Upload
lovi-krissadi
View
2.252
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
PENGANTAR
Perubahan-perubahan sosial yang cepat sebagai konsekuensi modernisasi,
industrialisasi dan kemajuan teknologi mengakibatkan perilaku agresif remaja di
Indonesia semakin meningkat. Kebanyakan remaja berstatus sebagai pelajar adalah
individu yang mengalami transisi dari kehidupan anak-anak menuju kehidupan orang
dewasa yang ditandai dengan perubahan dan perkembangan baik segi fisik, psikis,
dan sosial (Monks dkk, 1991).
Tindak kekerasan remaja di Indonesia sekarang seperti yang banyak dilansir
oleh berbagai media telah mencapai tingkat yang membahayakan. Misalnya kasus
yang dialami AS usia 17 tahun dan NR usia 18 tahun, keduanya adalah pelajar SMU
di Yogyakarta melakukan penganiayaan terhadap JP karena bersenggolan saat
mengendarai sepeda motor (Kedaulatan Rakyat, 19 September 2003). Data di Jakarta
misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian
pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar,
tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota
masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2
anggota Polri, dan pada tahun 1999 korban meningkat dengan 37 korban tewas.
Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat
(Tambunan, 2001).
Perilaku agresi adalah perilaku yang ditujukan untuk menyakiti makluk hidup
lain secara fisik maupun verbal. Para ahli ilmu sosial menggunakan istilah agresi
untuk setiap perilaku yang bertujuan menyakiti badan atau perasaan orang lain
(Bailey, 1998). Agresi melibatkan setiap bentuk penyiksaan psikologis atau
emosional. Remaja lebih menunjukkan perilaku agresif dari pada anak-anak dan
orang dewasa, dalam masa yang masih labil, remaja mempunyai kecenderungan yang
lebih besar untuk berperilaku agresi.
Perilaku agresi remaja tersebut menurut Santoso (1994) akhir-akhir ini
menunjukkan gejala semakin mengalami peningkatan baik dari segi kualitas maupun
kuantitas. Perilaku tersebut juga semakin tidak pandang bulu dan tidak memilih
tempat dan waktu (Sarwono dalam Koeswara 1988). Masa remaja juga merupakan
masa yang sulit, kerena pada masa inilah seseorang mencari identitas dirinya setelah
mereka melewati masa anak. Pada masa ini seseorang berusaha untuk memilih dan
membentuk nilai-nilai yang dianggap cocok bagi dirinya. Menurut Konopka
(Gunarsa, 1985), masa remaja merupakan fase yang paling penting dalam
pembentukan nilai.
Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku agresivitas, di antaranya
kelompok sebaya dapat juga mempengaruhi munculnya sikap agresi remaja. Pada
masa remaja perkembangan individu ditandai juga dengan terjadinya dua macam
gerakan yaitu gerakan memisahkan diri dari orang tua dan menuju ke arah teman
sebaya (Monks dkk, 2001). Lingkungan masyarakat di mana individu berada turut
pula mempengaruhi terbentuknya sikap agresi remaja. Nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat di mana individu tersebut berada dapat digunakannya sebagai dasar untuk
membentuk sikapnya. Sementara pada sisi yang lain, sudah sangat sering terdengar
berita tentang bagaimana “kerasnya” dunia remaja. Berita tentang perkelahian,
tawuran, pemerkosaan dan tindakan lainnya yang bahkan sering kali mengarah
kepada tindakan kriminal mudah ditemukan dalam berbagai media cetak maupun
media elektronik. Remaja bisa berperilaku agresi walaupun hanya karena alasan yang
sepele, seperti adu pandang dengan remaja lain, kata-kata yang menyinggung ataupun
alasan kesetiakawanan. Tampaknya begitu mudah dan begitu bebas seorang remaja
untuk mengekspresikan agresinya, dengan mengabaikan nilai-nilai dalam hidupnya.
Tanpa ada perasaan malu atau takut remaja melukai fisik maupun perasaan orang
lain, atau paling tidak akan membuat ketidakserasian antar remaja satu dengan remaja
lain. Padahal remaja hidup dalam lingkungan budaya yang diataur oleh nilai-nilai.
Nilai merupakan disposisi yang lebih luas dan sifatnya lebih mendasar. Nilai
berakar lebih mendalam dan karenanya lebih stabil. Lebih dari pada itu, nilai
dianggap sebagai bagian dari kepribadian individu yang dapat mewarnai kepribadian
kelompok atau kepribadian bangsa. Jadi nilai bersifat lebih mendasar dan stabil
sebagai bagian dari “ciri kepribadian” (Azwar, 2002).
Hasil penelitian Astuti (1996) menunjukan adanya hubungan yang positif
antara konsep diri dengan sikap agresi. Semakin tinggi konsep diri maka semakin
tinggi pula sikap agresinya. Penelitian mengenai Studi Tentang Nilai-Nilai Budaya
Jawa Dan Agresivitas Remaja oleh (Agus Yuniarto, 2002), terhadap remaja SMA
dengan hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan agresivitas yang sangat
signifikan ditinjau dari tingkat atau derajat nilai budaya jawa yang tinggi.
Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara nilai
hidup dengan agresivitas remaja.
Manfaat dari penelitian ini secara teoritis, manfaat hasil penelitian ini
diharapkan memperkaya khasanah psikologi, khususnya psikologi sosial dan
psikologi perkembangan dengan fenomena remaja dengan permasalahannya. Secara
praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai bahan pertimbangan bagi
pendidik maupun orang tua agar lebih peka terhadap perkembangan psikis remaja
maupun perkembangan sosialnya.
Pengertian Nilai Hidup
Pengertian nilai hidup menurut Kluckhohn (Mulyana, 2004) adalah suatu
konsepsi yang dapat terungkap secara eksplisit atau implisit, yang menjadi ciri khas
individu atau karakteristik suatu kelompok mengenai hal-hal yang diinginkan dan
berpengaruh terhadap proses seleksi dari sejumlah modus, cara dan hasil akhir suatu
tindakan. Nilai adalah rujukkan dan keyakinan dalam menentukan pilihan (Mulyana,
2004).
Menurut Stagner (Adisubroto, 1995), nilai hidup ini tidak dapat dipisahkan
dengan kehidupan manusia, karena nilai hidup terbentuk dan dimiliki manusia
melalui proses yang lama. Nilai hidup merupakan hasil interaksi antara individu
dengan lingkungan hidupnya. Nilai yang dimiliki individu dan masyarakat dapat
berubah karena pengalaman, pendidikan, perubahan sosial, bertambahnya usia
maupun karena kejadian-kejadian khusus (Adisubroto, 1995).
Spranger (Suryabrata, 2005) berpandangan bahwa kebudayaan (culture)
merupakan sistem nilai-nilai, karena kebudayaan tidak lain adalah kumpulan nilai
yang tersusun menurut struktur tertentu. Kebudayaan sebagai sistem atau struktur
nilai-nilai oleh Spranger digolongkan menjadi enam lapangan nilai. Keenam nilai
diatas dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar, yaitu (a) lapangan nilai yang
bersangkutan dengan manusia sebagai individu, yang meliputi nilai pengetahuan,
nilai ekonomi, nilai kesenian, dan lapangan keagamaan. (b) lapangan-lapangan nilai
yang bersangkutan dengan kekuatan cinta dan cinta kekuasaan, yaitu nilai sosial dan
nilai politik.
Jenis-jenis Nilai Hidup
a. Nilai Pengetahuan
Pada manusia ini yang paling menonjol adalah sikapnya terhadap ilmu
pengetahuan. Orang intelektualitas sejati seluruh hidupnya diarahkan kepada
kebenaran dan hakikat benda-benda dan peristiwa-peristiwa di dunia ini. Tujuan yang
selalu dikejar oleh manusia ini adalah pengetahuan yang objektif. Orang seperti ini
adalah orang yang berpikir logis, mempunyai pengertian-pengertian yang jelas, hal-
hal yang lain seperti moral dan keindahan terdesak kebelakang (Fudyartanta, 2005).
b. Nilai Ekonomi
Nilai ekonomi adalah nilai hidup yang mengutamakan barang atau benda
sebagai hal yang utama. Bagi manusia ekonomi prinsip utility atau kegunaan
merupakan dasar yang mendominasi tindakan, kegunaan merupakan tujuan perbuatan
dalam memuaskan kebutuhan (Suryabrata, 2005).
c. Nilai Estetik
Nilai estetik adalah nilai hidup yang mementingkan keindahan. Manusia yang
bersikap estetik ini menghayati hidup ini tidak sebagai pemain, tetapi sebagai
penonton. Mudah terkena impresi, menghayati segala kesan yang diterimanya secara
pasif (Suryabrata, 2005).
d. Nilai Agama
Nilai religius adalah nilai yang mengutamakan pencarian hal tertinggi dari
kekuatan absolut (Tuhan). Nilai hidup yang tertinggi pada manusia religius adalah
unity atau kesatuan dari seluruh bentuk kehidupan di dunia. Manusia ini mempunyai
sikap immanent mystics, yang selalu mencari nilai tertinggi di dunia ini Spranger
(Fudyartanta, 2005).
e. Nilai Sosial
Nilai sosial adalah nilai yang mengutamakan pengabdian kepada kepentingan
umum. Manusia yang tergolong bersikap sosial memiliki kebutuhan akan adanya
resonansi dan hidup bersama di antara manusia lain, ingin mengabdi kepada
kepentingan umum (Suryabrata, 2005).
f. Nilai Politik
Nilai politik adalah nilai hidup yang mengutamakan kekuasaan. Manusia
politis bertujuan ingin mengejar kekuasaan dan dorongan utamanya adalah ingin
berkuasa. Semua nilai diabdikan kepada kekuasaan. Jika manusia ekonomi mengejar
penguasaan benda-benda, maka manusia politis mengejar penguasaan untuk
memerintah (Fudyartanta, 2005).
