34
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Era reformasi memberi harapan besar terjadinya pembaharuan dalam penyelenggaraan negara, untuk dapat menghantarkan negara Indonesia menjadi negara konstitusional, negara hukum dan negara demokrasi. Hal ini sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan reformasi yang dikemukakan oleh berbagai komponen masyarakat yang sasaran akhirnya adalah tercapainya tujuan negara dan cita- cita kemerdekaan sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Pada masa reformasi Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) menyadari kelemahan UUD 1945 ditambah dengan tuntutan masyarakat, MPR telah merubah sikap politik mereka sebelumnya yang menyatakan tidak akan mengubah UUD 1945. MPR telah melakukan perubahan terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali dengan beberapa perubahan yang sangat mendasar. Bahkan MPR telah mereduksi kekuasaannya sendiri dan merubah kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara yang sama kedudukannya dengan lembaga negara lainnya. Lembaga negara saat ini adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Lembaga- lembaga negara dimaksud adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ), Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ), Dewan Perwakilan Daerah ( DPD ), Presiden ( termasuk wakil presiden ), Mahkamah Agung ( MA ), 1

Bagian isi tugas uas filsafat hukum

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH.

Era reformasi memberi harapan besar terjadinya

pembaharuan dalam penyelenggaraan negara, untuk dapat

menghantarkan negara Indonesia menjadi negara

konstitusional, negara hukum dan negara demokrasi. Hal ini

sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan reformasi yang

dikemukakan oleh berbagai komponen masyarakat yang sasaran

akhirnya adalah tercapainya tujuan negara dan cita- cita

kemerdekaan sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD

1945. Pada masa reformasi Majelis Permusyawaratan Rakyat

( MPR ) menyadari kelemahan UUD 1945 ditambah dengan

tuntutan masyarakat, MPR telah merubah sikap politik mereka

sebelumnya yang menyatakan tidak akan mengubah UUD 1945.

MPR telah melakukan perubahan terhadap UUD 1945

sebanyak empat kali dengan beberapa perubahan yang sangat

mendasar. Bahkan MPR telah mereduksi kekuasaannya sendiri

dan merubah kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara

menjadi lembaga negara yang sama kedudukannya dengan

lembaga negara lainnya. Lembaga negara saat ini adalah

lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

Lembaga- lembaga negara dimaksud adalah Majelis

Permusyawaratan Rakyat ( MPR ), Dewan Perwakilan Rakyat

( DPR ), Dewan Perwakilan Daerah ( DPD ), Presiden

( termasuk wakil presiden ), Mahkamah Agung ( MA ),

1

Mahkamah Konstitusi ( MK ), Badan Pemeriksa Keuangan

( BPK ), Komisi Yudisial ( KY ).

Memperhatikan tugas dan wewenangnya kedelapan

lembaga- lembaga itu kita dapat membaginya dalam dua

kelompok. Kelompok pertama adalah lembaga- lembaga negara

yang mempunyai tugas dan wewenang mandiri, seperti, MPR,

DPR, DPD, Presiden ( termasuk wakil presiden ), MA, MK, dan

BPK. Dikatakan mandiri, karena tidak mempunyai tugas

pelayanan. Lembaga negara yang pertama ini dapat diberikan

sebutan lembaga negara utama. Hal ini dapat kita ketahui

dalam pasal 24C ayat ( 1 ) Undang- undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Ayat ( 1 ) tersebut

seluruhnya berbunyi sebagai berikut : Hal itu bisa dilihat

dalam ketentuan pasal 24 ayat ( 1 ) huruf C bahwa :

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk

menguji Undang- undang terhadap Undang- undang Dasar,

memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang- undang dasar, memutus

pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang

hasil pemilihan umum

Perubahan pertama, kedua, ketiga, dan keempat dari

UUD 1945 sebagai akibat reformasi telah merubah sistem

ketatanegaraan Indonesia secara mendasar, baik mengenai

sistem pemerintahan, sistem perwakilan dan pelaksanaan

kekuasaan yudisial. Dalam waktu yang relatif singkat

setelah perubahan UUD 1945 telah dilakukan perubahan dalam

2

praktek ketatanegaraan seperti pengisian jabatan presiden

telah dilaksanakan melalui pemilihan langsung, sebagai

perwujudan dari sistem pemerintahan presidensial yang

ditetapkan dalam UUD 1945. Begitu juga sistem perwakilan

UUD 1945 Pasca Amandemen menetapkan sistem bikameral,

melalui pemilihan umum tahun 2004 telah terbentuk lembaga

negara yang baru yaitu DPD sehingga lembaga perwakilan

telah terdiri dari dua kamar yang dikenal dengan DPR dan

DPD.

Walaupun sudah empat kali perubahan dan telah

banyak hal yang telah diubah, tetapi perubahan itu juga

belum memberikan kepuasan dari berbagai kelompok

masyarakat, yang melihat masih banyak juga kelemahan baik

dari segi substansinya maupun dari segi prosedurnya. Salah

satu kelemahan yang sering menjadi topik diskusi adalah

mengenai keberadaan lembaga DPD yang sangat lemah dan jauh

dari konsep bikameral. Dalam pelaksanaan ketatanegaraan

lembaga negara yang mempunyai ruang lingkup kekuasaan

masing- masing ada yang dilaksanakan secara mandiri dan ada

yang dilaksanakan bersama- sama.

Konsep tersebut menunjukan bahwa Indonesia tidak

menganut teori trias politica secara murni dalam arti

pemisahan kekuasaan. Idealnya dengan perubahan UUD 1945

diharapkan penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia akan

lebih baik daripada praktek ketatanegaraan selama

berlakunya UUD 1945, sebelum amandemen, walaupun dalam

beberapa hal masih ditemui kelemahan. Penyelenggaraan

3

negara yang baik disamping ditentukan oleh UUD akan

ditentukan oleh penyelenggaraannya, dalam hal ini hubungan

lembaga negara yang melaksanakan kekuasaannya masing-

masing. Penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan yang

betul- betul sesuai dan berdasarkan pada UUD ( Konstitusi )

akan melahirkan negara konsitusional.

