Upload
lyphuc
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, selawat dan salam kepada Rasulullah SAW
serta sahabat dan keluarga beliau sekalian dengan segala kebaikan Beliau yang telah
membawa kami dari alam jahiliyah kepada alam islamiayh dan dari alam yang penuh
kebiadaban kepada alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Dalam makalah ini
yang berjudul “Analisis Kebijakan Pendidikan ” yang ditulis dengan segenap
kemampuan yang terbatas dan sederhana mungkin.
Terima kasih yang tidak terhingga kepada Dosen Pembimbing dan seluruh
pihak yang telah ikut berpatisipasi dalam penyelesaian makalah ini. Dengan
selesainya penyusunan makalah ini, kami berharap agar makalah ini dapat dikritik
yang membangun dan hasilnya dapat bermanfaat bagi kami dan orang lain.
Banda Aceh, 2 Januari 2011
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar....................................................................................... iDaftar Isi.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1A. Latar Belakang.............................................................................. 1B. Rumusan Masalah......................................................................... 3C. Tujuan Penulisan........................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN......................................................................... 4A. UN................................................................................................. 4
1. Pengertian Ujian Nasional (UN)............................................. 4B. Empiris.......................................................................................... 4
1. Analisis Kebijakan Ujian Nasional......................................... 4C. Normatif........................................................................................ 9
1. Pelaksanaan UN Di Lapangan................................................ 91) Dilematasi Pelaksanaan UN................................................. 92) Pelaksanaan Un Di Tahun 2010........................................... 10
2. Apa Yang terjadi Jika UN Di Laksanakan.............................. 11D. Evaluatif........................................................................................ 14
1. Bagaimana Seharusnya UN Itu............................................... 142. Kenapa harus demikian........................................................... 143. Aspek yang Perlu Di Terapkan Dalam UN............................. 15
BAB III PENUTUP................................................................................. 17A. Kesimpulan................................................................................... 17B. Saran.............................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 18
ii
Makalah : ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN
DI
SUSUN
OLEH :
ERIYANTINIM.
PROGRAM MAGISTER ADMINISTRASI PENDIDIKANFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALABANDA ACEH
2010
BAB I
iii
PENDAHULUANA. Latar Belakang
Ujian Akhir Nasional merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan
Pemerintah yang merupakan bentuk lain dari Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir)
yang sebelumnya dihapus. Pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN) dalam
beberapa tahun ini menjadi satu masalah yang cukup ramai dibicarakan dan menjadi
kontraversi dalam banyak seminar atau perdebatan. Beberapa kali sempat terlontar
rencana atau keinginan dari beberapa pihak untuk menghapus atau meniadakan Ujian
Akhir Nasional tersebut. Tidak kurang dari Mendikbud sendiri pernah melontarkan
pernyataan akan menghapus UAN, dan pernyataan beberapa anggota Dewan yang
mengusulkan penghapusan UAN tersebut.
Pendidikan yang berkualitas memegang peran kunci dalam menciptakan
sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang unggul. Sementara SDM diperlukan
sebagai penggerak proses pembangunan suatu Negara, semakin berkualitas SDM
yang dimiliki oleh suatu Negara maka semakin cepat proses pembangunannya
menuju masyarakat madani. Undang-undang Dasar tahun 1945 menyebutkan bahwa
pendidikan merupakan hak warga Negara yang harus dipenuhi oleh pemerintah
sebagai intitusi Negara.
Hak warga Negara tersebut dapat berupa mendapatkan akses pendidikan yang
berkualitas dan murah, sehingga masyarakat tidak terbebani dengan biaya pendidikan
yang mahal. Dalam era otonomi daerah, terutama sejak dikeluarkannya Undang-
undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, pemerintah pusat
menyerahkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk menjalankan proses
pendidikan di daerahnya masing-masing, tetapi tetap megikuti pedoman dan
prosedur yang sudah dibuat oleh pemerintah pusat selaku pemegang kebijakan
tertinggi.
Menurut Heintz Eulau dan Kenneth Prewitt dalam buku Charles O. Jones
mendefinisikan kebijakan sebagai “keputusan tetap” yang dicirikan oleh konsistensi
dan pengulangan (repetiveness) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari
mereka yang mematuhi keputusan tersebut (1996). Sehingga sering terdengar di
iv
masing-masing daerah di Indonesia memiliki kebijakan yang berbeda berkaitan
dengan biaya pendidikan dan peningkatan kesejahteraan praktisi pendidikan.
