang dikutip oleh Tjahyadi dan Gayatri

(1994), dapat dilihat pada tabel 4.13.

Page 125: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Tabel 4.13 Pengaruh pencucian dan pemasakan terhadap kadar residu

insektisida pada kubis

Insektisida

Kadar residu (ppm)

Tidak dicuci Dicuci Dimasak

Diazinon

Monokrotofos

Profenofos

1,88

1,93

1,57

0,32

1,01

1,21

0,14

0,23

0,29

Sumber : Tjahyadi dan Gayatri (1994),

Jumlah pestisida yang tertinggal pada tanaman tergantung antara lain : cara,

waktu, banyak aplikasi dan dosis tiap kali aplikasi. Hasil penelitian Dibyantoro (1979);

Ahmed dan Ismail (1995) menyatakan bahwa semakin dekat rentang waktu aplikasi

terakhir dengan panen residu yang tertinggal pada tanaman semakin banyak seperti

yang ditunjukkan dalam tabel 4.12.

Tabel 4.12 Residu insektisida diazinon pada selada pada interval waktu yangberbeda sebelum panen.

Konsentrasi Aplikasi

cc/liter air

Hari

(Sebelum panen)

Jumlah Residu

(ppm)

2,50

0

1

2

3

4

7

6,70

5,10

3,40

1,90

1,50

0,80

Sumber : Dibyantoro, 1979

Residu pestisida dapat hilang atau terurai, proses ini kadang-kadang

berlangsung dengan konstan. Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain :

Page 126: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

penguapan, pencucian, pelapukan, degradasi dan translokasi. Dalam jumlah sedikit,

pestisida dalam tanaman dapat hilang sama sekali karena proses metabolisme yang

berkaitan dengan proses pertumbuhan tanaman itu sendiri.

Perbedaan konsentrasi bayam dengan variasi masa tanam menunjukkan bahwa

terjadi penurunan residu klorpirifos, hal ini disebabkan adanya proses degradasi.

Proses degradasi adalah proses terjadinya peruraian pestisida setelah digunakan,

dapat terjadi sebagai akibat adanya; mikroba, reaksi kimia, dan sinar matahari.

Prosesnya dapat terjadi setiap saat dari hitungan jam, hari, sampai tahunan

bergantung pada kondisi lingkungan dan sifat-sifat kimia pestisida (Anonim, 1996).

Degradasi akibat mikroba (microbial degradation) adalah degradasi pestisida

oleh mikroorganisme seperti fungi dan bakteri. Proses degradasi oleh mikroba ini

akan mengalami peningkatan bila: temperatur, pH tanah cocok untuk pertumbuhan

mikroba, cukup oksigen, dan fertilitas tanahnya cukup baik (Manuaba, 2009).

Degradasi kimia (chemical degradation) adalah proses degradasi terjadi

karena reaksi-reaksi kimia. Tipe dan kecepatan reaksi yang terjadi dipengaruhi oleh;

ikatan antara pestisida dengan tanah, temperatur dan pH tanah.

Degradasi akibat sinar matahari (photo degradation) adalah degradasi

pestisida oleh adanya sinar matahari. Tingkat degradasi akibat sinar matahari ini

dipengaruhi oleh intensitas dan spektrum sinar matahari, lamanya terpapar, dan

sifat pestisida. Pestisida dapat mengalami degradasi lebih cepat pada rumah kaca

yang beratapkan plastik dibandingkan dengan yang beratapkan kaca, karena kaca

mampu menahan sinar UV lebih baik dibandingkan plastik (Manuaba, 2009).

Hasil pengukuran di laboratorium semua sampel terdeteksi adanya residu

klorpirifos di dalam sayur bayam. Residu pestisida pada produk sayuran, terutama

diakibatkan oleh penggunaan pestisida yang berlebihan selama proses produksi baik

dalam hal jenis, komposisi, takaran, waktu, dan intervalnya (Udiarto et.al., 1994).

Page 127: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Persepsi petani tentang serangan hama penyakit sebagai penyebab utama kegagalan

panen, telah mendorong penggunaan pestisida secara berlebihan (Adiyoga et al.

1999). Penelitian (Adiyoga dan Soetiarso 1999) menginformasikan bahwa

pengendalian preventif dilakukan oleh sekitar 80% petani sayuran dengan cara

melakukan penyemprotan pestisida 1-7 hari setelah tanam di lapangan.

Selain itu residu pestisida tersebut tidak saja berasal dari bahan pestisida yang

diaplikasikan, namun juga berasal dari penyerapan akar dari dalam tanah, terutama

pada tanaman yang dipanen umbinya (Matsumura, 1985). Dalam aplikasinya sebagian

besar pestisda akan jatuh ke dalam tanah dan membentuk deposit. Deposit pestisida

dalam tanah dipengaruhi oleh : (1) kemampuan absorbs pestisida oleh partikel-partikel

tanah dan bahan organik; (2) pencucian (washing-off) oleh air hujan; (3) penguapan,

terutama penguapan air; (4) degradasi atau aktivasi oleh jasad renik dalam tanah; (7)

dekomposisi oleh cahaya matahari; (8) translokasi melalui sistem hayati baik tanaman

maupun binatang ke lingkungan lain (Tarumingkeng, 1992).

Faktor lain adanya residu pestisida dalam sayur bayam dipengaruhi oleh

pengetahuan petani tentang bahaya pestisida masih sangat rendah sehingga petani

melakukan penyemprotan dengan dosis yang berlebihan dan melakukan

penyemprotan pada seluruh tanaman walaupun yang terserang hama hanya sebagian.

Aplikasi pestisida dilakukan satu hingga tiga kali selama masa tanam bahkan dilakukan

tiga hari sebelum panen. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani bayam aplikasi

pestisida yang dilakukan berdasarkan pengalaman yang selama ini mereka lakukan,

begitu pula dengan pemilihan jenis pestisda yang digunakan. Seperti halnya pestisida

merek dursban merupakan jenis racun yang telah digunakan oleh para petani sejak

dahulu dan mereka ragu untuk mencoba jenis racun baru karena telah menggunakan

merek dagang tersebut selama bertahun-tahun.

