Upload
nurul-ramadhanty
View
72
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
EFEK PENUAAN PADA SISTEM SARAF DAN
MUSKULAR
MAKALAH FAAL
Oleh:
Nurul Ramadhanty
160121110009
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS
BEDAH MULUT DAN MAKSILOFASAL
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Penuaan adalah proses yang dinamis dan kompleks yang dihasilkan oleh perubahan-
perubahan sel, fisiologis, dan psikologis. Menurut sumber lain mengatakan penuaan adalah
suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri
dan mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga lebih rentan terhadap
penyakit dan tidak dapat memperbaiki kerusakan yang diderita oleh seseorang.
Tanda-tanda dari penuaan adalah dengan adanya perubahan anatomis, fisiologis, dan
biomekanik di dalam sel tubuh sehingga mempengaruhi fungsi sel jaringan dan organ tubuh.
Dengan makin lanjutnya usia maka kemungkinan akan terjadinya penurunan anatomik (dan
fungsional) atas organ-organnya makin besar.
Proses menua ini tentunya berakibat terhadap penurunan dari fungsi sistem-sistem
tubuh, diantara sistem tubuh yang terpengaruh atau terganggu adalah sistem persyarafan dan
sistem muskular. Sistem persyarafan memiliki fungsi yang cukup vital dalam tubuh manusia,
dikarenakan sistem syaraf mengatur koordinasi dari organ-organ vital dalam tubuh dan juga
menjaga keseimbangan tubuh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENUAAN PADA SISTEM NEUROLOGIS
Lansia menagalami penurunan koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari. Penuaan menyebabkan penurunan persepsi sensorik dan respon motorik pada
susunan saraf pusat dan penurunan reseptor proprioseptif. Hal ini terjadi karena susunan saraf
pusat pada lansia mengalami perubahan morfologis dan biokimia.
Struktur dan fungsi sistem saraf berubah dengan bertambahnya usia. Berkurangnya
massa otak progresif akibat berkurangnya sel saraf yang tidak bisa diganti.
Perubahan struktural yang paling terlihat terjadi pada otak itu sendiri, walaupun bagian
dari sistem saraf pusat juga terpengaruh.perubahan ukuran otak yang diakibatkan oleh atrofi
girus dan dilatasi sulkus dan ventrikel otak. Korteks cerebral adalah daerah otak yang paling
besar dipengaruhi oleh kehilangan neuron. .
Perubahan dalam sistem neurologis dapat termasuk kehilangan dan penyusutan neuron,
dengan potensial 10% kehilangan yang diketahui pada usia 80 tahun. Distribusi neuron
kolinergik, norepinefrin, dan dopamine yang tidak seimbang, dikompensasi oleh hilangnya
sel-sel, menghasilkan sedikit penurunan intelektual. Namun parkinsonisme ringan mungkin
dialami ketika reseptor penghambat dopamine dipengaruhi oleh penuaan. Peningkatan kadar
monoamine oksidase dan serotonin dan penurunan kadar norepinefrin telah diketahui, yang
mungkin dihubungkan dengan depresi pada lansia. Perubahan-perubahan ini menunjukkan
variasi yang luas diantara individu-individu.
Penurunan dopamine dan beberapa enzim dalam otak pada lansia berperan terhadap
terjadinya perubahan neurologis fungsional. Kehilangan jumlah dopamine yang lebih besar
terjadi pada klien dengan penyakit Parkinson. Defisiensi dopamine mengakibatkan ganglia
basalis menjadi terlalu aktif, sehingga menyebabkan terjadinya bradikinesia, kekakuan, dan
hilangnya mekanisme postural yang sering dilihat pada mereka yang menderita penyakit
Parkinson.
Secara fungsional, mungkin terdapat suatu perlambatan refleks tendon profunda.
