Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KONFLIK KEPENTINGAN ANTAR KELOMPOK DALAM SATU KOMUNITAS
(Tinjauan atas Pecahnya Kelompok Banjar Pakraman Pangkungkarung, Kecamatan Kerambitan,
Kabupaten Tabanan, Bali)
Oleh: GPB Suka Arjawa
Abstract
The development in Bali’s society entered the new millenium often featured with
horizontal conflict. That event often continued with violence, either opened cocflict or closed
conflict. The open violence can be seen with the destructed of home, blocking of funeral
ceremony. And the close violence can be seen with the prohibit to of funeral prohibit for
religious seremonial and forbidden for talk and conversation in social community in that region.
The appearing of conflict caused by the power of interest of the each group.
The research be held in Banjar Pangkungkarung, Kabupaten Tabanan, Bali, where the
conflict occurred. The conflict caused by the development or build a temple, where one group
want to split with the bigger group. Its purpose is to minimize cost if held a ceremonial. The
horizontal conflict at the end made the Banjar Pangkungkarung devided to two communities, it
is Banjar Pakraman Pangkungkarung Gede and Banjar Pakaraman Pangkungkarung.
This research used kualitatif method. This method made the researcher have a direct
communication to the members community in that banjar, knowing what the members of
community do. The close relationship of researcher to the members community family help to
knowing what the two members of community do in every day life. The campong of researcher
just 2 kilometers from the conflict area can help researcher to close relationships with the object
of research.
The theories ini this research are coclict theory, especially conflict interest between the
supper ordinat and sub ordinat in society and the rational choice theory. In this research can be
proved that the interest group is continuously defense by society, between supraordinet and sub
ordinat. Two side group of society in Pangkungkarung defense its interest. And that is the main
caused of the conflict.
Key word: Conflict of interest, Banjar, and Desa Pakraman.
PENDAHULUAN
Pangkungkarung adalah sebuah banjar pakraman yang berjarak sekitar 5 kilometer dari
kabupaten Tabanan, Bali. Banjar tersebut dibelah oleh jalan raya menuju kota kecamatan
Kerambitan. Di masa lalu, penduduknya mayoritas menjadi petani dan buruh. Akan tetapi saat
ini, generasi muda telah banyak meninggalkan profesi itu, banyak bekerja di sektor swasta,
pegawai negeri dan seperti juga lazimnya di jaman sekarang, menjadi aktivis partai politik.
Kegiatan politik di banjar ini cukup dinamis. Pada awal reformasi, cukup banyak yang masuk
menjadi anggota PDI Perjuangan. Banjar ini dihuni oleh sekitar tigaratusan kepala keluarga.
Konflik yang terjadi pada banjar ini lebih banyak muncul ke permukaan sebagai akibat
dari ketidaksetujuan warga terhadap upaya untuk memisahkan banjar Pangkungkarung dari desa
pakraman induk, yaitu Desa Pakraman Bedhe. Secara tradisional, Banjar Pangkungkarung
merupakan bagian dari Desa Pakraman Bedhe yang pusatnya berjarak sekitar 8 kilometer dari
Pangkungkarung. Desa pakraman Bedhe ini merupakan desa pakraman terbesar di Bali dengan
anggota sampai lebih dari 30 banjar.
Secara tradisional, kesatuan administrasi terkecil di Bali adalah desa pakraman, yang
dahulu disebut dengan desa adat. Pada wilayah inilah administrasi adat, budaya dan keagamaan
diatur. Desa pakraman terdiri dari berbagai banjar yang merupakan kesatuan keluarga-kesatuan
keluarga. Akan tetapi pengikat utama desa pakraman adalah tempat sembahyang yang disebut
Khayangan Tiga. Tempat sembahnyang ini terdiri dari tiga wujud bangunan persembahyangan
yang disebut Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem. Ini merupakan manifestasi dari kekuatan
Tuhan dalam bentuk Brahma (sebagai Dewa Pencipta), Wisnu (sebagai simbol kekuatan
pemelihara) dan Siwa sebagai kekuatan pelebur alam kehidupan. Dengan demikian, letak
”kekuasaan” yang mengatur hubungan Ketuhanan itu ada pada Desa Pakraman. Di masa lalu,
ketika ritual masih dalam perwujudan yang besar-besar, hanya desa pakraman yang dipandang
mampu mendirikan tempat sembahyang yang disebut Khayang Tiga itu. Amat mungkin
pembiayaan untuk membangun tempat sembahyang ini, termasuk ritualnya, menghabiskan
banyak biaya sehingga banjar-banjar yang berdekatan melakukan semacam kesepakatan untuk
membuat desa pakraman. Banjar hanyalah kumpulan keluarga yang berada di bawah desa
pakraman itu. Dengan logika seperti itu, maka sampai sekarang ini setiap desa pakraman terdiri
dari kumpulan banjar-banjar. Tidak semua komunitas ini beranggotakan sampai 30-an banjar,
tetapi jumlah lebih sedikitpun memungkinkan.
