49
BAB l PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Salah satu hal yang terpenting dalam sebuah ilmu adalah sejarah dari ilmu itu sendiri. Sejarah sebuah ilmu akan sangat membantu seseorang dalam mempelajarinya. Bagaimana ilmu itu dapat berkembang sedemikian rupa, bagaimana cara berfikir dalam bidang ilmu tersebut, atau bagaimana satu sejarah dapat merubah pola pikir dalam pemikiran seseorang. Begitu juga sejarah ilmu-ilmu dalam peradaban Islam. Peradaban Islam muncul tidak lepas dari berbagai pemikiran yang berkembang dalam Islam. Berbagai pemikiran yang muncul tersebut biasa disebut filsafat Islam. Pemikiran yang berkembang dalam filsafat Islam memang didorong oleh pemikiran filsafat Yunani yang masuk ke Islam. Namun, hal itu tidak berarti bahwa filsafat Islam adalah nukilan dari filsafat Yunani. Filsafat Islam adalah hasil interaksi dengan filsafat Yunani dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan pemikiran rasional umat Islam telah mapan sebelum terjadinya transmisi filsafat Yunani ke dalam Islam. Filsafat Islam : Al-Farabi | 1

Filsafat Islam: al_Farabi

  • Upload
    uinsby

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB l

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu hal yang terpenting dalam sebuah ilmu

adalah sejarah dari ilmu itu sendiri. Sejarah sebuah

ilmu akan sangat membantu seseorang dalam

mempelajarinya. Bagaimana ilmu itu dapat berkembang

sedemikian rupa, bagaimana cara berfikir dalam bidang

ilmu tersebut, atau bagaimana satu sejarah dapat

merubah pola pikir dalam pemikiran seseorang. Begitu

juga sejarah ilmu-ilmu dalam peradaban Islam.

Peradaban Islam muncul tidak lepas dari berbagai

pemikiran yang berkembang dalam Islam. Berbagai

pemikiran yang muncul tersebut biasa disebut filsafat

Islam. Pemikiran yang berkembang dalam filsafat Islam

memang didorong oleh pemikiran filsafat Yunani yang

masuk ke Islam. Namun, hal itu tidak berarti bahwa

filsafat Islam adalah nukilan dari filsafat Yunani.

Filsafat Islam adalah hasil interaksi dengan filsafat

Yunani dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan pemikiran

rasional umat Islam telah mapan sebelum terjadinya

transmisi filsafat Yunani ke dalam Islam.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 1

Banyak tokoh-tokoh yang lahir pada era filsafat

Islam. Salah satunya al-Farabi. Al-Farabi adalah

seorang komentator filsafat Yunani yang sangat ulung di

dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa

berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf Yunani;

Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik.

Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti

matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik. Al-

Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi

dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-

Musiqa. Ia dapat memainkan dan telah menciptakan

berbagai alat musik.

Al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-

Kindi, tapi dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan

berpikir dan tingkat sofistikasi yang lebih tinggi

lagi. Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof

Muslim dalam arti kata yang sebenarnya, Al-Farabi

disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida

studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus

dibangun dengan tekun.1 Ia terkenal dengan sebutan Guru

Kedua dan otoritas terbesar setelah panutannya

Aristoteles.2 Ia termasyhur karena telah memperkenalkan

dokrin “Harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles”.3

1 Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Nurcholish Islam. 1984. Jakarta :Bulan Bintang, hal. 302 C. A Qadir, Philosophy and Science in Islamic World, terj. Yayasan Obor Indonesia Filsafat dan Pengetahuan dalam Islam. 1991. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, hal. 843 Mehdi Hairi Yazdi, ThePrinciples of Epistemology in Islamic Philosophy,

Filsafat Islam : Al-Farabi | 2

Ia mempunyai kapasitas ilmu logika yang memadai.4 Di

kalangan pemikir Latin ia dikenal sebagai Abu Nashr

atau Abunaser.5

Dalam makalah ini, kami akan membahas secara lebih

lengkap tentang tokoh al-Farabi. Biografi, pendidikan,

karya-karya, hingga pemikirannya. Sehingga para pembaca

dapat mengetahui siapa itu al-Farabi.

Knowledge by Presence, terj. Ahsin Muhammad, Ilmu Hudhuri Prinsip-prinsip Epistemology dalam Filsafat Islam. 1994. Bandung : Mizan, hal. 294 Nadim al-Jisr, Qissatul Iman alih bahasa A.Hanafi, Kisah Mantjari Tuhan. 1966. Jakarta : Bulan Bintang, Jilid I, hal. 565 Mulyadi Kartanegara, Mozaik Intelektual Islam Bunga Rampai dari Chicago. 2000. Jakarta : Paramadina, hal. 33

Filsafat Islam : Al-Farabi | 3

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana biografi tokoh filosof Islam al-Farabi?

2. Apa saja karya-karya yang telah dihasilkan al-

Farabi?

3. Bagaimana pemikiran al-Farabi dalam filsafat Islam?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui biografi tokoh filosof Islam al-

Farabi.

2. Untuk mengetahui karya-karya yang telah dihasilkan

al-Farabi.

3. Untuk mengetahui pemikiran al-Farabi dalam filsafat

Islam.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 4

BAB  II

PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI AL-FARABI

Abū Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Fārābi

(257H/870M-950M, Bahasa Persia: ی اراب�� �د فمحم ) adalah

ilmuwan dan filsuf Islam yang lahir di Wasij, distrik

Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar/Transoxiana),

Kazakhstan.6 Ia juga dikenal dengan nama lain Abū Nasir

al-Fārābi (dalam beberapa sumber ia dikenal sebagai Abu

Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah al-

Farabi, juga dikenal di dunia barat sebagai

Alpharabius, al-Farabi, Farabi, dan Abunaser.7

Kemungkinan lain, nama

lengkapnya adalah Abu Muhammad ibn

Muhammad Ibn Tarkhan ibn Auzalagh.

Ayahnya seorang jendral berkebangsaan

Persia, sebagian sumber mengatakan

bahwa ayahnya seorang opsir tentara

pada Dinasti Samaniyyah yang

menguasai wilayah Transoxiana wilayah otonom Bani6 http://id.wikipedia.org/ diunduh 30 Maret 2014.7 Anwarudin Harahap. 1981. Posisi Abu Nasr Al Farabi dalam Dunia Islam, skripsi sarjana. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 5

Abbasyyah.8 Keturunan Persia (kendatipun nama kakek dan

kakek buyutnya jelas menunjukkan nama Turki). Gambar

1.1 Potret al-Farabi

Ayahnya mengabdi pada pangeran-pangeran Dinasti

Samaniyyah.9 dan ibunya berkebangsaan Turki.10 Ia

dikenal dikalangan Latin Abad Tengah dengan sebutan Abu

Nashr (Abunaser), sedangkan sebutan nama al-Farabi

diambil dari nama kota Farab, tempat ia dilahirkan.11

Al-Farabi mempunyai sebutan layaknya sebutan nama bagi

orang-orang Turki, ini dikarenakan ibunya berasal dari

negara Turki.12 Namun dalam berbagai literatur, nama

ayah dan ibu al-Farabi tidak disebutkan, kebanyakan

informasi biografis tersebut tiga abad setelah

wafatnya.

Sejak kecil al-Farabi sudah tekun dan rajin

belajar, apalagi dalam mempelajari bahasa, kosa kata,

dan tutur bahasa ia telah cakap dan luar biasa.

Penguasaan terhadap bahasa Iran, Turkistan dan

Kurdikistan sangat ia pahami. Malah sebaliknya, bahasa

Yunani dan Suryani sebagai bahasa ilmu pengetahuan pada

waktu itu tidak ia kuasai. Ada sebuah pendapat yang8 Hossein Ziai. Suhrawardi & Filsafat Illuminasi, terj. Afif Muammad. Bandung: Zaman. 1988. hal. 23.9 Yamani. Antara al-Farabi dan Khomaini Filsafat Politik Islam. 2002. Bandung: Mizan. hal. 51.10 Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, Cet. Ke-3. 2002. Jakarta: Gaya Media Pratama, hal. 3211 Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat Islam, Cet. Ke-1. 1988. Bandung:Rosdakarya, hal.13312 A. Mustofa. Filsafat Islam. 1999. Bandung: Pustaka Setia, hal. 126.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 6

mengatakan bahwa Farabi dapat berbicara dalam tujuh

puluh macam bahasa; tetapi yang dia kuasai dengan aktif

hanya empat bahasa; Arab, Persia, Turki, dan Kurdi.13

Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-

Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama

(fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmatika dasar.14

Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik

di Bukhara. Setelah mendapat pendidikan awal, al-Farabi

belajar logika kepada orang Kristen Nestorian yang

berbahasa Suryani, yaitu Yuhanna ibn Hailan. Pada masa

kekhalifahan Al-Muta'did tahun 892-902M, al-Farabi dan

Yuhanna ibn Hailan pergi ke Baghdad dan al-Farabi

unggul dalam ilmu logika. Al-Farabi selanjutnya banyak

memberi sumbangsihnya dalam penempaan filsafat baru

dalam bahasa Arab. Pada kekhalifahan al-Muktafi tahun

902-908M dan awal kekhalifahan al-Muqtadir pada tahun

908-932M, al-Farabi dan Ibn Hailan meninggalkan Baghdad

menuju Harran. Dari Baghdad Al-Farabi pergi ke

Konstantinopel dan tinggal di sana selama delapan tahun

serta mempelajari seluruh silabus filsafat.

