34
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah tangga untuk mobilitas kelas. Bersama pendidikan manusia mengubah nasibnya. Pendidikan juga merupakan sarana melatih kemampuan solidaritas dan kepekaan sosial. Oleh karena itu, pendidikan dapat kembali kepada fitrahnya, menjadi alat untuk memanusiakan manusia, melalui usaha sadar dan terencana. Kesadaran menjadi hal penting dalam pendidikan agar manusia terlepas dari segala bentuk penindasan yang berujung pada keterkungkungan. Menurut N.Driyarkara (1980 : 69), pendidikan adalah proses pemanusiaan manusia muda. Pendidikan harus membantu agar seseorang secara tahu dan mau bertindak sebagai manusia dan bukan hanya secara instrinsik. Lebih lanjut pendidikan hendaknya dipahami juga sebagai humanisasi, yaitu usaha agar seluruh sikap dan tindak serta aneka kegiatan seseorang benar-benar bersifat manusiawi dan semakin manusiawi. Akan tetapi, proses pendidikan yang selama ini berlangsung justru tidak sejalan dengan apa yang dicita-citakan. Pendidikan yang seharusnya menjadi alat mobilitas kelas dan pembentuk karakter manusia dewasa susila masih belum mampu menghantarkan manusia pada kemerdekaannya. Manusia Indonesia masih berada dalam berbagai keterbatasan. Seperti data yang disebutkan oleh PBB melalui UNICEF menyatakan, dua sampai tiga juta anak Indonesia akan disebut

1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah tangga untuk mobilitas kelas. Bersama pendidikan

manusia mengubah nasibnya. Pendidikan juga merupakan sarana melatih

kemampuan solidaritas dan kepekaan sosial. Oleh karena itu, pendidikan dapat

kembali kepada fitrahnya, menjadi alat untuk memanusiakan manusia, melalui

usaha sadar dan terencana. Kesadaran menjadi hal penting dalam pendidikan agar

manusia terlepas dari segala bentuk penindasan yang berujung pada

keterkungkungan.

Menurut N.Driyarkara (1980 : 69), pendidikan adalah proses pemanusiaan

manusia muda. Pendidikan harus membantu agar seseorang secara tahu dan mau

bertindak sebagai manusia dan bukan hanya secara instrinsik. Lebih lanjut

pendidikan hendaknya dipahami juga sebagai humanisasi, yaitu usaha agar

seluruh sikap dan tindak serta aneka kegiatan seseorang benar-benar bersifat

manusiawi dan semakin manusiawi.

Akan tetapi, proses pendidikan yang selama ini berlangsung justru tidak

sejalan dengan apa yang dicita-citakan. Pendidikan yang seharusnya menjadi alat

mobilitas kelas dan pembentuk karakter manusia dewasa susila masih belum

mampu menghantarkan manusia pada kemerdekaannya. Manusia Indonesia masih

berada dalam berbagai keterbatasan. Seperti data yang disebutkan oleh PBB

melalui UNICEF menyatakan, dua sampai tiga juta anak Indonesia akan disebut

Page 2: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

2

sebagai generasi yang hilang akibat kekurangan pangan, penyakit dan tidak

berpendidikan (Prasetyo,2008 : 10).

Data tersebut akan semakin ironis jika melihat kualitas pendidikan

Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Indeks kompetisi (Global

Competitiveness) Indonesia, yang dikeluarkan oleh World Economic Forum

(WEF) pada tahun 2010, Indonesia berada pada posisi 44 dari 132 negara. Di Asia

Tenggara, angka ini masih di bawah Singapura yang berada di posisi ke-3,

Malaysia posisi ke-26, Brunei Darussalam posisi ke-28 serta Thailand posisi ke-

38 (Giyanto,2011 : 66).

Realitas di atas terjadi karena pendidikan sering ditempatkan sebatas

sebuah proses formal untuk mendapatkan status sosial tertentu. Gelar, kehormatan

dan jabatan menjadi alasan bagi masyarakat mengenyam pendidikan hingga

tingkat tinggi. Tanpa mengutamakan proses dan maksud dari pendidikan serta

keadaan sosial masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, pelaksanaan pendidikan tak

ubahnya seperti transaksi yang terjadi di pasar. Akhirnya hanya penguasa, pemilik

modal dan masyarakat kelas menengah atas yang dapat mengakses pendidikan

terbaik. Padahal proses pendidikan seharusnya dijalankan dalam rangka

memenuhi kebutuhan akan sumber daya manusia yang minimal, serta sanggup

menyelesaikan persoalan-personal kehidupan. Ini artinya pendidikan menjadi hak

siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial.

Realitas yang lebih memprihatinkan adalah, jika pelaksanaan pendidikan

sekedar perulangan dari kurikulum baku yang mengantarkan pada penyeragaman

individu. Pendidikan tak ubahnya mesin pencetak robot-robot berbadan manusia.

Page 3: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

3

Penyeragaman ini merupakan sebuah bentuk pendehumanisasian yang akan

mematikan bakat dan kreativitas yang dimiliki oleh peserta didik. Padahal secara

hakikat, setiap proses pendidikan adalah upaya untuk mendayagunakan bakat dan

kreatifitas peserta didik.

Oleh karena itu, seharusnya muatan pendidikan adalah mengandung

berbagai bentuk pelajaran dengan materi yang signifikan, sesuai dengan

kebutuhan masyarakat. Output pendidikan dengan demikian adalah manusia yang

sanggup memetakan dan memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi oleh

masyarakat. Kesadaran ini perlu dibangun agar manusia tidak semakin terasing

dari lingkungan sosial dan teralienasi dalam diri pribadinya.

Hal ini juga yang harus menjadi perhatian, karena kurikulum pendidikan

Indonesia masih terlihat tambal sulam dan jauh dari realitas. Lihat saja, selama

kemerdekaan paling tidak sudah sembilan kurikulum diterapkan. Kurikulum 1947,

kurikulum 1964, kurikulum 1968, kurikulum 1974, kurikulum 1984, kurikulum

1994, kurikulum 2004 atau kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dan yang

terbaru kurikulum 2013. Akan tetapi, pergantian kurikulum juga tidak menjadikan

keadaan masyarakat, khususnya kesadaran atas pendidikan semakin baik.

Kurikulum yang terus berganti bahkan menjadi beban, tidak lagi

mengedepankan kualitas, tetapi justru memberi titik tekan pada kuantitas. Standar

pendidikan yang dipakai bukan lagi dengan tujuan untuk melahirkan pribadi kritis

dan dewasa susila, tetapi pribadi yang siap untuk berkompetisi. Keadaan ini justru

akan semakin menjauhkan masyarakat dari realitas sosialnya, karena mereka

hanya sibuk untuk mengejar target-target yang telah ditentukan. Tanpa

Page 4: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

4

memperdulikan keberadaan manusia lain. Kompetisi hanya akan menumbuhkan

persaingan, sebaliknya mematikan kepedulian dan humanisme.

Hal ini dapat dilihat dari prestasi-prestasi siswa Indonesia dalam olimpiade

sains Internasional. Hampir setiap tahun Indonesia menjuarai perhelatan

Internasional tersebut. Di tahun 2012 saja, setidaknya Indonesia berhasil meraih 3

medali emas, 3 medali perak, dan 1 medali perunggu (Harian Kompas, 22 Juli

2012). Dan di tahun 2013, Indonesia keluar menjadi juara umum di ajang

Olimpiade Sains Internasional tersebut (Harian Seputar Indonesia, 24 Mei 2013).