Funsi-fungsi Nilai Hidup
Nilai juga mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia
oleh Rokeach (Syafriman, 2000) disebutkan beberapa fungsi nilai yang dapat
dirangkum seperti dibawah ini:
a. Sebagai ukuran baku yang membantu mengarahkan kegiatan seseorang.
b. Sebagai cara untuk membantu pemecahan konflik dan pengambilan keputusan.
c. Sebagai fungsi motivasi,, dimana nilai dan sistem nilai menjadi pedoman bagi
manusia dalam kehidupan sehari-hari. Nilai memberikan ekspresi pada kebutuhan
dasar manusia serta memberikan kerangka konseptual dalam memelihara serta
meningkatkan harga diri ( self-esteem ). Fungsi motivasi ini meliputi fungsi
penyesuaian tingkah laku dan untuk aktualisasi diri.
Pengertian Agresi
Agresivitas merupakan kecenderungan untuk melakukan agresi. Agresivitas
berasal dari perilaku agresif yang merupakan kata sifat dari agresi. Agresi diartikan
sebagai segala bentuk tingkah laku yang di sengaja, yang bertujuan untuk mencelakai
individu lain atau benda-benda (Berkowitz, 1995).
Baron (Koeswara, 1988) berpendapat bahwa agresi adalah tingkah laku
individu yang ditujukan untuk melukai atau untuk mencelakakan individu lain yang
tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Definisi agresi dari Baron ini
mencakup empat faktor yaitu tingkah laku, tujuan untuk melukai atau mencelakakan
(termasuk mematikan atau membunuh), individu yang menjadi pelaku dan individu
yang menjadi korban, serta ketidakinginan sikorban menerima tingkah sipelaku.
Sejalan dengan itu, Herbert (dalam Tarmudji, 2001) berpandangan bahwa tingkah
laku agresi merupakan suatu tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial,
yang menyebabkan luka fisik, psikis pada orang lain atau yang bersifat merusak
benda. Agresi sebagai tingkah laku kekerasan secara fisik ataupun secara verbal
terhadap individu lain atau terhadap objek-objek. (Moore dan Fine, dalam Koeswara
1988). Agresi adalah sebagai kekuatan motivasional yang tidak tampak yang
disebabkan oleh hilangnya kondisi organisme yang dapat mengontrol, dan kekuatan
ini terus mendesak sejalan dengan kekuatan dorongan tersebut (Zillman dalam Saad,
2003).
Agresi secara tipikal didefinisikan sebagai bentuk perilaku yang dimaksudkan
untuk menyakiti atau merugikan seseorang yang bertentangan dengan kemauan orang
itu. Ini berarti bahwa menyakiti orang lain secara sengaja bukanlah agresi jika pihak
yang dirugikan menghendaki hal ini terjadi (Breakwell, 1998).
Aspek-aspek Agresi
Berkowitz, dkk (1986) mengelompokan agresivitas ke dalam tiga aspek
berdasarkan AAS (Aggressive Acts Survey) yaitu:
a. Agresi fisik
Merupakan perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang secara fisik, misal
memukul, menendang.
b. Agresi verbal
Merupakan perilaku yang dimaksudkan mengancam, memaki.
c. Agresi pasif
Merupakan perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti orang tidak secara fisik
maupun verbal, misal menolak bicara, bungkam, tidak mau menjawab pertanyaan
dan tidak peduli.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Agresif Remaja
Menurut Bailey (1988), terdapat empat faktor yang memdorong seseorang
untuk melakukan agresi. Keempat faktor tersebut antara lain:
a. Pemicu
Pemicu yang menyulut terjadinya kekerasan adalah peristiwa yang menyebabkan
terjadinya emosi, kemudian berubah menjadi ledakan agresi. Pemicu adalah
pembangkitan emosi secara lebih lanjut, yakni tahap akhir yang tak tertahankan
lagi dalam rangkaian peristiwa yang sudah membawa seseorang keambang agresi.
b. Keadaan terbangkit
Terbangkitnya emosi meliputi pikiran dan tubuh. Dengan bereaksi seperti itu
tubuh siap melakukan suatu tindakkan tertentu. Keadaan terbangkitnya emosi
boleh jadi tidak hanya merupakan petunjuk adanya kemarahan, tetapi juga
ketakutan, kegembiraan atau kegiatan fisik. Pengalaman ini mendorong seseorang
sehingga ia langsung bertindak secara agrsif.
c. Senjata
Setiap tindakan agresi memerlukan senjata. Senjata tidak hanya menjamin
terjadinya kerusakan secara lebih pasti serta mempermudah pekerjaan si pembuat
agresi, tetapi secara psikologis menjauhkan agresor dari kerusakkan yang ia
timbulkan sehingga memperkecil hambatan emosi yang mencegah kekerasan.
d. Sasaran
Sifat sasaran terutama menurut pikiran agresor berkaitan erat dengan terjadi atau
tidaknya agresi, dan bila terjadi bentuk agresi itu ada kalanya sebuah sasaran
dapat berperan sebagai picu yang menyulut agresi.