Al-Farabi dikenal sebagai "guru kedua" setelah

Aristoteles. Dia adalah filosof islam pertama yang

berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin

menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan13 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran. 1993. Jakarta: UI Perss, hal. 49.14 Eduarny Tarmiji. “Konsep Al-Farabi tentang Negara Utama”, thesis magister. 2004. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia

Filsafat Islam : Al-Farabi | 7

islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di

dalam konteks agama-agama wahyu. Karyanya yang paling

terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara

Utama) yang membahas tetang pencapaian kebahagian

melalui kehidupan politik dan hubungan antara rezim

yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum

Ilahiah islam.15

Tahun 940M, al Farabi melajutkan pengembaraannya

ke Damaskus dan bertemu dengan Sayf al Dawla al

Hamdanid, Kepala daerah (distrik) Aleppo, yang dikenal

sebagai simpatisan para Imam Syi’ah. Kemudian al-Farabi

wafat di kota Damaskus pada usia 80 tahun (Rajab 339 H/

Desember 950 M) di masa pemerintahan Khalifah Al Muthi’

(masih dinasti Abbasiyyah).16

Karena kepintaran dan kepakarannya dibidang

Filsafat, ia diangkat menjadi seorang ulama istana pada

saat pemerintahan Saif al-Daulah al-Hamdani sebuah

dinasti Hamdan di Aleppo kota Damaskus. Dengan demikian

ia mendapatkan tunjangan yang lumayan besar, namun ia

lebih memilih hidup sederhana dengan empat dirham untuk

memenuhi hidupnya dalam 1 hari, dan selebihnya ia

sedekahkan kepada para fakir miskin di daerah Aleppo

dan Damaskus, bahkan diriwayatkan ia sering kelihatan

15 http://id.wikipedia.org/ diunduh 30 Maret 2014.16 H. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam. 2004. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 8

pada waktu malam sedang membaca dan mengarang dibawah

sinar lampu penjaga malam.

Al-Farabi hidup pada daerah otonomi di bawah

pemerintahan Sayf al Dawla dan di zaman pemerintahan

dinasti Abbasiyyah, yang berbentuk Monarki yang

dipimpin oleh seorang Khalifah.17 Ia lahir dimasa

kepemimpinan Khalifah Mu’tamid (869-892 M) dan

meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muthi’

(946-974 M) di usia 80 tahun, dimana periode tersebut

dianggap sebagai periode yang paling kacau karena

ketiadaan kestabilan politik.18

B. PEMIKIRAN AL-FARABI

Al-Farabi merupakan Filsuf yang pertama yang

berhasil memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh

seperti di dalam kitab karangannya yang berjudul

Ihsha’u al-‘Ulum” yang memandang Filsafat secara utuh

dan sempurna serta membahasnya secara mendetail. ia

juga sangat terkenal akan kepakarannya dalam hal

filsafat Aristoteles sehingga ia dikenal dengan sebutan

Mu’allim Tsani (Guru kedua).19

Selain itu lewat usahanya pula perdebatan antara

Filsafat Plato dan Aristoteles akhirnya berakhir. Ia17 Ibid,.18 http://id.wikipedia.org/ diunduh 30 Maret 2014.19 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam. 1996. Jakarta: Bulan Bintang,Cet. VI, hal. 82

Filsafat Islam : Al-Farabi | 9

berhasil menyatukan kedua filsafat tersebut lewat

karyanya “Al-Jam’u baina Ra’yay al-Hakimain Alfathun wa

Aristhu”  yang sering menjadi rujukan para filosof

sesudahnya seperti Ibnu Rusdy dan Ibnu Sina.20

Dalam karyanya ini ia berhasil memadukan pemikiran

kedua Filsafat ini yakni Plato dan Aristoteles. Dalam

temuannya ini dikenal dengan istilah “Pemaduan

Falsafah” (al-falsafah at-Taufiqiyyah) salah satu

contohnya adalah teori simbol dan gaya bahasa.21

Dalam memahami pemikiran Plato dalam setiap

karangannya maka akan menemukan kesulitan dalam

memahaminya karena Plato lebih banyak menggunakan gaya

bahasa yang sulit serta kiasan-kiasan yang sulit

dimengerti. Hal ini terkadang membuat penafsiran yang

berbeda mengenai pemikirannya. Gaya bahasa serta

kiasan-kiasan yang dibuat Plato dalam setiap

karangannya karena menurutnya filsafat hanya bisa

dipahami oleh orang-orang tertentu saja. Hal ini

sungguh berbeda sekali dengan Aristoteles yang

menggunakan gaya bahasa yang sistematis dan mudah

difahami. Namun dalam beberapa hal terdapat juga

pembahasan yang sulit dipahami seperti dalam hal

akhlaq, ilmu fisika dan metafisika. Karena memang

Aristoteles memang membatasi hal ini hanya untuk orang-20 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam. 2002. Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. III,  Hal. 3321 Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Iain, Filsafat Islam, hal. 42

Filsafat Islam : Al-Farabi | 10

orang tertentu saja. Dan Ibnu Farabi menetapkan bahwa

hakekatnya kedua Filosof ini (Plato dan Aristoteles)

membatasi Filsafat hanya untuk orang-orang tertentu

saja. Tidak untuk semua orang.22

Al-Farabi berkesimpulaan bahwa Aristoteles dan

Plato memiliki tujuan yang sama yakni mencari sebuah

kebenaran, keduanya bertemu dan berjalan seiringan. Al-

Farabi menamakannya Neo Plato (Neo Platonisme).

Keduanya berjalan seiringan hingga akhirnya tiba di

dalam Islam, yakni keyakinan Islam.23

Dalam berfilsafat, Al-Farabi berbeda dengan Al-

kindi. Kalau Al-Kindi dikenal sebagai penterjemah

ulung, maka Al-Farabi dikenal sebagai komentator. Al-

Farabi langsung mempelajari pandangan-pandangan asli

filsafat Yunani, kemudian memberi komentar. Pengaruh

Yunani nampak pada pemikiran Al-Farabi, terutama

mengenai ajaran emanasi. Filsafat bagi Al-Farabi

adalah: “Ilmu yang menyelidiki hakekat sebenarnya dari

segala yang ada ini”.24

Ada banyak sekali pemikiran-pemikiran yang telah

dihasilkan oleh al-Farabi. Diantaranya adalah:

a. Filsafat Emanasi

22 Ibid, 42-43.23 Abu Bakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam. 1982. Solo: CV. Ramadhani, Cet2, hal. 51.24 Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam. 1983. Jakarta: UI press, hal. 38-39.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 11

Salah satu filsafat al-Farabi adalah teori

emanasi yang di dapatnya dari teori Plotinus25

apabila terdapat satu zat yang kedua sesudah zat yang

pertama, maka zat yang kedua ini adalah sinar yang

keluar dari yang pertama. Sedang Ia (Yang Esa) adalah

diam, sebagaimana keluarnya sinar yang berkilauan

dari matahari, sedang matahari ini diam. Selama yang

pertama ini ada, maka semua makhluk terjadi dari zat-

Nya, timbullah suatu hakikat yang bertolak keluar.

Hakikat ini sama seperti form (surat) sesuatu, di

mana sesuatu itu, keluar darinya.26

Oleh sebab itu, filsafat al-Farabi ini mencoba

menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari

Yang Satu. Tuhan bersifat Maha-Satu, tidak berubah,

jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha

Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau

demikian hakekat Tuhan, bagaimana terjadinya alam

materi yang banyak ini dari Yang Maha Satu? Menurut

al-Farabi alam ini terjadi dengan cara emanasi.