1.1. Konsep Lembaga Negara.

Lembaga- lembaga permanent biasanya ditentukan

dalam kerangka suatu negara, berupa konstitusi. Dalam teori

konstitusi ada pendapat pakar dibidang tersebut, Menurut

Jimly Asshiddiqie,1 UUD 1945 pasca perubahan resmi menganut

pemisahan kekuasaan dengan mengembangkan mekanisme checks

and balances yang lebih fungsional. Dengan konsep pemisahan

kekuasaan tersebut, format kelembagaan negara Republik

Indonesia meliputi :

1. MPR ( Majelis Permusyawaratan Rakyat. )

2. DPR ( Dewan Perwakilan Rakyat )

3. DPD ( Dewan Perwakilan Daerah ) sebagai parlemen

Indonesia.

Mahkamah Konstitusi ( MK ) dan Mahkamah Agung ( MA )

sebagai pemegang kekuasaan kehakiman, presiden dan wakil

presiden sebagai kepala pemerintahan eksekutif. Adapun

keberadaan BPK dan Komisi Yudisial dapat dikatakan tidak

berdiri sendiri. Keberadaan masing- masing beserta tugas-

tugas dan kewenangannya haruslah dikaitkan dan terkait

dengan tugas- tugas dan kewenangan lembaga yang menjadi1. Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Pre, Yogyakarta, 2004 hal 34.

4

mitra kerjanya, yaitu BPK terkait dengan DPR dan DPD,

sedangkan komisi yudisial dengan Mahkamah Agung ( MA ).

Selain lembaga- lembaga negara tersebut, bentuk

keorganisasian negara modern dewasa ini juga mengalami

perkembangan yang pesat. Ada dua tingkatan, pertama

Tentara, Organisasi Kepolisian dan Kejaksaan Agung, serta

Bank Sentral. Sedangkan pada tingkatan kedua ada Komnas

HAM, KPU, Komisi Ombudsman, KPPU, KPK, KKR, dan KPI.

Lembaga- lembaga ini digolongkan dalam Badan- badan

eksekutif yang bersifat Independen.

Komisi atau lembaga semacam ini selalu diidealkan

bersifat independen sering kali memiliki fungsi yang campur

sari, yaitu semi legislatif dan regulatif, semi

administratif, dan bahkan semi yudikatif. Dalam kaitannya

dengan hal ini terdapat istilah Independent Self Regulatory

Bodies yang juga dikembangkan dibanyak negara. Di Amerika

serikat lembaga seperti ini tercatat lebih dari 30-an

jumlahnya dan pada umumnya jalur pertanggung jawabannya

secara fungsional dikaitkan dengan kongres Amerika Serikat.

B. RUMUSAN MASALAH.

Adapun rumusan masalah yang timbul dalam penulisan ini

adalah :

5

1. Bagaimana hubungan antar lembaga negara di bidang

perundang- undangan berdasarkan Undang- undang

dasar 1945 pasca Amandemen?

2. Bagaimana hubungan lembaga negara di bidang

yudisial berdasarkan Undang- undang dasar 1945

pasca Amandemen?

C. TUJUAN PENELITIAN.

Tujuan penulisan merupakan hal terpenting dalam

penulisan karya ilmiah, guna lebih memperjelas permasalahan

yang dibahas. Tujuan penulisan sebagaimana dimaksud terdiri

dari tujuan umum dan tujuan khusus.

1.1. Tujuan Umum.

Untuk mengetahui lembaga negara dalam sistem

ketatanegaraan yang merupakan lembaga

pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat

yang fungsi, tugas dan kewenangannya diatur

secara tegas dalam UUD 1945. UUD 1945

mengejewantahkan prinsip kedaulatan yang

tercermin di dalam pengaturan penyelenggaraan

negara.

1.2. Tujuan Khusus.

Untuk mengetahui bagaimana hubungan dalam

kewenangan yang dimiliki masing masing antara

lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara

dalam kedudukannya sebagai legislatif,

eksekutif, dan yudikatif serta format

6

kelembagaannya di dalam kewenangan serta peran

dan tugas dari masing- masing lembaga negara.

D. MANFAAT PENELITIAN.

Manfaat penelitian yakni untuk mengetahui konsep

pemisahan kekuasaan antar lembaga negara berdasarkan trias

politica yang menjadi poros acuan, sehingga kekuasaan

legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus selalu ada dalam

sebuah negara demokrasi modern. Disamping itu juga

penelitian ini bermanfaat mengatahui hubungan , wewenang,

dan peran tugas dari masing- masing lembaga negara pasca

Amandemen Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

E. METODE PENELITIAN.

1.1. Jenis Penelitian.

Penelitian yang dilakukan dalam kaitannya dengan

penulisan karya tulis ini merupakan jenis penelitian

hukum normatif, yaitu penelitian hukum kepustakaan

atau penelitian hukum dan yang didasarkan pada data

sekunder.2

1.2. Jenis Pendekatan.

Pendekatan masalah dilakukan secara yuridis normatif

yaitu : jenis pendekatan yang dilakukan berdasarkan

2. Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, 1985, Hal. 15.

7

Perundang- undangan dan pendekatan dilakukan

berdasarkan sejarah yang kemudian dianalisis serta

dikaji dengan mengacu pada asas hukum dan doktrin dari

para pakar bidang dan para sarjana.

1.3. Sumber Data.

Data yang dipergunakan dalam penulisan karya tulis ini

bersumber pada data sekunder yang diperoleh melalui

penelitian kepustakaan ( Library Research ) data

sekunder terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer, yang berupa peraturan

Perundang- undangan yang berhubungan dengan

permasalahan penelitian, yaitu Undang- undang

Dasar 1945, dan Konvensi ketatanegaraan.

b. Bahan Hukum Sekunder, yang terdiri dari Buku buku

hukum, jurnal jurnal legislasi Indonesia, karya

tulis hukum dan pandangan para ahli hukum.

