Upload
indonesia
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH.
Era reformasi memberi harapan besar terjadinya
pembaharuan dalam penyelenggaraan negara, untuk dapat
menghantarkan negara Indonesia menjadi negara
konstitusional, negara hukum dan negara demokrasi. Hal ini
sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan reformasi yang
dikemukakan oleh berbagai komponen masyarakat yang sasaran
akhirnya adalah tercapainya tujuan negara dan cita- cita
kemerdekaan sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD
1945. Pada masa reformasi Majelis Permusyawaratan Rakyat
( MPR ) menyadari kelemahan UUD 1945 ditambah dengan
tuntutan masyarakat, MPR telah merubah sikap politik mereka
sebelumnya yang menyatakan tidak akan mengubah UUD 1945.
MPR telah melakukan perubahan terhadap UUD 1945
sebanyak empat kali dengan beberapa perubahan yang sangat
mendasar. Bahkan MPR telah mereduksi kekuasaannya sendiri
dan merubah kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara
menjadi lembaga negara yang sama kedudukannya dengan
lembaga negara lainnya. Lembaga negara saat ini adalah
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Lembaga- lembaga negara dimaksud adalah Majelis
Permusyawaratan Rakyat ( MPR ), Dewan Perwakilan Rakyat
( DPR ), Dewan Perwakilan Daerah ( DPD ), Presiden
( termasuk wakil presiden ), Mahkamah Agung ( MA ),
1
Mahkamah Konstitusi ( MK ), Badan Pemeriksa Keuangan
( BPK ), Komisi Yudisial ( KY ).
Memperhatikan tugas dan wewenangnya kedelapan
lembaga- lembaga itu kita dapat membaginya dalam dua
kelompok. Kelompok pertama adalah lembaga- lembaga negara
yang mempunyai tugas dan wewenang mandiri, seperti, MPR,
DPR, DPD, Presiden ( termasuk wakil presiden ), MA, MK, dan
BPK. Dikatakan mandiri, karena tidak mempunyai tugas
pelayanan. Lembaga negara yang pertama ini dapat diberikan
sebutan lembaga negara utama. Hal ini dapat kita ketahui
dalam pasal 24C ayat ( 1 ) Undang- undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Ayat ( 1 ) tersebut
seluruhnya berbunyi sebagai berikut : Hal itu bisa dilihat
dalam ketentuan pasal 24 ayat ( 1 ) huruf C bahwa :
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang- undang terhadap Undang- undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang- undang dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum
Perubahan pertama, kedua, ketiga, dan keempat dari
UUD 1945 sebagai akibat reformasi telah merubah sistem
ketatanegaraan Indonesia secara mendasar, baik mengenai
sistem pemerintahan, sistem perwakilan dan pelaksanaan
kekuasaan yudisial. Dalam waktu yang relatif singkat
setelah perubahan UUD 1945 telah dilakukan perubahan dalam
2
praktek ketatanegaraan seperti pengisian jabatan presiden
telah dilaksanakan melalui pemilihan langsung, sebagai
perwujudan dari sistem pemerintahan presidensial yang
ditetapkan dalam UUD 1945. Begitu juga sistem perwakilan
UUD 1945 Pasca Amandemen menetapkan sistem bikameral,
melalui pemilihan umum tahun 2004 telah terbentuk lembaga
negara yang baru yaitu DPD sehingga lembaga perwakilan
telah terdiri dari dua kamar yang dikenal dengan DPR dan
DPD.
Walaupun sudah empat kali perubahan dan telah
banyak hal yang telah diubah, tetapi perubahan itu juga
belum memberikan kepuasan dari berbagai kelompok
masyarakat, yang melihat masih banyak juga kelemahan baik
dari segi substansinya maupun dari segi prosedurnya. Salah
satu kelemahan yang sering menjadi topik diskusi adalah
mengenai keberadaan lembaga DPD yang sangat lemah dan jauh
dari konsep bikameral. Dalam pelaksanaan ketatanegaraan
lembaga negara yang mempunyai ruang lingkup kekuasaan
masing- masing ada yang dilaksanakan secara mandiri dan ada
yang dilaksanakan bersama- sama.
Konsep tersebut menunjukan bahwa Indonesia tidak
menganut teori trias politica secara murni dalam arti
pemisahan kekuasaan. Idealnya dengan perubahan UUD 1945
diharapkan penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia akan
lebih baik daripada praktek ketatanegaraan selama
berlakunya UUD 1945, sebelum amandemen, walaupun dalam
beberapa hal masih ditemui kelemahan. Penyelenggaraan
3
negara yang baik disamping ditentukan oleh UUD akan
ditentukan oleh penyelenggaraannya, dalam hal ini hubungan
lembaga negara yang melaksanakan kekuasaannya masing-
masing. Penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan yang
betul- betul sesuai dan berdasarkan pada UUD ( Konstitusi )
akan melahirkan negara konsitusional.
1.1. Konsep Lembaga Negara.
Lembaga- lembaga permanent biasanya ditentukan
dalam kerangka suatu negara, berupa konstitusi. Dalam teori
konstitusi ada pendapat pakar dibidang tersebut, Menurut
Jimly Asshiddiqie,1 UUD 1945 pasca perubahan resmi menganut
pemisahan kekuasaan dengan mengembangkan mekanisme checks
and balances yang lebih fungsional. Dengan konsep pemisahan
kekuasaan tersebut, format kelembagaan negara Republik
Indonesia meliputi :
1. MPR ( Majelis Permusyawaratan Rakyat. )
2. DPR ( Dewan Perwakilan Rakyat )
3. DPD ( Dewan Perwakilan Daerah ) sebagai parlemen
Indonesia.