25 Filsafat Plotinus adalah filsafat yang murni dan orisinal dalambeberapa pemikirannya, walaupun ia sendiri mengaku bahwa dirinyahanya memaparkan filsafat Plato yang asli. Filsafatnya adalahrujukan yang sangat berharga, bukan saja dalam membaca karyaPlato, bahkan karya Aristoteles, karena menampilkan kajian dankritik yang sangat teliti. Bahkan filsafatnya juga merupakanjendela yang mengantarkan kepada filsafat Plato, Pythagoras danAristoteles yang hidup seabad atau kurang dari sebelum dirinya. (Dalam Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat, 2005. Jakarta: KHALIFAPustaka Al-Kautsar Grup, hal. 58-59.)26 A. Mustofa. Filsafat Islam. 1999. Bandung: Pustaka Setia, hal. 160.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 12

Persoalan di atas, adalah sebuah rasa penasaran

dari al-Farabi karena ia menemui kesulitan dalam

menjelaskan bagaimana terjadinya banyak (alam) yang

bersifat materi dari Yang Maha Esa (Allah) jauh dari

arti materi dan Maha sempurna. Dalam filsafat Yunani,

Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan Penggerak

Pertama (prime cause), ini telah dikemukakan oleh

Aristoteles. Di dalam doktrin Ortodoks Islam (al-

mutakallimin), Allah adalah pencipta (Shani, Agent),

yang menciptakan dari tiada menjadi ada (cretio ex

nihilo).  Al-Farabi dan para filosof muslim lainnya

mencoba untuk meng-Islamkan doktrin ini. Maka mereka

mencoba untuk melihat doktrin Neoplatonis Monistik

tentang emanasi. Dengan demikian, Tuhan yang dianggap

penggerak Aristoteles menjadi Allah Pencipta, yang

menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara

pancaran. Dalam arti, Allah menciptakan alam semenjak

azali, materi alam berasal dari energi yang qadim,

sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah

baru. Sebab itu, menurut filosof muslim, Kun

(jadilah) Allah yang termaktub dalam al-Qur’an

ditujukan kepada Syai (sesuatu) bukan kepada La syai’

(nihil).27

Sebagai contoh, Allah berfirman dalam Surat

Yasin ayat 82.27 http://syarifahanis.blogspot.com/2012/05/makalah-filosof-al-farabi.html, diunduh 31 Maret 2014.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 13

82. Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki

sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah

ia.28

Al-Farabi berpendapat Tuhan sebagai akal,

berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini

timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud

pertama (al wujudul awwal) dan dengan pemikirannya

itu timbul wujud kedua (al wujudul tsani) yang juga

mempunyai substansi. Ia disebut akal pertama (al aklu

awwal) yang tidak bersifat materi. Sedangkan wujud

kedua berpikir tentang wujud pertama dan dari

pemikiran inilah timbul wujud ketiga (wujudul tsalis)

disebut Akal Kedua (al aklu tsani).

a. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir

tentang dirinya hingga timbullah Langit

Pertama (al-Asmaul awwal),

b. Wujud III / Akal kedua menimbulkan Wujud 

IV/Akal Ketiga yakni bintang-bintang),

c. Wujud IV/Akal Ketiga menimbulkan Wujud

V/Akal Keempat, yakni Planet Saturnus,

d. Wujud V/Akal Keempat menimbulkan Wujud

VI/Akal Kelima, yakni Planet Jupiter,28 Al-Qur’an In Word Version 1.2.0 by Mohamad Taufiq, Q.S. Yasin: 82.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 14

e. Wujud VI/Akal Kelima menimbulkan Wujud

VII/Akal Keenam, yakni Planet Mars,

f. Wujud VII/Akal Keenam menimbulkan Wujud

VIII/Akal Ketujuh, yakni Matahari,

g. Wujud VIII/Akal Ketujuh menimbulkan Wujud

IX/Akal Kedelapan,yakni Planet Venus,

h. Wujud IX/Akal Kedelapan menimbulkan Wujud

X/Akal Kesembilan, yakni Planet Mercurius,

i. Wujud X/Akal Kesembilan menimbulkan Wujud

XI/Akal Kesepuluh, yakni Bulan.

Atau dapat kita lihat dalam bentuk tabel

sebagai berikut:

Wujud/Akal Tuhan DirinyaWujud III/Akal

Kedua

Wujudke IV/Akal

Ketiga

Bintang-

bintangWujud IV/Akal

Ketiga

Wujud V/Akal

Keempat

Saturnus

Wujud V/Akal

Keempat

Wujud VI/Akal

Kelima

Jupiter

Wujud VI/Akal

Kelima

Wujud VII/Akal

Keenam

Mars

Wujud VII/Akal

Keenam

Wujud VIII/Akal

Ketujuh

Matahari

Wujud VIII/Akal Wujud IX/Akal Venus

Filsafat Islam : Al-Farabi | 15

Ketujuh KedelapanWujud IX/Akal

Kedelapan

Wujud X/Akal

Kesembilan

Mercury

Wujud X/Akal

Kesembilan

Wujud XI/Akal

Kesepuluh

Bulan

Tabel. 1.1 Pembagian Wujud

Wujud yang dimaksud adalah Wujud Tuhan. Pada

pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah

terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal

Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi

yang menjadi dasar dari keempat unsur, yaitu api,

udara, air, dan tanah.29

Sebuah pertanyaan, mengapa jumlah akal

dibataskan kepada bilangan sepuluh? Hal ini

disesuaikan dengan bilangan bintang yang berjumlah

sembilan. Selain itu, ditiap-tiap akal diperlukan

satu planet pula, kecuali akal pertama yang tidak

disertai sesuatu planet ketika keluar dari Tuhan.

Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada 9

(sembilan)? Karena jumlah benda-benda angkasa menurut

Aristoteles ada tujuh. Kemudian barulah al-Farabi

menambah dua lagi, yaitu benda langit yang terjauh

dan bintang-bintang tetap. Ia menyatakan bahwa jumlah

akal ada sepuluh, sembilan di antaranya untuk29 Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam Cet. Ke IX. 1973. Jakarta: Bulan Bintang, hal. 27-28.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 16

mengurus benda-benda langit yang sembilan, sedangkan

akal sepuluh yaitu akal bulan yang mengawasi dan

mengurusi kehidupan di bumi. Akal itu saling

berurutan, maka pada Tuhan, yaitu Wujud Pertama yang

hanya terdapat pada satu objek pemikiran yaitu zat-

Nya saja. Tetapi pada akal-akal tersebut terdapat dua

objek pemikiran yaitu Tuhan dan diri akal itu

sendiri. Pemikiran akal pertama dalam kedudukannya

sebagai Wajibul Wujud karena Tuhan, dan sebagai Wujud

yang mengetahui Tuhan, keluarlah akal kedua dan

seterusnya.30

b. Filsafat Metafisika

Mengenai pembicaraan filsafat metafisika ini,

seperti para filosof lainnya, yakni membahas tentang

masalah ke-Tuhanan. Al-Farabi membagi ilmu Ketuhanan

menjadi 3 (tiga) yaitu: pertama, membahas semua wujud

dan hal-hal yang terjadi padanya sebagai wujud.

Kedua, membahas prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-

ilmu teori juz’iyat (paticulars), yaitu ilmu yang

berdiri sendiri karena penelitiannya tentang wujud

tertentu. Ketiga, membahas semua wujud yang tidak

berupa benda-benda ataupun berada dalam benda-benda

itu. Kemudian terlebih dahulu dibahas apakah wujud

serupa itu ada atau tidak, kemudian dibuktikan dengan

burhan bahwa wujud serupa itu ada. Apakah wujud

30 A. Mustofa. Filsafat Islam. 1999. Bandung: Pustaka Setia, hal. 162.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 17

serupa itu sedikit atau banyak? Apakah wujud serupa

itu berketerbatasan atau tidak? kemudian dibuktikan

dengan burhan bahwawujud itu berketerbatasan.31

Al-Farabi ketika menjelaskan Metafisika (ke-

Tuhanan), menggunakan pemikiran Aristoteles dan

Neoplatonisme. Ia berpendapat bahwa al-Maujud al-

Awwal sebagai sebab pertama bagi segala yang ada.

Dalam pemikiran adanya Tuhan, al-Farabi mengemukakan

dalil Wajib al-Wujud dan Mumkin al-Wujud. Menurutnya,

segala yang ada ini hanya memiliki dua kemungkinan

dan tidak ada alternatif yang ketiga. Wajib al-Wujud

adalah wujudnya tidak boleh tidak ada, ada dengan

sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu.

Ia adalah Wujud yang sempurna selamanya dan tidak

didahului oleh tiada. Jika Wujud  itu tidak ada, akan

timbul kemustahilan karena Wujud lain untuk adanya

bergantung kepadanya. Inilah yang disebut dengan

Tuhan. Adapun mumkin al-Wujud tidak akan berubah

menjadi Wujud Aktual tanpa adanya Wujud yang

menguatkan, dan yang menguatkan itu bukan dirinya,

tetapi Wajib al-Wujud. Walaupun demikian, mustahil

terjadi daur dan tasalsul (processus in infinitum)

karena rentetan sebab akibat itu akan berakhir pada

Wajib al-Wujud.32

31 Ibid, 133.32 Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, Cet. Ke-3. 2002. Jakarta: Gaya Media Pratama, hal. 35-36.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 18

c. Filsafat Ke-Nabian

Filsafat ke-Nabian dalam pemikiran al-Farabi

erat hubungannya pada agama. Agama yang dimaksud

adalah agama Samawi (langit). Dalam agama Islam Nabi

adalah manusia seperti manusia lainnya. Akan tetapi

Nabi diberi kelebihan oleh Allah akan kemuliaan

berupa mukjizat yang tidak dimiliki oleh manusia

lainnya. Maka dalam agama Islam, seorang Nabi adalah

utusan Allah yang mengemban tugas keagamaan. Nabi

adalah utusan Allah yang diberikan al-Kitab yang

dipandang sebagai Wahyu Ilahi. Oleh sebab itu, apa

yang diucapkan oleh Nabi yang berasal dari Allah

adalah wahyu, dengan ucapan yang tidak keluar dari

nafsunya sendiri.  Allah berfirman pada Surat An-Najm

ayat 3-5 :

3. dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut

kemauan hawa nafsunya.

4. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan

(kepadanya).

5. yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.33

Salah satu filsafat al-Farabi ini menjelaskan

eksistensi para Nabi yang mempunyai jiwa besar, dan

33 Al-Qur’an In Word Version 1.2.0 by Mohamad Taufiq, Q.S. an-Najm: 3-5.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 19

membawa pencerahan-pencerahan serta mempunyai

kesanggupan untuk berkomunikasi dengan akal fa’al.

Sebab lahirnya filsafat ke-Nabian ini disebabkan

adanya pengingkaran terhadap eksistensi ke-Nabian

secara filosofis oleh Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi. Ia

adalah seorang tokoh yahudi yang membuat karya-karya

tentang keingkaran kepada Nabi, dan umumnya pada nabi

Muhammad SAW.34 Di antara kritikan yang di gambarkan

olehnya adalah:

Pertama, Nabi sebenarnya tidak diperlukan

manusia karena Tuhan telah mengaruniakan manusia akal

tanpa terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui Tuhan

beserta segala nikmat-Nya dan dapat pula mengetahui

perbuatan baik dan buruk, menerima suruhan dan

larangan-Nya. Kedua, ajaran agama meracuni prinsip

akal. Secara logika tidak ada bedanya Thawaf di

Ka’bah, dan sa’i di bukit Safa dan Marwa dengan

tempat-tempat lainnya.

Ketiga, mukjizat hanya semacam cerita khayal

belaka yang hanya menyesatkan manusia. Siapa yang

dapat menerima batu bisa bertasbih dan srigala bisa

berbicara. Kalau sekiranya Allah membantu umat Islam

dalam perang Badar dan mengapa dalam perang Uhud

tidak. Keempat, al-Qur’an bukanlah mukjizat dan bukan

persoalan yang luar biasa. Orang yang non-Arab jelas34 http://makalah-stid.blogspot.com/2009/11/al-farabi.html, diunduh 31 Maret 2014.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 20

saja heran dengan balaghah al-Qur’an, karena mereka

tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad

adalah Khalifah yang paling Fasahah dikalangan orang

Arab. Selanjutnya pendapat Ahmad Ibnu Ishaq Al-

Ruwandi, daripada membaca kitab suci, lebih berguna

membaca buku filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles,

dan buku Astronomi, logika dan obat-obatan.35

Pendapat yang telah diungkapkannya adalah

pendapat yang sangat bertentangan dengan al-Qur’an

Surat An-Najm ayat 3-5 tersebut. Dalam ajaran Islam,

al-Qur’an adalah Wahyu Ilahi yang merupakan sumber

inspirasi yang benar, dapat diterima akal, dipercaya

melalui keyakinan, dan sumber pedoman hidup manusia.

Siapa yang mengingkari Wahyu berarti ia telah menolak

Islam secara keseluruhannya. Bahkan perbuatan ini

dipandang sebuah pelanggaran dalam kehidupan. Dalam

al-Qur’an ada dijelaskan:

2. Kitab[11] (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya;

petunjuk bagi mereka yang bertaqwa[12],

35 Ibrahim Madkur, Fi Falsafat al-Islamiyah wa Manhaj wa Tatbiquh. 1968. Kairo: Dar al-Ma’arif, hal. 87-88.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 21

3. (yaitu) mereka yang beriman[13] kepada yang

ghaib[14], yang mendirikan shalat[15], dan menafkahkan

sebahagian rezki[16] yang Kami anugerahkan kepada mereka. 36

[11] Tuhan menamakan Al Quran dengan Al kitab yang di

sini berarti yang ditulis, sebagai isyarat bahwa Al Quran

diperintahkan untuk ditulis.

[12] Takwa Yaitu memelihara diri dari siksaan Allah

dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya; dan menjauhi

segala larangan-larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan

takut saja.

[13] Iman ialah kepercayaan yang teguh yang disertai

dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. tanda-tanda adanya iman

ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu.

[14] Yang ghaib ialah yang tak dapat ditangkap oleh

pancaindera. percaya kepada yang ghjaib yaitu, mengi'tikadkan

adanya sesuatu yang maujud yang tidak dapat ditangkap oleh

pancaindera, karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya,

seperti: adanya Allah, malaikat-malaikat, hari akhirat dan

sebagainya.

[15] Shalat menurut bahasa 'Arab: doa. menurut istilah

syara' ialah ibadat yang sudah dikenal, yang dimulai dengan

takbir dan disudahi dengan salam, yang dikerjakan untuk

membuktikan pengabdian dan kerendahan diri kepada Allah.

mendirikan shalat ialah menunaikannya dengan teratur, dengan

melangkapi syarat-syarat, rukun-rukun dan adab-adabnya, baik

yang lahir ataupun yang batin, seperti khusu', memperhatikan

apa yang dibaca dan sebagainya.

[16] Rezki: segala yang dapat diambil manfaatnya.

menafkahkan sebagian rezki, ialah memberikan sebagian dari36 Al-Qur’an In Word Version 1.2.0 by Mohamad Taufiq, Q.S. al-Baqarah: 2-3.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 22

harta yang telah direzkikan oleh Tuhan kepada orang-orang yang

disyari'atkan oleh agama memberinya, seperti orang-orang fakir,

orang-orang miskin, kaum kerabat, anak-anak yatim dan lain-

lain.

Nabi adalah utusan Allah yang diberikan

mukjizat berupa Wahyu Ilahi, maka dari itu ciri khas

seorang Nabi menurut al-Farabi ialah mempunyai daya

imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan dengan

Akal Fa’al dapat menerima visi dan kebenaran-

kebenaran dalam bentuk Wahyu. Wahyu tidak lain adalah

limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al (akal

kesepuluh) yang dalam penjelasan al-Farabi adalah

Jibril. Sementara itu, filosof dapat berkomunikasi

dengan Allah melalui akal perolehan yang telah

terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga sanggup

menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari

Akal kesepuluh.37

Pendapat al-Farabi di atas menunjukkan bahwa

antara filosof dan Nabi ada kesamaan. Oleh karenanya,

kebenaran Wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan

filsafat, akan tetapi jika hanya mempelajari filsafat

semata tanpa mempelajari Wahyu (al-Qur’an) ia akan

tersesat, karena antara keduanya sama-sama

mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal Fa’al

(Jibril). Begitu pula mengenai mukjizat yang menjadi37 Harun Nasution, Akal dan Wahyu  dalam Islam. 1983. Jakarta: Universitas Indonesia, hal. 17.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 23

bukti ke-Nabian, pendapat al-Farabi, mukjizat

merupakan sebuah kebenaran dari hukum alam karena

sumber hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari

akal Mustafad.

Kalau dilihat dari segi kejiwaan atau

imajinasi, Nabi mempunyai potensi untuk berhubungan

dengan Akal Fa’al, baik kondisinya dalam keadaan

terjaga maupun tertidur. Mukjizat itu tetap

diterimanya karena pada hakikatnya Wahyu bukanlah

sebuah argumen dari Nabi ataupun karangan sebuah

cerita dan kebohongan yang di buat oleh Nabi. Wahyu

berisikan firman-firman Allah, datangnya langsung

dari Allah, melalui perantara Jibril, dan melalui

tabir mimpi. Inilah sebuah potensi para Nabi yang

tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Ada sebagian

manusia yang mempunyai imajinasi kuat, tetapi bukan

para Nabi, maka mereka tidak bisa berhubungan dengan

Akal Fa’al, tetapi terkadang mereka mengalaminya

ketika tidur, mereka ini di sebut para Auliya. Ada

lagi lebih ke bawah yakni, manusia yang awam, maka

imajinasinya sangat lemah sekali sehingga tidak bisa

berhubungan dengan Akal Fa’al, baik waktu tidur

ataupun terbangun.

Penjelasan di atas adalah sebagian dari teori

ke-Nabian al-Farabi yang telah ia capai dari hasil

realitas serta dihubungkan dengan keadaan sosial dan

Filsafat Islam : Al-Farabi | 24

kejiwaan. Menurutnya, Nabi dan filosof adalah dua

sosok pribadi shaleh yang akan memimpin sebuah

kehidupan masyarakat di sebuah Negeri, karena

keduanya dapat berhubungan dengan Akal Fa’al yang

menjadi sumber syari’at dan aturan yang diperlukan

bagi kehidupan Negeri. Perbedaan antara Nabi dengan

filosof adalah, jikalau Nabi meraih hubungan dengan

Akal Fa’al melalui imajinasinya, sedangkan filosof

melalui jalur studi dan analisa kejiwaan.38

Dalam sebuah analisa al-Farabi, ada sebuah

kritik yang dikemukakan A. Hanafi, yang termuat dalam

buku Filsafat Islam, yakni: pertama, teori al-Farabi

telah menempatkan Nabi di bawah filosof karena

pengetahuan yang diperoleh melalui pikiran lebih

tinggi dari pada yang diperoleh melalui imajinasinya.

