Upload
truongdiep
View
225
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
36
4.1 Geologi Bawah Pemukaan Daerah Penelitian 4.1.1 Analisa dan Interpretasi data sumur (well log)
Dalam analisa ini, digunakan 8 sumur, yaitu KRN-01, JT-04, JT-03, ADL-01,
YN-05, YN-02, KML-02, dan KEM-01, dimana sebagai data pembantu dalam
penentuan marker – marker pada well dan horizon pada seismik. Analisa ini berupa
penentuan composite dari suatu well dan hasil korelasi antar sumur.
Analisa dan interpretasi data sumur dilakukan dengan membaca marked log
pada sumur-sumur acuan. Adapun jenis log yang digunakan yaitu log Gamma Ray,
log Spontaneous Potensial (SP), log Resisitivitas, log Densitas dan Porositas. Log
Gamma Ray digunakan untuk untuk menentukan jenis litologi yang ada dan log
Spontaneous Potensial (SP) yang memperlihatkan tipe fluida yang ada pada formasi
dan dapat membantu juga dalam menentukan jenis litologi. Log Resistivitas
digunakan untuk menentukan jenis fluida dalam batuan yang memiliki porositas yang
tinggi berdasarkan besar kecilnya nilai resistivitas, bila nilainya besar (>10 Ohm)
maka kemungkinan batuan mengandung minyak atau gas, tetapi bila nilai
resistivitasnya kecil (<10 Ohm) maka kemungkinan batuan tersebut mengandung air.
Log Densitas dan Porositas menentukan besar kecilnya nilai densitas porositas pada
batuan, semakin besar nilai porositas dan densitas semakin banyak fluida yang
dikandung batuan tersebut dimana kurva pada kedua log tersebut membentuk
bentukan cross over yang mana biasanya memperlihatkan kehadiran minyak atau gas
dalam suatu sumur, dimana biasanya nilai densitas lebih besar dibandingkan nilai
porositas.
Hasil interpretasi marker – marker pada lapangan Seribu North dari bawah ke
atas adalah :
� Bsmt
Marker ini merupakan top batuan dasar dari daerah penelitian ini, yaitu
top basement, dimana terlihat dari penampakan log gamma ray yang tidak
beraturan.
� L_Bnwt
Marker ini merupakan top dari formasi Banuwati bagian bawah. Marker
ini terletak di bagian atas dari kurva log gamma ray yang berbentuk blocky,
dimana menunjukkan litologi batupasir (Gambar 4.2). Karena nilai gamma ray
37
yang sangat kecil, dan dilihat dari deskripsi data sampel log lumpur dan conto inti
batuan, menunjukkan jenis litologi yang lebih spesifik, yaitu konglomerat.
� LM_Bnwt
Marker ini merupakan top dari Formasi Banuwati bagian tengah ke bawah
(lower-middle). Marker ini terletak di atas bagian dari kurva log gamma yang
yang berbentuk blocky, dimana menunjukkan litologi batupasir (Gambar 4.2).
Dilihat dari log Densitas dan Porositas yang membentuk bentukan cross over,
maka dapat disimpulkan bahwa lapisan ini diperkirakan sebagai suatu reservoir
daerah prospek.
� M_Bnwt
Marker ini merupakan top dari Formasi Banuwati bagian tengah. Marker
ini ditunjukkan oleh nilai log gamma ray yang tinggi dan rendah secara berurutan
yang menunjukkan perselingan litologi batupasir dan serpih (Gambar 4.2).
Beberapa batupasir pada lapisan ini, dilihat dari log Densitas dan Porositas yang
membentuk bentukan cross over, maka dapat disimpulkan bahwa lapisan ini
diperkirakan sebagai suatu reservoir.
� U_Bnwt
Marker ini merupakan top dari formasi Banuwati itu sendiri, yang
ditunjukkan dengan bentukan log gamma ray yang blocky dan memiliki nilai yang
rendah. Tetapi jika dibandingkan dengan data sampel lumpur, lapisan ini memiliki
jenis litologi serpih, yaitu serpih hitam yang merupakan batuan induk dari daerah
prospek (Gambar 4.2).
� TAF
Marker ini merupakan top dari Formasi Talang Akar. Dilihat dari bantuan
deskripsi sampel log lumpur dan conto inti batuan, formasi ini memiliki litologi
batupasir, serpih dan batubara. Pada daerah penelitian ini, marker TAF dibedakan
menjadi 2, atas dasar kandungan batubara yang dicirikan dengan kurva log gamma
ray dan log densitas yang ekstrim, yaitu :
38
� TAF_Zelda
Marker ini merupakan top Formasi Talang Akar dimana penampakan batubara
pada kurva log gamma ray menipis dan sedikit.
� TAF_Gita
Marker ini merupakan top Formasi Talang Akar. Marker ini terletak diatas
bentukan kurva log gamma ray ekstrim untuk pertama kalinya, dimana
kandungan batubara lebih banyak dan tebal dibandingkan dengan TAF_Zelda.
� BRF
Marker ini merupakan top dari Formasi Baturaja. Marker ini terletak di atas
bentukan kurva log gamma ray yang memiliki nilai rendah dan kurva resistivitas
yang tinggi dan membentuk bentukan runcing (spiky). Lapisan ini memiliki
litologi batugamping dan perselingan batupasir dan serpih yang dilihat dari
deskripsi sampel log lumpur dan log gamma ray.
