36
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gigitan ular merupakan salah satu kasus gawat darurat yang terkait lingkungan, pekerjaan dan musim dan cukup banyak terjadi di berbagai belahan dunia khususnya di daerah pedesaan. Pekerja di bidang pertanian dan anak-anak merupakan golongan yang serin tergigit. 1 Pada tahun 2009, WHO pertama kali dikenalkan WHO sebagai neglected tropical disease. 2 Insidens gigitan ular ini terutama yang menyebabkan kematian masih cukup tinggi di dunia. Pada tahun 1998 angka kematian diperkirakan sekitar 125.000 dari 5 juta kasus per tahun termasuk 100.000 kematian dari 2 juta kasus di Asia dengan jumlah kecacatan menetap yang tidak terhitung 1 karena masih sulitnya ketersediaan dan akses Serum Anti Bisa Ular (SABU). Begitu pula di daerah Asia Tenggara. Namun untuk jumlah pastinya masih belum diketahui karena angka kesakitan baik akut maupun kronik masih tidak jelas dan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan di berbagai daerah. Di Indonesia sendiri dilaporkan sekitar 20 kasus kematian dari ribuan kasus gigitan ular per tahun. 1 Mengetahui jenis ular yang menggigit karena penting untuk penanganan yang optimal. Penanganan pertama pra hospital terhadap korban gigitan ular yang masih sering kita jumpai di masyarakat menurut penelitian memiliki lebih banyak kerugian daripada keuntungannya. Oleh karena itu laporan kasus ini disusun agar dapat lebih memahami dan mempelajari bagaimana diagnosis dan tatalaksana pada pasien dengan gigitan ular. 1

Lapsus snakebite

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gigitan ular merupakan salah satu kasus gawat darurat yang

terkait lingkungan, pekerjaan dan musim dan cukup banyak terjadi

di berbagai belahan dunia khususnya di daerah pedesaan. Pekerja di

bidang pertanian dan anak-anak merupakan golongan yang serin

tergigit. 1

Pada tahun 2009, WHO pertama kali dikenalkan WHO sebagai

neglected tropical disease.2 Insidens gigitan ular ini terutama yang

menyebabkan kematian masih cukup tinggi di dunia. Pada tahun 1998

angka kematian diperkirakan sekitar 125.000 dari 5 juta kasus per

tahun termasuk 100.000 kematian dari 2 juta kasus di Asia dengan

jumlah kecacatan menetap yang tidak terhitung1 karena masih

sulitnya ketersediaan dan akses Serum Anti Bisa Ular (SABU).

Begitu pula di daerah Asia Tenggara. Namun untuk jumlah pastinya

masih belum diketahui karena angka kesakitan baik akut maupun

kronik masih tidak jelas dan tidak adekuatnya sistem pencatatan

dan pelaporan di berbagai daerah. Di Indonesia sendiri dilaporkan

sekitar 20 kasus kematian dari ribuan kasus gigitan ular per

tahun. 1

Mengetahui jenis ular yang menggigit karena penting untuk

penanganan yang optimal. Penanganan pertama pra hospital terhadap

korban gigitan ular yang masih sering kita jumpai di masyarakat

menurut penelitian memiliki lebih banyak kerugian daripada

keuntungannya. Oleh karena itu laporan kasus ini disusun agar

dapat lebih memahami dan mempelajari bagaimana diagnosis dan

tatalaksana pada pasien dengan gigitan ular.

1

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara mengidentifikasi pasien dengan gigitan ular?

2. Bagaimana cara mendiagnosis pasien dengan gigitan ular?

3. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan gigitan ular?

4. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan

gigitan ular?

5. Bagaimana prognosis pasien dengan gigitan ular?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui cara mengidentifikasi pasien dengan gigitan

ular

2. Untuk mengetahui cara mendiagnosis pasien dengan gigitan ular

3. Untuk mengetahui penatalaksanaan pasien dengan gigitan ular

4. Untuk mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada pasien

dengan gigitan ular.

5. Untuk mengetahui prognosis pasien dengan gigitan ular.

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Jenis Ular

Diagnosis dari spesies ular yang menggigit korban penting

untuk diketahui. Bisa dilakukan dengan mengidentifikasi ular yg

sudah mati, ciri-cirinya atau dari manifestasi klinis yang

muncul.1 Dari 2500–3000 spesies ular yang tersebar di dunia kira-

kira ada 500 ular yang beracun.3 Famili Viperidae (vipers, adders,

pit vipers, and mocassins), Elapidae (cobras, mambas, kraits, coral

snakes, Australasian venomous snakes, and sea snakes),

Atractaspididae (burrowing asps) — memiliki kemampuan untuk

menyuntikkan bisa menggunakan gigi yang telah termodifikasi

(taring). 2

Viperidae Elapidae Atractaspididae

Gambar 1 : Jenis-jenis ular berbisa

3

Gambar 2 : Spesies Ular berbisa di Indonesia

Kategori 1 : Ular berbisa yang tersebar luas dan mengakibatkan

angka kesakitan, kecacatan dan kematian yang tinggi

Kategori 2 : Ular berbisa yang mengakibatkan angka kesakitan,

kecacatan dan kematian yang tinggi tetapi berdasarkan data

epidemiologi jarang terjadi karena habitat dan perilaku ular yang

jauh dari populasi manusia.

Bisa ular dihasilkan dan disimpan pada sepasang kelnjar di bawah

mata dan dihubungkan ke taring oleh Saluran racun menghubungkan

kelenjar penghasil racun sampai dasar taring (fang).