Page 128: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Beberapa penelitian dilakukan untuk melihat adanya residu dalam produk

sayuran, adapun penelitian sebelumnya untuk melihat adanya residu klorpirifos dalam

bayam belum pernah dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian Sudewa dkk

menunjukkan bahwa residu insektisida Klorpirifos, Diazinon, Fentoat, Karbaril dan

BPMC yang terdapat pada polong kacang panjang yang dijual di pasar Badung

Denpasar, dimana insektisida Klorpirifos 60 – 65%, pada kacang panjang yaitu 1,296

ppm. Dimana nilai residu klorpirifos pada kubis dan kacang panjang melebihi nilai MRL

( Maximum Residue Limit ) pada sayuran yaitu sebesar 0,5 ppm.

Penelitian Hidayat, dkk. (2013) untuk mengidentifikasi keberadaan dan

konsentrasi pestisida klorpirifos dan profenofos pada bawang merah di Pasar Terong

dan Lotte Mart Kota Makassar. Hasil pemeriksaan sampel menujukkan terdeteksinya

pestisida klorpirifos pada bawang merah Lotte Mart dengan konsentrasi 0,00615 mg/kg

dan pestisida profenofos pada bawang merah Lotte Mart dengan konsentrasi 0,039

mg/kg. Residu pestisida ini masih dibawah batas maksimum residu (BMR) berdasarkan

SNI 2008 yaitu 0,1 mg/kg .

2. Laju asupan klorpirifos dalam bayam

Laju asupan merupakan banyaknya bayam yang dikonsumsi responden dalam

waktu 24 jam. Berdasarkan hasil penelitian laju asupan klorpirifos berdasarkan

konsumsi bayam pada responden tertinggi yaitu 79% responden sebanyak 6-10 gr/hari,

sedangkan yang terendah yaitu 3% responden sebanyak 16-20 gr/hari.

Nilai laju asupan klorpirifos dalam bayam diperoleh dari hasil wawancara

kuesioner terhadap responden. Sebelumnya telah ditimbang bayam untuk memperoleh

berat rata-rata dalam satu ikat bayam yaitu 20 gram. Dengan menanyakan jumlah ikat

bayam yang dikonsumsi dalam sehari dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang

mengkonsumsi sayur tersebut sehingga dapat diperoleh jumlah bayam yang

dikonsumsi responden dalam satuan gram.

Page 129: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Dari hasil perhitungan RQ diketahui responden dengan laju konsumsi besar

mempunyai nilai RQ yang lebih tinggi dari pada responden dengan nilai laju konsumsi

yang kecil karena RQ dan laju konsumsi berbanding lurus. Dengan kata lain semakin

banyak responden mengkonsumsi sayur bayam yang mengandung residu klorpirifos

semakin berisiko menderita penyakit karsinogen maupun penyakit non karsinogen.

3. Durasi pajanan klorpirifos dalam bayam

Durasi pajanan diartikan sebagai lama tinggal responden dilokasi penelitian

dan mengkonsumsi sayur bayam yang mengandung residu klorpirifos dalam hitungan

tahun. Berdasarkan hasil wawancara kuesioner lama tinggal responden dilokasi

penelitian antara 2 tahun hingga 79 tahun. Berdasarkan pengelompokan lama tinggal

responden di lokasi penelitian paling tinggi yaitu 21% responden selama 21-30 tahun

dan paling rendah yaitu 3% responden >60 tahun.

Durasi pajanan klorpirifos dalam sayur bayam pada responden tidak sama

dengan lama tinggal responden di lokasi penelitian karena penggunaan pestisida

merek Dursban zat aktif klorpirifos dimulai pada tahun 1999 atau 13 tahun yang lalu.

Jadi durasi paparan klorpirifos dalam sayur bayam pada responden maksimal 13 tahun.

Dari hasil perhitungan RQ diketahui, responden dengan nilai durasi pajanan

besar mempunyai nilai RQ yang lebih tinggi dari pada responden dengan nilai durasi

pajanan yang kecil karena RQ dan durasi pajanan berbanding lurus. Dengan kata lain

semakin lama seseorang mengkonsumsi sayur tomat yang mengandung residu

klorpirifos semakin berisiko menderita penyakit karsinogen maupun penyakit non

karsinogen.

4. Frekuensi pajanan klorpirifos dalam bayam

Frekuensi pajanan merupakan jumlah hari dalam setahun dimana responden

tinggal atau berada di lokasi penelitian dan mengkonsumsi bayam yang mengandung

Page 130: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

residu klorpirifos. Berdasarkan hasil penelitian frekuensi pajanan responden

berdasarkan konsumsi bayam yang mengandung residu klorpirifos paling tinggi yaitu

68% responden selama 1-100 hari/tahun dan paling rendah yaitu masing-masing 1%

responden selama 201-300 hari/tahun dan >400 hari/tahun.

Hasil perhitungan RQ diketahui, responden dengan nilai frekuensi pajanan

besar mempunyai nilai RQ yang lebih tinggi dari pada responden dengan nilai frekuensi

yang kecil karena RQ dan frekuensi pajanan berbanding lurus. Dengan kata lain

semakin sering responden mengkonsumsi sayur bayam yang mengandung residu

klorpirifos semakin berisiko menderita penyakit karsinogen maupun penyakit non

karsinogen.

5. Berat Badan Responden

Berat badan merupakan komponen yang ikut menentukan besarnya intake yang

diterima responden dari suatu paparan. Berat badan responden hasil penelitian ini

bervariasi antara 30 kg sampai 100 kg dan rata-rata berat badan responden adalah

52,37 kg.

Dari hasil perhitungan RQ diketahui, semakin tinggi berat badan responden

semakin rendah nilai RQ yang didapatkan. Seseorang yang memiliki berat badan yang

rendah akan mudah mengalami toksisitas daripada yang memiliki berat badan yang

lebih tinggi. Dengan kata lain semakin tinggi berat badan responden semakin kecil

risiko menderita penyakit karsinogen maupun penyakit non karsinogen.

6. Konsumsi Jenis Sayur Lainnya

Pada umumnya masyarakat di Desa Moncobalang dan Tinggimae selain

mengkonsumsi sayur bayam mereka mengkonsumsi sayur yang lainnya. Diantaranya:

kangkung, kacang panjang, tomat, sawi hijau dan sawi putih. Pajanan residu pestisida

Page 131: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

pada masyarakat tidak hanya bersumber dari konsumsi sayur bayam melainkan dapat

pula dari konsumsi sayur lainnya yang mengandung pestisida.