� F_Gumai
Marker ini merupakan top dari Formasi Gumai. Marker ini terletak di atas
bentukan kurva log gamma ray dan Spontaneous Potensial yang memiliki nilai
yang tinggi, dan juga log resistivitas dengan nilai yang rendah, yang mencirikan
litologi serpih.
Karena keterbatasan data wireline log, interpretasi data sumur dan pembuatan
marker hanya hingga top Formasi Gumai. Daerah fokus penelitian terletak pada
batuan dasar hingga top Formasi Banuwati .
40
Untuk mengkorelasi sumur–sumur yang ada, terkadang terdapat ketidaksesuaian
dengan pola seismik yang ada serta tidak mencerminkan pola log yang sama antara
satu sumur dengan sumur lainnya, maka dari itu dilakukan pengecekan ulang dengan
membandingkan top formasi pada data sumur dengan refleksi seismik yang ada, serta
dengan melihat konsistensi pola log untuk setiap formasi pada setiap sumur.
Tebal dari setiap formasi di daerah penelitian ini cukup beragam. Tebal
formasi yang beragam ini bisa diakibatkan oleh struktur geologi yang berkembang
seperti terdapatnya aktifitas sesar yang ada atau memang pada saat pengendapan
formasi itu tidak pada suatu dasar yang horizontal.
Gambar 4.3 Perbedaan ketebalan pada Formasi Banuwati Atas
JT-4
YN-5
43
4.1.2 Analisa Seismik
Interpretasi seismik dilakukan dengan menggunakan software IESX,
Geoframe. Data seismik yang digunakan dalam interpretasi berupa data seismik tiga
dimensi (3D seismik). Interpretasi seismik dalam penelitian ini digunakan untuk
menentukan struktur geologi, geometri reservoir dan penyebaran lapisan pada daerah
penelitian.
Langkah pertama adalah melakukan pengikatan sumur pada seismik dengan
syntetics, untuk mendapatkan kepastian dalam picking horizon sesuai dengan marker
– marker yang ada pada sumur. Dengan menggunakan survei check shot untuk
mendapatkan kurva kedalaman-waktu yang lebih lanjut dapat dimanfaatkan untuk
pengikatan data seismik dan sumur dalam pembuatan seismogram sintetik yang
ditunjukkan pada gambar 4.6 :
Gambar 4.6 Hasil sintetik dengan menggunakan survei checkshot dari sumur
YN-05
44
Langkah selanjutnya adalah menarik horizon – horizon dengan menggunakan
batuan data log sumur – sumur, Penentuan atau Picking dilakukan pada sayatan
seismik secara inline dan crossline serta arah lainnya untuk mendapatkan data yang
akurat, yang berguna untuk analisa selanjutnya. Lalu dilanjutkan dengan
menginterpretasi sesar – sesar yang menembus basement. Sesar – sesar diberikan
penamaan yang terpisah – pisah sesuai hubungannya dengan sesar yang lain serta
memudahkan interpretasi. Setelah semua sesar yang ada dan terlihat selesai
diinterpretasikan, selanjutnya melakukan picking kontak atas dan kontak bawah sesar
–sesar yang ada terhadap suatu level horizon yang ada, yang selanjutnya digunakan
untuk melihat seberapa besar pergeseran sesar – sesar tersebut.
Hasil yang didapat dari interpretasi di atas, dapat dilihat pada gambar 4.7 dan
gambar 4.9 :
Gambar 4.7 Hasil interpretasi pada salah satu garis penampang seismik
Selanjutnya pembuatan batas sesar untuk melihat bentukan sesar dan
hubungan antara sesar yang satu dengan sesar yang lain. Hasil dari griding dari peta
dasar dapat membuat peta struktur.
47
4.1.3 Stratigrafi Daerah Penelitian
Stratigrafi daerah penelitian didasarkan pada data log dan beberapa analisis
core dari sumur JT-04 dan YN-02. Tetapi karena keterbatasan data log, tidak semua
formasi terlihat.
Berdasarkan analisa data log sumur acuan dan seismik, daerah penelitian
terdiri dari beberapa formasi. Secara umum urutan formasi berdasarkan data sumur
YN-05 adalah batuan dasar yang terdiri atas batuan metamorf tingkat rendah berupa
sekis, gneiss, dan kuarsit, serta batuan beku, serta batuan ektrusif berupa basalt,
andesit dan trachyte, Formasi Banuwati, Formasi Talang Akar yang terdiri dari dua
kelompok, yaitu Kelompok Zelda dan Kelompok Gita, Formasi Baturaja, dan Formasi
Gumai. Formasi yang difokuskan pada daerah penelitian adalah Formasi Banuwati.
Berdasarkan data log dan data sampel lumpur, Formasi Banuwati dapat dibagi
menjadi 4 kelompok, yaitu Formasi Banuwati Bawah, Formasi Banuwati Tengah-
Bawah, Formasi Banuwati Tengah, dan Formasi Banuwati Atas.
a) Formasi Banuwati Bawah – Kipas Aluvial
Fasies ini terdiri dari tumpukan konglomerat berselang seling dengan
serpih berwarna merah-coklat. Ketebalan kipas aluvial pada formasi ini bisa
lebih dari 1500 kaki. Berdasarkan korelasi sumur dan interpretasi seismik
menyatakan bahwa fasies kipas aluvial ini berada di bawah fasies fluvial dan
karenanya berumur lebih tua. Jika hasil penentuan umur menyatakan bahwa
Serpih Banuwati memiliki umur Oligosen, maka fasies ini diperkirakan
berumur Eosen dan bukan Paleosen.