Menurut Mu’tadin (2002), faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan agresi
dibagai atas dua bagian, yaitu:
a. Faktor Intern, meliputi:
1. Amarah
Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri adanya perasaan tidak suka
yang sangat kuat yang biasanya di sebabkan adanya kesalahan yang mungkin
nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak
2. Frustrasi
Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai
suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu.
b. Faktor Ekstern, meliputi:
1. Kesenjangan generasi
Adanya perbedaan atau jurang pemisah antara generasi anak dan orang tuanya
dapat dilihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan
seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi antara orang tua dan anak
diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak.
2. Lingkungan
Menurut Byod McCandless (Mu’tadin, 2002), bila seseorang anak dibesarkan
dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami
mengalami penguatan.
3. Peran belajar model kekerasan
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini remaja banyak belajar
menyaksikan adegan kekerasan melalui televisi dan games ataupun permainan
yang bertema kekerasan. Sejalan dengan itu Davidoff (dalam Mu’tadin, 2002)
mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian dan pembunuhan dapat
dipastikan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model
kekerasan tersebut.
4. Proses pendisiplinan yang keliru
Menurut Sukaji (Mu’tadin, 2002), pendidikan disiplin yang otoriter dengan
penerapan yang keras terutama dilakukan dengan pemberian hukuman fisik,
dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja. Pendidikan
disiplin yang seperti itu dapat membuat remaja menjadi penakut, tidak ramah
kepada orang lain, membenci orang yang memberikan hukuman, kehilangan
spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahanya
dalam bentuk kekerasan kepada orang lain.
Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka serta dinamika psikologis yang memperlihatkan
keterkaitan antara nilai hidup dengan agresivitas remaja, maka peneliti
mengemukakan hipotesis sebagai berikut:
1. Ada hubungan negatif antara nilai religi dengan agresivitas remaja.
2. Ada hubungan positif antara nilai ekonomi dengan agresivitas remaja.
3. Ada hubungan negatif antara nilai sosial dengan agresivitas remaja.
4. Ada hubungan negatif antara nilai teori dengan agresivitas remaja.
5. Ada hubungan positif antara nilai politik dengan agresivitas remaja.
6. Ada hubungan negatif antara nilai estetika dengan agresivitas remaja.
METODE PENELITIAN
Subyek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah remaja Madrasah Aliyah Negeri III Yogyakarta
kelas X, berusia antara 15 sampai 18 tahun, dan memiliki jenis kelamin laki-laki dan
perempuan.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini mengunakan skala. Skala
adalah kumpulan pernyataan – pernyataan sikap yang ditulis, disusun dan dianalisis
sedemikian rupa sehingga respon individu terhadap pernyataan tersebut dapat diberi
skor dan kemudian dapat diinterpretasikan.
Alat Ukur
1. Skala Agresivitas
Angket agresivitas ini dimaksudkan untuk mengungkapkan tinggi rendahnya
agrsivitas yang dilakukan remaja. Skala agresivitas disusun oleh peneliti berdasarkan
aspek-aspek agresivitas yang dikemukakan oleh Berkowitz, dkk (1986), menurut
AAS (Aggressive Acts Survey) yang terdiri dari (1) Agrsi fisik, (2) Agresi verbal, (3)
Agresi pasif.
Dari beberapa indikator tersebut nantinya akan dibuat sejumlah butir dalam
bentuk skala dengan empat alternatif jawaban yaitu SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai),
TS (Tidak Sesuai), STS (Sangat Tidak Sesuai). Pemberian skor dilakukan dengan
melihat sifat butir. Pemberian skor bergerak dari 4 (SS) s/d 1 (STS) untuk butir
favorabel, sedangkan pemberian skor bergerak dari 1 (SS) sampai dengan 4 (STS)
untuk butir tidak favorabel.
Validitas dan reliabilitas skala agresivitas diketahui dengan melakukan uji
coba terhadap skala tersebut. Hasil uji coba dengan 50 responden menunjukkan
koefesien reliabilitas sebesar 0,827 . dan validitas aitem yang bergerak dari 0,311
sampai dengan 0,661. Aitem uji coba berjumlah 49 aitem yang terbagi menjadi 29
aitem favorable dan 20 aitem unfavorable. Analisis dilakukan dengan SPSS 11.0 for
Windows menghasilkan aitem yang valid berjumlah 29 butir dan aitem yang gugur
berjumlah 20 aitem.