Sumber pencemaran pestisida selain dari sayur bayam dapat pula berasal dari

jenis sayuran lainnya yaitu kangkung, kacang panjang, tomat, sawi hijau dan sawi.

Hasil penelitian pada tabel 4.7 menunjukkan pola konsumsi tomat merupakan sayur

dengan pola konsumsi hampir setiap hari. Sayur kangkung dan kacang merupakan

sayur dengan pola konsumsi > 3x seminggu. Sedangkan sawi hijau dengan pola

konsumsi <3x seminggu dan sawi putih merupakan sayur yang jarang dikonsumsi

oleh masyarakat di daerah tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa frekuensi

konsumsi sayur tertinggi adalah tomat dengan pola konsumsi hampir setiap hari dan

konsumsi terendah adalah sawi putih dengan frekuensi jarang.

Berdasarkan hasil penelitian Sudewa dkk menunjukkan bahwa residu insektisida

Klorpirifos, Diazinon, Fentoat, Karbaril dan BPMC yang terdapat pada polong kacang

panjang yang dijual di pasar Badung Denpasar, dimana insektisida Klorpirifos 60 –

65%, pada kacang panjang yaitu 1,296 ppm. Dimana nilai residu klorpirifos pada kubis

dan kacang panjang melebihi nilai MRL ( Maximum Residue Limit ) pada sayuran

yaitu sebesar 0,5 ppm.

Penelitian Hidayat, dkk. (2013) untuk mengidentifikasi keberadaan dan

konsentrasi pestisida klorpirifos dan profenofos pada bawang merah di Pasar Terong

dan Lotte Mart Kota Makassar. Hasil pemeriksaan sampel menujukkan terdeteksinya

pestisida klorpirifos pada bawang merah Lotte Mart dengan konsentrasi 0,00615 mg/kg

dan pestisida profenofos pada bawang merah Lotte Mart dengan konsentrasi 0,039

mg/kg. Residu pestisida ini masih dibawah batas maksimum residu (BMR) berdasarkan

SNI 2008 yaitu 0,1 mg/kg .

Semakin tinggi frekuensi seseorang mengkonsumsi sayur yang mengandung

pestisida maka semakin tinggi pula pajanan pestisida yang akan diperoleh.

Page 132: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

7. Analisis Risiko

Tingkat risiko (RQ) merupakan karakterisasi risiko yang mungkin dialami

responden sebagai akibat mengkonsumsi sayur bayam yang mengandung residu

klorpirifos. RQ pada penelitian ini terbagi atas dua yaitu RQ untuk efek non karsinogen

(pajanan 30 tahun) dan RQ untuk efek karsinogen (pajanan 70 tahun). Responden

dengan RQ ≤ 1 dikategorikan dalam kelompok yang aman dari efek paparan,

sedangkan responden dengan RQ > 1 dikategorikan dalam kelompok yang berisiko

terhadap efek paparan (US-EPA, 1997).

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa untuk risiko karsinogen RQ tertinggi

yaitu 76 % responden pada RQ 0,6 - 1,0 dan RQ terendah yaitu 7 % responden pada

RQ 1,6 - 2,0. Hasil penelitian juga menjelaskan bahwa sebanyak 85 responden

memiliki nilai rata-rata RQ ≤ 1 sedangkan 15 orang lainnya memiliki nilai RQ > 1.

Kelompok dengan nilai RQ ≤ 1, dikategorikan sebagai kelompok aman, sedangkan

kelompok dengan nilai RQ > 1 disebut kelompok berisiko terhadap efek karsinogen.

Sedangkan untuk risiko non karsinogen RQ tertinggi yaitu 43 % responden

pada RQ 2,1 – 2,5 sedangkan RQ terendah yaitu masing-masing 1 % responden pada

RQ 0 – 0,5 dan 2,6 - 3,0. Dari gambar 4.2 juga menjelaskan bahwa sebanyak 4

responden memiliki nilai rata-rata RQ ≤ 1. Sedangkan 96 orang lainnya memiliki nilai

RQ > 1. Kelompok dengan nilai RQ ≤ 1, dikategorikan sebagai kelompok aman,

sedangkan kelompok dengan nilai RQ > 1 disebut kelompok berisiko terhadap efek

penyakit non karsinogen.

Kajian pajanan pestisida terhadap manusia akibat mengkonsumsi sayur yang

mengandung pestisida klorpirifos belum ditemukan. Residu pestisida menimbulkan efek

yang bersifat tidak langsung terhadap konsumen, namun dalam jangka panjang dapat

Page 133: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

menyebabkan gangguan kesehatan di antaranya berupa gangguan pada syaraf dan

metabolisme enzim. Residu pestisida yang terbawa bersama makanan akan

terakumulasi pada jaringan tubuh yang mengandung lemak. Akumulasi residu pestisida

ini pada manusia dapat merusak fungsi hati, ginjal, sistem syaraf, menurunkan

kekebalan tubuh, menimbulkan cacat bawaan, alergidan kanker (Munarso, dkk. 2006).

Dampak langsung akibat penggunaan pestisida selama ini pada umumnya

terjadi kepada para petani yang berhubungan langsung dengan pestisida. Pajanan

terjadi baik melalui proses inhalasi, kulit maupun pencernaan. Berdasarkan hasil

pemeriksaan kholinesterase darah pada petani di Kabupaten Magelang pada tahun

2006 dengan jumlah sampel yang diperiksa 550 orang menunjukkan keracunan 99,8 %

dengan rincian keracunan berat 18,2%; keracunan sedang 72,73% dan keracunan

ringan 8,9% (Prijanto,2009). Kajian pestisida terhadap peningkatan risiko bronchitis

kronis. Sebanyak 654 petani dilaporkan didiagnosa bronchitis kritis setelah 20 tahun

terpapar pestisida. Terdapat 41 orang terpajan klorpirifos dengan kontrol 42 orang

diperoleh OR : 1,13; 95% interval kepercayaan : 0.96 , 1.32 (Hoppin, et al. 2010).

