12
Arsitektur Tradisional Bali Dan Lombok I. PENDAHULUAN Rumah bukan sekadar tempat hunian yang multifungsi, melainkan juga punya nilai estetika dan pesan-pesan filosofi bagi penghuninya, baik arsitektur maupun tata ruangnya. Itu terlihat pada rumah tradisional suku Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat, seperti di Dusun Limbungan, Desa Perigi, Kecamatan Suwela, Lombok Timur; Dusun Sade, Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah; dan Dusun Segenter, Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Lombok Barat. Sedangkan, Arsitektur Tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan- aturan yang diwarisi dari zaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada lontar Asta Kosala-Kosali , Asta Patali dan lainnya, sampai pada penyesuaian-penyesuaian oleh para undagi yang masih selaras dengan petunjuk-petunjuk dimaksud. II. PEMBAHASAN A. Arsitektur Bali Arsitektur Tradisional Bali Arsitektur tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari jaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada rontal Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan lainnya, sampai pada

82191573 Arsitektur Tradisional Bali Dan Lombok

Embed Size (px)

DESCRIPTION

esxefdsef

Citation preview

Page 1: 82191573 Arsitektur Tradisional Bali Dan Lombok

Arsitektur Tradisional Bali Dan Lombok

I. PENDAHULUAN

Rumah bukan sekadar tempat hunian yang multifungsi, melainkan juga punya nilai

estetika dan pesan-pesan filosofi bagi penghuninya, baik arsitektur maupun tata ruangnya.

Itu terlihat pada rumah tradisional suku Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat, seperti

di Dusun Limbungan, Desa Perigi, Kecamatan Suwela, Lombok Timur; Dusun Sade, Desa

Rambitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah; dan Dusun Segenter, Desa Sukadana,

Kecamatan Bayan, Lombok Barat.

Sedangkan, Arsitektur Tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah

kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala

aturan-aturan yang diwarisi dari zaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud

dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada lontar Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan lainnya,

sampai pada penyesuaian-penyesuaian oleh para undagi yang masih selaras dengan petunjuk-

petunjuk dimaksud.

II. PEMBAHASAN

A. Arsitektur Bali

Arsitektur Tradisional Bali Arsitektur tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan

masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari jaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada rontal Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan lainnya, sampai pada penyesuaian-penyesuaian oleh para undagi yang masih selaras dengan petunjuk-petunjuk dimaksud.

Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah:

• Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga Tri Angga adalah salah satu bagian dari Tri Hita Karana, (Atma, Angga dan Khaya). Tri Angga merupakan sistem pembagian zona atau area dalam perencanaan arsitektur tradisional Bali.1. Utama, bagian yang diposisikan pada kedudukan yang paling tinggi, kepala.2. Madya, bagian yang terletak di tengah, badan.3. Nista, bagian yang terletak di bagian bawah, kotor, rendah, kaki.

• Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala

Page 2: 82191573 Arsitektur Tradisional Bali Dan Lombok

Sanga Mandala merupakan acuan mutlak dalam arsitektur tradisional Bali, dimana Sanga Mandala tersusun dari tiga buah sumbu yaitu:1. Sumbu Tri Loka: Bhur, Bhwah, Swah; (litosfer, hidrosfer, atmosfer)2. Sumbu ritual: Kangin (terbitnya Matahari) dan Kauh (terbenamnya Matahari)3. Sumbu natural: Gunung dan Laut

• Konsep keseimbangan kosmologi, Manik Ring Cucupu • Konsep proporsi dan skala manusia • Konsep court, Open air • Konsep kejujuran bahan bangunan Tri Angga adalah konsep dasar yang erat hubungannya dengan perencanaan arsitektur,

yang merupakan asal-usul Tri Hita Kirana. Konsep Tri Angga membagi segala sesuatu menjadi tiga komponen atau zone:

