23
BAB I PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki ± 17.508 pulau, wilayahnya terbentang sepanjang 3.9777 mil antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik telah menjadi salah satu negara dengan kekayaan laut terbesar di dunia . Namun pemanfaatan sumber daya laut tersebut untuk kesejahteraan masyarakat ternyata belum optimal, Rp. 20 trilyun per tahun atau 75 % dari kekayaan laut hilang sebagai akibat illegal fishing. Upaya penanggulangan illegal fishing telah dilakukan dengan melahirkan undang-undang No.45 Tahun 2009 Perubahan atas Undang- undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan (UU Perikanan) pada tanggal 6 Oktober 2004 yang pokoknya mengatur tentang pengelolaan perikanan untuk meningkatkan kemakmuran dan keadilan guna pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa dan negara dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan perikanan nasional. Pengunaan sarana pidana dalam undang-undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu membentuk pengadilan perikanan pada lima pengadilan negeri, yaitu Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual paling lambat pada tanggal 6 Oktober 2006, namun berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2006 pembentukan pengadilan perikanan telah ditangguhkan

Analisis Hukum Acara UU NO. 45 Tahun 2009

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Analisis Hukum

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki 17.508 pulau, wilayahnya terbentang sepanjang 3.9777 mil antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik telah menjadi salah satu negara dengan kekayaan laut terbesar di dunia . Namun pemanfaatan sumber daya laut tersebut untuk kesejahteraan masyarakat ternyata belum optimal, Rp. 20 trilyun per tahun atau 75 % dari kekayaan laut hilang sebagai akibat illegal fishing. Upaya penanggulangan illegal fishing telah dilakukan dengan melahirkan undang-undang No.45 Tahun 2009 Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan (UU Perikanan) pada tanggal 6 Oktober 2004 yang pokoknya mengatur tentang pengelolaan perikanan untuk meningkatkan kemakmuran dan keadilan guna pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa dan negara dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan perikanan nasional. Pengunaan sarana pidana dalam undang-undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu membentuk pengadilan perikanan pada lima pengadilan negeri, yaitu Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual paling lambat pada tanggal 6 Oktober 2006, namun berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2006 pembentukan pengadilan perikanan telah ditangguhkan menjadi paling lambat sampai dengan 6 Oktober 2007. Setelah kelima pengadilan tersebut terbentuk, kemudian menyusul Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Pengadilan Negeri Ranai. Sebagai suatu kebijakan dalam penanggulangan illegal fishing yang akan menjadi landasan dalam kebijakan aplikasi maupun eksekusi , maka UU Perikanan telah memuat regulasi/formulasi baik mengenai hukum acara pidana maupun tindak pidana perikanan. Hukum acara dalam penyidikan, penuntutan maupun persidangan pada pengadilan perikanan dilakukan menurut KUHAP kecuali telah ditentukan secara khusus dalam UU Perikanan. Tindak pidana perikanan juga telah mendapatkan legitimasi dalam Bab XV, yaitu dalam Pasal 84 s/d Pasal 104 UU Perikanan.Makalah ini akan menganalisis mengenai kelemahan-kelemahan dalam kebijakan formulasi hukum acara pidana dalam UU Perikanan, karena tahap ini merupakan tahap yang paling strategis dari upaya pananggulangan kejahatan melalui penal policy. Kelemahan pada kebijakan formulasi dapat dipandang sebagai kesalahan strategis dan oleh karenanya dapat menghambat atau setidak-tidaknya mempengaruhi efektifitas penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.