Terdapat kecenderungan ke arah tremor dan langkah yang pendek-pendek atau gaya berjalan
dengan langkah kaki melebar disertai dengan berkurangnya gerakan yang sesuai. Peningkatan
tonus otot juga diketahui, dengan kaki yang lebih banyak terlibat dengan lengan, lebih kearah
proksimal daripada distal. Selain itu penurunan kekuatan otot juga terjadi, dengan kaki yang
menunjukkan kehilangan yang lebih besar lebih kearah proksimal daripada distal. Penurunan
konduksi saraf perifer mungkin dialami oleh klien. Walaupun reaksi menjadi lebih lambat,
dengan penurunan atau hilangnya hentakan pergelangan kaki dan pengurangan refleks lutut,
bisep dan trisep, terutama karena pengurangan dendrite dan perubahan pada sinaps, yang
memperlambat konduksi.
Perubahan fungsional termasuk penurunan diskriminasi rangsang taktil dan
peningkatan ambang batas nyeri. Hal ini khususnya dapat secara nyata pada perubahan
baroreseptor. Namun, perubahan pada otot dan tendon mungkin merupakan factor yang
memiliki konstribusi lebih besar dibanding dengan perubahan yang nyata ini dalam arkus
reflex.
Fungsi sistem saraf otonom dan simpatis mungkin mengalami penurunan secara
keseluruhan. Plak senilis dan kekusutan neurofibril berkembang pada lansia dengan dan tanpa
dimensia. Akumulasi pigmen lipofusin neuron menurunkan kendali sistem saraf pusat
terhadap sirkulasi. Kongesti sistem saraf diperkirakan dapat menurunkan aktivitas sel dan sel
kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan dirinya sendiri. Semakin aktif sel
tersebut, semakin sedikit lipofusin yang disimpan.
Patofisiologi Defisit Neurologis
1. Fisik
Dampak dari penuaan pada SSP sukar untuk ditentukan, karena hubungan fungsi sistem
ini dengan sistem tubuh yang lain. Dengan gangguan perfusi dan terganggunya aliran darah
serebral, lansia beresiko lebih besar untuk mengalami kerusakan serebral tambahan, gagal
ginjal, penyakit pernafasan, dan kejang. Terdapat suatu pengurangan aliran darah sel saraf
serebral dan metabolisme yang telah diketahui. Dengan penurunan kecepatan konduksi saraf,
refleks yang lebih lambat, dan respon yang tertunda untuk berbagai stimulasi yang dialami,
maka terdapat pengurangan sensasi kinestetik.
2. Fungsi
Defisit fungsional pada gangguan neurologis mungkin berhubungan dengan penurunan
mobilitas pada klien lansia, yang disebabkan oleh penurunan kekuatan, rentang gerak, dan
kelenturan. Dengan berkurangnya kebebasan gerak, lansia mungkin memiliki kesukaran
untuk berdandan, toileting, dan makan. Penurunan pergerakan mungkin merupakan akibat
dari kifosis, pembesaran sendi-sendi, kejang dan penurunan tonus otot. Atrofi dan penurunan
jumlah serabut otot, dengan jaringan fibrosa secara berangsur-angsur menggantikan jaringan
otot dengan penurunan massa otot, kekuatan, dan pergerakan secara keseluruhan, lansia
mungkin memperlihatkan kelemahan secara umum. Tremor otot mungkin dihubungkan
dengan degenerasi sistem ektrapiramida. Kejang dapat diakibatkan oleh cedera motor neuron
didalam SSP. Kejang yang berat dapat mengakibatkan berkurangnya fleksibilitas, postur
tubuh, dan mobilitas fungsional, juga nyeri sendi, kontraktur, dan masalah dengan pengaturan
posisi untuk memberikan kenyamanan dan hygiene. Tendon dapat mengalami sklerosis dan
penyusutan, yang menyebabkan suatu penurunan hentakan tendon. Reflex pada umumnya
tetap ada pada lutut, berkurang pada lengan, dan hamper secara total hilang pada bagian
abdomen. Kram otot mungkin merupakan suatu masalah yang sering terjadi. Defisit mobilitas
fungsional dan pergerakan membuat lansia menjadi sangat rentan untuk mengalami gangguan
integritas kulit dan jatuh.
