Upload
independent
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia salah satu penerimaan negara yang
sangat penting, artinya bagi pelaksanaan dan
peningkatan pembangunan nasional serta bertujuan
untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat adalah pajak. Oleh karenanya, pajak perlu
dikelola secara seksama dengan meningkat peran serta
seluruh lapisan masyarakat dan dari aparat
perpajakan sendiri.
Pajak merupakan alat bagi pemerintah dalam
mencapai tujuan untuk mendapatkan penerimaan baik
yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari
masyarakat guna membiayai pengeluaran rutin serta
pembangunan nasional dan ekonomi masyarakat. Sistem
perpajakan selalu mengalami perubahan dari masa ke
masa sesuai perkembangan masyarakat dan Negara, baik
dalam bidang kenegaraan maupun bidang dalam bidang
sosial dan ekonomi. Pemungutan pajak merupakan suatu
1
bentuk kewajiban warga Negara selaku Wajib Pajak
serta peran aktif untuk membiayai berbagai keperluan
Negara yaitu berupa pembangunan nasional yang
pelaksanaannya diatur dalam undang-undang dan
peraturan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan
Negara.
Penetapan pajak di Indonesia selalu didasarkan
atas UU, sesuai amanat UUD 1945 dan amendemennya,
dalam pasal 23 ayat (2). Beberapa teori menentukan
pajak dapat dihitung dan ditetapkan sendiri oleh
masyarakat, atau pihak lain, atau juga oleh
pemerintah.
Reformasi perpajakan (tax reform) 1983, telah
membuat perubahan mendasar ke arah pembaruan dalam
sistem perpajakan nasional. Masyarakat ditempatkan
dalam posisi utama dalam pelaksanaan kewajiban
perpajakannya. Hal ini sangat sejalan dengan
tuntutan social oriented, di mana masyarakatlah yang
paling menentukan kehidupan dan kegiatannya,
sedangkan pemerintah lebih berfungsi sebagai
pengawas, pembina dan penyedia fasilitas. Salah satu
2
tonggak penting dalam sejarah perpajakan Indonesia
adalah penerapan sistem pemungutan pajak self
assessment sebagai pengganti official assesment.
Perubahan sistem pemungutan pajak dari official
assessment menjadi self assessment, merupakan salah satu
upaya pemerintah untuk meningkatkan kemandirian
dalam pembiayaan pembangunan dari penerimaan dalam
negeri yang berasal dari pajak, karena penerimaan
dari migas tidak dapat diandalkan lagi, sementara
sumber dana dalam negeri hanya sebagai pelengkap.
Sejak diterapkannya sistem self assessment dalam
undang-undang perpajakan Indonesia, peranan positif
Wajib Pajak dalam memenuhi seluruh kewajiban
perpajakannya (tax compliance) menjadi semakin mutlak
diperlukan.
Agar sistem self assessment berjalan secara
efektif, keterbukaan dan pelaksanaan penegak hukum
merupakan hal yang paling penting. Penegakan hukum
ini dapat dilakukan dengan adanya
pemeriksaan/penyidikan pajak dan penagihan pajak.
Pemeriksanaan pajak merupakan instrumen yang baik
3
untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, baik
formal maupun material dari peraturan perpajakan,
yang tujuannya untuk menguji dan meningkatkan
kepatuhan perpajakan seorang Wajib Pajak. Kepatuhan
ini akan sangat berdampak baik secara langsung
maupun tak langsung pada penerimaan pajak.
Melihat dari uraian di atas, dapat disimpulkan
bahwa besar pajak dapat dipengaruhi oleh kepatuhan
Wajib Pajak dalam kewajiban perpajakannya dan
dipengaruhi pula oleh pelaksanaan pajak. Hal
tersebut menyebabkan penulis tertarik untuk menulis
sebuah makalah yang akan membahas sekilas tentang
“Penerapan Self Assessment System Dalam Pemungutan
Pajak” yang akan Penulis tuangkan dalam Bab
Pembahasan.