Mahkamah Konstitusi ( MK ) dan Mahkamah Agung ( MA )
sebagai pemegang kekuasaan kehakiman, presiden dan wakil
presiden sebagai kepala pemerintahan eksekutif. Adapun
keberadaan BPK dan Komisi Yudisial dapat dikatakan tidak
berdiri sendiri. Keberadaan masing- masing beserta tugas-
tugas dan kewenangannya haruslah dikaitkan dan terkait
dengan tugas- tugas dan kewenangan lembaga yang menjadi1. Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Pre, Yogyakarta, 2004 hal 34.
4
mitra kerjanya, yaitu BPK terkait dengan DPR dan DPD,
sedangkan komisi yudisial dengan Mahkamah Agung ( MA ).
Selain lembaga- lembaga negara tersebut, bentuk
keorganisasian negara modern dewasa ini juga mengalami
perkembangan yang pesat. Ada dua tingkatan, pertama
Tentara, Organisasi Kepolisian dan Kejaksaan Agung, serta
Bank Sentral. Sedangkan pada tingkatan kedua ada Komnas
HAM, KPU, Komisi Ombudsman, KPPU, KPK, KKR, dan KPI.
Lembaga- lembaga ini digolongkan dalam Badan- badan
eksekutif yang bersifat Independen.
Komisi atau lembaga semacam ini selalu diidealkan
bersifat independen sering kali memiliki fungsi yang campur
sari, yaitu semi legislatif dan regulatif, semi
administratif, dan bahkan semi yudikatif. Dalam kaitannya
dengan hal ini terdapat istilah Independent Self Regulatory
Bodies yang juga dikembangkan dibanyak negara. Di Amerika
serikat lembaga seperti ini tercatat lebih dari 30-an
jumlahnya dan pada umumnya jalur pertanggung jawabannya
secara fungsional dikaitkan dengan kongres Amerika Serikat.
B. RUMUSAN MASALAH.
Adapun rumusan masalah yang timbul dalam penulisan ini
adalah :
5
1. Bagaimana hubungan antar lembaga negara di bidang
perundang- undangan berdasarkan Undang- undang
dasar 1945 pasca Amandemen?
2. Bagaimana hubungan lembaga negara di bidang
yudisial berdasarkan Undang- undang dasar 1945
pasca Amandemen?
C. TUJUAN PENELITIAN.
Tujuan penulisan merupakan hal terpenting dalam
penulisan karya ilmiah, guna lebih memperjelas permasalahan
yang dibahas. Tujuan penulisan sebagaimana dimaksud terdiri
dari tujuan umum dan tujuan khusus.
1.1. Tujuan Umum.
Untuk mengetahui lembaga negara dalam sistem
ketatanegaraan yang merupakan lembaga
pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat
yang fungsi, tugas dan kewenangannya diatur
secara tegas dalam UUD 1945. UUD 1945
mengejewantahkan prinsip kedaulatan yang
tercermin di dalam pengaturan penyelenggaraan
negara.
1.2. Tujuan Khusus.
Untuk mengetahui bagaimana hubungan dalam
kewenangan yang dimiliki masing masing antara
lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara
dalam kedudukannya sebagai legislatif,
eksekutif, dan yudikatif serta format
6
kelembagaannya di dalam kewenangan serta peran
dan tugas dari masing- masing lembaga negara.
D. MANFAAT PENELITIAN.
Manfaat penelitian yakni untuk mengetahui konsep
pemisahan kekuasaan antar lembaga negara berdasarkan trias
politica yang menjadi poros acuan, sehingga kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus selalu ada dalam
sebuah negara demokrasi modern. Disamping itu juga
penelitian ini bermanfaat mengatahui hubungan , wewenang,
dan peran tugas dari masing- masing lembaga negara pasca
Amandemen Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
E. METODE PENELITIAN.
1.1. Jenis Penelitian.
Penelitian yang dilakukan dalam kaitannya dengan
penulisan karya tulis ini merupakan jenis penelitian
hukum normatif, yaitu penelitian hukum kepustakaan
atau penelitian hukum dan yang didasarkan pada data
sekunder.2
1.2. Jenis Pendekatan.
Pendekatan masalah dilakukan secara yuridis normatif
yaitu : jenis pendekatan yang dilakukan berdasarkan
2. Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, 1985, Hal. 15.
7
Perundang- undangan dan pendekatan dilakukan
berdasarkan sejarah yang kemudian dianalisis serta
dikaji dengan mengacu pada asas hukum dan doktrin dari
para pakar bidang dan para sarjana.
1.3. Sumber Data.
Data yang dipergunakan dalam penulisan karya tulis ini
bersumber pada data sekunder yang diperoleh melalui
penelitian kepustakaan ( Library Research ) data
sekunder terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer, yang berupa peraturan
Perundang- undangan yang berhubungan dengan
permasalahan penelitian, yaitu Undang- undang
Dasar 1945, dan Konvensi ketatanegaraan.
b. Bahan Hukum Sekunder, yang terdiri dari Buku buku
hukum, jurnal jurnal legislasi Indonesia, karya
tulis hukum dan pandangan para ahli hukum.
1.4. Teknik Pengumpulan Data.
Dalam pengumpulan data untuk penelitian karya tulis
ini dipergunakan teknik dokumenter, yaitu dengan
mengutip, mencatat, serta menelaah dari bahan- bahan
kepustakaan atau dokumen yang ada dan relevan dengan
permasalahan penelitian.
1.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data.
Dari data yang berhasil dikumpulkan, kemudian diolah
dan dianalisa secara kualitatif dengan menggunakan
teknik interpretasi, evaluasi, argumentasi dan
sistematisasi, setelah melalui proses pengolahan dan
8
analisas kemudian data tersebut disajikan secara
deskriptif analisis.
BAB II
LEMBAGA NEGARA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN.