3. Kognisi-Komunikasi
Perubahan sensasi dan persepsi dapat mengganggu penerimaan pengungkapan
informasi dan perasaan. Gangguan pengecapan, penciuman, nyeri, sentuhan, temperature, dan
merasakan posisi-posisi sendi dapat mengubah komunikasi yang kita alami. Dengan
disorientasi dan konfusi, kesadaran kita terhadap kenyataan menurun secara nyata. Penurunan
ini mungkin progresif, permanen, atau temporer, bergantung pada sifat dan tingkat kerusakan
cerebral.
Memori mungkin berubah dalam proses penuaan. Pada umumnya, memori untuk
kejadian masa lalu lebih banyak diretensi dan lebih banyak diingat dari pada informasi yang
masih baru. Deprivasi sensori dapat diakibatkan oleh kerusakan pada pusat cerebral yang
bertnggung jawab umtuk memproses stimulus. Halusinasi, disorientasi, dan konfusi mungkin
menyebabkan deprivasi sensori, bukan gangguan kemampuan mental. Sensasi dan persepsi
dapat berkurang lebih jauh lagi ketika obat depresan SSP digunakan dalam terapi
farmakologis.
Agnosia, afasia, dan apraksia mungkin terlihat pada klien dengan storke atau demensia
progresif. Agnosia adalah ketidak mampuan untuk mengenali objek yang umum (sisir, sikat
gigi, cermin) dengan menggunakan salah satu indra, walaupun indra tersebut masih utuh.
Agnosia penglihatan, pengengaran, dan taktil terkadi ketika ada kerusakan pada lobus parietal
dan oksipital, girus presental, daerah perieto-oksipital dan korpus kolosum.
Terdapat disintegrasi fonetik, semantik, atau sintaksis yang diketahui pada tingkat
produksi atau tingkat pemahaman dalam berkomunikasi. Afasia mungkin dicerminkan dalam
kata-kata klien yang samar-samar, bicara ngelantur, kesukaran dalam berbicara dan kesulitan
dalam menemukan kata-kata yang benar untuk menyatakan suatu gagasan.
Apraksia adalah suatu ketidakmampuan untuk menunjukkan suatu aktivitas yang
dipelajari yang memiliki fungsi motorik yang diperlukan. Misalnya kesalahan pengguanaan
kata-kata dalam menyebutkan hal-hal tertentu dan ketidakmampuan untuk mengenali dan
menyebutkan objek umum dan orang-orang yang dikenal. Gangguan citra tubuh, ruang, jarak
dan persepsi pergerakan sering terjadi pada orang dengan stroke.
4. Persepsi-Sensoris
Panca indera mungkin menjadi kurang efisien dengan proses penuaan, bahaya bagi
keselamatan, aktivitas, kehidupan sehari-hari (AKS) yang normal dan harga diri secara
keseluruhan. (Mickey Stanley, Buku Ajar Keperawatan gerontik edisi 2. 2006)
Meskipun semua lansia mengalami kehilangan sensorik dan sebagai akibatnya berisiko
mengalami deprivasi sensorik, namun tidak semua akan mengalami deprivasi sensorik. Salah
satu indra dapat mengganti indera dalam mengobservasi dan menerjemahkan ransangan.
(Smeltzer, Suzanne C, buku ajar medical beda, edisi 8, 2001, hal: 179)
a. Perubahan Indera Penglihatan
Defisit sensori (misalnya, perubahan penglihatan) dapat merupakan bagian dari
penyesuaian yang berkesinambungan yang datang pada usia lanjut, perubahan penglihatan
dapat mempengaruhi pemenuhan AKS pada lansia.
Perubahan indra penglihatan pada awalnya dimulai dengan terjadinya awitan presbiopi,
kehilangan kemampuan akomodatif. Ini karena sel-sel baru terbentuk dipermukaan luar lensa
mata, maka sel tengah yang tua akan menumpuk dan menjadi kuning, kaku, padat dan
berkabu. Jadi, hanya bagian luar lensa yang masih elastic untuk berubah bentuk (akomodasi)
dan berfokus pada jarak jauh dan dekat. Karena lensa menjadi kurang fleksibel, maka titik
dekat fokus berpindah lebih jauh. Kondisi ini disebut presbiopi, biasa bermula pada usia
40an.