2) Skala Nilai Hidup
Angket kepribadian study of values yang dipakai oleh peneliti merupakan
angket yang diadaptasikan dari Adisubroto (1987). Angket ini didasarkan pada teori
Spranger yang menandaskan bahwa nilai hidup terdiri atas enam macam, yaitu nilai
ekonomi, nilai politik, nilai sosial, nilai religi, nilai teori dan nilai estetika. Angket ini
terdiri atas dua bagian, yaitu (a) Bagian Pertama terdiri atas 30 butir soal dimana
setiap butir soal disediakan dua pilihan jawaban dan (b) Bagian Kedua terdiri atas 15
butir soal dimana setiap butir disediakan empat pilihan jawaban.
Study of Values yang akan dipakai merupakan angket yang berbentuk skala
dan sudah diadaptasikan. Beberapa hasil penelitian yang menggunakan Study of
Values yang sudah diadaptasikan menunjukkan adanya reliabilitas dan validitas yang
cukup baik.
Adisubroto (1981) dan Sugiyanto (1981) dalam penelitiannya dengan
menggunakan subjek remaja, orang dewasa, dan orang tua mengukuhkan validitas
dan reliabilitas angket ini. Penelitian yang dilakukan Adisubroto (1981) dengan tes
ulang dengan menggunakan subjek 50 orang menghasilkan korelasi antara 0,4405
sampai 0,8404 untuk bagian pertama dan untuk bagian kedua antara 0,4705 sampai
0,8391, serta reliabel dengan taraf signifikansi p < 0,01.
Penelitian yang dilakukan untuk menguji validitas dan reliabilitas SOV
dilakukan oleh Sugiyanto (1981), menggunakan subjek sebanyak 414 orang, dengan
angka korelasi 0,328 sampai 0,712 pada bagian pertama dan 0,323 sampai 0,816 pada
bagian kedua (Syafriman, 2000).
Metode Analysis Data
Analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini
adalah korelasi product moment (r) dari Pearson dan Spearman. Alasan digunakan
korelasi product moment karena penelitian ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya
hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung (Azwar, 1999).
Berdasarkan teknik korelasi product moment, apabila didapatkan koefisien korelasi
yang signifikan, berarti terdapat hubungan antara variabel bebas dan variabel
tergantung. Sebaliknya apabila koefisien korelasi tidak signifikan, berarti tidak
terdapat hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi product moment dengan bantuan
program SPSS for Windows versi 11.0.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan korelasi product moment dari
Pearson dan Spearman dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Teknik analisis Pearson
digunakan bila syarat linieritas dan normalitas terpenuhi. Teknik analisis Spearman
digunakan bila syarat linieritas atau normalitas tidak terpenuhi.
Tabel 15 Hasil uji hipotesis
Korelasi dari Pearson
No Variabel N r p Kesimpulan
1 Nilai Ekonomi dan Agresivitas 70 0.332 0.002
(p < 0.01)
Hipotesis
diterima
2 Nilai Teori dan Agresivitas 70 – 0.363 0.001
(p < 0.01)
Hipotesis
diterima
3 Nilai Estetika dan Agresivitas 70 0.251 0.018
(p < 0.05)
Hipotesis
diterima
Korelasi dari Spearman
No Variabel N r p Kesimpulan
1 Nilai Religi dan Agresivitas 70 – 0.221 0.033
(p < 0.05)
Hipotesis
diterima
2 Nilai Sosial dan Agresivitas 70 – 0.267 0.013
(p < 0.05)
Hipotesis
diterima
3 Nilai Politik dan Agresivitas 70 0.099 0.208
(p > 0.05)
Hipotesis
ditolak
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis data di dapatkan hasil bahwa ada hubungan negatif
yang signifikan antara nilai religi dengan agresivitas. Dengan demikian dugaan
bahwa terdapat korelasi di antara keduanya adalah dugaan yang benar, maka hipotesis
I diterima dan ditunjukkan dengan nilai r = – 0.221 dengan p = 0.033 (p < 0.05). Hal
ini berarti semakin tinggi tingkat nilai hidup religi yang dimiliki, maka semakin
rendah agresivitas yang dimiliki oleh remaja. Sebaliknya, semakin rendah tingkat
nilai religi yang dimiliki maka semakin tinggi agresivitas yang dimiliki oleh remaja.
Ini berarti bahwa nilai hidup religi dan agresivitas memiliki hubungan yang positif.
Hasil penelitian yang dilakukan Caroline (1999), menunjukkan bahwa ada
hubungan negatif yang signifikan antara religiusitas dengan sikap agresi pada remaja.
