Upload
duongdang
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah tangga untuk mobilitas kelas. Bersama pendidikan
manusia mengubah nasibnya. Pendidikan juga merupakan sarana melatih
kemampuan solidaritas dan kepekaan sosial. Oleh karena itu, pendidikan dapat
kembali kepada fitrahnya, menjadi alat untuk memanusiakan manusia, melalui
usaha sadar dan terencana. Kesadaran menjadi hal penting dalam pendidikan agar
manusia terlepas dari segala bentuk penindasan yang berujung pada
keterkungkungan.
Menurut N.Driyarkara (1980 : 69), pendidikan adalah proses pemanusiaan
manusia muda. Pendidikan harus membantu agar seseorang secara tahu dan mau
bertindak sebagai manusia dan bukan hanya secara instrinsik. Lebih lanjut
pendidikan hendaknya dipahami juga sebagai humanisasi, yaitu usaha agar
seluruh sikap dan tindak serta aneka kegiatan seseorang benar-benar bersifat
manusiawi dan semakin manusiawi.
Akan tetapi, proses pendidikan yang selama ini berlangsung justru tidak
sejalan dengan apa yang dicita-citakan. Pendidikan yang seharusnya menjadi alat
mobilitas kelas dan pembentuk karakter manusia dewasa susila masih belum
mampu menghantarkan manusia pada kemerdekaannya. Manusia Indonesia masih
berada dalam berbagai keterbatasan. Seperti data yang disebutkan oleh PBB
melalui UNICEF menyatakan, dua sampai tiga juta anak Indonesia akan disebut
2
sebagai generasi yang hilang akibat kekurangan pangan, penyakit dan tidak
berpendidikan (Prasetyo,2008 : 10).
Data tersebut akan semakin ironis jika melihat kualitas pendidikan
Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Indeks kompetisi (Global
Competitiveness) Indonesia, yang dikeluarkan oleh World Economic Forum
(WEF) pada tahun 2010, Indonesia berada pada posisi 44 dari 132 negara. Di Asia
Tenggara, angka ini masih di bawah Singapura yang berada di posisi ke-3,
Malaysia posisi ke-26, Brunei Darussalam posisi ke-28 serta Thailand posisi ke-
38 (Giyanto,2011 : 66).
Realitas di atas terjadi karena pendidikan sering ditempatkan sebatas
sebuah proses formal untuk mendapatkan status sosial tertentu. Gelar, kehormatan
dan jabatan menjadi alasan bagi masyarakat mengenyam pendidikan hingga
tingkat tinggi. Tanpa mengutamakan proses dan maksud dari pendidikan serta
keadaan sosial masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, pelaksanaan pendidikan tak
ubahnya seperti transaksi yang terjadi di pasar. Akhirnya hanya penguasa, pemilik
modal dan masyarakat kelas menengah atas yang dapat mengakses pendidikan
terbaik. Padahal proses pendidikan seharusnya dijalankan dalam rangka
memenuhi kebutuhan akan sumber daya manusia yang minimal, serta sanggup
menyelesaikan persoalan-personal kehidupan. Ini artinya pendidikan menjadi hak
siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial.
Realitas yang lebih memprihatinkan adalah, jika pelaksanaan pendidikan
sekedar perulangan dari kurikulum baku yang mengantarkan pada penyeragaman
individu. Pendidikan tak ubahnya mesin pencetak robot-robot berbadan manusia.
3
Penyeragaman ini merupakan sebuah bentuk pendehumanisasian yang akan
mematikan bakat dan kreativitas yang dimiliki oleh peserta didik. Padahal secara
hakikat, setiap proses pendidikan adalah upaya untuk mendayagunakan bakat dan
kreatifitas peserta didik.
Oleh karena itu, seharusnya muatan pendidikan adalah mengandung
berbagai bentuk pelajaran dengan materi yang signifikan, sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Output pendidikan dengan demikian adalah manusia yang
sanggup memetakan dan memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi oleh
masyarakat. Kesadaran ini perlu dibangun agar manusia tidak semakin terasing
dari lingkungan sosial dan teralienasi dalam diri pribadinya.
Hal ini juga yang harus menjadi perhatian, karena kurikulum pendidikan
Indonesia masih terlihat tambal sulam dan jauh dari realitas. Lihat saja, selama
kemerdekaan paling tidak sudah sembilan kurikulum diterapkan. Kurikulum 1947,
kurikulum 1964, kurikulum 1968, kurikulum 1974, kurikulum 1984, kurikulum
1994, kurikulum 2004 atau kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dan yang
terbaru kurikulum 2013. Akan tetapi, pergantian kurikulum juga tidak menjadikan
keadaan masyarakat, khususnya kesadaran atas pendidikan semakin baik.
Kurikulum yang terus berganti bahkan menjadi beban, tidak lagi
mengedepankan kualitas, tetapi justru memberi titik tekan pada kuantitas. Standar
pendidikan yang dipakai bukan lagi dengan tujuan untuk melahirkan pribadi kritis
dan dewasa susila, tetapi pribadi yang siap untuk berkompetisi. Keadaan ini justru
akan semakin menjauhkan masyarakat dari realitas sosialnya, karena mereka
hanya sibuk untuk mengejar target-target yang telah ditentukan. Tanpa
4
memperdulikan keberadaan manusia lain. Kompetisi hanya akan menumbuhkan
persaingan, sebaliknya mematikan kepedulian dan humanisme.
Hal ini dapat dilihat dari prestasi-prestasi siswa Indonesia dalam olimpiade
sains Internasional. Hampir setiap tahun Indonesia menjuarai perhelatan
Internasional tersebut. Di tahun 2012 saja, setidaknya Indonesia berhasil meraih 3
medali emas, 3 medali perak, dan 1 medali perunggu (Harian Kompas, 22 Juli
2012). Dan di tahun 2013, Indonesia keluar menjadi juara umum di ajang
Olimpiade Sains Internasional tersebut (Harian Seputar Indonesia, 24 Mei 2013).
Dibalik prestasi yang membanggakan tersebut, justru menimbulkan
keprihatinan karena tidak sedikit dari pelajar-pelajar berprestasi tersebut justru
memilih untuk pindah kewarganegaraan. Fenomena pindah kewarganegaraan
menjadi cambuk bagi dunia pendidikan Indonesia. Apakah hal ini terjadi karena
kualitas pendidikan Indonesia yang memang rendah atau karena rasa nasionalisme
atas negara sangat minim. Hal ini menjadikan aset-aset bangsa justru memilih
untuk melepaskan diri dari bangsa Indonesia.
Di sisi lain pendidikan belum mampu melahirkan budaya keterbukaan. Hal
ini ditandai dengan hubungan antara pendidik dan peserta didik yang disharmoni.
Peserta didik masih diposisikan sebagai objek yang menerima dan menuruti
segala perlakuan pendidik. Sebaliknya, pendidik memiliki kuasa penuh dalam
mengarahkan dan menentukan masa depan peserta didik. Kondisi ini akan
memberikan ruang lebih pada dominasi pendidik, namun mematikan kreatifitas
peserta didik. Peserta didik layaknya robot yang hanya bisa ‘mengangguk’. Tidak
memiliki kesadaran kritis untuk memaknai apa yang ada di sekitarnya.
