43
1. Pengertian Keuangan Daerah Dalam arti sempit, keuangan daerah yakni terbatas pada hal- hal yang berkaitan dengan APBD . Oleh sebab itu keuangan daerah identik dengan APBD . Berdasarkan PP Nomor 58 Tahun 2005, Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban tersebut”. Hak dan kewajiban daerah tersebut perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah merupakan subsistem dari sistem pengelolaan keuangan Negara dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Menurut Mamesah dalam Halim (2007:23) keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak lain sesuai ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku. Mardiasmo (2000:3), mengatakan bahwa dalam pemberdayaan pemerintah daerah ini, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah : 1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public oriented);

fadjar1992.files.wordpress.com file · Web viewKetentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, ... Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, peran akuntan

Embed Size (px)

Citation preview

1. Pengertian Keuangan Daerah

Dalam arti sempit, keuangan daerah yakni terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan

APBD. Oleh sebab itu keuangan daerah identik dengan APBD. Berdasarkan PP Nomor 58

Tahun 2005, “Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka

penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala

bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban tersebut”. Hak dan kewajiban

daerah tersebut perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan

keuangan daerah merupakan subsistem dari sistem pengelolaan keuangan Negara dan merupakan

elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.

Menurut Mamesah dalam Halim (2007:23) keuangan daerah adalah semua hak dan

kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa  uang

maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh

negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak lain sesuai ketentuan/peraturan perundangan

yang berlaku.

Mardiasmo (2000:3), mengatakan bahwa dalam pemberdayaan pemerintah daerah ini, maka

perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah

adalah :

1. Pengelolaan keuangan daerah  harus bertumpu pada kepentingan publik  (public

oriented);

2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumya dan anggaran daerah

pada khususnya;

3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait

dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, KDH, Sekda dan perangkat daerah lainnya;

4. Kerangka hukum dan administrasi atas pembiayaan, investasi dan pengelolaan keuangan

daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan

akuntabilitas;

5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH dan PNS Daerah, baik ratio

maupun dasar pertimbangannya;

6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja, dan anggaran multi-

tahunan;

7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih professional;

8. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, peran akuntan

publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran, dan transparansi

informasi anggaran kepada publik;

9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi, dan

peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah

daerah;

10. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan informasi

anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah daerah terhadap

penyebarluasan informasi.

Menurut Halim (2004:18), “Ruang lingkup keuangan daerah terdiri dari keuangan daerah

yang dikelola langsung dan kekayaan daerah yang dipisahkan. Yang termasuk dalam keuangan

langsung adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan barang-barang inventaris milik

daerah. Sedangkan keuangan daerah yang dipisahkan meliputi Badan Usaha Milik Daerah

(BUMD)”.

Dalam pengertian lain keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 156

ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai

berikut:

“Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan

segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan

dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.

2. Pengelola Keuangan Daerah

Mengenai Pengelolaan Keuangan Daerah yang dilaksanakan oleh pemegang kekuasaan

pengelola keuangan daerah. Dijelaskan tentang uraian para pengelola keuangan termasuk Kepala

Daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan dan

mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Kepala

Daerah perlu menetapkan pejabat-pejabat tertentu dan para bendahara untuk melaksanakan

pengelolaan keuangan daerah. Para pengelola keuangan daerah tersebut adalah:

1. Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah (Koordinator PKD).

2. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD).

3. Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang (PPA/PB).

4. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK).

5. Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

6. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran.

Berikut ini adalah uraian tentang tugas-tugas para pejabat pengelola keuangan daerah tersebut.

1. Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah

Kepala Daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan

keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang

dipisahkan. Pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah mempunyai kewenangan:

1. Menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD).

2. Menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang daerah.

3. Menetapkan kuasa pengguna anggaran/pengguna barang.

4. Menetapkan bendahara penerimaan dan/atau bendahara pengeluaran.

5. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan daerah.

6. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah.

7. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang milik daerah.

8. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan

pembayaran.

Kepala daerah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah melimpahkan sebagian

atau seluruh kekuasaannya kepada:

Sekretaris Daerah selaku Koordinator Pengelola Keuangan Daerah.

Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) selaku Pejabat Pengelola

Keuangan Daerah (PPKD).

Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku pejabat pengguna

anggaran/pengguna barang.