1.4. Teknik Pengumpulan Data.

Dalam pengumpulan data untuk penelitian karya tulis

ini dipergunakan teknik dokumenter, yaitu dengan

mengutip, mencatat, serta menelaah dari bahan- bahan

kepustakaan atau dokumen yang ada dan relevan dengan

permasalahan penelitian.

1.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data.

Dari data yang berhasil dikumpulkan, kemudian diolah

dan dianalisa secara kualitatif dengan menggunakan

teknik interpretasi, evaluasi, argumentasi dan

sistematisasi, setelah melalui proses pengolahan dan

8

analisas kemudian data tersebut disajikan secara

deskriptif analisis.

BAB II

LEMBAGA NEGARA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN.

Lembaga negara merupakan lembaga pemerintah negara

yang berkedudukan dipusat yang fungsi, tugas, dan

kewenangannya diatur secara tegas dalam Undang Undang

Dasar. Secara keseluruhan UUD 1945 sebelum perubahan

mengenal enam lembaga tinggi/ tertinggi negara, yaitu MPR

sebagai lembaga tertinggi negara, DPR, Presiden, MA, BPK,

dan DPA sebagai lembaga tinggi negara. Namun setelah

perubahan lembaga negara berdasarkan ketentuan UUD adalah

MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK dan KY tanpa mengenal

istilah lembaga tinggi atau tertinggi negara.

UUD 1945 mengejawantahkan prinsip kedaulatan yang

tercermin dalam pengaturan penyelenggaraan negara. UUD 1945

memuat peraturan kedaulatan hukum, rakyat, dan negara

karena didalamnya mengatur tentang pembagian kekuasaan yang

berdasarkan pada hukum, proses penyelenggaraan kedaulatan

rakyat, dan hubungan antar Negara Republik Indonesia dengan

negara luar dalam konteks hubungan internasional. Untuk

mengetahui bagaimana proses penyelenggaraan negara menurut

UUD, maka prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan perlu

dicermati karena sangat mempengaruhi hubungan dan mekanisme

kelembagaan antar lembaga negara. Dengan penegasan prinsip

tersebut, sekaligus untuk menunjukan ciri

9

konstitusionalisme yang berlaku dengan maksud untuk

menghindari adanya kesewenang- wenangan kekuasaan.

Adanya pergeseran prinsip pembagian kepemisahan

kekuasaan yang dianut dalam UUD 1945 telah membawa

implikasi pada pergeseran kedudukan dan hubungan tata kerja

antar lembaga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan

negara, baik dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan

yudikatif. Perubahan prinsip yang mendasari bangunan

pemisah kekuasaan antar lembaga negara adalah adanya

pergeseran kedudukan lembaga pemegang kedaulatan rakyat

yang semula ditangan MPR dirubah menjadi dilaksanakan

menurut UUD.

Dengan perubahan tersebut, jelas bahwa UUD yang

menjadi pemegang kedaulatan rakyat dalam prakteknya

dibagikan pada lembaga- lembaga dengan pemisahan kekuasaan

yang jelas dan tegas. Dibidang legislatif terdapat DPR dan

DPD, di bidang eksekutif terdapat Presiden dan wakil

presiden yang dipilih oleh rakyat, di bidang yudikatif

terdapat Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi

Yudisial, di bidang pengawasan ada BPK. Namun demikian,

dalam pembagian kekuasaan antar lembaga negara terdapat

kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara yang

mencerminkan adanya kesamaan tujuan dalam penyelenggaraan

negara.

A. Majelis Permusyawaratan Rakyat.

10

Sebelum perubahan UUD 1945, kedaulatan berada

ditangan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh majelis

permusyawaratan rakyat. MPR memiliki tugas dan wewenang

yang sangat besar dalam praktek penyelenggaraan negara,

dengan kewenangan dan posisi yang demikian penting, MPR

disebut sebagai Lembaga Tinggi Negara, yang juga berwenang

mengeluarkan ketetapan- ketetapan yang hirarki hukumnya

berada dibawah Undang- Undang Dasar dan diatas Undang-

undang.

Sebelum perubahan UUD 1945 kedaulatan rakyat tidak

lagi dilaksanakan oleh MPR, tetapi dilaksanakan menurut

Undang- undang Dasar. Dengan demikian, kedaulatan

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Dasar

dan di kejawantahkan oleh semua lembaga negara yang

disebutkan di dalam Undang- undang Dasar sesuai dengan

tugas dan wewenang masing- masing. Dengan perubahan tugas

dan fungsi MPR dalam sistem ketatanegaraan, saat ini, semua

lembaga negara memiliki kedudukan yang setara dan saling

mengimbangi.

Saat ini, MPR terdiri dari anggota DPR dan Anggota

DPD yang semuanya dipilih oleh rakyat dalam pemilu, bukan

lembaga DPR dan lembaga DPD. Komposisi keanggotaan tersebut

sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan yaitu perwakilan

atas dasar pemilihan ( Representation by Election ). Dengan

ketentuan baru ini secara teoritis berarti terjadi

perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan, yaitu

dari sistem yang vertikal hirarkis dengan prinsip supremasi

11

MPR menjadi sistem yang horisontal fungsional dengan

prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi antar

lembaga negara.

MPR tidak lagi menetapkan Garis- garis Besar Haluan

Negara, baik yang berbentuk GBHN maupun berupa peraturan

perundang- undangan, serta tidak lagi memilih dan

mengangkat presiden dan wakil presiden. Hal ini berkaitan

dengan perubahan UUD 1945 yang menganut sistem pemilihan

presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat

yang memiliki program yang ditawarkan langsung kepada

rakyat. Jika calon presiden dan wakil presiden itu menang

maka program itu menjadi program pemerintah selama lima

tahun. Berkaitan dengan hal itu, wewenang MPR adalah

melantik presiden dan wakil presiden yang dipilih secara

langsung oleh rakyat. Dalam hal ini MPR tidak boleh tidak

melantik presiden dan atau wakil presiden yang sudah

terpilih.