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dibuat dengan tujuan untuk
memecahkan masalah pokok yang timbul secara jelas
dan sistematis. Perumusan masalah dimaksudkan untuk
lebih menegaskan masalah yang akan diteliti,
4
sehingga dapat ditentukan suatu pemecahan masalah
yang tepat dan mencapai tujuan atau sasaran yang
dikehendaki.
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana Self Assessment System di Indonesia, beserta
dengan keuntungan dan kerugiannya ?
2. Bagaimana Hubungan Wajib Pajak Dengan Self Assessment
System Pajak Penghasilan?
3. Bagaimana penerapan sistem Self Assesment dalam
pemungutan BPHTB ?
5
B A B II
P E M B A H A S A N
A. Self Assessment System di Indonesia
Self assessment system sebagai sistem penetapan pajak
di Indonesia telah diterapkan sejak tax reform tahun
1983, setelah sebelumnya pernah diberlakukan official
assessment system. Self assessment system merupakan sistem
pemungutan pajak yang memberi kepercayaan, tanggung
jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri
besarnya pajak yang harus dibayar. Official assessment
system merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada Fiskus untuk menentukan besarnya pajak
terutang. Perbedaan antara official assessment system dan
self assessment system dapat dilihat pada
Tabel 1.Perbedaan Official Assessment System dan Self Assessment System
OFFICIAL ASSESSMENTSYSTEM
SELF ASSESSMENTSYSTEM
Wewenangmenentukan Pajakterutang
Besarnya pajak terutang ditentukanoleh Fiskus
Besarnya pajak terutang ditentukanoleh Wajib Pajak
6
Peran Wajib Pajak Wajib Pajakbersifat pasif
Wajib Pajakbersifat aktif
Peran Fiskus Fiskus bertindakaktif
Fiskus hanya bertindak sebagai fasilitator
Timbulnya pajakterutang
Timbul karena dikeluarkannya SuratKetetapan Pajak(SKP) oleh Fiskus
Timbul karena UU dan karena terjadinyakeadaan atau perbuatan
Sumber: Mardiasmo (2003)
Self assessment system merupakan suatu pemungutan
pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk
menentukan sendiri besarnya pajak terutang. Wajib
Pajak diberi tanggung jawab atas kewajiban
pelaksanaan pajak sebagai pencerminan kewajiban di
bidang perpajakan. Wajib Pajak diberi kepercayaan
untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri
pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
perpajakan yang berlaku. Fungsi penghitungan memberi
hak kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri
pajak yang terutang sesuai dengan peraturan
perpajakan dan atas dasar fungsi penghitungan Wajib
7
Pajak berkewajiban untuk membayar pajak sebesar
pajak yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor
Pos. Fungsi terakhir dari wajib pajak adalah
melaporkan pembayaran dan berapa besar pajak yang
telah dibayar ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Sistem pemungutan yang berlaku di Indonesia saat
ini adalah self assessment system yaitu ketetapan pajak
yang ditetapkan oleh Wajib Pajak sendiri yang
dilakukannya dalam SPT. Self assessment system merupakan
tipe administrasi perpajakan yang mengungkapkan bahwa
tipe administrasi perpajakan banyak ditentukan oleh
bentuk kerjasama atau tingkat partisipasi Wajib
Pajak atau pemotong/ pemungut pajak dan respon Wajib
Pajak terhadap pengenaan pajak tersebut (Zain, 2003).
Pada tipe ini Wajib Pajak mendapat beban yang sangat
berat, karena: (1) Wajib Pajak harus melaporkan semua
informasi yang relevan dalam SPT, (2) Menghitung
Dasar Pengenaan Pajaknya (DPP), (3) Mengkalkulasi
jumlah pajak yang terutang maksudnya mengurangi pajak
yang terutang dengan jumlah pajak yang dilunasi dalam
8
tahun berjalan, dan (4) Melunasi pajak yang terutang
atau mengangsur jumlah pajak yang terutang.
Jiwa dari self assessment adalah pemerintah (Dirjen
Pajak) yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak
untuk menghitung dan menetapkan sendiri besarnya
kewajiban pajak yang harus dibayar Wajib Pajak.
