81
SKRIPSI HUKUM PEMBERIAN KOMPENSASI KEPADA PENDONOR ORGAN TUBUH MANUSIA (Studi Perbandingan antara Peraturan Menteri Kesehatan No.38 Tahun 2016, Fatwa Majelis Ulama Indonesia, dan Dar al- Ifta’ al-Misriyyah) Diajukan kepada Fakultas Syari‟ah dan Hukum Untuk Memenuhi salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Dhanar Zulfikar Ali NIM: 1113043000046 KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020 M/ 1441 H

SKRIPSI HUKUM PEMBERIAN KOMPENSASI KEPADA

Embed Size (px)

Citation preview

SKRIPSI

HUKUM PEMBERIAN KOMPENSASI KEPADA PENDONOR ORGAN

TUBUH MANUSIA (Studi Perbandingan antara Peraturan Menteri

Kesehatan No.38 Tahun 2016, Fatwa Majelis Ulama Indonesia, dan Dar al-

Ifta’ al-Misriyyah)

Diajukan kepada Fakultas Syari‟ah dan Hukum

Untuk Memenuhi salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Dhanar Zulfikar Ali

NIM: 1113043000046

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020 M/ 1441 H

ii

v

ABSTRAK

Dhanar Zufikar Ali. NIM 1113043000046. HUKUM PEMBERIAN

KOMPENSASI KEPADA PENDONOR ORGAN TUBUH MANUSIA (Studi

Perbandingan antara Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 Tahun 2016,

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tahun 2019, Fatwa Dar al-Ifta‟ al-Misriyyah).

Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan

Fiqh, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, 1441 H/ 2020 M.

Penelitian ini menngunakan metodelogi library research dengan analisis

komparatif dan penafsiran hukum dalam membandingkan peraturan-peraturan

yang menjadi objek kajian penulisan ini. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui ketentuan hukum dan bentuk pemberian kompensasi terhadap

pendonor organ tubuh manusia menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38

tahun 2016, Lembaga Fatwa MUI, dan dan Lembaga Fatwa Mesir: Dar al-Ifta al-

Misriyyah, selain itu untuk mengetahui pertimbangan Hukum Positif dan Hukum

Islam mengenai Hak Asasi Manusia pada Praktik Transplantasi Organ Tubuh

Manusia

Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa pada semua peraturan

tersebut telah diatur mengenai pelarangan unsur komersialisasi pada proses

transplantasi organ tubuh, namun justru Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38

tahun 2016 mengatur pemberian kompensasi kepada pendonor yang berbentuk

asuransi kesehatan dengan besarannya akan ditetapkan oleh Menteri atas usulan

dari Rumah Sakit penyelenggara, dan jumlah paling sedikit ialah sebesar iuran

Jaminan Kesehatan Nasional dengan manfaat kelas I yang jangka waktu

pemberiannya paling sedikit adalah 5 (lima) tahun. Hal ini bertujuan untuk

memenuhi hak asasi pendonor khususnya hak untuk hidup yang layak karena

kondisi kesehatan pendonor yang sudah berbeda daripada sebelum transplantasi.

Kata kunci : Transplantasi Organ, Kompensasi, Hak Asasi Manusia

Dosen Pembimbing : 1. Dr. Fuad Thohari, M.Ag.

: 2. Afwan Faizin, M.A.

Daftar Pustaka : 1994 s.d 2019.

vi

KATA PENGANTAR

بسم هللا الرحمن الرحيم

Puji Syukur kepada Allah SWT atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, Shalawat dan Salam tak lupa

dipanjatkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat

dan umatnya hingga akhir zaman.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini penulis menyadari bahwa banyak

rintangan dan hambatan yang datang silih berganti, namun berkat bantuan baik

moril maupun materil serta bimbingan dan dorongan yang tak henti-hentinya dari

berbagai pihak, dan atas izin Allah SWT akhirnya penulis dapat merampungkan

skripsi ini.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati dan tak mengurangi

rasa hormat, penulis menghaturkan terimakasih yang tak terhingga kepada semua

pihak yang telah sangat berjasa dalam proses pengerjaan skripsi ini, tentunya

kepada:

1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., selaku Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta serta para jajarannya.

2. Ibu Siti Hanna, M.A. selaku ketua Program Studi Perbandingan

Madzhab dan Hukum dan juga kepada Bapak Hidayatulloh, M.H.

selaku sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab yang telah

memberikan pengarahan serta waktu kepada penulis di sela-sela

waktu kesibukan beliau.

3. Bapak Dr. Fuad Thohari, M.Ag. dan bapak Afwan Faizin, M.A.

sebagai pembimbing skripsi yang telah banyak membimbing,

memberikan pencerahan, ilmu, serta dukungan kepada penulis

selama proses penyelesaian skripsi ini.

vii

4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mencurahkan

segala kemampuannya guna memberikan ilmu-ilmu yang tak ternilai

harganya. Serta kepada civitas academika UIN Syarif Hidayatullah

yang telah memberikan pelayanan terbaiknya.

5. Teristimewa kepada kedua orang tua penulis yaitu ayahanda H.M.

Nurdin dan ibunda Hj. Nawiyah, yang telah mencurahkan segenap

kasih sayangnya, serta tak putus-putusnya memberikan dukungan

dan doa kepada penulis dalam menempuh pendidikan.

6. Kakak dan adik penulis Nadia Fatima, Rio Viansyah dan juga Dhafa

Rizki atas segala motivasinya sehingga penulis dapat sampai pada

jenjang terakhir sebagai mahasiswa.

7. Teruntuk pengisi hari-hari penulis Nur Indah Faradhiyah, Ahmad

Syarif Hidayatullah, dan teman-teman seperjuangan lain yang tidak

bisa di sebutkan satu persatu, atas segala dukungan, masukan, saran,

dan motivasi kepada penulis

8. Teman-teman Program Studi Perbandingan Madzhab angkatan 2013

yang telah memberikan saran dan dukungan pada penulis.

Akhirnya, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak baik yang

tertulis maupun tidak, atas segala jasa dan bantuan sehingga selesainya penulisan

skripsi ini. Penulis berdoa semoga Allah SWT membalasnya dengan imbalan

pahala yang berlipat ganda.

Bogor, 6 Juni 2020 M

viii

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………...…i

HALAMANPERSETUJUANPEMBIMBING……………………………........ii

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI………………......iii

LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………..iv

ABSTRAK………………………………………………………………………..v

KATA PENGANTAR…………………………………………………………...vi

DAFTAR ISI…………………………………………………………………...viii

BAB I: PENDAHULUAN………………………………………………………..1

A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………...1

B. Identifikasi Masalah……………………………………………………….7

C. Batasan Masalah…………………………………………………………...7

D. Rumusan Masalah…………………………………………………………8

E. Tujuan Penelitian………………………………………………………….8

F. Manfaat Penelitian………………………………………………………...8

G. Review Kajian Terdahulu…………………………………………………9

H. Metode Penelitian………………………………………………………...10

I. Sistematika Penulisan…………………………………………………….13

BAB II: LANDASAN TEORI KOMPENSASI TRANSPLANTASI ORGAN

TUBUH……………………………………………………………….15

A. Pengertian Transplantasi…………………………………………………15

ix

B. Sejarah Metode Transplantasi Organ dalam Pengobatan………………..19

C. Jenis Transplantasi Organ………………………………………………..23

D. Konsep Kompensasi dalam Hukum Islam……………………………….26

BAB III: PERATURAN MENGENAI TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH

…………………………………………………………………………27

A. Transplantasi Organ Tubuh mennurut Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 38 Tahun 2016……………………………………………….......27

B. Transplantasi Organ Tubuh Menurut Fatwa Ulama Indonesia…………..31

C. Transplantasi Organ Tubuh Menurut Fatwa Majelis Ulama Mesir Darul

Ifta al-Misriyyah………………………………………………………….37

BAB IV: ANALISIS PERBANDINGAN MENGENAI PEMBERIAN

KOMPENSASI KEPADA PENDONOR ORGAN TUBUH

…………………………………………………………...…………45

A. Ditinjau Dari Segi Muatan……………………………………………….45

B. Pemenuhan Aspek Hak Asasi Manusia Terhadap Pemberian Kompensasi

Terhadap Pendonor Organ Tubuh………………………………………..55

BAB V: PENUTUP……………………………………………………………..63

A. Kesimpulan ……………………………………………………………...63

B. Saran……………………………………………………………………...64

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...65

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sehat berasal dari bahasa Arab الصحة yang berarti sembuh, sehat, selamat

dari cela, cacat, atau nyata, benar sesuai dengan kenyataan. Secara umum sehat

adalah berfungsinya semua organ serta saraf-saraf tubuh dengan baik. Kesehatan

adalah suatu keadaan yang penting bagi manusia. Setiap manusia sangat

mendambakan kesehatan, mulai dari anak yang baru lahir sampai yang sudah

berusia lanjut, karena nikmat sehat merupakan salah satu anugerah terbesar dari

Allah SWT.

Dalam ilmu kedokteran Timur maupun Barat meyakini bahwa setiap

penyakit ada obatnya, begitupun dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang

pernah bersabda mengenai pentingnya kesehatan1, Diriwayatkan dari musnad

Imam Ahmad dari shahabat Usamah bin Suraik,:

ى ولءت تا كنتعندالنب ولالىووىاالىوعى ول عرابوفقتل:يتر

لضعلونالىوإأنتدالى؟فقتل:ن ع يتعبتدالىووتداللاوف يضعدا إال لءلل عز

ردا لاحد.قتلوا:متىو؟وقتل:اهلرم) امحد(رلاهشفت غ

Artinya; “Aku pernah berada di samping Rasulullah, Lalu datanglah serombongan

Arab Badui. Mereka bertanya, 'Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat?' Beliau

menjawab, 'Iya, wahai para hamba Allah SWT, berobatlah. Sebab, Allah tidaklah

meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu

penyakit.' Mereka bertanya, 'Penyakit apa itu?' Beliau menjawab, 'Penyakit tua.'"

(H.r. Ahmad).

1 Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada masalah-masalah kontemporer Hukum

Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 121.

2

Hadits tersebut menunjukkan bahwa setiap umat Islam wajib berikhtiar

untuk berobat apabila menderita sakit apapun macam penyakitnya. Sebab, setiap

penyakit merupakan berkah kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta‟ala yang pasti

ada penawarnya baik dengan obat maupun tindakan tertentu yang salah satu

contohnya adalah transplantasi.

Dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran

berkembang dengan pesat. Salah satunya adalah kemajuan dalam teknik

transplantasi organ. Tranplantasi (pencangkokan) berasal dari Bahasa inggris, to

transplant, yang berarti to move from one place to other, bergerak dari satu

tempat ke tempat yang lain. Transplantasi adalah pemindahan organ tubuh dari

orang sehat atau dari mayat yang organ tubuhnya mempunyai daya hidup dan

sehat kepada tubuh orang lain yang memiliki organ tubuh yang tidak berfungsi

lagi, sehingga resipien (penerima organ) dapan bertahan hidup secara sehat.2

Orang yang anggota tubuhnya dipindahkan disebut donor (pen-donor),

sedang yang menerima disebut resipien. Cara ini merupakan solusi bagi

penyembuhan organ tubuh tersebut karena penyembuhan atau pengobatan dengan

prosedur medis biasa tidak ada harapan kesembuhannya.3 Transplantasi organ dan

jaringan tubuh manusia merupakan tindakan medis yang sangat bermanfaat bagi

pasien dengan ganguan fungsi organ tubuh yang berat. Ini adalah terapi alternatif

yang merupakan upaya terbaik untuk menolong pasien dengan kegagalan

organnya, karena hasilnya lebih memuaskan dan hingga dewasa ini terus

berkembang dalam dunia kedokteran, namun tindakan medis ini tidak dapat

dilakukan begitu saja, karena masih harus dipertimbangkan dari segi non medis,

yaitu dari segi agama, hukum, budaya, etika dan moral.

Sejak kesuksesan transplantasi yang pertama kali berupa ginjal dari donor

kepada pasien gagal ginjal pada tahun 1954, perkembangan di bidang

transplantasi maju dengan pesat. Kemajuan ilmu dan teknologi memungkinkan

2 M. Ramdan Arifin, Transplantasi Organ Tubuh Dalam Persfektif Islam, (t.t. Sinar

Muhammadiyah, 2008), h. 19. 3 Haswir, “Hukum Mendonorkan dan Mentransplasikan Anggota Tubuh”, Al-Fikra:

Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 2, (Juli Desember, 2011), h. 276.

3

pengawetan organ, penemuan obat-obatan anti penolakan yang semakin baik

sehingga berbagai organ dan jaringan dapat ditransplantasikan. Dalam beberapa

kepustakaan disebutkan bahwa transplantasi organ sudah dilakukan sejak tahun

600 SM, dimana saat itu Susruta dari India telah melakukan transplantasi kulit.4

Ilmu transplantasi modern semakin berkembang dengan ditemukannya

metode-metode pencangkokan, misalnya;

1. Pencangkokan arteria mammaria interna di dalam operasi lintas

coroner;

2. Pencangkokan jantung, dari jantung kera kepada manusia;

3. Pencangkokan sel-sel substansia nigra dari bayi yang meninggal ke

penderita Parkinson;

4. Pencangkokan ginjal;

5. Pencangkokan hati;

6. Pencangkokan sumsum tulang;

7. Pencangkokan pankreas.5

Transplantasi organ menjadi permasalahan bioetika yang cukup pelik,

karena kebutuhan jaringan tubuh manusia yang semakin hari semakin bertambah,

sementara persediaan organ terbatas karena beberapa organ harus diambil dari

tubuh mereka yang sudah meninggal maupun masih hidup, padahal tidak setiap

keluarga orang yang mendonorkan organ tubuhnya memberi ijin bagi pihak rumah

sakit ataupun dokter untuk melakukan tindakan perpindahan organ tanpa adanya

harga yang pantas.6 Sehingga hal ini, mendorong terjadinya jual-beli organ atau

pendonor yang mengharapkan agar diberi imbalan.

Komersial dalam kegiatan transplantasi organ tubuh tentunya sangat

bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang menjadi fokus tujuan utama dalam

melakukan tindakan transplantasi organ tubuh terutama bagi donor hidup. Kata

4 Teresa Liliana, “Nilai Etika Transplantasi Organ”, Jurnal Artikel: Majalah Komunikasi

Maranatha, 2003. 5 Haswir, “Hukum Mendonorkan dan Mentransplasikan Anggota Tubuh”, Al-Fikra:

Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 2, (Juli Desember, 2011), h. 275. 6 Alexandra Indriyanti Dewi, Etika dan hukum kesehatan, (Yogyakarta: Pustaka book

publisher, 2008), h.83,84.

4

komersial menurut kamus bahasa Indonesia adalah suatu kegiatan yang berkaitan

dengan perdagangan atau suatu barang yang dimaksudkan untuk diperdagangkan

dan bisa juga bernilai tinggi yang kadang-kadang mengorbankan nilai-nilai lain

termasuk kemanusiaan.7

Majelis Ulama Indonesia (disingkat MUI; Arab: جمىسالعىمت اإلندلن سي‎ Majlis al-„Ulama‟ al-Indunīsī) adalah Lembaga independent yang mewadahi para

ulama zuama, dan cendikiawan islam untuk membimbing, membina, dan

mengayomi umat islam di Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada 17

Rajab 1395 Hijriah atau 26 Juli 1975 Masehi di Jakarta, Indonesia. 8

Sesuai

dengan tugasnya, MUI membantu pemerintah dalam melakukan hal-hal yang

menyangkut kemaslahatan umat islam.

Mengenai praktik Transplantasi organ tubuh, Majelis Ulama Indonesia

yang dalam hal ini merupakan ujung tombak bagi masyarakat Indonesia yang

mayoritas penduduknya adalah muslim dalam upaya mencari aturan hukum atas

sesuatu yang masih tidak memiliki aturan hukum telah mengeluarkan Fatwa

nomor 13 Tahun 1440 H tentang Transplantasi Organ dan/atau Jaringan Tubuh

Dari Pendonor Hidup Untuk Orang Lain. Fatwa ini berisi syarat-syarat agar

diperbolehkannya pelaksanaan Transplantasi organ menurut syariat Islam dengan

mengambil istinbath hukum yang berasal dari Al-Quran, Sunnah, Hadist Nabi,

pendapat ulama-ulama terdahulu serta berdasarkan atas Fatwa-Fatwa yang

memiliki kaitan dengan Transplantasi organ.

Dalam fatwa MUI nomor 13 Tahun 2019 disebutkan bahwa seseorang

tidak boleh memberikan atau menjual organ dan/atau jaringan tubuhnya kepada

orang lain karena organ tubuh tersebut bukan hak milik (haqqu al-milki). Untuk

itu, pengambilan dan transplantasi organ tubuh tanpa adanya alasan yang

7 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, Pengertian Komersial (Online),

http://kamusbahasaindonesia.org/komersial/mirip diakses pada tanggal 01 Oktober 2019. 8 Profil MUI,dari https://mui.or.id/sejarah-mui/ diakses tanggal 15 Agustus 2019.

5

dibenarkan secara syar‟i hukumnya haram. 9

Selain itu transplantasi menuurut

Fatwa MUI ini Bersifat untuk tolong-menolong (tabarru‟), tidak untuk komersial.

Pada praktiknya, tenaga medis di Indonesia dalam melakukan transplantasi

organ tunduk pada Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 Tahun 2016 tentang

Penyelenggaraan Transplantasi Organ. Peraturan ini banyak membahas mengenai

aspek tanggungjawab pemerintah untuk mengawasi tindakan transplatasi organ

yang dalam hal ini dilakukan oleh Rumah Sakit yang harus mendapat penetapan

dari Menteri dan harus dievaluasi Komite Transplantasi Nasional secara berkala

setiap tahun. Setiap calon Pendonor dan calon Resipien pun sebelum melakukan

tindakan transplantasi organ harus terdaftar terlebih dahulu di Komite

Transplantasi Nasional, dan sudah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.10

.

Pada Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 Tahun 2016 pasal 38 secara

tekstual dapat diartikan bahwasanya Pemerintah dalam hal ini berkewajiban untuk

mengelola dana yang berasal dari APBN, APBD, Hibah, dan dana lain untuk

keperluan pelaksanaan Pra hingga pasca operasi, bahkan Pemerintah juga

mengatur mengenai pemberian asuransi dan penghargaan bagi pendonor yang

telah memberikan organnya dengan besar penghargaan ditetapkan oleh Mentri.

Dapat diambil kesimpulan bahwasanya terdapat unsur komersialisasi dalam

proses transplantasi organ menurut Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 Tahun

2016.

Salah satu kasus transplantasi organ yaitu ginjal yang telah disidik Polres

Malang Kota, Jawa Timur dengan penerima donor ialah Erwin Susilo seorang

pengusaha pakan ayam dan Ita Diana yang merupakan pendonor ginjal di Rumah

Sakit Saiful Anwar Malang. Penyidik menggali keterangan terkait pemberian

kontribusi kepada pihak pendonor ginjal hingga proses operasi transplantasi

ginjal. Erwin selaku resipien diminta keterangan mengenai janji dan kesepakatan

tertentu sebelum hingga pascaoperasi. Kasus ini masuk kedalam penyelidikan

9 Fatwa MUI No. 13 Tahun 2019 tentang Hukum Transplantasi dari Pendonor Hidup.

10 Peraturan Menteri Kesehatan No. 38 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan

Transplantasi Organ.

