Upload
unram
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN KASUS
ANGIOFIBROMA NASOFARING
Pembimbing :
dr. I Gusti Ayu Trisna A., Sp.THT-KL
Oleh :
Amandha Rizky Taufika
H1A 010014
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROK
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang
secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata
dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki
prepubertas dan remaja. Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens
terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun. Tumor ini merupakan
tumor jinak nasofaring 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher. Dilaporkan insidennya
antara 1 : 5.000 – 1 : 60.000 pada pasien THT. (1,2,3)
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan .
Diantaranya teori jaringan asal dan faktor ketidak-seimbangan hormonal. Secara
histopatologi tumor ini termasuk jinak tetapi secara klinis ganas karena bersifat ekspansif dan
mempunyai kemampuan mendestruksi tulang. Tumor yang kaya pembuluh darah ini
memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna.
Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian
dalam dari fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus
paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi
dasar tengkorak. (2)
Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang paling
sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%);
khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala
lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi.
2
Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan jari
pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif. Diagnosis ditegakkan
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto polos, CT scan, angiografi
atau MRI.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi Nasofaring
Nasofaring adalah ruang trapezoid di belakang koana yang berhubungan dengan
orofaring dan terletak di superior palatum molle. Ukuran nasofaring pada orang dewasa yaitu
4 cm tinggi, 4 cm lebar dan 3 cm pada dimensi anteroposterior. Dinding posteriornya sekitar
8cm dari aparatus piriformis sepanjang dasar hidung. Bagian atap dan dinding posterior
dibentuk oleh permukaan yang melandai dibatasi oleh basis sfenoid, basis oksiput dan
vertebra servikal I dan II. Dinding anterior nasofaring adalah daerah sempit jaringan lunak
yang merupakan batas koana posterior. Batas inferior nasofaring adalah palatum molle.
Batas dinding lateral merupakan fasia faringobasilar dan m.konstriktor faring superior.
Dinding daerah nasofaring mengandung komponen lapisan otot, jaringan fibrosa dan mukosa.
Dinding lateral daerah nasofaring dibentuk oleh muskulus konstriktor superior. Ruang antara
tepi atas muskulus konstriktor superior dan dasar tengkorak disebut sinus Morgagni. Daerah
ini dilindungi oleh fasia faringobasilar yang ditunjang oleh muskulus levator veli palatini.
Ujung medial dari tuba Eustachius membentuk sebuah penonjolan (torus tubarius) yang
terletak di bagian atas dinding lateral. Dari tepi posterior orifisium tuba Eustachius terdapat
sebuah lipatan mukosa yang dibentuk oleh muskulus salpingofaringeus, berjalan ke bawah
dan turun secara bertahap pada dinding faring bagian lateral. Lapisan fibrosa terdiri dari dua
lapisan yan berada di sebelah dalam dan di sebelah luar muskulus konstriktor. Kedua lapisan
ini bersambunng dengan fasia di leher. Lapisan luar atau fasia bukofaring menutupi bagian
superfisial muskulus kons triktor superior. Komponen dalam atau aponeurosis faringeal yang
berada di antara lapisan mukosa dan muskulus konstriktor adalah bagian dari fasia
4
faringobasilar. Kedua lapisan fasia pada tepi atas muskulus konstriktor superior naik ke arah
dasar tengkorak sebagai bagian tersendiri. (4)
Fossa pterigopalatina adalah lekukan medial fissura pterigomaksillaris yang terletak
tepat di bawah puncak orbita antara prosessus pterigoideus dan posterior maksilla. Batas
medialnya adalah pelat tegak lurus dari tulang palatina. Hal ini penting karena
menghubungkan beberapa ruangan dan dapat memfasilitasi penyebaran patologi di antara
mereka. Fossa pterigopalatina berhubungan ke superior dengan orbita melalui bagian
posterior dari fissura orbitalis inferior. Foramen rotundum terbuka ke dalamnya, di sisi
superior, menghubungkannya dengan fossa kranialis media. Di sisi lateral, fossa
pterigopalatina berhubungan secara bebas dengan fossa infratemporalis. Di sisi medial fossa
pterigopalatina berhubungan dengan rongga hidung melalui foramen sphenopalatina pada
pelat tegak lurus dari tulang palatina, dan dengan rongga mulut melalui kanalis palatine
mayor, yang berjalan di sisi inferior antara tulang palatina dan maksilla. Fossa pterigopalatina
berisi cabang maksillaris dari saraf kranialis kelima, yang berjalan melalui foramen rotundum
dan ke dalam orbita melalui fissura orbitalis inferior. Fossa pterigopalatina juga berisi
segmen pterigopalatina dari arteri maksilaris, yang membuat loop karakteristik dan
memberikan dari cabang ke fossa kranialis media dan infratemporalis, ke rongga hidung ,
palatum dan faring. (1)
Pembuluh darah arteri utama yang memperdarahi daerah nasofaring adalah arteri
faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens, dan cabang faringeal
arteri sfenopalatina. Semua pembuluh darah tersebut berasal dari arteri karotis eksterna dan
cabang-cabangnya. Pembuluh darah vena berada di bawah membran mukosa yang
berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah superior dan fasia posterior atau vena
jugularis interna di bawahnya.
