32
Pengembangan Buku Digital Interaktif sebagai Media Pembelajaran Bagi Anak Tunagrahita PROPOSAL SKRIPI Untuk persyaratan penelitian dan penulisan skripsi akhir studi S1 Program Studi Pendidikan Ilmu Komputer diajukan oleh: Muhamad Rizki 0608659 Kepada TIM SKRIPSI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU KOMPUTER PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU KOMPUTER FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2013

Rev Skripsi

Embed Size (px)

Citation preview

Pengembangan Buku Digital Interaktif

sebagai Media Pembelajaran Bagi Anak Tunagrahita

PROPOSAL SKRIPI

Untuk persyaratan penelitian dan penulisan skripsi akhir studi S1

Program Studi Pendidikan Ilmu Komputer

diajukan oleh:

Muhamad Rizki

0608659

Kepada

TIM SKRIPSI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU KOMPUTER

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU KOMPUTER

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2013

BAB I

PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang

Amanat konstitusi sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Dasar (UUD) Tahun 1945 Pasal 31 Ayat 1 menyatakan bahwa , "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan". Selanjutnya pasal 31 ayat 2 UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa "setiap warga wajib mengikuti pendidkan dasar dan pemerintah wajib membiayainya".

Memenuhi amanat konstitusi tersebut di atas Pemerintah terus berupaya melakukan berbagai program untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia diantaranya melalui Program Wajib Belajar Sembilan Tahun sampai Wajib Belajar 12 Tahun,

Dengan adanya landasan konstitusional tentang pendidikan tersebut memberikan

penekanan bahwa pendidikan harus dilaksanakan secara merata dan tanpa

Pengecualian bagi seluruh anak bangsa baik bagi mereka yang menuntut ilmu di Sekolah biasa maupun Sekolah Luar Biasa (SLB) yang menjadi tempat

formal untuk mendapatkan pendidikannya. Membahas SLB, tidak akan lepas

dari keberadaan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang menjadi peserta didik SLB. ABK merupakan istilah lain

untuk menggantikan kata “Anak Luar Biasa (ALB)” yang menandakan adanya

kelainan khusus. ABK mempunyai karkteristik yang berbeda antara satu dan

lainnya. Pendidikan untuk ABK membutuhkan suatu pola layanan tersendiri,

khususnya bagi anak-anak dengan hendaya perkembangan (children with

developmental impairment) atau yang lebih populer dengan sebutan tunagrahita.

Delphie (2006) mengemukakan bahwa tunagrahita mengacu pada suatu kondisi

tertentu dengan adanya intelligent impairment dan fungsi adaptif, menunjukkan

berbagai masalah dengan kasus-kasus yang berbeda. Kasus-kasus tersebut dapat

disebabkan oleh adanya keabnormalan genetik, kerusakan pada otak sebelum atau

saat dilahirkan, atau kemunduran fungsi otak pada masa kanak-kanak usia dini.

Kelainan khusus terhadap fisik atau mental pada anak dengan kebutuhan

khusus yang mempunyai hendaya perkembangan menghendaki layanan

pendidikan khusus. Hal itu sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia

tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 dalam Pasal 11 Ayat 4

dan Pasal 38. Kemudian dipertegas kembali dalam Undang-undang Republik

Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 dalam Pasal

32 Ayat 1. Dinyatakan bahwa “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi

peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses

pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki

potensi kecerdasan dan bakat istimewa.”

Pendidikan khusus yang dimaksud dalam Undang-undang Republik

Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 dan Nomor

20 Tahun 2003, mempertimbangkan bahwa setiap siswa berbeda-beda dalam

tingkat pencapaian kemampuan belajarnya. Tingkat pencapaian kemampuan

belajar itu menurut Cohen dan Manion (dalam Delphie, 2006) terdiri atas:

1. High achievers, yaitu siswa dengan tingkat pencapaian prestasi belajar

mereka di atas re-rata kelompok.

2.Average achievers, yaitu siswa dengan tingkat pencapaian prestasi belajar

mereka berada pada tingkat kecenderungan umum dalam kelompok.

3. Low achievers, yaitu siswa pada tingkat pencapaian prestasi belajar

mereka di bawah re-rata kelompok.

Siswa low achievers memerlukan layanan bantuan belajar yang lebih

bersifat khusus, yaitu pembelajaran secara individu (individualized education

program) untuk mengatasi karakteristik spesifik mereka. Oleh karena itu

kemampuan mental dalam proses pembelajaran mereka lebih banyak diarahkan

pada perilaku yang bersifat lahiriah atau overt behavior untuk menggali perilaku

tertutup atau covert behavior (Conny dalam Dhelphie, 2006). Termasuk ke dalam

kelompok ini adalah mereka yang mempunyai hendaya perkembagan atau

tunagrahita. Sedangkan siswa dengan high achievers lebih ditekankan pada

perkembangan kemampuan intelektual, karena mereka mempunyai gejala khusus

dalam beberapa aspek antra lain kemampuan intelektual, kepemimpinan, dan gaya

berfikir kreatif (Marland dalam Delphie, 2006).

Dewasa ini di negara-negara Eropa, Amerika juga Indonesia pola layanan

belajar di sekolah-sekolah mulai bergeser dari segregatif ke arah integratif, bahkan

ke arah inklusif. Sekolah-sekolah reguler tidak jarang menerima siswa dengan

kebutuhan khusus. Padahal seperti yang dikatakan sebelumnya, kemampuan siswa

tunagrahita berbeda dengan siswa pada umumnya. Sehingga untuk siswa

tunagrahita diperlukan suatu bentuk penanganan sendiri, baik dalam pola

pengembangan maupun pola bimbingan saat berada di sekolah. Kegiatan layanan

pembelajaran terhadap para siswa tunagrahita sering mendapatkan kesulitan.

Kesulitan-kesulitan tersebut diantaranya adalah dalam membuat program atau

rancangan pembelajaran dan mencarikan bentuk-bentuk media pembelajaran yang

sesuai dengan keberadaan siswa yang bersangkutan.

Salah satu media yang bisa dijadikan sarana penyampaian informasi dan cerita bagi anak tunagrahita adalah berupa Buku .

Buku telah lama digunakan sebagai media penyampaian pesan dan cerita.

Beberapa cerita populer seperti Alice in Wonderland, Hansel and Gretel, dan Peter

Rabbit. Apa yang membedakan buku dari buku biasa adalah efek kejutannya, sesuatu

yang pembaca tidak bisa menyangka apa isi tiap halaman dari lembar yang mereka buka.

Pembaca mendapatkan pengalaman lebih atas apa yang mereka lihat ketimbang apa yang

diberikan oleh buku biasa. Karena penggunaannya yang dinamis dan dipenuhi oleh

bagian-bagian yang bisa digerakkan, buku dibuat kokoh dan tahan lama (Montanaro:

2013). Seiring perkembangan zaman, buku (terutama buku ) mulai tergantikan perannya

oleh buku digital. Teknologi bukanlah sesuatu yang dapat membunuh eksistensi buku .

Justru kehadiran teknologi membuat buku berkembang dalam bentuk digital

(Sniderman: 2010).

Bertolak dari itu penulis ingin melakukan satu penelitian mengenai buku digital

interaktif yang mengkombinasikan seni, teknologi, dan konten pembelajaran. Penelitian

yang diajukan berjudul "PENGEMBANGAN BUKU DIGITAL INTERAKTIF

SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN BAGI ANAK TUNAGRAHITA".

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah

1. Mengembangkan Buku Digital Interaktif yang mampu menyampaikan isi materi

pembelajaran kepada siswa.

2. Buku Digital Interaktif mampu memberikan pengalaman lebih kepada siswa

ketimbang buku pelajaran biasa.