6

penyidik setelah Ita Diana (pendonor) melaporkan Erwin (resipien) karena merasa

dirugikan. Kuasa hukum Erwin menjelaskan kliennya tidak pernah menjanjikan

uang sebesar Rp.350.000.000 kepada Ita. Proses Transplantasi ginjal Ita ke Erwin

sudah sesuai arahan tim dokter RSSA Malang. Bahkan, terkait kompensasi atau

kontribusi resipien kepada pendonor pun sudah diserahkan sesuai aturan. Erwin

menjelaskan bahwa ia memberikan Rp.70.000.000 kepada Ita dengan rincian

Rp.45.000.000 sebagai biaya hidup selama 3 (tiga) bulan, Rp. 5.000.000 untuk

BPJS Kesehatan, dan Rp. 20.000.000 sebagai tali asih. Serta dokumen yang

ditandatangani Erwin dan Ita juga diketahui oleh tim dokter. Selama tujuh bulan

sebagai pasien rumah sakit saat cuci darah, Erwin tidak mengenal Ita. Sampai

transplantasi semua diatur pihak rumah sakit.11

. Polisi yang menangani kasus ini

menyatakan bahwa kasus ini bukan termasuk jual-beli ginjal atau organ tubuh

karena tidak ada bukti tertulis, dan hal tersebut murni tentang janji yang tidak

ditepati.

Sedangkan di Mesir, praktik transplantasi organ juga telah menjadi isu

yang hangat diperbincangkan dikarenakan masih banyaknya perdagangan organ

tubuh manusia. Perdagangan organ ini dikarenakan kondisi ekonomi yang

semakin sulit. Dalam Fatwa Dar al-Ifta‟ al-Misriyyah nomor 3638 tanggal 10

Februari 2003, jawaban dari Ali Goma Mohammed atas pertanyaan mengenai

hukum transplantasi organ dalam hukum islam, menjelaskan bahwasanya

transplantasi organ diperbolehkan tanpa adanya cara pengobatan alternatif untuk

menyelamatkan nyawa pasien. Dokter yang berkualifikasi harus menentukan

bahwa transplantasi organ mencapai manfaat tertentu, tidak akan membahayakan

kesehatan donor, dan akan mempertahankan integritas fungsionalnya. Dan hal ini

tidak boleh melibatkan kompensasi apa pun - finansial atau lainnya. Organ

manusia tidak tunduk pada transaksi komersial dan tidak boleh melibatkan

11

Polisi Menyidik Kasus Transplantasi Ginjal, Media Indonesia.

https://m.mediaindonesia.com/read/detail/138895-polisi-menyidik-kasus-transplantasi-ginjal

diakses pada tanggal 13 Mei 2020 pukul 14.17.

7

imbalan finansial apa pun kepada donor jika ia hidup atau pewarisnya jika ia mati.

12

Dilihat dari paparan latar belakang yang telah penulis ulas secara singkat

mengenai transplantasi organ yang terjadi di Indonesia, dan aturannya di Mesir,

maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukum yang berjudul “Hukum

Pemberian Kompensasi kepada Pendonor Transplantasi Organ Tubuh Manusia

(Studi Perbandingan antara Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 Tahun 2016,

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tahun 2019, dan Dar al-Ifta‟ al-Misriyyah)”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diulas penulis, penulis

mengidentifikasikan beberapa masalah dari latar belakang tersebut, antara lain;

1. Apa yang dimaksud dengan transplantasi organ,

2. Bagaimana prosedur transplantasi organ menurut fatwa Majelis Ulama

Indonesia,

3. Bagaimana prosedur transplantasi organ menurut Lembaga Fatwa Mesir,

4. Siapa orang yang berhak melakukan transplantasi organ,

5. Bagaimana aturan dalam Peraturan Menteri Kesehatan mengenai

Transplantasi Organ,

6. Apa yang harus disiapkan oleh tim medis sebelum melakukan transplantasi

organ,

7. Apa yang menjadi landasan MUI memperbolehkan transplantasi organ dari

pendonor hidup,

8. Apa hukum memperjualbelikan organ menurut Fatwa MUI dan Lembaga

Fatwa Mesir.

C. Batasan Masalah

Mengingat begitu banyaknya permasalahan yang penulis singgung dalam

identifikasi masalah diatas, maka dalam pembatasan masalah ini penulis perlu

12

Fatwa Dar al-Ifta al-Misriyyah No.3638 tahun 2013 https://www.dar-alifta.org/ diakses

tanggal 15 Agustus 2019.

8

membatasi pada pembahasan dengan fokus dalam Peraturan Menteri Kesehatan

No.38 tahun 2016 tentang Penyelenggaran Transplantasi Organ Tubuh, Fatwa

Majelis Ulama Indonesia nomor 13 tahun 2019 tentang Transplantasi Organ

Tubuh Manusia dari Pendonor Hidup dan Lembaga Fatwa Mesir: Dar al-Ifta al-

Misriyyah nomor 3638 tahun 2003 tentang Transplantasi Organ Tubuh.

D. Rumusan Masalah

Setelah dikemukakan latar belakang masalah diatas, maka dapat ditarik

suatu perumusan masalah yang penulis rinci pertanyaan sebuah penelitian sebagai

berikut:

1. Apa ketentuan hukum pemberian kompensasi terhadap pendonor Transplantasi

organ tubuh manusia menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 tahun

2016, Lembaga Fatwa MUI, dan dan Lembaga Fatwa Mesir: Dar al-Ifta al-

Misriyyah?

2. Apa bentuk kompensasi kepada pendonor organ tubuh menurut Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 38 tahun 2016, Lembaga Fatwa MUI, dan dan

Lembaga Fatwa Mesir: Dar al-Ifta al-Misriyyah?

3. Apa pertimbangan Hukum Positif dan Hukum Islam mengenai Hak Asasi

Manusia pada Praktik Transplantasi Organ Tubuh Manusia?

E. Tujuan Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa tujuan yang hendak dicapai

penulis, Adapun tujuan tersebut adalah:

a. Untuk mengetahui ketentuan hukum pemberian kompensasi terhadap

pendonor Transplantasi organ tubuh manusia menurut Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 38 tahun 2016, Lembaga Fatwa MUI, dan dan Lembaga

Fatwa Mesir: Dar al-Ifta al-Misriyyah

b. Untuk mengetahui bentuk kompensasi kepada pendonor organ tubuh menurut

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 tahun 2016, Lembaga Fatwa MUI,

dan dan Lembaga Fatwa Mesir: Dar al-Ifta al-Misriyyah

c. Untuk mengetahui pertimbangan Hukum Positif dan Hukum Islam mengenai

Hak Asasi Manusia pada praktik Transplantasi Organ Tubuh Manusia

9

F. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih

positif dan manfaat dari segi akademik maupun praktik, yaitu:

a. Secara Akademis

Hasil analisis ini diharapkan dapat memperluas dan memperkaya ilmu

pengetahuan penulisyang diperoleh selama masa kuliah dan juga bermanfaat

bagi penulis-penulis yang akan dating, khususnya mengenai hukum tentang

transplantasi organ tubuh.

b. Secara Praktis

Memberikan informasi yang berharga dalam menambah pengetahuan

lebih lanjut mengenai hukum transplantasi organ tubuh manusia dari segi

Hukum Positif dan Hukum Islam.

G. Review Kajian Terdahulu

Review kajian terdahulu ini akan memaparkan beberapa penelitian yang

sudah dilakukan, baik berupa skripsi, tesis, ataupun penelitian-penelitian lainnya

yang pernah membahas atau berkaitan dengan transplantasi organ, yaitu:

1. Skripsi dengan judul “Transplantasi Organ Tubuh Orang Muslim Kepada

Orang Nonmuslim Menurut Hukum Islam (studi bahtsul masail Nahdhatul

Ulama)” ditulis oleh Mochamad Syaiban (103043227998/ UIN Syarif

Hidayatullah) Pada skripsi ini fokus bahasan adalah bagaimana hukum

transplantasi organ tubuh orang muslim kepada orang nonmuslim menurut

pandangan Ulama Nahdhatul Ulama.

2. Skripsi dengan judul “Wasiat Transplantasi Organ Tubuh Menurut Hukum

Islam” ditulis oleh Sunarti (10400112012/UIN Alauddin Makasar) Pada

skripsi ini fokus bahasan adalah tinjauan hukum islam dalam hal wasiat

transplantasi organ tubuh.

3. Skripsi dengan judul “Penggunaan Organ Tubuh Manusia Bagi Kepentingan

Medis dalam Persfektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia (Studi

Komparasi antara Fatwa MUI dan Undang0Undang Republik Indonesia

10

No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan)” ditulis oleh Rendika Aris Yudhanto

(09360007/UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) pada skripsi ini fokus

pembahasan penulis adalah ketetapan hukum dari Majelis Ulama Indonesia

dan Undang-undang tentang kesehatan dalam hal penggunaan organ tubuh

manusia untuk kepentingan medis serta tinjauan ushul fiqh tentang syarat

yang harus terpenuhi untuk dapat melakukan upaya penggunaan organ tubuh

manusia bagi kepentingan medis.

H. Metode Penelitian

Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan manusia untuk

memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan yang tersusun

secara sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran dan pengetahuan

yang mana senantiasa dapat diperiksa dan di telaah secara kritis, dan akan

berkembang terus menerus.13

Apabila seorang peneliti akan melakukan kegiatan-kegiatan penelitian,

maka sebelumnya dia perlu memahami metode dan sistematika penelitian. Maka

tanpa metode atau metodologi, seorang peneliti tak akan mampu untuk

menemukan, merumuskan, menganalisa, maupun memecahkan masalah-masalah

tertentu, untuk mengungkapkan kebenaran. Metodologi timbul dari karakteristik-

karakteristik tertentu dari masalah-masalah yang khusus.14

1. Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan riset pustaka (library research), pendekatan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif. Penelitian hukum

normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini

sering kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang

13

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), cet. Ke-3,

h. 3. 14

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), cet. Ke-3,

h. 13.

11

merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.15

Kaitannya

dengan penelitian ini, yang dimaksud dengan hukum yaitu hukum Islam (fiqh)

yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Hadits yang kemudian diinterpretasikan oleh

para ulama sehingga muncul beberapa pendapat dengan perasamaan dan

perbedaannya.

Yang menjadi objek penelitian pustaka ini adalah Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 38 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ,

Fatwa MUI No.13 Tahun 2019 Tentang Transplantasi Organ serta Lembaga

Fatwa Mesir: Dar al-ifta al-Misriyyah. Penelitian ini menggunakan metode

deskriptif yaitu menggambarkan secara besar permasalahan yang mana didasari

dengan pemikiran yang menuju kepada hal-hal khusus, berkaitan dengan materi

yang akan di bahas. Adapun cara memperoleh data-data dalam penulisan skripsi

ini adalah dengan studi pustaka yaitu mengumpulkan data-data yang berkaitan

dengan pembahasan yang diteliti penulis. Penenelitian ini juga menggunakan

metode perbandingan hukum, dalam hal ini penulis membandingkan antara

hukum Islam dengan hukum Positif.16

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian pada kajian ini adalah kualitatif, yaitu penelitian

yang dilakukan untuk menghasilkan data deskriptif yang berupa fakta-fakta

tertulis atau lisan dari orang atau pelaku yang diamati.17

3. Sumber data

Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian terbagi menjadi dua

sumber, yaitu:

15

Amiruddin, dan H. Zailan Asikin, Pengantar metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2004), cet. 1, h. 118. 16

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2008), h. 100. 17

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h.

18.

12

a. Sumber primer, yaitu: Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 tahun 2016

tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ, Fatwa Majelis Ulama Indonesia

dan Fatwa Dar al-Ifta al-Mishriyyah nomor 3638 tahun 2003

b. Sumber sekunder, yaitu: Data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber

sekunder dari data yang penulis butuhkan,18

yaitu buku-buku pendukung atau

pelengkap, khususnya buku Fiqh dan Ushul Fiqh.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah Dokumentasi. Metode

Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa

catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, fatwa, lengger, agenda dan

sebagainya.19

Dalam pengumpulan data, penulis mengumpulkannya dari

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan

Transplantasi Organ, website resmi Lembaga Fatwa Indonesia dan Mesir yaitu

Majelis Ulama Indonesia dan Lembaga Fatwa Mesir: Dar al-Ifta al-Misriyyah.

5. Teknik penulisan

Teknik penulisan skripsi ini telah berdasarkan pada buku “Pedoman

Penulisan Skripsi” yang diterbitkan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2017.

6. Analisis Data

Sesuai dengan penelitian pustaka maka analisis yang penulis gunakan

adalah:

a. Komparasi

Metode komparatif yang dimaksud disini adalah dilakukan dengan

membandingkan suatu fakta yang lain sehingga diketahui suatu persamaan dan

perbedaannya, sebagaimana yang dikemukakan Aswari Sudjud bahwa penelitian

18

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h.

122. 19

Suharsimin Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta PT.

Rineka Cipta, 2006), h. 231.

13

komparasi akan dapat menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-

perbedaan tentang benda-benda, tentang orang-orang, tentang prosedur kerja,

tentang ide-ide, kritik terhadap orang, kelompok, terhadap suatu ide atau suatu

prosedur kerja.20

Dalam penulisan ini penulis membandingkan,

mengkomparasikan antara Hukum Positif, dan Fatwa dari berbagai lembaga fatwa

di dua negara terkait dengan transplantasi organ yaitu, Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 38 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ,

Majelis Ulama Indonesia dan Lembaga Fatwa Mesir: Dar al-Ifta al-Misriyyah.

b. Penafsiran Hukum

Metode yang diambil dalam penulisan ini ialah metode penafsiran

sistematis, yaitu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal-

pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan atau pada

perundang-undangan hukum lainnya. Metode sistematis, adalah metode yang

mempelajari hukum dengan cara melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri

atas berbagai sub-sistem seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum acara,

hukum tata negara. Ilmu pengetahuan hukum yang melihat hukum dengan cara

demikian ini dinamakan systematiche rechtswetenschap.21

I. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, penulis membagi pembahasan

menjadi beberapa bab yang diuraikan dalam sistematika sebagai berikut:

Bab satu merupakan bab Pendahuluan yang memuat tentang latar belakang

masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan

Manfaat Penulisan, Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika

Penulisan.

Bab dua berisi uraian tentang sejarah metode transplantasi dalam

pengobatan dan tinjauan umum tentang transplantasi organ tubuh manusia, yang

20

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta PT.

Rineka Cipta, 2006), hlm. 267. 21

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, (Bandung; PT.

Alumni, t.th.) cet.ke2, h.10

14

membahas tentang pengertian transplantasi serta tinjauan umum tentang

kompensasi dalam hukum Islam.

Bab tiga berisi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 tahun 2016 tentang

Penyelenggaraan Transplantasi Organ, fatwa-fatwa yang berkaitan dengan

transplantasi organ tubuh manusia yang dikeluarkan Komisi Fatwa Majelis Ulama

Indonesia dan Lembaga Fatwa Mesir: Dar al-Ifta al-Misriyyah.

Bab empat berisi tentang perbandingan konsep pemberian kompensasi

kepada pendonor organ tubuh menurut Peraturan Menteri Kesehatan, Majelis

Ulama Indonesia dan Lembaga Fatwa Mesir. Dalam bab ini juga penulis mencoba

menguraikan latar belakang terjadinya perbedaan fatwa ulama kedua lembaga

tersebut dalam hal pemberian kompensasi kepada pendonor organ tubuh.

Bab lima berisi tentang penutup yang meliputi kesimpulan dan saran yang

didasarkan pada hasil penelitian.

15

BAB II

LANDASAN TEORI KOMPENSASI TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH

A. Pengertian Transplantasi

Pengertian Transplantasi menurut Masjfu‟ Zuhdi adalah pemindahan

organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat, untuk menggantikan organ

tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik.22

Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia, transplantasi berarti pemindahan jaringan tubuh dari suatu

tempat ke tempat lain seperti menutup luka yang tidak berkulit dengan jaringan

kulit dari bagian tubuh yang lain.23

Transplantasi atau pencangkokan organ tubuh adalah pemindahan organ

tubuh tertentu yang mempunyai daya hidup yang sehat, dari seseorang untuk

menggantikan organ tubuh yang tidak sehat atau tidak berfungsi dengan baik

milik orang lain. Dapat diartikan juga pemindahan suatu jaringan atau organ

manusia tertentu dari suatu tempat lain pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang

lain dengan persyaratan dan kondisi tertentu.24

Orang yang anggota tubuhnya

dipindahkan disebut donor (pen-donor), sedang yang menerima disebut resipien.

Cara ini merupakan solusi bagi penyembuhan organ tubuh tersebut karena

penyembuhan atau pengobatan dengan prosedur medis biasa tidak ada harapan

kesembuhannya.25

Transplantasi berasal dari bahasa Inggris yakni „to transplant‟ yang berarti

„to move from one place to another‟ artinya: berpindah dari satu tempat ke tempat

yang lain.26

Transplantasi adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan

organ dan/atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau

22

Masjfu‟ Zuhdi, Pencangkoan Organ Tubuh dalam Masaail Fiqhiyah, (Jakarta: CV Haji

Mas Agung, 1993), Cet IV, h. 84. 23

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Cet III, h. 1210. 24

Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, (Jakarta: Bina Pustaka Sarwono

Prawiroharjo, 2001), h. 101. 25

Haswir, “Hukum Mendonorkan dan Mentransplantasikan Anggota Tubuh Dalam

Islam”, Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 2 (Juli Desember, 2011), h. 276. 26

Nyoman Suwasti, “Aspek Yuridis Transplantasi Organ Dalam Hubungannya dengan

UU Kesehatan”, Kertha Patrika: Majalah Ilmiah Fakultas Hukum UNUD, (Bali, 1994), h. 258.

16

tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ dan/atau

jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.27

Transplantasi sebagai upaya untuk melepaskan manusia dari penderitaan

yang secara biologis mengalami keabnormalan, atau menderita suatu penyakit

yang mengakibatkan rusaknya fungsi suatu organ, jaringan, atau sel. Pada

dasarnya transplantasi organ bertujuan untuk menyembuhkan suatu penyakit,

seperti rusaknya jantung, ginjal dsb. Selain itu bertujuan pula untuk memulihkan

kembali fungsi suatu organ, jaringan atau sel yang telah rusak atau mengalami

kelainan akan tetapi sama sekali tidak terjadi kesakitan biologis, misalnya bibir

sumbing.28

Sehubungan dengan Transplantasi organ serta mendonorkan organ, Ibnu

Wahab meriwayatkan dari Abdullah bin „Iyasy, dari Zaid bin Aslam29

mengenai

firman Allah SWT dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah (2): 195 yang berbunyi:

بلالىول حسنيلأنفقوافامل الت ىقوابأيديك الالت هىكةلأحسن واانالىويب

Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu

menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena

sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik,”

Ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan masalah infak. Bahwasanya

ada beberapa orang yang pergi bersama dalam delegasi yang diutus Rasulullah

S.A.W tanpa membawa bekal (nafkah), lalu Allah SWT memerintahkan mereka

mencari bekal (nafkah) dari apa yang telah dikaruniakan-Nya serta tidak

mencampakkan diri kedalam kebinasaan. Dalam ayat ini, perintah berinfak di

jalan Allah SWT dalam berbagai segi amal yang dapat mendekatkan diri kepada

Allah SWT dan dalam segi ketaatan, terutama membelanjakan dan menginfakkan

harta kekayaan untuk berperang melawan musuh serta memperkuat kaum

27

Fatwa MUI nomor 13 tahun 2019 tentang Transplantasi Organ dan/atau Jaringan

Tubuh Dari Pendonor Hidup Untuk Orang Lain 28

H. Chuzaimah dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:

PT. Pustaka, 1995), h. 69. 29

M. Abdul Ghoffar, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, (Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi‟I,

2017), cet. Ke-11, h. 471-472

17

Muslimin. Selanjutnya perintah untuk berbuat baik, yang merupakan tingkatan

ketaan tertinggi,sehingga Allah SWT berfirman yang artinya “dan berbuat

baiklah, karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

Namun, Jika kita kembali kepada sejarah, praktik kedokteran menyangkut

donasi organ tubuh seperti telah diuraikan di atas, tampaknya belum ada pada

zaman klasik Islam ketika Nabi masih hidup dan generasi sahabat. Oleh karena

itu, dalam mencari ketentuan hukumnya hanya dapat ditempuh melalui ijtihad

dengan penalaran terhadap prinsip hukum Islam.30

Berdasarkan hadist-hadist dan

kaidah fiqhiyyah sebagai berikut;

ولالىوو ى ولءت تا عرابوفقتل:يتر كنتعندالنبىاالىوعى ول

لضعلونالىوإأنتدالى؟فقتل:ن ع يتعبتدالىووتداللاوف يضعدا إال لءلل عز

ردا لاحد.قتلوا:متىو؟وقتل:اهلرم)رلاهامحد( شفت غ

Artinya; “Aku pernah berada di samping Rasulullah, Lalu datanglah serombongan

Arab Badui. Mereka bertanya, 'Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat?' Beliau

menjawab, 'Iya, wahai para hamba Allah SWT, berobatlah. Sebab, Allah tidaklah

meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu

penyakit.' Mereka bertanya, 'Penyakit apa itu?' Beliau menjawab, 'Penyakit tua.'"

