Upload
independent
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PEMBANGUNAN TATA KOTA BERBASIS LOCAL WISDOM STUDI
PADA KABUPATEN JEMBRANA KOTA BALI
1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman budaya,
etnis, suku dan ras, terdapat kurang lebih 389 suku bangsa yang memiliki adat
istiadat, bahasa, tata nilai dan budaya yang berbeda-beda satu dengan yang
lainnya (Asian Brain, 2010). Adat istiadat, tata nilai dan budaya tersebut antara
lain mengatur beberapa aspek kehidupan, seperti: hubungan sosial
kemasyarakatan, ritual peribadatan, kepercayaan, mitos-mitos dan sanksi adat
yang berlaku di lingkungan masyarakat adat yang ada. Keanekaragaman budaya
daerah tersebut merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan
citra budaya tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan bagian
penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah. Di samping
itu, keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian
dari warisan budaya yang perlu dilestarikan.
Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah
kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai-nilai
tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan terhadap
eksistensinya. Hilangnya kearifan lokal dalam aspek fisik alam membuat adanya
suatu dampak, seperti kerentanan terhadap berbagai bencana alam, kemampuan
daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta dimensi sosial budaya dalam
menata ruang perumahan nyaris terabaikan dalam pertimbangan pengembangan
perkotaan. Semua itu luput dari perhatian pemerintah dan warga. Aspek-aspek itu
kurang menjadi prioritas dalam wacana perencanaan kota, padahal kearifan lokal
seharusnya selalu disertakan didalamnya. Sejajar dengan sisi miris tersebut
tantangan perkotaan terus berkembang, mulai dari urbanisasi yang menggempur,
kebutuhan dasar warga kota yang terus meningkat, pemukiman kumuh,
transportasi dan infrastruktur yang terbatas, kemiskinan yang tak kunjung tuntas,
1
maslah sosial budaya, hingga degedrasi lingkungan juga terus bergerak. Demikian
pula peluang-peluang ekonomi yang harus direbut, kepentingan-kepentingan
politis sesaat dan derasnya globalisasi telah membuat aspek-aspek kearifan lokal
terutama sisi sosial budaya semakin terabaikan. Pada gilirannya masyarakat akan
menuai kerugian besar akibat itu semua. Hal ini perlu dicermati karena warisan
budaya dan nilai-nilai tradisional tersebut mengandung banyak kearifan lokal
yang masih sangat relevan dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan,
diadaptasi atau bahkan dikembangkan lebih jauh.
Kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan
martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007). Kearifan lokal merupakan
pandangan hidup, pengetahuan serta strategi kehidupan yang berwujud dalam
aktifitas masyarakat dalam menjalani seluruh kehidupan dan menghadapi
tantangan kehidupan dalam suatu masyarakat. Baik kehidupan yang berhubungan
dengan ekonomi, budaya, sosial, keagamaan dan lainnya. Dalam kaitannya
dengan penataan ruang perkotaan, kearifan lokal dapat menjadi landasan dalam
penyelenggaraan penataan ruang kota karena beberapa nilai yang terkandung
dalam kearifan lokal terbukti masih relevan diaplikasikan hingga sekarang, baik
dalam aspek pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, serta aspek pengawasan dalam
penyelenggaran penataan ruang kota.
Dalam upaya mengharmonisasikan, menjaga, dan melestarikan nilai-nilai
kearifan lokal dalam konteks penataan ruang, pemerintah perlu melakukan
beberapa upaya pada berbagai aspek pada tingkatan penyelenggaraan penataan
ruang. Karena keterkaitan yang erat antara potensi budaya dan penyelenggaraan
penataan ruang suatu kota, diperlukan upaya untuk mengakomodasi nilai budaya
lokal/adat istiadat ke dalam hukum positif, yaitu ke dalam regulasi penataan
ruang, yaitu melalui proses adopsi, adaptasi, dan asimilasi. Beberapa nilai dan
bentuk kearifan lokal, termasuk hukum adat, nilai-nilai budaya dan kepercayaan
yang ada sebagian bahkan sangat relevan untuk diaplikasikan ke dalam proses
atau kaidah perencanaan dan pembangunan wilayah atau kawasan, seperti yang
terdapat pada Kabupaten Jembrana, Bali. Karena perencanaan Pembangunan yang
2
juga mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal dalam pembuatan perencanaan
pembangunan baik RPJMN/RPJMD dan rencana pembangunan tahunan maka
khusus di Kabupaten Jembrana,Bali para perencana telah diberikan “guidance of
future actions” yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6
Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Bali
2005-2025 dan Perda Provinsi Bali nomor 16 tahun 2009 tentang RTRW Provinsi
Bali Tahun 2009- 2029. Berikut dokumen RPJPD dengan konten muatan lokal
dapat dilihat dari visi dan misinya. Selanjutnya berbagai peran dari kearifan lokal
sendiri akan dibahas pada tulisan kali ini.
2. Rumusan Masalah
2.1. Bagaimana dimensi kearifan lokal dalam pembangunan tata kota dalam
studi kasus Kabupaten Jembrana, Bali?
2.2. Bagaimana peran kearifan lokal dalam pembangunan kota
berkelanjutan di Kabupaten Jembrana, Bali?
3. Kajian Teori
3.1. Pengertian Local Wisdom (Kearifan Lokal)
Kearifan adalah seperangkat pengetahuan yang dikembangkan oleh
suatu kelompok masyarakat setempat (komunitas) yang terhimpun dari
pengalaman panjang menggeluti alam dalam ikatan hubungan yang saling
menguntungkan kedua belah pihak (manusia dan lingkungan) secara
berkelanjutan dan dengan ritme yang harmonis. Kearifan (wisdom) dapat
disepadankan pula maknanya dengan pengetahuan, kecerdikan, kepandaian,
keberilmuan, dan kebijaksanaan dalam pengambilan Keputusan yang
berkenaan dengan penyelesaian atau penanggulangan suat masalah atau
serangkaian masalah yang relatif pelik dan rumit.
Dalam kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Shadily,
maka pengertian keafiran lokal terdiri dari dua kata, yaitu kearifan (wisdom)
dan lokal (local). Local yang berarti setempat, sementara wisdom sama
dengan kebijaksanaan. Jadi kearifan lokal adalah gagasan setempat yang
3
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti
oleh anggota masyarakatnya.
Secara etimologis, kearifan berarti kemampuan seseorang dalam
menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau
situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi di mana peristiwa atau
situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial
merupakan nilai dan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang
diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku
sehari-hari.
Dengan kata lain kearifan lokal adalah kemampuan menyikapi dan
memberdayakan potensi nilai-nilai luhur budaya setempat. Oleh karena itu,
kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan
martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007). Perilaku yang bersifat
umum dan berlaku di masyarakat secara meluas, turun temurun, akan
berkembang menjadi nilai-nilai yang dipegang teguh, yang selanjutnya
disebut sebagai budaya. Kearifan lokal didefinisikan sebagai kebenaran yang
telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah (Gobyah, 2003). Kearifan lokal
(local wisdom) dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan
akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek,
atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007).
Menurut Antariksa (2009), kearifan lokal merupakan unsur bagian dari
tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian
yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan
(perkotaan) dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa. Dari penjelasan
beliau dapat dilihat bahwa kearifan lokal merupakan langkah penerapan dari
tradisi yang diterjemahkan dalam artefak fisik. Hal terpenting dari kearifan
lokal adalah proses sebelum implementasi tradisi pada artefak fisik, yaitu
nilai-nilai dari alam untuk mengajak dan mengajarkan tentang bagaimana
‘membaca’ potensi alam dan menuliskannya kembali sebagai tradisi yang
diterima secara universal oleh masyarakat, khususnya dalam berarsitektur.
Nilai tradisi untuk menselaraskan kehidupan manusia dengan cara
4
menghargai, memelihara dan melestarikan alam lingkungan. Hal ini dapat
dilihat bahwa semakin adanya penyempurnaan arti dan saling mendukung,
yang intinya adalah memahami bakat dan potensi alam tempatnya hidup; dan
diwujudkannya sebagai tradisi.
Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika
masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan
mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah,
kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal. Hal itu dapat
dilihat dari ekspresi kearifan lokal dalam kehidupan setiap hari karena telah
terinternalisasi dengan sangat baik. Tiap bagian dari kehidupan masyarakat
lokal diarahkan secara arif berdasarkan sistem pengetahuan mereka, dimana
tidak hanya bermanfaat dalam aktifitas keseharian dan interaksi dengan
sesama saja, tetapi juga dalam situasi-situasi yang tidak terduga seperti
bencana yang datang tiba-tiba. Jim Ife (2002) menyatakan bahwa kearifan
lokal terdiri dari enam dimensi yaitu :
1. Pengetahuan Lokal.
Setiap masyarakat dimanapun berada baik di pedesaan maupun
pedalaman selalu memiliki pengetahuan lokal yang terkait dengan
lingkungan hidupnya. Pengetahuan lokal terkait dengan perubahan dan
siklus iklim kemarau dan penghujan, jenis-jenis fauna dan flora, dan
kondisi geografi, demografi, dan sosiografi. Hal ini terjadi karena
masyarakat mendiami suatu daerah itu cukup lama dan telah mengalami
perubahan sosial yang bervariasi menyebabkan mereka mampu
beradaptasi dengan lingkungannnya. Kemampuan adaptasi ini menjadi
bagian dari pengetahuan lokal mereka dalam menaklukkan alam.
2. Nilai Lokal.
Untuk mengatur kehidupan bersama antara warga masyarakat, maka
setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai-nilai lokal yang ditaati dan
disepakati bersama oleh seluruh anggotannya. Nilai-nilai ini biasanya
mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan
alam dan manusia dengan Tuhannnya. Nilai-nilai ini memiliki dimensi
5
waktu, nilai masa lalu, masa kini dan masa datang, dan nilai ini akan
mengalami perubahan sesuai dengan kemajuan masyarakatnya.
3. Keterampilan Lokal.
Kemampuan bertahan hidup (survival) dari setiap masyarakat dapat
dipenuhi apabila masyarakat itu memiliki keterampilan lokal.
Keterampilan lokal dari yang paling sederhana seperti berburu, meramu,
bercocok tanam sampai membuat industri rumah tangga. Keterampilan
lokal ini biasanya hanya cukup dan mampu memenuhi kebutuhan
keluargannya masing-masing atau disebut dengan ekonomi subsisten.
Keterampilan lokal ini juga bersifat keterampilan hidup (life skill),
sehingga keterampilan ini sangat tergantung kepada kondisi geografi
tempat dimana masyarakat itu bertempat tinggal.
4. Sumber daya Lokal.
Sumber daya lokal ini pada umumnya adalah sumber daya alam yaitu
sumber daya yang tak terbarui dan yang dapat diperbarui. Masyarakat akan
menggunakan sumber daya lokal sesuai dengan kebutuhannya dan tidak
akan mengekpoitasi secara besar-besar atau dikomersilkan. Sumber daya
lokal ini sudah dibagi peruntukannnya seperti hutan, kebun, sumber air,
lahan pertanian, dan permukiman, Kepemilikan sumber daya lokal ini
biasanya bersifat kolektif atau communitarian.
5. Mekanisme Pengambilan Keputusan Lokal.
Menurut ahli adat dan budaya sebenarnya setiap masyarakat itu
memiliki pemerintahan lokal sendiri atau disebut pemerintahan kesukuan.
Suku merupakan kesatuan hukum yang memerintah warganya untuk
bertindak sebagai warga masyarakat. Masing masing masyarakat
mempunyai mekanisme pengambilan keputusan yang berbeda –beda. Ada
masyarakat yang melakukan secara demokratis atau “duduk sama rendah
berdiri sama tinggi”. Ada juga masyarakat yang melakukan secara
bertingkat atau berjenjang naik dan bertangga turun.
6
3.2. Dimensi Kearifan Lokal dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang
Undang-undang No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
menyiratkan pentingnya memperhatikan nilai budaya yang berkembang di
masyarakat dalam penyelenggaran penataan ruang, sebagaimana bunyi pasal
6 ayat (1) huruf b. Artinya, penyelenggaraan penataan ruang tidak boleh
dilakukan secara semena-mena, akan tetapi harus memperhatikan berbagai
aspek, termasuk kearifan lokal yang terkandung dalam budaya setempat.
1. Aspek Pengaturan
Walaupun regulasi maupun peraturan perundangan yang ada sudah
cukup banyak mengatur tentang pentingnya mengfakomodasi kearifan
lokal dalam penataan ruang, namun tetap perlu terus didorong
perwujudannya melalui penyediaan petunjuk teknis dan pedoman
operasional lainnya. selain itu peran semua pihak termasuk masyarakat dan
swasta perlu terus didorong untuk ikut melestarikan nilai-nilai budaya dan
kearifan lokal. Dengan adanyakebijakan desentralisasi dan oytonomi
daerah diharapkan pemerintah daerah dapat lebih proaktif dalam
melakukan inventarisasi, dokumentasi dan pelestarian kearifan lokal
sebagai salah satu aset sosial-budaya masyarakat setempat. Kearifan lokal
sangat perlu dipertimbangkan dalam seluruh tingkatan penyelenggaraan
penataan ruang, yaitu diawali dengan identifikasi kearifan lokal pada
masing-masing tingkatannya.
2. Aspek Pembinanaan
Dalam konteks pembinaan perlu dilakukan sosialisasi terhadap peran
dan kedudukan kearifan lokal dalam menyikapi arus globalisasi dan
menghadapi berbagai persoalan bencana dan kerusakan lingkungan
dewasa ini. Beberapa fenomena perubahan iklim seperti kenaikan muka air
laut dan perubahan siklus hidrologis perlu disikapi secara bijak melalui
proses adaptasi dan mitigasi yang dapat dikembangkan melalui penggalian
kembali nilai-nilai kearifan lokal yang relevan.
7
3. Aspek Pelaksanaan
Dalam konteks pelaksanaan, perencanaan tata ruang harus dilakukan
dengan memperhatikan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia,
dan sumber daya buatan. Selain itu pelaksanaan enataan ruang juga harus
memperhitungkan kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum,
pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan, dan
teknologi sebagai satu kesatuan. Konsep dasar ini secara normatif telah
memberikan kesejajaran bagi berbagai aspek, termasuk ekonomi, budaya
dan nilai-nilai tradisional lainnya.
Sejalan dengan hal itu, salah satu upaya untuk menjaga atau
melestarikan kearifan lokal dalam UU No. 26 tahun 2007, tentang
Penataan Ruang diatur dalam penetapan kawasan strategis, yaitu kawasan
yang didalamnya berlangsung kegiatan yang mempunyai pengaruh besar
terhadap tata ruang wilayangs ekitarnya, kegiatan lain dibidang sejenis,
dan kegiatan bidang lainnya, serta bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Upaya menjaga kearifan lokal ini perlu dilakukan dengan
memasukkan kawasan yang memiliki aset nilai budaya kedalam kawasan
strategi sudut kepentingan sosial-budaya, serta nilai-nilai kearifan lokal
dalam proses perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan
ruangyang dilembagakan.
Penataan ruang kawasan strategis terdiri atas penataan ruang kawasan
strategis nasional, penataan ruang kawasan strategis provinsi dan penataan
ruang kawasan strategis kabupaten/kota. Penetapan ini dimaksudkan juga
untuk tetap menjaga kelestarian nilai kearifan lokal pada kawasan tersebut
agar keberadaan kawasan pusaka budaya yang dapat terlindungi, bahkan
bisa dikembangkan, dengan nilai-nilai tambah lainnya. Selain itu peraturan
zonasi juga merupakan instrumen yang cukup efektif untuk menjaga
kelestarian nilai kearifan lokal. Peraturan zonasi sebagai perangkat
pengendalian pembangunan mengatur ketentuan mengenai kegiatan yang
boleh, kegiatan yang tidak boleh, boleh bersyarat, dan sebagainya.
8
4. Pengawasan
Dalam konteks pengawasan beberapa sistem nilai tradisional yang ada
dalam menjaga kelestarian lingkungan dan sanksi sosial untuk mencegah
perusakan lingkungan perlu terus dikembangkan dan diakomodasikan
dalam sistem pengawasan yang ada. Untuk ini peran masyarakat dalam
menjaga nilai kearifan lokal menjadi sangat penting dalam proses penataan
ruang, dimulai dari keterlibatan masyarakat dalam perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang hingga pengendalian pemanfaatan ruang.