• Nista (bawah, kotor, kaki), • Madya (tengah, netral, badan) dan • Utama (atas, murni, kepala) Ada tiga buah sumbu yang digunakan sebagai pedoman penataan bangunan di Bali,

sumbu-sumbu itu antara lain: • Sumbu kosmos Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir) • Sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari) • Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut) Dari sumbu-sumbu tersebut, masyarakat Bali mengenal konsep orientasi kosmologikal,

Nawa Sanga atau Sanga Mandala. Transformasi fisik dari konsep ini pada perancangan arsitektur, merupakan acuan pada penataan ruang hunian tipikal di Bali

Dimensi Tradisional BaliArtikel utama untuk bagian ini adalah: Dimensi Tradisional Bali. Dalam perancangan

sebuah bangunan tradisional Bali, segala bentuk ukuran dan skala didasarkan pada orgaan tubuh manusia. Beberapa nama dimensi ukuran tradisional Bali adalah : Astha, Tapak, Tapak Ngandang, Musti, Depa, Nyari, A Guli serta masih banyak lagi yang lainnya. sebuah desain bangunan tradidsional,harus memiliki aspek lingkungan ataupun memprhatikan kebudayan tersebut.

Bangunan Hunian Hunian pada masyarakat Bali, ditata menurut konsep Tri Hita Karana. Orientasi yang

digunakan menggunakan pedoman-pedoman seperti tersebut diatas. Sudut utara-timur adalah tempat yang suci, digunakan sebagai tempat pemujaan, Pamerajan (sebagai pura keluarga). Sebaliknya sudut barat-selatan merupakan sudut yang terendah dalam tata-nilai rumah, merupakan arah masuk ke hunian. Pada pintu masuk (angkul-angkul) terdapat tembok yang dinamakan aling-aling, yang tidak saja berfungsi sebagai penghalang pandangan ke arah dalam (untuk memberikan privasi), tetapi juga digunakan sebagai penolak pengaruh-pengaruh jahat/jelek. Pada bagian ini terdapat bangunan Jineng (lumbung padi) dan paon (dapur). Berturut-turut terdapat bangunan-bangunan bale tiang sangah, bale sikepat/semanggen dan Umah meten. Tiga bangunan (bale tiang sanga, bale sikepat, bale

Page 3: 82191573 Arsitektur Tradisional Bali Dan Lombok

sekenam) merupakan bangunan terbuka. Ditengah-tengah hunian terdapat natah (court garden) yang merupakan pusat dari hunian. Umah Meten untuk ruang tidur kepala keluarga, atau anak gadis. Umah meten merupakan bangunan mempunyai empat buah dinding, sesuai dengan fungsinya yang memerlukan keamanan tinggi dibandingkan ruang-ruang lain (tempat barang-barang penting & berharga). Hunian tipikal pada masyarakat Bali ini, biasanya mempunyai pembatas yang berupa pagar yang mengelilingi bangunan/ruang-ruang tersebut diatas.

Kajian Ruang Luar dan Ruang Dalam Mengamati hunian tradisional Bali, sangat berbeda dengan hunian pada umumnya.