1.3. Rumusan Masalah

Masalah yang menjadi objek penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana mengembangkan Buku Digital Interaktif yang mampu

menyampaikan isi materi pembelajaran kepada siswa?

2. Apakah Buku Digital Interaktif memberikan pengalaman lebih kepada siswa

ketimbang buku pelajaran biasa?

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi Siswa

Dengan adanya Buku Digital Interaktif diharapkan proses pembelajaran

menjadi lebih menarik. Siswa tidak hanya berhadapan dengan buku pelajaran

biasa yang bersifat statis. Keinginan siswa untuk mempelajari materi

pembelajaran berlipat karena beragam pengalaman yang ditawarkan oleh Buku

Digital Interaktif.

2. Bagi Pendidik

Pendidik diharapkan mampu mengambil keuntungan dari banyaknya fitur

yang disediakan oleh Buku Digital Interaktif. Menyesuaikan dengan gaya

mengajar pendidik sehingga siswa mendapatkan hasil yang optimal.

1.5. Definisi Operasional

1. Buku adalah seni melipat kertas yang memiliki dua perbedaan dari origami.

Pertama, buku memiliki dua buah permukaan yang dihubungkan oleh sebuah

engsel, memungkinkan pergerakan terbatas. Kedua, buku tidak hanya tertutup

(melipat) tapi juga terbuka (tidak terlipat). (Uehara & Teramoto, 2006: 59)

2. Buku Interaktif merupakan bentuk buku biasa yang menambahkan elemen

interaktif secara dinamis (Qi & Buechley, 2010:121)

3. Buku Digital Interaktif adalah perpaduan antara seni lipat kertas dan

teknologi yang memungkinkan pengembang menambahkan elemen musik,

narasi, dan objek tiga dimensi secara interaktif.

1.6. Metode Penelitian

1. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian yang digunakan adalah metode Research and

Development.

2. Prosedur Penelitian

Dalam mengembangkan buku digital interaktif ini penulis mengacu pada apa

yang dikemukakan oleh Munir (2008: 195), membagi proses pengembangan

media pembelajaran menjadi lima tahap. Tahapan tersebut antara lain:

1. Tahap Analisis

2. Tahap Desain

3. Tahap Pengembangan

4. Tahap Implementasi

5. Tahap Penilaian

3. Populasi dan Sampel

Populasi yang diambil dari penelitian ini adalah siswa – siswa Tunagrahita Terate

Bandung.

4. Teknik Pengumpulan Data

4.1 Wawancara

Wawancara dilakukan kepada anak – anak Tunagrahita Terate Bandung

4.2 Kuesioner

Kuesioner yang disebarkan berbentuk angket dengan kriteria berdasarkan

skala Likert.

5. Instrumen Penelitian

a. Instrumen Studi Lapangan

b. Instrumen Validasi Ahli

c. Instrumen Penilaian Siswa Terhadap Media Pembelajaran

BAB II

LANDASAN TEORI2.1. Belajar

2.1.1.Definisi belajar

Gronbach di dalam bukunya Educational Psychology mengatakan bahwa

“Learning is shown by a by a change in behavior as a result of experience” (dalam

Suryabrata, 1987). Jadi menurut Grobanch belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan

mengalami, dan di dalam mengalami itu siswa mempergunakan panca inderanya. Sesuai

dengan pendapat ini adalah pendapat Harold Spears. Harold Spears memberikan batasan

bahwa “learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen,

to follow direction” (dalam Suryabrata, 1987). Senada dengan apa yang dikemukakan

Gronbach, McGeoh berpendapat bahwa “Learning is a change in performance as a result

of practice” (dalam Suryabrata, 1987). Selanjutnya definisi yang lebih eksplisit lagi yaitu

dengan menunjuk yang bukan belajar adalah definisi yang dikemukakan oleh Hilgard.

Hilgard menyatakan bahwa “learning is the process by which an activity originates or is

changed through training procedures (whether in the laboratory or in the natural

environment) as distinguished from change by factors not attributable to training” (dalam

Suryabrata, 1987).

Dari beberapa definisi yang telah para ahli katakan, maka dapat disimpulkan bahwa

belajar itu merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan dengan serangkaian

kegiatan, misalnya membaca, mengamati, mendengarkan, meniru, dan lain sebagainya.

Juga belajar itu akan lebih baik kalau subjek belajar itu mengalami atau melakukannya,

jadi tidak bersifat verbalistik. Atau dengan kata lain belajar sebagai kegiatan psikofisik

untuk menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya. Oleh karena itu dalam belajar perlu

ada proses internalisasi, sehingga akan menyangkut matra kognitif, afektif dan

psikomotorik (Sardiman, 1990). Tiga matra atau tersebut oleh Bloom dirinci lagi menjadi

beberapa jangkauan kemampuan (level of competence), yaitu:

a) Kognitif Domain

1. Knowledge (pengetahuan, ingatan)

2. Comprehension (pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh)

3. Analysis (menguraikan, menentukan hubungan)

4. Synthesis (mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan baru)

5. Evaluation (menilai)

6. Application (menerapkan)

b) Affectif Domain

1. Recieving (sikap menerima)

2. Responding (memberi respon)

3. Valuing (nilai)

4. Organization (organisasi)

5. Characterization (karakterisai)

c) Psychomotor Domain

1. Initiatory level

2. Pre-routine level

3. Routinized level

2.1.2.Bentuk-bentuk belajar

Gage (dalam Dahar, 1989) mengemukakan, bahwa ada lima bentuk belajar, yaitu:

a) Belajar responden

Dalam belajar responden, suatu respon dikeluarkan oleh suatu stimulus yang telah

dikenal. Ivan Pavlov seorang ahli psikologi Rusia telah mengadakan penelitian tentang

belajar ini. Seekor anjing diberi serbuk daging dan sambil makan keluar air liurnya.

Serbuk daging disebut stimulus tidak terkondisi (unconditioned stimulus, US), dan

tindakan mengeluarkan air liur disebut respons tidak terkondisi (unconditioned response,

UR). Sekarang lampu di tempat anjing itu dihidupkan. Menghidupkan mempunyai efek

minimal terhadap keluar air liurnya anjing itu. Kemudian lampu dinyalakan tepat sebelum

memberikan serbuk daging (US). Jika hal ini dilakukan beberapa kali dan kemudian pada

suatu percobaan tanpa memberikan serbuk daging, maka timbul respon mengeluarkan air

liur. Cahaya yang sebelumnya merupakan stimulus netral (neutral stimulus, NS), berubah

menjadi stimulus terkondisi (conditioned stimulus, CS), dan respons yang ditimbulkan

disebut respon terkondisi (conditioned response, CR).

Gambar 2.1 Model Belajar Responden

(Dahar, 1989:13)

b) Belajar kontiguitas

Belajar kontiguitas agak mirip dengan belajar responden, hanya saja di dalam belajar

kontiguitas tidak diperlukan hubungan strimulus tak-terkondisi respons. Hubungan

sederhana antara suatu stimulus dan suatu respons dapat menghasilkan suatu perubahan

dalam perilaku. Pemasangan kejadian-kejadian sederhana itu, atau kejadian apa pun,

dapat menghasilkan belajar. Salah satu bentuk belajar kontiguitas ialah metode drill.

Misalnya dalam menghafalkan pertambahan atau perkalian. Walaupun mengajar dengan

menggunakan metode drill ini kerap kali membosankan tetapi dapat menjadi efisien,

karena peristiwaperistiwa yang terjadi secara bersamaan dapat menghasilkan belajar.

