26
Arsitektur Tradisional, Warisan Budaya Lokal Sulsel Opini Tribun Oleh: Syahriar Tato, Ketua Badan Kerja Sama Kesenian Indonesia Sulawesi Selatan Ragam hias ornamen pada rumah tradisional Bugis dan Makassar merupakan salah satu bagian tersendiri dari bentuk dan corak rumah tradisional Bugis dan Makassar. Selain berfungsi sebagai hiasan, juga dapat berfungsi sebagai simbol status pemilik rumah. Ragam hias umumnya memiliki pola dasar yang bersumber dari alam flora dan fauna. MASYARAKAT tradisional Indonesia pada umumnya percaya akan adanya suatu tatanan, aturan tetap, yang mengatur segala apa yang terjadi di alam dunia yang dilakukan oleh manusia. Tatanan atau aturan itu bersifat stabil, selaras, dan keka. Aturan itu merupakan tatanan budaya sebagai sumber segala kemuliaan dan kebahagiaan manusia. Apapun yang dilakukan manusia harus sesuai atau selaras dalam tatanan kehidupan alam sekitarnya. Apabila tidak bertentangan dengan alam, niscaya hidupnya akan tenang dan damai. Yang menyimpang dari tatanan dan aturan merupakan "dosa" yang patut menerima sanksi atau hukuman. Masa itu perbuatan manusia selalu berdimensi dua, dwimatra; yaitu mistik dan simbolik. Untuk megungkap kepercayaan akan makna hidup, manusia memakai tanda-tanda atau simbolik, dua macam tanda penting, pertama: Mitos asal, atau tafsir tentang makna hidup berdasarkan asal kejadian masa lalu. Kedua: Ritual upacara berupa perlakuan simbolis yang berfungsi untuk memulihkan harmoni tatanan alam dengan manusia, agar manusia terhindar dari malapetaka dan memberikan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya. Inilah dasar-dasar filosofi yang mengatur budaya masyarakat tradisional. Pola pemikiran masyarakat tradisional pada umumnya hidup dalam budaya kosmologi. Awalnya, kehidupan manusia hanya terbatas pada kehidupan dirinya sendiri, egocentrum. Kemudian manusia mengembangkan dorongan naluri dan nalarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka kehidupan egocentrum akan menjadi

Arsitektur Tradisional

Embed Size (px)

