Upload
khangminh22
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SKRIPSI
HUKUM PEMBERIAN KOMPENSASI KEPADA PENDONOR ORGAN
TUBUH MANUSIA (Studi Perbandingan antara Peraturan Menteri
Kesehatan No.38 Tahun 2016, Fatwa Majelis Ulama Indonesia, dan Dar al-
Ifta’ al-Misriyyah)
Diajukan kepada Fakultas Syari‟ah dan Hukum
Untuk Memenuhi salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Dhanar Zulfikar Ali
NIM: 1113043000046
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M/ 1441 H
v
ABSTRAK
Dhanar Zufikar Ali. NIM 1113043000046. HUKUM PEMBERIAN
KOMPENSASI KEPADA PENDONOR ORGAN TUBUH MANUSIA (Studi
Perbandingan antara Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 Tahun 2016,
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tahun 2019, Fatwa Dar al-Ifta‟ al-Misriyyah).
Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan
Fiqh, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1441 H/ 2020 M.
Penelitian ini menngunakan metodelogi library research dengan analisis
komparatif dan penafsiran hukum dalam membandingkan peraturan-peraturan
yang menjadi objek kajian penulisan ini. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui ketentuan hukum dan bentuk pemberian kompensasi terhadap
pendonor organ tubuh manusia menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38
tahun 2016, Lembaga Fatwa MUI, dan dan Lembaga Fatwa Mesir: Dar al-Ifta al-
Misriyyah, selain itu untuk mengetahui pertimbangan Hukum Positif dan Hukum
Islam mengenai Hak Asasi Manusia pada Praktik Transplantasi Organ Tubuh
Manusia
Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa pada semua peraturan
tersebut telah diatur mengenai pelarangan unsur komersialisasi pada proses
transplantasi organ tubuh, namun justru Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38
tahun 2016 mengatur pemberian kompensasi kepada pendonor yang berbentuk
asuransi kesehatan dengan besarannya akan ditetapkan oleh Menteri atas usulan
dari Rumah Sakit penyelenggara, dan jumlah paling sedikit ialah sebesar iuran
Jaminan Kesehatan Nasional dengan manfaat kelas I yang jangka waktu
pemberiannya paling sedikit adalah 5 (lima) tahun. Hal ini bertujuan untuk
memenuhi hak asasi pendonor khususnya hak untuk hidup yang layak karena
kondisi kesehatan pendonor yang sudah berbeda daripada sebelum transplantasi.
Kata kunci : Transplantasi Organ, Kompensasi, Hak Asasi Manusia
Dosen Pembimbing : 1. Dr. Fuad Thohari, M.Ag.
: 2. Afwan Faizin, M.A.
Daftar Pustaka : 1994 s.d 2019.
vi
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Puji Syukur kepada Allah SWT atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, Shalawat dan Salam tak lupa
dipanjatkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat
dan umatnya hingga akhir zaman.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini penulis menyadari bahwa banyak
rintangan dan hambatan yang datang silih berganti, namun berkat bantuan baik
moril maupun materil serta bimbingan dan dorongan yang tak henti-hentinya dari
berbagai pihak, dan atas izin Allah SWT akhirnya penulis dapat merampungkan
skripsi ini.
Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati dan tak mengurangi
rasa hormat, penulis menghaturkan terimakasih yang tak terhingga kepada semua
pihak yang telah sangat berjasa dalam proses pengerjaan skripsi ini, tentunya
kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta serta para jajarannya.
2. Ibu Siti Hanna, M.A. selaku ketua Program Studi Perbandingan
Madzhab dan Hukum dan juga kepada Bapak Hidayatulloh, M.H.
selaku sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab yang telah
memberikan pengarahan serta waktu kepada penulis di sela-sela
waktu kesibukan beliau.
3. Bapak Dr. Fuad Thohari, M.Ag. dan bapak Afwan Faizin, M.A.
sebagai pembimbing skripsi yang telah banyak membimbing,
memberikan pencerahan, ilmu, serta dukungan kepada penulis
selama proses penyelesaian skripsi ini.
vii
4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mencurahkan
segala kemampuannya guna memberikan ilmu-ilmu yang tak ternilai
harganya. Serta kepada civitas academika UIN Syarif Hidayatullah
yang telah memberikan pelayanan terbaiknya.
5. Teristimewa kepada kedua orang tua penulis yaitu ayahanda H.M.
Nurdin dan ibunda Hj. Nawiyah, yang telah mencurahkan segenap
kasih sayangnya, serta tak putus-putusnya memberikan dukungan
dan doa kepada penulis dalam menempuh pendidikan.
6. Kakak dan adik penulis Nadia Fatima, Rio Viansyah dan juga Dhafa
Rizki atas segala motivasinya sehingga penulis dapat sampai pada
jenjang terakhir sebagai mahasiswa.
7. Teruntuk pengisi hari-hari penulis Nur Indah Faradhiyah, Ahmad
Syarif Hidayatullah, dan teman-teman seperjuangan lain yang tidak
bisa di sebutkan satu persatu, atas segala dukungan, masukan, saran,
dan motivasi kepada penulis
8. Teman-teman Program Studi Perbandingan Madzhab angkatan 2013
yang telah memberikan saran dan dukungan pada penulis.
Akhirnya, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak baik yang
tertulis maupun tidak, atas segala jasa dan bantuan sehingga selesainya penulisan
skripsi ini. Penulis berdoa semoga Allah SWT membalasnya dengan imbalan
pahala yang berlipat ganda.
Bogor, 6 Juni 2020 M
viii
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………...…i
HALAMANPERSETUJUANPEMBIMBING……………………………........ii
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI………………......iii
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………..iv
ABSTRAK………………………………………………………………………..v
KATA PENGANTAR…………………………………………………………...vi
DAFTAR ISI…………………………………………………………………...viii
BAB I: PENDAHULUAN………………………………………………………..1
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………...1
B. Identifikasi Masalah……………………………………………………….7
C. Batasan Masalah…………………………………………………………...7
D. Rumusan Masalah…………………………………………………………8
E. Tujuan Penelitian………………………………………………………….8
F. Manfaat Penelitian………………………………………………………...8
G. Review Kajian Terdahulu…………………………………………………9
H. Metode Penelitian………………………………………………………...10
I. Sistematika Penulisan…………………………………………………….13
BAB II: LANDASAN TEORI KOMPENSASI TRANSPLANTASI ORGAN
TUBUH……………………………………………………………….15
A. Pengertian Transplantasi…………………………………………………15
ix
B. Sejarah Metode Transplantasi Organ dalam Pengobatan………………..19
C. Jenis Transplantasi Organ………………………………………………..23
D. Konsep Kompensasi dalam Hukum Islam……………………………….26
BAB III: PERATURAN MENGENAI TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH
…………………………………………………………………………27
A. Transplantasi Organ Tubuh mennurut Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 38 Tahun 2016……………………………………………….......27
B. Transplantasi Organ Tubuh Menurut Fatwa Ulama Indonesia…………..31
C. Transplantasi Organ Tubuh Menurut Fatwa Majelis Ulama Mesir Darul
Ifta al-Misriyyah………………………………………………………….37
BAB IV: ANALISIS PERBANDINGAN MENGENAI PEMBERIAN
KOMPENSASI KEPADA PENDONOR ORGAN TUBUH
…………………………………………………………...…………45
A. Ditinjau Dari Segi Muatan……………………………………………….45
B. Pemenuhan Aspek Hak Asasi Manusia Terhadap Pemberian Kompensasi
Terhadap Pendonor Organ Tubuh………………………………………..55
BAB V: PENUTUP……………………………………………………………..63
A. Kesimpulan ……………………………………………………………...63
B. Saran……………………………………………………………………...64
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...65
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sehat berasal dari bahasa Arab الصحة yang berarti sembuh, sehat, selamat
dari cela, cacat, atau nyata, benar sesuai dengan kenyataan. Secara umum sehat
adalah berfungsinya semua organ serta saraf-saraf tubuh dengan baik. Kesehatan
adalah suatu keadaan yang penting bagi manusia. Setiap manusia sangat
mendambakan kesehatan, mulai dari anak yang baru lahir sampai yang sudah
berusia lanjut, karena nikmat sehat merupakan salah satu anugerah terbesar dari
Allah SWT.
Dalam ilmu kedokteran Timur maupun Barat meyakini bahwa setiap
penyakit ada obatnya, begitupun dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang
pernah bersabda mengenai pentingnya kesehatan1, Diriwayatkan dari musnad
Imam Ahmad dari shahabat Usamah bin Suraik,:
ى ولءت تا كنتعندالنب ولالىووىاالىوعى ول عرابوفقتل:يتر
لضعلونالىوإأنتدالى؟فقتل:ن ع يتعبتدالىووتداللاوف يضعدا إال لءلل عز
ردا لاحد.قتلوا:متىو؟وقتل:اهلرم) امحد(رلاهشفت غ
Artinya; “Aku pernah berada di samping Rasulullah, Lalu datanglah serombongan
Arab Badui. Mereka bertanya, 'Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat?' Beliau
menjawab, 'Iya, wahai para hamba Allah SWT, berobatlah. Sebab, Allah tidaklah
meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu
penyakit.' Mereka bertanya, 'Penyakit apa itu?' Beliau menjawab, 'Penyakit tua.'"
(H.r. Ahmad).
1 Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada masalah-masalah kontemporer Hukum
Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 121.
2
Hadits tersebut menunjukkan bahwa setiap umat Islam wajib berikhtiar
untuk berobat apabila menderita sakit apapun macam penyakitnya. Sebab, setiap
penyakit merupakan berkah kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta‟ala yang pasti
ada penawarnya baik dengan obat maupun tindakan tertentu yang salah satu
contohnya adalah transplantasi.
Dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran
berkembang dengan pesat. Salah satunya adalah kemajuan dalam teknik
transplantasi organ. Tranplantasi (pencangkokan) berasal dari Bahasa inggris, to
transplant, yang berarti to move from one place to other, bergerak dari satu
tempat ke tempat yang lain. Transplantasi adalah pemindahan organ tubuh dari
orang sehat atau dari mayat yang organ tubuhnya mempunyai daya hidup dan
sehat kepada tubuh orang lain yang memiliki organ tubuh yang tidak berfungsi
lagi, sehingga resipien (penerima organ) dapan bertahan hidup secara sehat.2
Orang yang anggota tubuhnya dipindahkan disebut donor (pen-donor),
sedang yang menerima disebut resipien. Cara ini merupakan solusi bagi
penyembuhan organ tubuh tersebut karena penyembuhan atau pengobatan dengan
prosedur medis biasa tidak ada harapan kesembuhannya.3 Transplantasi organ dan
jaringan tubuh manusia merupakan tindakan medis yang sangat bermanfaat bagi
pasien dengan ganguan fungsi organ tubuh yang berat. Ini adalah terapi alternatif
yang merupakan upaya terbaik untuk menolong pasien dengan kegagalan
organnya, karena hasilnya lebih memuaskan dan hingga dewasa ini terus
berkembang dalam dunia kedokteran, namun tindakan medis ini tidak dapat
dilakukan begitu saja, karena masih harus dipertimbangkan dari segi non medis,
yaitu dari segi agama, hukum, budaya, etika dan moral.
Sejak kesuksesan transplantasi yang pertama kali berupa ginjal dari donor
kepada pasien gagal ginjal pada tahun 1954, perkembangan di bidang
transplantasi maju dengan pesat. Kemajuan ilmu dan teknologi memungkinkan
2 M. Ramdan Arifin, Transplantasi Organ Tubuh Dalam Persfektif Islam, (t.t. Sinar
Muhammadiyah, 2008), h. 19. 3 Haswir, “Hukum Mendonorkan dan Mentransplasikan Anggota Tubuh”, Al-Fikra:
Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 2, (Juli Desember, 2011), h. 276.
3
pengawetan organ, penemuan obat-obatan anti penolakan yang semakin baik
sehingga berbagai organ dan jaringan dapat ditransplantasikan. Dalam beberapa
kepustakaan disebutkan bahwa transplantasi organ sudah dilakukan sejak tahun
600 SM, dimana saat itu Susruta dari India telah melakukan transplantasi kulit.4
Ilmu transplantasi modern semakin berkembang dengan ditemukannya
metode-metode pencangkokan, misalnya;
1. Pencangkokan arteria mammaria interna di dalam operasi lintas
coroner;
2. Pencangkokan jantung, dari jantung kera kepada manusia;
3. Pencangkokan sel-sel substansia nigra dari bayi yang meninggal ke
penderita Parkinson;
4. Pencangkokan ginjal;
5. Pencangkokan hati;
6. Pencangkokan sumsum tulang;
7. Pencangkokan pankreas.5
Transplantasi organ menjadi permasalahan bioetika yang cukup pelik,
karena kebutuhan jaringan tubuh manusia yang semakin hari semakin bertambah,
sementara persediaan organ terbatas karena beberapa organ harus diambil dari
tubuh mereka yang sudah meninggal maupun masih hidup, padahal tidak setiap
keluarga orang yang mendonorkan organ tubuhnya memberi ijin bagi pihak rumah
sakit ataupun dokter untuk melakukan tindakan perpindahan organ tanpa adanya
harga yang pantas.6 Sehingga hal ini, mendorong terjadinya jual-beli organ atau
pendonor yang mengharapkan agar diberi imbalan.
Komersial dalam kegiatan transplantasi organ tubuh tentunya sangat
bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang menjadi fokus tujuan utama dalam
melakukan tindakan transplantasi organ tubuh terutama bagi donor hidup. Kata
4 Teresa Liliana, “Nilai Etika Transplantasi Organ”, Jurnal Artikel: Majalah Komunikasi
Maranatha, 2003. 5 Haswir, “Hukum Mendonorkan dan Mentransplasikan Anggota Tubuh”, Al-Fikra:
Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 2, (Juli Desember, 2011), h. 275. 6 Alexandra Indriyanti Dewi, Etika dan hukum kesehatan, (Yogyakarta: Pustaka book
publisher, 2008), h.83,84.
4
komersial menurut kamus bahasa Indonesia adalah suatu kegiatan yang berkaitan
dengan perdagangan atau suatu barang yang dimaksudkan untuk diperdagangkan
dan bisa juga bernilai tinggi yang kadang-kadang mengorbankan nilai-nilai lain
termasuk kemanusiaan.7
Majelis Ulama Indonesia (disingkat MUI; Arab: جمىسالعىمت اإلندلن سي Majlis al-„Ulama‟ al-Indunīsī) adalah Lembaga independent yang mewadahi para
ulama zuama, dan cendikiawan islam untuk membimbing, membina, dan
mengayomi umat islam di Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada 17
Rajab 1395 Hijriah atau 26 Juli 1975 Masehi di Jakarta, Indonesia. 8
Sesuai
dengan tugasnya, MUI membantu pemerintah dalam melakukan hal-hal yang
menyangkut kemaslahatan umat islam.
Mengenai praktik Transplantasi organ tubuh, Majelis Ulama Indonesia
yang dalam hal ini merupakan ujung tombak bagi masyarakat Indonesia yang
mayoritas penduduknya adalah muslim dalam upaya mencari aturan hukum atas
sesuatu yang masih tidak memiliki aturan hukum telah mengeluarkan Fatwa
nomor 13 Tahun 1440 H tentang Transplantasi Organ dan/atau Jaringan Tubuh
Dari Pendonor Hidup Untuk Orang Lain. Fatwa ini berisi syarat-syarat agar
diperbolehkannya pelaksanaan Transplantasi organ menurut syariat Islam dengan
mengambil istinbath hukum yang berasal dari Al-Quran, Sunnah, Hadist Nabi,
pendapat ulama-ulama terdahulu serta berdasarkan atas Fatwa-Fatwa yang
memiliki kaitan dengan Transplantasi organ.
Dalam fatwa MUI nomor 13 Tahun 2019 disebutkan bahwa seseorang
tidak boleh memberikan atau menjual organ dan/atau jaringan tubuhnya kepada
orang lain karena organ tubuh tersebut bukan hak milik (haqqu al-milki). Untuk
itu, pengambilan dan transplantasi organ tubuh tanpa adanya alasan yang
7 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, Pengertian Komersial (Online),
http://kamusbahasaindonesia.org/komersial/mirip diakses pada tanggal 01 Oktober 2019. 8 Profil MUI,dari https://mui.or.id/sejarah-mui/ diakses tanggal 15 Agustus 2019.
5
dibenarkan secara syar‟i hukumnya haram. 9
Selain itu transplantasi menuurut
Fatwa MUI ini Bersifat untuk tolong-menolong (tabarru‟), tidak untuk komersial.
Pada praktiknya, tenaga medis di Indonesia dalam melakukan transplantasi
organ tunduk pada Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 Tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Transplantasi Organ. Peraturan ini banyak membahas mengenai
aspek tanggungjawab pemerintah untuk mengawasi tindakan transplatasi organ
yang dalam hal ini dilakukan oleh Rumah Sakit yang harus mendapat penetapan
dari Menteri dan harus dievaluasi Komite Transplantasi Nasional secara berkala
setiap tahun. Setiap calon Pendonor dan calon Resipien pun sebelum melakukan
tindakan transplantasi organ harus terdaftar terlebih dahulu di Komite
Transplantasi Nasional, dan sudah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.10
.
Pada Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 Tahun 2016 pasal 38 secara
tekstual dapat diartikan bahwasanya Pemerintah dalam hal ini berkewajiban untuk
mengelola dana yang berasal dari APBN, APBD, Hibah, dan dana lain untuk
keperluan pelaksanaan Pra hingga pasca operasi, bahkan Pemerintah juga
mengatur mengenai pemberian asuransi dan penghargaan bagi pendonor yang
telah memberikan organnya dengan besar penghargaan ditetapkan oleh Mentri.
Dapat diambil kesimpulan bahwasanya terdapat unsur komersialisasi dalam
proses transplantasi organ menurut Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 Tahun
2016.
Salah satu kasus transplantasi organ yaitu ginjal yang telah disidik Polres
Malang Kota, Jawa Timur dengan penerima donor ialah Erwin Susilo seorang
pengusaha pakan ayam dan Ita Diana yang merupakan pendonor ginjal di Rumah
Sakit Saiful Anwar Malang. Penyidik menggali keterangan terkait pemberian
kontribusi kepada pihak pendonor ginjal hingga proses operasi transplantasi
ginjal. Erwin selaku resipien diminta keterangan mengenai janji dan kesepakatan
tertentu sebelum hingga pascaoperasi. Kasus ini masuk kedalam penyelidikan
9 Fatwa MUI No. 13 Tahun 2019 tentang Hukum Transplantasi dari Pendonor Hidup.
10 Peraturan Menteri Kesehatan No. 38 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
Transplantasi Organ.
6
penyidik setelah Ita Diana (pendonor) melaporkan Erwin (resipien) karena merasa
dirugikan. Kuasa hukum Erwin menjelaskan kliennya tidak pernah menjanjikan
uang sebesar Rp.350.000.000 kepada Ita. Proses Transplantasi ginjal Ita ke Erwin
sudah sesuai arahan tim dokter RSSA Malang. Bahkan, terkait kompensasi atau
kontribusi resipien kepada pendonor pun sudah diserahkan sesuai aturan. Erwin
menjelaskan bahwa ia memberikan Rp.70.000.000 kepada Ita dengan rincian
Rp.45.000.000 sebagai biaya hidup selama 3 (tiga) bulan, Rp. 5.000.000 untuk
BPJS Kesehatan, dan Rp. 20.000.000 sebagai tali asih. Serta dokumen yang
ditandatangani Erwin dan Ita juga diketahui oleh tim dokter. Selama tujuh bulan
sebagai pasien rumah sakit saat cuci darah, Erwin tidak mengenal Ita. Sampai
transplantasi semua diatur pihak rumah sakit.11
. Polisi yang menangani kasus ini
menyatakan bahwa kasus ini bukan termasuk jual-beli ginjal atau organ tubuh
karena tidak ada bukti tertulis, dan hal tersebut murni tentang janji yang tidak
ditepati.