Hunian tunggal tradisional Bali terdiri dari beberapa masa yang mengelilingi sebuah ruang terbuka. Gugusan masa tersebut dilingkup oleh sebuah tembok/dinding keliling. Dinding pagar inilah yang membatasi alam yang tak terhingga menjadi suatu ruang yang oleh Yoshinobu Ashihara disebut sebagai ruang luar. Jadi halaman di dalam hunian masyarakat Bali adalah sebuah ruang luar. Konsep pagar keliling dengan masa-masa di dalamnya memperlihatkan adanya kemiripan antara konsep Bali dengan dengan konsep ruang luar di Jepang. Konsep pagar keliling yang tidak terlalu tinggi ini juga sering digunakan dalam usaha untuk “meminjam” unsur alam ke dalam bangunan. Masa-masa seperti Uma meten, bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam, lumbung dan paon adalah masa bangunan yang karena beratap, mempunyai ruang dalam. Masa-masa tersebut mempunyai 3 unsur kuat pembentuk ruang yaitu elemen lantai, dinding dan atap (pada bale tiang sanga, bale sikepat maupun bale sekenam dinding hanya 2 sisi saja, sedang yang memiliki empat dinding penuh hanyalah uma meten). Keberadaan tatanan uma meten, bale tiang sanga, bale sikepat dan bale sekenam membentuk suatu ruang pengikat yang kuat sekali yang disebut natah. Ruang pengikat ini dengan sendirinya merupakan ruang luar. Sebagai ruang luar pengikat yang sangat kuat, daerah ini sesuai dengan sifat yang diembannya, sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi. Pada saat tertentu natah digunakan sebagai ruang tamu sementara, pada saat diadakan upacara adat, dan fungsi natah sebagai ruang luar berubah, karena pada saat itu daerah ini ditutup atap sementara/darurat. Sifat Natah berubah dari ‘ruang luar’ menjadi ‘ruang dalam’ karena hadirnya elemen ketiga (atap) ini. Elemen pembentuk ruang lainnya adalah lantai tentu, dan dinding yang dibentuk oleh ke-empat masa yang mengelilinginya. Secara harafiah elemen dinding yang ada adalah elemen dinding dari bale tiang sanga, bale sikepat dan bale sekenam yang terjauh jaraknya dari pusat natah. Apabila keadaan ini terjadi, maka adalah sangat menarik, karena keempat masa yang mengelilinginya ditambah dengan natah (yang menjadi ruang tamu) akan menjadi sebuah hunian besar dan lengkap seperti hunian yang dijumpai sekarang. Keempatnya ditambah natah akan menjadi suatu ‘ruang dalam’ yang ‘satu’, dengan paon dan lumbung adalah fungsi service dan pamerajan tetap sebagai daerah yang ditinggikan. Daerah pamerajan juga merupakan suatu ruang luar yang kuat, karena hadirnya elemen dinding yang membatasinya.

Kajian Ruang Positif dan Ruang Negatif Sebagai satu-satunya jalan masuk menuju ke hunian, angkul-angkul berfungsi sebagai

gerbang penerima. Kemudian orang akan dihadapkan pada dinding yang menghalangi pandangan dan dibelokan ke arah sembilan-puluh derajat. Keberadaan dinding ini (aling-

Page 4: 82191573 Arsitektur Tradisional Bali Dan Lombok

aling), dilihat dari posisinya merupakan sebuah penghalang visual, dimana ke-privaci-an terjaga. Hadirnya aling-aling ini, menutup bukaan yang disebabkan oleh adanya pintu masuk. Sehingga dilihat dari dalam hunian, tidak ada perembesan dan penembusan ruang. Keberadaan aling-aling ini memperkuat sifat ruang positip yang ditimbulkan oleh adanya dinding keliling yang disebut oleh orang Bali sebagai penyengker. Ruang di dalam penyengker, adalah ruang dimana penghuni beraktifitas. Adanya aktifitas dan kegiatan manusia dalam suatu ruang disebut sebagai ruang positip. Penyengker adalah batas antara ruang positip dan ruang negatip. Dilihat dari kedudukannya dalam nawa-sanga, “natah” berlokasi di daerah madya-ning-madya, suatu daerah yang sangat “manusia”. Apalagi kalau dilihat dari fungsinya sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi, maka natah adalah ruang positip. Pada natah inilah semua aktifitas manusia memusat, seperti apa yang dianalisa Ashihara sebagai suatu centripetal order. Pada daerah pamerajan, daerah ini dikelilingi oleh penyengker (keliling), sehingga daerah ini telah diberi “frame” untuk menjadi sebuah ruang dengan batas-batas lantai dan dinding serta menjadi ‘ruang-luar’ dengan ketidak-hadiran elemen atap di sana.Nilai sebagai ruang positip, adalah adanya kegiatan penghuni melakukan aktifitasnya disana. Pamerajan atau sanggah, adalah bangunan paling awal dibangun, sedang daerah public dan bangunan service (paon, lumbung dan aling-aling) dibangun paling akhir. Proses ini menunjukan suatu pembentukan berulang suatu ruang-positip; dimana ruang positip pertama kali dibuat (Pamerajan atau sanggah), ruang diluarnya adalah ruang-negatip. Kemudian ruang-negatip tersebut diberi ‘frame’ untuk menjadi sebuah ruang-positip baru. Pada ruang positip baru inilah hadir masa-masa uma meten, bale tiang sanga, pengijeng, bale sikepat, bale sekenam, lumbung, paon dan lain-lain. Kegiatan serta aktifitas manusia terjadi pada ruang positip baru ini.