Wewenang MPR berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 8 ayat ( 2 ) dan

ayat ( 3 ) UUD Tahun 1945 adalah :

1. Mengubah dan menetapkan Undang- Undang Dasar.

2. Melantik Presiden dan atau Wakil Presiden.

3. Memberhentikan dan atau wakil presiden dalam masa

jabatannya menurut Undang- undang Dasar.

4. Memilih wakil presiden dari dua calon yang diusulkan

oleh presiden apabila terjadi kekosongan jabatan wakil

presiden dalam masa jabatannya.

12

5. Memilih presiden dan wakil presiden apabila keduanya

berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari

dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden

yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan

partai politik yang pasangan calon presiden dan calon

wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan

kedua dalam pemilihan umum sebelumnya sampai berakhir

masa jabatannya.

B. Dewan Perwakilan Rakyat.

Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga negara

yang memegang kekuasaan legislatif sebagaimana tercantum

pada pasal 20 ayat ( 1 ) UUD 1945. Dalam UUD 1945 secara

eksplisit dirumuskan tugas, fungsi, hak, dan wewenang DPR

yang menjadi pedoman dalam pola penyelenggaraan negara.

Anggota DPR dipilih melalui Pemilihan Umum. Ketentuan

tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan asas kedaulatan

rakyat yang secara implisit menjiwai Pembukaan UUD 1945,

dengan demikian tidak ada lagi anggota DPR yang diangkat.

Hal itu sesuai dengan paham demokrasi perwakilan yang

berdasarkan keberadaannya pada prinsip perwakilan atas

dasar pemilihan ( Representation by Election ). Melalui

rekruitmen anggota DPR dalam pemilu, diharapkan demokrasi

semakin berkembang dan legitimasi DPR makin kuat.

Dengan pengaturan secara eksplisit dalam UUD 1945

bahwa DPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan legislatif

akan lebih memberdayakan DPR dan mengubah peranan DPR yang

13

sebelumnya hanya bertugas membahas dan memberikan

persetujuan terhadap rancangan Undang- undang yang dibuat

oleh Presiden ( kekuasaan eksekutif ). Pergeseran

kewenangan membentuk Undang- undang, yang sebelumnya

ditangan presiden dialihkan kepada DPR, merupakan langkah

konstitusional untuk meletakkan secara tepat fungsi lembaga

negara sesuai dengan bidang tugasnya masing- masing, yakni

DPR sebagai lembaga pembentuk Undang- undang ( kekuasaan

legislatif ) dan presiden sebagai lembaga pelaksana Undang-

undang ( kekuasaan eksekutif ). Namun, UUD 1945 juga

mengatur kekuasaan presiden di bidang legislatif, antara

lain ketentuan bahwa pembahasan setiap rancangan undang-

undang ( RUU ) oleh DPR dilakukan secara bersama- sama

dengan presiden.

Dengan pergeseran kewenangan membentuk Undang-

undang itu, sesungguhnya ditinggalkan pula teori pembagian

kekuasaan ( Distribution Of Power ) dengan prinsip

supremasi MPR menjadi pemisahan kekuasaan ( Separation Of

Power ) dengan prinsip saling mengawasi dan saling

mengimbangi sebagai ciri yang melekat. Hal itu juga

merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk

memperkuat sistem presidensial.

C. Dewan Perwakilan Daerah.

Perubahan UUD 1945 melahirkan sebuah lembaga baru

dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yakni Dewan

Perwakilan Daerah ( DPD ). Dengan kehadiran DPD dalam

14

sistem perwakilan Indonesia DPR didukung dan diperkuat oleh

DPD. DPR merupakan lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi

dan paham politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan,

sedangkan DPD merupakan lembaga perwakilan penyalur

keanekaragaman aspirasi daerah. Keberadaan lembaga DPD

merupakan upaya penampung prinsip perwakilan daerah. Sistem

perwakilan yang dianut Indonesia merupakan sistem yang khas

Indonesia karena dibentuk sebagai perwujudan kebutuhan,

kepentingan, serta tantangan bangsa dan negara Indonesia.

Ketentuan UUD 1945 yang mengatur keberadaan DPD

dalam struktur ketatanegaraan Indonesia itu antara lain

dimaksudkan untuk :

1. Memperkuat ikatan daerah- daerah dalam wadah

Negara Kesatuan Republik Indonesia dan

memperteguh persatuan kebangsaan seluruh

Indonesia.

2. Meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan

kepentingan daerah- daerah dalam perumusan

kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan

daerah.

3. Mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan

kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.

Dengan demikian, keberadaan daerah sebagaimana

dimaksud dalam pasal 18 ayat ( 1 ) dan otonomi daerah

sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat ( 5 ) berjalan

sesuai dengan keberagaman daerah dalam rangka kemajuan

bangsa dan negara. DPD memiliki fungsi yang terbatas

15

dibidang legislasi, anggaran, pengawasan, dan pertimbangan.

Fungsi DPD berkaitan erat dengan sistem saling mengawasi

dan saling mengimbangi dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia.

D. Presiden.

Perubahan UUD 1945 yang cukup signifikan dan

mendasar bagi penyelenggaraan demokrasi yaitu pemilihan

presiden secara langsung. Presiden dan wakil presiden

dipilih secara langsung oleh rakyat melalui mekanisme

pemilu. Pemilihan secara langsung presiden dan wakil

presiden akan memperkuat legitimasi seorang presiden

sehingga presiden diharapkan tidak mudah untuk

diberhentikan ditengah jalan tanpa dasar memadai, yang bisa

mempengaruhi stabilitas politik dan pemerintahan secara

aktual. Presiden merupakan lembaga negara yang memegang

kekuasaan dibidang eksekutif. Seiring dengan perubahan UUD

1945, saat ini kewenangan presiden diteguhkan hanya sebatas

pada bidang kekuasaan dibidang pelaksanaan pemerintahan

negara. Namun demikian, dalam UUD 1945 juga diatur mengenai

ketentuan bahwa presiden juga menjalankan fungsi yang

berkaitan dengan bidang legislatif maupun bidang yudikatif.