5
Hal ini dapat dilihat dari tingkat budaya baca siswa Indonesia yang masih
rendah. Riset PISA (Programme for International Student Assessment, 2003)
menunjukkan kemampuan literasi membaca siswa hanya sebesar 69%, berada
cukup di level 1. Artinya hanya mampu membaca, tetapi tidak mampu menangkap
makna tema bacaan. Jika ditafsirkan lebih radikal lagi, siswa di Indonesia
memiliki minat baca rendah. Dalam waktu satu tahun (365 hari) rata-rata siswa
hanya membaca 27 halaman. Untuk satu halaman saja diperlukan waktu dua
pekan. Secara umum hal itu disebut sebagai tragedi “nol buku” (Prasetyo, 2011 :
99).
Anita Lie di dalam buku yang ditulis oleh Ign. Gatut Saksono (2008: 86)
mengatakan, kemerosotan mutu pendidikan di Indonesia merupakan masalah yang
sangat kompleks. Untuk mengatasi masalah ini ada banyak hal yang harus
dibenahi mulai dari sarana prasarana, mutu guru, kurikulum, dan evaluasi.
Kalangan pengamat dan praktisi pendidikan sepakat bahwa prioritas harus
diberikan kepada faktor utama penentu keberhasilan pendidikan yaitu guru.
Pembenahan dalam bidang apapun yang akan dilakukan tidak boleh melupakan
dan terlepas dari kerangka tujuan akhir, yakni mencerdaskan anak – anak bangsa.
Dengan kata lain setiap upaya pembenahan yang direncanakan harus
memperhatikan dan menempatkan kepentingan siswa sebagai anak didik.
Sikap guru yang berpotensi memainkan peran sebagai penindas peserta
didik perlu diluruskan. Guru tidak dapat dijadikan pusat pengetahuan secara total,
apalagi sekedar perulangan dari satuan baku kurikulum. Peran guru perlu
ditempatkan sebagai fasilitator, penjaga, pemberi petunjuk saat peserta didik
6
melakukan kesalahan atau tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai. Guru
tidak lagi dapat mendominasi pergerakan pengetahuan peserta didik, karena
kondisi ini hanya akan menjadikan peserta didik tumpul analisis, tidak kritis dan
tidak kreatif.
Efek pendidikan terhadap perkembangan dan perbaikan kehidupan
manusia sangat besar. Oleh karena itu perlu upaya untuk mengembalikan
pendidikan kepada tujuannya, selain itu pendidikan juga harus berbasis realitas.
Seperti yang dimaksudkan oleh Ki Hajar Dewantara dan Paulo Freire, tujuan
pendidikan adalah untuk memerdekakan manusia. Konsep pemikiran kedua tokoh
ini muncul dari latar belakang sosial yang hampir sama yaitu kultur masyarakat
tertindas. Hanya saja wilayah dan aktor yang berbeda. Ki Hadjar Dewantara
mengeluarkan konsep tersebut saat bangsa Indonesia dijajah oleh Belanda,
sedangkan Paulo Freire mengemukakan konsepnya ketika masyarakat Brazil
dijajah oleh penguasa yang otoriter dan represif. Keduanya memiliki substansi
yang sama, yaitu pendidikan seharusnya membuat orang menjadi lebih otonom,
tidak tergantung pada orang lain. Orang lain hadir bukan sebagai ordinat atau
subordinat, atau sebagai kompetitor, melainkan sebagai individu yang saling
memerlukan satu sama lain.
Menurut Ki Hadjar Dewantara (2004: 94), pendidikan yang
memerdekakan harus sesuai dengan kodrat manusia, yaitu sebagai subjek.
Manusia adalah pelaku yang harus terus memberi, bukan objek yang terus diberi.
Peran pendidik dan peserta didik adalah sama sebagai pelaku. Pendidik tidak
dapat mendominasi (memegang peran penuh) dalam proses pendidikan. Peran
7
pendidik dalam konsep Ki Hadjar Dewantara adalah sebagai pembimbing, sebagai
mitra dan sebagai pendorong tumbuh kembang peserta didik. Dari hubungan
tersebut akan tercipta suasana pendidikan yang humanis dan harmonis. Tanpa ada
dominasi salah satu pihak. Sistem pendidikan ini dikenal sebagai ‘sistem among’.
Di dalam pendidikan sistem among, baik pendidik atau peserta didik harus
menyadari keberadaan masing-masing. Keduanya saling mengisi satu sama lain.
Ada kalanya murid belajar dari guru, keduanya menjadi mitra dan sebaliknya guru
belajar dari murid. Tidak ada sumber pengetahuan mutlak. Pengetahuan dapat
diperoleh dari mana saja dan dari siapa saja. Dengan kedudukan yang sama antara
pendidik dan peserta didik, pendidikan akan berjalan secara humanis. Karena
komunikasi (dialog) akan terbangun dengan kultur keterbukaan.
Di dalam pendidikan merdeka, tradisi dialog, keterbukaan dan humanisme
menjadi hal utama, karena dengan ini manusia menjadi berkesadaran. Kesadaran
yang terbangun akan menghantarkan manusia pada nilai-nilai luhur yang terwujud
dalam budi pekerti. Budi pekerti inilah yang merupakan buah dari matangnya
kecerdasan manusia lahir dan batin. Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara
menempatkan kemerdekaan manusia bukan sekedar merdeka lahir tetapi juga
merdeka secara batin. Pendidikan dimaknai sebagai proses budaya yang berjalan
sepanjang hayat.
Di sisi lain, Paulo Freire tokoh pendidikan kritis Brazil (1921),
memperkenalkan konsep pendidikan alternatif yaitu pendidikan dialogis. Melalui
pendidikan dialogis, Paulo Freire membawa masyarakat Brazil kembali kepada
fitrahnya, yaitu manusia merdeka yang kritis dan kreatif. Freire menolak sistem
8
pendidikan “gaya bank” yang hanya menjadikan peserta didik sebagai objek yang
terus menerima. Menurut pendidikan gaya bank, peserta didik ibarat deposito
yang dapat diisi kapan saja, dengan muatan apa saja. Namun, bagi Freire ( 2007 :
vii), fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subjek, bukan penderita
atau objek. Panggilan manusia sejati adalah untuk menjadi pelaku yang sadar,
yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau mungkin
menindas. Dunia ini bukanlah sesuatu yang tercipta dengan sendiri, sehingga
manusia harus bersikap kritis dengan menggunakan bahasa pikiran. Di dalam
konteks pendidikan, Freire menyebutkan bahwa kedudukan pendidik dan peserta
didik adalah sama-sama sebagai subjek. Kedua pihak dapat saling mengisi, bukan
hanya diisi.
