Upload
dangdan
View
328
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS K3 (KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA) PADA
KEGIATAN MANUAL MATERIAL HANDLING DI SUBDIVISI MACHINING
ASSEMBLY PT. TOYOTA MOTOR MANUFACTURING INDONESIA
Oleh :
RIVA NURUL FATH
F14060292
2010
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ANALISIS K3 (KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA) PADA
KEGIATAN MANUAL MATERIAL HANDLING DI SUBDIVISI MACHINING
ASSEMBLY PT. TOYOTA MOTOR MANUFACTURING INDONESIA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknik Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
RIVA NURUL FATH
F14060292
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Skripsi : Analisis K3 (Kesehatan Dan Keselamatan Kerja) Pada Kegiatan
Manual Material Handling Di Subdivisi Machining Assembly PT.
Toyota Motor Manufacturing Indonesia
Nama : Riva Nurul Fath
NIM : F14060292
Menyetujui,
Dosen Pembimbing Akademik
Dr. Ir. Sam Herodian, MS
NIP. 19620529 198703 1 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Teknik Pertanian
Dr. Ir. Desrial, M.Eng
NIP. 19661201 199103 1 004
Tanggal Lulus : ………………
Riva Nurul Fath. F14060292. Analisis K3 (Kesehatan Dan Keselamatan Kerja)
Pada Kegiatan Manual Material Handling Di Subdivisi Machining Assembly
PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Dibawah bimbingan Dr. Ir. Sam
Herodian, MS
RINGKASAN
Salah satu perusahaan yang sangat peduli akan kesehatan dan keselamatan
kerja adalah TMC (Toyota Motor Coorporation) yang saat ini merupakan salah satu
produsen mobil terbesar di dunia. Maka dari itu untuk menunjang nya perlu adanya
pemahaman tentang K3 pada manual material handling dalam suatu industri.
Istilah Musculoskeletal Disorders (MSD) merupakan salah satu penyakit yang
berkaitan dengan otot tendon, ligamen, kartilago, persendian, sistem syaraf, struktur
tulang,dan pembuluh darah. Bagian tubuh yang menjadi fokus perhatian
Musculoskeletal Disorders (MSD) adalah leher, bahu, lengan bawah pergelangan
tangan dan kaki. Apabila Musculoskeletal Disorders (MSD) ini sudah menyerang
pada pekerja maka efisiensi kerja dan produktifitas kerja akan menurun.
Adapun dampak yang diakibatkan oleh MSD pada prospek ekonomi usaha
adalah: (1) Pada aspek produksi, yaitu berkurangnya output, kerusakan materi,
produk yang akhirya menyebabkan tidak terpenuhi. (2) Biaya yang disebabkan akibat
absensi pekerja yang akan menyebabkan penurunan keuntungan. (3) Biaya pergantian
karyawan untuk rekruitmen dan pelatihan
Metode penelitian ini terdiri dari : (1) General Induksi, (2) Diskusi
Pemahaman (3) Identifikasi Masalah, (4) Pengamatan, (5) Analisis Evaluasi Resiko,
(6) Improvement, (7) Improvement Trial, (8) Evaluasi, (9) Implementasi.
Bardasarkan perhitungan ergonomic risk point, potensi yang dapat diamati
dari aspek ergonomika manual material handling dan aspek K3 (Kesehatan dan
Keselamatan Kerja) pada subdivisi Machining Assembly adalah sebanyak 2063 poin.
Untuk mengurangi poin potensi kecelakaan kerja maka dilakukan perbaikan.
Perbaikan pada machine adalah dengan menambah dudukan stacking
sehingga rak tempat menyimpan part menjadi sesuai dengan tinggi pekerja yang
yang akan membawa part. Perbaikan pada machine ini berada pada pos 2 dan pos 3.
Pada pos 2 perbaikan machine menurunkan nilai ergonomic risk poin dari 2063
menjadi 1718 poin atau sebesar 16,72%. Sedangkan pada pos 3 perbaikan machine
menurunkan nilai ergonomic risk poin dari 2063 menjadi 1472 poin atau sebesar
28,64%.
Perbaikan pada man (operator) dilakukannya tes awalan untuk mengetahui
seberapa banyak pengetahuan tentang ergonomika dari para pekerja lalu diberikan
pelatihan agar pengetahuan tentang ergonomika bertambah dan dapat diterapkan pada
proses produksi
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Riva Nurul Fath, dilahirkan di Sumedang,
Jawa Barat pada tanggal 21 November 1988, penulis merupakan
anak kedua dari ibu Tuti Sumiati dan Yohamir Syamsu.
Jenjang pendidikan formal penulis yaitu pada tahun 1994
hingga 2000 penulis menyelesaikan jenjang sekolah dasar di
SDN Gudang . Kemudian pada Tahun 2000 hingga 2003
penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 1 Tanjungsari.
Tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan ke tingkat menengah atas di SMUN 1
Sumedang. Setelah lulus dari SMU, tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan ke
Institut Pertanian Bogor dan diterima sebagai mahasiswa melalui jalur Undangan
Seleksi Masul IPB (USMI) dan pada tahun 2007 diterima di departemen Teknik
Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan. Penulis
pernah menjadi staff Minat Bakat Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas
Teknologi pertanian pada tahun 2007-2008 dan juga pernah menjadi pengurus Warga
Pelajar dan Mahasiswa Lingga (WAPEMALA) sebagai Wakil Ketua pada tahun
2008-2009. Pada tahun 2009 penulis melakukan praktek lapang di Pusat Pelatihan
Kewirausahaan Sampoerna, dengan Judul ” Aspek Keteknikan Pertanian Dan
Ergonomika Di Pusat Pelatihan Kewirausahaan Sampoerna Jawa Timur”. Pada
tahun 2010 penulis menyusun dan menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis K3
(Kesehatan Dan Keselamatan Kerja) Pada Kegiatan Manual Material Handling Di
Subdivisi Machining Assembly PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia”.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanaallahu
Wata’ala atas hidup yang begitu indah dengan segala kejutan-Nya, cinta-Nya,
kekuatan-Nya serta kesabaran-Nya, sehingga penulis dapat melaksanakan amanah
yaitu menyelesaikan kuliah di Departemen Teknik Pertanian, Fateta, IPB dan
menyempurnakannya dengan menysusun skripsi dengan judul “Analisis K3
(Kesehatan Dan Keselamatan Kerja) Pada Kegiatan Manual Material Handling
Di Subdivisi Machining Assembly PT. Toyota Motor Manufacturing
Indonesia”. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada pemimpin umat
yang selalu dirindukan, Rasulullah Muhammad SAW, yang menjadi teladan dan
inspirasi penulis selama ini.
Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir strata S1 pada Departemen Teknik
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Bogor, Institut Pertanian Bogor. Selama
kegiatan perkuliahan, penelitian, penulisan, dan penyusunan skripsi ini tidak terlepas
dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Ir. Sam Herodian, MS . selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan bimbingan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan proposal
usulan penelitian ini.
2. Bapak Dr. Ir M Faiz Syuaib, M.Agr dan Dr. Ir. Desrial, M.Eng selaku dosen
penguji, yang memberikan waktu dan pikiran kepada penulis atas saran dan
masukan dalam penyempurnaan skripsi ini, serta motivasi kepada penulis selama
penelitian.
3. Ayahanda dan Ibunda serta adik dan kakak tercinta yang selalu memberikan
dorongan motivasi dan do’a selama ini.
4. Keluarga Om Damus dan Tante Tetty yang telah memberikan semangat serta do’a
selama ini
5. Bapak Budi Utomo, Bapak Bumantolo, Bapak Maman, Bapak Sigit, Bapak Aziz,
Bapak Teguh, Bapak Winarto, Bapak Subekti, ibu Dani, Bapak Arif serta seluruh
staf PASHE PT.TMMIN yang telah memberikan banyak masukan untuk skripsi
ini.
6. Kharisma Prawesti Sri Utami yang telah menyemangati penulis
7. Teman teman TEP 43: Indra Febrian Buntuan, Abdul Manan,Pandu Mas S, Puji S,
Farida, Nurhudaya, Purta Pratama, Prahana Mahawa Putra, Azzah, Fina M, Yuyun
Lutfi, Siti Dewi Yanti, Dhani Ilir, Lenny Brutu, Defra, Arif, Eny, Rizki Mulyo,
Ahmad Fanny A, Sausan Anbar M (TIN 43), Santy Sompret (TIN 43) (terima
kasih bersedia menunggu pada saat sidang dan memberikan dorongan serta
semangat).
8. Teman teman seperjuangan Toyota: Nanda, Imam, Soleh, Ilir, Bayu Eko, Yudis,
Zani, Dodik terimakasih atas Doa nya.
9. Teman-teman Kost Jamparing: Edi Abdullah, Sopian Hidayat, Regi Riandani,
Topik, Ace Suhendar, Aip Wiyana, Dzikri Robby, Rully BN dan Bungsu Yana
Taryana (terima kasih atas dukungan dan doanya), teman-teman dan semua pihak
yang telah mendukung (terima kasih atas doanya).
10. Seluruh teman di Departemen Teknik Pertanian angkatan 43, serta teman-teman
yang telah banyak membantu selama ini.
