36
17 BAB II Tinjauan Umum Tentang Kitab Undang-Undang Simbur Cahaya A. Sejarah Negeri Palembang Darussalam Tidak dapat dipungkiri bahwa Sumatera bagian Selatan pada abad XVII telah berdiri Kerajaan Palembang dengan rajanya Ki Geding Suro Tuo yang dilanjutkan dengan Kesultanan Palembang Darussalam dengan Sultan pertamanya Susuhunan Abdurrahman (1666 M). 1 Salah satu permaisuri raja Palembang pada waktu itu yaitu Ratu Sinuhun (Permaisuri Pangeran Ratu Siding Kenayan) telah menyusun Undang-Undang Dasar Kerajaan Palembang, yang merupakan nilai-nilai kearifan budaya lokal untuk negeri Palembang seperti yang kita kenal dengan Undang-Undang Simbur Cahaya (lebih kurang tahun 1636 M). 2 Perlu diketahui bahwa permaisuri / istri raja atau Sultan Palembang itu bergelar Ratu, kalau bukan permaisuri tidak bergelar Ratu. Sumatera Selatan sejak ratusan tahun yang lalu. Konsep Iliran dan Uluan secara geografis dapat dibagi menjadi dua, Iliran untuk kawasan pusat kota Palembang lama yang identik dengan majunya peradaban, sedangkan Uluan adalah seluruh kawasanyang berada di luar kawasan Palembang Lama, sebagai kawasan penunjang peradaban. Perspektif politik, ekonomis dan sosial budaya, konsep Iliran dan Uluan sendiri dalam pada masyarakat Sumatera Selatan telah ada sejak masa lampau dalam kurun sejarahnya. Dari catatan sejarah yang ada kita ketahui bahwa raja-raja/sultan-sultan Palembang berasal dan memiliki hubungan darah dengan raja-raja Jawa. Oleh karena itu, sistem pemerintahan yang mereka anut adalah sistem pemerintahan yang terdapat dari mana mereka 1 SMB III Prabu Diradja, “Nilai-Nilai Undang-Undang Simbur Cahaya”, Makalah (Kesultanan Palembang Darussalam : Mei 2013). hlm. 1 2 Ibid. hlm. 1

BAB II.pdf - Repository UIN Raden Fatah Palembang

Embed Size (px)

Citation preview

17

BAB II

Tinjauan Umum Tentang Kitab Undang-Undang Simbur Cahaya

A. Sejarah Negeri Palembang Darussalam

Tidak dapat dipungkiri bahwa Sumatera bagian Selatan pada abad XVII

telah berdiri Kerajaan Palembang dengan rajanya Ki Geding Suro Tuo yang

dilanjutkan dengan Kesultanan Palembang Darussalam dengan Sultan

pertamanya Susuhunan Abdurrahman (1666 M).1

Salah satu permaisuri raja Palembang pada waktu itu yaitu Ratu Sinuhun

(Permaisuri Pangeran Ratu Siding Kenayan) telah menyusun Undang-Undang

Dasar Kerajaan Palembang, yang merupakan nilai-nilai kearifan budaya lokal

untuk negeri Palembang seperti yang kita kenal dengan Undang-Undang Simbur

Cahaya (lebih kurang tahun 1636 M).2 Perlu diketahui bahwa permaisuri / istri

raja atau Sultan Palembang itu bergelar Ratu, kalau bukan permaisuri tidak

bergelar Ratu.

Sumatera Selatan sejak ratusan tahun yang lalu. Konsep Iliran dan Uluan

secara geografis dapat dibagi menjadi dua, Iliran untuk kawasan pusat kota

Palembang lama yang identik dengan majunya peradaban, sedangkan Uluan

adalah seluruh kawasanyang berada di luar kawasan Palembang Lama, sebagai

kawasan penunjang peradaban. Perspektif politik, ekonomis dan sosial budaya,

konsep Iliran dan Uluan sendiri dalam pada masyarakat Sumatera Selatan telah

ada sejak masa lampau dalam kurun sejarahnya. Dari catatan sejarah yang ada

kita ketahui bahwa raja-raja/sultan-sultan Palembang berasal dan memiliki

hubungan darah dengan raja-raja Jawa. Oleh karena itu, sistem pemerintahan

yang mereka anut adalah sistem pemerintahan yang terdapat dari mana mereka

1 SMB III Prabu Diradja, “Nilai-Nilai Undang-Undang Simbur Cahaya”, Makalah

(Kesultanan Palembang Darussalam : Mei 2013). hlm. 1 2 Ibid. hlm. 1

72

berasal .3 Model pemerintahan “Catur Menggala” yang ada di Jawa, diadopsi di

Palembang dan dikenal dengan istilah “Empat Manca Negara”, yang terdiri dari

Raja/Sultan, Pepatih, Penghulu dan Kepala Pengalasan (Jaksa). Namun

tampaknya sistem pemerintahan seperti itu hanyalah berlaku di ibukota,

sedangkan di daerah uluan (pedalaman) yang pada saat itu menganut sistem

pemerintahan marga, tetap berlangsung sebagaimana adanya.4

Oleh karena itu campur tangan raja/sultan terhadap sistem pemerintahan

marga tidak terlalu mendalam. Setiap marga menjadi “raja kecil” di daerahnya

dan tetap mengatur rumah tangganya sendiri. Mereka dibebaskan dari kewajiban

membayar pajak, namun mereka diberikan semacam tugas-tugas khusus untuk

membantu pemerintah pusat. Daerah-daerah tersebut dikenal dengan istilah

daerah sikap, yang merupakan adopsi model daerah perdikan yang ada di Jawa.

Termasuk dalam kategori daerah sikap ini di antaranya yaitu daerah Belida

(sekitar Muara Enim sekarang) dan Pegagan (sekarang daerah Ogan Ilir,

termasuk di dalamnya Sakatiga.5

Daftar Penguasa/Raja dan Sultan Kerajaan Palembang/Kesultanan

Palembang Darussalam6 :

No Nama Penguasa Tahun Makam Keturunan

1 Ario Dillah (Ario Damar) 1455 – Jl. Ario Dillah III, Anak

3 Asmaul Husna, Alfiandra, Sri Artati Waluyati, “ Analisis Nilai-Nilai Dalam

Undang-Undang Simbur Cahaya Pada Masyarakat Ogan Ilir”, Jurnal Civics: Media

Kajian Kenegaraan. Vol. 16 No. 1 Th. 2019. hlm. 13 4 Ibid. hlm. 13

5 Ibid. hlm. 13

6 Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang.