Sedangkan di Mesir, praktik transplantasi organ juga telah menjadi isu
yang hangat diperbincangkan dikarenakan masih banyaknya perdagangan organ
tubuh manusia. Perdagangan organ ini dikarenakan kondisi ekonomi yang
semakin sulit. Dalam Fatwa Dar al-Ifta‟ al-Misriyyah nomor 3638 tanggal 10
Februari 2003, jawaban dari Ali Goma Mohammed atas pertanyaan mengenai
hukum transplantasi organ dalam hukum islam, menjelaskan bahwasanya
transplantasi organ diperbolehkan tanpa adanya cara pengobatan alternatif untuk
menyelamatkan nyawa pasien. Dokter yang berkualifikasi harus menentukan
bahwa transplantasi organ mencapai manfaat tertentu, tidak akan membahayakan
kesehatan donor, dan akan mempertahankan integritas fungsionalnya. Dan hal ini
tidak boleh melibatkan kompensasi apa pun - finansial atau lainnya. Organ
manusia tidak tunduk pada transaksi komersial dan tidak boleh melibatkan
11
Polisi Menyidik Kasus Transplantasi Ginjal, Media Indonesia.
https://m.mediaindonesia.com/read/detail/138895-polisi-menyidik-kasus-transplantasi-ginjal
diakses pada tanggal 13 Mei 2020 pukul 14.17.
7
imbalan finansial apa pun kepada donor jika ia hidup atau pewarisnya jika ia mati.
12
Dilihat dari paparan latar belakang yang telah penulis ulas secara singkat
mengenai transplantasi organ yang terjadi di Indonesia, dan aturannya di Mesir,
maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukum yang berjudul “Hukum
Pemberian Kompensasi kepada Pendonor Transplantasi Organ Tubuh Manusia
(Studi Perbandingan antara Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 Tahun 2016,
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tahun 2019, dan Dar al-Ifta‟ al-Misriyyah)”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diulas penulis, penulis
mengidentifikasikan beberapa masalah dari latar belakang tersebut, antara lain;
1. Apa yang dimaksud dengan transplantasi organ,
2. Bagaimana prosedur transplantasi organ menurut fatwa Majelis Ulama
Indonesia,
3. Bagaimana prosedur transplantasi organ menurut Lembaga Fatwa Mesir,
4. Siapa orang yang berhak melakukan transplantasi organ,
5. Bagaimana aturan dalam Peraturan Menteri Kesehatan mengenai
Transplantasi Organ,
6. Apa yang harus disiapkan oleh tim medis sebelum melakukan transplantasi
organ,
7. Apa yang menjadi landasan MUI memperbolehkan transplantasi organ dari
pendonor hidup,
8. Apa hukum memperjualbelikan organ menurut Fatwa MUI dan Lembaga
Fatwa Mesir.
C. Batasan Masalah
Mengingat begitu banyaknya permasalahan yang penulis singgung dalam
identifikasi masalah diatas, maka dalam pembatasan masalah ini penulis perlu
12
Fatwa Dar al-Ifta al-Misriyyah No.3638 tahun 2013 https://www.dar-alifta.org/ diakses
tanggal 15 Agustus 2019.
8
membatasi pada pembahasan dengan fokus dalam Peraturan Menteri Kesehatan
No.38 tahun 2016 tentang Penyelenggaran Transplantasi Organ Tubuh, Fatwa
Majelis Ulama Indonesia nomor 13 tahun 2019 tentang Transplantasi Organ
Tubuh Manusia dari Pendonor Hidup dan Lembaga Fatwa Mesir: Dar al-Ifta al-
Misriyyah nomor 3638 tahun 2003 tentang Transplantasi Organ Tubuh.
D. Rumusan Masalah
Setelah dikemukakan latar belakang masalah diatas, maka dapat ditarik
suatu perumusan masalah yang penulis rinci pertanyaan sebuah penelitian sebagai
berikut:
1. Apa ketentuan hukum pemberian kompensasi terhadap pendonor Transplantasi
organ tubuh manusia menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 tahun
2016, Lembaga Fatwa MUI, dan dan Lembaga Fatwa Mesir: Dar al-Ifta al-
Misriyyah?
2. Apa bentuk kompensasi kepada pendonor organ tubuh menurut Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 38 tahun 2016, Lembaga Fatwa MUI, dan dan
Lembaga Fatwa Mesir: Dar al-Ifta al-Misriyyah?
3. Apa pertimbangan Hukum Positif dan Hukum Islam mengenai Hak Asasi
Manusia pada Praktik Transplantasi Organ Tubuh Manusia?
E. Tujuan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa tujuan yang hendak dicapai
penulis, Adapun tujuan tersebut adalah:
a. Untuk mengetahui ketentuan hukum pemberian kompensasi terhadap
pendonor Transplantasi organ tubuh manusia menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 38 tahun 2016, Lembaga Fatwa MUI, dan dan Lembaga
Fatwa Mesir: Dar al-Ifta al-Misriyyah
b. Untuk mengetahui bentuk kompensasi kepada pendonor organ tubuh menurut
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 tahun 2016, Lembaga Fatwa MUI,
dan dan Lembaga Fatwa Mesir: Dar al-Ifta al-Misriyyah
c. Untuk mengetahui pertimbangan Hukum Positif dan Hukum Islam mengenai
Hak Asasi Manusia pada praktik Transplantasi Organ Tubuh Manusia
9
F. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih
positif dan manfaat dari segi akademik maupun praktik, yaitu:
a. Secara Akademis
Hasil analisis ini diharapkan dapat memperluas dan memperkaya ilmu
pengetahuan penulisyang diperoleh selama masa kuliah dan juga bermanfaat
bagi penulis-penulis yang akan dating, khususnya mengenai hukum tentang
transplantasi organ tubuh.
b. Secara Praktis
Memberikan informasi yang berharga dalam menambah pengetahuan
lebih lanjut mengenai hukum transplantasi organ tubuh manusia dari segi
Hukum Positif dan Hukum Islam.
G. Review Kajian Terdahulu
Review kajian terdahulu ini akan memaparkan beberapa penelitian yang
sudah dilakukan, baik berupa skripsi, tesis, ataupun penelitian-penelitian lainnya
yang pernah membahas atau berkaitan dengan transplantasi organ, yaitu:
1. Skripsi dengan judul “Transplantasi Organ Tubuh Orang Muslim Kepada
Orang Nonmuslim Menurut Hukum Islam (studi bahtsul masail Nahdhatul
Ulama)” ditulis oleh Mochamad Syaiban (103043227998/ UIN Syarif
Hidayatullah) Pada skripsi ini fokus bahasan adalah bagaimana hukum
transplantasi organ tubuh orang muslim kepada orang nonmuslim menurut
pandangan Ulama Nahdhatul Ulama.
2. Skripsi dengan judul “Wasiat Transplantasi Organ Tubuh Menurut Hukum
Islam” ditulis oleh Sunarti (10400112012/UIN Alauddin Makasar) Pada
skripsi ini fokus bahasan adalah tinjauan hukum islam dalam hal wasiat
transplantasi organ tubuh.
3. Skripsi dengan judul “Penggunaan Organ Tubuh Manusia Bagi Kepentingan
Medis dalam Persfektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia (Studi
Komparasi antara Fatwa MUI dan Undang0Undang Republik Indonesia
10
No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan)” ditulis oleh Rendika Aris Yudhanto
(09360007/UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) pada skripsi ini fokus
pembahasan penulis adalah ketetapan hukum dari Majelis Ulama Indonesia
dan Undang-undang tentang kesehatan dalam hal penggunaan organ tubuh
manusia untuk kepentingan medis serta tinjauan ushul fiqh tentang syarat
yang harus terpenuhi untuk dapat melakukan upaya penggunaan organ tubuh
manusia bagi kepentingan medis.
H. Metode Penelitian
Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan manusia untuk
memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan yang tersusun
secara sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran dan pengetahuan
yang mana senantiasa dapat diperiksa dan di telaah secara kritis, dan akan
berkembang terus menerus.13
Apabila seorang peneliti akan melakukan kegiatan-kegiatan penelitian,
maka sebelumnya dia perlu memahami metode dan sistematika penelitian. Maka
tanpa metode atau metodologi, seorang peneliti tak akan mampu untuk
menemukan, merumuskan, menganalisa, maupun memecahkan masalah-masalah
tertentu, untuk mengungkapkan kebenaran. Metodologi timbul dari karakteristik-
karakteristik tertentu dari masalah-masalah yang khusus.14
1. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan riset pustaka (library research), pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif. Penelitian hukum
normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini
sering kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang
13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), cet. Ke-3,
h. 3. 14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), cet. Ke-3,
h. 13.
11
merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.15
Kaitannya
dengan penelitian ini, yang dimaksud dengan hukum yaitu hukum Islam (fiqh)
yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Hadits yang kemudian diinterpretasikan oleh
para ulama sehingga muncul beberapa pendapat dengan perasamaan dan
perbedaannya.
Yang menjadi objek penelitian pustaka ini adalah Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 38 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ,
Fatwa MUI No.13 Tahun 2019 Tentang Transplantasi Organ serta Lembaga
Fatwa Mesir: Dar al-ifta al-Misriyyah. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif yaitu menggambarkan secara besar permasalahan yang mana didasari
dengan pemikiran yang menuju kepada hal-hal khusus, berkaitan dengan materi
yang akan di bahas. Adapun cara memperoleh data-data dalam penulisan skripsi
ini adalah dengan studi pustaka yaitu mengumpulkan data-data yang berkaitan
dengan pembahasan yang diteliti penulis. Penenelitian ini juga menggunakan
metode perbandingan hukum, dalam hal ini penulis membandingkan antara
hukum Islam dengan hukum Positif.16
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian pada kajian ini adalah kualitatif, yaitu penelitian
yang dilakukan untuk menghasilkan data deskriptif yang berupa fakta-fakta
tertulis atau lisan dari orang atau pelaku yang diamati.17
3. Sumber data
Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian terbagi menjadi dua
sumber, yaitu:
15
Amiruddin, dan H. Zailan Asikin, Pengantar metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004), cet. 1, h. 118. 16
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2008), h. 100. 17
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h.
18.
12
a. Sumber primer, yaitu: Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 tahun 2016
tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ, Fatwa Majelis Ulama Indonesia
dan Fatwa Dar al-Ifta al-Mishriyyah nomor 3638 tahun 2003
b. Sumber sekunder, yaitu: Data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber
sekunder dari data yang penulis butuhkan,18
yaitu buku-buku pendukung atau
pelengkap, khususnya buku Fiqh dan Ushul Fiqh.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah Dokumentasi. Metode
Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, fatwa, lengger, agenda dan
sebagainya.19
Dalam pengumpulan data, penulis mengumpulkannya dari
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
Transplantasi Organ, website resmi Lembaga Fatwa Indonesia dan Mesir yaitu
Majelis Ulama Indonesia dan Lembaga Fatwa Mesir: Dar al-Ifta al-Misriyyah.
5. Teknik penulisan
Teknik penulisan skripsi ini telah berdasarkan pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi” yang diterbitkan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2017.
6. Analisis Data
Sesuai dengan penelitian pustaka maka analisis yang penulis gunakan
adalah:
a. Komparasi
Metode komparatif yang dimaksud disini adalah dilakukan dengan
membandingkan suatu fakta yang lain sehingga diketahui suatu persamaan dan
perbedaannya, sebagaimana yang dikemukakan Aswari Sudjud bahwa penelitian
18
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h.
122. 19
Suharsimin Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta PT.
Rineka Cipta, 2006), h. 231.
13
komparasi akan dapat menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-
perbedaan tentang benda-benda, tentang orang-orang, tentang prosedur kerja,
tentang ide-ide, kritik terhadap orang, kelompok, terhadap suatu ide atau suatu
prosedur kerja.20
Dalam penulisan ini penulis membandingkan,
mengkomparasikan antara Hukum Positif, dan Fatwa dari berbagai lembaga fatwa
di dua negara terkait dengan transplantasi organ yaitu, Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 38 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ,
Majelis Ulama Indonesia dan Lembaga Fatwa Mesir: Dar al-Ifta al-Misriyyah.
b. Penafsiran Hukum
Metode yang diambil dalam penulisan ini ialah metode penafsiran
sistematis, yaitu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal-
pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan atau pada
perundang-undangan hukum lainnya. Metode sistematis, adalah metode yang
mempelajari hukum dengan cara melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri
atas berbagai sub-sistem seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum acara,
hukum tata negara. Ilmu pengetahuan hukum yang melihat hukum dengan cara
demikian ini dinamakan systematiche rechtswetenschap.21
I. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, penulis membagi pembahasan
menjadi beberapa bab yang diuraikan dalam sistematika sebagai berikut:
Bab satu merupakan bab Pendahuluan yang memuat tentang latar belakang
masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penulisan, Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika
Penulisan.
Bab dua berisi uraian tentang sejarah metode transplantasi dalam
pengobatan dan tinjauan umum tentang transplantasi organ tubuh manusia, yang
20
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta PT.
Rineka Cipta, 2006), hlm. 267. 21
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, (Bandung; PT.
Alumni, t.th.) cet.ke2, h.10
14
membahas tentang pengertian transplantasi serta tinjauan umum tentang
kompensasi dalam hukum Islam.
Bab tiga berisi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Transplantasi Organ, fatwa-fatwa yang berkaitan dengan
transplantasi organ tubuh manusia yang dikeluarkan Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia dan Lembaga Fatwa Mesir: Dar al-Ifta al-Misriyyah.
Bab empat berisi tentang perbandingan konsep pemberian kompensasi
kepada pendonor organ tubuh menurut Peraturan Menteri Kesehatan, Majelis
Ulama Indonesia dan Lembaga Fatwa Mesir. Dalam bab ini juga penulis mencoba
menguraikan latar belakang terjadinya perbedaan fatwa ulama kedua lembaga
tersebut dalam hal pemberian kompensasi kepada pendonor organ tubuh.
Bab lima berisi tentang penutup yang meliputi kesimpulan dan saran yang
didasarkan pada hasil penelitian.
15
BAB II
LANDASAN TEORI KOMPENSASI TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH
A. Pengertian Transplantasi
Pengertian Transplantasi menurut Masjfu‟ Zuhdi adalah pemindahan
organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat, untuk menggantikan organ
tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik.22
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, transplantasi berarti pemindahan jaringan tubuh dari suatu
tempat ke tempat lain seperti menutup luka yang tidak berkulit dengan jaringan
kulit dari bagian tubuh yang lain.23
Transplantasi atau pencangkokan organ tubuh adalah pemindahan organ
tubuh tertentu yang mempunyai daya hidup yang sehat, dari seseorang untuk
menggantikan organ tubuh yang tidak sehat atau tidak berfungsi dengan baik
milik orang lain. Dapat diartikan juga pemindahan suatu jaringan atau organ
manusia tertentu dari suatu tempat lain pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang
lain dengan persyaratan dan kondisi tertentu.24
Orang yang anggota tubuhnya
dipindahkan disebut donor (pen-donor), sedang yang menerima disebut resipien.
Cara ini merupakan solusi bagi penyembuhan organ tubuh tersebut karena
penyembuhan atau pengobatan dengan prosedur medis biasa tidak ada harapan
kesembuhannya.25
Transplantasi berasal dari bahasa Inggris yakni „to transplant‟ yang berarti
„to move from one place to another‟ artinya: berpindah dari satu tempat ke tempat
yang lain.26
Transplantasi adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan
organ dan/atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau
22
Masjfu‟ Zuhdi, Pencangkoan Organ Tubuh dalam Masaail Fiqhiyah, (Jakarta: CV Haji
Mas Agung, 1993), Cet IV, h. 84. 23
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Cet III, h. 1210. 24
Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, (Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo, 2001), h. 101. 25
Haswir, “Hukum Mendonorkan dan Mentransplantasikan Anggota Tubuh Dalam
Islam”, Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 2 (Juli Desember, 2011), h. 276. 26
Nyoman Suwasti, “Aspek Yuridis Transplantasi Organ Dalam Hubungannya dengan
UU Kesehatan”, Kertha Patrika: Majalah Ilmiah Fakultas Hukum UNUD, (Bali, 1994), h. 258.
16
tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ dan/atau
jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.27
Transplantasi sebagai upaya untuk melepaskan manusia dari penderitaan
yang secara biologis mengalami keabnormalan, atau menderita suatu penyakit
yang mengakibatkan rusaknya fungsi suatu organ, jaringan, atau sel. Pada
dasarnya transplantasi organ bertujuan untuk menyembuhkan suatu penyakit,
seperti rusaknya jantung, ginjal dsb. Selain itu bertujuan pula untuk memulihkan
kembali fungsi suatu organ, jaringan atau sel yang telah rusak atau mengalami
kelainan akan tetapi sama sekali tidak terjadi kesakitan biologis, misalnya bibir
sumbing.28
Sehubungan dengan Transplantasi organ serta mendonorkan organ, Ibnu
Wahab meriwayatkan dari Abdullah bin „Iyasy, dari Zaid bin Aslam29
mengenai
firman Allah SWT dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah (2): 195 yang berbunyi:
بلالىول حسنيلأنفقوافامل الت ىقوابأيديك الالت هىكةلأحسن واانالىويب
Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik,”
Ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan masalah infak. Bahwasanya
ada beberapa orang yang pergi bersama dalam delegasi yang diutus Rasulullah
S.A.W tanpa membawa bekal (nafkah), lalu Allah SWT memerintahkan mereka
mencari bekal (nafkah) dari apa yang telah dikaruniakan-Nya serta tidak
mencampakkan diri kedalam kebinasaan. Dalam ayat ini, perintah berinfak di
jalan Allah SWT dalam berbagai segi amal yang dapat mendekatkan diri kepada
Allah SWT dan dalam segi ketaatan, terutama membelanjakan dan menginfakkan
harta kekayaan untuk berperang melawan musuh serta memperkuat kaum
27
Fatwa MUI nomor 13 tahun 2019 tentang Transplantasi Organ dan/atau Jaringan
Tubuh Dari Pendonor Hidup Untuk Orang Lain 28
H. Chuzaimah dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:
PT. Pustaka, 1995), h. 69. 29
M. Abdul Ghoffar, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, (Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi‟I,
2017), cet. Ke-11, h. 471-472
17
Muslimin. Selanjutnya perintah untuk berbuat baik, yang merupakan tingkatan
ketaan tertinggi,sehingga Allah SWT berfirman yang artinya “dan berbuat
baiklah, karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Namun, Jika kita kembali kepada sejarah, praktik kedokteran menyangkut
donasi organ tubuh seperti telah diuraikan di atas, tampaknya belum ada pada
zaman klasik Islam ketika Nabi masih hidup dan generasi sahabat. Oleh karena
itu, dalam mencari ketentuan hukumnya hanya dapat ditempuh melalui ijtihad
dengan penalaran terhadap prinsip hukum Islam.30
Berdasarkan hadist-hadist dan
kaidah fiqhiyyah sebagai berikut;
ولالىوو ى ولءت تا عرابوفقتل:يتر كنتعندالنبىاالىوعى ول
لضعلونالىوإأنتدالى؟فقتل:ن ع يتعبتدالىووتداللاوف يضعدا إال لءلل عز
ردا لاحد.قتلوا:متىو؟وقتل:اهلرم)رلاهامحد( شفت غ
Artinya; “Aku pernah berada di samping Rasulullah, Lalu datanglah serombongan
Arab Badui. Mereka bertanya, 'Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat?' Beliau
menjawab, 'Iya, wahai para hamba Allah SWT, berobatlah. Sebab, Allah tidaklah
meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu
penyakit.' Mereka bertanya, 'Penyakit apa itu?' Beliau menjawab, 'Penyakit tua.'"
