73323977 Konsensus DM Tipe 2 Indonesia 2011

Embed Size (px)

Citation preview

PENGELOLAAN DAN PENCEGAHAN KONSENSUS 2011

DIABETES MELITUS TIPE 2

DI INDONESIA

PERKUMPULAN ENDOKRINOLOGI INDONESIA

I.PENDAHULUAN Buku panduan berikut berisikan konsensus pengelolaan dan pencegahan bagi penyandang diabetes yang merupakan revisi konsensus pengelolaan Diabetes Me litus (DM) di Indonesia hasil kesepakatan para pakar DM nasional yang mulai diri ntis PB PERKENI sejak pertemuan tahun 1993 di Jakarta. Revisi buku konsensus 201 0 merupakan revisi buku konsensus pengelolaan DM yang keempat. Setelah revisi bu ku konsensus pertama tahun 1998 dan revisi kedua tahun 2002, dilakukan revisi ke tiga yang diselesaikan tahun 2006. Mengingat sebagian besar penyandang diabetes adalah kelompok DM tipe 2, konsensus pengelolaan berikut terutama disusun untuk DM tipe 2, sedangkan untuk kelompok DM tipe 1 dan pengelolaan diabetes pada keha milan, dibicarakan dalam buku panduan tersendiri. Berbagai penelitian epidemiolo gi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi D M tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah pe nyandang diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi k enaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Fed eration (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7, 0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perb edaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah p enyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030. Laporan dari hasil penilit ian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada dekade 1980-an menunjukk an sebaran prevalensi DM tipe 2 antara 0,8% di Tanah Toraja, sampai 6,1% yang di dapatkan di Manado. Hasil penelitian pada rentang tahun 1980-2000 menunjukkan pe ningkatan prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh, pada penelitian di Jakar ta (daerah urban), prevalensi DM dari 1,7% pada tahun 1982 naik menjadi 5,7% pad a tahun 1993 dan meroket lagi menjadi 12,8% pada tahun 2001. Berdasarkan data Ba dan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan penduduk Indonesia yang b erusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM sebesar 14, 7% pada daerah urban dan 7,2%, pada daerah rural, maka diperkirakan pada tahun 2 003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkiraka n pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang 1 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah ur ban dan 8,1 juta di daerah rural. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas ) tahun 2007 oleh Departemen Kesehatan, menunjukkan bahwa prevalensi DM di daera h urban Indonesia untuk usia di atas 15 tahun sebesar 5,7%. Prevalensi terkecil terdapat di Propinsi Papua sebesar 1,7%, dan terbesar di Propinsi Maluku Utara d an Kalimanatan Barat yang mencapai 11,1%. Sedangkan prevalensi toleransi glukosa terganggu (TGT), berkisar antara 4,0% di Propinsi Jambi sampai 21,8% di Propins i Papua Barat. Data-data di atas menunjukkan bahwa jumlah penyandang diabetes di Indonesia sangat besar dan merupakan beban yang sangat berat untuk dapat ditang ani sendiri oleh dokter spesialis/subspesialis atau bahkan oleh semua tenaga kes ehatan yang ada. Mengingat bahwa DM akan memberikan dampak terhadap kualitas sum ber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar, maka semua pi hak, baik masyarakat maupun pemerintah, sudah seharusnya ikut serta dalam usaha penanggulangan DM, khususnya dalam upaya pencegahan. Pada strategi pelayanan kes ehatan bagi penyandang diabetes, peran dokter umum menjadi sangat penting sebaga i ujung tombak di pelayanan kesehatan primer,. Kasus DM sederhana tanpa penyulit dapat dikelola dengan tuntas oleh dokter umum di pelayanan kesehatan primer. Pe nyandang diabetes yang berpotensi mengalami penyulit DM perlu secara periodik di konsultasikan kepada dokter spesialis penyakit dalam atau dokter spesialis penya kit dalam konsultan endokrin, metabolisme, dan diabetes di tingkat pelayanan kes ehatan yang lebih tinggi di rumah sakit rujukan. Demikian pula penyandang diabet es dengan glukosa darah yang sukar dikendalikan dan penyandang diabetes dengan p enyulit. Pasien dapat dikirim kembali kepada dokter pelayanan primer setelah pen anganan di rumah sakit rujukan selesai. Diabetes melitus merupakan penyakit mena hun yang akan diderita seumur hidup. Dalam pengelolaan penyakit tersebut, selain dokter, perawat, ahli gizi, dan tenaga kesehatan lain, peran pasien dan keluarg a menjadi sangat penting. Edukasi kepada pasien dan keluarganya bertujuan dengan memberikan pemahaman mengenai perjalanan penyakit, pencegahan, penyulit, dan pe natalaksanaan DM, akan sangat membantu meningkatkan keikutsertaan keluarga dalam usaha memperbaiki hasil 2 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

pengelolaan. Dalam konteks ini keberadaan organisasi perkumpulan penyandang diab etes seperti PERKENI, PERSADIA, PEDI, dan lain-lain menjadi sangat dibutuhkan, m engingat perkumpulan tersebut dapat membantu meningkatkan pengetahuan penyandang diabetes tentang penyakitnya dan meningkatkan peran aktif mereka dalam memodifi kasi pengobatan DM. Untuk mendapatkan hasil pengelolaan yang tepat guna dan berh asil guna, serta untuk menekan angka kejadian penyulit DM, diperlukan suatu stan dar pelayanan minimal bagi penyandang diabetes. Penyempurnaan dan revisi secara berkala standar pelayanan harus selalu dilakukan dan disesuaikan dengan kemajuan -kemajuan ilmu mutakhir, sehingga dapat diperoleh manfaat yang sebesar- besarnya bagi penyandang diabetes. I.1. Definisi Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes m elitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hipergli kemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-du anya.