Semakin religius seseorang maka sikap agresinya semakin menurun. Prihastuti dan
Theresiawati (2003), mengungkapkan bahwa individu dengan religiusitas yang tinggi
dianggap memiliki pedoman untuk merespon hidup dan mempunyai daya tahan yang
lebih baik dalam mengelola permasalahan yang dihadapi. Dister (1988) menjelaskan
lebih dalam mengenai keutamaan agama sebagai pendidikan dan pegangan hidup
bermasyarakat. Fungsi agama tersebut merupakan wujud religiusitas individu yan
berkaitan langsung dengan moral dan nilai sosial individu. Selanjutnya dikatakan
bahwa nilai-nilai moral manusia berupa keadilan, kejujuran, keteguhan hati dimiliki
tiap-tiap individu dan interaksi dengan Tuhan akan menuntut manusia untuk
menerapkan nilai-nilai yang benar. Hal ini berlaku pada saat individu melakukan
interaksi dengan sesama manusia.
Ada hubungan positif yang sangat signifikan antara nilai ekonomi dengan
agresivitas. Dengan demikian dugaan bahwa terdapat korelasi di antara keduanya
adalah dugaan yang benar, maka hipotesis II diterima dan ditunjukkan dengan nilai r
= 0.332 dengan p = 0.002 (p < 0.01). Hal ini berarti semakin tinggi tingkat nilai hidup
ekonomi yang dimiliki, maka semakin tinggi agresivitas yang dimiliki oleh remaja.
Sebaliknya, semakin rendah tingkat nilai ekonomi yang dimiliki maka semakin
rendah agresivitas yang dimiliki oleh remaja. Ini berarti bahwa nilai hidup ekonomi
dan agresivitas memiliki hubungan yang positif. Suryabrata (2005) mengungkapkan
bahwa manusia ekonomi mengejar kekayaan dan dengan itu ingin mencapai apa yang
diinginkan. Jadi manusia ekonomi murni bersifat egosentris. Ketidak puasan apa yang
diperoleh menjadikan remaja seringkali memicu tindakan agresi. Sebab sejalan
dengan sifat kejiwaannya, seorang remaja banyak memerlukan kebutuhan hidup.
Seperti untuk membeli pakaian, alat kosmetik, alat elektronik, kendaraan, dan
hiburan. Padahal, mereka belum memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
tersebut.
Ada hubungan negatif yang signifikan antara nilai sosial dengan agresivitas.
Dengan demikian dugaan bahwa terdapat korelasi di antara keduanya adalah dugaan
yang benar, maka hipotesis III diterima dan ditunjukkan dengan nilai r = – 0.267
dengan p = 0.013 (p < 0.05). Hal ini berarti semakin tinggi tingkat nilai hidup sosial
yang dimiliki, maka semakin rendah agresivitas yang dimiliki oleh remaja.
Sebaliknya, semakin rendah tingkat nilai sosial yang dimiliki maka semakin tinggi
agresivitas yang dimiliki oleh remaja. Ini berarti bahwa nilai hidup sosial dan
agresivitas memiliki hubungan yang positif. Manusia sosial dalam hidupnya
mengutamakan pengabdian kepada kepentingan umum. Manusia yang tergolong
bersikap sosial memiliki kebutuhan akan hidup bersama di antara manusia lain, ingin
mengabdi kepada kepentingan umum. Nilai tertinggi yang dikerjakan adalah cinta
kepada sesama manusia, baik yang tertuju kepada individu maupun kelompok-
kelompok sosial dimasyarakat luas (Suryabrata, 2005). Remaja yang juga merupakan
makhluk sosial sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengontrol, menguasai diri,
serta mendisiplinkan dirinya.
Ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara nilai teori dengan
agresivitas. Dengan demikian dugaan bahwa terdapat korelasi di antara keduanya
adalah dugaan yang benar, maka hipotesis IV diterima dan ditunjukkan dengan nilai r
= – 0.363 dengan p = 0.001 (p < 0.01). Hal ini berarti semakin tinggi tingkat nilai
hidup teori yang dimiliki, maka semakin rendah agresivitas yang dimiliki oleh
remaja. Sebaliknya, semakin rendah tingkat nilai teori yang dimiliki maka semakin
tinggi agresivitas yang dimiliki oleh remaja. Ini berarti bahwa nilai hidup teori dan
agresivitas memiliki hubungan yang positif. Manusia teori dalam hidupnya banyak
berkaitan dengan kebenaran atau objektivitas. Orang yang berorientasi pada nilai
teoritis, dalam sikap dan perilakunya aspek kognisi mempunyai peranan yang
dominan. Mereka memiliki pendirian yang relatif objektif, senang pada ilmu
pengetahuan dan pada hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan. Mereka selalu
mencari kebenaran, mempunyai sifat konsekuen dan tidak senang kepada kekacauan.
(Suryabrata, 2005). Artinya bahwa remaja yang mempunyai nilai teori yang baik
dalam kehidupannya, mereka akan selalu berpikir positif dan logis dalam hidupnya
dan menimbang baik buruknya serta untung ruginya dalam berperilaku.
Tidak ada hubungan yang signifikan antara nilai politik dengan agresivitas.