Lembaga negara merupakan lembaga pemerintah negara
yang berkedudukan dipusat yang fungsi, tugas, dan
kewenangannya diatur secara tegas dalam Undang Undang
Dasar. Secara keseluruhan UUD 1945 sebelum perubahan
mengenal enam lembaga tinggi/ tertinggi negara, yaitu MPR
sebagai lembaga tertinggi negara, DPR, Presiden, MA, BPK,
dan DPA sebagai lembaga tinggi negara. Namun setelah
perubahan lembaga negara berdasarkan ketentuan UUD adalah
MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK dan KY tanpa mengenal
istilah lembaga tinggi atau tertinggi negara.
UUD 1945 mengejawantahkan prinsip kedaulatan yang
tercermin dalam pengaturan penyelenggaraan negara. UUD 1945
memuat peraturan kedaulatan hukum, rakyat, dan negara
karena didalamnya mengatur tentang pembagian kekuasaan yang
berdasarkan pada hukum, proses penyelenggaraan kedaulatan
rakyat, dan hubungan antar Negara Republik Indonesia dengan
negara luar dalam konteks hubungan internasional. Untuk
mengetahui bagaimana proses penyelenggaraan negara menurut
UUD, maka prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan perlu
dicermati karena sangat mempengaruhi hubungan dan mekanisme
kelembagaan antar lembaga negara. Dengan penegasan prinsip
tersebut, sekaligus untuk menunjukan ciri
9
konstitusionalisme yang berlaku dengan maksud untuk
menghindari adanya kesewenang- wenangan kekuasaan.
Adanya pergeseran prinsip pembagian kepemisahan
kekuasaan yang dianut dalam UUD 1945 telah membawa
implikasi pada pergeseran kedudukan dan hubungan tata kerja
antar lembaga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan
negara, baik dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Perubahan prinsip yang mendasari bangunan
pemisah kekuasaan antar lembaga negara adalah adanya
pergeseran kedudukan lembaga pemegang kedaulatan rakyat
yang semula ditangan MPR dirubah menjadi dilaksanakan
menurut UUD.
Dengan perubahan tersebut, jelas bahwa UUD yang
menjadi pemegang kedaulatan rakyat dalam prakteknya
dibagikan pada lembaga- lembaga dengan pemisahan kekuasaan
yang jelas dan tegas. Dibidang legislatif terdapat DPR dan
DPD, di bidang eksekutif terdapat Presiden dan wakil
presiden yang dipilih oleh rakyat, di bidang yudikatif
terdapat Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi
Yudisial, di bidang pengawasan ada BPK. Namun demikian,
dalam pembagian kekuasaan antar lembaga negara terdapat
kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara yang
mencerminkan adanya kesamaan tujuan dalam penyelenggaraan
negara.
A. Majelis Permusyawaratan Rakyat.
10
Sebelum perubahan UUD 1945, kedaulatan berada
ditangan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh majelis
permusyawaratan rakyat. MPR memiliki tugas dan wewenang
yang sangat besar dalam praktek penyelenggaraan negara,
dengan kewenangan dan posisi yang demikian penting, MPR
disebut sebagai Lembaga Tinggi Negara, yang juga berwenang
mengeluarkan ketetapan- ketetapan yang hirarki hukumnya
berada dibawah Undang- Undang Dasar dan diatas Undang-
undang.
Sebelum perubahan UUD 1945 kedaulatan rakyat tidak
lagi dilaksanakan oleh MPR, tetapi dilaksanakan menurut
Undang- undang Dasar. Dengan demikian, kedaulatan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Dasar
dan di kejawantahkan oleh semua lembaga negara yang
disebutkan di dalam Undang- undang Dasar sesuai dengan
tugas dan wewenang masing- masing. Dengan perubahan tugas
dan fungsi MPR dalam sistem ketatanegaraan, saat ini, semua
lembaga negara memiliki kedudukan yang setara dan saling
mengimbangi.
Saat ini, MPR terdiri dari anggota DPR dan Anggota
DPD yang semuanya dipilih oleh rakyat dalam pemilu, bukan
lembaga DPR dan lembaga DPD. Komposisi keanggotaan tersebut
sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan yaitu perwakilan
atas dasar pemilihan ( Representation by Election ). Dengan
ketentuan baru ini secara teoritis berarti terjadi
perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan, yaitu
dari sistem yang vertikal hirarkis dengan prinsip supremasi
11
MPR menjadi sistem yang horisontal fungsional dengan
prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi antar
lembaga negara.
MPR tidak lagi menetapkan Garis- garis Besar Haluan
Negara, baik yang berbentuk GBHN maupun berupa peraturan
perundang- undangan, serta tidak lagi memilih dan
mengangkat presiden dan wakil presiden. Hal ini berkaitan
dengan perubahan UUD 1945 yang menganut sistem pemilihan
presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat
yang memiliki program yang ditawarkan langsung kepada
rakyat. Jika calon presiden dan wakil presiden itu menang
maka program itu menjadi program pemerintah selama lima
tahun. Berkaitan dengan hal itu, wewenang MPR adalah
melantik presiden dan wakil presiden yang dipilih secara
langsung oleh rakyat. Dalam hal ini MPR tidak boleh tidak
melantik presiden dan atau wakil presiden yang sudah
terpilih.
Wewenang MPR berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 8 ayat ( 2 ) dan
ayat ( 3 ) UUD Tahun 1945 adalah :
1. Mengubah dan menetapkan Undang- Undang Dasar.
2. Melantik Presiden dan atau Wakil Presiden.
3. Memberhentikan dan atau wakil presiden dalam masa
jabatannya menurut Undang- undang Dasar.