Semakin besar Pendapatan Asli Daerah (PAD) maka semakin besar pula dana
yang dianggarkan untuk peningkatan penyelenggaraan pendidikan. Sementara
pemerintah pusat mematok anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Salah
satu program pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini
adalah dengan melaksanakan ujian kelulusan atau yang dikenal dengan Ujian
Nasional (UN) yang dilakukan serentak secara nasional dengan standar nilai dan
jumlah mata ujian ditentukan sebelumnya oleh Departemen Pendidikan dari tingkat
Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). UN sudah dilaksanakan
sejak tahun ajaran 2002/2003 dengan standar nilai 3,01 hingga tahun ajaran
2009/2010 dengan standar nilai kelulusan menjadi 6,00 dan dengan enam (6) mata
pelajaran yang diujikan.
Terjadi perdebatan di masyarakat berkenaan dengan kebijakan pemerintah
ini, ada yang mendukung UN dengan alasan untuk meningkatkan kualitas pendidikan
di Indonesia yang memang terperosok jauh dari Negara tetangga dan ada yang
menolak dengan beragam argumentasi kerugian yang timbul akibat pelaksanaan UN.
Puncaknya ketika pada 14 September 2009 Mahkamah Agung (MA) memutuskan
menolak kasasi perkara yang diajukan pemerintah dengan No 2596 K/PDT/2008
(www.kompas.com).
Dalam isi putusan ini, tergugat yakni presiden, wapres, mendiknas, dan Ketua
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak
asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan. Pemerintah juga lalai meningkatkan
kualitas guru. Dengan demikian MA melarang UN yang diselenggarakan oleh
Depdiknas. Sehingga terjadi permasalahan yang belum ada kejelasan hingga saat ini,
apakah UN tetap dijalankan dengan mekanisme dan prosedur yang diperbaiki atau
UN dihapus berganti dengan kebijakan lain. Meskipun perkembangannya pada
akhirnya UN tetap dilaksanakan dengan memberikan keringan bagi yang tidak lulus
UN untuk mengulang kembali mata pelajaran yang tidak lulus.
B. Rumusan Masalah
v
UN sejak awal sudah menuai kontroversi di Indonesia, sebahagian
masyarakat menganggap UN tidak tepat untuk dilaksanakan secara merata di
Indonesia. Disebabkan oleh keterbatasan sarana dan prasarana masing-masing
sekolah yang ada di seluruh Indonesia belum merata, serta tidak semua sekolah dan
siswa mendapatkan akses pendidikan yang layak dan berkualitas. Sehingga dari latar
belakang di atas dapat dibuat rumusan masalahnya, apakan kebijakan UN masih
tetap layak untuk dilaksanakan di Indonesia dan jika tidak solusi apa yang bisa
diberikan untuk mengganti kebijakan UN tersebut.
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah UN itu sebenarnya?
2. Analisis Kebijakan UN.
3. Bagaimanakah plaksanaan UN di lapangan?
4. Apa yang terjadi jika UN dilaksanakan?
5. Apakah UN itu perlu dilaksanakan?
6. Jika UN dilaksanakan
BAB II
PEMBAHASAN
A. UAN
vi
1. Pengertian Ujian Nasional (UN)
Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran dan
penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan
menengah. Ujian Nasional (UN) merupakan istilah bagi penilaian kompetensi peserta
didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Berbagai
polemik yang berkepanjangan mengenai Ujian Nasional di Indonesia tampak baik
bagi demokrasi di negeri ini. Tapi satu hal yang jangan terlupa bahwa siswa peserta
UN jangan sampai dibuat ragu atau takut tentang kepastian Ujian Nasional sebagai
sarana untuk mengukur kemampuan mereka di bangku sekolahnya. Walaupun UN
mengundang pro dan kontra tapi hendaknya tetap di jalur yang semestinya, karena
bagaimana pun para siswa terutama siswa SMA / MA adalah para calon Agent of
Change yang akan berperan untuk membawa perubahan-perubahan konstruktif bagi
negeri ini. Oleh karena itu agar keraguan berkurang di kalangan dunia kependidikan,
kami dari Tim Ujian Nasional mencoba menyampaikan beberapa hal yang dipandang
penting terutama dalam hal dalam kebijakan UN 2011 yang tentunya diharapkan
dapat menjadi bekal bagi para siswa agar mereka cukup persiapan dalam menghadapi
Ujian Nasional 2011.