Dengan demikian dugaan bahwa ada korelasi diantara keduanya adalah dugaan yang
salah, maka hipotesis V di tolak dan ditunjukkan dengan nilai r = 0.099 dengan p =
0.208 (p > 0.05). Hal ini berarti bahwa nilai hidup politik dan agresivitas tidak
memiliki hubungan yang positif. Tidak adanya hubungan ini disebabkan karena
remaja masih dalam tahap perkembangan. Menurut Hurlock (Ali dan Asrori, 2004),
dalam tugas-tugas perkembangan fase remaja ini amat berkaitan dengan
perkembangan kognitifnya. Kematangan pencapaian fase kognitif akan sangat
membantu kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangan dengan baik.
Dalam fase ini remaja dituntut untuk mampu menerima keadaan dirinya,
mengembangkan kemandirian, mengembangkan tanggung jawab pribadi dan sosial,
serta menanamkan nilai-nilai moral dalam dirinya. Artinya bahwa remaja dalam fase
ini masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan serta pencarian identitas diri.
Ada hubungan positif yang signifikan antara nilai estetika dengan
agresivitas. Dengan demikian dugaan bahwa ada korelasi di antara keduanya adalah
dugaan yang benar, maka hipotesis VI diterima dan ditunjukkan dengan nilai r =
0.251 dengan p = 0.018 (p < 0,05). Hal ini berarti semakin tinggi tingkat nilai hidup
estetika yang dimiliki, maka semakin rendah agresivitas yang dimiliki oleh remaja.
Sebaliknya, semakin rendah tingkat nilai estetika yang dimiliki maka semakin tinggi
agresivitas yang dimiliki oleh remaja. Ini berarti bahwa nilai hidup estetika dan
agresivitas memiliki hubungan yang positif. Hal ini sesuai dengan pendapat
(Suryabrata, 2005), yang mengatakan bahwa manusia estetis dalam hidupnya
mementingkan nilai keindahan. Manusia yang bersikap estetik ini menghayati hidup
ini tidak sebagai pemain, tetapi sebagai penonton. Mudah terkena impresi,
menghayati segala kesan yang diterimanya secara pasif. Dia dapat bersikap
ekspresionis yang mewarnai segala kesan yang diterima dengan pandangan subjektif.
Manusia estetik mempunyai pedoman bahwa keindahan dan kesenian memiliki
tempat utama dalam hidupnya. Artinya bahwa remaja yang mempunyai nilai
keindahan yang kuat dalam kehidupannya cenderung mereka berperilaku positif dan
mengedepankan kebaikan.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Ada hubungan negatif yang signifikan antara nilai hidup religi dengan agresivitas.
Semakin tinggi tingkat nilai hidup religi yang dimiliki, maka semakin rendah
agresivitas yang dimiliki oleh remaja. Sebaliknya, semakin rendah tingkat nilai
religi yang dimiliki maka semakin tinggi agresivitas yang dimiliki oleh remaja.
2. Ada hubungan positif yang sangat signifikan antara nilai ekonomi dengan
agresivitas. Semakin tinggi tingkat nilai hidup ekonomi yang dimiliki, maka
semakin tinggi agresivitas yang dimiliki oleh remaja. Sebaliknya, semakin rendah
tingkat nilai ekonomi yang dimiliki maka semakin rendah agresivitas yang
dimiliki oleh remaja.
3. Ada hubungan negatif yang signifikan antara nilai sosial dengan agresivitas.
Semakin tinggi tingkat nilai hidup sosial yang dimiliki, maka semakin rendah
agresivitas yang dimiliki oleh remaja. Sebaliknya, semakin rendah tingkat nilai
sosial yang dimiliki maka semakin tinggi agresivitas yang dimiliki oleh remaja.
4. Ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara nilai teori dengan
agresivitas. Semakin tinggi tingkat nilai hidup teori yang dimiliki, maka semakin
rendah agresivitas yang dimiliki oleh remaja. Sebaliknya, semakin rendah tingkat
nilai teori yang dimiliki maka semakin tinggi agresivitas yang dimiliki oleh
remaja.
5. Tidak ada hubungan yang signifikan antara nilai politik dengan agresivitas. Hal
ini berarti bahwa nilai hidup politik dan agresivitas tidak memiliki hubungan yang
positif pada remaja.
6. Ada hubungan negatif yang signifikan antara nilai estetika dengan agresivitas.
Semakin tinggi tingkat nilai hidup estetika yang dimiliki, maka semakin rendah
agresivitas yang dimiliki oleh remaja. Sebaliknya, semakin rendah tingkat nilai
estetika yang dimiliki maka semakin tinggi agresivitas yang dimiliki oleh remaja.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disarankan hal-hal
sebagai berikut :
1. Bagi Subjek Penelitian
Bagi subjek penelitian disarankan untuk tetap meningkatkan nilai hidup yang
memberikan sumbangan terhadap perilakunya, terutama penggunaan nilai religi,
nilai sosial dan nilai estetika, hal ini dapat menekan tindakan agresi yang
dilakukan remaja. Remaja dalam pencarian identitas diri hendaknya selalu
berfikir positif dan mempertimbangkan baik-buruknya dalam bertindak. Untuk
meningkatkan nilai-nilai hidup remaja hendaknya mengikuti kegiatan-kegiatan
yang positif seperti kegiatan keagamaan, ekstra kurikuler dan sebagainya agar
dapat membantu dalam pencarian jati dirinya.