Kerusakan kemampuan akomodasi terjadi karena otot-otot siliaris menjadi lebih lemah
dan lebih kendur dan lensa kristalin mengalami sklerosis, dengan kehilangan elastisitas dan
kemampuan untuk memusatkan pada (penglihatan jarak dekat). Kondisi ini dapat dikoreksi
dengan lensa seperti kacamata jauh dekat (bifokal).
Ukuran pupil menurun (miosis pupil) dengan penuaan karena sfinkter pupil mengalami
sklerosis. Miosis pupil ini dapat mempersempit lapangan pandang seseorang dan
memengaruhi penglihatan perifer pada tingkat tertentu, tetapi tampaknya tidak benar-benar
mengganggu kehidupan sehari-hari.
Perubahan warna (misalnya ; menguning) dan meningkatnya kekeruhan lensa yang
terjadi dari waktu ke waktu dapat menyebabkan katarak. Katarak menimbulkan berbagai
tanda dan gejala penuaan yang mengganggu penglihatan dan aktivitas setiap hari. Penglihatan
yang kabur dan seperti terdapat suatu selaput diatas mata dalah suatu gejala umum, yang
mengakibatkan kesukaran dalam memfokuskan penglihatan dan membaca. Kesukaran ini
dapat dikoreksi untuk sementara dengan penggunaan lensa.
b. Perubahan Indera Pendengaran
Perubahan indra pendengaran pada lansia disebut presbikusis. Mhoon menggambarkan
fenomena tersebut sebagai suatu penyakit simetris bilateral pada pendengaran yang
berkembang secara progreif lambat terutama memengaruhi nada tinggi dan dihubungkan
dengan penuaan.
Lansia sering tidak mampu mengikuti percakapan karena nada konsonan frekuansi
tinggi ( huruf f, s, th, ch, sh, b, t, p ) semua terdengar sama. Penyebabnya tidak diketahui,
tetapi berbagai faktor yang telah diteliti adalah nutrisi, faktor genetika, suara gaduh,
hipertensi, stress emosional, dan arteriosklerosis.
Penurunan pendengaran terutama berupa komponen konduksi yang berkaitan dengan
presbikusis. Penurunan pendengaran sensorineural terjadi saat telinga bagian dalam dan
komponen saraf tidak berfungsi dengan baik (saraf pendengaran, batang otak atau jalur
kortikal pendengaran) penyebab dari perubahan konduksi tidak diketahui, tetapi masih
mungkin berkaitan dengan perubahan pada tulang telinga tengah, dalam bagian koklear atau
didalam tulang mastoid.
c. Perubahan Indera Perabaan
Indera peraba memberikan pesan yang paling intim dan yang paling mudah untuk
diterjemahkan. Bila indera lain hilang, rabaan dapat mengurangi perasaan terasing dan
memberi perasaan sejahtera.
d. Perubahan Indera Pengecapan
Ketika seseorang telah bertambah tua, jumlah total kuncup-kuncup perasa pada lidah
mengalami penurunan dan kuncup pada lidah juga mengalami kerusakan, ini dapat
menurunkan sensitivitas pada terhadap rasa. Kuncup-kuncup perasa mengalami regenerasi
sepanjang kehidupan manusia, tetapi lansia mengalami suatu penurunan sensitivitas terhadap
rasa manis, asam, asin, dan pahit. Perubahan tersebut lebih dapat disadari oleh beberapa
orang dibanding yang lainnya.