Manusia, bagi Freire adalah penguasa atas diri sendiri dan karena itu fitrah
manusia adalah menjadi merdeka, menjadi bebas. Ini merupakan tujuan akhir dari
humanisasi Paulo Freire. Humanisasi juga berarti pemerdekaan atau pembebasan
manusia dari situasi–situasi batas yang menindas di luar kehendak. Kaum
tertindas harus mampu membebaskan dan memerdekakan diri serta mampu
membebaskan kaum penindas dari penjara hati nurani yang tidak jujur telah
melakukan penindasan (Freire, 2007 : xi).
Jika ditarik kembali tawaran konsep pendidikan yang membebaskan dari
pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire, dengan pelaksanaan pendidikan
di Indonesia, hal tersebut masih jauh dari relevan. Pendidikan selama ini hanya
dimaknai sebatas alat untuk menentukan posisi seseorang dalam strata sosial
tertentu. Mereka yang berpendidikan akan mampu mengakses berbagai peluang
9
sosial, sedangkan mereka yang tidak berpendidikan atau terpaksa terputus dari
proses pendidikan, akan tersingkir dan menempati kasta paling bawah dalam
masyarakat. Sehingga pendidikan masih berada dalam konsep menara gading,
yang hanya bisa dinikmati oleh kaum borjuis, yang dalam bahasa Ki Hadjar
Dewantara dan Paulo Freire adalah kaum penjajah (penindas). Pendidikan yang
seperti ini hanya berusaha mempertahankan status quo dalam strata sosial yang
timpang sebagai manifestasi penindasan.
Penindasan yang terjadi dalam pendidikan, terutama diera modern ini
bukan sekedar penindasan secara fisik tapi juga penindasan secara nilai (value).
Secara nilai, para pemuda telah tercerabut dari budaya bangsa, mereka lebih akrab
dengan budaya-budaya barat. Tradisi hedonisme, individualisme dan materialisme
menjadi watak yang akrab dengan pemuda. Hal ini dapat dilihat dari tindak
kekerasan yang sering dilakukan oleh pelajar, seperti tawuran antar sekolah,
perkelahian antar ‘geng’, tindak kriminal, bahkan kekerasan senior pada junior.
Berbagai tindakan menyimpang di atas dapat dipastikan tidak dapat terlepas dari
apa yang diberikan oleh lembaga pendidikan kepada peserta didik. Pendidikan
yang sejak awal dijadikan sandaran dalam membentuk karakter luhur, justru
menjadi tempat reproduksi kekerasan.
Penjajahan moral menjadi masalah yang sangat mengerikan karena selain
merenggut kecerdasan jasmani, juga merenggut kecerdasan intelektual, serta
karakter luhur bangsa. Masyarakat Indonesia cenderung tumbuh menjadi
masyarakat asusila, tidak bermoral, tidak berbudi pekerti, sedangkan budi pekerti
merupakan ciri masyarakat yang merdeka secara kodrati, yaitu merdeka secara
10
batin. Dengan kemerdekaan batin seseorang mengedepankan akal budi, nurani dan
moral dalam setiap tindakannya. Melalui kemerdekaan batin, seseorang dapat
membedakan antara tindakan baik dan buruk. Inilah values yang saat ini telah
hilang dalam masyarakat Indonesia.
Dengan realitas di atas, pendidikan perlu dirumuskan ulang sebagai proses
yang memiliki tujuan akhir untuk pengenalan manusia kepada hakikat dirinya,
realitas sosial yang dihadapinya, serta akar budaya yang menjadi karakternya.
Latar belakang tersebut menjadikan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang “Konsep Kebebasan Dalam Pendidikan Menurut Ki Hadjar Dewantara
dan Paulo Freire”. Pemikiran kedua tokoh pendidikan ini menjadi pokok kajian
karena, kedua tokoh pendidikan tersebut memiliki tujuan yang sama atas
pendidikan, yaitu sebagai proses humanisasi untuk pembebasan. Kedua tokoh ini
juga memiliki latar belakang kehidupan yang sama, berasal dari dunia ketiga,
yang relatif memiliki kultur serupa. Komparasi pemikiran kedua tokoh diharapkan
mampu menjadi rujukan dalam mewujudkan pendidikan Indonesia yang lebih
relevan. Pendidikan haruslah memerdekakan secara lahir dan batin, juga bersifat
humanis dan harmonis. Hal ini menjadi perlu agar pendidikan mampu melahirkan
pribadi-pribadi yang kritis dan dewasa susila.
1. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Apakah yang dimaksud dengan kebebasan dalam pendidikan?
11
b. Bagaimana pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire
tentang kebebasan pendidikan?
c. Bagaimana relevansi pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Paulo
Freire terhadap permasalahan pendidikan di Indonesia?
2. Keaslian penelitian
Fokus kajian dalam penelitian ini adalah hakikat kebebasan dalam
pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire. Dalam penelitian ini
akan dipaparkan sejauh mana komparasi pemikiran pendidikan yang
membebaskan menurut Ki Hadjar Dewantara maupun Paulo Freire.
Sejauh penelusuran yang dilakukan peneliti, sampai saat ini hasil
penelitian mengenai konsep kebebasan dalam pendidikan menurut Ki Hadjar
Dewantara dan Paulo Freire, belum pernah dilakukan. Akan tetapi, sudah banyak
dilakukan penelitian baik itu dalam bentuk skripsi maupun tesis yang meneliti
tentang konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara maupun Paulo Freire, antara
lain:
a. Skripsi S1 Fakultas Filsafat UGM, berjudul “Aspek Kosmologis Pada
Kodrat Alam dalam Konsep Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara”
oleh Adhika Mudji W. Penelitian ini membahas tentang pemikiran
pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam konteks sejarah hidupnya. Ki
Hadjar Dewantara dilihat sebagai tokoh revolusioner yang berani melawan
ketidakadilan pada pribumi di zaman penjajahan, sekaligus sebagai sosok
yang turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan. Konteks
12
pendidikan yang ditawarkan, Ki Hadjar Dewantara mendekatkan antara
budaya dan pendidikan, sehingga pendidikan setiap bangsa dilihat sebagai
sesuatu yang khas dan identik dengan tujuan hidup sebuah bangsa.