3 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

I.2. Klasifikasi Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel 1. 4 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

Bagan Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 2 Hiperkoagulasi Hipertensi Pe roner Diagnosis Diagnosis: Komorbiditas Infeksi lain Infeksi par ti perifer Kelainan pembuluh darah daradarah perifer 5 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

II.Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 II. 1. Diagnosis Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan ata s dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa dara h yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun kapiler t etap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angkaangka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil peng obatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler deng an glukometer. II.1.1. Diagnosis diabetes melitus Berbagai keluhan dapat ditemuk an pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terda pat keluhan klasik DM seperti di bawah ini: Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan seb abnya Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara: 1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaa n glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM 2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik. 3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih se nsitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pem eriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berula ng-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus. Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa dapat dilih at pada bagan 1. Kriteria diagnosis 6 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

1. 2. DM untuk dewasa tidak hamil dapat dilihat pada tabel-2. Apabila hasil pemeriksaa n tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT). TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 m g/dL (7,8-11,0 mmol/L). GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan pemer iksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL. Tabel 2. Kriteria diagnosis DM 1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L) Glukosa pla sma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatik an waktu makan terakhir Atau 2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7.0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitn ya 8 jam Atau 3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO y ang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 7 5 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. * Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kr iteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstand ardisasi dengan baik. Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994): Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap m akan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap mel akukan kegiatan jasmani seperti biasa 7 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan Diperiksa kadar glukosa darah puasa Diberik an glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan d alam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit Berpuasa kembali sampai pengambi lan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai D iperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa Selama proses pem eriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok II.1.2. Pemeriksaan penyaring Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang m empunyai risiko DM (seperti terlihat pada halaman 33), namun tidak menunjukkan a danya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan D M, TGT, maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien de ngan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan se mentara menuju DM. Kedua keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko untuk ter jadinya DM dan penyakit kardiovaskular dikemudian hari. Pemeriksaan penyaring da pat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Skema langkah-langkah pemeriksaan pada kelompok yang memiliki risi ko DM dapat dilihat pada bagan 1. Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening) tidak dianjurkan mengingat biaya yang mahal, yang pada u mumnya tidak diikuti dengan rencana tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan a danya kelainan. Pemeriksaan penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaa n untuk penyakit lain atau general check-up. 8 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa darah puasa sebagai patokan penyaring da pat dilihat pada tabel 3.

Catatan : Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, di lakukan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risi ko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

9 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

Bagan 1. Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa II.2. Pena talaksanaan Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidu p penyandang diabetes. II.2.1. Tujuan penatalaksanaan Jangka pendek: menghilangk an keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengend alian glukosa darah. Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyu lit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. 10 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk men capai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik denga n mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku. II.2.2.Langkah-langkah p enatalaksanaan penyandang diabetes II.2.2.1.`Evaluasi medis yang lengkap pada pe rtemuan pertama: Evaluasi medis meliputi: Riwayat Penyakit Gejala yang timbul, asil pemeriksaan laboratorium terdahulu meliputi: glukosa darah, A1C, dan hasil pemeriksaan khusus yang terkait DM Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perub ahan berat badan Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri, serta keper cayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan Pengobatan yang sedang dijalan i, termasuk obat yang digunakan, perencanaan makan dan program latihan jasmani R iwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar hiperglikemia, dan h ipoglikemia) Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan trakt us urogenitalis serta kaki Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komp likasi pada ginjal, mata, saluran pencernaan, dll.) Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah 11 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

H

Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain) Riwayat p enyakit dan pengobatan di luar DM Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, d an status ekonomi Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan. Peme riksaan Fisik Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang Penguku ran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik, serta ankle brachial index (ABI ), untuk mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah arteri tepi Pemeriksaan fun duskopi Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid Pemeriksaan jantung Evaluas i nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan pemeriksaan neurologis Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain Evaluasi Laboratoris / penunjang lain Glukosa dar ah puasa dan 2 jam post prandial A1C Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida) Kreatinin serum Albuminuria Keton, sedimen, dan protein dalam urin Elektrokardiogram Foto sinar-x dada