Berdasarkan ketentuan Undang- undang Dasar, presiden

haruslah warga negara Indonesia yang sejak kelahirannya dan

tidak pernah menerima kewarganegaraan lain. Perubahan

ketentuan mengenai persyaratan calon presiden dan calon

wakil presiden dimaksud untuk mengakomodasi perkembangan

16

kebutuhan bangsa dan tuntutan jaman serta agar sesuai

dengan perkembangan masyarakat yang makin demokratis,

egaliter, dan berdasarkan rule of law yang salah satu

cirinya adalah pengakuan kesederajatan didepan hukum bagi

setiap warga negara. Hal ini juga konsisten dengan paham

kebangsaan Indonesia yang berdasarkan kebersamaan dengan

tidak membedakan warga negara atas dasar keturunan, ras,

dan agama. Kecuali itu, dalam perubahan ini juga terkandung

kemauan politik untuk lebih memantapkan ikatan kebangsaan

Indonesia.

E. Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi

Yudisial.

Kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia bertujuan untuk menyelenggarakan peradilan yang

merdeka, bebas dari intervensi pihak manapun, guna

menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan

yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah

mahkamah konstitusi.

Perubahan ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman

dalam UUD 1945 dimaksudkan untuk mempertegas bahwa tugas

kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia

adalah untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas

dari intervensi pihak manapun guna menegakkan hukum dan

17

keadilan. Ketentuan ini merupakan perwujudan prinsip

Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam

pasal 1 ayat ( 3 ). Dalam UUD 1945 pasal 24 ayat ( 3 )

dikatakan bahwa badan- badan lain yang fungsinya berkaitan

dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang- undang.

Ketentuan tersebut menjadi dasar hukum keberadaan berbagai

badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman,

antara lain lembaga penyidik dan lembaga penuntut.

Pengaturan dalam Undang- undang mengenai badan lain

yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman membuka

partisipasi rakyat melalui wakil- wakilnya di DPR untuk

memperjuangkan agar aspirasi dan kepentingannnya

diakomodasi dalam pembentukan Undang- undang tersebut.

Adanya ketentuan pengaturan dalam Undang- undang tersebut

merupakan salah satu wujud saling mengawasi dan saling

mengimbangi antara kekuasaan yudikatif MA dan badan

peradilan dibawahnya serta MK dengan kekuasaan legislatif

DPR dan dengan kekuasaan eksekutif lembaga penyidik dan

lembaga penuntut. Selain itu, ketentuan itu dimaksudnya

untuk mewujudkan sistem peradilan terpadu ( Integrated

Judiciary System ) di Indonesia. Pencantuman pasal 24 ayat

3 diatas juga untuk mengantisipasi perkembangan yang

terjadi pada masa yang akan datang, misalnya, kalau ada

perkembangan badan- badan peradilan lain yang tidak

termasuk dalam kategori keempat lingkungan peradilan yang

sudah ada diatur dalam undang- undang.

1. Mahkamah Agung.

18

Perubahan ketentuan yang mengatur tentang tugas dan

wewenang mahkamah agung dalam undang- undang dasar

dilakukan atas pertimbangan untuk memberikan jaminan

konstitusional yang lebih kuat terhadap kewenangan dan

kinerja MA. Sesuai dengan pasal 24A ayat ( 1 ), MA

mempunyai wewenang :

- Mengadili pada tingkat kasasi

- Menguji peraturan perundang- undangan dibawah undang-

undang terhadap undang- undang.

- Wewenang lainnya yang diberikan oleh undang- undang.

2. Mahkamah Konstitusi.

Perubahan UUD 1945 juga melahirkan sebuah negara baru

dibidang kekuasaan kehakiman sesuai dengan pasal 24C ayat

( 1 ), yaitu mahkamah konstitusi dengan wewenang sebagai

berikut :

- Menguji undang- undang terhadap undang- undang dasar.

- Memutuska sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh undang- undang dasar.

- Memutus pembubaran partai politik.

- Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Lembaga ini merupakan bagian kekuasaan kehakiman yang

mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan

konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas

dan kewenangannya yang ditentukan dalam UUD 1945.

Pembentukan mahkamah konstitusi adalah sejalan dengan

dianutnya paham negara hukum dalam UUD 1945. Dalam negara

hukum harus dijaga paham konstitusional. Artinya, tidak

19

boleh ada undang- undang dan peraturan perundang-

undangan lainnya yang bertentangan dengan undang- undang

dasar sebagai puncak dalam tata urutan peraturan

perundang- undangan di Indonesia. Pengujian undang-

undang terhadap UUD 1945 membutuhkan sebuah mahkamah

dalam rangka menjaga prinsip konstitusionalitas hukum.

3. Komisi Yudisial.

Untuk menjaga dan meningkatkan integritas hakim agung,

dalam undang- undang dasar dibentuk lembaga baru yaitu

komisi yudisial. Melalui lembaga komisi yudisial ini,

diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai

dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan

penegakan hukum dan pencapaian keadilan yang diputus oleh

hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat

serta perilakunya. Wewenang komisi yudisial menurut

ketentuan UUD adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung

dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan

menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perlaku

hakim. Dalam proses rekruitmen hakim agung, calon hakim

agung diusulkan komisi yudisial kepada DPR untuk mendapat

persetujuan dan untuk selanjutnya ditetapkan sebagai

hakim agung oleh presiden.

Pasal 24B UUD 1945 menyebutkan komisi yudisial merupakan

lembaga negara yang bersifat mandiri dan berwenang

mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai

wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan

kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

20

Dengan demikian komisi yudisial memiliki dua kewenangan,

yaitu : mengusulkan pengangkatan calon hakim agung di

mahkamah agung dan menegakkan kehormatan dan keruhuran

martabat serta menjaga martabat dan perilaku hakim di

mahkamah konstitusi.