Mengatakan “enam” terhadap stimulus “2 x 3”, mengakibatkan pemasangan stimulus dan

respons yang asosiasinya akan dipelajari.

c) Belajar operant

Reinforser ialah setiap stimulus yang meningkatkan suatu perilaku (Gage, 1984

dalam Dahar, 1989). Sedangkan menurut Salvin reinforser didefiisikan sebagai suatu

konsekuensi yang memperkuat (berarti meningkatkan frekuensi) perilaku-perilaku

(Slavin, 1988 dalam Dahar, 1989). Belajar sebaggai akibat reinforsemen merupakan

bentuk belajar lain yang banyak diterapkan dalam teknologi modifikasi perilaku. Bentuk

belajar ini disebut terkondisi operant, sebab perilaku yang diinginkan timbul secara

spontan, tanpa dipengaruhi oleh stimulus apapun. Berbeda dengan belajar responden,

perilaku operant tidak mempunyai stimulus fisiologis yang dikenal. Perilaku operant

tidak “dikeluarkan” (elicited), tetapi “dipancarkan” (emitted). Konsekuensi dari perilaku

itu bagi organisma merupakan variabel yang penting dalam belajar operant. Perilaku akan

dipekuat bila akibatnya berupa suatu peristiwa terinfors. Perilaku yang mengalami

reinforsemen mempunyai kecenderungan untuk meningkat dalam hal frekuensi,

magnituda, atau probabilitas terjadinya.

d) Belajar observasional

Bentuk belajar belajar ini banyak dijumpai dalam kehidupan sehar-hari. Misalnya

ketika petama kali belajar mengendarai mobil, kita akan mengamati seorang instruktur

untuk mengetahui urutan tindakan-tindakan yang harus dilakukan untuk menghidupkan

dan kemudian menjalankan mobil. Istruktuktur yang sebagai model perilaku, tentu

membimbing perilaku kita. Pengamatan-pengamatan tentang model mengubah perilaku

kita. Konsep belajar observasional memperlihatkan bahwa orang dapat belajar dengan

mengamati orang lain melakukn apa yang akan dipelajari. Karena itu perlu diperhatikan,

agar anak-anak lebih banyak diberi kesempatan untuk mengamati model-model perilaku

yang baik atau yang kita inginkan, dan mengurangi kesempatankesempatan untuk melihat

perilaku yang tidak baik.

e) Belajar kognitif

Beberapa ahli psikologi dan ahli pendidikan berpendapat, bahwa konsepsi-konsepsi

tentang belajar yang telah dikenal, tidak satu pun yang mempersoalkan proses-proses

kognitif yang terjadi selama belajar. Proses-proses semacam itu menyangkut insight atau

berfikir dan reasoning atau menggunakan logika deduktif dan induktif. Walaupun

konsepsi-konsepsi lain tentang belajar dapat diterapkan pada hubungan-hubungan

stimulus dan respons yang arbiter dan tak logis, para ahli ini berpendapat bahwa lebih

banyak dibutuhkan untuk menjelaskan belajar tentang hubungan-hubungan yang logis,

rasional, atau nonarbiter.

Menurut pendapat para ahli psikologi kognitif, sesuatu yang penting tidak dapat

ditemukan dari konsepsi operant-conditioning ini, yaitu apa yang sebetulnya terjadi. Hal

ini pun tidak dapat ditemukan bila kita coba menganggap proses belajar ini sebagai

contoh dari belajar responden, kontiguiatas, atau observasional. Semua pendekatan-

pendekatan belajar perilaku tampaknya tidak mengindahkan persepsi siswa, insight, dan

kognisi dari hubunanhubungan esensial antara unsur-unsur dalam situasi ini. Proses -

proses mental yang diabaikan oleh para penganut psikologi perilaku ini, yang menjadi inti

dalam teori belajar kognitif.

2.1.3.Tujuan belajar

Tujuan belajar itu sebenarnya sangat banyak dan bervariasi. Tujuan-tujuan belajar

yang eksplisit diusahakan untuk dicapai dengan tindakan instruksional, lazim dinamakan

dengan instructional effects, yang biasa berbentuk pengetahuan dan keterampilan.

Sedangkan tujuan yang lain tercapai karena siswa menghidupi (to live in) suatu sistem

lingkungan belajar tertentu, seperti kemampuan berfikir kritis, kreatif, sikap terbuka,

demokratis dan menerima pendapat orang lain. Semua itu lazim diberi

istilah nurturant effects. Jika ditinjau secara umum tujuan belajar ada tiga jenis

(Sardiman,1990), yaitu:

a) Untuk mendapatkan pengetahuan (kognitif)

Hal ini ditandai dengan kemampuan berfikir. Pengetahuan dan kemampuan

berfikir memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain tidak

dapat mengembangkan kemampuan berfikir tanpa ilmu pengetahuan, sebaliknya

kemampuan berfikir akan memperkaya pengetahuan. Tujuan inilah yang

memiliki kecenderungan lebih besar perkembangannya di dalam kegiatan belajar.

Jenis interaksi yang digunakan untuk memperoleh tujuan ini pada umumnya

dengan model presentasi dan pemberian tugastugas bacaan. Dengan cara

demikian siswa akan diberikan pengetahuan sehingga menambah

pengetahuannya dan sekaligus mengembangkan cara berfikir untuk memperkaya

pengetahuan.

b) Penanaman konsep dan keterampilan (psikomotorik)

Penanaman konsep atau merumuskan konsep juga memerlukan keterampilan,

baik jasmani maupun rohani. Keterampilan jasmaniah adalah keterampilan yang

dapat dilihat, diamati, sehingga menitikberatkan pada keterampilan gerak atau

penampilan dari anggota tubuh seseorang yang sedang belajar. Termasuk dalam

hal ini masalah-masalah teknik dan pengulangan. Sedangkan keterampilan rohani

lebih rumit, karena tidak selalu berurusan dengan masalah-masalah keterampilan

yang dapat dilihat bagaimana ujung pangkalnya, tetapi lebih abstrak, menyangkut

persoalan-persoalan penghayatan, keterampilan berfikir serta kreativitas untuk

menyelesaikan dan merumuskan suatu masalah atau konsep. Jadi semata-mata

bukan soal pengulangan, tetapi mencari jawaban yang cepat dan tepat.

c) Pembentukan sikap (afektif)

Dalam menumbuhkan sikap mental, perilaku dan pribadi anak didik, guru harus

lebih bijak dan hati-hati dalam pendekatannya. Untuk ini dibutuhkan kecakapan

mengarahkan motivasi dan berfikir dengan menggunakan pribadi guru itu sendiri

sebagai model. Dalam interaksi belajar-mengajar guru akan senantiasa

diobservasi, dilihat, didengar, dan ditiru semua perilakunya oleh para siswanya.

Dari proses obervasi mungkin juga menirukan itu diharapkan terjadi proses

internalisasi sehingga menumbuhkan proses penghayatan pada setiap diri siswa

untuk kemudian diamalkan.

2.1.4.Faktor-faktor psikologis dalam belajar

Kehadiran faktor-faktor psikologis dalam belajar akan memberikan andil yang

cukup penting. Faktor-faktor psikologis akan senantiasa memberikan landasan dan

kemungkinan dalam upaya mencapai tujuan belajar secara optimal. Sebaliknya, tanpa

kehadiran faktor-faktor psikologis, bisa jadi memperlambat proses belajar bahkan dapat

pula menambah kesulitan dalam mengajar. Tomas F. Staton (Sardiman, 1990)

mengemukakan enam macam faktor psikologis, yaitu motivasi, konsentrasi, reaksi,

organisasi, pemahaman dan ulangan. Di samping enam macam faktor psikologis tersebut,

masih ada rumusan-rumusan lain mengenai dorongan belajar pada diri seseorang. Faktor-

faktor psikologis diklasifikasikan menjadi perhatian, pengamatan, tanggapan, fantasi,

ingatan, berfikir, bakat dan motif (Sardiman, 1990).