Citation preview

Arsitektur Tradisional, Warisan Budaya Lokal SulselOpini TribunOleh:Syahriar Tato, Ketua Badan Kerja Sama Kesenian Indonesia Sulawesi SelatanRagam hias ornamen pada rumah tradisional Bugis dan Makassar merupakan salah satu bagian tersendiri dari bentuk dan corak rumah tradisional Bugis dan Makassar. Selain berfungsi sebagai hiasan, juga dapat berfungsi sebagai simbol status pemilik rumah. Ragam hias umumnya memiliki pola dasar yang bersumber dari alam flora dan fauna.MASYARAKAT tradisional Indonesia pada umumnya percaya akan adanya suatu tatanan, aturan tetap, yang mengatur segala apa yang terjadi di alam dunia yang dilakukan oleh manusia. Tatanan atau aturan itu bersifat stabil, selaras, dan keka. Aturan itu merupakan tatanan budaya sebagai sumber segala kemuliaan dan kebahagiaan manusia. Apapun yang dilakukan manusia harus sesuai atau selaras dalam tatanan kehidupan alam sekitarnya. Apabila tidak bertentangan dengan alam, niscaya hidupnya akan tenang dan damai. Yang menyimpang dari tatanan dan aturan merupakan "dosa" yang patut menerima sanksi atau hukuman.Masa itu perbuatan manusia selalu berdimensi dua, dwimatra; yaitu mistik dan simbolik. Untuk megungkap kepercayaan akan makna hidup, manusia memakai tanda-tanda atau simbolik, dua macam tanda penting, pertama: Mitos asal, atau tafsir tentang makna hidup berdasarkan asal kejadian masa lalu. Kedua: Ritual upacara berupa perlakuan simbolis yang berfungsi untuk memulihkan harmoni tatanan alam dengan manusia, agar manusia terhindar dari malapetaka dan memberikan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya. Inilah dasar-dasar filosofi yang mengatur budaya masyarakat tradisional.Pola pemikiran masyarakat tradisional pada umumnya hidup dalam budaya kosmologi. Awalnya, kehidupan manusia hanya terbatas pada kehidupan dirinya sendiri, egocentrum. Kemudian manusia mengembangkan dorongan naluri dan nalarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka kehidupan egocentrum akan menjadi bagian integral dari kehidupan habitat sekitarnya, yang diatur dalam sebuah tatanan budaya atau kebudayaan.Masyarakat tradisional sering dianggap sebagai masyarakat yang hidup dalam suasana kepercayaan leluhur yang di pengaruhi oleh ethos budaya dan mempunyai sifat-sifat khusus, antara lain kekhususan itu ditandai dengan cara mempertahankan suasana hidup selaras, harmonis dan seimbang dengan kehidupan habitat sekitarnya. Keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya, pola hubungan antar manusia. Hubungan manusia dengan habitat sekitarnya didasarkan pada anggapan bahwa eksistensinya hidup dalam kosmos alam raya dipandang sebagai suatu tatanan yang teratur dan tersusun secara hirarkis dalam sebuah tatanan budaya yang terjaga.Ketika kita bicara tentang kebudayaan, maka arsitektur adalah salah satu hasil karya seni budaya bangsa. Keterkaitan hubungan antara kebudayaan dan arsitektur tergambar pada telahan masing -masing unsurnya. Telaah arsitektur pada umumnya berpijak pada unsur-unsur konsep, cara membangun dan wujud nyata dari bangunan sebagai lingkungan buatan dalam lingkungan sekitarnya. Telaahan kebudayaan selalu berpijak pada unsur-unsur buah pikiran ide, perbuatan, sikap dan prilaku behavior serta hasil karya seni artefak. Arsitektur sebagai hasil karya seni budaya diakui sebagai salah satu wujud kebudayaan yang menjadi bayangan cerminan dari kehidupan manusianya, dari masa ke masa.Arsitektur sebagai unsur kebudayaan merupakan salah satu bentuk bahasa nonverbal manusia, alat komunikasi manusia nonverbal ini mempunyai nuansa sastrawi dan tidak jauh berbeda dengan sastra verbal. Arsitektur itu sendiri dapat dipahami melalui wacana keindahan, sebab dari sanalah akan muncul karakteristiknya. Dalam naskah kuno sastra jawa dan kitab lontara Bugis Makassar dapat ditemukan hubungan relevansi antara lingkungan kehidupan budaya manusia dengan rumah adat yang diciptakannya.Dalam masyarakat tradisional Sulawesi Selatan, segala sesuatu yang menyangkut kehidupan masyarakat dilakukan menurut adat istiadat, dengan