40
PEMBANGUNAN TATA KOTA BERBASIS LOCAL WISDOM STUDI PADA KABUPATEN JEMBRANA KOTA BALI 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman budaya, etnis, suku dan ras, terdapat kurang lebih 389 suku bangsa yang memiliki adat istiadat, bahasa, tata nilai dan budaya yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya (Asian Brain, 2010). Adat istiadat, tata nilai dan budaya tersebut antara lain mengatur beberapa aspek kehidupan, seperti: hubungan sosial kemasyarakatan, ritual peribadatan, kepercayaan, mitos-mitos dan sanksi adat yang berlaku di lingkungan masyarakat adat yang ada. Keanekaragaman budaya daerah tersebut merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah. Di samping itu, keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan. Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan terhadap eksistensinya. Hilangnya kearifan lokal dalam aspek fisik alam membuat adanya suatu dampak, seperti kerentanan terhadap berbagai bencana alam, kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta dimensi sosial budaya dalam menata ruang perumahan nyaris terabaikan dalam pertimbangan pengembangan perkotaan. Semua itu luput dari perhatian pemerintah dan warga. Aspek-aspek itu kurang menjadi prioritas dalam wacana perencanaan kota, padahal kearifan lokal seharusnya selalu disertakan didalamnya. Sejajar dengan sisi miris tersebut tantangan perkotaan terus berkembang, mulai dari urbanisasi yang menggempur, kebutuhan dasar warga kota yang terus meningkat, pemukiman kumuh, transportasi dan infrastruktur yang terbatas, kemiskinan yang tak kunjung tuntas, 1

KELOMPOK 6 new

Embed Size (px)

Citation preview

PEMBANGUNAN TATA KOTA BERBASIS LOCAL WISDOM STUDI

PADA KABUPATEN JEMBRANA KOTA BALI

1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman budaya,

etnis, suku dan ras, terdapat kurang lebih 389 suku bangsa yang memiliki adat

istiadat, bahasa, tata nilai dan budaya yang berbeda-beda satu dengan yang

lainnya (Asian Brain, 2010). Adat istiadat, tata nilai dan budaya tersebut antara

lain mengatur beberapa aspek kehidupan, seperti: hubungan sosial

kemasyarakatan, ritual peribadatan, kepercayaan, mitos-mitos dan sanksi adat

yang berlaku di lingkungan masyarakat adat yang ada. Keanekaragaman budaya

daerah tersebut merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan

citra budaya tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan bagian

penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah. Di samping

itu, keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian

dari warisan budaya yang perlu dilestarikan.

Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah

kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai-nilai

tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan terhadap

eksistensinya. Hilangnya kearifan lokal dalam aspek fisik alam membuat adanya

suatu dampak, seperti kerentanan terhadap berbagai bencana alam, kemampuan

daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta dimensi sosial budaya dalam

menata ruang perumahan nyaris terabaikan dalam pertimbangan pengembangan

perkotaan. Semua itu luput dari perhatian pemerintah dan warga. Aspek-aspek itu

kurang menjadi prioritas dalam wacana perencanaan kota, padahal kearifan lokal

seharusnya selalu disertakan didalamnya. Sejajar dengan sisi miris tersebut

tantangan perkotaan terus berkembang, mulai dari urbanisasi yang menggempur,

kebutuhan dasar warga kota yang terus meningkat, pemukiman kumuh,

transportasi dan infrastruktur yang terbatas, kemiskinan yang tak kunjung tuntas,

1

maslah sosial budaya, hingga degedrasi lingkungan juga terus bergerak. Demikian

pula peluang-peluang ekonomi yang harus direbut, kepentingan-kepentingan

politis sesaat dan derasnya globalisasi telah membuat aspek-aspek kearifan lokal

terutama sisi sosial budaya semakin terabaikan. Pada gilirannya masyarakat akan

menuai kerugian besar akibat itu semua. Hal ini perlu dicermati karena warisan

budaya dan nilai-nilai tradisional tersebut mengandung banyak kearifan lokal

yang masih sangat relevan dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan,

diadaptasi atau bahkan dikembangkan lebih jauh.

Kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan

martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007). Kearifan lokal merupakan

pandangan hidup, pengetahuan serta strategi kehidupan yang berwujud dalam

aktifitas masyarakat dalam menjalani seluruh kehidupan dan menghadapi

tantangan kehidupan dalam suatu masyarakat. Baik kehidupan yang berhubungan

dengan ekonomi, budaya, sosial, keagamaan dan lainnya. Dalam kaitannya

dengan penataan ruang perkotaan, kearifan lokal dapat menjadi landasan dalam

penyelenggaraan penataan ruang kota karena beberapa nilai yang terkandung

dalam kearifan lokal terbukti masih relevan diaplikasikan hingga sekarang, baik

dalam aspek pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, serta aspek pengawasan dalam

penyelenggaran penataan ruang kota.

Dalam upaya mengharmonisasikan, menjaga, dan melestarikan nilai-nilai

kearifan lokal dalam konteks penataan ruang, pemerintah perlu melakukan

beberapa upaya pada berbagai aspek pada tingkatan penyelenggaraan penataan

ruang. Karena keterkaitan yang erat antara potensi budaya dan penyelenggaraan

penataan ruang suatu kota, diperlukan upaya untuk mengakomodasi nilai budaya

lokal/adat istiadat ke dalam hukum positif, yaitu ke dalam regulasi penataan

ruang, yaitu melalui proses adopsi, adaptasi, dan asimilasi. Beberapa nilai dan

bentuk kearifan lokal, termasuk hukum adat, nilai-nilai budaya dan kepercayaan

yang ada sebagian bahkan sangat relevan untuk diaplikasikan ke dalam proses

atau kaidah perencanaan dan pembangunan wilayah atau kawasan, seperti yang

terdapat pada Kabupaten Jembrana, Bali. Karena perencanaan Pembangunan yang

2

juga mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal dalam pembuatan perencanaan

pembangunan baik RPJMN/RPJMD dan rencana pembangunan tahunan maka

khusus di Kabupaten Jembrana,Bali para perencana telah diberikan “guidance of

future actions” yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6

Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Bali

2005-2025 dan Perda Provinsi Bali nomor 16 tahun 2009 tentang RTRW Provinsi

Bali Tahun 2009- 2029. Berikut dokumen RPJPD dengan konten muatan lokal

dapat dilihat dari visi dan misinya. Selanjutnya berbagai peran dari kearifan lokal

sendiri akan dibahas pada tulisan kali ini.

2. Rumusan Masalah

2.1. Bagaimana dimensi kearifan lokal dalam pembangunan tata kota dalam

studi kasus Kabupaten Jembrana, Bali?

2.2. Bagaimana peran kearifan lokal dalam pembangunan kota

berkelanjutan di Kabupaten Jembrana, Bali?

3. Kajian Teori

3.1. Pengertian Local Wisdom (Kearifan Lokal)

Kearifan adalah seperangkat pengetahuan yang dikembangkan oleh

suatu kelompok masyarakat setempat (komunitas) yang terhimpun dari

pengalaman panjang menggeluti alam dalam ikatan hubungan yang saling

menguntungkan kedua belah pihak (manusia dan lingkungan) secara

berkelanjutan dan dengan ritme yang harmonis. Kearifan (wisdom) dapat

disepadankan pula maknanya dengan pengetahuan, kecerdikan, kepandaian,

keberilmuan, dan kebijaksanaan dalam pengambilan Keputusan yang

berkenaan dengan penyelesaian atau penanggulangan suat masalah atau

serangkaian masalah yang relatif pelik dan rumit.

Dalam kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Shadily,

maka pengertian keafiran lokal terdiri dari dua kata, yaitu kearifan (wisdom)

dan lokal (local). Local yang berarti setempat, sementara wisdom sama

dengan kebijaksanaan. Jadi kearifan lokal adalah gagasan setempat yang

3

bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti

oleh anggota masyarakatnya.

Secara etimologis, kearifan berarti kemampuan seseorang dalam

menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau

situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi di mana peristiwa atau

situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial

merupakan nilai dan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang

diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku

sehari-hari.

Dengan kata lain kearifan lokal adalah kemampuan menyikapi dan

memberdayakan potensi nilai-nilai luhur budaya setempat. Oleh karena itu,

kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan

martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007). Perilaku yang bersifat

umum dan berlaku di masyarakat secara meluas, turun temurun, akan

berkembang menjadi nilai-nilai yang dipegang teguh, yang selanjutnya

disebut sebagai budaya. Kearifan lokal didefinisikan sebagai kebenaran yang

telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah (Gobyah, 2003). Kearifan lokal

(local wisdom) dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan

akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek,

atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007).