Akan tetapi, kini untuk membuat sebuah tempat sembahyang yang disebut Khayang Tiga
itu, tidak harus memerlukan banyak banjar. Perkembangan ekonomi yang terjadi di Bali,
memungkinkan satu banjar pun mampu membuat tempat sembahyang yang disebut Khayangan
Tiga. Inilah yang terjadi di Banjar Pakraman Pangkungkarung. Masyarakat disana melalui
swadaya masing-masing keluarga, mampu membangun Pura Khayangan Tiga, lengkap dengan
manifestasi tiga kekuatan Tuhan tersebut secara mandiri.
Logika yang kemudian muncul ketika berdirinya tempat sembahyang ini adalah bahwa
Banjar Pakraman Pangkungkarung itu meningkat statusnya menjadi desa pakraman. Karena telah
menjadi desa pakraman, maka Pangkungkarung ini seharusnya telah boleh keluar dari desa
induk, yakni Desa Pakraman Bedhe. Disinilah cikal bakal munculnya konflik yang terjadi.
Sebanyak 27 kepala keluarga (kelompok kecil) dari Banjar Pakraman Pangkungkarung
tidak menyetujui keluarnya Banjar Pakraman Pangkungkarung dari desa pakraman induk
Bedhe. Sebaliknya sebanyak lebih dari 300 kepala keluarga (kelompok besar) menyetujui
terpisahnya dari desa pakraman induk. Alasan dari kelompok kecil untuk menolak keluar dari
desa induk adalah bahwa desa induk telah mempunyai kesepakatan untuk tidak membolehkan
anggotanya keluar dari desa induk. Disamping itu, pemerintah provinsi Bali juga telah
mengeluarkan kesepakatan untuk tidak membolehkan mendirikan desa pakraman baru lagi.
Sedangkan kelompok besar mempunyai alasan bahwa keluarnya dari desa induk merupakan
pilihan rasional karena Banjar Pangkungkarung kini telah mempunyai tempat persembahyangan
yang disebut dengan Khayangan Tiga. Disamping itu, jarak antara Banjar Pakraman
Pangkungkarung dengan Desa Pakraman Bedhe, cukup jauh. Pemisahan ini akan memungkinkan
biaya lebih irit. Pengelolaan sendiri ritual upacara untuk persembahyangan bisa dilakukan secara
mandiri, tidak tergantung lagi kepada desa pakraman induk.
Kedua belah pihak, baik kelompok besar maupun kecil, ngotot dengan sikapnya
berdasarkan argumentasi masing-masing, dan dengan dukungan masing-masing pihak.
Kelompok kecil mendapatkan dukungan lebih dari 30 banjar pakraman yang menjadi anggota
desa pakraman induk, Bedhe. Disamping itu, kesepakatan yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah daerah Bali juga menjadi landasan bagi kelompok ini untuk mempertahankan
pendapatnya. Kelompok besar mempunyai beking mayoritas warga dan kepala keluarga di
Banjar Pakraman Pangkungkarung, sehingga mampu mempertahankan sikapnya. Sama-sama
mempunyai pendukung dan argumentasi menurut kelompoknya sendiri.
BENTUK KONFLIK
Sebagai akibat dari kukuhnya pendirian dari dua kelompok itu, konflik tidak mampu
dihindarkan terjadi di kampung ini. Dua bentuk konflik yang kelihatan adalah konflik yang
sifatnya terbuka dan konflik yang sifatnya tertutup. Secara terbuka, terjadi penghadangan
terhadap jenazah yang hendak dikubur dari kelompok kecil. Anggota kelompok besar turun ke
jalan saat adanya upaya penguburan jenazah. Meskipun tidak ada pelarangan dari kelompok
besar, tetapi show of force yang dilakukan oleh kelompok itu membuat anggota kelompok kecil
yang mempunyai jenazah tidak berani melakukan prosesi. Kekerasan lain yang dilakukan juga
dengan menghalangi mobil ambulas yang hendak mengangkut jenazah menuju prosesi.
Akibatnya, penguburan tidak dilakukan di kuburan kampung tetapi mencari kuburan umum
dengan proses kremasi. Kelompok besar juga mempersulit dilaksanakannya upacara pernikahan
yang dilakukan oleh pihak kelompok kecil. Jalan menuju lokasi tempat tinggal mempelai
dipenuhi dengan anggota kelompok besar sehingga menyulitkan prosesi pernikahan. Fenomena
ini kemudian membuat proses pernikahan yang merupakan hak asai manusia itu menjadi
terganggu.
Kekerasan tersembunyi yang terjadi pada peristiwa itu adalah bahwa di lapangan, ada
kesan kuat kelompok besar tidak membolehkan anggotanya berbicara kepada kelompok kecil.
Ini merupakan kekerasan psikologis yang sangat bertentangan dengan prikemanusiaan.
KONFLIK PANGKUNGKARUNG DALAM TATARAN TEORETIK
Peristiwa yang terjadi di Banjar Pangkungkarung ini menarik untuk diamati dalam tataran
teoritik, terutama yang menyinggung masalah-masalah konflik dalam masyarakat.
Perkembangan yang terjadi di wilayah itu memberikan sumbangan yang cukup besar bagi tataran
teori ilmu sosial. Apabila konflik dipahami sebagai sebuah kondisi yang memperlihatkan
perbedaan pendapat antara beberapa pihak, fenomena demikian terjadi juga di banjar tersebut.