Akan tetapi nampaknya al-Farabi tidak menganggap

penting terhadap perbedaan tersebut, sebab selama

sumbernya sama, yaitu Akal Fa’al, dan nilai keluarnya

juga sama, maka tentang cara memperolehnya tidak

menjadi sebuah persoalan. Dengan perkataan lain, 

nilai suatu kebenaran tidak bergantung pada cara

memperolehnya, melainkan kepada sumbernya. Selain itu

dalam bukunya tersebut ia mengatakan; seorang Nabi

dapat naik ke alam atas melalui pikiran, karena ada

pikiran ada kekuatan suci yang memungkinkannya naik

38 A. Mustofa. Filsafat Islam. 1999. Bandung: Pustaka Setia, hal. 143.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 25

ke alam cahaya, tempat menerima perintah-perintah

Tuhan. Jadi, Nabi memperoleh Wahyu bukan hanya

melalui imajinasinya saja, tetapi melalui kekuatan

pikirannya yang besar.

Kedua, apabila seoarang Nabi dapat berhubungan

dengan Akal Fa’al melalui pemikiran dan renungan,

maka artinya ke-Nabian menjadi semacam ilmu

pengetahuan yang bisa dicapai oleh setiap orang, atau

menjadi perkara yang bisa dicari (muktasab),

sedangkan menurut Ahlusunnah, ke-Nabian bukanlah

sifat-sifat (keadaan) yang berasal dari diri Nabi,

bukan pula tingkatan yang bisa dicapai seseorang

melalui ilmu dan usahanya, juga bukanlah kesediaan

psikologis yang memungkinkan dapat berhubungan dengan

alam rohani, melainkan suatu kasih sayang yang

diberikan oleh Tuhan kepada orang yang dikehendaki-

Nya. Akan tetapi sekiranya perlu dicatat bahwa al-

Farabi berkata; filsafat itu tidak mudah diperoleh,

sebab setiap orang bisa berfilsafat, akan tetapi yang

bisa mencapai filsafat yang sebenarnya hanyalah

sedikit saja. Al-Farabi juga menetapkan bahwa seorang

Nabi mempunyai imajinasi yang luar biasa atau

kekuatan rahasia tertentu. Boleh jadi menurut

pendapatnya, imajinasi dan kekuatan tersebut bersifat

Fitrah (mempunyai potensi dari sejak lahir), bukan

Filsafat Islam : Al-Farabi | 26

yang bisa dicari, meskipun ia tidak jelas-jelas

mengatakan demikian.

Ketiga, kalau sekiranya al-Farabi dapat

terlepas dari kedua kritik tersebut di atas, maka

sukarlah ia terlepas dari kritik ketiga, yaitu bahwa

tafsiran psikologis terhadap Wahyu banyak berlawanan

dengan nas-nas agama, di mana Malaikat Jibril turun

kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk manusia biasa

kadang terdengar oleh Nabi seperti bunyi lonceng.

Inilah teori ke-Nabian yang telah dicapainya,

kemudian ia hubungkan dengan persoalan-persoalan

sosial dan kejiwaan. Akhirnya ia membuat sebuah

kesimpulan bahwa Nabi adalah seorang yang mempunyai

pribadi shaleh dan mempunyai jiwa untuk memimpin

sebuah negeri.39

d. Filsafat Politik

Al-Farabi, selain ia seorang filosof muslim dan

membuat karya-karya, ia juga menyibukkan dirinya

untuk ikut berpartisipasi mengurus ke-Negaraan dengan

kata lain ia ikut berkecimpung dalam dunia politik.

Sama halnya dengan para filosof muslim lainnya, untuk

membentuk sebuah negara yang baik, maka para filosof

berusaha menuangkan pikirannya, dan terkadang

pemikiran itu disentuh dengan nilai-nilai politik

semata.39 http://syafieh.blogspot.com/2013/04/filsafat-islam-ar-farabi-dan-pemikiran.html, diunduh 31 Maret 2014.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 27

Dalam persoalan filsafat ke-Negaraan ini,

filsafat al-Farabi lebih mengarah kepada filsafat

Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, al- Farabi

berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial,

makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk

bermasyarakat. Hal ini dikarenakan manusia tidak

mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa

bantuan atau kerjasama dengan pihak lain. Adapun

tujuan bermasyarakat itu menurutnya, tidak semata-

mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi

juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan

memberikan kepada manusia akan sebuah kebahagiaan,

tidak saja materil tetapi juga sprituil, tidak saja

di dunia yang fana ini, tetapi juga di akhirat

nanti.40 Pendapatnya ini menyangkut tujuan hidup

beragama sebagai seorang muslim di masyarakat.

Al-Farabi mengklarifikasikan masyarakat ke

dalam dua golongan masyarakat, yakni:

1. Masyarakat Sempurna (al-Mujtami’ al-Kamilah).

Masyarakat sempurna adalah masyarakat yang

mengandung keseimbangan di antara unsur-unsurnya.

Perbedaan hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat

itu mempunyai kebebasan individual yang lebih

besar, maka dalam diri manusia unsur-unsurnya itu

40 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, Cet. V. 1993. Jakarta: UI Perss, hal. 51.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 28

lebih dikuasai dan diperintah oleh pusatnya.41

Selanjutnya, masyarakat yang sempurna,

diklasifikasikan menjadi tiga bahagian, pertama

masyarakat sempurna besar (gabungan banyak bangsa

yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu

serta bekerjasama, biasa disebut perserikatan

bangsa-bangsa), kedua masyarakat sempurna sedang

(masyarakat yang terdiri atas suatu bangsa yang

menghuni di satu wilayah dari bumi biasa disebut

negara nasional), ketiga masyarakat sempurna kecil

(masyarakat yang terdiri atas para penghuni satu

kota (negara kota).42

2. Masyarakat Tidak/belum Sempurna (al-Mujatami’

laisa Kamilah). Masyarakat yang tidak/belum

sempurna adalah masyarakat yang kehidupannya kecil

seperti masyarakat yang penghidupan sosialnya di

tingkat desa, kampung, lorong/dusun, dan keluarga.

Dalam hal ini, yang kehidupan masyarakat masih

jauh dari ketidak sempurnaan adalah keluarga.

Menurut al-Farabi, sebuah Negara yang utama

adalah, kategori yang pertama, yaitu masyarakat yang

sempurna (al-Mujtami’ al-Hikmah), yang mana jumlah

keseluruhan bahagian-bahagiannya sudah lengkap,

diibaratkan seperti satu anggota tubuh manusia yang41 Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat Islam. 1988. Bandung: Rosdakarya, hal.138.42 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, Cet. V. 1993. Jakarta: UI Perss, hal. 51-52.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 29

lengkap. Jika salah satu organ tubuh sakit, maka

tubuh yang lain akan merasakannya. Demikian pula

anggota masyarakat Negara yang Utama, yang terdiri

dari warga yang berbeda kemampuan dan fungsinya,

hidup saling membantu atau dengan kata lain senasib

dan sepenanggungan. Masing-masing mereka harus

diberikan pekerjaan yang sesuai dengan kdan

spesialisasi mereka.Fungsi utama dalam filsafat

politik atau pemerintahan al-Farabi ini adalah fungsi

kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-

qalb) di dalam tubuh manusia.Kepala negara dalam

filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini

adalah fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi

jantung (al-qalb) di dalam tubuh manusia. Kepala

negara merupakan sumber seluruh aktivitas, sumber

peraturan, berani, kuat, cerdas, pecinta pengetahuan

serta keadilan, dan memiliki akal mustafad yang dapat

berkomunikasi dengan Akal kesepuluh, pengatur bumi,

dan penyampai Wahyu.43

Menurut al-Farabi, Negara mempunyai warga-warga

dengan bakat dan kemampuan yang tidak sama satu sama

lain. Di antara mereka terdapat seorang kepala dan

sejumlah warga yang martabatnya mendekati martabat

kepala, dan masing-masing memiliki bakat dan keahlian

untuk melaksanakan tugas-tugas yang mendukung43 Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah. Kairo: Maktabat Mathaba’at Muhammad Ali, t.t. hal. 74.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 30

kebijakan Kepala Negara (sebagai sebuah jabatan). 

Kemudian dari Kepala Negara, membagi tugasnya kepada

sekelompok masyarakat di bawah peringkatnya, kemudian

di bawah peringkat tersebut, ada sekelompok orang

lagi yang bertanggung jawab untuk kesejahteraan

Negara dan begitu seterusnya sampai golongan

terendah.