Gambar 3 : Anatomi kantong bisa ular dan saluran bisa

Sampai saat ini belum ada aturan baku untuk membedakan ular

berbisa atau tidak. Beberapa ular yang tidak berbisa telah

4

berevolusi menyerupai ular beracun begitu pula sebaliknya sehingga

terlihat hampir sama. Meskipun dalam beberapa hal ular berbisa

memiliki ciri-ciri tertentu seperti ukuran dan bentuk tubuhnya,

pola kulitnya, perilaku dan suara jika dalam keadaan terancam. 1

Sebagai contoh ular jenis kobra sudah dikenal luas akan menegakkan

tubuhnya, menyemburkan racun dan secara agresif mematuk lawannya

jika dalam kondisi terancam.

Ular penghasil bisa (snake venom) berbahaya, bisa yang

dikeluarkannya 90% merupakan protein sisanya merupakan nonenzim

seperti protein nontoksis yang mengandung karbohidrat dan logam.

Bisa tersebut mengandung lebih dari 20 macam enzim yang berbeda

termasuk phospholipases A2, B, C, D hydrolases, phosphatases (asam sampai

alkalis), proteases, esterases, acetylcholinesterase, transaminase, hyaluronidase,

phosphodiesterase, nucleotidase dan ATPase serta nucleosidases (DNA & RNA).3

2.2 Bisa Ular

Beberapa enzim yang terkandung dalam bisa ular antara lain :

Zinc metalloproteinase haemorrhagins: Merusak endotel vaskular,

mengakibatkan perdarahan.

Procoagulant enzymes: Mengandung serine protease dan enzim

prokoagulan yang merupakan zat pengaktif faktor X, prothrombin

dan faktor koagulan yang menstimulasi pembekuan darah dengan

membentuk benang fibrin pada aliran darah. Ironisnya proses ini

membuat darah menjadi sukar membeku karena hampir semua fibrin

rusak dan faktor-faktor pembekuan darah tersebuat akan

berkurang dalam waktu sekitar 30 menit setelah gigitan ular.

Phospholipase A2 (lecithinase): Merusak mitokondria, Sel darah merah,

leukosit, platelet, saraf tepi, otot skeletal, endotel

vaskular, dan membran-membran lain, menghasilkan aktifitas

5

neurotoksik di presinaps, dan memicu pelepasan histamin dan

antikoagulan.

Acetylcholinesterase

Hyaluronidase: meningkatkan penyebaran bisa ke seluruh

jaringan.

Enzim proteolitik : meningkatkan permeabilitas vaskular

sehingga menybabkan edema, munculnya bulla, lebam, dan nekrosis

pada tempat gigitan. 1

Selain itu ada zat penyusun bisa ular yang bersifat neurotoksik

post sinaps yaitu α-bungarotoxin and cobrotoxin, yang terdiri

atas 60-62 atau 66-74 asam aminio dan subunit fosfolipase A

yang melepaskan asetilkolin pada saraf tepi di neuromuscular

junction dan mencegah pelepasan neurotransmiter.

Peningkatan permeabilitas vaskular jika berlangsung terus

menerus akan mengakibatkan renjatan atau syok yang jika tidak

tertangani dapat menyebabkan kematian. Seringkali bisa ular

bersifat neurotoksik yang menyebabkan kelumpuhan (paralysis)

dan terhentinya pernapasan, serta pengaruh kardiotoksik

menyebabkan denyut jantung berhenti juga berpengaruh kepada

terjadinya miotoksik.2

6

Tabel 1 : Protein pada bisa ular dan kepentingan klinis 1

2.3 Epidemiologi

Pada tahun 1998 angka kematian diperkirakan sekitar 125.000

dari 5 juta kasus per tahun termasuk 100.000 kematian dari 2 juta

kasus di Asia.1 Di Amerika dilaporkan 4000-7000 kasus gigitan ukar

per tahun dengan rata-rata 4 kasus per 100.000 penduduk. Selama 5

tahun penelitian retrospektif dari sekitar 25 kasus gigitan, 4

diantaranya memerlukan tindakan fasciotomi dan 2 memerlukan tandur

kulit dengan rasio laki-laki : perempuan = 9 : 1 Dan 50% sering

terjadi pada umur 18-28 tahun.5 Di Indonesia sendiri dilaporkan

sekitar 20 kasus kematian dari ribuan kasus gigitan ular per

tahun.1

2.4 Patogenesis

2.4.1. Gangguan pembekuan darah

Umumnya ular berbisa, bisanya mengandung serine protease,

metaloproteinase yang mengganggu hemostasis dengan aktivasi atau

menghambat faktor koagulan atau platelet dan merusak endotel

7

vaskular. Enzim dalam bisa ular akan berikatan dengan reseptor

platelet menginduksi atau menghambat agregasi platelet. Enzim-

enzim prokoagulan akan mengaktifkan protrombin, faktor V,X,XIII

dan pasminogen endogen. Kombinasi konsumsi aktivitas antikoagulan,

terganggunya jumlah dan fungsi platelet dan kerusakan dinding

endotel pembuluh darah berakibat perdarahan yang hebat pada

pasien,

Penyakit pembekuan darah (koagulopati) ditandai defibrinasi

yang berkaitan dengan jumlah trombosit. Di samping itu dapat

mengubah protrombin menjadi trombin dan mengurangi faktor V,VII,

protein C dan plasminogen.Tekanan di sistem kardiovaskuler

menyebabkan DIC atau tekanan di otot jantung. 2

2.4.2 Neurotoksik

Bisa ular yang bersifat neurotoksik akan menghambat eksitasi

neuromuskular junction perifer dengan berbagai cara. Sehingga gejala

yang paling sering muncul adalah mengantuk, menunjukkan bahwa ada

kemungkinan pengaruh sedasi sentral yang terkait dengan molekul

kecil non protein yang terdapat dalam bisa ular king cobra. Hampir

sebagian besar neurotoksin akan mengakibatkan pamanjangan efek

dari asetilkolin, sehingga muncul gejala paralisis seperti ptosis,

ophtalmoplegia eksternal, midriasis, dan depresi jalan napas dan

total flacid paralysis seperti pada pasien dengan Myastenia Gravis. Selain

itu ada pola paralisis desendens yang sulit dijelaskan secara

patofisiologinya.