5
Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas otot
konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris saraf
glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion servikalis
simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf glossofaringeus, hanya
daerah superior nasofaring dan anterior orifisuim tuba yang mendapat persarafan sensoris
dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf
trigeminus (V1). (2,3)
2. Angiofibroma Nasofaring
Definisi
Angiofibroma Nadofaring atau dapat disebut dengan Angiofibroma Juvenil adalah tumor
jinak hipervaskuler. Secara histologi, juvenile angiofibroma merupakan lesi pseudo kapsuler
yang ditandai dengan komponen vascular irreguler yang terdiri dari berbagai pembuluh darah
dengan caliber berbeda yang menempel dalam fibrosa yang kaya kolagen dan fibroblas.
Pembuluh darah mempunyai dinding yang tipis, tidak memiliki lapisan serabut elastis,
memiliki lapisan otot yang tidak lengkap atau bahkan tidak ada, sehingga mudah terjadi
perdarahan. Angiofibroma di luar nasofaring sangat jarang dan cenderung terjadi pada pasien
yang lebih tua dan banyak pada wanita, namun tumor kurang berifat vaskuler dan kurang
agresif dari pada juvenile angiofibroma nasofaring. (4,5)
Epidemiologi
Juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor jarang yang timbul di nasofaring,
yang merupakan 0,5% dari semua tumor kepala dan leher, dengan frekuensi satu diantara
5.000-60.000 pasien THT di Amerika Serikat. Meskipun jarang, juvenile angiofibroma
6
nasofaring merupakan tumor yang paling sering mengenai nasofaring. Tumor terjadi secara
eksklusif pada laki-laki,sehingga wanita dengan tumor ini harus menjalani tes genetik. Usia
saat terkena umumnya pada dekade kedua, antara 7-19 tahun, dan jarang terjadi pada usia
lebih dari 25 tahun.
Pradillo dkk melaporkan bahwa persentasi pasien dengan usia lebih dari 25 tahun
hanya 0.7% dari semua pasien angiofibroma nasofaring, sedangkan jumlah kasus di Rumah
Sakit M.Djamil Padang bagian THT-KL, Juli 2008-Desember 2010 berjumlah 9 orang
dengan usia antara 13-21 tahun. (5)
Etiologi
Etiologi juvenile angiofibroma nasofaring tidak diketahui tetapi diduga berhubungan
dengan hormon seks. Pengamatan yang menunjukkan tumor secara khas muncul pada remaja
laki-laki dan bahwa lesi sering regresi setelah perkembangan lengkap karakteristik seks
sekunder memberikan bukti pengaruh hormonal pada pertumbuhan tumor. Terdapat bukti
peningkatan reseptor androgen dan regresi tumor setelah terapi anti-androgen. (3)
Patofisiologi
Penyebab yang pasti dari angiofibroma belum diketahui secara pasti. Beberapa pendapat
dari para ahli telah dikemukakan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu
berdasarkan jaringan tempat asal tumbuh tumor dan adanya gangguan hormonal. Pada teori
tentang jaringan asal tumbuh, diduga tumor terjadi karena pertumbuhan abnormal jaringan
fibrokartilago embrional di daerah oksipital os spenoidalis. (1,6)
7
Sedangkan teori hormonal menerangkan bahwa tumbuhnya angiofibroma diduga karena
ketidakseimbangan hormonal, terutama androgen. Banyak bukti memperlihatkan secara
langsung adanya reseptor sex hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan
teknik sensitive immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan
reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan penyimpanan, dan studi
imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada reseptor androgen (RA), reseptor
progesteron (RP), dan reseptor estrogen (RE). Stromal positif dan nukleus endotelial
immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif andibodi RP
dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil menetapkan bukti langsung pertama adanya
antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma. Anggapan ini didasarkan juga atas
adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan umur. Banyak ditemukan pada
anak atau remaja laki-laki. (6)
Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi proliferasi
agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau faktor
pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah
untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1
mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif
diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada
semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenile (1,2).