Dibalik prestasi yang membanggakan tersebut, justru menimbulkan

keprihatinan karena tidak sedikit dari pelajar-pelajar berprestasi tersebut justru

memilih untuk pindah kewarganegaraan. Fenomena pindah kewarganegaraan

menjadi cambuk bagi dunia pendidikan Indonesia. Apakah hal ini terjadi karena

kualitas pendidikan Indonesia yang memang rendah atau karena rasa nasionalisme

atas negara sangat minim. Hal ini menjadikan aset-aset bangsa justru memilih

untuk melepaskan diri dari bangsa Indonesia.

Di sisi lain pendidikan belum mampu melahirkan budaya keterbukaan. Hal

ini ditandai dengan hubungan antara pendidik dan peserta didik yang disharmoni.

Peserta didik masih diposisikan sebagai objek yang menerima dan menuruti

segala perlakuan pendidik. Sebaliknya, pendidik memiliki kuasa penuh dalam

mengarahkan dan menentukan masa depan peserta didik. Kondisi ini akan

memberikan ruang lebih pada dominasi pendidik, namun mematikan kreatifitas

peserta didik. Peserta didik layaknya robot yang hanya bisa ‘mengangguk’. Tidak

memiliki kesadaran kritis untuk memaknai apa yang ada di sekitarnya.

Page 5: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

5

Hal ini dapat dilihat dari tingkat budaya baca siswa Indonesia yang masih

rendah. Riset PISA (Programme for International Student Assessment, 2003)

menunjukkan kemampuan literasi membaca siswa hanya sebesar 69%, berada

cukup di level 1. Artinya hanya mampu membaca, tetapi tidak mampu menangkap

makna tema bacaan. Jika ditafsirkan lebih radikal lagi, siswa di Indonesia

memiliki minat baca rendah. Dalam waktu satu tahun (365 hari) rata-rata siswa

hanya membaca 27 halaman. Untuk satu halaman saja diperlukan waktu dua

pekan. Secara umum hal itu disebut sebagai tragedi “nol buku” (Prasetyo, 2011 :

99).

Anita Lie di dalam buku yang ditulis oleh Ign. Gatut Saksono (2008: 86)

mengatakan, kemerosotan mutu pendidikan di Indonesia merupakan masalah yang

sangat kompleks. Untuk mengatasi masalah ini ada banyak hal yang harus

dibenahi mulai dari sarana prasarana, mutu guru, kurikulum, dan evaluasi.

Kalangan pengamat dan praktisi pendidikan sepakat bahwa prioritas harus

diberikan kepada faktor utama penentu keberhasilan pendidikan yaitu guru.

Pembenahan dalam bidang apapun yang akan dilakukan tidak boleh melupakan

dan terlepas dari kerangka tujuan akhir, yakni mencerdaskan anak – anak bangsa.

Dengan kata lain setiap upaya pembenahan yang direncanakan harus

memperhatikan dan menempatkan kepentingan siswa sebagai anak didik.

Sikap guru yang berpotensi memainkan peran sebagai penindas peserta

didik perlu diluruskan. Guru tidak dapat dijadikan pusat pengetahuan secara total,

apalagi sekedar perulangan dari satuan baku kurikulum. Peran guru perlu

ditempatkan sebagai fasilitator, penjaga, pemberi petunjuk saat peserta didik

Page 6: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

6

melakukan kesalahan atau tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai. Guru

tidak lagi dapat mendominasi pergerakan pengetahuan peserta didik, karena

kondisi ini hanya akan menjadikan peserta didik tumpul analisis, tidak kritis dan

tidak kreatif.

Efek pendidikan terhadap perkembangan dan perbaikan kehidupan

manusia sangat besar. Oleh karena itu perlu upaya untuk mengembalikan

pendidikan kepada tujuannya, selain itu pendidikan juga harus berbasis realitas.

Seperti yang dimaksudkan oleh Ki Hajar Dewantara dan Paulo Freire, tujuan

pendidikan adalah untuk memerdekakan manusia. Konsep pemikiran kedua tokoh

ini muncul dari latar belakang sosial yang hampir sama yaitu kultur masyarakat

tertindas. Hanya saja wilayah dan aktor yang berbeda. Ki Hadjar Dewantara

mengeluarkan konsep tersebut saat bangsa Indonesia dijajah oleh Belanda,

sedangkan Paulo Freire mengemukakan konsepnya ketika masyarakat Brazil

dijajah oleh penguasa yang otoriter dan represif. Keduanya memiliki substansi

yang sama, yaitu pendidikan seharusnya membuat orang menjadi lebih otonom,

tidak tergantung pada orang lain. Orang lain hadir bukan sebagai ordinat atau

subordinat, atau sebagai kompetitor, melainkan sebagai individu yang saling

memerlukan satu sama lain.

Menurut Ki Hadjar Dewantara (2004: 94), pendidikan yang

memerdekakan harus sesuai dengan kodrat manusia, yaitu sebagai subjek.

Manusia adalah pelaku yang harus terus memberi, bukan objek yang terus diberi.

Peran pendidik dan peserta didik adalah sama sebagai pelaku. Pendidik tidak

dapat mendominasi (memegang peran penuh) dalam proses pendidikan. Peran

Page 7: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

7

pendidik dalam konsep Ki Hadjar Dewantara adalah sebagai pembimbing, sebagai

mitra dan sebagai pendorong tumbuh kembang peserta didik. Dari hubungan

tersebut akan tercipta suasana pendidikan yang humanis dan harmonis. Tanpa ada

dominasi salah satu pihak. Sistem pendidikan ini dikenal sebagai ‘sistem among’.

Di dalam pendidikan sistem among, baik pendidik atau peserta didik harus

menyadari keberadaan masing-masing. Keduanya saling mengisi satu sama lain.

Ada kalanya murid belajar dari guru, keduanya menjadi mitra dan sebaliknya guru

belajar dari murid. Tidak ada sumber pengetahuan mutlak. Pengetahuan dapat

diperoleh dari mana saja dan dari siapa saja. Dengan kedudukan yang sama antara

pendidik dan peserta didik, pendidikan akan berjalan secara humanis. Karena

komunikasi (dialog) akan terbangun dengan kultur keterbukaan.

Di dalam pendidikan merdeka, tradisi dialog, keterbukaan dan humanisme

menjadi hal utama, karena dengan ini manusia menjadi berkesadaran. Kesadaran

yang terbangun akan menghantarkan manusia pada nilai-nilai luhur yang terwujud

dalam budi pekerti. Budi pekerti inilah yang merupakan buah dari matangnya

kecerdasan manusia lahir dan batin. Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara

menempatkan kemerdekaan manusia bukan sekedar merdeka lahir tetapi juga

merdeka secara batin. Pendidikan dimaknai sebagai proses budaya yang berjalan

sepanjang hayat.