Bogor, Agustus 2010
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
DAFTAR TABEL ........................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................. v
I. PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................................... 1
B. Tujuan .................................................................................................................. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 4
A. Definisi Ergonomi ............................................................................................... 4
B. Tujuan Ergonomi ................................................................................................. 5
C. Manual Material Handling .................................................................................. 5
D. Mekanisme Kerja Otot ......................................................................................... 6
E. Postur Kerja ......................................................................................................... 7
F. MSD( Musculoskeletal Disorders) ...................................................................... 9
G. Dampak MSD (Musculoskeletal Disorders) ..................................................... 11
H. Occupational Safety and Health Management System (OSHMS) ..................... 11
III. METODOLOGI PENELITIAN ......................................................................... 15
A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan ........................................................................ 15
B. Alat dan Bahan ................................................................................................. 15
C. Metode Penelitian .............................................................................................. 15
IV . Hasil dan Pembahasan........................................................................................ 24
A.Machine Improvement ........................................................................................ 28
B. Methode Improvement ....................................................................................... 32
C. Man Improvement .............................................................................................. 36
V . Kesimpulan Dan Saran ...................................................................................... 39
VI. DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 41
Halaman
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel Aspek Ergonomi …..……………………………………………19
Tabel 2. Tabel Poin Evaluasi Resiko….…………..…………………………….20
Tabel 3. Kategori Resiko…………………………….……………………….…21
Tabel 4. Tabel Manajemen Kerja…..……………………………...……………21
Tabel 5. Tabel STOP 6 dan Non STOP 6……………………………………….23
Tabel 6. Hasil Analisis Fish Bone Diagram…………………………………….27
Tabel 7. Tabel Penurunan Poin dan Waktu Hasil Perbaikan…...……………….33
Tabel 8. Tabel Hasil Pengujian Operator Bulan Maret dan April ………...……37
Halaman
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Postur Tubuh…………………………………………..………………….8
Gambar 2. Gejala Musculoskeletal Disorders (MSD)................................................10
Gambar 3. Tahapan Kegiatan WRA...........................................................................12
Gambar 4. Prosedur Penelitian………………………………….….………………..16
Gambar 5. Hasil Analisis Fish Bone Diagram ……….……………………………...18
Gambar 6. Hasil Perekaman Kamera Handycam……….…………………………...25
Gambar 7. Kegiatan Mengambil Part Pada Pos 2 Dan Pos 3.....................................26
Gambar 8. Denah Pos 1 Sampai Pos 5……………………........................................26
Gambar 9. Sketsa Pada Saat Operator Mengambil Part..…..…..……...…..………..27
Gambar 10. Rak Yang Ada di Pos 2………………………………….…………..…29
Gambar 11. Pekerja Mengambil Part di Pos 2 dan 3………………………………..30
Gambar 12. Gambar Piktorial Rak Pada Pos 2............................................................31
Gambar 13. Perbaikan Setelah Dilakukan Improvement.............................................32
Gambar 14. Pelatihan Teoritis…………………………………………….…………35
Gambar 15. Operator Setelah Melakukan Pelatihan Teoritis……………………......36
Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Gambar Kawasan Industri PT . TMMIN………………………………43
Lampiran 2. Potensi kecelakaan non STOP 6 ………………………………………44
Lampiran 3. Denah pos 1 sampai dengan pos 5……………………………………..45
Lampiran 4. Hasil perhitungan risk poin…………………………………………….46
Lampiran 5. Penurunan potensi bahaya pos 2……………………………………….47
Lampiran 6. Penurunan potensi bahaya pos 3……………………………………….48
Lampiran 7. Poin posisi tubuh berdasarkan standar yang dibuat PT.TMMIN………49
Lampiran 8. Gambar detail rak di Pos 2……………………………………………..50
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dipisahkan dari berbagai
bidang dan sendi – sendi kehidupan bahkan dituntut untuk selalu ada dan
berkembang guna memudahkan kegiatan manusia. Salah satu penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam bidang industri adalah penerapan aspek
ergonomika dan keselamatan kerja. Penerapan ergonomika dalam kegiatan
industri ini dapat meningkatkan keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan
pekerja yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan produktivitas dan akan
mendatangkan keuntungan baik bagi pekerja sendiri maupun bagi perusahaan.
PT.Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) adalah salah satu
perusahaan otomotif yang terkemuka di Indonesia. Didirikan pada tanggal 12
April 1971 yang bernama PT.TAM. PT TMMIN merupakan usaha kerja sama
antara PT Astra Internasional Terbuka dari Indonesia dan Toyota Motor
Corporation dari Jepang, dengan komposisi saham 5% di pegang oleh Astra
Internasional terbuka dengan 95% dipegang oleh Toyota Motor Corporation..
Denah kawasan industry PT. TMMIN dapat dilihat pada lampiran 1.
PT TMMIN beroprasi pada tanggal 1 Januari 1972 hingga saat ini dan
merupakan pemegang merk Toyota di Indonesia. Selama 30 tahun PT TMMIN
telah memegang peran penting dalam perkembangan industri otomotif di
Indonesia dan penciptaan lapangan kerja, termasuk lapangan kerja di usaha-usaha
pendukungnya seperti assembly , pengexpor serta distributor kendaraan produksi
Toyota. Hingga Januari 2003 PT.TMMIN memiliki jumlah tenaga kerja sebasar
4.952 karyawan. Saat ini PT TMMIN memiliki berbagai pabrik seperti pabrik
percetakan, pabrik peleburan, pabrik mesin, serta pabrik perakitan yang terletak di
area industri sunter. Untuk mengkatkan kualitas produksi PT TMMIN
membangun pabrik modern yang didalamnya terdapat teknologi-teknologi tinggi
pertama kali di Indonesia. Untuk pabrik di daerah karawang selesai tahun 1998.
Dengan fasilitas mutakhir yang meliputi kualitas tinggi dan manajemen
lingkungan yang baik PT TMMIN sukses mengatur jaringan penjualan dan
jaringan service ke seluruh Negara terutama di Indonesia tentunya. PT TMMIN
terdiri dari 5 dealer utama dan 75 dealer lainnya yang mengoprasikan 142 tempat
penjualan dan 101 tempat service. Dengan jaringan sedemikian luas PT TMMIN
selama beberapa tahun ini berhasil mencapai posisi tertinggi di pasar otomotif.
Pada tahun 2002 PT TMMIN berhasil menjual 84.312 unit kendaraan. Untuk
mencapai penjualan tertinggi di pasar Indonesia PT TMMIN juga merupakan
pelopor pengexpor komponen-komponen. Otomotif dan juga kendaraan untuk
berbagai Negara. Sejak 1986 dari 200.000 unit kijang bill up dan juga Nock Down
sudah di ekspor ke Brunai Darusalam, Malaysaia, Philipina, Taiwan, Thailand,
Afrika Selatan dan juga Papua Nugini.
Sunter Plant adalah salah satu dari pabrik otomotif yang dimiliki oleh
Toyota Motor Manufacturing bersama dengan Karawang Plant. Dibangun pada
bulan April 1973, pabrik tersebut berlokasi di Sunter, Jakarta Utara.
Sunter Plant berdiri di area tanah seluas 310.898 m2 dengan luas
bangunan 175.986 m2. Sunter Plant adalah pabrik otomotif pertama yang dimiliki
oleh PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia, yang memiliki konsep untuk
memadukan teknologi modern dan keahlian sumber daya manusia sehingga
menjadikan Sunter Plant sebagai tulang punggung dari PT. Toyota Manufacturing
Indonesia dan keuntungan secara terus menerus, sehingga menjadikan Sunter
Plant sebagai industri otomotif terbaik di Indonesia.
Toyota menerapkan standarisasi bagi setiap orang yang memasuki
lingkungan pabrik. Aturan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kecelakaan
atau hal-hal yang dapat meyebabkan membahayakan diri sendiri ataupun orang
lain. Aturan yang ada di lingkungan pabrik diantaranya adalah berjalan dijalur
hijau, tidak telfon ketika berjalan, tunjuk kanan dan kiri ketika akan menyebrang
dan masih banyak lagi aturan aturan yang ada di lingkungan pabrik. Standarisasi
yang ada di lingkungan pabrik ini digambarkan dengan tulisan serta simbol-
simbol yang dipasang ditempat terlihat.
PT. Toyota Manufacturing Indonesia memiliki divisi engine yang terdiri
dari divisi machining yang di dalamnya terdapat 5 subdivisi. Subdivisi machining
assembly adalah salah satu dari kelima subdivisi yang berada pada divisi
machining. Subdivisi ini bertugas untuk merakit komponen yang telah disediakan
oleh divisi logistic sehingga menjadi mesin yang siap di uji.
Pada subdivisi machining assembly, perakitan komponen yang akhirnya
menjadi mesin dirakit oleh manusia. Pekerjaan yang dilakukan pada subdivisi
machining assembly lebih banyak yang menggunakan tenaga manusia karena
dalam perakitan mesin, manusia lebih baik dalam mengumpulkan merangkai
komponen – komponen yang tersedia untuk dijadikan mesin.
Aspek manual material handling harus dikembangkan pada subdivisi
machining assembly karena pekerjaan yang ada pada subdivisi tersebut bayak
yang memakai tenaga manusia. Selain itu, permasalahan manual material
handling didominasi oleh postur tubuh yang salah dalam bekerja. Salah satu
contoh postur tubuh yang salah dalam divisi machining assembly adalah pada
saat menganggat beban. Operator harus membungkuk dalam mengangkat beban
serta mengambil part sehingga yang menjadi tumpuan adalah tubuh. Hal ini
tidak sesuai dengan fungsi tulang punggung sebagai penopang tubuh bagian atas.
Jika hal ini dilakukan terus–menerus, maka bantalan pada ruas-ruas tulang
belakang dapat rusak dan beresiko menyebabkan cedera permanen pada tulang
belakang. Postur tubuh yang salah juga dapat memicu cedera pada bagian tubuh
lain dan menurunkan produktivitas. Maka daripada itu, pengenalan aspek manual
material handling sangatlah penting dalam subdivisi machining assembly.
B. Tujuan
1. Meningkatkan sistem Manual Material Handling yang lebih baik dengan
indikasi beban kerja lebih ringan dan waktu yang lebih singkat.