Penelitian tentang hubungan pestisida pertanian dan insiden kanker kolorektal di Lowa

dan Carolina Utara. Sebanyak 305 insiden kanker kolorektal yang didiagnosa selama

masa studi 1993-2002. Dari 50 jenis pestisida yang diujikan, penggunaan klorpirifos

menunjukkan pajanan yang signifikan dengan P = 0,008 dan 95% confidence interval

2,7 kali lipat: 1,2-6,4 (Lee, et al.2010).

Penelitian prospective cohort study dilakukan untuk melihat hubungan paparan

pestisida dan kejadian kanker prostat di Lowa dan Carolina Utara. Sampel penelitian

adalah laki-laki sebanyak 55.332 orang dimana 566 penderita kanker prostat dan

54.766 control. Selama proses penelitian sebanyak 1.197 kematian terjadi dalam waktu

4,3 tahun. Berdasarkan hasil uji statististik diperoleh kesimpulan bahwa paparan

Page 134: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

pestisida dapat meningkatkan risiko 1,14 kali menderita kanker prostat (Alavanja.M, et

al.,2003).

Studi epidemiologis telah menemukan beberapa bukti hubungan antara paparan

klorpirifos dan beberapa jenis kanker. Sebuah studi kasus-kontrol laki-laki dengan

limfoma Hodgkin di Kanada (316 kasus, 1506

kontrol) menemukan hubungan yang signifikan dengan paparan klorpirifos (Odds Ratio

= 5,26), meskipun jumlah kasus kecil (Karunanayake et al 2012). US EPA (2009)

menyatakan bahwa ada 126 insiden yang melibatkan klorpirifos akut dilaporkan antara

2002 dan 2009, dengan lebih dari 150 orang yang terkena sedikitnya 17 di antaranya

adalah anak-anak.

Penyakit non karsinogen yang diderita responden adalah batuk, sakit kepala,

diare, diabetes dan gangguan system saraf. Sedangkan penyakit karsinogen yang

diderita responden adalah tumor jinak. Melihat nilai RQ yang tinggi baik untuk risiko

penyakit karsinogen maupun untuk penyakit non karsinogen maka sangat perlu

dilakukan manajemen risiko.

8. Manajemen Risiko

Manajemen risiko untuk pengendalian nilai RQ pada dasarnya dilakukan

dengan cara menyamakan nilai intake dengan Rfd (Rahman, 2007). Pengendalian

terhadap nilai RQ dalam penelitian ini dilakukan dengan 3 cara yaitu menurunkan

konsentrasi klorpirifos dalam bayam, mengurangi laju konsumsi bayam yang

mengandung residu klorpirifos, dan membatasi durasi pajanan klorpirifos.

Konsentrasi klorpirifos 0,543 mg/kg adalah konsentrasi yang aman terhadap

risiko karsinogen bagi respoden dengan berat badan 30 kg dan mengkonsumsi bayam

7 gr/hari untuk dikonsumsi terus-menerus selama 10,5 tahun dengan frekuensi 96

hari/tahun. Berdasarkan hasil perhitungan diatas, didapat nilai C klorpirifos dalam

Page 135: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

bayam yang aman dikonsumsi untuk risiko non karsinogen (durasi pajanan 30 tahun)

adalah 0,233 mg/kg.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa semakin tinggi berat badan responden

semakin tinggi pula residu klorpirifos dalam bayam yang aman dikonsumsi responden

terhadap risiko penyakit karsinogen dan non karsinogen. Selain itu hasil penelitian juga

memperlihatkan bahwa residu klorpirifos dalam bayam yang aman dikonsumsi

responden lebih tinggi pada risiko karsinogen dibandingkan risiko non karsinogen.

Laju asupan 4,531 mg/hari adalah jumlah yang aman untuk risiko karsinogen

bagi responden dengan berat badan 30 kg, durasi pajanan 10,5 tahun, frekuensi 96

hari/tahun, dan konsentrasi klorpirifos 0,8392 mg/kg. Berdasarkan hasil perhitungan

diatas, diperoleh nilai R (laju asupan) klorpirifos dalam bayam untuk risiko non kanker

(pajanan 30 tahun) adalah 1,942 mg/hari.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa semakin tinggi berat badan responden

semakin besar laju asupan bayam yang mengandung klorpirifos yang aman terhadap

risiko penyakit karsinogen dan non karsinogen. Selain itu hasil penelitian juga

memperlihatkan bahwa laju asupan bayam yang mengandung residu klorpirifos yang

aman bagi responden lebih besar pada risiko karsinogen dibandingkan risiko non

karsinogen.

Durasi Paparan 6,8 tahun adalah lama paparan yang aman untuk risiko

karsinogen bagi responden dengan berat badan 30 kg, frekwensi paparan 96

hari/tahun, laju asupan 7 gr/hari dan konsentrasi klorpirifos 0,8392 mg/kg. Berdasarkan

hasil perhitungan diatas, diperoleh nilai Dt ( durasi pajanan) klorpirifos dalam bayam

untuk risiko non kanker (pajanan 30 tahun) adalah 2,9 tahun.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa semakin tinggi berat badan responden

semakin lama pula durasi pajanan yang aman terhadap risiko penyakit karsinogen dan

non karsinogen. Selain itu hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa durasi pajanan

Page 136: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

klorpirifos dalam bayam yang aman bagi responden lebih lama pada risiko karsinogen

dibandingkan risiko non karsinogen.

9. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang dapat mengurangi

kesempurnaan penelitian. Keterbatasan dalam penelitian ini antara lain :

a. Sampel pada kebun petani yang diambil hanya tiga lokasi.

b. Tidak diukurnya kadar kolinesterase responden untuk menggambarkan tingkat

keracunan pestisida.

c. Dalam menghitung asupan klorpirifos (intake), data yang dipakai hanya asupan dari

sayur bayam, tanpa memperhitungkan faktor lainnya yang mungkin berpengaruh.

d. Jalur pemaparan masuknya pestisida ke dalam tubuh bukan hanya dapat diketahui

dari perhitungan Analisis Risiko, akan tetapi dapat pula dengan melakukan

biomarker dalam hal ini mengambil darah, rambut atau urine responden yang

diduga terpapar pestisida tertentu.

e. Jalur pemaparan masuknya pestisida ke dalam tubuh tidak hanya melalui makanan

tetapi juga dapat melalui kulit dan saluran pernafasan.

f. Pestisida yang digunakan oleh petani sangat beraneka ragam tetapi dalam

penelitian ini hanya menggunakan residu klorpirifos dalam menghitung analisis

risiko penyakit karsinogen maupun non karsinogen.

g. Informasi yang didapat dari hasil wawancara seperti, frekuensi pajanan (fE), lama

tinggal (Dt) dan laju asupan atau jumlah konsumsi (R) untuk melengkapi data

penelitian secara akurat cukup sulit diperoleh karena kesulitan responden dalam

mengingat kembali aktifitasnya selama tinggal di lokasi penelitian.

h. Tidak ditelusurinya aktifitas responden di luar lokasi penelitian, yang dapat

mempengaruhi pajanan pestisida pada responden, seperti air minum, kontak kulit,

jalur pernapasan dan sebagainya.