Pelimpahan tersebut ditetapkan dengan keputusan kepala daerah berdasarkan prinsip pemisahan

kewenangan antara yang memerintahkan, menguji, dan yang menerima atau mengeluarkan uang,

yang merupakan unsur penting dalam sistem pengendalian intern.

2. Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah

Sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah membantu kepala

daerah menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan penyelenggaraan urusan pemerintahan

daerah termasuk pengelolaan keuangan daerah. Sekretaris Daerah selaku koordinator

pengelolaan keuangan daerah mempunyai tugas koordinasi di bidang:

1. Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD).

2. Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan barang daerah.

3. Penyusunan rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD.

4. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD, perubahan APBD, dan

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.

5. Tugas-tugas pejabat perencana daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah, dan pejabat

pengawas keuangan daerah.

6. Penyusunan laporan keuangan daerah dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan

APBD.

Selain mempunyai tugas koordinasi, Sekretaris Daerah mempunyai tugas:

Memimpin Tim Anggaran Pemerintah Daerah,

Menyiapkan pedoman pelaksanaan APBD,

Menyiapkan pedoman pengelolaan barang daerah,

Memberikan persetujuan pengesahan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA-SKPD) /

Dokumen Perubahan Pelaksanaan Anggaran (DPPA), dan

Melaksanakan tugas-tugas koordinasi pengelolaan keuangan daerah lainnya berdasarkan

kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah.

Koordinator pengelolaan keuangan daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas-tugas

tersebut kepada kepala daerah.

3. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah

Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) selaku Pejabat Pengelola

Keuangan Daerah (PPKD) mempunyai tugas:

1. Menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan keuangan daerah,

2. Menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD,

3. Melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan

Daerah,

4. Melaksanakan fungsi Bendahara Umum Daerah (BUD),

5. Menyusun laporan keuangan daerah dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan

APBD; dan

6. Melaksanakan tugas lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah.

PPKD dalam melaksanakan fungsinya selaku Bendahara Umum Daerah (BUD) berwenang:

Menyusun kebijakan dan pedoman pelaksanaan APBD;

Mengesahkan DPA-SKPD/DPPA-SKPD;

Melakukan pengendalian pelaksanaan APBD;

Memberikan petunjuk teknis pelaksanaan sistem penerimaan dan pengeluaran kas daerah;

Melaksanakan pemungutan pajak daerah;

Menetapkan Surat Penyediaan Dana (SPD);

Menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian pinjaman atas nama pemerintah

daerah;

Melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah;

Menyajikan informasi keuangan daerah; dan

Melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan barang milik

daerah.

PPKD selaku BUD menunjuk pejabat di lingkungan satuan kerja pengelola keuangan

daerah selaku Kuasa Bendahara Umum Daerah (Kuasa BUD). PPKD mempertanggungjawabkan

pelaksanaan tugasnya kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah.

Penunjukan Kuasa BUD oleh PPKD ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Kuasa

BUD mempunyai tugas:

Menyiapkan anggaran kas;

Menyiapkan Surat Penyediaan Dana (SPD);

Menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D);

Menyimpan seluruh bukti asli kepemilikan kekayaan daerah;

Memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran APBD oleh bank dan/atau lembaga

keuangan lainnya yang ditunjuk;

Mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan APBD;

Menyimpan uang daerah;

Melaksanakan penempatan uang daerah dan mengelola/menatausahakan investasi daerah;

Melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat pengguna anggaran atas beban

rekening kas umum daerah;

Melaksanakan pemberian pinjaman atas nama pemerintah daerah;

Melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah; dan

Melakukan penagihan piutang daerah.

Kuasa BUD bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada BUD.

PPKD dapat melimpahkan kepada pejabat lainnya di lingkungan SKPKD untuk

melaksanakan tugas-tugas sebagai berikut:

Menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;

Melakukan pengendalian pelaksanaan APBD;

Melaksanakan pemungutan pajak daerah;

Menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian jaminan atas nama pemerintah daerah;

Melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah;

Menyajikan informasi keuangan daerah; dan

Melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan barang milik

daerah.

4. Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang

Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku Pejabat Pengguna

Anggaran/Pengguna Barang (PPA/PB) mempunyai tugas:

1. Menyusun Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD);

2. Menyusun Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD (DPA-SKPD);

3. Melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja;

4. Melaksanakan anggaran SKPD yang dipimpinnya;

5. Melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran;

6. Melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;

7. Mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain dalam batas anggaran yang

telah ditetapkan;

8. Menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM);

9. Mengelola utang dan piutang yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya;

10. Mengelola barang milik daerah/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD

yang dipimpinnya;

11. Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan SKPD yang dipimpinnya;

12. Mengawasi pelaksanaan anggaran SKPD yang dipimpinnya;

13. Melaksanakan tugas-tugas pengguna anggaran/pengguna barang lainnya berdasarkan

kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah.

Pejabat pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan

tugasnya kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah. Pejabat Pengguna

Anggaran/Pengguna Barang dalam melaksanakan tugas-tugasnya dapat melimpahkan sebagian

kewenangannya kepada Kepala Unit Kerja pada SKPD selaku Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa

Pengguna Barang.

Pelimpahan sebagian kewenangan tersebut berdasarkan pertimbangan tingkatan daerah,

besaran SKPD, besaran jumlah uang yang dikelola, beban kerja, lokasi, kompetensi dan/atau

rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya. Pelimpahan sebagian kewenangan tersebut

ditetapkan oleh kepala daerah atas usul kepala SKPD. Kuasa pengguna anggaran/kuasa

pengguna barang mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas-tugasnya kepada pengguna

anggaran/pengguna barang.

5. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan SKPD

Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang dan Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa

Pengguna Barang dalam melaksanakan program dan kegiatan menunjuk pejabat pada unit kerja

SKPD selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Penunjukan pejabat tersebut

berdasarkan pertimbangan kompetensi jabatan, anggaran kegiatan, beban kerja, lokasi, dan/atau

rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya.

PPTK bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada pengguna

anggaran/pengguna barang atau kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang yang telah

menunjuknya. Tugas-tugas tersebut adalah:

1. Mengendalikan pelaksanaan kegiatan;

2. Melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan; dan

3. Menyiapkan dokumen anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan kegiatan, yang

mencakup dokumen administrasi kegiatan maupun dokumen administrasi yang terkait

dengan persyaratan pembayaran yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan.

6. Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD

Untuk melaksanakan anggaran yang dimuat dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran

SKPD (DPA-SKPD), Kepala SKPD menetapkan pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha

keuangan pada SKPD sebagai Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD (PPKSKPD). PPK-SKPD

mempunyai tugas:

1. Meneliti kelengkapan Surat Permintaan Pembayaran Langsung (SPP-LS) pengadaan

barang dan jasa yang disampaikan oleh bendahara pengeluaran dan diketahui/ disetujui

oleh PPTK;

2. Meneliti kelengkapan Surat Permintaan Pembayaran Uang Persediaan (SPP-UP), Surat

Permintaan Pembayaran Ganti Uang Persediaan (SPP-GU), Surat Permintaan

Pembayaran Tambah Uang Persediaan (SPP-TU) dan SPP-LS gaji dan tunjangan PNS

serta penghasilan lainnya yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

yang diajukan oleh bendahara pengeluaran;

3. Melakukan verifikasi Surat Permintaan Pembayaran (SPP);

4. Menyiapkan Surat Perintah Membayar (SPM);

5. Melakukan verifikasi harian atas penerimaan;

6. Melaksanakan akuntansi SKPD; dan

7. Menyiapkan laporan keuangan SKPD.

PPK-SKPD tidak boleh merangkap sebagai pejabat yang bertugas melakukan

pemungutan penerimaan negara/daerah, bendahara, dan/atau PPTK.

7. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran

Kepala daerah atas usul PPKD menetapkan Bendahara Penerimaan dan Bendahara

Pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran pada

SKPD. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran tersebut adalah pejabat fungsional.

Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran baik secara langsung maupun tidak langsung

dilarang melakukan kegiatan perdagangan, pekerjaan pemborongan dan penjualan jasa atau

bertindak sebagai penjamin atas kegiatan/pekerjaan/penjualan, serta membuka rekening/giro pos

atau menyimpan uang pada suatu bank atau lembaga keuangan lainnya atas nama pribadi.

Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran dalam melaksanakan tugasnya dapat

dibantu oleh Bendahara Penerimaan. Pembantu dan/atau Bendahara Pengeluaran Pembantu.

Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran secara fungsional bertanggung jawab atas

pelaksanaan tugasnya kepada PPKD selaku BUD.