Menurut Antariksa (2009), kearifan lokal merupakan unsur bagian dari

tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian

yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan

(perkotaan) dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa. Dari penjelasan

beliau dapat dilihat bahwa kearifan lokal merupakan langkah penerapan dari

tradisi yang diterjemahkan dalam artefak fisik. Hal terpenting dari kearifan

lokal adalah proses sebelum implementasi tradisi pada artefak fisik, yaitu

nilai-nilai dari alam untuk mengajak dan mengajarkan tentang bagaimana

‘membaca’ potensi alam dan menuliskannya kembali sebagai tradisi yang

diterima secara universal oleh masyarakat, khususnya dalam berarsitektur.

Nilai tradisi untuk menselaraskan kehidupan manusia dengan cara

4

menghargai, memelihara dan melestarikan alam lingkungan. Hal ini dapat

dilihat bahwa semakin adanya penyempurnaan arti dan saling mendukung,

yang intinya adalah memahami bakat dan potensi alam tempatnya hidup; dan

diwujudkannya sebagai tradisi.

Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika

masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan

mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah,

kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal. Hal itu dapat

dilihat dari ekspresi kearifan lokal dalam kehidupan setiap hari karena telah

terinternalisasi dengan sangat baik. Tiap bagian dari kehidupan masyarakat

lokal diarahkan secara arif berdasarkan sistem pengetahuan mereka, dimana

tidak hanya bermanfaat dalam aktifitas keseharian dan interaksi dengan

sesama saja, tetapi juga dalam situasi-situasi yang tidak terduga seperti

bencana yang datang tiba-tiba. Jim Ife (2002) menyatakan bahwa kearifan

lokal terdiri dari enam dimensi yaitu :

1. Pengetahuan Lokal.

Setiap masyarakat dimanapun berada baik di pedesaan maupun

pedalaman selalu memiliki pengetahuan lokal yang terkait dengan

lingkungan hidupnya. Pengetahuan lokal terkait dengan perubahan dan

siklus iklim kemarau dan penghujan, jenis-jenis fauna dan flora, dan

kondisi geografi, demografi, dan sosiografi. Hal ini terjadi karena

masyarakat mendiami suatu daerah itu cukup lama dan telah mengalami

perubahan sosial yang bervariasi menyebabkan mereka mampu

beradaptasi dengan lingkungannnya. Kemampuan adaptasi ini menjadi

bagian dari pengetahuan lokal mereka dalam menaklukkan alam.

2. Nilai Lokal.

Untuk mengatur kehidupan bersama antara warga masyarakat, maka

setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai-nilai lokal yang ditaati dan

disepakati bersama oleh seluruh anggotannya. Nilai-nilai ini biasanya

mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan

alam dan manusia dengan Tuhannnya. Nilai-nilai ini memiliki dimensi

5

waktu, nilai masa lalu, masa kini dan masa datang, dan nilai ini akan

mengalami perubahan sesuai dengan kemajuan masyarakatnya.

3. Keterampilan Lokal.

Kemampuan bertahan hidup (survival) dari setiap masyarakat dapat

dipenuhi apabila masyarakat itu memiliki keterampilan lokal.

Keterampilan lokal dari yang paling sederhana seperti berburu, meramu,

bercocok tanam sampai membuat industri rumah tangga. Keterampilan

lokal ini biasanya hanya cukup dan mampu memenuhi kebutuhan

keluargannya masing-masing atau disebut dengan ekonomi subsisten.

Keterampilan lokal ini juga bersifat keterampilan hidup (life skill),

sehingga keterampilan ini sangat tergantung kepada kondisi geografi

tempat dimana masyarakat itu bertempat tinggal.

4. Sumber daya Lokal.

Sumber daya lokal ini pada umumnya adalah sumber daya alam yaitu

sumber daya yang tak terbarui dan yang dapat diperbarui. Masyarakat akan

menggunakan sumber daya lokal sesuai dengan kebutuhannya dan tidak

akan mengekpoitasi secara besar-besar atau dikomersilkan. Sumber daya

lokal ini sudah dibagi peruntukannnya seperti hutan, kebun, sumber air,

lahan pertanian, dan permukiman, Kepemilikan sumber daya lokal ini

biasanya bersifat kolektif atau communitarian.

5. Mekanisme Pengambilan Keputusan Lokal.

Menurut ahli adat dan budaya sebenarnya setiap masyarakat itu

memiliki pemerintahan lokal sendiri atau disebut pemerintahan kesukuan.

Suku merupakan kesatuan hukum yang memerintah warganya untuk

bertindak sebagai warga masyarakat. Masing masing masyarakat

mempunyai mekanisme pengambilan keputusan yang berbeda –beda. Ada

masyarakat yang melakukan secara demokratis atau “duduk sama rendah

berdiri sama tinggi”. Ada juga masyarakat yang melakukan secara

bertingkat atau berjenjang naik dan bertangga turun.

6

3.2. Dimensi Kearifan Lokal dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang

Undang-undang No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang

menyiratkan pentingnya memperhatikan nilai budaya yang berkembang di

masyarakat dalam penyelenggaran penataan ruang, sebagaimana bunyi pasal

6 ayat (1) huruf b. Artinya, penyelenggaraan penataan ruang tidak boleh

dilakukan secara semena-mena, akan tetapi harus memperhatikan berbagai

aspek, termasuk kearifan lokal yang terkandung dalam budaya setempat.

1. Aspek Pengaturan

Walaupun regulasi maupun peraturan perundangan yang ada sudah

cukup banyak mengatur tentang pentingnya mengfakomodasi kearifan

lokal dalam penataan ruang, namun tetap perlu terus didorong

perwujudannya melalui penyediaan petunjuk teknis dan pedoman

operasional lainnya. selain itu peran semua pihak termasuk masyarakat dan

swasta perlu terus didorong untuk ikut melestarikan nilai-nilai budaya dan

kearifan lokal. Dengan adanyakebijakan desentralisasi dan oytonomi

daerah diharapkan pemerintah daerah dapat lebih proaktif dalam

melakukan inventarisasi, dokumentasi dan pelestarian kearifan lokal

sebagai salah satu aset sosial-budaya masyarakat setempat. Kearifan lokal

sangat perlu dipertimbangkan dalam seluruh tingkatan penyelenggaraan

penataan ruang, yaitu diawali dengan identifikasi kearifan lokal pada

masing-masing tingkatannya.

2. Aspek Pembinanaan

Dalam konteks pembinaan perlu dilakukan sosialisasi terhadap peran

dan kedudukan kearifan lokal dalam menyikapi arus globalisasi dan

menghadapi berbagai persoalan bencana dan kerusakan lingkungan

dewasa ini. Beberapa fenomena perubahan iklim seperti kenaikan muka air

laut dan perubahan siklus hidrologis perlu disikapi secara bijak melalui

proses adaptasi dan mitigasi yang dapat dikembangkan melalui penggalian

kembali nilai-nilai kearifan lokal yang relevan.

7

3. Aspek Pelaksanaan

Dalam konteks pelaksanaan, perencanaan tata ruang harus dilakukan

dengan memperhatikan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia,

dan sumber daya buatan. Selain itu pelaksanaan enataan ruang juga harus

memperhitungkan kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum,

pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan, dan

teknologi sebagai satu kesatuan. Konsep dasar ini secara normatif telah

memberikan kesejajaran bagi berbagai aspek, termasuk ekonomi, budaya

dan nilai-nilai tradisional lainnya.

Sejalan dengan hal itu, salah satu upaya untuk menjaga atau

melestarikan kearifan lokal dalam UU No. 26 tahun 2007, tentang

Penataan Ruang diatur dalam penetapan kawasan strategis, yaitu kawasan

yang didalamnya berlangsung kegiatan yang mempunyai pengaruh besar

terhadap tata ruang wilayangs ekitarnya, kegiatan lain dibidang sejenis,

dan kegiatan bidang lainnya, serta bagi peningkatan kesejahteraan

masyarakat. Upaya menjaga kearifan lokal ini perlu dilakukan dengan

memasukkan kawasan yang memiliki aset nilai budaya kedalam kawasan

strategi sudut kepentingan sosial-budaya, serta nilai-nilai kearifan lokal

dalam proses perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan

ruangyang dilembagakan.

