28
TUGAS FILSAFAT HUKUM DILEMA EKSISTENSI FILSAFAT BANGSA INDONESIA DI ERA GLOBAL Oleh : 1. Lilik Winarti (E2A015057) 2. Yantoni Wijaya (E2A015047) 3. Yanindihas Rachman N (E2A015049) 4. Yenita Rokhmantono (E2A015051) 5. Imdadurrouf (E2A015053) 6. Jaenuri (E2A015055) 7. Rokhmantono (E2A015073) PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PORGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

makalah filsafat

Embed Size (px)

Citation preview

TUGAS FILSAFAT HUKUM

DILEMA EKSISTENSI FILSAFAT BANGSA INDONESIA

DI ERA GLOBAL

Oleh :

1. Lilik Winarti (E2A015057)

2. Yantoni Wijaya (E2A015047)

3. Yanindihas Rachman N (E2A015049)

4. Yenita Rokhmantono (E2A015051)

5. Imdadurrouf (E2A015053)

6. Jaenuri (E2A015055)

7. Rokhmantono (E2A015073)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PORGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kebadapan Tuhan Yang Maha Esa

karena atas berkat rahmat-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan

Tugas Makalah mata kuliah Filsafat Hukum yang berjudul "Dilema

Eksistensi Filsafat Bangsa Indonesia Di Era Global" dapat diselesaikan tepat

pada waktunya.

Selain dari itu juga penulis menyadari akan segala keterbatasan yang

dimiliki penulis sehingga apa yang penulis sajikan dalam penyusunan

Makalah ini adalah jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan

saran dan kritiknya yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah

ini.

Purwokerto, Nopember 2015

Penulis

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................

i

KATA PENGANTAR......................................................................................

ii

DAFTAR ISI....................................................................................................

iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah..........................................................

1

B. Perumusan Masalah.................................................................

3

C. Tujuan......................................................................................

3

BAB II PEMBAHASAN

A. Falsafah Bangsa Indonesia.....................................................

6

B. Pengaruh globalisasi terhadap hukum dan Falsafah bangsa

Indonesia.................................................................................

9

C. Menciptakan hukum yang baik di era globalisasi...................

12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..............................................................................

21

DAFTAR PUSTAKA

iii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masa kelam bangsa Indonesia dalam era penjajahan selama lebih dari

350 tahun lamanya, membawa perubahan tata nilai dan norma hukum yang

ada. Pada masa penjajahan penjajahan, norma dan hukum yang berlaku dan

diterapkan adalah hukum kolonial penjajah, meskipun ada juga norma hukum

adat yang dibiarkan tetap berlaku. Belanda adalah bagian dari Eropa yang kuat

dengan tradisi civil law nya (kecuali inggris yang menolak civil law itu). Dan

sebagaimana diketahui, Eropa sendiri memiliki sejarah tersendiri tentang

hukum dan filsafat-filsafat yang mendasarinya. Maka aliran-aliran yang

berkembang di eropa bisa saja berpengaruh juga terhadap pemikiran filsafat

hukum di Belanda. Maka kemungkinan-kemungkinan yang bisa diperhatikan

mengenai filsafat yang mendasari nya ialah (a) tradisi hukum romawi, (b)

aliran hukum kodrat(Plato dan Aristoteles dan Thomas Aquinas), positivisme

yuridis dan sosiologis, (c) mazhab sejarah dan osisological jurisprudence, (d)

kantianisme dan Neo kantianisme serta marxisme.Pemikiran yang

berkembang pada masa-masa awal setelah kemerdekaan (1945-1950). Karena

indonesia belum mempunyai hukum sendiri yang mapan, maka norma-norma

hukum warisan kolonial masih terus dipakai (misal nya ordonansi-ordonansi

sejauh dianggap berguna untuk urusan tertentu).

Saat ini dengan keadaan bangsa Indonesia yang telah merdeka dan

dengan jumlah populasi yang mencapai kurang lebih 250 juta penduduk,

menyandang predikat sebagai penduduk terpadat ke empat di dunia, dengan

potensi yang sangat besar ini, seharusnya Indonesia mulai bangkit melakukan

perubahan membangun kepercayan diri sebagai negara yang lama terjajah, dan

membersihkan diri pengaruh dan sisa-sisa bentuk penjajahan. Perubahan yang

utama adalah dengan mengkontruksi dan membangun serta membentuk

hukum baru, hukum yang mencerminkan nilai budaya dan sosial leluhur

bangsa Indonesia, mengembalikan kemandirian dan jati diri yang lama hilang.

1

Dengan memasukkan unsur hukum adat diindonesia yang berdasarkan pada

pandangan hidup dan pandangan dunia yang ada pada masyarakat indonesia.

Pandangan ini muncul sebagai hasil refleksi terhadap hidup, situasi atau

kondisi, budaya, kepercayaan, alam, perilaku dan kebutuhan-kebutuhan hidup

suatu masyarakat.

Pertimbangan ragam etnis di Indonesia yang amat bervariasi dan

ratusan jenis suku dan budaya, menjadi suatu keharusan produk hukum yang

ada mengatur segala suku dan ras yang ada, tentu dengan pertimbangan

penyesuaian budaya masing-masing suku tersebut. Harapan terbesar kita

adalah norma dan hukum tersebut merupakan hasil cipta dan karya masyarakat

Indonesia yang menggalinya dari nilai-nilai kearifan lokal yang sumber dari

falsafah hidup para leluhur. Sebagaimana Pancasila menjadi falsafah bangsa

Indonesia dan menjadi “Sumber tertib hukum bangsa Indonesia” karena

Pancasila di anggap produk norma yang mencerminkan budaya seluruh

masyarakat Indonesia. Inilah tantangan terbesar bangsa Indonesia untuk segera

membangun hukum yang berkarakter budaya kearifan lokal, yang

mengakomodir kepentingan rakyat Indonesia secara keseluruhan, sehingga

tercipta hukum yang dicita-citakan.

Sebagai salah satu negara yang terbawa dalam arus kepentingan global.