Namun, konflik tidak seluruhnya mampu dijelaskan dengan adanya perbedaan pandangan
kelompok yang benar-benar dipisahkan oleh hubungan sosial. Di wilayah itu, hubungan sosial
masih terjadi karena mereka yang terlibat konflik sesungguhnya masih mempunyai hubungan
keluarga dan kerabat, dan mempunyai sejarah yang sama. Sejarah dalam pengertian ini
mengacu kepada tempat tinggal yang sama, sejak kecil sampai dewasa. Konflik muncul karena
persoalan nilai yang berkaitan dengan keagamaan. Dalam konteks agama Hindu Bali, nilai-nilai
itulah yang sangat kental dan dipandang benar oleh penganutnya. Akibatnya, perbedaan
pendapat yang berhubungan dengan agama ini mampu memisahkan hubungan sosial diantara
kerabat dan saudara.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa konflik terjadi hanya pada wilayah geografis
tersebut. Akan tetapi apabila misalnya ada dua pihak yang kebetulan mempunyai hubungan
bersaudara, yang terlibat dkonflik di wilayah geografis tersebut, kemungkinan akan masih
mampu berkomunikasi apabila mereka bertemu di wilayah yang lain, semisal di pasar, di sekolah
atau di bank. Karena itulah penting untuk melihat konflik itu dari tataran teori sehingga
memungkinkan adanya pembaruan, pembenaran atau sumbangan baru bagi peristiwa itu bagi
perkembangan teori-teori yang sudah ada dalam ilmu sosial.
FUNGSIONALISME
Dalam pendekatan fungsionalisme masyarakat selalu berupaya untuk mempertahankan
stabilitas dalam perubahan sosial yang ada. Norma-norma yang ada selalu berupaya
mempertahankan stabilitas masyarakat. Namun dalam pandangan konflik, instabilitas yang
terjadi disebabkan oleh kekuasaan yang membelenggu masyarakat (Ritzer, 2007: 153).
Kekuasaan berkaitan dengan wewenang di mana kemudian memberikan adanya legitimasi untuk
melaksanakan wewenang tersebut. Disinilah kemudian akan memungkinkan munculnya
ketidakpuasan apabila dirasakan adanya pemaksaan-pemaksaan di dalam masyarakat oleh pihak
yang mempunyai kewenangan.
Dalam konteks peristiwa yang terjadi di Banjar Pakraman Pangkungkarung, norma yang
ada tersebut justru dipandang sebagai kekuatan yang terlalu mengikat masyarakat. Norma yang
mengikat ini sesungguhnya bersifat tradisionil yang kalau dilihat dari perkembangan jaman,
seharusnya mempunyai kelonggaran agar sesuai dengan kondisi yang ada dewasa ini. Norma
itulah yang masih melekat dalam keberadaan desa pakraman tersebut.
Desa pakraman adalah sebuah organisasi yang berada di atas banjar pakraman. Dalam
sejarahnya, lembaga ini telah ada di Bali sejak berabad-abad sebelumnya. Pada tataran sosial
Bali tradisionil hal demikian boleh dikatakan ada dua sistem komunitas yang bisa diangap
”menyatu dalam keberpisahan”. Dikatakan menyatu karena keduanya berada dalam satu sistem
norma. Akan tetapi boleh dikatakan terpisah karena masing-masing mempunyai komunitas
tersendiri, seperti kuburan tersendiri, tempat sembahyang tersendiri, dan organisasi tersendiri.
Desa Pakraman dalam sistem sosial di Bali adalah sistem organisasi yang memayungi
satu kesatuan warga yang terikat oleh tempat persembahyangan, yaitu Khayangan Tiga. Dari
sisi keanggotaan, komunitas umat Hindu ini terdiri dari banyak banjar (yaitu komuntas yang
mirip dengan Rukun Tetangga di Jawa). Pengorganisasian adat dan tata persembahyangan umat
Hindu yang berpusat pada Khayangan Tiga itu, diorganisasikan oleh Desa Pakraman (Warren,
1993: 291). Organisasi ini mempunyai kesamaan dengan rukun warga di Pulau Jawa. Akan
tetapi, ritualitas yang terjadi pada masyarakat Hindu di Bali, terletak justru di tengah-tengah
keluarga, yaitu bagian inti dari keanggotaan desa pakraman dan banjar pakraman itu sendiri.
Karena itu, upacara tersebut tidak hanya ada upacara untuk Khayangan Tiga saja tetapi juga
upacara untuk potong gigi, tiga bulanan, tempat sembahyang keluarga, tempat sembahyang
kelompok, atau upacara kematin. Segala macam upacaya yang disebut terakhir ini, berlangsung
di Banjar Pakaraman. Secara sederhana, banjar pakraman tersebut merupakan kesatuan sosial
untuk menyelenggarakan upacara agama seperti upacara potong gigi, kematian dan sejenisnya.
Dalam konteks demikian, dalam peristiwa konflik ini, segala macam upacara yang
berlangsung pada tingkat keluarga itu, diselenggarakan di Banjar Pakraman Pangkungkarung,
tidak di Desa Pakraman Bedhe. Akan tetapi, karena Banjar Pakraman Pangkungkarnung telah
mempunyai tempat sembahyang yang disebut Khayangan Tiga, maka sebagian besar masyarakat
di banjar tersebut menginginkan pisahnya banjar ini dari desa pakraman induk, yaitu Desa
Pakaraman Bedhe.