2. Menurunkan tingkat bahaya kerja akibat manual material handling.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Ergonomi
Ergonomi berasal dari bahasa Yunani, Ergo artinya kerja dan Nomos
artinya peraturan atau hukum (Oborne, 1995). Dengan demikian, ergonomi dapat
diartikan sebagai ilmu atau aturan tentang bagaimana seharusnya melakukan
suatu kerja. Terdapat beberapa pengertian ergonomi, antara lain :
a. Ergonomi adalah aplikasi dari informasi ilmiah yang menitik beratkan pada
hubungan manusia terhadap desain suatu alat, system, dan lingkungan untuk
digunakan oleh manusia. Ergonomi adalah ilmu yang menyesuaikan antara
pekerjaan dengan produk dengan penggunany (Pheasant,1991 dalam Santoso,
2004).
b. Ergonomi adalah cara memandang dunia, berpikir tentang manusia, dan
bagaimana interaksinya dengan seluruh aspek dalam lingkungannya,
perlengkapannya, dan situasi kerjanya (Oborne, 1995).
c. Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari interaksi manusia, mesin, dan
lingkungan yang bertujuan untuk menyesuaikan pekerjaan dengan manusia
(Bridger, 1995).
d. Ergonomika didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam
lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi,
engineering, manajemen dan desain/perancangan (Nurmianto, 1998 dalam
Santoso, 2004).
e. Ergonomika didefinisikan suatu cabang ilmu yang sistematis untuk
memanfaatkan informasi-informasi mengenai sifat, kemampuan dan
keterbatasan manusia untuk merancang suatu sistem sehingga orang dapat
hidup dan bekerja pada sistem itu dengan baik, yaitu mencapai tujuan yang
diinginkan melalui pekerjaan itu, dengan efektif, aman dan nyaman
(Sutalaksana, 1979).
Dibeberapa negara, istilah ergonomi tidak digunakan untuk disiplin ilmu ini.
Seperti di amerika utara menggunakan istilah Human Engineering atau Human
Factor Engineering dan Labour Science ( Roundou Kagaku ) yang digunakan di
Jepang. Meskipun ada perbedaan istilah, namun defenisi, prinsip, dan tujuan
sama.
Secara umum, ergonomi dapat didefinisikan sebagai suatu ilmu atau aturan
yang mengkaji kemampuan, keterbatasan, dan karakteristik manusia serta
interaksi dengan lingkungan, peralatan, mesin, dan prosedur kerja untuk mencapai
kondisi keselamatan, kenyamanan, kesehatan, dan produktifitas yang optimal.
B. Tujuan Ergonomi
Tujuan ergonomi adalah untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja
pada suatu institusi atau organisasi. Hal ini dapat tercapai apabila terjadi
kesesuaian antara pekerja dengan pekerjaannya (Santoso, 2004). Hal ini dapat
tercapai dengan cara memperhatikan empat tujuan utama ergonomi, antara lain:
1. Memaksimalkan efisiensi karyawan
2. Memperbaiki kesehatan dan keselamatan kerja
3. Menganjurkan agar bekerja aman (safe), nyaman (comfort) dan
bersemangat
4. Memaksimalkan bentuk kerja (performance) yang meyakinkan
C. Manual Material Handling
Handling adalah tangan pekeja menggerakan suatu benda dengan
mengangkat, menurunkan, mengisi, mengosongkan, atau membawanya. Manual
Material Handling berarti memberikan suatu pembebanan ke tubuh manusia
untuk menggerakan suatu benda, jika pembebanan tersebut tidak sesuai dengan
fungsi tubuh, hal ini dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau cidera otot
pada pekerja. Seperti misalnya mengangkat / mengambil benda yang ada di lantai
dilakukan dengan membungkukkan badan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya
cedera tulang belakang / punggung karena punggung memang bukan berfungsi
untuk mengangkat namun untuk menunjang tubuh bagian atas. Seharusnya
pengangkatan dibebankan ke otot – otot kaki.
Hampir 25 % kecelakaan kerja di Indonesia disebabkan oleh penanganan
material (Silalahi dkk, 1991). Para ahli yakin bahwa cedera tulang belakang
memiliki hubungan yang sangat erat dengan kegiatan manual material handling.
Ditinjau dari segi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), maka dengan
diterapkan manual material handling diharapkan resiko terjadinya kecelakaan
kerja dapat berkurang dan insiden berbagai penyakit akibat kerja menurun. Selain
itu, diharapkan juga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari suatu
pekerjaan seperti peningkatan kemudahan pengguna sistem, penurunan kesalahan
dan peningkatan produktivitas.
Dari segi psikologi, ergonomi manual material handling diharapkan dapat
meningkatkan kepuasan kerja dan pengembangan pribadi. Lebih konkrit,
ergonomi dapat meningkatkan kenyamanan, peningkatan keamanan, penurunan
kelelahan dan stres kerja, serta kesempatan untuk mengembangkan diri
(Sulistomo,2002)
D. Mekanisme Kerja Otot
Peregangan otot yang berlebihan (over exertion), pada umunya sering
dikeluhkan oleh pekerja dimana aktifitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga
yang besar seperti aktifitas mengangkat, mendorong, menarik dan menahan beban
yang berat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga
yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering
dilakukan, maka dapat mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat
menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal. Mekanisme kerja otot ada 2 yaitu:
1. Kerja Otot Statis
Kerja otot statis adalah kerja otot yang tidak bergerak atau dengan kata
lain otot hanya diam. Biasanya kerja otot statis akan lebih cepat mengalami
kelelahan dibandingkan dengan kerja otot dinamis. Walaupun demikian kerja
otot stasis tidak bisa dihilangkan dalam melakukan suatu pekerjaan. Sesuatu
hal yang tidak mungkin dalam melakukan pekerjaan semua bagian tubuh
operator mengalami kerja otot statis (Suma’mur,1989).
Efek kerja otot statis adalah otot yang digunakan dalam keadaan diam
sehingga akan terjadi penumpukan asam laktat lebih cepat dibandingkan
dengan kerja otot dinamis, sehingga pekerja akan lebih cepat mengalami
kelelahan. Ketika pekerja cepat merasa lelah maka pekerjaan atau
produktivitasnya akan mengalami penurunan (Suma’mur,1989).
2. Kerja Otot Dinamis
Efek kerja otot dinamis sebenarnya sangat baik karena tidak
menyebabkan kelelehan pada saat bekerja. Tidak seperti kerja otot statis yang
menyebabkan kelelahan pada pekerja saat bekerja, kerja otot dinamis sangat
dianjurkan dalam melakukan setiap gerakan dan postur kerja. Karena pada
saat bekerja, otot pekerja akan mengalami relaksasi, sehingga menyebabkan
pekerja tidak cepat merasakan kelelahan pada saat bekerja dan
produktivitasnya tidak akan mengalami penurunan (Suma’mur,1989).
E. Postur Kerja
Postur kerja merupakan titik penentu dalam menganalisa ketepatan dari
suatu pekerjaan. Apabila postur kerja yang dilakukan oleh operator sudah baik
dan ergonomis maka dapat dipastikan hasil yang diperoleh oleh operator tersebut
akan baik. Akan tetapi bila postur kerja operator tersebut salah atau tidak
ergonomis maka operator tersebut akan mudah kelelahan dan terjadinya kelainan
pada bentuk tulang operator tersebut. Apabila operator mudah mengalami
kelelahan maka hasil pekerjaan yang dilakukan operator terebut juga akan
mengalami penurunan dan tidak sesuai dengan yang diharapkan (Pheasant, 1986).
Pada Gambar 1. menunjukan bahwa jika postur tersebut dilakukan secara
terus menerus akan menyebankan menimbulkan penyakit. Hal ini terjadi karena
dada terkompres sehingga oksigen akan sulit masuk dan akhirnya akan
mengalami sakit. Postur tubuh yang benar berguna banyak bagi kesehatan. Berdiri
dan duduk secara benar bisa mencegah linu, ketegangan otot, dan membantu
mencegah sakit di daerah punggung, pinggang, dan leher. Postur yang bagus juga
membantu otot untuk bisa bekerja dengan lebih efisien, yang berguna untuk
mencegah kelelahan. Apabila kita melakukan sesuatu dengan benar maka pasokan
oksigen ke dalam tubuh akan lancar dan akan mengurangi sakit.
Gambar 1. Postur Tubuh Pada PT. TMMIN (Sumber: PT.Toyota Motor Manufacturing Indonesia)
Dalam melakukan pekerjaan, seseorang harus menjaga sikap yang
ergonomis yaitu sikap yang seimbang sehingga dapat dicapai suatu efisiensi dan
produktifitas kerja yang optimal dengan tetap memperhatikan rasa nyaman dalam
bekerja. Dalam bekrja perlu diperhatikan stabilitas yang bergantung pada :
a. Luas dasar penyangga lantai.
b. Tinggi dari titik gaya berat.
Hal – hal yang mempengaruhi postur tubuh antara lain adalah human
diversity (keterbatasan kemampuan manusia), kelainan – kelainan pada sistem
musculeskeletal seperti pada sendi dan ketegangan otot, disain dan posisi yang
kaku atau salah.
Postur normal atau biasa disebut postur netral adalah postur dalam proses
kerja yang sesuai dengan anatomi tubuh sehingga tidak terjadi pergeseran atau
penekanan pada bagian tubuh seperti organ tubuh, syaraf, tendon otot, dan tulang.