Indonesia harus beradaptasi dan menerima segala perbedaan dengan egaliter

baik individu maupun kelompok  yang berkaitan dengan pendapatan, ide,

bahasa, adat istiadat dan kebiasaan orang atau kelompok lainnya dalam suatu

negara atau berbagai negara. Namun salah satu karakter masyarakat

globalisasi adalah kerentanannya terhadap konflik. Kerentanan ini bukanlah

sesuatu yang harus diresahkan, karena sesungguhnya potensi konflik tersebut

dapat diminimalisir atau diubah menjadi sesuatu yang positif.

Globalisasi menjadi sebuah tantangan dan ujian Falsafah bangsa

Indonesia, apakan falsafah yang ada di dalam nilai dan butir-butir Pancasila

dapat bertahan dengan falsafah global tersebut atau kah justru seiring waktu

hilang dan terkikis budaya global yang cenderung tidak sesuai dengan kultur

dan budaya masyarakat Indonesia. Mungkinkah kita dengan cepatnya

2

terpengaruh globalisasi, hingga sendi-sendi pancasila yang menjadi landasan

dalam pembentukan hukum positif di Indonesia luntur dan sirna berganti

hukum yang di bangun atas dasar Kapitalisme dan Liberalisme yang menjadi

ciri masyarakat global.

B. Perumusan Masalah

Seperti digambarkan dalam pendahuluan diatas, bahwa kita harus

mempertegas pendirian dan kepribadian bangsa Indonesia. Sehingga

perumusan permasalahan dalam makalah ini adalah.

1. Apa falsafah bangsa Indonesia.?

2. Bagaimana Pengaruh globalisasi terhadap hukum dan Falsafah bangsa

Indonesia

3. Bagaimana menciptakan hukum yang baik di era globalisasi.?

C. Tujuan

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:

1. Agar penulis dan pembaca mengetahui Apa falsafah bangsa Indonesia.?

2. Bagaimana Pengaruh globalisasi terhadap hukum dan Falsafah bangsa

Indonesia

3. Bagaimana menciptakan hukum yang baik di era globalisasi.?

3

BAB II

PEMBAHASAN

Ilmu hukum yang berciri positivistik itu terus berkembang dan seiring

dengan datangnya belanda ke Indonesia, corak positivistik itu juga dibawa dan

dibiarkan hidup bersama selama penjajahan. Maka pada jaman kolonialisme

Belanda di Indonesia, ilmu hukum nya adalah ilmu hukum belanda dan bersifat

positivistik. Kalaupun mau dikatakan bahwa hukum adalah cerminan jiwa bangsa

sebagaimana dikatakan Von Savigny, baik norma hukum nya maupun ilmu nya

adalah cerminan jiwa Belanda. Tidak ada yang mau mengatakan nya sebagai

“cerminan jiwa dari bangsa yang dijajah”

Sebagaimana dengan norma hukum positif Belanda yang bercorak civil

law, demikian pula ilmu hukum nya pun bercorak civil law. Tradisi dan bahkan

sistem ini tidak peduli dengan kenyataan sosial berupa nasib dan peruntungan

rakyat, melainkan lebih mementingkan pengaturan-pengaturan yang sudah ada

dan lebih-lebih yang tertulis.

Satjipto rahardjo mengemukakan sebagai berikut “respon dari ilmu hukum

adalah membangun suatu tatanan hukum yang penuh dengan kepastian- kepastian-

kepastian ini menyelamatkan produk sains dan teknologi dengan memberikan

konfirmasi. Maka era ilmu hukum pun menjadi suatu era yang penuh dengan

kepastian yang berpuncak pada kodifikasi. Kodifikasi ini menampilkan hukum

dalam bentuk nya sebagai suatu skema yang tuntas dan kaku” Dengan adanya

proklamasi kemerdekaan pengaruh positivistik Belanda tidak lantas hilang begitu

saja, pengaruh itu masih ada dan tentu filsafat nya juga tidak hilang dengan

sendiri nya.

Kita hanya mampu memberikan pengandaian filosofis saja, bahwa semua

norma hukum positif indonesia berdasarkan pancasila dan karena nya ”tidak

mungkin” bertentangan dengan pancasila itu sendiri. Bila ini tidak sesuai dengan

kenyataan, maka bisa saja itu “ bukan kebenaran korespondensi”, melainkan

sekedar sebuah keyakinan ideologis. Demikian juga hal nya, bahwa kita tidak

mungkin mengabaikan pemikiran lain yang hinggap dikepala para pembuat

4

kebijakan pembangunan dan perumus ketentuan hukum positif pada rezim orde

baru. Yakni aliran positivisme yuridis menjadi rujukan sadar atau tidak sadar

dalam menentukan bentuk, isi dan tujuan norma hukum yang biasa disebut-sebut

sebagai alat bagi berhasil nya suatu pembangunan.

Maka boleh saja diduga bahwa norma hukum positif indonesia, baik dalam

arti substansi, bentuk dan tujuan lebih berorientasi kapitalisme dan positivisme

yuridis dan sosiologis (karena pembangunan fisik, termasuk ekonomi) daripada

empirisme pancasila.

Hukum positif (ius constituum) adalah keseluruhan peraturan perundang-

undangan yang secara resmi dibuat oleh badan atau lembaga yang berwenang

untuk itu dan peraturan perundangan-undangan itu saat ini masih sedang berlaku.

Substansi dan tujuan nya un beranekaragam, untuk berbagai urusan, keperluan

atau kepentingan tertentu dalam masyarakat dan negara. Peraturan perundangan-

undangan positif itu menurut pasal 7 ayat (1) UU No. 10 tahun 2004 tentang

pembentukan peraturan perundangan-undangan mempunyai hierarki sebagai

berikut : UUD 1945, UU/Perpu, peraturan pemerintah, Peraturan Presiden dan

Perda. Sementara itu peraturan yang tidak tertulis (hukum adat atau kebisaaan)

adalah semua hukum tidak tertulis sejauh masih ada, diakui dan dipraktikkan di

indonesia

Dilain pihak secara akademik ada juga pembahasan tentang fungsi

Pancasila sebagai Rechtsidee (cita hukum) pada tataran filosofis yang

berdasarkan gagasan Hans Kelsen, Gustav Radbruch dan Hans Nawiasky.