Seperti yang telah diungkapkan diatas, konflik terjadi karena cara pandang bahwa
konflik yang terjadi di masyarakat disebabkan oleh keteaturan yang dipaksakan oleh mereka
yang ada di atas (Ritzer, 2007: 154). Mereka yang diatas tersebut tidak lain adalah pihak yang
memegang otoritas atau mereka yang mempunyai anggota yang lebih besar. Dahrendorf
mengatakan bahwa konflik terjadi karena adanya perbedaan otoritas, dimana otoritas tersebut
melakat di dalam posisi (Ritzer, 2007: 154). Disinilah ada kondisi yang tertundukkan dan pihak
yang menundukkan. Dahrendorf juga menyebutkan kalau keterpaksaan merupakan salah satu
dari penyebab konflik. Secara sosial, masyarakat yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi,
atau mempunyai jumlah anggota yang lebih banyak, bisa dikatakan sebagai pihak yang
mempunyai posisi supra ordinat. Mereka mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pihak lainnya.
Dalam konlfik yang terjadi di Pangkungkarung, posisi otoritas dan ordinat yang ada bisa
dikatakan sebagai berjenjang. Pihak pertama adalah Ketua Desa Pakraman dan sebagai
subordinatnya, adalah masyarakat Banjar Pakraman Pangkungkarung. Kedua, dari sisi kelompok
yang menjadi pihak dominan dan posisinya lebih diatas, adalah Desa Pakramann Bedhe dan
yang menjadi subordinat, Banjar Pakraman Pangkungkarung. Ketiga, dari sisi organisasi yang
lebih kecil, pihak yang menjadi otoritas adalah kelihan Banjar Pakraman Pangkungkarung dan
subordinatnya anggota kelompok kecil di Banjar Pakraman Pangkungkarung. Keempat, dari sisi
Banjar Pakraman Pangkungkarung, mereka yang memegang otoritas adalah Kelompok Besar
dan yang menjadi subordinatnya, adalah Kelompok Kecil.
Seperti yang diungkapkan diatas, segala macam kegiatan ritual itu berada pada tingkat
banjar. Akan tetapi, karena banjar mempunyai keterikatan dengan Desa Pakraman, maka segala
kegiatan ritual yang ada di Banjar Pakraman Pangkungkarung ini, harus tetap mempunyai
hubungan dengan Desa Pakaraman Bedhe yang jaraknya sekitar 8 kilometer. Hubungan budaya
keagamaan itu misalnya diperlihatkan adanya air suci dari tempat sembahyang Khayangan Tiga
dari Desa Pakraman Induk, yaitu Bedhe. Inilah yang dipandang kontroversi oleh masyarakat
karena sesungguhnya masyarakat Pangkungkarung telah mempunyai pura Khayangan Tiga
sendiri. Sehingga kalau ada upacara keagamaan yang berlangsung pada tingkat keluarga, sudah
cukup mencari segala macam keperluan, seperti misalnya air suci tersebut, dari Banjar
Pangkungkarung sendiri.
Dalam pandangan teoritik lain bisa dikatakan bahwa konflik itu terjadi pada sebuah
sistem. Ralf Dahrendorf menyebutkan bahwa konflik itu hanya akan terjadi apabila ada
keterhubungan antara komponen-komponen di dalam satu sistem (Susan, 2009:49). Pendapat ini
bisa dibenarkan karena hanya komponen-komponen yang mempunyai hubunganlah yang akan
mampu menuangkan keinginan dan kepentingannya. Manakala kepentingan tersebut tidak
mampu tersalurkan dengan baik, maka akan terjadi perbedaan pendapat yang mampu
memunculkan konflik. Nilai yang dimiliki oleh masing-masing kelompok juga akan
mempengaruhi tingkat konflik tersebut. Manakala nilai-nilai itu berbenturan secara tajam,
konflik pasti akan terjadi dan yang paling membahayakan adalah yang sifatnya terbuka.
Banjar Pakraman Pangkungkarung merupakan komunitas yang sebelum konflik pecah,
terdiri atas satu kesatuan banjar. Anggota komunitas banjar pakraman itu berada di dalam satu
sistem dengan berbagai fungsi dan peran yang dimiliki. Di masa lalu, berbagai komponen yang
ada pada sistem banjar itu cukup lengkap. Pada masyarakat Bali tradisionil, organisasi seperti
Subak, pemburu bajing, pemetik padi dan sejenisnya, merupakan komponen yang melekat secara
lintas wilayah. Komponen seperti itu ada di lingkungan Banjar Pangkungkarung. Pada konteks
itulah sesungguhnya persahabatan dan hubungan sosial itu terjalin. Lingkungan di banjar ini juga
masih tradisionil, dengan persawahan dan perladangan yang masih luas. Meskipun di sekitar
banjar itu telah berdiri berbagai perumahan dan juga pertokoan, lingkungan Banjar
Pangkungkarung ini boleh dikatakan masih belum demikian berpengaruh. Pertambahan jumlah
rumah di lingkungan ini tidak disebabkan oleh munculnya para pendatang dari luar daerah, akan
tetapi lebih banyak disebabkan oleh pertambahan penduduk di banjar tersebut.