Pendidikan juga ditekankan memiliki ikatan untuk membentuk manusia
paripurna, merdeka lahir dan batin, dengan keluhuran budi, serta kekuatan
jasmaninya. Kodrat alam menjadi aspek penting yang diajarkan, agar
manusia tumbuh secara selaras dan seimbang sebagai sebuah pedoman
hidup manusia.
b. Skripsi S1 Fakultas Filsafat UGM, berjudul “Pendidikan Sistem Among
Menurut Ki Hadjar Dewantara (Suatu Tinjauan Filsafat Pendidikan
Progresivisme)” oleh Hening Nugroho. Penelitian ini membahas tentang
metode pendidikan berdasarkan pola asuh seperti yang ditawarkan Ki
Hadjar Dewantara, yang kemudian oleh penulis dilihat dari pandangan
filsafat progresifisme.
c. Skripsi S1 Fakultas Filsafat UGM, berjudul “Konsep Pendidikan
Alternatif Paulo Freire: Sebuah Perspektif Bagi Persoalan Pendidikan Di
Indonesia” oleh Rr. Siti Murtiningsih. Penelitian ini membahas tentang
konsep pendidikan alternatif Paulo Freire, yaitu pendidikan dialogis dan
liberatif yang memposisikan siswa sebagai subjek, dan menolak konsep
pendidikan gaya bank.
d. Skripsi S1 Fakultas Filsafat UGM, berjudul “Konsep Pendidikan Dialogis
Menurut Paulo Freire” oleh Roganda S.U. Solin. Penelitian ini membahas
tentang tradisi pemikiran pendidikan secara hermeneutik dari berbagai
13
generasi pemikiran, kemunculan pendidikan kritis sebagai antithesis dari
pendidikan konvensional yang membelenggu, adapun pendidikan kritis
yang ditawarkan Paulo Freire merupakan konsep pendidikan dialogis yang
sesuai dengan kodrat manusia yang merdeka.
e. Skripsi S1 Fakultas Filsafat UGM, berjudul “Humanisme Pendidikan
Paulo Freire dalam Perspektif Liberasionisme” oleh Briane Novianti
Syukmita. Penelitian ini membahas tentang pendidikan yang
membebaskan Paulo Freire yang ditinjau dari liberasionisme. Dalam
skripsi ini ditekankan pendidikan yang humanis.
f. Tesis S2 Fakultas Filsafat UGM, berjudul “Integrasi Relitas Sosial dalam
Pendidikan (Studi Komparatif Atas Konsep Pendidikan Hadap Masalah
Paulo Freire dan Y.B. Mangunwijaya )” oleh Firdaus. Penelitian ini
membahas tentang konsep hadap masalah dalam pendidikan yang
terkandung dalam pemikiran dua tokoh penting, Paulo Freire dan Yb.
Mangun Wijaya. Kedua tokoh ini menekankan kemampuan konsep
pendidikan yang memberanikan kaum tertindas untuk menuntut
kebebasan, model pendidikan yang menjadikan siswa tanggap akan
masalah dirinya dan lingkunganya, penekanan model dialogis yang
memberikan ruang emansipasionis dalam melihat permasalahan
pendidikan.
g. Tesis S2 Fakultas Filsafat UGM, berjudul “Konsep Konsientisasi dalam
Pendidikan menurut Paulo Freire” oleh Rr. Siti Murtiningsih. Penelitian
14
ini membahas tentang konsep konsientisasi dalam pendidikan menurut
Paulo Freire serta relevansinya dengan pendidikan di Indonesia.
h. Tesis S2 Fakultas Filsafat UGM, berjudul “Konsep Kemerdekaan diri
dalam pendidikan demokratis menurut Ki Hadjar Dewantara” oleh Runi
Hariantati. Penelitian ini membahas tentang konsep kemerdekaan diri atas
pendidikan menurut perspektif pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Dalam
tesis ini dijelaskan bahwa kemerdekaan diri merupakan kebebasan yang
terikat, sehingga individu tidak dapat berbuat sewenang – wenang. Konsep
kemerdekaan diri menurut Ki Hadjar Dewantara mempunyai sifat yang
otonom, kemerdekaan diri tercermin dalam disiplin pribadi, menjunjung
tinggi kedaulatan pribadi, merupakan tanggung jawab individu dan
merupakan kodrat alam.
Dari sekian penelitian yang pernah dilakukan belum ada penelitian yang
sama seperti yang diambil oleh peneliti. Oleh karena itu, penelitian ini layak untuk
dilakukan.
3. Manfaat penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut:
a. Bagi Peneliti
Penelitian ini bagi peneliti diharapkan dapat memperluas wawasan dan
memperkaya metode berpikir, sehingga dapat lebih mempertajam kemampuan
peneliti dalam menganalisis suatu permasalahan dalam diskursus keilmuwan
15
filsafat, secara khusus tentang konsep pendidikan humanis yang membebaskan
dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire.
b. Bagi Keilmuan dan Akademik
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di
dalam wilayah keilmuwan filsafat secara khusus dan kepada ilmu pengetahuan
secara umum, yakni berupa penelitian tentang konsep kebebasan dalam
pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire. Hasil penelitian ini
dapat dijadikan bahan kajian agar tetap berpikir kritis.
c. Bagi Masyarakat
Penelitian ini bagi masyarakat dapat memberikan pengetahuan kepada
masyarakat secara umum mengenai pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Paulo
Freire tentang pendidikan. Diharapkan masyarakat mampu bersikap lebih terbuka
dan memahami bahwa pendidikan bukanlah sekedar sarana untuk mendapatkan
hal praktis, melainkan nilai-nilai serta makna filosofis, secara khusus terkait
dengan cita-cita luhur bangsa atas pendidikan. Pendidikan adalah alat perjuangan
untuk pembebasan.
B. Tujuan Penelitian
Sebagai suatu penelitian ilmiah, penelitian ini bertujuan untuk menjawab
persoalan dalam rumusan masalah yaitu:
a. Mendeskripsikan konsep kebebasan dalam pendidikan secara
mendalam, baik secara teoritik maupun makna bagi kehidupan
serta hakikatnya.
16
b. Mendeskripsikan pokok pikiran Ki Hadjar Dewantara dan Paulo
Freire tentang pendidikan.
c. Menganalisis konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Paulo
Freire terhadap permasalahan pendidikan yang terjadi di Indonesia.
C. Tinjauan Pustaka
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire memberi pengaruh besar
terhadap perkembangan pendidikan dunia ketiga, khususnya Indonesia dan Brazil.
Pemikiran tentang pendidikan yang bertujuan pada pembebasan manusia dengan
motode dialog menjadi alternatif atas permasalahan pendidikan. Peneliti
menemukan beberapa tulisan ilmiah yang membahas konsep pendidikan Ki
Hadjar Dewantara dan Paulo Freire. Tulisan-tulisan tersebut antara lain:
Tulisan yang disusun oleh Adhika Mudji W. Adhika menjelaskan bahwa
Ki Hadjar Dewantara adalah tokoh revolusioner yang berani melawan
ketidakadilan pada kaum pribumi di zaman penjajahan, sekaligus sebagai sosok
yang turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan. Konteks pendidikan yang
ditawarkan Ki Hadjar Dewantara mendekatkan antara budaya dan pendidikan,
sehingga pendidikan setiap bangsa dilihat sebagai sesuatu yang khas dan identik
dengan tujuan hidup suatu bangsa. Pendidikan juga ditekankan memiliki ikatan
untuk membentuk manusia paripurna yang merdeka lahir dan batin, dengan
keluhuran budi serta kekuatan jasmani. Kodrat alam menjadi aspek penting yang
diajarkan agar manusia tumbuh secara selaras dan seimbang sebagai sebuah
pedoman hidup manusia.