Menurut hasil dari pengamatan conto inti batuan yang diambil pada
kedalaman 9552 kaki pada sumur JT-04, batuan pada Formasi Banuwati
Bawah memiliki ciri-ciri batuan konglomerat, sangat kompak, berwarna ciklat
muda, butiran kasar hingga kerikil dengan fragmen batuan beku, semen silika,
porositas buruk (Gambar 4.10)
Jika dilihat dari penampang seismik berarah baratlaut-tenggara, terlihat
bentukan kipas aluvial pada posisi flatening horizon BRF (Formasi Baturaja)
(Gambar 4.10).
49
Menurut hasil dari pengamatan conto inti batuan yang diambil pada
kedalaman 10.250-10.251 kaki pada sumur YN-02, batuan pada Formasi
Banuwati Tengah-Bawah ini memiliki ciri-ciri batuan, batupasir, berwarna
coklat keabu-abuan, butiran kasar hingga sangat kasar, butiran subrounded
hingga subangular, pemilahan buruk, porositas cukup baik, non calcareous,
terdapat jejak hidrokarbon sangat sedikit (Gambar 4.11).
Gambar 4.11 Conto Inti Batuan (core) pada kedalaman 10250-10251 pada kaki sumur YN-02
b) Formasi Banuwati Tengah
Penyusun utama fasies ini adalah perselingan batupasir dan
batulempung. Ada tiga unit yang dapat dibedakan secara jelas pada fasies ini
berdasarkan korelasi log yaitu unit bawah, tengah dan atas. Unit bawah
tersusun atas endapan channel sehingga didominasi oleh batupasir. Batupasir
ini memperlihatkan urutan vertikal yang menipis dan menghalus ke atas,
mengindikasikan peristiwa transgresi pada saat pengendapannya. Semua unit
batupasir penyusun Formasi Banuwati Tengah memiliki besar butir halus
sampai sedang dan tebal lapisan antara 5-20 kaki. Fasies ini diendapkan pada
lingkungan fluvial – laut dangkal.
Berdasarkan sampel log lumpur, secara umum, pada formasi ini
terdapat perselingan antara batulempung dan batupasir. Batulempung,
berwarna keabu-abuan hingga kecoklatan, terdapat jejak fosil foraminifera,
50
karbonan, lanauan. Sedangkan batupasir, berwarna putih hingga coklat muda,
butiran halus hingga sedang, terpilah baik, porositas baik hingga buruk,
terkadang terdapat jejak hidrokarbon, semen silika, terdapat sedikit fosil
rombakan.
c) Formasi Banuwati Atas
Fasies ini merupakan representasi dari puncak transgresi di Cekungan
Sunda yang tersusun atas serpih dan dibeberapa sumur ditemukan sisipan
batubara. Batuan serpih pada fasies ini memiliki ciri-ciri berwarna coklat
kehitaman dan sangat carbonan. Warna coklat gelap menunjukkan kondisi
pengendapan yang kurang akan kandungan oksigen (anoxic). Maka dapat
disimpulkan bahwa fasies ini masuk dala lingkungan pengendapan danau
dalam (deep lacustrine). Kombinasi antara lingkungan yang anoxic dan besar
butir yang halus dari serpih menyebabkan material organik dapat terawetkan
dengan baik sehingga fasies ini menjadi batuan induk yang sangat baik.
Menurut Noble et al. (1997) op. cit. Jiafu et al, (2005), Cekungan Sunda
termasuk dalam jenis oil prone yang biasanya berasal dari endapan serpih
danau.
Berdasarkan sampel log lumpur, secara umum, batuan yang ada pada
formasi ini merupakan batulempung dengan ciri-ciri coklat hingga coklat tua
kehitaman, sangat carbonan, terdapat sisipan batubara.
51
4.1.4 Struktur Geologi Daerah Penelitian.
Gambar 4.12 Peta dasar dan lintasan seismik daerah penelitian yang memperlihatkan bentukan sesar-sesar yang ada
Cekungan Sunda adalah cekungan dengan bentukan half – graben pada batuan
dasar berumur Tersier yang sudah aktif dalam bentukan back – arc basin pada
Oligosen Awal. Terlihat pada gambar 4.12, bahwa terdapat sesar – sesar dengan arah
utara – selatan, relatif barat – timur dan baratlaut – tenggara (NW-SE). Semua
karakteristik sesar yang terlihat pada daerah ini merupakan sesar normal dengan
bentukkan beberapa sesar normal miring dan half graben system yang terlihat dari
seismik dengan arah barat – timur maupun utara – selatan.
NE SW
52
Setelah melakukan interpretasi menggunakan data seismik, maka tahap
selanjutnya adalah menyajikan hasil interpretasi tadi ke dalam bentuk peta struktur,
Sehingga akan terlihat bentukan morfologi bawah permukaan dari daerah penelitian
pada saat ini, serta penyebaran sesar yang ada di daerah penelitian, dalam kaitannya
dengan analisis struktur yang akan dilakukan. Untuk mengetahui pola tektonik dari
daerah penelitian ini maka penulis melihat perkembangan orientasi sesar mulai dari
basement hingga Formasi Banuwati Atas. Sehingga dari peta tersebut diharapkan
akan mendapatkan evolusi struktur semenjak Kapur Akhir sampai pada kala Oligosen
Akhir.