2.2. Pembelajaran

Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh

pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau siswa.

Konsep pembelajaran menurut Corey adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang

secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu

dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu (Sagala,

2009). Pembelajaran merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan, oleh karena itu

mari pahami lebih mendalam. Pembelajaran menurut Dimyati dan Mudjiono (dalam

Sagala, 2009) adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk

membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar.

Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003

menyatakan pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan pendidik dan sumber

belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran sebagai proses belajar yang dibangun

oleh guru untuk mengembangkan kreatifitas berfikir yang dapat meningkatkan

kemampuan berfikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi

pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi

pelajaran.

Hal ini menggambarkan bahwa orang yang berpengetahuan adalah orang yang

terampil memecahkan masalah, maupun berinteraksi dengan lingkungannya dalam

menguji hipotesis dan menarik generalisasi dengan benar. Jadi pembelajaran diarahkan

untuk membangun kemampuan berfikir dan kemampuan menguasai materi pelajaran,

dimana pengetahuan itu sebenarnya dari luar diri, tetapi dikonstruksi dalam diri individu

siswa. Pengetahuan tidak diperloleh dengan cara diberikan atau ditrasfer dari orang lain,

tetapi dibentuk dan dikonstruksi oleh individu itu sendiri, sehingga siswa itu mampu

megembangkan intelektualnya. Pembelajaran juga tidak terjadi seketika, melainkan sudah

melalui tahapan perancangan pembelajaran. Menurut Knirk dan Gustafson (dalam Sagala,

2009) pembelajaran merupakan suatu proses yang sistematis melalui tahap rancangan,

pelaksanaan dan evaluasi. Selanjutnya Knirk dan Gustafson (dalam Sagala, 2009)

mengemukakan teknologi pembelajaran melibatkan tiga komponen utama yang saling

berinteraksi, yaitu guru, siswa dan kurikulum.

2.3. Motivasi

2.3.1.Pengertian motivasi

Motivasi berpangkal dari kata “motif” yang dapat diartikan daya penggerak yang

ada di dalam diri seseorang unutk melakukan aktivitasaktivitas tertentu demi tercapainya

suatu tujuan (Sardiman, 1990). Menurut Mc. Donald, motivasi adalah perubahan energi

dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling dan didahului dengan

tanggapan terhadap adanya tujuan. Pengertian ini mengandung tiga elemen penting, yaitu:

a) Motivasi mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu

manusia. Karena menyangkut perubahan energi manusia, penampakannya akan

menyangkut kegiatan fisik manusia.

b) Motivasi ditandai dengan munculnya rasa dan afeksi seseorang. Dalam hal ini

motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan, afeksi, dan emosi yang

dapat menentukan tingkah-laku manusia.

c) Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Dalam hal ini sebenarnya

motivasi merupakan respons dari suatu aksi, yakni tujuan. Motivasi memang

muncul dari dalam diri manusia, tetapi kemunculannya karena terangsang atau

terdorong oleh adanya unsur lain, dalam hal ini adalah tujuan. Tujuan ini akan

menyangkut soal kebutuhan.

Motivasi dapat juga diartikan sebagai serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-

kondisi tertentu, sehingga orang itu mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila tidak suka

maka akan berusaha untuk meniadakan atau mengelakkan perasaan tidak suka itu. Jadi

motivasi dapat dirangsang oleh faktor dari luar, akan tetapi motivasi itu tetap tumbuh

didalam diri seseorang. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai

keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang

menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar sehingga

tujuan yang diinginkan dapat tercapai.

2.3.2.Fungsi motivasi dalam belajar

Dalam belajar sangat diperlukan adanya motivasi karena “motivation is an essential

condition of learning”. Hasil belajar akan menjadi optimal kalau ada motivasi. Makin

kuat motivasi yang diberikan, maka akan makin berhasil pula pelajaran itu. Jadi motivasi

menentukan intensitas usaha belajar bagi para siswa. Sehubungan dengan hal tersebut,

ada tiga fungsi dari motivasi (Sardiman, 1990).

a) Mendorong manusia untuk berbuat. Motivasi dalam hal ini merupakan motor

penggerak dari setiap kegiatan yang dilaukan.

b) Menentukan arah perbuatan ke arah tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan

rumusan tujuannya.

c) Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus

dikerjakan guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbutan yang

tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.

Di samping tiga fungsi di atas, ada juga fungsi lain. Motivasi dapat berfungsi sebagai

pendorong usaha dan pencapaian prestasi. Seseorang melakukan suatu usaha karena

adanya motivasi. Adanya motivasi yang baik dalam belajar akan menunjukkan hasil yang

baik pula. Dengan kata lain dengan adanya usaha yang tekun dan terutama didasari

adanya motivasi, maka seseorang akan melahirkan prestasi yang baik. Intesitas motivasi

seseorang akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajarnya.

2.3.3.Macam-macam motivasi

a) Motivasi dilihat dari dasar pembentukannya menurut Arden N. Frandsen.

1. Physiological drives

Motif ini dibawa sejak lahir, jadi motivasi itu ada tanpa dipelajari. Motif ini juga

seringkali disebut motif yang diisyaratkan secara biologis.

2. Affiliative needs

Motif ini timbul karena dipelajari dan seringkali disebut dengan motif yang

diisyaratkan secara sosial. Sebab manusia hidup dalam lingkungan sosial dengan

sesama manusia yang lain, sehingga motivasi ini terbentuk.

3. Cognitive motives

Motif ini menunjuk pada gejala intrinsic, yakni menyangkut kepuasan individual.

Kepuasan individual berada di dalam diri manusia dan bisanya berwujud proses

dan produk mental. Jenis motif ini sangat primer dalam kegiatan belajar di

sekolah, terutama yang berkaitan dengan perkembangan intelektual.

4. Self-expression

Penampilan diri adalah sebagian dari perilaku manusia. Lebih baik kebutuhan

individu itu tidak hanya sekedar tau mengapa dan bagaimana sesuatu itu terjadi,

tetapi juga mampu membuat suatu kejadian. Untuk ini diperlukan kreativitas

yang penuh dengan imajinasi. Jadi dalam hal ini seseorang akan ada keinginan

untuk aktualisasi diri.

5. Self-enhancement

Melalui aktualisasi diri dan pengembangan kopetensi akan meningkatkan

kemajuan diri seseorang. Kemajuan diri ini menjadi salah satu keinginan bagi

setiap individu.

b) Jenis motivasi menurut pembagian dari Woodworth dan Marquis.

1. Motif atau kebutuhan organis

Motif ini sesuai dengan Physiological drives dari Frandsen yang telah disinggung

sebelumnya. Contohnya adalah kebutuhan untuk minum, makan, bernafas dan

kebutuhan untuk beristirahat.

2. Motif-motif darurat

Contoh yang termasuk ke dalam motif ini antra lain: dorongan untuk

menyelamatkan diri, untuk berusaha, untuk membalas. Jadi motivasi ini timbul

karena rangsangan dari luar.

3. Motif-motif objektif

Motif ini menyangkut kebutuhan untuk melakukan eksplorasi, melakukan

manipulasi dan untuk menaruh minat. Motif-motif ini muncul karena dorongan

untuk menghadapi dunia luar secara efektif.

c) Motivasi jasmaniah dan rohaniah.

Ada beberapa ahli yang menggolongkan motivasi menjadi dua jenis, yakni motivasi

jasmaniah dan rohaniah (Sardiman, 1990). Motivasi jasmaniah contohnya adalah

refleks, instink otomatis dan nafsu. Sedangkan contoh dari rohaniah adalah kemauan.

Kemauan itu terbentuk melalui empat momen, yaitu:

1. Momen timbulnya alasan

2. Momen pilih

3. Momen putusan

4. Momen terbentuknya kemauan

d) Motivasi intristik dan ekstrinsik.