Jakarta: PT Raja Grafido Persada; Retno Purwanti. 2004. “Situs Bersejarah di

Palembang”, dalam Achadiati Ikram (ed.). Jatidiri yang Terlupakan: Naskah-Naskah

Palembang. Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara; dan Sultan Iskandar Mahmud

Badaruddin. 2008. Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam. Palembang: Kraton

Kesultanan Pelambang Darussalam.

73

1486 20 ilr Brawijaya V

2 Pangeran Sedo ing Lautan

(diganti putranya) s.d 1528

1 Ilir, di sebelah

Masjid Sultan

Agung

Keturunan R.

Fatah

3 Kiai Gede ing Suro Tuo

(diganti saudaranya)

1528 –

1545

1 Ilir, halaman

musim Gedeng Suro Anak No.2

4

Kiai Gede in Suro Mudo

(Kiai Mas Anom Adipati

ing Suro/Ki Gede ing Ilir)

(diganti putranya)

1546 –

1575

1 Ilir, kompleks

makam utama

Gedeng Suro

Saudara Kiai

Gede in Suro

Tuo

5 Kiai Mas Adipati (diganti

saudaranya)

1575 –

1587

1 Ilir, makam

Panembahan selatan

Sabo Kingking

Anak Kiai

Gede in Suro

Mudo

6 Pangeran Madi ing

Angsoko (diganti adiknya)

1588 –

1623

20 ilir, candi

Angsoko

Anak Kiai

Gede in Suro

Mudo

7 Pangeran Madi Alit

(diganti saudaranya)

1623 –

1624

20 Ilir, sebelah RS

Charitas

Anak Kiai

Gede in Suro

Mudo

8 Pangeran Sedo ing Puro

(diganti keponakannya)

1624 –

1630 Wafat di Indralaya

Anak Kiai

Gede in Suro

Mudo

9 Pangeran Sedo ing 1630 – 2 Ilir, Sabokingking Anak dari No.5

74

Kenayan (diganti

misannya)

1642

10

Pangeran Sedo ing

Pasarean Putra (Nyai Gede

Pembayun) (diganti

putranya)

1642 –

1643 2 Ilir, Sabokingking

Cucu Kiai Mas

Adipati

11

Pangeran Mangkurat Sedo

ing Rejek (diganti

saudaranya)

1643 –

1659

Saka Tiga, Tanjung

Raja

Anak Pangeran

Sedo ing

Pasarean

12

Kiai Mas Hindi, Pangeran

Kesumo Abdurrohim

(Susuhunan Abdurrahman

Khalifatul Mukminin

Sayyidul Imam) (diganti

putranya)

1662 –

1706

Candi Walang

(Gelar Sultan

Palembang

Darusslam 1675)

Anak Pangeran

Sedo ing

Pasarean

13

Sultan Muhammad (Ratu)

Mansyur Jayo ing Lago

(Diganti saudaranya)

1706 –

1718 32 Ilir, Kebon Gede

Anak Kiai Mas

Hindi

14

Sultan Agung Komaruddin

Sri teruno (diganti

keponakannya)

1718 –

1727

1 Ilir, sebelah

Masjid Sultan

Agung

Anak Kiai Mas

Hindi

15

Sultan Mahmud

Badaruddin I Jayo

Wikromo (diganti

1727 –

1756

3 Ilir, Lamehabang

Kawmah Tengkurap

Anak Sultan

Muhammad

Mansyur Jayo

75

putranya) ing Lago

16

Sultan/Susuhunan Ahmad

Najamuddin I Adi Kesumo

(diganti putranya)

1756 –

1774

3 Ilir, Lemahabang

(wafat 1776)

Anak Sultan

Mahmud

Badaruddin I

17 Sultan Muhammad

Bahauddin

1774 –

1803 3 Ilir, Lemahabang

Anak Sultan

Ahmad

Najamuddin I

18 Sultan/Susuhunan Mahmud

Badaruddin II R. Hasan

1803 –

1821

Dibuang ke Ternate

(wafat 1852)

Anak Sultan

Muhammad

Bahauddin

19 Sultan/Susuhunan Husin

Dhiauddin (adik SMB II)

1812 –

1813

Wafat 1826 di

Jakarta. Makam di

Krukut, lalu

dipindah ke

Lemahabang

Anak Sultan

Muhammad

Bahauddin

20

Sultan Ahmad Najamuddin

III Pangeran Ratu (putra

SMB II)

1819 –

1821 Dibuang ke Ternate Anak SMB II

21

Sultan Ahmad najamuddin

IV Prabu Anom (putra

Najamuddin II)

1821 –

1823

Dibuang ke Manado

25-10-1825. Wafat

usia 59 tahun

Anak Sultan

Husin

Dhiauddin

22

Pangeran Kramo Jayo,

Keluarga SMB II. Pejabat

yang diangkat Pemerintah

1823 –

1825

Dibuangke

Purbalingga

Banyumas. Makam

Anak Pangeran

Natadiraja M.

Hanafiah

76

Belanda sebangai Pejabat

Negara Palembang

di 15 Ilir, sebelah

SDN 2, Jl. Segaran

Data di atas mulai No.1 sampai No.11 masih berbentuk Kerajaan

Palembang dan mulai No.12 sampai No.22 sudah berbentuk Kesultanan

Palembang Darussalam.Berikut Silsilah para pemimpin Kesultanan Palembang

Darussalam sebagai berikut:

Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayyidul Imam (1659 – 1706 M)

Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706 – 1714 M)

Pangeran Ratu Purbayo (wafat sebelum dinobatkan menjadi Sultan)

Sultan Agung Komaruddin Sri Truno (1714 – 1724 M)

Sultan Anom Alimudin (meskipun menjadi sultan tetapi tidak memerintah)

Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Sultan Badaruddin I) (1724 – 1758

M)

Pangeran Ratu Kamuk/Raden Zailani (1755)

Sultan Ahmad Najamuddin I (1758 – 1776 M).