e. Perubahan Indera Penciuman
Penurunan yang paling tajam dalam sensasi penciuman terjadi selama usia pertengahan,
dan untuk sebagian orang, hal tersebut akan terus berkurang. Kecepatan penurunan sensasi
penciuman pada lansia bervariasi. Orang bereaksi terhadap bau dengan cara berbeda, dan
respon seseorang mungkin dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, etnik, dan pengalaman
sebelumnya tentang bau tersebut. Sensasi penciuman tidak secara serius dipengaruhi oleh
penuaan saja tetapi bisa terjadi oleh factor lain yang berhubungan dengan usia. Penyebab
lainnya juga dianggap sebagai pendukung untuk terjadinya kehilangan kemampuan sensasi
penciuman termasuk pilek, influenza, merokok, obstruksi hidung, secret dari hidung, sinusitis
kronis, kebiasaan tertentu dengan bau/ aroma, epitaksis, alergi, penuaan serta factor
lingkungan.
5. PERSEPSI-SENSASI
Persepsi terganggu baik pada hemiplegia bagian kanan maupun kiri. Deficit penglihatan
atau kebutaan lapangan pandang pada satu sisi, yaitu sisi yang terpengaruh, yang dikenal
dengan hemianopsia dan umumnya mengacu pada defek penglihatan bilateral. Kelainan yang
terjadi pada bagian kanan dan kiri dapat terjadi dengan atau tanpa defek lapangan pandang.
Distorsi persepsi ini membuat lansia sulit untuk menilai kedalaman dan orientasi vertikal dan
horizontal dilingkungannya. Karena dampak negatifnya pada keseimbangan duduk, persepsi
visual, mobilitas kursi roda, kesadaran terhadap keamanan, perlindungan kulit dan sendi, dan
resiko jatuh, kelalaian hemispasial ( sindrom kelalaian ) turut berperan kearah kecacatan
setelah stroke.
CEREBROVASCULAR ACCIDENT
CVA, atau stroke, merupakan penyebab utama kematian pada 144.070 orang pada
tahun 1991, tetap menjadi penyebab kematian utama ketiga di Amerika Serikat. Data statistic
dari framington Heart study menunjukkan bahwa insidensi stroke di Amerika Serikat kira
kira 500.000 setiap tahun.
Serangan stroke mungkin terjadi dengan atau tanpa peringatan serangan iskemik
temporer (Transient Ischemic Attrack) TIA sebelumnya. Stroke dapat dibedakan antara suatu
sindrom dan suatu penyakit. Sindrom stroke disebabkan oleh kelainan pembuluh darah
serebra, secara kolektif disebut penyakit serebrovaskuler. Sebagian besar stroke melibatkan
distribusi vascular carotid.
Stroke thrombosis sering didahului oleh adanya satu atau lebih TIA. TIA adalah suatu
syndrome yang dimanifestasikan oleh awitan nonkonvulsi yang mendadak atau cepat dengan
deficit neurologis yang sesuai sengan daerah vaskuler yang diketahui, berlangsung kurang
dari 24 jam. Pasein dapat kembali normal kembali. TIA dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan yang menurunkan sirkulasi darah. Contoh : keadaan tersebut termasuk hiperekstensi,
fleksi kepala ketika tidur dikursi, penurunan tekanan darah akibat anemia, obat-obatan
tertentu (diuretic dan anti hypertensi), dan merokok.
Jenis stroke yang sering terjadi stroke trombotik, emboli dan hemoragik.
Stroke trombotik dimulai dengan arteroma dan lesi ulseratif didalam pembuluh darah
besar serebral. Stroke thrombosis dihubungkan dengan pembentukan plak
aterosklerosis, paling sering terlihat dalam cabang pembuluh darah. Suatu pembuluh
darah menyempit karena adanya plak yang memperlambat atau mengganggu aliran
darah.
Stroke embolik mungkin akan terjadi ketika suatu thrombus terbentuk disuatu
pembuluh darah besar dan tiba-tiba pecah, kemudian masuk ke otak. Suatu stroke
embolik mungkin mengikuti atau terjadi secara simultan. Penyebab umum stroke
embolik adalah suatu mikroembolus yang dibawah keotak sebagai akibat dari fibriasi
atrial. Embolus bergerak dan masuk ke sistem serebral, biasanya melalui arteri
karotis. Embolus terus mengalir sampai pembuluh darah terlalu sempit untuk dilalui
lebih lanjut, menyumbat pembuluh darah dan menyebabkan iskemia, yang kemudian
menimbulkan terjadinya infark.