(H.r. Ahmad).31

الضراريزال

Artinya: “Kemudharatan harus dihilangkan.”

Diperbolehkannya donor adalah karena adanya illat darurat. Jika berbicara

darurat berarti berbicara tentang unsur maslahah yang dalam hal ini sudah

30

H. Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2016), h.125. 31

Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada masalah-masalah kontemporer Hukum

Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 121

18

mencapai peringkat dharuriyat, yaitu menyelamatkan jiwa. Namun untuk

memenuhi kebutuhan darurat tidak boleh melampaui batas. Pencangkokan harus

dilakukan seperlunya saja. Seperti dalam kaidah:

لضرلرةيدفعبقدراإلمكتنا

Artinya: “Kemudharatan harus dieliminir sebatas hilangnya kemudharatan

tersebut.”

Terdapat 3 (tiga) tipe donor organ tubuh, dan setiap tipe mempunyai

permasalahannya tersendiri, yaitu;

1. Donor dalam keadaan hidup sehat. Tipe ini memerlukan seleksi cermat dan

general check Up, baik terhadap donor maupun terhadap penerima (resepient),

demi menghindari kegagalan transplantasi yang disebabkan karena penolakan

tubuh resepien dan sekaligus mencegah resiko bagi donor.

2. Donor dalam hidup koma atau diduga akan segera meninggal. Untuk tipe ini,

pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat kontrol dan penunjang

kehidupan, misalnya dengan bantuan alat pernapasan khusus. Kemudian alat-

alat tersebut di cabut setelah pengambilan organ tersebut selesai.

3. Donor dalam keadaan mati. Tipe ini merupakan tipe yang ideal, sebab secara

medis tinggal menunggu penentuan kapan donor dianggap meninggal secara

medis dan yudiris dan harus diperhatikan pula daya tahan organ tubuh yang

akan di transplantasi.32

Pada proses transplantasi organ yang paling sering digunakan yaitu

transplantasi dari donor dalamkeadaan hidup sehat, kemungkinan dampak yang

ditimbulkan ada tiga macam, yaitu pertama jika donor dan penerimanya saudara

kembar yang berasal dari satu sel telur, maka hampir tidak menyebabkan reaksi

penolakan pada golongan ini, hasil transplantasinya serupa dengan

autotransplantasi. Kedua, jika donor dan penerimanya saudara kandung atau

salah satunya mempunyai orangtua yang sama, kemungkinan ada reaksi

32

Masjfu‟ Zuhdi. Masail Fiqhiyah. (PT Toko Gunung Agung. Jakarta. 1997), h. 86-87.

19

penolakan akan tetapi skalanya kecil. Ketiga, jika donor dan penerimanya tidak

mempunyai hubungan saudara, kemungkinan besar trasnplantasi akan mengalami

penolakan.33

Adapun penolakan yang terjadi dalam transplantasi dikarenakan adanya

suatu sistem kekebalan tubuh alamiah yang secara otomatis akan menolak benda

asing yang masuk kedalam tubuh manusia. Organ tubuh dari pendonor secara

otomatis akan langsung ditolak oleh sistem imun dari tubuh penerima organ.

Penolakannya dapat berupa penggumpalan darah atau tidak berfungsinya organ

tersebut yang dapat mengakibatkan kematian bagi penerima organ.34

Transplantasi organ adalah salah satu contoh paling ekstrim tentang ilmu

kedokteran berteknologi tinggi (hi-tech medicine). Membutuhkan biaya yang

sangat mahal, bioteknologi maju, dan tim yang besar dan terdiri atas para spesialis

yang sangat terlatih. Transplantasi dilakukan jika pasien sudah mencapai tahap

terakhir dari penyakitnya. Dengan penggantian organ yang sakit, hidupnya dapat

diselamatkan dan mutu hidupnya dapat ditingkatkan. Namun, ia tidak

disembuhkan atau dikembalikan sepenuhnya pada kondisi sebelum ia sakit,

penerima transplantasi biasanya memerlukan pengobatan lanjutan yang tetap dan

teratur selama hidupnya, dengan obat-obat yang canggih dan mahal, yang ada

kalanya juga cukup berbahaya.35

B. Sejarah Metode Transplantasi Organ dalam Pengobatan

Transplantasi jaringan mulai dipikirkan dunia sejak 4000 tahun silam

menurut manuscrip yang ditemukan di Mesir yang memuat uraian mengenai

eksperimen transplantasi jaringan yang pertama kali dilakukan di Mesir sekitar

2000 tahun sebelum diutusnya Nabi Isa AS. Sedangkan di India beberapa puluh

tahun sebelum lahirnya Nabi Isa AS, seorang ahli bedah bangsa Hindu telah

33

Tim Perumusan Komisi Ahkam, Ahkamul Fuqoha: Solusi Problematika Aktual Hukum

Islam. (Jakarta: PB.NU, 2007), Cet. II, h. 460-461. 34

Mochamad Syaiban, “Transplantasi Organ Tubuh Orang Muslim Kepada Orang Non

muslim Menurut Hukum Islam.” (Skripsi S-1 Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 15-16. 35

Samsi Jacobalis, Pengantar Tentang Perkembangan Ilm Kedokteran, Etika Medis, dan

Bioetika, (Jakarta: Sagung Seto, 2005), h. 253.

20

berhasil memperbaiki hidung seorang tahanan yang cacat akibat siksaan, dengan

cara mentransplantasikan sebagian kulit dan jaringan lemak yang diambil dari

lengannya. Pengalaman inilah yang merangsang Gaspare Tagliacosi, seorang ahli

bedah Itali, pada tahun 1597 M untuk mencoba memperbaiki cacat hidung

seseorang dengan menggunakan kulit milik kawannya.36

Dalam literatur hadits juga dituturkan peristiwa ‟Arfajah, seorang sahabat

Nabi SAW yang kehilangan hidung dalam suatu pertempuran dan diganti dengan

hidung palsu dari perak. Hidung peraknya itu beberapa waktu kemudian

menimbulkan bau yang tidak sedap, sehingga ia meminta nasihat Nabi, lalu beliau

menganjurkan agar mengganti hidung perak itu dengan hidung palsu lain dari

emas.37

Tahun 1863, seorang ahli bedah Perancis, Paul Bert baru dapat

menjelaskan bahwa transplantasi alat dari seseorang kepada orang lain yang

disebut allograft selalu mendapat penolakan secara normal dari resipien.

Sedangkan pemindahan alat dari tubuh manusia yang sama, yang disebut sebagai

autograft tidak mengalami penolakan seperti yang terjadi pada allograft.38

Pada tahun 1902 transplantasi menjadi memungkinkan sebagai metode

pengobatan dalam dunia kedokteran. Alexis Carel, seorang dokter bedah asal

Prancis (28 Juni 1873 M - 1944 M), memperlihatkan penggabungan pembuluh

darah sehingga transplantasi menjadi memungkinkan untuk pertama kalinya.

Operasi penggabungan pembuluh darah tersebut merupakan salah satu teknik

operasi yang ditemukan oleh dokter Alexis Carrel. Langkah maju ini membuka

kemungkinan untuk lebih lanjut melakukan operasi trasplantasi dengan

membiarkan jaringan yang di transplantasikan terhubung dengan suplai darah.

Carrel terus melakukan penelitian terhadap transplantasi organ dan kemudian

menemukan mesin yang dapat menjaga organ tetap hidup di luar tubuh selama

36

Yusuf Qardawi, Fatwa Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h.

759. 37

Abul Fadl Mohsin Ebrahim. Kloning, Eutanasia, Transfusi Darah, Transplantasi

Organ, dan Eksperimen pada Hewan Telaah Fikih dan Bioetika Islam, (Jakarta: PT Serambi Ilmu

Semesta, 2004), hlm. 14. 38

Tim Penyusun Naskah IDI Kesehatan dan Kedokteran, Islam untuk Disiplin Ilmu

Kedokteran dan Kesehatan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2002), h. 159.

21

transplantasi berlangsung. Pada tahun 1912 ia mendapatkan Nobel Prize untuk

kedokteran.39

Transplantasi kornea mata pertamakali dilaporkan terjadinya di Oltmuz,

Morvia, bulan Desember 1905. Pada tanggal 7 Desember 1905 dilakukan pertama

kalinya transplantasi kornea mata terhadap pekerja yang buta akibat kecelakaan

setahun sebelumnya. Setelah beberapa jam operasi, pekerja tersebut dapat melihat

kembali untuk seumur hidupnya. Operasi ini membuktikan bahwa transplantasi

dapat berhasil dilakukan. Saat ini lebih dari 2400 transplantasi mata dilakukan

setiap tahunnya. Transplantasi mata merupakan hal unik karena tidak

membutuhkan suplai pembuluh darah untuk tetap hidup (survive) dan kornea mata

dapat didonasikan hingga 24 jam setelah kematian dan dapat dilakukan semua

orang dengan berbagai umur.40

Joseph Murray dan David Hume pada akhirnya berhasil untuk

pertamakalinya dalam praktik transplantasi ginjal di Brigham Hospital, Boston,

Massachussetts. Tehnik kedokteran yang terus berlanjut ini telah berhasil

menyelamatkan lebih dari 400.000 nyawa diseluruh dunia. Joseph Murray dan tim

nya mentransplantasikan ginjal dari Ronald Herrick kepada saudara kembarnya.

Ginjal biasanya didonorkan pada saat pendonor meninggal (in articulo mortis),

akan tetapi 1/3 biasanya pada saat pendonor hidup, dan pendonor ini dapat

melanjutkan kehidupannya hanya dengan satu ginjal. Kemudian Joseph Murray

dan David Hume kembali berhasil melakukan transplantasi ginjal dari mayat

(cadaver) pada tahun 1962. Satu tahun setelah keberhasilan pertamakali

transplantasi ginjal dari mayat, James Hardy berhasil melakukan transplantasi

paru-paru di University of Mississipi Medical Center, Jackson, MS.41

Pada tahun 1967 ada dua keberhasilan praktik transplantasi, yaitu

transplantasi Hati oleh Thomas Starzl di University of Colorado, Denver, dan

39

Patricia Soetjipto, Naskah Akademik Universitas Indonesia FKM, (T.tp, 2010), h. 7. 40

United Kingdom, National Health Service, history of Donation,

http:/www.nhs.uk/Tools/Document/Transplant.html diakses pada tanggal 18 November 2019 41

Patricia Soetjipto, Naskah Akademik Universitas Indonesia, FKM, 2010, (T.tp, 2010) h.

8.

22

yang kedua transplantasi jantung oleh Christian Barnard beserta tim ahli bedahnya

dari Afrika Selatan berhasil melakukan pemindahan jantung dari seorang wanita

bernama Denise Darvall (24 tahun), yang dinyatakan mati otak akibat kecelakaan

kendaraan bermotor, untuk ditransplantasikan pada tubuh orang lain bernama

Louis Washkansky (54 tahun). Washkansky sanggup bertahan hidup selama 18

hari dan kemudian meninggal karena infeksi paru-paru yang mengakibatkan

kurangnya oksigen yang masuk ke dalam jantung barunya itu. Kemudian pada

tanggal 2 Januari 1968, Barnard melakukan transplantasi jantung pada Philip

Blaiberg, yang akhirnya ia bisa kembali menjalani hidup dalam keadaan sehat

seperti sediakala.42

Transplantasi jantung adalah „ratu‟-nya transplantasi organ, paling rumit,

membutuhkan teknologi medis paling maju, tim yang besar dan terdiri atas

berbagai spesialis yang terlatih, paling mahal, namun paling prestius. Seperti yang

telah dibahas bahwa orang pertama yang berhasil melakukan transplantasi Jantung

adalah Christian Barnard pada tahun 1967. Namun, sukses Barnard (atau siapapun

yang melakukan transplantasi jantung) tidak akan terjadi jika sebelumnya tidak

ada John Gibbon dan isterinya yang berdua saja secara gigih selama bertahun-

tahun mengembangkan heart-lung machine.43

Heart-lung machine atau Pump Oksigenator adalah sebuah pompa untuk

mempertahankan sirkulasi selama operasi jantung, mengalihkan darah dari

jantung dan memberikannya oksigen, kemudian memompanya keseluruh tubuh.

Kemudian Alat ini dikembangkan oleh Walter Lillehai dan Jhon Kirklin yang

mengubah mekanisme kerja alat tersebut hingga berhasil dipergunakan tenaga

medis sampai saat ini.44

42

Abul Fadl Mohsin Ebrahim. Kloning, Eutanasia, Transfusi Darah, Transplantasi

Organ, dan Eksperimen pada Hewan, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 15. 43

Samsi Jacobalis, Pengantar Tentang Perkembangan Ilm Kedokteran, Etika Medis, dan

Bioetika, (Jakarta: Sagung Seto, 2005), h. 253-254. 44

Samsi Jacobalis, Pengantar Tentang Perkembangan Ilm Kedokteran, Etika Medis, dan

Bioetika, h. 250.

23

C. Jenis Transplantasi Organ

Transplantasi melibatkan donasi organ dari satu manusia kepada manusia

lain yang menjadikan ribuan orang diseluruh dunia setiap tahunnya terselamatkan

jiwanya. Berikut jenis-jenis Transplantasi Organ:

1. Dari Segi Pemberi Organ (Pendonor)

Jika ditinjau dari sudut pendonor jaringan tubuh, maka transplantasi dapat

dibedakan sebagai berikut:

a. Transplantasi dengan donor hidup

Yaitu donor dari seseorang yang masih hidup sehat dan bersedia untuk

diambil salah satu organ tubuhnya untuk diberikan kepada yang membutuhkan

(resipien). Donor bentuk pertama ini, bagi tim dokter memerlukan seleksi yang

cermat dan general checkup (pemeriksaan kesehatan yang menyeluruh), baik

terhadap donor dan resipien. Hal ini dilakukan untuk keberhasilan proses

transplantasi, yaitu mencegah risiko keselamatan bagi pendonor dan menghindari

kegagalan transplantasi bagi resipien. Sebab data statistik menunjukkan 1 dari

1.000 donor itu meninggal. Dan secara kejiwaan banyak donor yang merasa

khawatir dan ragu karena dengan tindakan yang ia lakukan, misalnya

menyumbangkan sebuah ginjalnya, kesehatannya akan terganggu. 45

b. Transplantasi dengan donor dalam Keadaan Koma

Untuk bentuk kedua ini, pengambilan organ tubuh memerlukan alat

kontrol dan penunjang kehidupan seperti dengan bantuan alat pernapasan khusus.

Kemudian alat-alat penunjang kehidupan itu dicabut setelah selesai proses

pengambilan organ tubuhnya. Untuk mencari indikator seseorang dalam keadaan

koma perlu diketahui kriteria mati secara medis klinis dan yuridis secara jelas dan

tuntas. Apakah ukuran kematian seseorang itu dengan terhentinya denyut jantung

dan pernapasan (sebagaimana rumusan PP. No. 18/1981), ataukah ditandai dengan

berhentinya fungsi otak (sebagaimana rumusan Kongres IDI tahun 1985).46

Penegasan mati secara klinis dan yuridis ini sangat penting bagi dokter sebagai

pegangan dalam menjalankan tugasnya sehingga ia tidak khawatir dituntut

45

Dr. H. Sapiudin Shidiq, M.Ag. Fikih Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2016), h.122. 46

Dr. H. Sapiudin Shidiq, M.Ag. Fikih Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2016), h.124.

24

melakukan pembunuhan berencana oleh keluarga yang bersangkutan sehubungan

dengan praktik pencangkokan itu

c. Transplantasi dengan donor mati atau jenazah

Transplantasi dengan donor mati atau jenazah adalah pemindahan organ

atau jaringan dari tubuh jenazah orang yang baru saja meninggal kepada tubuh

orang lain yang masih hidup. Pengertian donor mati adalah donor dari seseorang

yang baru saja meninggal dan biasanya meninggal karena kecelakaan, serangan

jantung, atau pecahnya pembuluh darah otak. Dalam kasus ini, donasi organ akan

dipertimbangkan setelah usaha penyelematan mengalami kegagalan. Pasien

mungkin meninggal dalam kamar emergensi ataupun dalam kondisi mati batang

otak. Jenis organ yang biasanya didonorkan adalah organ yang tidak memiliki

kemampuan untuk regenerasi misalnya jantung, kornea, ginjal dan pankreas, hati,

jantung dan hati.47

Bentuk donor poin ketiga ini merupakan bentuk donor yang tidak

beresiko, sebab secara medis tinggal menunggu penentuan kapan donor dianggap

meninggal secara medis dan yuridis dan bagian mana dari bagian tubuh si mayat

yang layak untuk ditransplantasi. Berbeda dengan donor hidup, terlepas dari

hukum haram dan halal secara agama, secara perhitungan matematis si donor

yang sudah mati tidak dirugikan, baik secara kejiwaan dalam bentuk kekhawatiran

kesehatan si donor karena berkurangnya salah satu organ tubuhnya.48

Bentuk

ketiga inilah menurut penulis dikatakan sebagai donor yang ideal.

2. Dari Penerima Organ (Resipien)

Sedangkan ditinjau dari sudut penerima organ atau resipien, maka

transplantasi dapat dibedakan menjadi:

a. Autotransplantasi

Yaitu pemindahan organ atau jaringan pada tempat yang lain dari tubuh

orang itu sendiri.49

Seperti seseorang yang mengalami kecelakaan atau suatu

47

Abul Fadl Mohsin Ebrahim. Kloning, Eutanasia, Transfusi Darah, Transplantasi

Organ, dan Eksperimen pada Hewan, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), h.17. 48

Dr. H. Sapiudin Shidiq, M.Ag. Fikih Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 125. 49

Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos

Publising House, 1995), cet. 1, hlm.112

25

insiden dengan risiko kontak fisik sehingga menimbulkan kerusakan pada suatu

bagian tubuhnya. Contoh pemain bola yang mengalami cedera patah tulang

dibagian kaki kanan akibat kontak fisik dengan kaki pemain lain dan

mengharuskan tim medis mengambil bagian paha pemain bola tersebut yang

kemudian digunakan untuk menutup luka pasca operasi.

b. Homotransplantasi

Yaitu pemindahan organ tubuh atau jaringan dari tubuh yang satu ketubuh

yang lain.50

Atau dari satu individu ke individu lain yang sama jenisnya.51

Jenis

ini adalah metode trasnplantasi pada umumnya, yaitu pemindahan suatu bagian

organ dari tubuh manusia kepada manusia lain. Seperti seseorang yang memeliki

kelainan pada jantung sehingga membutuhkan donor jantung dari manusia lain

atau dari hewan kepada hewan lainnya.

c. Heterotransplantasi

Yaitu pemindahan organ tubuh atau jaringan dari dua jenis individu yang

berbeda, misalnya dari hewan ke tubuh manusia.52

Misalnya transplantasi dari

organ tubuh hewan babi pada manusia. Babi merupakan hewan berjenis omnivora,

yaitu babi dapat memakan dan meminum apa saja seperti layaknya manusia.53

Selain itu babi juga bisa mengalami aterosklerosis atau penumpukan lemak pada

pembuluh darah, sama seperti halnya manusia, babi juga bisa mengalami reaksi

serangan jantung. Karena kesamaannya inilah para ilmuwan sejak lama

menggunakan babi untuk menguji alat kateter dan metode operasi jantung, dan

babi juga dipakai untuk memahami bagaimana kerja jantung secara umum.54

50

Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, h. 112. 51

Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer, (Surabaya: ELKAF, 2006), cet. I, h. 112. 52

Ratma Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, (Jakarta: Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo, 2001), h. 101. 53

M. Hasbi, “Transplantasi Organ Manusia dengan Organ Tubuh Babi Menurut Hukum

Islam”, Jurnal Online Mahasiswa STAIN, vol 1, h. 5. 54

RZN, Ilmuwan Produksi Organ Manusia di Tubuh Babi. Diakses dari

http://www.dw.com/id/ilmuwan-produksi-organ-manusia-di-tubuh-babi/a-19309011 pada tanggal

03 Agustus 2019.

26

D. Konsep Kompensasi Dalam Hukum Islam

Kompensasi adalah semua pendapatan yang berbentuk uang, barang

langsung atau tidak langsung yang diterima seseorang sebagai imbalan atas jasa

yang diberikan.55

Upah halal jika pekerjaan yang dikerjakan juga halal. Jika

pekerjaannya haram, maka upahnya pun menjadi haram pula. Misalnya, jika

seseorang diupah untuk melakukan pencurian atau pembunuhan, maka upah yang

nanti diterimanya menjadi haram karena pekerjaannya adalah haram. 56

Kompensasi adalah istilah yang menggambarkan suatu bentuk ganti rugi.57

Yang dapat merujuk pada;

1. Ganti Rugi Barang, yaitu suatu bentuk kompensasi yang digunakan dalam

menunjukkan situasi dimana piutang diselesaikan dengan memberikan barang-

barang yang seharga dengan utangnya.