17
Tulisan lain yang membahas tentang pemikiran pendidikan Ki Hadjar
Dewantara adalah tulisan Hening Nugroho. Ia menjelaskan bahwa sistem among
merupakan metode yang sesuai untuk pendidikan karena merupakan metode
pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan atas asih, asah dan asuh (care and
dedication based on love) (Nugroho,2011 : 2). Dalam tulisan ilmiah ini dijelaskan
bahwa pendidikan sistem among bersendikan pada dua hal yaitu, kodrat alam
sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-
cepatnya dan kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan
menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak hingga dapat hidup mandiri.
Selain tulisan tentang konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara, ada juga
tulisan tentang Paulo Freire, seperti yang ditulis oleh Siti Murtiningsih, dalam
tulisan ini disebutkan bahwa pendidikan yang membebaskan hanya bisa dicapai
melalui dialog. Akan tetapi, model pendidikan yang selama ini digunakan adalah
pendidikan tradisional dengan model pendidikan paternalistik, anti dialog dan
cenderung otoriter (Murtiningsih,1995 : 2).
Menurut Sartono Kartodirjo, adanya kecenderungan memompa otak dan
memori anak didik dengan pendidikan yang verbalistik, menimbuni otak dengan
kata-kata, bukan dengan pengertian yang sebenarnya, adalah menyiksa dan
mengeksploitasi anak didik (Budiawan,1992 : -). Anak didik dipandang sebagai
objek, bukannya sebagai subjek didik, sehingga yang terjadi adalah penindasan
intelektual baik terhadap anak didik maupun terhadap pendidik sendiri, sementara
dialogis sebagai syarat utama pun tidak tercipta.
18
Pendidikan hanya menjadikan anak sebagai deposito yang bisa diisi kapan
saja sesuai dengan kehendak pendidik. Sistem ini dikenal disebut dengan
pendidikan “gaya bank”. Di dalam model pendidikan gaya bank, peserta didik
hanya diposisikan sebagai objek yang menerima apa yang dikehendaki oleh
pendidik. Tidak ada komunikasi dan keterbukaan didalam proses belajar. Peserta
didik haruslah patuh dan tunduk dengan apa yang disampaikan oleh pendidik.
Dengan tradisi seperti ini peserta didik hanya akan diam menerima apa yang
disunguhkan, tanpa kepekaan unntuk melakukan hal lain yang berasal dari
kesadarannya (Murtiningsih,1998 : 5).
Roganda S.U Solin di dalam tulisan ilmiahnya mengutip kata-kata
Mangunwijaya (1994:113) bahwa semua negara yang beradap dan demokratis
mengakui pendidikan sebagai hak primer. Maka pendidikan sebagai hak primer
harus menjadi proses dialektis antar manusia, karena sejak lahir manusia sudah
diberikan bekal pendidikan oleh orang tua di rumah, kemudian mendapat
pendidikan dalam lingkungan sekolah, dan pada akhirnya manusia menemukan
pendidikan dari interaksi sosial dengan lingkungan masyarakat (Roganda,2007 :
3).
Dialog menjadi hal penting dalam pendidikan, melalui dialog yang syarat
akan tradisi keterbukaan akan menghantarkan peserta didik pada kesadaran
realitasnya. Peserta didik akan senantiasa mendapatkan tantangan baru dari
dialog-dialog yang segar. Dengan tradisi yang dialogis, keterbukaan berpikir akan
terwujud, sehingga peserta didik akan tumbuh dan memahami realitas yang ada di
dalam dunianya dengan kesadaran yang telah terbangun.
19
Tulisan lain tentang Paulo Freire yaitu humanisme pendidikan yang ditulis
olah Briane Novianti Syukmita. Dalam tulisan ini disebutkan bahwa pendidikan
semestinya mampu membentuk manusia yang peka dan sadar sosial
(Syukmita,2011 : 6). Menurut Paulo Freire (Moh.Yamin,2009 : 200), pendidikan
bertujuan untuk memanusiakan manusia, membangkitkan kesadaran kritis dan
transformatif untuk mengubah nasib kehidupan yang sedang terpuruk menuju
kebangkitan, dan mengangkat masyarakat tertindas menuju ke kelas bermartabat
dan berkemanusiaan dan memiliki hak sama dengan masyarakat lainnya baik
untuk dihormati, dihargai maupun beraktualisasi diri.
Selain itu, Firdaus dalam tulisan ilmiahnya menyebutkan, pendidikan agar
tidak kehilangan makna, maka pendidikan harus mempunyai kedudukan strategis
dan memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia
berkualitas. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk menciptakan model
pendidikan yang sesuai dengan kultur masyarakat, karena penerapan pendidikan
tidak bisa dipaksakan menurut selera pengelola pendidikan, tetapi yang lebih
penting adalah memperhatikan keinginan masyarakat akan pendidikan dan
tuntutan dunia pendidikan itu sendiri (Firdaus,2003 : 6).
Di dalam tulisan Firdaus (Firdaus,2003 : 1), dijelaskan juga bahwa
pendidikan pada dasarnya diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia
dari berbagai persoalan hidup yang melingkupinya. Pendidikan bagi Freire
merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi manusia menjadi
manusia agar terhindar dari berbagai bentuk penindasan, kebodohan, sampai
kepada ketertinggalan (Freire,2002 : 12-13).
20
Siti Murtiningsih di dalam tulisan ilmiahnya tentang konsep konsientisasi
Paulo Freire menuliskan bahwa pendidikan sebagai sebuah sub-sistem dari suatu
sistem sosial makro tidak terlepas dari persoalan situasi sosial yang
melingkupinya. Sistem pendidikan pada negara-negara berkembang dalam hal ini
berlangsung dalam sebuah budaya yang sifatnya paternalistik, disebabkan masih
dominannya sikap sisa-sisa feodal dalam masyarakatnya. Pendidikan pada kondisi
masyarakat seperti ini tidak dipusatkan pada peseta didik sehingga anak tidak
dapat berkembang secara optimal sesuai dengan potensi dan kemampuannya.
Peserta didik dianggap sebagai suatu bejana kosong yang harus secara terus
menerus diisi pengetahuan (Freire,1972 : 49). Proses pendidikan dalam kerangka
transfer ilmu pengetahuan dan teknologi akibatnya tidak berjalan dengan efektif.
Hasil manusia terdidik yang dicapaipun tidak mampu bersikap kritis dan kreatif.
Runi Hariantati menuliskan, untuk mengembangkan potensi peserta didik,
maka diperlukan “konsep sebagai gagasan” yang memberi arah secara teoritis.
Gagasanpun akan dapat berkembang jika diberi kesempatan yang berupa
kebebasan sehingga berbaur dan berpadu pada dengan kenyataan serta kebutuhan
(Hariantati,2002 : 2).
Mengingat pentingnya pendidikan sebagai proses penyadaran dalam upaya
menghantarkan manusia pada kemanusiaannya yang sejati, maka sudah
seharusnya pendidikan memiliki orientasi ke arah seperti yang dimaksudkan.