Meskipun begitu, al-Farabi tidak pernah

memangku jabatan resmi dalam satu pemerintahan, bukan

berarti pemikiran filsafat yang ia kemukakan ini

bersifat khayalan semata. Perlu dipahami bahwa

seorang filosof belum akan merasa puas dalam

membicarakan sesuatu sebelum sampai pada hakikatnya,

yakni dasar segala dasar. Maka sama halnya dengan

filsafat pemerintahan ini, ia maksudkan bukan sekedar

berfilsafat atau teori untuk teori, melainkan pada

hakikatnya adalah agar manusia hidup dalam satu

pemerintahan dapat mencapai kebahagiaan dunia hingga

akhirat. Atas dasar ini pula, Fakhuri berkesimpulan

bahwa tujuan utama filsafat pemerintahan al-Farabi

adalah untuk kebahagiaan hidup manusia.44

Al-Farabi juga berpandangan, yang paling ideal

sebagai Kepala Negara adalah Nabi/Rasul atau

filosofis. Selain tugasnya mengatur Negara, juga

sebagai pengajar dan pendidik terhadap anggota

44 Ibid, 71.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 31

masyarakat yang dipimpinnya. Kalau tidak ada sifat-

sifat Kepala Negara yang ideal inilah pimpinan Negara

diserahkan kepada seorang yang memiliki sifat-sifat

yang dekat dengan sifat-sifat yang dimiliki Kepala

Negara ideal. Sekiranya sifat-sifat dimaksud tidak

pula terdapat pada seseorang, tetapi terdapat dalam

diri beberapa orang, maka Negara harus diserahkan

kepada mereka dan mereka secara bersama harus bersatu

memimpin masyarakat.45

Maka dari itu, Negara yang baik diibaratkan

bagaikan orang yang sehat karena pertumbuhan dan

perkembangannya teratur di antara satu unsur dengan

unsur lainnya, sedangkan Negara yang buruk adalah

ibarat orang yang sakit karena kurangnya pertumbuhan

dan perkembangan yang teratur di Negara itu. Negara

yang buruk tersebut banyak macamnya, misalnya Negera

yang fasik, Negara yang bodoh, atau Negara yang

sesat. Dalam hal ini, al-Farabi menunjukkan sebuah

tamsilan Negara yang bodoh, ia membagi menjadi lima

macam: pertama, Negeri Darurat (daruriah), yaitu

Negera yang penduduknya memperoleh minuman dari

kebutuhan hidup, makan, minum, pakaian, dan tempat

tinggal. Kedua, Negeri Kapitalis (baddalah), yaitu

Negara yang penduduknya mementingkan kekayaan harta

dan benda. Ketiga, Negeri Gila Hormat (kurama), yaitu

45 Ibid, 82.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 32

Negara yang penduduknya mementingkan kehormatan saja.

Ketiga, Negeri Hawa Nafsu (khissah wa Syahwah), yaitu

Negara yang penduduknya mementingkan kekejian dan

berfoya-foya. Keempat, Negeri Anarkis (jami’iah),

yaitu Negara yang setiap penduduknya ingin merdeka

melakukan keinginan masing-masing.46

e. Definisi dan Esensi Jiwa

Al-Farabi mendefinisikan jiwa sebagaimana

definisi Aristoteles, yaitu ‘kesempurnaan awal bagi

fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki

kehidupan yang energik’.47 Makna ‘jiwa merupakan

kesempurnaan awal bagi fisik’ adalah bahwa manusia

dikatakan menjadi sempurna ketika menjadi makhluk

yang bertindak. Dan maksud ‘mekanistik’ bahwa badan

menjalankan fungsinya melalui perantara alat-alat,

yaitu anggota tubuhnya yang beragam. Sedangkan makna

‘memiliki kehidupan energik’ adalah bahwa di dalam

dirinya terkandung kesiapan hidup dan persiapan untuk

menerima jiwa.

f. Pola Pikir Tasawuf Al Farabi

Al-Farabi adalah seorang filosof yang telah

menghimpun berbagai konsepsi di mana sendi-sendinya

menjadi suatu mata rantai yang saling berkait. Dalam

hal ini kita bisa melihat teori sufi yang merupakan

46 Ibid, 84.47 Muhammad ‘Ustman Najati. Jiwa dalam Pandangan para Filosof Muslim. 1993. Bandung: Pustaka Hidayah. hal. 59.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 33

bagian dari pandangan filosofis al-Farabi. Bukti yang

paling kuat dalam masalah ini adalah adanya korelasi

yang kuat untuk menghubungkan tasawuf dengan teori-

teori al-Farabi yang lain, baik psikologis, moral,

maupun politik. Sedangkan kesucian jiwa menurutnya

tidak akan sempurna apabila hanya melalui jalur tubuh

dan amal-amal badaniyah semata, tetapi secara

esensial juga harus melalui jalur akal dan tindakan-

tindakan pemikiran. Dengan demikian, meski sudah

memiliki keutamaan alamiah jasmaniyah, tetap harus

ada keutamaan-keutamaan rasional teoritis.48

Sebagai ciri khas dari teori tasawuf yang

dikatakan al-Farabi adalah pada asas rasional.

Tasawuf al-Farabi bukanlah tasawuf spiritual semata

yang hanya berlandaskan kepada sikap menerangi diri

dan menjauh dari segala kelezatan guna mensucikan

jiwa dan meningkat menuju derajat-derajat

kesempurnaan, tetapi tasawufnya adalah tasawuf yang

berlandaskan pada studi.

g. Teori Kebahagiaan

Menurut al-Farabi, kebahagiaan adalah

pencapaian kesempurnaan akhir bagi manusia. Dan

itulah tingkat akal mustafad, dimana ia siap menerima

emanasi seluruh objek rasional dari akal aktif.

Dengan demikian, perilaku berfikir adalah perilaku48 A. Mustofa. Filsafat Islam. 1999. Bandung: Pustaka Setia, hal. 146-147.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 34

yang dapat mewujudkan kebahagiaan bagi manusia.49

Manusia mencapai kebahagiaan dengan perilaku yang

bersifat keinginan. Sebagian di antaranya berupa

perilaku kognitif dan sebagian lain berupa perilaku

fisik, serta bukan dengan semua perilaku yang sesuai,

tetapi dengan perilaku terbatas dan terukur yang

berasal dari berbagai situasi dan bakat yang terbatas

dan terukur. Perilaku berkeinginan yang bermanfaat

dalam mencapai kebahagiaan adalah perilaku yang baik.

Situasi dan bakat yang menjadi sumber perilaku yang

baik adalah adalah keutamaan-keutamaan. Kebaikan

tersebut bukan semata-mata untuk kebaikan itu

sendiri, tetapi kebaikan demi mencapai kebahagiaan.

Perilaku yang menghambat kebahagiaan adalah

kejahatan, yaitu perilaku yang buruk. Situasi dan

bakat yang membentuk perilaku buruk adalah

kekurangan, kehinaan, dan kenistaan.50

h. Logika

Sebagian besar karya al-Farabi dipusatkan pada

studi tentang logika. Tetapi hal ini hanya terbatas

pada penulisan kerangka Organom, dalam versi yang

dikenal oleh para sejarah Arab pada saat itu. Al-

Farabi menyatakan bahwa: ‘seni logika umumnya

memberikan aturan-aturan yang bila diikuti dapat49 Muhammad ‘Ustman Najati. Jiwa dalam Pandangan para Filosof Muslim. 1993. Bandung: Pustaka Hidayah. hal. 76.50 http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/06/biografi-al-farabi-tokoh-islam-dunia.html, diunduh 31 Maret 2014.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 35

memberikan pemikiran yang besar dan mengarahkan

manusia secara langsung kepada kebenaran dan

menjauhkan dari kesalahan-kesalahan’. Menurutnya,

logika mempunyai kedudukan yang mudah dimengerti,

sebagaimana hubungan antara tata bahasa dengan kata-

kata, dan ilmu mantra dengan syair. Ia menekankan

praktek dan penggunaan aspek logika, dengan

menunjukkan bahwa pemahaman dapat diuji lewat aturan-

aturannya, sebagaimana dimensi, volume, dan massa

ditentukan oleh ukuran.51

i. Teori Pengetahuan

Al-Farabi berpendapat bahwa jendela pengetahuan

adalah indera, sebab pengetahuan masuk ke dalam diri

manusia melalui indera. Sementara pengetahuan

totalitas terwujud melalui pengetahuan parsial, atau

pemahaman universal merupakan hasil penginderaan

terhadap hal-hal yang parsial. Jiwa mengetahui dengan

daya. Dan indera adalah jalan yang dimanfaatkan jiwa

untuk memperoleh pengetahuan kemanusiaan.52 Tetapi

penginderaan inderawi tidak memberikan kepada kita

informasi tentang esensi segala sesuatu, melainkan

hanya memberikan sisi lahiriah segala sesuatu.

