Upload
independent
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
DI INDONESIA
Disusun Oleh:
NAMA : TITIES
ASRIDA
NIM :
1101011313078
4
KELAS : H
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki landasan filosofis sebagai
dasar dalam praktik penyelenggaraan negara yaitu
Pancasila. Para pendiri bangsa meletakkan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama yang
menjiwai sila-sila dibawahnya. Hal ini merupakan bukti
bahwa bangsa Indonesia mengakui adanya Tuhan.
Indonesia mengakui 6 agama yaitu Islam,
Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Sekitar
87% penduduk Indonesia beragama Islam. Hal inilah yang
menjadi salah satu dasar diberlakukannya hukum
Islam.di Indonesia.
1
Islam masuk Indonesia dikuti masukya kerajaan-
karajaan Islam. Sejak agama Islam mulai dianut oleh
penduduk Indonesia, maka dengan itu hukum Islam pun
mulai berlaku dalam tata kehidupan bermasyarakat,
kaidah hukum diajarkan sebaagai pedoman kehidupan
setelah terlebih dahulu mengalami institusionalisasi
dari proses interaksi sosial. Inilah hukum Islam mulai
mangakar menjadi sistem hukum Islam dalam masyarakat.
Penyebaran Islam di Indonesia yang berlansung
secara bertahap menyebabkan pemberlakuan hukum Islam
pun mengalami pentahapan. Selain itu Masyarakat pada
umunya sudah memiliki aturan atau adat istiadat
sendiri, sehingga ketika Islam datang terjadilah
akulturasi antara hukum Islam dengan hukum adat.
Perkembangan hukumIIslam juga dipengaruhi oleh
kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai
perkembangan hukum Islam dari masa kerajaan Islam
hingga masa reformasi.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana sejarah masuknya Islam di Indonesia?
2
1.2.2 Bagaimana perkembangan hukum Islam di
Indonesia?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui sejarah masuknya Islam di Indonesia.
1.3.2 Mengetahui perkembangan hukum Islam di
Indonesia.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Masuknya Islam di Indonesia
2.1.1 Teori Gujarat
Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk
ke Indonesia pada abad 13 dan pembawanya berasal
dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini
adalah:
a. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa
Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
b. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah
lama melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur
Tengah – Eropa.
c. Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu
Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas
Gujarat.
Pendukung teori Gujarat adalah Snouck
Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard H.M.
Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat,
4
lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya
kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan
Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari
keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang
pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292.
Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak
penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang
Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.
2.1.2 Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul
sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu teori
Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa Islam
masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya
berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini
adalah:
a. Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat
Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam
(Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab
sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak
abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita
Cina.
5
b. Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab
Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar
pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah.
Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab
Hanafi.
c. Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al
malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.
Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka,
Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung
teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri
kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke
Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7
dan yang berperan besar terhadap proses
penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.
2.1.3 Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke
Indonesia abad 13 dan pembawanya berasal dari
Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan
budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam
Indonesia seperti:
6
a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas
meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi
Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang
Syiah / Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan
tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut.
Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan
pembuatan bubur Syuro.
b. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti
Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.
c. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem
mengeja huruf Arab untuk tandatanda bunyi
Harakat.
d. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun
1419 di Gresik.
e. Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah
Gresik. Leren adalah nama salah satu Pendukung
teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A.
Hussein Jayadiningrat.
Ketiga teori tersebut, pada dasarnya
masing-masing memiliki kebenaran dan kelemahannya.
Maka itu berdasarkan teori tersebut dapatlah
7
disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan
jalan damai pada abad ke – 7 dan mengalami
perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang
peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab,
bangsa Persia dan Gujarat (India).