8

Gambar 4 : Neuromuscular junction dan protein neurotoksik bisa

ular

2.4.3 Hipotensi

Hipotensi yang terjadi pasca gigitan ular disebabkan karena

banyak hal terkait bisa ular itu sendiri. Ada beberapa faktor

yang memepngaruhi permeabilitas pembuluh darah sehingga terjadi

ekstravasasi plasma ke jaringan interstisiel. Selain itu zat-

zat dalam bisa ular akan memiliki efek langsung maupun tidak

langsung terhadap otot jantung, otot polos dan jaringan lain.

Melalui bradykinin-potentiating peptide, efek hipotensif dari

bradikinin akan semakin meningkat dengan tidak aktifnya peptidyl

peptidase yang berfungsi menghancurkan bradikinin dan mengubah

angiotensin I menjadi angiotensin II. Penemuan patofisiologi

ini merupakan awal mula sintesis captopril dan ACE inhibitor

lain.

2.5 Diagnosis

2.5.1 Anamnesa

Riwayat dan mekanisme kejadian, jenis ular yang menggigit (warna,

ukuran, bentuk, ciri khas) dapat ditanyakan langsung kepada korban

gigitan, namun seringkali pasien tidak tahu. Selain itu perlu

9

ditanyakan waktu kejadian yang dapat mempengaruhi terapi dan

prognosis pasien, gejala yang pasien rasakan saat ini serta

riwayat alergi, pengobatan (antikoagulan) dan penyakit terdahulu

(jantung, paru, ginjal).5

2.5.2 Manifestasi Klinis

- Gigitan ular tanpa masuknya bisa ular

Pada korban gigitan ular atau yang masih disangka tergigit

ular biasanya akan muncul gejala panik, cemas serta gelisah

dikarenakan kerakutan yang biasa sehingga dapat muncul gejala kaku

pada ekstremitas ataupun vasovagal shock. Tekanan darah dan nadi

akan meningkat disertai menggigil dan berkeringat.

- Gigitan ular dengan masuknya bisa ular

o Tanda dan gejala awal

Setelah masuknya taring ular pada kulit akan muncul nyeri

yang kemudian berkembang sensasi terbakar, berdenyut dan

nyeri akan bertambah hebat dan akan meningkat ke bagian

proksimal dari bagian yang tergigit. Pembesaran kelenjar

getah bening regional sering dijumpai (KGB ingunalis jika

yang tergigit adalah ekstremitas inferior dan KGB axila jika

yang tergigit adalah ekstremitas superior.

2.5.3 Pemeriksaan Fisik 1,4,5

1. Cek tanda-tanda vital (jalan napas, napas, sirkulasi / ABC)

2. Cek tanda bekas gigitan ular berbentuk 2 titik bekas taring

ular

3. Status generalis :

1) lemas, mual, muntah, nyeri perut

2) hipotensi

3) penglihatan terganggu, edema konjungtiva (chemosis)

4) pengeluaran keringat dan hipersalivasi

10

5) Aritmia, edema paru, shock

6) Tanda perdarahan spontan (petekie, epistaksis, hemoptoe)

7) Parestesia

4. Status lokalis :

1) terdapat sepasang lubangan (pungsi) bekas gigitan sebagai

tanda luka,

2) bengkak sekitar gigitan dan berwarna kemerahan (tanda-tanda

inflamasi) yang muncul dalam 5 menit sampai 12 jam setelah

kejadian

3) daerah sekitar gigitan nyeri,muncul bula

4) mati rasa atau kebas (numbness) atau kesemutan rasa

berdenyut-denyut (tingling) di sekitar wajah atau tungkai dan

lengan.

Gambar 5 : Manifestasi klinis pasien dengan gigitan ular

11

Beberapa faktor yang berpengaruh pada kematian akibat gigitan

antara lain 1

1. Serum Anti Bisa Ular : pemberian dosis yang tidak adekuat

atau anti bisa ular yang hanya spesifik untuk satu jenis

spesia ular tertentu

2. Waktu ketika mendapat terapi yang adekuat pada pusat layanan

kesehatan memanjang akibat korban biasanya terlebih dahulu

datang pada pengobatan alternatif atau masalah pada

transportasi

3. Adanya kegagalan multifungsi pada sistem organ sebagai contoh

syok hemoragik atau sepsis ,dan obstruksi jalan nafas

2.5.4 Pemeriksaan Penunjang

- Laboratorium

Pemeriksaan yang diperlukan adalah pemeriksaan Darah lengkap

meliputi leukosit, trombosit, Hemoglobin, hematokrit dan hitung

jenis leukosit. Faal Hemostasis ( Prothrombin time, Activated

Partial Thromboplastin time, International Normalized Ratio),

Cross Match, Serum elektrolit, Faal ginjal (BUN, Kreatinin),

Urinalisis untuk melihat myoglobinuria, dan Anlisis Gas darah

Pencitraan

Foto rontgen thorax untuk melihat apakah ada edema paru

Lain-lain

Mencari tanda-tanda sindrom kompartemen

.