Sedangkan pengetahuan universal dan esensi segala

51 A. Mustofa. Filsafat Islam. 1999. Bandung: Pustaka Setia, hal. 146-147.52 Jamil Shaliba. Tarikh al-Falsafah al-‘Arabiyah, Cet. II. 1973. Beirut: Dar al-Kutub al-Lubhani, hal. 163.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 36

sesuatu hanya dapat diperoleh melalui akal.53

j. Teori Akal

Al Farabi mengelompokkan akal menjadi dua,

yaitu:

§ Akal praktis, yaitu yang menyimpulkan apa

yang mesti di kerjakan; dan teoritis, yaitu yang

membantu menyempurnakan jiwa. Akal teoritis ini di

bagi lagi menjadi dua, yaitu:

1. Akal fisik (material), Akal fisik, atau

sebagaimana sering di sebut al-Farabi sebagai akal

potensial, adalah jiwa atau bagian jiwa atau unsur

yang mempunyai kekuatan mengabstraksi dan menyerap

esensi pada setiap hal yang ada tanpa disertai

materinya. Akal terbiasa/bakat (habitual),

merupakan rasionalisasi dari akal fisik, ketika

akal fisik telah mengabtraksi maka dengan begitu

seseorang kemudian akan mencari objek untuk

membuktikan fisik tersebut karena akal

bakat/habitual/aktual akan menjadi aktif jika

disandarkan pada objek rasional yang dipikirkan

oleh seseoarang sedangkan objek rasional yang

belum dipikirkan adalah potensi.

2. Akal diperoleh (acquired). Ketika akal aktual

menghasilkan semua objek akal maka seseorang akan

menjadi manusia sejati dengan mengunkan realisasi53 Muhammad ‘Ustman Najati. Jiwa dalam Pandangan para Filosof Muslim. 1993. Bandung: Pustaka Hidayah. hal. 74-75.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 37

akal yang telah dikembangkan.

C. KARYA-KARYA AL-FARABI

Ciri khas karya al-Farabi bukan saja mengarang

kitab-kitab besar atau makalah-makalah, ia juga

memberikan ulasan-ulasan serta penjelasan terhadap

karya Aristoteles, Iskandar Al-Dfraudismy dan Plotinus.

Al Farabi meninggalkan banyak karya tulis, yang secara

garis besar bisa dikelompokkan dalam beberapa tema,

seperti logika, fisika, metafisika, politik, astrologi,

musik, dan beberapa tulisan yang berisi tentang

sanggahan pandangan filosof tertentu.54 Di antara

ulasan al-Farabi terhadap karya-karya mereka adalah

sebagai berikut:

a. Ulasannya terhadap karya Aristoteles

1. Burhan (dalil),

2. Ibarat (keterangan),

3. Khitobah (cara berpidato),

4. Al-Jadal (argumentasi/berdebat),

5. Qiyas (analogi),

6. Mantiq (logika)

b. Ulasannya terhadap karya Plotinus  ”Kitab al-

Majesti fi-Ihnil Falaq”,

54 A. Khudori Soleh. Wacana Baru Filsafat Islam. 2004. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 61.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 38

c. Ulasannya terhadap karya Iskandar Al Dfraudisiy

tentang ”Maqalah Fin-nafsi”.

Sedangkan karya-karya nyata dari al-Farabi lainnya

:

a. Al-Jami’u Baina Ra’yani Al-Hkiman Afalatoni Al

Hahiy wa Aristho-thails (pertemuan/penggabungan

pendapat antara Plato dan Aristoteles),

b. Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan),

c. As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan),

d. Fususu Al Taram (hakikat kebenaran),

e. Arro’u Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-

pemikiran utama pemerintahan),

f. As Syiasyah (ilmu politik),

g. Fi Ma’ani Al Aqli,

h. Ihsho’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu),

i. At Tangibu ala As Sa’adah

j. Isbatu Al Mufaraqat,

k. Al Ta’liqat.55

Dalam referensi yang lain, dapat kita ketahui

terdapat banyak sekali karya al-Farabi. Karyanya yang

lain diantaranya:

a. Risalah Shudira Biha al Kitab (Risalah yang

dengannya Kitab Berawal)55 A. Mustofa. Filsafat Islam. 1999. Bandung: Pustaka Setia, hal. 127-128.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 39

b. Risalah fi Jawab Masa’il Su’ila ‘Anha (Risalah

tentang Jawaban atas Pertanyaan yang Diajukan

tentang-Nya.

c. Syarh Kitab al Sama’ al Tabi’I li Aristutalis

(Komentar atas Fisika Aristoteles)

d. Syarh Kitab al Sama’ wa al ‘Alam li Aristutalis

(Bahasan atas Kitab Aristoteles tentang Langit dan

Alam Raya)

e. Al-Jami’u Baina Ra’yai Hakimain Afalatoni Al Hahiy

wa Aristho-thails (Pertemuan/Penggabungan Pendapat

antara Plato dan Aristoteles)

f. Tahsilu as Sa’adah (Mencari Kebahagiaan)

g. Fushus al Hikam (Permata Kebijaksanaan)

h. Fususu al Taram (Hakikat Kebenaran)

i. Kitab fi al Wahid wa al Wahdah (Kitab tentang Yang

Satu dan Yang maha Esa)

j. As Syiyasyah (Ilmu Politik)

k. Kitab al Millat al Fadlilah (Kitab tentang

Komunitas Utama)

l. Ihsho’u Al Ulum (Kumpulan Berbagai Ilmu)

m. Arroo’u Ahl al-Madinah Al-Fadilah (Pemikiran-

Pemikiran Utama Pemerintahan)

n. Al-Siyasah al-Madaniyah (politik pemerintahan)56

D. PENDAPAT PENULIS TERHADAP PEMIKIRAN AL-FARABI56 http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/06/biografi-al-farabi-tokoh-islam-dunia.html, diunduh 31 Maret 2014.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 40

Pemikiran filsafat al-Farabi mengenai filsafat

Emanasi adalah sebuah rasa penasaran dari al-Farabi

karena ia menemui kesulitan dalam menjelaskan

bagaimana terjadinya banyak (alam) yang bersifat

materi dari Yang Maha Esa (Allah) jauh dari arti

materi dan Maha sempurna. Dalam filsafat Yunani,

Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan Penggerak

Pertama (prime cause), ini telah dikemukakan oleh

Aristoteles.

Dari tiap pemikiran wujud Tuhan, al-Farabi

memiliki alasan tersendiri atas pendapatnya tersebut.

Namun jika kita bandingkan dengan saat ini, pemikiran

seperti ini sudah tidak relevan lagi. Karena kita

sudah tahu jika planet-planet yang dianggap wujud

tuhan tersebut hanyalah planet biasa.

Al-Farabi ketika menjelaskan Metafisika (ke-

Tuhanan), menggunakan pemikiran Aristoteles dan

Neoplatonisme. Ia berpendapat bahwa al-Maujud al-

Awwal sebagai sebab pertama bagi segala yang ada.

Menurutnya, segala yang ada ini hanya memiliki dua

kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga.

Jika kita bandingkan dengan saat ini. Kita percaya

bahwa Tuhan memiliki wujud yang kekal dan tidak perlu

terjadi regenerasi atau perbaikan Wujud seperti

makhluk. Tuhan memiliki wujud namun tidak sama dengan

Filsafat Islam : Al-Farabi | 41

wujud makhluk. Karena Tuhan tidak bisa disamakan

dengan makhluk-Nya.

Mengenai filsafat kenabian, nabi adalah utusan

Allah yang diberikan mukjizat berupa Wahyu Ilahi,

maka dari itu ciri khas seorang Nabi menurut al-

Farabi ialah mempunyai daya imajinasi yang kuat dan

ketika berhubungan dengan Akal Fa’al dapat menerima

visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk Wahyu.

Pendapat al-Farabi di atas menunjukkan bahwa antara

filosof dan Nabi ada kesamaan. Oleh karenanya,

kebenaran Wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan

filsafat, akan tetapi jika hanya mempelajari filsafat

semata tanpa mempelajari Wahyu (al-Qur’an) ia akan

tersesat, karena antara keduanya sama-sama

mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal Fa’al

(Jibril).

Dapat kita simpulkan dari pemikiran ke-nabian

al-Farabi. Bahwa ia percaya bahwa setiap orang

memiliki kemampuan yang sama untuk mencapai akal

fa’al seperti nabi. Namun perlu diketahui bahwa Tuhan

hanya memilih beberapa orang saja yang mencapai

derajat untuk dapat berkomunikasi dengan-Nya.

Al-Farabi, selain ia seorang filosof muslim dan

membuat karya-karya, ia juga menyibukkan dirinya

untuk ikut berpartisipasi mengurus ke-Negaraan dengan

kata lain ia ikut berkecimpung dalam dunia politik.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 42

Al-Farabi menggolongkan negara menjadi lima

bentuk. Pembagian bentuk negara menurut al-Farabi

tidak sepenuhnya salah. Karena di era modern ini,

sebagian dari kita masih dapat menemukan tipe-tipe

negara yang mirip dengan kriteria al-Farabi. Seperti

negara Islam yang keras, negara liberal, komunis,

ataupun negara federasi. Atau cara kepemimpinan yang

keras dan semena-mena seperti Adolf Hitler, George W.

Buss, Ariel Sharon atau Benjamin Netanyahu.

Al-Farabi mendefinisikan jiwa sebagaimana

definisi Aristoteles, yaitu ‘kesempurnaan awal bagi

fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki

kehidupan yang energik’. Pendefinisian jiwa seperti

ini kemungkinan besar didasari oleh kepakarannya

dalam ilmu logika. Sehingga ia selalu berusaha

memandang segala hal yang tampak agar bisa diterima

oleh akal.