2.2 Perkembangan Hukum Islam Di Indonesia
2.2.1 Masa Kerajaan Islam di Nusantara
Akar sejarah hukum Islam di kawasan
nusantara menurut sebagian ahli sejarah telah
dimulai pada abad pertama hijriah, atau sekitar
abad ketujuh dan kedelapan Masehi. Sebagai gerbang
masuk ke dalam kawasan nusantara, di kawasan utara
pulau Sumatra lah yang dijadikan sebagai titik
awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Dan
secara perlahan gerakan dakwah itu kemudian
membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak,
Aceh Timur. Berkembanganya komunitas muslim di
wilayah itu kemudian diikuti dengan berdirirnya
kerajaan Islam pertama sekitar abad ketiga belas
yang dikenal dengan Samudera Pasai, terletak di
wilayah aceh utara.
8
Dengan berdirinya kerajaan Pasai itu, maka
pengaruh Islam semakin menyebar dengan berdirirnya
kerajaan lainnya seperti kesultanan Malaka yang
tidak jauh dari Aceh. Selain itu ada beberapa yang
ada di jawa antara lain kesulatanan demak,
mataram, dan cirebon. Kemudian di daerah sulawesi
dan maluku yang ada kerajaan gowa dan kesultanan
ternate serta tidore.
Hukum Islam pada masa ini merupakan sebuah
fase penting dalam sejarah hukum Islam di
Indonesia. Dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam
menggantikan kerajaan Hindu-Budha berarti untuk
pertama kalinya hukum Islam telah ada di Indonesia
sebagai hukum positif. Hal ini terbukti dengan
fakta-fakta dengan adanya literatur-literatur
fiqih yang ditulis oleh para ulama’ nusantara pada
abad 16 dan 17 an. Zaman para penguasa ketika itu
memposisikan hukum Islam sebagi hukum Negara.
Hukum Islam di berlakukan oleh raja-raja
di Indonesia dengan cara mengangkat ulama-ulama
untuk menyelesaikan sengketa. Bentuk peradilannya
9
berbeda-beda tergantung dengan bentuk peradilan
adat. Karena palaksanaan peradilan yang bercorak
Islam dilakukan dengan cara mencampurkan
(mengawinkan) dengan bentuk peradilan Adat di
Indonesia pada kerajaan-kerajaan di jawa pada
pelaksanaannya ahli hukum Islam memliki tempat
yang terhomat yang kemudian di kenal dengan
sebutan penghulu di mana tugasnya disamping
sebagai ulama juga menyelesaikan perkara-perkara
perdata, perkawinan, dan kekeluargaan, proses
penyelesaian (peradilan) di selesaikan di manjid.
Secara yuridis raja-raja di Indonesia
memberlakukan hukum Islam akan tetapi tidak dalam
konteks peraturan atau perundang-undangan
kerajaan. Hukum Islam di berlakukan dalam kontek
ijtihad ulama, permasalahan-permaslahan yang
terjadi terkadang tidak bias di selesaikan oleh
perundanga-undangan kerajaan maka terkadang di
tanyakan kepada Ulama. Saat itulah ulama melakukan
ijtihad atau menyandarkan pendapatnya kepada
kitab-kitab fiqh. Dengan pola ini mazhab imam 4
10
syafii’I, Hanafi, Maliki, dan Hambali berkembang
di Indonesia hingga saat ini. Sistem hokum Islam
terus berjalan bersamaan dengan system hokum adat
di Indonesia hingga masuknya kolonialisasi yang
dilakukan oleh Negara-negar barat di
Indonesia. Semula pedagang dari Portugis, Kemudian
Spayol, di susul oleh Belanda, dan Inggris.
Pada masa Kerajaan/kesultanan Islam di
Nusantara hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat
dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan
sempurna (syumul), mencakup masalah mu’amalah,
ahwal al-syakhsiyyah (perkawinan, perceraian dan
warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah
ibadah.
Hukum Islam juga menjadi sistem hukum
mandiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam
nusantar. Tidaklah berlebihan jika dikatakan pada
masa jauh sebelum penjajahan belanda, hukum Islam
menjadi hukum yang positif di nusantara.
Islam menjadi pilihan bagi masyarakat
karena secara teologis ajarannya memberikan
11
keyajinan dan kedamaian bagi penganutnya.