Di sisi lain, Paulo Freire tokoh pendidikan kritis Brazil (1921),

memperkenalkan konsep pendidikan alternatif yaitu pendidikan dialogis. Melalui

pendidikan dialogis, Paulo Freire membawa masyarakat Brazil kembali kepada

fitrahnya, yaitu manusia merdeka yang kritis dan kreatif. Freire menolak sistem

Page 8: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

8

pendidikan “gaya bank” yang hanya menjadikan peserta didik sebagai objek yang

terus menerima. Menurut pendidikan gaya bank, peserta didik ibarat deposito

yang dapat diisi kapan saja, dengan muatan apa saja. Namun, bagi Freire ( 2007 :

vii), fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subjek, bukan penderita

atau objek. Panggilan manusia sejati adalah untuk menjadi pelaku yang sadar,

yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau mungkin

menindas. Dunia ini bukanlah sesuatu yang tercipta dengan sendiri, sehingga

manusia harus bersikap kritis dengan menggunakan bahasa pikiran. Di dalam

konteks pendidikan, Freire menyebutkan bahwa kedudukan pendidik dan peserta

didik adalah sama-sama sebagai subjek. Kedua pihak dapat saling mengisi, bukan

hanya diisi.

Manusia, bagi Freire adalah penguasa atas diri sendiri dan karena itu fitrah

manusia adalah menjadi merdeka, menjadi bebas. Ini merupakan tujuan akhir dari

humanisasi Paulo Freire. Humanisasi juga berarti pemerdekaan atau pembebasan

manusia dari situasi–situasi batas yang menindas di luar kehendak. Kaum

tertindas harus mampu membebaskan dan memerdekakan diri serta mampu

membebaskan kaum penindas dari penjara hati nurani yang tidak jujur telah

melakukan penindasan (Freire, 2007 : xi).

Jika ditarik kembali tawaran konsep pendidikan yang membebaskan dari

pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire, dengan pelaksanaan pendidikan

di Indonesia, hal tersebut masih jauh dari relevan. Pendidikan selama ini hanya

dimaknai sebatas alat untuk menentukan posisi seseorang dalam strata sosial

tertentu. Mereka yang berpendidikan akan mampu mengakses berbagai peluang

Page 9: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

9

sosial, sedangkan mereka yang tidak berpendidikan atau terpaksa terputus dari

proses pendidikan, akan tersingkir dan menempati kasta paling bawah dalam

masyarakat. Sehingga pendidikan masih berada dalam konsep menara gading,

yang hanya bisa dinikmati oleh kaum borjuis, yang dalam bahasa Ki Hadjar

Dewantara dan Paulo Freire adalah kaum penjajah (penindas). Pendidikan yang

seperti ini hanya berusaha mempertahankan status quo dalam strata sosial yang

timpang sebagai manifestasi penindasan.

Penindasan yang terjadi dalam pendidikan, terutama diera modern ini

bukan sekedar penindasan secara fisik tapi juga penindasan secara nilai (value).

Secara nilai, para pemuda telah tercerabut dari budaya bangsa, mereka lebih akrab

dengan budaya-budaya barat. Tradisi hedonisme, individualisme dan materialisme

menjadi watak yang akrab dengan pemuda. Hal ini dapat dilihat dari tindak

kekerasan yang sering dilakukan oleh pelajar, seperti tawuran antar sekolah,

perkelahian antar ‘geng’, tindak kriminal, bahkan kekerasan senior pada junior.

Berbagai tindakan menyimpang di atas dapat dipastikan tidak dapat terlepas dari

apa yang diberikan oleh lembaga pendidikan kepada peserta didik. Pendidikan

yang sejak awal dijadikan sandaran dalam membentuk karakter luhur, justru

menjadi tempat reproduksi kekerasan.

Penjajahan moral menjadi masalah yang sangat mengerikan karena selain

merenggut kecerdasan jasmani, juga merenggut kecerdasan intelektual, serta

karakter luhur bangsa. Masyarakat Indonesia cenderung tumbuh menjadi

masyarakat asusila, tidak bermoral, tidak berbudi pekerti, sedangkan budi pekerti

merupakan ciri masyarakat yang merdeka secara kodrati, yaitu merdeka secara

Page 10: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

10

batin. Dengan kemerdekaan batin seseorang mengedepankan akal budi, nurani dan

moral dalam setiap tindakannya. Melalui kemerdekaan batin, seseorang dapat

membedakan antara tindakan baik dan buruk. Inilah values yang saat ini telah

hilang dalam masyarakat Indonesia.

Dengan realitas di atas, pendidikan perlu dirumuskan ulang sebagai proses

yang memiliki tujuan akhir untuk pengenalan manusia kepada hakikat dirinya,

realitas sosial yang dihadapinya, serta akar budaya yang menjadi karakternya.

Latar belakang tersebut menjadikan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang “Konsep Kebebasan Dalam Pendidikan Menurut Ki Hadjar Dewantara

dan Paulo Freire”. Pemikiran kedua tokoh pendidikan ini menjadi pokok kajian

karena, kedua tokoh pendidikan tersebut memiliki tujuan yang sama atas

pendidikan, yaitu sebagai proses humanisasi untuk pembebasan. Kedua tokoh ini

juga memiliki latar belakang kehidupan yang sama, berasal dari dunia ketiga,

yang relatif memiliki kultur serupa. Komparasi pemikiran kedua tokoh diharapkan

mampu menjadi rujukan dalam mewujudkan pendidikan Indonesia yang lebih

relevan. Pendidikan haruslah memerdekakan secara lahir dan batin, juga bersifat

humanis dan harmonis. Hal ini menjadi perlu agar pendidikan mampu melahirkan

pribadi-pribadi yang kritis dan dewasa susila.

1. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut:

a. Apakah yang dimaksud dengan kebebasan dalam pendidikan?

Page 11: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

11

b. Bagaimana pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire

tentang kebebasan pendidikan?

c. Bagaimana relevansi pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Paulo

Freire terhadap permasalahan pendidikan di Indonesia?

2. Keaslian penelitian

Fokus kajian dalam penelitian ini adalah hakikat kebebasan dalam

pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire. Dalam penelitian ini

akan dipaparkan sejauh mana komparasi pemikiran pendidikan yang

membebaskan menurut Ki Hadjar Dewantara maupun Paulo Freire.

Sejauh penelusuran yang dilakukan peneliti, sampai saat ini hasil

penelitian mengenai konsep kebebasan dalam pendidikan menurut Ki Hadjar

Dewantara dan Paulo Freire, belum pernah dilakukan. Akan tetapi, sudah banyak

dilakukan penelitian baik itu dalam bentuk skripsi maupun tesis yang meneliti

tentang konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara maupun Paulo Freire, antara

lain:

a. Skripsi S1 Fakultas Filsafat UGM, berjudul “Aspek Kosmologis Pada

Kodrat Alam dalam Konsep Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara”

oleh Adhika Mudji W. Penelitian ini membahas tentang pemikiran

pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam konteks sejarah hidupnya. Ki

Hadjar Dewantara dilihat sebagai tokoh revolusioner yang berani melawan

ketidakadilan pada pribumi di zaman penjajahan, sekaligus sebagai sosok

yang turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan. Konteks

Page 12: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

12

pendidikan yang ditawarkan, Ki Hadjar Dewantara mendekatkan antara

budaya dan pendidikan, sehingga pendidikan setiap bangsa dilihat sebagai

sesuatu yang khas dan identik dengan tujuan hidup sebuah bangsa.