53
Gambar 4.13 peta struktur pada batuan dasar
Dari peta struktur batuan dasar (Gambar 4.13), bagian yang berwarna biru
merupakan daerah yang rendah, sedangkan yang berwarna pink tua merupakan daerah
yang tinggi. Terlihat pada peta struktur, seluruhnya merupakan sesar-sesar normal dan
memiliki Orientasi sesar dengan arah rata-rata baratlaut – tenggara dan utara - selatan
54
Gambar 4.14 peta struktur pada Formasi Banuwati Tengah-Bawah
Sama halnya dengan peta struktur kedalaman dari batuan dasar, seluruhnya
merupakan sesar-sesar normal dan arah orientasi sesar pada Formasi Banuwati
Tengah – Bawah masih berarah baratlaut – tenggara dan utara - selatan
55
Gambar 4.15 peta struktur dan arah orientasi sesar pada Formasi Banuwati Tengah
Sama halnya dengan peta struktur kedalaman dari Formasi Banuwati Tangah-
Bawah, seluruhnya merupakan sesar-sesar normal dan arah orientasi sesar pada
Formasi Banuwati Tengah masih berarah baratlaut – tenggara dan utara - selatan
56
Gambar 4.16 peta struktur dan arah orientasi sesar pada Formasi Banuwati Atas
Sama halnya dengan peta struktur dari batuan dasar, seluruhnya merupakan
sesar-sesar normal dan arah orientasi sesar pada Formasi Banuwati Atas masih
berarah baratlaut – tenggara dan utara - selatan
57
4.1.4.1 Pembahasan
Terbentuknya sebagian besar sesar-sesar yang berarah NW-SE dan U-S ini
bukan hanya dikontrol oleh subduksi antara Lempeng Samudera Hindia dan Lempeng
Eurasia saja, namun pembentukan sesar-sesar normal ini dipengaruhi oleh aktifitas
dua sesar mendatar besar dari Sumatera yaitu Sesar Semangko dan Sesar Malacca
(Darman & Sidi, 2000).
Gambar 4.17 Bentukan negative flower structure pada penampang seismik pada lintasan berarah NE-SW beserta perbandingan model gambar negative flower
structure (Davis dan Reynolds, 1996)
�1
�3
�3
NE SW
58
Seperti yang terlihat pada gambar 4.17, Pada bagian tengah cekungan yang
ada di daerah penelitian ini membentuk struktur strike slip dengan bentukan flower
structure (struktur bunga) yang lebih dikenal dengan struktur tulip (Twiss dan
Moores, 1992 op.cit. Davis dan Reynolds, 1996)
Bentukan flower structure yang ada berupa negative flower structure dimana
suatu sesar geser memicu terbentuknya sesar-sesar normal disekelilingnya. Pada
daerah penelitian, dilihat dari penampang seismik berarah baratlaut – tenggara (NW-
SE), terlihat bentukan negative flower structure yang membelah batuan dasar hingga
Formasi Banuwati Atas.
Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa bentukan sesar – sesar normal, yang
berarah baratlaut – tenggara (NW – SE) merupakan kejadian yang dipengaruhi oleh
strike slip system. Bentukan sesar geser yang terjadi pada batuan dasar ikut
mempengaruhi lapisan batuan diatasnya, sehingga pada lapisan batuan diatas batuan
dasar terbentuk sesar-sesar normal sebagai hasil dari pergerakan sesar geser tersebut.
Dilihat dari bentukan sesar-sesar normal yang rata-rata berarah baratlaut – tenggara
dan bentukan en echelon pada sesar-sesar minor menandakan bahwa terjadi
pergerakan di tengah sub-cekungan pada daerah penelitian. Jika dilihat dari peta dasar
daerah penelitian, dapat disimpulakn bahwa pergerakan sesar geser yang ada adalah
menganan (gambar 4.18). Sedangkan sesar besar berarah utara-selatan
diinterpretasinya sebagai akibat lanjut dari pergerakan sesar-sesar normal yang ada.
Gambar 4.18 Model struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian
59
Jika dibandingkan dengan sistem simple shear dapat kita interpretasikan
bahwa untuk analisa model mekanika, dimana oblique - slip fault system ini
pergerakannya menganan.
Batuan yang paling tua dalam Cekungan Sunda adalah batuan dasar yang
terdiri dari batuan metamorf berupa sekis, gneiss, dan kuarsit, serta batuan beku, yang
terdiri dari batuab beku intrusif, berupa granit dan granodiorit, serta batuan ektrusif
berupa basalt, andesit dan trachyte. Struktur batuan dasar ini sendiri pembentukannya
juga dipengaruhi dua kejadian tektonik utama, yaitu tumbukan lempeng Sunda
dengan lempeng kecil Kangean pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal dan
Tumbukan antara lempeng Sunda dengan lempeng India-Australia pada masa Tersier
Awal.
Awal mula E-W extensional graben system kemungkinan merupakan suatu
atribut patahan batuan dasar yang diiringi dengan kolisi pada Tersier Awal pada
lempeng India dan Eurasia (Taponier, 1982 op.cit. Jiafu et al, 2005), yang mana
menghasilkan NW – SE zona shear utama yang memanjang disepanjang Sumatra.