3. Prinsip – Prinsip Anggaran Daerah

Prinsip-prinsip dasar (azas) yang berlaku di bidang pengelolaan Anggaran Daerah yang

berlaku juga dalam pengelolaan Anggaran Negara / Daerah sebagaimana bunyi penjelasan dalam

Undang Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu :

1. Kesatuan

Azas ini menghendaki agar semua Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah disajikan dalam satu

dokumen anggaran.

2. Universalitas

Azas ini mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam dokumen

anggaran.

3. Tahunan

Azas ini membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu

4. Spesialitas

Azas ini mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara jelas peruntukannya.

5. Akrual

Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani untuk pengeluaran yang

seharusnya dibayar, atau menguntungkan anggaran untuk penerimaan yang seharusnya diterima,

walaupun sebenarnya belum dibayar atau belum diterima pada kas

6. Kas

Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani pada saat terjadi pengeluaran/

penerimaan uang dari/ ke Kas Daerah.

Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual

sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 13, 14, 15 dan 16 dalam UU Nomor 17 Tahun 2003,

dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan pengukuran

pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan

pengukuran berbasis kas.

4. Sumber Penerimaan Daerah

Pendapatan atau sumber pendapatan daerah dapat berasal dari pendapatan asli daerah

sendiri, pendapatan asli daerah yang berasal dari pembagian pendapatan asli daerah, dana

perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pinjaman daerah, dan

pendapatan daerah lainnya yang sah.

Dalam kehidupan bernegara yang layak pajak merupakan sumber pendapatan yang utama

untuk membiayai kegiatan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang tidak

dihasilkan oleh swasta. Pajak disamping berperan sebagai sumber pendapatan (budgetary

function) yang utama juga berperan sebagai alat pengatur (regulatory function). Dalam

pengenaan pajak, ada yang bersifat langsung dan tidak langsung, artinya seluruh beban pajak itu

diterima atau dipikul oleh wajib pajak dan tidak dapat digeserkan kepada orang lain. Disamping

itu ada juga pajak yang bersifat tidak langsung artinya beban pajaknya tidak selalu dipikul

seluruhnya oleh si wajib pajak, tetapi beban pajak itu dapat digeserkan seluruh atau sebagiannya

kepada orang lain, biasanya adalah pembeli atau pemasok bahan mentah dalam kegiatan

produksi barang.

Adapun sumber-sumber penerimaan daerah yang lain ialah :

PDAS :

a. Pajak daerah

b. Retribusi daerah

c. Laba PDAM

d. Laba BPM

e. BKK

f. Penerimaan lain-lain

Bagi hasil :

a. PBB

b. PBB-KB

c. BPH-TB

d. Bukan pajak

Iuran hasil hutan

Pemberian hak atas tanah

Pemeriksaan kulit

Sumbangan dan bantuan :

a. Subsidi

b. Ganjaran

c. SBBO-RSUD

d. SBPP-SDN

e. SPP-OD

f. Bantuan desa

g. Sumbangan dati-I

h. OPRS-JPS

i. Dana pembangunan dati-II

j. Bantuan APBD Tk I

k. BLN _ Loan IBRD

5.Pengeluaran Daerah

Untuk mengembangkan daerahnya, pemerintah daerah diberi wewenang untuk mengelola atau

mengatur keuangan daerahnya sendiri-sendiri. Komponen pengeluaran daerah adalah sebagai

berikut:

a. Belanja aparatur negara, meliputi belanja administrasi umum, belanja operasional dan

pemeliharaan, dan belanja modal.

b. Belanja pelayanan publik, meliputi belanja administrasi umum, belanja operasional dan

pemeliharaan, dan belanja modal.

c. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan.

d. Belanja tidak disangka.

Belanja merupakan pengeluaran kas daerah yang menjadi beban daerah dalam periode

tahun anggaran tertentu. Pos-pos belanja daerah dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Belanja administrasi umum, adalah belanja tidak langsung dan tidak menambah aset tetap.