BAB IIPEMBAHASAN

A. HUKUM ACARA PIDANA SECARA UMUM1). Pengertian Hukum Acara Menurut Simon Hukum acara pidana bertugas mengatur cara-cara negara dengan alat perlengkapanya mempergunakan wewenangnya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.Menurut Sudarto hukum acara pidana adalah aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan pleh pada penegak hukum dan pihak-pihak lain yang terlibat didalamnya apabila ada persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar.2). Fungsi, Tugas dan Tujuan Hukum Acara PidanaFungsi hukum acara pidana adalah menegakkan/menjalankan hukum pidana. Hukum acara pidana beroprasi sejak adanya sangkaan tindak pidana walaupun tanpa adanya permintaan dari korban kecuali tindakan pidana yang ditentukan lain oleh UU.Tugas pokok hukum acara pidana:a. Mencari kebenaran materil.(kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketetapan-ketetapan hukum acara pidana secara jujur, tepat dengan tujuan untuk mencari siapa pelaku yang dapat didakwakan melanggar hukum pidana dan selanjutnya minta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menentukan adakah bukti suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah pelakunya bisa dipersalahkan.b. memeberikan putusan hakim.c. melaksanakan putusan hakim.Ruang lingkup acara pidana: tata cara peradilan termasuk pengkhususannya misal peradilan anak, ekonomi,perikanan dan lain-lain.Tujuan hukum pidana: mencari kebenaran materiil sekaligus perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.3). Asas-asas Hukum Acara Pidanaa) semua orang diperlakukan sama didepan hukum.b) penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat berwenang dan dengan cara yang diatur UU.c) asas praduga tak bersalahd) kepada orang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU dan atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan wajib diberi ganti rugi(hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini). dan rehabilitasi (hak seorang untuk mendapat pemulihan hanya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini) singkat dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi.e) peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, serta bebas, jujur, dan tidak memihak.f) setiap orang yang tengsangkut pidana wajib menerima bantuan hukum.g) terdakwa wajib diberi tahu dakwaanya, dasar hukumnya dan menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum.h) terdakwa harus hadir dalam persidangan.i) terbuka untuk umum kecuali yang ditentukan lain oleh UU.j) pengawasan putusan pengdilan dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan.B. HUKUM ACARA PENGADILAN PERIKANANHukum acara dalam UU Perikanan diatur dalam Bab XIII dan Bab XIV. Pada hakikatnya hukum acara dalam UU Perikanan sama dengan hukum acara pada pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP. Perbedaan hanya dalam beberapa ketentuan yang telah diatur secara khusus diatur oleh UU Perikanan. Berikut pasal-pasal yang mengatur hukum acara dalam undang-undang perikanan :Pengadilan Perikanana. Pasal 71(1) Dengan Undang-Undang ini dibentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili,dan memutus tindak pidana di bidang perikanan.(2) Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud padaayat (1) merupakan pengadilan khusus yang beradadalam lingkungan peradilan umum. (3) Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud padaayat (1) akan dibentuk di Pengadilan Negeri JakartaUtara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual.(4) Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud padaayat (1) berkedudukan di pengadilan negeri.(5) Pembentukan pengadilan perikanan selanjutnyadilakukan secara bertahap sesuai dengankebutuhan yang ditetapkan dengan Keputusan b. Pasal 71APengadilan perikanan berwenang memeriksa, mengadili,dan memutuskan perkara tindak pidana di bidangperikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikananNegara Republik Indonesia, baik yang dilakukan olehwarga negara Indonesia maupun warga negara asing.

Penyidikana. Pasal 72Penyidikan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan, dilakukan berdasarkanhukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang inib. Pasal 73(1) Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan diwilayah pengelolaan perikanan Negara RepublikIndonesia dilakukan oleh Penyidik Pegawai NegeriSipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan/atauPenyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.(2) Selain penyidik TNI AL, Penyidik Pegawai NegeriSipil Perikanan berwenang melakukan penyidikanterhadap tindak pidana di bidang perikanan yangterjadi di ZEEI.(3) Penyidikan terhadap tindak pidana di bidangperikanan yang terjadi di pelabuhan perikanan,diutamakan dilakukan oleh Penyidik PegawaiNegeri Sipil Perikanan.(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dapat melakukan koordinasi dalam penangananpenyidikan tindak pidana di bidang perikanan. (5) Untuk melakukan koordinasi dalam penanganan tindak pidana di bidang perikanan sebagaimanadimaksud pada ayat (4), Menteri membentuk forum koordinasi.c. Pasal 73APenyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73berwenang:a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorangtentang adanya tindak pidana di bidang perikanan;b. memanggil dan memeriksa tersangka dan/atausaksi untuk didengar keterangannya;c. membawa dan menghadapkan seseorang sebagaitersangka dan/atau saksi untuk didengarketerangannya;d. menggeledah sarana dan prasarana perikanan yangdiduga digunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan;e. menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa,dan/atau menahan kapal dan/atau orang yangdisangka melakukan tindak pidana di bidangperikanan;f.memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan;g. memotret tersangka dan/atau barang bukti tindakpidana di bidang perikanan;h. mendatangkan ahli yang diperlukan dalamhubungannya dengan tindak pidana di bidangperikanan;i.membuat dan menandatangani berita acarapemeriksaan;j.melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana;k. melakukan penghentian penyidikan; dan mengadakan tindakan lain yang menurut hukumdapat dipertanggungjawabkan.d. Pasal 73B1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditemukan adanya tindak pidana di bidang perikanan.(2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapatmenahan tersangka paling lama 20 (dua puluh)hari.(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila diperlukan untuk kepentinganpemeriksaan yang belum selesai, dapatdiperpanjang oleh penuntut umum paling lama 10(sepuluh) hari.(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)dan ayat (3) tidak menutup kemungkinan tersangkadikeluarkan dari tahanan sebelum berakhir waktupenahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaansudah terpenuhi.(5) Setelah waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka daritahanan demi hukum.(6) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73A menyampaikan hasil penyidikan ke penuntu tumum paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pemberitahuan dimulainya penyidikan.