Misalnya dikatakan bahwa pancasila adalah semacam Leitstern (bintang

pemandu), yang mengarahkan hukum bukan kepada dirinya sendiri melainkan

kepada apa yang dicita-citakan masyarakat. Disamping itu sebagai cita hukum,

pancasila juga mempunyai fungsi regulatif dan konstitutif. Fungsi regulatif

berkaitan dengan penentuan keadilan sebagai isi dari hukum. Sementara itu fungsi

konstitutif cita hukum adalah sebagai dasar arau landasan pemakna sistem hukum.

Dari situ dapat dikatakan juga bahwa pancasila menjadi penentu keberlakuan

filosofis norma hukum nasional kita.

Notonagoro meletakkan dasar pengembangan diskursus dalam bentuk

5

pikiran filsafat mengenai sistem hukum Indonesia. Walaupun pendapatnya

terkesan sudah klasik namun tetap penting sebagai sumber inspirasi. Selain

Notonagoro, juga ada filsuf lain yang berbicara tentang Pancasila yaitu N.

Driyarkara. Memang ia tidak berbicara secara khusus tentang sistem hukum,

tetapi dengan mengetahui sistem filsafat Pancasila nya kita dapat mengetahui juga

(dengan penafsiran) yang ia maksudkan dengan sistem hukum. Dalam kumpulan

karangannya, ia berbicara tentang Pancasila berangkat dari pertanyaan tentang

manusia, pertanyaan yang dikutip nya dari filsuf Max Scheler : siapakah manusia

itu dan bagaimana kedudukannya dalam realitas. Pancasila adalah sebuah

pertanyaan dan sekaligus jawaban mendasar tentang manusia Indonesia. Dalam

jawaban filsafat nya yang panjang ia mengatakan antara lain bahwa pancasila itu

adalah Liebendes Miteindersein (ada bersama dalam cinta kasih) yang ideal nya

menjadi dasar bagi sistem hukum. Sistem hukum secara demikian tidak hanya

sekedar sistem yang didalam nya terdapat berbagai macam peraturan perundang-

undangan ditambah asas-asas, melainkan terutama manusia-manusia dan

kehidupan bersama yang didasari oleh prinsip kemanusiaan yang meliputi

berbagai aspek. Pancasila yang ditemukan hakikat atau sebab terdalamnya sebagai

perikemanusiaan, meliputi, menjiwai dan menjadi dasar bagi sistem hukum.

Sistem hukum kita tentunya bukan sistem yang kebal terhadap berbagai

aliran-aliran seperti pemikiran yunani romawi, hukum alam, hukum postivisme,

teori hukum kelsen dan lain-lain. Sistem hukum kita terbuka, berkaitan dengan

kebebasan otoritas serta kehendak umum masyarakat untuk menerima atau

menolak aliran-aliran itu. Disini pancasila menjadi patokan penerimaan atau

penolakan sebagaian atau seluruh aliran

A. Falsafah Bangsa Indonesia

Menurut Supomo, sebagai pakar hukum adat dan konseptor hukum

dasar kita itu mengutarakan pendapatnya, bahwa; falsafah bangsa Indonesia

adalah Pancasila yang telah mencakup 3 dimensi segitiga sama sisi Pancasila,

yakni; Dimensi Filsafat, Dimensi Politik Ideologis dan Dimensi Yuridis.

1. Dimensi Filsafat

Dimensi filsafat secara tegas di tuliskan dalam kalimat “Ikut

6

melaksanakan ketertiban dunia ” kalimat ini jelas-jelas bertentangan

dengan Filsuf Thomas Hobbes yang mengatakan “Homo Homini Lupus”

manusia yang satu merupakan serigala bagi manusia yang lain, di sini jelas

keberadaan manusia yang satu merupakan ancaman bagi manusia yang

lain, Bellum Omnium Contra Omnes “Perang semua melawan semua yang

artinya bahwa situasi masyarakat yang diwarnai oleh persaingan dan

peperangan, Siapapun bisa menjadi musuh. Manusia yang satu bisa

memakan dan mengorbankan manusia lain demi tujuan yang ingin dicapai.

Pada satu waktu ungkapan itu mungkin benar, tapi pada satu sisi yang lain

itu merupakan ancaman keamanan bagi kita yang berharap sebuah keadaan

yang damai dan nyaman.

Dari dua falsafah di atas sudah nampak jelas berbedanya, kita bangsa

Indonesia yang berkultur agamis dan berbudaya gotong royong,

menghendaki sebuah tatanan masyarakat yang harmonis dan

menginginkan adanya kedamaian dalam menjalani kehidupan.

Falsafah bangsa Indonesia tertuang dalam pokok pikiran pembukaan

UUD 1945, yaitu; Negara persatuan Indonesia, keadilan sosial, negara

berdaulat berdasarkan kerakyatan dan perwakilan, serta Ketuhanan Yang

Maha Esa berdasarkan kemanuasian yang adil dan beradab. Pemikiran

tersebut sangat jelas diwarnai hukum umat islam sebagai penganut agama

terbesar di Indonesia. Pemikiran tersebut implementasi dari Al-Qur’an

Surat Al Hujarat ayat 13, “Ya ayuhannas Innakholaknakum mindzakari wa

unsta, waja’alnakum syu’uba wa qobailla walita’arofi’ Innaakromakum

indallah atkomum innallaha a’limilmukhobir” yang artinya Hai Manusia,

sesungguhnya kami ciptakan kamu dari laki-laki dan seorang perempuan

dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling

kenal mengenal. Dalam isi kandungan ayat ini menjelaskan bahwa kita

manusia; memiliki kedudukan yang sama di sisi Allah, kelebihan masing-

masing hanya terletak pada kadar ketakwaan kepada Allah SWT, manusia

dikumpulkan oleh Allah berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling

kenal mengenal, saling menghormati dan saling membantu antara sesama

7

manusia.

2. Dimensi Politik Ideologis

Menurut Hendry, Ideologi memiliki unsur : pandangan yang

komprehensif, penataan kehidupan sosial politik, kesadaran dan

pencanangan, usaha mengarahkan masyarakat menerima dan menjangkau

masyarakat yang lebih luas.