4. Memilih wakil presiden dari dua calon yang diusulkan
oleh presiden apabila terjadi kekosongan jabatan wakil
presiden dalam masa jabatannya.
12
5. Memilih presiden dan wakil presiden apabila keduanya
berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari
dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden
yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik yang pasangan calon presiden dan calon
wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan
kedua dalam pemilihan umum sebelumnya sampai berakhir
masa jabatannya.
B. Dewan Perwakilan Rakyat.
Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga negara
yang memegang kekuasaan legislatif sebagaimana tercantum
pada pasal 20 ayat ( 1 ) UUD 1945. Dalam UUD 1945 secara
eksplisit dirumuskan tugas, fungsi, hak, dan wewenang DPR
yang menjadi pedoman dalam pola penyelenggaraan negara.
Anggota DPR dipilih melalui Pemilihan Umum. Ketentuan
tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan asas kedaulatan
rakyat yang secara implisit menjiwai Pembukaan UUD 1945,
dengan demikian tidak ada lagi anggota DPR yang diangkat.
Hal itu sesuai dengan paham demokrasi perwakilan yang
berdasarkan keberadaannya pada prinsip perwakilan atas
dasar pemilihan ( Representation by Election ). Melalui
rekruitmen anggota DPR dalam pemilu, diharapkan demokrasi
semakin berkembang dan legitimasi DPR makin kuat.
Dengan pengaturan secara eksplisit dalam UUD 1945
bahwa DPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan legislatif
akan lebih memberdayakan DPR dan mengubah peranan DPR yang
13
sebelumnya hanya bertugas membahas dan memberikan
persetujuan terhadap rancangan Undang- undang yang dibuat
oleh Presiden ( kekuasaan eksekutif ). Pergeseran
kewenangan membentuk Undang- undang, yang sebelumnya
ditangan presiden dialihkan kepada DPR, merupakan langkah
konstitusional untuk meletakkan secara tepat fungsi lembaga
negara sesuai dengan bidang tugasnya masing- masing, yakni
DPR sebagai lembaga pembentuk Undang- undang ( kekuasaan
legislatif ) dan presiden sebagai lembaga pelaksana Undang-
undang ( kekuasaan eksekutif ). Namun, UUD 1945 juga
mengatur kekuasaan presiden di bidang legislatif, antara
lain ketentuan bahwa pembahasan setiap rancangan undang-
undang ( RUU ) oleh DPR dilakukan secara bersama- sama
dengan presiden.
Dengan pergeseran kewenangan membentuk Undang-
undang itu, sesungguhnya ditinggalkan pula teori pembagian
kekuasaan ( Distribution Of Power ) dengan prinsip
supremasi MPR menjadi pemisahan kekuasaan ( Separation Of
Power ) dengan prinsip saling mengawasi dan saling
mengimbangi sebagai ciri yang melekat. Hal itu juga
merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk
memperkuat sistem presidensial.
C. Dewan Perwakilan Daerah.
Perubahan UUD 1945 melahirkan sebuah lembaga baru
dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yakni Dewan
Perwakilan Daerah ( DPD ). Dengan kehadiran DPD dalam
14
sistem perwakilan Indonesia DPR didukung dan diperkuat oleh
DPD. DPR merupakan lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi
dan paham politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan,
sedangkan DPD merupakan lembaga perwakilan penyalur
keanekaragaman aspirasi daerah. Keberadaan lembaga DPD
merupakan upaya penampung prinsip perwakilan daerah. Sistem
perwakilan yang dianut Indonesia merupakan sistem yang khas
Indonesia karena dibentuk sebagai perwujudan kebutuhan,
kepentingan, serta tantangan bangsa dan negara Indonesia.
Ketentuan UUD 1945 yang mengatur keberadaan DPD
dalam struktur ketatanegaraan Indonesia itu antara lain
dimaksudkan untuk :
1. Memperkuat ikatan daerah- daerah dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
memperteguh persatuan kebangsaan seluruh
Indonesia.
2. Meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan
kepentingan daerah- daerah dalam perumusan
kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan
daerah.
3. Mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan
kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.
Dengan demikian, keberadaan daerah sebagaimana
dimaksud dalam pasal 18 ayat ( 1 ) dan otonomi daerah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat ( 5 ) berjalan
sesuai dengan keberagaman daerah dalam rangka kemajuan
bangsa dan negara. DPD memiliki fungsi yang terbatas
15
dibidang legislasi, anggaran, pengawasan, dan pertimbangan.
Fungsi DPD berkaitan erat dengan sistem saling mengawasi
dan saling mengimbangi dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia.
D. Presiden.
Perubahan UUD 1945 yang cukup signifikan dan
mendasar bagi penyelenggaraan demokrasi yaitu pemilihan
presiden secara langsung. Presiden dan wakil presiden
dipilih secara langsung oleh rakyat melalui mekanisme
pemilu. Pemilihan secara langsung presiden dan wakil
presiden akan memperkuat legitimasi seorang presiden
sehingga presiden diharapkan tidak mudah untuk
diberhentikan ditengah jalan tanpa dasar memadai, yang bisa
mempengaruhi stabilitas politik dan pemerintahan secara
aktual. Presiden merupakan lembaga negara yang memegang
kekuasaan dibidang eksekutif. Seiring dengan perubahan UUD
1945, saat ini kewenangan presiden diteguhkan hanya sebatas
pada bidang kekuasaan dibidang pelaksanaan pemerintahan
negara. Namun demikian, dalam UUD 1945 juga diatur mengenai
ketentuan bahwa presiden juga menjalankan fungsi yang
berkaitan dengan bidang legislatif maupun bidang yudikatif.