Mengacu kepada pemikiran Dahrendorf, anggota banjar pakraman ini berada dalam
hubungan satu sistem, yang tidak saja terhubung oleh berbagai komponen di dalam desa
pakraman tetapi juga dihubungkan oleh komponen kekeluaargaan seperti tempat
persembahyangan keluarga satu garis keturunan. Jadi, secara teoritik konflik akan mudah
muncul di dalam komunitas itu. Adanya berbagai unsur di dalam sistem, misalnya
persembahyangan dari keluarga, komponen organisasi subak, dan sebagainya mempunyai nilai-
nilai tersendiri yang kemudian berbenturan dengan nilai yang lain. Pecahnya konflik yang terjadi
belakangan ini disebabkan oleh adanya perbedaan nilai yang tajam antara kelompok tradisionalis
yang masih memandang Desa Pakraman Bedhe sebagai induk. Nilainya adalah solidaritas
tradisionil yang melekat kepada leluhur dan masa lalu. Sedangkan mereka yang menginginkan
pemekaran mempunyai nilai pembaruan. Bahwa tempat persembahyangan itu bisa
dikembangkan untuk membentuk kesatuan yang baru. Nilai dari kedua belah pihak itu
mengendap baik karena faktor tradisi maupun disebabkan oleh pengetahuan-pengetahuan baru
yang mungkin tidak terserap dan kurang dipelajari secara sempurna. Itulah yang membuat
benturan nilai dalam bentuk keyakinan itu terjadi.
KEPENTINGAN IDENTITAS VERSUS RASIONALITAS
Dari sinilah kemudian konflik itu menjadi bertambah besar. Pemikiran klasik dari Lewis
Coser menyebutkan bahwa semakin besar emosional dari anggota (kelompok) itu terlibat dalam
konflik, semakin kuat intensitas konflik itu (Turner, 1978: 166). Posisi kedua belah pihak yang
saling tumpang tindih membuat emosi itu semakin tinggi. Tumpang tindih ini bisa dilihat dari
sisi komposisi penduduk. Mereka yang terlibat konflik, ada yang berdampingan rumah bahkan
mempunyai hubungan keluarga. Mereka konflik karena mempunyai cara pandang yang berbeda
dengan tempat dan lokasi induk persembahyangan, yakni Khayangan Tiga tersebut. Kondisi ini,
secara sosiologi membuat pemicu-pemicu konflik itu menjadi lebih luas. Pengeras suara yang
terlalu keras yang ada di tetangga bisa faktor pemicu. Demikian juga kebisingan suara yang
disebabkan oleh kesibukan tetangga.
Disamping itu, jarak terpisah delapan kilometer dari markas induk (Desa Pakraman
Bedhe), memungkinkan luapan emosi itu tinggi. Dengan jarak tersebut, seolah kelompok kecil
yang ada di Banjar Pangkungkarung sendirian yang kemudian membuat mereka terisolir dari
kelompok yang lebih besar.
Intensitas konflik itu terlihat dari perubahan orientasi konflik yang seolah-olah menjadi
hukuman. Kelompok kecil yang tidak bersedia ikut kelompok besar yang menginginkan
pemisahan dari desa induk, diprovokasi dengan berbagai hal. Meskipun tidak secara nyata
dilarang menggunakan kuburan, tetapi kehadiran banyak orang di pinggiran rumah orang yang
meninggal pada kelompok kecil, jelas menakutkan bagi warga ini untuk mengantarkan jenazah
ke kuburan. Demikian juga, banyaknya orang berdiri di jalan membuat ketakutan anggota
kelompok kecil untuk mengevakuasi jenazah menuju ruamah sakit (untuk ditaruh di kamar
jenazah yang berpendingin). Banyaknya anggota kelompok besar berkerumun di jalan membuat
anggota kelompok kecil tidak berani melakukan pernikahan secara besar-besaran. Pernikahan
dilakukan dengan cara sederhana tetapi dalam norma agama Hindu di Bali, telah dinilai
menmenuhi persyaratan upacara.
Konflik demikian itu pada akhirnya mengerucut kepada konteks identitas versus
rasionalitas yang sama-sama berbasis pada budaya Bali, Hindu. Identitas lebih menonjolkan
kepada ciri-ciri yang melekat pada kesamaaan yang direfleksikan pada kelompok. Identitas bisa
saja berupa ciri-ciri yang sama tetapi juga mengacu kepada hal-hal yang lebih spesifik. Menurut
Thufail dan Ramstedt (2011: 5), selain bermula dari identifikasi dari aspek-aspek normatif yang
ditawarkan oleh agama, tradisi, dan hukum, identitas juga dapat merefleksikan pergulatan yang
terjadi dalam minat dan keinginan untuk memilih sebuah proses identifikasi tersebut. Dalam
konteks lain bisa disebut bahwa identitas itu dalam budaya Bali membentuk apa yang disebut
klien. Geertz meenyebutkan bahwa perklienan itu mengakui kelompok-kelompok yang lebih
fundamental (status dan darah) dan beroperasi bersama sebagai unit-unitnya (Geerz, 2000: 63).
Apabila dihubungkan antara identitas dengan masyarakat, yang muncul adalah sebuah
pemahaman tentang apa yang membentuk persamaan antara kelompok masyarakat tersebut dan
kemudian apa yang membedakan kelompok itu dengan kelompok yang lain. Identitas
memberikan ciri tersendiri di dalam satu kelompok yang bisa dibawa melewati batas wilayah dan
waktu.