2. Kompensasi (Psikologi), di mana istilah kompensasi juga digunakan dalam

pencarian kepuasan dalam suatu bidang untuk memperoleh keseimbangan dari

kekecewaan dalam bidang lain.

3. Kompensasi (Financial), yang berarti imbalan berupa uang, atau bukan uang

(natura), yang diberikan kepada karyawan dalam perusahaan atau organisasi.58

Jika dikaitkan dengan Kompensasi dalam hal Transplantasi organ, berarti

semua pendapatan yang berbentuk uang, barang langsung atau tidak langsung

yang diterima oleh Pendonor, sebagai imbalan atas organ yang telah diberikan

kepada Resipien. Komersial dalam kegiatan transplantasi organ tubuh tentunya

sangat bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang menjadi fokus tujuan utama

dalam melakukan tindakan transplantasi organ tubuh terutama bagi donor hidup.

Kata komersial menurut kamus bahasa Indonesia online, adalah suatu

kegiatan yang berkaitan dengan perdagangan atau suatu barang yang dimaksudkan

untuk diperdagangkan dan bisa juga bernilai tinggi yang terkadang mengorbankan

55

Hasibuan, H. Malayu S.P, Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Revisi Kedua,

(Yogyakarta: BPFE-UGM, 2002), h. 54. 56

Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam: Prinsip Dasar (Fundamental of

Islamic Economic System), (Jakarta: Kencana, 2016 cet.3), h. 191. 57

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Cet III, h. 1255. 58

https://id.wikipedia.org/ diakses pada tanggal 13 November 2019.

27

nilai-nilai lain termasuk kemanusiaan.59

Oleh karena itu, komersial sendiri

sebenarnya lebih dikenal dalam dunia binis dan perdagangan, akan tetapi menurut

penulis karena komersial berkaitan dengan perdagangan pasti berkaitan dengan

adanya suatu keuntungan. Seperti yang diketahui bahwa fokus perdagangan pada

dasarnya adalah keuntungan yang didapat. Maka dari itu penulis beranggapan

bahwa setiap orang yang menjadi pendonor namun berorientasi mendapatkan

keuntungan pribadi pasca memberikan organ tubuhnya kepada resipien yang

membutuhkan, maka dapat dikatakan juga sebagai tindakan komersil. Selain itu

hal tersebut memenuhi unsur definisi dalam mengabaikan nilai-nilai sosial, yaitu

menghilangkan nilai-nilai keikhlasan dalam memberi.

Dalam Islam, praktik pemberian upah atau kompensasi atas jasa disebut

juga dengan ju‟alah. Secara konsep ju‟alah terlihat lebih sederhana dibanding

dengan muamalah lainnya seperti ijarah (sewa-menyewa), mudharabah (bagi

hasil), dan murabahah (pembiayaan). Namun demikian pada zaman ini konsep

ju‟alah berkembang pesat terutama pada dunia pendidikan dan bisnis.60

Mazhab

Maliki mendefinisikan jua‟lah, berarti imbalan (maj‟ul) yang diberikan oleh pihak

penerima manfaat (ja‟il) untuk pelaksana (maj‟ul lahu) atas suatu pekerjaan dalam

batas waktu yang telah ditentukan ataupun tidak.61

Secara Etimologis, al-ju‟lu berarti upah. Ja‟altu lahu ju‟lan artinya aku

membuat upah untuknya. Ji‟alah juga dapat dibaca Ju‟alah.62

Sedangkan Wahbah

al Zuhaili mendefinisikan ju‟alah adalah apa saja yang dijadikan imbalan bagi

seseorang atas suatu pekerjaan atau apa saja yang diberikan seseorang untuk

melaksanakan suatu pekerjaan tertentu.63

Adapun menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ju‟alah adalah

perjanjian imbalan tertentu dari pihak pertama kepada pihak kedua atas

59

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, Pengertian Komersial (Online),

http://kamusbahasaindonesia.org/komersial/mirip diakses pada tanggal 06 februari 2020. 60

Haryono, “Konsep Al Ju‟alah Dan Model Aplikasinya Dalam Kehidupan Sehari-Hari”,

Al Mashlahah Jurnal Hukum Islam Dan Pranata Sosial Islam, h. 644. 61

Wahbah, Al Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al Fikr, 2004),

h.401. 62

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 313. 63

Wahbah, Al Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al Fikr, 2004), h.

401.

28

pelaksanaan suatu tugas atau pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk

kepentingan pihak pertama.64

Dalam istilah perundang-undangan, hal itu

dinamakan dengan perjanjian yang berimbalan hadiah. Jadi, secara bahasa makna

ju‟alah adalah upah/imbalan atas suatu perjanjian dalam sebuah muamalah.

Sayyid Sabiq mendefinisikan ju‟alah yaitu: كمنيىتزمجبعل اجلعتلةعقدعىامنفعةيظنحصوهلت

Artinya: “Al-Ju‟alah adalah akad atas suatu manfaat yang diperkirakan akan

mendapatkan imbalan sebagaimana yang dijanjikan atas suatu pekerjaan.”65

Jika dikaitkan dengan Transplantasi organ yang akan penulis bahas dalam

penelitian ini maka ju‟alah sama artinya dengan pemberian upah atau imbalan

dari penerima donor (resipien) kepada pemberi donor. Hubungan yang terbangun

antara Dokter, pendonor dan Pasien dalam melakukan transplantasi organ

merupakan suatu hubungan hukum yang saling mengikat, dan melahirkan hak

serta kewaijban bagi kedua belah pihak.66

Apabila transaksi sudah terjadi maka

kedua belah pihak terlibat hak dan kewajiban sebagaimana yang telah disepakati

oleh keduanya.67

Dalam hal ini termasuk kewajiban resipien untuk membayar

biaya yang akan timbul dari proses operasi transplantasi organ, sebagaimana

diatur dalan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 tahun 2016, yang biaya

tersebut nantinya akan dipergunakan untuk mendanai proses operasi dan

memberikan penghargaan kepada pendonor organ.

64

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 314. 65

Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah Muasasah al Risalah Nasyirun, (Beirut, t.p. 2008), h.

235. 66

Bander Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, (Rineka

Cipta, Jakarta, 2005), h. 11. 67

H. Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUHPerdata, (Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2007), h. 45-46.

27

BAB III

PERATURAN MENGENAI TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH

A. Transplantasi Organ Tubuh menurut Peraturan Menteri Kesehatan

nomor 38 tahun 2016

Kesehatan merupakan hak asasi tiap warga negara sebagaimana yang telah

dijamin dalam pasal 28 H ayat (1): Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan

batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup baik dan sehat serta

berhak memperoleh pelayanan kesehatan.68

Oleh sebab itu maka perlu adanya

Regulasi yang memuat mengenai pemenuhan kesehatan bagi setiap warga negara

tanpa terkecuali untuk mewujudkan kesejahteraan sesuai dengan cita-cita bangsa

Indonesia. Secara historis, regulasi kesehatan di Indonesia, termuat dalam

Undang-Undang Pokok Kesehatan Nomor 9 tahun 1960, Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, sebagaimana yang

telah di rubah dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009

tentang Kesehatan.

Seiring berkembangnya waktu, perkembangan teknologi di dunia

kesehatan semakin meningkat. Salah satu teknologi medis yang sangat

berkembang adalah teknologi transplantasi atau yang biasa disebut masyarakat

sebagai transplantasi organ tubuh manusia. Untuk kepentingan transplantasi organ

dan jaringan tubuh manusia umumnya penerima diperoleh dari keluarga dekat.69

Faktor utama tingkat keberhasilan transplantasi adalah adanya donor yang sesuai.

Namun meskipun demikian, transplantasi organ juga menjadi permasalahan

bioetika yang juga cukup pelik, mengingat kebutuhan jaringan tubuh manusia

semakin hari semakin bertambah, sementara persediaan organ terbatas karena

beberapa organ harus diambil dari tubuh mereka yang sudah meninggal maupun

yang masih hidup, padahal tidak setiap keluarga orang yang mendonorkan organ

tubuhnya memberi izin bagi pihak Rumah Sakit ataupun dokter untuk melakukan

68

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28 h. 69

Lintang R, “Aspek Hukum Terhadap Pemanfaatan Organ Tubuh Manusia Untuk

Kelangsungan Hidup”, Lex et Societatis, Vol. I, No. 5, (September, 2013), h. 2.

28

tindakan perpindahan organ tanpa adanya harga yang pantas. Sehingga dengan

adanya kondisi darurat tersebut timbulah suatu permasalahan yaitu adanya

perdagangan organ tubuh manusia yang legal maupun illegal.70

Di Indonesia tidak semua Rumah Sakit bisa melaksanakan transplantasi

sejumlah organ tubuh, dikarenakan terbatasnya sarana kesehatan dan tenaga medis

yang menguasai hal tersebut. Beberapa Rumah Sakit yang pernah melakukan

transplantasi organ tubuh antara lain berlokasi di Jakarta, Surabaya, Malang,

Semarang, dan Yogyakarta. Di kota-kota besar tersebut biasanya terdapat

pendonor yang bersedia memberikan organ tubuh kepada seseorang, namun

sebagian besar pendonor dan penerima donor organ tubuh tersebut masih

memiliki hubungan keluarga,71

hal ini disebabkan karena tidak semua organ tubuh

pendonor tersebut cocok dengan penerima donor, bahkan sebagian operasi

transplantasi organ tubuh gagal hingga menyebabkan penerima donor meninggal

dunia karena adanya penolakan secara otomatis dari tubuh penerima donor,

apabila organ tubuh yang didonorkan tidak cocok dengan tubuh penerima donor.72

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan yang spesifik

mengatur tentang prosedur penyelenggaraan transplantasi organ tubuh manusia,

yaitu Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan

Transplantasi Organ. Pada dasarnya Peraturan Menteri tidak disebutkan dalam

ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan, akan tetapi Peraturan Menteri keberadaannya

diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang

menegaskan:

70

Gani, R. A. “Perdagangan Organ Tubuh Manusia Dilihat Dari Perspektif Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Menurut Hukum.” (Skripsi S-1 IAIN

Sulthan Thaha Syaifuddin Jambi. 2010), h. 38. 71

Alfrianto, F. “Pemberlakuan Sanksi Pidana Terhadap Perdagangan Ginjal Untuk

Kepentingan Transplantasi.” Lex Crimen, Vol. IV, No. 5, (2015), h. 5. 72

Bayu Purnomo Setyawan dkk, Analisis Yuridis Normatif Terkait Transplantasi Dan

Jual Beli Organ Tubuh Manusia Ditinjau Dari Peraturan Perundang-Undangan, Seminar

Nasional Hasil Penelitian (SNHP)-VII ISBN 978-602-14020-5-4 Lembaga Penelitian Dan

Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas PGRI Semarang, (26 Oktober 2017), h. 23.

29

“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,

Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang

setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah

Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau

yang setingkat.”

Walaupun ketentuan di atas tidak menyebut secara tegas jenis peraturan

perundang-undangan berupa “Peraturan Menteri”, namun frase “…peraturan yang

ditetapkan oleh… menteri…” di atas, mencerminkan keberadaan Peraturan

Menteri sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Dengan

demikian, Peraturan Menteri setelah berlakunya UU No. 12/2011 tetap diakui

keberadaannya.73

Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 tahun 2016 tentang

Penyelenggaraan Transplantasi Organ di dalamnya telah diatur mengenai prosedur

yang harus dilakukan oleh pelaku transplantasi organ baik itu Pendonor maupun

Resipien untuk melakukan uji kelayakan dan kecocokan, yang hal ini nantinya

akan di laksanakan oleh Komite Transplantasi Nasional yang dibentuk oleh

Pemerintah. Pengaturan transplantasi organ bertujuan untuk memberikan

perlindungan dan kepastian hukum bagi pendonor, resipien, rumah sakit

penyelenggara transplantasi organ, dan tenaga kesehatan pemberi transplantasi

organ.74

Tenaga medis dalam hal ini merupakan dokter diberikan kewenangan

khusus oleh pemerintah melalui Undang-undang dan Peraturan Pemerintah nomor

18 tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis, serta

73

Bilal Dewansyah, Kedudukan Peraturan Menteri dalam Hierarki Peraturan

Perundang-undangan,

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5264d6b08c174/kedudukan-peraturan-

menteri-dalam-hierarki-peraturan-perundang-undangan/ diakses pada tanggal 04 Februari 2020 74

Fauziah Rachmawati, “Kepastian Hukum Transplantasi Organ Yang Mencerminkan

Nilai Kemanusiaan”, Jurnal Hukum Media Bhakti, Vol. III, No.1, (Juni 2019), h. 81.

30

Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh, untuk melaksanakan proses translpantasi,

dimana pengambilan alat dan atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan

translplantasi atau bank mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia

dilakukan dengan persetujuan keluarga terdekat, ini pun atas persetujuan dari

pendonor dan resipien.75

, namun bagi mayat tanpa identitas dan tanpa kehadiran

keluarga terdekatnya dalam kurun waktu 2x24 jam, maka dokter diberikan

kewenangan melalui pasal tersebut untuk mengambil alat dan atau jaringan

tubuhnya.76

Kode etik kedokteran Indonesia apabila dikaitkan dengan transplantasi

organ maka setiap dokter yang ikut serta dalam melakukan transplantasi

organ/menjalankan profesi kedokterannya wajib berpegang teguh pada Kode etik

kedokteran Indonesia. Transplantasi dipandang dari sudut etika harus

dipertimbangkan dari empat prinsip dasar Biomedikal Etik yaitu: Pertama,

Respect for autonomy berarti bahwa mendonorkan organ merupakan perbuatan

mulia. Kedua, Non Malficient berarti bahwa Setiap operasi transplantasi yang

dijalankan selalu mengandung risiko. Ketiga, Benefience berarti bahwa Prinsip

berbuat kebaikan mengandung arti bahwa kita harus berbuat baik kepada orang

lain, terutama apabila tidak mengandung risiko bagi pemberi kebijakan. Keempat,

Justice berarti bahwa prinsip keadilan dalam donasi dan transplantasi organ lebih

relevan terhadap alokasi organ, yang menyangkut kepada perlakuan yang adil,

sama dan sesuai dengan kebutuhan pasien yang tidak terpengaruhi oleh faktor

lain.77

Pada dasarnya dalam transplantasi organ tubuh tidak diperbolehkan

adanya unsur jual beli maupun pemberian kompensasi kepada pendonor organ

tubuh. Menurut Pasal 192 UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, praktik

jual beli organ tubuh termasuk perbuatan tindak pidana, oleh karena itu perlu

diketahui bahwa ancaman hukumannya yaitu pidana penjara paling lama sepuluh

76 Pasal14 Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan

Bedah Mayat Anatomis, serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh 77

Notoatmojo Soekidjo, Etika dan Hukum Kesehatan. (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h.

92-93.

31

tahun, dan denda paling banyak sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah),

sehingga karena hal ini maka jual beli organ dilarang dengan dalih apapun.

Menurut pasal 13 Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 tahun 2016,

Pada dasarnya setiap orang dapat menjadi Pendonor secara sukarela tanpa

meminta imbalan apabila sudah memenuhi semua persyaratan administrastif dan

persyaratan medis yang diperuntukkan bagi calon pendonor. Namun dalam pasal

36 Peraturan ini disebutkan bahwa pendonor berhak untuk memperoleh asuransi

kematian dan penghargaan atas kehilangan penghasilan dari

pekerjaan/pencaharian selama dalam perawatan dan pemulihan kesehatan

pascatransplantasi organ yang besarannya akan ditetapkan oleh Menteri.

Dalam Pasal 38 ayat 1 diatur bahwasanya Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah bertanggungjawab terhadap pendanaan penyelenggaraan

Transplantasi Organ melalui:

1. Anggaran pendapatan dan belanja negara;

2. Anggaran pendapatan dan belanja daerah;

3. Hibah dari Resipien; dan/atau

4. Sumber lain yang tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.78

Pendanaan sebagaimana tersebut diatas ditujukan untuk: Pelaksanaan

tugas Komite Transplantasi Nasional dan perwakilan Komite Transplantasi

Nasional di Provinsi, pemeriksaan awal dan skrining calon Pendonor, selain itu

juga dipergunakan untuk asuransi kematian dan penghargaan bagi Pendonor atas

kehilangan penghasilan dari pekerjaan/pencaharian selama dalam perawatan dan

pemulihan kesehatan dalam hal Resipien tidak mampu. Dalam hal ini berarti

Negara mengatur akan adanya kompensasi yang harus dibayarkan kepada

Pendonor organ setelah dilaksanakannya proses transplantasi organ tubuh, adapun

besar penghargaan bagi Pendonor tersebut diatas nantinya akan ditetapkan oleh

Menteri.

78

Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan

Transplantasi Organ Pasal 38 ayat 1

32

B. Transplantasi Organ Tubuh menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Dalam rangka melindungi dan menjaga jiwa, akal dan keturunan yang

merupakan bagian dari tujuan diturunkannya syariat (maqashid as-syari‟ah),

maka dianjurkan untuk menjaga dan memelihara kesehatan. Pelestarian kesehatan

harus menjadi tujuan utama kedokteran yang diemban oleh tabib, dokter dan

semua petugas dan pelayan kesehatan. Sepanjang sejarah peradaban Islam, tugas

utama sistem medis adalah untuk mempertahankan kesehatan ketimbang

menyembuhkan penyakit atau memulihkan kesehatan. Ini sejalan dengan tujuan

hukum Islam yang menyatakan bahwa menjaga kesehatan lebih baik daripada

menanggulangi penyakit. Dengan kata lain tujuan penting ilmu kedokteran adalah

untuk menyelamatkan hidup manusia dan mengurangi penderitaan makhluk

hidup.79

Dalam rangka melindungi dan menjaga jiwa, akal dan keturunan yang

merupakan bagian dari tujuan diturunkannya syariat (maqashid as-syari‟ah)

diatas, maka dianjurkan untuk menjaga dan memelihara kesehatan. Saat ini

ditemukan penyakit yang secara medis pengobatannya dapat dilakukan dengan

transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh orang lain yang memiliki kesamaan,

yang hal ini menimbulkan pertanyaan dari para dokter ataupun pasien tentang

status hukumnya dalam Islam, sehingga Majelis Ulama Indonesia (MUI)

dipandang perlu untuk membuat fatwa yang berkaitan dengan transplantasi organ

tubuh.