3.3. Pembangunan Kota Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota,
bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang
tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan" (menurut
Brundtland Report dari PBB, 1987). Pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa harus mengurangi
kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dari generasi yang akan datang.
Pembangunan berkelanjutan harus memerhatikan pemanfaatan lingkungan
hidup dan kelestarian lingkungannya agar kualitas lingkungan tetap terjaga.
Kelestarian lingkungan yang tidak dijaga, akan menyebabkan daya dukung
lingkungan berkurang, atau bahkan akan hilang.
Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu
lingkungan. Lebih luas daripada itu, pembangunan berkelanjutan mencakup
tiga lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan
perlindungan lingkungan. Dokumen-dokumen PBB, terutama dokumen hasil
World Summit 2005 menyebut ketiga hal dimensi tersebut saling terkait dan
merupakan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan.
Penduduk atau masyarakat merupakan bagian penting atau titik sentral
dalam pembangunan berkelanjutan, karena peran penduduk sejatinya adalah
sebagai subjek dan objek dari pembangunan berkelanjutan. Jumlah penduduk
yang besar dengan pertumbuhan yang cepat, namun memiliki kualitas yang
rendah, akan memperlambat tercapainya kondisi yang ideal antara kuantitas
9
dan kualitas penduduk dengan daya dukung alam dan daya tampung
lingkungan yang semakin terbatas.
Untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di suatu negara,
diperlukan komponen penduduk yang berkualitas. Karena dari penduduk
berkualitas itulah memungkinkan untuk bisa mengolah dan mengelola potensi
sumber daya alam dengan baik, tepat, efisien, dan maksimal, dengan tetap
menjaga kelestarian lingkungan. Sehingga harapannya terjadi keseimbangan
dan keserasian antara jumlah penduduk dengan kapasitas dari daya dukung
alam dan daya tampung lingkungan. Pembangunan yang berkelanjutan harus
mencerminkan tindakan yang mampu melestarikan lingkungan alamnya.
Pembangunan berkelanjutan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.
1. Memberi kemungkinan pada kelangsungan hidup dengan jalan
melestarikan fungsi dan kemampuan ekosistem yang mendukungnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
2. Memanfaatkan sumber daya alam dengan memanfaatkan teknologi yang
tidak merusak lingkungan.
3. Memberikan kesempatan kepada sektor dan kegiatan lainnya untuk
berkembang bersama-sama di setiap daerah, baik dalam kurun waktu yang
sama maupun kurun waktu yang berbeda secara berkesinambungan.
4. Meningkatkan dan melestarikan kemampuan dan fungsi ekosistem untuk
memasok, melindungi, serta mendukung sumber alam bagi kehidupan
secara berkesinambungan.
5. Menggunakan prosedur dan tata cara yang memerhatikan kelestarian
fungsi dan kemampuan ekosistem untuk mendukung kehidupan, baik masa
kini maupun masa yang akan datang.
3.4. Landasan Hukum
Untuk pelestarian terhadap masalah lingkungan hidup sangat kompleks
dan pemecahan masalahnya memerlukan perhatian yang bersifat
komperehensif dan menjadi tanggung jawab pemerintah didukung pertisipasi
masyarakat. Di Indonesia, pengelolaan lingkungan hidup harus berdasarkan
10
pada dasar hukum yang jelas dan menyeluruh sehingga diperoleh suatu
kepastian hukum
Berdasarkan Undang-undang Repukblik Indonesia Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam
peraturan tersebut juga di tegaskan tentang beberapa pengertian Perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup yang merupakan upaya sistematis dan
terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan
mencegah terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang
meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum. Rencana perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah
lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun
waktu tertentu.
Dalam peraturan tersebut juga di terangkan bahwa Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas:
a. Tanggung jawab negara.
b. Kelestarian dan keberlanjutan.
c. Keserasian dan keseimbangan.
d. Keterpaduan.
e. Manfaat.
f. kehati-hatian.
g. Keadilan.
h. Ekoregion.
i. Keanekaragaman hayati.
j. pencemar membayar.
11
k. Partisipatif.
l. kearifan lokal.
m. Tata kelola pemerintahan yang baik, dan
n. Otonomi daerah.
Serta dalam peraturan tersebut juga tercantum beberapa tujuan dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Bertujuan sebagai berikut:
a. Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
b. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia.
c. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian
ekosistem.
d. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.
e. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup.
f. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa
depan.
g. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup
sebagai bagian dari hak asasi manusia.
h. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana.
i. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan, dan
j. Mengantisipasi isu lingkungan global.
Dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2009 dalam pasal 13 tercantum
bahwa pengedalian pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup
dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. Pengedalian
pecemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup ini terdiri dari 3 hal yaitu 12
pencegahan, penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup dengan
menerapkan berbagai instrument-instrument yaitu : Kajian lingkungan hidup
straegis (KLHS), Tata ruang, Baku mutu lingkungan hidup, Kriteria baku
mutu kerusakan lingkungan hidup, Amdal, UKL-UPL, perizinan, instrument
ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis
lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, Analisis resiko
lingkungan hidup, audit lingkungan hidup, dan instrument lain sesuai dengan
kebutuhan dan /atau perkembangan ilmu pengetahuan.
Mengenai dari hal-hal tersebut, maka sekarang akan membahas pasal
per pasal tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup
berdasarkan dari Undang-undang No. 32 Tahun 2009 yang diawali dari Pasal
14 sampai dengan Pasal 43.
PASAL 14 Bagian Kedua Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 yang
berbunyi “Instrumen pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan
hidup terdiri atas :
. KLHS
a. Tata ruang
b. Baku mutu lingkungan hidup
c. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
d. AMDAL
e. UKL, UPL
f. Perizinan
g. Instrumen ekonomi lingkungan hidup
h. Peraturan perundang - undangan berbasis lingkungan hidup
i. Anggaran berbasis lingkungan hidup
j. Analisis risiko lingkungan hidup
k. Audit lingkungan hidup, dan
13
l. Instrument lain sesuai dengan kebutuhan dan / atau perkembangan ilmu pengetahuan
Dari Pasal 14 tersebut, bisa kita simpulkan bahwa pasal tersebut
merupakan kajian yang paling umum dari semua bagian instrument-instrument
yang telah disebutkan di atas, tugas sekarang adalah mengomentari setiap
bagian dari instrument-instrument tersebut mulai dari KLHS sampai dengan
Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (dari Pasal 14 sampai dengan Pasal 43
UU No.32 Tahun 2009)
A. KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis)
UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Pasal 14 menyatakan bahwa instrumen pencegahan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup salah satunya adalah
dengan melakukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Kajian ini
wajib disusun oleh pemerintah dan pemerintah daerah untuk memastikan
bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan
terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana,
dan/atau program (KRP).
Dalam KLHS (kajian Lingkungan Hidup Strategis) terdapat di dalam
Pasal 15, 16, 17, dan 18 UU No.32 Tahun 2009 dalam pembahasannya adalah
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan
bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan
terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana,
dan/atau program dalam penyusunan dalam :
a. Rencana tata ruang, rencana pembangunan jangka panjang, dan rencana
pembangunan jangka menengah, baik dalam untuk tingkat nasional,
provinsi, maupun kabupaten / kota.
b. Kebijakan rencana dan / atau program yang berpotensi menimbulkan
dampak risiko lingkungan hidup.
KLHS memiliki sejumlah manfaat antara lain :
a. Merupakan instrumen proaktif dan sarana pendukung pengambilan
keputusan,
14
b. Mengidentifikasi dan mempertimbangkan peluang-peluang baru melalui
pengkajian sistematis dan cermat atas opsi pembangunan yang tersedia,
c. Mempertimbangkan aspek lingkungan hidup secara lebih sistematis pada
jenjang pengambilan keputusan yang lebih tinggi,
d. Mencegah kesalahan investasi dengan berkat teridentifikasinya peluang
pembangunan yang tidak berkelanjutan sejak dini
e. Tata pengaturan (governance) yang lebih baik berkat keterlibatan para
pihak (stakeholders) dalam proses pengambilan keputusan melalui proses
konsultasi dan partisipasi
f. Melindungi asset-asset sumberdaya alam dan lingkungan hidup guna
menjamin berlangsungnya pembangunan berkelanjutan,
g. Memfasilitasi kerjasama lintas batas untuk mencegah konflik, berbagi
pemanfaatan sumberdaya alam, dan menangani masalah kumulatif
dampak lingkungan.