Berdasarkan ketentuan Undang- undang Dasar, presiden
haruslah warga negara Indonesia yang sejak kelahirannya dan
tidak pernah menerima kewarganegaraan lain. Perubahan
ketentuan mengenai persyaratan calon presiden dan calon
wakil presiden dimaksud untuk mengakomodasi perkembangan
16
kebutuhan bangsa dan tuntutan jaman serta agar sesuai
dengan perkembangan masyarakat yang makin demokratis,
egaliter, dan berdasarkan rule of law yang salah satu
cirinya adalah pengakuan kesederajatan didepan hukum bagi
setiap warga negara. Hal ini juga konsisten dengan paham
kebangsaan Indonesia yang berdasarkan kebersamaan dengan
tidak membedakan warga negara atas dasar keturunan, ras,
dan agama. Kecuali itu, dalam perubahan ini juga terkandung
kemauan politik untuk lebih memantapkan ikatan kebangsaan
Indonesia.
E. Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi
Yudisial.
Kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia bertujuan untuk menyelenggarakan peradilan yang
merdeka, bebas dari intervensi pihak manapun, guna
menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah
mahkamah konstitusi.
Perubahan ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman
dalam UUD 1945 dimaksudkan untuk mempertegas bahwa tugas
kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
adalah untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas
dari intervensi pihak manapun guna menegakkan hukum dan
17
keadilan. Ketentuan ini merupakan perwujudan prinsip
Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam
pasal 1 ayat ( 3 ). Dalam UUD 1945 pasal 24 ayat ( 3 )
dikatakan bahwa badan- badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang- undang.
Ketentuan tersebut menjadi dasar hukum keberadaan berbagai
badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman,
antara lain lembaga penyidik dan lembaga penuntut.
Pengaturan dalam Undang- undang mengenai badan lain
yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman membuka
partisipasi rakyat melalui wakil- wakilnya di DPR untuk
memperjuangkan agar aspirasi dan kepentingannnya
diakomodasi dalam pembentukan Undang- undang tersebut.
Adanya ketentuan pengaturan dalam Undang- undang tersebut
merupakan salah satu wujud saling mengawasi dan saling
mengimbangi antara kekuasaan yudikatif MA dan badan
peradilan dibawahnya serta MK dengan kekuasaan legislatif
DPR dan dengan kekuasaan eksekutif lembaga penyidik dan
lembaga penuntut. Selain itu, ketentuan itu dimaksudnya
untuk mewujudkan sistem peradilan terpadu ( Integrated
Judiciary System ) di Indonesia. Pencantuman pasal 24 ayat
3 diatas juga untuk mengantisipasi perkembangan yang
terjadi pada masa yang akan datang, misalnya, kalau ada
perkembangan badan- badan peradilan lain yang tidak
termasuk dalam kategori keempat lingkungan peradilan yang
sudah ada diatur dalam undang- undang.
1. Mahkamah Agung.
18
Perubahan ketentuan yang mengatur tentang tugas dan
wewenang mahkamah agung dalam undang- undang dasar
dilakukan atas pertimbangan untuk memberikan jaminan
konstitusional yang lebih kuat terhadap kewenangan dan
kinerja MA. Sesuai dengan pasal 24A ayat ( 1 ), MA
mempunyai wewenang :
- Mengadili pada tingkat kasasi
- Menguji peraturan perundang- undangan dibawah undang-
undang terhadap undang- undang.
- Wewenang lainnya yang diberikan oleh undang- undang.
2. Mahkamah Konstitusi.
Perubahan UUD 1945 juga melahirkan sebuah negara baru
dibidang kekuasaan kehakiman sesuai dengan pasal 24C ayat
( 1 ), yaitu mahkamah konstitusi dengan wewenang sebagai
berikut :
- Menguji undang- undang terhadap undang- undang dasar.
- Memutuska sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh undang- undang dasar.
- Memutus pembubaran partai politik.
- Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Lembaga ini merupakan bagian kekuasaan kehakiman yang
mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan
konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas
dan kewenangannya yang ditentukan dalam UUD 1945.
Pembentukan mahkamah konstitusi adalah sejalan dengan
dianutnya paham negara hukum dalam UUD 1945. Dalam negara
hukum harus dijaga paham konstitusional. Artinya, tidak
19
boleh ada undang- undang dan peraturan perundang-
undangan lainnya yang bertentangan dengan undang- undang
dasar sebagai puncak dalam tata urutan peraturan
perundang- undangan di Indonesia. Pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945 membutuhkan sebuah mahkamah
dalam rangka menjaga prinsip konstitusionalitas hukum.
3. Komisi Yudisial.
Untuk menjaga dan meningkatkan integritas hakim agung,
dalam undang- undang dasar dibentuk lembaga baru yaitu
komisi yudisial. Melalui lembaga komisi yudisial ini,
diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai
dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan
penegakan hukum dan pencapaian keadilan yang diputus oleh
hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat
serta perilakunya. Wewenang komisi yudisial menurut
ketentuan UUD adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perlaku
hakim. Dalam proses rekruitmen hakim agung, calon hakim
agung diusulkan komisi yudisial kepada DPR untuk mendapat
persetujuan dan untuk selanjutnya ditetapkan sebagai
hakim agung oleh presiden.
Pasal 24B UUD 1945 menyebutkan komisi yudisial merupakan
lembaga negara yang bersifat mandiri dan berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
20
Dengan demikian komisi yudisial memiliki dua kewenangan,
yaitu : mengusulkan pengangkatan calon hakim agung di
mahkamah agung dan menegakkan kehormatan dan keruhuran
martabat serta menjaga martabat dan perilaku hakim di
mahkamah konstitusi.
Anggota komisi yudisial berdasarkan ketentuan undang-
undang berjumlah 7 ( tujuh ) orang dan berstatus sebagai
pejabat negara yang terdiri atas mantan hakim, praktisi
hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat.