2.5.5 Diagnosis Banding 5

- Anafilaksis

- Deep vein thrombosis (DVT)

- Gigitan kalajengking

- Syok septik

- Sengatan lebah

12

- Luka terinfeksi

2.6 Klasifikasi

Derajat gigitan ular :

1. Derajat 0

- Bekas gigitan 2 taring -

- Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam

- Pembengkakan dan nyeri minimal

2. Derajat I (Minimal)

- Bekas gigitan 2 taring

- Bengkak dan kemerahan dengan diameter 1 – 5 inchi

- Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam

- Nyeri sedang sampai berat

3. Derajat II (Moderate)

- Bekas gigitan 2 taring

- Nyeri hebat,  Bengkak dan kemerahan dengan diameter 6 – 12

inchi dalam 12 jam

- Petechie, echimosis, perdarah pada bekas gigitan

-  Ada tanda-tanda sistemik (mual, muntah, demam, Pembesaran

kelenjar getah bening)

4. Derajat III (Severe)

- Bekas gigitan 2 taring

- nyeri sangat hebat , Bengkak dan kemerahan lebih dari 12

inchi

- Tanda-tanda derajat I dan II muncul dengan sangat cepat.

Ditemukan tanda-tanda sistemik (gangguan koagulasi, mual,

muntah, takikardi, hipotermia, ekimosis, petekia

menyeluruh).

- Syok dan distres nafas

5. Derajat IV (Extremely severe)

- Sangat cepat memburuk

13

- Bengkak dan kemerahan di seluruh ekstremitas yang terkena

gigitan, muncul ekimosis, nekrosis dan bulla

- Meningkatnya tekanan intrakompartemen yang dapat menghambat

aliran darah vena atau arteri

- Kegagalan multiorgan (ginjal, jantung) bisa sampai koma

bahkan meninggal

2.7 Penatalaksanaan

Secara umum tujuan panatalaksanaan pasien dengan gigitan ular

adalah untuk menetralisisr toksin, mengurangi angka kesakitan,

dan mencegah komplikasi. Alur yang harus dilakukan adalah :

Pertolongan pertama

Rujukan ke rumah sakit

Penilain klinis dan resusitasi dengan cepat dan tepat

Mengenali spesies ular jika memungkinkan

Melakukan pemeriksaan penunjang

Pemberian Serum Anti Bisa Ular (SABU)

Observasi respon terhadap pemberian SABU

Terapi suportif dan perawatan luka gigitan

Rehabilitasi serta terapi komplikasi

Biasanya setelah kejadian tergigit ular akan dilakukan beberapa

cara tradisional untuk penanganan pertama, namun sebaiknya

cara- cara tersebut tidak dilakukan :

Menyedot bisa ular dengan mulut

Memasang torniquet dengan ketat di sekitar luka gigitan

karena bisa mengakibatkan nyeri, bengkak dan menghambat

aliran darah ke ekstremitas perifer

Melakukan ompres panas, dingin atau penyayatan luka

Pemberian ramuan herbal atau kompres es 1,5

14

Yang harus dilakukan sebagai pertolongan pertama pada korban

gigitan ular sebelum ke rumah sakit (pre hospital) :

Pastikan ABC dan monitor tanda-tanda vital (Nadi, Laju

pernafasan, Tekanan Darah, Suhu) kemudian lakukan resusitasi

dengan kristaloid sekitar 500- 1000 cc.

Pembatasan pergerakan dan imobilisasi pada daerah sekitar

gigitan

Segera rujuk ke tempat pelayanan kesehatan yang memadai

Jangan berikan SABU terlebih dahulu 1,2,5

Rumah sakit

Selalu periksa Airway Breathing Circulation Disability of

nervous system Exposure (hindari hipotermia) dan evaluasi

tanda-tand syok (takipnea, takikardia, hipotensi, perubahan

status mental). Pemberian SABU berdasarkan derajat gigitan

ular.1

Keadaan yang memerlukan resusitasi segera jika adanya tanda-

tanda syok dari

- Efek bisa ular pada cardiovascular seperti hipovilemia, syok

perdarahan, pelepasan mediator inflamasi dan yang jarang

yaitu anafilaksis primer

- Gagal nafas karena paralisis otot pernafasan

- Cardiac arrest karena hiperkalemia akibat rhabdomyolisis

2.7.1 Serum Anti Bisa Ular (SABU)

Terapi anti bisa ular pertama kali diperkenalkan oleh Albert

Calmette dari Institut Pasteur di Saigon pada 1890.1 Terdapat

dua jenis antiracun ular yaitu yang pertama terbuat dari serum

kuda setelah kuda diinjeksi dengan dosis racun ular subletal.