(H.r. Ahmad).31
الضراريزال
Artinya: “Kemudharatan harus dihilangkan.”
Diperbolehkannya donor adalah karena adanya illat darurat. Jika berbicara
darurat berarti berbicara tentang unsur maslahah yang dalam hal ini sudah
30
H. Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2016), h.125. 31
Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada masalah-masalah kontemporer Hukum
Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 121
18
mencapai peringkat dharuriyat, yaitu menyelamatkan jiwa. Namun untuk
memenuhi kebutuhan darurat tidak boleh melampaui batas. Pencangkokan harus
dilakukan seperlunya saja. Seperti dalam kaidah:
لضرلرةيدفعبقدراإلمكتنا
Artinya: “Kemudharatan harus dieliminir sebatas hilangnya kemudharatan
tersebut.”
Terdapat 3 (tiga) tipe donor organ tubuh, dan setiap tipe mempunyai
permasalahannya tersendiri, yaitu;
1. Donor dalam keadaan hidup sehat. Tipe ini memerlukan seleksi cermat dan
general check Up, baik terhadap donor maupun terhadap penerima (resepient),
demi menghindari kegagalan transplantasi yang disebabkan karena penolakan
tubuh resepien dan sekaligus mencegah resiko bagi donor.
2. Donor dalam hidup koma atau diduga akan segera meninggal. Untuk tipe ini,
pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat kontrol dan penunjang
kehidupan, misalnya dengan bantuan alat pernapasan khusus. Kemudian alat-
alat tersebut di cabut setelah pengambilan organ tersebut selesai.
3. Donor dalam keadaan mati. Tipe ini merupakan tipe yang ideal, sebab secara
medis tinggal menunggu penentuan kapan donor dianggap meninggal secara
medis dan yudiris dan harus diperhatikan pula daya tahan organ tubuh yang
akan di transplantasi.32
Pada proses transplantasi organ yang paling sering digunakan yaitu
transplantasi dari donor dalamkeadaan hidup sehat, kemungkinan dampak yang
ditimbulkan ada tiga macam, yaitu pertama jika donor dan penerimanya saudara
kembar yang berasal dari satu sel telur, maka hampir tidak menyebabkan reaksi
penolakan pada golongan ini, hasil transplantasinya serupa dengan
autotransplantasi. Kedua, jika donor dan penerimanya saudara kandung atau
salah satunya mempunyai orangtua yang sama, kemungkinan ada reaksi
32
Masjfu‟ Zuhdi. Masail Fiqhiyah. (PT Toko Gunung Agung. Jakarta. 1997), h. 86-87.
19
penolakan akan tetapi skalanya kecil. Ketiga, jika donor dan penerimanya tidak
mempunyai hubungan saudara, kemungkinan besar trasnplantasi akan mengalami
penolakan.33
Adapun penolakan yang terjadi dalam transplantasi dikarenakan adanya
suatu sistem kekebalan tubuh alamiah yang secara otomatis akan menolak benda
asing yang masuk kedalam tubuh manusia. Organ tubuh dari pendonor secara
otomatis akan langsung ditolak oleh sistem imun dari tubuh penerima organ.
Penolakannya dapat berupa penggumpalan darah atau tidak berfungsinya organ
tersebut yang dapat mengakibatkan kematian bagi penerima organ.34
Transplantasi organ adalah salah satu contoh paling ekstrim tentang ilmu
kedokteran berteknologi tinggi (hi-tech medicine). Membutuhkan biaya yang
sangat mahal, bioteknologi maju, dan tim yang besar dan terdiri atas para spesialis
yang sangat terlatih. Transplantasi dilakukan jika pasien sudah mencapai tahap
terakhir dari penyakitnya. Dengan penggantian organ yang sakit, hidupnya dapat
diselamatkan dan mutu hidupnya dapat ditingkatkan. Namun, ia tidak
disembuhkan atau dikembalikan sepenuhnya pada kondisi sebelum ia sakit,
penerima transplantasi biasanya memerlukan pengobatan lanjutan yang tetap dan
teratur selama hidupnya, dengan obat-obat yang canggih dan mahal, yang ada
kalanya juga cukup berbahaya.35
B. Sejarah Metode Transplantasi Organ dalam Pengobatan
Transplantasi jaringan mulai dipikirkan dunia sejak 4000 tahun silam
menurut manuscrip yang ditemukan di Mesir yang memuat uraian mengenai
eksperimen transplantasi jaringan yang pertama kali dilakukan di Mesir sekitar
2000 tahun sebelum diutusnya Nabi Isa AS. Sedangkan di India beberapa puluh
tahun sebelum lahirnya Nabi Isa AS, seorang ahli bedah bangsa Hindu telah
33
Tim Perumusan Komisi Ahkam, Ahkamul Fuqoha: Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam. (Jakarta: PB.NU, 2007), Cet. II, h. 460-461. 34
Mochamad Syaiban, “Transplantasi Organ Tubuh Orang Muslim Kepada Orang Non
muslim Menurut Hukum Islam.” (Skripsi S-1 Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 15-16. 35
Samsi Jacobalis, Pengantar Tentang Perkembangan Ilm Kedokteran, Etika Medis, dan
Bioetika, (Jakarta: Sagung Seto, 2005), h. 253.
20
berhasil memperbaiki hidung seorang tahanan yang cacat akibat siksaan, dengan
cara mentransplantasikan sebagian kulit dan jaringan lemak yang diambil dari
lengannya. Pengalaman inilah yang merangsang Gaspare Tagliacosi, seorang ahli
bedah Itali, pada tahun 1597 M untuk mencoba memperbaiki cacat hidung
seseorang dengan menggunakan kulit milik kawannya.36
Dalam literatur hadits juga dituturkan peristiwa ‟Arfajah, seorang sahabat
Nabi SAW yang kehilangan hidung dalam suatu pertempuran dan diganti dengan
hidung palsu dari perak. Hidung peraknya itu beberapa waktu kemudian
menimbulkan bau yang tidak sedap, sehingga ia meminta nasihat Nabi, lalu beliau
menganjurkan agar mengganti hidung perak itu dengan hidung palsu lain dari
emas.37
Tahun 1863, seorang ahli bedah Perancis, Paul Bert baru dapat
menjelaskan bahwa transplantasi alat dari seseorang kepada orang lain yang
disebut allograft selalu mendapat penolakan secara normal dari resipien.
Sedangkan pemindahan alat dari tubuh manusia yang sama, yang disebut sebagai
autograft tidak mengalami penolakan seperti yang terjadi pada allograft.38
Pada tahun 1902 transplantasi menjadi memungkinkan sebagai metode
pengobatan dalam dunia kedokteran. Alexis Carel, seorang dokter bedah asal
Prancis (28 Juni 1873 M - 1944 M), memperlihatkan penggabungan pembuluh
darah sehingga transplantasi menjadi memungkinkan untuk pertama kalinya.
Operasi penggabungan pembuluh darah tersebut merupakan salah satu teknik
operasi yang ditemukan oleh dokter Alexis Carrel. Langkah maju ini membuka
kemungkinan untuk lebih lanjut melakukan operasi trasplantasi dengan
membiarkan jaringan yang di transplantasikan terhubung dengan suplai darah.
Carrel terus melakukan penelitian terhadap transplantasi organ dan kemudian
menemukan mesin yang dapat menjaga organ tetap hidup di luar tubuh selama
36
Yusuf Qardawi, Fatwa Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h.
759. 37
Abul Fadl Mohsin Ebrahim. Kloning, Eutanasia, Transfusi Darah, Transplantasi
Organ, dan Eksperimen pada Hewan Telaah Fikih dan Bioetika Islam, (Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta, 2004), hlm. 14. 38
Tim Penyusun Naskah IDI Kesehatan dan Kedokteran, Islam untuk Disiplin Ilmu
Kedokteran dan Kesehatan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2002), h. 159.
21
transplantasi berlangsung. Pada tahun 1912 ia mendapatkan Nobel Prize untuk
kedokteran.39
Transplantasi kornea mata pertamakali dilaporkan terjadinya di Oltmuz,
Morvia, bulan Desember 1905. Pada tanggal 7 Desember 1905 dilakukan pertama
kalinya transplantasi kornea mata terhadap pekerja yang buta akibat kecelakaan
setahun sebelumnya. Setelah beberapa jam operasi, pekerja tersebut dapat melihat
kembali untuk seumur hidupnya. Operasi ini membuktikan bahwa transplantasi
dapat berhasil dilakukan. Saat ini lebih dari 2400 transplantasi mata dilakukan
setiap tahunnya. Transplantasi mata merupakan hal unik karena tidak
membutuhkan suplai pembuluh darah untuk tetap hidup (survive) dan kornea mata
dapat didonasikan hingga 24 jam setelah kematian dan dapat dilakukan semua
orang dengan berbagai umur.40
Joseph Murray dan David Hume pada akhirnya berhasil untuk
pertamakalinya dalam praktik transplantasi ginjal di Brigham Hospital, Boston,
Massachussetts. Tehnik kedokteran yang terus berlanjut ini telah berhasil
menyelamatkan lebih dari 400.000 nyawa diseluruh dunia. Joseph Murray dan tim
nya mentransplantasikan ginjal dari Ronald Herrick kepada saudara kembarnya.
Ginjal biasanya didonorkan pada saat pendonor meninggal (in articulo mortis),
akan tetapi 1/3 biasanya pada saat pendonor hidup, dan pendonor ini dapat
melanjutkan kehidupannya hanya dengan satu ginjal. Kemudian Joseph Murray
dan David Hume kembali berhasil melakukan transplantasi ginjal dari mayat
(cadaver) pada tahun 1962. Satu tahun setelah keberhasilan pertamakali
transplantasi ginjal dari mayat, James Hardy berhasil melakukan transplantasi
paru-paru di University of Mississipi Medical Center, Jackson, MS.41
Pada tahun 1967 ada dua keberhasilan praktik transplantasi, yaitu
transplantasi Hati oleh Thomas Starzl di University of Colorado, Denver, dan
39
Patricia Soetjipto, Naskah Akademik Universitas Indonesia FKM, (T.tp, 2010), h. 7. 40
United Kingdom, National Health Service, history of Donation,
http:/www.nhs.uk/Tools/Document/Transplant.html diakses pada tanggal 18 November 2019 41
Patricia Soetjipto, Naskah Akademik Universitas Indonesia, FKM, 2010, (T.tp, 2010) h.
8.
22
yang kedua transplantasi jantung oleh Christian Barnard beserta tim ahli bedahnya
dari Afrika Selatan berhasil melakukan pemindahan jantung dari seorang wanita
bernama Denise Darvall (24 tahun), yang dinyatakan mati otak akibat kecelakaan
kendaraan bermotor, untuk ditransplantasikan pada tubuh orang lain bernama
Louis Washkansky (54 tahun). Washkansky sanggup bertahan hidup selama 18
hari dan kemudian meninggal karena infeksi paru-paru yang mengakibatkan
kurangnya oksigen yang masuk ke dalam jantung barunya itu. Kemudian pada
tanggal 2 Januari 1968, Barnard melakukan transplantasi jantung pada Philip
Blaiberg, yang akhirnya ia bisa kembali menjalani hidup dalam keadaan sehat
seperti sediakala.42
Transplantasi jantung adalah „ratu‟-nya transplantasi organ, paling rumit,
membutuhkan teknologi medis paling maju, tim yang besar dan terdiri atas
berbagai spesialis yang terlatih, paling mahal, namun paling prestius. Seperti yang
telah dibahas bahwa orang pertama yang berhasil melakukan transplantasi Jantung
adalah Christian Barnard pada tahun 1967. Namun, sukses Barnard (atau siapapun
yang melakukan transplantasi jantung) tidak akan terjadi jika sebelumnya tidak
ada John Gibbon dan isterinya yang berdua saja secara gigih selama bertahun-
tahun mengembangkan heart-lung machine.43
Heart-lung machine atau Pump Oksigenator adalah sebuah pompa untuk
mempertahankan sirkulasi selama operasi jantung, mengalihkan darah dari
jantung dan memberikannya oksigen, kemudian memompanya keseluruh tubuh.
Kemudian Alat ini dikembangkan oleh Walter Lillehai dan Jhon Kirklin yang
mengubah mekanisme kerja alat tersebut hingga berhasil dipergunakan tenaga
medis sampai saat ini.44
42
Abul Fadl Mohsin Ebrahim. Kloning, Eutanasia, Transfusi Darah, Transplantasi
Organ, dan Eksperimen pada Hewan, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 15. 43
Samsi Jacobalis, Pengantar Tentang Perkembangan Ilm Kedokteran, Etika Medis, dan
Bioetika, (Jakarta: Sagung Seto, 2005), h. 253-254. 44
Samsi Jacobalis, Pengantar Tentang Perkembangan Ilm Kedokteran, Etika Medis, dan
Bioetika, h. 250.
23
C. Jenis Transplantasi Organ
Transplantasi melibatkan donasi organ dari satu manusia kepada manusia
lain yang menjadikan ribuan orang diseluruh dunia setiap tahunnya terselamatkan
jiwanya. Berikut jenis-jenis Transplantasi Organ:
1. Dari Segi Pemberi Organ (Pendonor)
Jika ditinjau dari sudut pendonor jaringan tubuh, maka transplantasi dapat
dibedakan sebagai berikut:
a. Transplantasi dengan donor hidup
Yaitu donor dari seseorang yang masih hidup sehat dan bersedia untuk
diambil salah satu organ tubuhnya untuk diberikan kepada yang membutuhkan
(resipien). Donor bentuk pertama ini, bagi tim dokter memerlukan seleksi yang
cermat dan general checkup (pemeriksaan kesehatan yang menyeluruh), baik
terhadap donor dan resipien. Hal ini dilakukan untuk keberhasilan proses
transplantasi, yaitu mencegah risiko keselamatan bagi pendonor dan menghindari
kegagalan transplantasi bagi resipien. Sebab data statistik menunjukkan 1 dari
1.000 donor itu meninggal. Dan secara kejiwaan banyak donor yang merasa
khawatir dan ragu karena dengan tindakan yang ia lakukan, misalnya
menyumbangkan sebuah ginjalnya, kesehatannya akan terganggu. 45
b. Transplantasi dengan donor dalam Keadaan Koma
Untuk bentuk kedua ini, pengambilan organ tubuh memerlukan alat
kontrol dan penunjang kehidupan seperti dengan bantuan alat pernapasan khusus.
Kemudian alat-alat penunjang kehidupan itu dicabut setelah selesai proses
pengambilan organ tubuhnya. Untuk mencari indikator seseorang dalam keadaan
koma perlu diketahui kriteria mati secara medis klinis dan yuridis secara jelas dan
tuntas. Apakah ukuran kematian seseorang itu dengan terhentinya denyut jantung
dan pernapasan (sebagaimana rumusan PP. No. 18/1981), ataukah ditandai dengan
berhentinya fungsi otak (sebagaimana rumusan Kongres IDI tahun 1985).46
Penegasan mati secara klinis dan yuridis ini sangat penting bagi dokter sebagai
pegangan dalam menjalankan tugasnya sehingga ia tidak khawatir dituntut
45
Dr. H. Sapiudin Shidiq, M.Ag. Fikih Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2016), h.122. 46
Dr. H. Sapiudin Shidiq, M.Ag. Fikih Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2016), h.124.
24
melakukan pembunuhan berencana oleh keluarga yang bersangkutan sehubungan
dengan praktik pencangkokan itu
c. Transplantasi dengan donor mati atau jenazah
Transplantasi dengan donor mati atau jenazah adalah pemindahan organ
atau jaringan dari tubuh jenazah orang yang baru saja meninggal kepada tubuh
orang lain yang masih hidup. Pengertian donor mati adalah donor dari seseorang
yang baru saja meninggal dan biasanya meninggal karena kecelakaan, serangan
jantung, atau pecahnya pembuluh darah otak. Dalam kasus ini, donasi organ akan
dipertimbangkan setelah usaha penyelematan mengalami kegagalan. Pasien
mungkin meninggal dalam kamar emergensi ataupun dalam kondisi mati batang
otak. Jenis organ yang biasanya didonorkan adalah organ yang tidak memiliki
kemampuan untuk regenerasi misalnya jantung, kornea, ginjal dan pankreas, hati,
jantung dan hati.47
Bentuk donor poin ketiga ini merupakan bentuk donor yang tidak
beresiko, sebab secara medis tinggal menunggu penentuan kapan donor dianggap
meninggal secara medis dan yuridis dan bagian mana dari bagian tubuh si mayat
yang layak untuk ditransplantasi. Berbeda dengan donor hidup, terlepas dari
hukum haram dan halal secara agama, secara perhitungan matematis si donor
yang sudah mati tidak dirugikan, baik secara kejiwaan dalam bentuk kekhawatiran
kesehatan si donor karena berkurangnya salah satu organ tubuhnya.48
Bentuk
ketiga inilah menurut penulis dikatakan sebagai donor yang ideal.
2. Dari Penerima Organ (Resipien)
Sedangkan ditinjau dari sudut penerima organ atau resipien, maka
transplantasi dapat dibedakan menjadi:
a. Autotransplantasi
Yaitu pemindahan organ atau jaringan pada tempat yang lain dari tubuh
orang itu sendiri.49
Seperti seseorang yang mengalami kecelakaan atau suatu
47
Abul Fadl Mohsin Ebrahim. Kloning, Eutanasia, Transfusi Darah, Transplantasi
Organ, dan Eksperimen pada Hewan, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), h.17. 48
Dr. H. Sapiudin Shidiq, M.Ag. Fikih Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 125. 49
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos
Publising House, 1995), cet. 1, hlm.112
25
insiden dengan risiko kontak fisik sehingga menimbulkan kerusakan pada suatu
bagian tubuhnya. Contoh pemain bola yang mengalami cedera patah tulang
dibagian kaki kanan akibat kontak fisik dengan kaki pemain lain dan
mengharuskan tim medis mengambil bagian paha pemain bola tersebut yang
kemudian digunakan untuk menutup luka pasca operasi.
b. Homotransplantasi
Yaitu pemindahan organ tubuh atau jaringan dari tubuh yang satu ketubuh
yang lain.50
Atau dari satu individu ke individu lain yang sama jenisnya.51
Jenis
ini adalah metode trasnplantasi pada umumnya, yaitu pemindahan suatu bagian
organ dari tubuh manusia kepada manusia lain. Seperti seseorang yang memeliki
kelainan pada jantung sehingga membutuhkan donor jantung dari manusia lain
atau dari hewan kepada hewan lainnya.
c. Heterotransplantasi
Yaitu pemindahan organ tubuh atau jaringan dari dua jenis individu yang
berbeda, misalnya dari hewan ke tubuh manusia.52
Misalnya transplantasi dari
organ tubuh hewan babi pada manusia. Babi merupakan hewan berjenis omnivora,
yaitu babi dapat memakan dan meminum apa saja seperti layaknya manusia.53
Selain itu babi juga bisa mengalami aterosklerosis atau penumpukan lemak pada
pembuluh darah, sama seperti halnya manusia, babi juga bisa mengalami reaksi
serangan jantung. Karena kesamaannya inilah para ilmuwan sejak lama
menggunakan babi untuk menguji alat kateter dan metode operasi jantung, dan
babi juga dipakai untuk memahami bagaimana kerja jantung secara umum.54
50
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, h. 112. 51
Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer, (Surabaya: ELKAF, 2006), cet. I, h. 112. 52
Ratma Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, (Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 2001), h. 101. 53
M. Hasbi, “Transplantasi Organ Manusia dengan Organ Tubuh Babi Menurut Hukum
Islam”, Jurnal Online Mahasiswa STAIN, vol 1, h. 5. 54
RZN, Ilmuwan Produksi Organ Manusia di Tubuh Babi. Diakses dari
http://www.dw.com/id/ilmuwan-produksi-organ-manusia-di-tubuh-babi/a-19309011 pada tanggal
03 Agustus 2019.
26
D. Konsep Kompensasi Dalam Hukum Islam
Kompensasi adalah semua pendapatan yang berbentuk uang, barang
langsung atau tidak langsung yang diterima seseorang sebagai imbalan atas jasa
yang diberikan.55
Upah halal jika pekerjaan yang dikerjakan juga halal. Jika
pekerjaannya haram, maka upahnya pun menjadi haram pula. Misalnya, jika
seseorang diupah untuk melakukan pencurian atau pembunuhan, maka upah yang
nanti diterimanya menjadi haram karena pekerjaannya adalah haram. 56
Kompensasi adalah istilah yang menggambarkan suatu bentuk ganti rugi.57
Yang dapat merujuk pada;
1. Ganti Rugi Barang, yaitu suatu bentuk kompensasi yang digunakan dalam
menunjukkan situasi dimana piutang diselesaikan dengan memberikan barang-
barang yang seharga dengan utangnya.