Keanggotaan komisi yudisial diajukan presiden kepada DPR,
dengan terlebih dahulu presiden membantu panitia seleksi
yang terdiri dari unsur pemerintah, praktisi hukum,
akademisi hukum, dan anggota masyarakat.
Komisi ini dibentuk atas respon terhadap upaya penegakan
dan reformasi di institusi peradilan yang selama ini
dianggap kurang memuaskan. Selain itu untuk
meminimalisasi interes politik dari angggota DPR di dalam
memilih dan menentukan hakim agung di mahkamah agung. MA
adalah institusi peradilan yang independen dan seharusnya
terlepas dari campur tangan, obyektif, dan dapat
dipertanggungjawabkan. Komisi yudisial juga dibentuk
untuk memberikan pengawasan terhadap perilaku hakim.
Pengawasan dilakukan secara internal, peradilan terhadap
para hakim yang apabila terbukti kurang efektif dapat
dilakukan penindakan secara tegas terhadap hakim yang
melakukan pelanggaran.
21
F. Badan Pemeriksa Keuangan.
Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) merupakan lembaga
negara yang memegang kekuasaan dalam bidang auditor.
Pengaturan tugas dan wewenang BPK dalam undang- undang
dasar dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum yang kuat
serta pengaturan rinci mengenai BPK yang bebas dan mandiri
serta sebagai lembaga negara yang berfungsi memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dalam
rangka memperkuat kedudukan, kewenangan, dan
independensinya sebagai lembaga negara, angggotanya dipilih
oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
Dalam kedudukannya sebagai eksternal auditor
pemerintah yang memeriksa keuangan negara dan APBD, serta
untuk dapat menjangkau pemeriksaan di daerah, BPK membuka
kantor perwakilan disetiap propinsi. BPK mempunyai tugas
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan
negara. Hasil pemeriksaan keuangan negaradiserahkan kepada
DPR, dan DPRD sesuai dengan kewenangan. Hasil pemeriksaan
tersebut ditindaklanjuti lembaga perwakilan dan atau badan
sesuai dengan undang- undang. Mengingat BPK sebagai lembaga
negara dalam bidang auditor, untuk optimalisasi dan
independensi dalam rangka melaksanakan tugasnya, anggota
BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD
dan diresmikan oleh presiden, BPK berkedudukan di ibukota
negara dan memiliki perwakilan disetiap propinsi terkait
dengan pemeriksaan keuangan negara, BPK ditegaskan juga
berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang
22
keuangan negara ( pasal 23E ayat 1) serta menyerahkan
hasil pemeriksaan keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD
sesuai dengan kewenangannya ( Pasal 23E ayat 2 ).
BAB III
SISTEM KELEMBAGAAN
A. Hubungan antar Lembaga Negara di Bidang Perundang-
undangan.
UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, tidak
menganut ajaran trias politika, dalam arti pemisahan
kekuasaan ( separation of power ) melainkan dalam arti
pembagian kekuasaan ( distribution of power ) antara
kekuasaan badan eksekutif dengan badan legislatif. Pada
dasarnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pacsa
Amandemen UUD 1945, ada 3 ( tiga ) lembaga yang mempunyai
kewenangan di bidang legislasi, yaitu DPR, Presiden dan
DPD.
Pengaturan dalam UUD Negara RI Tahun 1945 ( sebelum
amandemen ) memang menegaskan bahwa kekuasaan membentuk
Undang- undang berada pada presiden. Hal ini dapat dilihat
pada pasal 5 ayat 1, seperti yang dijelaskan sebagai
berikut : presiden memegang kekuasaan membentuk undang-
undang dengan persetujuan DPR. Tetapi dalam pasal 21 ayat 1
23
UUD 1945 ( sebelum amandemen ), juga dijelaskan sebagai
berikut anggota- anggota dewan perwakilan rakyat berhak
mengajukan rancangan undang- undang.
Dari ketentuan dua pasal ini, jelas terlihat bahwa
kekuasaan membentuk undang- undang jelas pada presiden, DPR
hanya pada batas memberikan persetujuan. Namun, anggota DPR
dapat mengajukan undang- undang pada presiden. Berbeda
setelah Amandemen UUD Negara RI tahun 1945, kekuasaan
membentuk undang- undang sudah berada di tangan DPR.
Presiden diberikan hak mengajukan rancangan undang- undang
kepada DPR. Pengaturan semacam ini dapat dilihat dalam
pasal 20 ayat ( 1 ) seperti ditegaskan sebagai berikut :
DPR memegang kekuasaan membentuk Undang- undang. Sedangkan
pasal 5 ayat 1 juga dijelaskan : presiden berhak mengajukan
rancangan undang- undang kepada DPR.
Berdasarkan pada ketentuan pasal ini jelas
tergambar bahwa telah terjadi pergeseran kekuasaan
membentuk Undang- undang yang semula berada ditangan
presiden beralih ke DPR. Dengan demikian, benar apa yang
dikatakan Jimly Asshiddiqie, amandemen UUD Negara RI tahun
1945 telah terjadi pergeseran kekuasaan membentuk undang-
undang dari presiden kepada DPR. Akan tetapi pergeseran
menurut Jimly Asshiddiqie, sebenarnya mengembalikan
kekuasaan legislatif pada abad ke-19. Karena pada abad ini,
kekuasaan legislatif ( DPR ) sangat dominan. Penonjolan ini
sebagai perwujudan dari meningkatnya aspirasi rakyat atas
dominasi raja- raja tirani pada waktu itu. Secara teoritis
24
kekuasaan membentuk undang- undang itu berada di DPR. Hal
ini, bukan berarti menghilangkan sama sekali kekuasaan
presiden dalam pembentukan undang- undang. Presiden dapat
memberikan masukan- masukan dan pertimbangan dalam
pembahasan rancangan undang- undang. Namun demikian supaya
tidak terjadi kekuasaan mutlak DPR dalam pembentukan
undang- undang, maka presiden mesti diberikan hak veto,
terhadap undang- undang yang telah disetujui oleh DPR.