12 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

Rujukan Sistem rujukan perlu dilakukan pada seluruh pusat pelayanan kesehatan ya ng memungkinkan dilakukan rujukan. Rujukan meliputi: Rujukan ke bagian mata Ruju kan untuk terapi gizi medis sesuai indikasi Rujukan untuk edukasi kepada edukato r diabetes Rujukan kepada perawat khusus kaki (podiatrist), spesialis perilaku ( psikolog) atau spesialis lain sebagai bagian dari pelayanan dasar. Konsultasi la in sesuai kebutuhan II.2.2.2. Evaluasi medis secara berkala Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa dara h puasa dan 2 jam sesudah makan, atau pada waktu-waktu tertentu lainnya sesuai d engan kebutuhan Pemeriksaan A1C dilakukan setiap (3-6) bulan Secara berkala dila kukan pemeriksaan: Jasmani lengkap Mikroalbuminuria Kreatinin Albumin / globulin dan ALT Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserida EKG Foto sinar-X dada Funduskopi II.2.3. Pilar penatalaksanaan DM 1. Edukasi 2. Tera pi gizi medis 3. Latihan jasmani 4. Intervensi farmakologis Pengelolaan DM dimul ai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu ). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farm akologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan 13 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi met abolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun denga n cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. II.2.3.1. Edukasi Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah te rbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi ak tif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menu ju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dib utuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Berbagai hal t entang edukasi dibahas lebih mendalam di bagian promosi perilaku sehat di halama n 38. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hip oglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kada r glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusu s. II.2.3. 2. Terapi Nutrisi Medis Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian d ari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterli batan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan y ang lain serta pasien dan keluarganya). Setiap penyandang diabetes sebaiknya men dapat TNM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip penga turan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masy arakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan z at gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentin gnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, teruta ma pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. 14 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari: Karbohidrat Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi. Pembatasan karbohidrat total BBI + 10 % Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks massa tub uh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/ TB(m2) Klasifikasi IMT* BB Kurang BB Normal BB Lebih o Dengan risiko o Obes I o Obes II < 18,5 18,5-22,9 23,0 23,0 -24,9 25,0-29,9 > 30 *WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective: Redefining Obesity and it s Treatment. Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain : Jenis Kelamin Kebut uhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita sebes ar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB. Umur Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade antara 40 dan 59 tahun , dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69 tahun dan dikurangi 20%, di atas u sia 70 tahun. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan 17 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik. Penamb ahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pad a pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan ak tivitas sangat berat. Berat Badan Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergan tung kepada tingkat kegemukan Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan k ebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari untuk pria. Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi ter sebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), da n sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk mening katkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebias aan. Untuk penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan maka n disesuaikan dengan penyakit penyertanya. C. Pilihan Makanan Pilihan makanan un tuk penyandang diabetes dapat dijelaskan melalui piramida makanan untuk penyanda ng diabetes (lihat pada lampiran 1) 18 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

II.2.3.3. Latihan jasmani Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secar a teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki k e pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan (lihat tabel 4). Lat ihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan da n memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa da rah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobi k seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani s ebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sud ah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan. II.2.3.4. Terapi farmakologis Terapi farmakologis diberikan bersama dengan penga turan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. 1. Obat hipoglikemik oral 19 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan: A. Pemicu sekresi insu lin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid B. Peningkat sensitivitas te rhadap insulin: metformin dan tiazolidindion C. Penghambat glukoneogenesis (metf ormin) D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa. E. DPP-IV in hibitor A. Pemicu Sekresi Insulin 1. Sulfonilurea Obat golongan ini mempunyai ef ek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pili han utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang. Namun masih boleh d iberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal da n hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaa n sulfonilurea kerja panjang. 2. Glinid Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fas e pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat in i dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. B. Peningkat sensitivitas terhada p insulin Tiazolidindion 20 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Re ceptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan i ni mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah prote in pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazoli dindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena d apat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pas ien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala. *golongan rosiglitazon sudah ditarik dari peredaran karena efek samping nya. C. Penghambat glukoneogenesis Metformin Obat ini mempunyai efek utama mengu rangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambil an glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin d ikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1 ,5 mg/dL) dan hati, serta pasienpasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat me mberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pa da saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metfor min secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau ef ek samping obat tersebut. D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose) 21 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga memp unyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbul kan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah k embung dan flatulens. E. DPP-IV inhibitor Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupa kan suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran penc ernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebaga i penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh en zim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)amide yang tid ak aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan un tuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM t ipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang me nghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli ata u analognya (analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan DP P-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentra si yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon. Mekanisme kerja OHO, efek samping utama, serta pengaruh obat terhadap penurunan A1C dapat dilihat pada tabel 5, sedangkan nama obat, berat bahan aktif (mg) per tablet, dosis harian, lama kerja, dan waktu pe mberian dapat dilihat pada lampiran 2. 22 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

Cara Pemberian OHO, terdiri dari: OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatka n secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dos is optimal Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan Penghambat glukos idase (Acarbose): bersama makan suapan pertama Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan. DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebel um makan. 2. Suntikan 1. Insulin 2. Agonis GLP-1/incretin mimetic 1. Insulin Ins ulin diperlukan pada keadaan: Penurunan berat badan yang cepat Hiperglikemia ber at yang disertai ketosis Ketoasidosis diabetik Hiperglikemia hiperosmolar non ke totik Hiperglikemia dengan asidosis laktat Gagal dengan kombinasi OHO dosis opti mal Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke) Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan G angguan fungsi ginjal atau hati yang berat Kontraindikasi dan atau alergi terhad ap OHO Jenis dan lama kerja insulin Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni: Insulin kerja cepat (rapid acting insulin) Insulin kerja pe ndek (short acting insulin) Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) Insulin kerja panjang (long acting insulin) 23 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin). Jenis dan lama kerja insulin dapat dilihat pada lampiran 3. Efek samping terapi insulin Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia. Penata laksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bab komplikasi akut DM. Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin. Dasar pemikiran terapi insulin: Sekresi insuli n fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin diu payakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis. Defisiensi insulin mu ngkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau keduanya. Defisiens i insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangka n defisiensi insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan. Tera pi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiens i yang terjadi. Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukos a darah basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral m aupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah ba sal adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang). Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai. Apabila sasaran glukosa dara h basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C belum mencapai target, maka dilaku kan pengendalian glukosa darah prandial (meal-related). Insulin yang dipergunaka n untuk mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat (rapi d acting) atau insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi insulin basal deng an 24 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