Page 137: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Berdasarkan keterbatasan penelitian ini, maka diharapkan peneliti selanjutnya

dapat menggunakannya sebagai dasar untuk penelitian lanjutan.

Page 138: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat dibuat

kesimpulan sebagai berikut :

1. Rata-rata residu yang diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium adalah 0,8392

mg/kg. Berdasarkan ketetapan EPA 2006 batas maksimum residu pada sayuran

berdaun yaitu 1 mg/kg, sehingga sayur bayam di Desa Tinggimae dan

Moncobalang aman untuk dikonsumsi.

2. Laju asupan responden berdasarkan konsumsi bayam yang mengandung residu

klorpirifos tertinggi yaitu 79 % responden sebanyak 6 - 10 gr/hari sedangkan yang

terendah yaitu 3 % responden sebanyak 16 - 20 gr/hari.

3. Durasi paparan responden berdasarkan konsumsi bayam yang mengandung residu

klorpirifos paling tinggi yaitu 50 % responden selama 11-15 tahun dan paling rendah

yaitu 3 % responden selama 1-5 tahun.

4. Frekuensi pajanan responden berdasarkan konsumsi bayam yang mengandung

residu klorpirifos tertinggi yaitu 68 % responden selama1-100 hari/tahun sedangkan

yang terendah yaitu masing-masing 1 % responden 201-300 dan > 400 hari/tahun .

5. Berdasarkan hasil perhitungan, RQ karsinogen sebanyak 85 % memiliki rata-rata

RQ ≤ 1 dan 15 % memiliki RQ ≥ 1. Untuk RQ Non-Karsinogen 4 % memiliki rata-

rata ≤ 1 dan 96 % memiliki nilai RQ ≥ 1. Kelompok dengan nilai RQ ≤ 1

dikategorikan sebagai kelompok aman, sedangkan kelompok dengan nilai RQ ≥ 1

disebut kelompok yang berisiko terhadap efek penyakit karsinogen dan non-

karsinogen.

Page 139: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

6. Manajemen pengurangan yang dapat dilakukan adalah menurunkan konsentrasi

klorpirifos pada bayam, mengurangi laju konsumsi dan membatasi durasi pajanan

terhadap responden.

Penggunaan pestisida pada produk pertanian dapat menyebabkan gangguan

kesehatan pada petani dan masyarakat yang mengkonsumsi sayur tersebut sehingga

perlu mengganti pestisida kimiawi dengan menggunakan pestisida organik.

B. Saran

Dari hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diajukan beberapa saran

sebagai berikut :

1. Bagi masyarakat Kecamatan Barombong agar mengatur jumlah dan frekuensi

konsumsi sayur bayam untuk menurunkan risiko pajanan klorpirifos dan zat aktif

lainnya.

2. Bagi petani agar menjaga penggunaan pestisida sehingga bayam yang dihasilkan

tetap layak dikonsumsi dengan mengurangi penggunaan pestisida kimiawi karena

menyebabkan pencemaran tanah dan lingkungan sekitar.

3. Pemerintah sebaiknya membatasi penggunaan pestisida pada produksi tanaman

pangan dan holtikultura karena memberikan dampak negatif bagi lingkungan dan

manusia.

4. Dinas Pertanian Kab. Gowa agar memantau peredaran dan penggunaan pestisida

terhadap petani.

5. Penyuluh pertanian hendaknya memberikan penyuluhan yang lebih intensif kepada

petani dan masyarakat mengenai dampak dari penggunaan pestisida.

Page 140: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Daftar Pustaka

Achmadi, Umar Fahmi. 2012. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. PT. Rajagrafindo

Persada : Jakarta.

Afriyanto, 2008. Kajian Keracunan Pestisida pada Petani Penyemprot Cabe di Desa

Candi Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Semarang : Tesis

Magister Kesehatan Lingkungan UNDIP.

Alavanja, M., Samanic, C., et al. 2003, Use of Agricultural Pesticides and Prostate

Cancer Risk in the Agricultural Health Study Cohort. Am J Epidemiol

2003;157:800–814

Aldrich, Tim E., and Griffith, Jack. 1993. Environmental Epidemiology and RiskAssessment. Van NostrandReinhold : New York

Anonim, 1996. Pesticide Wise. Government of British Columbia: Ministry of

Agriculture and Lands.

Anonim, 2006. Analisis Risiko Penggunaan Pestisida Dan Dampaknya Terhadap

Kesehatan Masyarakat di Kecamatan Sausu Kabupaten Parigi Moutong

Propinsi Sulawesi Tengah. BTKLPPM Kelas 1 Makassar.

Anonim, 2011. Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi Edisi 4. Makassar : Program

Pascasarjana UNHAS.

Anonim, 2012 a. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Kab. Gowa. Sungguminasa: Dinas

Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura.

Anonim, 2012 b. Profil Kesehatan Kab. Gowa 2011. Pemerintah Daerah Kabupaten

Gowa.

Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR). 2005. Public HealthAssessment Guidance Manual. Atlanta, US Department of Health and HumanServices: Public Health Services Agency For Toxic Subtances And DiseaseRegistry.(Online),(http://www.atsdr.cdc.gov/hac/PHAManual /toc. html,diakses 16Januari 2013).

Baldi, et al. 2003. Neurodegerative Disease and Exposure to Pesticide in the Elderly.

Am J.Epidemiol : 157:409-414.