B. TATA RUANG
Tata ruang atau dalam bahasa Inggrisnya Land use adalah wujud
struktur ruang dan pola ruang disusun secara nasional, regional dan lokal.
Secara nasional disebut Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang
dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) tersebut perlu dijabarkan ke dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK).
Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang
laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan
wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan
memelihara kelangsungan hidupnya. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang
dan pola ruang.
15
Tata Ruang terdapat di dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang –
undang No. 32 Tahun 2004 yang berisi :
a. Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan
masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada
KLHS
b. Perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud di dalam ayat (1)
ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tamping
lingkungan hidup.
Dalam Pasal tersebut, berdasarkan komentar saya kalau itu merupakan
suatu tujuan dalam lingkungan hidup yang sudah diebut diatas
C. BAKU MUTU LINGKUNGAN HIDUP
Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk
hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu
sebagai unsur lingkungan hidup.
Baku mutu lingkungan hidup ini terdapat didalam Pasal 20 ayat (1), (2),
(3), (4), dan (5) Undang – undang No. 32 Tahun 2009. Dalam Baku mutu bisa
menentukan berupa penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup yang
bisa diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. (Pasal 20 ayat (1) ). Baku
mutu lingkungan hidup ini terdiri dari beberapa macam yang meliputi :
a. Baku mutu air
b. Baku mutu air limbah
c. Baku mutu air laut
d. Baku mutu udara ambient
e. Baku mutu emisi
f. Baku mutu gangguan
g. Baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi
Menurut saya mengenai pencemaran yang terjadi dimana -mana, sering
sekali pencemaran tersebut bisa menimbulkan kerusakan lingkungan, akan
16
tetapi di dalam Pasal 20 ayat (3) dijelaskan bahwa setiap orang diperbolehkan
untuk membuang limbah ke dalam media lingkungan hidup, tetapi ada syarat-
syarat yang harus dilakukan seperti :
a. Memenuhi baku mutu lingkungan hidup
b. Mendapat izin dari menteri, gubernur, atau bupati / walikota sesuai
dengan kewenangannya.
D. KRITERIA BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP
Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas
perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat
ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.
Kriteria ini terdapat didalam Pasal 21 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) Undang-
undang No. 32 Tahun 2009. Perlunya penetapan peraturan pemerintah tentang
kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku akibat perubahan iklim
dan bagaimana perubahan iklim yang umum terjadi di Indonesia
mengakibatkan banjir, kekeringan, tanah longsor dan kebakaran hutan.
Peristiwa iklim yang ekstrim ini dapat meningkatkan wabah hama dan
penyakit tanaman serta vektor penyakit manusia. Hal ini berdampak pada
lingkungan serta kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.
Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada
parameter antara lain yang disebabkan oleh :
a. Kenaikan temperature
b. Kenaikan muka air laut
c. Badai, dan
d. Kekeringan
Kejadian iklim ekstrim di Indonesia terutama kekeringan karena
penurunan yang signifikan dalam curah hujan dipengaruhi oleh ENSO (El
Nino Southern Oscillation). Penurunan signifikan curah hujan memiliki
dampak signifikan pada penyimpanan air di reservoir, banyak dari
penampungan air berfungsi sebagai penyimpanan air untuk pembangkit listrik,
irigasi, dan penyediaan air minum. kekurangan air akan berdampak signifikan
pada produksi tanaman pangan. Data dampak historis ENSO terhadap
17
produksi padi nasional menunjukkan bahwa sistem produksi beras nasional
rentan terhadap kejadian iklim yang ekstrim.
Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim belum menyinggung
sektor kelautan yang notabene merupakan 2/3 wilayah Indonesia dan struktur
udara (atmosfer) yang juga merupakan faktor penting dalam sistem iklim.
Belum ada parameter detail dan indikator kuantitatif kerusakan lingkungan
untuk mempermudah teknis pelaksanaan program penanggulangan dampak
yang terjadi. Upaya pengendalian dampak perubahan iklim dapat dibuktikan
dengan adanya begitu banyak kebijakan akademis dan politik yang
dirumuskan.
Dengan banyaknya perumusan kajian akademis dan politik ini
diharapkan tindak lanjut dan penerapannya lebih komprehensif dan dapat
dipertanggungjawabkan.
E. AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu
usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan. AMDAL terdapat didalam Pasal 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28,
29, 30, 31, 32, dan 33 Undang – undang No. 32 Tahun 2009. Tujuan dan
sasaran AMDAL adalah untuk menjamin suatu usaha atau kegiatan
pembangunan dapat berjalan secara berkesinambungan tanpa merusak
lingkungan hidup. Dengan melalui studi AMDAL diharapkan usaha dan/atau
kegiatan pembangunan dapat memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam
secara efisien, meminimumkan dampak negatif dan memaksimalkan
dampak positip terhadap lingkungan hidup.
Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup dimaksudkan
untuk menghindari, meminimalkan, memitigasi, dan/atau mengompensasikan
dampak suatu usaha dan/atau kegiatan.
Menurut saya hal-hal penting baru yang terkait dengan AMDAL yang
termuat dalam UU No. 32 Tahun 2009, antara lain:
18
a. AMDAL dan UKL/UPL merupakan salah satu instrumen pencegahan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
b. Penyusun dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi
penyusun dokumen AMDAL;
c. Komisi penilai AMDAL Pusat, Propinsi, maupun kab/kota wajib memiliki
lisensi AMDAL;
d. Amdal dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk penerbitan izin
lingkungan;
e. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai
kewenangannya.
Selain ke - 5 hal tersebut di atas, ada pengaturan yang tegas yang
diamanatkan dalam UU No. 32 Tahu 2009, yaitu dikenakannya sanksi pidana
dan perdata terkait pelanggaran bidang AMDAL. Pasal-pasal yang mengatur
tentang sanksi-sanksi tersebut, yaitu:
a. Sanksi terhadap orang yang melakukan usaha/kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan;
b. Sanksi terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki
sertifikat kompetensi;
c. Sanksi terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan yang tanpa
dilengkapi dengan dokumen AMDAl atau UKL-UPL.
F. UKL dan UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan
Lingkungan)
Upaya Pengelolaan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL)
adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup oleh penanggung jawab usaha dan/kegiatan. UKL dan UPL terdapat
didalam Pasal 34 dan 35 Undang-undang No. 32 Tahun 2009 yang berbunyi :
19
Pasal 34
a. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib
amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki
UKL- UPL.
b. Gubernur atau bupati/walikota menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan
yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL.
Pasal 35
a. Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi UKL-UPL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) wajib membuat surat
pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
b. Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat(1) dilakukan berdasarkan kriteria:
tidak termasuk dalam kategori berdampak penting sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat(1); dan
kegiatan usaha mikro dan kecil.
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL dan surat pernyataan
kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup diatur
dengan peraturan Menteri.
G. PERIZINAN
Perizinan lingkungan adalah sarana yuridis administrasi untuk
mencegah dan menanggulangi (pengendalian) pencemaran lingkungan. Jenis
dan prosedur perizinan lingkungan masih beraneka ragam, rumit dan sukar
ditelusuri, sehingga menjadi hambatan bagi kegiatan dunia industri. Izin
sebagai sarana hukum merupakan suatu persetujuan dari penguasa
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pemegang ijin dilarang
melakukan tindakan menyimpanng dari ketentuan-ketentuan tersebut dan juga
sebagai instrument yang paling penting.
20
Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan pemohon melakukan
tindakan-tindakan spesifik yang sebenarnya dilarang. Dengan kata lain izin
adalah suatu perkenaan dari suatu larangan.
Melalui perizinan, seorang warga negara diberikan suatu perkenaan
untuk melakukan sesuatu aktivitas yang semestinya dilarang. Ini berarti, yang
esensial dari perijinan adalah larangan suatu tindakan, kecuali diperkenakan
dengan izin. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan perizinan mutlak
dicantumkan keluasan perkenaan yang dapat diteliti batas-batasnya bagi setiap
kegiatan.