Perhitungan besarnya pajak ini harus diakui
kebenarannya sebelum Dirjen Pajak dapat membuktikan
yang sebaliknya, karena didalam asas self assessment ada
unsur pendelegasian wewenang oleh Dirjen Pajak, maka
sebagai konsekwensinya Dirjen Pajak harus
menciptakan sistem kontrol secara memadai, sebab
pendelegasian wewenang tanpa kontrol akan
mengakibatkan timbulnya penyalahgunaan wewenang.
Surat pemberitahuan (SPT) merupakan surat yang
oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
perhitungan dan pembayaran pajak, obyek pajak dan
bukan obyek pajak, atau harta dan kewajiban. Dasar
hukum untuk melakukan pengisian SPT adalah terdapat
dalam pasal 3 ayat 1 dan (1a) UU KUP menyebutkan
bahwa “setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat
9
Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan
menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata
uang rupiah, dan menandatangani serta
menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan”.
Menurut Undang-undan No. 16 tahun 2000 KUP
perpajakan, SPT dapat dibagi menjadi, SPT Masa
adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu masa pajak
dan SPT Tahunan adalah surat-surat pemberitahuan
untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak.
Pengisian SPT Tahunan PPh oleh Wajib pajak yang
wajib melakukan pembukuan harus dilengkapi dengan
laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi
serta keteranganketerangan lain yang diperlukan
untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
Fungsi SPT bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan
(PPh) adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggung jawabkan penghitungan jumlah pajak
yang sebenarnya terutang. Sedangkan bagi Pengusaha
Kena Pajak (PKP) fungsi SPTadalah sebagai sarana
untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan
10
penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
dan Pajak Pertambahan Niai atas barang Mewah (PPnBM)
yang sebenarnya terutang. Mengisi SPT adalah mengisi
SPT dengan benar, jelas dan lengkap, sesuai dengan
petunjuk yang diberikan berdasarkan ketentuan
perundangundangan perpajakan yang berlaku. Pengisian
SPT yang tidak benar yang mengakibatkan pajak yang
terutang kurang bayar sehingga akan dikenakan sanksi
sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.
Berdasarkan pasal 7 ayat 1 dan 2 UU No. 16 Tahun
2000, bagi Wajib Pajak yang terlambat dan tidak
menyampaikan SPTnya akan dikenakan sanksi
administrasi yaitu:
a. Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT dikenakan
denda untuk SPT Masa sebesar Rp 50.000,00 (lima
puluh ribu rupiah) dan untuk SPT Tahunan sebesar
Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah).
b. Tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT
tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
karena kealpaan Wajib Pajak sehingga dapat
11
menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara,
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun atau denda setinggi-tingginya 2 (dua)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
bayar.
c. Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT atau
menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya
tidak benar atau tidak lengkap dengan sengaja
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi
4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang baya.
Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat yang
oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan
pembayaran, penyetoran pajak yang terutang ke kas
Negara melalui kantor pos, Bank BUMN atau Bank BUMD
dan tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh
menteri keuangan, Mardiasmo (2003).
Fungsi dari SSP adalah sebagi sarana untuk
membayar pajak, sebagai bukti dan pelaporan
12
pembayaran pajak. Dalam pelaksanaan self assessment
system, Wajib Pajak tidak serta merta mengisi
formulir pajak dan diperiksa oleh Fiskus. Persoalan
yang meski kita kedepankan adalah betapa pentingnya
pengetahuan yang cukup tentang perpajakan dan
berbagai peraturannya yang dituangkan secara
gamblang, baku, lugas, tegas, jelas, tidak bermakna
ganda, dan tidak terlalu sering berubah (Tarjo dan
Sawarjuwono, 2005). Selanjutnya harus disampaikan
kepada Wajib Pajak sehingga tidak menimbulkan
interpretasi yang salah.