Sultan Muhammad Bahauddin (1776 – 1804 M)

Paduka Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan

Badaruddin II)(1804 – 1821)

Sultan Ahmad Najamuddin II Husin Diauddin (1813 – 1817)

Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (1819 – 1821)

Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom (1821 – 1823)

Pangeran Kramo Jayo (1823-1825)

Sultan Mahmud Badaruddin Prabudiradja (Sultan Mahmud Badaruddin III)

(2003 – 2017)

Sultan Mahmud Badaruddin Fawwaz Diraja (Sultan Mahmud Badaruddin IV)

(2017- sekarang)

Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin (2006 – sekarang)

77

B. Sejarah Marga di Negeri Palembang Darussalam

Sebagai naskah resmi, undang-undang Simbur Cahaya berlaku dalam

lingkungan marga yaitu suatu lingkungan kehidupan dan masyarakat dengan

institusi pemerintahan yang dewasa ini meliputi bentangan wilayah relatif sama

luas dengan luas kecamatan. Marga memiliki kemandirian yang cukup otonom,

membawahi dusun (dewasa ini sama dengan desa), dan kampung (saat ini sama

dengan dusun). Marga-marga di Sumatera Selatan terbentuk sebagai suatu

kesatuan yang bersifat teritorial dan genealogis. Terjadinya marga pada mulanya

didorong oleh tiga faktor yaitu faktor penghuni atau warga yang bersangkutan

secara bersama-sama terkait pada daerah yang ditempati (territorial), atau karena

perasaan terkait satu sama lain dengan alasan satu keturunan yang sama

(genealogist), atau karena penggabungan dari kedua faktor terdahulu menjadi

territorial-genealogist. Lebih lanjut, dalam perkembangannya marga-marga tersebut

mengalami proses degenalisasi sehingga istilah marga pada akhirnya selalu

diasosiasikan kepada suatu wilayah dengan pemerintahan tertentu. Aspek yang pal-

ing menonjol dalam pembicaraan tentang marga kemudian adalah pada aspek

teritorial, khususnya sebagai suatu kesatuan wilayah dengan batas-batas yang tegas

dan sistem sosial politik dengan keunikannya tersendiri. Undang-undang Dasar

1945 menyebut marga dan dusun di Sumatera Selatan ini termasuk dalam kategori

zelfbestuuren de lanschappen dan volkgemenschappen yaitu suatu wilayah yang

memiliki keistimewaan karena susunannya yang khas dan harus dihormati oleh

Negara Republik Indonesia.7

Dalam penjelasan Pasal 18 angka Romawi dua (II) Undang-Undang Dasar 1945,

disebutkan:

“Dalam territoir Negara Republik Indonesia terdapat lebih kurang 250

zelfbestuurende langschappen dan volkgemenschap- pen, seperti desa di Jawa dan

7 Saudi Berlian, “Simbur Cahaya dan Masalah Kekerasan”, Makalah,

(Palembang: 2000). hlm. 7

78

Bali, negeri di Minangkabau, mar- ga dan dusun di Palembang dan sebagainya.

Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap seb-

agai daerah yang bersifat istimewa.

Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan dae- rah-daerah

istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu

akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”.

Menjelang kemerdekaan, pada tahun 1940, di Sumatera Selatan terdapat

175 marga yang tersebar di Ogan Ilir (19), Komering Ilir (14), Palembang dan

Banyuasin (15), Musi Ilir dan Kubu (17), Rawas (8), Lematang Ulu (15),

Lematang Ilir (16), Pasemah (10), Tebingtinggi (14), Musi Ulu (10), Ogan Ulu

(12), Muaradua (13), dan Komering Ulu (13). Pada tahun 1968 jumlah ini

bertambah menjadi 181 marga. Pertambahan terjadi karena alas an demografis

yaitu perkembangan wilayah karena pertambahan jumlah penduduk, di samping

terjadi pula karena alas an politis dan sebagainya. Alasan politis seperti munculnya

oposisi pasca pemilihan pasirah kepala marga yang berkembang menjadi alienasi

dan berujung pada pembentukan marga baru. Jumlah ini bertambah menjadi 193

marga ketika peristiwa pembubaran marga-marga pada tahun 1983. Pembubaran

itu dilakukan melalui SK Gubernur Sumatera Selatan No. 142/KPTS/III/1983

tentang Penghapusan Marga, DPR Marga menyusul Undang-Undnag RI No.

5/1979. SK tersebut ditetapkan pada tanggal 24 Maret dan berlaku terhitung

tanggal 4 April 1983. Terbitnya SK ini sangat controversial mengingat Undang-

Undang Dasar 1945 yang secara hukum memiliki hirarkhi lebih tinggi,

sebagaimana dikutip di atas, justru menghormati keberadaan marga-marga itu.8

Undang-Undang Simbur Cahaya mulai sirna dengan keluarnya

keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan No.

142/KPTS/III/1983 Tanggal 24 Maret 1983 tentang penghapusan pemerintahan

marga, DPR marga, dan perangkat marga lainnya, pemberhentian pesirah/

8 Ibid. hlm. 8

79

pejabat pesirah, kepala marga, ketua/ anggota DPR marga dan pejabat pamong

marga lainnya serta penunjukan kepala desa wilayah propinsi daerah tingkat I

Sumatera Selatan (Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan, Haji

Sainan Sagiman).9

Walaupun Undang-Undang Simbur Cahaya mulai sirna tapi masalah

nilai-nilai kearifan budaya lokal masih dapat kita lihat berlakunya acara tepung

tawar, yang masih dihayati dan dilaksanakan oleh anak negeri Palembang

Darussalam. Conoth yang belum lama ini bapak Kapolda Sumsel Irjen. Pol. Drs.

Sad Usman Nasution telah memotong kerbau/ tepung tawar atas terjadinya kasus

di daerah Musi Rawas Darussalam yang anak negerinya bentrok dengan Polri

sehingga ada korban 4 orang (tertembak) meninggal karena masalah pemekaran

akan membentuk Kabupaten Mura Tara (yang tidak ada dalam KUHP).10

Pada zaman pemerintahan Belanda adat Kebiasaan masyarakat yang

berlaku di wilayah kesultanan Palembang terus dihidupkan, namun beberapa

bagian tertulis dalam Kitab Undang-Undang Simbur Cahaya dilakukan

perubahan, disesuaikan dengan keinginan politik pemerintah Belanda.11

Di daerah pedalaman, hukum adat tertentu tidak hanya dimiliki oleh

setiap marga atau dusun saja, tetapi juga dimiliki oleh wilayah tempat marga atau

dusun itu berada. Hal ini menyebabkan keanekaragaman kebiasaan dan (hukum)

adat di daerah pedalaman Palembang. Walaupun ada persamaan bentuk-bentuk

kebiasaan dan (hukum) adat, setiap daerah mempunyai perbedaan yang khas

dalam soal hukum keluarga/kekerabatan, hukum waris dan hukum pidana.