Ketentuan semacam ini dapat dipahami, presidenlah
yang akan menjalankan undang- undang tesebut. Seperti yang
dikatakan Strong, kewenangan eksekutif hanya berkenaan
dengan merencanakan undang- undang dan membahasnya bersama
badan perwakilan rakyat sampai menjadi undang- undang.
B. Hubungan Antar Lembaga Negara di Bidang Yudisial.
Sejak gerbang reformasi dibuka secara besar-
besaran tahun 1998 yang lalu, paradigm peradilan satu atap
di bawah Mahkamah Agung semakin menguat. Aspirasi- aspirasi
pun mulai bermunculan dengan berkembang ditengah
masyarakat. Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) sebagai
lembaga tertinggi negara pasal 1 ayat ( 2 ) ( sebelum
amandemen UUD 1945 ) yang melaksanakan kedaulatan rakyat,
segera menangkap dan menindaklanjuti aspirasi- aspirasi
tersebut. Tindakan mereka tercermin melalui ditetapkannya
TAP MPR Nomor : X/ MPR/ 1998 Tentnga pokok- pokok Reformasi
pembangunan dalam rangka penyelamatan normalisasi kehidupan
nasional sebagai Haluan Negara, yang diberi judul Hukum
25
ditegaskan perlunya reformasi di segala bidang hukum untuk
mendukung penanggulangan krisis antara fungsi eksekutif dan
kekuasaan fungsi yudisial.
Dalam lingkungan MA terdapat empat lingkungan
peradilan yaitu : Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer. Karena
latar belakang sejarahnya maka administrasi lingkungan
peradilan agama berada di bawah Departemen Agama, dan
administrasi peradilan militer dibawah pengendalian
organisasi Tentara. Namun demikian sejalan dengan semangat
reformasi, dengan diundangkannya UU Nomor : 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman menempatkan keberadaan keempat
lingkungan peradilan itu secara organisasi, administrasi
dan finansial di bawah Mahkamah Agung. Hal ini diangggap
penting dalam rangka perwujudan kekuasaan kehakiman yang
menjamin tegaknya negara hukum yang didukung oleh kekuasaan
kehakiman yang independen dan impartial.
Berkenaan dengan kewenangannya, Mahkamah Agung
dalam arti luas sebenarnya memiliki kewenangan untuk
memeriksa dan memutus :
- Permohonan Kasasi.
- Sengketa kewenangan mengadili ( kompetensi
pengadilan )
- Permohonan Peninjauan Kembali ( PK ) putusan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap.
- Permohonan pengujian peraturan perundang- undangan
( yudicial review )
26
Disamping itu, dapat pula diatur mengenai
kewenangan MA untuk memberikan pendapat hukum atas
permintaan presiden atau lembaga tinggi negara lainnya. Hal
ini dianggap perlu, agar MA benar- benar dapat berfungsi
sebagai rumah keadilan bagi siapa saja dan lembaga yang
memerlukan pendapat hukum mengenai suatu masalah yang
dihadapi. Dalam perumusan pasal 24A ayat ( 1 ) UUD 1945
dinyatakan MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji peraturan perundang- undangan dibawah undang-
undang terhadap Undang- Undang Dasar dan mempunyai wewenang
lainnya yang dapat diberikan oleh undang undang.
Secara lebih rinci dapat diuraikan bahwa MA sebagai
Lembaga Tinggi Negara yang melaksanakan Kekuasaan Kehakiman
dan merupakan Pengadilan Negara tertinggi mempunyai fungsi-
fungsi sebagai berikut :
- Fungsi bidang peradilan.
- Fungsi bidang pengawasan.
- Fungsi bidang pemberian nasehat.
- Fungsi bidang pengaturan.
- Fungsi bidang administrasi.
- Fungsi bidang tugas dan kewenangan lainnya.
Disamping MA, pemegang kekuasaan yudisial lainnya
adalah Mahkamah Konstitusi ( MK ). Masing- masing lembaga
punya bidang kekuasaan kehakiman yang berbeda, MA dalam
peradilan umum ( Justice Of Court ) sedangkan MK dalam
peradilan konstitusi ( Constitusional Of Court ). Mahkamah
Konstitusi sebagai The Gurdian Of Constitution mempunyai
27
lima kewenangan yang telah ditentukan dalam pasal 24C ayat
( 1 ) dan ayat ( 2 ) yaitu :
- Menguji ( Yudisial Review ) Undang- undang terhadap
UUD.
- Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD.
- Memutus pembubaran parpol.
- Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
- Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil
Presiden menurut UUD.
Dengan demikian ada empat kewenangan MK dan satu
kewajiban konstitusional bagi MK yaitu wajib memberikan
putusan atas pendapat DPR mengenai pelanggaran UUD 1945
oleh Presiden dan atau Wakil Presiden. Pengadilan yang
dilakukan oleh MK merupakan pengadilan tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final. Menurut Jimly
Asshiddiqie bahwa MA merupakan puncak perjuangan keadilan
bagi setiap warga negara. Hakikat dan fungsinya berbeda
dengan MK yang tidak berhubungan dengan tuntutan keadilan
bagi warga negara, melainkan dengan sistem hukum yang
berdasarkan konstitusi.