Dalam tataran konflik yang terjadi di Banjar Pakraman Pangkungkarung, kelompok kecil
akhirnya mengikatkan dirinya sebagai kesatuan yang mempunyai identitas keturunan, semisal
cikal bakal mempunyai Desa Pakraman Bede. Dalam sejarah sosial masyarakat Bali.
Pada pihak lain, kelompok besar juga menegakkan identitasnya sebagai kelompok yang
telah mempunyai Pura Khayangan Tiga sehingga berhak menuntut keluar dari desa pakraman
induk. Mereka mendapatkan indetitasnya melalui sebuah proses untuk memperlihatkan
keinginannya. Dalam hal kelompok besar Pangkungkarung, proses itu adalah menuju
mendapatkan hak menjadi Desa Pakraman tersendiri. Seperti yang dikatakan Aragon F., dan K.
Von Benda Beckmann, identitas yang didapatkan melalui proses ini cukup berbahaya (Thufail,
Ramstedt, 2011:5) karena akan bisa bertabrakan dengan norma dan kultural lain di dalam
masyarakat.
Inilah yang terjadi di Banjar Pakraman Pangkungkarung. Proses identifikasi yang
berujung kepada upaya menjadi desa pakraman tersendiri dari kelompok besar itu, ternyata tidak
sesuai dengan norma-norma yang ada. Secara normatif, pemerintah Bali telah mengeluarkan
ketentuan yang melarang adanya pemekaran desa pakraman sehingga legitimasi pendirian Pura
Khayangan Tiga tidak ada. Masyarakat kurang memahami tentang peraturan daerah yang sudah
melarang pemekaran desa pakraman baru. Sosialisasi dari hal ini juga tidak secara maksimal
sampai ke tangan masyarakat.
Di dalam masing-masing kelompok itu memandang tuntutan dirinya sudah sesuai
dengan manfaat maksimal yang didapatkan kelak apabila tuntutan itu tercapai. Secara sederhana
bisa dikatakan hal itu sebagai satu rasionalitas yang dimiliki secara subyektif oleh masing-
masing kelompok. Rasionalitas di dalam kelompok seharusnya dimiliki oleh aparatur yang
menjalankan kelompok itu. Disini bisa disebutkan tentang para tokoh yang terlibat di dalam
organisasi tersebut. Tokoh inilah secara teoritik yang seharusnya mampu memberikan arahan
tentang bagaimana seharusnya menempatkan kepentingan maksimal di dalam kelompok. Unsur-
unsur, keuntungan serta kelemahan dari kepentingan maksimal tersebut harus didiskusikan
dengan para anggota. Langkah inilah yang kurang dilakukan oleh aparatur kedua kelompok,
terutama persoalan kelemahan-kelemahan dari manfaat maksimal tersebut.
Pada konteks ini bisa dikatakan bahwa rasionalitas yang berkaitan dengan identitas
kelompok, akan menghasilkan sikap yang sangat patuh kepada kelompok yang bersangkutan.
Sejarah dan pengaruh lingkungan komunitas akan sangat menentukan bagaimana kecenderungan
rasionalitas tersebut. Frekuensi nilai-nilai kognitif yang masuk sebagai informasi ke dalam
pengetahuan masyarakat akan sangat mempengaruhi nilai-nilai rasionalitas ini. Di Banjar
Pakraman Pangkungkarung hal ini tidak berlangsung maksimal. Tidak semua anggota
masyarakat mengetahui seberapa jauh hubungan antara pemekaran desa pakraman itu dengan
kemampuan pemerintah provinsi untuk memberikan alokasi dana kepada masing-masing desa
pakraman. Pemahaman tentang peraturan tentang pembuatan desa pakraman juga tidak
diketahui dengan baik oleh anggota masyarakat. Jadi, kemampuan kognitif mereka belum
mampu menjawab secara maksimal keuntungan yang harus didapatkan oleh kelompok tersebut.
Boleh dikatakan bahwa pengetahuan masyarakat terhadap apa yang disebut dengan desa
pakraman, bagaimana pemekarannya termasuk apa yang menjadi persyaratan desa pakraman itu,
masih sangat minim. Pengetahuan mereka hanya berdasarkan informasi tetangga atau rekan-
rekan yang sebenarnya juga masih bersifat minimal. Dengan demikian, pengetahuan itu bersifat
gugon tuwon.
AKIBAT DARI KONFLIK
Konflik horizontal yang terjadi di Pangkungkarung itu, pada akhirnya membuat banjar ini
terpecah menjadi dua, yaitu Pangkungkarung Gede dan Pangkungkarung. Pangkungkarung Gede
bermakna bahwa banjar tersebut merupakan bagian mayoritas dari Banjar Pangkungkarung
yang sebelumnya ada. Sedangkan Pangkungkarung (tanpa ada embel-embel ”Gede”) adalah
komunitas yang anggotanya lebih kecil. Kedua banjar ini tetap berada dalam satu kawasan, tanpa
dipisahkan oleh perbatasan yang jelas karena masing-masing anggotanya tetap di dalam satu
wilayah. Mereka dibatasi oleh konsepsi bahwa Banjar Pakraman Pangkungkarung Gede itu
menyatakan diri tidak mau bergabung lagi dengan desa pakraman induk, yaitu Desa Pakraman
Bedhe. Sebaliknya Banjar Pakraman Pangkungkarung adalah komunitas yang tetap menyatakan
kesetiannya dengan Desa Pakraman Bedhe.