MUI (Majelis Ulama Indonesia) merupakan sebuah wadah yang di

dalamnya terhimpun para ulama, zu'ama, dan cendekiawan muslim Indonesia.

Berasaskan Islam dan bertujuan mewujudkan masyarakat yang berkualitas (khair

ummah), dan negara yang aman, damai, adil, dan makmur rohaniah dan jasmaniah

79

Nurhayati, “Kesehatan Dan Perobatan Dalam Tradisi Islam: Kajian Kitab Shahih Al-

Bukhârî”, Ahkam, Vol. XVI, No. 2, (Juli 2016), h. 225.

33

yang diridhai Allah SWT. Organisasi ini berdiri pada 17 Rajab 1375 H/26 Juli

1975 M.80

Majelis Ulama Indonesia terbentuk berdasarkan hasil Musyawarah

Nasional I Majelis Ulama Indonesia yang berlangsung pada 21-27 Juli 1975 di

Balai Sidang Jakarta. Tanda berdirinya Majelis Ulama Indonesia tersebut

diabadikan dalam bentuk “Piagam" berdirinya Majelis Ulama Indonesia yang

ditandatangani oleh lima puluh tiga orang ulama yang terdiri dari dua puluh enam

Ketua-Ketua Majelis Ulama Indonesia Daerah Tingkat I, sepuluh orang ulama

unsur organisasi Islam tingkat pusat, yaitu NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam,

PERTI, Al-Washliyah, Mathala‟ul Anwar, GUPPI, FTDI, Dewan Masjid

Indonesia, dan Al-Ittihadiyah, Empat orang ulama dari dinas rohaniah Islam

Angkatan Darat, Udara, Laut dan POLRI, serta tigabelas ulama undangan

perorangan.81

Adapun misinya adalah pertama, menggerakkan kepemimpinan umat

Islam secara efektif dengan menjadikan ulama sebagai panutan (qudwah

hasanah), sehingga mampu mengarahkan dan membina umat Islam dalam

menanamkan dan memupuk akidah Islamiyah, serta menjalankan syariah

Islamiyah; kedua, melaksanakan dakwah Islam, amar ma'ruf nahi munkar dalam

mengembangkan akhlak karimah agar terwujud masyarakat berkualitas (khaira

ummah) dalam berbagai aspek kehidupan; ketiga, mengembangkan ukhuwah

Islamiyah dan kebersamaan dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan umat

Islam dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.82

Selain itu Majelis

Ulama Indonesia juga memiliki tugas guna membantu pemerintahan dalam

melakukan hal-hal yang menyangkut kemaslahatan umat Islam seperti;

1. Memperkuat agama dengan cara yang dijelaskan Pancasila untuk memastikan

ketahanan nasional.

80

Panji Adam, Fatwa-Fatwa Ekonomi Syariah, Konsep, Metodologi, dan

Implementasinya pada Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Amzah, 2018), h. 140. 81

Panji Adam, Fatwa-Fatwa Ekonomi Syariah, Konsep, Metodologi, dan

Implementasinya pada Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Amzah, 2018), h. 141. 82

Panji Adam, Fatwa-Fatwa Ekonomi Syariah, Konsep. Metodologi, dan

Implementasinya pada Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Amzah, 2018), h. 141.

34

2. Partisipasi Ulama dalam pembangunan nasional.

3. Mempertahankan keharmonisan antar umat beragama di Indonesia.

Majelis Ulama Indonesia bertindak sebagai antarmuka antara pemerintah

Indonesia yang sekuler dengan masyarakat Islam. Perubahan dalam masyarakat

sipil setelah jatuhnya presiden Suharto telah memperluas peran Majelis Ulama

Indonesia dan membuatnya semakin kompleks. Majelis Ulama Indonesia

memberikan fatwa kepada masyarakat Islam guna menentukan arah umum

kehidupan umat Islam di Indonesia. Majelis Ulama Indonesia telah memberikan

pendapat dan mengeluarkan fatwa tentang berbagai masalah yang terjadi di

Indonesia.83

Fatwa yang ditetapkan berdasarkan pada Al-Qur‟an, sunnah, ijma',

dan qiyas. Keempat hal tersebut merupakan sumber dan dalil hukum syara‟ yang

disepakati oleh jumhur ulama. Sedangkan yang lainnya, seperti istihsan, istishab,

istishlah, saddu al-dzariah, dan lain sebagainya diperselisihkan keberadaannya

sebagai dalil hukum.84

Secara ringkas dasar-dasar penetapan fatwa Majelis Ulama Indonesia

adalah sebagai berikut, Pertama, setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar

atas kitabullah dan Sunnah Rasul, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan

umat; kedua, jika tidak terdapat dalam kitabullah dan sunnah Rasul, keputusan

fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma', qiyas yang mu'tabar, dan dalil-

dalil hukum yang lain, seperti istihsan, mashalih mursalah, dan saddu al‟dzariah;

ketiga, sebelum pengambilan keputusan fatwa hendaklah ditinjau pendapat-

pendapat para Imam mazhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil

hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak

yang berbeda pendapat; keempat, pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah

yang akan diambil keputusan fatwanya dipertimbangkan.85

Mengenai praktik transplantasi organ, Komisi Fatwa Majelis Ulama

Indonesia telah menetapkan Fatwa terbaru yaitu Fatwa Nomor 13 Tahun 2019

83

https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia diakses pada tanggal 2

Desember 2019. 84

Wahbah, Al Zuhaili, Ushul Al-fiqh Al-Islami, (Beirut: Dar al Fikr, 2013), h. 253. 85

Panji Adam, Fatwa-Fatwa Ekonomi Syariah, Konsep. Metodologi, dan

Implementasinya pada Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Amzah, 2018), h. 146.

35

Tentang Transplantasi Organ Dan/Atau Jaringan Tubuh dari Pendonor hidup guna

dijadikan sebagai pedoman bagi masyarakat luas, khususnya bagi para tenaga

medis dan pelaku transplantasi organ tubuh. Adapun lahirnya fatwa ini dilatar

belakangi karena adanya pertanyaan dari masyarakat dan juga dari Kementerian

Kesehatan kepada Lembaga Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang status

hukum transplantasi organ atau jaringan tubuh orang lain yang memiliki

kesamaan.

Majelis Ulama Indonesia menyatakan bahwa pada dasarnya seseorang

tidak boleh memberikan atau menjual organ dan/atau jaringan tubuhnya kepada

orang lain karena tubuhnya tersebut bukanlah merupakan hak milik (haqqul

milki). Sesuai dengan Firman Allah dalam QS. Yunus (10): 66 yang berbunyi;

أالإنلىومنفالسمتلاتلمنفا رض

Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan

semua yang ada di bumi.”

Oleh sebab itu pengambilan dan pemindahan organ tubuh tanpa adanya

alasan yang di benarkan secara syar‟i, Majelis Ulama Indonesia memberikan

pendapat bahwa hukumnya adalah haram.86

Sehingga karena hal ini Majelis

Ulama Indonesia dalam fatwanya menjelaskan secara rinci mengenai alasan-

alasan syar‟i diperbolehkannya praktik transplantasi organ tubuh, yang

diantaranya harus memenuhi hal-hal sebagaimana berikut ini:

1. Apabila Terdapat kebutuhan mendesak yang dibenarkan secara syar‟i

(dharurah syar‟iyyah)

2. Tidak ada dharar dikemudian hari yang akan dialami oleh pendonor akibat dari

pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh baik sebagian ataupun keseluruhan

86

Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 13 Tahun 2019 Tentang Transplantasi Organ

Dan/Atau Jaringan Tubuh Dari Pendonor Hidup Untuk Orang Lain

36

3. Jenis organ tubuh yang dipindahkan kepada orang lain tersebut bukanlah

merupakan organ vital bagi pendonor yang mempengaruhi kehidupan atau

kelangsungan hidupnya dikemudian hari

4. Tidak adanya upaya medis lain untuk menyembuhkan penyakit penerima

donor, kecuali dengan cara transplantasi organ tubuh

5. Bersifat untuk tolong-menolong (tabarru‟), dan tidak adanya unsur komersial

6. Adanya persetujuan dari calon pendonor

7. Adanya rekomendasi dari tenaga kesehatan atau pihak yang memiliki keahlian

untuk jaminan keamanan dan kesehatan dalam proses transplantasi

8. Adanya pendapat dari para ahli tentang dugaan kuat (ghalabati ẕon) akan

keberhasilan operasi trasnplantasi organ tersebut kepada orang lain

9. Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh dilakukan oleh ahli yang

kompeten dan kredibel

10. Proses transplantasi dilakukan oleh Negara.

Dari ketentuan-ketentuan diatas, terdapat satu aturan yang berbunyi bahwa

Transplantasi organ tubuh dimaksudkan untuk tolong-menolong (tabarru‟) dan

tidak untuk tujuan komersial. Ketentuan ini didasarkan pada Firman Allah dalam

QS. Al-Maidah (5): 2:

لالعدلان لت عتلنواعىاالبلالت قوىلالت عتلنواعىااالثArtinya: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”

Allah SWT memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk

senantiasa tolong-menolong dalam berbuat kebaikan, itulah yang disebut al-birru

(kebajikan), serta serta meninggalkan segala bentuk kemungkaran, dan itulah

dinamakan at-takwa.87

Allah SWT melarang mereka tolong-menolong dalam hal

kebathilan, berbuat dosa dan mengerjakan hal-hal yang haram.

87

M. Abdul Ghoffar, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, (Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi‟I,

2017), cet. Ke-11, h. 10

37

Majelis Ulama Indonesia telah mengatur bahwasanya dalam hal

transplantasi organ tubuh hanya diperbolehkan apabila didasarkan atas asas tolong

menolong dan tidak diperbolehkan adanya unsur jual-beli ataupun pemberian

kompensasi kepada pendonor organ tubuh pasca dilaksanakannya operasi

transplantasi. Hal ini didasarkan karena pada hakikatnya tubuh manusia bukanlah

milik manusia itu sendiri, sehingga tidak patut sebagai bukan pemilik atas tubuh

tersebut meminta imbalan dari diambilnya apa yg bukan miliknya.

C. Transplantasi Organ Tubuh menurut Fatwa Majelis Ulama Mesir Dar

Al-Ifta’ Al-Misriyyah

Lembaga fatwa Mesir merupakan Lembaga fatwa pertama yang didirikan

di dunia Islam. Lembaga ini didirikan pada Tahun 1895 berdasarkan surat

keputusan dari Abbas Hilmi Pasha yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Mesir

sejak tahun 1892 hingga tahun 1914, dan kemudian surat keputusan tersebut

ditujukan kepada Nizharah Haqqaniyyah No.10 tanggal 21 November 1895.88

Lembaga ini merupakan salah satu pilar institusi Islam di Mesir yang ditopang

oleh empat lembaga keagamaan, yaitu Al-Azhar Asy-Syarif, Universitas Al-

Azhar, Kementerian Wakaf dan Lembaga Fatwa Mesir. Lembaga Fatwa Mesir

melaksanakan peranan penting dalam memberikan fatwa kepada masyarakat

umum dan konsultasi kepada lembaga-lembaga peradilan di Mesir.

Pada mulanya, Lembaga Fatwa Mesir merupakan salah satu lembaga di

bawah Departemen Kehakiman, namun seiring dengan berkembangnya zaman,

tugas dan peran Lembaga Fatwa Mesir tidak terbatas pada hal yang berkaitan

dengan kehakiman saja, jangkauannya pun tidak terbatas pada wilayah Mesir saja,

akan tetapi meluas hingga ke dunia Islam secara umum. Hal itu dapat diketahui

melalui daftar fatwa yang dikeluarkan oleh Lembaga Fatwa Mesir sejak didirikan

88

Fatwa Dar al-Ifta‟ al-misriyyah No.3638 tahun 2013 dari http://www.dar-alifta.org/

diakses pada tanggal 8 Desember 2019.

38

hingga saat ini yang juga mencatat pertanyaan-pertanyaan dari berbagai negara

Islam di dunia.89

Sejak berdirinya hingga sekarang lembaga fatwa Mesir telah dipimpin 19

mufti, dimulai dari syekh Hasunah al-Nawawi hingga mufti terkini yaitu Syekh

Syauqi Abdul Karim „Allam.90

Hingga saat ini fatwa-fatwa yang dikeluarkan

Lembaga Fatwa Mesir telah dibukukan dalam 23 jilid dan fatwa yang tertulis

dalam kumpulan itu sendiri mencapai lebih dari seratus ribu fatwa.

Secara global tugas lembaga ini terbagi menjadi dua, yaitu tugas

keagamaan dan juga tugas yang berkaitan dengan Pengadilan. Adapun didalam

tugas keagamaan, terdapat pula beberapa poin tugas lain yang diantaranya;

menerima permohonan dan pertanyaan fatwa serta menjawabnya dengan berbagai

bahasa, menentukan setiap permulaan bulan Hijriyah, mengadakan pelatihan

fatwa kepada mahasiswa asing, mengeluarkan pernyataan resmi berkenaan dengan

masalah keagamaan, menyusun riset-riset ilmiyah, menjawab kesalahpahaman

terhadap Islam serta mengadakan sistem belajar jarak jauh. Adapun tugas lembaga

fatwa Mesir yang berkaitan dengan pengadilan berupa pemberian keputusan

menurut syara‟ terhadap vonis mati terhadap terdakwa. Dalam hal ini Mufti agung

Mesir memeriksa seluruh berkas yang ada (bukti-bukti dari awal hingga akhir)

serta mencari dalil dalam agama dan pendapat para ulama terhadap kasus tersebut

yang pada nantinya akan dikembalikan kepada pihak kehakiman dalam

pembacaan vonis terakhir.91

Fatwa yang dikeluarkan oleh Ulama Lembaga Fatwa Mesir berbeda

dengan model fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia, karena

fatwa yang dikeluarkan oleh Lembaga Fatwa Mesir merupakan fatwa yang

dikeluarkan oleh seorang mufti atas pertanyaan dari seorang mustafti (peminta

89

https://sainspsychology.wordpress.com diakses pada tanggal 13 Januari 2020 90

Majelis Ulama Indonesia Lampung http://Majelis Ulama Indonesia-

lampung.or.id/2016/08/12/sejarah-perkembangan-lembaga-fatwa-mesir-dar-al-ifta/ diakses 9

December 2019 91

Faza Abdurobbih, Lembaga Fatwa Mesir dari Masa ke Masa,

https://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2013/03/26/36/lembaga-fatwa-mesir-dari-masa-

ke-masa.html diakses pada tanggal 29 Januari 2020.

39

fatwa).92

Seperti pendapat dari Ali Goma Mohammed dalam fatwa No.3638 tahun

2003 terkait pertanyaan mustafti tentang Transplantasi Organ tubuh menurut

hukum Islam. Dalam jawaban fatwa ini, telah diuraikan secara rinci dalil dalam

Alquran dan sunnah mengenai kebolehan Transplantasi organ tubuh dan hal-hal

yang diperbolehkan serta dilarang dalam praktek transplantasi tersebut.

Islam berupaya melindungi kehidupan manusia dan melindunginya dari

bahaya yang akan timbul dikemudian hari. Karena alasan ini, hukum Islam

memerintahkan manusia untuk melakukan semua tindakan untuk melindungi

tubuh, kehidupan, dan kesehatannya, memerintahkannya untuk menghindari

larangan dan apa pun yang menimbulkan korupsi dan kerusakan. Selain itu,

hukum Islam mendesak manusia untuk mencari perawatan medis melalui semua

cara yang memungkinkan93

Transplantasi organ, baik dari donor hidup maupun dari donor mati yang

kematiannya telah ditetapkan secara medis adalah salah satu cara pengobatan

yang telah dibuktikan efektifitasnya dalam menyelamatkan hidup seseorang

dengan kehendak Allah. Organ manusia tidak tunduk pada transaksi komersial

dan tidak boleh melibatkan imbalan finansial apa pun kepada donor.

Seperti halnya diperbolehkan untuk transplantasi organ dari orang yang

hidup kepada orang lain yang membutuhkan organ tersebut guna

menyelamatkannya dari bahaya tertentu, saat ini atau di masa yang akan datang

diperbolehkan pula untuk mentransplantasikan organ dari orang yang sudah

meninggal dunia, dengan tujuan yang sama yaitu untuk mencapai manfaat yang

diperlukan akibat dari transplantasi tersebut.

ة لاليدلنف كتنب خصت دلرى حتءةمآألت والي ؤثرلنعىاأن فسه للو

92

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, Ichtiar Baru, 2006) hlm. 65 93

Fatwa Darul Ifta al-Misriyyah No.3638 tahun 2013 dari https://www.dar-alifta.org/

diakses pada tanggal 29 Desember 2019.

40

Artinya: “Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa

yang diberikan mereka (muhajirin), dan mereka mengutamakan (muhajirin) atas

dirinya sendiri”. (QS. Al-Hasyr (59): 9).

Bagi transplantasi organ tubuh yang berasal dari orang yang telah

meninggal dunia, kehormatannya tidak dilanggar hanya karena diambilnya salah

satu organ tubuh setelah kematiannya tersebut, yang bertujuan untuk

menyelamatkan hidup orang lain, hal ini dikarenakan kepentingan orang yang

hidup lebih diutamakan daripada orang yang sudah meninggal dunia, karena

orang yang hidup masih memiliki waktu untuk melanjutkan kehidupannya di

Bumi dengan mematuhi hukum Allah dan menjalankan syariat agama-Nya.94

Pendapat as-Syirazi dalam kitab al-Muhadzzab hal. 296, menyebutkan:

لإنمتتتامرأةلفءوفهتءنيحيشقءوفهتالنواتبقت حيبتتالفءز من

امل تفتشبوإذااضطرالأكلءز منامل ت

Artinya: “Jika seorang perempuan hamil meninggal dan di perutnya ada janin

hidup, maka perut mayat perempuan tersebut harus dibedah karena untuk

menyelamatkan janin tersebut agar tetap hidup dengan merusak bagian dari

mayat. Kasus ini (hukumnya) sama dengan jika keadaan dharurah memakan

bagian dari bangkai.

Transplantasi mayat tidak melanggar kesucian orang mati, melainkan

resipien memberi hadiah besar kepada pendonor yang telah meninggal tersebut

karena dianggap sebagai amal yang mengalir terus-menerus, dimana hal ini sama

artinya dengan ia mendapatkan hadiah sepanjang periode hidup si penerima

manfaat dari organ yang ditransplantasikan tersebut, hal ini terjadi sama seperti

halnya transplantasi donor hidup. Transplantasi dari orang yang meninggal

94

Fatwa Dar al-Ifta al-Misriyyah No.3638 tahun 2013 diakses dari https://www.dar-

alifta.org/ pada tanggal 29 Desember 2019

41

dilakukan melalui operasi dengan prosedur yang menjaga kehormatan tubuhnya

dan tidak melibatkan segala bentuk pelecehan kepada dirinya.

Transplantasi organ menurut Hukum Islam yang dikutip oleh Darul Ifta

al-Misriyyah baik itu berasal dari donor yang hidup atau mayat diizinkan apabila

dalam kondisi berikut:

1. Transplantasi organ tubuh tidak harus melibatkan kerusakan kepada kehidupan

manusia yang telah Allah berikan kehormatan. Karena tubuh manusia bukanlah

subjek transaksi komersial. Hal ini disebabkan karena apa yang ada didalam

tubuh manusia hakikatnya bukanlah merupakan milik manusia itu sendiri,

melainkan titipan dari Allah SWT yang sudah sepatutnya dijaga.

2. Transplantasi organ tubuh harus bertujuan untuk saling membantu dalam

kebenaran, keshalehan dan juga guna mengurangi rasa sakit bagi penerima

organ tubuh.

3. Transplantasi organ tubuh diperbolehkan apabila tidak adanya cara pengobatan

alternatif lain yang dapat menyelamatkan nyawa pasien. Dimana cara ini

merupakan satu-satunya solusi bagi penyembuhan organ tubuh tersebut karena

penyembuhan atau pengobatan dengan prosedur medis biasa tidak ada harapan

kesembuhannya.95

4. Transplantasi organ tubuh harus mendapatkan rekomendasi dari Dokter yang

berkualifikasi, bahwa akan adanya manfaat tertentu dari transplantasi organ

tersebut dan tidak menimbulkan bahaya kesehatan bagi pendonor dikemudian

hari, selain itu dapat mempertahankan fungsi organ tersebut pasca

transplantasi.