demikian adat menjadi semacam pedoman dalam bertindak yang menguasai pola kehidupan masyarakat, baik dalam tingkah laku, maupun dalam tata cara membangun rumah di dalam lingkungan alam sekitarnya.Tata cara pembuatan rumah dalam konsep arsitektur tradisional biasanya merujuk pesan, wasiat yang bersumber dari kepercayaan yang dianut, mulai dari pemilihan tempat, bentuk arsitekturnya, upacara ritual ketika membangun, sampai pada penentuan arah perletakan rumah.Secara konsepsual arsitektur, masyarakat tradisional Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar) berangkat dari suatu pandangan hidup ontologis, memahami alam semesta secara universal. Filosofi hidup masyarakat tradisional Bugis Makassar yang disebut sulapa appa, menunjukkan upaya untuk menyempurnakan diri, filosofi ini menyatakan bahwa segala aspek kehidupan manusia barulah sempurna jika berbentuk segi empat, yang merupakan mitos asal kejadian manusia yang terdiri dari empat unsur, yaitu: tanah, air, api, dan angin.Bagi masyarakat tradisional Bugis Makassar yang berpikir secara fotolitas, rumah tradisional Bugis Makassar dipengaruhi oleh: Struktur kosmos, di mana alam terbagi atas tiga bagian yaitu alam atas sebagai tempat suci, alam tengah, sebagai tempat berlangsungnya kehidupan manusia, dan alam bawah, tempat terjadinya interaksi dengan lingkungan sekitar dan makhluk hidup lainnya.Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam prosesi mendirikan rumah antara lain: meminta pertimbangan dari panrita bola untuk mencari tempat dan arah yang dianggap baik. Beberapa wasiat dalam hal menentukan arah rumah yaitu: sebaiknya menghadap kearah terbitnya matahari, menghadap kedataran tinggi, dan menghadap ke salah satu arah mata angin.Selain itu salah satu faktor pertimbangan lain yang perlu diperhitungkan adalah pemilihan waktu untuk mendirikan rumah. Adapun hari ataupun bulan yang baik biasanya ditentukan atas bantuan orang-orang yang memiliki kepandaian dalam hal memilih waktu.Untuk pendirian rumah, biasanya didahului oleh upacara ritual, yang pada tahap selanjutnya secara berurutan mulai mendirikan rumah dengan mengerjakan tiang pusat rumah (posi'bola) terlebih dahulu, menyusul tiang tiang yang lain, hingga pekerjaan secara keseluruhan selesai dikerjakan.Seperti kebanyakan rumah tradisional di Indonesia, rumah Bugis Makassar juga dipengaruhi oleh adanya strata sosial penghuninya. Rumah tradisional Bugis Makassar pada dasarnya terdiri dari beberapa macam yaitu:1. Rumah Kaum Bangsawan Arung atau Karaeng. Untuk rumah bangsawan yang memegang jabatan, pada puncak rumah induk terdiri dari tiga atau lebih sambulayang /timpalaja. Jumlah tiang ke samping dan ke belakang 5 - 6 buah, sedang untuk bangsawan biasa jumlah tiang ke samping dan ke belakang 4 -5 tiang. 2. Rumah Orang Kebanyakan Tosama, terdiri dari 4 buah tiang kesamping dan kebelakang, puncak sambulayang/timpalaja hanya dua susun. 3. Rumah Hamba Sahaja Ata atau Suro, bentuk dengan ukuran yang lebih kecil, biasanya hanya tiga petak, dengan sambulayang/timpalaja yang polos. Pada umumnya rumah tradisional Bugis Makassar berbentuk panggung dengan penyangga dari tiang yang secara vertikal terdiri atas tiga bagian yaitu: Rakkeang/Pammakkang, terletak pada bagian atas, di sini melekat plafond tempat atap menaungi, penyimpanan padi sebagai lambang kehidupan dan tempat atribut adat disimpan.Ale bola/kale balla, terletak pada bagian tengah, di mana sebuah tiang ditonjolkan di antara tiang tiang lainnya, yang terbagi atas beberapa petak dengan fungsinya masing-masing. Awaso/siring, terletak pada bagian bawah, sebagai tempat penyimpanan alat cocok tanam, ternak, alat bertukang dan lain lain. Sedang secara horisontal ruangan dalam rumah terbagi atas tiga bagian yaitu: Lontang ri saliweng/padaserang dallekang, letaknya di ruang bahagian depan. Lontang ri tengnga/padaserang tangnga, terletak di ruang bahagian tengah. Lontang ri laleng /padaserang riboko, terletak di ruang bahagian belakang.Selain ruang ruang tersebut, masih ada lagi tambahan di bagian belakang annasuang atau