Pendidikan juga ditekankan memiliki ikatan untuk membentuk manusia

paripurna, merdeka lahir dan batin, dengan keluhuran budi, serta kekuatan

jasmaninya. Kodrat alam menjadi aspek penting yang diajarkan, agar

manusia tumbuh secara selaras dan seimbang sebagai sebuah pedoman

hidup manusia.

b. Skripsi S1 Fakultas Filsafat UGM, berjudul “Pendidikan Sistem Among

Menurut Ki Hadjar Dewantara (Suatu Tinjauan Filsafat Pendidikan

Progresivisme)” oleh Hening Nugroho. Penelitian ini membahas tentang

metode pendidikan berdasarkan pola asuh seperti yang ditawarkan Ki

Hadjar Dewantara, yang kemudian oleh penulis dilihat dari pandangan

filsafat progresifisme.

c. Skripsi S1 Fakultas Filsafat UGM, berjudul “Konsep Pendidikan

Alternatif Paulo Freire: Sebuah Perspektif Bagi Persoalan Pendidikan Di

Indonesia” oleh Rr. Siti Murtiningsih. Penelitian ini membahas tentang

konsep pendidikan alternatif Paulo Freire, yaitu pendidikan dialogis dan

liberatif yang memposisikan siswa sebagai subjek, dan menolak konsep

pendidikan gaya bank.

d. Skripsi S1 Fakultas Filsafat UGM, berjudul “Konsep Pendidikan Dialogis

Menurut Paulo Freire” oleh Roganda S.U. Solin. Penelitian ini membahas

tentang tradisi pemikiran pendidikan secara hermeneutik dari berbagai

Page 13: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

13

generasi pemikiran, kemunculan pendidikan kritis sebagai antithesis dari

pendidikan konvensional yang membelenggu, adapun pendidikan kritis

yang ditawarkan Paulo Freire merupakan konsep pendidikan dialogis yang

sesuai dengan kodrat manusia yang merdeka.

e. Skripsi S1 Fakultas Filsafat UGM, berjudul “Humanisme Pendidikan

Paulo Freire dalam Perspektif Liberasionisme” oleh Briane Novianti

Syukmita. Penelitian ini membahas tentang pendidikan yang

membebaskan Paulo Freire yang ditinjau dari liberasionisme. Dalam

skripsi ini ditekankan pendidikan yang humanis.

f. Tesis S2 Fakultas Filsafat UGM, berjudul “Integrasi Relitas Sosial dalam

Pendidikan (Studi Komparatif Atas Konsep Pendidikan Hadap Masalah

Paulo Freire dan Y.B. Mangunwijaya )” oleh Firdaus. Penelitian ini

membahas tentang konsep hadap masalah dalam pendidikan yang

terkandung dalam pemikiran dua tokoh penting, Paulo Freire dan Yb.

Mangun Wijaya. Kedua tokoh ini menekankan kemampuan konsep

pendidikan yang memberanikan kaum tertindas untuk menuntut

kebebasan, model pendidikan yang menjadikan siswa tanggap akan

masalah dirinya dan lingkunganya, penekanan model dialogis yang

memberikan ruang emansipasionis dalam melihat permasalahan

pendidikan.

g. Tesis S2 Fakultas Filsafat UGM, berjudul “Konsep Konsientisasi dalam

Pendidikan menurut Paulo Freire” oleh Rr. Siti Murtiningsih. Penelitian

Page 14: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

14

ini membahas tentang konsep konsientisasi dalam pendidikan menurut

Paulo Freire serta relevansinya dengan pendidikan di Indonesia.

h. Tesis S2 Fakultas Filsafat UGM, berjudul “Konsep Kemerdekaan diri

dalam pendidikan demokratis menurut Ki Hadjar Dewantara” oleh Runi

Hariantati. Penelitian ini membahas tentang konsep kemerdekaan diri atas

pendidikan menurut perspektif pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Dalam

tesis ini dijelaskan bahwa kemerdekaan diri merupakan kebebasan yang

terikat, sehingga individu tidak dapat berbuat sewenang – wenang. Konsep

kemerdekaan diri menurut Ki Hadjar Dewantara mempunyai sifat yang

otonom, kemerdekaan diri tercermin dalam disiplin pribadi, menjunjung

tinggi kedaulatan pribadi, merupakan tanggung jawab individu dan

merupakan kodrat alam.

Dari sekian penelitian yang pernah dilakukan belum ada penelitian yang

sama seperti yang diambil oleh peneliti. Oleh karena itu, penelitian ini layak untuk

dilakukan.

3. Manfaat penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut:

a. Bagi Peneliti

Penelitian ini bagi peneliti diharapkan dapat memperluas wawasan dan

memperkaya metode berpikir, sehingga dapat lebih mempertajam kemampuan

peneliti dalam menganalisis suatu permasalahan dalam diskursus keilmuwan

Page 15: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

15

filsafat, secara khusus tentang konsep pendidikan humanis yang membebaskan

dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire.

b. Bagi Keilmuan dan Akademik

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di

dalam wilayah keilmuwan filsafat secara khusus dan kepada ilmu pengetahuan

secara umum, yakni berupa penelitian tentang konsep kebebasan dalam

pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire. Hasil penelitian ini

dapat dijadikan bahan kajian agar tetap berpikir kritis.

c. Bagi Masyarakat

Penelitian ini bagi masyarakat dapat memberikan pengetahuan kepada

masyarakat secara umum mengenai pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Paulo

Freire tentang pendidikan. Diharapkan masyarakat mampu bersikap lebih terbuka

dan memahami bahwa pendidikan bukanlah sekedar sarana untuk mendapatkan

hal praktis, melainkan nilai-nilai serta makna filosofis, secara khusus terkait

dengan cita-cita luhur bangsa atas pendidikan. Pendidikan adalah alat perjuangan

untuk pembebasan.

B. Tujuan Penelitian

Sebagai suatu penelitian ilmiah, penelitian ini bertujuan untuk menjawab

persoalan dalam rumusan masalah yaitu:

a. Mendeskripsikan konsep kebebasan dalam pendidikan secara

mendalam, baik secara teoritik maupun makna bagi kehidupan

serta hakikatnya.

Page 16: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

16

b. Mendeskripsikan pokok pikiran Ki Hadjar Dewantara dan Paulo

Freire tentang pendidikan.

c. Menganalisis konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Paulo

Freire terhadap permasalahan pendidikan yang terjadi di Indonesia.

C. Tinjauan Pustaka

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire memberi pengaruh besar

terhadap perkembangan pendidikan dunia ketiga, khususnya Indonesia dan Brazil.

Pemikiran tentang pendidikan yang bertujuan pada pembebasan manusia dengan

motode dialog menjadi alternatif atas permasalahan pendidikan. Peneliti

menemukan beberapa tulisan ilmiah yang membahas konsep pendidikan Ki

Hadjar Dewantara dan Paulo Freire. Tulisan-tulisan tersebut antara lain:

Tulisan yang disusun oleh Adhika Mudji W. Adhika menjelaskan bahwa

Ki Hadjar Dewantara adalah tokoh revolusioner yang berani melawan

ketidakadilan pada kaum pribumi di zaman penjajahan, sekaligus sebagai sosok

yang turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan. Konteks pendidikan yang

ditawarkan Ki Hadjar Dewantara mendekatkan antara budaya dan pendidikan,

sehingga pendidikan setiap bangsa dilihat sebagai sesuatu yang khas dan identik

dengan tujuan hidup suatu bangsa. Pendidikan juga ditekankan memiliki ikatan

untuk membentuk manusia paripurna yang merdeka lahir dan batin, dengan

keluhuran budi serta kekuatan jasmani. Kodrat alam menjadi aspek penting yang

diajarkan agar manusia tumbuh secara selaras dan seimbang sebagai sebuah

pedoman hidup manusia.