Penataan ruang kawasan strategis terdiri atas penataan ruang kawasan

strategis nasional, penataan ruang kawasan strategis provinsi dan penataan

ruang kawasan strategis kabupaten/kota. Penetapan ini dimaksudkan juga

untuk tetap menjaga kelestarian nilai kearifan lokal pada kawasan tersebut

agar keberadaan kawasan pusaka budaya yang dapat terlindungi, bahkan

bisa dikembangkan, dengan nilai-nilai tambah lainnya. Selain itu peraturan

zonasi juga merupakan instrumen yang cukup efektif untuk menjaga

kelestarian nilai kearifan lokal. Peraturan zonasi sebagai perangkat

pengendalian pembangunan mengatur ketentuan mengenai kegiatan yang

boleh, kegiatan yang tidak boleh, boleh bersyarat, dan sebagainya.

8

4. Pengawasan

Dalam konteks pengawasan beberapa sistem nilai tradisional yang ada

dalam menjaga kelestarian lingkungan dan sanksi sosial untuk mencegah

perusakan lingkungan perlu terus dikembangkan dan diakomodasikan

dalam sistem pengawasan yang ada. Untuk ini peran masyarakat dalam

menjaga nilai kearifan lokal menjadi sangat penting dalam proses penataan

ruang, dimulai dari keterlibatan masyarakat dalam perencanaan tata ruang,

pemanfaatan ruang hingga pengendalian pemanfaatan ruang.

3.3. Pembangunan Kota Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota,

bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang

tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan" (menurut

Brundtland Report dari PBB, 1987). Pembangunan berkelanjutan adalah

pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa harus mengurangi

kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dari generasi yang akan datang.

Pembangunan berkelanjutan harus memerhatikan pemanfaatan lingkungan

hidup dan kelestarian lingkungannya agar kualitas lingkungan tetap terjaga.

Kelestarian lingkungan yang tidak dijaga, akan menyebabkan daya dukung

lingkungan berkurang, atau bahkan akan hilang.

Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu

lingkungan. Lebih luas daripada itu, pembangunan berkelanjutan mencakup

tiga lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan

perlindungan lingkungan. Dokumen-dokumen PBB, terutama dokumen hasil

World Summit 2005 menyebut ketiga hal dimensi tersebut saling terkait dan

merupakan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan.

Penduduk atau masyarakat merupakan bagian penting atau titik sentral

dalam pembangunan berkelanjutan, karena peran penduduk sejatinya adalah

sebagai subjek dan objek dari pembangunan berkelanjutan. Jumlah penduduk

yang besar dengan pertumbuhan yang cepat, namun memiliki kualitas yang

rendah, akan memperlambat tercapainya kondisi yang ideal antara kuantitas

9

dan kualitas penduduk dengan daya dukung alam dan daya tampung

lingkungan yang semakin terbatas.

Untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di suatu negara,

diperlukan komponen penduduk yang berkualitas. Karena dari penduduk

berkualitas itulah memungkinkan untuk bisa mengolah dan mengelola potensi

sumber daya alam dengan baik, tepat, efisien, dan maksimal, dengan tetap

menjaga kelestarian lingkungan. Sehingga harapannya terjadi keseimbangan

dan keserasian antara jumlah penduduk dengan kapasitas dari daya dukung

alam dan daya tampung lingkungan. Pembangunan yang berkelanjutan harus

mencerminkan tindakan yang mampu melestarikan lingkungan alamnya.

Pembangunan berkelanjutan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.

1. Memberi kemungkinan pada kelangsungan hidup dengan jalan

melestarikan fungsi dan kemampuan ekosistem yang mendukungnya, baik

secara langsung maupun tidak langsung.

2. Memanfaatkan sumber daya alam dengan memanfaatkan teknologi yang

tidak merusak lingkungan.

3. Memberikan kesempatan kepada sektor dan kegiatan lainnya untuk

berkembang bersama-sama di setiap daerah, baik dalam kurun waktu yang

sama maupun kurun waktu yang berbeda secara berkesinambungan.

4. Meningkatkan dan melestarikan kemampuan dan fungsi ekosistem untuk

memasok, melindungi, serta mendukung sumber alam bagi kehidupan

secara berkesinambungan.

5. Menggunakan prosedur dan tata cara yang memerhatikan kelestarian

fungsi dan kemampuan ekosistem untuk mendukung kehidupan, baik masa

kini maupun masa yang akan datang.

3.4. Landasan Hukum

Untuk pelestarian terhadap masalah lingkungan hidup sangat kompleks

dan pemecahan masalahnya memerlukan perhatian yang bersifat

komperehensif dan menjadi tanggung jawab pemerintah didukung pertisipasi

masyarakat. Di Indonesia, pengelolaan lingkungan hidup harus berdasarkan

10

pada dasar hukum yang jelas dan menyeluruh sehingga diperoleh suatu

kepastian hukum

Berdasarkan Undang-undang Repukblik Indonesia Nomor 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam

peraturan tersebut juga di tegaskan tentang beberapa pengertian Perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup yang merupakan upaya sistematis dan

terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan

mencegah terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang

meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,

pengawasan, dan penegakan hukum. Rencana perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah

lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun

waktu tertentu.

Dalam peraturan tersebut juga di terangkan bahwa Perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas:

a. Tanggung jawab negara.

b. Kelestarian dan keberlanjutan.

c. Keserasian dan keseimbangan.

d. Keterpaduan.

e. Manfaat.

f. kehati-hatian.

g. Keadilan.

h. Ekoregion.

i. Keanekaragaman hayati.

j. pencemar membayar.

11

k. Partisipatif.

l. kearifan lokal.

m. Tata kelola pemerintahan yang baik, dan

n. Otonomi daerah.

Serta dalam peraturan tersebut juga tercantum beberapa tujuan dalam

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Bertujuan sebagai berikut:

a. Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

b. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia.

c. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian

ekosistem.

d. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.

e. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup.

f. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa

depan.

g. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup

sebagai bagian dari hak asasi manusia.

h. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana.

i. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan, dan

j. Mengantisipasi isu lingkungan global.

Dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2009 dalam pasal 13 tercantum

bahwa pengedalian pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup

dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. Pengedalian

pecemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup ini terdiri dari 3 hal yaitu 12

pencegahan, penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup dengan

menerapkan berbagai instrument-instrument yaitu : Kajian lingkungan hidup

straegis (KLHS), Tata ruang, Baku mutu lingkungan hidup, Kriteria baku

mutu kerusakan lingkungan hidup, Amdal, UKL-UPL, perizinan, instrument

ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis

lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, Analisis resiko

lingkungan hidup, audit lingkungan hidup, dan instrument lain sesuai dengan

kebutuhan dan /atau perkembangan ilmu pengetahuan.

Mengenai dari hal-hal tersebut, maka sekarang akan membahas pasal

per pasal tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup

berdasarkan dari Undang-undang No. 32 Tahun 2009 yang diawali dari Pasal

14 sampai dengan Pasal 43.

PASAL 14 Bagian Kedua Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 yang

berbunyi “Instrumen pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan

hidup terdiri atas :

.    KLHS

a. Tata ruang

b. Baku mutu lingkungan hidup

c. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup

d. AMDAL

e. UKL, UPL

f. Perizinan

g. Instrumen ekonomi lingkungan hidup

h. Peraturan perundang - undangan berbasis lingkungan hidup

i. Anggaran berbasis lingkungan hidup

j. Analisis risiko lingkungan hidup

k. Audit lingkungan hidup, dan

13

l. Instrument lain sesuai dengan kebutuhan dan / atau perkembangan ilmu pengetahuan

Dari Pasal 14 tersebut, bisa kita simpulkan bahwa pasal tersebut

merupakan kajian yang paling umum dari semua bagian instrument-instrument

yang telah disebutkan di atas, tugas sekarang adalah mengomentari setiap

bagian dari instrument-instrument tersebut mulai dari KLHS sampai dengan

Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (dari Pasal 14 sampai dengan Pasal 43

UU No.32 Tahun 2009)

A. KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis)

UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup Pasal 14 menyatakan bahwa instrumen pencegahan

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup salah satunya adalah

dengan melakukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Kajian ini

wajib disusun oleh pemerintah dan pemerintah daerah untuk memastikan

bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan

terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana,

dan/atau program (KRP).

Dalam KLHS (kajian Lingkungan Hidup Strategis) terdapat di dalam

Pasal 15, 16, 17, dan 18 UU No.32 Tahun 2009 dalam pembahasannya adalah

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan

bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan

terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana,

dan/atau program dalam penyusunan dalam :

a. Rencana tata ruang, rencana pembangunan jangka panjang, dan rencana

pembangunan jangka menengah, baik dalam untuk tingkat nasional,

provinsi, maupun kabupaten / kota.

b. Kebijakan rencana dan / atau program yang berpotensi menimbulkan

dampak risiko lingkungan hidup.