Mengenai Perizinian, ada didalam Pasal 36, 37, 38, 39, 40, dan 41
Undang – Undang No. 32 Tahun 2009
Pasal 36
a. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL
wajib memiliki izin lingkungan.
b. Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi UKL-UPL.
c. Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan
lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL.
d. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota
sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 37
a. Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya
wajib menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak
dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL.
b. Izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) dapat
dibatalkan apabila:
21
persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung
cacat hukum, keliruan, penyalah gunaan, serta ketidak benaran
dan / atau pemalsuan data, dokumen, dan informas
penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum
dalam keputusan komisi tentang kelayakan lingkungan hidup atau
rekomendasi UKL-UPL;atau
kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL
tidak dilaksanakan oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 38
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat(2), izin
lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara.
Pasal 39
a. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
wajib mengumumkan setiap permohonan dan keputusan izin lingkungan.
b. Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara
yang mudah diketahui oleh masyarakat.
Pasal 40
a. Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha
dan/atau kegiatan.
b. Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan
dibatalkan.
c. Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung
jawab usaha dan / atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan.
Pasal 41
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
H. INSTRUMEN EKONOMI LINGKUNGAN HIDUP
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup baru saja disahkan. Banyak hal yang diatur
dalam Undang-Undang yang baru ini, salah satu diantaranya adalah tentang
instrumen ekonomi dalam pengelolaan Lingkungan Hidup. Subyek ini
22
merupakan sesuatu yang baru, pada undang-undang Lingkungan Hidup yang
lama subyek ini belum diatur.
Selama ini subyek instrumen ekonomi hampir belum pernah di tangani.
Jadi hampir belum banyak orang yang mengerti apa lingkup instrumen
ekonomi dalam pengelolaan hidup. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 di dalam Pasal 42 dan 43, tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, instrumen ekonomi terdiri dari:
Pasal 42 ayat (2) huruf a : Instrumen perencanaan pembangunan dan
kegiatan ekonomi meliputi:
a. Neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup;
b. Penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto
yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan
hidup;
c. Mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antar daerah;
d. Internalisasi biaya lingkungan hidup. (Pasal 43)
Pasal 42 ayat (2) huruf b : Instrumen pendanaan lingkungan hidup
meliputi:
a. Dana jaminan pemulihan lingkungan hidup;
b. Dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan
lingkungan hidup;
c. Dana amanah/bantuan untuk konservasi. (Pasal 43)
Pasal 42 ayat (2) huruf c : Insentif dan/atau disinsentif lingkungan
hidup antara lain diterapkan dalam bentuk:
a. Pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup;
b. Penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup;
23
c. Pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah
lingkungan hidup;
d. Pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau
emisi;
e. Pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup;
f. Pengembangan asuransi lingkungan hidup;
g. Pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup;
h. Sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. (Pasal 43)
Substansi Undang-Undang ini masih sangat umum. Karena itu Undang-
undang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan
Pemerintah.
Substansi instrumen ekonomi ini, memuat beberapa terobosan baru
dalam upaya pengendalian lingkungan hidup. Masalahnya adalah seberapa
jauh substansi ini dapat dilakukan secara operasional. Ambillah contoh
substansi instrumen pendanaan lingkungan. Point ini membuka kemungkinan
sumber-sumber pendanaan bagi pengelolaan dan perlindungan lingkungan.
ada kewajiban dari berbagai pihak untuk menyediakan dana bagi pengelolaan
lingkungan yang lebih baik.
Dalam penegakan peraturan undang-undang tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakan hukum dibidang lingkungan
hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :
a. Penegakan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum
Administrasi / Tata Usaha Negara.
b. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
c. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.
24
4. Pembahasan
4.1 Pembangunan Tata Ruang Kota berdasarkan Kearifan Lokal di
Kabupaten Jembrana, Bali
4.1.1 Kearifan Lokal dalam RTRW Kabupaten Jembrana, Bali sebagai
Pengaturan Penataan Ruang
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, maka tiga tahun sejak diundangkannya Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007, daerah harus segera menyusun Peraturan Daerah
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten. Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten wajib mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 26
Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN),
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali, dan menjadi matra ruang dari
Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten
Jembrana 2005-2025.
Memperhatikan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 7 Tahun
2002 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Jembrana
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan acuan penyusunannya,
sehingga perlu diganti; sehingga Kabupaten Jembrana menetapkan Perda
Nomor Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Jembrana Tahun 2012-
2032 (Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2012 Nomor 27,
25
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 27); Kearifan
lokal, dalam Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 11 Tahun 2012
diatur melalui; kebijakan penataan ruang, strategi penataan ruang dan rencana
struktur ruang.
Kebijakan penataan ruang, strategi penataan ruang dan rencana struktur
ruang diupayakan tetap mempertahankan kearifan lokal yang telah hidup dan
berkembang di masyarakat agar pemanfaatan ruang tetap menjamin
kebutuhan masyarakat tetapi tidak bertentangan dengan aturan yang lebih
tinggi. Kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten Jembrana merupakan
arahan pengembangan wilayah yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Jembrana guna mencapai tujuan penataan ruang wilayah
Kabupaten Jembrana dalam kurun waktu 20 (dua puluh) tahun.
Perda nomor 11 tahun 2012 sebagai hukum positif, disusun berdasarkan
arah kebijakan serta strategi yang dilandasi oleh kearifan lokal. Konten
Pengaturan Kearifan lokal dalam RTRW Kabupaten Jembrana diatur sebagai
berikut; dalam pasal 2 disebutkan ; RTRWK disusun berasaskan: Tri Hita
Karana, Sad Kertih, Keterpaduan, Keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan, Keberlanjutan, Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan,
Keterbukaan, Kebersamaan dan kemitraan, Perlindungan kepentingan umum,
Kepastian hukum dan keadilan, dan Akuntabilitas. Tri Hita Karana dan Sad
Kertih merupakan kearifan lokal yang mengajarkan kepada masyarakat dalam
pemafaatan ruang wajib memedomani hubungan manusia dengan Tuhan,
hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan
lingkungannya sehingga kesinambungan hidup dapat tercapai.
Selanjutnya dalam pasal 3 sub d ditegaskan bahwa acuan sukerta tata
palemahan desa adat/pakraman, yang selanjutnya menjadi bagian dari awig-
awig desa adat/pakraman di seluruh wilayah Kabupaten Jembrana didasarkan
pada kearifan lokal. Terkait dengan pelaksanaan Tri Hita Karana lebih lanjut
diamanatkan sebagai berikut ;Pemantapan wilayah yang hijau dan lestari
sebagai penyangga pelestarian lingkungan Pulau Bali diwujudkan dengan
strategi meliputi: melindungi dan melestarikan kawasan lindung yang telah
26
ditetapkan secara nasional dan lokal dalam wilayah, mengembangkan
partispasi masyarakat dan konsep-konsep kearifan lokal dan budaya Bali
dalam pelestarian lingkungan, mencegah kegiatan budidaya pada kawasan
lindung melalui konversi atau rehabilitasi lahan, pembatasan kegiatan, serta
penertiban kegiatan terbangun yang berada pada kawasan lindung,
mengembalikan dan meningkatkan fungsi lingkungan hidup yang telah
menurun baik akibat aktivitas pembangunan maupun akibat bencana alam,
mempertahankan kawasan pertanian tanaman pangan yang beririgasi (subak)
untuk lahan pertanian pangan berkelanjutan, ketahanan pangan, pelestarian
lingkungan dan pelestarian budaya.
Konsep Tri Hita Karana sebagai pegangan dalam penataan ruang,
termasuk dalam pengembangan pariwisata sebagaimana diatur dalam pasal 11
sebagai berikut : Pengembangan kepariwisataan berwawasan lingkungan
yang terintegrasi dengan pertanian dan potensi sumber daya pesisir dan
kelautan diwujudkan dengan strategi meliputi: mengembangkan Kawasan
Pariwisata Candikusuma dan Kawasan Pariwisata Perancak didukung daya
tarik pantai, ekosistem pertanian dan pesisir yang berwawasan lingkungan,
memantapkan dan mengembangkan sebaran desa-desa wisata dan daya tarik
wisata dengan daya tarik keindahan alam, aktivitas budaya lokal, pertanian,
spiritual, industri kecil, petualangan dan olahraga dan lainnya yang berbasis
ekowisata, memantapkan partisipasi masyarakat lokal dan pelestarian
lingkungan, memantapkan dan meningkatkan kegiatan perekonomian
perdesaan berbasis pertanian, industri kecil, dan pariwisata kerakyatan yang
dilengkapi sarana dan prasarana penunjang, memantapkan integrasi pertanian
dengan pariwisata melalui pengembangan agrowisata dan hasil pertanian
sebagai pemasok industri pariwisata, menguatkan eksistensi desa pakraman,
subak dan organisasi kemasyarakatan lainnya dalam memantapkan kearifan
lokal sebagai pondasi pengembangan pariwisata berbasis ekowisata,
melindungi dan melestarikan kawasan lindung, kawasan pesisir dan laut serta
kawasan budidaya pertanian yang berpotensi sebagai daya tarik wisata dan
27
mengembangkan pola kerjasama yang memberikan perlindungan kepada hak-
hak kepemilikan lahan masyarakat lokal.