Penuntutan a. Pasal 74Penuntutan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.b. Pasal 75(1) Penuntutan terhadap tindak pidana di bidangperikanan dilakukan oleh penuntut umum yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.(2) Penuntut umum perkara tindak pidana di bidang perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:a. berpengalaman menjadi penuntut umum sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; b. telah mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis di bidang perikanan; dan c. cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama menjalankan tugasnyac. Pasal 76(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik wajib memberitahukanhasil penelitiannya kepada penyidik dalam waktu 5(lima) hari terhitung sejak tanggal diterimanya berkas penyidikan.(2) Dalam hal hasil penyidikan yang disampaikan tidak lengkap, penuntut umum harus mengembalikan berkas perkara kepada penyidik yang disertai dengan petunjuk tentang hal-hal yang harus dilengkapi.(3) Dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hariterhitung sejak tanggal penerimaan berkas,penyidik harus menyampaikan kembali berkasperkara tersebut kepada penuntut umum..(4) Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 5 (lima) hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir sudah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.(5) Dalam hal penuntut umum menyatakan hasil penyidikan tersebut lengkap dalam waktu palinglama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan berkas dari penyidik dinyatakan lengkap, penuntut umum harus melimpahkan perkara tersebut kepada pengadilan perikanan. (6) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan selama 10 (sepuluh) hari.(7) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat(6), apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang paling lama 10 (sepuluh) hari.(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) tidak menutup kemungkinan tersangka dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.(9) Penuntut umum menyampaikan berkas perkara kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penerimaan berkas dari penyidik dinyatakan lengkap.d. Pasal 76ABenda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri.e. Pasal 76B(1) Barang bukti hasil tindak pidana perikanan yang mudah rusak atau memerlukan biaya perawatan yang tinggi dapat dilelang dengan persetujuan ketua pengadilan negeri.(2) Barang bukti hasil tindak pidana perikanan yang mudah rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa jenis ikan terlebih dahulu disisihkan sebagian untuk kepentingan pembuktian dipengadilan.f. Pasal 76C(1) Benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76A dapat dilelang untuk negara.(2) Pelaksanaan lelang dilakukan oleh badan lelang negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.(3) Uang hasil pelelangan dari hasil penyitaan tindak pidana perikanan disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak.(4) Aparat penegak hukum di bidang perikanan yang berhasil menjalankan tugasnya dengan baik danpihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan negara diberi penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan yang berupa kapal perikanan dapat diserahkan kepada kelompok usaha bersama nelayan dan/atau koperasi perikanan.(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pemeriksaan Pengadilana. Pasal 77 Pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanandilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.b. Pasal 78(1) Hakim pengadilan perikanan terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc.(2) Susunan majelis hakim terdiri atas 2 (dua) hakim ad hoc dan 1 (satu) hakim karier. (3) Hakim karier sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung. (4) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.c. Pasal 78A(1)Setiap pengadilan negeri yang telah ada pengadilan perikanan, dibentuk sub kepaniteraan pengadilan perikanan yang dipimpin oleh seorang panitera muda(2) Dalam melaksanakan tugasnya, panitera muda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh beberapa orang panitera pengganti.