insulin prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal bolus). Insulin basal juga da pat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan glukosa darah prandial seperti go longan obat peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid), atau pengh ambat penyerapan karbohidrat dari lumen usus (acarbose). Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan respons individu, yang di nilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian. Cara Penyuntikan Insuli n Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan ar ah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit. Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip. Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja pendek dan kerja menengah , dengan perbandingan dosis yang tertentu. Apabila tidak terdapat sediaan insuli n campuran tersebut atau diperlukan perbandingan dosis yang lain, dapat dilakuka n pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin tersebut. Teknik pencampuran da pat dilihat dalam buku panduan tentang insulin. Lokasi penyuntikan, cara penyunt ikan maupun cara insulin harus dilakukan dengan benar, demikian pula mengenai ro tasi tempat suntik. Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin dan jarumnya dapat dipakai lebih dari satu kali oleh penyandang diabetes yang sama. Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin dalam kema san (jumlah unit/mL) dengan semprit yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit). Dianjurkan memakai konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100 (ar tinya 100 unit/mL). 25 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

2. Agonis GLP-1 Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan ba ru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasa n insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan ya ng biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogene sis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pa nkreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. 26 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

Tabel 4. Perbandingan Golongan OHO Sulfonilurea Cara kerja utama Meningkatkan sekresi insulin Meningkatkan sekresi insulin Menekan produksi glukosa hati & menambah sensitifitas terhadap insulin M enghambat absorpsi glukosa Menambah sensitifitas terhadap insulin Efek samping u tama BB naik, hipoglikemia BB naik, hipoglikemia Dispepsia, diare, asidosis lakt at Reduksi A1C 1,0-2,0% Keuntungan Sangat efektif Kerugian Meningkatkan berat ba dan, hipoglikemia (glibenklamid dan klorpropamid) Meningkatkan berat badan, pemb erian 3x/hari, harganya mahal dan hipoglikemia Efek samping gastrointestinal, ko ntraindikasi pada insufisiensi renal Glinid 0,5-1,5% Sangat efektif Metformin 1,0-2,0% Tidak ada kaitan dengan berat badan Penghambat glukosidasealfa Tiazolidindio n Flatulens, tinja lembek Edema 0.,5-0,8% 0,5-1,4% Tidak ada kaitan Sering menimbulkan efek dengan berat badan gastrointestinal, 3x /hari dan mahal Memperbaiki profil Retensi cairan, CHF, lipid fraktur, berpotens i (pioglitazon),berpoten menimbulkan infark si menurunkan infark miokard, dan ma hal miokard (pioglitazon) Tidak ada kaitan dengan berat badan Penggunaan jangka panjang tidak disarankan, mahal DPP-4 inhibitor Meningkatkan sekresi insulin, menghambat sekresi glukagon Sebah, muntah 0,5-0,8% Inkretin analog/mimeti k Meningkatkan sekresi insulin, menghambat sekresi glukagon Sebah, muntah 0,5-1,0% Penurunan berat Injeksi 2x/hari, badan penggunaan jangka panjang tidak disaranka n, dan mahal Insulin Menekan produksi glukosa hati, stimulasi pemanfaatan glukosa Hipoglikemi, BB naik

1,5-3,5% Dosis tidak terbatas, Injeksi 1-4 kali/hari, harus memperbaiki profil dimonitor, meningkatkan lipid da sangat efektif berat badan, hipoglikemia dan analognya ma hal 27 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

3. Terapi Kombinasi Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis ren dah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukos a darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi deng an OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme ke rja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberik an kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insul in. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungk inkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan. (li hat bagan 2 tentang algoritma pengelolaan DM tipe 2). Untuk kombinasi OHO dan in sulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjel ang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendal i glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insu lin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian d ilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesok an harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insul in. Algoritma pengobatan DM tipe 2 tanpa dekompensasi metabolik dapat dilihat pa da bagan 2. II.2.4. Penilaian hasil terapi Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM ti pe 2 harus dipantau secara terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jas mani, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah: 28 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

II. 2.4.1. Pemeriksaan kadar glukosa darah Tujuan pemeriksaan glukosa darah: Unt uk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai Untuk melakukan penyesuaian d osis obat, bila belum tercapai sasaran terapi. Guna mencapai tujuan tersebut per lu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa, glukosa 2 jam post prandial, atau glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala sesuai dengan kebutuhan. II. 2.4.2. Pemeriksaan A1C Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga seb agai glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merup akan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelum nya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setah un. 29 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

Bagan 2. Algoritma pengelolaan DM tipe 2 tanpa disertai dekompensasi

Bagan 3. Algoritma pengelolaan DM tipe 2 tanpa disertai dekompensasi (alternatif terutama untuk internist)