Konsistensi dan Konsekuensi Tidak seperti di beberapa belahan bumi yang lain dimana sebuah bangunan (rumah,

tempat ibadah) berada dalam satu atap, di Bali yang disebut sebuah bangunan hunian adalah sebuah halaman yang dikelilingi dinding pembatas pagar dari batu bata dimana didalamnya berisi unit-unit atau bagian-bagian bangunan terpisah yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Sebuah hunian di Bali, sama dengan dibeberapa bagian dunia yang lain mempunyai fungsi-fungsi seperti tempat tidur, tempat bekerja, tempat memasak, tempat menyimpan barang (berharga dan makanan), tempat berkomunikasi, tempat berdoa dan lain-lain. Ruang-ruang, sebagai wadah suatu kegiatan contoh untuk aktivitas tidur, di Bali merupakan sebuah bangunan yang berdiri sendiri.Sedang dilain pihak secara umum sebuah ruang tidur merupakan bagian sebuah bangunan.Ruang tidur adalah bagian dari ruang-dalam atau interior. Uma meten, Bale sikepat, Bale sekenam, Paon merupakan massa bangunan yang berdiri sendiri. Menurut Yoshinobu Ashihara ruang-dalam adalah ruang dibawah atap, sehingga Uma meten dan lain-lain adalah juga ruang-dalam atau interior.Ruang diluar bangunan tersebut (natah) adalah ruang luar, karena kehadirannya yang tanpa atap. Apabila bagian-bagian bangunan Hunian Bali dikaji dengan kaidah-kaidah ‘Ruang luar-Ruang dalam’, terutama juga apabila bagian-bagian hunian Bali dilihat sebagai massa per massa yang berdiri sendiri, maka adalah konsekuensi apabila pusat orientasi sebuah hunian adalah ruang luar (natah) yang juga pusat sirkulasi.Pada kenyataannya ruang ini adalah bagian utama (yang bersifat ‘manusia’) dari hunian Bali. Apabila dikaji dari rumusan suatu hunian, maka