B. Empiris
1. Analisa Kebijakan UAN
Analisa kebijakan UAN yang bertentangan dengan UU Sisdiknas dan bentuk
evaluasi di dalam pendidikan. Pertama, ada anggapan dari sebagian orang, terutama
para pejabat Legislatif yang menganggap bahwa UAN bertentangan dengan UU
Sisdiknas. Dimana Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk menerapkan UAN
sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan. Menurut Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran
2003/2004 disebutkan bahwa tujuan UAN adalah untuk mengukur pencapaian hasil
belajar peserta didik melalui pemberian tes pada siswa sekolah lanjutan tingkat
pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas.
Begitu pula evaluasi dalam pendidikan seharusnya dapat memberikan
gambaran tentang pencapaian tujuan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-
vii
Undang No. 20 tahun 2003. Evaluasi seharusnya mampu memberikan informasi
tentang sejauh mana kesehatan peserta didik. Evaluasi harus mampu memberikan
tiga informasi penting seperti yang dipaparkan oleh McNeil. Selain itupula dalam
evaluasi pendidikan diharapkan dapat memberikan informasi tentang keimanan dan
ketakwaan peserta didik terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan juga dapat
meningkatkan kreativitas, kemandirian dan sikap demokratis peserta didik
Dari paparan di atas, yang menjadi pertanyaan apakah mutu pendidikan dapat
diukur dengan memberikan ujian akhir secara nasional di akhir tahun ajaran? Apalagi
bila dihadapkan mutu pendidikan dari aspek sikap dan perilaku siswa, apakah bisa
dilihat hanya pada saat sekejap di penghujung tahun? Mutu pendidikan pada tingkat
nasional dapat dilihat dengan berbagai cara, tetapi pelaksanaan UAN sebagaimana
yang dipraktekkan belum menjawab pertanyaan sejauh mana mutu pendidikan di
Indonesia, apakah menurun atau meningkat dari tahun sebelumnya. Bahkan terdapat
indikasi bahwa soal-soal UAN (yang dulu disebut Ebtanas) berbeda dari tahun ke
tahun, dan seandainya hal ini benar maka akibatnya tidak bisa dibandingkannya hasil
ujian antara tahun lalu dengan sekarang. Selain itu mutu pendidikan tidak mungkin
diukur dengan hanya memberikan tes pada beberapa mata pelajaran ‘penting’ saja,
apalagi dilaksanakan sekali di akhir tahun pelajaran. Mutu pendidikan terkait dengan
semua mata pelajaran dan pembiasaan yang dipelajari dan ditanamkan di sekolah,
bukan hanya pengetahuan kognitif saja. UAN tidak akan dapat menjawab pertanyaan
seberapa jauh perkembangan anak didik dalam mengenal seni, olah raga, dan
menyanyi. UAN tidak akan mampu melihat mutu pendidikan dari sisi percaya diri
dan keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat dan bersikap demokratis.
Dengan kata lain, UAN tidak akan mampu menyediakan informasi yang cukup
mengenai mutu pendidikan. Artinya tujuan yang diinginkan masih terlalu jauh untuk
dicapai hanya dengan penyelenggaraan UAN.
Selain itu pula UAN yang dilakukan hanya dengan tes akhir pada beberapa
mata pelajaran tidak mungkin memberikan informasi menyeluruh tentang
perkembangan peserta didik sebelum dan setelah mengikuti pendidikan. Karena tes
yang dilaksanakan di bagian akhir tahun pelajaran tidak dapat memberikan gambaran
viii
tentang perkembangan pendidikan peserta didik, tes tersebut tidak dapat
memperhatikan proses belajar mengajar dalam keseharian karena tes tertulis tidak
dapat melihat aspek sikap, semangat dan motivasi belajar anak selain itu pula tes di
ujung tahun ajaran tidak dapat menyajikan keterampilan siswa yang sesungguhnya
dan juga hasil tes tidak dapat menggambarkan kemampuan dan keterampilan anak
selama mengikuti pelajaran. Oleh karena itu terjadi pertentangan antara tujuan yang
ingin dicapai dengan bentuk ujian yang diterapkan, karena pengukuran hasil belajar
tidak bisa diukur hanya dengan memberikan tes di akhir tahun ajaran saja.