2. Kompensasi (Psikologi), di mana istilah kompensasi juga digunakan dalam
pencarian kepuasan dalam suatu bidang untuk memperoleh keseimbangan dari
kekecewaan dalam bidang lain.
3. Kompensasi (Financial), yang berarti imbalan berupa uang, atau bukan uang
(natura), yang diberikan kepada karyawan dalam perusahaan atau organisasi.58
Jika dikaitkan dengan Kompensasi dalam hal Transplantasi organ, berarti
semua pendapatan yang berbentuk uang, barang langsung atau tidak langsung
yang diterima oleh Pendonor, sebagai imbalan atas organ yang telah diberikan
kepada Resipien. Komersial dalam kegiatan transplantasi organ tubuh tentunya
sangat bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang menjadi fokus tujuan utama
dalam melakukan tindakan transplantasi organ tubuh terutama bagi donor hidup.
Kata komersial menurut kamus bahasa Indonesia online, adalah suatu
kegiatan yang berkaitan dengan perdagangan atau suatu barang yang dimaksudkan
untuk diperdagangkan dan bisa juga bernilai tinggi yang terkadang mengorbankan
55
Hasibuan, H. Malayu S.P, Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Revisi Kedua,
(Yogyakarta: BPFE-UGM, 2002), h. 54. 56
Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam: Prinsip Dasar (Fundamental of
Islamic Economic System), (Jakarta: Kencana, 2016 cet.3), h. 191. 57
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Cet III, h. 1255. 58
https://id.wikipedia.org/ diakses pada tanggal 13 November 2019.
27
nilai-nilai lain termasuk kemanusiaan.59
Oleh karena itu, komersial sendiri
sebenarnya lebih dikenal dalam dunia binis dan perdagangan, akan tetapi menurut
penulis karena komersial berkaitan dengan perdagangan pasti berkaitan dengan
adanya suatu keuntungan. Seperti yang diketahui bahwa fokus perdagangan pada
dasarnya adalah keuntungan yang didapat. Maka dari itu penulis beranggapan
bahwa setiap orang yang menjadi pendonor namun berorientasi mendapatkan
keuntungan pribadi pasca memberikan organ tubuhnya kepada resipien yang
membutuhkan, maka dapat dikatakan juga sebagai tindakan komersil. Selain itu
hal tersebut memenuhi unsur definisi dalam mengabaikan nilai-nilai sosial, yaitu
menghilangkan nilai-nilai keikhlasan dalam memberi.
Dalam Islam, praktik pemberian upah atau kompensasi atas jasa disebut
juga dengan ju‟alah. Secara konsep ju‟alah terlihat lebih sederhana dibanding
dengan muamalah lainnya seperti ijarah (sewa-menyewa), mudharabah (bagi
hasil), dan murabahah (pembiayaan). Namun demikian pada zaman ini konsep
ju‟alah berkembang pesat terutama pada dunia pendidikan dan bisnis.60
Mazhab
Maliki mendefinisikan jua‟lah, berarti imbalan (maj‟ul) yang diberikan oleh pihak
penerima manfaat (ja‟il) untuk pelaksana (maj‟ul lahu) atas suatu pekerjaan dalam
batas waktu yang telah ditentukan ataupun tidak.61
Secara Etimologis, al-ju‟lu berarti upah. Ja‟altu lahu ju‟lan artinya aku
membuat upah untuknya. Ji‟alah juga dapat dibaca Ju‟alah.62
Sedangkan Wahbah
al Zuhaili mendefinisikan ju‟alah adalah apa saja yang dijadikan imbalan bagi
seseorang atas suatu pekerjaan atau apa saja yang diberikan seseorang untuk
melaksanakan suatu pekerjaan tertentu.63
Adapun menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ju‟alah adalah
perjanjian imbalan tertentu dari pihak pertama kepada pihak kedua atas
59
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, Pengertian Komersial (Online),
http://kamusbahasaindonesia.org/komersial/mirip diakses pada tanggal 06 februari 2020. 60
Haryono, “Konsep Al Ju‟alah Dan Model Aplikasinya Dalam Kehidupan Sehari-Hari”,
Al Mashlahah Jurnal Hukum Islam Dan Pranata Sosial Islam, h. 644. 61
Wahbah, Al Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al Fikr, 2004),
h.401. 62
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 313. 63
Wahbah, Al Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al Fikr, 2004), h.
401.
28
pelaksanaan suatu tugas atau pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk
kepentingan pihak pertama.64
Dalam istilah perundang-undangan, hal itu
dinamakan dengan perjanjian yang berimbalan hadiah. Jadi, secara bahasa makna
ju‟alah adalah upah/imbalan atas suatu perjanjian dalam sebuah muamalah.
Sayyid Sabiq mendefinisikan ju‟alah yaitu: كمنيىتزمجبعل اجلعتلةعقدعىامنفعةيظنحصوهلت
Artinya: “Al-Ju‟alah adalah akad atas suatu manfaat yang diperkirakan akan
mendapatkan imbalan sebagaimana yang dijanjikan atas suatu pekerjaan.”65
Jika dikaitkan dengan Transplantasi organ yang akan penulis bahas dalam
penelitian ini maka ju‟alah sama artinya dengan pemberian upah atau imbalan
dari penerima donor (resipien) kepada pemberi donor. Hubungan yang terbangun
antara Dokter, pendonor dan Pasien dalam melakukan transplantasi organ
merupakan suatu hubungan hukum yang saling mengikat, dan melahirkan hak
serta kewaijban bagi kedua belah pihak.66
Apabila transaksi sudah terjadi maka
kedua belah pihak terlibat hak dan kewajiban sebagaimana yang telah disepakati
oleh keduanya.67
Dalam hal ini termasuk kewajiban resipien untuk membayar
biaya yang akan timbul dari proses operasi transplantasi organ, sebagaimana
diatur dalan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 tahun 2016, yang biaya
tersebut nantinya akan dipergunakan untuk mendanai proses operasi dan
memberikan penghargaan kepada pendonor organ.
64
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 314. 65
Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah Muasasah al Risalah Nasyirun, (Beirut, t.p. 2008), h.
235. 66
Bander Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, (Rineka
Cipta, Jakarta, 2005), h. 11. 67
H. Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUHPerdata, (Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2007), h. 45-46.
27
BAB III
PERATURAN MENGENAI TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH
A. Transplantasi Organ Tubuh menurut Peraturan Menteri Kesehatan
nomor 38 tahun 2016
Kesehatan merupakan hak asasi tiap warga negara sebagaimana yang telah
dijamin dalam pasal 28 H ayat (1): Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan.68
Oleh sebab itu maka perlu adanya
Regulasi yang memuat mengenai pemenuhan kesehatan bagi setiap warga negara
tanpa terkecuali untuk mewujudkan kesejahteraan sesuai dengan cita-cita bangsa
Indonesia. Secara historis, regulasi kesehatan di Indonesia, termuat dalam
Undang-Undang Pokok Kesehatan Nomor 9 tahun 1960, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, sebagaimana yang
telah di rubah dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009
tentang Kesehatan.
Seiring berkembangnya waktu, perkembangan teknologi di dunia
kesehatan semakin meningkat. Salah satu teknologi medis yang sangat
berkembang adalah teknologi transplantasi atau yang biasa disebut masyarakat
sebagai transplantasi organ tubuh manusia. Untuk kepentingan transplantasi organ
dan jaringan tubuh manusia umumnya penerima diperoleh dari keluarga dekat.69
Faktor utama tingkat keberhasilan transplantasi adalah adanya donor yang sesuai.
Namun meskipun demikian, transplantasi organ juga menjadi permasalahan
bioetika yang juga cukup pelik, mengingat kebutuhan jaringan tubuh manusia
semakin hari semakin bertambah, sementara persediaan organ terbatas karena
beberapa organ harus diambil dari tubuh mereka yang sudah meninggal maupun
yang masih hidup, padahal tidak setiap keluarga orang yang mendonorkan organ
tubuhnya memberi izin bagi pihak Rumah Sakit ataupun dokter untuk melakukan
68
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28 h. 69
Lintang R, “Aspek Hukum Terhadap Pemanfaatan Organ Tubuh Manusia Untuk
Kelangsungan Hidup”, Lex et Societatis, Vol. I, No. 5, (September, 2013), h. 2.
28
tindakan perpindahan organ tanpa adanya harga yang pantas. Sehingga dengan
adanya kondisi darurat tersebut timbulah suatu permasalahan yaitu adanya
perdagangan organ tubuh manusia yang legal maupun illegal.70
Di Indonesia tidak semua Rumah Sakit bisa melaksanakan transplantasi
sejumlah organ tubuh, dikarenakan terbatasnya sarana kesehatan dan tenaga medis
yang menguasai hal tersebut. Beberapa Rumah Sakit yang pernah melakukan
transplantasi organ tubuh antara lain berlokasi di Jakarta, Surabaya, Malang,
Semarang, dan Yogyakarta. Di kota-kota besar tersebut biasanya terdapat
pendonor yang bersedia memberikan organ tubuh kepada seseorang, namun
sebagian besar pendonor dan penerima donor organ tubuh tersebut masih
memiliki hubungan keluarga,71
hal ini disebabkan karena tidak semua organ tubuh
pendonor tersebut cocok dengan penerima donor, bahkan sebagian operasi
transplantasi organ tubuh gagal hingga menyebabkan penerima donor meninggal
dunia karena adanya penolakan secara otomatis dari tubuh penerima donor,
apabila organ tubuh yang didonorkan tidak cocok dengan tubuh penerima donor.72
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan yang spesifik
mengatur tentang prosedur penyelenggaraan transplantasi organ tubuh manusia,
yaitu Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
Transplantasi Organ. Pada dasarnya Peraturan Menteri tidak disebutkan dalam
ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, akan tetapi Peraturan Menteri keberadaannya
diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang
menegaskan:
70
Gani, R. A. “Perdagangan Organ Tubuh Manusia Dilihat Dari Perspektif Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Menurut Hukum.” (Skripsi S-1 IAIN
Sulthan Thaha Syaifuddin Jambi. 2010), h. 38. 71
Alfrianto, F. “Pemberlakuan Sanksi Pidana Terhadap Perdagangan Ginjal Untuk
Kepentingan Transplantasi.” Lex Crimen, Vol. IV, No. 5, (2015), h. 5. 72
Bayu Purnomo Setyawan dkk, Analisis Yuridis Normatif Terkait Transplantasi Dan
Jual Beli Organ Tubuh Manusia Ditinjau Dari Peraturan Perundang-Undangan, Seminar
Nasional Hasil Penelitian (SNHP)-VII ISBN 978-602-14020-5-4 Lembaga Penelitian Dan
Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas PGRI Semarang, (26 Oktober 2017), h. 23.
29
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,
Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang
setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah
Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau
yang setingkat.”
Walaupun ketentuan di atas tidak menyebut secara tegas jenis peraturan
perundang-undangan berupa “Peraturan Menteri”, namun frase “…peraturan yang
ditetapkan oleh… menteri…” di atas, mencerminkan keberadaan Peraturan
Menteri sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Dengan
demikian, Peraturan Menteri setelah berlakunya UU No. 12/2011 tetap diakui
keberadaannya.73
Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Transplantasi Organ di dalamnya telah diatur mengenai prosedur
yang harus dilakukan oleh pelaku transplantasi organ baik itu Pendonor maupun
Resipien untuk melakukan uji kelayakan dan kecocokan, yang hal ini nantinya
akan di laksanakan oleh Komite Transplantasi Nasional yang dibentuk oleh
Pemerintah. Pengaturan transplantasi organ bertujuan untuk memberikan
perlindungan dan kepastian hukum bagi pendonor, resipien, rumah sakit
penyelenggara transplantasi organ, dan tenaga kesehatan pemberi transplantasi
organ.74
Tenaga medis dalam hal ini merupakan dokter diberikan kewenangan
khusus oleh pemerintah melalui Undang-undang dan Peraturan Pemerintah nomor
18 tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis, serta
73
Bilal Dewansyah, Kedudukan Peraturan Menteri dalam Hierarki Peraturan
Perundang-undangan,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5264d6b08c174/kedudukan-peraturan-
menteri-dalam-hierarki-peraturan-perundang-undangan/ diakses pada tanggal 04 Februari 2020 74
Fauziah Rachmawati, “Kepastian Hukum Transplantasi Organ Yang Mencerminkan
Nilai Kemanusiaan”, Jurnal Hukum Media Bhakti, Vol. III, No.1, (Juni 2019), h. 81.
30
Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh, untuk melaksanakan proses translpantasi,
dimana pengambilan alat dan atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan
translplantasi atau bank mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia
dilakukan dengan persetujuan keluarga terdekat, ini pun atas persetujuan dari
pendonor dan resipien.75
, namun bagi mayat tanpa identitas dan tanpa kehadiran
keluarga terdekatnya dalam kurun waktu 2x24 jam, maka dokter diberikan
kewenangan melalui pasal tersebut untuk mengambil alat dan atau jaringan
tubuhnya.76
Kode etik kedokteran Indonesia apabila dikaitkan dengan transplantasi
organ maka setiap dokter yang ikut serta dalam melakukan transplantasi
organ/menjalankan profesi kedokterannya wajib berpegang teguh pada Kode etik
kedokteran Indonesia. Transplantasi dipandang dari sudut etika harus
dipertimbangkan dari empat prinsip dasar Biomedikal Etik yaitu: Pertama,
Respect for autonomy berarti bahwa mendonorkan organ merupakan perbuatan
mulia. Kedua, Non Malficient berarti bahwa Setiap operasi transplantasi yang
dijalankan selalu mengandung risiko. Ketiga, Benefience berarti bahwa Prinsip
berbuat kebaikan mengandung arti bahwa kita harus berbuat baik kepada orang
lain, terutama apabila tidak mengandung risiko bagi pemberi kebijakan. Keempat,
Justice berarti bahwa prinsip keadilan dalam donasi dan transplantasi organ lebih
relevan terhadap alokasi organ, yang menyangkut kepada perlakuan yang adil,
sama dan sesuai dengan kebutuhan pasien yang tidak terpengaruhi oleh faktor
lain.77
Pada dasarnya dalam transplantasi organ tubuh tidak diperbolehkan
adanya unsur jual beli maupun pemberian kompensasi kepada pendonor organ
tubuh. Menurut Pasal 192 UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, praktik
jual beli organ tubuh termasuk perbuatan tindak pidana, oleh karena itu perlu
diketahui bahwa ancaman hukumannya yaitu pidana penjara paling lama sepuluh
76 Pasal14 Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan
Bedah Mayat Anatomis, serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh 77
Notoatmojo Soekidjo, Etika dan Hukum Kesehatan. (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h.
92-93.
31
tahun, dan denda paling banyak sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah),
sehingga karena hal ini maka jual beli organ dilarang dengan dalih apapun.
Menurut pasal 13 Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 tahun 2016,
Pada dasarnya setiap orang dapat menjadi Pendonor secara sukarela tanpa
meminta imbalan apabila sudah memenuhi semua persyaratan administrastif dan
persyaratan medis yang diperuntukkan bagi calon pendonor. Namun dalam pasal
36 Peraturan ini disebutkan bahwa pendonor berhak untuk memperoleh asuransi
kematian dan penghargaan atas kehilangan penghasilan dari
pekerjaan/pencaharian selama dalam perawatan dan pemulihan kesehatan
pascatransplantasi organ yang besarannya akan ditetapkan oleh Menteri.
Dalam Pasal 38 ayat 1 diatur bahwasanya Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah bertanggungjawab terhadap pendanaan penyelenggaraan
Transplantasi Organ melalui:
1. Anggaran pendapatan dan belanja negara;
2. Anggaran pendapatan dan belanja daerah;
3. Hibah dari Resipien; dan/atau
4. Sumber lain yang tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.78
Pendanaan sebagaimana tersebut diatas ditujukan untuk: Pelaksanaan
tugas Komite Transplantasi Nasional dan perwakilan Komite Transplantasi
Nasional di Provinsi, pemeriksaan awal dan skrining calon Pendonor, selain itu
juga dipergunakan untuk asuransi kematian dan penghargaan bagi Pendonor atas
kehilangan penghasilan dari pekerjaan/pencaharian selama dalam perawatan dan
pemulihan kesehatan dalam hal Resipien tidak mampu. Dalam hal ini berarti
Negara mengatur akan adanya kompensasi yang harus dibayarkan kepada
Pendonor organ setelah dilaksanakannya proses transplantasi organ tubuh, adapun
besar penghargaan bagi Pendonor tersebut diatas nantinya akan ditetapkan oleh
Menteri.
78
Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
Transplantasi Organ Pasal 38 ayat 1
32
B. Transplantasi Organ Tubuh menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Dalam rangka melindungi dan menjaga jiwa, akal dan keturunan yang
merupakan bagian dari tujuan diturunkannya syariat (maqashid as-syari‟ah),
maka dianjurkan untuk menjaga dan memelihara kesehatan. Pelestarian kesehatan
harus menjadi tujuan utama kedokteran yang diemban oleh tabib, dokter dan
semua petugas dan pelayan kesehatan. Sepanjang sejarah peradaban Islam, tugas
utama sistem medis adalah untuk mempertahankan kesehatan ketimbang
menyembuhkan penyakit atau memulihkan kesehatan. Ini sejalan dengan tujuan
hukum Islam yang menyatakan bahwa menjaga kesehatan lebih baik daripada
menanggulangi penyakit. Dengan kata lain tujuan penting ilmu kedokteran adalah
untuk menyelamatkan hidup manusia dan mengurangi penderitaan makhluk
hidup.79
Dalam rangka melindungi dan menjaga jiwa, akal dan keturunan yang
merupakan bagian dari tujuan diturunkannya syariat (maqashid as-syari‟ah)
diatas, maka dianjurkan untuk menjaga dan memelihara kesehatan. Saat ini
ditemukan penyakit yang secara medis pengobatannya dapat dilakukan dengan
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh orang lain yang memiliki kesamaan,
yang hal ini menimbulkan pertanyaan dari para dokter ataupun pasien tentang
status hukumnya dalam Islam, sehingga Majelis Ulama Indonesia (MUI)
dipandang perlu untuk membuat fatwa yang berkaitan dengan transplantasi organ
tubuh.
MUI (Majelis Ulama Indonesia) merupakan sebuah wadah yang di
dalamnya terhimpun para ulama, zu'ama, dan cendekiawan muslim Indonesia.
Berasaskan Islam dan bertujuan mewujudkan masyarakat yang berkualitas (khair
ummah), dan negara yang aman, damai, adil, dan makmur rohaniah dan jasmaniah
79
Nurhayati, “Kesehatan Dan Perobatan Dalam Tradisi Islam: Kajian Kitab Shahih Al-
Bukhârî”, Ahkam, Vol. XVI, No. 2, (Juli 2016), h. 225.