appalluang, dan ruang samping yang memanjang pada bagian samping yang disebut tamping, serta ruang kecil di depan rumah yang disebut lego-lego atau paladang.Ragam hias ornamen pada rumah tradisional Bugis dan Makassar merupakan salah satu bagian tersendiri dari bentuk dan corak rumah tradisional Bugis dan Makassar. Selain berfungsi sebagai hiasan, juga dapat berfungsi sebagai simbol status pemilik rumah. Ragam hias umumnya memiliki pola dasar yang bersumber dari alam flora dan fauna.Ornamen corak tumbuhan, umumnya bermotifkan bunga/kembang, daun yang memiliki arti rejeki yang tidak putus putusnya, seperti menjalarnya bunga itu, di samping motif yang lainnya. Ornamen corak binatang, umumnya bentuk yang sering ditemukan adalah: kepala kerbau yang disimbolkan sebagai bumi yang subur, penunjuk jalan, bintang tunggangan dan status sosial. Bentuk naga yang diartikan simbol wanita yang sifatnya lemah lembut, kekuatan yang dahsyat. Bentuk ayam jantan yang diartikan sebagai keuletan dan keberanian, agar kehidupan dalam rumah senantiasa dalam keadaan baik dan membawa keberuntungan.Ornamen corak alam, umumnya bermotifkan kaligrafi dari kebudayaan Islam. Penempatan ragam hias ornamen tersebut pada sambulayang/timpalaja, jendela, anjong, dan lain-lain. Penggunaan ragam hias ornamen tersebut menandakan bahwa derajat penghuninya tinggi.Masyarakat tradisional Tana Toraja di dalam membangun rumah tradisionalnya mengacu pada kearifan budaya lokal (kosmologi) yaitu: Konsep pusar atau pusat rumah sebagai paduan antara kosmologi dan simbolisme. Dalam perspektif kosmologi, rumah merupakan mikrokosmos, bagian dari lingkungan makrokosmos. Pusat rumah meraga sebagai perapian di tengah rumah, ataupun atap menjulang menaungi ruang tengah rumah dan atap menyatu dengan father sky. Pusat rumah juga meraga sebagai tiang utama, seperti a'riri possi di Toraja, possi bola di Bugis, pocci balla di Makassar dan tiang menyatu dengan mother earth.Pada masyarakat tradisional Toraja, dalam kehidupannya juga mengenal filosofi Aluk A'pa Oto'na yaitu empat dasar pandangan hidup: Kehidupan manusia, kehidupan alam leluhur Todolo, kemuliaan Tuhan, adat dan kebudayaan. Keempat filosofi ini menjadi dasar terbentuknya denah rumah toraja empat persegi panjang dengan dibatasi dinding yang melambangkan badan atau kekuasaan. Dalam kehidupan masyarakat toraja lebih percaya akan kekuatan sendiri, egocentrum. Hal ini yang tercermin pada konsep arsitektur rumah mereka dengan ruang-ruang agak tertutup dengan bukaan yang sempit.Selain itu konsep arsitektur tradisional Toraja, banyak dipengaruhi oleh ethos budaya simuane tallang atau filosofi harmonisasi dua belahan bambu yang saling terselungkup sebagaimana cara pemasangan belahan bambu pada atap rumah adat dan lumbung. Harmonisasi didapati dalam konsep arsitektur tongkonan yang menginteraksikan secara keseluruhan komponen tongkonan seperti: rumah, lumbung, sawah, kombong, rante dan liang, di dalam satu sistem kehidupan dan penghidupan orang Toraja didalam area tongkonan. Selain itu, makro dan mikro kosmos tetap terpelihara didalam tatanan kehidupan masyarakat tradisional Toraja, dimana rumah dianggap sebagai mikro kosmos.Tata letak rumah tongkonan berorientasi utara-selatan, bagian depan rumah harus berorientasi utara atau arah Puang Matua Ulunna langi dan bagian belakang rumah ke selatan atau arah tempat roh-roh Pollo'na Langi. Sedangkan kedua arah mata angin lainnya mempunyai arti kehidupan dan pemeliharaan, pada arah timur di mana para dea "dewata" memelihara dunia beserta isinya ciptaan Puang Mutua untuk memberi kehidupan bagi manusia, dan arah barat adalah tempat bersemayam To Membali Puang atau tempat para leluhur todolo. Atau selalu ada keseimbangan hidup di dunia dan akhirat. Kesemuanya ini diterjemahkan menjadi satu kata sederhana yaitu keseimbangan dan secara arsitektural keseimbangan selalu diaplikasikan ke dalam bentuk simetris pada bangunan. Dari sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa prinsip dasar arsitektur tradisional Toraja adalah simetris, keterikatan, dan