Stroke hemoragik disebabkan oleh pecahnya suatu pembuluh darah didalam otak,
biasanya pembuluh darah bagian dalam. Ada dua kategori stroke hemoragik:
a. Stroke hemoragik intraserebral adalah perdarah masuk kedalam jaringan otak
dari pembuluh darah kecil yang pecah, paling sering kesuatu pembuluh darah
yang berpenetrasi dalam.
b. Stroke hemoragik subarachnoid diakibatkan oleh perdarahan yang masuk
kedalam ruang subrachnoid, sering ada hubungan dengan pecahnya suatu
aneurisma; atau malformasi arteriovenosa. Hal ini menghalangi aliran darah
dan darah itu masuk kedalam jaringan.
PENYAKIT PARKINSON
Satu dari setiap 100 orang yang berusia diatas 50 tahun didiagnosi menderita penyakit
Parkinson. Penyakit ini adalah penyakit neurologis yang paling diderita oleh lansia. Dari
semua orang yang didiagnosis dengan penyakit Parkinson, 50% berusia lebih dari 70 tahun.
Penyakit Parkinson lebih sering terjadi pada pria dan memiliki manifestasi lebih sering dalam
decade kelima kehidupan. Empat hipotesis yang menonjol tentang penyebab penyakit
Parkinson adalah penuaan yang dipercepat, terpajan zat beracun, predisposisi genetic, dan
stress oksidatif.
Lansia dengan penyakit Parkinson dapat menunjukkan bradikinesia, kekakuan,
hilangnya mekanisme postural,dan tremor. Dapat juga terjadi hilangnya kemampuan rentang
gerak sendi dengan fleksi pada leher, panggul, lutut, dan siku, oleh karena itu menjadikan
postur tubuh orang lanjut usia bungkuk. Gaya berjalan yang diseret dengan atau tanpa
pergerakan yang bersifat propulsive atau retropulsif, tidak adanya ayunan lengan, wajah
seperti topeng, mengeluarkan air liur, dan inkontinensia atau retensi usus dan urine juga
merupakan karakteristik penyakit Parkinson.
Gangguan kognitif seperti gangguan tidur dan halusinasi penglihatan berkembang
menjadi paranoia dan disiorentasi umumnya terjadi pada tahap-tahap lanjut dari penyakit ini.
Perubahan konsep diri dan gangguan interaksi sosial sering menurunkan kualitas hidup lansia
dengan penyakit Parkinson.
B. PENUAAN PADA SISTEM MUSKULAR
Gangguan muskuloskeletal pada usia lanjut merupakan salah satu dan demikian banyak
kasus geriatri yang lazim dijumpai di praktik sehari-hari. Pada kenyataannya, sedikit sekali
jenis kelainan muskuloskeletal yang bersifat endemis pada usia lanjut. Tidak dapat disangkal
bahwa kaum usia lanjut lebih sering menderita osteoarthritis, penggantian sendi melalui
tindakan bedah, maupun kelainan kronis pada rotator cuff. Untuk dapat memahami kelainan
muskuloskeletal pada kelompok usia lanjut, perubahan-perubahan seiring dengan
pertambahan usia yang timbul pada otot, tulang, persendian, jaringan ikat, dan persarafan
harus diketahui.
Efek dari Ketuaan dan Disuse Terhadap Tubuh
Sistem Otot
Hampir tidak mungkin dibedakan efek dari ketuaan dengan disuse pada tubuh manusia
karena keduanya saling berkaitan. Pada umumnya, seseorang yang mulai tua akan berefek
pada menurunnya aktivitas. Penurunan aktivitas akan menyebabkan kelemahan serta atropi
dan mengakibatkan kesulitan untuk mempertahankan serta menyelesaikan suatu aktivitas.