Masyarakat pada periode ini dengan rela dan patuh,
tunduk dan mengikuti ajaran-ajaran Islam dalam
berbagai dimensi kehidupan. Namun keadaan itu
kemudian menjadi terganggu dengan datangnya
kolonialisme barat yang membawa misi tertentu,
mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi
kristenis
2.2.2 Masa Kolonial ( Abad XVIII-pertengahan abad
XX )
Bangsa asing yang pernah menjajah
Indonesia adalah Portugis, Belanda, Inggris dan
Jepang. Dari keempatnya, Belanda yang paling lama
dan memberikan pengaruh yang cukup besar dalam
berbagai sistem kehidupan masyarakat, termasuk
dalam hukum Islam.
Sejarah perkembangan hukum Islam pada masa
kolonial terbagi dalam dua periode, yaitu periode
in complexu dan periode receptie. Pereiode pertama
terjadi pada abad ke-17 higgga akhir abad 18,
yaitu pada saat awal pemerintahan Belanda. Periode
12
ini disebut juga dengan pemberlakuan hukum Islam
sepenuhnya bagi orang Islam. Misalnya hukum
keluarga Islam, terutama yang menyangkut
perkawinan dan kewarisan diaplikasikan sepenuhnya.
Bahkan pada tanggal 25 Mei 1670 Belanda
memberikan pengakuan atas kedudukan hukum Islam
sebagai hukum yang berlaku. Melalui VOC,
dikeluarkanlah Resolute de Indieshe Regeering yang
berisi pemberlakuan hukum waris dan perkawinan
Islam pada pengadilan VOC bagi orang Indonesia.
Resolusi ini dikenal dengan nama Compendium
Freijer, yang merupakan legislasi hukum Islam
pertama di Indonesia.
Legislasi lainnya adalah pepakem Cirebon
yang dibuat atas usul residen Cirebon,
Mr.P.C.Hosselaar. Aturan ini merupakan kompilasi
kitab hukum Jawa Kuno. Aturan ini dipakai sebagai
pedoman dalam memutuskan perkara perdata dan
pidana di wilayah Kesultanan Cirebon. Pepakem ini
kemudian diadopsi oleh Sultan Bone dan Goa untuk
dijadikan undang-udang. Kebijakan adopsi terhadap
13
hukum Islam berlangsung hingga masa pemerintahan
Gubernur Jendral Daendels (1808-1811).
Periode kedua ditandai dengan munculnya
kebijakan yang bersifat intervensionis terhadap
hukum Islam dan hukum adat. Masa inilah terjadi
represi dan eliminasi terhadap pemberlakuan hukum
Islam. Periode ini di mulai ketika terjadi
transfer kekuasaan dari VOC kepada pemerintah
kerajaan Belanda. Pemerintah kerajaan belanda
melakukan represi terhadap hukum Islam dengan cara
mengonfrontasikannya dengan hukum adat. Kebijakan-
kebijakan hukum pemerintah Belanda ditujukan untuk
meminimalisir dan mengeliminir peran hukum Islam.
Pada masa ini muncul peraturan-peratutan yang
mensubordinasikan hukun Islam di bawah Hukum adat.
Upaya pertama Belanda untuk mengurangi
fungsi dan peran sistem hukum Islam adalah dengan
memperlemah institusi peradilannya. Pada tahun
1824 fungsi penghulu sebagai penasehat hukum
dihapus. Pada tanggal 24 Januari 1882 Belanda
mengeluarkan Stbl 1882 No.152 tentang berdirinya
14
peradilan agama di Jawa dan Madura. Pengadilan ini
dipimpin oleh seorang penghulu dan dibantu oleh
para ulama. Berdirinya lembaga ini menjukkan
adanya pengakuan yuridis pemerintah Belanda
terhadap keberadaan hukum Islam.
Akibat dari pelembagaaan peradilan Islam
adalah, bahwa setiap keputusan harus
diratifikasikan kepada pengadilan umum sebelm
diimplementasikan. Hal ini jelas merugikan
penghulu, karena pada kenyataannya nasehat-nasehat
dari penghulu sering dikesampingkan. Akibatnya
terjadi ketegangan antara umat Islam dengan
pemerintah kolonial. Menyadari situasi ini pada
tahun 1889 dibentuk Kantor Urusan Pribumi yang
diharapkan mampu meningkatkan saling pengertian
antarapenjajah dengan masyarakat jajahan.