berorientasi.Tongkonan.Tongkonan, rumah adat Toraja adalah bangunan yang sangat besar artinya, karena peranannya yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Toraja. Tongkonan dalam fungsinya terbagi menjadi 4 macam tingkatan yaitu: Tongkonan layuk, kedudukannya sebagai rumah tempat membuat peraturan adat istiadat. Tongkonan pokamberan/pokaindoran, yaitu rumah adat yang merupakan tempat melaksanakan aturan dan perintah adat dalam suatu masalah daerah. Tongkonan batu a'riri, yaitu tongkonan yang tidak mempunyai peranan dan fungsi sebagai tempat persatuan dan pembinaan keluarga dari keturunan pertama tongkonan itu, serta tempat pembinaan warisan, jadi mempunyai arti sebagai tiang batu keluarga.Tongkonan Pa'rapuan, fungsinya sama dengan tongkonan batu a'riri tetapi semua bangunan rumah adat Toraja mempunyai peranan dan fungsi tertentu, fungsi fungsi tersebut tidak akan berubah sepanjang letak dari bangunan itu tidak berubah yaitu atap menghadap keutara sebagai orientasi bangunan. Faktor inilah yang menyebabkan konstruksi dan arsitektur bangunan tetap sebagai dasar perancangan tongkonan, karena adanya hubungan pandangan keyakinan yang kuat dan tidak dapat dipisahkan dari bangunan.Bagian bagian dari rumah adat Toraja pulalah yang menentukan struktur arsitekturnya antara lain, rumah adat Toraja dibagi atas dua bagian besar yaitu dengan menarik garis besar dari utara ke selatan yang dibedakan dengan nama Kale banua matallo dan Kale banua matumpu' yaitu bagian rumah sebelah timur dan bagian rumah sebelah barat. Perkembangan arsitektur tradisional dipengaruhi oleh banyak faktor seperti: waktu, pengaruh budaya luar, pola hidup, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Dari masa lampau hingga masa kini ada empat masa perkembangannya yang dapat ditelusuri yaitu: Masa arsitektur tradisional, masa arsitektur klassik, masa arsitektur modern, serta masa arsitektur post modern. Masa arsitektur tradisional: pada masa ini budaya asli dan pola hidup masyarakat tradisional berkembang didalam masyarakat tanpa ada pengaruh luar, Arsitektur Tradisional merupakan pilihan satu satunya. Secara tradisi, bangunan hanya berfungsi sebagai rumah tinggal ataupun sebagai tempat bermukim keluarga.Arsitektur tradisional sangat dipengaruhi oleh keadaan dan potensi alam sekitarnya yang menjadi motif utama pemberi corak arsitektur tradisional. Terutama pengaruh iklim, curah hujan, tumbuh-tumbuhan yang dipakai sebagai bahan bangunan dan batu batuan. Arsitektur tradisional Toraja misalnya, mempunyai sudut kemiringan atap yang tajam karena curah hujan besar. Bambu dipakai sebagai atap dan plafound karena hutan bambu banyak di Tana Toraja, begitupun halnya bahan kayu yang dipakai sebagai tiang dan dinding. Perihal ragam hias ornamen yang didapati banyak memberi warna arsitektur tradisional Sulawesi Selatan, dipakai menghiasi dinding dan tiang sesuai tradisi masing masing etnis. Ornamen dipakai sebagai ungkapan arti simbol simbol suatu benda yang dianggap mempunyai arti dalam penghidupan dan kehidupan masyarakat tradisional etnis bersangkutan.Gaya arsitektur tradisional yang beranekaragam di Indonesia diperkirakan akan menjadi sumber inspirasi utama dalam gaya post-modern ini. Beberapa arsitektur modern masa kini dirancang dan dibangun dengan mengawinkannya dengan unsur-unsur arsitektur tradisional, tetapi terkadang unsur tradisional itu sendiri, manjadi rancu akibat dari perbedaan prinsip dasar, filosofi, konsep, aktifitas, bentuk, dan bahan bangunan. Masalah lain akan timbul bila dua macam atau lebih arsitektur tradisional yang berbeda disatukan di dalam satu gubahan arsitektur, seperti Toraja dengan Bugis, Toraja dengan Bali, Toraja dengan Jawa, dan kombinasi lainnya. Meskipun demikian arsitektur tradisional masih memiliki dan menampilkan persamaan yaitu: unsur vertikal dan horisontal. Bahkan kedua unsur ini dpat ditemukan pada seluruh arsitektur tradisional di Indonesia.REFEERNSI : http://dualembang.multiply.com/journal/item/28?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