30 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

II.2.4.3. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) Untuk memantau kadar glukosa d arah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasi l pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sej auh kaliberasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai denga n cara standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara rea gen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional. PGDM dianjurkan bagi pas ien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGD M bervariasi, tergantung pada tujuan pemeriksaan yang pada umumnya terkait denga n terapi yang diberikan. Waktu yang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur (u ntuk menilai risiko hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai ada nya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika mengalami geja la seperti hypoglycemic spells. Prosedur PGDM dapat dilihat pada tabel 5. PDGM t erutama dianjurkan pada: - Penyandang DM yang direncanakan mendapat terapi insul in - Penyandang DM dengan terapi insulin berikut o Pasien dengan A1C yang tidak m encapai target setelah terapi o Wanita yang merencanakan hamil o Wanita hamil deng an hiperglikemia o Kejadian hipoglikemia berulang 31 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

Table 5. Prosedur pemantauan *ADA menganjurkan pemeriksaan kadar glukosa darah malam hari (bedtime) dilakukan pada jam 22.00

II.2.4.4. Pemeriksaan Glukosa Urin Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung. Hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa darah. Batas ekskresi glukosa renal rata-rata sekitar 1 80 mg/dL, dapat bervariasi pada beberapa pasien, bahkan pada pasien yang sama da lam jangka waktu lama. Hasil pemeriksaan sangat bergantung pada fungsi ginjal da n tidak dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi. II.2.4.5. Pemantau an Benda Keton Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup pentin g terutama pada penyandang DM tipe 2 yang terkendali buruk (kadar glukosa darah >300 mg/dL). Pemeriksaan benda keton juga diperlukan pada penyandang diabetes ya ng sedang hamil. Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat, sementara bend a keton yang penting adalah asam beta hidroksibutirat. Saat ini telah dapat dila kukan pemeriksaan kadar asam beta 32 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

hidroksibutirat dalam darah secara langsung dengan menggunakan strip khusus. Kad ar asam beta hidroksibutirat darah 50 mg/dL); trigliserid 130 mmHg dan / atau TD diastolik >80 mmHg. Sasaran (target pen urunan) tekanan darah: Tekanan darah 140 mmHg atau tekanan diastolik >90 mmHg, dapat diberikan terapi farmakologis secar a langsung Diberikan terapi kombinasi apabila target terapi tidak dapat dicapai dengan monoterapi. Catatan - Penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II (A RB = angiotensin II receptor blocker) dan 44 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

antagonis kalsium golongan non-dihidropiridin dapat memperbaiki mikroalbuminuria . Penghambat ACE dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular. Diuretik (HCT) dosis rendah jangka panjang, tidak terbukti memperburuk toleransi glukosa. Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah tercapai. Bila tekanan darah terkendali, setelah satu tahun dapat dicoba menurunkan dosis secara bertahap. Pa da orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap. 6. Obesitas pada Diabetes Prevalensi obesitas pada DM cukup tinggi, demikian

pula kejadian DM dan gangguan toleransi glukosa pada obesitas cukup sering dijum pai Obesitas, terutama obesitas sentral secara bermakna berhubungan dengan sindr om dismetabolik (dislipidemia, hiperglikemia, hipertensi), yang didasari oleh re sistensi insulin Resistensi insulin pada diabetes dengan obesitas membutuhkan pe ndekatan khusus 7. Gangguan koagulasi pada Diabetes Terapi aspirin 75-160 mg/hari diberikan seba gai strategi pencegahan sekunder bagi penyandang diabetes dengan riwayat pernah meng alami penyakit kardiovaskular dan yang mempunyai risiko kardiovaskular lain. Ter api aspirin 75-160 mg/hari digunakan sebagai strategi pencegahan primer pada pen yandang diabetes tipe 2 yang merupakan faktor risiko kardiovaskular, termasuk pa sien dengan usia > 40

45 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

tahun yang memiliki riwayat keluarga penyakit kardiovaskular dan kebiasaan merok ok, menderita hipertensi, dislipidemia, atau albuminuria Aspirin dianjurkan tida k diberikan pada pasien dengan usia di bawah 21 tahun, seiring dengan peningkata n kejadian sindrom Reye Terapi kombinasi aspirin dengan antiplatelet lain dapat dipertimbangkan pemberiannya pada pasien yang memiliki risiko yang sangat tinggi . Penggunaan obat antiplatelet selain aspirin dapat dipertimbangkan sebagai peng ganti aspirin pada pasien yang mempunyai kontra indikasi dan atau tidak tahan te rhadap penggunaan aspirin. 46 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

III. PENCEGAHAN DIABETES TIPE2 (lihat juga buku panduan penatalaksanaan prediabet es dan pencegahan DM tipe-2) III.1. Pencegahan Primer III.1.1. Sasaran pencegaha n primer: Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memil iki faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mend apat DM dan kelompok intoleransi glukosa. III.1.1.1. Faktor risiko diabetes Fakt or risiko diabetes sama dengan faktor risiko untuk intoleransi glukosa yaitu : F aktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi : Ras dan etnik Riwayat keluarga denga n diabetes (anak penyandang diabetes) Umur. Risiko untuk menderita intoleransi g lukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakuk an pemeriksaan DM. Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi>4000 gram atau r iwayat pernah menderita DM gestasional (DMG). Riwayat lahir dengan berat badan r endah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yan g lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan BB normal.