Sedangkan sesar dengan arah utara – selatan merupakan bentukkan dari tumbukan
lempeng antara Lempeng Sunda dengan Lempeng India – Australia pada masa Tersier
juga. Semua sesar-sesar ini diperkirakan bahwa struktur sesar-sesar ini sudah ada pada
batuan dasar, sebelum proses sedimentasi pertama, yaitu Awal Tersier atau sebagai
akibat lanjut dari subduksi di selatan Jawa pada kala Eosen hingga Oligosen
(Clements dan Hall, 2007). Namun Menurut Koesoemadinata (2004), kedua sesar
dengan arah yang berbeda tetapi terbentuk dalam kurun waktu yang bersamaan
tersebut kemungkinan akibat lanjutan dari pergerakan wrench fault dengan arah NW –
SE yang memunculkan hasil patahan normal pada batuan dasar dengan arah N – S
yang mengontrol pengendapan syn – rift pada rift-valley basin.
60
4.2 Analisa Sekatan SesarUntuk analisa sekatan sesar daerah Utara Cekungan Sunda secara detail,
penulis hanya menggunakan empat buah sesar, yaitu sesar F1, F4. F6 dan F15,
dimana sesar-sesar tersebut berbatasan langsung dengan area yang produktif , yaitu
lapangan Seribu North.
Maksud adanya penelitian di daerah ini adalah untuk mengetahui properti –
properti patahan disekitar Lapangan Seribu North, serta jika dilihat dari migrasi
hidrokarbon dari arah selatan, tempat pusat sedimentasi berada dan apakah sesar-sesar
tersebut dapat menjadi perangkap atau hanya menjadi kompartemen atau pembatas
dari reservoar yang ada saja.
Tahap awal pengerjaan adalah membuat bidang sesar (fault plane) dari
segmen-segmen sesar yang ada. Biasanya horizon pada seismik dipetakan sebagai
polygon pada patahan yang mana harus di pick pada sumur – sumur sebelum atribut
dari kurva yang ingin dipetakan dimodelkan. Selanjutnya membuat fault polygon
(gambar 4.19), dimana sesar tersebut telah dimasukkan data seismic slice, agar dapat
membandingkan antara horizon yang ada pada footwall maupun hangingwall . Lalu
membuat suatu framework pada sesar-sesar yang ada untuk melihat bentuk sebaran
sesar-sesar yang ada di daerah penelitian (gambar 4.20). Hasil akhir dari pembuatan
fault polygon berupa proyeksi jurus dari bidang patahan atau dikenal sebagai Peta
bidang patahan atau Allan Map. Allan Map memperlihatkan displacement horizon
akibat sesar yang ada. Garis tegas mewakili horizon foot-wall dan garis putus-putus
mewakili horizon hanging-wall (gambar 4.21 dan gambar 4.22).
64
Langkah selanjutnya adalah menentukan nilai kandungan serpih rata–rata pada
tiap sumur untuk masing-masing lapisan batuan, baik reservoar maupun non –
reservoar. Nilai dari kandungan serpih tersebut di interpolasi ke bidang sesar
sehingga didapatkan atribut kandungan serpih sepanjang permukaan footwall dan
hangingwall sesar (Yielding, 1999). Atribut kandungan serpih bersama-sama besar
throw di gunakan untuk menghitung nilai SGR. Perhitungan V-shale dilakukan
berdasarkan persamaan sebagai berikut :
dimana, Vsh adalah volume serpih, GR adalah nilai gamma ray yang direkam
pada alat logging GR sumur disetiap titik kedalaman, GRmin adalah nilai gamma ray
minimum dan GRmax adalah nilai gamma ray maksimum.
Gambar 4.23 kurva Vshale (berwarna ungu) pada beberapa sumur
65
Gambar 4.23 merupakan kurva Vclay, dimana terkadang suatu proses patahan
menghasilkan yang dinamakan membrane seal dimana akan membuat suatu patahan
tersebut bersifat sebagai perangkap. Untuk melihatnya menggunakan kurva Vshale
atatu Vclay untuk melihat seberapa besar kandungan serpih atau lempung yang ada,
untuk memprediksi properti komposisi batuan pada suatu zona patahan.
Gambar 4.24 kurva Vshale (berwarna ungu) beserta hasil Vshale rata-rata dari tiap marker
0.4073
0.4207
0.1485
0.5505
0.1469
0.5483
66
Gambar 4.24 memperlihatkan dasar penentuan marker dan hasil perhitungan
vsh tiap kedalaman dan rata-rata tiap lapisan berdasarkan data log. Garis-garis
horizontal mewakili batas-batas lapisan, harga vsh rata-rata ditunjukkan oleh angka.
4.2.1 Peta Penyebaran Throw
Langkah selanjutnya adalah pembuatan model fault surface attribute dimana
untuk menggabungkan tampilan semua atribut – atribut untuk fault surface, yaitu
menentukan throw patahan. Throw patahan dihitung dari perbedaan kedalaman
horizon foot-wall dan hanging-wall di sepanjang bidang sesar. Perbedaan kedalaman
tersebut didapatkan dari perpotongan antara bidang sesar dengan horizon pada foot-
wall dan hanging-wall.
71
Throw dari sesar dihitung dari dari perbedaan kedalaman horizon footwall dan
hangingwall di sepanjang bidang sesar (Yielding, 1999). Perbedaan kedalaman
tersebut didapatkan dari perpotongan antara bidang sesar dengan horizon pada
footwall dan hangingwall. Peta throw menunjukkan dengan jelas distribusi besar
pergerakan vertikal dari horizon-horizon yang terdapat di daerah penelitian yang
terpotong oleh bidang sesar.