2. Bagi Penelitian Selanjutnya
Bagi penelitian selanjutnya yang tertarik untuk meneliti dengan tema yang sama,
disarankan untuk mempertimbangkan variabel-variabel lain yang berhubungan
dengan agresivitas pada remaja. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan
memperluas variabel – variabel yang diperhitungkan dalam penelitian misalnya
interaksi sosial, stres, delingkuensi dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Adisubroto, D. 1995. Nilai Hidup dan Peranannya dalam Pembangunan serta
Kualitas Sumber Daya Manusia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
___________ . 1987. Orientasi Nilai Orang Jawa Serta Ciri-ciri Kepribadiannya. Disertasi (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Gajah mada.
Ali, M. dan Asrori, M. 2004. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Astuti, Y. D. 1996. Hubungan Antara Konsep Diri dan Sikap Agresi Pada Siswa
SMU 17 Di Yogyakarta. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.
Azwar, S. 2002 Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Azwar, S. 1999. Skala Penyusunan Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bailey, R. H. 1998. Kekerasan dan Agresi. Jakarta: Tirta Pustaka. Berkowitz, L. 1995. Agresi 1: Sebab dan Akibatnya. Jakarta: Pustaka Binawan
Presindo. Berkowitz, M. W, Mueller, C. W, Schnell, S. V, Padberg, M.T. 1986. Moral
Reasoning and Judgment of Agression. Jurnal of Personality and Social Psychology. Vol 51, No 4 885-891.
Breakwell, G. M. 1998. Mengatasi Perilaku Agresi. Yogyakarta: Kanisius. Caroline, C. 1999. Hubungan antara Religiusitas dan Sikap Agresi Pada Siswa SMU
Bobkri 2 Yogyakarta. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.
Dister, N.S. 1988. Psikologi Agama. Yogyakarta : Kanisius. Fudyartanta. 2005. Psikologi Kepribadian. Yogyakarta: Zenith Publisher. Gunarsa, S. 1985. Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja. Jakarta: PT. BPK
Gunung Mulia.
KEDAULATAN RAKYAT. 19 September 2003. Menganiaya, Pelajar Diadili. Yogyakarta: hal 6.
Koeswara, E. 1988. Agresi Manusia. Bandung, PT. ERESCO.
Mulyana, R. 2004. Pendidikan Nilai. Bandung, VC. ALFABETA. Mu’tadin, Z. 2002. Faktor Penyebab Perilaku Agresi. Http ://www. google.com. Monks, F.J., Knoers, A.M.P dan Haditono, S.R. 2001. Psikologi Perkembangan,
Pengantar Dalam Berbagai Bagian. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Prihastuti, & Theresiawati, E. N., 2003. Hubungan Antara Tingkat Religiusitas
dengan Metode Active Coping PTSD. Insan, Jurnal Psikologi. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Vol. 5. 157-167.
Sa’ad, H. M. 2003. Perkelahian Pelajar. Yogyakarta: Galang Press. Santoso, F.H. 1994. Hubungan Antara Minat Terhadap Film Kekerasan Di Televisi
Dalam Intensitas Komunikasi Remaja, Orang Tua Dengan Kecenderungan Perilaku Agresif Remaja Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Suryabrata, S. 2005. Psikologi Kepribadian. Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. Syafriman, 2000. Perbedaan Orientasi Nilai dan Perilaku Prososial Antara Orang
Suku Melayu dengan Orang Suku Tionghoa. Tesis (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Tarmudji, T. 2001. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Agresivitas Remaja.
Http ://www. google.com. Tambunan, R. 2001. Perkelahian Pelajar. Http ://www. google.com.
Yuniarto, A. 2003. Studi Tentang Nilai-nilai Budaya Jawa dan Agresivitas Remaja. Jurnal Psikodinamika. Vol. 4. No. 1, 20-30 Tahun 2003.
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA NILAI HIDUP DENGAN AGRESIVITAS
REMAJA
Oleh:
MOHAMMAD ANWAR SANUSI
H. FUAD NASHORI SUROSO
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2006
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA NILAI HIDUP DENGAN AGRESIVITAS REMAJA
Telah Disetujui Pada Tanggal
________________________
Dosen Pembimbing Utama
(H. Fuad Nashori Suroso, S.Psi., M.Si., Psi )
IDENTITAS PENULIS
Nama : Mohammad Anwar Sanusi
Alamat : Kamal Wetan 06/15 Margomulyo Seyegan Sleman Yogyakarta.
No. HP : 081 931 704 933