3. Dimensi Yuridis.

Dalam dimensi yuridis Pancasila sebagai Grundnorm (menurut Hans

Kelsen) dimana mengandung arti bahwa Pancasila memberikan kofigurasi

dalam mempersatukan sistem hukum nasional kita sebagai suatu tertib

hukum. Sehingga Pancasila adalah nasionalisme inklusif bersifat terbuka

yang mengandung 5 sifat; yakni, Bhineka tunggal Ika, Etis, Universalistik,

Terbuka secara kultur dan religi dan Percaya diri.

Bahwasanya apa yang dijadikan dasar filsafat negara itu akan

menjadi sumber tertib hukum dan sumber tertib kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara. Pancasila telah terima dan dikukuhkan menjadi

dasar negara dengan dituangkan nya di dalam Pembukaan UUD 1945,

yang dalam perkembangan pemikirannya selanjutnya diakui dan diterima

bersama seluruh bangsa dan rakyat Indonesia bahwa Pancasila sekaligus

sebagai Ideologi bangsa dan negara dan berhakikat juga sebagai Pokok

Kaidah Fundamental Negara Republik Indonesia yang dengan jalan hukum

tidak lagi dapat di ubah. Sangat besar sumbangan para Filsuf bangsa

Indonesia terhadap lahirnya Ideologi Negara, yaitu Pancasila. Mereka yang

patut mendapatkan penghargaan atas lehirnya Pancasila seperti;

Notonagoro, Drijakara, Siswomiharjo, Poespowardoyo, Darmodhiharjo,

Pranarka, Sastrapratedja, dan tokoh-tokoh lainnya.

Sumbangan pemikiran itu sedemikian penting dalam upaya-upaya

pembangunan bangsa (Nation and character building), memotivasi

kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia ke arah yang lebih bermartabat.

Pancasila diberi kedudukan sebagai Grundnorm, menurut istilah

yang dipakai Kelsen dan dalam kedudukannya yang demikian, Pancasila

8

memberikan konfigurasi dalam arti mempersatukan sistem hukum nasional

kita sebagai suatu tertib hukum atau legal orde kita. Pada sisi lain teori

kelsen dapat dipinjamkan pula guna menerangkan secara yuridis tentang

dasar mengikatnya suatu peraturan hukum. Misalnya, bahwa kekuatan

mengikatnya suatu Peraturan Pemerintah adalah karena Peraturan

Pemerintah yang bersangkutan menadasarkan diri kepada suatu peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu dalam hal ini Undang-undang

yang berkaitan. Dengan demikian undang-undang yang bersangkutan

menjadi sumber hukum bagi Peraturan Pemerintah tersebut. Demikian

pula suatu Undang-undang mempunyai dasar kekuatan mengikatnya pada

ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Dasar.

Dalam kaitannya dengan pengertian bahwa Indonesia adalah suatu

negara hukum yang berdasarkan Pancasila, pada bagian ini diungkapkan

tentang kaitan antara Bangsa Indonesia – Pancasila – Hukum Nasional.

Sebagaimana diungkapkan oleh Notonagoro bahwa Bangsa Indonesia itu

adalah suatu bangsa yang menyadari perihal hidup bersama dengan

bangsa-bangsa lain di dunia.

Notonagoro berpendapat bahwa “lingkungan Pancasila lebih luas,

meliputi hidup bersama bangsa-bangsa dan memang itu sudah sewajarnya,

karena mengandung sifat kodrat kemanusian dan sifat kodrat kemanuasian

itu adalah Universal.

B. Pengaruh globalisasi terhadap hukum dan Falsafah bangsa Indonesia

Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang

maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi

adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri

dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi

belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working

definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang

memandangnya sebagai suatu proses sosial atau proses sejarah, atau proses

alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin

9

terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan

ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan

budaya masyarakat

Scholte mengatakan bahwa ada beberapa devinisi dari globalisasi:

1. Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan

internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan

identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu

sama lain.

2. Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkan batas

antar Negara.

3. Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya

hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu

lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.

4. Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi

dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga

mengglobal.

5. Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda

dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-

masing negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian

yang kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar

gabungan negara-negara.

Masyarakat bangsa dan negara Indonesia tidak dapat menghindarkan

diri untuk menjadi masyarakat dan negara yang modern. Disadari bahwa

suatu kehidupan modern mempunyai kompleksitas permasalahan.

Permasalahan-permasalahan sosial dan humaniora atau kemanusian.

Demikian dalam kehidupan negara yang modern tidaklah terelakan

munculnya pluralisme, atau persepsi yang berbeda mengenai berbagai hal,

baik yang bersifat subtanstif maupun yang bersifat teknis.

Dalam menghadapi pluralisme ini diperlukan pola pikir yang tertata

serta arif sehingga pluralisme tidak secara otomatis berkonotasi negatif

10

melainkan kepadanya justru dapat diberikan muatan positif dan kontruktif

yang menimbulkan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan masyarakat,

bangsa dan negara. Oleh karena itu di dalam pluralisme itu dipahami sebagai

mengandung tantangan dan peluang agar bangsa Indonesia sanggup dalam

menghadapi berbagai persepsi terhadap fakta-fakta yang dihadapi yang

bersifat kompleks serta pluralisme dalam sikap dan prilaku masyarakat itu

menunjukan sikap toleran dan saling menghormati serta memberikan

pengakuan terhadap persepsi yang berbeda-beda dari pada persepsi yang

dimiliki diri sendiri. Hal yang demikian itu sanggup pula untuk menjalin

hubungan kerjasama yang serasi guna mewujudkan kepentingan dan tujuan

yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dengan demikian pluralisme tidak dengan sendirinya berkonotasi

pertentangan, konflik apalagi permusuhan.

Siswomiharjo dalam uraiannya yang berjudul “Pluralisme dalam

semangat Bhineka Tunggal Ika” memberikan penjelasan sebagai berikut;

Bagi bangsa Indonesia, dimana keanekaragaman agama, budaya, tradisi

ataupun adat-istiadat yang tumbuh berkembang pada suku-suku tersebut

diseluruh wilayah tanah air yang amat luas, memberikan konsekuensi logis

bahwa pluralisme Visi, dan orientasi serta aspirasi merupakan fakta yang harus

kita terima dan dihormati. Adanya pluralisme sebagai kenyataan yang harus

kita tranformasikan menjadi suatu aset atau modal pembangunan, kiranya akan

dapat kita wujudkan melalui dialog terus menerus dalam semangat Bhineka

Tunggal Ika.