Anggota komisi yudisial berdasarkan ketentuan undang-

undang berjumlah 7 ( tujuh ) orang dan berstatus sebagai

pejabat negara yang terdiri atas mantan hakim, praktisi

hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat.

Keanggotaan komisi yudisial diajukan presiden kepada DPR,

dengan terlebih dahulu presiden membantu panitia seleksi

yang terdiri dari unsur pemerintah, praktisi hukum,

akademisi hukum, dan anggota masyarakat.

Komisi ini dibentuk atas respon terhadap upaya penegakan

dan reformasi di institusi peradilan yang selama ini

dianggap kurang memuaskan. Selain itu untuk

meminimalisasi interes politik dari angggota DPR di dalam

memilih dan menentukan hakim agung di mahkamah agung. MA

adalah institusi peradilan yang independen dan seharusnya

terlepas dari campur tangan, obyektif, dan dapat

dipertanggungjawabkan. Komisi yudisial juga dibentuk

untuk memberikan pengawasan terhadap perilaku hakim.

Pengawasan dilakukan secara internal, peradilan terhadap

para hakim yang apabila terbukti kurang efektif dapat

dilakukan penindakan secara tegas terhadap hakim yang

melakukan pelanggaran.

21

F. Badan Pemeriksa Keuangan.

Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) merupakan lembaga

negara yang memegang kekuasaan dalam bidang auditor.

Pengaturan tugas dan wewenang BPK dalam undang- undang

dasar dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum yang kuat

serta pengaturan rinci mengenai BPK yang bebas dan mandiri

serta sebagai lembaga negara yang berfungsi memeriksa

pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dalam

rangka memperkuat kedudukan, kewenangan, dan

independensinya sebagai lembaga negara, angggotanya dipilih

oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

Dalam kedudukannya sebagai eksternal auditor

pemerintah yang memeriksa keuangan negara dan APBD, serta

untuk dapat menjangkau pemeriksaan di daerah, BPK membuka

kantor perwakilan disetiap propinsi. BPK mempunyai tugas

memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan

negara. Hasil pemeriksaan keuangan negaradiserahkan kepada

DPR, dan DPRD sesuai dengan kewenangan. Hasil pemeriksaan

tersebut ditindaklanjuti lembaga perwakilan dan atau badan

sesuai dengan undang- undang. Mengingat BPK sebagai lembaga

negara dalam bidang auditor, untuk optimalisasi dan

independensi dalam rangka melaksanakan tugasnya, anggota

BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD

dan diresmikan oleh presiden, BPK berkedudukan di ibukota

negara dan memiliki perwakilan disetiap propinsi terkait

dengan pemeriksaan keuangan negara, BPK ditegaskan juga

berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang

22

keuangan negara ( pasal 23E ayat 1) serta menyerahkan

hasil pemeriksaan keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD

sesuai dengan kewenangannya ( Pasal 23E ayat 2 ).

BAB III

SISTEM KELEMBAGAAN

A. Hubungan antar Lembaga Negara di Bidang Perundang-

undangan.

UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, tidak

menganut ajaran trias politika, dalam arti pemisahan

kekuasaan ( separation of power ) melainkan dalam arti

pembagian kekuasaan ( distribution of power ) antara

kekuasaan badan eksekutif dengan badan legislatif. Pada

dasarnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pacsa

Amandemen UUD 1945, ada 3 ( tiga ) lembaga yang mempunyai

kewenangan di bidang legislasi, yaitu DPR, Presiden dan

DPD.

Pengaturan dalam UUD Negara RI Tahun 1945 ( sebelum

amandemen ) memang menegaskan bahwa kekuasaan membentuk

Undang- undang berada pada presiden. Hal ini dapat dilihat

pada pasal 5 ayat 1, seperti yang dijelaskan sebagai

berikut : presiden memegang kekuasaan membentuk undang-

undang dengan persetujuan DPR. Tetapi dalam pasal 21 ayat 1

23

UUD 1945 ( sebelum amandemen ), juga dijelaskan sebagai

berikut anggota- anggota dewan perwakilan rakyat berhak

mengajukan rancangan undang- undang.

Dari ketentuan dua pasal ini, jelas terlihat bahwa

kekuasaan membentuk undang- undang jelas pada presiden, DPR

hanya pada batas memberikan persetujuan. Namun, anggota DPR

dapat mengajukan undang- undang pada presiden. Berbeda

setelah Amandemen UUD Negara RI tahun 1945, kekuasaan

membentuk undang- undang sudah berada di tangan DPR.

Presiden diberikan hak mengajukan rancangan undang- undang

kepada DPR. Pengaturan semacam ini dapat dilihat dalam

pasal 20 ayat ( 1 ) seperti ditegaskan sebagai berikut :

DPR memegang kekuasaan membentuk Undang- undang. Sedangkan

pasal 5 ayat 1 juga dijelaskan : presiden berhak mengajukan

rancangan undang- undang kepada DPR.

Berdasarkan pada ketentuan pasal ini jelas

tergambar bahwa telah terjadi pergeseran kekuasaan

membentuk Undang- undang yang semula berada ditangan

presiden beralih ke DPR. Dengan demikian, benar apa yang

dikatakan Jimly Asshiddiqie, amandemen UUD Negara RI tahun

1945 telah terjadi pergeseran kekuasaan membentuk undang-

undang dari presiden kepada DPR. Akan tetapi pergeseran

menurut Jimly Asshiddiqie, sebenarnya mengembalikan

kekuasaan legislatif pada abad ke-19. Karena pada abad ini,

kekuasaan legislatif ( DPR ) sangat dominan. Penonjolan ini

sebagai perwujudan dari meningkatnya aspirasi rakyat atas

dominasi raja- raja tirani pada waktu itu. Secara teoritis

24

kekuasaan membentuk undang- undang itu berada di DPR. Hal

ini, bukan berarti menghilangkan sama sekali kekuasaan

presiden dalam pembentukan undang- undang. Presiden dapat

memberikan masukan- masukan dan pertimbangan dalam

pembahasan rancangan undang- undang. Namun demikian supaya

tidak terjadi kekuasaan mutlak DPR dalam pembentukan

undang- undang, maka presiden mesti diberikan hak veto,

terhadap undang- undang yang telah disetujui oleh DPR.