1. Motivasi instrinsik

Motivasi instrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif dan berfungsinya tidak

perlu dirangsang dari luar, karena dalam setiap diri individu sudah ada dorongan

untuk melakukan sesuatu.

2. Motivasi ekstrinsik

Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif apabila ada rangsanagan dari

luar.

2.3.4.Bentuk-bentuk motivasi di sekolah

Ada beberapa bentuk dan cara untuk menumbuhkan motivasi dalam kegiatan

belajar di sekolah, misalnya memberi angka atau nilai, hadiah, saingan atau kompetisi,

ego-involvement, memberi ulangan, mengetahui hasil, pujian, hukuman, hasrat untuk

belajar, minat ataupun tujuan yang diakui siswa.

2.4. Media

Kata media berasal dari bahasa Latin, yaitu Medòë. Medòë merupakan bentuk jamak

dari kata medium yang secara harfiah berarti pelantara atau pengantar. Jadi Medòë adalah

pelantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan (Sadiman et al, 2007).

Banyak para ahli yang telah memberikan pengertian tentang media. Association of

Education and Comunication Technology (AECT) di Amerika, mengartikan media

sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan atau

informasi. Gagne (1970) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen

dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar. Briggs (1970)

berpendapat bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta

merangsang siswa untuk belajar, contohnya seperti buku, film dan kaset. Sementara itu

National Education Association (NEA) memiliki pengertian yang berbeda. Media adalah

bentuk - bentuk komunikasi baik tercetak maupun audiovisual serta peralatanya. Media

hendaknya dapat dimanipulasi, dapat dilihat, didengar dan dibaca. Berdasarkan

pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa media adalah segala sesuatu yang

dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat

merangsang pikiran, perasaan, minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga

proses belajar terjadi (Sadiman et al, 2007).

Secara umum media dalam bidang pendidikan mempunyai kegunaan – kegunaan sebagai

berikut (Sadiman et al, 2007).

1. Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis.

2. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera, misalnya:

a) Objek yang terlalu besar, bisa digantikan dengan realita gambar, film atau model.

b) Objek yang kecil, bisa dibantu dengan proyektor mikro, film atau gambar.

c) Gerak yang terlalu lambat atau cepat, dapat dibantu dengan timelapse atau high-

speed photography.

d) Kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa lalu bisa ditampilkan lagi lewat

rekaman film, video, foto maupun secara verbal.

e) Objek yang terlalu kompleks (misalnya mesin-mesin) dapat disajikan dengan

model, diagram dan lain-lain.

f) Konsep yang terlalu luas (misalnya gunung berapi, gempa bumi dan iklim) dapat

divisualkan dalam bentuk film, gambar dan lain-lain.

3. Pengguanaan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap

pasif anak didik. Dalam hal ini media pendidikan berguna untuk:

a) Menimbulkan kegairahan belajar.

b) Memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik dengan

lingkungannya.

c) Memungkinkan anak didik belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan dan

minatnya.

4. Mengatasi perbedaan antar siswa, karena media pendidikan mempunyai kemampuan

dalam:

a) Memberikan perangsang yang sama,

b) Mempersamakan pengalaman,

c) Menimbulkan persepsi yang sama.

2.5. Multimedia Interaktif

Multimedia berasal dari kata “multi” dan “media”. Multi berarti banyak, sehingga

multimedia dapat diartikan sebagai gabungan dari berbagai media yang terintegrasi.

Kombinasi berbagai media dimanfaatkan secara harmonis dan terintegrasi sehingga

menghasilkan satu program pembelajaran yang sinergi untuk mencapai tujuan

pembelajaran tertentu (pustekom, 2008). Itu adalah pengertian multimedia dalam sudut

pandang pendidikan, sedangkan dalam pengertian secara umum multimedia adalah

kombinasi dari teks, foto, seni grafis, suara, animasi dan elemen-elemen video yang

dimanipulasi secara digital. Ketika pengguna dari multimedia tersebut dapat mengontrol

elemen-elemen di dalamnya, maka multimedia tersebut disebut interaktif (vaughan,

2006). Sejalan dengan hal tersebut, Haffos (dalam Munir, 2003) mendefinisikan

multimedia sebagai suatu sistem komputer yang terdiri dari hardware dan software yang

memberikan kemudahan untuk menggabungkan gambar, video, fotografi, grafik dan

animasi dengan suara, teks dan data yang dikendalikan dengan program komputer.

Kemudian Thompson (dalam Munir 2003) mendefinisikan multimedia sebagai suatu

sistem yang menggabungkan gambar, video, animasi dan suara secara interaktif.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, terdapat kesamaan bahwa multimedia merangkum

berbagai macam media menjadi satu software pembelajaran yang interaktif. Jadi

multimedia dapat diartikan sebagai teknologi yang mengoptimalkan peran komputer

sebagai media yang menampilkan teks, suara, grafik, video dan animasi dalam sebuah

tampilan yang terintegrasi dan interaktif. Dalam pembuatan multimedia terdapat lima

tahapan pengembangan (Munir 2003), yaitu:

1. Analisis

Pada tahap ini ditetapkan tujuan pengembangan software, baik bagi pelajar, guru,

maupun bagi lingkungan. Untuk keperluan tersebut, maka analisis dilakukan

dengan kerjasama antara guru dengan pengembang software dengan mengacu

pada kurikulum yang digunakan.

2. Desain

Tahap ini meliputi penentuan unsur-unsur yang perlu dimasukkan ke dalam

software yang akan dikembangkan sesuai dengan pembelajaran. Proses desain

pengembangan software pembelajaran meliputi dua aspek desain, yaitu aspek

model ID (desain instruksional) dan aspek isi pengajaran yang akan diberikan.

3. Pengembangan

Didasarkan pada desain pembelajaran, maka dibuat papan cerita (flowchart).

Selanjutnya software dikembangkan hingga menghasilkan sebuah prototaip

software pembelajaran. Tahap pengembangan software meliputi penyediaan

papan cerita, carta alir, atur cara, menyediakan grafik, media (suara dan video)

dan pengintegrasian sistem. Setelah pengembangan selesai, maka dilakukan

penilaian terhadap unit-unit software tersebut dengan menggunakan rangkaian

penilaian software multimedia. Penilaian terhadap software pembelajaran

meliputi penilaian terhadap teks, grafik, suara, musik, video, animasi dan

kegiatan pembelajaran di dalamnya.

4. Implementasi

Implementasi pengembangan software disesuaikan dengan model pembelajaran

yang diterapkan. Siswa dapat menggunakan software multimedia di dalam kelas

secara kreatif dan interaktif melalui pendekatan individu atau kelompok.

Software multimedia yang dikembangkan bersumber dari bahan-bahan pelajaran

yang diperoleh dari buku, pengalaman lingkungan, guru, pengalaman siswa itu

sendiri atau bersumber dari cerita yang berkembang di masyarakat. Dengan

demikian, siswa termotivasi untuk membaca dan perasaan ingin tahunya

meningkat. Dalam hal ini peranan guru selain menjadifasilitator juga untuk

mengontrol perkembangan pembelajaran siswa secara objektif.

5. Penilaian

Untuk mengetahui secara pasti kelebihan dan kekurangan software yang telah

dikembangkan, maka dilakukan penilaian. Perbaikan perlu dilakukan agar

software lebih sempurna. Tahap penilaian merupakan tahap yang ingin

mengetahui kesesuaian software multimedia tersebut dengan program

pembelajaran. Penilaian lebih ditekankan pada kemampuan literasi komputer,

literasi materi pelajaran dan tahap motivasi siswa.