Faktor risiko yang bisa dimodifikasi; Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2). Kurang nya aktivitas fisik. Hipertensi (> 140/90 mmHg). Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL da n atau trigliserida > 250 mg/dL) 47 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan m eningkatkan risiko menderita prediabetes dan DM tipe 2. Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes : Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaa n klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa ter ganggu (GDPT) sebelumnya. Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stro ke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases). III.1.1.2. Intoleransi Glukosa Intoleransi glukosa merupakan suatu keadaan yang mendahului timbulnya diabetes. Angka kejadian intoleransi glukosa dilaporkan ter us mengalami peningkatan. Istilah ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 2002 oleh Department of Health and Human Services (DHHS) dan The American Diabetes A ssociation (ADA). Sebelumnya istilah untuk menggambarkan keadaan intoleransi glu kosa adalah TGT dan GDPT. Setiap tahun 4-9% orang dengan intoleransi glukosa aka n menjadi diabetes. Intoleransi glukosa mempunyai risiko timbulnya gangguan kard iovaskular sebesar satu setengah kali lebih tinggi dibandingkan orang normal. Di agnosis intoleransi glukosa ditegakkan dengan pemeriksaan TTGO setelah puasa 8 j am. Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan apabila hasil tes glukosa darah men unjukkan salah satu dari tersebut di bawah ini : Glukosa darah puasa antara 10012 5 mg/dL Glukosa darah 2 jam setelah muatan glukosa ( TTGO ) antara 140-199 mg/dL . 48 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

Pada pasien dengan intoleransi glukosa anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dila kukan ditujukan untuk mencari faktor risiko yang dapat dimodifikasi. III.1.2. Materi pencegahan primer Materi pencegahan primer terdiri dari tindakan penyuluhan dan pengeloaan yang ditujukan untuk kelompok masyarakat yang mempuny ai risiko tinggi dan intoleransi glukosa. Skema tentang alur pencegahan primer d apat dilihat pada bagan-4. III.1.2.1. Penyuluhan ditujukan kepada: A. Kelompok ma syarakat yang mempunyai risiko tinggi dan intoleransi glukosa Materi penyuluhan meliputi antara lain: 1. Program penurunan berat badan. Pada seseorang yang memp unyai risiko diabetes dan mempunyai berat badan lebih, penurunan berat badan mer upakan cara utama untukmenurunkan risiko terkena DM tipe 2 atau intoleransi gluk osa. Beberapa penelitian menunjukkan penurunan berat badan 5-10% dapat mencegah atau memperlambat munculnya DM tipe 2. 2. Diet sehat. Dianjurkan diberikan pada setiap orang yang mempunyai risiko. Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapa i berat badan ideal. Karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan diberikan secara terbagi dan seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak (peak) glukosa darah yan g tinggi setelah makan. Mengandung sedikit lemak jenuh, dan tinggi serat larut. 3. Latihan jasmani. 49 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

Latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah, mempertahankan atau menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL. Lati han jasmani yang dianjurkan: Dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu denga n latihan aerobik sedang (mencapai 50-70% denyut jantung maksimal), atau 90 meni t/minggu dengan latihan aerobik berat (mencapai denyut jantung >70% maksimal). L atihan jasmani dibagi menjadi 3-4 x aktivitas/minggu. 4. Menghentikan merokok. M erokok merupakan salah satu risiko timbulnya gangguan kardiovaskular. Meskipun m erokok tidak berkaitan langsung dengan timbulnya intoleransi glukosa, tetapi mer okok dapat memperberat komplikasi kardiovaskular dari intoleransi glukosa dan DM tipe 2. B. Perencanaan kebijakan kesehatan agar memahami dampak sosioekonomi pe nyakit ini dan pentingnya penyediaan fasilitas yang memadai dalam upaya pencegah an primer. III.1.2.1. Pengelolaan yang ditujukan untuk: Kelompok intoleransi glu kosa Kelompok dengan risiko (obesitas, hipertensi, dislipidemia, dll.) 1. Pengel olaan Intoleransi glukosa Intoleransi glukosa sering berkaitan dengan sindrom me tabolik, yang ditandai dengan adanya obesitas sentral, dislipidemia 50 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

(trigliserida yang tinggi dan atau kolesterol HDL rendah), dan hipertensi. Sebag ian besar penderita intoleransi glukosa dapat diperbaiki dengan perubahan gaya h idup, menurunkan berat badan, mengonsumsi diet sehat serta melakukan latihan jas mani yang cukup dan teratur. Hasil penelitian Diabetes Prevention Program menunj ukkan bahwa perubahan gaya hidup lebih efektif untuk mencegah munculnya DM tipe 2 dibandingkan dengan penggunaan obat obatan. Penurunan berat badan sebesar 5-10 % disertai dengan latihan jasmani teratur mampu mengurangi risiko timbulnya DM t ipe 2 sebesar 58%. Sedangkan penggunaan obat (seperti metformin, tiazolidindion, acarbose) hanya mampu menurunkan risiko sebesar 31% dan penggunaan berbagai oba t tersebut untuk penanganan intoleransi glukosa masih menjadi kontroversi. Bila disertai dengan obesitas, hipertensi, dan dislipidemia, dilakukan pengendalian b erat badan, tekanan darah dan profil lemak sehingga tercapai sasaran yang diteta pkan 2. Pengelolaan berbagai faktor risiko (lihat bab IV tentang masalah khusus): a. Obesitas b. Hipertensi c. Dislipidemia 51 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