Bosma, et al. 2000. Pesticide Exposure and Risk of Mild Cognitive Dysfunction. Lancet

:356:912-913 [PubMed]

Cometa, M.F., Buratti, F.M., Fortuna, S., Lorenzini, P., Volpe, M.T.,Parisi, L., Testai, E.,

and Meneguz, A. (2007). Cholinesterase inhibition and alterations of hepatic

metabolism by oral acute and repeated chlorpyrifos administration to mice.

Toxicology 234:90–102.

Page 141: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Coulston, F., Golberg, L., and Griffinn, T. (1972). Safety evaluation of Dowco 179 in

human volunteers. Unpublished report from the Institute of Experimental

Pathology and Toxicology, Albany Medical College.

Departemen Kesehatan RI. Ditjen PPM dan PLP. Direktorat PLP. 1996. Laporan

Program Penyehatan Lingkungan Permukiman Tahun 1995/1996. Jakarta.

Direktorat Jenderal PPM & PLP. Depkes. RI.1992. Pemeriksaan Cholinesterase Darah

dengan Tintometer Kit. Jakarta.

Direktorat Jenderal Hortikultura. 2010. Nilai Produk Domestik Bruto Komoditas

Hortikultura di Indonesia Tahun 2006-2009.

http://www.hortikultura.deptan.go.id. (16 Maret 2011)

Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. PT. Agromedia Pustaka: Jakarta.

Eaton et al, 2008. Review of the Toxicology of Chlorpyrifos With an Emphasis on

Human Exposure and Neurodevelopment. Critical Reviews in Toxicology,

S2:1–125.

Edi, Safrie dan Bobihoe, Julistia. 2010. Budidaya Tanaman Sayuran. Agro Inovasi. 1-3

El-Morsi et al. Pesticides Residues in Egyptian Diabetic Children: A Preliminary Study.

Mesir : Journal Clinic Toxicol 2012, 2:6.

EPA, 2006. Interim Reregistration Eligibility Decision for Chlorpyrifos. United States

Environmental Protection Agency 738-R-01-007.

Frank C. Lu. 1994. Toksikologi Dasar. Universitas Indonesia Jakarta.

Gallo M.A., Lawry N.J. Organic Phosphorus Pesticides. Handbook of Pesticide

Toxicology, 1991, vol II, 921-951.

Gauthier, et al. 2001. Environmental exposure as a risk Factor for Alzheimer’s Disease:

a case control study. Environ Res : 86:37-45. [PubMed]

Haflan Y. 2007. Bahaya Pestisida, Departemen Pertanian RI, Jakarta, dalam

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0103/13/Bahaya_Pestisida.htm diakses

tanggal 12 Nopember 2007.

Haryanto, E., Tina Suhartini, Estu Rahayu & Hendro Sunarjono. 2005. Sawi &

Selada. Penebar Swadaya: Jakarta.

Hayden, et al. 2010. Occupational exposure to pesticides increases the risk of incident

AD. Neurology® 2010;74:1524 –153

Hidayat Nur Ilma, Daud Anwar, dan Ibrahim Erniwati. 2013. Identifikasi residu

Pestisida Klorpirifos Dan Profenofos Pada Bawang Merah (Allium

Ascalonicum) Di Pasar Terong Dan Lotte Mart. Makassar : Fakultas Kesehatan

Masyarakat.

Page 142: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Hoppin, et al. 2007. Pesticide Use And Chronic Bronchitis Among Farmers in The

Agricultural Health Study. Am J Ind Med ; 50(12): 969–979.

Jaimin, Ann Diana. 2011. Perbandingan Kadar Timbal Pada Sayuran Bayam Yang

Dijual Di Pasar Tradisional Dan Pasar Modern. Medan : Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara.

Karunanayake CP, Spinelli JJ, McLaughlin JR. 2012. Hodgkin lymphoma andpesticides exposure in men: a Canadian case-control study. J agromed17(1):30-9.

Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 434.1/Kpts/TP/.270 /7/2001

tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pestisida. 2001a.

Kishi M., Hirschhorn N., Djajadisastra M., Satterlee L.N., Strowman S., Dilts R.

1993.Relationship of Pesticide Spraying to Sign and Symptoms in Indonesia

Farmers. Scand J. Work Environment Health.

Lee, et al. 2010. Pesticide use and colorectal cancer risk in the Agricultural Health

Study. Int J Cancer ; 121(2): 339–346.

Lindsay, et al. 1997. The Canadian Study of health And Aging: Risk Factor for Vascular

Dementiaa. Stroke: 28:526-530. [PubMed]

Louvar JF, Louvar BD. 1998. Health and Environmental Risk Analysis: Fundamentalswith Application. Prentice Hall : New Jersey.

Lubis, Halinda Sari. 2002. Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Keracunan Pestisida

Golongan Organofosfat Pada Tenaga Kerja. Medan : FKM Universitas

Sumatera Utara.

Mallongi, Anwar. 2012. Penilaian Risiko Kesehatan Dan Risiko Ekologi. Makassar :

FKM UNHAS.

Manuaba, 2009. Cemaran Pestisida Karbamat Dalam Air Danau Buyan Buleleng Bali.

Jurnal kimia 3 (1): 47-54.

Mateljan, G. 2001. Essential Nutrients. (www.whfoods.org). Diakses 3 Oktober

2012.

Mc Dowell, et al. 1994. The Canadian Study of Health and Aging : Risk Factors For

Alzheimer’s Disease in Canada. Neurology.:44:2073-2080. [PubMed]

Mukono. 2002. Epidemiologi Lingkungan. Airlangga University Press :Surabaya

Munaf, Syamsuir. 1997. Keracuanan Akut Pestisida : Teknik Diagnosis, Pertolongan

Pertama, Pengobatan dan Pencegahannya. Wahyu Medika ISBN 979-519-

0512.

Munarso, dkk. 2006. Studi Kandungan Residu Pestisida pada Kubis, Tomat, dan Wortel

di Malang dan Cianjur. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian. Vol.2.

Page 143: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Novizan. 2002. Kiat Membuat dan Mengatasi Pestisida Ramah Lingkungan. Agro

Media. 1 (1):3-5.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

National Recearch Council (NRC).1983. Risk assessment in The FederalGoverenment: Managing The Process. Washinton D.C, national Academypress. (Online), (http://www.nap.edu/catalog/366.html, diakses 16 Desember2011)

Pamungkas, Abdee. 2012. Pengertian Dan Gejala Penyakit Alzheimer. Dwiwarta(Online: Minggu, 22 Juli 2012 ).