Kedua, tujuan UAN yang lain dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional
No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 adalah
untuk mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan
pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah. Adalah
ironis kalau UAN dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyenggaraan
pendidikan, karena pendidikan merupakan satu kesatuan terpadu antara kognitif,
afektif, dan psikomotor. Selain itu pendidikan juga bertujuan untuk membentuk
manusia yang berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, cerdas, dan kreative yang
semuanya itu tidak dapat dilihat hanya dengan penyelenggaraan UAN. Dengan kata
lain, UAN belum memenuhi syarat untuk dipakai sebagai bentuk
pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.
Ketiga, jika dihubungkan dengan kurikulum, maka UAN juga tidak sejalan
dengan salah satu prinsip yang dianut dalam pengembangan kurikulum yaitu
diversifikasi kurikulum. Artinya bahwa pelaksanaan kurikulum disesuaikan dengan
situasi dan kondisi daerah masing-masing. Kondisi sekolah di Jakarta dan kota-kota
besar tidak bisa disamakan dengan kondisi sekolah-sekolah di daerah perkampungan,
apalagi di daerah terpencil. Kondisi yang jauh berbeda mengakibatkan proses belajar
mengajar juga berbeda. Sekolah di lingkungan kota relatif lebih baik karena sarana
dan prasana lebih lengkap. Tetapi di daerah-daerah pelosok keberadaan sarana dan
prasarana serba terbatas, bahkan kadang jumlah guru pun kurang dan yang ada pun
tidak kualified akibat ketiadaan. Kebijakan penerapan UAN dengan standar yang
sama untuk semua sekolah di Indonesia telah melanggar prinsip tersebut dan
ix
mengakibatkan ketidakadilan bagi peserta didik yang tentu saja hasilnya akan jauh
berbeda, sedangkan kebijakan yang diambil adalah menyamakan mereka.
Keempat, pelaksanaan UAN hanya pada beberapa mata pelajaran yang
dianggap “penting” juga memiliki permasalahan tersendiri. Sekarang yang terjadi
orang akan beranggapan hanya matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan
IPA yang merupakan mata pelajaran penting. Sedangkan ada diantara kita anak-anak
yang memiliki bakat untuk melukis atau olahraga, mereka akan meragukan bahwa
pelajaran tersebut merupakan pelajaran penting bagi dia. Sehingga bakat tersebut
akan terkubur dengan sendirinya karena yang ada di benak mereka adalah bagaimana
mereka bisa lulus dalam UAN tersebut. Dengan demikian pelaksanaan UAN hanya
pada beberapa mata pelajaran akan mendorong guru untuk cenderung mengajarkan
hanya mata pelajaran tersebut, karena yang lain tidak akan dilakukan ujian nasional.
Hal ini dapat berakibat terkesampingnya mata pelajaran lain, padahal tidak semua
anak senang pada mata pelajaran yang diujikan. Akibat dari kondisi ini adalah terjadi
peremehan terhadap mata pelajaran yang tidak dilakukan pengujian.
Kelima, tingkat kreativitas guru empat mata pelajaran tersebut akan
terkekang karena dikejar target untuk menyelesaikan materi. Selain itu pula metode
pembelajaran yang seharusnya bisa disajikan secara menarik dan dikembangkan
sesuai dengan implementasi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari tergantikan
dengan metode drill latihan soal dan peserta didik hanya “dicekoki” dengan
bagaimana dapat menjawab soal-soal pada empat mata pelajaran tersebut.