Simmel menyebutkan, bahwa konflik memang diperlukan untuk memperkuat kesatuan
kelompok, memodifikasi kelompok kepentingan atau bahkan membentuk organisasi baru (Coser,
Rosenberg, 1976: 175). Apa yang terjadi di Banjar Pakraman Pangkungkarung ini, konflik
adalah membentuk organisasi baru, kelompok kepentingan dan bahkan banjar pakraman baru.
Dengan terbentuknya banjar pakraman baru ini, diikuti pula oleh adanya kepengurusan-
kepengurusan baru, yang tidak lain sesungguhnya merupakan pembentukan sumber struktur
baru. Bagaimanapun organisasi baru mempunyai struktur baru, yang mana masing-masing
struktur tersebut mempunyai kewenangan dan fungsi yang baru juga.
Kehadiran dua banjar pakraman baru ini, pada kelanjutannya memberikan kondisi yang
kondusif bagi komunitas tersebut. Tidak lagi ada konflik-konflik dalam bentuk pengusiran atau
pelarangan terhadap berlangsungnya upacara agama di lingkungan tersebut. Berbeda dengan
kesatuan lain, banjar pakraman ini tidak mempunyai perbatasan yang pasti karena masing-
masing anggotanya tersebar, saling menyilang di wilayah yang sebelumnya menjadi terotorial
Banjar Pangkungkarung sebelum konflik. Banjar pakraman baru ini akan diikat oleh kesepakatan
sebelumnya, dimana mereka yang memilih setuju dengan pemekaran dan tidak setuju dengan
pemekaran. Cara pandang inilah yang menjadi pengikat kedua banjar pakraman tersebut.
Meski demikian, kendati banjar tersebut pecah menjadi dua bagian, tetapi ini dipandang
sebagai solusi, dimana ketegangan sosial itu bisa ditekan sampai batas yang paling minimal.
Artinya, makanala sebelumnya kedua kelompok ini tidak mau saling bertegur sapa, setelah
terjadinya perpecahan tersebut soal tegur sapa ini telah bisa dilakukan. Rentang waktu yang
lama dari konflik itu membuat berbagai pihak juga tidak mampu memberikan alternatif yang
lebih baik ketimbang dengan memberikan alur solusi bagi kedua belah pihak. Rasionalitas dan
cara pandang dari keduaa pihak ini telah demikian berbeda sehingga menjadi satu desa itu
menjadi dua wilayah dengan model rasionalitas masing-masing kemudian menjadi solusi. Yang
paling diperhatikan kemudian secara sosial adalah makna dari persaudaraan itu tetap terpelihara.
Konsepsi tradisionil masyarakat di Bali, yakni hubungan kekerabatan dalam bentuk interaksi
sosial antar keturunan, masih bisa dipertahankan. Dua banjar yang berbeda nama ini secara
administrasi memang telah berubah yakni administrasi tradisionil banjar atau desa pakraman.
Akan tetapi hubungan kekerabatan dalam bentuk keturunan masih terpelihara. Diantara dua
banjar yang terpecah ini, masih banyak sekali hubungan kekerabatan yang terbentuk
berdasarkan pernikahan dan keturunan. Perbedaan cara pandang terhadap pelaksanaan upacara
agama yang dipayungi kelompok inilah kemudian membuat dua komunitas itu terpecah.
. Dalam konteks yang lain, sesungguhnya fenomena ini masih menyisakan persoalan di
masa depan. Persoalan kuburan merupakan hal awal yang menjadi pemicu tersebut. Dari titik ini
potensi konflik masih bisa terbuka. Beberapa alternatif yang dipilih selama ini apabila terjadi
kematian di lingkungan yang lebih kecil, adalah dengan membawanya menuju kreaktorium yang
ada di kota Denpasar dan Badung. Cara menyelesaikan upacara kematian seperti ini
sesungguhnya jauh lebih sederhana dan jauh mengirit biaya. Akan tetapi, mengacu kepada
model-model konflik lain yang ada di tempat lain, maka tanah kuburan kemungkinan akan dibuat
tersendiri dengan cara memebebaskan tanah atau membeli tanah yang dipandang cukup untuk
difungsikan sebagai kuburan. Beberapa konflik komunal yang terjadi di Kabupaten Gianyar,
Bali, misalnya, pemecahan soal kuburan ini dilakukan dengan cara membuat kuburan baru.
KESIMPULAN
Dengan melihat uraian yang diutarakan diatas, ada beberapa hal yang bisa dipakai
sebagai kesimpulan atas masalah yang terjadi di wilayah tersebut. Kepentingan kelompok
memegang peranan penting dalam pecahnya konflik di Banjar Pangkungkarung. Kelompok itu
berupaya menempatkan kepentingannya dalam konteks identitas budaya. Dengan identitas ini
mereka berupaya melegitimasikan kepentingan yang dituntut, dengan mencoba melihat
rasionalitas tuntutan yang dilakukan. Legitimasi itu juga mempunyai dasar-dasar nilai yang telah
ada.