Al-Farabi adalah seorang filosof yang telah

menghimpun berbagai konsepsi di mana sendi-sendinya

menjadi suatu mata rantai yang saling berkait. Dalam

hal definisi dan esensi jiwa, kita bisa melihat teori

sufi yang merupakan bagian dari pandangan filosofis

al-Farabi.

Sebagai ciri khas dari teori tasawuf yang

dikatakan al-Farabi adalah pada asas rasional.

Tasawuf al-Farabi bukanlah tasawuf spiritual semata

Filsafat Islam : Al-Farabi | 43

yang hanya berlandaskan kepada sikap menerangi diri

dan menjauh dari segala kelezatan guna mensucikan

jiwa dan meningkat menuju derajat-derajat

kesempurnaan, tetapi tasawufnya adalah tasawuf yang

berlandaskan pada studi.

Menurut al-Farabi, kebahagiaan adalah

pencapaian kesempurnaan akhir bagi manusia. Dan

itulah tingkat akal mustafad, dimana ia siap menerima

emanasi seluruh objek rasional dari akal aktif.

Dengan demikian, perilaku berfikir adalah perilaku

yang dapat mewujudkan kebahagiaan bagi manusia

Jadi menurut al-Farabi, perilaku baik dan

buruk, situasi, serta bakat seseorang akan sangat

mempengaruhi kebahagiaan dirinya. Baik itu

kebahagiaan saat melakukan hal yang baik ataupun hal

yang buruk.

Sebagian besar karya al-Farabi dipusatkan pada

studi tentang logika. Tetapi hal ini hanya terbatas

pada penulisan kerangka Organom, dalam versi yang

dikenal oleh para sejarah Arab pada saat itu. Al-

Farabi menyatakan bahwa: ‘seni logika umumnya

memberikan aturan-aturan yang bila diikuti dapat

memberikan pemikiran yang besar dan mengarahkan

manusia secara langsung kepada kebenaran dan

menjauhkan dari kesalahan-kesalahan’.

Logika saat ini sangat dikedepankan untuk

Filsafat Islam : Al-Farabi | 44

membuktikan suatu dugaan terhadap hal-hal yang belum

diketahui secara pasti. Cara pembuktian dengan logika

dapat menghasilkan presisi yang mendekati seperti

realitas sebenarnya.

Al-Farabi berpendapat bahwa jendela pengetahuan

adalah indera, sebab pengetahuan masuk ke dalam diri

manusia melalui indera. Sementara pengetahuan

totalitas terwujud melalui pengetahuan parsial, atau

pemahaman universal merupakan hasil penginderaan

terhadap hal-hal yang parsial.

Sehingga segala sesuatu seyogyanya tidak hanya

diukur melalui sisi lahiriah saja. Pengetahuan dapat

didapatkan dengan pengamatan secara lebih mendalam.

Demikian komentar-komentar penulis mengenai

pemikiran al-Farabi. Penulis membandingkan pemikiran

al-Farabi dengan kenyataan yang terjadi saat ini.

Bukanlah hal yang salah jika seseorang berusaha

memperbaiki suatu jalan pemikiran melalui komparasi

antara hal-hal yang telah ada di satu belahan dunia

dengan belahan dunia yang lain.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 45

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari paparan diatas, dapat kita simpulkan dari

pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa al-Farabi

sebagai filosof Islam yang pertama kali membawa wacana

filsafat secara lebih mendalam. Ia mendirikan tonggak-

tonggak filsafat Islam yang kemudian banyak diikuti

oleh filosof Islam yang lain.

Gelar Guru Kedua terhadap dirinya membuktikan

keseriusannya dalam membina filsafat Islam walaupun

harus berjuang keras untuk itu. Walaupun pemikiran

metafisikanya banyak dikritik oleh pemikir muslim

belakangan seperti al-Ghazali. terutama dalam

metafisika emanasi, figur al-Farabi masih menarik untuk

didiskusikan. Sumbangannya dalam bidang fisika,

metafisika, ilmu politik, dan logika telah memberinya

hak untuk menempati posisi terkemuka yang tidak

diragukan lagi diantara filosof-filosof Islam.

Ibnu Farabi atau Al-Farabi dalam setiap tokoh

sudah menjadi hal yang lumrah bahwa manusia memiliki

kekurangan dan kelebihan. Terkadang bertindak atau

Filsafat Islam : Al-Farabi | 46

berperilaku benar dan juga salah. Dalam berfikir juga

demikian salah dan benar memang tidak aneh lagi jika

menimpa seseorang. Karena manusia memang tidak terlepas

dari salah dan lupa. Apalagi dalam masalah filsafat.

Lebih tidak aneh lagi kalau seorang filosof berfikir

salah, atau nyeleneh. Untuk itu dalam pemikiran Ibnu

Farabi ini tentunya berlaku hukum tersebut yaitu ada

yang salah dan ada pula yang benar. Maka alangkah

indahnya apa yang dikatakan Syeikh Bin Baz ketika

ditanya bagaimana pandangan  beliau terhadap Dr. Sayyid

Qutb, maka Syeikh Bin Baz menjawab dengan kata-kata

beliau yang indah; “Setiap manusia tidak akan terlepas

dari benar dan salah. Maka yang benar dari beliau

(Sayyid Qutb) maka ambilah, jika itu salah maka

tinggalkanlah”.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 47

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an In Word Version 1.2.0 by Mohamad Taufiq.Soleh, A. Khudori. Wacana Baru Filsafat Islam. 2004.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Mustofa, A. Filsafat Islam. 1999. Bandung: Pustaka

Setia.Aceh,Abu Bakar, Sejarah Filsafat Islam. 1982. Solo: CV.

Ramadhani, Cet 2.Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam. 1996. Jakarta:

Bulan Bintang, Cet. VI.Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah. Kairo: Maktabat

Mathaba’at Muhammad Ali, t.t. Harahap, Anwarudin. 1981. Posisi Abu Nasr Al Farabi dalam

Dunia Islam, skripsi sarjana. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Qadir, C. A, Philosophy and Science in Islamic World, terj. Yayasan Obor Indonesia Filsafat dan Pengetahuan dalam Islam. 1991. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Tarmiji, Eduarny. Konsep Al-Farabi tentang Negara Utama, thesis magister. 2004. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia

Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam. 2004. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Nasution, Harun, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX. 1973. Jakarta: Bulan Bintang.

Nasution, Hasyimsah, Filsafat Islam, Cet. Ke-3. 2002. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Ziai, Hossein. Suhrawardi & Filsafat Illuminasi, terj. Afif Muammad. Bandung: Zaman. 1988.

Madkur, Ibrahim, Fi Falsafat al-Islamiyah wa Manhaj wa Tatbiquh. 1968. Kairo: Dar al-Ma’arif.

Asy-Syarafa, Ismail, Ensiklopedi Filsafat, 2005. Jakarta:KHALIFA Pustaka Al-Kautsar Grup.

Shaliba, Jamil. Tarikh al-Falsafah al-‘Arabiyah, Cet. II. 1973. Beirut: Dar al-Kutub al-Lubhani.

Yazdi, Mehdi Hairi, ThePrinciples of Epistemology in Islamic

Filsafat Islam : Al-Farabi | 48

Philosophy, Knowledge by Presence, terj. Ahsin Muhammad, Ilmu Hudhuri Prinsip-prinsip Epistemology dalam Filsafat Islam. 1994. Bandung : Mizan.

Amien, Miska Muhammad, Epistemologi Islam. 1983. Jakarta: UI press.

Najati, Muhammad ‘Ustman. Jiwa dalam Pandangan para Filosof Muslim. 1993. Bandung: Pustaka Hidayah.

Kartanegara, Mulyadi, Mozaik Intelektual Islam Bunga Rampai dari Chicago. 2000. Jakarta : Paramadina.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, Cet. V. 1993. Jakarta: UI Perss.

al-Jisr, Nadim, Qissatul Iman alih bahasa A.Hanafi, Kisah Mantjari Tuhan. 1966. Jakarta : Bulan Bintang, Jilid I.

Madjid, Nurcholis, Khazanah Intelektual Nurcholish Islam. 1984. Jakarta : Bulan Bintang.

Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat Islam. 1988. Bandung: Rosdakarya.

Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Iain, Filsafat Islam.

Yamani. Antara al-Farabi dan Khomaini Filsafat Politik Islam. 2002. Bandung: Mizan.

http://id.wikipedia.org/ diunduh 30 Maret 2014.http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/06/

biografi-al-farabi-tokoh-islam-dunia.html, diunduh 31 Maret 2014.

http://makalah-stid.blogspot.com/2009/11/al-farabi.html, diunduh 31 Maret 2014.

http://syafieh.blogspot.com/2013/04/filsafat-islam-ar-farabi-dan-pemikiran.html, diunduh 31 Maret 2014.

http://syarifahanis.blogspot.com/2012/05/makalah-filosof-al-farabi.html, diunduh 31 Maret 2014.

Filsafat Islam : Al-Farabi | 49