5. Transplantasi organ tubuh tidak diperbolehkan apabila melibatkan perdagangan

organ. Hal ini sejalan dengan Fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama

Indonesia dan juga Peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan

Republik Indonesia.

95

Haswir, “Hukum Mendonorkan dan Mentransplantasikan Anggota Tubuh Dalam Islam,

“Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman”, Vol. 10, No. 2, (Juli Desember 2011), h. 276.

42

6. Transplantasi organ tubuh tidak diperbolehkan melibatkan kompensasi apa pun

baik secara finansial atau yang lainnya kepada pendonor jika ia masih hidup

atau ahli warisnya jika ia sudah mati.96

Artinya jika praktik pemberian organ

tubuh itu disertai transaksi di kemudian hari, maka hukumnya menjadi haram.

Sehubungan dengan hal di atas, transplantasi organ dikategorikan sebagai

manfaat menyelamatkan nyawa. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Maidah

(5): 32 yang berbunyi;

تأح تالنتسج عت)املت دة/٥:٢٣( لمنأح تىتفكأن

Artinya: “Dan barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka

seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.”

Ulama Mesir yang tergabung dalam Dar al-Ifta al-Misriyyah mengatur

tentang prosedur dan syarat-syarat yang wajib dipenuhi dalam pelaksanaan

transplantasi organ tubuh manusia agar transplantsi organ tubuh yang akan

dilakukan menjadi halal hukumnya, yaitu sebagai berikut:

1. Adanya suatu kebutuhan yang luar biasa, transplantasi organ dari donor yang

hidup diizinkan ketika seorang pasien mengalami penurunan kesehatan

progresif dan dokter yang berkualifikasi menentukan bahwa transplantasi organ

yang sehat adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkannya dari bahaya

tertentu. Organ yang ditransplantasikan harus berasal dari kerabat tingkat

pertama atau kedua. Jika ini tidak memungkinkan, maka diperbolehkan untuk

transplantasi organ dari kerabat tingkat ketiga atau keempat. Pendonor harus

menyetujui transplantasi, dewasa, waras dan membuat keputusan atas

kehendaknya sendiri.

2. Adanya manfaat bagi penerima/resipen, Secara medis, prosedur harus

melibatkan manfaat yang dirasakan bagi penerima dan mencegah bahaya

96

Fatwa Darul Ifta al-Misriyyah No.3638 tahun 2013 diakses dari https://www.dar-

alifta.org/ pada tanggal 29 Desember 2019

43

tertentu yang mungkin terjadi jika organ yang rusak tidak diganti. Selain itu,

tidak boleh ada alternatif lain untuk menyelamatkan pasien dari bahaya atau

kematian melalui transplantasi organ.

3. Kesehatan pendonor lebih diutamakan, tidak boleh ada kerugian tertentu serta

tidak boleh membahayakan integritas ekonomi dan moral bagi pendonor.

Ditetapkan dalam fiqh bahwa ketika kehidupan seorang ibu hamil dan janinnya

dalam bahaya, kehidupan ibu diutamakan. Ini karena kehidupan ibu pasti

sementara tidak yakin apakah janin akan hidup saat melahirkan; Oleh karena

itu, kepastian lebih diutamakan daripada ketidakpastian.

4. Prosedur harus bebas dari kompensasi, finansial atau lainnya, baik langsung

ataupun melalui perantara. Donor organ tubuh diperbolehkan asalkan pendonor

melakukan dengan niat kemanusiaan. Tidak boleh karena motivasi komersil.

Sehingga harus ikhlas karena Allah.

5. adanya Komite medis khusus yang terdiri tidak kurang dari tiga orang dokter

yang dapat dipercaya, dan tidak mudah tergiur untuk mendapatkan keuntungan

dari prosedur ini, untuk kemudian harus mengeluarkan dokumen tertulis dari

ketentuan di atas dan memberikannya kepada pendonor dan resipien sebelum

dilaksanakannya praktik transplantasi.

6. Organ yang ditransplantasikan tidak boleh dengan cara apapun menyebabkan

kebingungan garis keturunan. Dalam hal ini dilarang untuk

mentransplantasikan organ seperti organ reproduksi. Larangan ini berlaku bagi

pendonor hidup maupun pendonor mati.

Praktik Transplantasi Organ tubuh adalah hal yang sangat rumit, mulai

dari aspek hukum, etika, serta dari segi pelaksanaannya pun membutuhkan kajian

dan penelitian yang lebih mendalam. Oleh karena itu Lembaga Fatwa Mesir Darul

Ifta al-Misriyyah mengeluarkan Fatwa tentang Transplantasi organ yang pada

intinya memperbolehkan praktik transplantasi organ tubuh manusia, namun

disertai dengan syarat-syarat dan prosedur yang harus dipenuhi sebelum

melaksanakan praktik transplantasi organ tubuh manusia.

45

BAB IV

ANALISIS PERBANDINGAN MENGENAI PEMBERIAN

KOMPENSASI KEPADA PENDONOR ORGAN TUBUH

A. DITINJAU DARI SEGI MUATAN

Pada dasarnya hukum memperjual belikan organ tubuh merupakan suatu

tindakan yang dilarang baik menurut aturan hukum positif ataupun menurut

norma kesusilaan yang berlaku, dalam Undang- Undang nomor 36 tahun 2009

tentang Kesehatan telah diatur bahwasanya transplantasi organ dan atau jaringan

tubuh dilakukan hanya untuk tujuan kemanusian dan dilarang dikomersialkan.97

Sedangkan pengertian kompensasi yang akan dibahas lebih lanjut dalam

pembahasan ini adalah semua pendapatan yang berbentuk uang, barang langsung

atau tidak langsung yang diterima seseorang sebagai imbalan atas jasa yang

diberikan.98

Berkaitan dengan transplantasi organ tubuh, kompensasi dapat

diartikan sebagai semua pendapatan yang berbentuk uang, barang langsung atau

tidak langsung yang diterima oleh Pendonor, sebagai imbalan atas organ yang

telah diberikan kepada Resipien. Sedangkan kata komersial menurut kamus

bahasa indonesia online, berarti suatu kegiatan yang berkaitan dengan

perdagangan atas suatu barang yang dimaksudkan untuk diperdagangkan dan bisa

juga bernilai niaga tinggi yang terkadang mengorbankan nilai-nilai lain termasuk

kemanusiaan.99

Oleh karena itu komersial sendiri sebenarnya lebih dikenal dalam dunia

binis dan perdagangan, akan tetapi menurut penulis karena komersial berkaitan

dengan perdagangan pasti berkaitan dengan adanya suatu keuntungan. Seperti

yang diketahui bahwa fokus perdagangan pada dasarnya adalah keuntungan yang

didapat. Oleh sebab itu adanya regulasi transplantasi organ bertujuan untuk

memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pendonor, resipien, rumah

97

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 98

Hasibuan, H. Malayu S.P, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: BPFE-

UGM, 2002), Ed. Revisi Kedua, h. 54. 99

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, Pengertian Komersial (Online),

http://kamusbahasaindonesia.org/komersial/mirip diakses pada tanggal 06 februari 2020

46

sakit penyelenggara transplantasi organ, dan tenaga kesehatan pemberi pelayanan

transplantasi organ.100

1. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 38

tahun 3016 tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ

Sejak dari masa kelahiran hingga kematian, manusia sebagai individu

secara otomatis memiliki hak atas tubuhnya secara absolut. Konsep kesatuan

kepemilikan tubuh ini semakin mendapatkan dukungan ketika pengakuan atas

pentingnya hak asasi manusia di deklarasikan melalui Deklarasi Hak Asasi

Manusia (Universal Declaration of Human Rights) di tahun 1958. Hak atas tubuh

dianggap berada dalam ruang lingkup pengakuan hak asasi manusia sebagai

individu juga sebagai bagian dari masyarakat.101

Tindakan transplantasi organ tubuh dari pendonor kepada penerima donor

yang membutuhkan donor organ tersebut, di satu sisi memang sangat

menguntungkan bagi penerima donor (recipient) karena akan mendapatkan organ

baru, dikarenakan organ yang lama dalam kondisi rusak sehingga tidak berfungsi

dengan baik akan diganti dengan proses transplantasi organ. Akan tetapi bagi

pendonor secara fisik ia akan mengalami gangguan sebagai akibat berkurangnya

satu organ yang disumbangkannya. Jika pada awalnya, pendonor memiliki dua

organ yang sehat saat ini ia hanya memiliki satu organ saja untuk menjalani

kehidupannya. Sangat berbeda dengan tubuh penerima donor yang semula hanya

memiliki satu organ (karena organ lainnya rusak) setelah mendapatkan

transplantasi ia memiliki organ yang lengkap. Berangkat dari kondisi inilah

pemahaman secara mendasar tentang hak pasien (pendonor) sangat penting,

terutama di dalam hal hak atas tubuhnya.102

100

Fauziah Rachmawati, “Kepastian HukumTransplantasi Organ yang Mencerminkan

Nilai Kemanusiaan”, Jurnal Hukum Media Bhakti, Vol. 3, No.1, (Juni 2019), h. 84. 101

Hwian Christianto, “Konsep Hak Seseorang Atas Tubuh Dalam Transplantasi Organ

Berdasarkan Nilai Kemanusiaan”, Mimbar Hukum, Vol. 23, No.1, (Februari 2011), h.1. 102

Hwian Christianto, “Konsep Hak Seseorang Atas Tubuh Dalam Transplantasi Organ

Berdasarkan Nilai Kemanusiaan”, Mimbar Hukum, Vol. 23, No.1, (Februari 2011), h. 3.

47

Didalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 tahun 2016 tentang

Penyelenggaraan Transplantasi Organ Tubuh telah disebutkan bahwasanya tidak

diperbolehkan mengenai adanya unsur jual beli dan/atau unsur komersial dalam

proses transplantasi organ tubuh, sehingga proses transplantasi organ tubuh

dipastikan harus terbebas dari unsur pemberian imbalan bagi pendonor organ

tubuh tersebut, akan tetapi pada pasal lain ddidalam peraturan ini ditetapkan pula

bahwasanya Menteri mengatur mengenai pemberian asuransi kematian dan

penghargaan atas kehilangan penghasilan dari pekerjaan/pencaharian pendonor

selama berada dalam perawatan dan pemulihan kesehatan pasca transplantasi

organ,103

dimana hal ini menurut penulis dapat dikategorikan sebagai pemberian

kompensasi.

Oleh karena itu aturan ini memuat arti yang multitafsir, yaitu antara pasal

yang mengatur tentang pelarangan unsur jual beli dan/atau komersial, dengan

pasal mengenai pemberian asuransi dan penghargaan atas kehilangan penghasilan

dari pekerjaan ataupun pencaharian selama pendonor dalam masa perawatan dan

pemulihan kesehatan pasca transplantasi organ tubuh. Yang kemudian hal ini bisa

saja menjadi landasan bagi oknum yang akan mendonorkan organnya dengan

niatan untuk mengambil manfaat dari transplantasi organ yang dilakukannya agar

mendapatkan asuransi yang telah dijanjikan sesuai dengan aturan dalam Peraturan

Menteri Kesehatan tersebut.

Pada dasarnya tujuan dari larang penjualan terhadap organ tubuh manusia

tidak lain adalah dalam rangka perlindungan terhadap manusia itu sendiri

sehingga tidak dengan mudah memperjualbelikan organ tubuhnya demi

mendapatkan uang semata-mata.104

Sehingga oleh sebab itu praktik transplantasi

organ tubuh harus diawasi dengan baik oleh institusi pemerintahan yang

berwenang dalam hal ini. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 38 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ

103

Pasal 36 ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 tahun 2016 tentang

Penyelenggaraan Transplantasi Organ Tubuh. 104

Ruslan Abdul Gani, Yudi Armansyah, “Penegakan Hukum Kasus Jual Beli Organ

Tubuh di Indonesia: Model Integratif dengan Pendekatan Hukum Islam dan UU Kesehatan”,

Fenomena, Vol. 8, No 2, (2016).

48

Tubuh, Pihak yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pengecekan syarat

administrasi bagi pendonor dan resipien adalah Komite Transplantasi Nasional.

Komite Transplantasi Nasional ialah komite yang didirikan oleh Menteri, dengan

anggota yang terdiri dari unsur tokoh agama/masyarakat, profesi kedokteran

terkait, psikolog/psikiater, ahli etik kedokteran/hukum, pekerja sosial, dan

Kementerian Kesehatan.105

Komite Transplantasi Organ tubuh berwenang untuk mengeluarkan surat

keterangan bahwa dalam pendonoran organ tidak ditemukan adanya indikasi jual

beli. Hal tersebut tercantum pada Pasal 32 Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 38 Tahun 2016 yang berbunyi sebagai berikut; “Berdasarkan

pemeriksaan awal dan skrining, verifikasi dokumen, penelusuran latar belakang

Pendonor, dan verifikasi lapangan, Komite Transplantasi Nasional mengeluarkan

surat keterangan kelayakan pasangan Resipien-Pendonor dan tidak ditemukan

indikasi jual beli dan/atau komersial”. Akan tetapi Komite Transplantasi

Nasional yang disebutkan didalam Peraturan Menteri Kesehatan tersebut masih

belum terbentuk hingga saat ini, sehingga setiap Rumah Sakit masih independen

dalam melihat niat pendonor.106

Dalam pasal 36 ayat 1 butir c dan e Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

38 tahun 2016 tentang Penyelenggaran Transplantasi Organ Tubuh diatur bahwa

asuransi kesehatan dan asuransi kematian yang diperuntukkan kepada pendonor

sebagai penghargaan atas kehilangan pekerjaan atau pencaharian pendonor pasca

transplantasi organ, besarannya akan ditetapkan oleh Menteri atas usulan dari

Rumah Sakit penyelenggara Transplantasi Organ sebagaimana dimaksud pada

pasal 39 ayat (2) huruf d Peraturan Menteri Kesehatan, yaitu paling sedikit

sebesar iuran Jaminan Kesehatan Nasional dengan manfaat kelas I.107

Dan dengan

105

Pasal 4 ayat 2 Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 tahun 2016 tentang

Penyelenggaraan Transplantasi Organ Tubuh. 106

Pasal 32 Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan

Transplantasi Organ Tubuh. 107

Pasal 38 ayat 5 Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 tahun 2016 tentang

Penyelenggaraan Transplantasi Organ Tubuh

49

memperhatikan jangka waktu pemberian asuransi kesehatan tersebut ialah paling

sedikit 5 (lima) tahun.

Dilihat dari aturan pemberian kompensasi tersebut, Menteri Kesehatan

seolah berupaya untuk mengakomodir aspek kemanusiaan bagi pendonor dan

resipien, sehingga dalam melakukan transplantasi organ tubuh, kedua belah pihak

dapat diuntungkan, dimana dalam hal ini resipien mendapatkan donor organ yang

sesuai dengan yang dibutuhkan, dan pendonor juga memperoleh hak asuransi

kesehatan secara jelas, hal ini dikarenakan hukum diciptakan bukan hanya untuk

kepastian, melainkan juga untuk kebahagiaan dan kesejahteraan dengan

memperhatikan nilai kemanusiaan, dimana hak setiap orang diakui dan dilindungi

tanpa mengabaikan hak orang yang lain.108

Oleh karena itu transplantasi organ tubuh di Indonesia menyebabkan

pendonor akan menerima kompensasi berupa penghargaan atas kehilangan

pekerjaan, asuransi kesehatan dan juga asuransi kematian bagi ahli warisnya

apabila ternyata pendonor tersebut meninggal dunia dikemudian hari.

2. Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Tranplantasi Organ

Dan/Atau Jaringan Tubuh Manusia

Kajian yang membahas tentang praktek transplantasi jaringan maupun

organ dalam khazanah intelektual dan keilmuan fikih Islam klasik relatif jarang

dan hampir tidak pernah dibahas oleh fukaha secara mendetail dan jelas, hal ini

mungkin disebabkan karena faktor barunya masalah ini serta dimensi transplantasi

yang bersifat kompleks. 109

Oleh karena itu tidak heran jika hasil ijtihad dan

penjelasan tentang masalah ini banyak berasal dari pemikiran para ahli fikih

kontemporer, keputusan lembaga dan institusi Islam serta simposium nasional

maupun internasional.

108

Fauziah Rahmawati, “Kepastian Hukum Transplantasi Organ Yang Mencerminkan

Nilai Kemanusiaan”, Jurnal Hukum Media Bhakti, Vol. 3, No.1, (Juni 2019), h. 7. 109

Haswir, “Hukum Mendonorkan dan Mentransplantasikan Anggota Tubuh dalam

Islam”, Al-Fikra, Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No.2 (Juli Desember 2011).

50

Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan Fatwa yang berkaitan

dengan transplantasi organ tubuh yaitu Fatwa Nomor 12 Tahun 2019 Tentang

Transplantasi Organ Dan/Atau Jaringan Tubuh Dari Pendonor Mati, dan juga

Fatwa Nomor 13 Tahun 2019 Tentang Transplantasi Organ Dan/Atau Jaringan

Tubuh Dari Pendonor Hidup. Dimana dalam kedua fatwa ini menyatakan bahwa

praktik transplantasi organ tubuh manusia hukumnya adalah diperbolehkan,

namun dengan beberapa syarat dan ketentuan yang harus terpenuhi.

Dalam konteks penetapan fatwa-fatwa MUI terkait organ tubuh jelas

penggunaan metode qiyas menjadi acuan. Dalam hal ini menyamakan suatu

masalah yang tidak terdapat ketentuannya secara eksplisit di dalam nash, namun

ada persamaan illat (motif hukum) antara keduanya. Pengukuran dan penyamaan

tersebut terlepas dari hal-hal yang konkrit, benda-benda yang dapat dipegang,

diukur, maupun yang abstrak. Namun, persoalan organ tubuh tentunya masuk ke

dalam benda-benda yang konkrit.110

Dari beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia

mengenai tranplantasi organ tubuh, terdapat satu syarat yang mengatur bahwa

transplantasi organ tubuh harus didasarkan pada asas tolong-menolong (tabarru‟)

tidak untuk tujuan komersial, sehingga karena hal ini pendonor tidak

diperbolehkan untuk menjual organ dan/atau jaringan tubuhnya kepada orang lain

dengan tujuan mendapatkan keuntungan, dikarenakan pada hakikatnya, semua

yang wujud termasuk tubuh adalah milik Allah secara mutlak. Kita hanya diberi

hak untuk memanfaatkanya (haqq al-manfa‟ah).111

Hal ini berdasarkan Q.s.

Yunus: (10): 6:

اآلانلىومنفالسمتلاتلمنفاالرض

110

Ruslan Abdul Gani, Yudi Armansyah, “Penegakan Hukum Kasus Jual Beli Organ

Tubuh di Indonesia: Model Integratif dengan Pendekatan Hukum Islam dan UU Kesehatan”,

Fenomena, Vol. 8, No 2, (2016), h.173. 111

Haswir, “Hukum Mendonorkan dan Mentransplantasikan Anggota Tubuh dalam

Islam”, Al-Fikra, Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No.2 (Juli Desember 2011).

51

Artinya: “Ingatlah, kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang

ada di bumi”.

Dan juga ayat yang didalamnya terdapat anjuran bagi manusia untuk

saling tolong menolong kepada sesama, sehingga transplantasi organ tubuh harus

dilandaskan pada asas tolong menolong yang menyebabkan tidak diperbolehkan

adanya jual beli dalam tranpslantasi organ tubuh, sesuai dengan QS. Al-Maidah

(5): 2:

لالعدلان لت عتلن واعىاالبلالت قوىلالت عتلن واعىااإلث

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.