Dalam kaitanya dengan keterbukaan, Hardjosoemantri dalam naskah

ceramahnya yang berjudul “Pancasila dan Globalisasi” (dipandang dari

persiapan generasi muda), menyampaikan pendapat bahwa keterbukaan

diakibatkan oleh adanya globalisasi. Keterbukaan di bidang ekonomi yang di

bawa oleh adanya globalisasi itu membawa implikasi persaingan, dan

penanganan masalah ini tidaklah dilakukan secara amatiristis dan bersifat

coba-coba, melainkan harus dilakukan secara proposional.

Menurut Hardjosoemantri, apabila kemampuan profesional itu tidak

11

diperhatikan, mengakibatkan kita tidak dapat bersaing dengan negara lain

yang masuk ke Indonesia dengan segala kecanggihannya, dan kita akan

tertinggal serta menjadi penonton di tanah air sendiri. Dalam hal ini

Hardjosoemantri memperkenalkan prinsip 3 (tiga) K, yakni :

1. Sikap keterbukaan

2. Sikap kebersamaan

3. Sipak kemitraan

Meminjam istilah yang dipakai oleh Nataatmadja, Prinsip 3 (tiga) K ini,

mungkin dapat disebut pula Trias K. Prinsip Trias K ini harus menjadi cara

hidup pemimpin, kini maupun peminpin akan datang. Hardjosoemantri juga

mengetengahkan tentang perlu bersatunya Iptek (ilmu pengetahuan dan

tekhnologi), yang disertai dengan Imtaq (iman dan takwa), keduanya

merupakan alat penepis yang ampuh bagi tiap-tiap insan Indonesia dalam

menghadapi arus informasi canggih yang masuk ke ruang setiap rumah,

terutama yang datangnya dari luar negeri dengan pola budaya yang berbeda-

beda dan dampaknya tidak selalu positif (Hardjosoemantri 1996:5).

Sumbangan pemikiran para pakar tersebut diatas sangat penting

artinya bagi upaya pengkajian ataupun pemahaman tentang Pancaila sebagai

ideologi terbuka. Pengayaan pengetahuan akan memberikan pengaruh berupa

pengayaan tindakan dan pengayaan tindakan berarti kemampuan untuk

memberikan jawaban terhadap kompleksitas tantangan dan permasalahan

yang dihadapi pada zaman modern.

C. Menciptakan hukum yang baik di era globalisasi

Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa : atas

berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan

yang luhur, supaya berkehidupan bangsa yang bebas, maka rakyat Indonesia

menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Amanat para pendiri bangsa yang tercantum dalam pembukaan

Undang-undang Dasar 1945 mengandung pesan yang amat mendalam

maknanya. Bagaimana supaya rakyat Indonesia dapat melaksanakan

12

kehidupan yang bebas sebagai suatu bangsa yang merdeka, hal itu menuntut

adanya persyaratan tertentu. Baik yang menyangkut hukum dan perundangan-

undangan, maupun sistem hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat

dengan berbagai aspek kehidupannya.

Berlakunya aturan hukum dalam masyarakat, tidak dengan sendirinya

akan membentuk tata hubungan masyarakat yang sesuai dengan cita-cita ideal

dari keinginan luhur para pembentuk Undang-undang Dasar 1945 tersebut.

Keberadaan berbagai macam aturan perundangan di dalam masyarakat-secara

kuantitatif tidak otomatis mewujudkan tata hubungan dan kehidupan yang

berkeadilan. Pengalaman pahit masyarakat bangsa kita selama masa

Penjajahan Belanda, menunjukan betapa perihnya perasaan batin dan

runtuhnya martabat kemanusiaan yang diperlakuakan secara diskriminatif dan

feodal oleh aturan perundangan dan pemerintah kolonial Belanda. Sungguh

ironis sebagai bangsa yang merdeka masih menjadi pewaris yang loyal

terhadap perangkat Undang-undang pemerintah Kolonial, yang nota bene

tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai kehidupan bangsa yang merdeka. Atau

mungkin kita hanya mampu meniru atau terampil menggunakan “Klise” dari

perundang-undangan pemerintah yang pernah menjajah bangsa kita. Dalam

arti kata kita belum mampu merangkai dan mengkontruksi hukum-hukum

yang beridentitas nasional.

Dalam rangka membangun kerangka dasar hukum nasional, maka

postulat moral dari kalimat “Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa” ,

perlu dipahami dan dihayati, agar setiap usaha mengkontruksi dan

membentuk hukum dan perundang-undangan tidak menyimpang dari spirit

perjuangan dan landasan moral yang di pancangkan dalam Undang-undang

Dasar 1945. Kalimat tersebut menunjukan adanya struktur rohaniah dari

bangsa kita, dimana cita rasa keadilan, kemerdekaan, spirit kekayaan,

kesamaan kedudukan dan norma-norma yang berlaku dalam masryarakat,

berhubungan secara berjalin berkelindan, sehingga tidak dapat dipisah-

pisahkan.

Dengan demikian, keberadaaan suatu aturan hukum menurut adanya

13

seperangkat persyaratan yang merupakan Conditio Sine Qua Non dengan

hakikat keberadaan hukum dasar dalam suatu negara. Apabila perangkat

tersebut tidak terpenuhi, maka keberadaan dan prinsip aturan hukum dan

perundang-undangan, akan berfungsi diametral dan/atau tidak sesuai dengan

tujuan dan prinsip hukum yang hakiki, yaitu Keadilan.

Mengenai hukum yang berkeadilan adalah telaah hukum yang

menyangkut muatan Falsafah bangsa Indonesia : Nilai, spirit, suka, dan pada

gilirannya mengaitkan dengan etos kerja penegakannya. Hukum yang tanpa

spirit, akan merupakan alat untuk melegitimasi penyalahgunaan kekuasaan

dan membenarkan kesewenang-wenangan hak-hak warga masyarakatnya.