Page 5: 82191573 Arsitektur Tradisional Bali Dan Lombok

natah adalah bagian dari aktifitas utama sebuah hunian yang sudah selayaknya merupakan bagian dari aktivitas ruang-dalam atau interior. Kemudian apabila dikaitkan dengan keberadaan bale sikepat, bale sekenam dan bale tiang sanga yang hanya memiliki dinding dikedua sisinya saja, serta posisi masing-masing dinding yang ‘membuka’ ke arah natah jelaslah terjadi sebuah ruang yang menyatu. Sebuah ruang besar yang menyatukan uma meten disatu sisi dan bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam serta natah yang layaknya sebuah hunian. Hunian yang sama dengan yang ada pada masa kini, dimana bale-bale adalah ruang tidur, natah adalah ruang tempat berkumpul yang bisa disebut sebagai ruang keluarga. Apabila dikaitkan lebih jauh, jika kegiatan paon (dapur) bisa disamakan dengan kegiatan memasak dan ruang makan, maka hunian Bali, teryata identik dengan hunian-hunian berbentuk flat pada hunian orang Barat. Kajian terhadap hunian Bali ini, apabila hunian tersebut dipandang sebagai satu kesatuan utuh rumah tinggal, konsekuensinya adalah ruang didalam penyengker (dinding batas) adalah ruang-dalam. Bangunan dalam hunian Bali tidak dilihat sebagai massa tetapi harus dilihat sebagai ruang didalam ruang. Apalagi bila dilihat kehadiran dinding-dinding pada bale tiang sanga, bale sikepat maupun sekenam yang ‘membuka’ kearah yang me-enclose ruang, maka keadaan ini memperkuat kehadiran nuansa ruang-dalam atau interior pada hunian tradisional Bali. Dengan kondisi demikian maka penyengker adalah batas antara ruang-dalam dan ruang-luar (jalan desa). Hal ini ternyata memiliki kesamaan dengan pola yang ada di Jepang, yang oleh Ashihara (1970) dinyatakan: Pada kajian ini terlihat adanya kesamaan sifat halaman sebagai ruang-dalam atau interior pada hunian arsitektur tradisional Bali maupun arsitektur tradisional Jepang. Meskipun pada hunian Bali kesan ruang-dalam lebih terasa dan jelas dibandingkan dengan hunian Jepang. Kajian ini semakin menarik apabila dikaitkan dengan teori Yoshinubo Ashihara diatas; bahwa ruang-luar adalah ruang yang terjadi dengan membatasi alam yang tak terhingga (dengan batas/pagar dll) dan juga ruang-luar adalah ruang dimana elemen ketiga dari ruang (yaitu atap) tidak ada. Dilain pihak ruang-dalam adalah lawan dari ruang-luar (dimana terdapat elemen ruang yang lengkap yaitu alas, dinding dan atap). Maka pada kasus hunian, teori Yoshinobu Ashihara ternyata saling bertentangan. Baik pertentangan antara ruang-luar terhadap ruang-dalam dikaitkan dengan terjadinya maupun keterkaitan dengan elemen alas, dinding dan atap.

A. Arsitektur Lombok

Memang fungsi dan bentuk fisiknya, rumah tradisional itu ada yang berubah dan berbeda, sejalan dengan bertambahnya jumlah penghuni maupun tergantung risiko (kondisi keamanan, geografis, dan topografis) di masing-masing dusun. Namun konsep pembangunannya: arsitektur, tata ruang, dan pola tampaknya merujuk tetap menampilkan karakteristik tradisionalnya.Pola hunian di tiga dusun itu mengompleks meski lokasinya di tempat datar, seperti Dusun Segenter, atau dataran tinggi sebagaimana di Dusun Limbungan dan Dusun Sade. Sedangkan bangunan yang ada meliputi bale (rumah), berugak (bale-bale bertiang empat disebut sekepat atau bertiang enam atau sekenem), lumbung dan kandang (bare) ternak. Bangunan-bangunan itu mengikuti kontur tanah, khusus bangunan rumah seluas 7 x 6 meter (dihitung dari luar) dan 6 x 5 meter (dihitung dari dalam) per unit. Bagian