Untuk itu, pengambilan dan transplantasi organ tubuh manusia tanpa

adanya alasan yang dibenarkan secara syar‟i hukumnya adalah haram. Salah satu

alasaan syar‟i yang akan penulis garisbawahi ialah transplantasi organ tubuh

manusia yang bertujuan untuk tolong-menolong (tabarru‟), tidak untuk tujuan

komersial, yang artinya tidak bertujuan untuk diperjualbelikan dan mencari

keuntungan di dalamnya. Namun Majelis Ulama Indonesia tidak membahas lebih

lanjut aturan mengenai pemberian kompensasi kepada pendonor, dan hanya

sebatas melarang adanya unsur komersial dalam praktik transplantasi organ tubuh.

Majelis Ulama Indonesia tidak menjelaskan secara rinci mengenai

kompensasi dalam pelaksaan transplantasi organ tubuh manusia, dalam fatwa

Majelis Ulama Indonesia hanya mengatur sebatas kebolehan melakukan

transplantasi organ setelah memenuhi ketentuan-ketentuan syar‟i yang telah

ditetapkan didalam fatwa ini, yang salah satunya adalah syarat mengenai praktik

transplantasi organ tubuh manusia dengan berlandaskan sifat tolong-menolong

(tabarru‟), tidak untuk tujuan komersialisasi.

Selain itu pada fatwa ini juga tidak diatur secara eksplisit mengenai alur

pembiayaan dalam proses transplantasi organ tubuh, baik itu asal muasal dana

yang akan dipergunakan untuk mendanai proses operasi, maupun pendanaan

52

untuk perawatan kesehatan bagi pendonor dikemudian hari. Sehingga oleh karena

itu didalam fatwa ini tidak terdapat aturan khusus yang membahas mengenai

bentuk kompensasi yang diterima pendonor, mengingat Fatwa Majelis Ulama

Indonesia sudah secara jelas mengatur mengenai pelarangan tujuan komersialisasi

pada praktik transplantasi organ tubuh manusia.

Majelis Ulama Indonesia didalam fatwanya telah mengutip Firman Allah

dalam Q.S. Al-Maidah (5): 32 sebagai rujukan pertimbangan hukumnya, yaitu;

تاح تىتلمن عتأح تالنتسفكتن ج

Artinya: “Dan barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka

seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.”

Ayat tersebut menjelaskan barang siapa membunuh sesorang tanpa sebab,

seperti qishas atau karena berbuat kerusakan di muka bumi, dan dia menghalalkan

pembunuhan tersebut tanpa sebab dan tanpa kejahatan, seakan-akan ia telah

membunuh manusia seluruhnya, karena bagi Allah tidak ada bedanya antara satu

jiwa dengan jiwa yang lainnya. Dan barang siapa memelihara kehidupan, maka

selamatlah seluruh umat manusia.112

3. Menurut Lembaga Fatwa Mesir Darul Ifta al-Mishriyyah

Fatwa yang dikeluarkan oleh Ulama Lembaga Fatwa Mesir berbeda

dengan model fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia, karena

fatwa yang dikeluarkan oleh Lembaga Fatwa Mesir merupakan fatwa yang

dikeluarkan oleh seorang mufti atas pertanyaan dari seorang mustafti (peminta

fatwa).113

Terkait dengan transplantasi organ tubuh, Ali Goma Muhammed yaitu

seorang mufti pada Lembaga Daar al ifta al Mishriyyah menegaskan bahwa

praktik transplantasi organ tubuh merupakan suatu hal yang diperbolehkan,

112

Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh. Penerjemah M.

Abdul Ghofar. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3. Cet. 11. Pustaka Imam Syafi‟I, 2017, h. 92. 113

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru, 2006), h. 65.

53

apabila tidak diketemukan cara pengobatan alternatif lain untuk menyelamatkan

nyawa pasien, selain itu transplantasi organ tubuh tidak akan menimbulkan

bahaya bagi kesehatan pendonor dikemudian hari setelah dilakukannya operasi

transplantasi organ tubuh.114

Berkaitan dengan pemberian kompensasi dalam transplantasi organ tubuh

manusia, Mufti pada Lembaga Darul Ifta Al Misriyyah menyatakan bahwa

Transplantasi tidak harus melibatkan perdagangan organ serta Tidak boleh

melibatkan kompensasi apa pun baik itu secara finansial ataupun yang lainnya

kepada pendonor jika ia masih hidup maupun kepada ahli warisnya jika ia sudah

mati. Hal ini didasarkan pada Q.s. Al-Hasyr: (59): 9:

ة كتنب خصت دلرى حتءةمآألت والي ؤثرلنعىاأن فسه للو لاليدلنف

Artinya: “Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa

yang diberikan mereka (muhajirin), dan mereka mengutamakan (muhajirin) atas

dirinya sendiri”. (QS. Al-Hasyr: 9).

Sehingga oleh karena itu, Fatwa Darul Ifta al Misriyyah sejalan dengan

Fatwa Majelis Ulama Indonesia, yaitu memperbolehkan praktik transplantasi

organ tubuh dengan memperhatikan beberapa syarat dan ketentuan yang harus

dipenuhi pada pelaksanaanya serta melarang adanya unsur komersial, namun

Fatwa Darul Ifta al Misriyyah lebih menegaskan tidak boleh adanya pemberian

dan permintaan upah atas organ yang telah diberikan oleh Pendonor kepada

resipien. Hal ini dikarenakan organ manusia tidak tunduk pada transaksi

komersial dan tidak boleh melibatkan imbalan finansial apa pun kepada pendonor,

jika ia hidup, atau pewarisnya jika ia mati.

Dalam fatwa ini menjelaskan bahwasanya pendonor yang telah meninggal

dunia akan mendapatkan balasan berupa limpahan pahala dikarenakan manfaat

organ tubuh yang telah diberikan sama halnya sebagai amal yang akan mengalir

114

Fatwa Darul Ifta al-Misriyyah No.3638 tahun 2013 diakses dari https://www.dar-

alifta.org/ diakses pada tanggal 8 Desember 2019

54

terus-menerus, seolah ia diberi hadiah berupa pahala sepanjang periode hidup

penerima manfaat dari organ yang ditransplantasikan tersebut. Sedangkan Bagi

pendonor hidup Prosedur transplantasi organ tubuh haruslah terbebas dari

kompensasi, finansial ataupun non finansial, baik secara langsung maupun

melalui perantara. Oleh karena itu dalam fatwa ini tidak ditemukan adanya aturan

mengenai bentuk kompensasi atau timbal balik secara finansial yang diterima oleh

pendonor organ tubuh semasa hidupnya.

Para fuqaha kontemporer telah mempertimbangkan permasalahan

transplantasi ini dan memberikan pedoman fiqhiyyah tertentu yang didasarkan

pada deduksi ajaran-ajaran dasar dua sumber hukum Islam, yaitu al-Qur‟an dan

hadis. Karena transplantasi organ merupakan kajian fiqhiyyah kontemporer, maka

terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan hukum transplantasi tersebut. Dari

prinsip-prinsip ini banyak ulama kontemporer menetapkan bahwa transplantasi

dapat dibenarkan selama tidak diperjualbelikan, dan selama kehormatan manusia

yang hidup maupun yang mati terjaga sepenuhnya.115

Sehingga oleh karena aturan

yang melarang adanya jual beli organ tubuh ini, makadari itu menyebabkan tidak

adanya penerima kompensasi bagi pendonor maupun keluarga pendonor.

B. PEMENUHAN ASPEK HAK ASASI MANUSIA TERHADAP

PEMBERIAN KOMPENSASI KEPADA PENDONOR ORGAN

TUBUH

1. Menurut Hukum Positif Indonesia

Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia

secara kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah tuhan yang maha esa,

meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak

keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan kesejahteraan

115

Lailatu Rohmah, “Kontekstualisasi Hadis Tentang Transplantasi”, Hikmah, Vol. XIV,

No. 2, (2018), h. 122.

55

yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun.116

Hak

Asasi Manusia merupakan salah satu gagasan untuk mengeleminasi segala potensi

yang dapat menjadi pemicu penantangan/perpecahan antar bangsa, ialah hak yang

paling mendasar yang dimiliki oleh setiap orang dimanapun ia berada. Hak ini

harus memperoleh perlindungan dari semua bangsa-bangsa yang beradab di

dunia.117

Kewajiban negara dalam Perlindungan hak asasi manusia ditetapkan dalam

tiga tingkatan tahap, yaitu Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia,

Perlindungan Hak Asasi Manusia, dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia.

Kewajiban yang akan dibahas lebih dalam adalah kewajiban perlindungan hak

asasi manusia. Negara wajib untuk mengambil tindakan positif dalam melindungi

warga dan orang-orang lainnya dalam wilayah jurisdiksinya dari pelanggaran hak

asasi manusia baik dari negara lain, perusahaan swasta, maupun negara itu sendiri.

Selain itu terdapat juga kewajiban secara hukum (legal obligations) yang terkait

langsung dengan pemenuhan terhadap hak asasi manusia. Kewajiban secara

hukum ini diwujudkan dalam dua bentuk, yaitu kewajiban untuk menyediakan,

seperti penyediaan sumber daya yang dinikmati oleh umum demi terpenuhinya

hak-hak asasi manusia. Serta kewajiban untuk meningkatkan, yang diwujudkan

dalam kebijakan-kebijakan negara, pembentukan institusi-institusi publik demi

terpenuhinya hak-hak tersebut. Dalam hal ini upaya negara dengan membentuk

Undang-undang dan aturan mengenai penyelenggaraan transplantasi organ tubuh

serta pembentukan Komisi Transplantasi Nasional sebagai penyelenggara

transplantasi organ tubuh, yang bertujuan untuk kepastian hukum serta

pemenuhan hak asasi manusia.

Kewajiban secara hukum ini merupakan bagian dari kewajiban progresif

negara dalam hukum Hak Asasi Manusia. Kewajiban ini memiliki sifat progresif

dalam artian bahwa pemenuhan kewajiban ini adalah kelanjutan dari kewajiban

116

Riswan Munthe, “Perdagangan Orang (Trafficking) sebagai Pelanggaran Hak Asasi

Manusia”, Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial, Vol, 7, No. 2, (2015), h. 185. 117

Marcus Priyo Gunarto, “Perlindungan Hak Asasi Manusia Di Indonsesia Dalam

Dinamika Global”, Mimbar Hukum, Vol.19 No. 2, (Juni 2007), h. 257.

56

perlindungan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, dan penerapannya

relatif pada kemampuan negara untuk melaksanakannya. Haruslah dipahami

bahwa negara-negara berbeda dalam kemampuannya untuk mendukung kewajiban

progresif tersebut, oleh karenanya sering kali digunakan ukuran minimal dalam

standarisasi realisasi kewajiban tersebut.118

lmplikasi perkembangan teknologi dan informasi yang telah menjadikan

dunia tanpa batas, dan transformasi budaya sebagai hal yang tak terelakkan dan

mempengaruhi prilaku dan pemikiran setiap bangsa.119

Begitu juga pada

Kemajuan ilmu kedokteran yang semakin lama semakin berkembang yaitu dalam

hal pengobatan maupun perawatan. Perawatan dengan cara transplantasi organ

merupakan salah satu contoh perkembangan pengobatan maupun perawatan

dalam ilmu kedokteran.

Transplantasi organ merupakan pengobatan dan perawatan terakhir yang

dilakukan oleh masyarakat untuk memulihkan kesehatan. Transplantasi adalah

tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia

kepada tubuh manusia lain atau tubuhnya sendiri. Transplantasi merupakan terapi

pengganti yang merupakan upaya terbaik untuk menolong pasien yang mengalami

kegagalan organ tubuhnya dengan organ tubuh diri sendiri atau organ tubuh orang

lain. Disamping pertimbangan medis dan kesehatan, transplantasi juga

mempertimbangkan dari segi non medis, yakni agama, budaya, hukum,

kepercayaan dan lain sebagainya. 120

Menurut Pasal 28 H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa

setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh

pelayanan kesehatan. Berdasarkan pasal tersebut pemerintah mempunyai

118

Chritanugra Philip, “Tanggung Jawab Negara Terhadap Perlindungan Hak Asasi

Manusia menurut Hukum Internasional”, Lex Administratum, Vol. IV, No. 2, (Februari, 2016), h.

35. 119

Marcus Priyo Gunarto, “Perlindungan Hak Asasi Manusia Di Indonsesia Dalam

Dinamika Global”, Mimbar Hukum, Vol. 19, No. 2, (Juni, 2007), h. 254. 120

Fauziah Rahmawati, “Kepastian Hukum Transplantasi Organ”, Jurnal Hukum Media

Bhakti, Vol. 3, No.1, (Juni 2019), h.79.

57

kewajiban untuk memenuhi hak atas kesehatan tersebut. Kewajiban pemerintah

ini juga ditegaskan dalam Pasal 8 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia. Sejalan dengan hal tersebut, Pasal 7 Undang-Undang No.36

Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa pemerintah bertugas

menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.

Pasal 9 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan juga

bahwasanya pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat. Kewajiban pemerintah untuk meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat salah satunya dengan membuat regulasi yang berkaitan

dengan kesehatan dalam hal ini adalah regulasi transplantasi organ. Pengaturan

transplantasi organ bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian

hukum bagi pendonor, resipien, rumah sakit penyelenggara transplantasi organ,

dan tenaga kesehatan pemberi transplantasi organ.121

Hak atas tubuh dalam konsep kemanusiaan menekankan kepada keberadaan

manusia sebagai individu yang mempunyai nilai moral, etika dan kesusilaan yang

menghargai dirinya sendiri sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Pemikiran hak atas tubuh bukan hanya bentuk perlindungan tetapi juga bentuk

kepastian hukum bagi pendonor dan resipien (penerima donor).122

Tujuan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh pada dasarnya adalah

untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersilkan. Berdasarkan

undang-undang yang ada, Negara mengatur larangan memperjualbelikan organ

dan/atau jaringan tubuh dengan dalih apapun. Pada pasal 36 peraturan menteri

kesehatan nomor 38 tahun 2016, diatur hak-hak bagi pendonor yang salah satunya

berhak untuk menerima sejumlah kompensasi yang diatur pula bentuk dan

nominalnya didalam peraturan tersebut. Yang hal ini merupakan bentuk

tanggujawab pemerintah kepada pendonor yang telah kehilangan penghasilan dari

pekerjaan/pencaharian. Dimana hal ini dapat dikategorikan bahwa pemerintah

121

Fauziah Rahmawati, “Kepastian Hukum Transplantasi Organ”, Jurnal Hukum Media

Bhakti, h. 80-81. 122

Hwian Christianto, “Konsep Hak Seseorang Atas Tubuh Dalam Transplantasi Organ

Berdasarkan Nilai Kemanusiaan”, Mimbar Hukum, Vol. 23, No.1, (Februari 2011), h. 31.

58

berusaha untuk memenuhi hak keberlangsungan hidup Pendonor setelah

mendonorkan sebagian organnya.

Selain itu jika dikaitkan dengan tenaga medis penyelenggara transplantasi

organ tubuh, dokter yang ikut serta dalam melakukan transplantasi

organ/menjalankan profesi kedokterannya, wajib berpegang teguh pada Kode etik

kedokteran Indonesia. Transplantasi dipandang dari sudut etika harus

dipertimbangkan dari 4 prinsip dasar Biomedikal etik yaitu: Pertama, Respect for

autonomy berarti bahwa mendonorkan organ merupakan perbuatan mulia. Kedua,

Non malficient, berarti bahwa Setiap operasi transplantasi yang dijalankan selalu

mengandung risiko. Ketiga, Benefience berarti bahwa Prinsip berbuat kebaikan

mengandung arti bahwa kita harus berbuat baik kepada orang lain, terutama

apabila tidak mengandung risiko bagi pemberi kebijakan. Keempat, Justice berarti

bahwa prinsip keadilan dalam donasi dan transplantasi organ lebih relevan

terhadap alokasi organ, yang menyangkut kepada perlakuan yang adil, sama dan

sesuai dengan kebutuhan pasien yang tidak terpengaruhi oleh faktor lain.123

Berdasarkan 4 prinsip dasar biomedikal etik tersebut, maka transplantasi

organ diharapkan dapat terwujud sesuai dengan tujuan awalnya yaitu untuk

kemanusiaan. Dimana dengan ini aturan dasar mengenai transplantasi organ

tubuh diciptakan manusia bukan hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk

kebahagiaan dan kesejaheraan.124

Aturan yang diciptakan tersebut juga harus

memperhatikan nilai kemanusiaan, dimana hak setiap orang diakui dan dilindungi

dengan memperhatikan hak orang lain juga. Yang hal ini dapat tercermin dengan

resipien mendapatkan organ donor yang sesuai dengan organ yang diinginkan.

Dan pendonor dalam memberikan organ kepada resipien juga memperoleh hak

asuransi secara jelas.

123 Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h.

92-93. 124

Mukhidin, “Hukum Progresif sebagai Solusi Hukum yang Mensejahterakan Rakyat”,

Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol. 1, No. 3, (2014), h. 269.

59

2. Menurut Hukum Islam

Prinsip fundamental dari suatu keadilan adalah adanya pengakuan

bahwa semua manusia itu memiliki martabat yang sama. Di samping itu, semua

manusia memiliki hak-hak yang diperolehnya, selain kewajiban-kewajiban yang

harus dilaksanakan sebagai sebuah konsekuensi kehidupan. Hak-hak yang paling

fundamental itu adalah aspek-aspek kodrat manusia atau kemanusiaan itu sendiri.

Kemanusiaan setiap manusia merupakan amanat dan ide luhur dari Allah SWT,

Yang Maha Pencipta yang menginginkan setiap manusia dapat tumbuh dan

berkembang dalam kehidupannya untuk menuju dan mencapai kesempurnaannya

sebagai manusia. Oleh karena itu, setiap manusia harus dapat mengembangkan

diri sedemikian rupa sehingga dapat terus berkembang secara leluasa.125

Dalam bahasa Arab, Hak Asasi Manusia dikenal dengan sebutan Haqqu

al- Insânî al-Asâsî atau juga disebut Haqqu al-Insânî al-Ḏarûrî, yang terdiri

terdiri atas tiga kata, yaitu: Pertama, kata hak (haqq) artinya: milik, kepunyaan,

kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu, dan merupakan sesuatu yang

harus diperoleh. Kedua, kata manusia (al-Insân) artinya: makhluk yang berakal

budi, dan berfungsi sebagai subyek hukum. Ketiga, kata asasi (asâsî) artinya:

bersifat dasar atau pokok.126

Secara terminologis, HAM dalam persepsi Islam merupakan hak yang

melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu

amanah dan anugerah Allah SWT yang harus dijaga, dihormati, dan dilindungi

oleh setiap individu, masyarakat atau negara. Bahkan Ibn Rusyd lebih

menegaskan bahwa HAM dalam persepsi Islam telah memberikan format

perlindungan, pengamanan, dan antisipasi terhadap berbagai hak asasi yang

bersifat primair (darûriyyât) yang dimiliki oleh setiap insan. Perlindungan

tersebut hadir dalam bentuk antisipasi terhadap berbagai hal yang akan

125

Ahmad Mukri Aji, “Hak dan Kewajiban Asasi Manusia dalam Persfektif Islam”,

Salam, Jurnal Sosial dan Budaya Syar‟I, Vol.2, (2015), h. 1. 126

Ahmad Mukri Aji, “Hak dan Kewajiban Asasi Manusia dalam Persfektif Islam”,

Salam, Jurnal Sosial dan Budaya Syar‟I, Vol.2, (2015), h. 1.