Dari empat buat sesar yang dianalisis, hasil analisis peta trow menunjukkan
bahwa pada sesar F1, terlihat distribusi trow yang membesar (berwarna merah)
terdapat pada marker batuan dasar (polygon berwarna oranye) dan Banuwati Bawah
(L_Bnwt, polygon berwarna hijau muda), dimana diperkirakan nilai trow sekitar 100
kaki lebih (gambar 4.25)
Pada sesar F4 (gambar 4.26), distribusi trow lebih terlihat fariatif pada marker-
marker diatas batuan dasar. Terlihat bahwa trow pada marker Banuwati Tengah dan
reservoar 1 (berwarna hitam dan biru) membesar pada bagian barat laut dan bagian
tengah dari sesar. Sama halnya dengan sesar F1, trow paling besar terdapat pada
marker batuan dasar (polygon berwarna oranye).
Pada sesar F6 dan F15, (gambar 4.27 dan 4.28) sama halnya dengan sesar F1
dan F4, memiliki trow terbesar pada marker batuan dasar (polygon berwarna oranye),
tetapi mengecil ke arah baratlaut.
Dari semua gambaran peta throw diatas (gambar 4.25 – 4.28), terlihat bahwa
yang berwarna merah merupakan throw dengan displacement yang paling besar.
Terlihat marker batuan dasar (polygon berwarna oranye) memiliki throw yang paling
besar pada semua sesar-sesar yang ada.
4.2.2 Peta Penyebaran Vshale
Selanjutnya pembuatan model fault surface attribute yang lain, yaitu Vshale.
Interpolasi Vshale pada permukaan sesar berbeda-beda pada tiap sesar-sesar yang ada.
Hal ini dikarenakan kandungan Vshale dari tiap sumur-sumur terdekat dari sesar-sesar
yang ada selalu berbeda-beda. Dibawah ini merupakan salah satu contoh peta
penyebaran Vshale pada foot-wall dan hanging-wall pada sesarF1.
72
Foot-wall hanging-wall
Gambar 4.29 Vshale di FootWall dan HangingWall pada patahan F1
Terlihat pada gambar 4.29, Vshale rata-rata pada marker Banuwati Tengah-
Bawah (LM_Bnwt, polygon berwarna ungu) memiliki rata-rata Vshale yang paling
kecil dari lainnya, karenanya terbukti bahwa Banuwati Tengah-Bawah dapat
bertindak sebagai reservoar .
4.2.3 Peta sebaran Litologi Juxtaposition Berdasarkan Kualitas Reservoar
Sama halnya dengan membuat Vshale pada sesar, untuk membuat stratigrafi
pada sesar adalah dengan membuat suatu framework pada patahan dengan
menggunakan fault polygon. Biasanya disebut dengan peta litologi juxtaposition
(Yielding 1997). Peta Allan secara memperlihatkan bagian dari sesar dimana
reservoar berpotensi saling berkomunikasi. Sifat menyekat dapat terjadi karena
terjadinya juxtaposition litologi reservoar dan litologi non-reservoar. Hasil yang
didapat adalah :
77
Juxtaposition atau fault plane diagrams (Allan Diagrams) hanya menunjukkan
pola dari litologi pada setiap sisi, didalam sebuah sesar. Biasanya batupasir dengan
batupasir bertemu selalu di asumsikan bocor, yang ditunjukkan oleh warna merah.
Peta litologi juxtaposition untuk sesar-sesar diatas, memperlihatkan bagian dari sesar-
sesar yang menyebabkan litologi batupasir berhadapan dengan litologi batupasir
(berwarna merah), litologi batupasir lempungan berhadapan dengan litologi batupasir
lempungan (berwarna kuning tua) dan litologi serpih berhadapan dengan litologi
serpih (berwarna hitam).
Pada sesar F1 (gambar 4.30), terlihat juxtaposition antara litologi serpih
dengan serpih pada bagian atas (berwarna hitam), yaitu horizon Banuwati Atas,
dimana merupakan litologi non-reservoar. Pada bagian tengah sesar terlihat kontak
horizon yang berwarna kuning tua mendominasi horizon-horizon pada kedalaman
tersebut, yaitu horizon Banuwati Tengah dengan horizon Reservoar 1 (polygon biru)
dan Reservoar 2 (polygon putih). Hal itu menandakan bahwa kontak reservoar pada
kedalaman tersebut mempunyai kualitas yang buruk dikarenakan litologinya berupa
batupasir serpihan. Sedangkan bagian bawah pada sesar, terlihat kesehadapan antara
horizon Banuwati Tengah – Bawah yang merupakan reservoar utama dengan horizon
Banuwati Bawah yang memiliki litologi batupasir (berwarna merah). Pada kontak ini
nantinya akan dilakukan analisis dari nilai SGR sehingga dapat diketahui potensi
sekatnya.
Sama halnya seperti sesar F1, sesar F4 (gambar 4.31) terlihat juxtaposition
antara litologi serpih dengan serpih pada bagian atas, yaitu horizon Banuwati Atas,
tetapi penyebarannya tidak sebesar sesar F1. Pada bagian tengah sesar terlihat kontak
horizon yang berwarna kuning tua mendominasi horizon-horizon pada kedalaman
tersebut, yaitu horizon Banuwati Tengah dengan horizon Reservoar 1 (polygon biru)
dan Reservoar 2 (polygon putih), tetapi penyebarannya tidak sebesar sesar F1. Bagian
bawah pada sesar, terlihat kesehadapan antara horizon Banuwati Tengah – Bawah
yang merupakan reservoar utama dengan horizon Banuwati Bawah yang memiliki
litologi batupasir (berwarna merah). Pada kontak ini nantinya akan dilakukan analisis
dari nilai SGR sehingga dapat diketahui potensi sekatnya.