Merujuk hal diatas MA tidak bisa dipisahka dengan
MK dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, walau punya
kompetensi dan yurisdiksi masing- masing. Ketimpangan
disebabkan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman tidak
berjalan dengan baik, secara tidak langsung akan berdampak
28
pada lembaga lainnya. Untuk itu sebagai pemegang kekuasaan
kehakiman di Republik ini, secara kelembagaan MA dan MK
mempunyai keterkaitan dalam menjalankan amanat konstitusi.
Hubungan kewenangan lainnya antara MA dengan MK adalah
dalam hal, jika ada yudisial review peraturan perundang-
undangan dibawah undang- undang diajukan oleh masyarakat
dan atau lembaga negara kepada MA, sedangkan di waktu
bersamaan undang- undang yang menjadi paying hukum
( umbrella act ) peraturan perundang- undangan tersebut
masih atau sedang dalam proses uji materiil di MK maka MA
untuk sementara waktu harus menghentikan proses uji
materiil tersebut sampai adanya putusan dari MK.
Dalam UUD 1945 pasal 24 ayat ( 1 ) jelas dinyatakan
bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan merdeka,
yaitu menghendaki kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan
bebas dari campur tangan pihak manapun. Namun penegasan
yang dinyatakan dalam UUD 1945 tidaklah berarti menutup
sama sekali hubungan MA secara kelembagaan dengan lembaga
negara lainnya terutama Presiden. Kemerdekaan yang dimaksud
hanya dalam wilayah yudisial, tapi dalam kerangka bernegara
maka MA tidak bisa berjalan sendiri tanpa didampingi oleh
kekuasaan lainnya yaitu kekuasaan legislatif dan eksekutif.
Hal tersebut disebabkan karena Indonesia tidaklah
menerapkan pemisahan kekuasaan ( Separation Of Power )
secara kaku sebagaimana ajaran montesquie, yang menurut
masing- masing kekuasaan ( Trias Politica ) berjalan
mandiri dan terpisah satu sama lain.
29
Untuk itu sebagai lembaga negara dalam sebuah
konstruksi Negara Republik Indonesia, maka secara
kelembagaan dalam hal ini dengan Presiden, MA paling tidak
mempunyai hubungan kerja diantaranya dalam hal :
- MA dapat memberika pertimbangan- pertimbangan dalam
bidang hukum, baik diminta maupun tidak kepada
lembaga- lembaga negara, termasuk dalam hal ini yang
diminta atau tidak oleh Presiden berkenaan dengan
penyelenggaraan negara.
- MA memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam
hal pemberian/ penolakan grasi sebagaimana diatur
dalam pasal 14 ayat ( 1 ) UUD 1945.
30
BAB IV
KESIMPULAN.
1. Sebagai satu kesatuan sistem, unsur penyelenggaraan
negara harus terus menerus berinteraksi dalam kesatuan
sumber yang secara terus menerus terlibat dalam
lingkungannya sesuai dengan tugas dan kewenangannya
yang dapat dipetakan dalam struktur yang dapat
dikontrol oleh semua pihak. Hal yang perlu
dikedepankan dalam praktek penyelenggaraan negara
adalah pentingnya masing- masing lembaga negara
menjalankan tugas dan wewenangnya secara normal atau
mendapat persetujuan rakyat mengenai praktek yang
dapat diterima semua unsur dan tidak merugikan salah
satu unsur yang dapat membawa kesulitan dalam hal
implementasi tindak lanjut.
2. Kesadaran kolektifitas dari penyelenggara negara dan
masyarakat untuk membangun sistem penyelenggaraan
negara yang transparan menjadi syarat mutlak
berhasilnya suatu negara. Penyelenggaraan negara
dituntut untuk mentransformasi segenap kemampuan dalam
rangka mengubah diri yang memicu pada arah perbaikan
serta tanggapan kreatif dari masyarakat yang sifatnya
membangun dan kontrol akan membangun sistem dan
mekanisme yang bertanggung jawab.
3. Ketentuan- ketentuan mengenai lembaga negara yang
ditetapkan dalam UUD 1945 Pasca Amandemen belum
31
sepenuhnya mencerminkan apa yang menjadi tujuan
pembentukan UUD secara umum dan tujuan perubahan UUD
1945 secara khusus. Kewenangan masing- masing lembaga
negara yang ditetapkan dalam UUD 1945 Pasca Amandemen
belum sepenuhnya dapat mewujudkan prinsip checks and
balances. Banyak kewenangan dari suatu lembaga negara
yang terkait dengan lembaga negara lainnya, terutama
di bidang pemerintahan dan perundang- undangan.
4. Mahkamah Agung tidak bisa dipisahkan dengan Mahkamah
Konstitusi dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
Tidak harmonisnya hubungan lembaga negara di bidang
yudisial akan berimbas pada lembaga- lembaga lainnya.
Karena sebagai pemegang kekuasaan kehakiman di
Republik ini, secara kelembagaan MA dan MK mempunyai
keterkaitan dalam menjalankan amanah konstitusi.
5. Hubungan kewenangan antara lembaga negara yang
ditetapkan dalam UUD 1945 Pasca Amandemen ini perlu
pengaturan pelaksanaan dalam bentuk Undang- Undang
supaya tidak menimbulkan sengketa kewenangan antar
lembaga negara.
32
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR Dalam UUD Baru, FH UII Press
Yogyakarta, 2003.
Jimly Assiddiqie, Konsolidasi Naskah Undang- Undang Dasar 1945,
setelah perubahan keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara
FH UI, Jakarta, 2002.
33
Jimly Assiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran
Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta FH UII Press, 2004.
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, Kompilasi
Aktual masalah Konstitusi DPR dan Sistem Kepartaian,
Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Taufik Sri Soemantri, Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945,
bahan seminar dialog hukum dalam sistem
ketatanegaraan kerjasama dengan BPHN Dep. Hukum dan
HAM RI dan FH Hukum Unair, Surabaya, 2007.
34