Peduto V.A., D’Uva R., Piga M. 1996. Carbamate and Organophosphate Poisoning.Minerva Anestestor.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 24/Permentan/SR.140/4/2011. Tentang Syarat dan

Tatacara Pendaftaran Pestisida.

Pohan, Nurhasmawaty. 2004. Pestisida Dan Pencemarannya. Medan : e-USU

Repository

Prihadi, 2008. Faktor-faktor Yang Berhubungan dengan Efek Kronis Keracunan

Pestisida Organofosfat Pada Petani Sayuran di Kecamatan Ngablak

Kabupaten Magelang. Semarang : PPs-UNDIP.

Prijanto, 2009. Analisis Faktor Risiko Keracunan Pestisida Organofosfat Pada Keluarga

Petani Hortikultura Di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Semarang :

Universitas Dipanegoro.

Rahman, A. 2007. Public Health Assessment: Model Kajian Prediktif DampakLingkungan dan Aplikasinya untuk Manajemen Risiko Kesehatan.Jakarta, Pusat Kajian Kesehatan Lingkungan dan Industri FKM-UI.(Online), (http://arrahman29.files.Wordpress .com /2008/02/ph-a-

130208.pdf,diakses 16 Desember 2012).

Raini dkk, 2004. Pengaruh Istirahat Terhadap Aktivitas Kolinesterase Petani

Penyemprot Pestisida Organofosfat Di Kec. Pacet Jawa Barat. Buletin Panel

Kesehatan Vol. 32 No. 3

Runia, Yodenca Assti. 2008. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keracunan

Pestisida Organofosfat, Karbamat Dan Kejadian Anemia Pada Petani

Hortikultura Di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang.

Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Sakung, J. 2004. Kadar Residu Pestisida Golongan Organofosfat pada Beberapa Jenis

Sayuran. Jurnal Ilmiah Santina. Vol 1:4:Oktober:520-525

Salud et al. 2011. Revisiting the role of acetylcholinesterase in Alzheimer’s disease:

cross-talk with P-tau and β-amyloid. Molecular Neuroscience. September |

Volume 4 | Article 22.

Page 144: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Sarjan, Muhammad. 2009. Perlindungan Tanaman Dari Serangan Hama Melalui

Pendekatan Teknologi Non-kimiawi Sintetis. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru

Besar Dalam Ilmu Hama Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Mataram.

Sastroutomo, Sutikno, 1992. Pestisida Dasar-Dasar dan Dampak Penggunannya.

Jakarta : Gramedia.

Sudarmo, S. 1991. Pestisida. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.

Sudewa, dkk. Residu Pestisida pada Sayuran Kubis (brassica oleracea l.) Dan Kacang

Panjang ( vigna sinensis l.) Yang dipasarkan di Pasar Badung Denpasar. Bali :

Universitas Warmadewa dan Universitas Udayana.

ECOTROPHIC ♦ 4 (2) : 125-130 ISSN: 1907-5626

Suprapta, D N. 2005. Pertanian Bali Dipuja Petaniku Merana. Denpasar : Penerbit Taru

Lestari Foundation, Arti Foundation.

Sutirmansih, Wiwi. 2011. Sejarah dan Budidaya Bayam. (On line 15 Januari 2013).http://wiwisutirmansih.blogspot.com/2011/06/sejarah-dan-budidaya-bayam.html

US-EPA .1997. Exposure Factors Handbook.",600/8-89/043:US EnvironmentalProtection Agency.

US-EPA, 2006. Interim Reregistration Eligibility Decision for Chlorpyrifos. United States

Environmental Protection Agency 738-R-01-007.

US-EPA. 2009. Chlorpyrifos Summary Document Registration Review: Initial DocketMarch 2009. Docket Number: EPA-HQ-OPP-2008-0850. Case #0100. UnitedStates Environmental Protection Agency, Washington,D.C.

WHO. 2004. Enviromental Health Criteria XXX: Principles for modelling, doseresponsefor the risk assessment of chemicals,. Jenewa, IPCS.

Wikipedia, 2013. Bayam. Online: http://id.wikipedia.org/wiki/Bayam. (13 Januari 2013).

Wudianto, Rini. 1998. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Jakarta : Penebar Swadaya

ISBN 979-489-054-5.

Page 145: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

KUESIONER PENELITIAN

ANALISIS RISIKO PAJANAN RESIDU KLORPIRIFOS DALAM BAYAM

PADA MASYARAKAT DI KAB. GOWA

A. PENGENALAN TEMPAT

A1. Propinsi SULAWESI SELATAN

A2. Kabupaten/Kota GOWA

A3. Kecamatan ……………………………………………..

A4. Kelurahan/Desa ……………………………………………..

B. KETERANGAN PENCACAHAN

Pewawancara Supervisor Editor MD

B1. Nama ………………………….. ………………………….. …………………………..

B2. Tgl/bln/thn

B3. Tanda tangan

PETUNJUK PENGISIAN :

1. Lingkari kode jawaban jika kode jawaban berupa angka

2. Pindahkan kode jawaban yang dilingkari jika pada kolom jawaban disediakan kotak

3. Jika satu pertanyaan terdiri dari beberapa bagian, lingkari kode jawaban dari tiap bagian tsb dan isikan pada kotak yang

disediakan

4. Tulislah jawaban yang diminta jika terdapat perintah sebutkan atau catatlah

5. Jika jawaban bukan berupa pilihan maka isilah kotak atau (…………………..) yang disediakan

C. DATA KARAKTERISTIK

C1. Nomor urut Responden

C2. Nama responden ………………………………………………………………………………

C3. Umur ............................... tahun

C4. Jenis kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan

C5. Berat Badan ........................ kg

C6. Agama 1. Islam 2. kristen Protestan 3. Katolik 4. Budha 5. Hindu

6. Lainnya…………………

C7. Suku 1. Bugis 2. Makassar 3. Toraja 4. Jawa 5. Lainnya…………………

C8. Status perkawinan 1. Kawin 2. Belum 3. Duda/Janda

C9. Alamat ................................................................................................................