Keuntungan self assessment system ini adalah Wajib
Pajak diberi kepercayaan oleh pemerintah (Fiskus)
untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri
pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
perpajakan yang berlaku. Fungsi penghitungan adalah
fungsi yang memberi hak kepada Wajib Pajak untuk
menentukan sendiri pajak yang terutang sesuai dengan
peraturan perpajakan. Atas dasar fungsi penghitungan
tersebut Wajib Pajak berkewajiban untuk membayar
pajak sebesar pajak yang terutang ke Bank Persepsi
13
atau kantor pos. Selanjutnya Wajib Pajak melaporkan
pembayaran dan berapa besar pajak yang telah dibayar
kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Sedangkan Kelemahan dari self assessment system yang
memberikan kepercayaan pada Wajib Pajak untuk
menghitung, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak
terutang, dalam praktiknya sulit berjalan sesuai
dengan yang diharapkan atau bahkan disalah gunakan.
Hal ini dapat dilihat dari banyaknya Wajib Pajak
yang dengan sengaja tidak patuh, kesadaran Wajib
Pajak yang masih rendah atau kombinasi keduanya,
sehingga membuat Wajib Pajak enggan untuk
melaksanakan kewajiban membayar pajak. Rendahnya
kepatuhan dan kesadaran Wajib Pajak ini bisa
terlihat dari sangat kecilnya jumlah mereka yang
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan mereka
yang melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunannya
(Sadhani, 2004).
Tata cara pemungutan pajak dengan menggunakan
self assessment system berhasil dengan baik jika
masyarakat mempunyai pengetahuan dan disiplin pajak
14
yang tinggi, dimana ciri-ciri self assessment system
adalah adanya kepastian hukum, sederhana
perhitungaanya, mudah pelaksanaannya, lebih adil dan
merata, dan perhitungan pajak dilakukan oleh wajib
pajak.
Adapun ciri self assessment system yang lainnya adalah
sebagai berikut:
1. Wajib pajak melakukan peran aktif dalam melakukan
kewajiban perpajakannya.
2. Wajib pajak adalah pihak yang bertanggung jawab
penuh atas kewajiban perpajakannya sendiri.
3. Pemerintah dalam hal ini Instansi Perpajakan
melakukan pembinaan, penelitian dan pengawasan
terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan bagi
wajib pajak, melalui pemeriksaan pajak dan
penerapan sanksi pelanggaran dalam bidang pajak
sesuai peraturan yang berlaku.
Self assessment system menyebabkan wajib pajak
mendapat beban berat karena semua aktivitas
pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh wajib
pajak sendiri. Wajib pajak harus melaporkan semua
15
informasi yang relevan dalam SPT, menghitung dasar
pengenaan pajak, menghitung jumlah pajak terutang,
menyetorkan jumlah pajak terutang. Karena menuntut
kepatuhan secara sukarela dari wajib pajak maka
sistem ini juga akan menimbulkan peluang besar bagi
wajib pajak untuk melakukan tindakan kecurangan,
pemanipulasian perhitungan jumlah pajak, penggelapan
jumlah pajak yang seharusnya dibayar.
Self assessment system dapat ditentukan dengan cara:
1. Kepatuhan, kepatuhan wajib pajak dalam melakukan
kewajiban perpajakannya adalah faktor paling
dominan dalam metode ini karena kepatuhan wajib
pajak sangat diperlukan untuk menghindari
kecurangan yang dilakukan wajib pajak.
2. Kurang bayar dan lebih bayar pajak, kurang bayar
pajak terjadi karena jumlah pajak yang dibayar
lebih kecil daripada jumlah pajak terutangnya
sedangkan lebih bayar pajak terjadi karena jumlah
pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak
terutangnya.
16
3. Menyetor, menghitung, dan melaporkan pajak
merupakan rangakaian dalam kegiatan unutk
melaksankan kewajiban perpakannya.
B. Hubungan Wajib Pajak Dengan Self Assessment System
Pajak Penghasilan
Peranan Wajib Pajak Orang Pribadi tentang Self
Assessment System Pajak Penghasilan adalah Undang-
undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan dan Undang-undang No.17 tahun
2000 tentang tentang Pajak Penghasilan. Berdasarkan
Undang-undang inilah butir 2 pernyataan dalam
penelitian ini diturunkan sehingga kedua Undang-
undang ini digunakan sebagai tolak ukur untuk
menentukan peranan Wajib Pajak apakah positif atau
negatif.