Penduduk yang sudah memeluk agama Islam tentunya berpegang pada hukum

Islam, namun adat kebiasaan lama dan aturan-aturan yang termaksud dalam

piagam-piagam tua dianggap sebagai pengecualian khusus (wilayah terkadang

9 SMB III Prabu Diradja, “Nilai-Nilai Undang-Undang Simbur Cahaya”, Makalah

(Kesultanan Palembang Darussalam : Mei 2013). hlm. 1 10

Ibid. hlm. 1 11

Ibid. hlm. 3

80

menyimpang dari norma dan aturan hukum Islam). Hal ini berlaku juga untuk

Undang-Undang Simbur Cahaya yang sangat dipegang teguh oleh penduduk.12

Segala (hukum) adat dan kebiasaan di daerah pedalaman itu sebetulnya

dijalankan bila hal itu sesuai dengan kepentingan Sultan (atau bila Sultan tidak

terpengaruh atau dirugikan bila adat dan kebiasaan itu tidak dilakukan). Dengan

kata lain, bila suatu adat atau kebiasaan tidak didukung oleh Sultan, adat dan

kebiasaan itu tidak diberlakukan (oleh penduduk).13

Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa keberlakuan Undang-

Undang Simbur Cahaya berlaku di uluan Palembang atau wilayah diluar ibukota

Kesultanan Palembang Darussalam.

Menurut Abdullah sebagaimana mengutip dari Hanafiah yang

mengumpulkan beberapa berita-berita menyatakan bahwa keberlakuan Undang-

Undang Simbur Cahaya diserahkan kepada kesediaan (kesukarelaan) pimpinan

pemerintahan (bawah Kesultanan) setempat untuk menerapkannya pada

masyarakatnya.14

Seperti diketahui bahwa pendukung utama kesultanan di pedalaman ialah

marga-marga. Di Palembang, marga walaupun semula bersifat geneologis,

adalah kesatuan teritorial yang memiliki kuasa yang cenderung otonom. Dalam

sejarahnya, marga disini membawahkan dusun-dusun yang jumlahnya tergantung

dari besar kecilnya (wibawa) marga yang bersangkutan. Marga yang besar,

misalnya dapat terdiri atas lebih dari dua puluh dusun. Marga dipimpin oleh

seorang pesirah, yang dipilih secara langsung oleh penduduk (mata pilih) dalam

marganya melalui proses pemilihan bebas (pancang pesirah). Segera setelah

12

Ibid. hlm. 9 13

Ibid. hlm. 9 14 Adil, “Simboer Tjahaya (Studi tentang pergumulan hukum Islam dan hukum

adat dalam Kesultanan Palembang Darussalam)”,Disertasi,(UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta,2010). hlm. 138

81

terpilih, pasirah diangkat secara resmi oleh Sultan dan diberi gelar depati atau

pangeran.15

Dusun-dusun dalam suatu marga dibedakan antara dusun marga, yaitu

dusun tempat kedudukan pasirah dan dusun pengandang. Dusun marga dipimpin

oleh seorang pembarap, yang juga berkedudukan sebagai wakil atau pengganti

pasirah bila pasirah berhalangan bertugas atau tidak berada ditempat. Dusun

pengandang dipimpin oleh seorang krio. Baik pembarap maupun krio juga dipilih

secara langsung (oleh penduduk dusunnya) melalui proses pancang (pembarap

atau krio).16

Di dusun marga terdapat seorang penghulu, pejabat yang memiliki

wewenang dan tanggung jawab untuk mengelola urusan keagamaan (Islam).

Penghulu haruslah orang yang menguasai syariat Islam. Penghulu membawahkan

para kaum dalam marganya. Mereka bertugas mengurus jenazah, memelihara

masjid, langgar, dan kramat, mengajar anak-anak baca tulis Al-Quran, memberi

pengajian agama, serta memungut zakat dan mendistribusikannnya kepada

orang-orang yang berhak menerimanya. Penghulu bersama para kaum yang

dibawahkannya juga menyelenggarakan pencatatan perkawinan, perceraian,

kelahiran, dan kematian.17

Di dusun pengandang terdapat pula pejabat agama yang disebut khatib.

Tugas khatib sama dengan tugas penghulu dan para perangkatnya. Ia juga harus

menguasai syari’at Islam. Setiap tahun ia laporan kepada penghulu, yang

kemudian akan menyerahkannya kepada pesirah. Setiap dusun, baik dusun

marga maupun pengandang, terbagi pula atas sejumlah kampung. Kampung-

kampung ini dikepalai oleh penggawa. Penggawa kampung tampaknya juga

15

Ibid. hlm. 138 16

Ibid. hlm. 139 17

Ibid. hlm. 139

82

dipilih secara langsung oleh penduduk kampungnya melalui pancang

(penggawa).18

Menurut Jacobus didalam bukunya “Inlandsch Gemeentewezen In Zuid-

Sumatra En Javanentransmigratie, “Met he word Marga zou dus oorspronkelijk

zoomen een territorial, al seen genealogische eenheid zijn aangeduid. 19

Dengan mengikuti alur pikiran Jacobus maka Marga kemudian

didefinisikan sebagai suku atau keluarga yang semula silsilah kemudian menjadi

teritori (wilayah).20

Marga berasal dari kata Sansekerta. “Varga”. Suatu wilayah dan juga

rumpun atau keluarga. Struktur social ini digunakan oleh Kerajaan Sriwijaya.