Dengan postur ini maka keadaan akan menjadi rileks dan tidak menyebabkan
keluhan sistem musculoskeletal atau sistem tubuh lain (Satrya, 2002)
Postur janggal adalah deviasi atau pergeseran dari pergerakan tubuh atau
anggota gerak yang dilakukan oleh pekerja saat melakukan aktivitas dari postur /
posisi normal secara berulang – ulang dan dalam waktu yang relative lama. Postur
punggung yang merupakan factor resiko MSD adalah membungkukan badan,
sehingga membentuk sudut 20o terhadap vertical dan berputar dengan beban objek
9 kg atau lebih, durasi lebih dari 10 detik dan frekuensi lebih dari 2 kali per menit
atau lebih dari 4 jam sehari ( Humantech, 1995).
Postur Bahu yang merupakan factor MSD adalah dengan lengan di atas
bahu lebih dari 4 jam sehari ( Departement of labour and Industries, 2001) atau
lengan atas membentuk sudut 45o kea rah samping / ke arah depan terhadap badan
selama lebih dari 10 detik dengan frekuensi 2 kali/ menit dan beaban lebih dari
4,5 kg ( Humantech, 1995).
Postur yang tidak seimbang dan berlangsung dalam waktu yang cukup
lama, maka dapat mengakibatkan “Stress” pada bagian tubuh tertentu. Ini
biasanya disebut dengan Postural stress. Hal ini disebutkan karena keterbatasan
tubuh manusia untuk melawan beban dalam jangka waktu yang lama, dimana
dapat terjadi berbagai akibat yang merugikan tubuh, seperti timbulnya fatigue otot
(kelelahan otot) , tidak tenang, gelisah dan nyeri.
F. MSD (Musculoskeletal Disorders)
Istilah Musculoskeletal Disorders (MSD) merupakan salah satu penyakit
yang berkaitan dengan otot tendon, ligamen, kartilago, persendian, sistem syaraf,
struktur tulang, dan pembuluh darah. Bagian tubuh yang menjadi fokus perhatian
Musculoskeletal Disorders (MSD) adalah leher, bahu, lengan bawah pergelangan
tangan dan kaki. Apabila Musculoskeletal Disorders (MSD) ini sudah menyerang
pada pekerja maka efisiensi kerja dan produktifitas kerja akan menurun. Gambar
2. menunjukan gejala Musculoskeletal Disorders (MSD).
(a)Kesemutan (b) Terbakar
(c) Iritasi (d) Bengkak
Gambar 2. Gejala Musculoskeletal Disorders (MSD) Sumber : Wikipedia (2010)
Gejala Musculoskeletal Disorders (MSD) biasanya disertai dengan
keluhan yang sifatnya subjektif sehingga sulit untuk menentukan derajat
keparahan penyakit tersebut. Adapun tanda awal yang menunjukan terjadinya
masalah terhadap Musculoskeletal Disorders (MSD) yaitu bengkak, gemetar,
kesemutan, rasa tidak nyaman, rasa terbakar, iritasi, insomnia dan rasa kaku.
Walaupun derajat keparahan sulit untuk ditentukan, menurut Kroemer seperti
yang disadur dari Oborne (1995) menungkapkan bahwa keluhan yang
menggambarkan tingkat keparahan penyakit MSD tersebut, yaitu:
1. Tahap pertama
Nyeri dan kelelahan pada saat bekerja, tetapi setelah beristirahat yang
cukup akan pulih kembali. Tidak mengganggu kapasitas kerja.
2. Tahap ke-2
Rasa nyeri tetap setelah sehari istirahat, timbul gangguan tidur dan
sedikit mengurangi aktifitas kerja.
3. Tahap ke-3
Rasa nyeri tetap walaupun setelah beristirahat, nyeri dirasakan saat
bekerja, saat melakukan gerakan berulang, tidur menjadi terganggu dan
kesulitan dalam menjalankan pekerjaan yang akhirnya mengakibatkan
terjadinya inkapasitas.
Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang
berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi
pembebanan yang panjang. Sebaliknya, keluhan otot kemungkinan tidak terjadi
apabila kontraksi otot hanya berkisar antara 15-20% dari kekuatan otot
maksimum. Namun apabila kontraksi otot melebihi 20%, maka peredaran darah
ke otot berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya
tenaga yang diperlukan. Pasokan oksigen ke otot menurun, proses metabolisme
karbohidrat terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang
menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot.
G. Dampak MSD (Musculoskeletal Disorders)
Adapun dampak yang diakibatkan oleh MSD pada prospek ekonomi usaha
adalah :
1. Pada aspek produksi, yaitu berkurangnya output, kerusakan materi, produk
yang akhirya menyebabkan tidak terpenuhi.
2. Biaya yang disebabkan akibat absensi pekerja yang akan menyebabkan
penurunan keuntungan.
3. Biaya pergantian karyawan untuk rekruitmen dan pelatihan
4. Biaya asuransi
5. Biaya lainnya.
H. Occupational Safety and Health Management System (OSHMS)
Pada PT. TMMIN, manual material handling ada dalam Occupational
Safety and Health Management System (OSHMS). OSHMS adalah suatu sistem
yang bertujuan untuk meningkatkan/level up kegiatan K3 di area kerja.
Management OSHMS menetapkan suatu rangkaian proses untuk menjalankan
beberapa kegiatan secara mandiri :
( 1 )Mendeklarasikan kebijakan perusahaan terkait dengan K3
( 2 )Menemukan potensi bahaya & Penanggulangan terkait dengan K3
( 3 )Setting target terkait dengan K3
( 4 )Membuat rencana, pelaksanaan, evaluasi dan improvement terkait K3
Kegiatan penanggulangan potensi bahaya dalam OSHMS disebut dengan
Work Risk Assessment (WRA). Adapun tahapan dari kegiatan WRA ini adalah:
Mencatat semua jenis pekerjaan, Penilaian resiko bahaya, Perbaikan, Pembuatan
SOP, Edukasi & pelatihan, Observasi. Penilaian resiko bahaya dari WRA
menggunakan Work Risk Assessment Sheet (WRAS). Tahapan dari kegiatan
WRA dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Tahapan Kegiatan WRA
(Sumber: PT.Toyota Motor Manufacturing Indonesia)
Dalam proses produksi dikenal istilah STOP 6 (Safety Toyota 0/zero
Procedure 6) yaitu suatu prosedur di Toyota untuk mencegah terjadinya
kecelakaan yang akibatnya fatal dan sering terjadi di lingkungan pabrik. Adapun
ke 6 kecelakaan itu adalah.
a) Apparatus, adalah kecelakaan yang disebabkan oleh mesin yang sedang dalam
keadaan ON.
b) Big Heavy, adalah terjatuh benda berat yang bebannya harus lebih dari 100kg
c) Car, adalah tertabrak kendaraan seperti forklift, towing.
d) Drop, adalah terjatuh dari ketinggian yang minimal tingginya adalah 2 meter.
e) Electricity, adalah tersengat listrik
f) Fire, adalah terbakar karena adanya kontak dengan benda panas.
Jika terjadi kecelakaan selain yang ada di STOP 6 maka kecelakaan tersebut
dimasukkan ke dalam kecelakaan Non STOP 6.
Sunter Plant memiliki beberapa bagian yaitu untuk memproduksi
komponen dan engine assy yang ditujukan untuk pasar domestik dan internasional
serta dilengkapi dengan fasilitas karyawan lainnya, diantaranya adalah:
1. Casting Plant
Casting Plant memiliki area 65.028 m2
. Disinilah proses pengecoran
dan pembuatan komponen mesin kendaraan Toyota dilakukan yang memiliki
volume produksi 100 ton per bulan (2 shift) ini memproduksi Cylinder Block,
Crank Shaft, Cranks Cap, Fly Wheel. Guna memenuhi pembuatan die untuk
proses press, casting plant dilengkapi dengan berbagai fasilitas pembuatan
casting benda-benda besar (maksimal 8ton)
2. Stamping Plant
Stampling plant merupakan pabrik pembuatan komponen body
kendaraan. Dengan luas area 64.247 m2. Stampling mempunyai kapasitas
produksi 96.000 unit per tahun untuk memproduksi komponen body Innova,
Avanza dan Dyna.
Proses pembuatan die dilakukan dengan kombinasi harmonis antara
computer-komputer generasi terbaru, beragam peralatan berteknologi tinggi,
serta dioperasikan oleh para ahli dalam system kerja modern yang menjamin
terciptanya produk berkualitas tinggi. Material dasar dari die adalah baja besi
lebar berkualitas tinggi yang diawasi secara ketat selama proses produksi
sehingga menghasilkan die yang tahan lama dan memiliki tingkat posisi
tginggi untuk proses stampling.
3. Engine Plant
Engine Plant memiliki area seluas 15.327m2 dengan kapasitas 4.400
unit perbulan. Engine Plant memproduksi berbagai tipe engine untuk
dikendarai kijang pick up, dan truk dyna
4. Packing & Vanning Plant
Packing plant dengan luas area 7.200m2 melakukan aktivitas
pengepakan komponen eksport, packing plant memiliki kapasitas CKD 4.200
unit perbulan untuk avansa, dan 5.000 unit perbulan untuk innova. Dari
packing plant inilah CKD untuk innova dan avanza dikirim ke Filipina,
Malaysia, Vietnam, Argentina, Afrika Selatan, Venezuela, dan Brazil.
5. Waste Water Treatment
Sejalan dengan komitmen PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
untuk peduli pada lingkungan, maka sunter plant menerapkan system
pengolahan limbah produksi dengan sangat ketat. Dibuktikan dengan
diperolehnya sertifikat ISO 14.001 untuk system manajement lingkungan.
Waste water treatment yang memiliki luas area 2.535m2 melakukan proses
pengolahan limbah secara kimia dan biologis dengan fasilitas laboratorium
yang memadai untuk mengontrol kualitas pengolahan limbah yang ada.
Sehingga air buangan memenuhi baku mutu yang ditetapkan pemerintah.