Page 17: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

17

Tulisan lain yang membahas tentang pemikiran pendidikan Ki Hadjar

Dewantara adalah tulisan Hening Nugroho. Ia menjelaskan bahwa sistem among

merupakan metode yang sesuai untuk pendidikan karena merupakan metode

pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan atas asih, asah dan asuh (care and

dedication based on love) (Nugroho,2011 : 2). Dalam tulisan ilmiah ini dijelaskan

bahwa pendidikan sistem among bersendikan pada dua hal yaitu, kodrat alam

sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-

cepatnya dan kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan

menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak hingga dapat hidup mandiri.

Selain tulisan tentang konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara, ada juga

tulisan tentang Paulo Freire, seperti yang ditulis oleh Siti Murtiningsih, dalam

tulisan ini disebutkan bahwa pendidikan yang membebaskan hanya bisa dicapai

melalui dialog. Akan tetapi, model pendidikan yang selama ini digunakan adalah

pendidikan tradisional dengan model pendidikan paternalistik, anti dialog dan

cenderung otoriter (Murtiningsih,1995 : 2).

Menurut Sartono Kartodirjo, adanya kecenderungan memompa otak dan

memori anak didik dengan pendidikan yang verbalistik, menimbuni otak dengan

kata-kata, bukan dengan pengertian yang sebenarnya, adalah menyiksa dan

mengeksploitasi anak didik (Budiawan,1992 : -). Anak didik dipandang sebagai

objek, bukannya sebagai subjek didik, sehingga yang terjadi adalah penindasan

intelektual baik terhadap anak didik maupun terhadap pendidik sendiri, sementara

dialogis sebagai syarat utama pun tidak tercipta.

Page 18: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

18

Pendidikan hanya menjadikan anak sebagai deposito yang bisa diisi kapan

saja sesuai dengan kehendak pendidik. Sistem ini dikenal disebut dengan

pendidikan “gaya bank”. Di dalam model pendidikan gaya bank, peserta didik

hanya diposisikan sebagai objek yang menerima apa yang dikehendaki oleh

pendidik. Tidak ada komunikasi dan keterbukaan didalam proses belajar. Peserta

didik haruslah patuh dan tunduk dengan apa yang disampaikan oleh pendidik.

Dengan tradisi seperti ini peserta didik hanya akan diam menerima apa yang

disunguhkan, tanpa kepekaan unntuk melakukan hal lain yang berasal dari

kesadarannya (Murtiningsih,1998 : 5).

Roganda S.U Solin di dalam tulisan ilmiahnya mengutip kata-kata

Mangunwijaya (1994:113) bahwa semua negara yang beradap dan demokratis

mengakui pendidikan sebagai hak primer. Maka pendidikan sebagai hak primer

harus menjadi proses dialektis antar manusia, karena sejak lahir manusia sudah

diberikan bekal pendidikan oleh orang tua di rumah, kemudian mendapat

pendidikan dalam lingkungan sekolah, dan pada akhirnya manusia menemukan

pendidikan dari interaksi sosial dengan lingkungan masyarakat (Roganda,2007 :

3).

Dialog menjadi hal penting dalam pendidikan, melalui dialog yang syarat

akan tradisi keterbukaan akan menghantarkan peserta didik pada kesadaran

realitasnya. Peserta didik akan senantiasa mendapatkan tantangan baru dari

dialog-dialog yang segar. Dengan tradisi yang dialogis, keterbukaan berpikir akan

terwujud, sehingga peserta didik akan tumbuh dan memahami realitas yang ada di

dalam dunianya dengan kesadaran yang telah terbangun.

Page 19: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

19

Tulisan lain tentang Paulo Freire yaitu humanisme pendidikan yang ditulis

olah Briane Novianti Syukmita. Dalam tulisan ini disebutkan bahwa pendidikan

semestinya mampu membentuk manusia yang peka dan sadar sosial

(Syukmita,2011 : 6). Menurut Paulo Freire (Moh.Yamin,2009 : 200), pendidikan

bertujuan untuk memanusiakan manusia, membangkitkan kesadaran kritis dan

transformatif untuk mengubah nasib kehidupan yang sedang terpuruk menuju

kebangkitan, dan mengangkat masyarakat tertindas menuju ke kelas bermartabat

dan berkemanusiaan dan memiliki hak sama dengan masyarakat lainnya baik

untuk dihormati, dihargai maupun beraktualisasi diri.

Selain itu, Firdaus dalam tulisan ilmiahnya menyebutkan, pendidikan agar

tidak kehilangan makna, maka pendidikan harus mempunyai kedudukan strategis

dan memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia

berkualitas. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk menciptakan model

pendidikan yang sesuai dengan kultur masyarakat, karena penerapan pendidikan

tidak bisa dipaksakan menurut selera pengelola pendidikan, tetapi yang lebih

penting adalah memperhatikan keinginan masyarakat akan pendidikan dan

tuntutan dunia pendidikan itu sendiri (Firdaus,2003 : 6).

Di dalam tulisan Firdaus (Firdaus,2003 : 1), dijelaskan juga bahwa

pendidikan pada dasarnya diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia

dari berbagai persoalan hidup yang melingkupinya. Pendidikan bagi Freire

merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi manusia menjadi

manusia agar terhindar dari berbagai bentuk penindasan, kebodohan, sampai

kepada ketertinggalan (Freire,2002 : 12-13).

Page 20: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

20

Siti Murtiningsih di dalam tulisan ilmiahnya tentang konsep konsientisasi

Paulo Freire menuliskan bahwa pendidikan sebagai sebuah sub-sistem dari suatu

sistem sosial makro tidak terlepas dari persoalan situasi sosial yang

melingkupinya. Sistem pendidikan pada negara-negara berkembang dalam hal ini

berlangsung dalam sebuah budaya yang sifatnya paternalistik, disebabkan masih

dominannya sikap sisa-sisa feodal dalam masyarakatnya. Pendidikan pada kondisi

masyarakat seperti ini tidak dipusatkan pada peseta didik sehingga anak tidak

dapat berkembang secara optimal sesuai dengan potensi dan kemampuannya.

Peserta didik dianggap sebagai suatu bejana kosong yang harus secara terus

menerus diisi pengetahuan (Freire,1972 : 49). Proses pendidikan dalam kerangka

transfer ilmu pengetahuan dan teknologi akibatnya tidak berjalan dengan efektif.

Hasil manusia terdidik yang dicapaipun tidak mampu bersikap kritis dan kreatif.

Runi Hariantati menuliskan, untuk mengembangkan potensi peserta didik,

maka diperlukan “konsep sebagai gagasan” yang memberi arah secara teoritis.

Gagasanpun akan dapat berkembang jika diberi kesempatan yang berupa

kebebasan sehingga berbaur dan berpadu pada dengan kenyataan serta kebutuhan

(Hariantati,2002 : 2).