Tongkonan dan AlangPembangunan rumah tongkonan dan lumbung alang harus dilandasi oleh hubungan saudara dengan hutan sebagai sumber bahan ramuan. Prinsip hubungan ini muncul dalam kontinuitas kehidupan. Penebangan pohon adalah mematikan karena itu harus ada upaya agar kayu mati tadi dihidupkan. Dalam budaya ini kayu mati menjadi hidup kalau bahan kayu rumah yang diletakkan secara horizontal bagian batang bawah berada di selatan (muara sungai), sedangkan bagian atas kayu menghadap sumber mata air (utara) ke langit yang tertinggi. Tiang-tiang dan dinding rumah juga memakai prinsip sama, yaitu semua bahan harus ditata tumbuh ke atas.Hanya dengan perlakuan demikian maka kontinuitas hidup terjamin dan pohon-pohon ini menghidupkan penghuninya. Kemudian, dalam pelaksanaan ritus kehidupan atau kematian, bahan-bahan kayu dibutuhkan (dimatikan) dan untuk menjaga kontinuitas kehidupannya pohon-pohon baru seperti pohon berdaun lebar (lamba), beringin, cendana, dan kedondong harus ditanam kembali (dihidupkan). Kedondong dipercayai sebagai penangkal petir melindungi pohon-pohon lain karena buahnya asam. Bila pohon-pohon ini tumbuh, maka akan mendatangkan rezeki bagi seluruh kampung. Hubungan saudara ini juga dikonkretkan dalam pembangunan pasangan rumah/lumbung. Rumah dikategorikan sebagai wanita (baine), sedangkan lumbung sebagai laki-laki (londongna banua).