Selain itu, berbagai kondisi medis yang lebih prevalen di saat usia lanjut cenderung akan
menghambat aktivitas rutin pada individu tersebut.
Perubahan yang jelas pada sistem otot saat usia lanjut adalah berkurangnya massa otot,
terutama mengenai serabut otot tipe II. Penurunan massa otot ini lebih disebabkan oleh
atropi. Namun demikian, kehilangan dari serabut otot juga dijumpai.
Perubahan ini akan menyebabkan laju metabolik basal dan laju konsumsi oksigen
maksimal berkurang. Otot menjadi lebih mudah capek dan kecepatan kontraksi akan
melambat. Selain dijumpai penurunan massa otot, juga dijumpai berkurangnya rasio otot
dengan jaringan lemak.
Perubahan-perubahan yang timbul pada sistem otot lebih disebabkan oleh disuse.
Seseorang yang selalu aktif sepanjang umurnya, cenderung lebih dapat mempertahankan
massa otot, kekuatan otot, dan koordinasi dibanding dengan mereka yang pola hidupnya
santai (sedentary). Tetapi, harus diingat bahwa latihan/olah raga yang sangat rutin pun tidak
dapat mencegah secara sempuma proses penurunan massa otot.
Jaringan Ikat
Kelenturan merupakan salah satu komponen dari kebugaran. Jaringan ikat yang tidak
fleksibel lebih mudah timbul trauma. Pada manusia usia lanjut, dijumpai kehilangan sifat
elastisitas dari jaringan ikat. Proses disuse dapat menyebabkan pengerutan dari jaringan ikat
sehingga kurang mampu mengakomodasikan berbagai pergerakan. Karena menjadi tidak
fleksibel maka kelompok usia lanjut ini kurang dapat mentoleransi berbagai pergerakan yang
berpotensi membawa kecelakaan dan lebih mudah terjatuh. Pada manusia berusia muda,
diperkirakan kelenturan, kekuatan otot, dan koordinasi merupakan bufer dari kemungkinan
trauma, tetapi bufer ini jelas berkurang, bahkan hilang pada kaum usia lanjut.
Sistem Tulang
Pada usia lanjut dijumpai proses kehilangan massa tulang dan kandungan kalsium
tubuh, serta perlambatan remodelling dari tulang. Massa tulang akan mencapai puncak pada
pertengahan usia duapuluhan (di bawah usia 30 tahun). Penurunan massa tulang lebih
dipercepat pada wanita pasca menopause. Sama halnya dengan sistem otot, proses penurunan
massa tulang ini sebagian disebabkan oleh usia dan disuse. Dengan menambah aktivitas
tubuh, dapat memperlambat proses kehilangan massa tulang, bahkan mengembalikannya
secara temporer. Tetapi, tidak terdapat bukti nyata bahwa aktivitas yang intensif dapat
mencegah secara sempurna kehilangan massa tulang tersebut. Latihan yang teratur hanya
dapat memperlambat laju kehilangan massa tulang. Dengan demikian, hanya mereka yang
mampu hidup pada usia yang sangat lanjut yang mungkin akan menderita berbagai
komplikasi dari hilangnya massa tulang seperti osteoporosis dan fraktur.
BENTUK GANGGUAN MUSKULOSKELETAL PADA USIA LANJUT
Penyakit Sendi Degeneratif (PSD)
Dengan alasan yang tidak diketahui, sendi cenderung mengalami deteriorasi seiring
dengan pertambahan usia. Kondisi ini dikenal sebagai penyakit sendi degeneratif atau
osteoarthritis. Proses ketuaan sendiri tidak menyebabkan deteriorasi, tetapi mengkomplikasi
proses tersebut.