33
yang diridhai Allah SWT. Organisasi ini berdiri pada 17 Rajab 1375 H/26 Juli
1975 M.80
Majelis Ulama Indonesia terbentuk berdasarkan hasil Musyawarah
Nasional I Majelis Ulama Indonesia yang berlangsung pada 21-27 Juli 1975 di
Balai Sidang Jakarta. Tanda berdirinya Majelis Ulama Indonesia tersebut
diabadikan dalam bentuk “Piagam" berdirinya Majelis Ulama Indonesia yang
ditandatangani oleh lima puluh tiga orang ulama yang terdiri dari dua puluh enam
Ketua-Ketua Majelis Ulama Indonesia Daerah Tingkat I, sepuluh orang ulama
unsur organisasi Islam tingkat pusat, yaitu NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam,
PERTI, Al-Washliyah, Mathala‟ul Anwar, GUPPI, FTDI, Dewan Masjid
Indonesia, dan Al-Ittihadiyah, Empat orang ulama dari dinas rohaniah Islam
Angkatan Darat, Udara, Laut dan POLRI, serta tigabelas ulama undangan
perorangan.81
Adapun misinya adalah pertama, menggerakkan kepemimpinan umat
Islam secara efektif dengan menjadikan ulama sebagai panutan (qudwah
hasanah), sehingga mampu mengarahkan dan membina umat Islam dalam
menanamkan dan memupuk akidah Islamiyah, serta menjalankan syariah
Islamiyah; kedua, melaksanakan dakwah Islam, amar ma'ruf nahi munkar dalam
mengembangkan akhlak karimah agar terwujud masyarakat berkualitas (khaira
ummah) dalam berbagai aspek kehidupan; ketiga, mengembangkan ukhuwah
Islamiyah dan kebersamaan dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan umat
Islam dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.82
Selain itu Majelis
Ulama Indonesia juga memiliki tugas guna membantu pemerintahan dalam
melakukan hal-hal yang menyangkut kemaslahatan umat Islam seperti;
1. Memperkuat agama dengan cara yang dijelaskan Pancasila untuk memastikan
ketahanan nasional.
80
Panji Adam, Fatwa-Fatwa Ekonomi Syariah, Konsep, Metodologi, dan
Implementasinya pada Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Amzah, 2018), h. 140. 81
Panji Adam, Fatwa-Fatwa Ekonomi Syariah, Konsep, Metodologi, dan
Implementasinya pada Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Amzah, 2018), h. 141. 82
Panji Adam, Fatwa-Fatwa Ekonomi Syariah, Konsep. Metodologi, dan
Implementasinya pada Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Amzah, 2018), h. 141.
34
2. Partisipasi Ulama dalam pembangunan nasional.
3. Mempertahankan keharmonisan antar umat beragama di Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia bertindak sebagai antarmuka antara pemerintah
Indonesia yang sekuler dengan masyarakat Islam. Perubahan dalam masyarakat
sipil setelah jatuhnya presiden Suharto telah memperluas peran Majelis Ulama
Indonesia dan membuatnya semakin kompleks. Majelis Ulama Indonesia
memberikan fatwa kepada masyarakat Islam guna menentukan arah umum
kehidupan umat Islam di Indonesia. Majelis Ulama Indonesia telah memberikan
pendapat dan mengeluarkan fatwa tentang berbagai masalah yang terjadi di
Indonesia.83
Fatwa yang ditetapkan berdasarkan pada Al-Qur‟an, sunnah, ijma',
dan qiyas. Keempat hal tersebut merupakan sumber dan dalil hukum syara‟ yang
disepakati oleh jumhur ulama. Sedangkan yang lainnya, seperti istihsan, istishab,
istishlah, saddu al-dzariah, dan lain sebagainya diperselisihkan keberadaannya
sebagai dalil hukum.84
Secara ringkas dasar-dasar penetapan fatwa Majelis Ulama Indonesia
adalah sebagai berikut, Pertama, setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar
atas kitabullah dan Sunnah Rasul, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan
umat; kedua, jika tidak terdapat dalam kitabullah dan sunnah Rasul, keputusan
fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma', qiyas yang mu'tabar, dan dalil-
dalil hukum yang lain, seperti istihsan, mashalih mursalah, dan saddu al‟dzariah;
ketiga, sebelum pengambilan keputusan fatwa hendaklah ditinjau pendapat-
pendapat para Imam mazhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil
hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak
yang berbeda pendapat; keempat, pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah
yang akan diambil keputusan fatwanya dipertimbangkan.85
Mengenai praktik transplantasi organ, Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia telah menetapkan Fatwa terbaru yaitu Fatwa Nomor 13 Tahun 2019
83
https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia diakses pada tanggal 2
Desember 2019. 84
Wahbah, Al Zuhaili, Ushul Al-fiqh Al-Islami, (Beirut: Dar al Fikr, 2013), h. 253. 85
Panji Adam, Fatwa-Fatwa Ekonomi Syariah, Konsep. Metodologi, dan
Implementasinya pada Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Amzah, 2018), h. 146.
35
Tentang Transplantasi Organ Dan/Atau Jaringan Tubuh dari Pendonor hidup guna
dijadikan sebagai pedoman bagi masyarakat luas, khususnya bagi para tenaga
medis dan pelaku transplantasi organ tubuh. Adapun lahirnya fatwa ini dilatar
belakangi karena adanya pertanyaan dari masyarakat dan juga dari Kementerian
Kesehatan kepada Lembaga Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang status
hukum transplantasi organ atau jaringan tubuh orang lain yang memiliki
kesamaan.
Majelis Ulama Indonesia menyatakan bahwa pada dasarnya seseorang
tidak boleh memberikan atau menjual organ dan/atau jaringan tubuhnya kepada
orang lain karena tubuhnya tersebut bukanlah merupakan hak milik (haqqul
milki). Sesuai dengan Firman Allah dalam QS. Yunus (10): 66 yang berbunyi;
أالإنلىومنفالسمتلاتلمنفا رض
Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan
semua yang ada di bumi.”
Oleh sebab itu pengambilan dan pemindahan organ tubuh tanpa adanya
alasan yang di benarkan secara syar‟i, Majelis Ulama Indonesia memberikan
pendapat bahwa hukumnya adalah haram.86
Sehingga karena hal ini Majelis
Ulama Indonesia dalam fatwanya menjelaskan secara rinci mengenai alasan-
alasan syar‟i diperbolehkannya praktik transplantasi organ tubuh, yang
diantaranya harus memenuhi hal-hal sebagaimana berikut ini:
1. Apabila Terdapat kebutuhan mendesak yang dibenarkan secara syar‟i
(dharurah syar‟iyyah)
2. Tidak ada dharar dikemudian hari yang akan dialami oleh pendonor akibat dari
pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh baik sebagian ataupun keseluruhan
86
Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 13 Tahun 2019 Tentang Transplantasi Organ
Dan/Atau Jaringan Tubuh Dari Pendonor Hidup Untuk Orang Lain
36
3. Jenis organ tubuh yang dipindahkan kepada orang lain tersebut bukanlah
merupakan organ vital bagi pendonor yang mempengaruhi kehidupan atau
kelangsungan hidupnya dikemudian hari
4. Tidak adanya upaya medis lain untuk menyembuhkan penyakit penerima
donor, kecuali dengan cara transplantasi organ tubuh
5. Bersifat untuk tolong-menolong (tabarru‟), dan tidak adanya unsur komersial
6. Adanya persetujuan dari calon pendonor
7. Adanya rekomendasi dari tenaga kesehatan atau pihak yang memiliki keahlian
untuk jaminan keamanan dan kesehatan dalam proses transplantasi
8. Adanya pendapat dari para ahli tentang dugaan kuat (ghalabati ẕon) akan
keberhasilan operasi trasnplantasi organ tersebut kepada orang lain
9. Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh dilakukan oleh ahli yang
kompeten dan kredibel
10. Proses transplantasi dilakukan oleh Negara.
Dari ketentuan-ketentuan diatas, terdapat satu aturan yang berbunyi bahwa
Transplantasi organ tubuh dimaksudkan untuk tolong-menolong (tabarru‟) dan
tidak untuk tujuan komersial. Ketentuan ini didasarkan pada Firman Allah dalam
QS. Al-Maidah (5): 2:
لالعدلان لت عتلنواعىاالبلالت قوىلالت عتلنواعىااالثArtinya: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Allah SWT memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk
senantiasa tolong-menolong dalam berbuat kebaikan, itulah yang disebut al-birru
(kebajikan), serta serta meninggalkan segala bentuk kemungkaran, dan itulah
dinamakan at-takwa.87
Allah SWT melarang mereka tolong-menolong dalam hal
kebathilan, berbuat dosa dan mengerjakan hal-hal yang haram.
87
M. Abdul Ghoffar, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, (Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi‟I,
2017), cet. Ke-11, h. 10
37
Majelis Ulama Indonesia telah mengatur bahwasanya dalam hal
transplantasi organ tubuh hanya diperbolehkan apabila didasarkan atas asas tolong
menolong dan tidak diperbolehkan adanya unsur jual-beli ataupun pemberian
kompensasi kepada pendonor organ tubuh pasca dilaksanakannya operasi
transplantasi. Hal ini didasarkan karena pada hakikatnya tubuh manusia bukanlah
milik manusia itu sendiri, sehingga tidak patut sebagai bukan pemilik atas tubuh
tersebut meminta imbalan dari diambilnya apa yg bukan miliknya.
C. Transplantasi Organ Tubuh menurut Fatwa Majelis Ulama Mesir Dar
Al-Ifta’ Al-Misriyyah
Lembaga fatwa Mesir merupakan Lembaga fatwa pertama yang didirikan
di dunia Islam. Lembaga ini didirikan pada Tahun 1895 berdasarkan surat
keputusan dari Abbas Hilmi Pasha yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Mesir
sejak tahun 1892 hingga tahun 1914, dan kemudian surat keputusan tersebut
ditujukan kepada Nizharah Haqqaniyyah No.10 tanggal 21 November 1895.88
Lembaga ini merupakan salah satu pilar institusi Islam di Mesir yang ditopang
oleh empat lembaga keagamaan, yaitu Al-Azhar Asy-Syarif, Universitas Al-
Azhar, Kementerian Wakaf dan Lembaga Fatwa Mesir. Lembaga Fatwa Mesir
melaksanakan peranan penting dalam memberikan fatwa kepada masyarakat
umum dan konsultasi kepada lembaga-lembaga peradilan di Mesir.
Pada mulanya, Lembaga Fatwa Mesir merupakan salah satu lembaga di
bawah Departemen Kehakiman, namun seiring dengan berkembangnya zaman,
tugas dan peran Lembaga Fatwa Mesir tidak terbatas pada hal yang berkaitan
dengan kehakiman saja, jangkauannya pun tidak terbatas pada wilayah Mesir saja,
akan tetapi meluas hingga ke dunia Islam secara umum. Hal itu dapat diketahui
melalui daftar fatwa yang dikeluarkan oleh Lembaga Fatwa Mesir sejak didirikan
88
Fatwa Dar al-Ifta‟ al-misriyyah No.3638 tahun 2013 dari http://www.dar-alifta.org/
diakses pada tanggal 8 Desember 2019.
38
hingga saat ini yang juga mencatat pertanyaan-pertanyaan dari berbagai negara
Islam di dunia.89
Sejak berdirinya hingga sekarang lembaga fatwa Mesir telah dipimpin 19
mufti, dimulai dari syekh Hasunah al-Nawawi hingga mufti terkini yaitu Syekh
Syauqi Abdul Karim „Allam.90
Hingga saat ini fatwa-fatwa yang dikeluarkan
Lembaga Fatwa Mesir telah dibukukan dalam 23 jilid dan fatwa yang tertulis
dalam kumpulan itu sendiri mencapai lebih dari seratus ribu fatwa.
Secara global tugas lembaga ini terbagi menjadi dua, yaitu tugas
keagamaan dan juga tugas yang berkaitan dengan Pengadilan. Adapun didalam
tugas keagamaan, terdapat pula beberapa poin tugas lain yang diantaranya;
menerima permohonan dan pertanyaan fatwa serta menjawabnya dengan berbagai
bahasa, menentukan setiap permulaan bulan Hijriyah, mengadakan pelatihan
fatwa kepada mahasiswa asing, mengeluarkan pernyataan resmi berkenaan dengan
masalah keagamaan, menyusun riset-riset ilmiyah, menjawab kesalahpahaman
terhadap Islam serta mengadakan sistem belajar jarak jauh. Adapun tugas lembaga
fatwa Mesir yang berkaitan dengan pengadilan berupa pemberian keputusan
menurut syara‟ terhadap vonis mati terhadap terdakwa. Dalam hal ini Mufti agung
Mesir memeriksa seluruh berkas yang ada (bukti-bukti dari awal hingga akhir)
serta mencari dalil dalam agama dan pendapat para ulama terhadap kasus tersebut
yang pada nantinya akan dikembalikan kepada pihak kehakiman dalam
pembacaan vonis terakhir.91
Fatwa yang dikeluarkan oleh Ulama Lembaga Fatwa Mesir berbeda
dengan model fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia, karena
fatwa yang dikeluarkan oleh Lembaga Fatwa Mesir merupakan fatwa yang
dikeluarkan oleh seorang mufti atas pertanyaan dari seorang mustafti (peminta
89
https://sainspsychology.wordpress.com diakses pada tanggal 13 Januari 2020 90
Majelis Ulama Indonesia Lampung http://Majelis Ulama Indonesia-
lampung.or.id/2016/08/12/sejarah-perkembangan-lembaga-fatwa-mesir-dar-al-ifta/ diakses 9
December 2019 91
Faza Abdurobbih, Lembaga Fatwa Mesir dari Masa ke Masa,
https://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2013/03/26/36/lembaga-fatwa-mesir-dari-masa-
ke-masa.html diakses pada tanggal 29 Januari 2020.
39
fatwa).92
Seperti pendapat dari Ali Goma Mohammed dalam fatwa No.3638 tahun
2003 terkait pertanyaan mustafti tentang Transplantasi Organ tubuh menurut
hukum Islam. Dalam jawaban fatwa ini, telah diuraikan secara rinci dalil dalam
Alquran dan sunnah mengenai kebolehan Transplantasi organ tubuh dan hal-hal
yang diperbolehkan serta dilarang dalam praktek transplantasi tersebut.
Islam berupaya melindungi kehidupan manusia dan melindunginya dari
bahaya yang akan timbul dikemudian hari. Karena alasan ini, hukum Islam
memerintahkan manusia untuk melakukan semua tindakan untuk melindungi
tubuh, kehidupan, dan kesehatannya, memerintahkannya untuk menghindari
larangan dan apa pun yang menimbulkan korupsi dan kerusakan. Selain itu,
hukum Islam mendesak manusia untuk mencari perawatan medis melalui semua
cara yang memungkinkan93
Transplantasi organ, baik dari donor hidup maupun dari donor mati yang
kematiannya telah ditetapkan secara medis adalah salah satu cara pengobatan
yang telah dibuktikan efektifitasnya dalam menyelamatkan hidup seseorang
dengan kehendak Allah. Organ manusia tidak tunduk pada transaksi komersial
dan tidak boleh melibatkan imbalan finansial apa pun kepada donor.
Seperti halnya diperbolehkan untuk transplantasi organ dari orang yang
hidup kepada orang lain yang membutuhkan organ tersebut guna
menyelamatkannya dari bahaya tertentu, saat ini atau di masa yang akan datang
diperbolehkan pula untuk mentransplantasikan organ dari orang yang sudah
meninggal dunia, dengan tujuan yang sama yaitu untuk mencapai manfaat yang
diperlukan akibat dari transplantasi tersebut.
ة لاليدلنف كتنب خصت دلرى حتءةمآألت والي ؤثرلنعىاأن فسه للو
92
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, Ichtiar Baru, 2006) hlm. 65 93
Fatwa Darul Ifta al-Misriyyah No.3638 tahun 2013 dari https://www.dar-alifta.org/
diakses pada tanggal 29 Desember 2019.
40
Artinya: “Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa
yang diberikan mereka (muhajirin), dan mereka mengutamakan (muhajirin) atas
dirinya sendiri”. (QS. Al-Hasyr (59): 9).
Bagi transplantasi organ tubuh yang berasal dari orang yang telah
meninggal dunia, kehormatannya tidak dilanggar hanya karena diambilnya salah
satu organ tubuh setelah kematiannya tersebut, yang bertujuan untuk
menyelamatkan hidup orang lain, hal ini dikarenakan kepentingan orang yang
hidup lebih diutamakan daripada orang yang sudah meninggal dunia, karena
orang yang hidup masih memiliki waktu untuk melanjutkan kehidupannya di
Bumi dengan mematuhi hukum Allah dan menjalankan syariat agama-Nya.94
Pendapat as-Syirazi dalam kitab al-Muhadzzab hal. 296, menyebutkan:
لإنمتتتامرأةلفءوفهتءنيحيشقءوفهتالنواتبقت حيبتتالفءز من
امل تفتشبوإذااضطرالأكلءز منامل ت
Artinya: “Jika seorang perempuan hamil meninggal dan di perutnya ada janin
hidup, maka perut mayat perempuan tersebut harus dibedah karena untuk
menyelamatkan janin tersebut agar tetap hidup dengan merusak bagian dari
mayat. Kasus ini (hukumnya) sama dengan jika keadaan dharurah memakan
bagian dari bangkai.
Transplantasi mayat tidak melanggar kesucian orang mati, melainkan
resipien memberi hadiah besar kepada pendonor yang telah meninggal tersebut
karena dianggap sebagai amal yang mengalir terus-menerus, dimana hal ini sama
artinya dengan ia mendapatkan hadiah sepanjang periode hidup si penerima
manfaat dari organ yang ditransplantasikan tersebut, hal ini terjadi sama seperti
halnya transplantasi donor hidup. Transplantasi dari orang yang meninggal
94
Fatwa Dar al-Ifta al-Misriyyah No.3638 tahun 2013 diakses dari https://www.dar-
alifta.org/ pada tanggal 29 Desember 2019
41
dilakukan melalui operasi dengan prosedur yang menjaga kehormatan tubuhnya
dan tidak melibatkan segala bentuk pelecehan kepada dirinya.
Transplantasi organ menurut Hukum Islam yang dikutip oleh Darul Ifta
al-Misriyyah baik itu berasal dari donor yang hidup atau mayat diizinkan apabila
dalam kondisi berikut:
1. Transplantasi organ tubuh tidak harus melibatkan kerusakan kepada kehidupan
manusia yang telah Allah berikan kehormatan. Karena tubuh manusia bukanlah
subjek transaksi komersial. Hal ini disebabkan karena apa yang ada didalam
tubuh manusia hakikatnya bukanlah merupakan milik manusia itu sendiri,
melainkan titipan dari Allah SWT yang sudah sepatutnya dijaga.
2. Transplantasi organ tubuh harus bertujuan untuk saling membantu dalam
kebenaran, keshalehan dan juga guna mengurangi rasa sakit bagi penerima
organ tubuh.
3. Transplantasi organ tubuh diperbolehkan apabila tidak adanya cara pengobatan
alternatif lain yang dapat menyelamatkan nyawa pasien. Dimana cara ini
merupakan satu-satunya solusi bagi penyembuhan organ tubuh tersebut karena
penyembuhan atau pengobatan dengan prosedur medis biasa tidak ada harapan
kesembuhannya.95
4. Transplantasi organ tubuh harus mendapatkan rekomendasi dari Dokter yang
berkualifikasi, bahwa akan adanya manfaat tertentu dari transplantasi organ
tersebut dan tidak menimbulkan bahaya kesehatan bagi pendonor dikemudian
hari, selain itu dapat mempertahankan fungsi organ tersebut pasca
transplantasi.