Pendidikan harus menjadi alat untuk menghantarkan menusia menuju
kemandirian pribadi. Pendidikan yang membebaskan harus syarat akan
21
keterbukaan dan nilai-nilai luhur kemanusiaan agar manusia tumbuh menjadi
pribadi yang humanis dan penuh cinta kasih.
Hal ini seperti apa yang dimaksudkan oleh Ki Hadjar Dewantara yaitu
pada mulanya asas kemerdekaan diri merupakan usaha untuk menentang kaum
penjajah, tidak hanya dengan kekerasan, melainkan dengan memberikan
pendidikan dan pengajaran sebagai penyebar benih hidup merdeka. Selain itu juga
pendidikan dan pengajaran adalah usaha untuk mempertinggi derajat kemanusiaan
yakni bagi kehidupan bangsa, serta usaha mencerdaskan rakyat jajahan (Ki Hadjar
Dewantara,1977 : 110). Berdasarkan asas kemerdekaan tersebut, Ki Hadjar
Dewantara menyebukan bahwa manusia yang merdeka yaitu manusia yang secara
lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas
kekuatan sendiri (Dewantara,2004 : 3).
Sedangkan, kemerdekaan manusia secara pribadi tidak mungkin dicapai
melalui pendidikan paternalistik yang memenjarakan peserta didik dengan sistem
yang mengedepankan pendidikan sebagai alat untuk mensuplai pengetahuan
sebanyak-banyaknya. Hanya melalui pendidikan berbasis penyadaran maka
kemerdekaan manusia dapat tercapai, yaitu sadar akan nilai-nilai dan realitas yang
dihadapi.
Metode pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang dikenal dengan sistem
among, yaitu dengan cara menyokong kodrat alam anak-anak sebagai peserta
didik, agar dapat mengembangkan kehidupan lahir dan batin menurut kodrat
masing-masing anak. Pengetahuan dan kecerdasan jangan dianggap sebagai
tujuan pendidikan, tetapi semua itu hanya sebagai alat. Hasil dari pendidikan yaitu
22
jiwa yang matang, yang dapat mewujudkan hidup dan penghidupan yang tertib
dan suci, serta bermanfaat bagi orang lain (Dewantara,2004 : 94).
Pendidikan secara umum berarti daya upaya untuk memajukan
pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan
tumbuh anak. Ketiga hal ini tidak dapat dipisahkan agar dapat memajukan
kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang dididik
selaras dengan dunia. Oleh karena itu pasal-pasal di bawah ini harus diutamakan:
a) Segala alat, usaha dan cara pendidikan harus sesuai dengan kodrat
keadaan (natuurlijkheid, realiteit) peserta didik.
b) Alam kodrat tersimpan dalam adat istiadat setiap rakyat, menjadi satu
dengan sifat perikehidupan sendiri-sendiri, sifat-sifat yang ada terjadi
karena bercampurnya semua usaha dan daya upaya untuk mencapai
hidup tertib damai.
c) Adat-istiadat sebagai sifat perikehidupan tidak dapat dilepaskan dari
tempat adat istiadat itu berkembang. Adat istiadat bersifat dinamis.
d) Untuk mengetahui garis hidup yang tetap dari suatu bangsa, maka perlu
mempelajari sejarah, sejarah menjadi bekal kehidupan di masa sekarang,
dan apa yang terjadi sekarang adalah gambaran zaman yang akan datang.
e) Pengaruh baru diperoleh dari percampuran suatu bangsa dengan bangsa
yang lain. Percampuran budaya ini dapat terjadi dengan mudah karena
modernisasi kehidupan. Kewaspadaan penting untuk memilih mana yang
baik dan yang buruk, sedangkan kemajuan ilmu pengetahuan terjadi
23
karena kebaikan Tuhan untuk manusia di seluruh dunia (Dewantara,2004
: 15).
Menurut Ki Hadjar Dewantara (2004 : 28) ada beberapa cara yang dapat
digunakan untuk mendidik anak, antara lain:
a) Memberi contoh
b) Pembiasaan
c) Pengajaran
d) Perintah, paksaan dan hukuman
e) Tingkah laku
f) Pengalaman lahir dan batin.
Sistem pemikiran pendidikan yang mengedepankan pada kemerdekaan
peserta didik seperti apa yang dimaksudkan oleh Ki Hadjar Dewantara juga
dipelopori oleh Paulo Freire. Pendidikan yang berorientasi pada penyadaran dan
kemerdekaan manusia menjadikan konsep pendidikan Paulo Freire banyak
diminati oleh pemikir pendidikan modern. Dialog menjadi kunci dari konsep
pendidikan Freire.
Menurut Freire, fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subjek,
bukan penderita atau objek. Penggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang
sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau mungkin
menindasnya. Dunia dan realitas atau realitas dunia ini bukan sesuatu yang ada
dengan sendiri dan karena itu harus diterima menurut apa adanya sebagai suatu
takdir yang tidak terelakkan, semacam mitos. Manusia harus menggeluti dunia
24
dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya cipta, dan hal itu berarti
diperlukan adanya sikap orientatif yang merupakan pengembangan bahasa pikiran
(thought of language), yaitu bahwa secara hakikat manusia mampu memahami
keberadaan diri dan lingkungan dunia dengan bekal pikiran dan tindakan praksis
yang dilakukan dengan cara merubah dunia dan realitas (Freire,2007 : viii).
Bagi Freire (2007 : 29) manusia adalah penguasa atas diri, dan karena itu
fitrah manusia adalah menjadi merdeka, menjadi bebas. Ini merupakan tujuan
akhir dari humanisasi Freire. Humanisasi yang dimaksudkan oleh Freire adalah
sebuah kondisi sejajar antar manusia yang satu dengan yang lain. Dominasi atas
salah satu pihak merupakan sebuah bentuk penindasan, sehingga keadaan-keadaan
tersebut harus dilawan. Pendidikan harus berorientasi kepada pengenalan realitas
diri manusia dan diri sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat objektif
atau subjektif, tetapi harus objektif dan subjektif.
Menurut Freire (2007 : 29), belajar adalah sebuah bentuk penemuan
kembali (reinventing), penciptaan kembali (recreating), penulisan ulang
(rewriting). Ketiga bentuk ini hanya bisa dilakukan oleh subjek. Pendidikan kita
selama ini menurut Chaedar Alwasih (1993: 23) hanya berfungsi untuk
membunuh kreativitas siswa, karena lebih mengedepankan aspek verbalisme.
Verbalisme merupakan suatu asas pendidikan yang mengedepankan hapalan,
bukan pemahaman, mengedepankan formulasi daripada substansi, lebih dalam
lagi menyukai keseragaman, bukan kemandirian serta huru-hara klasikal, bukan
petualangan intelektual (Yunus,2004 : ix).
25
Penentuan kebijakan yang diturunkan dalam kurikulum pendidikan dan
peraturan lain cenderung menambah beban peserta didik. Jam belajar di sekolah
justru menyita waktu peserta didik yang notabene usia mereka adalah usia
bermain. Selain beban jam pelajaran yang tinggi, muatan materi yang disuguhkan
dalam kurikulum pendidikan jauh dari apa yang dialami oleh peserta didik.