Bagan 4. Algoritma pencegahan DM tipe 2

III.2. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau mengha mbat timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pe mberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal peng elolaan penyakit DM. Dalam upaya pencegahan sekunder program penyuluhan memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengo batan dan dalam menuju perilaku sehat. Untuk pencegahan sekunder ditujukan terut ama pada pasien baru. Penyuluhan dilakukan sejak pertemuan pertama dan perlu sel alu diulang pada setiap kesempatan pertemuan berikutnya. Materi penyuluhan pada tingkat pertama dan lanjutan dapat dilihat pada materi edukasi pada bab II.3.3.1 dan materi tentang edukasi tingkat lanjut, pada bab II.4.2. 52 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

Salah satu penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit kardiovaskular, yang merupakan penyebab utama kematian pada penyandang diabetes. Selain pengobatan te rhadap tingginya kadar glukosa darah, pengendalian berat badan, tekanan darah, p rofil lipid dalam darah serta pemberian antiplatelet dapat menurunkan risiko tim bulnya kelainan kardiovaskular pada penyandang diabetes. III..3. Pencegahan Ters ier Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah me ngalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Upaya r ehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap. Seb agai contoh aspirin dosis rendah (80-325 mg/hari) dapat diberikan secara rutin b agi penyandang diabetes yang sudah mempunyai penyulit makroangiopati. Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kuali tas hidup yang optimal. Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan holist ik dan terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan . Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin (jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podi atris, dll.) sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier. 53 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

IV. Masalah-Masalah Khusus IV.1. Diabetes dengan Infeksi Adanya infeksi pada pas ien sangat berpengaruh terhadap pengendalian glukosa darah. Infeksi dapat memper buruk kendali glukosa darah, dan kadar glukosa darah yang tinggi meningkatkan ke mudahan atau memperburuk infeksi. Infeksi yang banyak terjadi antara lain: Infek si saluran kemih (ISK) Infeksi saluran nafas: pneumonia, TB Paru Infeksi kulit: furunkel, abses Infeksi rongga mulut: infeksi gigi dan gusi Infeksi telinga: oti tis eksterna maligna ISK merupakan infeksi yang sering terjadi dan lebih sulit d ikendalikan. Dapat mengakibatkan terjadinya pielonefritis dan septikemia. Kuman penyebab yang sering menimbulkan infeksi adalah: Escherichia coli dan Klebsiella . Infeksi jamur spesies kandida dapat menyebabkan sistitis dan abses renal. Prur itus vagina adalah manifestasi yang sering terjadi akibat infeksi jamur vagina. Pneumonia pada diabetes biasanya disebabkan oleh: streptokokus, stafilokokus, da n bakteri batang gram negatif. Infeksi jamur pada pernapasan oleh aspergillosis, dan mucormycosis juga sering terjadi. Penyandang diabetes lebih rentan terjangk it TBC paru. Pemeriksaan rontgen dada, memperlihatkan pada 70% penyandang diabet es terdapat lesi paru-paru bawah dan kavitasi. Pada penyandang diabetes juga ser ing disertai dengan adanya resistensi obat-obat Tuberkulosis. Kulit pada daerah ekstremitas bawah merupakan tempat yang sering mengalami infeksi. Kuman stafilok okus merupakan kuman penyebab utama. Ulkus kaki terinfeksi biasanya melibatkan b anyak mikro organisme, yang sering terlibat adalah stafilokokus, streptokokus, b atang gram negatif dan kuman anaerob. Angka kejadian periodontitis meningkat pad a penyandang diabetes dan sering mengakibatkan tanggalnya gigi. Menjaga 54 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

kebersihan rongga mulut dengan baik merupakan hal yang penting untuk mencegah ko mplikasi rongga mulut. Ada penyandang diabetes, otitis eksterna maligna sering k ali tidak terdeteksi sebagai penyebab infeksi. Prinsip-prinsip perawatan ulkus kaki diabetes dapat dilihat pada tabel 9. IV.2. Diabetes dengan Nefropati Diabetik Sekitar 20-40% penyandang diabetes akan mengalami nefropati diabetik Didapatkannya albuminuria persisten pada kisaran 3 0-299 mg/24 jam (albuminuria mikro) merupakan tanda dini nefropati diabetik Pasi en yang disertai dengan albuminuria mikro dan berubah menjadi albuminuria makro ( >300 mg/24 jam), pada akhirnya sering berlanjut menjadi gagal ginjal kronik st adium akhir. Klasifikasi albuminuria dapat dilihat pada tabel 10. Diagnosis Diag nosis nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan kadar albumin > 30 mg dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali 55 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