5. Transplantasi organ tubuh tidak diperbolehkan apabila melibatkan perdagangan
organ. Hal ini sejalan dengan Fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama
Indonesia dan juga Peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan
Republik Indonesia.
95
Haswir, “Hukum Mendonorkan dan Mentransplantasikan Anggota Tubuh Dalam Islam,
“Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman”, Vol. 10, No. 2, (Juli Desember 2011), h. 276.
42
6. Transplantasi organ tubuh tidak diperbolehkan melibatkan kompensasi apa pun
baik secara finansial atau yang lainnya kepada pendonor jika ia masih hidup
atau ahli warisnya jika ia sudah mati.96
Artinya jika praktik pemberian organ
tubuh itu disertai transaksi di kemudian hari, maka hukumnya menjadi haram.
Sehubungan dengan hal di atas, transplantasi organ dikategorikan sebagai
manfaat menyelamatkan nyawa. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Maidah
(5): 32 yang berbunyi;
تأح تالنتسج عت)املت دة/٥:٢٣( لمنأح تىتفكأن
Artinya: “Dan barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.”
Ulama Mesir yang tergabung dalam Dar al-Ifta al-Misriyyah mengatur
tentang prosedur dan syarat-syarat yang wajib dipenuhi dalam pelaksanaan
transplantasi organ tubuh manusia agar transplantsi organ tubuh yang akan
dilakukan menjadi halal hukumnya, yaitu sebagai berikut:
1. Adanya suatu kebutuhan yang luar biasa, transplantasi organ dari donor yang
hidup diizinkan ketika seorang pasien mengalami penurunan kesehatan
progresif dan dokter yang berkualifikasi menentukan bahwa transplantasi organ
yang sehat adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkannya dari bahaya
tertentu. Organ yang ditransplantasikan harus berasal dari kerabat tingkat
pertama atau kedua. Jika ini tidak memungkinkan, maka diperbolehkan untuk
transplantasi organ dari kerabat tingkat ketiga atau keempat. Pendonor harus
menyetujui transplantasi, dewasa, waras dan membuat keputusan atas
kehendaknya sendiri.
2. Adanya manfaat bagi penerima/resipen, Secara medis, prosedur harus
melibatkan manfaat yang dirasakan bagi penerima dan mencegah bahaya
96
Fatwa Darul Ifta al-Misriyyah No.3638 tahun 2013 diakses dari https://www.dar-
alifta.org/ pada tanggal 29 Desember 2019
43
tertentu yang mungkin terjadi jika organ yang rusak tidak diganti. Selain itu,
tidak boleh ada alternatif lain untuk menyelamatkan pasien dari bahaya atau
kematian melalui transplantasi organ.
3. Kesehatan pendonor lebih diutamakan, tidak boleh ada kerugian tertentu serta
tidak boleh membahayakan integritas ekonomi dan moral bagi pendonor.
Ditetapkan dalam fiqh bahwa ketika kehidupan seorang ibu hamil dan janinnya
dalam bahaya, kehidupan ibu diutamakan. Ini karena kehidupan ibu pasti
sementara tidak yakin apakah janin akan hidup saat melahirkan; Oleh karena
itu, kepastian lebih diutamakan daripada ketidakpastian.
4. Prosedur harus bebas dari kompensasi, finansial atau lainnya, baik langsung
ataupun melalui perantara. Donor organ tubuh diperbolehkan asalkan pendonor
melakukan dengan niat kemanusiaan. Tidak boleh karena motivasi komersil.
Sehingga harus ikhlas karena Allah.
5. adanya Komite medis khusus yang terdiri tidak kurang dari tiga orang dokter
yang dapat dipercaya, dan tidak mudah tergiur untuk mendapatkan keuntungan
dari prosedur ini, untuk kemudian harus mengeluarkan dokumen tertulis dari
ketentuan di atas dan memberikannya kepada pendonor dan resipien sebelum
dilaksanakannya praktik transplantasi.
6. Organ yang ditransplantasikan tidak boleh dengan cara apapun menyebabkan
kebingungan garis keturunan. Dalam hal ini dilarang untuk
mentransplantasikan organ seperti organ reproduksi. Larangan ini berlaku bagi
pendonor hidup maupun pendonor mati.
Praktik Transplantasi Organ tubuh adalah hal yang sangat rumit, mulai
dari aspek hukum, etika, serta dari segi pelaksanaannya pun membutuhkan kajian
dan penelitian yang lebih mendalam. Oleh karena itu Lembaga Fatwa Mesir Darul
Ifta al-Misriyyah mengeluarkan Fatwa tentang Transplantasi organ yang pada
intinya memperbolehkan praktik transplantasi organ tubuh manusia, namun
disertai dengan syarat-syarat dan prosedur yang harus dipenuhi sebelum
melaksanakan praktik transplantasi organ tubuh manusia.
45
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN MENGENAI PEMBERIAN
KOMPENSASI KEPADA PENDONOR ORGAN TUBUH
A. DITINJAU DARI SEGI MUATAN
Pada dasarnya hukum memperjual belikan organ tubuh merupakan suatu
tindakan yang dilarang baik menurut aturan hukum positif ataupun menurut
norma kesusilaan yang berlaku, dalam Undang- Undang nomor 36 tahun 2009
tentang Kesehatan telah diatur bahwasanya transplantasi organ dan atau jaringan
tubuh dilakukan hanya untuk tujuan kemanusian dan dilarang dikomersialkan.97
Sedangkan pengertian kompensasi yang akan dibahas lebih lanjut dalam
pembahasan ini adalah semua pendapatan yang berbentuk uang, barang langsung
atau tidak langsung yang diterima seseorang sebagai imbalan atas jasa yang
diberikan.98
Berkaitan dengan transplantasi organ tubuh, kompensasi dapat
diartikan sebagai semua pendapatan yang berbentuk uang, barang langsung atau
tidak langsung yang diterima oleh Pendonor, sebagai imbalan atas organ yang
telah diberikan kepada Resipien. Sedangkan kata komersial menurut kamus
bahasa indonesia online, berarti suatu kegiatan yang berkaitan dengan
perdagangan atas suatu barang yang dimaksudkan untuk diperdagangkan dan bisa
juga bernilai niaga tinggi yang terkadang mengorbankan nilai-nilai lain termasuk
kemanusiaan.99
Oleh karena itu komersial sendiri sebenarnya lebih dikenal dalam dunia
binis dan perdagangan, akan tetapi menurut penulis karena komersial berkaitan
dengan perdagangan pasti berkaitan dengan adanya suatu keuntungan. Seperti
yang diketahui bahwa fokus perdagangan pada dasarnya adalah keuntungan yang
didapat. Oleh sebab itu adanya regulasi transplantasi organ bertujuan untuk
memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pendonor, resipien, rumah
97
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 98
Hasibuan, H. Malayu S.P, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: BPFE-
UGM, 2002), Ed. Revisi Kedua, h. 54. 99
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, Pengertian Komersial (Online),
http://kamusbahasaindonesia.org/komersial/mirip diakses pada tanggal 06 februari 2020
46
sakit penyelenggara transplantasi organ, dan tenaga kesehatan pemberi pelayanan
transplantasi organ.100
1. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 38
tahun 3016 tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ
Sejak dari masa kelahiran hingga kematian, manusia sebagai individu
secara otomatis memiliki hak atas tubuhnya secara absolut. Konsep kesatuan
kepemilikan tubuh ini semakin mendapatkan dukungan ketika pengakuan atas
pentingnya hak asasi manusia di deklarasikan melalui Deklarasi Hak Asasi
Manusia (Universal Declaration of Human Rights) di tahun 1958. Hak atas tubuh
dianggap berada dalam ruang lingkup pengakuan hak asasi manusia sebagai
individu juga sebagai bagian dari masyarakat.101
Tindakan transplantasi organ tubuh dari pendonor kepada penerima donor
yang membutuhkan donor organ tersebut, di satu sisi memang sangat
menguntungkan bagi penerima donor (recipient) karena akan mendapatkan organ
baru, dikarenakan organ yang lama dalam kondisi rusak sehingga tidak berfungsi
dengan baik akan diganti dengan proses transplantasi organ. Akan tetapi bagi
pendonor secara fisik ia akan mengalami gangguan sebagai akibat berkurangnya
satu organ yang disumbangkannya. Jika pada awalnya, pendonor memiliki dua
organ yang sehat saat ini ia hanya memiliki satu organ saja untuk menjalani
kehidupannya. Sangat berbeda dengan tubuh penerima donor yang semula hanya
memiliki satu organ (karena organ lainnya rusak) setelah mendapatkan
transplantasi ia memiliki organ yang lengkap. Berangkat dari kondisi inilah
pemahaman secara mendasar tentang hak pasien (pendonor) sangat penting,
terutama di dalam hal hak atas tubuhnya.102
100
Fauziah Rachmawati, “Kepastian HukumTransplantasi Organ yang Mencerminkan
Nilai Kemanusiaan”, Jurnal Hukum Media Bhakti, Vol. 3, No.1, (Juni 2019), h. 84. 101
Hwian Christianto, “Konsep Hak Seseorang Atas Tubuh Dalam Transplantasi Organ
Berdasarkan Nilai Kemanusiaan”, Mimbar Hukum, Vol. 23, No.1, (Februari 2011), h.1. 102
Hwian Christianto, “Konsep Hak Seseorang Atas Tubuh Dalam Transplantasi Organ
Berdasarkan Nilai Kemanusiaan”, Mimbar Hukum, Vol. 23, No.1, (Februari 2011), h. 3.
47
Didalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Transplantasi Organ Tubuh telah disebutkan bahwasanya tidak
diperbolehkan mengenai adanya unsur jual beli dan/atau unsur komersial dalam
proses transplantasi organ tubuh, sehingga proses transplantasi organ tubuh
dipastikan harus terbebas dari unsur pemberian imbalan bagi pendonor organ
tubuh tersebut, akan tetapi pada pasal lain ddidalam peraturan ini ditetapkan pula
bahwasanya Menteri mengatur mengenai pemberian asuransi kematian dan
penghargaan atas kehilangan penghasilan dari pekerjaan/pencaharian pendonor
selama berada dalam perawatan dan pemulihan kesehatan pasca transplantasi
organ,103
dimana hal ini menurut penulis dapat dikategorikan sebagai pemberian
kompensasi.
Oleh karena itu aturan ini memuat arti yang multitafsir, yaitu antara pasal
yang mengatur tentang pelarangan unsur jual beli dan/atau komersial, dengan
pasal mengenai pemberian asuransi dan penghargaan atas kehilangan penghasilan
dari pekerjaan ataupun pencaharian selama pendonor dalam masa perawatan dan
pemulihan kesehatan pasca transplantasi organ tubuh. Yang kemudian hal ini bisa
saja menjadi landasan bagi oknum yang akan mendonorkan organnya dengan
niatan untuk mengambil manfaat dari transplantasi organ yang dilakukannya agar
mendapatkan asuransi yang telah dijanjikan sesuai dengan aturan dalam Peraturan
Menteri Kesehatan tersebut.
Pada dasarnya tujuan dari larang penjualan terhadap organ tubuh manusia
tidak lain adalah dalam rangka perlindungan terhadap manusia itu sendiri
sehingga tidak dengan mudah memperjualbelikan organ tubuhnya demi
mendapatkan uang semata-mata.104
Sehingga oleh sebab itu praktik transplantasi
organ tubuh harus diawasi dengan baik oleh institusi pemerintahan yang
berwenang dalam hal ini. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 38 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ
103
Pasal 36 ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Transplantasi Organ Tubuh. 104
Ruslan Abdul Gani, Yudi Armansyah, “Penegakan Hukum Kasus Jual Beli Organ
Tubuh di Indonesia: Model Integratif dengan Pendekatan Hukum Islam dan UU Kesehatan”,
Fenomena, Vol. 8, No 2, (2016).
48
Tubuh, Pihak yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pengecekan syarat
administrasi bagi pendonor dan resipien adalah Komite Transplantasi Nasional.
Komite Transplantasi Nasional ialah komite yang didirikan oleh Menteri, dengan
anggota yang terdiri dari unsur tokoh agama/masyarakat, profesi kedokteran
terkait, psikolog/psikiater, ahli etik kedokteran/hukum, pekerja sosial, dan
Kementerian Kesehatan.105
Komite Transplantasi Organ tubuh berwenang untuk mengeluarkan surat
keterangan bahwa dalam pendonoran organ tidak ditemukan adanya indikasi jual
beli. Hal tersebut tercantum pada Pasal 32 Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 38 Tahun 2016 yang berbunyi sebagai berikut; “Berdasarkan
pemeriksaan awal dan skrining, verifikasi dokumen, penelusuran latar belakang
Pendonor, dan verifikasi lapangan, Komite Transplantasi Nasional mengeluarkan
surat keterangan kelayakan pasangan Resipien-Pendonor dan tidak ditemukan
indikasi jual beli dan/atau komersial”. Akan tetapi Komite Transplantasi
Nasional yang disebutkan didalam Peraturan Menteri Kesehatan tersebut masih
belum terbentuk hingga saat ini, sehingga setiap Rumah Sakit masih independen
dalam melihat niat pendonor.106
Dalam pasal 36 ayat 1 butir c dan e Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
38 tahun 2016 tentang Penyelenggaran Transplantasi Organ Tubuh diatur bahwa
asuransi kesehatan dan asuransi kematian yang diperuntukkan kepada pendonor
sebagai penghargaan atas kehilangan pekerjaan atau pencaharian pendonor pasca
transplantasi organ, besarannya akan ditetapkan oleh Menteri atas usulan dari
Rumah Sakit penyelenggara Transplantasi Organ sebagaimana dimaksud pada
pasal 39 ayat (2) huruf d Peraturan Menteri Kesehatan, yaitu paling sedikit
sebesar iuran Jaminan Kesehatan Nasional dengan manfaat kelas I.107
Dan dengan
105
Pasal 4 ayat 2 Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Transplantasi Organ Tubuh. 106
Pasal 32 Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
Transplantasi Organ Tubuh. 107
Pasal 38 ayat 5 Peraturan Menteri Kesehatan nomor 38 tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Transplantasi Organ Tubuh
49
memperhatikan jangka waktu pemberian asuransi kesehatan tersebut ialah paling
sedikit 5 (lima) tahun.
Dilihat dari aturan pemberian kompensasi tersebut, Menteri Kesehatan
seolah berupaya untuk mengakomodir aspek kemanusiaan bagi pendonor dan
resipien, sehingga dalam melakukan transplantasi organ tubuh, kedua belah pihak
dapat diuntungkan, dimana dalam hal ini resipien mendapatkan donor organ yang
sesuai dengan yang dibutuhkan, dan pendonor juga memperoleh hak asuransi
kesehatan secara jelas, hal ini dikarenakan hukum diciptakan bukan hanya untuk
kepastian, melainkan juga untuk kebahagiaan dan kesejahteraan dengan
memperhatikan nilai kemanusiaan, dimana hak setiap orang diakui dan dilindungi
tanpa mengabaikan hak orang yang lain.108
Oleh karena itu transplantasi organ tubuh di Indonesia menyebabkan
pendonor akan menerima kompensasi berupa penghargaan atas kehilangan
pekerjaan, asuransi kesehatan dan juga asuransi kematian bagi ahli warisnya
apabila ternyata pendonor tersebut meninggal dunia dikemudian hari.
2. Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Tranplantasi Organ
Dan/Atau Jaringan Tubuh Manusia
Kajian yang membahas tentang praktek transplantasi jaringan maupun
organ dalam khazanah intelektual dan keilmuan fikih Islam klasik relatif jarang
dan hampir tidak pernah dibahas oleh fukaha secara mendetail dan jelas, hal ini
mungkin disebabkan karena faktor barunya masalah ini serta dimensi transplantasi
yang bersifat kompleks. 109
Oleh karena itu tidak heran jika hasil ijtihad dan
penjelasan tentang masalah ini banyak berasal dari pemikiran para ahli fikih
kontemporer, keputusan lembaga dan institusi Islam serta simposium nasional
maupun internasional.
108
Fauziah Rahmawati, “Kepastian Hukum Transplantasi Organ Yang Mencerminkan
Nilai Kemanusiaan”, Jurnal Hukum Media Bhakti, Vol. 3, No.1, (Juni 2019), h. 7. 109
Haswir, “Hukum Mendonorkan dan Mentransplantasikan Anggota Tubuh dalam
Islam”, Al-Fikra, Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No.2 (Juli Desember 2011).
50
Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan Fatwa yang berkaitan
dengan transplantasi organ tubuh yaitu Fatwa Nomor 12 Tahun 2019 Tentang
Transplantasi Organ Dan/Atau Jaringan Tubuh Dari Pendonor Mati, dan juga
Fatwa Nomor 13 Tahun 2019 Tentang Transplantasi Organ Dan/Atau Jaringan
Tubuh Dari Pendonor Hidup. Dimana dalam kedua fatwa ini menyatakan bahwa
praktik transplantasi organ tubuh manusia hukumnya adalah diperbolehkan,
namun dengan beberapa syarat dan ketentuan yang harus terpenuhi.
Dalam konteks penetapan fatwa-fatwa MUI terkait organ tubuh jelas
penggunaan metode qiyas menjadi acuan. Dalam hal ini menyamakan suatu
masalah yang tidak terdapat ketentuannya secara eksplisit di dalam nash, namun
ada persamaan illat (motif hukum) antara keduanya. Pengukuran dan penyamaan
tersebut terlepas dari hal-hal yang konkrit, benda-benda yang dapat dipegang,
diukur, maupun yang abstrak. Namun, persoalan organ tubuh tentunya masuk ke
dalam benda-benda yang konkrit.110
Dari beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia
mengenai tranplantasi organ tubuh, terdapat satu syarat yang mengatur bahwa
transplantasi organ tubuh harus didasarkan pada asas tolong-menolong (tabarru‟)
tidak untuk tujuan komersial, sehingga karena hal ini pendonor tidak
diperbolehkan untuk menjual organ dan/atau jaringan tubuhnya kepada orang lain
dengan tujuan mendapatkan keuntungan, dikarenakan pada hakikatnya, semua
yang wujud termasuk tubuh adalah milik Allah secara mutlak. Kita hanya diberi
hak untuk memanfaatkanya (haqq al-manfa‟ah).111
Hal ini berdasarkan Q.s.
Yunus: (10): 6:
اآلانلىومنفالسمتلاتلمنفاالرض
110
Ruslan Abdul Gani, Yudi Armansyah, “Penegakan Hukum Kasus Jual Beli Organ
Tubuh di Indonesia: Model Integratif dengan Pendekatan Hukum Islam dan UU Kesehatan”,
Fenomena, Vol. 8, No 2, (2016), h.173. 111
Haswir, “Hukum Mendonorkan dan Mentransplantasikan Anggota Tubuh dalam
Islam”, Al-Fikra, Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No.2 (Juli Desember 2011).
51
Artinya: “Ingatlah, kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang
ada di bumi”.
Dan juga ayat yang didalamnya terdapat anjuran bagi manusia untuk
saling tolong menolong kepada sesama, sehingga transplantasi organ tubuh harus
dilandaskan pada asas tolong menolong yang menyebabkan tidak diperbolehkan
adanya jual beli dalam tranpslantasi organ tubuh, sesuai dengan QS. Al-Maidah
(5): 2:
لالعدلان لت عتلن واعىاالبلالت قوىلالت عتلن واعىااإلث
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.