2.6. Tunagrahita

2.6.1.Pengertian tunagrahita

Tunagrahita merupakan kata lain dari Retardasi mental (keterbelakangan mental).

Secara etimologi tunagrahita terdiri atas dua buah kata, yaitu tuna yang berarti merugi

dan grahita yang berarti pikiran. Ada beberapa definisi tentang tunagrahita menurut

lembaga penelitian, antara lain:

a) American Asociation Mental Deficiency (AAMD) mendefinisikan tunagrahita sebagai

kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (sub-average),

yaitu IQ 84 ke bawah berdasarka tes, yang muncul sebelum usia 16 tahun dan

menunjukan hambatan dalam perilaku adaptif.

b) Menurut Japan League for Mentally Retarded tunagrahita memiliki fungsi intelektual

yang lamban, yaitu IQ 70 ke bawah berdasarkan inteligensi baku. Kekurangan dalam

perilaku adaktif. Terjadi pada masa perkembangan, yaitu antara masa konsepsi

hingga usia 18 tahun.

Selain Retadasi Mental tunagrahita sering disepadankan dengan istilah istilah

lemah pikiran (feeble minded), terbelakang mental (mentally retarded), bodoh atau dungu

(idiot), pandir (imbecile), tolol (moron), oligofrenia (oligophenia), mampu didik

(educable), mampu latih (trainable), ketergantungan penuh (totally dependent) atau butuh

rawat, mental subnormal, defisit mental, defisit kognitif, cacat mental, defisiensi mental,

gangguan intelektual.

2.6.2.Klasifikasi Tunagrahita

Banyak yang berasumsi bahwa semua anak tunagrahita sama dengan anak idiot.

Asumsi tersebut kurang tepat karena sesungguhnya anak tunagrahita terdiri atas beberapa

klasifikasi. Setiap klasifikasi selalu diukur dengan tingkat IQ mereka, yang terbagi

menjadi tiga kelas yakni tunagrahita ringan, tunagrahita sedang dan tunagrahita berat

(Lala, 2008).

c) Tunagrahita ringan

Anak yang tergolong dalam tunagrahita ringan memiliki banyak kelebihan dan

kemampuan. Mereka mampu dididikdan dilatih. Misalnya, membaca, menulis,

berhitung, menjahit, memasak, bahkan berjualan. Tunagrahita ringan lebih mudah

diajak berkomunikasi. Selain itu kondisi fisik mereka tidak begitu mencolok. Mereka

mampu berlindung dari bahaya apapun. Karena itu anak tunagrahita ringan tidak

memerlukan pengawasan ekstra.

d) Tunagrahita sedang

Tidak jauh berbeda dengan anak tunagrahita ringan. Anak tunagrahita sedang pun

mampu diajak berkomunikasi. Namun, kelemahannya mereka tidak begitu mahir

dalam menulis, membaca, dan berhitung. Tetapi, ketika ditanya siapa nama dan

alamat rumahnya akan dengan jelas dijawab. Mereka dapat bekerja di lapangan

namun dengan sedikit pengawasan. Begitu pula dengan perlindungan diri dari

bahaya. Sedikit perhatian dan pengawasan dibutuhkan untuk perkembangan mental

dan sosial anak tunagrahita sedang.

e) Tunagrahita berat

Anak tunagrahita berat disebut juga idiot. karena dalam kegiatan sehari-hari mereka

membutuhkan pengawasan, perhatian, bahkan pelayanan yang maksimal. Mereka

tidak dapat mengurus dirinya sendiri apalagi berlindung dari bahaya. Asumsi anak

tunagrahita sama dengan anak idiot tepat digunakan jika anak tunagrahita yang

dimaksud tergolong dalam tungrahita berat.

2.6.3.Hambatan-hambatan anak tunagrahita

Bandi Delphi (2006:65) mengatakan bahwa anak tunagrahita memiliki hambatan-

hambatan yang dialaminya, antara lain:

f) Pada umumnya mempunyai perkembangan perilaku yang tidak sesuai dengan

kemampuan potensialnya.

g) Mempunyai kelainan perilaku maladaktif berkaitan dengan sikap secara verbal

maupun fisik, suka menyakiti diri sendiri, menghindarkan diri dari orang lain,

menyendiri, mengucapkan kata atau kalimat yang tidak masuk akal atau sulit

dimengerti maknanya, selalu ketakutan dan sikap suka bermusuhan.

h) Mempunyai kecenderungan yang tinggi untuk melakukan tindakan yang salah.

i) Memiliki masalah yang berkaitan dengan kesehatan khusus seperti terlambatnya

perkembangan gerak, tingkat pertumbuhan yang tidak normal, kecacatan sensori,

khususnya pada persepsi penglihatan dan pendengaran.

j) Sebagian mempunyai kelainan penyerta cerebral palsy, kelainan saraf otot yang

disebabkan oleh kerusakan bagian tertentu pada otak saat ia dilahirkan ataupun saat

awal kehidupan.

k) Secara keseluruhan mempunyai kelemahan pada segi keterampilan gerak, fisik yang

kurang sehat, koordinasi gerak, kurangnya perasan percaya diri terhadap situasi dan

keadaan sekelilingnya, serta keterampilan gross dan fine motor yang kurang.

l) Umumnya tidak memiliki kemampuan sosial.

m) Mempunyai keterlambatan pada berbagai tingkat dalam pemahaman dan penggunaan

bahasa yang dapat mempengaruhi kemandiriannya hingga usia dewasa.

n) Pada beberapa anak, mempunyai keadaan lain yang menyertai,seperti autism,

cerebral palsy, epilepsi, disabiliti fisik dalam berbagai porsi dan gangguan

perkembangan lain.

2.7. Desain Komunikasi Visual (DKV)

2.7.1.Makna DKV

Menurut Kusrianto (2007) dalam DKV ada tiga makna yang saling berkaitan.

Desain : berkaitan dengan perancagan estetika, cita rasa, serta kreativitas. Komunikasi :

ilmu yang bertujuan menyampaikan maupun sarana untuk menyampaikan pesan. Visual :

sesuatu yang dapat dilihat. Dari ketiga makna kata tersebut, kata komunikasilah yang

menjadi tujuan pokoknya. Jika saat ini DKV hanya terbatas sebagai ilmu yang

mempelajari segala upaya untuk menciptakan suatu rancangan atau desain yang bersifat

kasat mata (visual) untuk mengkomunikasikan maksud, maka itu sebetulnya hanya

terbatas pada sepotong saja dari sebuah tujuan tatanan estetika yang lebih luas.

2.7.2.Maksud dan Tujuan DKV

Maksud dan tujuan khusus mempelajari DKV menurut Kusrianto (2007) ialah:

a) Mengenal konsep DKV sebagai dasar perancangan multimedia

b) Mengenal DKV dan bahasa rupa sebagai pengolah visual data informasi multimedia.

c) Memahami elemen DKV sebagai alat penyampai pesan yang efektif, efisien,

komunikatif, dan estetis dalam konteks media.

d) Menguasai konsep perancangan/desain multimedia, interaktif media dan web.

e) Menguasai proses dan teknik dasar perancangan/desain multimedia yang dapat

mengantisipasi perkembangan dunia kewirausahaan dan pemasaran global secara

universal.

f) Memahami beberapa media dan tekniknya, seperti:

1. Animasi-audio visual (mix media)

2. Interaktif media dan web yang biasa dipergunakan untuk melengkapi multimedia.

2.7.3.Unsur-unsur DKV

2.7.3.1. Tipografi

Di dalam DKV, tipografi didefinisikan sebagai suatu proses seni untuk menyusun

bahan publikasi menggunakan huruf cetak. Oleh karena itu, menyusun tersebut meliputi

merancang bentuk huruf cetak hingga merangkainya dalam sebuah komposisi yang tepat

untuk memperoleh suatu efek tampilan yang dikehendaki. Rangkaian huruf dalam sebuah

kata atau kalimat bukan saja bisa berarti suatu makna yang mengacu pada suatu objek

ataupun gagasan, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menyuarakan suatu citra

ataupun kesan secara visual. Hal ini dikarenakan terdapatnya nilai fungsional dan nilai

estetika dalam suatu huruf. Pemilihan jenis huruf disesuaikan dengan citra yang ingin

diungkapkan. Lazio Moholy berpendapat bahwa tipografi adalah alat komunikasi. Oleh

karena itu, tipografi harus bisa berkomunikasi dalam bentuknya yang paling kuat, jelas

(clarity), dan terbaca (legibility). Eksekusi terhadap desain tipografi dalam rancangan

grafis pada aspek legibility akan mencapai hasil yang baik jika melalui proses investigasi

terhadap makna teks, alasan-alasan kenapa teks harus dibaca, serta siapa yang

membacanya.