Juvenile angiofibroma nasofaring muncul dari foramen sphenopalatina dan mengenai
fossa pterigopalatina dan kavum nasi posterior. Tumor berkembang dengan cara erosi tulang
dan mendesak struktur di sekitarnya, dan dapat mencapai basis kranii.Pertumbuhan lesi
memiliki kecenderungan khas mengikuti lapisan submukosa, tumbuh di dekat tempat yang
mempunyai resistensi rendah dan menginvasi tulang cancellous basisphenoid, sehingga pola
penyebarannya dapat diprediksi. Dari fossa pteri gopalatina, tumor tumbuh ke medial ke
8
dalam nasofaring, fossa nasalis dan akhirnya menuju sisi kontralateral. Pertumbuhan ke
lateral dapat meluas ke fossa sphenopalatina dan infra temporalis, melalui fissura pterigo-
maksilaris yang melebar dengan gambaran khas pergeseran ke anterior dari dinding posterior
maksilaris, sampai berhubungan dengan otot mastikatordan jaringan lunak pipi. Pertumbuhan
ke posterior dapat mengenai arteri karotis interna melalui kanalis vidian, sinus kavernosus
melalui foramen rotundum dan apeks orbita melalui fissura orbitalis inferior. Proptosis dan
atrofi nervus optikus terjadi jika fissura orbitalis sudah terkena tumor. Keterlibatan tulang
terjadi melalui dua mekanisme utama yaitu : (1) resorpsi karena tekanan langsung dengan
aktivasi osteoklast atau ( 2) langsung tersebar di sepanjang arteri perfora nates ke dalam akar
cancellous dari prosesus pterigoideus. Perluasan ke posterior berikutnya dapat mengenai
clivus dan ala mayor sphenoid, biasanya dengan erosi tabula interna fossa kranialis media
dan dapat meluas ke intrakranial. Pelebaran fissura orbitalis superior merupakan tanda
perluasan tumor ke intrakranial. (6)
Gejala Klinis
Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang paling
sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%);
khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala
lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi.
Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan jari
pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif (2).
Adanya obstruksi hidung memudahkan terjadinya penimbunan sekret sehingga timbul
rinore kronis yang diikuti oleh gangguan penciuman. Tuba eustachius akan menimbulkan
ketulian atau otalgia. Sefalgia hebat biasanya menunjuukkan bahwa tumor sudah meluas ke
intrakranial (1).
9
Biasanya penderita datang karena epistaksis yang hebat, pucat karena anemi, atau
hidung terasa buntu. Penyebab epistaksis disebabkan lepasnya krusta pada permukaan tumor
atau karena tumor sendiri mengalami ulserasi, dan jarang sekali karena erosi pembuluh darah
besar (4).
Diagnosa
Diagnosis biasanya ditegakkan melalui anamnesis gejala klinis yang dirasakan pasien.
Selain itu juga dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik dan penunjang. Pada pemeriksaan
fisik secara rinoskopi pisterior akan terlihat massa tumor yang konsistensinya kenyal, warna
bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring
biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke
luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, pada
usia yang lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih banyak komponen fibromanya. Mukosa
yang mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi (1).
Secara mikroskopis tampak terdiri dari komponen pembuluh darah di dalam stroma yang
fibrous. Pada pertumbuhan tumor yang aktif, komponen pembuluh darah menjadi
predominan. Dinding pembuluh darah secara umum terdiri dari endothelial tunggal yang
melapisi stromafibrous. Ini membantu untuk menyebabkan perdarahan yang masif. Pembuluh
darah dalam bisa memiliki suatu lapisan muskular. Stroma terbuat dari fibril kolagen yang
halus dan kasar yang memiliki ciri-ciri jaringan ikat berbentuk bintang pada daerah tertentu.