Antiracun ini kemudian diproses dan dimurnikan tetapi masih

15

mengandung protein serum yang mungkin masih memiliki sifat

antigenik. Jenis kedua adalah yang direkomendasikan FDA tahun

2000 yaitu fragmen imunoglobulin monovalen dari domba yang

dimurnikan untuk menghindari protein antigenik. 5

SABU harus diberikan pada pasien jika memang diperlukan jika

memberikan keuntungan lebih besar. Indikasi pemberian SABU :

- Adanya abnormalitas hemostatis

Secara klinis adanya perdarahan spontan, koagulopati

(dilihat dari faal hemostasis),

- Tanda neurotoksis (ptosis, paralisis otot pernapasan)

- Abnormalitas cardiovascular (hipotensi, syok, aritmia, EKG

abnormal)

- Acute Kidney Injury (oliguria/anuria, peningkatan serum

ureum dan atau creatinin)

- Hemoglobin/myoglobin-uria (ditandai dengan urin yang

berwarna coklat gelap dan adanya tanda rhabdomyolisis yaitu

nyeri otot dan hiperkalemia)

Lebih dari seratus tahun, serum antibisa ular telah diterima

secara luas dan digunakan sebagai terapi. Terapi antidotum

spesifik untuk bisa ular adalah hyperimmune globulin dari

binatang yang telah diimunisasi dengan bisa ular dan

memproduksi antibodi. Pada pasien gigitan ular yang emngalami

gangguan pembekuan darah atau telah terbentuk clot maka

pemberian SABU akan memperbaiki d\an menghilangkan clot dalam

waktu 2-28 jam. Dalam suatu penelitian acak terkontrol, 40 dari

46 pasien yang diberikan SABU akan membaik dalam waktu 6 jam

meskipun tanda-tanda perdarahan masih didapatkan hingga 88 jam

kemudian.

SABU diberikan intravena kadang akan memunculkan reaksi alergi

mulai dari yang ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai

yang berat (syok anafilaksis). Berdasarkan dosis, rute

16

pemberian dan kulaitas SABU, resiko-resiko tersebut akan muncul

pada 3-30% dan hanya 5-10% diantaranya merupakan gejala

sistemik yang berat. Hampir semua reaksi alergi yang muncul

dapat diatasi dengan pemberian epinefrin. Pencegahan timbulnya

reaksi alergi meliputi premedikasi dengan antihistamin atau

kortikosteroid sebelum pemberian SABU dan memperhatikan

kepekatan konsentrasi SABU yang akan diberikan.1,2,4

Dua cara pemberian anti bisa ular :

- Intravena pelan (tidak lebih dari 2 ml/menit). Cara ini

memberikan keuntungan karena jika muncul reaksi alergi dapat

segera dihentikan atau ditangani.

- Infus intravena dengan pengenceran Antibisa ular dengan

cairan isotonik 5-10 ml/kg dan habis dalam waktu 1 jam

- Intramuskular, namun cara ini memiliki kelemahan karena

bioavailibiltasnya rendah dan sulit untuk mencapai kadar

yang diinginkan dalam darah, serta resiko hematom pada

tempat injeksi pada pasien dengan abnormalitas hemostasis.

Dipertimbangkan pemberian secara intramuskular jika jarak ke

tempat layanan kesehatan yang lebih memadai sangat jauh atau

akses intravena sulit.

Jika terjadi reaksi alergi setelah pemberian SABU maka

diberikan epinefrin intramuskular pada sepertiga atas paha 0,5

mg untuk dewasa atau 0,01 mg/kg untuk anak-anak dan dapat

diulang 5-10 menit.

Penatalaksanaan terkait pembedahan biasanya jika ditemukan

kompartemen sindrom yang ditandai dengan 5 P (pain, pallor,

paresthesia, paralysis, pulselesness. Jika ditemukan tanda-

tanda tersebut dicurgai ada komparten sindrom sehingga

dilakukan fasciotomi (diindikasikan pada pasien yang terbukti

mengalami peningkatan tekanan intrakompartemen) 5

17

2.7.2 Antibiotik

Antibiotik profilaksis spektrum luas masih direkomendasikan

yaitu cephalosporin generasi tiga dengan spektrum luas gram

negatif (Ceftriaxone) akan menekan pertumbuhan bakteri yang

mengakibatkan infeksi sekunder.

2.7.3 Analgesik

Jika diperlukan dapat diberikan analgetik kuat seperti

golongan opioid : petidin dengan dosis dewasa 50-100 mg,

anak-anak 1-1,5 kg/kgBB atau morfin dengan dosis dewasa 5-10

mg dan anak-anak 0,03-0,05 mg/kg

2.8 Komplikasi

Hal utama penyebab kecacatan adalah nekrosis lokal dan sindrom

kompartemen. Nekrosis yang luas mungkin memerlukan tindakan

debridemen atau amputasi karena kerusakan pada jaringan yang

lebih dalam. Di kemudian hari dapat saja timbul osteomyelitis,

dan ulkus kronis. Jika setelah gigitan ular sempat terjadi

paralisis otot pernapasan yang mengakibatkan hipoksia otak dan

bisa mengakibatkan defisit neurologis menetap.

2.9 Monitoring

Pada pasien dengan gagal nafas dapat diberikan oksigen,

intubasi atau bagging manual dan biasanya akan membaiki dalam 1

bulan. Dapat juga diberikan anticholinesterase. Tirah baring

dan pembatasan gerak untuk menghindari trauma diperlukan pada

pasien dengan gangguan hemostasis, dapat diberikan transfusi

FFP (fresh Frozen Plasma) dan Cryoprecipitate dengan konsentrat

platelet, namun jika tidak ada dapat diebrikan Whole Blood.

Kadang diperlukan vasopressor sejenis dopamin atau norepinefrin

pada pasien dengan syok atau kerusakan miokardium dan dialisi

18

jika terjadi AKI. Adanya rhabdomyolisis mengakibatkan asidosis

metabolik seperti pada crush injury dapat dikoreksi dengan

natrium bicarbonat sesuai dosis

19

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : A

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 21 tahun

Alamat : Tasikmadu watulimo Trenggalek

Status : Belum Menikah

Tanggal masuk : 20 Oktober 2013 pk 03.00

3.2 Anamnesis

Keluhan utama : Nyeri tangan kanan

Riwayat penyakit sekarang

Pasien mengeluh nyeri pada tangan kanan setelah digigit ular

pada ibu jari tangan kanan sekitar pukul 00.00 di daerah

Prigi. Setelah itu tangan kanan bengkak, nyeri, kehitaman dan

muncul gelembung gelembung. Menurut pasien ular yang

menggigit berukuran kecil, belang belang dan berekor lancip.