2.7.3.2. Warna

Secara visual, warna memiliki kekuatan yang mampu mempengaruhi citra orang

yang melihatnya. Masing-masing warna mampu memberikan respon secara psikologis.

Molly E. Holzchlag, seorang pakar tentang warna, dalam tulisanya “Creating Color

Scheme” membuat dafta mengenai kemampuan masing-masing warna ketika

memberikan respon secara psikologis kepada pemirsanya, seperti yang terlihat pada tabel

berikut.

Tabel 2.1

Respons Psikologis dari Warna

Warna Respon psikologis yang mampu ditimbulkan

Merah Kekuatan, bertenaga, kehangatan, nafsu, cinta, agresifitas, bahaya.

Biru Kepercayaan, konservatif, keamanan, teknologi, kebersihan, perintah.

Hijau Alami, kesehatan, pandangan yang enak, kecemburuan, pembauran.

KuningOptimis, harapan, energi, filosofi, ketidak jujuran/ kecurangan, pengecut,

pengkhianatan.

Ungu Spiritual, misteri, keagungan, perubahan bentuk, galak, arogan.

Orange Energi, keseimbangan, kehangatan.

Coklat Bumi, dapat dipercaya, nyaman, bertahan.

Abu - abu Intelek, futuristik, modis, kesenduan, merusak.

Putih Kemurnian/ suci, bersih, kecermatan, inocent (tanpa dosa), steril, kematian.

HitamKekuatan, seksualitas, kemewahan, kematian, misteri, ketakutan,

ketidakbahagiaan, keanggunan.

Di dalam sistem komputer ada yang dikenal dengan istilah Additive Color. Warna

Additive dibuat bersumber pada sinar. Sebagai contoh, bola lampu yang memancarkan

sinar putih jika diletakkan di balik kaca yang berwarna biru, maka sinar yang memancar

seolah berwarna biru. Jika warna kacanya diganti kuning, maka sinarnya pun akan

mberubah menjadi kuning. Benda yang menggunakan sistem warna yang seperti ini

adalah pesawat televisi dan monitor komputer. Sumber sinar dari kedua alat tersebut

difilter dengan komponen warna merah, hijau, dan biru (Red, Green, Blue) atau yang

dikenal dengan sebutan RGB.

Gambar 2.2 Spectrum Warna

Kombinasi antara 3 komponen warna RGB yang dimaksimalkan (diberi intensitas

yang maksimal) akan menghasilkan warna putih. Sebaliknya, jika 3 komponen tersebut

dikombinasikan dan intensitasnya dikurangi hingga habis, maka akan dihasilkan warna

hitam. Hal itu sama seperti jika suatu sinar ditutup rapat maka akan menghasilkan

kegelapan.

Gambar 2.3 komposisi RGB warna putih dalam Color Mixer di

Macromedia Flash

2.7.3.3. Komposisi

Untuk menghasilkan karya desain grafis yang bagus, perlu diperhatikan masalah

komposisi. Komposisi adalah pengorganisasian unsur-unsur rupa yang disusun dalam

karya desain grafis secara, harmonis antara bagian dengan bagian, maupun antara bagian

dengan keseluruhan. Komposisi yang harmonis dapat diperoleh dengan mengikuti kaidah

atau prinsip-prinsip komposisi yang meliputi kesatuan (unity), keseimbangan (balance),

irama (ritme), kontras, fokus (pusat perhatian), serta proporsi (Kusrianto, 2007).

2.7.3.4. Ilustrasi

Kusrianto (2007) mengatakan bahwa ilustrasi menurut definisinya adalah seni

gambar yang dimanfaatkan untuk memberi penjelasan atas suatu maksud atau tujuan

secara visual. Dalam perkembanganya, lustrasi secara lebih lajut ternyata tidak hanya

berguna sebagai pendukung cerita, tetapi juga menghiasi ruang kosong. Misalnyam

majalah, koran, tabloid, dan lain-lain. Ilustrasi bisa berbentuk macam - macam, seperti

karya seni sketsa, lukis, grafis, karikatural, dan akhirakhir ini bahkan banyak dipakai

image bitmap hingga karya foto. Pada saat teknologi komputer sudah populer, gorresan

ilustrasi berwarna yang terutama dibuat dengan pena dan tinta hitam maupun cat air, kini

digantikan dengan program-program gambar berbasis vektor seperti CorelDRAW,

Ilustrator, Canvas, maupun FreeHand. Salah satu teknik yang banyak digunakan oleh para

ilustrator adalah pembuatan sket di atas kertas menggunakan pensil, yang kemudian

dibuat outline bentuknya dengan tinta hitam. Skets tersebut kemudian di-scan sehingga

menghaslikan image bitmap. Image hasil scan selanjutnya di-Trace untuk mengkonversi

dari format bitmap yang terdiri dari titik-titik menjadi vektor. Dari situlah akhirnya hasil

tracing dari outline diproses dengan menggunakan fasilitas yang terdapat dalam program

tersebut, sehingga diperoleh hasil akhirnya. Kemudahan gambar yang diperoleh

menggunakan komputer dapat dimodifikasi dan digunakan secara cepat, baik secara

keseluruhan maupun di bagian-bagian tertentu sehingga pembuatan efek-efek yang sama

pada saat harus membuat adegan lain dari ilustrasi akan lebih mudah.

BAB III

METODOLOGI PENELITIANPenelitian ini termasuk research and development. Peneltian ini mencoba untuk

mengetahui sejauh mana para siswa Tunagrahita Terate Bandung dalam ketertarikannya

untuk menggunakan buku digital, yang di mana penggunaan buku digital ini bisa

membuat cara belajar menjadi berbeda dan bisa mendapatkan pengalaman yang berbeda

pada saat proses pembelajaran.

3.1. Prosedur Penelitian

Pada tahap ini, untuk mengembangkan buku digital interaktif ini mengacu pada

apa yang dikemukakan oleh Munir (2008: 195), membagi proses pengembangan media

pembelajaran menjadi lima tahap, yaitu:

1. Tahap Analisis

Pada tahap ini ditetapkan tujuan pengembangan software, baik bagi guru maupun bagi

lingkungan. Untuk keperluan tersebut maka analisis dilakukan kerjasama dengan guru

dan tetap mengacu pada kurikulum yang digunakan. Selain analisis tujuan, analisis

kebutuhan pengembangan software juga dibutuhkan. analisis kebutuhan merupakan

tahap pertama yang menjadi dasar proses pembuatan perangkat lunak selanjutnya.

Kelancaran proses pembuatan perangkat lunak secara keseluruhan dan kelengkapan

fitur perangkat lunak yang dihasilkan sangat tergantung pada hasil analisis kebutuhan

ini. Untuk memperoleh informasi tentang kebutuhan dalam Pada tahap ini ditetapkan

tujuan pengembangan software, baik bagi pelajar, guru maupun bagi lingkungan.