Mengingat pentingnya pendidikan sebagai proses penyadaran dalam upaya

menghantarkan manusia pada kemanusiaannya yang sejati, maka sudah

seharusnya pendidikan memiliki orientasi ke arah seperti yang dimaksudkan.

Pendidikan harus menjadi alat untuk menghantarkan menusia menuju

kemandirian pribadi. Pendidikan yang membebaskan harus syarat akan

Page 21: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

21

keterbukaan dan nilai-nilai luhur kemanusiaan agar manusia tumbuh menjadi

pribadi yang humanis dan penuh cinta kasih.

Hal ini seperti apa yang dimaksudkan oleh Ki Hadjar Dewantara yaitu

pada mulanya asas kemerdekaan diri merupakan usaha untuk menentang kaum

penjajah, tidak hanya dengan kekerasan, melainkan dengan memberikan

pendidikan dan pengajaran sebagai penyebar benih hidup merdeka. Selain itu juga

pendidikan dan pengajaran adalah usaha untuk mempertinggi derajat kemanusiaan

yakni bagi kehidupan bangsa, serta usaha mencerdaskan rakyat jajahan (Ki Hadjar

Dewantara,1977 : 110). Berdasarkan asas kemerdekaan tersebut, Ki Hadjar

Dewantara menyebukan bahwa manusia yang merdeka yaitu manusia yang secara

lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas

kekuatan sendiri (Dewantara,2004 : 3).

Sedangkan, kemerdekaan manusia secara pribadi tidak mungkin dicapai

melalui pendidikan paternalistik yang memenjarakan peserta didik dengan sistem

yang mengedepankan pendidikan sebagai alat untuk mensuplai pengetahuan

sebanyak-banyaknya. Hanya melalui pendidikan berbasis penyadaran maka

kemerdekaan manusia dapat tercapai, yaitu sadar akan nilai-nilai dan realitas yang

dihadapi.

Metode pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang dikenal dengan sistem

among, yaitu dengan cara menyokong kodrat alam anak-anak sebagai peserta

didik, agar dapat mengembangkan kehidupan lahir dan batin menurut kodrat

masing-masing anak. Pengetahuan dan kecerdasan jangan dianggap sebagai

tujuan pendidikan, tetapi semua itu hanya sebagai alat. Hasil dari pendidikan yaitu

Page 22: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

22

jiwa yang matang, yang dapat mewujudkan hidup dan penghidupan yang tertib

dan suci, serta bermanfaat bagi orang lain (Dewantara,2004 : 94).

Pendidikan secara umum berarti daya upaya untuk memajukan

pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan

tumbuh anak. Ketiga hal ini tidak dapat dipisahkan agar dapat memajukan

kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang dididik

selaras dengan dunia. Oleh karena itu pasal-pasal di bawah ini harus diutamakan:

a) Segala alat, usaha dan cara pendidikan harus sesuai dengan kodrat

keadaan (natuurlijkheid, realiteit) peserta didik.

b) Alam kodrat tersimpan dalam adat istiadat setiap rakyat, menjadi satu

dengan sifat perikehidupan sendiri-sendiri, sifat-sifat yang ada terjadi

karena bercampurnya semua usaha dan daya upaya untuk mencapai

hidup tertib damai.

c) Adat-istiadat sebagai sifat perikehidupan tidak dapat dilepaskan dari

tempat adat istiadat itu berkembang. Adat istiadat bersifat dinamis.

d) Untuk mengetahui garis hidup yang tetap dari suatu bangsa, maka perlu

mempelajari sejarah, sejarah menjadi bekal kehidupan di masa sekarang,

dan apa yang terjadi sekarang adalah gambaran zaman yang akan datang.

e) Pengaruh baru diperoleh dari percampuran suatu bangsa dengan bangsa

yang lain. Percampuran budaya ini dapat terjadi dengan mudah karena

modernisasi kehidupan. Kewaspadaan penting untuk memilih mana yang

baik dan yang buruk, sedangkan kemajuan ilmu pengetahuan terjadi

Page 23: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

23

karena kebaikan Tuhan untuk manusia di seluruh dunia (Dewantara,2004

: 15).

Menurut Ki Hadjar Dewantara (2004 : 28) ada beberapa cara yang dapat

digunakan untuk mendidik anak, antara lain:

a) Memberi contoh

b) Pembiasaan

c) Pengajaran

d) Perintah, paksaan dan hukuman

e) Tingkah laku

f) Pengalaman lahir dan batin.

Sistem pemikiran pendidikan yang mengedepankan pada kemerdekaan

peserta didik seperti apa yang dimaksudkan oleh Ki Hadjar Dewantara juga

dipelopori oleh Paulo Freire. Pendidikan yang berorientasi pada penyadaran dan

kemerdekaan manusia menjadikan konsep pendidikan Paulo Freire banyak

diminati oleh pemikir pendidikan modern. Dialog menjadi kunci dari konsep

pendidikan Freire.

Menurut Freire, fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subjek,

bukan penderita atau objek. Penggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang

sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau mungkin

menindasnya. Dunia dan realitas atau realitas dunia ini bukan sesuatu yang ada

dengan sendiri dan karena itu harus diterima menurut apa adanya sebagai suatu

takdir yang tidak terelakkan, semacam mitos. Manusia harus menggeluti dunia

Page 24: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

24

dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya cipta, dan hal itu berarti

diperlukan adanya sikap orientatif yang merupakan pengembangan bahasa pikiran

(thought of language), yaitu bahwa secara hakikat manusia mampu memahami

keberadaan diri dan lingkungan dunia dengan bekal pikiran dan tindakan praksis

yang dilakukan dengan cara merubah dunia dan realitas (Freire,2007 : viii).

Bagi Freire (2007 : 29) manusia adalah penguasa atas diri, dan karena itu

fitrah manusia adalah menjadi merdeka, menjadi bebas. Ini merupakan tujuan

akhir dari humanisasi Freire. Humanisasi yang dimaksudkan oleh Freire adalah

sebuah kondisi sejajar antar manusia yang satu dengan yang lain. Dominasi atas

salah satu pihak merupakan sebuah bentuk penindasan, sehingga keadaan-keadaan

tersebut harus dilawan. Pendidikan harus berorientasi kepada pengenalan realitas

diri manusia dan diri sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat objektif

atau subjektif, tetapi harus objektif dan subjektif.

Menurut Freire (2007 : 29), belajar adalah sebuah bentuk penemuan

kembali (reinventing), penciptaan kembali (recreating), penulisan ulang

(rewriting). Ketiga bentuk ini hanya bisa dilakukan oleh subjek. Pendidikan kita

selama ini menurut Chaedar Alwasih (1993: 23) hanya berfungsi untuk

membunuh kreativitas siswa, karena lebih mengedepankan aspek verbalisme.

Verbalisme merupakan suatu asas pendidikan yang mengedepankan hapalan,

bukan pemahaman, mengedepankan formulasi daripada substansi, lebih dalam

lagi menyukai keseragaman, bukan kemandirian serta huru-hara klasikal, bukan

petualangan intelektual (Yunus,2004 : ix).