Riwayat penyakit dahulu

Tidak ada

Riwayat trauma

Tidak ada riwayat trauma

3.3 Pemeriksaan Fisik

Status generalis

Kesan umum : Tampak sakit sedang, agak gelisah karena nyeri

Tanda-tanda vital

o GCS : 456

o Tekanan darah : 110/80 mmHg20

o Nadi : arteri brachialis : 60x/menit, reguler, teraba

kuat

Arteri radialis : 60x/ menit reguler, teraba

kuat

o Pernafasan : 20x/menit

o Suhu : 37˚ C

Kepala

o Edema palpebra : -/-

o Konjunctiva anemis : (+)

o Sklera ikterik : (-)

o Pernafasan cuping hidung : (-)

Leher

o Trakea : tidak ada deviasi

o Kelenjar tiroid : tidak ada pembesaran

o Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran

o JVP : tidak meningkat

Thoraks :

o Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

Perkusi :

Batas kiri : sesuai ictus

Batas kanan : parasternal line dextra

Auskultasi : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-)

o Paru

Inspeksi : Simetris, retraksi dinding dada (-)

Palpasi : chest expansion simetris, tidak ada

krepitasi

Perkusi : sonor di semua lapangan paru

Auskultasi

v / v Rh -/- Wh -/-

21

v / v -/- -/-

v / v -/- -/-

Abdomen

o Inspeksi : flat

o Auskultasi : Bising Usus (+) normal

o Palpasi : Soefl, hepar dan Lien tidak teraba besar

o Perkusi : Traube space Timpani, Liver spleen ± 8 cm

Ekstremitas : akral hangat CRT < 2 detik

Anemis -/- Ikterik -/- Edema +/-

-/- -/- -/-

Ekstremitas atas kanan : Bulla (+),

3.4 Pemeriksaan Penunjang

EKG

Laboratorium 20 Okt 2013 :

Lab Hasi

l

Nilai normal Lab Hasil Nilai

normalLeukosit 11,5

3

4-10 10^3/uL SGOT 28,5 0-40 U/I

Eritrosit 5,39 3,8-6 10^3/uL SGPT 28,6 0-41 U/IHemoglobi

n

15,5 11-16,5 g/dl BUN 8,8 6-20 mg/dl

Hematokri 44,7 35-50 % Creatin 0,78 0,67-1,5

22

t 4 in mg/dlTrombosit 4 150-450

10^3/uL

PT 10 10-14

MCV 82,9 81-99 APTT 25,4 22-30MCH 28,8 27-31 INR 0,89 1-1,5MCHC 34,7 33-37Limfosit 1,8 1-3,7Monosit 0,57 0,16-1Netrofil 9,06 1.5-7Basofil 0,02 0-0,2Eosinofil 0,08 0-0,8

3.5 Diagnosis Awal

Snake Bite Grade III

3.6 Penatalaksanaan

04.20

Cross Incisi

IVFD RL 20 tpm

Inj.SABU 1 amp i.m

Inj.Tetagam 250 iu i.m

Inj.Ranitidin 2 x 50 mg

Inj.Metamizole 3 x 1 gr i.v

Inj. Cefotaxim 2 x 1 gr i.v (skin test)

23

Gambar 6 : Manifestasi klinis pada pasien

3.7 Follow Up

Tang

gal

Subjek

tif

Objektif Assesment Planning

20/1

0/13

Nyeri

pada

ekstre

mias

kanan

GCS 456

TD : 120/80

N : 65x/mt

R: 20x/mt

A. Radialis :

Pulsasi

sedang, kuat,

Sat. O2 98%

Ext.superior D

: Bulla (+),

Tanda

kompartemen

sindrom (-)

Snake

Bite gr

III

04.30

Ptx

C/ Bedah

o Posisi tangan

lebih rendah

dari jantung

o Imobilisasi

pasang spalk

pada

ekstremitas

superior

dekstra

o Observasi 6

jam di IGD

o Cek Saturasi

O2 dan pulsasi

A.Radialis

C/Anestesi

o Puasa

o Inj. Vit K 1

amp i.v

o Transfusi TC

24

10 labu

05.00

C/Bedah

o IVFD NS : D5

1/5 NS 2:2

o Inj.As,Traneks

amat 3x500 mg

i.v

o Inj. Vit K 3x1

amp i.v

o Tranfusi TC

500 ml

o Inj.Tetagam

250 iu i.m

o Inj.SABU 1 amp

i.m

o Inj.Cefotaxim

3x1 gr i.v

o Inf.

Metronidazol

3x500 mg

o Obs. tanda

vital, Tanda

Sindrom

kompartemen,Pu

lsasi dan

sat.O2

a.radialis

o KIE operasi

debridement

dan fasciotomy

25

20/1

0/13

Pk

10.0

0

Nyeri

pada

ekstre

mias

kanan,

badan

lemas

GCS 456

TD : 130/80

N : 90x/mt

R: 20x/mt

A. Radialis :

Pulsasi

sedang, kuat,

Sat. O2 98%

Ext.superior D

: Edema (+),

Bulla (+),

Tanda

kompartemen

sindrom (-)

Snake

Bite gr

III

Pdx : Cek DL

Ptx:

Diet bebas TKTP

O2 Nasal Canule

2-4 lpm

Pasang Kateter

Inj.Gentamisin

2 x 80 mg i.v

Inj.Ranitidin

2x 50 mg i.v

HES 500 ml

1x/hari s.d

hari ketiga

Transfusi TC

500 ml sampai

trombosit ≥

100.000

Obs.tanda

vital, Tanda

sindrom

komparetemen,

Tanda

perdarahan,

Tanda syok.