Untuk keperluan tersebut maka analisis dilakukan kerjasama dengan guru dan tetap

mengacu pada kurikulum yang digunakan. Selain analisis tujuan, analisis kebutuhan

pengembangan sotware juga dibutuhkan. analisis kebutuhan merupakan tahap pertama

yang menjadi dasar proses pembuatan perangkat lunak selanjutnya. Kelancaran proses

pembuatan perangkat lunak secara keseluruhan dan kelengkapan fitur perangkat lunak

yang dihasilkan sangat tergantung pada hasil analisis kebutuhan ini. Untuk

memperoleh informasi tentang kebutuhan dalam pembuatan media pembelajaran

interaktif ini, penulis melakukan studi eksploratif dan studi pustaka.

2. Tahap Desain

Tahap ini meliputi penentuan unsur-unsur yang perlu dimuatkan dalam software yang

akan dikembangkan sesuai dengan desain pembelajaran. Proses desain pengembangan

software pembelajaran meliputi dua aspek desain, yaitu aspek model ID (Instructional

Design) dan aspek isi pengajaran yang akan diberikan. Hasil dari tahap ini meliputi

storyboard, untuk menentukan bagaimana media pembelajaran interaktif ini

ditampilkan (interfacing). Bagaimana cara untuk menyajikan materi, evaluasi, sound,

animasi, dan lain-lain. Selain itu hasil dari tahap ini adalah flowchart sistem media

interaktif ini dari mulai membuka sampai dengan mengakhiri program.

3. Tahap Pengembangan

Didasarkan pada desain pembelajaran dan storyboard yang telah dibuat, selanjutnya

software dikembangkan hingga menghasilkan sebuah prototaip software pembelajaran.

Materi, evaluasi, animasi, navigasi dan lain-lain diintegrasikan ke dalam kode program.

Setelah pengembangan software tersebut selesai, dilakukan penilaian (judgment) oleh

para ahli dengan menggunakan rangkaian penilaian software multimedia. Penilaian

terhadap software pembelajaran meliputi penilaian terhadap teks, grafik, sound,

animasi dan kegiatan pembelajaran di dalamnya.

4. Tahap Implementasi

Pada tahap ini software dari unit-unit yang telah dikembangkan dan prototaip telah

dihasilkan kemudian diimplementasikan. Implementasi pengembangan software media

pembelajaran interaktif disesuaikan dengan model pembelajaran yang diterapkan.

Peserta didik selaku user dapat menggunakan software media pembelajaran interaktif

di dalam kelas secara kreatif dan interaktif melalui pendekatan individu. Software

media pembelajaran interaktif yang dikembangkan bersumber dari bahan-bahan

pelajaran yang diperoleh dari buku, pengalaman lingkungan, guru, pengalaman peserta

didik itu sendiri atau bersumber dari cerita yang berkembang di masyarakat. Dengan

demikian, peserta didik termotivasi untuk berhitung dan perasaan ingin tahunya

meningkat.

5. Tahap Penilaian

Untuk mengetahui secara pasti kelebihan dan kelemahan software yang telah

dikembangkan, maka dilakukan penilaian. Perbaikan dan penghalusan software, perlu

dilakukan agar software lebih sempurna. Tahap penilaian merupakan tahap yang

ditujukan untuk mengetahui kesesuaian software media pembelajaran interaktif

tersebut dengan program pembelajaran. Penekanan penilaian ditentukan seperti untuk

penilaian dalam literasi komputer, literasi materi pembelajaran dan motivasi peserta

didik.

3.2. Populasi dan Sampel

Populasi yang diambil dari penelitian ini adalah siswa – siswa Tunagrahita Terate

Sadangserang Bandung.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

1. Studi eksploratif

Studi eksporatif merupakan langkah yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang

lengkap, menyeluruh dan jelas berkenaan dengan masalah yang akan diteliti, yaitu

tentang pengembangan media pembelajaran interaktif bagi anak tunagrahita. Tahapan

ini berguna untuk lebih memantapkan desain dan fokus penelitian. Studi eksploratif ini

diarahkan pada tiga hal, yaitu:

1)Pengumpulan informasi yang berkaitan dengan masalah-masalah yang muncul pada

saat pelaksanaan pembelajaran aritmatika dasar di salah satu sekolah menengah

pertama luar biasa tunagrahita ringan (SMPLB-C)

2)Pengumpulan informasi tentang pelaksanaan pembelajaran matematika

3)Pengumpulan tentang media pembelajaran serta sumber belajar terhadap

pembelajaran matematika

2. Studi pustaka

Studi pustaka merupakan kegiatan mengumpulkan data-data berupa teori pendukung

dari sistem yang dibuat dengan maksud untuk memaparkan tentang teori tersebut

berupa data filosofis, teori-teori pembentuk, dan media pembelajaran pendukung

pembelajaran aritmatika dasar bagi anak tunagrahita serta bagaimana menerapkannya

dalam situasi anak tunagrahita dengan kesehariannya memperoleh pembelajaran

aritmatika dasar. Sumber-suber yang diperoleh ialah dari beberapa buku, literatur,

jurnal, paper dan lainya yang relevan dengan penelitian.

3.4. Kriteria pengujian

Pengujian terhadap media pembelajaran interaktif ini dilakukan dalam penilaian

pakar berdasarkan kriteria pengujian berupa relevansi, efisiensi, efektifitas dan

fleksibilitas berikut:

1. Relevansi media pembelajaran interaktif bagi anak tunagrahita ringan dalam

pelaksanan pembelajaran matematika tentang aritmatika dasar.

2. Efisiensi menunjukkan derajat kehematan dalam memanfaatkan sumber daya untuk

menyelenggarakan pembelajaran aritmatika di lingkungan sekolah menengah pertama

luar biasa.

3. Efektifitas memiliki arti yang identik dengan derajat kesesuaian antara permodelan

media pembelajaran interaktif dengan keadaan aktual di lapangan.

4. Flesibilitas media pembelajaran interaktif bagi anak tunagrahita dalam pembelajaran

matematika tentang aritmatika dasar.

3.5. Instrumen Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan dua buah instrumen. Pertama, instrumen yang

digunakan dalam rangka verifikasi dan validasi pakar terhadap perancangan media

pembelajaran interaktif yang dikembangkan berdasarkan hasil analisis data pada studi

eksploratif dan studi pustaka. Instrumen tersebut berupa kuisioner penilaian pakar

pendidikan dan pakar multimedia. Kedua, instrumen yang digunakan dalam rangka uji

coba terbatas media pembelajaran interaktif sebagai produk penelitian ini. Instrumen

tersebut berupa kuisioner untuk mengambil informasi, masukan dan tanggapan

berdasarkan kriteria pengujian yang telah ditentukan.

3.6. Alat dan bahan

3.6.1. Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan ialah komputer dengan spesifikasi

minimum sebagai berikut:

a. Windows XP

b. Harddisk 20 GB

c. RAM 512 MB

Adapun program yang digunakan ialah dengan spesifikasi minimum sebagai berikut:

a. Macromedia Flash 8

Digunakan untuk membuat media pembelajaran interaktif ini.

b. Adobe Photoshop CS3

Digunakan untuk mebuat gambar-gambar yang ada di dalam media pembelajaran

interaktif.

c. CorelDRAW Graphics Suite X3

Digunakan untuk mebuat gambar-gambar yang ada di dalam media pembelajaran

interaktif.

d. Microsoft Access 2007

Digunakan untuk membuat database media pembelajaran interaktif ini.

e. MDM Zinc 2.5

Digunakan untuk menghubungkan dengan database dalam Microsoft Access 2007 dan

membuat installer program media pembelajaran interaktif ini.

3.6.2. Bahan penelitian

a. Materi book