Ketentuan semacam ini dapat dipahami, presidenlah

yang akan menjalankan undang- undang tesebut. Seperti yang

dikatakan Strong, kewenangan eksekutif hanya berkenaan

dengan merencanakan undang- undang dan membahasnya bersama

badan perwakilan rakyat sampai menjadi undang- undang.

B. Hubungan Antar Lembaga Negara di Bidang Yudisial.

Sejak gerbang reformasi dibuka secara besar-

besaran tahun 1998 yang lalu, paradigm peradilan satu atap

di bawah Mahkamah Agung semakin menguat. Aspirasi- aspirasi

pun mulai bermunculan dengan berkembang ditengah

masyarakat. Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) sebagai

lembaga tertinggi negara pasal 1 ayat ( 2 ) ( sebelum

amandemen UUD 1945 ) yang melaksanakan kedaulatan rakyat,

segera menangkap dan menindaklanjuti aspirasi- aspirasi

tersebut. Tindakan mereka tercermin melalui ditetapkannya

TAP MPR Nomor : X/ MPR/ 1998 Tentnga pokok- pokok Reformasi

pembangunan dalam rangka penyelamatan normalisasi kehidupan

nasional sebagai Haluan Negara, yang diberi judul Hukum

25

ditegaskan perlunya reformasi di segala bidang hukum untuk

mendukung penanggulangan krisis antara fungsi eksekutif dan

kekuasaan fungsi yudisial.

Dalam lingkungan MA terdapat empat lingkungan

peradilan yaitu : Peradilan Umum, Peradilan Agama,

Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer. Karena

latar belakang sejarahnya maka administrasi lingkungan

peradilan agama berada di bawah Departemen Agama, dan

administrasi peradilan militer dibawah pengendalian

organisasi Tentara. Namun demikian sejalan dengan semangat

reformasi, dengan diundangkannya UU Nomor : 4 Tahun 2004

Tentang Kekuasaan Kehakiman menempatkan keberadaan keempat

lingkungan peradilan itu secara organisasi, administrasi

dan finansial di bawah Mahkamah Agung. Hal ini diangggap

penting dalam rangka perwujudan kekuasaan kehakiman yang

menjamin tegaknya negara hukum yang didukung oleh kekuasaan

kehakiman yang independen dan impartial.

Berkenaan dengan kewenangannya, Mahkamah Agung

dalam arti luas sebenarnya memiliki kewenangan untuk

memeriksa dan memutus :

- Permohonan Kasasi.

- Sengketa kewenangan mengadili ( kompetensi

pengadilan )

- Permohonan Peninjauan Kembali ( PK ) putusan yang

memperoleh kekuatan hukum tetap.

- Permohonan pengujian peraturan perundang- undangan

( yudicial review )

26

Disamping itu, dapat pula diatur mengenai

kewenangan MA untuk memberikan pendapat hukum atas

permintaan presiden atau lembaga tinggi negara lainnya. Hal

ini dianggap perlu, agar MA benar- benar dapat berfungsi

sebagai rumah keadilan bagi siapa saja dan lembaga yang

memerlukan pendapat hukum mengenai suatu masalah yang

dihadapi. Dalam perumusan pasal 24A ayat ( 1 ) UUD 1945

dinyatakan MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi,

menguji peraturan perundang- undangan dibawah undang-

undang terhadap Undang- Undang Dasar dan mempunyai wewenang

lainnya yang dapat diberikan oleh undang undang.

Secara lebih rinci dapat diuraikan bahwa MA sebagai

Lembaga Tinggi Negara yang melaksanakan Kekuasaan Kehakiman

dan merupakan Pengadilan Negara tertinggi mempunyai fungsi-

fungsi sebagai berikut :

- Fungsi bidang peradilan.

- Fungsi bidang pengawasan.

- Fungsi bidang pemberian nasehat.

- Fungsi bidang pengaturan.

- Fungsi bidang administrasi.

- Fungsi bidang tugas dan kewenangan lainnya.

Disamping MA, pemegang kekuasaan yudisial lainnya

adalah Mahkamah Konstitusi ( MK ). Masing- masing lembaga

punya bidang kekuasaan kehakiman yang berbeda, MA dalam

peradilan umum ( Justice Of Court ) sedangkan MK dalam

peradilan konstitusi ( Constitusional Of Court ). Mahkamah

Konstitusi sebagai The Gurdian Of Constitution mempunyai

27

lima kewenangan yang telah ditentukan dalam pasal 24C ayat

( 1 ) dan ayat ( 2 ) yaitu :

- Menguji ( Yudisial Review ) Undang- undang terhadap

UUD.

- Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh UUD.

- Memutus pembubaran parpol.

- Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

- Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai

dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil

Presiden menurut UUD.

Dengan demikian ada empat kewenangan MK dan satu

kewajiban konstitusional bagi MK yaitu wajib memberikan

putusan atas pendapat DPR mengenai pelanggaran UUD 1945

oleh Presiden dan atau Wakil Presiden. Pengadilan yang

dilakukan oleh MK merupakan pengadilan tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final. Menurut Jimly

Asshiddiqie bahwa MA merupakan puncak perjuangan keadilan

bagi setiap warga negara. Hakikat dan fungsinya berbeda

dengan MK yang tidak berhubungan dengan tuntutan keadilan

bagi warga negara, melainkan dengan sistem hukum yang

berdasarkan konstitusi.