(3) Panitera muda dan panitera pengganti pengadilan perikanan berasal dari lingkungan pengadilan negeri. (4)Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pengangkatan, dan pemberhentian panitera mudadan panitera pengganti pengadilan perikanan sertasusunan organisasi, tugas, dan tata kerja sub kepaniteraan pengadilan perikanan diatur dengan peraturan Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangand. Pasal 79Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa.e. Pasal 80(1) Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan perkara dari penuntut umum, hakim harus sudah menjatuhkan putusan. (2) Putusan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh hakim tanpa kehadiran terdakwa. f. Pasal 81 (1) Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan berwenang menetapkan penahanan selama 20 (dua puluh) hari. (2) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan paling lama 10 (sepuluh) hari. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.g. Pasal 82 (1) Dalam hal putusan pengadilan dimohonkan banding ke pengadilan tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh pengadilan tinggi. (2) Untuk kepentigan pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan tinggi berwenang menetapkan penahanan selama 20 (dua puluh) hari. (3)Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan tinggi yang bersangkutan paling lama 10 (sepuluh) hari. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. h. Pasal 83(1) Dalam hal putusan pengadilan tinggi dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung,perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung. (2) Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang Mahkamah Agung berwenang menetapkan penahanan selama 20 (dua puluh) hari. (3) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila perlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh KetuaMahkamah Agung paling lama 10 (sepuluh) hari. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3), tidak menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhii. Pasal 83A(1) Selain yang ditetapkan sebagai tersangka dalamtindak pidana perikanan atau tindak pidana lainnya, awak kapal lainnya dapat dipulangkan termasuk yang berkewarganegaraan asing.(2) Pemulangan awak kapal berkewarganegaraan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang keimigrasian melalui kedutaan atau perwakilan negara asal awak kapal.(3) Ketentuan mengenai pemulangan awak kapal berkewarganegaraan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Di tinjau dari aspek formulasi hukum acara, undang-undang perikanan ini memiliki berbagai kelemahan mendasar yang menghambat penegakan hukum dalam penanggulangan tindak pidana perikanan sehingga perlu mendapatkan perhatian serius, yaitu :Pertama, pembentukan Pengadilan Perikanan didasarkan pada Pasal 71 ayat (1) UU Perikanan. Pembentukan pengadilan khusus perikanan seharusnya dibentuk berdasarkan undang-undang yang khusus mengatur tentang pengadilan perikanan, bukan didasarkan pada UU Perikanan. Hal ini didasarkan pada Pasal 24A Ayat 5 UUD 1945 yang berbunyi : Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan undang-undang. Dari segi teknik perundang-undangan, frasa diatur dengan undang-undang berarti harus diatur dengan undang-undang tersendiri .Kedua, kompetensi relatif pengadilan perikanan sesuai dengan pengadilan negeri yang bersangkutan (Pasal 71 ayat (4)). Selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain pengadilan perikanan pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual, maka perkara tindak pidana perikanan yang terjadi di luar wilayah hukum pengadilan perikanan tersebut tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang (Pasal 106). Ketentuan demikian menjadikan adanya dualisme rezim hukum, yaitu rezim hukum pengadilan negeri dan rezim hukum pengadilan perikanan.Ketiga, penyidik tindak pidana di bidang perikanan dapat dilakukan sendiri-sendiri atau bersama-sama oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (Pasal 73 ayat 1). Tampaknya ketentuan ini dimaksudkan sebagai legitimasi bagi PPNS, Perwira TNI AL maupun Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia untuk melakukan penyidikan tindak pidana perikanan yang terjadi di seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Akan tetapi UU Perikanan tidak mencabut ketentuan mengenai penyidikan dalam Pasal 14 UU No. 5 Th. 