Untuk itu, pengambilan dan transplantasi organ tubuh manusia tanpa
adanya alasan yang dibenarkan secara syar‟i hukumnya adalah haram. Salah satu
alasaan syar‟i yang akan penulis garisbawahi ialah transplantasi organ tubuh
manusia yang bertujuan untuk tolong-menolong (tabarru‟), tidak untuk tujuan
komersial, yang artinya tidak bertujuan untuk diperjualbelikan dan mencari
keuntungan di dalamnya. Namun Majelis Ulama Indonesia tidak membahas lebih
lanjut aturan mengenai pemberian kompensasi kepada pendonor, dan hanya
sebatas melarang adanya unsur komersial dalam praktik transplantasi organ tubuh.
Majelis Ulama Indonesia tidak menjelaskan secara rinci mengenai
kompensasi dalam pelaksaan transplantasi organ tubuh manusia, dalam fatwa
Majelis Ulama Indonesia hanya mengatur sebatas kebolehan melakukan
transplantasi organ setelah memenuhi ketentuan-ketentuan syar‟i yang telah
ditetapkan didalam fatwa ini, yang salah satunya adalah syarat mengenai praktik
transplantasi organ tubuh manusia dengan berlandaskan sifat tolong-menolong
(tabarru‟), tidak untuk tujuan komersialisasi.
Selain itu pada fatwa ini juga tidak diatur secara eksplisit mengenai alur
pembiayaan dalam proses transplantasi organ tubuh, baik itu asal muasal dana
yang akan dipergunakan untuk mendanai proses operasi, maupun pendanaan
52
untuk perawatan kesehatan bagi pendonor dikemudian hari. Sehingga oleh karena
itu didalam fatwa ini tidak terdapat aturan khusus yang membahas mengenai
bentuk kompensasi yang diterima pendonor, mengingat Fatwa Majelis Ulama
Indonesia sudah secara jelas mengatur mengenai pelarangan tujuan komersialisasi
pada praktik transplantasi organ tubuh manusia.
Majelis Ulama Indonesia didalam fatwanya telah mengutip Firman Allah
dalam Q.S. Al-Maidah (5): 32 sebagai rujukan pertimbangan hukumnya, yaitu;
تاح تىتلمن عتأح تالنتسفكتن ج
Artinya: “Dan barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.”
Ayat tersebut menjelaskan barang siapa membunuh sesorang tanpa sebab,
seperti qishas atau karena berbuat kerusakan di muka bumi, dan dia menghalalkan
pembunuhan tersebut tanpa sebab dan tanpa kejahatan, seakan-akan ia telah
membunuh manusia seluruhnya, karena bagi Allah tidak ada bedanya antara satu
jiwa dengan jiwa yang lainnya. Dan barang siapa memelihara kehidupan, maka
selamatlah seluruh umat manusia.112
3. Menurut Lembaga Fatwa Mesir Darul Ifta al-Mishriyyah
Fatwa yang dikeluarkan oleh Ulama Lembaga Fatwa Mesir berbeda
dengan model fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia, karena
fatwa yang dikeluarkan oleh Lembaga Fatwa Mesir merupakan fatwa yang
dikeluarkan oleh seorang mufti atas pertanyaan dari seorang mustafti (peminta
fatwa).113
Terkait dengan transplantasi organ tubuh, Ali Goma Muhammed yaitu
seorang mufti pada Lembaga Daar al ifta al Mishriyyah menegaskan bahwa
praktik transplantasi organ tubuh merupakan suatu hal yang diperbolehkan,
112
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh. Penerjemah M.
Abdul Ghofar. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3. Cet. 11. Pustaka Imam Syafi‟I, 2017, h. 92. 113
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru, 2006), h. 65.
53
apabila tidak diketemukan cara pengobatan alternatif lain untuk menyelamatkan
nyawa pasien, selain itu transplantasi organ tubuh tidak akan menimbulkan
bahaya bagi kesehatan pendonor dikemudian hari setelah dilakukannya operasi
transplantasi organ tubuh.114
Berkaitan dengan pemberian kompensasi dalam transplantasi organ tubuh
manusia, Mufti pada Lembaga Darul Ifta Al Misriyyah menyatakan bahwa
Transplantasi tidak harus melibatkan perdagangan organ serta Tidak boleh
melibatkan kompensasi apa pun baik itu secara finansial ataupun yang lainnya
kepada pendonor jika ia masih hidup maupun kepada ahli warisnya jika ia sudah
mati. Hal ini didasarkan pada Q.s. Al-Hasyr: (59): 9:
ة كتنب خصت دلرى حتءةمآألت والي ؤثرلنعىاأن فسه للو لاليدلنف
Artinya: “Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa
yang diberikan mereka (muhajirin), dan mereka mengutamakan (muhajirin) atas
dirinya sendiri”. (QS. Al-Hasyr: 9).
Sehingga oleh karena itu, Fatwa Darul Ifta al Misriyyah sejalan dengan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia, yaitu memperbolehkan praktik transplantasi
organ tubuh dengan memperhatikan beberapa syarat dan ketentuan yang harus
dipenuhi pada pelaksanaanya serta melarang adanya unsur komersial, namun
Fatwa Darul Ifta al Misriyyah lebih menegaskan tidak boleh adanya pemberian
dan permintaan upah atas organ yang telah diberikan oleh Pendonor kepada
resipien. Hal ini dikarenakan organ manusia tidak tunduk pada transaksi
komersial dan tidak boleh melibatkan imbalan finansial apa pun kepada pendonor,
jika ia hidup, atau pewarisnya jika ia mati.
Dalam fatwa ini menjelaskan bahwasanya pendonor yang telah meninggal
dunia akan mendapatkan balasan berupa limpahan pahala dikarenakan manfaat
organ tubuh yang telah diberikan sama halnya sebagai amal yang akan mengalir
114
Fatwa Darul Ifta al-Misriyyah No.3638 tahun 2013 diakses dari https://www.dar-
alifta.org/ diakses pada tanggal 8 Desember 2019
54
terus-menerus, seolah ia diberi hadiah berupa pahala sepanjang periode hidup
penerima manfaat dari organ yang ditransplantasikan tersebut. Sedangkan Bagi
pendonor hidup Prosedur transplantasi organ tubuh haruslah terbebas dari
kompensasi, finansial ataupun non finansial, baik secara langsung maupun
melalui perantara. Oleh karena itu dalam fatwa ini tidak ditemukan adanya aturan
mengenai bentuk kompensasi atau timbal balik secara finansial yang diterima oleh
pendonor organ tubuh semasa hidupnya.
Para fuqaha kontemporer telah mempertimbangkan permasalahan
transplantasi ini dan memberikan pedoman fiqhiyyah tertentu yang didasarkan
pada deduksi ajaran-ajaran dasar dua sumber hukum Islam, yaitu al-Qur‟an dan
hadis. Karena transplantasi organ merupakan kajian fiqhiyyah kontemporer, maka
terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan hukum transplantasi tersebut. Dari
prinsip-prinsip ini banyak ulama kontemporer menetapkan bahwa transplantasi
dapat dibenarkan selama tidak diperjualbelikan, dan selama kehormatan manusia
yang hidup maupun yang mati terjaga sepenuhnya.115
Sehingga oleh karena aturan
yang melarang adanya jual beli organ tubuh ini, makadari itu menyebabkan tidak
adanya penerima kompensasi bagi pendonor maupun keluarga pendonor.
B. PEMENUHAN ASPEK HAK ASASI MANUSIA TERHADAP
PEMBERIAN KOMPENSASI KEPADA PENDONOR ORGAN
TUBUH
1. Menurut Hukum Positif Indonesia
Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia
secara kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah tuhan yang maha esa,
meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak
keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan kesejahteraan
115
Lailatu Rohmah, “Kontekstualisasi Hadis Tentang Transplantasi”, Hikmah, Vol. XIV,
No. 2, (2018), h. 122.
55
yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun.116
Hak
Asasi Manusia merupakan salah satu gagasan untuk mengeleminasi segala potensi
yang dapat menjadi pemicu penantangan/perpecahan antar bangsa, ialah hak yang
paling mendasar yang dimiliki oleh setiap orang dimanapun ia berada. Hak ini
harus memperoleh perlindungan dari semua bangsa-bangsa yang beradab di
dunia.117
Kewajiban negara dalam Perlindungan hak asasi manusia ditetapkan dalam
tiga tingkatan tahap, yaitu Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia,
Perlindungan Hak Asasi Manusia, dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia.
Kewajiban yang akan dibahas lebih dalam adalah kewajiban perlindungan hak
asasi manusia. Negara wajib untuk mengambil tindakan positif dalam melindungi
warga dan orang-orang lainnya dalam wilayah jurisdiksinya dari pelanggaran hak
asasi manusia baik dari negara lain, perusahaan swasta, maupun negara itu sendiri.
Selain itu terdapat juga kewajiban secara hukum (legal obligations) yang terkait
langsung dengan pemenuhan terhadap hak asasi manusia. Kewajiban secara
hukum ini diwujudkan dalam dua bentuk, yaitu kewajiban untuk menyediakan,
seperti penyediaan sumber daya yang dinikmati oleh umum demi terpenuhinya
hak-hak asasi manusia. Serta kewajiban untuk meningkatkan, yang diwujudkan
dalam kebijakan-kebijakan negara, pembentukan institusi-institusi publik demi
terpenuhinya hak-hak tersebut. Dalam hal ini upaya negara dengan membentuk
Undang-undang dan aturan mengenai penyelenggaraan transplantasi organ tubuh
serta pembentukan Komisi Transplantasi Nasional sebagai penyelenggara
transplantasi organ tubuh, yang bertujuan untuk kepastian hukum serta
pemenuhan hak asasi manusia.
Kewajiban secara hukum ini merupakan bagian dari kewajiban progresif
negara dalam hukum Hak Asasi Manusia. Kewajiban ini memiliki sifat progresif
dalam artian bahwa pemenuhan kewajiban ini adalah kelanjutan dari kewajiban
116
Riswan Munthe, “Perdagangan Orang (Trafficking) sebagai Pelanggaran Hak Asasi
Manusia”, Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial, Vol, 7, No. 2, (2015), h. 185. 117
Marcus Priyo Gunarto, “Perlindungan Hak Asasi Manusia Di Indonsesia Dalam
Dinamika Global”, Mimbar Hukum, Vol.19 No. 2, (Juni 2007), h. 257.
56
perlindungan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, dan penerapannya
relatif pada kemampuan negara untuk melaksanakannya. Haruslah dipahami
bahwa negara-negara berbeda dalam kemampuannya untuk mendukung kewajiban
progresif tersebut, oleh karenanya sering kali digunakan ukuran minimal dalam
standarisasi realisasi kewajiban tersebut.118
lmplikasi perkembangan teknologi dan informasi yang telah menjadikan
dunia tanpa batas, dan transformasi budaya sebagai hal yang tak terelakkan dan
mempengaruhi prilaku dan pemikiran setiap bangsa.119
Begitu juga pada
Kemajuan ilmu kedokteran yang semakin lama semakin berkembang yaitu dalam
hal pengobatan maupun perawatan. Perawatan dengan cara transplantasi organ
merupakan salah satu contoh perkembangan pengobatan maupun perawatan
dalam ilmu kedokteran.
Transplantasi organ merupakan pengobatan dan perawatan terakhir yang
dilakukan oleh masyarakat untuk memulihkan kesehatan. Transplantasi adalah
tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia
kepada tubuh manusia lain atau tubuhnya sendiri. Transplantasi merupakan terapi
pengganti yang merupakan upaya terbaik untuk menolong pasien yang mengalami
kegagalan organ tubuhnya dengan organ tubuh diri sendiri atau organ tubuh orang
lain. Disamping pertimbangan medis dan kesehatan, transplantasi juga
mempertimbangkan dari segi non medis, yakni agama, budaya, hukum,
kepercayaan dan lain sebagainya. 120
Menurut Pasal 28 H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa
setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. Berdasarkan pasal tersebut pemerintah mempunyai
118
Chritanugra Philip, “Tanggung Jawab Negara Terhadap Perlindungan Hak Asasi
Manusia menurut Hukum Internasional”, Lex Administratum, Vol. IV, No. 2, (Februari, 2016), h.
35. 119
Marcus Priyo Gunarto, “Perlindungan Hak Asasi Manusia Di Indonsesia Dalam
Dinamika Global”, Mimbar Hukum, Vol. 19, No. 2, (Juni, 2007), h. 254. 120
Fauziah Rahmawati, “Kepastian Hukum Transplantasi Organ”, Jurnal Hukum Media
Bhakti, Vol. 3, No.1, (Juni 2019), h.79.
57
kewajiban untuk memenuhi hak atas kesehatan tersebut. Kewajiban pemerintah
ini juga ditegaskan dalam Pasal 8 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Sejalan dengan hal tersebut, Pasal 7 Undang-Undang No.36
Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa pemerintah bertugas
menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.
Pasal 9 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan juga
bahwasanya pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Kewajiban pemerintah untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat salah satunya dengan membuat regulasi yang berkaitan
dengan kesehatan dalam hal ini adalah regulasi transplantasi organ. Pengaturan
transplantasi organ bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian
hukum bagi pendonor, resipien, rumah sakit penyelenggara transplantasi organ,
dan tenaga kesehatan pemberi transplantasi organ.121
Hak atas tubuh dalam konsep kemanusiaan menekankan kepada keberadaan
manusia sebagai individu yang mempunyai nilai moral, etika dan kesusilaan yang
menghargai dirinya sendiri sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Pemikiran hak atas tubuh bukan hanya bentuk perlindungan tetapi juga bentuk
kepastian hukum bagi pendonor dan resipien (penerima donor).122
Tujuan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh pada dasarnya adalah
untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersilkan. Berdasarkan
undang-undang yang ada, Negara mengatur larangan memperjualbelikan organ
dan/atau jaringan tubuh dengan dalih apapun. Pada pasal 36 peraturan menteri
kesehatan nomor 38 tahun 2016, diatur hak-hak bagi pendonor yang salah satunya
berhak untuk menerima sejumlah kompensasi yang diatur pula bentuk dan
nominalnya didalam peraturan tersebut. Yang hal ini merupakan bentuk
tanggujawab pemerintah kepada pendonor yang telah kehilangan penghasilan dari
pekerjaan/pencaharian. Dimana hal ini dapat dikategorikan bahwa pemerintah
121
Fauziah Rahmawati, “Kepastian Hukum Transplantasi Organ”, Jurnal Hukum Media
Bhakti, h. 80-81. 122
Hwian Christianto, “Konsep Hak Seseorang Atas Tubuh Dalam Transplantasi Organ
Berdasarkan Nilai Kemanusiaan”, Mimbar Hukum, Vol. 23, No.1, (Februari 2011), h. 31.
58
berusaha untuk memenuhi hak keberlangsungan hidup Pendonor setelah
mendonorkan sebagian organnya.
Selain itu jika dikaitkan dengan tenaga medis penyelenggara transplantasi
organ tubuh, dokter yang ikut serta dalam melakukan transplantasi
organ/menjalankan profesi kedokterannya, wajib berpegang teguh pada Kode etik
kedokteran Indonesia. Transplantasi dipandang dari sudut etika harus
dipertimbangkan dari 4 prinsip dasar Biomedikal etik yaitu: Pertama, Respect for
autonomy berarti bahwa mendonorkan organ merupakan perbuatan mulia. Kedua,
Non malficient, berarti bahwa Setiap operasi transplantasi yang dijalankan selalu
mengandung risiko. Ketiga, Benefience berarti bahwa Prinsip berbuat kebaikan
mengandung arti bahwa kita harus berbuat baik kepada orang lain, terutama
apabila tidak mengandung risiko bagi pemberi kebijakan. Keempat, Justice berarti
bahwa prinsip keadilan dalam donasi dan transplantasi organ lebih relevan
terhadap alokasi organ, yang menyangkut kepada perlakuan yang adil, sama dan
sesuai dengan kebutuhan pasien yang tidak terpengaruhi oleh faktor lain.123
Berdasarkan 4 prinsip dasar biomedikal etik tersebut, maka transplantasi
organ diharapkan dapat terwujud sesuai dengan tujuan awalnya yaitu untuk
kemanusiaan. Dimana dengan ini aturan dasar mengenai transplantasi organ
tubuh diciptakan manusia bukan hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk
kebahagiaan dan kesejaheraan.124
Aturan yang diciptakan tersebut juga harus
memperhatikan nilai kemanusiaan, dimana hak setiap orang diakui dan dilindungi
dengan memperhatikan hak orang lain juga. Yang hal ini dapat tercermin dengan
resipien mendapatkan organ donor yang sesuai dengan organ yang diinginkan.
Dan pendonor dalam memberikan organ kepada resipien juga memperoleh hak
asuransi secara jelas.
123 Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h.
92-93. 124
Mukhidin, “Hukum Progresif sebagai Solusi Hukum yang Mensejahterakan Rakyat”,
Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol. 1, No. 3, (2014), h. 269.
59
2. Menurut Hukum Islam
Prinsip fundamental dari suatu keadilan adalah adanya pengakuan
bahwa semua manusia itu memiliki martabat yang sama. Di samping itu, semua
manusia memiliki hak-hak yang diperolehnya, selain kewajiban-kewajiban yang
harus dilaksanakan sebagai sebuah konsekuensi kehidupan. Hak-hak yang paling
fundamental itu adalah aspek-aspek kodrat manusia atau kemanusiaan itu sendiri.
Kemanusiaan setiap manusia merupakan amanat dan ide luhur dari Allah SWT,
Yang Maha Pencipta yang menginginkan setiap manusia dapat tumbuh dan
berkembang dalam kehidupannya untuk menuju dan mencapai kesempurnaannya
sebagai manusia. Oleh karena itu, setiap manusia harus dapat mengembangkan
diri sedemikian rupa sehingga dapat terus berkembang secara leluasa.125
Dalam bahasa Arab, Hak Asasi Manusia dikenal dengan sebutan Haqqu
al- Insânî al-Asâsî atau juga disebut Haqqu al-Insânî al-Ḏarûrî, yang terdiri
terdiri atas tiga kata, yaitu: Pertama, kata hak (haqq) artinya: milik, kepunyaan,
kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu, dan merupakan sesuatu yang
harus diperoleh. Kedua, kata manusia (al-Insân) artinya: makhluk yang berakal
budi, dan berfungsi sebagai subyek hukum. Ketiga, kata asasi (asâsî) artinya:
bersifat dasar atau pokok.126
Secara terminologis, HAM dalam persepsi Islam merupakan hak yang
melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu
amanah dan anugerah Allah SWT yang harus dijaga, dihormati, dan dilindungi
oleh setiap individu, masyarakat atau negara. Bahkan Ibn Rusyd lebih
menegaskan bahwa HAM dalam persepsi Islam telah memberikan format
perlindungan, pengamanan, dan antisipasi terhadap berbagai hak asasi yang
bersifat primair (darûriyyât) yang dimiliki oleh setiap insan. Perlindungan
tersebut hadir dalam bentuk antisipasi terhadap berbagai hal yang akan
125
Ahmad Mukri Aji, “Hak dan Kewajiban Asasi Manusia dalam Persfektif Islam”,
Salam, Jurnal Sosial dan Budaya Syar‟I, Vol.2, (2015), h. 1. 126
Ahmad Mukri Aji, “Hak dan Kewajiban Asasi Manusia dalam Persfektif Islam”,
Salam, Jurnal Sosial dan Budaya Syar‟I, Vol.2, (2015), h. 1.
60
mengancam eksistensi jiwa, eksistensi kehormatan dan keturunan, eksistensi
harta benda material, eksistensi akal pikiran, serta eksistensi agama.127
Allah SWT telah mengungkapkan secara langsung dalam beberapa teks ayat
berkait dengan harkat dan martabat manusia yang merupakan anugerah Allah
SWT, antara lain:
a. Q.s. Al-Isrâ (17): 70:
لال ادملمحىنتى فالب ر كرمنتبن بحرلرزق نتى منالط بتتلفضىنتى للقد
كثيمنخىقنتت فض ال عىا
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik, dan
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan
makhluk yang telah Kami ciptakan”.
b. Q.s. Al-Taghâbun (64): 3:
ر ورك لال والمص ورك فأحسن ل خىقالسموتلا رضبتلق
Artinya: “Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar. Dia
membentuk rupamu dan dibaguskan-Nya rupamu itu, dan hanya kepada-Nya-lah
kembali(mu)”.
c. Q.s. Al-Tin (95): 4:
لقدخىقنتاإلنستنفأحسنت قوي
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya”.