Merujuk hal diatas MA tidak bisa dipisahka dengan

MK dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, walau punya

kompetensi dan yurisdiksi masing- masing. Ketimpangan

disebabkan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman tidak

berjalan dengan baik, secara tidak langsung akan berdampak

28

pada lembaga lainnya. Untuk itu sebagai pemegang kekuasaan

kehakiman di Republik ini, secara kelembagaan MA dan MK

mempunyai keterkaitan dalam menjalankan amanat konstitusi.

Hubungan kewenangan lainnya antara MA dengan MK adalah

dalam hal, jika ada yudisial review peraturan perundang-

undangan dibawah undang- undang diajukan oleh masyarakat

dan atau lembaga negara kepada MA, sedangkan di waktu

bersamaan undang- undang yang menjadi paying hukum

( umbrella act ) peraturan perundang- undangan tersebut

masih atau sedang dalam proses uji materiil di MK maka MA

untuk sementara waktu harus menghentikan proses uji

materiil tersebut sampai adanya putusan dari MK.

Dalam UUD 1945 pasal 24 ayat ( 1 ) jelas dinyatakan

bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan merdeka,

yaitu menghendaki kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan

bebas dari campur tangan pihak manapun. Namun penegasan

yang dinyatakan dalam UUD 1945 tidaklah berarti menutup

sama sekali hubungan MA secara kelembagaan dengan lembaga

negara lainnya terutama Presiden. Kemerdekaan yang dimaksud

hanya dalam wilayah yudisial, tapi dalam kerangka bernegara

maka MA tidak bisa berjalan sendiri tanpa didampingi oleh

kekuasaan lainnya yaitu kekuasaan legislatif dan eksekutif.

Hal tersebut disebabkan karena Indonesia tidaklah

menerapkan pemisahan kekuasaan ( Separation Of Power )

secara kaku sebagaimana ajaran montesquie, yang menurut

masing- masing kekuasaan ( Trias Politica ) berjalan

mandiri dan terpisah satu sama lain.

29

Untuk itu sebagai lembaga negara dalam sebuah

konstruksi Negara Republik Indonesia, maka secara

kelembagaan dalam hal ini dengan Presiden, MA paling tidak

mempunyai hubungan kerja diantaranya dalam hal :

- MA dapat memberika pertimbangan- pertimbangan dalam

bidang hukum, baik diminta maupun tidak kepada

lembaga- lembaga negara, termasuk dalam hal ini yang

diminta atau tidak oleh Presiden berkenaan dengan

penyelenggaraan negara.

- MA memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam

hal pemberian/ penolakan grasi sebagaimana diatur

dalam pasal 14 ayat ( 1 ) UUD 1945.

30

BAB IV

KESIMPULAN.

1. Sebagai satu kesatuan sistem, unsur penyelenggaraan

negara harus terus menerus berinteraksi dalam kesatuan

sumber yang secara terus menerus terlibat dalam

lingkungannya sesuai dengan tugas dan kewenangannya

yang dapat dipetakan dalam struktur yang dapat

dikontrol oleh semua pihak. Hal yang perlu

dikedepankan dalam praktek penyelenggaraan negara

adalah pentingnya masing- masing lembaga negara

menjalankan tugas dan wewenangnya secara normal atau

mendapat persetujuan rakyat mengenai praktek yang

dapat diterima semua unsur dan tidak merugikan salah

satu unsur yang dapat membawa kesulitan dalam hal

implementasi tindak lanjut.

2. Kesadaran kolektifitas dari penyelenggara negara dan

masyarakat untuk membangun sistem penyelenggaraan

negara yang transparan menjadi syarat mutlak

berhasilnya suatu negara. Penyelenggaraan negara

dituntut untuk mentransformasi segenap kemampuan dalam

rangka mengubah diri yang memicu pada arah perbaikan

serta tanggapan kreatif dari masyarakat yang sifatnya

membangun dan kontrol akan membangun sistem dan

mekanisme yang bertanggung jawab.

3. Ketentuan- ketentuan mengenai lembaga negara yang

ditetapkan dalam UUD 1945 Pasca Amandemen belum

31

sepenuhnya mencerminkan apa yang menjadi tujuan

pembentukan UUD secara umum dan tujuan perubahan UUD

1945 secara khusus. Kewenangan masing- masing lembaga

negara yang ditetapkan dalam UUD 1945 Pasca Amandemen

belum sepenuhnya dapat mewujudkan prinsip checks and

balances. Banyak kewenangan dari suatu lembaga negara

yang terkait dengan lembaga negara lainnya, terutama

di bidang pemerintahan dan perundang- undangan.

4. Mahkamah Agung tidak bisa dipisahkan dengan Mahkamah

Konstitusi dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.

Tidak harmonisnya hubungan lembaga negara di bidang

yudisial akan berimbas pada lembaga- lembaga lainnya.

Karena sebagai pemegang kekuasaan kehakiman di

Republik ini, secara kelembagaan MA dan MK mempunyai

keterkaitan dalam menjalankan amanah konstitusi.

5. Hubungan kewenangan antara lembaga negara yang

ditetapkan dalam UUD 1945 Pasca Amandemen ini perlu

pengaturan pelaksanaan dalam bentuk Undang- Undang

supaya tidak menimbulkan sengketa kewenangan antar

lembaga negara.

32

DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR Dalam UUD Baru, FH UII Press

Yogyakarta, 2003.

Jimly Assiddiqie, Konsolidasi Naskah Undang- Undang Dasar 1945,

setelah perubahan keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara

FH UI, Jakarta, 2002.

33

Jimly Assiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran

Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta FH UII Press, 2004.

Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, Kompilasi

Aktual masalah Konstitusi DPR dan Sistem Kepartaian,

Gema Insani Press, Jakarta, 1996.

Taufik Sri Soemantri, Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945,

bahan seminar dialog hukum dalam sistem

ketatanegaraan kerjasama dengan BPHN Dep. Hukum dan

HAM RI dan FH Hukum Unair, Surabaya, 2007.

34