Terminologi Marga dapat disatukan dengan “datu” atau Kedatuan”21

Belanda kemudian melakukan penyeragaman sistem hukum adat dengan

menetapkan Marga tahun 1852. Termasuk kodifikasi hukum adat dengan

menerapkan “Oendang-oendang Simboer Tjahaja”. Oendang-oendang Simboer

Tjahaja kemudian mengenal sistem pemerintahan berbentuk Marga. Dengan

demikian, sistem pemerintahan berbentuk Marga sudah dikenal di Kerajaan

Palembang sebelum kedatangan Belanda.22

18

Ibid. hlm. 139 19

“Musri Nauli”, Apakah Ada “Undang-Undang Simbur Cahaya” di Jambi ?”,

terbit tanggal 23 Agustus 2016, diakses 3 Mei 2020, http://musri-

nauli.blogspot.com/2016/08/apakah-ada-uu-simbur-cahaya-di-jambi.html

20 Ibid.

21 Ibid.

22 Ibid.

83

C. Sejarah Kitab Undang-Undang Simbur Cahaya

Pada masa pemerintahan Pangeran Sedo Ing Kenayan (suami dari Ratu

Sinuhun) yang memerintah 1639-1650, dilembagakan suatu aturan yang dapat

mengikat dan mendorong orientasi para kepala marga dalam suatu kesatuan

dengan membuat aturan-aturan adat pertama di daerah Uluan yang kemudian

dikenal dengan sebutan “Undang-undang Simbur Cahaya”.23

Undang-Undang Simbur Cahaya ini diteruskan dimasa Kesultanan

Palembang Darussalam 1666 M sampai dengan dimasa penjajahan Belanda 1821.

Bahkan sampai periode awal kemerdekaan RI saat dihapuskannya sistem

pemerintahan marga pada tahun 1979. Dahulunya merupakan Undang-Undang

Dasar setelah dimasa penjajah Belanda dianggap sebagai Undang-Undang

Adat.24

Terdapat kemajuan dalam pengelolaan dan pelaksanaan pemerintahan

dan yang paling menonjol ialah masa Pangeran Sida Ing Kenayan (1636-1651).

Dalam mengembalikan pemerintahan Palembang, ia bersama istrinya Ratu

Sinuhun mengeluarkan suatu aturan yang mengatur hubungan para warga di

wilayah pedalaman (uluan) dan hubungan antara pedalaman dan Kesultanan .

Aturan ini dikenal dengan sebutan Piagem Ratu Sinuhun, yang kemudian populer

dengan Undang-Undang Simbur Cahaya. Undang-Undang ini sebagaimana

dilaporkan oleh Collin seperti dikutip oleh Rahim dan Abdullah, bahwa pada

masa penelitiannya tahun 1977 masih digunakan oleh kantor kabupaten di Lahat

sebagai rujukan dalam menyelesaikan masalah-masalah adat.25

Simbur Cahaya adalah nama kitab yang menjadi sumber tertulis dalam

sistem peradatan yang berlaku di daerah uluan dalam kawasan yang dahulu

23 Ibid. hlm. 13 24 SMB III Prabu Diradja, “Nilai-Nilai Undang-Undang Simbur Cahaya”,

Makalah (Kesultanan Palembang Darussalam : Mei 2013). hlm. 1 25 Adil, “Simboer Tjahaya (Studi tentang pergumulan hukum Islam dan hukum

adat dalam Kesultanan Palembang Darussalam)”,Disertasi,(UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta,2010). hlm. 122

84

merupakan karesidenan Palembang. Kawasan itu pada masa sekarang dikenal

sebagai daerah Sumatera Selatan, yaitu meliputi kabupaten Ogan Komering Ilir,

Ogan Komering Ulu, Musibanyuasin, Kota Lubuk Linggau, Kabupaten Musi

Rawas, Kabupaten Lahat, Kota Pagaralam, dan Kota Prabumulih.26

Secara etimologis , Simbur Cahaya berarti percik, atau sinar. Kata ini

dipergunakan sebagai nama bagi sistem peradatan di Sumatera Selatan boleh jadi

dapat dihubungkan dengan cerita berbau mitos tentang selimbur (pancaran)

cahaya yang terjadi dibukit Siguntang menyambut kedatangan anak cucu

Iskandar Zulkarnain, peristiwa selimbur cahaya itu menjadi salah satu simbol

pengesahan sekaligus dilukiskan sebagai raja-raja muslim di tiga serumpun tanah

melayu adalah : Palembang, Singapura, Malaka. Sehubungan dengan mitos dari

Pulau Panggung ini, menurut Saudi sejauh ini, sampai sekarang belum diperoleh

kepastian yang betul-betul dapat dipegang tentang asal-usul penggunaan kata

Simbur Cahaya sampai menjadi nama bagi Sistem Peradatan. Keterangan senada

dikemukakan oleh Berlian bahwa untuk sementara cukup bagi kita mengambil

makna fungsional bahwa Simbur Cahaya itu memang dimaksudkan sebagai

cahaya atau sinar. Sinar tersebut berfungsi sebagai obor atau suluh untuk

menerangi jalan hidup masyarakat Sumatera Selatan. Penggunaan makna

fungsional seperti ini sesuai dengan tabiat norma yang terkandung dalam Simbur

Cahaya sebagai suatu sistem peradatan.27

26

Saudi Berlian, “Simbur Cahaya dan Masalah Kekerasan”, Makalah,

(Palembang: 2000). hlm. 3 27

Saudi Berlian, “Pengelolaan Tradisional Gender : Telaah KeIslaman atas

Naskah Simboer Tjahaja”, (Palembang: Millennium Publisher & Masyarakat Peduli

Musi, 2000), hlm. 10-11

85

Di dalamnya kaya akan kandungan nilai-nilai kebersamaan, tolong-

menolong, kesepakatan, kebiasaan sopan santun, di dalam kehidupan bergaul

dengan lingkungan alam dan sesama manusia.28

Dari hasil wawancara Nurmala HAK dengan bapak Ishak (tanggal 18

Maret 2005), terungkap bahwa pengambilan istilah tersebut bukan hanya

didasarkan atas mitos, tetapi ada cerita lain mengatakan dari Pulau Panggung.

Bahwa dalam mitos itu ada seorang putri yang ditemui didalam air, yang

bernama Puteri Si Limbur Cahaya. Disebut demikian karena ia dilukiskan

bersinar-sinar.29

Aturan yang pada awalnya dikenal dengan Piagem Ratu Sinuhun ini

konon ditulis dengan aksara lokal yang dikenal dengan surat ulu, yang kemudian

mengalami kompilasi dan dikodifikasi dalam suatu himpunan yang utuh, pernah

diterbitkan menggunakan huruf Arab Melayu dan diantaranya menggunakan

huruf latin. Oleh masyarakat setempat, undang-undang ini dipandang secara

dinamis dalam kaitannya dengan dinamika sosial, sehingga memungkinkannya

untuk di’amandemen’ sesuai tuntutan zaman. Barangkali inilah yang

menyebabkan beredarnya beberapa naskah-naskah.30

Simbur Cahaya sebagai undang-undang dan sistem peradatan di sumatera

selatan dalam suatu pendapat sejarahwan Palembang Mgs. Jufri Al-Palimbani

memiliki lambang atau logo yang mana logo tersebut menurut Jufri tersimpan di

Museum SMB II yang kebanyakan diyakini oleh sejarahwan dimuseum tersebut

itu logo Kesultanan Palembang Darussalam, namun jikalau kita telisik di logo

28

Gibtiah Gasim, “Undang-Undang Simbur Cahaya Sebagai Refleksi Akulturatif

Hukum Islam Terhadap Hukum Adat Dalam Bidang Perkawinan Di Sumatera Selatan”,

Tesis (IAIN Wali Songo: Semarang, 2002). hlm. 53 29

Nurmala HAK, “Tinjauan Historis Undang-Undang Simbur Cahaya Yang

Pernah Berlaku Dalam Peradilan Adat Di Ogan Ilir (Studi Terhadap Pergaulan Bujang