Keenam, beberapa orang berpendapat bahwa UAN bertentangan dengan
kebijakan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun
1999. Hal ini dapat dipahami sebagai berikut. Kebijakan UAN dilaksanakan
bersamaan dengan dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah. Selain itu pada saat
yang sama juga dikenalkan kebijakan otonomi sekolah melalui manajemen berbasis
sekolah. Evaluasi sudah seharusnya menjadi hak dan tanggung jawab daerah
termasuk sekolah, tetapi pelaksanaan UAN telah membuat otonomi sekolah menjadi
terkurangi karena sekolah harus tetap mengikuti kebijakan UAN yang diatur dari
pusat. Selain itu UAN berfungsi untuk menentukan kelulusan siswa. Padahal
x
pendidikan merupakan salah satu bidang yang diotonomikan, kecuali sistem dan
perencanaan pendidikan yang diatur secara nasional termasuk kurikulum. Di sisi lain,
dengan adanya kebijakan otonomi sekolah yang berhak meluluskan siswa adalah
sekolah melalui kebijakan manajemen berbasis sekolah. UAN telah dijadikan alat
untuk “menghakim” siswa, tetapi dengan cara yang tanggung karena dengan
memberikan batasan nilai minimal 4.25. Dengan menetapkan nilai serendah itu,
maka berarti bahwa standar mutu pendidikan di Indonesia memang ditetapkan sangat
rendah. Kalau direnungkan, apa arti nilai 4 pada suatu ujian. Nilai 4 dapat diartikan
hanya 40% dari seluruh soal yang diujikan dikuasai, padahal secara umum pada
bagian lain diakui bahwa nilai yang dapat diterima untuk dinyatakan cukup atau baik
adalah di atas 6. Dengan kata lain, UAN selain menetapkan standar mutu pendidikan
yang sangat rendah telah “menghakimi” semua siswa tanpa melihat latar belakang,
situasi, kondisi, sarana dan prasarana serta proses belajar mengajar yang dialami
terutama siswa di daerah pedesaan.
C. Normatif
1. Pelaksanaan UN di lapangan
1) Dilematis Pelaksanaan UN
Ujian Nasional sejak digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003 tidak jarang
menjadi momok menakutkan bagi pelajar yang kawatir tidak lulus karena tidak
mendapatkan nilai yang mencukupi, sementara bagi para guru dan institusi
pendidikan tempat siswa menimba ilmu kekawatiran serupa terjadi, kualitas dan
profesionalitas mereka dipertaruhkan, tergantung dari banyak dan sedikitnya siswa
yang lulus dalam UN. Sehingga tidak jarang terjadi kecurangan-kecurangan dari
pelaksanaan UN di daerah-daerah baik yang dilakukan oleh siswa itu sendiri maupun
oleh para pendidik, dengan tujuan satu, mendongkrak nilai UN siswa agar
mendapatkan nilai sesuai dengan batas minimal kelulusan.
UN di beberapa daerah masih cenderung mengabaikan nilai-nilai kejujuran
dan tanggung jawab. Media elektronik dan cetak merekam kecurangan ini, banyak
sekolah dan orang tua siswa yang paranoid dan sangat khawatir siswanya tidak lulus
xi
ujian dengan persentase tinggi. UN layaknya ‘palu sidang’ yang akan dijatuhkan
untuk memvonis apakah seorang siswa dianggap pandai sehingga layak memperoleh
predikat lulus, atau sebaliknya.
Mengingat hasil ujian ini berimplikasi pula pada eksistensi dan kredibilitas
sekolah, setelah ditelisik lebih jauh ternyata paranoid ini tidak saja mengidap sekolah
dan orang tua siswa, namun pemerintah daerah juga merasa perlu dan
berkepentingan menjaga muka terkait pengelolaan pendidikan di wilayahnya.
Selanjutnya sudah bisa ditebak, beragam kebijakan diambil oleh pemerintah daerah
terkait sukses UN ini.
Realitas ini tentu sangat memprihatinkan apalagi di dunia pendidikan yang
semestinya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Faktanya pelaksanaan UN tahun
2008-2009 yang lalu masih ditemukan sejumlah 33 sekolah yang melakukan
kecurangan dalam pelaksanaannya (www.swaramerdeka.com). Masih segar dalam
ingatan kita terhadap sekelompok guru yang menamakan dirinya Komunitas Air
Mata Guru. Sebuah kelompok guru yang meskipun pahit telah berani mengikuti
nuraninya sebagai seorang pendidik, untuk melaporkan berbagai macam tindakan
kecurangan dalam pelaksanaan ujian pada sekolah mereka di Medan dan daerah
sekitarnya.