Hubungan antara keduanya adalah hubungan saudara.Ini misalnya dibuktikan dengan pemakaian istilah kekerabatan untuk menamai tiang pusat rumah yang terbuat dari kayu nangka (ariri posi), yaitu anak dara-anak dara. Laki-laki memakai nama ini untuk memanggil saudara perempuannya, sedangkan yang terakhir memanggil saudara laki-lakinya anak laki-laki (anak muane). Tongkonan dan alang adalah mikro-kosmos mewakili makro-kosmos yang menekankan hubungan saudara, yaitu langit (laki-laki) dan bumi (wanita), atau Puang Matua pencipta (saudara laki-laki) yang berdiam di langit dan Datu Baine (saudara perempuan) yang berdiam di bumi. Proses pembangunan rumah/lumbung ini harus didasarkan pada kebenaran umum yang diturun-temurunkan (sangka), yang sudah diuji kebenarannya, suatu praktik yang menghidupkan dan tidak mematikan. Hal ini ditandai dengan penempatan simbol-simbol di depan tongkonan yang mirip salib yang disebut jejeran kebenaran (dandanan sangka).

Yang menarik adalah kebenaran umum dikonstruksi dalam bentuk cerita, yang bagi kebanyakan kita tidak lebih dari sekadar "cerita". Banyak cerita sangka yang diceritakan secara turun temurun (ulelean batu silambi) tentang kecelakaan dalam penebangan pohon-pohon di hutan yang dibawa hanyut air sungai. Cerita demikian dapat ditemukan dalam berbagai versi dari kampung ke kampung. Singkatnya, perlakuan alam secara saudara harus didasarkan pada serangkaian kebenaran karena tongkonan adalah doa dan harapan yang menarik datangnya (ullambe) rezeki (dalle), kebahagiaan (kamasannangan), keselamatan (kamarendengan), dan kekayaan (eanan).Tuturan ritus Masyarakat Toraja punya ideologi bahasa yang mirip dengan apa yang Austin dan Wittgenstein katakan, yaitu bertutur dan berbicara adalah suatu social action yang punya akibat. Yang paling ditakuti ialah kalau kegiatan berbicara itu mendatangkan bala (tula). Sebaliknya, yang paling didambakan adalah bila kegiatan bertutur mendatangkan kebaikan (kameloan). Dipercayai, misalnya, bahwa dalam nama pohon terdapat dua kekuatan, yaitu kekuatan mematikan dan menghidupkan. Dalam mitos turunnya Pong Mula Tau (manusia pertama) di Rura (sekarang masuk kecamatan Enrekang) Tangdilino menyuruh Pong Bulu Kuse dan Pong Sabannangna masuk ke dalam hutan untuk menebang pohon-pohon. Karena mereka serakah hendak menebang pohon tanpa melakukan upacara, semua pohon menyebutkan namanya, yang menyebabkan kematian (kada beko) akan terjadi pada manusia kalau mereka menebangnya. Keserakahan terhadap alam adalah pertanda hubungan non-saudara. Hanya dengan mediasi ritual likaran biang, yaitu upacara kehidupan dengan mengorbankan ayam di hutan, maka pohon-pohon itu mengungkap unsur-unsur dari totalitas kehidupan. Pohon nangka akan mendatangkan kekayaan bagi penghuninya, pohon uru akan mendatangkan banyak babi besar, pohon betau akan membangun manusia seutuhnya, dan seterusnya. Kearifan lokal yang dikonstruksi dalam tradisi lisan Toraja dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan lingkungan. Inti utamanya adalah membangun hubungan manusia dan alam sebagai hubungan subyek-subyek, yaitu dengan menerapkan "hubungan saudara". Hubungan non-saudara (subyek-obyek) hanya akan mendatangkan sifat serakah, penebangan liar, dan lain-lain. Adapun hubungan saudara (subyek-subyek) yang didasari ajaran agama, kebenaran-kebenaran yang turun-temurun, serta mediasi ritual akan mendatangkan kesuburan dan kehidupan.REFERENSI : http://alexnova-alex.blogspot.com/2011/07/tongkonan-dan-alang.html