Misalnya belanja gaji pegawai, listrik, air, telepon, dan pemeliharaan kendaraan.

b. Belanja operasional dan pemeliharaan, adalah belanja yang besar atau kecilnya dipengaruhi

oleh adanya kegiatan tetapi tidak menambah aset. Misalnya operasi penertiban pedagang

kaki lima.

c. Belanja modal, adalah belanja yang besar atau kecilnya dipengaruhi oleh adanya kegiatan

secara langsung dan menambah aset. Misalnya pembangunan gedung, pembelian

kendaraan bermotor, dan pembangunan jalan.

d. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan. Belanja ini bersifat langsung tanpa indikator

kinerja. Misalnya belanja provinsi untuk alokasi bagi hasil. Alokasi tersebut bisa berupa

pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor ke kabupaten atau kota,

bantuan kepada organisasi kemasyarakatan, olahraga, dan profesi.

e. Belanja tidak disangka, dialokasikan untuk mendanai kebutuhan daerah yang mendesak

untuk dilaksanakan tetapi belum ada anggarannya.

Kebijakan anggaran

Kebijakan anggaran diperlukan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan kegiatan ekonomi

masyarakat sehingga pendapatan nasional meningkat. Jenis-jenis kebijakan anggaran adalah

sebagai berikut:

a. Kebijakan anggaran berimbang, terjadi jika penerimaan negara sama dengan belanja

negara. Hal ini dapat diterapkan jika kondisi perekonomian stabil.

b. Kebijakan anggaran tidak berimbang, dapat terdiri atas:

1. Anggaran defisit. Kebijakan anggaran defisit terjadi jika pengeluaran pemerintah akan

lebih besar dibandingkan penerimaan yang ada. Kebijakan ini dapat dilakukan ketika

tingkat pertumbuhan ekonomi rendah, terjadi inflasi, dan daya beli masyarakat turun.

2. Anggaran surplus. Kebijakan anggaran surplus terjadi jika pengeluaran pemerintah

lebih kecil dibandingkan penerimaan yang ada. Kebijakan ini dapat dilakukan untuk

mengatasi terjadinya inflasi. Oleh karena tidak semua penerimaan dibelanjakan,

pemerintah dapat mengakumulasi tabungan.

6. Hubungan antara keuangan daerah dan keuangan negara

Pasal 1 UUD 1945 menetapkan negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk

republik. Selanjutnya dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya menyatakan bahwa

daerah Indonesia terbagi dalam daerah yang bersifat otonom dan bersifat daerah administrasi.

Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan

berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber-sumber daya nasional yang

memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme

(KKN). Penyelenggaraan pemerintahan daerah juga merupakan subsistem dari pemerintahan

negara sehingga antara keuangan daerah dengan keuangan negara akan mempunyai hubungan

yang erat dan saling mempengaruhi.

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas,

nyata dan bertanggung jawab di daerah serta secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan,

pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan

keuangan pemerintah pusat dan daerah. Sumber pembiayaan pemerintahan daerah dalam rangka

perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi,

dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Setiap penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah

dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi disertai dengan pengalihan sumber daya manusia

dan sarana serta pengalokasian anggaran yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan

penyerahan dan pelimpahan kewenangan tersebut. Sedangkan penugasan dari pemerintah pusat

kepada daerah dalam rangka tugas pembantuan disertai pengalokasian anggaran.

Dari ketiga jenis pelimpahan wewenang tersebut, hanya pelimpahan wewenang dalam

rangka pelaksanaan desentralisasi saja yang merupakan sumber keuangan daerah melalui alokasi

dana perimbangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan alokasi dana dari

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam rangka dekonsentrasi dan tugas pembantuan

tidak merupakan sumber penerimaan APBD dan diadministrasikan serta dipertanggungjawabkan

secara terpisah dari administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan desentralisasi.

7. Undang-undang yang mengatur tentang keuangan daerah

BAB   IV

PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBD

Pasal   16

1) APBD  merupakan  wujud  pengelolaan  keuangan  daerah  yang  ditetapkan  setiap  tahun

dengan Peraturan Daerah.

2) APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.

3) Pendapatan daerah   berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain

pendapatan yang sah.

4) Belanja daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.

Pasal 17

1) APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan

pendapatan daerah.

2) Penyusunan Rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada

rencana kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.

3) Dalam  hal  anggaran  diperkirakan  defisit,  ditetapkan  sumber-sumber  pembiayaan  untuk

menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.

4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut dalam

Peraturan Daerah tentang APBD.

Pasal 18

1) Pemerintah  Daerah  menyampaikan  kebijakan  umum  APBD  tahun  anggaran  berikutnya

sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD

kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan Juni tahun berjalan.

2) DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah dalam

pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.

3) Berdasarkan  kebijakan  umum  APBD  yang  telah  disepakati  dengan  DPRD,  Pemerintah

Daerah  bersama  Dewan  Perwakilan  Rakyat  Daerah  membahas  prioritas  dan  plafon

anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah.

Pasal 19

1) Dalam  rangka  penyusunan  RAPBD,  Kepala  Satuan  Kerja  Perangkat  Daerah  selaku

pengguna anggaran menyusun rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah

tahun berikutnya.

2) Rencana  kerja  Satuan  Kerja  Perangkat  Daerah  disusun  dengan  pendekatan  berdasarkan

prestasi kerja yang akan dicapai

3) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja

untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun

4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) dan (2) disampaikan kepada DPRD

untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD

5) Hasil  pembahasan  rencana  kerja  dan  anggaran  disampaikan  kepada  pejabat  pengelola

keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD

tahun berikutnya.

6) Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  penyusunan rencana  kerja  dan  anggaran  Satuan  Kerja

Perangkat Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.

Pasal 20

1) Pemerintah  Daerah  mengajukan  Rancangan  Peraturan  Daerah  tentang  APBD,  disertai

penjelasan  dan  dokumen-dokumen  pendukungnya  kepada  DPRD  pada  minggu  pertama

bulan Oktober tahun sebelumnya.

2) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan sesuai dengan undang-

undang yang mengatur susunan dan kedudukan DPRD.

3) DPRD  dapat  mengajukan  usul  yang  mengakibatkan  perubahan  jumlah  penerimaan  dan

pengeluaran dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.

4) Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD

dilakukan  selambat-lambatnya  satu  bulan  sebelum  tahun  anggaran  yang  bersangkutan

dilaksanakan.

5) APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program,

kegiatan, dan jenis belanja.

6) Apabila  DPRD  tidak  menyetujui  Rancangan  Peraturan  Daerah  sebagaimana  dimaksud

dalam  ayat  (1),  untuk  membiayai  keperluan  setiap  bulan  Pemerintah  Daerah  dapat

melaksanakan   pengeluaran   setinggi-tingginya   sebesar   angka   APBD   tahun   anggaran

sebelumnya.

BAB   V

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA

PEMERINTAH PUSAT  DAN BANK SENTRAL, PEMERINTAH DAERAH,

SERTA PEMERINTAH/LEMBAGA ASING

Pasal 21

Pemerintah Pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan

fiskal dan moneter

Pasal 22

1) Pemerintah   Pusat   mengalokasikan   dana   perimbangan   kepada   Pemerintah   Daerah

berdasarkan undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah.

2) Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada Pemerintah Daerah

atau sebaliknya.

3) Pemberian pinjaman dan/atau hibah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan setelah

mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

4) Pemerintah Daerah dapat memberikan pinjaman kepada/menerima pinjaman dari daerah lain

dengan persetujuan DPRD.

Pasal 23

1) Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman

dari pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR.

2) Pinjaman dan/atau hibah yang diterima Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam

ayat   (1)   dapat   diteruspinjam-kan   kepada   Pemerintah   Daerah/Perusahaan   Negara/

Perusahaan Daerah

BAB   VII

PELAKSANAAN APBN DAN APBD

Pasal 26

1) Setelah APBN ditetapkan dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut

dengan Keputusan Presiden.

2) Setelah APBD ditetapkan dengan peraturan daerah, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut

dengan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota.

Pasal 27

1) Pemerintah  Pusat  menyusun  Laporan  Realisasi  Semester  Pertama  APBN  dan  prognosis

untuk 6 (enam) bulan berikutnya.

2) Laporan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  disampaikan  kepada  DPR  selambat-

lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara

DPR dan Pemerintah Pusat.

3) Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama

DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN

tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi :

a. perkembangan  ekonomi  makro  yang  tidak  sesuai  dengan  asumsi  yang  digunakan

dalam APBN.

b. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;

c. keadaan   yang   menyebabkan   harus   dilakukan   pergeseran   anggaran   antarunit

organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja;

d. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan

untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.

4) Dalam  keadaan  darurat  Pemerintah  dapat  melakukan  pengeluaran  yang  belum  tersedia

anggarannya,  yang  selanjutnya  diusulkan  dalam  rancangan  perubahan  APBN  dan/atau

disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.