Karena tumor sangat mudah berdarah, sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis
dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional, CT scan dan arteriografi. Pada pemeriksaan
radiologik konvensional (foto kepala AP-lateral, Waters) akan terlihat gambaran klasik yang
disebut tanda Holman Miller yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga
fisura pterigo-palatina akan melebar. Akan terlihat juga massa jaringan lunak di daerah
nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan tulang di sekitar
10
nasofaring. Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak secara tepat
perluasan massa tumor serta destruksi tumor ke tulang sekitarnya. (7)
Pada foto polos gambaran pada sinus dapat tampak seperti polip nasofaring dan
lengkungan ke depan serta opasifikasi dari dinding posterior sinus maksila. Pada CT scan
tampak perluasan tumor pada sinus sfenoid, erosi pada tulang sfenoid, atau invasi pada
pterigomaksila dan fosa infratemporal terkadang dapat dilihat 7.
CT scan coronal memperlihatkan lesi yang mengisi cavum nasi kiri dan sinus etmoid,
memblok sinus maksila dan tampak deviasi septum nasi ke sisi kanan
CT scan axial tampak lesi meliputi cavum nasi kanan dan sinus paranasal
11
Magnetic Resonance Imaging (MRI) diindikasikan untuk menggambarkan dan
menentukan batas tumor terutama pada kasus yang sudah meluas ke intrakranial (8).
MRI scan coronal memperlihatkan perluasan lesi ke sinus cavernosus
Angiografi memperlihatkan cabang dari arteri carotis eksterna sebagai vaskularisasi
utama pada tumor (94%). Vaskularisasi utama pada tumor berasal dari arteri maksilaris
interna, tetapi arteri vidianus atau arteri faringeal ascenden juga berkontribusi daram
memperdarahi tumor. Akan tampak arteri maksilaris interna terdorong ke depan sebagai
akibat dari pertumbuhan tumor dari posterior ke anterior dan dari nasofaring ke arah fosa
pterigomaksila. Selain itu massa tumor akan terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan
mencapai maksimum setelah 3-6 detik zat kontras disuntikkan. Pada kasus yang jarang
terdapat juga perdarahan dari cabang arteri carotis interna (7).
Kadang-kadang juga sekaligus dilakukan embolisasi agar terjadi trombosis
intravaskular, sehingga vaskularisasi berkurang dan akan mempermudah pengangkatan tumor
(1,3).
12
Gambaran angiografi sebelum dilakukan embolisasi
Gambaran angiografi setelah dilakukan embolisasi
Pemeriksaan kadar hormonal dan pemeriksaan immunohistokimia terhadap reseptor
estrogen, progesteron dan androgen sebaiknya dilakukan untuk melihat adanya gangguan
hormonal. Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat dilakukan, karena biopsi merupakan
kontraindikasi sebab akan mengakibatkan perdarahan yang masif (2,3)
Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem yang paling
sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch. Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut (3) :
- Stage IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring
13
- Stage IB : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan perluasan ke
satu sinus paranasal.
- Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.
- Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke tulang
orbita.
- Stage IIIA : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang minimal.
- Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam sinus
kavernosus.
Klasifikasi menurut Fisch :
- Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang.
- Stage II :Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan destruksi
tulang.
- Stage III :Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah parasellar
sampai sinus kavernosus.
- Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum dan/atau fossa
pituitari
Penatalaksaan
Penanganan tumor angiofibroma nasofaring tergantung dari luas dan besarnya tumor,
bila masih terbatas dalam nasofaring dan rongga hidung cukup dilakukan eksterpasi tumor,
tetapi bila tumor sudah sampai ke dalam kranium, radioterapi merupakan cara pengobatan
pilihan (4).
Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal dan radioterapi.
Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi tumor dan perluasannya,
seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial (sublabial mid-fasial
14
degloving), atau kombinasi dengan kraniotomi frontotemporal bila sudah meluas ke
intrakranial. (3)
Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan yang sering didahului oleh
embolisasi intra-arterial 24-48 jam preoperatif yang berguna untuk mengurangi perdarahan
selama operasi. Material yang digunakan untuk embolisasi ini terdiri dari mikropartikel
reabsorpsi seperti Gelfoam, Polyvinyl alcohol atau mikropartikel nonabsorpsi seperti Ivalon
dan Terbal. (6)
Sebelum dilakukan operasi pengangkatan tumor selain dilakukan embolisasi untuk
mengatasi perdarahan yang banyak dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna dan anestesi
dengan teknik hipotensi. (5)
Pengobatan hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan II dengan preparat
testosteron reseptor bloker (flutamid). Pengobatan radioterapi dapat dilakukan dengan
stereotaktik radioterapi (gama knife) atau jika tumor meluas ke intrakranial dengan
radioterapi konformal 3 dimensi. (8)
Untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan sekitarnya dan mendestruksi dasar
tengkorak sebaiknya diberikan radioterapi prabedah atau dapat pula diberikan terapi
hormonal 6 minggu sebelum operasi, meskipun hasilnya tidak sebaik radioterapi (8).