60

mengancam eksistensi jiwa, eksistensi kehormatan dan keturunan, eksistensi

harta benda material, eksistensi akal pikiran, serta eksistensi agama.127

Allah SWT telah mengungkapkan secara langsung dalam beberapa teks ayat

berkait dengan harkat dan martabat manusia yang merupakan anugerah Allah

SWT, antara lain:

a. Q.s. Al-Isrâ (17): 70:

لال ادملمحىنتى فالب ر كرمنتبن بحرلرزق نتى منالط بتتلفضىنتى للقد

كثيمنخىقنتت فض ال عىا

Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut

mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik, dan

Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan

makhluk yang telah Kami ciptakan”.

b. Q.s. Al-Taghâbun (64): 3:

ر ورك لال والمص ورك فأحسن ل خىقالسموتلا رضبتلق

Artinya: “Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar. Dia

membentuk rupamu dan dibaguskan-Nya rupamu itu, dan hanya kepada-Nya-lah

kembali(mu)”.

c. Q.s. Al-Tin (95): 4:

لقدخىقنتاإلنستنفأحسنت قوي

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang

sebaik-baiknya”.

127

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, (Siria: Dar al-Fikr, 1984), Juz I,

h. 18-19.

61

Dari beberapa kutipan ayat di atas dapatlah dikatakan bahwa Islam begitu

sangat menghormati dan memuliakan status dan eksistensi manusia, baik yang

berkait dengan kemuliaan yang bersifat individual (karâmah fardiyyah) yang

memelihara kemuliaan lahir dan batin masing-masing individu manusia ,

kemuliaan yang bersifat masyarakat (karâmah ijtima`iyyah), pada status

hubungan sosial antara sesama manusia sebagai makhluk sosial, serta kemuliaan

secara politik (karâmah siyâsiyyah), dengan diberikan hak-hak politik kepada

manusia untuk memilih atau dipilih bagi posisi-posisi politik, karena ia

merupakan khalifah di muka bumi.128

Konsep hak asasi manusia dalam Islam dilihat dari kategori huquuqul ibad

terbagi menjadi dua macam yaitu Pertama, HAM yang keberadaannya dapat

diselenggarakan oleh suatu negara (Islam). Kedua, adalah HAM yang

keberadaannya tidak secara langsung dapat dilaksanakan oleh suatu negara. Hak-

hak yang pertama disebut sebagai hak-hak legal, sedangkan yang kedua dapat

disebut sebagai hak-hak moral.129

Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada

masalah pertanggungjawaban di depan Negara. Adapun masalah sumber, sifat,

dan pertanggungjawaban di hadapan Allah adalah sama.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada

pasal 1, menjelaskan hak asasi manusia pada dasarnya juga disandarkan kepada

hakikat keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan dimana HAM diartikan

sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai

makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib

dihormati dan dijunjung tinggi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang

demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Menurut Miriam Budiardjo, Hak Asasi adalah hak yang dimiliki manusia

yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau

kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu

128

E. Shobirin Nadj, Naning Mardiyah, Diseminasi HAM dalam Perspektif dan Aksi,

(Jakarta: CESDA dan LP3ES. 2000), h.10. 129

Syekh Syaukat Hussain (Terjemahan Abdul Rochim C.N), Hak Asasi Manusia dalam

Islam, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996), h. 55.

62

dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar negara, ras, agama, dan kelamin dan

karena itu bersifat asasi serta universal. Dasar ini dari semua hak asasi adalah

bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan

bakat dan cita-cita.130

Pada dasarnya pemberian kompensasi adalah remunerasi finansial yang

diberikan oleh organisasi kepada karyawannya sebagai imbalan atas kerja

mereka.131

Dengan kata lain pemberian hak kompensasi diberikan setelah

didahului oleh pelaksanaan kewajiban. Namun dalam aturan transplantasi organ

yang dikeluarkan oleh, Majelis Ulama Indonesia dan Lembaga Fatwa Mesir Darul

Ifta al-Misriyyah, mengatur bahwasanya pendonor mendasarkan tindakan

pendonoran organnya pada asas tolong menolong, bukan atas kewajiban untuk

melakukan tindakan tersebut sehingga mengharuskan pendonor untuk

mendapatkan kompensasi atas tindakannya, sehingga akibat daripada itu pendonor

tidak dapat mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun karena dilandaskan atas

rasa ikhlas, oleh karena hal ini Majelis Ulama Indonesia dan Lembaga Fatwa

Mesir Darul Ifta al-Misriyyah tidak mengatur secara spesifik mengenai masalah

pembiayaan keberlangsungan hidup pendonor pasca transplantasi organ tubuh,

walaupun pada dasarnya seorang pendonor membutuhkan dukungan secara

finansial untuk keberlangsungan hidupnya karena telah memberkan sebagian

organnya kepada resipien.

Berkaitan dengan hak asasi manusia pun pada dasarnya kurang

terpenuhunya hak keberlangsungan hidup yang layak bagi pendonor, karena

dengan keterbatasan kesehatan akibat pemberian sebagian organnya otomatis

membuat kehidupan pendonor tidak seperti kesehatan manusia pada umumnya,

sehingga jika dikaitkan dengan aspek hak asasi manusia, resipien sudah

sepantasnya membantu biaya penghidupan pendonor namun dengan niatan untuk

saling tolong menolong bukan sebagai pemberian imbalam agar tidak

bertentangan dengan aturan dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia dan Lembaga

130

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

1999), h. 102. 131

Griffin, Pengantar Manajemen. (Bandung: Gunadarma, 2004), h. 432.

63

Fatwa Mesir Darul Ifta al-Misriyyah, namun hal ini menyebabkan disatu sisi

transplantasi organ tubuh masih dibayang-bayangi dengan unsur komersialisasi.

63

BAB V

A. Kesimpulan

Pada bagian akhir skripsi ini, penulis akan menjawab rumusan masalah

yang disinggung pada bab 1 mengenai Pemberian Kompensasi kepada Pendonor

Transplantasi Organ Tubuh Manusia (Studi Perbandingan antara Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 38 Tahun 2016 tentang pelaksanaan transplantasi

organ tubuh, Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tahun 2019 tentang transplantasi

organ, dan fatwa Dar al-Ifta‟ al-Misriyyah), yaitu;

1. Ketentuan hukum pemberian kompensasi kepada pendonor transplantasi organ

tubuh manusia pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 tahun 2016 telah

diatur didalam beberapa Pasalnya yang memuat tentang kewajiban pemenuhan

jaminan kesehatan bagi pendonor sebagai bentuk penghargaan atas kehilangan

pekerjan pendonor dikarenakan transplantasi organ tubuh. Menurut fatwa

Mesir Dar al-Ifta‟ al-Misriyyah, pemberian kompensasi adalah suatu hal yang

dilarang atau diharamkan bagi pendonor maupun ahli warisnya jika ia

meninggal, hal tersebut berdasarkan karena tujuan utama dibolehkan

transplantasi organ tubuh adalah untuk saling membantu dalam kebaikan,

keshalehan dan mengurangi rasa sakit bagi penerima organ, serta organ tubuh

manusia bukanlah subjek transaksi komersial. Sedangkan fatwa Majelis Ulama

Indonesia tidak menerangkan secara eksplisit mengenai ketentuan hukum

pemberian kompensasi kepada pendonor organ tubuh manusia, fatwa MUI

hanya mengatur dan menerangkan hukum transplantasi organ tubuh yang tidak

membolehkan adanya unsur komersialisasi pada praktik transplantasi organ.

2. Bentuk kompensasi kepada pendonor organ tubuh menurut Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 38 tahun 2016 berupa jaminan Kesehatan yang berbentuk

asuransi kesehatan dan asuransi kematian yang besarnya akan ditetapkan

Menteri atas usulan dari Rumah Sakit penyelenggara transplantasi organ, dan

jumlah paling sedikit sebesar iuran jaminan Kesehatan nasional dengan

manfaat kelas 1 yang jangka waktu pemberian asuransi kesehatan tersebut ialah

paling sedikit selama lima tahun. Sedangkan fatwa Majelis Ulama Indonesia

64

serta fatwa Mesir Dar al-Ifta‟ al-Misriyyah tidak membolehkan adanya

pemberian kompensasi terhadap pendonor organ tubuh, oleh karena itu fatwa

MUI serta Darul Ifta‟ al-Misriyyah tidak memberikan aturan mengenai bentuk

kompensasi yang dapat diberikan kepada pendonor.

3. Pertimbangan hukum Positif yang berlaku di Indonesia mengenai Hak Asasi

Manusia pada praktik transplantasi organ tubuh manusia masih diperhatikan

oleh Negara, mengingat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 tahun

2016, Pemerintah masih memperhatikan kelangsungan hidup pendonor pasca

transplantasi, namun pada hukum Islam belum sepenuhnya mengakomodir

aspek pemenuhan Hak Asasi Manusia, karena tidak diatur secara rinci

mengenai pemenuhan hak keberlangsungan hidup pendonor pascatransplantasi.

B. Saran

Berdasarkan permasalahan dan pembahasan penulis, alangkah baiknya

walaupun dalam aturan hukum postif maupun hukum Islam telah dilarang adanya

komersialisasi dalam proses transplantasi organ tubhh dan harus didasarkan pada

asas tolong menolong, namun pemerintah maupun resipien pada praktiknya untuk

tidak melupakan hak kesehatan bagi pendonor, baik yang berbentuk jaminan

kesehatan maupun jaminan hidup yang layak dengan niat ikhlas saling tolong

menolong. Selain itu agar pemerintah juga segera membentuk dan meresmikan

Komite Transplantasi Nasional yang telah disebutkan beberapa kali dalam

PERMENKES sebagai pelaksana transplantasi organ tubuh di Indonesia agar

lebih terarah dan sistemastis, selain itu menghindari adanya disparitas pelaksanaan

transplantasi organ tubuh pada beberapa rumah sakit penyelenggara Transplantasi

Organ saat ini.

65

DAFTAR PUSTAKA

Al-qur‟an al-Karim

Adam, Panji. Fatwa-Fatwa Ekonomi Syariah, Konsep. Metodologi, dan

Implementasinya pada Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Amzah,

2018.

Aji, Ahmad Mukri. Hak dan Kewajiban Asasi Manusia dalam Persfektif Islam.

Salam, Jurnal Sosial dan Budaya Syar‟I, Vol.2. 2015.

Alfrianto, F. Pemberlakuan Sanksi Pidana Terhadap Perdagangan Ginjal Untuk

Kepentingan Transplantasi. Lex Crimen Vol.15. No.5. 2015.

Amiruddin, dan H. Zailan Asikin, Pengantar metode Penelitian Hukum. Cet.1.

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Arifin, M. Ramdan. Transplantasi Organ Tubuh Dalam Persfektif Islam, Sinar

Muhammadiyah, 2008

Arikunto, Suharsimin. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta

PT. Rineka Cipta, 2006.

Ardhiwisastra, Yudha Bhakti. Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Cet.2.

Bandung: PT. Alumni.

Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama: Jakarta, 1999.

Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media, 2005.

Chaudhry, Muhammad Sharif. Sistem Ekonomi Islam: Prinsip Dasar

(Fundamental of Islamic Economic System). Cet.3. Jakarta: Kencana,

2016.

Christianto, Hwian. Konsep Hak Seseorang Atas Tubuh Dalam Transplantasi

Organ Berdasarkan Nilai Kemanusiaan. Mimbar Hukum, Vol.23. No.1.

Februari 2011.

Chuzaimah, H dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer.

Jakarta: PT. Pustaka, 1995.

Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru, 2006.

66

Dewi, Alexandra Indriyanti. Etika dan hukum kesehatan, Yogyakarta: Pustaka

book publisher, 2008.

Djamil, Fathurrahman. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. Cet.1.

Jakarta: Logos Publising House, 1995.

Ebrahim, Abul Fadl Mohsin. Kloning, Eutanasia, Transfusi Darah, Transplantasi

Organ, dan Eksperimen pada Hewan Telaah Fikih dan Bioetika Islam.

Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 13 Tahun 2019 Tentang Transplantasi

Organ Dan/Atau Jaringan Tubuh Dari Pendonor Hidup Untuk Orang Lain

Gani, Ruslan Abdul. Perdagangan Organ Tubuh Manusia Dilihat Dari Perspektif

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Menurut

Hukum. Skripsi S1, IAIN Sulthan Thaha Syaifuddin Jambi Indonesia.

2010.

Gani, Ruslan Abdul dan Yudi Armansyah, Penegakan Hukum Kasus Jual Beli

Organ Tubuh di Indonesia: Model Integratif dengan Pendekatan Hukum

Islam dan UU Kesehatan. FENOMENA, Volume 8, No 2, 2016.

Ghoffar, M. Abdul, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3. Cet.11. Jakarta: Pustaka Imam Asy-

Syafi‟I, 2017

Griffin. Pengantar Manajemen. Bandung: Gunadarma, 2004.

Gunarto, Marcus Priyo. Perlindungan Hak Asasi Manusia Di Indonsesia Dalam

Dinamika Global. Mimbar Hukum, Vol.19. No. 2. Juni 2007.

Hasan, Ali. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada masalah-masalah kontemporer

Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2000.

Hasbi, M. Transplantasi Organ Manusia dengan Organ Tubuh Babi Menurut

Hukum Islam. Jurnal Online Mahasiswa STAIN Vol 1.

Hasibuan, H. Malayu S.P. Manajemen Sumber Daya Manusia. Ed. Revisi Kedua,

Yogyakarta: BPFE-UGM, 2002

Haswir. Hukum Mendonorkan dan Mentransplasikan Anggota Tubuh, Al-Fikra:

Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli Desember 2011, 276.

HS, Salim. Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUHPerdata. Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2007.

67

Hussain, Syekh Syaukat. Penerjemah Abdul Rochim, Hak Asasi Manusia dalam

Islam. Jakarta: Penerbit Gema Insani Pers, 1996.

Jacobalis, Samsi. Pengantar Tentang Perkembangan Ilm Kedokteran, Etika

Medis, dan Bioetika. Jakarta: Sagung Seto, 2005.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet.3. Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

Kutbuddin, Aibak. Kajian Fiqh Kontemporer. Cet.1. Surabaya: ELKAF, 2006.

Liliana, Teresa, Nilai Etika Transplantasi Organ, Jurnal Artikel: Majalah

Komunikasi Maranatha, 2003

Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana, 2013.

Munawwir, Ahmad Warsun. Kamus Almunawwir, Cet. Ke.14, Surabaya; Pustaka

Progresif, 1997.

Munthe, Riswan. Perdagangan Orang (Trafficking) sebagai Pelanggaran Hak

Asasi Manusia. JUPIIS: Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial, Vol.7, No.2.

2015.

Mukhidin. Hukum Progresif sebagai Solusi Hukum yang Mensejahterakan

Rakyat. Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol.1. No.3. 2014.

Nadj, E. Shobirin dan Naning Mardiyah. Diseminasi HAM dalam Perspektif dan

Aksi. Jakarta: CESDA dan LP3ES. 2000.

Nasution, Bander Johan. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter. Jaharta:

Rineka Cipta, 2005.

Notoatmojo, Soekidjo. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Nurhayati. Kesehatan Dan Perobatan Dalam Tradisi Islam: Kajian Kitab Shahih

Al-Bukhârî. Ahkam: Vol.571, No.2, Juli 2016.

Peraturan Menteri Kesehatan No. 38 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan

Transplantasi Organ.

Philip, Chritanugra. Tanggung Jawab Negara Terhadap Perlindungan Hak Asasi

Manusia menurut Hukum Internasional. Lex Administratum, Vol.17.

No.2. Februari 2016.

Qardawi, Yusuf. Fatwa Fatwa Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

R, Lintang. Aspek Hukum Terhadap Pemanfaatan Organ Tubuh Manusia Untuk

Kelangsungan Hidup. Lex et Societatis, Vol.1. No.5. September, 2013.

68

Rachmawati, Fauziah. Kepastian Hukum Transplantasi Organ Yang

Mencerminkan Nilai Kemanusiaan. Jurnal Hukum Media Bhakti, Vol.3,

No.1, Juni 2019.

Rohmah, Lailatu. Kontekstualisasi Hadits Tentang Transplantasi. Hikmah,

Vol.517, No.2, 2018.

Sabiq, Sayyid. Fiqh al Sunnah Muasasah al Risalah Nasyirun. Beirut: 2008.

Samil, Ratna Suprapti. Etika Kedokteran Indonesia. Jakarta: Bina Pustaka

Sarwono Prawiroharjo, 2001.

Setyawan, Bayu Purnomo, dkk. Analisis Yuridis Normatif Terkait Transplantasi

Dan Jual Beli Organ Tubuh Manusia Ditinjau Dari Peraturan Perundang-

Undangan, Seminar Nasional Hasil Penelitian (SNHP)-VII ISBN 978-602-

14020-5-4 Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat

Universitas PGRI Semarang, 26 Oktober 2017.

Soetjipto, Patricia Naskah Akademik Universitas Indonesia FKM, 2010.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3, Ed. Revisi. Jakarta: UI

Press, 1986.

Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2008.

Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Shidiq, Sapiudin. Fikih Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2016.

Suwasti, Nyoman. Aspek Yuridis Transplantasi Organ Dalam Hubungannya

dengan UU Kesehatan. Bali: Kertha Patrika: Majalah Ilmiah Fakultas

Hukum UNUD,1994. 258.

Syaiban, Mochamad. Transplantasi Organ Tubuh Orang Muslim Kepada Orang

Non muslim Menurut Hukum Islam (Studi Bahtsul Masail Nahdlatul

Ulama), Skripsi S1 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

2010.

Tim Perumusan Komisi Ahkam, Ahkamul Fuqoha: Solusi Problematika Aktual

Hukum Islam. Cet.2. Jakarta: PB.NU, 2007.

Tim Penyusun Naskah IDI Kesehatan dan Kedokteran, Islam untuk Disiplin Ilmu

Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Departemen Agama RI, 2002.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

69

Wahbah, Al Zuhaili. Kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Beirut: Dar al Fikr,

2004.

Wahbah, Al Zuhaili, Ushul Alfiqh Alislami. Beirut: Dar al Fikr, 2013.

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam Wa Adillauhu, Juz I. Siria: Dar al-Fikr,

1984.

Yunus, Zulkifli. Kesehatan Menurut Islam, Bandung: Pustaka, 1994.

Zuhdi, Masjfu‟. Pencangkoan Organ Tubuh dalam Masaail Fiqhiyah. Cet.4,

Jakarta: CV Haji Mas Agung, 1993.

Zuhdi, Masjfu‟. Masail Fiqhiyah. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997.

Abdurobbih, Faza. Lembaga Fatwa Mesir dari Masa ke Masa,

https://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2013/03/26/36/lembaga-

fatwa-mesir-dari-masa-ke-masa.html diakses pada tanggal 29 Januari

2020.

Dewansyah, Bilal. Kedudukan Peraturan Menteri dalam Hierarki Peraturan

Perundang-undangan, diakses dari

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5264d6b08c174/kedu

dukan-peraturan-menteri-dalam-hierarki-peraturan-perundang-undangan/

pada tanggal tanggal 04 Februari 2020.

Fatwa Darul Ifta al-Misriyyah No.3638 tahun 2013 dari http://www.dar-alifta.org/

diakses pada tanggal 15 Agustus 2019

Hadits Abu Dawud No.2792 Kitab Jenazah dari https://shareoneayat.com/hadits-

abudaud-2792 diakses pada 06 Februari 2019.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, Pengertian Komersial (Online), dari

http://kamusbahasaindonesia.org/komersial/mirip diakses pada tanggal 01

Oktober 2019

Profil Majelis Ulama Iindonesia, artikel diakses tanggal 15 Agustus 2019 dari

https://mui.or.id/sejarah-mui/

RZN, Ilmuwan Produksi Organ Manusia di Tubuh Babi. Diakses dari

http://www.dw.com/id/ilmuwan-produksi-organ-manusia-di-tubuh-babi/a-

19309011 pada tanggal 03 Agustus 2019.

Sejarah Majelis Ulama Indonesia http://Majelis Ulama Indonesia-

lampung.or.id/2016/08/12/sejarah-perkembangan-lembaga-fatwa-mesir-

dar-al-ifta/ diakses pada 9 December 2019.

70

United Kingdom, National Health Service, history of Donation,

http:/www.nhs.uk/Tools/Document/Transplant.html diakses pada tanggal

18 November 2019

https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia diakses pada tanggal 2

Desember 2019.

https://id.wikipedia.org/ diakses pada tanggal 13 November 2019