5) Pemerintah Pusat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perubahan APBN tahun

anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)

untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.

Pasal 28

1) Pemerintah Daerah menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBD dan prognosis

untuk 6 (enam) bulan berikutnya.

2) Laporan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  disampaikan  kepada  DPRD  selambat-

lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara

DPRD dan Pemerintah Daerah.

3) Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama

DPRD  dengan  Pemerintah  Daerah  dalam  rangka  penyusunan  prakiraan  Perubahan  atas

APBD tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi :

a. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD

b. keadaan   yang   menyebabkan   harus   dilakukan   pergeseran   anggaran   antarunit

organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja.

c. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan

untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.

4) Dalam  keadaan  darurat  Pemerintah  Daerah  dapat  melakukan  pengeluaran  yang  belum

tersedia  anggarannya,  yang  selanjutnya  diusulkan  dalam  rancangan  perubahan  APBD,

dan/atau  disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.

5) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD

tahun anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (3) untuk mendapatkan persetujuan DPRD sebelum tahun anggaran yang bersangkutan

berakhir.

Pasal 29

Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN dan APBD

ditetapkan dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara.

BAB   VIII

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN

APBN DAN APBD

Pasal 30

1) Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggung-

jawaban

pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan

Pemeriksa Keuangan, selambat lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca,

Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan

keuangan perusahaan negara dan badan lainnya.

Pasal 31

1) Gubernur/Bupati/Walikotamenyampaikan rancangan peraturan daerah tentang

pertanggung jawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah

diperiksa oleh badan pemeriksaan keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah

tahun anggaran terakhir.

2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca,

Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan

keuangan perusahaan daerah.

Pasal 32

1) Bentuk  dan  isi  laporan  pertanggungjawaban  pelaksanaan  APBN/APBD sebagaimana

dimaksud  dalam  Pasal  30  dan  Pasal  31  disusun  dan  disajikan  sesuai  dengan  standar

akuntansi pemerintahan.

2) Standar akuntansi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun oleh suatu

komite  standar  yang  independen  dan  ditetapkan  dengan  Peraturan  Pemerintah  setelah

terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan.

Pasal   33

Pemeriksaan  pengelolaan  dan  pertanggungjawaban  keuangan  negara  diatur  dalam  undan -

undang tersendiri.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 25 TAHUN 1999

TENTANG

PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB II

DASAR-DASAR PEMBIAYAAN PEMERINTAHAN DAERAH

Pasal 2

1) Penyelenggaraan tugas Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dibiayai atas beban A

PBD.

2) Penyelenggaraan tugas Pemerintahan Pusat yang dilaksanakan oleh perangkat Daerah Propinsi

dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN.

3) Penyelenggaraan tugas Pemerintahan Pusat yang dilaksanakan oleh perangkat Daerah dan Des

a dalam rangka Tugas Pembantuan dibiayai atas beban APBN.

4) Penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau penyerahan

kewenangan atau penugasan Pemerintah Pusat kepada Bupati/Walikota diikuti dengan

pembiayaannya.

BAB III

SUMBER-SUMBER PENERIMAAN PELAKSANAAN DESENTRALISASI

Bagian Pertama

Sumber-Sumber Penerimaan Daerah

Pasal 3

Sumber-sumber penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi adalah:

a. Pendapatan Asli Daerah;

b. Dana Perimbangan;

c. Pinjaman Daerah;

d. Lain-lain Penerimaan yang sah.

Bagian Kedua

Sumber Pendapatan Asli Daerah

Pasal 4

Sumber Pendapatan Asli Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a terdiri dari:

a. hasil pajak Daerah;

b. hasil retribusi Daerah;

c.

hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan;

d. lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah

Pasal 5

1) Ketentuan mengenai pajak Daerah dan retribusi Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 4

huruf a dan huruf b diatur dengan Undang-undang.

2) Ketentuan mengenai perusahaan milik Daerah dan pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang

dipisahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c diatur sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Ketiga

Dana Perimbangan

Pasal 6

1) Dana Perimbangan terdiri dari :

a. Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tana

h dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam;

b. Dana Alokasi Umum;

c. Dana Alokasi Khusus.

2) Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dengan imbangan 10% (sepuluh pe

rsen) untuk Pemerintah Pusat dan 90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah.

3) Penerimaan Negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbanga

n 20%

(dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.