Komplikasi
Komplikasi tidak dapat dispisahkan dengan perluasan intracranial (penyakit stadium
IV), perdarahan yang tidak terkontrol dan kematian, iatrogenic injury terhadap struktur vital
dan tranfusi perioperatif. Komplikasi lainnya meliputi perdarahan yang banyak, transformasi
keganasan, kebutaan sementara sebagai hasil embolisasi, namun ini jarang terjadi. (1)
15
Prognosis
Meskipun tidak bersifat seperti kanker, angiofibroma dapat terus menyebar, dan dapat
pula hilang sendiri. Terdapat angka rekurensi yang cukup tinggi setelah operasi, sekitar 6-
24%. (1,)
16
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas Pasien
Nama : Tn. “AM”
Umur : 16 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Labuhan Haji - Lotim
No. RM : 123183
Tanggal Pemeriksaan : 12 Oktober 2015
3.2. Anamnesis
♣ Keluhan Utama:
Hidung tersumbat
♣ Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poliklinik THT RSU Provinsi NTB dengan keluhan hidung terasa
tersumbat. Keluhan ini dirasakan sejak +/- 3 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan
menetap sepanjang hari, dan dirasakan memberat sejak +/- 3 hari yang lalu.
Keluhan hidung tersumbat dirasakan pada kedua rongga hidung, namun lebih berat
dirasakan pada rongga hidung kiri. Pasien mengatakan tidak ada hal yang
memberatkan atau meringankan keluhan hidung tersumbat ini. Pasien juga
mengeluh mulai susah bernafas akibat sumbatan di hidung, keluhan ini mulai
dialami sejak +/- 3 hari yang lalu. Pasien mengaku pada malam hari sering
17
terbangun akibat sulit bernafas. Pasien juga menyadari adanya benjolan pada
rongga hidung sebelah kiri. Keluhan benjolan ini tidak diketahui secara pasti sejak
kapan muncul, namun pasien baru menyadari +/- 1 bulan yang lalu. Pasien awalnya
melihat awalnya melihat benjolan dengan ukuran yang kecil, namun saat ini
benjolan dirasakan semakin membesar. Nyeri (-). Pasien sering mengalami pilek
lendir kental yang terkadang disertai dengan adanya darah, suara sengau (+). Selain
itu pasien juga sering mengalami mimisan dari rongga hidung kiri. Keluhan ini
dialami sejak +/- 3 bulan yang lalu. Saat ini keluhan tersebut disangkal pasien,
terakhir kali pasien mengalami mimisan +/- 2 minggu yang lalu. Pasien juga
mengeluh adanya penurunan penciuman yang dirasakan di hidung sebelah kiri.
Nyeri pada dahi (-), nyeri pada mata dan belakang mata (-) dan pangkal hidung (-),
nyeri tenggorokan, nyeri pada bagian atas kepala (-), nyeri belakang telinga (-),
demam (-), letih lesu (-).
♣ Riwayat Penyakit Dahulu:
Keluhan serupa (-), riwayat sakit gigi (-), gigi berlubang (-), riwayat asma (-),
tekanan darah tinggi (-), kencing manis (-).
♣ Riwayat Penyakit Keluarga/Sosial:
Pasien tidak memiliki keluarga dengan keluhan yang serupa.
♣ Riwayat Alergi:
Pasien menyangkal menderita alergi makanan, obat dan alergen lainnya.
♣ Riwayat Pengobatan:
Pasien mengaku hanya pernah berobat ke Puskesmas, diberi obat-obatan namun
keluhan tidak membaik. Pasien juga telah dianjurkan oleh dokter Puskesmas untuk
memeriksakan diri ke rumah sakit.
18
3.3. Pemeriksaan Fisik
♣ Status Generalis :
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital : - TD : 110/70 mmHg
- Nadi : 82 x/menit
- Respirasi : 20 x/menit
- Suhu : 36,6 C⁰
BB: 52 Kg
♣ Status Lokalis :
PemeriksaanTelinga
No
.