Kondisi ini semakin menjadikan peserta didik terasing dari realitas sekitarnya dan
menjadikannya hanya manerima pengetahuan tanpa kemampuan untuk
menerjemahkan sebagai upaya menjawab permasalahan kehidupanya.
Unsur-unsur pendidikan yang harus dilibatkan dalam hubungan dialektis
adalah pengajar, pelajar atau anak didik dan realitas dunia. Pengajar dan anak
didik adalah subjek yang sadar, dan dunia adalah objek yang disadari (Freire,2007
: ix). Dialog adalah metode kunci dalam konsep pendidikan Freire, melalui dialog
pendidik dan peserta didik melakukan komunikasi dua arah yang terjalin secara
terbuka. Dengan adanya keterbukaan melalui dialog, pendidikan dalam bentuk
doktrinasi dapat dihindarkan.
Konsep dialog adalah metode yang tepat untuk mendapatkan pengetahuan,
maka subjek harus menggunakan pendekatan ilmiah dalam berdialektika dengan
dunia sehingga dapat menjelaskan realitas secara benar. Bagi Freire (2007 : 105),
mengetahui tidak sama dengan mengingat atau mengoleksi sesuatu yang
sebelumnya telah diketahui dan yang sekarang terlupakan. Doxa tidak dapat
digantikan dengan yang terpisah dari hubungan dialektikal antara manusia dengan
dunia, atau terpisah dari aksi reflektif manusia.
26
Secara esensial dialog didefinisikan Freire sebagai kata yang disusun oleh
refleksi dan aksi. Kata yang diungkapkan tanpa tindakan (atau maksud tindakan)
adalah verbalisme, dan perkataan tanpa refleksi merupakan aktivisme. Dalam
analisis Freire dialog yang penuh harapan merupakan tindakan revolusioner,
sebagai pengetahuan empiris yang bertemu dengan pengetahuan kritis, karena
bagi Freire tidak boleh ada pemisahan antara aksi dan refleksi, maka Freire
menyamakan dialog dengan tindakan revolusioner (Yunus,2004 : 46).
Dialog merupakan roh dari pelaksanaan pendidikan, dalam dialog akan
bisa dilakukan transformasi berupa penanaman nilai kejujuran, keadilan,
kemanusiaan, ketidaksetiakawanan, profesionalitas, keluhuran, kedisiplinan, dan
ketulusan. Dialog menjadi penting karena bukan sekedar transfer ilmu, tetapi
pembentukan karakter. Proses pengkarakteran ini terkait dengan realitas
kehidupan nyata. Selama ini lebih banyak proses belajar membahas pada sesuatu
yang abstrak, tidak sesuai dengan kehidupan sebenarnya. Dalam pendidikan
membebaskan, realitas hidup sehari-hari menjadi pijakan untuk direfleksikan
dalam berbagai ilmu pengetahuan di bangku sekolah (Freire dalam Susetyo,2005 :
155).
Pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire merupakan
konsep pendidikan merdeka, yang menjadikan pendidikan sebagai alat untuk
menghantarakan manusia pada kesadaran tertinggi kemanusiaannya yaitu pribadi
yang humanis. Pribadi yang humanis ini ditandai dengan tumbuhnya karakter
penuh cinta kasih terhadap sesama, setiap manusia adalah memiliki kedudukan
yang sama. Sehingga dominasi manusia atas manusia yang lain adalah bentuk
27
penindasan, sebuah upaya penjajahan. Pendidikan harus mengedepankan bakat
dan potensi yang dimiliki peserta didik, serta tidak dapat dilepaskan dari realitas
sosial.
Dari uraian singkat mengenai penelitian-penelitian di atas belum ada yang
secara langsung membahas mengenai Konsep Kebebasan Dalam Pendidikan
Menurut Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire.
D. Landasan Teori
Dewasa ini terdapat perbandingan kontras antara gaya pendidikan
tradisional dengan gaya pendidikan liberatif. Bagi pendidikan gaya tradisional
materi pokok pendidikan terdiri dari seluruh perangkat informasi dan
keterampilan yang telah dihasilkan dimasa lampau, karena itu tujuan utama
sekolah adalah mewariskan segala pengetahuan kepada generasi baru. Hal ini
dilakukan untuk mempersiapkan generasi muda agar mampu bertanggungjawab
dikehidupan masa depan, dan demi keberhasilan dalam hidup mereka lewat proses
penguasaan atas seperangkat informasi dan berbagai bentuk keterampilan yang
telah disiapkan menjadi bahan pengajaran. Sedangkan bagi pendidikan liberatif
menekankan pada kebebasan peserta didik.
Aliran pendidikan liberatif adalah aliran pendidikan yang menjadikan
pendidikan sebagai proses untuk kemerdekaan manusia. Kemerdekaan yang
dimaksudkan adalah kemerdekaan secara pribadi dan kemerdekaan secara sosial.
Aliran pendidikan liberatif yang sekiranya cocok untuk mengkaji penelitian ini
adalah aliran pendidikan progresivisme dan rekonstruksionisme.
28
E. Metode Penelitian
1. Bahan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode
penelitian pustaka. Bahan dan materi penelitian akan diperoleh melalui
penelusuran pustaka, yaitu data yang diperoleh dari buku, jurnal dan tulisan lain
yang berkaitan dengan kebebasan dalam pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan
Paulo Freire. Setelah diperoleh data pustaka, kemudian pustaka terbagi menjadi
dua, yaitu pustaka primer dan pustaka sekunder.
a. Pustaka primer
Pustaka primer merupakan sumber-sumber utama dari bahan dan objek
materi serta objek formal penelitian. Pustaka primer yang digunakan adalah
sebagai berikut:
1). Buku Menggugat Pendidikan. Fundamentalis, Konservatif,
Liberatif, Anarkis. Tahun 1999. Penerbit: Pustaka Pelajar.
2). Buku Pendidikan. Karya Ki Hadjar Dewantara. Tahun 2004.
Penerbit Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Yogyakarta.
3). Buku Politik Pendidikan. Kebudayaan, Kekuasaan dan
Pembebasan. Karya Paulo Freire. Tahun 2007. Penerbit: REaD
(Research, Education and Dialogue). Yogyakarta.
4). Buku Pendidikan Kaum Tertindas. Karya Paulo Freire. Tahun
1985. Penerbit LP3ES. Jakarta.
29
5). Buku Pendidikan Alat Perlawanan. Teori Pendidikan Radikal
Paulo Freire. Karya Siti Murtiningsih. Tahun 2004. Penerbit: Resist
Book. Yogyakarta.