KLHS memiliki sejumlah manfaat antara lain :

a. Merupakan instrumen proaktif dan sarana pendukung pengambilan

keputusan, 

14

b. Mengidentifikasi dan mempertimbangkan peluang-peluang baru melalui

pengkajian sistematis dan cermat atas opsi pembangunan yang tersedia, 

c. Mempertimbangkan aspek lingkungan hidup secara lebih sistematis pada

jenjang pengambilan keputusan yang lebih tinggi, 

d. Mencegah kesalahan investasi dengan berkat teridentifikasinya peluang

pembangunan yang tidak berkelanjutan sejak dini 

e. Tata pengaturan (governance) yang lebih baik berkat keterlibatan para

pihak (stakeholders) dalam proses pengambilan keputusan melalui proses

konsultasi dan partisipasi 

f. Melindungi asset-asset sumberdaya alam dan lingkungan hidup guna

menjamin berlangsungnya pembangunan berkelanjutan, 

g. Memfasilitasi kerjasama lintas batas untuk mencegah konflik, berbagi

pemanfaatan sumberdaya alam, dan menangani masalah kumulatif

dampak lingkungan.

B. TATA RUANG

Tata ruang atau dalam bahasa Inggrisnya Land use adalah wujud

struktur ruang dan pola ruang disusun secara nasional, regional dan lokal.

Secara nasional disebut Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang

dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana

Tata Ruang Wilayah (RTRW) tersebut perlu dijabarkan ke dalam Rencana

Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK).

Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang

laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan

wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan

memelihara kelangsungan hidupnya. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang

dan pola ruang.

15

Tata Ruang terdapat di dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang –

undang No. 32 Tahun 2004 yang berisi :

a. Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan

masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada

KLHS

b. Perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud di dalam ayat (1)

ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tamping

lingkungan hidup.

Dalam Pasal tersebut, berdasarkan komentar saya kalau itu merupakan

suatu tujuan dalam lingkungan hidup yang sudah diebut diatas

C. BAKU MUTU LINGKUNGAN HIDUP

Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk

hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur

pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu

sebagai unsur lingkungan hidup.

Baku mutu lingkungan hidup ini terdapat didalam Pasal 20 ayat (1), (2),

(3), (4), dan (5) Undang – undang No. 32 Tahun 2009. Dalam Baku mutu bisa

menentukan berupa penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup yang

bisa diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. (Pasal 20 ayat (1) ). Baku

mutu lingkungan hidup ini terdiri dari beberapa macam yang meliputi :

a. Baku mutu air

b. Baku mutu air limbah

c. Baku mutu air laut

d. Baku mutu udara ambient

e. Baku mutu emisi

f. Baku mutu gangguan

g. Baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi

Menurut saya mengenai pencemaran yang terjadi dimana -mana, sering

sekali pencemaran tersebut bisa menimbulkan kerusakan lingkungan, akan

16

tetapi di dalam Pasal 20 ayat (3) dijelaskan bahwa setiap orang diperbolehkan

untuk membuang limbah ke dalam media lingkungan hidup, tetapi ada syarat-

syarat yang harus dilakukan seperti :

a. Memenuhi baku mutu lingkungan hidup

b. Mendapat izin dari menteri, gubernur, atau bupati / walikota sesuai

dengan kewenangannya.

D. KRITERIA BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas

perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat

ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.

Kriteria ini terdapat didalam Pasal 21 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) Undang-

undang No. 32 Tahun 2009. Perlunya penetapan peraturan pemerintah tentang

kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku akibat perubahan iklim

dan bagaimana perubahan iklim yang umum terjadi di Indonesia

mengakibatkan banjir, kekeringan, tanah longsor dan kebakaran hutan.

Peristiwa iklim yang ekstrim ini dapat meningkatkan wabah hama dan

penyakit tanaman serta vektor penyakit manusia. Hal ini berdampak pada

lingkungan serta kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.

Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada

parameter antara lain yang disebabkan oleh :

a. Kenaikan temperature

b. Kenaikan muka air laut

c. Badai, dan

d. Kekeringan

Kejadian iklim ekstrim di Indonesia terutama kekeringan karena

penurunan yang signifikan dalam curah hujan dipengaruhi oleh ENSO (El

Nino Southern Oscillation). Penurunan signifikan curah hujan memiliki

dampak signifikan pada penyimpanan air di reservoir, banyak dari

penampungan air berfungsi sebagai penyimpanan air untuk pembangkit listrik,

irigasi, dan penyediaan air minum. kekurangan air akan berdampak signifikan

pada produksi tanaman pangan. Data dampak historis ENSO terhadap

17

produksi padi nasional menunjukkan bahwa sistem produksi beras nasional

rentan terhadap kejadian iklim yang ekstrim.

Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim belum menyinggung

sektor kelautan yang notabene merupakan 2/3 wilayah Indonesia dan struktur

udara (atmosfer) yang juga merupakan faktor penting dalam sistem iklim.

Belum ada parameter detail dan indikator kuantitatif kerusakan lingkungan

untuk mempermudah teknis pelaksanaan program penanggulangan dampak

yang terjadi. Upaya pengendalian dampak perubahan iklim dapat dibuktikan

dengan adanya begitu banyak kebijakan akademis dan politik yang

dirumuskan.

Dengan banyaknya perumusan kajian akademis dan politik ini

diharapkan tindak lanjut dan penerapannya lebih komprehensif dan dapat

dipertanggungjawabkan.

E. AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)

AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu

usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang

diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha

dan/atau kegiatan. AMDAL terdapat didalam Pasal 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28,

29, 30, 31, 32, dan 33 Undang – undang No. 32 Tahun 2009. Tujuan dan

sasaran AMDAL adalah untuk menjamin suatu usaha atau kegiatan

pembangunan dapat berjalan secara berkesinambungan tanpa merusak

lingkungan hidup. Dengan melalui studi AMDAL diharapkan usaha dan/atau

kegiatan pembangunan dapat memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam

secara efisien, meminimumkan dampak negatif dan memaksimalkan

dampak  positip terhadap lingkungan hidup.

Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup dimaksudkan

untuk menghindari, meminimalkan, memitigasi, dan/atau mengompensasikan

dampak suatu usaha dan/atau kegiatan.

Menurut saya hal-hal penting baru yang terkait dengan AMDAL yang

termuat dalam UU No. 32 Tahun 2009, antara lain:

18

a. AMDAL dan UKL/UPL merupakan salah satu instrumen pencegahan

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

b. Penyusun dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi

penyusun dokumen AMDAL;

c. Komisi penilai AMDAL Pusat, Propinsi, maupun kab/kota wajib memiliki

lisensi AMDAL;

d. Amdal dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk penerbitan izin

lingkungan;

e. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai

kewenangannya.

Selain ke - 5 hal tersebut di atas, ada pengaturan yang tegas yang

diamanatkan dalam UU No. 32 Tahu 2009, yaitu dikenakannya sanksi pidana

dan perdata terkait pelanggaran bidang AMDAL. Pasal-pasal yang mengatur

tentang sanksi-sanksi tersebut, yaitu:

a. Sanksi terhadap orang yang melakukan usaha/kegiatan tanpa memiliki izin

lingkungan;

b. Sanksi terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki

sertifikat kompetensi;

c. Sanksi terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan yang tanpa

dilengkapi dengan dokumen AMDAl atau UKL-UPL.

F. UKL dan UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan

Lingkungan)

Upaya Pengelolaan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL)

adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan

hidup oleh penanggung jawab usaha dan/kegiatan. UKL dan UPL terdapat

didalam Pasal 34 dan 35 Undang-undang No. 32 Tahun 2009 yang berbunyi :

19

Pasal 34

a. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib

amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki

UKL- UPL.

b. Gubernur atau bupati/walikota menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan

yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL.

Pasal 35

a. Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi UKL-UPL

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) wajib membuat surat

pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup

b. Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada

ayat(1) dilakukan berdasarkan kriteria:

tidak termasuk dalam kategori berdampak penting sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 23 ayat(1); dan

kegiatan usaha mikro dan kecil.

c. Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL dan surat pernyataan

kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup diatur

dengan peraturan Menteri.

G. PERIZINAN

Perizinan lingkungan adalah sarana yuridis administrasi untuk

mencegah dan menanggulangi (pengendalian) pencemaran lingkungan. Jenis

dan prosedur perizinan lingkungan masih beraneka ragam, rumit dan sukar

ditelusuri, sehingga menjadi hambatan bagi kegiatan dunia industri. Izin

sebagai sarana hukum merupakan suatu persetujuan dari penguasa

berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pemegang ijin dilarang

melakukan tindakan menyimpanng dari ketentuan-ketentuan tersebut dan juga

sebagai instrument yang paling penting.