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) yang menentukan bahwa penyidik di ZEEI adalah Perwira TNI AL, sehingga terhadap tindak pidana dengan locus delicty di ZEEI sering terjadi tarik menarik kewenangan antar penyidik. Sesuai UU ZEEI sebagai undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai ZEEI dibandingkan UU Perikanan, maka berlaku asas lex specialist derogat legi generaly, kewenangan melakukan penyidikan di ZEEI hanyalah milik Penyidik Perwira TNI AL .Keempat, persidangan pengadilan perikanan dilakukan dengan 1 (satu) hakim karier sebagai ketua majelis dan 2 (dua) orang anggota yang berasal dari hakim ad hoc (Pasal 78). Apabila keberadaan hakim ad hoc pada pengadilan perikanan untuk menutupi kelemahan sumber daya manusia yang dianggap ada, hal ini menjadi rancu karena keberadaan hakim ad hoc hanya ada pada pengadilan tingkat pertama, pada pengadilan tingkat banding maupun kasasi tidak dikenal adanya hakim ad hoc perikanan.Kelima, jangka waktu penanganan perkara perikanan diatur cukup singkat, yaitu 20 hari ditingkat penuntutan sedangkan ditingkat pengadilan perikanan, Pengadilan Tinggi (PT) dan Mahkamah Agung (MA) masing-masing 30 hari terhitung penerimaan berkas perkara. Membandingkannya dengan KUHAP, penyelesaian perkara tidak ditentukan jangka waktunya, yang ditentukan adalah jangka waktu penahanan.Ketentuan pembatasan waktu tersebut sering berbenturan dengan kondisi riil dilapangan. Pada tingkat penuntutan akan berbenturan dengan mekanisme kontrol di Kejaksaan yang berjenjang sehingga penyelesaian di kejaksaan membutuhkan waktu yang lama, sedangkan pada pemeriksaan di pengadilan akan berbenturan dengan mekanisme beracara yang harus dilalui. Waktu 30 hari sering tidak cukup karena digunakannya hak terdakwa mengajukan eksepsi, adanya tanggapan penuntut umum terhadap eksepsi, tuntutan pidana penuntut umum, pembelaan, replik, maupun duplik. Kesulitan memanggil saksi maupun pemanggilan saksi atau terdakwa agar syah dan patut menurut KUHAP juga membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Terlebih lagi harus memberikan kesempatan kepada penuntut umum mengajukan tuntutan pidananya. Penuntut umum biasanya harus menunggu rencana tuntutan (rentut) yang sangat birokratis hingga Kejaksaan Agung. Pada tingkat pemeriksaan di PT atau MA, waktu 30 hari tersebut juga sering menyulitkan karena perkara yang ditangani kedua lembaga peradilan ini selalu overload.Tindak pidana perikanan telah merugikan negara begitu besar dengan hilangnya kekayaan laut yang seharusnya dapat dinikmati rakyat. Oleh karena itu, memegang aturan secara strict law dengan cara hakim pengadilan perikanan menyatakan penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima karena jangka waktu 30 hari telah habis sebagai akibat penuntut umum belum dapat mengajukan saksi-saksi atau penuntut umum belum mengajukan tuntutan pidananya akan berbenturan dengan rasa keadilan masyarakat. Dengan jangka waktu 30 hari telah digunakan, pada putusan akan melekat asas ne bis in idem. Perkara yang diputus demikian tidak dapat diajukan kembali kepengadilan oleh penuntut umum sehingga potensi kerugian negara semakin tidak terhindarkan.

BAB IIIPENUTUPPemberlakuan UU Perikanan sudah lebih dari lima tahun sejak perubahan undang-undang No. 45 tahun 2009 dan pengadilan perikanan juga sudah lebih dari tujuh tahun dioperasionalkan. Akan tetapi masih ditemukannya kelemahan-kelamahan mendasar pada UU Perikanan misalnya adanya pengadilan perikanan yang jarang sekali bahkan nihil melakukan melakukan persidangan . Kelemahan-kelemahan yang berasal dari UU Perikanan akan menyulitkan dalam aplikasi mapun eksekusinya sehingga menghambat efektifitas dalam penegakannya. Kompetensi relatif pengadilan perikanan sesuai dengan pengadilan negeri yang bersangkutan (Pasal 71 ayat (4)). Selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain pengadilan perikanan pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual, maka perkara tindak pidana perikanan yang terjadi di luar wilayah hukum pengadilan perikanan tersebut tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang (Pasal 106). Ketentuan demikian menjadikan adanya dualisme rezim hukum, yaitu rezim hukum pengadilan negeri dan rezim hukum pengadilan perikanan.Apabila keberadaan pengadilan perikanan akan dipertahankan, maka perlu diatur tersendiri dalam undang-undang. Hukum Acara Pengadilan Perikanan harus sejalan dengan KUHAP dan memperhatikan kondisi riil di lapangan. Sarana dan prasarana dalam penegakan hukum juga harus diadakan, dilengkapi dan ditingkatkan.