Pada sesar F6 (gambar 4.32) dan sesar F15 (gambar 4.33) terlihat
juxtaposition antara litologi serpih dengan serpih pada bagian atas, yaitu horizon
Banuwati Atas, dengan besar penyebaran yang hampir sama antara kedua sesar. Pada
78
bagian tengah sesar terlihat kontak horizon yang berwarna kuning tua mendominasi
horizon-horizon pada kedalaman tersebut, yaitu horizon Banuwati Tengah dengan
horizon Reservoar 1 (polygon biru) dan Reservoar 2 (polygon putih). Bagian bawah
pada sesar, terlihat kesehadapan antara horizon Banuwati Tengah – Bawah yang
merupakan reservoar utama dengan horizon Banuwati Bawah yang memiliki litologi
batupasir (berwarna merah). Pada kontak ini nantinya akan dilakukan analisis dari
nilai SGR sehingga dapat diketahui potensi sekatnya.
4.2.4 Analisa Shale Gouge Ratio (SGR)
Dari hasil gambaran Vshale pada sesar, seperti pada gambar 4.29, kita dapat
menghitung SGR (Shale Gouge Ratio). Gouge ratio adalah perkiraan perbandingan
masuknya material halus yang bersifat impermeabel (sebagai contoh : lempung) dari
batuan samping ke dalam bidang patahan terhadap kandungan lempung dari batuan
samping tersebut. Nilai SGR ini dihitung berdasarkan nilai kandungan serpih yang
terdapat pada interval tertentu, dengan pergerakan vertikal tertentu pula.
Yang dimaksud dengan Vcl adalah kandungan serpih yang terdapat dalam zona
patahan, �Z adalah ketebalan dari lapisan yang dilalui oleh sesar tersebut, baik itu
lapisan reservoir maupun lapisan non-reservoir, dan Throw adalah pergerakan vertikal
dari sesar tersebut. Berdasarkan rumus di atas maka nilai SGR ini berkisar antara 0 –
100 %, dimana semakin kecil nilai SGR maka sifat dari sesar itu adalah sebagai jalur
migrasi dari fluida, sedangkan semakin tinggi nilai SGR maka sifat dari sesar tersebut
adalah sebagai penahan dari laju fluida.
SGR tinggi biasanya menunjukkan lebih banyak lempung dan phylloclastics
pada zona patahan. Asumsi utama adalah material pasir dan shale dimasukkan ke
dalam fault gouge dalam proporsi (ratio) yang sama seperti yang terjadi pada dinding
batuan dalam slipped interval. Setelah di proses lebih lanjut dalam sofware Trap
Tester, hasil yang di dapat pada gambar di bawah ini, dimana terdapat juga tabel
pesentasi SGR. Warna hijau menunjukkan SGR yang sangat rendah dan sangat
berpotensi untuk bocor. Hasil analisis adalah sebagai berikut:
(Yielding et al., 1997)
91
Salah satu tujuan utama dari analisis sekatan sesar adalah penentuan nilai SGR pada daerah
penelitian. Hasil dari perhitungan SGR dapat divalidasikan dengan membandingkan hasil
perhitungan dengan data-data lain seperti data Original Water Contact, RFT, atau data sejarah
produksi. Semakin banyak data penunjang yang tersedia, maka akan semakin valid hasil analisis
sesar tersebut. Karena tidak adanya data tambahan untuk kalibrasi dan validasi data SGR lebih
lanjut, maka hasil analisis mengacu pada hasil studi Yielding et al. (1997), Sehingga jika dilihat
kembali pada Allan Map, maka daerah yang kemungkinan bersifat bocor adalah daerah yang
berwarna hijau, sedangkan daerah yang bersifat sebagai penyekat adalah daerah yang berwarna
kuning tua hingga merah.
Untuk analisis sesar-sesar yang ada digunakan perbandingan probabilitas dari batas leaking
pada SGR dengan nilai 10% hingga 30%.
Untuk Batas probabilitas SGR sebesar 10%, terlihat horizon reservoar Banuwati Tengah-
Bawah, pada sesar F1 (gambar 4.34), terlihat terdapatnya kebocoran yang cukup menyeluruh
(berwarna hijau), yaitu sekitar 75% dari lebar posisi kesehadapan antara horizon reservoar utama
Banuwati Tengah – Bawah (LM_Bnwt) dengan horizon Banuwati Bawah (L_Bnwt). Dapat
disimpulkan bahwa shale gouge yang terdapat pada posisi kesehadapan antara horizon reservoar
utama Banuwati Tengah – Bawah (LM_Bnwt) dengan horizon Banuwati Bawah (L_Bnwt)
memiliki besar komposisi yang berbeda-beda ditiap titik pada bidang sesar tersebut. Sedangkan
pada horizon reservoar 1 dan reservoar 2 terlihat tersekat cukup baik.