Sejarah filsafat hukum telah menjadi saksi tentang eksistensi dan watak

hukum yang diterapkan di negara tertentu dengan corak pemerintahannya.

Dinegara Marxis misalnya, hukum hanya menjadi alat untuk mengawasi alat-

alat produksi dan mengawal rakyatnya yang telah dilepas hak-hak sipilnya,

sehingga hukum hanya sebagai alat penguasa belaka.

Penggunaan corak hukum dalam suatu negara, sebagai mana tersebut

diatas, secara teoritis dapat dilacak pada madzab atau aliran-aliran hukum

yang dipakainya, apakah aliran hukum alam, positivisme, sejarah,

sosiological yurisprudence, legal, realism dan lain sebagainya. Hanya saja,

manipulasi kekuasaan serta berbagai bentuk penyimpangan terhadapa hak

warga masyarakat dari suatu rezim pemerintahan, antara lain dapat dilihat

dari produk aturan hukum yang ditinggalkannya. Dinegara kita, Indonesia,

kita dapat melihat berbagai aturan hukum yang dipakai pada masa

pemerintahan Kolonial Belanda atau masa Demokrasi terpimpin.

Philip Nonet dan Philip Selznick Dalam buku hukum Responsif Pilihan

di Masa Transisi ini, menyampaikan pemikirannya, pendekatan hukum

responsif diharapkan bisa membantu memecahkan persoalan-persoalan yang

terjadi di masyarakat. Tujuan hukum harus benar-benar untuk

mensejahterakan masyarakat dalam kepentingan yang lebih besar, bukan

kepentingan mereka yang berkuasa. Philip Nonet dan Philip Selznick

mengahiri cara berpikir tertentu yang bersifat linier dan matematis, yang

14

dimaksud adalah meletakkan perkembangan dan pembangunan hukum

secara linier yang dikemas dalam bentuk “Teori Modernisasi”.

Teori tersebut berjaya dalam tahun 60-an tetapi mulai surut sejak tahun

70-an. Teori modernisasi secara sederhana mengatakan, bahwa negara-negara

berkembang akan mencapai suatu tingkat perkembangan hukum yang

dinikmati oleh negara-negara maju atau modern asal mau mengikuti jalan

yang ditempuh oleh masyarakat maju tersebut. Apabila negara berkembang

mampu menghilangkan hambatan-hambatan ke arah modernisasi, maka akan

dijamin menjadi negara maju. Jaminan tersebut lebih banyak tidak terbukti,

dan mulailah teori tersebut di tinggalkan. Sebab negara-negara berkembang

hanya mengikuti modernisasi sebatas budaya non hukum, yang cenderung

bersifat materialistis. Modernisasi juga cenderung merubah budaya bangsa

berkembang khususnya Indonesia yang lambat laun namun pasti bangsa kita

mulai kehilangan budaya dasar dan sikap kearifan lokal masyarakat.

Meskipun dalam perkembangan hukumnya mengikuti gaya teori modernisasi

namun belum tentu sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal tersebut, yang

jelas-jelas bersumber dari falsafah dan hasil perenungan para leluhur tentang

tata nilai yang ada.

Maka dari itu, Philip Nonet dan Philip Selznick mengembangkan model

Development. Kelebihan model development Philip Nonet dan Philip

Selznick terletak pada pemahamannya tentang betapa kompleks kenyataan

antara hukum dan masyarakat. Oleh teori modernisasi, realitas yang kompleks

telah direduksi menjadi sangat sederhana, sehingga gagallah teori tersebut

membuat ramalan tentang perkembangan hukum dalam masyarakat. Philip

Nonet dan Philip Selznick menyadari kenyataan yang rumit antara hukum dan

masyarakat. Disitulah kelebihan model development mereka. Hal tersebut

memperkuat keyakinan bahwa semakin kokoh suatu teori berpijak pada

kenyataan semakin besar pula kekuatannya. Kendatipun Philip Nonet dan

Philip Selznick mengunggulkan tipe hukum yang responsive tetapi itu tetap

dipegangnya dengan reserve. Keberhasilan hukum responsive akan sangat

ditentukan oleh tersedianya modal sosial dalam masyarakat yang

15

bersangkutan. Bahkan apabila yang kita inginkan adalah stabilitas, maka

kedua penulis tersebut lebih mengunggulkan tipe hukum yang otonom.

Sebelum melangkah pada pemikiran hukum yang responsive, Philip

Nonet dan Philip Selznick membedakan (3) tiga klasifikasi dasar hukum

dalam masyarakat, yaitu:

1. Hukum Represive : hukum sebagai pelayan kekuasaan represive.

2. Hukum Otonom : hukum sebagai institusi sendiri yang mampu

menjinakkan refresi dan melindungi integritas dirinya.

3. Hukum Responsive: hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon

terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial.

Philip Nonet dan Philip Selznick beranggapan bahwa hukum represive,

hukum otonom dan hukum responsive bukan saja merupakan tipe-tipe hukum

yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan

evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib soaial dan tertib politik.

Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai

model perkembangan (developmental model). Diantara ketiga tipe hukum

tersebut Philip Nonet dan Philip Selznick berargumen bahwa hanya hukum

responsive yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil.

Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom,

dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang

menimbulkan tidak hanya resiko kembalinya pola-pola represive namun juga

kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih besar.

1. Hukum Represif

Hukum yang mengabdi kepada kekuasaan dan tertib sosial yang

represif. Artinya, banyak mengandalkan penggunaan paksaan tanpa

memikirkan kepentingan yang ada di pihak rakyat. Perhatian paling utama

hukum represif adalah dengan dipeliharanya atau ditetapkannya tata tertib,

ketenangan umum, pertahanan otoritas, dan penyelesaian pertikaian. Pada

umumnya, hukum represif menunjukan karakteristik sebagai berikut :

a) Institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik; hukum diidentifikasikan dengan negara kepada rai-son d’etat;

16

b) Perspektif resmi (Edmand Chan) mendominasi segalanya. Dalam prespektif ini penguasa cenderung mengidentifikasikan kepentingan masyarakat;

c) Kepentingan bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan, dimana mereka dapat memperoleh perlindungan dan jawaban atas keluhan-keluhannya, apabila keadilan semacam itu memang ada, adalah terbatas;

d) Badan-badan khusus, seperti polisi menjadi pusat-pusat kekuasaan yang bebas;

e) Suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan kelas dengan mengkonsolidasi dan mengesahkan pola-pola subordinasi sosial;

f) Hukum dan otoritas resmi dipergunakan untuk menegakan konformitas kebudayaan.