Gadis Dahulu Dan Sekarang)”, Tesis, (IAIN Raden Fatah Palembang, 2017). hlm. 22 30 Adil, “Simboer Tjahaya (Studi tentang pergumulan hukum Islam dan hukum

adat dalam Kesultanan Palembang Darussalam)”,Disertasi,(UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta,2010). hlm. 124-125

86

tersebut terdapat gambar timbangan yang berarti lambang keadilan yang

membuktikan bahwa logo Kesultanan tidaklah mungkin seperti itu, kemungkinan

besar itu adalah logo Undang-Undang Simbur Cahaya.

Hal senada penulis lihat di logo Kesultanan Palembang Darussalam yang

dimiliki oleh Alm Sultan Mahmud Badaruddin III yang kini diteruskan oleh putra

mahkotanya Sultan Mahmud badaruddin IV dan juga logo Kesultanan

Palembang Darussalam yang dimiliki oleh Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin,

kedua logo yang dimiliki oleh dua orang Sultan Palembang Darussalam itu jauh

berbeda dari logo yang tersimpan di museum SMB II yang diyakini sebagai logo

Simbur Cahaya itu.31

Masih menurut Jufri bahwa Simbur Cahaya yang pada mulanya dibuat

oleh Ratu Sinuhun ini dibuat diatas media kuno seperti tanduk kerbau dan lain

sebagainya lalu diserahkan ke kepala daerah diberbagai marga di sumsel,

diyakini oleh sejarahwan Sumsel Alm Ahmad Bastari Suan bahwa salah satu

Simbur Cahaya yang asli dari Ratu Sinuhun itu masih tersimpan di kepala daerah

Gumay Talang (kini masuk wilayah Kabupaten Lahat) tepatnya di rumah Tuan

Junjungan dengan nama Kitab Buling Tembage, inilah yang diyakini oleh Bastari

sebagai Undang-Undang Simbur Cahaya asli dari Ratu Sinuhun.

Kitab asli Simbur Cahaya juga penulis mendapatkan informasi dari salah

seorang pemerhati sejarah Sumsel Santi Adela bahwa sebuah manuskrip naskah

kuno dengan bahasa dan aksara Marga Haji (kini masuk Kabupaten Ogan

Komering Ulu Selatan) juga masih tersimpan di Rumah Adat Marga Haji atau

lebih dikenal dengan Rumah Nentan dan dipegang oleh keluarga inti dari

keturunan anak pertama Rakyan Sakti, namun asal-usul naskah ini masih belum

31

Wawancara dengan sejarahwan Palembang Bapak Mgs. Jufri Palimbani (Mang

Jon) dikediamannya pada 30 Januari 2020 pukul 18.00 WIB

87

penulis telusuri terlalu dalam dikarenakan kurangnya pengetahuan penulis untuk

membaca bahasa dan aksara Marga Haji.32

Karya Ratu Sinuhun ini sekaligus merupakan fakta sebagaimana

dijelaskan bahwa :

Pada saat itu sudah ada model pemerintahan Marga. Semasa Pemerintahan

Kesultanan Palembang tahun 1822 Masehi, pemerintahan asli yang dinamakan

Marga, dijadikan pusat kegiatan bagi kesultanan dalam mendekati masyarakat

dan akhirnya menguasai masing-masing kelompok rakyat yang bersangkutan

terutama diwilayah-wilayah aliran sungai yang mudah didatangi perahu-perahu

atau sampan- sampan yang dinamakan pencelang.

Berdasarkan kutipan di atas jelas bahwa sistem pemerintahan marga

sudah ada sejak zaman Kesultanan Palembang. Struktur pemerintahan

Kesultanan Palembang diterapkan dengan mengidentifikasi wilayah seperti

kepungutan dan sindang.

Sebagaimana dijelaskan oleh Berlian seperti dalam kutipan di bawah ini:

Kepungutan merupakan daerah yang langsung berada dibawah perintah Sultan.

Sedangkan sindang adalah wilayah perbatasan yang penduduknya tidak dibebani

dengan pajak- pajak. Rakyat dipandang sebagai sekutu dan hanya dikenakan

cukai. Selain itu ada pula daerah yang disebut sikap. Sikap merupakan suatu

daerah khusus berupa dusun atau kumpulan dusun yang dilepaskan dari marga,

dipimpin oleh pamong sultan, yang disebut dengan jenang dan raban.33

Naskah Simbur Cahaya itu dimulai pada masa kolonial Belanda antara

lain : Naskah 1854, 1862, 1873, 1875, 1876, 1894/7, 1913, 1922, 1933, 1939.