6. Employee Facilities
PT Toyota Manufacturing Indonesia percaya sumber daya manusia
adalah kunci sukses perusahaan. Oleh karena itu, berbagai fasilitas didirikan
guna memenuhi kebutuhan seperti klinik, masjid, koperasi, tempat olahraga,
dll.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari sampai bulan Juni di
Sunter Plant 1 yang bertempat di PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia,
Sunter Plant, Jakarta Utara.
B. Alat Dan Bahan
Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Alat Pengujian
1. Kamera video/Handycam
2. Stopwacth
3. Meteran
b. Alat Bantu
1. Satu unit Laptop
2. Work Risk Assessment Sheet (WRAS)
3. Tabel STOP 6 dan Non STOP 6
4. Tabel Manajemen kerja
C. Metode Pelaksanaan Penelitian
Metode pelaksanaan penelitian dibagi kedalam beberapa tahap yaitu
General Induction, Diskusi Pemahaman, identifikasi masalah, Pengamatan,
Analisis Evaluasi Risiko Kerja, Improvement, Improvement Trial, Evaluasi, dan
Implentasi. Gambar 3 menjelaskan tentang tahapan tahapan penelitian yang akan
dilakukan.
Gambar 4. Prosedur Penelitian
ya
Analisis Resiko Kerja
Feed Back
tidak tidak
Improvement Trial
Mulai
General Induction
Diskusi Pemahaman
Identifikasi Masalah
Metodologi
Evaluasi
Implementasi
Pengamatan
Improvement Machine
Improvement Man
Evaluasi Resiko Kerja
1. General Induction
Langkah ini dilakukan untuk mengetahui semua pekerjaan yang
dilakukan dilapangan, istilah-istilah yang ada di lapangan dan peraturan yang
ada di lapangan.
2. Diskusi Pemahaman
Diskusi ini dilakukan untuk menyamakan presepsi antara mahasiswa
dan staf ahli dari PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia agar kegiatan
yang dilakukan mahasiswa tidak menyimpang dari tujuan yang ditetapkan
oleh divisi SHE.
3. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang
ada di lapangan serta apakah masalah tersebut berdampak besar terhadap
produksi ataupun pekerjaan yang ada.
4. Pengamatan
Pengamatan dan pengambilan data dilakukan sebelum dilakukan
perbaikan. Pengamatan sebelum perbaikan dilakukan sebagai mapping
permasalahan ergonomika pada divisi machining. Pengambilan data dilakukan
dengan beberapa cara, antara lain : Perekaman menggunakan kamera
video/Handycam, pencatatan, dan wawancara.
a. Perekaman proses kerja
Perekaman dilakukan untuk mendapatkan dokumentasi proses kerja
yang dapat dipisahkan berdasarkan elemen-elemen kerjanya. Dari hasil
perekaman tersebut dapat terlihat posisi pekerja dengan akurat
b. Pencatatan data
Data yang diambil berdasarkan kegiatan ini adalah proses kerja yang
dilakukan, waktu pelaksanakannya, dimensi peralatan dan tempat kerja
c. Wawancara
Wawancara dilakukan terhadap beberapa pekerja untuk mendapatkan
beberapa hal mengenai keadaan tempat kerja dan pemahaman pekerja
mengenai ergonomi
5. Analisis Evaluasi Risiko Kerja
Permasalahan yang akan diamati pada penelitian ini adalah masalah
manual material handling berhubungan dengan sakit di pinggang yang
diderita oleh para pekerja yang diakibatkan oleh pekerjaan yang tidak benar
serta masalah K3 (Kesehatan keselamatan kerja) yang dihitung menggunakan
Work Risk Assessment Sheet (WARS). Untuk permasalahan manual material
handling berhubungan dengan sakit di pinggang akan diamati pada bagian
machining assembly.
Analisis ini pertama disebut analisis fish bone diagram, analisis ini
dilakukan agar ditemukan akar permasalahannya dan dapat dilakukan
perbaikan dengan secepat- cepatnya. Analisis ini menggunakan rumus 4M +
E, yaitu Machine, Method, Man, Material, dan Environment. Adapun contoh
analisis fish bone diagram dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. analisis fish bone diagram
1. Perhitungan Resiko Aspek Ergonomi
Perhitungan menggunakan tabel evaluasi resiko akan menghasilkan
suatu nilai untuk melihat potensi bahaya dari suatu pekerjaan, apakah
pekerjaan yang dilakukan memiliki potensi bahaya yang besar, sedang atau
kecil. Perhitungan nilai yang dilakukan ini adalah berdasarkan faktor
ergonomika manual material handling yang penilaiannya dilihat dari postur
tubuh pekerja dalam bekerja, peralatan yang menimbulkan getaran, berat
badan, dan berat pembebanan tangan dan ujung jari. Tabel 1. adalah kriteria
pekerjaan dalam perhitungan aspek ergonomi manual material handling.
Tabel 1. Tabel Aspek Ergonomi
No Aspek Ergonomi
1. Mengangkat lengan atas
2. Membungkuk ke depan
3. Alat untuk menarik
4. Alat yang bergetar/bergoyang
5. Beban per unit
6. Beban ujung jari
7. Beban tangan
(Sumber: PT.Toyota Motor Manufacturing Indonesia)
Perhitungan ergonomic risk point dilakukan dengan menjumlahkan angka
dari level kecelakaan, frekwensi kerja, dan level countermeasure yang ada dari
setiap element kerja. Level kecelakaan kerja memiliki tiga kategori yaitu
kecelakaan fatal yang dapat menyebabkan kematian atau cacat dengan
pemberian poin 12, kecelakaan yang memerlukan cuti/LWD (Lost working day)
sehingga mengurangi hari kerja bagi karyawan dengan pemberian poin 6, dan
kecelakaan yang tidak memerlukan cuti/ non-LWD atau ringan dengan poin 2.
Frekwensi kerja memiliki tiga kriteria yaitu frekwensi tinggi, adalah untuk kerja
yang dilakukan rutin dengan pemberian poin 5, frekwensi sedang untuk
pekerjaan yang dilakukan pada selang waktu tertentu seperti dilakukan setiap 1
bulan sekali dengan pemberian poin 4, dan frekwensi rendah untuk pekerjaan
yang jarang dilakukan seperti perbaikan pada mesin dengan pemberian poin 3.
Level Countermeasure adalah tingkat pencegahan kecelakaan atau cidera
seperti tidak adanya alat bantu dalam pekerjaan tersebut termasuk tingkat
kehati-hatian operator. Kriteria tersebut dilihat pada setiap element dan poin
yang ada dijumlahkan sehingga diperoleh kategori resiko dari setiap element
yang ada. Poin dari level kecelakaan, frekwensi kerja, dan level
countermeasure dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Poin evaluasi Resiko
(Sumber: PT.Toyota Motor Manufacturing Indonesia)
Untuk mempermudah melihat poin resiko pada setiap element kerja,
maka poin resiko dari setiap pengamatan dijumlahkan dengan asumsi bahwa
kriteria pengamatan yang ada sama pada setiap elementnya. Lebih jauh lagi,
poin dari setiap element dijumlahkan untuk melihat poin resiko pada setiap line
kerja. Namun hasil penjumlahan poin resiko dari setiap pengamatan ini
menunjukan seberapa besar tingkat/kategori bahaya dari pekerjaan tersebut.
Kategori penjumlahan poin dari setiap element kerja dapat dilihat pada Tabel 3.
Pada Tabel 3. dapat dilihat untuk poin 19-25 termasuk bahaya besar, untuk poin
10-18 termasuk bahaya sedang dan untuk poin 6-9 termasuk bahaya kecil.
Tabel 3. Kategori resiko Poin
Evaluasi
Resiko
Peringkat
Resiko
Isi Resiko Indikasi
Peringkat
Resiko
19-25 Peringkat A Bahaya Besar Level kecelakaan:a Aa
Level kecelakaan:b Ab
10-18 Peringkat B Bahaya Sedang Level kecelakaan:a Ba
Level kecelakaan:b Bb
Level kecelakaan:c Bc
6-9 Peringkat C Bahaya Kecil Level kecelakaan:a Cc
(Sumber: PT.Toyota Motor Manufacturing Indonesia)
Untuk mengetahui manejemen kerja dari pekerja maka harus melihat dari
tabel manejemen kerja. Manejemen kerja dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai dari
Tabel menejemen kerja ini dilihat dari rank evaluasi resiko. Tabel 4a.
menjelaskan manajemen kerja untuk pekerjaan maintenance sedangkan Tabel
4b. menjelaskan manajemen kerja untuk pekerjaan umum.
Tabel 4a. Tabel Manajemen Kerja (pekerjaan maintenance)
(Sumber: PT.Toyota Motor Manufacturing Indonesia)
Tabel 4b. Tabel Manajemen Kerja (pekerjaan umum)
(Sumber: PT.Toyota Motor Manufacturing Indonesia)
2. Perhitungan Resiko Aspek K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja)
Perhitungan untuk aspek K3 sama menggunakan tabel evaluasi resiko
dan akan menghasilkan suatu nilai untuk melihat potensi bahaya dari suatu
pekerjaan, apakah pekerjaan yang dilakukan memiliki potensi bahaya yang
besar, sedang atau kecil. Perhitungan nilai yang dilakukan ini adalah
berdasarkan STOP 6 dan Non STOP 6.
Perhitungan K3 menggunakan risk point dilakukan dengan
menjumlahkan angka dari level kecelakaan, frekwensi kerja, dan level
countermeasure yang ada dari setiap element kerja. Perhitungan ini sama
dengan perhitungan resiko aspek ergonomika dan yang membedakannya adalah
kecelakaan kerja yang dialami berdasarkan STOP 6 dan Non STOP 6. Aspek-
aspek kecelakaan kerja yang diamati dari STOP 6 dan Non STOP 6 dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5a. STOP 6 Tabel 5b. Non STOP 6
(Sumber: PT.Toyota Motor Manufacturing Indonesia)
6. Improvement
Improvement mengacu pada 4M (Mesin, Metode, Material dan
Manusia) dan mempertimbangkan hasil analisis Evaluasi Resiko Kerja.