Tentang Kearifan lokal berikutnya diatur dalam penetapan kawasan
pada pasal 31 sebagai berikut ; Kawasan suci meliputi: kawasan suci gunung,
kawasan suci campuhan, kawasan suci pantai, kawasan suci laut, kawasan
suci mata air dan kawasan suci cathus patha. Kawasan suci gunung
sebarannya meliputi seluruh kawasan dengan kemiringan sekurangkurangnya
450 (empat puluh lima derajat) pada badan gunung menuju ke puncak gunung
meliputi lereng dan puncak Gunung Merbuk, Gunung Bangol, dan Gunung
Mesehe. Kawasan suci campuhan sebarannya meliputi seluruh pertemuan
aliran 2 (dua) buah sungai wilayah kabupaten; Kawasan suci pantai
sebarannya meliputi tempat-tempat di pantai yang dimanfaatkan untuk
upacara melasti di seluruh pantai wilayah kabupaten, meliputi: Pantai
Gilimanuk, Pantai Melaya dan Pantai Candikusuma di Kecamatan Melaya,
Pantai Pengambengan di Kecamatan Negara, Pantai Yeh Kuning di
Kecamatan Jembrana, Pantai Delodberawah, Pantai Tembles, Pantai
Rambutsiwi dan Pantai Yehsumbul di Kecamatan Mendoyo, Pantai Pangkung
Jukung, Pantai Gumbrih, Pantai Medewi, Pantai Pahyangan dan Pantai
Pengeragoan di Kecamatan Pekutatan.
Kawasan suci laut sebarannya meliputi kawasan perairan laut yang
difungsikan untuk tempat melangsungkan upacara keagamaan bagi umat
Hindu dan umat lainnya di wilayah kabupaten; Kawasan suci mata air
sebarannya meliputi tempat-tempat mata air yang difungsikan untuk tempat
melangsungkan upacara keagamaan bagi umat Hindu. Kawasan suci cathus
patha , sebarannya meliputi: Cathus patha agung wilayah kabupaten di pusat
Kawasan Perkotaan Jembrana pada simpang wilayah Kelurahan Dauhwaru,
Kecamatan Jembrana, Cathus patha alit tersebar di tiap-tiap wilayah desa
adat/pakraman yang difungsikan untuk tempat melangsungkan upacara
keagamaan bagi umat Hindu. Konsep kearifan lokal Tri Hita Karana telah
mendapat pengakukan dunia secara universal dalam berbagai pertemuan
termasuk dalam APEC di Bali bulan November Tahun 2013.
28
4.1.2 Kearifan Lokal dalam Aspek Pembinaan Penataan Tata Ruang
Kabupaten Jembrana, Bali
Berdasarkan UUPR, pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk
meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah,
pemerintah derah, dan masyarakat. Pembinaan penataan ruang perlu terus
dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Dalam konteks pembinaan,
perlu dilakukan bimbingan teknis dan bantuan teknis terhadap peran dan
kedudukan kearifan lokal dalam menyikapi arus globalisasi serta dalam
menghadapi berbagai persoalan bencana dan kerusakan lingkungan. Beberapa
fenomena perubahan iklim seperti kenaikan muka air laut dan perubahan
siklus hidrologis perlu disikapi secara bijak melalui proses adaptasi dan
mitigasi yang dapat dikembangkan melalui penggalian kembali nilai-nilai
kearifan lokal yang relevan. Contohnya adalah sistem subak di Kabupaten
Jembrana, Bali. Subak adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus untuk
mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan dalam cocok tanam padi di
Bali, Indonesia. Subak ini biasanya memiliki pura yang dinamakan Pura
Uluncarik, atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para petani dan
diperuntukkan bagi dewi kemakmuran dan kesuburan dewi Sri. Sistem
pengairan ini diatur oleh seorang pemuka adat yang juga adalah seorang
petani di Bali.
Subak khususnya di Kabupaten Jembrana menurut Keputusan Bupati
Jembrana Nomor : 341/ PKL/ 2011 tentang Penetapan Jumlah Subak, Subak
Abian dan Subak Gede di Kabupaten Jembrana terdiri dari 84 Subak Sawah,
145 Subak Abian dan 4 Subak Gede yang terpecah atas 5 Kecamatan. Adapun
tujuan adanya program Irigasi Subak ini sebagai pengaturan apabila ada
keterbatasan air, sebagai komunikasi dan koordinasasi serta untuk struktural.
Adapun masing- masing subak itu memiliki keanggotaan (Klain Subak) serta
pembagian tugas masing masing serta AD/ART masing- masing. Subak
merupakan masyarakat hukum adat yang bersifat sosial agraris religius,
secara historis tumbuh dan berkembang sebagai organisasi tata air di tingkat
usaha tani.
29
Subak sebagai satu lembaga adat yang bergerak sebagai organisasi
petani sawah dan tegalan melandasi diri pada adat dan agama. Walaupun
pemerintah menetapkan aturan tata air dengan peraturan pemerintah No. 11
tahun 1982 tentang pengairan yang dilengkapi dengan PP No. 23 tahun 1982
tentang irigasi dan peraturan daerah No. 2 tahun 1972 tentang irigasi Bali,
Subak tetap berperan di jaringan irigasi secara otonom di atur sendiri oleh
subak yang bersangkutan. Adanya Subak ini sangat mempengaruhi pola
hidup yang ada pada masyarakat yang berdampak pada perilaku masyarakat
khusunya bagi masyarakat yang bekerja sebagai para petani. Sejalan dengan
pendapat Nyoman S. (2002: 156) bahwa : “Subak mempunyai tujuan untuk
menjamin pembagian air yang adil dan merata, meningkatkan produktivitas
tanah pesawahan dan mengakat kesejahteraan para anggotanya. Subak
merupakan bagian integral bagi kehidupan masyarakat di Bali yang terkait
oleh norma-norma budaya dan agama Hindu.” Dengan memanfaatkan forum-
forum tradisional atau organisasi kemasyarakatan dalam regulasi penataan
ruang seperti sistem subak dinilai sangat efektif dimanfaatkan oleh semua
pihak dalam aspek pembinaan.
4.1.3 Kearifan Lokal dalam Aspek Pelaksanaan Penataan Tata Ruang
Kabupaten Jembrana, Bali
Berdasarkan UUPR, pelaksanaan penataan ruang adalah pencapaian
tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Untuk
perencanaan tata ruang yang mencakup rencana struktur ruang dan pola
ruang harus memperhatikan aspek budaya yang ada, seperti dengan adanya
kawasan strategis dan kawasan pusaka/budaya. Setiap perencanaan tata ruang
perlu melakukan survey mengenai kearifan lokal atau budaya yang terkait di
dalamnya yang akan menentukan bentuk dari regulasi penataan ruang. Hal ini
juga dilakukan agar masyarakat sebagai bagian dari budaya ikut terlibat
dalam perencanaan tata ruang. Di Kabupaten Jembrana, kawasan pelestarian
alam dan cagar budaya seperti kawasan pantai berhutan bakau di Kecamatan
30
Melaya, Mendoyo dan Pekutatan. Selain itu terdapat kawasan taman nasional
yang merupakan bagian dari Taman Nasional bali Barat (TNBB), kawasan
taman wisata alam dan kawasan konservasi yang tersebar di pulau-pulau kecil
sekitar Pura Dang Kahyangan.
Aspek pelaksanaan juga terkait dengan pemanfaatan ruang, contohnya,
terdapat rencana rinci berupa Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten
Jembrana yang didalamnya juga mengatur peraturan zonasi, dan RTBL untuk
zona/kawasan yang diprioritaskan. Dalam RDTR tersebut diatur rencana
pemanfaatan ruang dalam skala lebih terinci dibandingkan dalam RTRW. Hal
ini juga terkait dengan kepentingan pengendalian (perijinan), termasuk
rencana pemanfaatan ruang yang lebih menonjolkan pusaka budaya kota yang
dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang di
setiap zonanya.