Page 6: 82191573 Arsitektur Tradisional Bali Dan Lombok

rumah terdiri atas atap yang umumnya berbentuk gunungan, menukik ke bawah jarak 1,5-2 meter dari permukaan tanah (fondasi). Atap dan bubungan (bungus)-nya adalah alang-alang yang umumnya menghadap Gunung Rinjani dan berdinding anyaman bambu (kampu). Ruangannya (rong) dibagi menjadi inan bale (ruang induk meliputi bale luar (ruang tidur) dan bale dalem berupa tempat menyimpan harta benda, ruang ibu melahirkan sekaligus ruang disemayamkannya jenazah bila ada penghuninya sebelum dimakamkan. Ruangan bale dalem dilengkapi amben dan dapur, sempare (tempat menyimpan makanan, peralatan rumah tangga lainnya) terbuat dari bambu ukuran 2 x 2 meter persegi atau bisa empat persegi panjang. Kemudian ada sesangkok (ruang tamu) dan pintu masuk dengan sistem sorong (geser). Di antara bale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga (tiga anak tangga) tanpa jendela. Lantai rumah umumnya tanah yang dicampur dengan kotoran kuda, getah, dan abu jerami, seperti terlihat di Dusun Sade dan Limbungan. Kompleks perumahan itu tampak teratur seperti ada “pagar hidup” yang membatasi kompleks tempat tinggal itu, jalan tanah dan berugak di mana tiap rumah diapit dua rumah. Penataan itu selain tampak demikian teratur yang seakan menggambarkan kehidupan harmoni penduduk, juga sama dengan pola hunian modern dewasa ini. Bentuk rumah tradisional Lombok berkembang saat pemerintahan Kerajaan Karang Asem (abad 17), di mana arsitektur Lombok dikawinkan dengan arsitektur Bali. Misalnya, ruang tamunya terbuka tanpa dinding, tiang penyangga bangunan bagian atas diberi ukiran. Malah dalam waktu 15 tahun terakhir ini, arsitektur Lombok dijadikan pelengkap pada bangunan perkantoran dinas/instansi di Mataram. Lumbung dibangun di bagian depan atau pintu keluar-masuk kantor. Materi bangunannya disesuaikan dengan bahan bangunan kantor berupa semen, pasir, dan genteng. Tujuan pendirian lumbung adalah menunjukkan kekhasan dan pelestarian kebudayaan fisik, terutama di Pulau Lombok.

Seperti disinggung di atas, selain tempat berlindung, rumah juga memiliki nilai estetika, filosofi, dan kehidupan sederhana para penduduk di masa lampau yang mengandalkan sumber daya alam sebagai tambang nafkah harian, sekaligus sebagai bahan pembangunan rumah. Lantai rumah itu adalah campuran dari tanah, getah pohon kayu banten dan bajur (istilah lokal), dicampur batu bara yang ada dalam batu bateri, abu jerami yang dibakar, kemudian diolesi dengan kotoran sapi di bagian permukaan lantai.

Materi membuat lantai rumah itu berfungsi sebagai zat perekat, juga guna menghindari lantai tidak lembab. Bahan lantai itu digunakan, oleh warga di Dusun Sade, mengingat kotoran kerbau atau sapi tidak bisa bersenyawa dengan tanah liat yang merupakan jenis tanah di dusun itu.

Arsitektur rumah warga di tiga dusun itu relatif mirip, yang agak berbeda mungkin fungsi ruangannya. Hanya rong dalam rumah di Dusun Segenter lekat tradisi wetu telu-nya. Misalnya, di inan bale, kecuali menyimpan beras dalam gentong (temberasan/kemeras), barang berharga lainnya, juga tempat menyimpan nenoq (sesaji bagi arwah leluhur dan roh penghuni rumah), dan saat tertentu dijadikan tempat pemujaan/meditasi keluarga. Rumah tinggal di Dusun Segenter dibangun dengan asas cermin, (pintu rumah yang satu dengan rumah di depannya saling berhadapan dan diselingi sebuah berugak di tengahnya), bukan saling membelakangi seperti rumah di Dusun Limbongan maupun di Dusun Sade yang arahnya ada yang berhadapan, ada pula yang saling membelakangi. Pemilihan lokasi permukiman itu terkait dengan pola bercocok tanam khas masyarakat agraris, kata M Yamin, pemerhati budaya Sasak, Lombok. Mereka memerlukan air untuk irigasi maupun kegiatan

Page 7: 82191573 Arsitektur Tradisional Bali Dan Lombok

rumah tangga yang biasanya jadi sumber mata air, umumnya berada di dataran tinggi. Gunung yang dekat dengan hutan memudahkan mereka mendapat sumber makanan tiap hari. Mungkin juga ada kaitannya dengan kepercayaan tradisional bahwa gunung dan dataran tinggi menjadikan “hubungan komunikasi” manusia dengan Sang Pencipta “lebih dekat”.