Direktur pertama dari kantor ini adalah
Dr. Christian Snouck Hurgronje ( 1867-1936 ).
Tugas dari lembaga ini adalah memberikan advis
kepada pemerintah Belanda dalam merumuskan
kebijakan terhadap umat Islam. Berdasarkan
15
penelitiannya Snouck menemukan metode yang menjadi
dasar kebijakan pemerintah yaitu toleransi dalam
kehidupan agama dan kehati-hatian dalam menghadapi
perluasan control politik Islam. Menurut Snouck,
hukum Islam baru berlaku bila diterima atau
dikehendaki oleh hukum adat.
Upaya mengontrol operasionalisasi hukum
Islam juga dilakukan Belanda. Pada tahun 1929
muncul undang-undang perkawinan yang menempatkan
penghulu sebagai pejabat pemerintah yang berada di
bawah kontrol bupati. Keadaan ini memudahkan
Belanda untukmenguasai dan mengintervensi
pelaksanaan hukum Islam.
Pada tahun 1931 keluar Stbl No.53 tahun
1931 yang berisi 3 hal, yaitu: (1) priesterred
akan dihapuskan dan diganti dengan pengadilan
penghulu, (2) penghulu berstatus sebagai abdi
pemerintah dan mendapatkan gaji tetap, (3)
pengadilan banding akan dibentuk untuk mereview
keputusan-keputusan dari pengadilan penghulu.
Namun peraturan ini tidak pernah dilakanakan
16
karena Belanda mengalami kesulitan keuangan. Untuk
mengobati kekecewaan uma Islam pada tahun 1937
dikeluarkan Stbl No.610 tentang pembenukan Hof
voor Islamietische Zaken atau Mahkamah Tinggi
untuk menerima perkara banding. Melalui Stlb. No.
116 tahun 1937, pemerintah memindahkan penyelesaib
masalah kewarisan dari peradilan Islam ke
peradilan umum, dimana perkara tersebut
diselesaikand dengan hukm adat. Alasannya hukm
Islam belum sepenuhnya diterima oleh hukum adat.
Di sini terjadi perebutan supremasi hukum antara
hukum adat yang diunggulkan Belanda dengan hukum
Islam.
Reaksi pihak Islam terhadap campur tangan
Belanda dalam masalah hukum Islam banyak ditulis
dalam buku dan surat kabar. Jelas bahwa polotik
hukum yang menjauhkan umat Islam dari ketentuan-
ketentuan agamanya adalah taktik Belanda untuk
meneguhkan kekusaannya di Indonesia. Apapun
dilakukan Belanda untuk menguatkan posisi hukum
adar dan melemahkan hukum Islam di Indinesia.
17
Pada masa Jepang tidak ada perubahan
substantive terhadap peradilan hukum Islam dan
hkum Isla. Jepang hanya mengubah nama lembaga
peradilan Islam dari priesterrad menjadi Sooryoo
Hooin dan Pengadilan Banding dari Hof voor
Islamietsche menjadi Kaikyoo Kootoo Hooin. Di Jawa
dan Madura, lembaga ini menjalankan tugas
menangani kasus-kasus perkawinan, dan kadang
member nasehat dalam bidang kewarisan.
2.2.3 Masa Kemerdekaan (1945 – 1998) ( Orde Lama dan
Orde Baru )
Berakhirnya kolonialisme di Indonesia
sekaligus juga mengakhiri fase represi dan
eliminasi terhadap pemberlakuan hukum islam.
Kedudukan hukum islam pada masa kemerdekaan
mengalami kemajuan yang berarti. Meskipun
mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim,
tetapi bukan hal yang mudah untuk memberlakukan
hukum islam di Indonesia. Pelan tapi pasti,
terjadi formatisasi terhadap hukum islam, sebagai
18
konsekuensi dipilihnya Pancasila sebagai Ideologi
negara.