Pengendalian pemanfaatan ruang yang merupakan aspek lain dari
pelaksanaan penataan ruang mencakup beberapa hal terkait dengan kearifan
lokal seperti, pengaturan fungsi-fungsi bangunan atau lingkungan yang boleh,
tidak boleh, atau dibatasi pengembangannya dalam kawasan sekitar pusaka
budaya. Pencapaian kualitas fungsional, visual, dan lingkungan dari sub-sub
kawasan yang diprioritaskan disusun RTBLnya yang proses penyusunannya
harus bersifat inklusif berorientasi kolaborasi berbagai pelaku pembangunan.
Seperti di Kabupaten Jembrana dalam penataan kawasan Gilimanuk menuju
perbaikan image harus mengacu pada Rancangan Tata Ruang Bangunan dan
Lingkungan (RTBL),karena Gilimanuk merupakan salah satu kawasan wisata
Nasional. Diantarannya adanya potensi wisata alam di Teluk Gilimanuk,
wisata edukasi Museum Perubakala, wisata kuliner betutu dan wisata lainnya.
.
4.1.4 Kearifan Lokal dalam Aspek Pengawasan Penataan Tata Ruang
Kabupaten Jembrana, Bali
Kearifan lokal terhadap aspek pengawasan dilakukan oleh Pemerintah
dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Ketika peran masyarakat
terlibat dalam hal ini, maka tokoh-tokoh adat juga dapat dilibatkan. Sesuai
31
dengan UUPR, pada pasal 55 disebutkan bahwa pengawasan terdiri atas
tindakan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan, yang dilaksanakan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat.
Peran masyarakat itu sendiri dapat dilakukan dengan menyampaikan laporan
dan/atau pengaduan kepada Pemerintah dan pemerintah daerah. Kewenangan
Pemerintah salah satunya dengan mengadakan monitoring dan evaluasi
pelaksanaan program Pembinaan Penataan Ruang. Sistem pengawasan yang
ada perlu diakomodasikan dengan beberapa sistem nilai yang telah
dikembangkan secara tradisional dalam menjaga kelestarian lingkungan dan
sanksi sosial untuk mencegah perusakan lingkungan.
Seperti di Kabupaten Jembrana, Bali terdapat sistem pengawasan sosial
yang dilakukan oleh masing-masing Banjar (pecalang) terhadap kepatuhan
masyarakat kepada ketentuan yang ada. Hal ini dapat misalnya disinergikan
dengan keberadaan PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) yang secara
formal bertugas melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan di bidang tata
ruang. PPNS Penataan Ruang dalam pelaksanaan tugasnya mempunyai tugas
dan fungsi pengawasan dan penegakan delik pidana penataan ruang
sebagaimana diatur dalam UUPR, dan dalam pelaksanaan tugasnya selalu
berkoordinasi dengan Penyidik Polri. Dengan terbentuknya PPNS ini,
penegakan hukum penataan ruang dalam upaya mewujudkan ruang yang
aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan dapat diwujudkan melalui tertib
hukum penataan ruang.
Aspek pengawasan juga mencakup pelarangan perubahan fungsi
bangunan di sekitar kawasan pusaka budaya yang dapat mengganggu karakter
kawasan pusaka cagar budaya, dan kepada pemilik bangunan diberikan
insentif, misalnya dalam bentuk pengurangan atau pembebasan pembayaran
PBB. Sebagai contoh, pengawasan pada bangunan bersejarah dilakukan
dengan memperhatikan faktor-faktor seperti: apakah suatu bangunan telah
melakukan adaptasi fungsi bangunan konservasi/pelestarian dengan fungsi-
fungsi baru yang berorientasi produktif (adaptive uses) dan mampu
menggairahkan apresiasi berbudaya. Pembangunan baru yang adaptif dengan
32
lingkungan, mengikuti kaidah-kaidah konservasi dan sesuai dengan
peraturan/pedoman yang berlaku. Pembangunan yang dilakukan juga harus
senantiasa memperhatikan nilai kearifan lokal, berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan. Semua hal tersebut akan terkait sanksi jika ada pelanggaran, oleh
karena itu dibutuhkan pengawasan yang baik dari Pemerintah, pemerintah
daerah maupun peran masyarakat termasuk tokoh-tokoh adat.
4.2 Peran Kearifan Lokal dalam Pembangunan Kota Berkelanjutan
Berbagai permasalahan muncul di era modern kali ini yang membawa
kerusakan pada perkotaan dalam berbagai sektor. Pertama, ketersesakan
ekologi, alih fungsi lahan dan khaostik ruang telah merusak dan mengganggu
keseimbangan lingkungan. Kedua, kepadatan penduduk dan tekanan
demografi telah merusak tatanan sosial. Ketiga, ekonomi konglomerasi yang
kapitalistis telah memperlebar kesenjangan, menjauhkan keadilan, memacu
materialisme dan merapuhkan moral. Keempat, mentalitas SDM yang
cenderung serba instan, eksploitatif telah memacu berbagai distorsi nilai dan
dehumanisasi. Kelima, penerapan otonomi daerah yang cenderung egosentris
telah mendorong fragmentasi, konflik kepentingan dan mencabik keutuhan
Kabupaten Jembrana,Bali sebagai satu kesatuan ekologi, ekonomi dan
budaya. Fenomena dan kecenderungan faktual tersebut, telah mengantarkan
Jembrana ke dalam problematik yang mendasar yaitu kehidupan publik yang
kurang seimbang, tidak utuh, sangat rapuh dan mengancam pembangunan
Kabupaten Jembrana yang berkelanjutan.
Kearifan lokal berperan penting sebagai pengokoh jati diri, penjaga
keseimbangan dan harmoni, konservasi sumber daya dan perlindungan hak-
hak lokal. Dalam literatur kajian budaya, konsep berkelanjutan mencakup
empat aspek pokok yang saling terkait secara komplementer. Keempat aspek
tersebut: (1) aspek ekologis dengan tema kelestarian; (2) aspek ekonomis
dengan tema kesejahteraan dalam keadilan; (3) aspek sosial dengan tema
dinamika dalam integrasi; dan (4) aspek SDM dengan tema kualitas dalam
33
kreasi, inovasi dan integritas. Keempat aspek tersebut dilandasi oleh kearifan
dan etika: etika lingkungan, etika ekonomi, etika sosial dan etika serta
moralitas manusia. Seperti dalam studi kasus di daerah Bali, sesuai dengan
keunikan dan potensi kebudayaan, mengintegrasikan aspek kebudayaan yang
dijiwai agama Hindu sebagai fondasi untuk pembangunan Bali berkelanjutan
khususnya di Kabupaten Jembrana. Dalam kaitan ini, konsep pembangunan
berkelanjutan untuk Bali diharapkan mampu mengokohkan jati diri, landasan
moral-estetika dan wawasan spiritual.
Kearifan lokal merupakan bagian dari kebudayaan tradisional. Sebagai
satu aset warisan budaya, dia hidup dalam domain kognitif, agektif dan
motorik, serta tumbuh menjadi aspirasi dan apresiasi publik. Desakan
modernisme dan globalisasi telah mendorong eksistensi kearifan lokal ke arah
marginal. Dalam perspektif rwa bhineda, kearifan lokal juga mencakup unsur
baik dan buruk. Sangat banyak sisi kebaikannya, namun negatifnya dapat
mengarah ke fanatisme dan chauvimisme sempit. Secara substansif, kearifan
lokal berorientasi pada: (1) keseimbangan dan harmoni manusia, alam dan
budaya; (2) kelestarian dan keragaman alam dan kultur, (3) konservasi
sumber daya alam dan warisan budaya; (4) penghematan sumber daya yang
bernilai ekonomi; (5) moralitas dan spiritualitas. Tema-tema orientasi seperti
itu sangat relevan bagi cita-cita, paradigma dan perencanaan pembangunan
berkelanjutan.