Pemeriksaan Telinga AuriculaDextra AuriculaSinistra
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Daun telinga : aurikula,
preaurikuer, retroaurikuler.
Bentuk dan ukuran telinga
dalam batas normal, lesi
pada kulit (-), hematoma
(-),massa (-), fistula (-),
nyeri tarik aurikula (-).
Bentuk dan ukuran telinga
dalam batas normal,lesi pada
kulit (-), hematoma
(-),massa (-), fistula (-),
nyeri tarik aurikula (-).
3. Liang telinga (MAE) Serumen (+) minimal,
hiperemis (-), edema (-),
furunkel (-),otorhea (-).
Serumen (-), hiperemis (-),
edema (-),furunkel
(-),otorhea (-).
19
4. Membran timpani Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi (-), intak (+), cone
of light (+), warna putih
mutiara, koleastetoma (-),
Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi (-), intak (+), cone
of light (+), warna putih
mutiara, koleastetoma (-),
Pemeriksaan Hidung
Inspeksi Nasal Dextra Nasal Sinistra
Hidung luar Bentuk (N), inflamasi (-),
deformitas (-), massa (-), nyeri
tekan (-)
Bentuk (N), inflamasi (-),
deformitas (-), massa (-), nyeri
tekan (+).
Rinoskopi Anterior :
Vestibulum nasi N, ulkus (-) N, ulkus (-)
Cavum nasi Bentuk (N), mukosa pucat (-),
hiperemi (-), sekret (+)
Bentuk (N), mukosa edem
(+) ,hiperemi (+), sekret (+),
Meatus nasi media Mukosa hiperemi (-), sekret
(+), massa (-)
Mukosa hiperemi (-), sekret
(+), massa (+) bewarna putih
kemerahan., darah (-)
20
Septum nasi Deviasi (-), benda asing(-),
perdarahan (-), ulkus (-),
mukosa normal.
Deviasi (-), benda asing (-),
perdarahan(-), ulkus (-),
mukosa normal.
Konka nasi inferior Hipertrofi (-),hiperemia (-),
edema (-)
Hipertrofi (-), hiperemia (-),
edema (-)
Gambar :
Pemeriksaan Sinus Paranasal
SinusNyeri Tekan Transiluminasi
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Maksilaris (-) (-) Tidak
dilakukan
Tidak
dilakukan
Frontalis (-) (-) Tidak
dilakukan
Tidak
dilakukan
21
Pemeriksaan Tenggorokan
No. Pemeriksaan Keterangan
1. Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda
2. Mulut Mukosa mulut basah, berwarna merah muda
3. Mukosa Bucal Warna merah muda, hiperemi (-)
4. Gigi Warna mukosa gusi merah muda, hiperemi (-).
5. Lidah Ulkus (-), pseudomembran (-).
6. Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran
(-).
7. Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-).
8. Faring Mukosahiperemi (-), edema (-), ulkus (-), granul (-),sekret
(-), reflex muntah (+).
9. Tonsila Palatina Kanan : Hiperemi (-), permukaan rata (+), ukuran T1,
kripte melebar (-), detritus (-)
Kiri : Hiperemi (-) ,permukaan rata (+), ukuran T1, kripte
melebar (-), detritus (-)
22
3.4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan CT Scan tanggal 16 Agustus 2015
Kesan : Massa Nasofaring Suspect Angiofibroma Nasofaring
23
3.5. Assesment
Diagnosis
Angiofibroma Nasofaring
Diagnosa Banding
Polip Nasi
3.5. Planning
3.5.1. Planning Pemeriksaan
♣ Pemeriksaan darah lengkap dan rontgen thorax untuk kepentingan pre-operasi
3.5.2. Planning Terapi
♣ Medikamentosa :
Antibiotik : Sefadroksil 2x500mg
Demacolin 3x1 tab
♣ Operatif
Pro Ekstirpasi Angiofibroma Nasofaring
3.6. KIE Pasien
♣ Pasien dianjurkan untuk menjaga kebersihan hidung dan tidak menekan-nekan hidung
♣ Memberitahukan pasien mengenai penyakit yang dialami, penatalaksanaan, tujuan
operasi, prosedur opreasi secara umum dan prognosis operasi
♣ Istirahat dan kontrol secara berkala
3.7 Prognosis
24
Dubia ad bonam
BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien laki-laki usia 16 tahun datang dengan keluhan adanya sumbatan
pada hidung, disertai dengan adanya pilek mimisan dan penuruna penciuman. Pasien juga
mengeluh adanya benjolan pada rongga hidung sebelah kiri. Pasien tidak mempunyai keluhan
lainnya, seperti nyeri kepala, gangguan di telinga maupun mata.
Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pada anamnesis tergambar mengenai etiologi dan perjalanan penyakit
pasien. Anamnesis teruatam meliputi keluhan utama berupa hidung tersumbat, dan adanya
pilek, mimisan, serta benjolan pada rongga hidung. Dari pemeriksaan fisik mengonfirmasi
adanya masaa pada rongga hidung kiri, massa bewarna putih kemerahan dengan konsistensi
kenyal dan batas tegas.
Gejala hidung tersumbat dan mimisan dapat terjadi pada polip nasi maupun
angiofibroma nasofaring. Karena itu polip nasi juga dijadikan diagnosa banding pada kasus
ini. Polip nasi angiomatosa mempunyai gejala dan tanda yang mirip dengan angiofibroma.
Perbedaan antara keduanya terletak pada predileksi umur dan jenis kelamin, dan letak serta
perluasan lesi. Polip nasi angiomatosa tidak mempunyai predileksi jenis kelamin. Hal ini
berbeda dengan angiofibroma nasofaring, yang mempunyai predileksi jenis kelamin laki-laki
dan umur remaja. Selain dari epidemiologi, perbedaan polip angiomatosa dengan
angiofibroma adalah letak terutama polip angiomatosa di fossa nasalis, bukan di nasofaring,
tidak meluas ke fossa pterigopalatina, sinus sphenoidalis, maupun ke intra kranial. Pada polip
nasi biasanya tidak disertai dengan epitaksis, kecuali bila ada riwayat trauma.
25
Pada pemeriksaan penunjang berupa CT Scan didapatkan gambaran adanya massa
pada nasofaring dengan kecurigaan angiofibroma nasofaring.
Angiofibroma nasofaring merupakan tumor jinak yang mempunyai vaskularisasi yang
banyak. Karena hipervaskularisasi dari tumor ini maka biopsi tidak dianjurkan, karena dapat
menyebabkan perdarahan yang banyak.
Pembedahan merupakan penatalaksanaan yang dianjurkan, walaupun terdapat risiko
perdarahan yang besar akibat tingginya vaskularisasi tumor. Tindakan operasi bertujuan
untuk memperbaiki keluhan yang dirasakan pasien terutama rasa tersumbat pada hidung yang
diakibatkan adanya massa yang terbentuk pada rongga hidung.
Kontrol setelah dilakukan operasi tetap diperlukan untuk menilai ada tidaknya
keluhan yang masih dirasakan pasien dan menilai hasil operasi.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Roezin A, Dharmabakti US, Musa Z. Angiofibroma Nasofaring Belia.
Dalam :Soepardi EA, Iskandar N. (Ed). Buku Ajar Ilmu THT. Edisi 6. Jakarta :Balai
Penerbit FKUI ; 2007. Hal 221-5.
2. Fauzi et al. (Ed) Harrison’s Principles of Internal Medicine 17 th Edition McGraw-Hill
Companies, Inc. USA 2008 ; Part 6; Chapter 79.
3. Nicolai P, Schreiber A, Villaret AB. Juvenile Angiofibroma: Evolution of
Management. International Journal of Pedi atric s. 2012: 1 -11
4. Verma N, Kumar N, Azad R, Sharma N. Angioamtous Polyp : A Condition Difficult to
Diagnose. Otorhinolaryngology Clinics: An International Journal. 2011; 3(2): 93 -7
5. Hansen JT. Netter’s Clin ical Anatomy. 2nd ed. Saunders Elsevier. 2010
6. Tewfik TL. Juvenile Na sopharyngeal Angiofibroma. 2013. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com [ updated: Feb 7, 2013]
7. Garca MF, Yuca SA, Yuca K. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Eur J Gen
Med. 2010;7(4): 419 -25
8. Naz N, Ahmed Z, Shaikh SM, Marfani MS. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma
Role of Imaging in Diagnosis, Staging and Recurrence. Pakistan Journal of Surgery.
2009; 25 (3): 185-9
27