Pada fase hukum islam mengalami dua
periode, yaitu periode persuasive-source dan authoritative-
source. Periode persuasive adalah periode penerimaan
hukum islam sebagai persuasive, yaitu sumber yang
terhadapnya orang harus yakin dan menerimanya.
Semua hasil sidang BPUPKI adalah sumber persuasive
bagi groundwetinterpretatie UUD 1945, sehingga Piagam
Jakarta juga merupakan persuasive-source UUD 1945.
Meskipun dalam UUD 1945 tidak dimuat tujuh kata
piagam Jakarta, namun hukum islam berlaku bagi
bangsa Indonesia yang beragama islam berdasarkan
pasal 29 ayat (1) dan (2).
Periode kedua, authoritative-source dimulai
ketika piagam Jakarta ditempatkan dalam dekrit
presiden RI tahun 1959. Dalam konsiderans dekrit
presiden disebutkan “bahwa kami berkeyakinan bahwa
piagam Jakarta bertanggal 22 juni 1945 menjiwai
UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian
kesatuan dalam konstitusi tersebut.” Dengan
19
demikian dasar hukum piagam Jakarta dan UUD 1945
ditetapkan dalam satu peraturan perundangan, yaitu
Dekrit Presiden. Menurut hukum tata negara
Indonesia, keduanya memiliki kedudukan hukum yang
sama.
Ketentuan di atas kemudian diwujudkan
dalam politik hukum sebagaimana dirumuskan dalam
ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960. Ketetapan itu
berbunyi bahwa penyempurnaan hukum perkawinan dan
hukum waris hendaknya juga memperhatikan faktor-
faktor agama. Namun hingga tahun 1968, batas waktu
berlakunya ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 tidak
satupun muncul undang-undang dalam bidang hukum
perkawinan dan kewarisan.
Memasuki orde baru, pembangunan nasional
dalam bidang terus diupayakan, termasuk dalam
bidang hukum. Dalam rumusan Garis Garis Besar
Haluan Negara, yang merupakan haluan pembangunan
nasional, menghendaki terciptanya hukum baru
Indonesia. Hukum tersebut harus sesuai dengan
cita-cita hukum pancasila dan UUD 1945 serta
20
mengabdi kepada kepentingan nasional. Hukum baru
Indonesia harus memuat ketentuan-ketentuan hukum
yang menampung dan memasukkan hukum agama
(termasuk hukum islam) sebagai unsur utamanya.
Inilah dasar yuridis bagi upaya formatisasi hukum
islam dalam hukum nasional.
Formatisasi hukum islam dilakukan dengan
upaya mentransformasikan hukum islam ke dalam
aturan perundangan. Dalam peraturan perundang-
undangan kedudukan hukum islam semakin jelas. Dari
sinilah kemudian muncul legislasi hukum islam yang
bersifat nasional, yaitu UU No. 1/1974 tentang
Perkawinan dan UU No.28/1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik. Pasal 2 ayat (2) UU No.1/1974
menetapkan bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum agama masing-masing.
Dengan ketentuan ini berarti terjadi perubahan
hukum dari yang rasial etnis (masa kolonial)
kepada hukum yang berdasar keyakinan agama.
Institusi peradilan islam juga menenpati
posisi yang kuat berdasarkan UU No.14/1970 tentang
21
kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 ayat (1)
ditetapkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia
dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha negara. Jenis
peradilan tersebut meliputi peradilan tingkat
pertama dan tingkat pembanding. Dengan demikian
peradilan agama merupakan peradilan negara, yaitu
peradilan resmi yang dibentuk oleh pemerintah dan
berlaku khusus untuk umat islam.
Keberadaan Peradilan Agama semakin jelas
dengan ditetapkannya UU No.7/1989 tentang
kekuasaan Peradilan Agama. Kompetensi Peradilan
Agama memiliki dua ukuran, yaitu asas personalitas
dan bidang hukum perkara tertentu. Dalam Bab II
Pasal 49-53 kewenangan peradilan agama meliputi
bidang-bidang hukum perdata antara lain:
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan
sadaqah. Dari bidang-bidang tersebut dapat
dikatakan bahwa jurisdiksi Peradilan Agama adalah
biadang hukum keluarga (ahwal al-syakhsiyah).