Sayangnya, keberanian mereka mengungkap kecurangan ini menuai
intimidasi. Mereka dianggap mencemarkan nama baik sekolah, diturunkan atau
ditunda kenaikan pangkatnya hingga diberhentikan. Sikap Depdiknas pun setali tiga
uang. Alih-alih melindungi para guru tersebut malah ikut menyudutkan mereka.
Padahal dalam UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa
dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya berhak memperoleh perlindungan
atau memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas.
Masyarakat sebenarnya bisa mengerti ketika pemerintah menilai bahwa ujian
tersebut bisa meningkatkan motivasi belajar. Namun kamingnya, motivasi itu muncul
hanya di akhir tahun ajaran menjelang ujian, bukan sebagai bagian dari proses
pembelajaran. Mereka berlomba-lomba memasuki institusi pendidikan non formal
xii
hanya untuk dapat lulus UN dan tentunya akan membuat pengeluaran masyarakat di
bidang pendidikan semakin membengkak, belum lagi mental pelajar yang menjadi
terganggu dengan tekanan belajar yang meningkat tajam.
2) Pelaksanaan UN di Tahun 2010
Tahun 2010 ini sejarah pendidikan kita kembali tercoreng oleh ulah para
oknum pendidik beberapa waktu lalu yang harus berurusan dengan kepolisian karena
kasus kecurangan dalam pelaksanaan UN. Bahkan ada beberapa sekolah yang secara
diam-diam telah memberikan bocoran jawaban UN kepada para siswanya. Bisnis
bocoran soal dan jawaban pun menjadi ladang uang bagi oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab. Sejak awal digulirkan kebijakan UN, tampak jelas begitu banyak
permasalahan dan kontroversi yang ditimbulkannya.
2. Apa yang terjadi jika UN dilaksanakan
Akhir – akhir ini kita diingatkan kembali dengan masalah Ujian Nasional,
karena beberapa Media baik cetak maupun Elektronik, ramai – ramai memberitakan
kemenangan dari gugatan warga Negara atau Citizen Lawsuit terhadap Pemerintah,
dimana kemenangan ini mulai dari tingkat Pengadilan Negri sampai dengan
Mahkamah Agung. Ujian Nasional sesungguhnya mempunyai 2 sisi baik dan buruk,
SISI BAIK
1. Kita jadi mempunyai standard yang sama untuk kelulusan siswa, sehingga
pada akhirnya tidak ada perbedaan antara siswa di Jakarta dan kota kota
besar lainnya dengan siswa didaerah.
2. Kelulusan akan menjadi suatu hal yang membanggakan dan suatu hal yang
patut disyukuri, karena ditempuh dengan perjuangan dan pengorbanan
yang besar.
xiii
3. Pada akhirnya untuk masuk ke Perguruan tinggi cukup menggunakan nilai
hasil kelulusan.
4. Dan lain lain.
SISI BURUK
1. Siswa menjadi Depresi dan sangat tertekan karena Ujian Nasional seolah olah
tidak bisa diprediksi materi yang akan diujikan
2. Karena Standard pengajaran diseluruh Indonesia berbeda – beda, sesuai
dengan kualitas pengajar, tingkat ekonomi didaerah, dan lain lain, maka sulit
untuk dilakukan penyeragaman soal ujian. Bayangkan saja sekolah yang
berbeda standard pengajarannya dipaksakan harus mengerjakan soal yang
sama.
3. Pembuat soal kurang turun ke lapangan, meninjau sekolah sekolah terpencil
untuk mengetahui sebaiknya materi Ujian itu sampai tingkat yang bagaimana.
4. Di beberapa kasus terjadi kesalahan dari sistim koreksi yang dilakukan untuk
menilai hasil ujian Nasional ini, contohnya ada kasus dimana satu sekolah
tidak lulus ujian dan selanjutnya dilakukan ujian ulang. Bagaimana
Pemerintah bisa yankin bahwa sistim penilaiannya sudah benar, seandainya
saja pada contoh kasus diatas yang mengalami kesalahan penilaian hanya 11
orang, mungkin ujiannya tidak bisa diulang. Dan jadilah siswa yang apes tadi
harus menerima nasib ia tidak lulus ujian.