20

Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan pemohon melakukan

tindakan-tindakan spesifik yang sebenarnya dilarang. Dengan kata lain izin

adalah suatu perkenaan dari suatu larangan.

Melalui perizinan, seorang warga negara diberikan suatu perkenaan

untuk melakukan sesuatu aktivitas yang semestinya dilarang. Ini berarti, yang

esensial dari perijinan adalah larangan suatu tindakan, kecuali diperkenakan

dengan izin. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan perizinan mutlak

dicantumkan keluasan perkenaan yang dapat diteliti batas-batasnya bagi setiap

kegiatan.

Mengenai Perizinian, ada didalam Pasal 36, 37, 38, 39, 40, dan 41

Undang – Undang No. 32 Tahun 2009

Pasal 36

a. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL

wajib memiliki izin lingkungan.

b. Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan

berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi UKL-UPL.

c. Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib

mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan

lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL.

d. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota

sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 37

a. Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya

wajib menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak

dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL.

b. Izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) dapat

dibatalkan apabila:

21

persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung

cacat hukum, keliruan, penyalah gunaan, serta ketidak benaran

dan / atau pemalsuan data, dokumen, dan informas

penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum

dalam keputusan komisi tentang kelayakan lingkungan hidup atau

rekomendasi UKL-UPL;atau

kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL

tidak dilaksanakan oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 38

Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat(2), izin

lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara.

Pasal 39

a. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya

wajib mengumumkan setiap permohonan dan keputusan izin lingkungan.

b. Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara

yang mudah diketahui oleh masyarakat.

Pasal 40

a. Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha

dan/atau kegiatan.

b. Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan

dibatalkan.

c. Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung

jawab usaha dan / atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan.

Pasal 41

Ketentuan lebih lanjut mengenai izin sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

H. INSTRUMEN EKONOMI LINGKUNGAN HIDUP

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup baru saja disahkan. Banyak hal yang diatur

dalam Undang-Undang yang baru ini, salah satu diantaranya adalah tentang

instrumen ekonomi dalam pengelolaan Lingkungan Hidup. Subyek ini

22

merupakan sesuatu yang baru, pada undang-undang Lingkungan Hidup yang

lama subyek ini belum diatur.

Selama ini subyek instrumen ekonomi hampir belum pernah di tangani.

Jadi hampir belum banyak orang yang mengerti apa lingkup instrumen

ekonomi dalam pengelolaan hidup. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009 di dalam Pasal 42 dan 43, tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, instrumen ekonomi terdiri dari:

Pasal 42 ayat (2) huruf a : Instrumen perencanaan pembangunan dan

kegiatan ekonomi  meliputi:

a. Neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup;

b. Penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto

yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan

hidup;

c. Mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antar daerah;

d. Internalisasi biaya lingkungan hidup. (Pasal 43)

Pasal 42 ayat (2) huruf b : Instrumen pendanaan lingkungan hidup

meliputi:

a. Dana jaminan pemulihan lingkungan hidup;

b. Dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan

lingkungan hidup;

c. Dana amanah/bantuan untuk konservasi. (Pasal 43)

Pasal 42 ayat (2) huruf c : Insentif dan/atau disinsentif lingkungan

hidup antara lain diterapkan dalam bentuk:

a. Pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup;

b. Penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup;

23

c. Pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah

lingkungan hidup;

d. Pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau

emisi;

e. Pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup;

f. Pengembangan asuransi lingkungan hidup;

g. Pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup;

h. Sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup. (Pasal 43)

Substansi Undang-Undang ini masih sangat umum. Karena itu Undang-

undang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan

Pemerintah.

Substansi instrumen ekonomi ini, memuat beberapa terobosan baru

dalam upaya pengendalian lingkungan hidup. Masalahnya adalah seberapa

jauh substansi ini dapat dilakukan secara operasional. Ambillah contoh

substansi  instrumen pendanaan lingkungan. Point ini membuka kemungkinan

sumber-sumber pendanaan bagi pengelolaan dan perlindungan lingkungan. 

ada kewajiban dari berbagai pihak untuk menyediakan dana bagi pengelolaan

lingkungan yang lebih baik.

Dalam penegakan peraturan undang-undang tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakan hukum dibidang lingkungan

hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :

a. Penegakan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum

Administrasi / Tata Usaha Negara.

b. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.

c. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.

24

4. Pembahasan

4.1 Pembangunan Tata Ruang Kota berdasarkan Kearifan Lokal di

Kabupaten Jembrana, Bali

4.1.1 Kearifan Lokal dalam RTRW Kabupaten Jembrana, Bali sebagai

Pengaturan Penataan Ruang

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang, maka tiga tahun sejak diundangkannya Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2007, daerah harus segera menyusun Peraturan Daerah

tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten. Rencana Tata Ruang

Wilayah Kabupaten wajib mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 26

Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN),

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali, dan menjadi matra ruang dari

Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten

Jembrana 2005-2025.

Memperhatikan Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 7 Tahun

2002 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Jembrana

sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan acuan penyusunannya,

sehingga perlu diganti; sehingga Kabupaten Jembrana menetapkan Perda

Nomor Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Jembrana Tahun 2012-

2032 (Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2012 Nomor 27,

25

Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 27); Kearifan

lokal, dalam Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 11 Tahun 2012

diatur melalui; kebijakan penataan ruang, strategi penataan ruang dan rencana

struktur ruang.

Kebijakan penataan ruang, strategi penataan ruang dan rencana struktur

ruang diupayakan tetap mempertahankan kearifan lokal yang telah hidup dan

berkembang di masyarakat agar pemanfaatan ruang tetap menjamin

kebutuhan masyarakat tetapi tidak bertentangan dengan aturan yang lebih

tinggi. Kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten Jembrana merupakan

arahan pengembangan wilayah yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah

Kabupaten Jembrana guna mencapai tujuan penataan ruang wilayah

Kabupaten Jembrana dalam kurun waktu 20 (dua puluh) tahun.

Perda nomor 11 tahun 2012 sebagai hukum positif, disusun berdasarkan

arah kebijakan serta strategi yang dilandasi oleh kearifan lokal. Konten

Pengaturan Kearifan lokal dalam RTRW Kabupaten Jembrana diatur sebagai

berikut; dalam pasal 2 disebutkan ; RTRWK disusun berasaskan: Tri Hita

Karana, Sad Kertih, Keterpaduan, Keserasian, keselarasan, dan

keseimbangan, Keberlanjutan, Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan,

Keterbukaan, Kebersamaan dan kemitraan, Perlindungan kepentingan umum,

Kepastian hukum dan keadilan, dan Akuntabilitas. Tri Hita Karana dan Sad

Kertih merupakan kearifan lokal yang mengajarkan kepada masyarakat dalam

pemafaatan ruang wajib memedomani hubungan manusia dengan Tuhan,

hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan

lingkungannya sehingga kesinambungan hidup dapat tercapai.

Selanjutnya dalam pasal 3 sub d ditegaskan bahwa acuan sukerta tata

palemahan desa adat/pakraman, yang selanjutnya menjadi bagian dari awig-

awig desa adat/pakraman di seluruh wilayah Kabupaten Jembrana didasarkan

pada kearifan lokal. Terkait dengan pelaksanaan Tri Hita Karana lebih lanjut

diamanatkan sebagai berikut ;Pemantapan wilayah yang hijau dan lestari

sebagai penyangga pelestarian lingkungan Pulau Bali diwujudkan dengan

strategi meliputi: melindungi dan melestarikan kawasan lindung yang telah

26

ditetapkan secara nasional dan lokal dalam wilayah, mengembangkan

partispasi masyarakat dan konsep-konsep kearifan lokal dan budaya Bali

dalam pelestarian lingkungan, mencegah kegiatan budidaya pada kawasan

lindung melalui konversi atau rehabilitasi lahan, pembatasan kegiatan, serta

penertiban kegiatan terbangun yang berada pada kawasan lindung,

mengembalikan dan meningkatkan fungsi lingkungan hidup yang telah

menurun baik akibat aktivitas pembangunan maupun akibat bencana alam,

mempertahankan kawasan pertanian tanaman pangan yang beririgasi (subak)

untuk lahan pertanian pangan berkelanjutan, ketahanan pangan, pelestarian

lingkungan dan pelestarian budaya.