127
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, (Siria: Dar al-Fikr, 1984), Juz I,
h. 18-19.
61
Dari beberapa kutipan ayat di atas dapatlah dikatakan bahwa Islam begitu
sangat menghormati dan memuliakan status dan eksistensi manusia, baik yang
berkait dengan kemuliaan yang bersifat individual (karâmah fardiyyah) yang
memelihara kemuliaan lahir dan batin masing-masing individu manusia ,
kemuliaan yang bersifat masyarakat (karâmah ijtima`iyyah), pada status
hubungan sosial antara sesama manusia sebagai makhluk sosial, serta kemuliaan
secara politik (karâmah siyâsiyyah), dengan diberikan hak-hak politik kepada
manusia untuk memilih atau dipilih bagi posisi-posisi politik, karena ia
merupakan khalifah di muka bumi.128
Konsep hak asasi manusia dalam Islam dilihat dari kategori huquuqul ibad
terbagi menjadi dua macam yaitu Pertama, HAM yang keberadaannya dapat
diselenggarakan oleh suatu negara (Islam). Kedua, adalah HAM yang
keberadaannya tidak secara langsung dapat dilaksanakan oleh suatu negara. Hak-
hak yang pertama disebut sebagai hak-hak legal, sedangkan yang kedua dapat
disebut sebagai hak-hak moral.129
Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada
masalah pertanggungjawaban di depan Negara. Adapun masalah sumber, sifat,
dan pertanggungjawaban di hadapan Allah adalah sama.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada
pasal 1, menjelaskan hak asasi manusia pada dasarnya juga disandarkan kepada
hakikat keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan dimana HAM diartikan
sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati dan dijunjung tinggi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Menurut Miriam Budiardjo, Hak Asasi adalah hak yang dimiliki manusia
yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau
kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu
128
E. Shobirin Nadj, Naning Mardiyah, Diseminasi HAM dalam Perspektif dan Aksi,
(Jakarta: CESDA dan LP3ES. 2000), h.10. 129
Syekh Syaukat Hussain (Terjemahan Abdul Rochim C.N), Hak Asasi Manusia dalam
Islam, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996), h. 55.
62
dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar negara, ras, agama, dan kelamin dan
karena itu bersifat asasi serta universal. Dasar ini dari semua hak asasi adalah
bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan
bakat dan cita-cita.130
Pada dasarnya pemberian kompensasi adalah remunerasi finansial yang
diberikan oleh organisasi kepada karyawannya sebagai imbalan atas kerja
mereka.131
Dengan kata lain pemberian hak kompensasi diberikan setelah
didahului oleh pelaksanaan kewajiban. Namun dalam aturan transplantasi organ
yang dikeluarkan oleh, Majelis Ulama Indonesia dan Lembaga Fatwa Mesir Darul
Ifta al-Misriyyah, mengatur bahwasanya pendonor mendasarkan tindakan
pendonoran organnya pada asas tolong menolong, bukan atas kewajiban untuk
melakukan tindakan tersebut sehingga mengharuskan pendonor untuk
mendapatkan kompensasi atas tindakannya, sehingga akibat daripada itu pendonor
tidak dapat mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun karena dilandaskan atas
rasa ikhlas, oleh karena hal ini Majelis Ulama Indonesia dan Lembaga Fatwa
Mesir Darul Ifta al-Misriyyah tidak mengatur secara spesifik mengenai masalah
pembiayaan keberlangsungan hidup pendonor pasca transplantasi organ tubuh,
walaupun pada dasarnya seorang pendonor membutuhkan dukungan secara
finansial untuk keberlangsungan hidupnya karena telah memberkan sebagian
organnya kepada resipien.
Berkaitan dengan hak asasi manusia pun pada dasarnya kurang
terpenuhunya hak keberlangsungan hidup yang layak bagi pendonor, karena
dengan keterbatasan kesehatan akibat pemberian sebagian organnya otomatis
membuat kehidupan pendonor tidak seperti kesehatan manusia pada umumnya,
sehingga jika dikaitkan dengan aspek hak asasi manusia, resipien sudah
sepantasnya membantu biaya penghidupan pendonor namun dengan niatan untuk
saling tolong menolong bukan sebagai pemberian imbalam agar tidak
bertentangan dengan aturan dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia dan Lembaga
130
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
1999), h. 102. 131
Griffin, Pengantar Manajemen. (Bandung: Gunadarma, 2004), h. 432.
63
Fatwa Mesir Darul Ifta al-Misriyyah, namun hal ini menyebabkan disatu sisi
transplantasi organ tubuh masih dibayang-bayangi dengan unsur komersialisasi.
63
BAB V
A. Kesimpulan
Pada bagian akhir skripsi ini, penulis akan menjawab rumusan masalah
yang disinggung pada bab 1 mengenai Pemberian Kompensasi kepada Pendonor
Transplantasi Organ Tubuh Manusia (Studi Perbandingan antara Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 38 Tahun 2016 tentang pelaksanaan transplantasi
organ tubuh, Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tahun 2019 tentang transplantasi
organ, dan fatwa Dar al-Ifta‟ al-Misriyyah), yaitu;
1. Ketentuan hukum pemberian kompensasi kepada pendonor transplantasi organ
tubuh manusia pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 tahun 2016 telah
diatur didalam beberapa Pasalnya yang memuat tentang kewajiban pemenuhan
jaminan kesehatan bagi pendonor sebagai bentuk penghargaan atas kehilangan
pekerjan pendonor dikarenakan transplantasi organ tubuh. Menurut fatwa
Mesir Dar al-Ifta‟ al-Misriyyah, pemberian kompensasi adalah suatu hal yang
dilarang atau diharamkan bagi pendonor maupun ahli warisnya jika ia
meninggal, hal tersebut berdasarkan karena tujuan utama dibolehkan
transplantasi organ tubuh adalah untuk saling membantu dalam kebaikan,
keshalehan dan mengurangi rasa sakit bagi penerima organ, serta organ tubuh
manusia bukanlah subjek transaksi komersial. Sedangkan fatwa Majelis Ulama
Indonesia tidak menerangkan secara eksplisit mengenai ketentuan hukum
pemberian kompensasi kepada pendonor organ tubuh manusia, fatwa MUI
hanya mengatur dan menerangkan hukum transplantasi organ tubuh yang tidak
membolehkan adanya unsur komersialisasi pada praktik transplantasi organ.
2. Bentuk kompensasi kepada pendonor organ tubuh menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 38 tahun 2016 berupa jaminan Kesehatan yang berbentuk
asuransi kesehatan dan asuransi kematian yang besarnya akan ditetapkan
Menteri atas usulan dari Rumah Sakit penyelenggara transplantasi organ, dan
jumlah paling sedikit sebesar iuran jaminan Kesehatan nasional dengan
manfaat kelas 1 yang jangka waktu pemberian asuransi kesehatan tersebut ialah
paling sedikit selama lima tahun. Sedangkan fatwa Majelis Ulama Indonesia
64
serta fatwa Mesir Dar al-Ifta‟ al-Misriyyah tidak membolehkan adanya
pemberian kompensasi terhadap pendonor organ tubuh, oleh karena itu fatwa
MUI serta Darul Ifta‟ al-Misriyyah tidak memberikan aturan mengenai bentuk
kompensasi yang dapat diberikan kepada pendonor.
3. Pertimbangan hukum Positif yang berlaku di Indonesia mengenai Hak Asasi
Manusia pada praktik transplantasi organ tubuh manusia masih diperhatikan
oleh Negara, mengingat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 tahun
2016, Pemerintah masih memperhatikan kelangsungan hidup pendonor pasca
transplantasi, namun pada hukum Islam belum sepenuhnya mengakomodir
aspek pemenuhan Hak Asasi Manusia, karena tidak diatur secara rinci
mengenai pemenuhan hak keberlangsungan hidup pendonor pascatransplantasi.
B. Saran
Berdasarkan permasalahan dan pembahasan penulis, alangkah baiknya
walaupun dalam aturan hukum postif maupun hukum Islam telah dilarang adanya
komersialisasi dalam proses transplantasi organ tubhh dan harus didasarkan pada
asas tolong menolong, namun pemerintah maupun resipien pada praktiknya untuk
tidak melupakan hak kesehatan bagi pendonor, baik yang berbentuk jaminan
kesehatan maupun jaminan hidup yang layak dengan niat ikhlas saling tolong
menolong. Selain itu agar pemerintah juga segera membentuk dan meresmikan
Komite Transplantasi Nasional yang telah disebutkan beberapa kali dalam
PERMENKES sebagai pelaksana transplantasi organ tubuh di Indonesia agar
lebih terarah dan sistemastis, selain itu menghindari adanya disparitas pelaksanaan
transplantasi organ tubuh pada beberapa rumah sakit penyelenggara Transplantasi
Organ saat ini.
65
DAFTAR PUSTAKA
Al-qur‟an al-Karim
Adam, Panji. Fatwa-Fatwa Ekonomi Syariah, Konsep. Metodologi, dan
Implementasinya pada Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Amzah,
2018.
Aji, Ahmad Mukri. Hak dan Kewajiban Asasi Manusia dalam Persfektif Islam.
Salam, Jurnal Sosial dan Budaya Syar‟I, Vol.2. 2015.
Alfrianto, F. Pemberlakuan Sanksi Pidana Terhadap Perdagangan Ginjal Untuk
Kepentingan Transplantasi. Lex Crimen Vol.15. No.5. 2015.
Amiruddin, dan H. Zailan Asikin, Pengantar metode Penelitian Hukum. Cet.1.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Arifin, M. Ramdan. Transplantasi Organ Tubuh Dalam Persfektif Islam, Sinar
Muhammadiyah, 2008
Arikunto, Suharsimin. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta
PT. Rineka Cipta, 2006.
Ardhiwisastra, Yudha Bhakti. Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Cet.2.
Bandung: PT. Alumni.
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama: Jakarta, 1999.
Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media, 2005.
Chaudhry, Muhammad Sharif. Sistem Ekonomi Islam: Prinsip Dasar
(Fundamental of Islamic Economic System). Cet.3. Jakarta: Kencana,
2016.
Christianto, Hwian. Konsep Hak Seseorang Atas Tubuh Dalam Transplantasi
Organ Berdasarkan Nilai Kemanusiaan. Mimbar Hukum, Vol.23. No.1.
Februari 2011.
Chuzaimah, H dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer.
Jakarta: PT. Pustaka, 1995.
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru, 2006.
66
Dewi, Alexandra Indriyanti. Etika dan hukum kesehatan, Yogyakarta: Pustaka
book publisher, 2008.
Djamil, Fathurrahman. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. Cet.1.
Jakarta: Logos Publising House, 1995.
Ebrahim, Abul Fadl Mohsin. Kloning, Eutanasia, Transfusi Darah, Transplantasi
Organ, dan Eksperimen pada Hewan Telaah Fikih dan Bioetika Islam.
Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 13 Tahun 2019 Tentang Transplantasi
Organ Dan/Atau Jaringan Tubuh Dari Pendonor Hidup Untuk Orang Lain
Gani, Ruslan Abdul. Perdagangan Organ Tubuh Manusia Dilihat Dari Perspektif
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Menurut
Hukum. Skripsi S1, IAIN Sulthan Thaha Syaifuddin Jambi Indonesia.
2010.
Gani, Ruslan Abdul dan Yudi Armansyah, Penegakan Hukum Kasus Jual Beli
Organ Tubuh di Indonesia: Model Integratif dengan Pendekatan Hukum
Islam dan UU Kesehatan. FENOMENA, Volume 8, No 2, 2016.
Ghoffar, M. Abdul, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3. Cet.11. Jakarta: Pustaka Imam Asy-
Syafi‟I, 2017
Griffin. Pengantar Manajemen. Bandung: Gunadarma, 2004.
Gunarto, Marcus Priyo. Perlindungan Hak Asasi Manusia Di Indonsesia Dalam
Dinamika Global. Mimbar Hukum, Vol.19. No. 2. Juni 2007.
Hasan, Ali. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada masalah-masalah kontemporer
Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2000.
Hasbi, M. Transplantasi Organ Manusia dengan Organ Tubuh Babi Menurut
Hukum Islam. Jurnal Online Mahasiswa STAIN Vol 1.
Hasibuan, H. Malayu S.P. Manajemen Sumber Daya Manusia. Ed. Revisi Kedua,
Yogyakarta: BPFE-UGM, 2002
Haswir. Hukum Mendonorkan dan Mentransplasikan Anggota Tubuh, Al-Fikra:
Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli Desember 2011, 276.
HS, Salim. Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUHPerdata. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2007.
67
Hussain, Syekh Syaukat. Penerjemah Abdul Rochim, Hak Asasi Manusia dalam
Islam. Jakarta: Penerbit Gema Insani Pers, 1996.
Jacobalis, Samsi. Pengantar Tentang Perkembangan Ilm Kedokteran, Etika
Medis, dan Bioetika. Jakarta: Sagung Seto, 2005.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet.3. Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Kutbuddin, Aibak. Kajian Fiqh Kontemporer. Cet.1. Surabaya: ELKAF, 2006.
Liliana, Teresa, Nilai Etika Transplantasi Organ, Jurnal Artikel: Majalah
Komunikasi Maranatha, 2003
Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana, 2013.
Munawwir, Ahmad Warsun. Kamus Almunawwir, Cet. Ke.14, Surabaya; Pustaka
Progresif, 1997.
Munthe, Riswan. Perdagangan Orang (Trafficking) sebagai Pelanggaran Hak
Asasi Manusia. JUPIIS: Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial, Vol.7, No.2.
2015.
Mukhidin. Hukum Progresif sebagai Solusi Hukum yang Mensejahterakan
Rakyat. Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol.1. No.3. 2014.
Nadj, E. Shobirin dan Naning Mardiyah. Diseminasi HAM dalam Perspektif dan
Aksi. Jakarta: CESDA dan LP3ES. 2000.
Nasution, Bander Johan. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter. Jaharta:
Rineka Cipta, 2005.
Notoatmojo, Soekidjo. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Nurhayati. Kesehatan Dan Perobatan Dalam Tradisi Islam: Kajian Kitab Shahih
Al-Bukhârî. Ahkam: Vol.571, No.2, Juli 2016.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 38 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan
Transplantasi Organ.
Philip, Chritanugra. Tanggung Jawab Negara Terhadap Perlindungan Hak Asasi
Manusia menurut Hukum Internasional. Lex Administratum, Vol.17.
No.2. Februari 2016.
Qardawi, Yusuf. Fatwa Fatwa Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
R, Lintang. Aspek Hukum Terhadap Pemanfaatan Organ Tubuh Manusia Untuk
Kelangsungan Hidup. Lex et Societatis, Vol.1. No.5. September, 2013.
68
Rachmawati, Fauziah. Kepastian Hukum Transplantasi Organ Yang
Mencerminkan Nilai Kemanusiaan. Jurnal Hukum Media Bhakti, Vol.3,
No.1, Juni 2019.
Rohmah, Lailatu. Kontekstualisasi Hadits Tentang Transplantasi. Hikmah,
Vol.517, No.2, 2018.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al Sunnah Muasasah al Risalah Nasyirun. Beirut: 2008.
Samil, Ratna Suprapti. Etika Kedokteran Indonesia. Jakarta: Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo, 2001.
Setyawan, Bayu Purnomo, dkk. Analisis Yuridis Normatif Terkait Transplantasi
Dan Jual Beli Organ Tubuh Manusia Ditinjau Dari Peraturan Perundang-
Undangan, Seminar Nasional Hasil Penelitian (SNHP)-VII ISBN 978-602-
14020-5-4 Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas PGRI Semarang, 26 Oktober 2017.
Soetjipto, Patricia Naskah Akademik Universitas Indonesia FKM, 2010.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3, Ed. Revisi. Jakarta: UI
Press, 1986.
Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2008.
Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Shidiq, Sapiudin. Fikih Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2016.
Suwasti, Nyoman. Aspek Yuridis Transplantasi Organ Dalam Hubungannya
dengan UU Kesehatan. Bali: Kertha Patrika: Majalah Ilmiah Fakultas
Hukum UNUD,1994. 258.
Syaiban, Mochamad. Transplantasi Organ Tubuh Orang Muslim Kepada Orang
Non muslim Menurut Hukum Islam (Studi Bahtsul Masail Nahdlatul
Ulama), Skripsi S1 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2010.
Tim Perumusan Komisi Ahkam, Ahkamul Fuqoha: Solusi Problematika Aktual
Hukum Islam. Cet.2. Jakarta: PB.NU, 2007.
Tim Penyusun Naskah IDI Kesehatan dan Kedokteran, Islam untuk Disiplin Ilmu
Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Departemen Agama RI, 2002.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
69
Wahbah, Al Zuhaili. Kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Beirut: Dar al Fikr,
2004.
Wahbah, Al Zuhaili, Ushul Alfiqh Alislami. Beirut: Dar al Fikr, 2013.
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam Wa Adillauhu, Juz I. Siria: Dar al-Fikr,
1984.
Yunus, Zulkifli. Kesehatan Menurut Islam, Bandung: Pustaka, 1994.
Zuhdi, Masjfu‟. Pencangkoan Organ Tubuh dalam Masaail Fiqhiyah. Cet.4,
Jakarta: CV Haji Mas Agung, 1993.
Zuhdi, Masjfu‟. Masail Fiqhiyah. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997.
Abdurobbih, Faza. Lembaga Fatwa Mesir dari Masa ke Masa,
https://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2013/03/26/36/lembaga-
fatwa-mesir-dari-masa-ke-masa.html diakses pada tanggal 29 Januari
2020.
Dewansyah, Bilal. Kedudukan Peraturan Menteri dalam Hierarki Peraturan
Perundang-undangan, diakses dari
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5264d6b08c174/kedu
dukan-peraturan-menteri-dalam-hierarki-peraturan-perundang-undangan/
pada tanggal tanggal 04 Februari 2020.
Fatwa Darul Ifta al-Misriyyah No.3638 tahun 2013 dari http://www.dar-alifta.org/
diakses pada tanggal 15 Agustus 2019
Hadits Abu Dawud No.2792 Kitab Jenazah dari https://shareoneayat.com/hadits-
abudaud-2792 diakses pada 06 Februari 2019.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, Pengertian Komersial (Online), dari
http://kamusbahasaindonesia.org/komersial/mirip diakses pada tanggal 01
Oktober 2019
Profil Majelis Ulama Iindonesia, artikel diakses tanggal 15 Agustus 2019 dari
https://mui.or.id/sejarah-mui/
RZN, Ilmuwan Produksi Organ Manusia di Tubuh Babi. Diakses dari
http://www.dw.com/id/ilmuwan-produksi-organ-manusia-di-tubuh-babi/a-
19309011 pada tanggal 03 Agustus 2019.
Sejarah Majelis Ulama Indonesia http://Majelis Ulama Indonesia-
lampung.or.id/2016/08/12/sejarah-perkembangan-lembaga-fatwa-mesir-
dar-al-ifta/ diakses pada 9 December 2019.
70
United Kingdom, National Health Service, history of Donation,
http:/www.nhs.uk/Tools/Document/Transplant.html diakses pada tanggal
18 November 2019
https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia diakses pada tanggal 2
Desember 2019.
https://id.wikipedia.org/ diakses pada tanggal 13 November 2019