Karena letaknya di dataran tinggi, seperti Dusun Segenter dan Dusun Limbungan, fungsi dapur juga sebagai penghangat, sedangkan penerangan pada siang hari hanya dengan sinar matahari yang menyelinap dari balik pagar, yang juga berfungsi sebagai sirkulasi udara, untuk keamanan bila ada serangan binatang buas dan memantau orang yang bermaksud jahat terhadap tuan rumah. Konstruksi rumah tradisional Sasak agaknya terkait pula dengan perspektif Islam. Anak tangga sebanyak tiga buah tadi adalah simbol daur hidup manusia: lahir, berkembang, dan mati, simbol keluarga batih (ayah, ibu, dan anak), atau berugak bertiang empat simbol syariat Islam: Quran, Hadis, Ijma’, Qiyas).

Anak yang yunior dan senior dalam usia ditentukan lokasi rumahnya. Rumah orangtua berada di tingkat paling tinggi, disusul anak sulung dan anak bungsu berada di tingkat paling bawah. Ini sebuah ajaran budi pekerti bahwa kakak dalam bersikap dan berperilaku hendaknya menjadi panutan sang adik. Rumah yang menghadap timur secara simbolis bermakna bahwa yang tua lebih dulu menerima/menikmati kehangatan matahari pagi ketimbang yang muda yang secara fisik lebih kuat. Juga bisa berarti, begitu keluar rumah untuk bekerja dan mencari nafkah, manusia berharap mendapat rida Allah di antaranya melalui shalat, dan hal itu sudah diingatkan bahwa pintu rumahnya menghadap timur atau berlawanan dengan arah matahari terbenam (barat/kiblat). Tamu pun harus merunduk bila memasuki pintu rumah yang relatif pendek. Mungkin posisi membungkuk itu secara tidak langsung mengisyaratkan sebuah etika atau wujud penghormatan kepada tuan rumah dari sang tamu. Kemudian lumbung, kecuali mengajarkan warganya untuk hidup hemat dan tidak boros sebab stok logistik yang disimpan di dalamnya, hanya bisa diambil pada waktu tertentu, misalnya sekali sebulan. Bahan logistik (padi dan palawija) itu tidak boleh dikuras habis, melainkan disisakan untuk keperluan mendadak, umpamanya guna mengantisipasi gagal panen akibat cuaca dan serangan binatang yang merusak tanaman atau bahan untuk mengadakan syukuran jika ada salah satu anggota keluarga meninggal. Berugak yang ada di depan rumah, di samping merupakan penghormatan terhadap rezeki yang diberikan Tuhan, juga berfungsi sebagai ruang keluarga, menerima tamu, juga menjadi alat kontrol bagi warga sekitar. Misalnya, “Kalau sampai pukul sembilan pagi masih ada yang duduk di berugak dan tidak keluar rumah untuk bekerja di sawah, ladang, dan kebun, mungkin dia sakit,” tutur Amak Yani, warga Dusun Limbungan Timur. Sejak proses perencanaan rumah didirikan, peran perempuan atau istri diutamakan. Umpamanya, jarak usuk bambu rangka atap selebar kepala istri, tinggi penyimpanan alat dapur (sempare) harus bisa dicapai lengan istri, bahkan lebar pintu rumah seukuran tubuh istri. Membangun dan merehabilitasi rumah dilakukan secara gotong-royong meski makan-minum, berikut bahan bangunan, disediakan tuan rumah. Dipertahankannya bahan konstruksi dan bentuk rumah itu merupakan ketentuan yang tidak bisa ditawar-tawar. Karenanya yang tinggal dalam kampu mematuhi ketentuan itu, tetapi memilih lokasi agak jauh dari rumah orangtuanya. Pertimbangannya, “Khawatir, jangan sampai ibu saya ngomong biasa misalnya, lalu didengar dan salah dimengerti oleh istri saya, membuat hubungan kami dengan orangtua jadi keruh,” ucap Suparman, Kepala Dusun Limbungan. (KHAERUL ANWAR) .

Page 8: 82191573 Arsitektur Tradisional Bali Dan Lombok