Improvment kemudian di uji cobakan untuk kelebihan dan kekurangan dari
perbaikan tersebut.
7. Improvement Trial
Improvement Trial adalah peningkatan dari gerakan pada pos kerja
yang bersangkutan sehingga pekerja menjadi lebih ergonomis dalam bekerja.
8. Evaluasi
Evaluasi dilakukan untuk menilai kinerja dan perbaikan yang sudah
dilakukan. Apabila hasil evaluasi dinyatakan kurang baik maka gerakan atau
benda kerja harus diperbaiki kembali supaya mendapatkan posisi yang
ergonomika. Jika hasil evaluasi dinyatakan berhasil maka selanjutnya adalah
implementasi dari perbaikan tersebut.
9. Implementasi
Implementasi adalah penerapan hasil dari perbaikan dan evaluasi yang
yang telah dirasa cukup baik dan berhasil.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian yang dilakukan di PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
diawali dengan mengetahui semua pekerjaan yang dilakukan di pabrik. Setelan itu,
dilakukan pengenalan istilah-istilah yang ada di pabrik serta peraturan yang ada
dipabrik. Kegiatan perkenalan ini dilakukan agar mahasiswa mengetahui semua
aktivitas, istilah-istilah serta peraturan yang ada di pabrik agar mahasiswa mengetahui
dan memahami aktivitas yang ada di pabrik.
Setelah mengetahui semua aktivitas yang dilakukan di pabrik, mahasiswa
melakukan diskusi pemahaman untuk menyamakan presepsi antara mahasiswa dan
staf ahli dari PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Setelah diskusi dilakukan,
maka mahasiswa melakukan identifikasi masalah serta pengamatan. Identifikasi
masalah serta pengamatan dilakukan pada subdivisi machining assembly.
Dari pengamatan yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa pada subdivisi
machining assembly terdapat 18 pos yang dipakai untuk merakit mesin. Pada
penelitian ini dilakukan pengamatan pada Pos 1 sampai dengan Pos 10. Pos 1 sampai
dengan Pos 5, pekerjaan yang dilakukan adalah mengambil part. Pekerjaan yang
dilakukan pada Pos 6 sampai dengan Pos 10 adalah merakit part yang telah disusun
pada Pos 1 sampai dengan Pos 5 sehingga menjadi mesin. Pekerjaan pada Pos 1
sampai dengan Pos 5 banyak pekerjaan manual material handling seperti mengambil
part yang dilakukan oleh pekerja. Maka daripada itu, penelitian difokuskan pada
subdivisi machining assembly pada Pos 1 sampai dengan Pos 5.
Pengamatan yang telah dilakukan pada Pos 1 sampai dengan Pos 5 dilakukan
dengan menggunakan kamera handycam. Dari hasil perekaman tersebut dapat terlihat
posisi pekerja yang tidak akurat. Posisi kerja ini berupa membungkuk ke depan, Alat
yang bergetar, alat untuk menarik dll. Contoh hasil perekaman kamera handycam
dapat dilihat pada Gambar 6.
(a) Membungkuk ke depan (c) Mengangkat tangan ke atas
(b) Membungkuk ke depan (d) Alat yang bergetar
Gambar 6. Hasil perekaman kamera handycam.
Kegiatan yang berada di divisi machining assembly pada dasarnya sudah
memenuhi aspek ergonomika manual material handling, hal ini ditunjukan dengan
banyaknya standar kerja yang dibuat pada subdivisi machining assembly. Meskipun
sudah banyak standar kerja yang ada pada subdivisi machining assembly, kriteria
kerja yang berpotensi menyebabkan terjadinya cedera otot dan kecelakaan kerja pada
pekerja masih ada. Untuk mengatasi cedera otot dan keselamatan kerja yang ada,
maka perusahaan harus melakukan improvement untuk mengatasinya.
Pada subdivisi machining assembly diamati 5 pos dalam perakitan mesin.
Pada 5 pos ini terdapat 2 pos yang banyak ditemukan elemen kerja yang memiliki
potensi bahaya yang cukup besar pada cedera otot. Pos tersebut adalah pos 2 dan pos
3 yaitu pada saat operator mengambil part untuk dimasukkan kedalam case. Kegiatan
mengambil part pada Pos 2 lebih banyak mengambil part yang menggantung pada
rak. Sedangkan kegiatan mengambil part pada Pos 3 adalah mengambil part yang
berada pada rak dan part yang diambil berukuran kecil. Kegiatan mengambil part
pada pos 2 dan 3 dapat dilihat pada Gambar 7. Denah pos 1 sampai dengan pos 5
dapat dilihat pada Gambar 8. Sedangkan denah lengkap subdivisi machining
assembly dapat dilihat pada Lampiran 3. Pada Pos 2 dan Pos 3 yang diberi warna
merah, banyak ditemukan postur kerja yang dapat menyebabkan penyakit cedera otot.
Gambar 7(a). Kegiatan mengambil Gambar 7(b). Kegiatan mengambil
part pada Pos 2 part pada Pos 3
Gambar 8. Denah Pos 1 sampai dengan Pos 5
Untuk menganalisis dan memecahkan suatu permasalahan dalam kerja, dapat
digunakan analisis 4 M + E, yaitu Machine, Method, Man, Material, dan
Environment. Sehingga ditemukan akar permasalahannya dan dapat dilakukan
perbaikan dengan secepat-cepatnya. Adapun hasil analisis fish bone diagram dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil analisis fish bone diagram
No Faktor Masalah
1 Man Operator tidak mengetahui masalah tentang ergonomic sehingga
pada nantinya operator akan mengalami cedera otot seperti
Musculoskeletal Disorders (MSD) dan low back pain
2 Material Part yang Beratnya lebih dari 2kg ditaruh di bawah sehingga
operator harus membungkuk dalam membawanya
3 Methode - Pekerjaan selalu membungkuk ketika operator mengambil part
- Operator tidak diberitahu tentang mengambil part yang benar
- Tidak ada SOP yang jelas tentang bagaimana cara mengambil part.
4 Mesin Ukuran rak tidak sesuai dengan operator sehingga menyebabkan
operator harus membungkuk dalam pengambilan part
Dari Tabel 5. dapat diketahui bahwa masalah dari man adalah operator tidak
mengetahui secara detail tentang aspek ergonomika sehingga nantinya operator akan
mengalami cedera otot seperti Musculoskeletal Disorders (MSD) dan low back pain.
Permasalahan dari method adalah operator selalu membungkuk ketika mengambil
part, operator tidak diberitahu tentang cara mengambil part yang benar, dan tidak
adanya SOP yang menjelaskan tentang bagaimana cara mengambil part yang benar.
Masalah yang ditemukan pada material adalah part yang beratnya lebih dari 2 kg
ditaruh di bawah sehingga operator harus membungkuk untuk membawanya. Gambar
9. menunjukkan operator harus membungkuk 900 untuk mengambil part yang
beratnya 2 kg yang ditaruh dibawah.
Gambar 9. Sketsa pada saat operator mengambil part
Sedangkan masalah yang ditemukan pada machine adalah ukuran rak tidak
sesuai dengan operator sehingga menyebabkan operator harus membungkuk dalam
pengambilan part. Namun dalam kegiatan mengambil part, improvement yang
dilakukan dapat difokuskan dari aspek machine, method, dan man. Improvement
dalam aspek material tidak dilakukan karena di PT.TMMIN, part yang beratnya
kurang dari 10 kg tidak harus menggunakan alat bantu untuk mengangkatnya.
A. Machine Improvement
Perhitungan ergonomic risk point dilakukan dengan menjumlahkan angka
dari level kecelakaan, frekwensi kerja, dan level countermeasure yang ada dari
setiap elemen kerja. Level kecelakaan kerja memiliki tiga kategori yaitu
kecelakaan fatal yang dapat menyebabkan kematian atau cacat, kecelakaan yang
memerlukan cuti/LWD (Lost working day), dan kecelakaan yang tidak
memerlukan cuti/ non-LWD. Frekwensi kerja memiliki tiga kriteria yaitu
frekwensi tinggi, frekwensi sedang, dan frekwensi rendah. Level Countermeasure
adalah tingkat pencegahan kecelakaan atau cidera seperti tidak adanya alat bantu
dalam pekerjaan tersebut termasuk tingkat kehati-hatian operator. Kriteria tersebut
dilihat pada setiap element dan poin yang ada dijumlahkan sehingga diperoleh
kategori resiko dari setiap element yang ada. Hasil penjumlahan ergonomic risk
point dari setiap pengamatan ini menunjukan seberapa besar tingkat/kategori
bahaya dari pekerjaan tersebut.
Bardasarkan perhitungan ergonomic risk point, potensi yang dapat diamati
dari aspek ergonomika manual material handling dan aspek K3 (Kesehatan dan
Keselamatan Kerja) adalah sebanyak 2063 poin. Hasil perhitungan ergonomic risk
point dapat dilihat pada Lampiran 4. Untuk menurunkan potensi bahaya, maka
dilakukan improvement pada machine. Pihak manajemen dalam hal ini divisi SHE
tidak menargetkan nilai penurunan yang harus dicapai, namun pihak manajemen
berusaha menurunkan nilai Evaluasi Resiko Kerja OSHMS yang berkaitan
dengan ergonomika manual material handling dan K3 seminim mungkin, agar
pekerja dapat terhindar dari penyakit yang disebabkan karena pekerjaan yang
tidak ergonomis serta pekerjaan yang berpotensi berbahaya.