2. Hukum otonom

Jika hukum represif mengabdi kepada kekuasaan yang represif, maka

hukum otonom berorientasi pada pengawasan kekuasaan represif. Artinya,

hukum otonom merupakan antitesis dari hukum represif. Sifat-sifat yang

paling penting dari hukum otonom adalah; Pertama,penekanan pada

aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan

resmi; Kedua, adanya pengadilan yang dapat didatangi secara bebas, yang

tidak dapat dimanipulasi oleh kekuasaan politik dan ekonomi, serta

memiliki otoritas eksklusif untuk mengadili pelanggaran hukum, baik oleh

pejabat umum maupun individu-individu. Hukum otonom menunjukan

tiga titik kelemahan yang membatasi potensial hukum untuk memberi

sumbangan kepada keadilan sosial, diantaranya; pertama, perhatian yang

terlalu besar terhadap aturan-aturan dan kepantasan prosedural mendorong

suatu konsep yang sempit tentang peranan hukum. Mematuhi aturan-

aturan dengan ketat dilihat sebagai suatu tujuan tersendiri dan menjadi

terlepas dari tujuan; kedua, keadilan prosedural dapat menjadi pengganti

keadilan substansif; ketiga, penekanan atas kepatuhan terhadap hukum

akan melahirkan pandangan tentang hukum sebagai suatu sarana kontrol

sosial; ia mengembangkan suatu mentalitas hukum dan tata tertib di antara

rakyat; dan mendorong ahli-ahli hukum untuk mengadopsi suatu sikap

yang konservatif.

17

3. Hukum Responsif

Pencarian hukum responsif telah menjadi perhatian yang sangat besar

yang terus menerus dari teori hukum modern untuk membuat hukum lebih

responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial dan memperhitungkan

secara lebih lengkap dan cerdas tentangfakta sosial yang menjadi dasar dan

tujuan penerapan dan pelaksanaan hukum. Sifat responsif dapat diartikan

sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan

ditemukan, bukan oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sajipto Rahardjo

menyebut hukum responsif sebagai lebih peka terhadap masyarakat.

Karakteristik yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah:

pertama, pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan

tujuan; kedua, pentingnya kerakyatan, baik sebagai tujuan hukum maupun

cara untuk mencapainya.

Karakteristik utama dari setiap tipe hukum dalam masyarakat, yang

diintroduksikan Nonet dan Selznick, disimpulkan di dalam bagan berikut :

HUKUM REPRESIF

HUKUM OTONOM

HUKUM REPONSIF

TUJUAN HUKUM LEGITMASI

Tata tertib

Pertahanan Sosial dan raison d’etat (demi kepentingan negara sendiri)

Legitmasi

Keadilan Prosedural

Kompetensi

Keadilan Subtansif

ATURAN-ATURAN

Kasar dan mendetail, tetapi hanya lemah sekali mengingkat pembuatnya

Panjang lebar; mengingkat baik yang memerintah maupun yang diperintah

Tunduk kepada prinsip dan kebijaksanaan

ALASAN Ad hoc; cepat dan khusus

Menghormati sekai otoritaas hukum; mudah menjurus ke

Bertujuan; perluasan kopetensi

18

formalisme dan legalisme

kognitif

KEBIJAKAN Sangat umum; oportunistis

Terikat pada aturan; kurang pendelegasian

Banyak dipakai tetapi demi tujuan yang dapat dipertanggungjawabkan

PEMAKSAAN Ekstensif; dikendalikan secara lemah

Diawasi kendali-kendali hukum

Pencarian alternatif secara positif; sistem-sistem kewajiban swasembara

MORALITAS Moralitas komunal; moralisme hukum; moralitas pengawasan ketat (demi kepentingan negara sendiri)

Moralitas institusional, yaitu sangat memperhatikan integritas proses hukum

Moralitas rakyat; moralitas kerjasama

POLITIK Hukum tunduk kepada politik, tetapi hanya lemah sekali mengingkat pembuatnya

Hukum bebas dari politik; pemisahan kekuasaan maupun yang diperintahkan

Aspirasi-aspirasi hukum dan politik berintegrasi pembauran kekuasaan

HARAPAN KETAT

Tanpa syarat tidak taat harus dihukum sebagai pembangkangan

Penyimpangan aturan dibenarkan secara musah menjurus hukum, misalnya untuk mengkaji kesahihan undang-undang atau perintah-

Tidak taat dilihat sebagai kerugian substansif; dipandang sebagai pengajuan isu tentang

19

perintah legitmasi

PARTISIPASI Menurut dengan patuh; kritik tanda tidak loyal

Kemungkinan dibatasi oleh prosedur-prosedur yang dibuat; munculnya kritik hukum

Kemungkinan diperluas oleh integrasi kepengacaraan hukum dan sosial

.

20

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum yang ada saaat ini sudah tidak lagi mencerminkan Falsafah

Pancasila dan UUD 1945, bahkan semakin jauh menyimpang, menjadi

kepentingan kelompok tertentu untuk memperoleh keuntungan tertentu. Maka

era ilmu hukum pun menjadi suatu era yang penuh dengan kepastian yang

berpuncak pada kodifikasi. Kodifikasi ini menampilkan hukum dalam bentuk

nya sebagai suatu skema yang tuntas dan kaku ,tanpa melihat kaitan antara

hukum dengan persoalan-persoalan masyarakat yang harus ditangani. Di satu

sisi, hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari

penguasa, tapi di sisi lain terdapat pemahaman hukum yang menekankan

aspek legitimasi dar peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal hukum

semestinya tidak buta terhadap konsekuensi social politik yang ada dan tidak

kebal terhadap berbagai pengaruh kepentingan.