22
Berdasarkan kompetensinya, maka diperlukan
hokum materil sebagai pedoman bagi para hakim
peradilan Agama dalam menjalankan tugasnya. Dalam
menangani perkara, hakim peradilan Agama
menggunakan kitab fikih klasik sebagai dasar
putusannya. Kitab fikih yang digunakan antara satu
peradilan agama dengan peradilan agama yang lain
tidak sama. Hal ini mengakibatkan adanya putusan
yang berbeda dalam masalah yang sama.
Berdasarkan pertimbangan di atas,
dikeluarkanlah keputusan bersama Ketua Mahkamah
Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985
No.07/KMA/1985 dan No.25/1985 tentang penunjukan
pelaksanaan pengembangan hukum Islam. Proyek ini
dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Pelaksanaannya dilakukan melalui empat jalur,
yaitu jalur fikih, wawancara, jurisprudensi dan
studi komparatif ke negara-negara yang penduduknya
mayoritas islam. Hal ini dimaksudkan untuk
mengkaji kitab-kitab fikih yang digunakan sebagai
dasar putusan hakim dan menyesuaikannya dengan
23
perkembangan masyarakat Indonesia menuju hukum
nasional. Format KHI terbagi kedalam tiga buku.
Buku satu berisi tentang hukum perkawinan, buku
dua tentang hukum kewarisan dan buku tiga tentang
hukum perwakafan.
Pemberlakuan hukum islam semakin menguat
dan melebar ke berbagai bidang. Dalam hal obat dan
makanan diwajibkan memiliki sertifikat halal yang
dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Produk Obat
dan Makanan (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia.
Disamping itu, muncul perundang-undangan yang
mendukung terlaksananya hukum islam, seperti
UU.No.17/1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan
UU.No38/1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Berdasarkan deskripsi diatas, formatisasi
hukum agama Islam dalam hukum nasional dapat
berupa hukum umum yang berlaku nasional atau
menjadi hukum khusus yang berlaku bagi umat islam
saja. Hukum islam yang berlaku nasional tercermin
dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan, PP
No.28/1977 Tentang Perwakafan, dan UU No.7/1992
24
Tentang Perbankan, di mana di dalamnya diakui
keberadaan Bank Islam. Formatisasi yang berupa
hukum khusus terlihat dalam inpres No.1/1991
tentang Kompilasi Hukum Islam, UU No.17/1999
tentang Penyelenggaraan Haji, dan UU No.38/1999
tentang Pengelolaan Zakat.
2.2.4 Masa Reformasi (1998 - sekarang)
Ketika masa reformasi menggantikan orde
baru (tahun 1998), keinginan mempositifkan hukum
islam sangat kuat. Perkembangan hukum islam pada
masa ini mengalami kemajuan. Secara riil hukum
islam mulai teraktualisasikan dalam kehidupan
sosial. Wilayah cakupannya menjadi sangat luas,
tidak hanya dalam masalah hukum privat atau
perdata tetapi masuk dalam ranah hukum publik. Hal
ini dipengaruhi oleh munculnya undang-undang
tentang Otonomi Daerah. Undang-undang otonomi
daerah di Indonesia pada mulanya adalah UU
No.22/1999 tentang pemerintah daerah, yang
kemudian diamandemen melalui UU No.31/2004 tentang
25
otonomi daerah. Menurut ketentuan Undang-undang
ini, setiap daerah memiliki kewenangan untuk
mengatur wilayahnya sendiri termasuk dalam bidang
hukum.
Akibatnya bagi perkembangan hukum islam
adalah banyak daerah menerapkan hukum islam.