Pindah HCU20/1

0/13

Pk

21.0

0

Nyeri

berkur

ang

GCS 456

TD : 160/72

mmHg

N: 120x/mt

R: 30x/mt

GDA : 169

Snake

Bite gr

III

26

PU : 200 cc21/1

0/13

Pk

05.0

0

Nyeri

berkur

ang

GCS 456

TD : 150/88

mmHg

N: 100x/mt

R: 24x/mt

GDA : 169

PU : 1000 cc

dibuang

Snake

Bite gr

III

21/1

0/13

Pk

08.0

0

- GCS 456

TD : 150/76

mmHg

N: 110x/mt

R: 22x/mt

PU : 300 cc

A. Radialis :

Pulsasi

sedang, kuat,

Sat. O2 100%

Ext.superior D

: Edema (+),

Bulla (+),

Tanda

kompartemen

sindrom (-)

Snake

Bite gr

III

Pdx : Cek DL,

Albumin, SE

Ptx:

O2 Nasal Canule

2 lpm

Diet Bebas TKTP

IVFD RL:D5 1/5

NS: NS 1:2:1

Inj.As,Traneksam

at 3x500 mg i.v

Inj. Vit K 3x1

amp i.v

Inj.Cefotaxim

3x1 gr i.v

Inf.

Metronidazol

3x500 mg

Inj.Ranitidin

2x 50 mg i.v

Transfusi WB 2

labu/hr s.d Hb ≥

10 g/dl

27

Transfusi TC 500

cc

HES 500 ml

1x/hari s.d

hari ketiga

Rawat Luka,

bebat tekan

digiti I manus

Dekstra

Jika kondisi

memburuk

ventilator21/10/2013

EKG : Sinus Rhythm dengan herat rate 64x/menit21/10/13

Lab Hasi

l

Nilai normal Lab Hasil Nilai

normal

28

Leukosit 14,7

2

4-10 10^3/uL BUN 8,4 6-20 mg/dl

Hemoglobi

n

7,6 11-16,5 g/dl Creatin

in

0,55 0,67-1,5

mg/dlHematokri

t

22,3

1

35-50 % Albumin 2,86 3,80-4,60

Trombosit 1 150-450

10^3/uL

Na 135

MCV 84,8 81-99 K 4,06MCH 28,9 27-31 Cl 102MCHC 34,1 33-37 Ca 8,0Limfosit 4,29 1-3,7Monosit 0,8 0,16-1Netrofil 9,5 1.5-7Basofil 0,02 0-0,2Eosinofil 0,11 0-0,8

22/1

0/13

Pk

08.0

0

- GCS 456

TD : 156/70

N : 100x/mt

R: 20x/mt

A. Radialis :

Pulsasi

sedang, kuat,

Sat. O2 100%

Ext.superior D

: Edema (+),

Bulla (+),

Tanda

kompartemen

sindrom (-)

Snake

Bite Gr

III

Ptx:

O2 Nasal Canule

2 lpm

Diet Bebas TKTP

IVFD RL:D5 1/5

NS: NS 1:2:1

Inj.As,Traneksam

at 3x500 mg i.v

Inj. Vit K 3x1

amp i.v

Inj.Cefotaxim

3x1 gr i.v

Inf.

Metronidazol

29

3x500 mg

Inj.Ranitidin

2x 50 mg i.v

Transfusi PRC 2

labu/hr s.d Hb ≥

10 g/dl

Transfusi TC 500

cc

HES 500 ml

1x/hari s.d

hari ketiga

Rawat Luka,22/10/13

Lab Hasi

l

Nilai normal Lab Hasil Nilai

normalLeukosit 10,3

0

4-10 10^3/uL Limfosi

t

1,94 1-3,7

Hemoglobi

n

5,1 11-16,5 g/dl Monosit 0,67 0,16-1

Hematokri

t

22 35-50 % Netrofi

l

7,35 1.5-7

Trombosit 7 150-450

10^3/uL

Basofil 0,02 0-0,2

MCV 82,6 81-99 Eosinof

il

0,32 0-0,8

MCH 26,8 27-31MCHC 32,5 33-37

Pasien Pulang atas permintaan sendiri karena merasa sudah

sembuh

30

31

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Penegakan Diagnosis Gigitan Ular pada Pasien

Gigitan ular merupakan kasus yang cukup banyak terjadi di

dunia khususnya di daerah pedesaan. Penegakan diagnosis

meliputi anamnesa dan pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang yang digunakan untuk mengetahui efek dari bisa ular

terhadap sistem organ tertentu.

Pasien datang mengeluh tangan kanannya nyeri setelah digigit

ular sekitar 3 jam sebelum MRS. Dari anamnesa diperkirakan

bahwa jnis ular yang menggigit berukuran kecil, belang belang

dan berekor lancip adalah jenis ular beracun.

Dari pemeriksaan fisik secara lokal didapatkan bahwa tangan

kanan pasien tampak edema, bulla dan kemerahan dengan pulsasi

arteri radialis masih cukup kuat dan saturasi O2 pada ujung

jari 98% yang menunjukkan bahwa perfusi ke jaringan tepi masih

bagus dan tidak ada tanda-tanda sindroma kompartemen yang

mengakibatkan terganggunya baliran darah vena ataupun arteri.