Page 25: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

25

Penentuan kebijakan yang diturunkan dalam kurikulum pendidikan dan

peraturan lain cenderung menambah beban peserta didik. Jam belajar di sekolah

justru menyita waktu peserta didik yang notabene usia mereka adalah usia

bermain. Selain beban jam pelajaran yang tinggi, muatan materi yang disuguhkan

dalam kurikulum pendidikan jauh dari apa yang dialami oleh peserta didik.

Kondisi ini semakin menjadikan peserta didik terasing dari realitas sekitarnya dan

menjadikannya hanya manerima pengetahuan tanpa kemampuan untuk

menerjemahkan sebagai upaya menjawab permasalahan kehidupanya.

Unsur-unsur pendidikan yang harus dilibatkan dalam hubungan dialektis

adalah pengajar, pelajar atau anak didik dan realitas dunia. Pengajar dan anak

didik adalah subjek yang sadar, dan dunia adalah objek yang disadari (Freire,2007

: ix). Dialog adalah metode kunci dalam konsep pendidikan Freire, melalui dialog

pendidik dan peserta didik melakukan komunikasi dua arah yang terjalin secara

terbuka. Dengan adanya keterbukaan melalui dialog, pendidikan dalam bentuk

doktrinasi dapat dihindarkan.

Konsep dialog adalah metode yang tepat untuk mendapatkan pengetahuan,

maka subjek harus menggunakan pendekatan ilmiah dalam berdialektika dengan

dunia sehingga dapat menjelaskan realitas secara benar. Bagi Freire (2007 : 105),

mengetahui tidak sama dengan mengingat atau mengoleksi sesuatu yang

sebelumnya telah diketahui dan yang sekarang terlupakan. Doxa tidak dapat

digantikan dengan yang terpisah dari hubungan dialektikal antara manusia dengan

dunia, atau terpisah dari aksi reflektif manusia.

Page 26: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

26

Secara esensial dialog didefinisikan Freire sebagai kata yang disusun oleh

refleksi dan aksi. Kata yang diungkapkan tanpa tindakan (atau maksud tindakan)

adalah verbalisme, dan perkataan tanpa refleksi merupakan aktivisme. Dalam

analisis Freire dialog yang penuh harapan merupakan tindakan revolusioner,

sebagai pengetahuan empiris yang bertemu dengan pengetahuan kritis, karena

bagi Freire tidak boleh ada pemisahan antara aksi dan refleksi, maka Freire

menyamakan dialog dengan tindakan revolusioner (Yunus,2004 : 46).

Dialog merupakan roh dari pelaksanaan pendidikan, dalam dialog akan

bisa dilakukan transformasi berupa penanaman nilai kejujuran, keadilan,

kemanusiaan, ketidaksetiakawanan, profesionalitas, keluhuran, kedisiplinan, dan

ketulusan. Dialog menjadi penting karena bukan sekedar transfer ilmu, tetapi

pembentukan karakter. Proses pengkarakteran ini terkait dengan realitas

kehidupan nyata. Selama ini lebih banyak proses belajar membahas pada sesuatu

yang abstrak, tidak sesuai dengan kehidupan sebenarnya. Dalam pendidikan

membebaskan, realitas hidup sehari-hari menjadi pijakan untuk direfleksikan

dalam berbagai ilmu pengetahuan di bangku sekolah (Freire dalam Susetyo,2005 :

155).

Pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire merupakan

konsep pendidikan merdeka, yang menjadikan pendidikan sebagai alat untuk

menghantarakan manusia pada kesadaran tertinggi kemanusiaannya yaitu pribadi

yang humanis. Pribadi yang humanis ini ditandai dengan tumbuhnya karakter

penuh cinta kasih terhadap sesama, setiap manusia adalah memiliki kedudukan

yang sama. Sehingga dominasi manusia atas manusia yang lain adalah bentuk

Page 27: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

27

penindasan, sebuah upaya penjajahan. Pendidikan harus mengedepankan bakat

dan potensi yang dimiliki peserta didik, serta tidak dapat dilepaskan dari realitas

sosial.

Dari uraian singkat mengenai penelitian-penelitian di atas belum ada yang

secara langsung membahas mengenai Konsep Kebebasan Dalam Pendidikan

Menurut Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire.

D. Landasan Teori

Dewasa ini terdapat perbandingan kontras antara gaya pendidikan

tradisional dengan gaya pendidikan liberatif. Bagi pendidikan gaya tradisional

materi pokok pendidikan terdiri dari seluruh perangkat informasi dan

keterampilan yang telah dihasilkan dimasa lampau, karena itu tujuan utama

sekolah adalah mewariskan segala pengetahuan kepada generasi baru. Hal ini

dilakukan untuk mempersiapkan generasi muda agar mampu bertanggungjawab

dikehidupan masa depan, dan demi keberhasilan dalam hidup mereka lewat proses

penguasaan atas seperangkat informasi dan berbagai bentuk keterampilan yang

telah disiapkan menjadi bahan pengajaran. Sedangkan bagi pendidikan liberatif

menekankan pada kebebasan peserta didik.

Aliran pendidikan liberatif adalah aliran pendidikan yang menjadikan

pendidikan sebagai proses untuk kemerdekaan manusia. Kemerdekaan yang

dimaksudkan adalah kemerdekaan secara pribadi dan kemerdekaan secara sosial.

Aliran pendidikan liberatif yang sekiranya cocok untuk mengkaji penelitian ini

adalah aliran pendidikan progresivisme dan rekonstruksionisme.

Page 28: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

28

E. Metode Penelitian

1. Bahan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode

penelitian pustaka. Bahan dan materi penelitian akan diperoleh melalui

penelusuran pustaka, yaitu data yang diperoleh dari buku, jurnal dan tulisan lain

yang berkaitan dengan kebebasan dalam pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan

Paulo Freire. Setelah diperoleh data pustaka, kemudian pustaka terbagi menjadi

dua, yaitu pustaka primer dan pustaka sekunder.

a. Pustaka primer

Pustaka primer merupakan sumber-sumber utama dari bahan dan objek

materi serta objek formal penelitian. Pustaka primer yang digunakan adalah

sebagai berikut:

1). Buku Menggugat Pendidikan. Fundamentalis, Konservatif,

Liberatif, Anarkis. Tahun 1999. Penerbit: Pustaka Pelajar.

2). Buku Pendidikan. Karya Ki Hadjar Dewantara. Tahun 2004.

Penerbit Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Yogyakarta.

3). Buku Politik Pendidikan. Kebudayaan, Kekuasaan dan

Pembebasan. Karya Paulo Freire. Tahun 2007. Penerbit: REaD

(Research, Education and Dialogue). Yogyakarta.

4). Buku Pendidikan Kaum Tertindas. Karya Paulo Freire. Tahun

1985. Penerbit LP3ES. Jakarta.

Page 29: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

29

5). Buku Pendidikan Alat Perlawanan. Teori Pendidikan Radikal

Paulo Freire. Karya Siti Murtiningsih. Tahun 2004. Penerbit: Resist

Book. Yogyakarta.

6). Buku Conscientizacao. Tujuan Pendidikan Paulo Freire. Karya

William A. Smith. Tahun 2008. Penerbit: Pustaka Pelajar.

Yogyakarta.