Secara garis besar, pemberlakuan hukum islam di
berbagai wilayah Indonesia dapat dibedakan dalam
dua kelompok, yaitu penegakan sepenuhnya dan
penegakan sebagian. Penegakan hukum islam
sepenuhnya dapat dilihat dari provinsi Nangroe
Aceh Darussalam. Penegakan model ini bersifat
menyeluruh karena bukan hanya menetapkan materi
hukumnya, tetapi juga menstruktur lembaga penegak
hukumnya. Daerah lain yang sedang mempersiapkan
adalah Sulawesi selatan (Makassar) yang sudah
membentuk Komite Persiapan Penegak Syari’at Islam
(KPPSI), dan kabupaten Garut yang membentuk
Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan
Syari’at Islam (LP3SyI).
26
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam merupakan
daerah terdepan dalam pelaksanaan hukum islam di
Indonesia. Dasar hukumnya adalah UU No.44 tahun
1999 tentang Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam. Keistimewaan tersebut meliputi empat
hal, diantaranya ialah:
a. Penerapan syari’at islam diseluruh aspek
kehidupan beragama,
b. Penggunaan kurikulum pendidikan berdasarkan
syari’at Islam tanpa mengabaikan kurikulum
umum.
c. Pemasukan unsur adat dalam sistem pemerintah
desa, dan
d. Pengakuan peran ulama dalam penetapan kebijakan
daerah.
Tindak lanjut dari Undang-undang di atas
adalah ditetapkannya UU No.18 tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam.
Fenomena pelaksanaan hukum islam juga
merambah daerah-daerah lain di Indonesia, meskipun
polanya berbeda dengan Aceh. Berdasarkan prinsip
27
otonomi daerah, maka munculah perda-perda
bernuansa syari’at Islam di wilayah tingkat I
maupun tingkat II. Daerah-daerah tersebut antara
lain: provinsi Sumatera barat, kota Solok, Padang
pariaman, Bengkulu, Riau, Pangkal Pinang, Banten,
Tanggerang, Cianjur, Gresik, Jember, Banjarmasin,
Gorontalo, Bulukumba, dan masih banyak lagi.
Materi perda syaria’at Islam tidak
bersifat menyeluruh, tetapi hanya menyangkut
masalah-masalah luar saja. Jika dikelompokkan
berdasarkan aturan yang tercantum dalam perda-
perda syari’at, maka isinya mencakup masalah:
kesusilaan, pengelolaan Zakat, Infaq dan Sadaqah,
Penggunaan busana muslimah, pelarangan peredaran
dan penjualan minuman keras, pelarangan pelacuran,
dan sebagainya.
28
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Sejarah masuknya Agama Islam ke Indonesia ada 3
teori yaitu Teori Gujarat, Teori Mekkah, dan Teori
Persia. Persamaan dari ketiga teori tersebut adalah
penyebaran agama Islam melalui jalur perdagangan.
3.2 Perkembangan hukum Islam di Indonesia dipengaruhi
oleh bermacam-macam faktor, seperti penguasa dan
masyarakat pada era itu sendiri. Pada masa kerajaan
Islam, hukum Islam diterapkan dalam berbagai hal tata
negara dan hubungan bermasyarakat. Pada masa
penjajahan hukum Islam berlaku lebih dikhususkan untuk
orang Islam saja, dan seiring perkembangan Belanda
bahakan berusaha menghapus sedikit demi sedikit hukum
Islam. Pada masa setelah kemerdekaan (orde lama, orde
baru dan reformasi) Hukum Islam mulai diterapkan
kembali, meskipun secara tidak langsung. Pemerintah
dalam membuat kebijakan dan peraturan tidak boleh yang
bertentangan dengan syariat Islam. Hal ini juga
dipengaruhi bahwa keadaan bangsa Indonesia yang 87%
penduduknya beragama Islam.
29
DAFTAR PUSTAKA
http://books.google.co.id
http://buihkata.blogspot.com/2013/01/teori-teori-
masuknya-islam-ke-nusantara.html
http://fhiqar.blogspot.com/2012/04/perkembangan-hukum-
islam-di-indonesia.html
http://mohamsholihulwafi.blogspot.com/2013/01/
Perkembangan-hukum-islam-Indonesia.html
30