32 Wawancara dengan sejarahwan Sumsel Santi Adela via messenger pada 11

Maret 2020 pukul 09.00 WIB 33

Yusinta Tia Rusdiana, “Sejarah Marga Tulung Selapan Kabupaten Ogan

Komering Ilir (1850-1893)”, Jurnal Historia. Vol. 7 No. 1 Th. 2019. hlm. 96

88

Selanjutnya tidak didapatkan adanya data tentang penerbitan atau cetak ulang

pada masa pendudukan Jepang. Setelah Indonesia merdeka edisi cetak ulang

pernah diterbitkan oleh Balai Pustaka (t.t) dan Pembina Adat Daerah Tingkat I

Sumatera Selatan tahun 1991. Banyaknya naskah yang pernah beredar

menunjukkan bahwa Undang-Undang Simbur Cahaya merupakan aturan yang

sangat penting pada masanya sebagai aturan adat yang menjadi acuan hukum

waktu persidangan di pengadilan. Di samping itu juga, aturan ini telah mengantar

warga Palembang dalam rentang waktu yang cukup lama.34

Selain menulis sebuh mahakarya yang sangat monumental yaitu Kitab

Undang-Undang Simbur Cahaya atau Piagem Ratu Sinuhun, sang Ratu Sinuhun

juga menulis sebuah Piagam Ratu Sinuhun tentang batas kawasan Minanga di

daerah komering, ini membuktikan bahwa beliau memang seorang Ratu yang

sangat cakap dalam membuat Piagam dan Undang-Undang pada masanya.35

Pada mulanya, isi yang terkandung dalam naskah ini merupakan bhan

yang berserakan di berbagai daerah uluan, lalu dikompilasi seb- agai suatu

perndang-undangan. Hasil kompilasi ini kemudian men- galami revisi dan

penyempurnaan pada pertemuan adat yang kemu- dian dikenal sebagai rapat besar

atau rapat Kepala-kepala Anak Negeri Karesidenan Palembang. Dengan demikian,

naskah kitab Undang- Undang Simbur Cahaya adalah produk suatu forum resmi

yang meli- batkan tokoh-tokoh utama dalam masyarakat seperti Pasirah kepala

marga. Pada masa tertentu, sesuai dengan perkembangan yang terjadi secara actual

dalam masyarakat, undang-undang ini mengalami aman- deur.36

34 Adil, “Simboer Tjahaya (Studi tentang pergumulan hukum Islam dan hukum

adat dalam Kesultanan Palembang Darussalam)”,Disertasi,(UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta,2010). hlm. 125 35

Arlan Ismail, “Periodisasi Sejarah Sriwijaya Bermula di Minanga Komering

Ulu Sumatera Selatan Berjaya di Palembang Berakhir di Jambi”, (Palembang: Unanti

Press, 2003). hlm. 181 36

Saudi Berlian, “Simbur Cahaya dan Masalah Kekerasan”, Makalah,

(Palembang: 2000). hlm. 4

89

Menurut ahli hukum adat Sumsel Albar Sentosa Subari Undang-Undang

Simbur Cahaya telah mengalami tiga kali kompilasi.

Kompilasi pertama dari undang undang simbur cahaya pada tahun (1630-

1642 M) pada saat pemerintahan Ratu Sinuhun. Pada masa ini segala sesuatu

dilembagakan sehingga dapat mengikat dan mendorong orientasi para kepala

marga dalam suatu kesatuan dibawah kerajaan. Karya Ratu Sinuhun ini

merupakan hasil melembagakan aturan aturan adat pertama diuluan.

Kompilasi kedua, pada tahun 1854 oleh Kolonel De Brauw atas perintah

van den Bosche. Mengadakan kompilasi aturan aturan yang termuat dalam

piagam piagam Ratu Sinuhun. Upaya tersebut tentu menyesuaikan demi

kepentingan dan kelangsungan pemerintah Kolonial Belanda.

Kompilasi ketiga pada tahun 1927 atas permufakatan bersama Pasirah

Bond dengan melakukan perubahan perubahan atas pasal pasal undang undang

simbur cahaya. ( Surat Residen Palembang Tideman tanggal 14 januari 1928 no

627/21)37

Dalam fungsinya sebagai Undang-Undang yang dipraktekkan dalam

kehidupan nyata yang dinamis dari zaman ke zaman, Undang-Undang simbur

Cahaya mengalami perubahan dengan beberapa penyempurnaan di sana sini.

Sebagai akibat terjadinya penambahan dan pengurangan materi pada bagian-

bagian tertentu naskah ini hal ini dapat dimengerti karena lazim bahwa

perkembangan masyarakat selalu mengutamakan nilai-nilai yang sesuai dengan

peristiwa aktual. Selain itu, kekuatan konteporer terkadang dapat berperan

sebagai faktor dominasi tertentu dalam perkembangan sejarah sosial dan kearifan

lokal masyarakat.38

37

“Berita Pagi”, 3 Versi Kompilasi Undang-Undang Simbur Cahaya, terbit 12

Februari 2020, diakses 26 April 2020, http://beritapagi.co.id/2020/02/12/3-versi-

kompilasi-undang-undang-simbur-cahaya.html. 38

Ahyani, “Tradisi Masyarakat Desa Tebedak Kecamatan Payaraman Kabupaten

Ogan Ilir Sumatera Selatan Dalam Aturan Dusun dan Berladang Kajian Sosio-Kultural

90

Pada mulanya, naskah Simbur Cahaya ditulis dengan menggunakan

aksara Surat Ulu, yaitu aksara setempat, dan dengan bahasa yang berbeda sesuai

dengan wilayah marga. Dengan kata lain Simbur Cahaya bukanlah sebuah nama

yang diberikan sejak awal ketika Undang-Undang ini dikeluarkan.39

Secara kajian filologi naskah Undang-Undang Simbur Cahaya sangat

banyak yang beredar namun naskah yang dipegang oleh penulis dan yang paling

lengkap menurut penulis untuk mengkajinya sebagai bahan utama dari hukuman

zina yaitu naskah hasil rapat para residen anak negeri Palembang tanggal 2-6

September 1927. Adapun sebagai bahan kajian tambahan karena seringnya

amandemen naskah Undang-Undang Simbur cahaya ini, ada beberapa naskah

lainnya yang juga di gunakan sebagai data pendukung untuk penelitian ini. Oleh

karena amandemen itulah maka sering ditemui berbagai versi naskah undang-

undang Simbur Cahaya, yaitu:

1. Terbitan Meroe Boekhandelen Drukkerij, Palembang, 1939. ce- takan ke

dua. Kitab ini merupakan hasil ketetapan rapat Kepala- Kepala Anak

Negeri Karesidenan Palembang pada tanggal 2-6 September 1927. Ditulis

dengan menggunakan aksara Latin ber- bahasa Melayu logat setempat

(bahasa Indonesia baru diikrarkan dalam dalam Sumpah Pemuda 1928,

setahun setelah kerapatan ini).40

2. Terbitan Typ Industreel, Palembang tanpa diketahui tahun pener- bitan, dan

tidak diketahui pula kepada rapat yang mana naskah ini mengacu. Bahasa

yang dipergunakan dalam naskah ini sama den- gan bahasa yang

dipergunakan dalam naskah yag telah disebutkan di atas yaitu menggunakan

bahasa Melayu dialek lokal. Naskah ini ditulis dengan menggunakan aksara

Arab Pegon atau lazim disebut juga huruf Arab Melayu. Meski naskah ini

dan Undang-Undang Simbur Cahaya”, Skripsi, (IAIN Raden Fatah Palembang: 2014).

hlm. 2 39

Ibid. hlm. 2 40

Ibid. hlm. 4

91

diperoleh dalam kondisi isi yang lengkap, tetapi penulis dapatkan dalam

keadaan tidak utuh karena tanpa disertai dengan sampul, kata pengantar,

penjelasan, colophon, atau pun keterangan lain berkenaan dengan naskah

yang bersangkutan.