3. Sebuah Gambaran tentang Ujian Nasional (UN)
UN Amburadul, Gambaran Pendidikan yang Bobrok 09:48, 29/04/2010
xiv
Pengumuman hasil ujian nasional (UN) di beberapa daerah sangat
mengejutkan kita. Ironisnya, ada sekolah yang 99 persen bahkan 100 persen
siswanya dinyatakan tidak lulus. Meski tingkat kelulusan cenderung meningkat, tapi
kecurangan-kecurang pada pelaksanaan UN menegasikan validitas data kelulusan.
“Fenomena kecurangan dan hasil UN yang amburadul dan mengecewakan
tersebut merupakan gambaran kebobrokan sistem pendidikan kita,” kata Syamsir
Pohan, Ketua Umum Badko HMI Sumut.
Terkait Komisi E DPRD Sumut meminta panitia UN Provinsi Sumatera Utara
memeriksa ulang lembar jawaban untuk Kabupaten Labuhan Batu, menyusul
penolakan hasil UN dari Dinas Pendidikan Kabupaten Labuhanbatu, itu merupakan
affirmative action, tindakan penyelamatan positif.
Tapi, akar permasalahan kita bukan itu. Sejatinya, Komisi E DPRD Sumut
harus mengevaluasi total manajemen mutu pendidikan kita, khususnya di Sumatera
Utara. Lebih jauh lagi, persoalan ini harus dibahas secara serius dan dibawa ke
Musrembangnas oleh Dinas Pendidikan Sumut,” tambah Syamsir.
Belakangan, lanjut Syamsir, peristiwa kasus bunuh diri Juliana di Plaza
Medan Fair juga diuga akibat stres karena takut tidak naik kelas.
Ini juga menjadi persoalan. Ada kecenderungan bahwa kenaikan kelas,
kelulusan UN dan prestasi dengan tolok ukur angka-angka di rapor menjadi
“momok” bagi siswa.
“Menurut saya, selain berorientasi pada peningkatan intelejensia dan
pengetahuan, pendidikan kita harus diarahkan pada pembangunan mental dan
kerohanian. Agar siswa dapat menghayati dan menikmati pendidikan, khususnya
pendidikan formal, sebagai sebuah kawah candra di muka, tempat menempa diri,”
pungkasnya. (mag-13/rel)
xv
Gambar: Menangis Seorang siswi SMK Negeri 7 Medan menangis ketika
mengetahui dirinya harus kembali melaksanakan ujian ulangan karena
gagal lulus pada Ujian Nasional, Senin (26/4)
D. Evaluatif
1. Bagaimana seharusnya UN itu.
1) Menurut kami Ujian Nasional dengan penyeragaman soal, baik untuk
dilakukan diseluruh Indonesia, namun untuk kelulusan siswa tetap
diserahkan pada sekolah masing – masing dengan mempertimbangkan
hasil ujian Harian, Tengah Semester dan Semester yang telah dilakukan
selama ini. Karena yang benar benar mengetahui kemampuan siswa yang
bersangkutan adalah guru guru mereka sendiri.
2) Data hasil dari Ujian Nasional itu menjadi masukan yang baik bagi
Pemerintah untuk mengetahui peta keberhasilan pendidikan yang
dilaksanakan diseluruh Indonesia, jadi bisa tahu, mana daerah yang perlu
mendapatkan perhatian lebih, atau mana Sekolah yang perlu dievaluasi
mutu pendidikkannya.
2. Kenapa harus demikian
Mutu Standard Pendidikan belum merata baik antar sekolah, maupun antar
Daerah, untuk itu merupakan tugas Pemerintah melalui Departemen
Pendidikan untuk membenahi hal tersebut. Alasan lainnya adalah Pemerintah
xvi
seharusnya tidak terburu buru menerapkan standard yang MUTLAK untuk
Ujian Nasional, sebaiknya diberlakukan standard NORMA, yang
mempertimbangkan berbagai aspek, belajar itu tidak harus dibangku sekolah,
banyak orang yang disekolahnya biasa-biasa saja namun setelah lulus ia
menambah pengetahuannya dengan berbagai hal yang menunjang
pekerjaannya dan berhasil.