Untuk merealisasikan kearifan lokal dalam pengembangan kota
berkelanjutan diperlukan suatu strategi yang efektif untuk revitalisasi kearifan
lokal adalah melalui penegakan hukum, peningkatan pengetahuan, sosialisasi
dan edukasi di arena keluarga, sekolah dan masyarakat dengan dukungan
multimedia. Komitmen publik sangat diperlukan, termasuk pihak eksekutif,
legislatif dan yudikatif. Namun, yang lebih utama dan terutama adalah
kontribusi kualitas kearifan kita bersama dalam aksi kehidupan sehari-hari
secara nyata, konsisten dan berkelanjutan.
4.3 Payung Hukum Pembangunan Tata Kota berbasis Local Wisdom
34
Kabupaten Jembrana telah memiliki berbagai peraturan daerah yang
menguatkan dan digunakan sebagai payung hukum dalam pembangunan tata
kota. Contohnya dalam IMB atau Izin Membangun Bangunan yang diperkuat
dengan Peraturan Daerah No.3 Tahun 2004 tentang Bangunan. Bangunan
merupakan konstruksi teknik yang dibangun atau diletakkan atau melayang
dalam suatu lingkungan secara tetap sebagian atau seluruhnya pada, diatas
atau dibawah permukaan tanah dan atau perairan yang berupa bangunan
gedung dan atau bukan gedung. Sedangkan mendirikan bangunan merupakan
pekerjaan mengadakan bangunan seluruhnya atau sebagian, termasuk
pekerjaan menggali, menimbun atau meratakan tanah yang berhubungan
dengan pekerjaan mengadakan bangunan itu.
Dalam peraturan daerah tersebut ditetapkan bahwa tinggi setiap
bangunan maksimum 15 m dari permukaan tanah, kecuali bangunan tertentu,
seperti tower, menara, cerobong atau sarana ibadah. Untuk garis sempadan
atau garis khayalan yang ditarik pada jarak tertentu sejajar dengan as jalan
atau pinggir sungai atau as pagar yang merupakan batas antara persil yang
boleh dan tidak boleh dibanguni bangunan terdapat berbagai ketentuan.
Diantarannya adalah :
1. Garis sempadan bangunan pada jalan arteri/jalan nasional minimal 20 m
diukur dari as jalan.
2. Garis sempadan bangunan pada jalan lokal minimal 1 x lebar badan jalan (
daerah manfaat jalan ) diukur dari as jalan.
3. Garis sempadan bangunan pada jalan / gang yang lebar jalannya kurang
dari 2,5 m minimal 1 x lebar jalan / gang diukur dari as jalan / gang.
4. Garis sempadan bangunan terhadap sungai ( sempadan sungai ) :
5. Minimal 10 m dari tepi sungai diluar kawasan perkotaan tidak bertanggul.
6. Minimal 4 m dari tepi sungai dalam kawasan perkotaan tidak bertanggul.
7. Minimal 3 m dari tepi sungai.
8. Garis sempadan pagar depan ( telajakan ) minimal 1,5 m untuk jalan arteri
dan minimal 1 m untuk jalan lokal diukur dari pinggir got.
35
9. Sempadan bangunan dengan pagar batas persil samping dan belakang
minimal 2 m kecuali ada persetujuan dari tetangga yang saling berbatasan
( penyanding ). Pada areal sempadan bangunan / sempadan jalan dapat
dibangun:
Tembok Pagar.
Bale Bengong, Pos Keamanan, Bale Kulkul dan Pemerajan.
Taman, tempat parkir tanpa atap.
Garis Sempadan Pantai ( SK Bupati Nomor 186 Tahun 2002 )
ditetapkan 100 m dari air pasang tertinggi.
Khusus pantai di Jembrana dapat pengecualian dengan pertimbangan
teknis dari instansi terkait dengan memperhatikan daya dukung fisik atau data
lingkungan pantai yang sekurang-kurangnya meliputi :
Tinjauan geologi.
Tinjauan tata lingkungan.
Tinjauan kemungkinan erosi dan abrasi
Tinjauan hidrologi lokal dan regional
Tinjauan rencana pemanfaatan kawasan pantai.
Untuk permasalahan IMB dalam Peraturan Daerah tersebut, IMB hanya
berlaku bagi orang atau badan yang namanya tercantum dalam IMB. Bila
karena sesuatu hal, orang atau badan pemilik IMB tidak lagi menjadi pihak
yang memiliki bangunan dalam IMB tersebut, maka IMB tersebut
dimohonkan balik nama. IMB juga dapat dicabut apabila pemegang IMB
melanggar syarat-syarat yang ditetapkan dalam IMB. Kemudian dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan sejak IMB dikeluarkan, pemegang IMB belum
memulai pekerjaan, keterangan yang diberikan oleh pemohon ternyata tidak
benar dan bangunan yang dilaksanakan ternyata tidak sama dengan gambar
pada IMB.Keputusan Pencabutan IMB diberikan secara tertulis kepada
pemegang IMB disertai dengan alasan yang jelas setelah pemegang IMB
36
dipanggil dan didengar keterangannya. IMB yang telah dicabut dapat
dimohon kembali setelah pemegang IMB memenuhi persyaratan.
Keuntungan masyarakat Kabupaten Jembrana yang memiliki IMB
adalah :
1. Bangunan yang di bangun lebih aman, benar dan sesuai dengan rencana
serta perkembangan kota.
2. Membantu pemerintah dalam hal penataan kota / pengendalian
pemanfaatan ruang sesuai RTRW.
3. Memudahkan persetujuan dalam permohonan Izin HO, Izin Usaha, Air
Minum atau sebagai jaminan.
Selain itu terdapat payung hukum yang berhubungan dengan penerapan
local wisdom dan pembangunan berkelanjutan yaitu Undang Undang Nomor
32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Didalam undang undang tersebut dijelaskan bahwa sebenarnya pembangunan
ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Kabupaten Jembrana telah
menerapkan konsep tersebut dengan mengadakan pembangunan berbasis
local wisdom yang memerhatikan mengenai pengelolaan dan perlindungan
lingkungan hidup.
Diantarannya yang menguatkan bahwa Kabupaten Jembrana merupakan
daerah yang peduli terhadap lingkungan hidup adalah adanya berbagai
instrumen yang digunakan untuk pencegahan pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup dalam pembangunan tata kotanya sesuai dengan UU No.32
tahun 2009, yaitu :
a. KLHS
b. tata ruang;
c. baku mutu lingkungan hidup;
d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
e. amdal;
f. UKL-UPL;
g. perizinan;
37
h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;
i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;
j. anggaran berbasis lingkungan hidup;
k. analisis risiko lingkungan hidup;
l. audit lingkungan hidup; dan
m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan
ilmu pengetahuan.
5. Kesimpulan
Dimensi Local Wisdom dalam penataan tata ruang kabupaten Jimbaran terdiri
dari beberapa aspek, yaitu aspek pengaturan tata ruang yang terdapat konsep
kearifan lokal Tri Hita Karana yang mengajarkan keseimbangan hubungan
manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan
lingkungannya merupakan warisan adhi luhung yang hingga kini tetap dipegang
teguh masyarakat Bali. Konsep Tri Hita Karana telah mampu memberikan
inspirasi dunia dalam mengelola lingkungan yang berkelanjutan sesuai daya
dukung lingkungan. Pengingkaran konsep Tri Hita Karana dalam pembangunan
akan berdampak negatif bagi daya dukung dan keseimbangan alam. Kedua aspek
pembinaan yang ...... Ketiga aspek pelaksanaan yang ...... Terakhir adalah aspek
pengawasan yaitu
38
DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Kabupaten Jembrana, 2012. Profil Kabupaten Jembrana. Bali.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Jembrana (2015), Kabupaten Jembrana
Dalam Angka 2015, Katalog BPS: 1102001.5101
Kusuma, P. G., Made, S. dan Nyoman, S. 2012. Pengaruh Perubahan Penguasaan
Lahan Pertanian Terhadap Tingkat Eksistensi Subak di Desa Medewi
Kecamatan Pekutatan Kabupaten Jembrana. Jurusan Pendidikan Geografi
Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja.
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Jembrana
2012-2032
Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bangunan
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Jembrana 2014
Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Wikantiyoso, Respati (ed).2009.Kearifan Lokal dalam Perencanaan dan
Perancangan Kota : Untuk Mewujudkan Arsitektur Kota yang
Berkelanjutan. Group Konservasi Arsitektur & Kota Jurusan Teknik
Arsitektur Universitas Merdeka Malang; Malang
39