Menurut Undang-undang Perpajakan Nomor 28 Tahun
2007 dan Undang-undang Nomor 17 tahun 2000 adalah
sebagai berikut:
“Wajib Pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab
untuk menghitung, memperhitungkan, memotong atau
17
memungut, menyetor dan melaporkan besarnya jumlah
pajak yang harus dibayar dan melaporkannya sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya”.
Menurut Waluyo dalam bukunya Perpajakan Indonesia
adalah:
“Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk melaksanakan
kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung,
memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri
pajak yang terutang (Self Assessment System), sehingga
melalui sistem ini administrasi perpajakan
diharapkan dapat dilaksanakan dengan rapi,
terkendali, sederhana dan mudah dipahami oleh Wajib
Pajak”.
Peranan positif terhadap Self Assessment System
Pajak Penghasilan maksudnya adalah Wajib Pajak
mempunyai pemahaman yang benar terhadap objek
penelitian ini yaitu Undang-undang No.28 Tahun 2007
dan Undang-undang No.17 Tahun 2000. Sebaliknya
apabila persepsi negatif terhadap Self Assessment System
maka Wajib Pajak mempunyai pemahaman yang keliru
terhadap kedua Undang-undang itu.
18
C. Penerapan Sistem Self Assesment Dalam Pemungutan BPHTB.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB), bahwa yang dimaksud dengan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah
pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan merupakan pajak yang harus dibayar sebagai
akibat dari diperolehnya hak atas tanah dan atau
bangunan yang meliputi hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan
rumah susun dan hak pengelolaan. Perolehan Hak atas
tanah dan atau bangunan adalah perbuatan hukum atau
peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak
atas tanah atau bangunan oleh orang pribadi atau
badan. Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak
atas tanah, termasuk hak pengelolaan beserta
bangunan diatasnya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
19
Dasar Pokok-pokok Agraria dan ketentuan perundang-
undangan Lainnya.
Menurut ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan adalah bahwa setiap wajib pajak
membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan
tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan
pajak. Demikian juga ketentuan Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan
Undang-Undang Nomor 21Tahun 1997 tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, bahwa wajib
Pajak diwajibkan untuk membayar pajak yang terutang
dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan
pajak. Kedua Pasal tersebut di atas sebagai dasar
hukum pelaksanaan Self Assessment System dalam pemungutan
BPHTB. Hal ini didukung dengan apa yang termuat
dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang
perubahan atas Undang- Undang Nomor 21 Tahun 1977
tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
yang berbunyi: “Sistem pemungutan BPHTB adalah self
20
assessment, dimana wajib pajak diberi kepercayaan
untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang
terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) dan
melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat
ketetapan pajak”. (BPHTB Pasal 10 ayat 1 ) Prinsip
yang dianut dalam Undang-Undang BPHTB adalah:
a. Pemenuhan kewajiban BPHTB adalah berdasarkan
sistem self asssessment yaitu wajib pajak menghitung
dan membayar sendiri utang pajaknya.
b. Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5 % (lima
persen) dari Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena
Pajak (NPOPKP).
c. Agar pelaksanaan Undang-Undang BPHTB dapat berleku
secara efektif, maka baik kepada wajib pajak
maupun kepada pejabat pejabat umum yang melanggar
ketentuan atau tidak melaksanakan kewajibannya,
dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
d. Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan negara
yang sebagian besar diserahkan kepada pemerintah
21
daerah, untuk meningkatkan pendapatan daerah guna
membiayai pembangunan daerah dan dalam rangka
memantapkan otonomi daerah.
e. Semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan diluar ketentuan ini tidak
diperkenankan.
22
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Self assessment system merupakan sistem pemungutan
pajak yang memberi kepercayaan, tanggung jawab
kepada Wajib Pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri
besarnya pajak yang harus dibayar.