http://rambamuel.blogspot.com/KEBUDAYAAN SUKU TORAJAMasyarakat dan Kebudayaan "Suku Toraja"

Sejarah Suku TorajaSuku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utaraSulawesi Selatan,Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal diKabupaten Tana Toraja,Kabupaten Toraja Utara, danKabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agamaKristen, sementara sebagian menganutIslamdan kepercayaananimismeyang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dariAgama Hindu Dharma.

Ma' Badong

Kata toraja berasal dari bahasaBugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas".Pemerintah kolonial Belandamenamai suku ini Toraja pada tahun 1909.Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adattongkonandan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionarisBelandadatang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambangpariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog.Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektorpariwisatayang terus meningkat.

Identitas etnisSuku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelumpenjajahan Belandadan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggiSulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi. Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luarsepertisuku Bugisdansuku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesidaripada dengan sesama suku di dataran tinggi. KehadiranmisionarisBelanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata diTana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utamasuku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut),suku Mandar(pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).

Sejarah

Teluk Tonkin, terletak antaraVietnamutara danCinaselatan, dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja. Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.

Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melaluiVereenigde Oost-Indische Compagnie(VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaranIslamdi Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda.Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi darikerajaan Luwuyang mengklaim wilayah tersebut Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.

Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja.Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.

Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkanDarul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.

Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui:Islam, KristenProtestan,Katolik,HindudanBuddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolodilegalkan sebagai bagian dariAgama Hindu Dharma.

Masyarakat1. KeluargaKeluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuathubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.

Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.Sebelum adanya pemerintahan resmi olehpemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkantuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.

2. Kelas SosialDalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengankelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial:bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakandihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintahHindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.

Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga,tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebutbanua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapagerak sosialyang dapat memengaruhi status seseorang, sepertipernikahanatau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlahkerbauyang dimiliki.

Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atauberhubungan seksualdengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaituhukuman mati.

Agama

Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaananimismepoliteistikyang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.

Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupanpertanianmaupun dalam upacarapemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk).Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada paramisionarisdariBelanda, orangKristenToraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.

KebudayaanTongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").

Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.

Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalamadatdan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.

Ukiran Kayu

Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan.Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.

Setiapukiranmemiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalahhewandantanamanyang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air sepertigulma airdan hewan sepertikepitingdankecebongyang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkankerbauatau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkanhewanair, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.

Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur.Ornamen Toraja dipelajari dalamethnomatematikadengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakanbambuuntuk membuat oranamen geometris.

Upacara PemakamanDalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluargabangsawanyang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.

Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukupuanguntuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atauakhirat). Dalam masa penungguan itu,jenazahdibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihankerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakangolok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puyajika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusanbabimerupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.

Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung ditebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan.

Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar.

Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.

Musik dan Tarian

Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebutMa'badong).Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman.Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. TarianMa'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.

Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selamamusimpanen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakanHari Pengucapan Syukurdan tarianMa'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbukberasAda beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'buaadalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.

Alat musik tradisional Toraja adalahsulingbambuyang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat daridaunpalemdan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.BahasaBahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama.Bahasa Indonesiasebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat,akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semuasekolah dasardi Tana Toraja.

Ragam bahasadi Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , danToraja-Sa'dan, dan termasuk dalamrumpun bahasa Melayu-Polinesiadari bahasaAustronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui prosestransmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.Keragaman dalam bahasa Toraja

DenominasiISO 639-3Populasi (pada tahun)DialekKalumpangkli12,000 (1991) Karataun, Mablei, Mangki (E'da), Bone Hau (Ta'da).Mamasamqj100,000 (1991) Mamasa Utara, Mamasa tengah, Pattae' (Mamasa Selatan, Patta' Binuang, Binuang, Tae', Binuang-Paki-Batetanga-Anteapi)Ta'erob250,000 (1992) Rongkong, Luwu Timur Laut, Luwu Selatan, Bua.Talondo'tln500 (1986)

Toala'tlz30,000 (1983) Toala', Palili'.Torajan-Sa'dansda500,000 (1990) Makale (Tallulembangna), Rantepao (Kesu'), Toraja Barat (Toraja Barat, Mappa-Pana).

Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit.Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatukatarsisbagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.

EkonomiSebelum masaOrde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanyateraseringdi lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalahsingkongdanjagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternakkerbau,babi, danayamyang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan.Kopi Toraja. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang,

Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambanganMultinasionalmembuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi keKalimantanuntuk kayu dan minyak, kePapuauntuk menambang, dan ke kota-kota diSulawesidanJawa.Perpindahanini terjadi sampai tahun 1985.

Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja dihotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnyaketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesiapada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis.

Pendapat Saya :Menurut saya, kebudayaan yang unik dari Suku Toraja adalah bagaimana pad saat proses pemakaman yang beda dari yang lainnya. pada suku lain kebudayaannya tentu yang menonjol adalah dari bidang lain namun pada suk toraja ini sangat unik sekali dan masih dijalankan dengan baik sekali secara turun-temurun walaupun pada zaman modern ini tidak mengenal adat seperti itu namun di toraja masih sangat kental sekali budaya mereka yang berbau mistis.