Penurunan resiko bahaya ergonomika manual material handling dan K3
(Kesehatan dan Keselamatan Kerja) dapat dilakukan salah satunya dengan
perbaikan (improvement). Salah satu Improvement yang dilakukan adalah pada
mesin/peralatan untuk menyimpan part. Improvement ini dilakukan karena
sebagian besar posisi tidak ergonomis dalam proses pengambilan part yang
berada di rak tersebut sehingga operator harus membungkuk. Gambar 10.
menunjukan rak tempat penyimpanan part.
Gambar 10. Rak yang berada di pos 2
Part yang letaknya berada di bawah membuat operator harus membungkuk
untuk mengambilnya. Improvement pada rak yang diusulkan adalah dengan
menambahan base stacking. Base stacking ini digunakan untuk meninggikan
posisi part yang asalnya ada di bawah menjadi sedikit ke atas. Gambar 11.
menunjukan pekerjaan pada saat pekerja mengambil part.
Gambar 11(a). Gambar 11(b).
Pekerja mengambil part di Pos 2 Pekerja mengambil part di Pos 3
Ukuran dari base stacking yang terdapat di pos 2 yang sebelumnya 131 cm
menjadi 139 cm dan 84 cm menjadi 94 cm. Peninggian ini dilakukan berdasarkan
pada pengukuran antropometri para pekerja, hal ini dilakukan agar setiap pekerja
tidak membungkuk ketika melakukan pekerjaan pengambilan part. Adapun tinggi
badan rata rata dari setiap operator dalam pengambilan part ini adalah sebesar
168,3 cm. Penambahan tinggi 8 cm untuk base stacking atas didasarkan kepada
tinggi rata-rata operator dalam mengambil part yang harus membungkuk
membentuk sudut 450, sehingga dengan peninggian tersebut dapat merubah sudut
dari 450
menjadi 300. Sedangkan Penambahan tinggi 10 cm untuk base stacking
bawah didasarkan kepada tinggi rata-rata operator dalam mengambil part yang
harus membungkuk membentuk sudut hamper 900, sehingga dengan peninggian
tersebut dapat merubah sudut dari 900
menjadi 450 Gambar perbaikan rak pada
Pos 2 dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar detail rak di Pos 2 dapat dilihat pada
Lampiran 8.
Gambar 12(a). Gambar rak pada Pos 2
Gambar 12(b). Gambar rak tampak Gambar 12(c). Gambar rak tampak
samping pada pos 2 samping pada pos 2
sebelum perbaikan sesudah perbaikan (Keterangan: a= tinggi base stacking 131cm (Keterangan: a’= tinggi base stacking 139cm
b= tinggi base stacking 84 cm) b’= tinggi base stacking 94 cm)
Perbaikan di pos 2 menurunkan potensi bahaya yang dapat mengakibatkan
cedera otot. Perbaikan pada pos 2 ini telah dilakukan dan mendapatkan
penurunan ergonomic risk point yang cukup baik. Perbaikan ini menurunkan
potensi bahaya yang dapat menyebabkan oleh cedera otot yang sebelumnya 2063
poin menjadi 1718 poin atau sebesar 16.72%. Penurunan potensi bahaya di pos 2
dapat dilihat pada Lampiran 5. Gambar 13. menunjukan operator membawa part
yang telah dilakukan perbaikan pada machine.
Gambar 13. Kegiatan operator mengambil part setelah perbaikan
Usulan perbaikan yang dilakukan di Pos 3 sama dengan Pos 2 yaitu
dengan penambahan base stacking, namun perbaikan ini tidak dilakukan karena
biaya yang dibutuhkan cukup besar serta waktu yang diperlukan terlalu lama
dilakukan untuk perbaikan. Meskipun perbaikan ini tidak dilakukan, akan tetapi
perhitungan nilai dari penurunan potensi bahaya di pos 3 dapat dihitung dengan
hasil menurunnya ergonomic risk point dari yang sebelumnya 2063 poin menjadi
1472 poin atau sebesar 28.64%. Penurunan potensi bahaya di pos 3 dapat dilihat
pada Lampiran 6.
Apabila dilakukan perbaikan antara Pos 2 dan Pos 3, maka penurunan nilai
potensi kerja yang paling besar adalah pada pos 3. Hal ini terjadi karena pada pos
3, part yang dibawa cukup banyak dan ukurannya kecil sehingga menimbulkan
pekerja membungkuk lebih lama untuk memilih part dan menghitung jumlah part
yang dibawanya. Jadi apabila pada pos 3 dilakukan improvement, operator tidak
harus membungkuk terlalu lama untuk mengambil part
B. Method Improvement
Mengambil benda dengan bertumpu pada tulang punggung jika dilihat dari
sisi ergonomika manual material handling adalah prosedur yang salah. Perbaikan
peralatan maupun tempat kerja dapat memakan waktu yang lama karena proses
pengerjaannya dapat berakibat pada terhentinya proses produksi dan kerugian
perusahaan serta terkendala oleh dana perbaikan untuk tempat kerja tersebut.
Maka prioritas improvement yang selanjutnya harus dilaksanakan adalah dari segi
metode kerja.
Metode kerja yang terdapat di PT. TMMIN sudah banyak yang menerapkan
aspek ergonomika manual material handling, akan tetapi khususnya pada divisi
machining assy terdapat kegiatan pengambilan part yang mengharuskan operator
membungkuk lebih dari 450 yaitu pada Pos 2 dan Pos 3. Gerakan mengambil part
pada pos 2 dilakukan secara terus menerus setiap 4 menit 32 detik selama 8 jam
kerja dengan selang waktu 1 kali. Sedangkan pada pos 3 gerakan mengambil part
dilakukan secara terus menerus setiap 7 menit 9 detik selama 8 jam kerja dengan
selang waktu 1 kali. Adapun hasil penurunan perbaikan yang telah dilakukan pada
machine adalah dengan menambah base stacking dengan hasil beban kerja lebih
ringan dan waktu yang lebih singkat. Adapun hasil penurunan perbaikan yang
telah dilakukan pada machine dengan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 7. Tabel Penurunan Poin dan Waktu Hasil Perbaikan
ergonomika risk point Durasi
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
Pos 2 2063 poin 1718 poin 4 menit 32 detik 4 menit 10 detik
Pos 3 2063 poin 1472 poin 7 menit 9 detik
-
Posisi membungkuk yang dilakukan terus menerus akan menyebabkan
masalah kesehatan yang tidak nampak pada pekerja jika dilakukan dalam jangka
waktu yang lama dan frekwensi yang cukup tinggi. Masalah yang dapat
ditimbulkan adalah cedera otot atau musculoskeletal disorder (MSD) pada
pinggang, bahu, dan lengan. Cedera seperti ini dapat mengganggu produktivitas
pekerja sehingga berpotensi merugikan pekerja dan perusahaan.
Jika dilihat dari posisi tubuh pekerja pada pos 2 dalam melakukan kerja
pengambilan part adalah membungkuk dengan membentuk sudut 900.
Berdasarkan standar yang dibuat oleh PT. TMMIN, posisi tubuh seperti ini
memiliki nilai kecelakaan ergonomika sebasar 6 poin. Posisi membungkuk ini
dilakukan setiap 4 menit 32 detik sekali dengan lama membungkuk sebesar 17
detik secara terus menerus. Sedangkan pada pos 3, posisi pekerja juga
membungkuk dengan membentuk sudut 900. Akan tetapi pada pos 3 posisi
membungkuk dilakukan setiap 7 menit 9 detik sekali dengan lama membungkuk
34 menit secara terus menerus. Poin posisi tubuh berdasarkan standar yang dibuat
PT.TMMIN dapat dilihat pada Lampiran 7. Posisi membungkuk yang dilakukan
di pos 3 lebih lama dibandingkan dengan dengan pos 2 karena di pos 3
pengambilan part kecil dan harus menghitung berapa jumlah yang harus
dibawanya.
Pekerjaan seperti ini dikatakan tidak ergonomis karena membungkuk secara
terus menerus dapat menyebabkan penyakit yang disebabkan oleh cedera otot
yang berakibat pekerja mengalami sakit low back pain, Musculoskelatal disorder
dll. Oleh karena itu sebaiknya pekerjaan membungkuk harus dihindari.
Perbaikan yang dilakukan pada divisi machining assy adalah penerapan
aspek ergonomika dalam manual material handling. Sosialisasi penerapan
metodologi ergonomika tersebut dilakukan melalui pelatihan kepada operator
mengenai ergonomika dan manual material handling. Gambar 14. menunjukan
bahwa pekerja sedang melakukan pelatihan teoritis tentang aspek ergonomika
sehingga nantinya pekerja mengetahui bahaya dari pekerjaan yang salah dan dan
bahaya dari cedera otot. Pelatihan ini dilakukan oleh sebagian pekerja secara
bergantian agar proses produksi tetap bekerja secara lancar.
Gambar 14. Pelatihan teoritis
Dengan adanya pelatihan tersebut maka operator akan mengetahui
bagaimana posisi tubuh yang baik untuk bekerja dan cara membawa beban yang
berada di bagian bawah dengan benar. Gambar 15. menunjukan bahwa operator
telah menerapkan aspek ergonomika pada saat mengambil part. Prinsip dari
metode yang diberikan adalah mengusahakan agar operator menjaga posisi tulang
belakang tetap lurus. Perbaikan metode kerja ini menitik beratkan pada objek
yang menjadi tumpuan bekerja. Sebelum pekerja melakukan pekerjaan dengan
bertumpu pada tulang belakang, namun setelah perbaikan pekerja menggunakan
kaki sebagai tumpuan. Perubahan posisi kerja ini mengurangi poin bahaya
ergonomika, sebelumnya 4 poin menjadi 2 poin. Perbaikan metode kerja ini dapat
mengurangi potensi bahaya kerja ergonomika dari 2063 poin menjadi 1718 poin,
atau sebanyak 16,72%.