4) 10% (sepuluh persen) penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dan 20% (dua puluh persen)

penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang menjadi bagian dari Pemerinta

h

Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dibagikan kepada seluruh Kabupaten 

dan Kota.

5) Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan

sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat da

n 80% (delapan puluh persen) untuk daerah.

6) Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang

dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut:

a. Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi yang berasal dari wilayah Daerah se

telah

dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbanga

n 85%

(delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah Pusat dan 15% (lima belas persen) untuk D

aerah.

b. Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam yang berasal dari wilayah Daerah setelah

dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbang

70% (tujuh puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 30 % untuk daerah.

Pasal 5

1) Ketentuan mengenai pajak Daerah dan retribusi Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 4

huruf a dan huruf b diatur dengan Undang-undang.

2) Ketentuan mengenai perusahaan milik Daerah dan pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang

dipisahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c diatur sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Ketiga

Dana Perimbangan

Pasal 6

1) Dana Perimbangan terdiri dari :

a. Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tana

h dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam;

b. Dana Alokasi Umum;

c. Dana Alokasi Khusus.

2) Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dengan imbangan 10% (sepuluh pe

rsen) untuk Pemerintah Pusat dan 90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah.

3) Penerimaan Negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbanga

n 20%

(dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.

4) 10% (sepuluh persen) penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dan 20% (dua puluh persen)

penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang menjadi bagian dari Pemerinta

h

Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dibagikan kepada seluruh Kabupaten 

dan Kota.

5) Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, da

n

sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat da

n 80% (delapan puluh persen) untuk daerah.

6) Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang

dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut:

a. Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi yang berasal dari wilayah Daerah se

telah

dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbanga

n 85%(delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah Pusat dan 15% (lima belas persen) u

ntuk Daerah.

b. Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam yang berasal dari wilayah Daerah setela

h

dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbanga

n 70%(tujuh puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 30% (tiga puluh persen) untuk Da

erah.

Pasal 7

1) Dana Alokasi Umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari Peneri

maan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN.

2) Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi dan untuk Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan m

asing-masing 10% (sepuluh persen) dan 90% (sembilan puluh persen) dari Dana Alokasi Umu

m sebagaimana yang ditetapkan pada ayat (1).

3) Dalam hal terjadi perubahan kewenangan diantara Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/

Kota

persentase Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota sebagaim

ana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan perubahan tersebut.

4) Dana Alokasi Umum untuk suatu Daerah Propinsi tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian ju

mlah

Dana Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Propinsi yang ditetapkan dalam APBN, dengan po

rsi Daerah Propinsi yang bersangkutan.

5) Porsi Daerah Propinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan proporsi bobot Daerah

Propinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Propinsi di seluruh Indonesi

a.

6) Dana Alokasi Umum untuk suatu Daerah Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan

perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Kabupaten/Kota yang ditetapkan 

dalam APBN dengan porsi daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

7) Porsi Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan proporsi bobot

Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Kabupaten/

Kota di seluruh Indonesia.

8) Bobot Daerah ditetapkan berdasarkan :

a. kebutuhan wilayah otonomi Daerah;

b.potensi ekonomi Daerah.

9) Penghitungan dana alokasi umum berdasarkan rumus sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ay

at

(5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) dilakukan oleh Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan 

Pusat dan Daerah.

Pasal 8

1) Dana Alokasi Khusus dapat dialokasikan dari APBN kepada Daerah tertentu untuk membantu

membiayai kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.

2) Kebutuhan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

a. kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum; dan/

atau

b. kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.

3) Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk yang berasal dari dana

reboisasi.

4) Dana reboisasi dibagi dengan imbangan:

a. 40% (empat puluh persen) dibagikan kepada Daerah penghasil sebagaimana Dana Alokasi 

Khusus.

b. 60% (enam puluh persen) untuk Pemerintah Pusat.

5) Kecuali dalam rangka reboisasi, Daerah yang mendapat pembiayaan kebutuhan khusus

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyediakan dana pendamping dari APBD sesuai denga

n kemampuan Daerah yang bersangkutan.

Pasal 9

Besarnya jumlah Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) ditetapkan set

iap tahun anggaran dalam APBN.

Pasal 10

Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penghitungan dan penyaluran atas bagian Daerah dari

penerimaan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), da

n ayat(6) dan rumus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), da

n ayat (8),serta Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diatur dengan Peratur

an Pemerintah.