RT / RW : /

C10. No Telepon/HP

C11. Pendidikan responden 1. TDK SEKOLAH 2. SD 3. SMP 4. SMA 5. Perguruan

Tinggi

C 12. Pekerjaan Responden 1. Petani 2. Pns /TNI/Polri 3. P. Swasta 4. IRT

5. Wiraswasta 6. Belum Kerja 7. Lainnya

Page 146: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

D. LAJU ASUPAN DAN FREKUENSI PAPARAN

D1. Apakah anda senang mengkonsumsi sayur bayam? 1. Ya 2. Tidak

D2. Apakah bayam sebagai menu wajib setiap kali makan? 1. Ya 2. Tidak

D3. Berapa kali anda mengkonsumsi bayam dalam 24 jam? …………Kali

D4. Berapa banyak bayam yang anda konsumsi dalam 24 jam? …………. gram

D5. Sudah berapa lama anda mengkonsumsi bayam............................. Tahun

D10. Sudah berapa lama anda tinggal di daerah ini .................................. Tahun

D11. Apakah anda pernah ke luar kota ? 1. Ya 2. Tidak

D 12. Jika Ya, apakah setiap : 1. Hari 2. Minggu 3.Bulan 4. Tahun

5. Sekali seumur hidup

D 13. Rata-rata anda berada di luar lokasi tiap sekali keluar adalah .................... jam

E. CONTROL

E1. Apakah anda petani ?

E2. Sudah berapa lama anda menjadi petani ?

E 3. Apakah anda merokok ? 1. Ya 2. Tidak

E 4. Jika ya, jumlah rokok yang di hisap dalam sehari : 1. < 1 bks 2. 1 bks 3. 2 bks

4. 3 bks 5. > 3 bks

E 5. Apakah anda menggunakan obat nyamuk ? 1. Ya 2. Tidak

E 6 Jika ya jenis obat nyamuk jenis apa ? 1. Bakar 2. Semprot 3. Oles

F. GANGUAN KESEHATAN

F 1. Penyakit yang di derita selama tiga tahun terakhir :

1. Batuk

2. Sakit kepala

3. Diare

4. Batuk & sakit kepala

5. Gangguan system saraf

6. Kanker

7. Penyakit lain ............................

F 2. Sifat penyakit tersebut : 1. Terus menerus 2. Hilang kambuh

F 3. Usaha dalam pengobatan 1. Pengobatan sendiri 2. Ke tempat pelayanan kesehatan

( ........................................................)

Gowa.......………….. 2013

Pewawancara,

========================

Page 147: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

KUESIONER FOOD FREKUENSI

ANALISIS RISIKO PAJANAN RESIDU KLORPIRIFOS DALAM BAYAM

PADA MASYARAKAT DI KAB. GOWA

I. DATA KARAKTERISTIK (DK)

DK1 Nama Desa

DK2 Nomor urut Responden

DK3 Nama responden ……………………………………………………………..............

DK4 Umur .................................. tahun

DK5 Jenis kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan

BahanMakanan

FrekuensiKonsumsi

KET

Asal

Bahan

makanan

Setiap Kali

Makan

1 x

Sehari

>3 x

Seminggu

< 3 x

SeminguJarang TidakPernah

Skor (50) (25) (15) 10) (1) (0) 1.Dalam desa

2.Sekitar desa

3.Luar daerahMakanan Pokok

Beras

Jagung

Sagu

Singkong

Lauk pauk

Daging

Ayam

Telur

Ikan laut

Ikan air tawar / sungai

Ikan asin

Udang

Kerang

Kepiting

tahu

Tempe

Sayur-sayuran

Bayam

Page 148: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Kangkung

Kacang panjang

Tomat

Sawi hijau

Sawi putih

Lainnya (sebutkan)

Buah-buahan

Pisang

Pepaya

Mangga

Jeruk

Jambu

Lainnya (sebutkan)

Lain-lain

Minyak kelapa

Kue

Susu

Kopi

Teh

Gula

Page 149: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

KUESIONER RECALL 24 JAM

ANALISIS RISIKO ALZHEIMER AKIBAT KONSUMSI BAYAM YANG MENGANDUNG RESIDU

KLORPIRIFOS DI KAB. GOWA

I. DATA KARAKTERISTIK (DK)

DK1 Nama Desa ……………………………………………

DK2 Nomor urut Responden

DK3 Nama responden ………………………………………………………………………………

DK4 Umur ............................... tahun

DK5 Jenis kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan

WAKTU JENIS MAKANAN/

MENU

BAHAN MAKANAN PENGOLAHAN/CA

RA MASAK

UKURAN RUMAH

TANGGA

GRAM

PAGI

SELINGAN

SIANG

SELINGAN

Page 150: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

Gowa, ……………….. 2013

Pewawancara,

MALAM

SELINGAN

Page 151: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

1

FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN SETELAH

MENDAPAT PENJELASAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ...............................................................

Umur : ...............................................................

Alamat : ..............................................................

Setelah mendengar/membaca dan mengerti penjelasan (Telah memahami Naskah

Penjelasan Untuk Responden) yang diberikan oleh....................................... baik

mengenai tujuan, manfaat apa yang akan diperoleh pada penelitian ini, serta risiko yang

mungkin terjadi, maka dengan ini saya menyatakan setuju untuk ikut dalam penelitian

ini secara sukarela tanpa paksaan.

Saya mengerti bahwa keikutsertaan saya ini bersifat sukarela tanpa paksaan, sehingga

saya bisa menolak ikut atau mengundurkan diri dari penelitian ini tanpa risiko apapun.

Juga saya berhak bertanya atau meminta penjelasan bila masih ada hal yang belum jelas

atau masih ada hal yang ingin saya ketahui tentang penelitian ini.

Gowa, ......................... 2013

(..............................................)

NAMA SAKSI TANDA TANGAN TANGAL DI TTD

Saksi 1:………………………….

Saksi2:………………………….

Page 152: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

1

Page 153: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

1

Page 154: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

1

Page 155: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

1

Page 156: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

1

Page 157: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

1

Page 158: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

1

Page 159: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

1

TAHAPAN PEMERIKSAAN SAMPEL

Page 160: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

1

SAMPEL BAYAM

Page 161: ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN RESIDU …

1

WAWANCARA RESPONDEN