Gambar 15. Operator setelah melakukan pelatihan aspek ergonomi
C. Man Improvement
Selain perbaikan dari mesin dan metode kerja, pengetahuan tentang
ergonomika diberikan kepada pekerja dalam bentuk pelatihan pelatihan. Menurut
Silalahi (1995) perilaku pekerja yang aman disebabkan oleh 2 hal yaitu: pekerja
yang tidak tahu cara kerja yang aman atau tidak tahu perilaku yang berbahaya dan
pekerja mampu memenuhi persyaratan kerja yang menyebabkan terjadinya
seluruh peraturan dan persyaratan kerja, namun tidak memenuhi atau
mematuhinya. Pelatihan tersebut bertujuan agar pekerja tahu tentang ilmu
ergonomika dan akibat buruk yang disebabkan oleh pekerjaan yang tidak
ergonomis serta nantinya pekerja dapat menerapkan ilmu ergonomika dalam
pekerjaannya.
Dalam pelatihan tersebut, operator diberikan ujian untuk mengetahui
pemahaman dan posisi biasa operator dalam membawa beban yang berada di
bawah. Setelah itu pelaksanaan pelatihan, operator diuji kembali untuk
mengetahui perubahan pemahaman yang diperoleh dari pelatihan tersebut. Hasil
dari pelatihan tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 8. Hasil Pengujian operator bulan Maret dan April
NO REG Nama Score materi Status
Target Safety Quality SW HRD
1020091 F M 80 92 97 100 92 Lulus
1020092 S A 80 93 95 97 95 Lulus
1020093 N W 80 93 95 93 90 Lulus
1020094 E S 80 97 100 97 95 Lulus
1020095 J T S 80 93 97 97 100 Lulus
1020096 A R 80 97 97 95 100 Lulus
1020097 R B A 80 97 90 100 100 Lulus
1020098 R F 80 87 90 100 98 Lulus
1020128 D A 80 93 97 97 100 Lulus
1020127 S 80 93 85 97 100 Lulus
1020129 S F 80 93 90 97 100 Lulus
1020136 I A 80 97 93 90 100 Lulus
1020138 A G S 80 97 93 90 100 Lulus
1020135 K 80 100 97 100 100 Lulus
1020139 L 80 97 95 100 100 Lulus
1020137 D I 80 100 98 100 100 Lulus
Dari hasil pengujian tersebut, dapat dilihat bahwa kemampuan operator
dalam memahami prinsip dasar ergonomika meningkat setelah pelaksanaan
pelatihan. Operator diberikan target nilai 80 karena operator sebelumnya telah
mengetahui prinsip dasar ergonomika jadi pada pelatihan ini operator di ingatkan
kembali tentang aspek aspek ergonomika tersebut. Hampir semua operator dapat
poin melebihi target sehingga dapat disimpulkan bahwa pengetahuan operator
tentang aspek ergonomika cukup baik.
Selain itu perbaikan yang lain adalah dari kesadaran operator terhadap
keselamatan diri sendiri dan orang lain dalam bekerja perlu ditingkatkan.
Sedangkan untuk melindungi dari bahaya yang ada, operator juga ditekankan
selalu memakai alat pelindung diri.
Dari ketiga perbaikan yaitu aspek machine, method, dan man nilai dari risk
poin masih besar yaitu sekitar 1718 poin untuk perbaikan di pos 2 sedangkan jika
perbaikan di pos 3 dilakukan adalah sebesar 1472 poin. Perbaikan di pos 2 dan pos 3
tidak mengurangi potensi bahaya STOP 6 dan non STOP 6 yang berada pada divisi
machining assy tetapi hanya mengurangi potensi bahaya yang disebabkan oleh cedera
otot. Potensi bahaya yang berada pada divisi machining assy khususnya pos 1 sampai
pos 5 adalah potensi bahaya STOP 6 dan non STOP 6. Potensi ini dapat diturunkan
dengan kesadaran tiap operator tentang pentingnya keselamatan kerja serta
pentingnya bekerja sesuai dengan standar operasional yang ada di PT.TMMIN.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
Perhatian toyota terhadap karyawan terutama dalam bidang kesehatan dan
keselamatan kerja sudah dilakukan cukup baik, hal ini dapat dilihat dari komitmen
perusahaan untuk menerapkan safety standar. Aspek manual material handling untuk
K3 (kesehatan dan keselamatan kerja) sudah banyak diperhatikan oleh Toyota dalam
proses produksinya. Akan tetapi masih ada divisi yang masih sedikit dalam
menerapkan aspek manual material handling.
Perbaikan pada machine dengan menambah dudukan stacking sehingga rak
tempat menyimpan part menjadi sesuai dengan tinggi pekerja yang yang akan
membawa part untuk dirangkai. Perbaikan pada machine ini berada pada pos 2 dan
pos 3. Pada pos 2 perbaikan machine menurunkan nilai ergonomic risk poin dari 2063
menjadi 1718 poin atau sebesar 16,72%. Sedangkan pada pos 3 perbaikan machine
menurunkan nilai ergonomic risk poin dari 2063 menjadi 1472 poin atau sebesar
28,64%.
Perbaikan pada man (operator) dilakukannya tes awalan untuk mengetahui
seberapa banyak pengetahuan tentang ergonomika dari para pekerja lalu diberikan
pelatihan agar pengetahuan tentang ergonomika bertambah dan dapat diterapkan pada
proses produksi.
Perbaikan di pos 2 dan pos 3 tidak mengurangi potensi bahaya yang berada
pada divisi machining assy yang disebabkan oleh STOP 6 dan non STOP 6, tetapi
hanya mengurangi potensi bahaya yang disebabkan oleh cedera otot. Potensi bahaya
yang berada pada divisi machining assy khususnya pos 1 sampai pos 5 adalah potensi
bahaya STOP 6 dan non STOP 6. Potensi ini dapat diturunkan dengan kesadaran tiap
operator tentang pentingnya keselamatan kerja serta pentingnya bekerja sesuai
dengan standar operasional yang ada di PT.TMMIN.
b. Saran
Perusahaan dapat melakukan pelatihan yang rutin kepada setiap karyawan
terkait dengan bidang ergonomika. Perusahaan juga dapat memberikan award kepada
karyawan yang disiplin dalam menerapkan prinsip keselamatan di perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim . 2009 . http://chalisbrother-engineering.blogspot.com/2009/12/postur-
kerja.html.[13 Maret 2010]
Baiquni, Kokoh. 2009. Study Aspek Kebisingan Di unit Stamping Shop, Karawang
Plant PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian IPB, Bogor.
Bridger, R. S. 1995. Introduction to Ergonomics. New York; McGraw-Hill, Inc.
Di Nardi, S. R. 1997. Ergonomics. Dalam: The Occupational Environment: It’s
Evaluation and Control. Virginia; American Industrial Hygiene Association.
Humantech. 1995. Applied Ergonomics Training Manual. Berkeley Australia;
Humantech,Inc. 2nd
edition.
Mangkunegara, A. P. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Manuaba, A. 2000. Ergonomi, Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Procceding:
Peranan Ergonomi Industri untuk Meningkatkan Daya Saing Global dalam
Memasuki Era Millenium Ketiga: 6-7 September, 2000, Guna Widya,
Surabaya: 1-4.
Masrochan, Ali. 2009. Peningkatan Kualitas Kerja Berdasarkan Aspek Ergonomika
Pada Packing and Vanning Division PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.
Nurmianto, Eko. 2004. Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. Edisi Kedua.
Guna Widya: Surabaya
Oborne, D. J 1995. Erginomics at Work Human Factor In Design and Development.
England; John wiley & Sons, Ltd. 3rd
edition.
Pheasant, S. 1986. Body Space; Anthropometry, Ergonomics and Design. London &
Philadelphia; Taylor & Francis.
PT.Toyota Toyota Motor Manufacturing. 2009 . Work Riss Assesment . Jakarta
Santoso, Gempur. 2004. Ergonomi, Manusia, Peralatan dan Lingkungan.
Prestasi Pustaka: Jakarta
Satrya, C .2002. Manual Handling , Mata kuliah Dasar-dasar Ergonomi
Setiawan, Deni. 2009. Mempelajari Aspek Ergonomika dan K3 (Kesehatan dan
Keselamatn Kerja) Di PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.
Silalahi, B. N. B. dan Silalahi, R, B. (1995). Manajement Keselamatn dan Kesehatan
Kerja. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo
Suam’mur, P. K. 1980. Higiene Perusahaan dan Keselamatan Kerja. Gunung Agung.
Jakarta
Suam’mur, P. K. 1980. Ergonomi Untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta:
CV Haji Masagung
Sutalaksana Z . Iftikar, at.al., Teknik tata Cara Kerja, TI-ITB, Bandung, 1997
LAMPIRAN
Lampiran 1. Gambar Kawasan Industri PT . TMMIN
Lampiran 2. Potensi kecelakaan non STOP 6
Lampiran 3. Denah pos 1 sampai dengan pos 5
Lampiran 3. Denah pos 1 sampai dengan pos 5
N:50 IZK21 N:49
N:48
N:47
N:46 N:45
N:44
N:43
N:42
N:41
N:40
N:39 N:38
N:37
N:36
15 14 13 12 11 10 17 18 Conveyor
Speed Cepat
1 2 3
1
4 5
6
8 9
7
10
Lampiran 4. Hasil perhitungan risk point
Lampiran 5. Penurunan potensi bahaya pos 2
Lampiran 6. Penurunan potensi bahaya pos 3
Lampiran 7. Poin posisi tubuh berdasarkan standar yang dibuat PT.TMMIN