pemeriksaan dalam kurun waktu 3- 6 bulan, tanpa penyebab albuminuria lainnya Penapisan Pada DM tipe 2 pada saat awal diagnosis Jika mikroalbuminaria negatif, dilakukan evaluasi ulang setiap tahun Metode Pemeriksaan Rasio albumin/kreatini n dengan urin sewaktu Kadar albumin dalam urin 24 jam Micral test untuk mikroalb uminuria Dipstik/reagen tablet untuk makroalbuminuria Urin dalam waktu tertentu (4 jam atau urin semalam) Penatalaksanaan Kendalikan glukosa darah Kendalikan te kanan darah Diet protein 0,8 gram/kgBB per hari. Jika terjadi penurunan fungsi g injal yang bertambah berat, diet protein diberikan 0,6 0,8 gram/kg BB per hari. Terapi dengan obat penyekat reseptor angiotensin II, penghambat ACE, atau kombin asi keduanya Jika terdapat kontraindikasi terhadap penyekat ACE atau reseptor an giotensin, dapat diberikan antagonis kalsium non dihidropiridin. Apabila serum k reatinin >2,0 mg/dL sebaiknya ahli nefrologi ikut dilibatkan Idealnya bila klire ns kreatinin 4000 gram, dan ad anya riwayat preeklamsia. Pada pasien dengan risiko DMG yang jelas perlu segera dilakukan pemeriksaan glukosa darah. Bila didapat hasil glukosa darah sewaktu 20 0 mg/dL atau glukosa darah puasa 126 mg/dL yang sesuai dengan batas diagnosis un tuk diabetes, maka perlu 57 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

dilakukan pemeriksaan pada waktu yang lain untuk konfirmasi. Pasien hamil dengan TGT dan GDPT dikelola sebagai DMG. Diagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan TTGO dilakukan dengan memberikan beban 75 gram glukosa setelah berpuasa 814 jam. Kemu dian dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa, 1 jam dan 2 jam setelah beban. D MG ditegakkan apabila ditemukan hasil pemeriksaan glukosa darah puasa 95 mg/dL, 1 jam setelah beban < 180 mg/dL dan 2 jam setelah beban 155 mg/dL. Apabila hanya dapat dilakukan 1 kali pemeriksaan glukosa darah maka lakukan pemeriksaan gluko sa darah 2 jam setelah pembebanan, bila didapatkan hasil glukosa darah 155 mg/dL , sudah dapat didiagnosis sebagai DMG. Hasil pemeriksaan TTGO ini dapat digunaka n untuk memprediksi terjadinya DM pada ibu nantinya Penatalaksanaan DMG sebaikny a dilaksanakan secara terpadu oleh spesialis penyakit dalam, spesialis obstetri ginekologi, ahli diet dan spesialis anak. Tujuan penatalaksanaan adalah menurunk an angka kesakitan dan kematian ibu, kesakitan dan kematian perinatal. Ini hanya dapat dicapai apabila keadaan normoglikemia dapat dipertahankan selama kehamila n sampai persalinan. Sasaran normoglikemia DMG adalah kadar glukosa darah puasa 95 mg/dL dan 2 jam sesudah makan 120 mg/dL. Apabila sasaran kadar glukosa darah tidak tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani, langsung diberikan i nsulin. IV.5. Diabetes dengan Ibadah Puasa Penyandang diabetes yang terkendali dengan pe ngaturan makan saja tidak akan mengalami kesulitan untuk berpuasa. Selama berpua sa Ramadhan, perlu dicermati adanya perubahan jadwal, jumlah dan komposisi asupa n makanan. Penyandang diabetes usia lanjut mempunyai kecenderungan dehidrasi bil a berpuasa, oleh karena itu dianjurkan minum yang cukup. 58 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

Perlu peningkatan kewaspadaan pasien terhadap gejala-gejala hipoglikemia. Untuk menghindarkan terjadinya hipoglikemia pada siang hari, dianjurkan jadwal makan s ahur mendekati waktu imsak/subuh, kurangi aktivitas fisik pada siang hari dan bi la beraktivitas fisik dianjurkan pada sore hari. Penyandang diabetes yang cukup terkendali dengan OHO dosis tunggal, juga tidak mengalami kesulitan untuk berpua sa. OHO diberikan saat berbuka puasa. Hati-hati terhadap terjadinya hipoglikemia pada pasien yang mendapat OHO dengan dosis maksimal. Bagi yang terkendali denga n OHO dosis terbagi, pengaturan dosis obat diberikan sedemikian rupa sehingga do sis sebelum berbuka lebih besar dari pada dosis sahur. Untuk penyandang diabetes DM tipe 2 yang menggunakan insulin, dipakai insulin kerja menengah yang diberik an saat berbuka saja. Diperlukan kewaspadaan yang lebih tinggi terhadap terjadin ya hipoglikemia pada penyandang diabetes pengguna insulin. Perlu pemantauan yang lebih ketat disertai penyesuaian dosis dan jadwal suntikan insulin. Bila terjad i gejala hipoglikemia, puasa dihentikan. Untuk pasien yang harus menggunakan ins ulin dosis multipel dianjurkan untuk tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan. Sebaik nya momentum puasa Ramadhan ini digunakan untuk lebih meningkatkan pengetahuan d an ketaatan berobat para penyandang diabetes. Dengan berpuasa Ramadhan diharapka n adanya perubahan psikologis yang menciptakan rasa lebih sehat bagi penyandang diabetes. IV.6. Diabetes pada Pengelolaan Perioperatif Tindakan operasi, khususnya dengan anestesi umum merupakan faktor stres pemicu terjadinya penyulit akut diabetes, o leh karena itu setiap operasi elektif pada penyandang diabetes harus dipersiapka n seoptimal mungkin (sasaran kadar glukosa darah puasa