Akan tetapi, rasionalitas dalam konteks ini hanya melekat di dalam kepentingan masing-
masing kelompok itu, tidak dalam kultur yang lebih besar (budaya Bali). Akibatnya, norma-
norma yang sudah ada dan ditetapkan sebelumnya menjadi terpinggirkan. Konflik justru
menjadi berakhir setelah banjar pakraman itu pecah. Artinya tidak ada solusi yang bisa dilakukan
kecuali dengan membagi kampung tersebut menjadi dua.
Baik kelompok kecil maupun kelompok besar mempunyai cara pandang sendiri yang
rasional menurut kelompoknya. Dalam hal ini, mempertahankan desa Pakraman yang lama dan
yang satu lagi, membentuk desa pakraman yang baru.
Pada sisi lain perlu diungkapkan bahwa sesungguhnya banyak masyarakat Bali (Hindu)
yang tidak memahami bagaimana prosedur membangun desa pakraman dan makna dari tempat
sembahyang Khayangan Tiga tersebut. Karena itu, menjadi pekerjaan besar bagi pemda Bali di
masa mendatang untuk lebih mensosialisasikan bagaimana eksietensi desa pakraman itu dan apa
makna dari Khayangan Tiga. Ketidakpahaman tentang makna dari Khayangan Tiga itu ikut
mempunyai peran dalam memicu konflik yang terjadi.
Secara teoritik, dalam konteks teori pilihan rasional bisa dikatakan bahwa konflik antar
kelompok terjadi diakibatkan oleh terjadinya perbedaan terhadap penafsiran atas kepentingan
maksimal dari masing-masing kelompok. Ini dilatarbelakangi oleh nilai kultural dari masing-
masing kelompok sehingga pada akhirnya membuat perbedaan pendapat. Hal inilah yang
membuat terjadinya konflik di Banjar Pakraman Pangkungkarung.
SARAN-SARAN
Saran yang diberikan bisa dikelompokkan menjadi beberapa bagian. Pada tingkat
masyarakat, kedua kelompok banjar pakraman di Pangkungkarung, yaitu Banjar Pakraman
Pangkungkarung Gede dan Banjar Pakraman Pangkungkarung harus mempelajari lebih banyak
dan lebih luas lagi tentang sejarah dan makna desa pakraan itu. Pembelajaran ini penting karena
dengan mengetahui makna tersebut, akan mampu melihat apa fungsi desa pakraman tersebutdan
bagaimana pendiriannya, berapa banyak anggota keluarga yang bisa mendirikan. Setelah
memahami pemaknaan dari desa pakraman itu, kedua belah pihak harus memahami juga tentang
arti perubahan sosial di Bali. Ini menjadi penting untuk menjawab apakah perlu ada
penyderhaaan terhadap keberadaan desa pakraman dan dimana posisi pentingnya pemekaran.
Pihak pemerintah dan lembaga yang mengayomi desa pakraman, juga harus mempunyai
penegatahuan yang tinggi terhadap desa pakraman tersebut. Ini berguna untuk melihat bagimana
cara memecahkan konflik yang terjadi pada tingkat ini. Terlalu banyak konflik yang terjadi di
berbagai desa pakraman di Bali. Karena masyarakat masih mempunyai kultur paternalistik, maka
pengarahan dan sosialisasi dari pemerintah diharapkan akan lebih mampu mengubah pandangan
masyarakat tentang konflik yang diakibatkan oleh persoalan-persoalan seperti ini (adat yang
menyinggung masalah agama).
*****
DAFTAR PUSTAKA
Coser, Lewis, Rosenberg, Bernard, 1976, Sociological Theory, New York, McMilan.
Geertz, Clifford, 2000, Negara Teater, Yogyakarta: Bentang.
Ramstedt, Martin, Ibnu Thuafil Fajar, 2011, Kagalauan Identitas, Jakarta, Grasindo
Ritzer, George, Goodman, Douglas, J., 2007, Teori Sosiologi Modern, Jakarta, Prenada,
Media Grup.
Susan, Novri, 2009, Sosiologi Konflik: Isu-Isu Konflik Kontemporer, Jakarta, Prenada
Media Grup.
Tohjaya, I Nyoman Gde Bendesa K. 1991, Riwayat Mpu Kuturan, Denpasar: Ria.
Turner, Jonathan, 1978, The Structure of Sociological Theory, USA, The Dorby Press.
Warren Carrol, 1993, Adat and Dinas: Balinese Communities in The Indonesian
State, Oxford University Press.
Untuk masalah konflik yang ada di Pangkungkarung, disamping penulis yang berkampung
tetangga wilayah konflik, juga melakukan wawancara dengan:
I Nyoman Sukarno, Warga Pangkungkarung (sekarang telah almarhum).
Ir. Nyoman Surata, Warga Pangkungkarung.
Guru Suwija, Warga Pangkungkarung.
I Wayan Sudarna, mengkremasi ayah, asal dari Pangkung Karung, Tabanan.
I Gde Kartika, Warga Kebendesaan Pangkungkarung.
Penulis adalah Staf Pengajar Sosiologi, FISIP, Universitas Udayana.
Selesai S3 Ilmu Sosial, Universitas Airlangga.