Disini kami berikan sebagai contoh, ada seorang anak yang ingin jadi
Ahli kimia, tapi ia tidak bisa segera mewujudkan keinginannya itu karena
tidak lulus ujian Nasional pada mata pelajaran Matematika, di Bab Calculus
Diferential. Atau tidak lulus Bahasa Indonesia pada bagian Sinonim. Kan
konyol jadinya ? Lebih parah lagi bila ternyata ada oknum pembuat soal ujian
yang merasa seperti pembuat Teka – teki, jadi makin susah dijawab, dia
makin bangga karenanya. Kasihan anak – anak jadi korban. Kan bisa saja itu
terjadi, banyak yang bilang orang Indonesia (baca “Oknum”) itu, seringkali
terlihatnya seperti rendah hati, padahal Arogan. contohnya banyak (kalau
dibilang banyak berarti tidak semua) yang sebelum terpilih jadi anggota DPR,
wah baik banget seolah olah akan berjuang demi rakyat, namun setelah
terpilih ternyata mengecewakan.
3. Aspek yang perlu diterapkan dalam UN
Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan, setidaknya ada empat
penyimpangan dengan digulirkannya UN. Pertama, aspek pedagogis. Dalam
ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni
pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif).
Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif,
sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan.
Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1
yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi,
proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan
secara berencana dan berkala. UN yang selama ini dilakukan hanya
xvii
mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang
ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Ketiga, aspek sosial dan
psikologis.
Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah
mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 dan meningkat
seterusnya dari tahun ketahun. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi
peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-
pelajaran yang akan di UN kan di sekolah dan di rumah. Keempat, aspek
ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya.
Tidak hanya pemerintah yang harus mengeluarkan dana ekstra dalam
memberikan materi tambahan kepada peserta didik, tetapi juga orang tua
siswa yang terpaksa mengalokasikan dana untuk memberikan kursus
tambahan agar anaknya mendapatkan nilai memuaskan dalam pelaksanaan
UN nantinya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal
penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih
sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini
memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN.
xviii
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ujian Nasional yang
diberlakukan oleh pemerintah melalui Departemen Pendidikan tidak lain mempunyai
tujuan mulia untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional yang terpuruk dari
Negara lain terutama di wilayah Asia Tenggara. Meskipun akhirnya terjadi
kontroversi di tengah masyarakat dan berakibat keluarnya putusan MA, yang
melarang dilaksanakannya UN pada tahun ajaran 2009/2010.
B. Saran
Adapun beberapa hal yang dapat kami sarankan terhadap pemerintah perlu
dilakukan dalam pelaksanaan UN selanjutnya yaitu:
1. UN tetap dilaksanakan tetapi soal UN diselaraskan dengan tingkatan
Akreditasi masing-masing sekolah.
2. Membentuk kepanitiaan independen dalam pelaksanaan UN dari tingkat
pusat,sampai ke sekolah-sekolah. Bukan hanya itu, Panitia Independen juga
bertugas menjadi pengawas ruang saat berlangsungnya ujian, mengawasi dan
atau mengumpulkan lembar-lembar jawaban, sampai dengan pengawasan
dalam proses penilaian dan pengumuman hasil ujian nasional.
3. Pemerintah pusat dan daerah perlu terus menerus meningkatkan
pengalokasian anggaran di bidang pendidikan agar kualitas pendidikan
dinegeri ini semakin meningkat dan merata.
4. Para pendidik dan pemerintah daerah negeri ini perlu belajar kembali tentang
norma-norma kejujuran, sehingga tidak dengan mudah menerapkan segala
cara dalam mendongkrak nilai UN siswa.
xix
DAFTAR PUSTAKA
Conny R. Semiawan. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. 2005. PT RAJAGRAFINDO PERSADA : JAKARTA
Jones, Charles O.. (1996). Pengantar Kebijakan Publik. Ed. 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suharto, Edi. (2005). Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
www.swaramerdeka.com.
www.kompas.com.
http://www.hariansumutpos.com/2010/04/42801/un-amburadul-gambaran-pendidikan-yang-bobrok.html
http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/07/kontroversi-ujian-nasional.html
http://antikorupsi.org/indo/content/view/3764/2/
http://scalamedia.net/berita/editorial/389-ujian-nasional.html
http://kampungtki.com/baca/10710
xx