Konsep Tri Hita Karana sebagai pegangan dalam penataan ruang,

termasuk dalam pengembangan pariwisata sebagaimana diatur dalam pasal 11

sebagai berikut : Pengembangan kepariwisataan berwawasan lingkungan

yang terintegrasi dengan pertanian dan potensi sumber daya pesisir dan

kelautan diwujudkan dengan strategi meliputi: mengembangkan Kawasan

Pariwisata Candikusuma dan Kawasan Pariwisata Perancak didukung daya

tarik pantai, ekosistem pertanian dan pesisir yang berwawasan lingkungan,

memantapkan dan mengembangkan sebaran desa-desa wisata dan daya tarik

wisata dengan daya tarik keindahan alam, aktivitas budaya lokal, pertanian,

spiritual, industri kecil, petualangan dan olahraga dan lainnya yang berbasis

ekowisata, memantapkan partisipasi masyarakat lokal dan pelestarian

lingkungan, memantapkan dan meningkatkan kegiatan perekonomian

perdesaan berbasis pertanian, industri kecil, dan pariwisata kerakyatan yang

dilengkapi sarana dan prasarana penunjang, memantapkan integrasi pertanian

dengan pariwisata melalui pengembangan agrowisata dan hasil pertanian

sebagai pemasok industri pariwisata, menguatkan eksistensi desa pakraman,

subak dan organisasi kemasyarakatan lainnya dalam memantapkan kearifan

lokal sebagai pondasi pengembangan pariwisata berbasis ekowisata,

melindungi dan melestarikan kawasan lindung, kawasan pesisir dan laut serta

kawasan budidaya pertanian yang berpotensi sebagai daya tarik wisata dan

27

mengembangkan pola kerjasama yang memberikan perlindungan kepada hak-

hak kepemilikan lahan masyarakat lokal.

Tentang Kearifan lokal berikutnya diatur dalam penetapan kawasan

pada pasal 31 sebagai berikut ; Kawasan suci meliputi: kawasan suci gunung,

kawasan suci campuhan, kawasan suci pantai, kawasan suci laut, kawasan

suci mata air dan kawasan suci cathus patha. Kawasan suci gunung

sebarannya meliputi seluruh kawasan dengan kemiringan sekurangkurangnya

450 (empat puluh lima derajat) pada badan gunung menuju ke puncak gunung

meliputi lereng dan puncak Gunung Merbuk, Gunung Bangol, dan Gunung

Mesehe. Kawasan suci campuhan sebarannya meliputi seluruh pertemuan

aliran 2 (dua) buah sungai wilayah kabupaten; Kawasan suci pantai

sebarannya meliputi tempat-tempat di pantai yang dimanfaatkan untuk

upacara melasti di seluruh pantai wilayah kabupaten, meliputi: Pantai

Gilimanuk, Pantai Melaya dan Pantai Candikusuma di Kecamatan Melaya,

Pantai Pengambengan di Kecamatan Negara, Pantai Yeh Kuning di

Kecamatan Jembrana, Pantai Delodberawah, Pantai Tembles, Pantai

Rambutsiwi dan Pantai Yehsumbul di Kecamatan Mendoyo, Pantai Pangkung

Jukung, Pantai Gumbrih, Pantai Medewi, Pantai Pahyangan dan Pantai

Pengeragoan di Kecamatan Pekutatan.

Kawasan suci laut sebarannya meliputi kawasan perairan laut yang

difungsikan untuk tempat melangsungkan upacara keagamaan bagi umat

Hindu dan umat lainnya di wilayah kabupaten; Kawasan suci mata air

sebarannya meliputi tempat-tempat mata air yang difungsikan untuk tempat

melangsungkan upacara keagamaan bagi umat Hindu. Kawasan suci cathus

patha , sebarannya meliputi: Cathus patha agung wilayah kabupaten di pusat

Kawasan Perkotaan Jembrana pada simpang wilayah Kelurahan Dauhwaru,

Kecamatan Jembrana, Cathus patha alit tersebar di tiap-tiap wilayah desa

adat/pakraman yang difungsikan untuk tempat melangsungkan upacara

keagamaan bagi umat Hindu. Konsep kearifan lokal Tri Hita Karana telah

mendapat pengakukan dunia secara universal dalam berbagai pertemuan

termasuk dalam APEC di Bali bulan November Tahun 2013.

28

4.1.2 Kearifan Lokal dalam Aspek Pembinaan Penataan Tata Ruang

Kabupaten Jembrana, Bali

Berdasarkan UUPR, pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk

meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah,

pemerintah derah, dan masyarakat. Pembinaan penataan ruang perlu terus

dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Dalam konteks pembinaan,

perlu dilakukan bimbingan teknis dan bantuan teknis terhadap peran dan

kedudukan kearifan lokal dalam menyikapi arus globalisasi serta dalam

menghadapi berbagai persoalan bencana dan kerusakan lingkungan. Beberapa

fenomena perubahan iklim seperti kenaikan muka air laut dan perubahan

siklus hidrologis perlu disikapi secara bijak melalui proses adaptasi dan

mitigasi yang dapat dikembangkan melalui penggalian kembali nilai-nilai

kearifan lokal yang relevan. Contohnya adalah sistem subak di Kabupaten

Jembrana, Bali. Subak adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus untuk

mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan dalam cocok tanam padi di

Bali, Indonesia. Subak ini biasanya memiliki pura yang dinamakan Pura

Uluncarik, atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para petani dan

diperuntukkan bagi dewi kemakmuran dan kesuburan dewi Sri. Sistem

pengairan ini diatur oleh seorang pemuka adat yang juga adalah seorang

petani di Bali.

Subak khususnya di Kabupaten Jembrana menurut Keputusan Bupati

Jembrana Nomor : 341/ PKL/ 2011 tentang Penetapan Jumlah Subak, Subak

Abian dan Subak Gede di Kabupaten Jembrana terdiri dari 84 Subak Sawah,

145 Subak Abian dan 4 Subak Gede yang terpecah atas 5 Kecamatan. Adapun

tujuan adanya program Irigasi Subak ini sebagai pengaturan apabila ada

keterbatasan air, sebagai komunikasi dan koordinasasi serta untuk struktural.

Adapun masing- masing subak itu memiliki keanggotaan (Klain Subak)  serta

pembagian tugas masing masing serta AD/ART masing- masing. Subak

merupakan masyarakat hukum adat yang bersifat sosial agraris religius,

secara historis tumbuh dan berkembang sebagai organisasi tata air di tingkat

usaha tani.

29

Subak sebagai satu lembaga adat yang bergerak sebagai organisasi

petani sawah dan tegalan melandasi diri pada adat dan agama. Walaupun

pemerintah menetapkan aturan tata air dengan peraturan pemerintah No. 11

tahun 1982 tentang pengairan yang dilengkapi dengan PP No. 23 tahun 1982

tentang irigasi dan peraturan daerah No. 2 tahun 1972 tentang irigasi Bali,

Subak tetap berperan di jaringan irigasi secara otonom di atur sendiri oleh

subak yang bersangkutan. Adanya Subak ini sangat mempengaruhi pola

hidup yang ada pada masyarakat yang berdampak pada perilaku masyarakat

khusunya bagi masyarakat yang bekerja sebagai para petani. Sejalan dengan

pendapat Nyoman S. (2002: 156) bahwa : “Subak mempunyai tujuan untuk

menjamin pembagian air yang adil dan merata, meningkatkan produktivitas

tanah pesawahan dan mengakat kesejahteraan para anggotanya. Subak

merupakan bagian integral bagi kehidupan masyarakat di Bali yang terkait

oleh norma-norma budaya dan agama Hindu.” Dengan memanfaatkan forum-

forum tradisional atau organisasi kemasyarakatan dalam regulasi penataan

ruang seperti sistem subak dinilai sangat efektif dimanfaatkan oleh semua

pihak dalam aspek pembinaan.

4.1.3 Kearifan Lokal dalam Aspek Pelaksanaan Penataan Tata Ruang

Kabupaten Jembrana, Bali

Berdasarkan UUPR, pelaksanaan penataan ruang adalah pencapaian

tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang,

pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Untuk

perencanaan tata ruang yang mencakup rencana struktur ruang dan pola

ruang harus memperhatikan aspek budaya yang ada, seperti dengan adanya

kawasan strategis dan kawasan pusaka/budaya. Setiap perencanaan tata ruang

perlu melakukan survey mengenai kearifan lokal atau budaya yang terkait di

dalamnya yang akan menentukan bentuk dari regulasi penataan ruang. Hal ini

juga dilakukan agar masyarakat sebagai bagian dari budaya ikut terlibat

dalam perencanaan tata ruang. Di Kabupaten Jembrana, kawasan pelestarian

alam dan cagar budaya seperti kawasan pantai berhutan bakau di Kecamatan

30

Melaya, Mendoyo dan Pekutatan. Selain itu terdapat kawasan taman nasional

yang merupakan bagian dari Taman Nasional bali Barat (TNBB), kawasan

taman wisata alam dan kawasan konservasi yang tersebar di pulau-pulau kecil

sekitar Pura Dang Kahyangan.