Pemikiran Philippe Nonet dan Philip Selznick secara garis besar

mengupas tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu hukum

sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi

tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya

(hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respons

terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif). Dari ketiga

klasifikasi tipe hukum itu, tipe hukum responsiflah yang paling menjanjikan

tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil di Indonesia. Sehingga model

pengembangannya (development model) dapat disusun ulang secra lebih

fokus dan kontekstual.

Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan- tujuan yang akan

dicapai diluar hukum. Dalam tipe hukum ini, tatanan hukum dinegosiasikan,

bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah

mencari nilai-nilai tersirat dalam peraturan dan kebijakan, karena pada

dasarnya teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan

21

kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai

tujuan.

Hukum responsif tidak hanya berorientasi pada rules, tetapi juga logika-

logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup,

tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial, dan ini

merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses

penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa

membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis.

Produk hukum yang berkarakter responsif, proses pembuatannya bersifat

partisipatif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua

elemen masyarakat, baik dari segi individu ataupun kelompok masyarakat,

dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak

dari masyarakat, artinya, produk hukum itu bukan kehendak dari penguasa

untuk melegitimasikan kekuasaannya.

Dalam model pengembangannya (development model), hukum responsif

berupaya memecahkan persoalan mendasar dalam membangun sistem politik-

hukum, dimana tanpa adanya sistem politik-hukum inni mustahil bagi

perkembangan hukum dan politik untuk bergerak ke arah yang lebih baik,

penerapan hukum responsif tidak terlepas dari integrasi yang dekat antara

hukum dan politik, wujud dari integrasi yang sangat dekat ini adalah adanya

subordinasi langsung dari institusi-institusi hukum terhadap elite-elite yang

beruasa, baik di sektor publik maupun swasta. Karena selama ini disadari atau

tidak, selain tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, keberadaan hukum

juga menjadi ancaman bagi masyarakat. Pada kondisi inilah hukum tidak

dapat dilakukan setengah-setengah. Menjalankan hukum tidak hanya

menjalankan undang-undang, tetapi harus memiliki kepekaan sosial. Sudah

waktunya para aparat penegak hukum responsif sebagai landasan

diberlakukannya keadilan sejati dari kenyataan-kenyataan sosial yang terjadi

di masyarakat.

Penegakan hukum responsif diharapkan bisa membantu memecahkan

persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Tujuan hukum harus benar-

22

benar untuk mensejahterakan masyarakat dalam kepentingan yang lebih

besar, bukan untuk kepentingan kaum elite yang berkuasa.

Secara substansial hukum tidak lepas dari struktur rohaniah masyarakat

yang bersangkutan, atau masyarakat yang mendukung hukum tersebut.

Karena hukum mempunyai korelasi dengan kebudayaan, struktur berpikir,

dasar nilai, keimanan, penjelmaan kepribadian, sifat dan corak masyarakat.

Hukum sebagai prasarana mental, spritual dalam proses interaksi antara

manusia dengan penciptanya serta antara manusia dengan sesama manusianya

atau dengan lingkungannya.

Hukum yang secara esensial, selalu ada dan mengada di dalam

masyarakat, senantiasa terkait dengan postulat moral yang hidup dalam

masyarakatnya. Konseptualisasi moralitas yang agamis maupun yang

psikologis, senantiasa terjalin erat dalam proses eksistensi hukum, moralitas

dan kebiasaan tingkah laku sosial. Pada saat yang bersamaan juga terlihat

adanya kawasan-kawasan yang berbeda antara hukum, moral, dan kebiasaan

tingkah laku sosial. Hukum memerlukan prinsip-prinsip akhlak atau moral

spiritual yang langgeng. Pola perilaku dari masyarakat pendukung norma

tersebut, sebagai eksponen faktual, memerlukan pedoman tata nilai, agar

perjalanan masyarakat tersebut mempunyai kepastian arah dalam menuju

kebenaran dan keadilan, atau tatanan kehidupan yang ideal.

Arus globalisasi adalah suatu keniscayaan yang tidak mampu kita

hindari, kehadirannya tentu membawa konsekuensi perubahan yang positif

dan negatif, bangsa ini sudah terbiasa sebenarnya dengan masuknya budaya

yang majemuk karena pada dasarnya bangsa Indonesia merupakan bangsa

yang memiliki banyak suku dan bangsa yang berbeda-beda, baik dari bahasa,

budaya, dan hukum masing-masing adatnya, maupun yang lainnya. Kita

dapat mensikapinya dengan menyiapkan segala perangkat kemandirian

budaya yang kokoh dan hukum yang beridentitas naional yang merujuk pada

falsafah Pancasila, sehingga sekuat apapun arus globalisasi dunia menerjang

tentu akan mampu kita hadapi dengan penuh percaya diri. Yang paling pokok

bagi bangsa kita adalah membangun rasa kepercayaan pada diri sendiri

23

dengan Iptek dan Imtaq, agar tidak mudah terpengaruh dalam menghadapi

perubahan zaman yang akan datang dengan nama globalisai.

Sistem hukum kita tentunya bukan sistem yang kebal terhadap berbagai

aliran-aliran seperti pemikiran yunani romawi, hukum alam, hukum

postivisme, teori hukum kelsen dan lain-lain. Sistem hukum kita terbuka,

berkaitan dengan kebebasan otoritas serta kehendak umum masyarakat untuk

menerima atau menolak aliran-aliran itu. Disini pancasila menjadi patokan

penerimaan atau penolakan sebagaian atau seluruh aliran

24

DAFTAR PUSTAKA

Artijo, Alkostar. 1997. Identitas Hukum Nasional. Yogyakarta.

C.S.T Kansil. 2011. Sejarah Hukum. Suara Harapan Bangsa. Jakarta

Darji, Darmodiharjo Sidharta. 1995. Pokok-pokok Filsafat Hukum. Jakarta.

Gramedia Pustaka Utama.

Dimyati, Khudzaifah. 2010. Teorisasi Humum Studi Tentang Perkembangan

Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990 cetakan ke-5. Genta Publishing.

Yogyakarta

Hyronimus, Rhiti. 2011. Filsafat Hukum (dari Klasik ke Postmodernisme).

Universitas Atma Jaya. Jogjakarta.

Prihatinah, Tri Lisiani. Diktat Kuliah Filsafat Hukum.

25