Pada waktu datang pasien masih belum tampak namun dari luka

terus menerus merembeskan darah. Kemungkinan akibat bisa ular

yang mengakibatkan gangguan hemostasis.

Hal ini dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium didapatkan

trombosit pasien 4000/uL. Dari hasil EKG terbaca sinus rhytm

dengan frekuensi 60x per menit. Dari anamnesa, pemeriksaan

fisik dan penunjang dapat disimpulkan bahwa menurut klasifikasi

derajat gigitan ular, pasien termasuk derajat III (severe).

4.2 Analisis Penatalaksanaan Gigitan Ular pada Pasien

32

Penatalaksanaan awal pada pasien dengan gigitan ular adalah

imobilisasi ekstremitas atau daerah yang terkena menggunakan

bidai dan posisikan lebih rendah dari jantung untuk

menghindari masuknya bisa ular ke jantung. Pemberian Serum

Anti Bisa Ular diberikan untuk mencegah efek lanjut dari bisa

ular ke sistemik dan Human Immunoglobulin tetanus sebagai

profilaksis penyakit tetanus. Pemberian antibiotik akan

menekan pertumbuhan bakteri yang mengakibatkan infeksi

sekunder.

Pada pasien ini didapatkan gangguan hemostasis yang

dibuktikan dengan hitung trombosit yaitu 4000 / uL sekitar 4

jam setelah kejadian. Pada 24 jam setelah kejadian jumlah

hitung trombosit semakin menurun hingga 1000/uL sehingga

diberikan transfusi trombosit concentrate sebanyak 500 ml.

Selain itu terjadi penurunan kadar hemoglobin hingga 7,6 g/dL

dan kemudian dilakukan transfusi whole blood sebanyak 2 labu.

Setelah 36 jam kadar trombosit menjadi 5,1 g/dL. Menurut

teori pada pasien dengan gangguan hemostasis dilakukan tirah

baring dan pembatasan gerak untuk menghindari trauma

diperlukan pada pasien dengan gangguan hemostasis, dapat

diberikan transfusi FFP (fresh Frozen Plasma) dan

Cryoprecipitate dengan konsentrat platelet, namun jika tidak

ada dapat diberikan Whole Blood yang sudah sesuai dengan

penatalaksanaan pada pasien.

33

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Pada pasien dengan gigitan ular akan lebih baik jika

diidentifikasi jenis ularnya apakah jenis berbisa atau tidak.

Kemudian berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang dilakukan penilaian derajat gigitan ular

meskipun sampai saat ini belum ada aturan baku untuk membedakan

ular berbisa atau tidak. Bisa ular mengandung beberapa enzim

yang bersifat neurotoksik, kardiotoksik, mengakibatkan

rhabdomyolisis dan menggangu hemostasis sesuai jenis enzim yang

terkandung. Selain itu ditanyakan pula riwayat dan mekanisme

kejadian, waktu kejadian, serta gejala yang pasien rasakan saat

ini.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan 2 tanda bekas gigitan, muncul

nyeri, bengkak sekitar gigitan dan berwarna kemerahan (tanda-

tanda inflamasi) dan dapat disertai gejala sistemik lain. Perlu

dilakukan juga pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan Darah

lengkap meliputi leukosit, trombosit, Hemoglobin, hematokrit

dan hitung jenis leukosit. Faal Hemostasis ( Prothrombin time,

Activated Partial Thromboplastin time, International Normalized

Ratio), Cross Match, Serum elektrolit, Faal ginjal (BUN,

Kreatinin), Urinalisis untuk melihat myoglobinuria, dan Anlisis

Gas darah.

Secara umum tujuan panatalaksanaan pasien dengan

gigitan ular adalah untuk menetralisisr toksin, mengurangi

angka kesakitan, dan mencegah komplikasi. Imobilisasikan

ekstremitas atau daerah yang terkena menggunakan bidai dan

posisikan lebih rendah dari jantung Pemberian SABU, anti34

tetanus serum, dan antibiotik disarankan. Tatalaksana lain

terkait efek dari bisa ular juga harus dilakukan.

Komplikasi yang sering terjadi adalah nekrosis lokal dan

sindroma kompartemen yang mungkin emmerlukan tindakan bedah.

Jika terjadi gangguan dan paralisis otot nafas akibat efek

neurotoksik maka dapat terjadi defisit neurologis yang menetap.

5.2 Saran

Diperlukan ketepatan diagnosis, penentuan derajat dan

penanganan pasien dengan gigitan ular secara cepat. Apabila

kondisi penanganan tidak dilakukan dengan segera maka kondisi

pasien dapat bertambah buruk yang nantinya akan mempengaruhi

prognosis dari pasien.

35

DAFTAR PUSTAKA

1. Warrell, David A. 2010. Guidelines for the management of

snake-bites. WHO Regional Office for South-East Asia

2. Warrel, David A. 2010. Snake Bite. Department of Clinical

Medicine, University of Oxford,

3. Prihatini, Trisnaningsih, Muchdor, U.N. Rachman. 2007.

Penyebaran gumpalan dalam pembuluh darah (disseminated

intravascular coagulation) akibat racun gigitan ular. Indonesian

Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol.

14, No. 1, November 2007.

4. Cribari, Cris. 2004. Management of Poisonous Snakebites.

American College of Surgeons Committee on Trauma.

5. Snake Bite. Daley, Brian James. 2011 .

http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview

36