Aspek pelaksanaan juga terkait dengan pemanfaatan ruang, contohnya,

terdapat rencana rinci berupa Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten

Jembrana yang didalamnya juga mengatur peraturan zonasi, dan RTBL untuk

zona/kawasan yang diprioritaskan. Dalam RDTR tersebut diatur rencana

pemanfaatan ruang dalam skala lebih terinci dibandingkan dalam RTRW. Hal

ini juga terkait dengan kepentingan pengendalian (perijinan), termasuk

rencana pemanfaatan ruang yang lebih menonjolkan pusaka budaya kota yang

dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang di

setiap zonanya.

Pengendalian pemanfaatan ruang yang merupakan aspek lain dari

pelaksanaan penataan ruang mencakup beberapa hal terkait dengan kearifan

lokal seperti, pengaturan fungsi-fungsi bangunan atau lingkungan yang boleh,

tidak boleh, atau dibatasi pengembangannya dalam kawasan sekitar pusaka

budaya. Pencapaian kualitas fungsional, visual, dan lingkungan dari sub-sub

kawasan yang diprioritaskan disusun RTBLnya yang proses penyusunannya

harus bersifat inklusif berorientasi kolaborasi berbagai pelaku pembangunan.

Seperti di Kabupaten Jembrana dalam penataan kawasan Gilimanuk menuju

perbaikan image harus mengacu pada Rancangan Tata Ruang Bangunan dan

Lingkungan (RTBL),karena Gilimanuk merupakan salah satu kawasan wisata

Nasional. Diantarannya adanya potensi wisata alam di Teluk Gilimanuk,

wisata edukasi Museum Perubakala, wisata kuliner betutu dan wisata lainnya.

.

4.1.4 Kearifan Lokal dalam Aspek Pengawasan Penataan Tata Ruang

Kabupaten Jembrana, Bali

Kearifan lokal terhadap aspek pengawasan dilakukan oleh Pemerintah

dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Ketika peran masyarakat

terlibat dalam hal ini, maka tokoh-tokoh adat juga dapat dilibatkan. Sesuai

31

dengan UUPR, pada pasal 55 disebutkan bahwa pengawasan terdiri atas

tindakan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan, yang dilaksanakan oleh

Pemerintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat.

Peran masyarakat itu sendiri dapat dilakukan dengan menyampaikan laporan

dan/atau pengaduan kepada Pemerintah dan pemerintah daerah. Kewenangan

Pemerintah salah satunya dengan mengadakan monitoring dan evaluasi

pelaksanaan program Pembinaan Penataan Ruang. Sistem pengawasan yang

ada perlu diakomodasikan dengan beberapa sistem nilai yang telah

dikembangkan secara tradisional dalam menjaga kelestarian lingkungan dan

sanksi sosial untuk mencegah perusakan lingkungan.

Seperti di Kabupaten Jembrana, Bali terdapat sistem pengawasan sosial

yang dilakukan oleh masing-masing Banjar (pecalang) terhadap kepatuhan

masyarakat kepada ketentuan yang ada. Hal ini dapat misalnya disinergikan

dengan keberadaan PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) yang secara

formal bertugas melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan di bidang tata

ruang. PPNS Penataan Ruang dalam pelaksanaan tugasnya mempunyai tugas

dan fungsi pengawasan dan penegakan delik pidana penataan ruang

sebagaimana diatur dalam UUPR, dan dalam pelaksanaan tugasnya selalu

berkoordinasi dengan Penyidik Polri. Dengan terbentuknya PPNS ini,

penegakan hukum penataan ruang dalam upaya mewujudkan ruang yang

aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan dapat diwujudkan melalui tertib

hukum penataan ruang.

Aspek pengawasan juga mencakup pelarangan perubahan fungsi

bangunan di sekitar kawasan pusaka budaya yang dapat mengganggu karakter

kawasan pusaka cagar budaya, dan kepada pemilik bangunan diberikan

insentif, misalnya dalam bentuk pengurangan atau pembebasan pembayaran

PBB. Sebagai contoh, pengawasan pada bangunan bersejarah dilakukan

dengan memperhatikan faktor-faktor seperti: apakah suatu bangunan telah

melakukan adaptasi fungsi bangunan konservasi/pelestarian dengan fungsi-

fungsi baru yang berorientasi produktif (adaptive uses) dan mampu

menggairahkan apresiasi berbudaya. Pembangunan baru yang adaptif dengan

32

lingkungan, mengikuti kaidah-kaidah konservasi dan sesuai dengan

peraturan/pedoman yang berlaku. Pembangunan yang dilakukan juga harus

senantiasa memperhatikan nilai kearifan lokal, berkelanjutan dan berwawasan

lingkungan. Semua hal tersebut akan terkait sanksi jika ada pelanggaran, oleh

karena itu dibutuhkan pengawasan yang baik dari Pemerintah, pemerintah

daerah maupun peran masyarakat termasuk tokoh-tokoh adat.

4.2 Peran Kearifan Lokal dalam Pembangunan Kota Berkelanjutan

Berbagai permasalahan muncul di era modern kali ini yang membawa

kerusakan pada perkotaan dalam berbagai sektor. Pertama, ketersesakan

ekologi, alih fungsi lahan dan khaostik ruang telah merusak dan mengganggu

keseimbangan lingkungan. Kedua, kepadatan penduduk dan tekanan

demografi telah merusak tatanan sosial. Ketiga, ekonomi konglomerasi yang

kapitalistis telah memperlebar kesenjangan, menjauhkan keadilan, memacu

materialisme dan merapuhkan moral. Keempat, mentalitas SDM yang

cenderung serba instan, eksploitatif telah memacu berbagai distorsi nilai dan

dehumanisasi. Kelima, penerapan otonomi daerah yang cenderung egosentris

telah mendorong fragmentasi, konflik kepentingan dan mencabik keutuhan

Kabupaten Jembrana,Bali sebagai satu kesatuan ekologi, ekonomi dan

budaya. Fenomena dan kecenderungan faktual tersebut, telah mengantarkan

Jembrana ke dalam problematik yang mendasar yaitu kehidupan publik yang

kurang seimbang, tidak utuh, sangat rapuh dan mengancam pembangunan

Kabupaten Jembrana yang berkelanjutan.

Kearifan lokal berperan penting sebagai pengokoh jati diri, penjaga

keseimbangan dan harmoni, konservasi sumber daya dan perlindungan hak-

hak lokal. Dalam literatur kajian budaya, konsep berkelanjutan mencakup

empat aspek pokok yang saling terkait secara komplementer. Keempat aspek

tersebut: (1) aspek ekologis dengan tema kelestarian; (2) aspek ekonomis

dengan tema kesejahteraan dalam keadilan; (3) aspek sosial dengan tema

dinamika dalam integrasi; dan (4) aspek SDM dengan tema kualitas dalam

33

kreasi, inovasi dan integritas. Keempat aspek tersebut dilandasi oleh kearifan

dan etika: etika lingkungan, etika ekonomi, etika sosial dan etika serta

moralitas manusia. Seperti dalam studi kasus di daerah Bali, sesuai dengan

keunikan dan potensi kebudayaan, mengintegrasikan aspek kebudayaan yang

dijiwai agama Hindu sebagai fondasi untuk pembangunan Bali berkelanjutan

khususnya di Kabupaten Jembrana. Dalam kaitan ini, konsep pembangunan

berkelanjutan untuk Bali diharapkan mampu mengokohkan jati diri, landasan

moral-estetika dan wawasan spiritual.

Kearifan lokal merupakan bagian dari kebudayaan tradisional. Sebagai

satu aset warisan budaya, dia hidup dalam domain kognitif, agektif dan

motorik, serta tumbuh menjadi aspirasi dan apresiasi publik. Desakan

modernisme dan globalisasi telah mendorong eksistensi kearifan lokal ke arah

marginal. Dalam perspektif rwa bhineda, kearifan lokal juga mencakup unsur

baik dan buruk. Sangat banyak sisi kebaikannya, namun negatifnya dapat

mengarah ke fanatisme dan chauvimisme sempit. Secara substansif, kearifan

lokal berorientasi pada: (1) keseimbangan dan harmoni manusia, alam dan

budaya; (2) kelestarian dan keragaman alam dan kultur, (3) konservasi

sumber daya alam dan warisan budaya; (4) penghematan sumber daya yang

bernilai ekonomi; (5) moralitas dan spiritualitas. Tema-tema orientasi seperti

itu sangat relevan bagi cita-cita, paradigma dan perencanaan pembangunan

berkelanjutan.