Sistem pemungutan yang berlaku di Indonesia
saat ini adalah self assessment system yaitu ketetapan
pajak yang ditetapkan oleh Wajib Pajak sendiri yang
dilakukannya dalam SPT. Self assessment system merupakan
tipe administrasi perpajakan yang mengungkapkan bahwa
tipe administrasi perpajakan banyak ditentukan oleh
bentuk kerjasama atau tingkat partisipasi Wajib
Pajak atau pemotong/ pemungut pajak dan respon Wajib
Pajak terhadap pengenaan pajak tersebut (Zain, 2003)
Keuntungan self assessment system ini adalah Wajib
Pajak diberi kepercayaan oleh pemerintah (Fiskus)
untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri
23
pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
perpajakan yang berlaku. Fungsi penghitungan adalah
fungsi yang memberi hak kepada Wajib Pajak untuk
menentukan sendiri pajak yang terutang sesuai dengan
peraturan perpajakan. Sedangkan Kelemahan dari self
assessment system yang memberikan kepercayaan pada
Wajib Pajak untuk menghitung, menyetorkan dan
melaporkan sendiri pajak terutang, dalam praktiknya
sulit berjalan sesuai dengan yang diharapkan atau
bahkan disalah gunakan. Hal ini dapat dilihat dari
banyaknya Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak
patuh, kesadaran Wajib Pajak yang masih rendah atau
kombinasi keduanya, sehingga membuat Wajib Pajak
enggan untuk melaksanakan kewajiban membayar pajak.
Peranan Wajib Pajak Orang Pribadi tentang Self
Assessment System Pajak Penghasilan adalah Undang-
undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan dan Undang-undang No.17 tahun
2000 tentang tentang Pajak Penghasilan. Berdasarkan
Undang-undang inilah butir 2 pernyataan dalam
penelitian ini diturunkan sehingga kedua Undang-
24
undang ini digunakan sebagai tolak ukur untuk
menentukan peranan Wajib Pajak apakah positif atau
negatif.
Peranan positif terhadap Self Assessment System
Pajak Penghasilan maksudnya adalah Wajib Pajak
mempunyai pemahaman yang benar terhadap objek
penelitian ini yaitu Undang-undang No.28 Tahun 2007
dan Undang-undang No.17 Tahun 2000. Sebaliknya
apabila persepsi negatif terhadap Self Assessment System
maka Wajib Pajak mempunyai pemahaman yang keliru
terhadap kedua Undang-undang itu.
B. SARAN
Upaya-upaya yang diharapkan dapat dilaksanakan
dalam rangka mengefektifkan pelaksanaan sistem self
assessment dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan adalah perlu adanya syarat atau
keharusan untuk cek Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang (SPPT) ke Kantor Pelayanan Pajak sebelum
transaksi jual beli dilakukan, seperti halnya adanya
25
syarat cek sertifikat ke Kantor Pertanahan sebelum
penandatanganan akta jual beli.
DAFTAR PUSTAKA
Mardiasmo, 2003. Perpajakan. Penerbit Andi Yogyakarta.
Sadhani, D. (2004). “Peran serta Akuntan dalammeningkatkan kepatuhan Wajib Pajak”. Makalahdisampaikan pada Konggres Nasional Ikatan AkuntanIndonesia V. Yogyakarta, 12-13 Desember 2004.
Tarjo dan Sawarjuwono, T (2005). “Kepercayaan WajibPajak terhadap Fiskus, Kesadaran Wajib Pajakterhadap Pentingnya Membayar Pajak, RekayasaAkuntansi, dan Kepatuhan Wajib Pajak”. JurnalManajemen, Akuntansi dan Bisnis. Fakultas Ekonomi,Universitas Widya Gama, Malang, Volume 3,Nomor 2, Agustus 2005, Hal. 119-136.
Waluyo, 2006. Perpajakan Indonesia, Edisi 6, Jakarta :Salemba Empat.
Zain, M. (2003). Manajemen Perpajakan. Jakarta: PenerbitPT. Salemba Empat.
26
PENERAPAN SELF ASSESSMENT SYSTEM DALAMPEMUNGUTAN PAJAK
MAKALAH
OlehNenden Nur Agustiana
NPM. 1410074Semester V
27