Pada tahap awal dari, PSD terlihat tulang rawan dari sendi mengalami kerusakan dan
timbul usaha untuk memperbaiki proses tersebut. Pada beberapa keadaan tertentu, proses
perbaikan berjalan mulus, tetapi karena proses degenerasi berjalan lebih cepat melebihi
proses perbaikan maka tulang rawan akan kehilangan kandungan proteoglikan dan kondrosit
sehingga timbul pitting serta fissura disertai erosi. Untuk menkompensasi perubahan struktur
tersebut, tulang yang berada di bawah tulang rawan akan mengalami sklerosis dan tulang
yang berada di tepi persendian akan membentuk osteofit (spurs).
Proses degenerasi pada persendian dapat dijumpai pada hampir semua manusia usia
lanjut. Namun, kenyataannya tidak sedikit dari mereka yang berusia 30 tahun atau lebih muda
juga mengalami proses tersebut pada beberapa sendi. Fenomena wear and tear dapat
merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap proses degenerasi tersebut, terutama
pada sendi yang abnormal. Faktor- faktor lain seperti predisposisi genetik, riwayat trauma
pada persendian, obesitas, nutrisi, dan overusedapat berinteraksi secara kompleks dalam
proses degenerasi sendi. Proses degenerasi sendi cenderung mengenai sendi tertentu dan
nyeri sendi tidak selalu timbul. Hingga saat ini, sulit mencari penjelasan mengapa individu
tertentu yang jelas terlihat kerusakan sendi sedemikian parah secara radiologis hanya
mengeluh sedikit nyeri dan bahkan sama sekali tidak ada keluhan. Sementara, pada individu
lain, dengan sedikit saja perubahan patologis pada sendi menyebabkan keluhan yang berat,
bahkan menyebabkan inkapasitasi (ketidakberdayaan).
Nyeri Bahu
Penyebab yang tersering dijumpai adalah chronic rotator cuff tears. Terapinya serupa
dengan yang dilakukan pada kaum berusia muda, hanya pada kasus yang lebih kronis
tindakan konservatif lebih berfaedah dibanding dengan operatif. Jika telah dilakukan tindakan
operatif maka harus dicegah imobilisasi yang terlalu lama karena akan
menimbulkan capsulitis adhesiva.
Kelainan yang juga sering menyebabkan nyeri bahu pada usia lanjut adalah ruptur dari
tendon biseps. Ruptur menyebabkan pengurangan kekuatan otot biseps dan tindakan
pembedahan diperlukan untuk mengembalikan kekuatan otot biseps.
Kelainan PSD pada bahu sering menyebabkan keluhan yang berat. Pada kebanyakan
kasus caput humeri akan bermigrasi ke superior dan terkunci ke dalam akromion sehingga
akan menyebabkan nyeri yang serius. Tindakan seperti arthrodesis dapat dilakukan walau
pada kenyataannya tindakan penggantian sendi total jauh lebih berguna dalam mengurangi
nyeri dan disfungsi anggota gerak.
Nyeri bahu pada usia lanjut juga dapat disebabkan oleh adanya pengalihan nyeri dari
tempat yang lain (referred pain). Kelainan patologis yang primer umumnya terletak pada
vertebra cervicalis, otot paraspinal dan otot leher, plexus brachialis, ataupun suatu tumor paru
apical (Pancoast's tumor).
DAFTAR PUSTAKA
1. Brunner and Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol. 3. Jakarta:
EGC.
2. Darmojo dan Martono. 2004. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Edisi
ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
3. Albert ML, Knoefel JE (eds): Clinical Neurology of Aging, 2nd ed. New York,
Oxford University Press, 1994.
4. Albert MS. Memory Decline: The Boundary Between Aging And Agerelated Disease.
Ann Neurol. 51:282, 2002. [PMID: 11891821]
5. Crafr S, Cholerron B, Reger M. Aging and Cognition: What is Normal? In: Hazzard
WR, Blass JP, , er aI, eds., Principles of Geriatric Medicine & Gerontology), 5th Ed.
NY: McGraw-Hill, 2003:1370-1.
6. http://areasoft.wordpress.com. Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Lansia.
05/05/2008.
7. Beers MH (Ed). The Merck Manual ofGeriatrics. 3th Ed NJ: Merck & Co., Inc, 2006.