Untuk merealisasikan kearifan lokal dalam pengembangan kota

berkelanjutan diperlukan suatu strategi yang efektif untuk revitalisasi kearifan

lokal adalah melalui penegakan hukum, peningkatan pengetahuan, sosialisasi

dan edukasi di arena keluarga, sekolah dan masyarakat dengan dukungan

multimedia. Komitmen publik sangat diperlukan, termasuk pihak eksekutif,

legislatif dan yudikatif. Namun, yang lebih utama dan terutama adalah

kontribusi kualitas kearifan kita bersama dalam aksi kehidupan sehari-hari

secara nyata, konsisten dan berkelanjutan.

4.3 Payung Hukum Pembangunan Tata Kota berbasis Local Wisdom

34

Kabupaten Jembrana telah memiliki berbagai peraturan daerah yang

menguatkan dan digunakan sebagai payung hukum dalam pembangunan tata

kota. Contohnya dalam IMB atau Izin Membangun Bangunan yang diperkuat

dengan Peraturan Daerah No.3 Tahun 2004 tentang Bangunan. Bangunan

merupakan konstruksi teknik yang dibangun atau diletakkan atau melayang

dalam suatu lingkungan secara tetap sebagian atau seluruhnya pada, diatas

atau dibawah permukaan tanah dan atau perairan yang berupa bangunan

gedung dan atau bukan gedung. Sedangkan mendirikan bangunan merupakan

pekerjaan mengadakan bangunan seluruhnya atau sebagian, termasuk

pekerjaan menggali, menimbun atau meratakan tanah yang berhubungan

dengan pekerjaan mengadakan bangunan itu.

Dalam peraturan daerah tersebut ditetapkan bahwa tinggi setiap

bangunan maksimum 15 m dari permukaan tanah, kecuali bangunan tertentu,

seperti tower, menara, cerobong atau sarana ibadah. Untuk garis sempadan

atau garis khayalan yang ditarik pada jarak tertentu sejajar dengan as jalan

atau pinggir sungai atau as pagar yang merupakan batas antara persil yang

boleh dan tidak boleh dibanguni bangunan terdapat berbagai ketentuan.

Diantarannya adalah :

1. Garis sempadan bangunan pada jalan arteri/jalan nasional minimal 20 m

diukur dari as jalan.

2. Garis sempadan bangunan pada jalan lokal minimal 1 x lebar badan jalan (

daerah manfaat jalan ) diukur dari as jalan.

3. Garis sempadan bangunan pada jalan / gang yang lebar jalannya kurang

dari 2,5 m minimal 1 x lebar jalan / gang diukur dari as jalan / gang.

4. Garis sempadan bangunan terhadap sungai ( sempadan sungai ) :

5. Minimal 10 m dari tepi sungai diluar kawasan perkotaan tidak bertanggul.

6. Minimal 4 m dari tepi sungai dalam kawasan perkotaan tidak bertanggul.

7. Minimal 3 m dari tepi sungai.

8. Garis sempadan pagar depan ( telajakan ) minimal 1,5 m untuk jalan arteri

dan minimal 1 m untuk jalan lokal diukur dari pinggir got.

35

9. Sempadan bangunan dengan pagar batas persil samping dan belakang

minimal 2 m kecuali ada persetujuan dari tetangga yang saling berbatasan

( penyanding ). Pada areal sempadan bangunan / sempadan jalan dapat

dibangun:

Tembok Pagar.

Bale Bengong, Pos Keamanan, Bale Kulkul dan Pemerajan.

Taman, tempat parkir tanpa atap.

Garis Sempadan Pantai ( SK Bupati Nomor 186 Tahun 2002 )

ditetapkan 100 m dari air pasang tertinggi.

Khusus pantai di Jembrana dapat pengecualian dengan pertimbangan

teknis dari instansi terkait dengan memperhatikan daya dukung fisik atau data

lingkungan pantai yang sekurang-kurangnya meliputi :

Tinjauan geologi.

Tinjauan tata lingkungan.

Tinjauan kemungkinan erosi dan abrasi

Tinjauan hidrologi lokal dan regional

Tinjauan rencana pemanfaatan kawasan pantai.

Untuk permasalahan IMB dalam Peraturan Daerah tersebut, IMB hanya

berlaku bagi orang atau badan yang namanya tercantum dalam IMB. Bila

karena sesuatu hal, orang atau badan pemilik IMB tidak lagi menjadi pihak

yang memiliki bangunan dalam IMB tersebut, maka IMB tersebut

dimohonkan balik nama. IMB juga dapat dicabut apabila pemegang IMB

melanggar syarat-syarat yang ditetapkan dalam IMB. Kemudian dalam jangka

waktu 6 (enam) bulan sejak IMB dikeluarkan, pemegang IMB belum

memulai pekerjaan, keterangan yang diberikan oleh pemohon ternyata tidak

benar dan bangunan yang dilaksanakan ternyata tidak sama dengan gambar

pada IMB.Keputusan Pencabutan IMB diberikan secara tertulis kepada

pemegang IMB disertai dengan alasan yang jelas setelah pemegang IMB

36

dipanggil dan didengar keterangannya. IMB yang telah dicabut dapat

dimohon kembali setelah pemegang IMB memenuhi persyaratan.

Keuntungan masyarakat Kabupaten Jembrana yang memiliki IMB

adalah :

1. Bangunan yang di bangun lebih aman, benar dan sesuai dengan rencana

serta perkembangan kota.

2. Membantu pemerintah dalam hal penataan kota / pengendalian

pemanfaatan ruang sesuai RTRW.

3. Memudahkan persetujuan dalam permohonan Izin HO, Izin Usaha, Air

Minum atau sebagai jaminan.

Selain itu terdapat payung hukum yang berhubungan dengan penerapan

local wisdom dan pembangunan berkelanjutan yaitu Undang Undang Nomor

32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Didalam undang undang tersebut dijelaskan bahwa sebenarnya pembangunan

ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan

berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Kabupaten Jembrana telah

menerapkan konsep tersebut dengan mengadakan pembangunan berbasis

local wisdom yang memerhatikan mengenai pengelolaan dan perlindungan

lingkungan hidup.

Diantarannya yang menguatkan bahwa Kabupaten Jembrana merupakan

daerah yang peduli terhadap lingkungan hidup adalah adanya berbagai

instrumen yang digunakan untuk pencegahan pencemaran dan kerusakan

lingkungan hidup dalam pembangunan tata kotanya sesuai dengan UU No.32

tahun 2009, yaitu :

a. KLHS

b. tata ruang;

c. baku mutu lingkungan hidup;

d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;

e. amdal;

f. UKL-UPL;

g. perizinan;

37

h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;

i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;

j. anggaran berbasis lingkungan hidup;

k. analisis risiko lingkungan hidup;

l. audit lingkungan hidup; dan

m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan

ilmu pengetahuan.

5. Kesimpulan

Dimensi Local Wisdom dalam penataan tata ruang kabupaten Jimbaran terdiri

dari beberapa aspek, yaitu aspek pengaturan tata ruang yang terdapat konsep

kearifan lokal Tri Hita Karana yang mengajarkan keseimbangan hubungan

manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan

lingkungannya merupakan warisan adhi luhung yang hingga kini tetap dipegang

teguh masyarakat Bali. Konsep Tri Hita Karana telah mampu memberikan

inspirasi dunia dalam mengelola lingkungan yang berkelanjutan sesuai daya

dukung lingkungan. Pengingkaran konsep Tri Hita Karana dalam pembangunan

akan berdampak negatif bagi daya dukung dan keseimbangan alam. Kedua aspek

pembinaan yang ...... Ketiga aspek pelaksanaan yang ...... Terakhir adalah aspek

pengawasan yaitu

38

DAFTAR PUSTAKA

Bappeda Kabupaten Jembrana, 2012. Profil Kabupaten Jembrana. Bali.

Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Jembrana (2015), Kabupaten Jembrana

Dalam Angka 2015, Katalog BPS: 1102001.5101

Kusuma, P. G., Made, S. dan Nyoman, S. 2012. Pengaruh Perubahan Penguasaan

Lahan Pertanian Terhadap Tingkat Eksistensi Subak di Desa Medewi

Kecamatan Pekutatan Kabupaten Jembrana. Jurusan Pendidikan Geografi

Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja.

Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Jembrana

2012-2032

Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bangunan

Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup

Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Jembrana 2014

Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Wikantiyoso, Respati (ed).2009.Kearifan Lokal dalam Perencanaan dan

Perancangan Kota : Untuk Mewujudkan Arsitektur Kota yang

Berkelanjutan. Group Konservasi Arsitektur & Kota Jurusan Teknik

Arsitektur Universitas Merdeka Malang; Malang

39

40