7). Buku Paulo Freire. Kehidupan, Karya dan Pemikirannya. Karya:

Denis Collins. Tahun 2011. Penerbit: Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

b. Pustaka sekunder

Pustaka sekunder merupakan sumber – sumber pendukung penelitian yang

berasal dari buku, jurnal, artikel atau tulisan lain yang berhubungan dengan

konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire. Pustaka sekunder yang

digunakan adalah sebagai berikut:

1) Buku Pengalaman dan Pendidikan. Karya John Dewey. Tahun

2002. Penerbit: Kepel Press. Yogyakarta.

2) Buku Pendidikan Yang Membebaskan Siswa. Karya Ign. Gatut

Saksono. 2008. Penerbit: Rumah Belajar Yabinkas. Yogyakarta.

3) Buku Aliran Baru dalam Pendidikan. Karya Ag. Soejono. C.V.

Ilmu. Bandung

4) Buku Pendidikan Berbasis Realitas Sosial. Karya Firdaus M.

Yunus. Tahun: 2004. Logung Pustaka. Yogyakarta

5) Buku Percakapan dengan Sidney Hook. Karya Harsja W. Bachtiar.

Tahun 1976. Djambatan. Jakarta

Page 30: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

30

6) Buku Menjadi Guru Merdeka. Petikan Pengalaman. Karya Ira Shor

dan Paulo Freire. Tahun: 2001. LKiS. Yogyakarta

7) Buku Sekolah Kapitalisme yang Licik. Karya Paulo Freire. Tahun:

1998. LKiS. Yogyakarta

8) Buku Pendidikan Pada dan Setelah Krisis. Karya Darmaningtyas.

Tahun 1999. Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta

9) Buku Rabindranath Tagore Sebagai Pendidik. Karya H.J van den

Berg. Soeroengan. Jakarta.

10) Buku Filsafat Pendidikan. Karya Suparlan Suhartono. Tahun

2006. Penerbit Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.

11) Buku Metodologi Penelitian Filsafat. Karya Anton Bakker dan

Achmad Charis Zubair. Tahun 1990. Penerbit: Kanisius. Yogyakarta.

2. Jalan Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti mencoba untuk memahami pemikiran Ki

Hadjar Dewantara dan Paulo Freire sebagai objek material secara tekstual maupun

kontekstual, kemudian peneliti akan menyampaikan kembali dan menganalisis

menggunakan konsep kebebasan dalam pendidikan sebagai objek formal.

Adapun langkah yang diambil dalam penelitian ini berjalan berdasarkan

tahap demi tahap yaitu sebagai berikut:

a. Pengumpulan data

Pada tahap pertama ini dilakukan upaya mengumpulkan data kepustakaan

yang berhubungan dengan tema penelitian, baik itu yang berhubungan dengan

Page 31: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

31

objek material ataupun objek formal. Sumber data yang digunakan antara lain dari

buku, jurnal, makalah, artikel, dll.

b. Klasifikasi data

Setelah pengumpulan data, tahap selanjutnya adalah memisahkan data

penelitian kedalam data primer atau data sekunder. Hal ini dimaksudkan agar

mempermudah aras berpikir (konsepsi) penelitian.

c. Analisis data

Analisis data mencakup penguraian masalah sesuai objek material dan

objek formal kemudian dideskripsikan dan dianalisis. Pada tahap ini, pembahasan

tentang objek material tentang pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan

Paulo Freire. Pembahasan objek formal dengan menggunakan konsep kebebasan

dalam pendidikan.

d. Refleksi kritis

Merupakan tahapan penelitian dengan cara memberikan argumentasi atau

pemikiran kritis peneliti secara pribadi atas permasalahan yang diangkat dalam

penelitian.

3. Analisis Hasil

Penelitian ini menggunakan model penelitian komparatif dan dengan

metode hermeneutika filosofis. Adapun unsur-unsur metodisnya meliputi,

(Bakker&Zubair,1990 :85-88),

1) Deskripsi

Memberi gambaran mengenai konsep kebebasan dalam pendidikan, dan

memaparkan pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire tentang

Page 32: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

32

pendidikan, juga refleksi terhadap permasalahan pendidikan di Indonesia

seobjektif mungkin sesuai dengan data yang dipilih.

2) Interpretasi

Memahami dan menafsirkan pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Paulo

Freire tentang konsep kebebasan dalam pendidikan, juga perkembangan

pelaksanaan pendidikan di Indonesia sehingga didapatkan pengertian secara

mendalam.

3) Idealisasi

Usaha memahami konsep pemikiran kebebasan pendidikan Ki Hadjar

Dewantara dan Paulo Freire semurni mungkin secara jujur sehingga dapat

dibandingkan dengan visi masing-masing konsep tersebut.

4) Komparasi simetris

Upaya menguraikan konsep kebebasan pendidikan menurut Ki Hadjar

Dewantara dan Paulo Freire secara lengkap kemudian melakukan perbandingan

pada taraf dasar dan konkret dari kedua konsep pemikiran.

5) Refleksi

Upaya mengembangkan inspirasi baru sehingga didapatkan suatu

pemahaman yang lebih komprehensif.

F. Hasil Yang Dicapai

Sebagai suatu penelitian ilmiah, penelitian ini untuk menjawab persoalan

dalam rumusan masalah yaitu:

Page 33: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

33

a. Memperoleh penjelasan tentang prinsip kebebasan dalam pendidikan

secara mendalam, baik secara teoritik maupun makna bagi kehidupan serta

hakikat untuk melaksanakan konsep tersebut dalam kebijakan konkret.

b. Memperoleh penjelasan tentang pokok pemikiran Ki Hadjar Dewantara

dan Paulo Freire tentang pendidikan.

c. Memperoleh analisis tentang konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan

Paulo Freire tentang pendidikan yang membebaskan.

G. Sistematika Penelitian

Sistematika penelitian yang berjudul Konsep Kebebasan Dalam

Pendidikan Menurut Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire ini terdiri dari lima

bab, dengan perincian masing-masing sebagai berikut:

Bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri atas latar belakang penelitian

dilakukan, rumusan masalah yang hendak dijawab, keaslian penelitian, manfaat

dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian yang

digunakan, hasil yang diharapkan dan sistematika penelitian.

Bab kedua berisi tentang objek formal penelitian meliputi aliran-aliran

kebebasan dalam pendidikan dan tokoh-tokoh kebebasan dalam pendidikan.

Bab ketiga berisi tentang objek material, yaitu pokok-pokok pemikiran Ki

Hadjar Dewantara dan Paulo Freire yang meliputi, riwayat hidup, karya – karya,

realitas sosial masyarakat pada zaman Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire,

tokoh-tokoh yang mempengaruhi dan pokok-pokok pemikiran.

Page 34: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69379/potongan/S1-2014... · siapa pun, tanpa melihat kelas atau status sosial. Realitas yang lebih

34

Bab keempat adalah inti penelitian. Bab ini berisi landasan ontologis,

epistemologis dan aksiologis, paradigma pendidikan pembebasan Ki Hadjar

Dewantara dan Paulo Freire, evaluasi yang meliputi titik temu dan titik tolak

pemikiran, kekuatan dan kelemahan serta relevansi atas permasalahan pendidikan

Indonesia.

Bab kelima adalah Penutup. Bab ini berisi kesimpulan jawaban terhadap

pertanyaan penelitian yang diungkapkan dalam rumusan masalah dan juga berisi

saran bagi kemungkinan penelitian lanjutan berkaitan dengan pendidikan.