6). Buku Conscientizacao. Tujuan Pendidikan Paulo Freire. Karya
William A. Smith. Tahun 2008. Penerbit: Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
7). Buku Paulo Freire. Kehidupan, Karya dan Pemikirannya. Karya:
Denis Collins. Tahun 2011. Penerbit: Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
b. Pustaka sekunder
Pustaka sekunder merupakan sumber – sumber pendukung penelitian yang
berasal dari buku, jurnal, artikel atau tulisan lain yang berhubungan dengan
konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire. Pustaka sekunder yang
digunakan adalah sebagai berikut:
1) Buku Pengalaman dan Pendidikan. Karya John Dewey. Tahun
2002. Penerbit: Kepel Press. Yogyakarta.
2) Buku Pendidikan Yang Membebaskan Siswa. Karya Ign. Gatut
Saksono. 2008. Penerbit: Rumah Belajar Yabinkas. Yogyakarta.
3) Buku Aliran Baru dalam Pendidikan. Karya Ag. Soejono. C.V.
Ilmu. Bandung
4) Buku Pendidikan Berbasis Realitas Sosial. Karya Firdaus M.
Yunus. Tahun: 2004. Logung Pustaka. Yogyakarta
5) Buku Percakapan dengan Sidney Hook. Karya Harsja W. Bachtiar.
Tahun 1976. Djambatan. Jakarta
30
6) Buku Menjadi Guru Merdeka. Petikan Pengalaman. Karya Ira Shor
dan Paulo Freire. Tahun: 2001. LKiS. Yogyakarta
7) Buku Sekolah Kapitalisme yang Licik. Karya Paulo Freire. Tahun:
1998. LKiS. Yogyakarta
8) Buku Pendidikan Pada dan Setelah Krisis. Karya Darmaningtyas.
Tahun 1999. Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta
9) Buku Rabindranath Tagore Sebagai Pendidik. Karya H.J van den
Berg. Soeroengan. Jakarta.
10) Buku Filsafat Pendidikan. Karya Suparlan Suhartono. Tahun
2006. Penerbit Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.
11) Buku Metodologi Penelitian Filsafat. Karya Anton Bakker dan
Achmad Charis Zubair. Tahun 1990. Penerbit: Kanisius. Yogyakarta.
2. Jalan Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti mencoba untuk memahami pemikiran Ki
Hadjar Dewantara dan Paulo Freire sebagai objek material secara tekstual maupun
kontekstual, kemudian peneliti akan menyampaikan kembali dan menganalisis
menggunakan konsep kebebasan dalam pendidikan sebagai objek formal.
Adapun langkah yang diambil dalam penelitian ini berjalan berdasarkan
tahap demi tahap yaitu sebagai berikut:
a. Pengumpulan data
Pada tahap pertama ini dilakukan upaya mengumpulkan data kepustakaan
yang berhubungan dengan tema penelitian, baik itu yang berhubungan dengan
31
objek material ataupun objek formal. Sumber data yang digunakan antara lain dari
buku, jurnal, makalah, artikel, dll.
b. Klasifikasi data
Setelah pengumpulan data, tahap selanjutnya adalah memisahkan data
penelitian kedalam data primer atau data sekunder. Hal ini dimaksudkan agar
mempermudah aras berpikir (konsepsi) penelitian.
c. Analisis data
Analisis data mencakup penguraian masalah sesuai objek material dan
objek formal kemudian dideskripsikan dan dianalisis. Pada tahap ini, pembahasan
tentang objek material tentang pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan
Paulo Freire. Pembahasan objek formal dengan menggunakan konsep kebebasan
dalam pendidikan.
d. Refleksi kritis
Merupakan tahapan penelitian dengan cara memberikan argumentasi atau
pemikiran kritis peneliti secara pribadi atas permasalahan yang diangkat dalam
penelitian.
3. Analisis Hasil
Penelitian ini menggunakan model penelitian komparatif dan dengan
metode hermeneutika filosofis. Adapun unsur-unsur metodisnya meliputi,
(Bakker&Zubair,1990 :85-88),
1) Deskripsi
Memberi gambaran mengenai konsep kebebasan dalam pendidikan, dan
memaparkan pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire tentang
32
pendidikan, juga refleksi terhadap permasalahan pendidikan di Indonesia
seobjektif mungkin sesuai dengan data yang dipilih.
2) Interpretasi
Memahami dan menafsirkan pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Paulo
Freire tentang konsep kebebasan dalam pendidikan, juga perkembangan
pelaksanaan pendidikan di Indonesia sehingga didapatkan pengertian secara
mendalam.
3) Idealisasi
Usaha memahami konsep pemikiran kebebasan pendidikan Ki Hadjar
Dewantara dan Paulo Freire semurni mungkin secara jujur sehingga dapat
dibandingkan dengan visi masing-masing konsep tersebut.
4) Komparasi simetris
Upaya menguraikan konsep kebebasan pendidikan menurut Ki Hadjar
Dewantara dan Paulo Freire secara lengkap kemudian melakukan perbandingan
pada taraf dasar dan konkret dari kedua konsep pemikiran.
5) Refleksi
Upaya mengembangkan inspirasi baru sehingga didapatkan suatu
pemahaman yang lebih komprehensif.
F. Hasil Yang Dicapai
Sebagai suatu penelitian ilmiah, penelitian ini untuk menjawab persoalan
dalam rumusan masalah yaitu:
33
a. Memperoleh penjelasan tentang prinsip kebebasan dalam pendidikan
secara mendalam, baik secara teoritik maupun makna bagi kehidupan serta
hakikat untuk melaksanakan konsep tersebut dalam kebijakan konkret.
b. Memperoleh penjelasan tentang pokok pemikiran Ki Hadjar Dewantara
dan Paulo Freire tentang pendidikan.
c. Memperoleh analisis tentang konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan
Paulo Freire tentang pendidikan yang membebaskan.
G. Sistematika Penelitian
Sistematika penelitian yang berjudul Konsep Kebebasan Dalam
Pendidikan Menurut Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire ini terdiri dari lima
bab, dengan perincian masing-masing sebagai berikut:
Bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri atas latar belakang penelitian
dilakukan, rumusan masalah yang hendak dijawab, keaslian penelitian, manfaat
dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian yang
digunakan, hasil yang diharapkan dan sistematika penelitian.
Bab kedua berisi tentang objek formal penelitian meliputi aliran-aliran
kebebasan dalam pendidikan dan tokoh-tokoh kebebasan dalam pendidikan.
Bab ketiga berisi tentang objek material, yaitu pokok-pokok pemikiran Ki
Hadjar Dewantara dan Paulo Freire yang meliputi, riwayat hidup, karya – karya,
realitas sosial masyarakat pada zaman Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire,
tokoh-tokoh yang mempengaruhi dan pokok-pokok pemikiran.
34
Bab keempat adalah inti penelitian. Bab ini berisi landasan ontologis,
epistemologis dan aksiologis, paradigma pendidikan pembebasan Ki Hadjar
Dewantara dan Paulo Freire, evaluasi yang meliputi titik temu dan titik tolak
pemikiran, kekuatan dan kelemahan serta relevansi atas permasalahan pendidikan
Indonesia.
Bab kelima adalah Penutup. Bab ini berisi kesimpulan jawaban terhadap
pertanyaan penelitian yang diungkapkan dalam rumusan masalah dan juga berisi
saran bagi kemungkinan penelitian lanjutan berkaitan dengan pendidikan.