Pada sesar F4 (gambar 4.35), terlihat pada bagian tenggara dari sesar , terdapat kebocoran
pada reservoar Banuwati Tengah - Bawah, dan sedikit pada bagian tengah sesar terdapat reservoar
Banuwati Tengah-Bawah tidak tersekat dengan baik. Sedangkan pada bagian baratlaut tersekat
cukup baik. Reservoar horizon revervoar 1 (Res_1) dan reservoar 2 (Res_2) tersekat dengan baik
pada seluruh bidang sesar.
Pada sesar F6 (gambar 4.36), terlihat bahwa reservoar Banuwati Tengah - Bawah, reservoar
1 dan reservoar 2, pada seluruh bidang sesar tersekat cukup baik. Sama halnya dengan sesar F15
(gambar 4.37), terlihat bahwa reservoar Banuwati Tengah - Bawah, reservoar 1 dan reservoar 2,
pada seluruh bidang sesar tersekat cukup baik.
Untuk batas probabilitas SGR sebesar 20%, pada sesar F1 (gambar 4.38), terlihat
terdapatnya kebocoran yang semakin meluas (berwarna hijau), yaitu sekitar 90% dari dari lebar
92
posisi kesehadapan antara horizon reservoar utama Banuwati Tengah – Bawah (LM_Bnwt) dengan
horizon Banuwati Bawah (L_Bnwt). Hal ini dapat disimpulkan bahwa besar nilai Vshale pada titik
tersebut sudah terlampaui oleh batas SGR 20%, dimana menunjukkan sedikitnya lempung dan
phylloclastics pada zona patahan sehingga membran seal yang terbentuk pada zona patahan tidak
mampu menyekat reservoar dengan baik. Sedangkan reservoar pada horizon reservoar 1 dan
reservoar 2 masih tersekat cukup baik.
Pada sesar F4 (gambar 4.39), terlihat kebocoran semakin meluas pada reservoar Banuwati
Bawah-Tengah, reservoar 1 dan reservoar 2 pada bagian tenggara dari sesar. Pada bagian tengah
sesar kebocoran semakin meluas pada reservoar Banuwati Tengah-Bawah.Sedangkan pada bagian
baratlaut mulai terlihat adanya kebocoran pada reservoar Banuwati Tengah-Bawah. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa besar nilai Vshale pada titik tersebut sudah terlampaui oleh batas SGR 20%.
Pada sesar F6 (gambar 4.40), terlihat bahwa reservoar Banuwati Bawah-Tengah, reservoar 1
dan reservoar 2, pada seluruh bidang sesar tersekat cukup baik. Sama halnya dengan sesar F15
(gambar 4.41), terlihat bahwa reservoar Banuwati Bawah-Tengah, reservoar 1 dan reservoar 2, pada
seluruh bidang sesar tersekat cukup baik. Hal ini diinterpretasikan bahwa nilai Vshale pada
reservoar Banuwati Tengah-Bawah, reservoar 1, resevoar 2 masih lebih besar dari batas probabilitas
SGR 20%, dimana menunjukkan lebih banyak lempung dan phylloclastics pada zona patahan,
sehingga masih mampu menyekat reservoar-reservoar yang ada.
Untuk batas probabilitas SGR sebesar 30%, pada sesar F1 (gambar 4.42), terlihat
terdapatnya kebocoran yang semakin meluas (berwarna hijau) yaitu sekitar 98% dari dari lebar
posisi kesehadapan antara horizon reservoar utama Banuwati Tengah – Bawah (LM_Bnwt) dengan
horizon Banuwati Bawah (L_Bnwt). Hasil posisi kesehadapan antara horizon reservoar 1 (Res_1)
dengan horizon reservoar 2 (Res_2) mengalamai kebocoran pada bagian tengah bidang sesar.
Pada sesar F4 (gambar 4.43) kebocoran semakin meluas pada reservoar Banuwati Bawah-
Tengah, reservoar 1 dan reservoar 2 pada bagian tenggara hingga tengah dari bidang sesar dan
mulai meluas dibagian baratlaut.
Pada sesar F6 (gambar 4.44), kebocoran mulai terjadi pada posisi kesehadapan antara
horizon Banuwati Tengah (M_Bnwt), reservoar 1 (Res_1) dan reservoar 2 (Res_2), sedangkan pada
resevoar horizon Banuwati Tengah – Bawah (LM_Bnwt) masih tetap tersekat dengan baik. Sama
halnya dengan sesar F15 (gambar 4.45), pada posisi kesehadapan antara horizon Banuwati Tengah
(M_Bnwt), reservoar 1 (Res_1) dan reservoar 2 (Res_2) terlihat adanya kebocoran, dan pada
resevoar horizon Banuwati Tengah – Bawah (LM_Bnwt) masih tetap tersekat dengan baik.
93
Mengacu pada hasil studi Yielding et al. (1997), pada batuan silisiklastik di beberapa
lapangan dunia menghasilkan batas SGR 10-20% untuk kapasitas menyekat sesar. Dari acuan
tersebut maka hanya sesar F6 dan F15 berpotensi untuk menjadi perangkap (seal) untuk reservoar
Banuwati Tengah – Bawah (LM_Bnwt). Hal ini diinterpretasikan bahwa nilai Vshale dari sumur
terdekat yang diinterpolasikan pada bidang sesar F6 dan F15 pada reservoar Banuwati Tengah-
Bawah, masih lebih besar dari batas probabilitas SGR 10% hingga 30%, dimana menunjukkan lebih
banyak lempung dan phylloclastics pada zona patahan, sehingga masih mampu menyekat reservoar-
reservoar yang ada.