3. Dua naskah koleksi Museum Nasional Jakarta, di bawah judul Undang-

Undang Palembang 2 dan Undang-Undang Palembang 2, koleksi nomor

Ml.707 (vd W 58) dan nomor Ml. 140. Meski secara eksplisit tidak

disebukan sebagai Simbur Cahaya, akan tetapi dengan mengamati

sistematika, urutan tema, serta isi materi yang terkandung dalam naskah itu

dapat dikatakan memiliki kesamaan dengan dua naskah yang disebutkan

terdahulu.

4. Buku yang diterbitkan oleh lembaga Adat Palembang, dituis den- gan

menggunakan huruf latin dan ejaan yang disempurnakan, yang dipublikasi

dengan menyebutkan bahwa kitab itu ditulis oleh Ratu Sinuhun (seorang

kerabat dalam lingkungan keratin Palembang Darussalam abad XVIII).

Setelah mengamati keseluruhan isinya, naskah ini tampaknya merupakan

hasil transliterasi dari naskah ter- bitan Typ Industrieel yang disebutkan

terdahulu.41

Dalam penelitian ini penulis akan fokus pada naskah terbitan tahun 1927

yang merupakan hasil rapat para kepala marga tanggal 2 sampai 6 September

1927 dan ditambah dengan beberapa naskah yang dapat dibaca dan ditelaah

lainnya sebagai naskah pendukung.

41

Ibid. hlm. 5

92

D. Sanksi Pelaku Zina Dalam Simbur Cahaya

Eksistensi berlakunya hukum adat selain dikenal dalam instrumen hukum

nasional juga diatur instrumen Internasional. Ketentuan Pasal 15 ayat (2)

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menyebutkan

bahwa, “Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any

person for any act or omission which, at the time when it was committed, was

criminal according to the general principles of law recognized by the community

of nations”42. Kemudian rekomendasi dari Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”43

dinyatakan bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara

(terutama yang berasal/diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial), pada

umumnya bersifat “obsolete and unjust” (telah usang dan tidak adil) serta

“outmoded and unreal” (sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan

kenyataan). Alasannya karena sistem hukum di beberapa negara tidak berakar

pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada ―diskrepansi‖ dengan aspirasi

masyarakat, serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini. Kondisi

demikian oleh konggres PBB dinyatakan sebagai faktor kontribusi untuk

terjadinya kejahatan.44

Ruang lingkup dan dimensi hukum adat sebagaimana konteks di atas

teramat luas dimana diatur dalam instrumen hukum, baik instrumen Nasional dan

Internasional. Selain itu, dikaji dari dimensi substansinya hukum adat dapat

terbagi menjadi hukum perdata adat, hukum tata negara adat, hukum pidana adat

42

Tidak ada ketentuan dalam pasal ini yang mengurangi persidangan dan

penghukuman setiap orang atas perbuatan atau kelalaian yang pada saat dilakukan

merupakan tindak pidana menurut prinsip umum hukum yang diakui oleh masyarakat

bangsa-bangsa. 43

Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan Terhadap Pelanggar 44

Lilik Mulyadi, “Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia : Pengkajian Asas,

Norma, Teori, Praktik, dan Prosedurnya”, Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 2,

hlm. 227

93

(delichtentrecht) dan lain sebagainya.45

Terminologi hukum pidana adat, delik adat, hukum pelanggaran adat

atau hukum adat pidana cikal bakal sebenarnya berasal dari hukum adat.

Apabila dikaji dari perspektif sumbernya, hukum pidana adat bersumber tertulis

dan tidak tertulis. Tegasnya, sumber tertulis dapat merupakan kebiasaan-

kebiasaan yang timbul, diikuti serta ditaati secara terus menerus dan turun

temurun oleh masyarakat adat bersangkutan. Misalnya dapat dilihat dalam Kitab

Ciwasasana atau Kitab Purwadhigama pada masa Raja Dharmawangsa pada

abad ke-10, Kitab Gajahmada, Kitab Simbur Cahaya di Palembang, Kitab

Kuntara Raja Niti di Lampung, Kitab Lontara “ade” di Sulawesi Selatan, Kitab

Adi Agama dan Awig- Awig di Bali, dan lain sebagainya. Kemudian sumber tidak

tertulis dari hukum pidana adat adalah semua peraturan yang dituliskan seperti di

atas daun lontar, kulit atau bahan lainnya.46

Salah satu hukum adat yang cukup fenomenal di negeri Palembang

Darussalam yaitu Undang-Undang Simbur Cahaya. Hal yang cukup signifikan di

bahas dalam Undang-Undang Simbur Cahaya yakni pembahasan mengenai

tindak pidana zina. Pembahasan tentang zina merupakan pembahasan yang cukup

banyak dikaji di dalam Kitab undang-Undang simbur Cahaya, disetiap terbitan

naskah yang pernah ditemui oleh penulis khususnya di bab pertamanya

senantiasa membahas mengenai adat bujang gadis dan kawin yang di dalamnya

sangat banyak pasal yang mengatur mengenai zina. Secara tidak langsung

sebagai hukum positif di masa Kesultanan Palembang Darussalam dan sebagai

hukum adat di masa penjajahan Simbur Cahaya merupakan cerminan sebuah

aturan yang mengatur masyarakat uluan yang bersendikan syara’ walaupun tidak

secara langsung dituangkan kedalam lembar negara dikala itu, namun masih

bersifat abstrak sebagaimana yang kita ketahui bersama.

Didalam aturan kitab simbur cahaya dijelaskan bagaimana yang sebenarnya

45

Ibid. hlm. 227 46

Ibid. hlm. 228

94

dituntut untuk mbasuh dusun47, jadi sanksi bagi pelaku zina tidak serta merta

harus melaksanakan mbasuh dusun, melainkan ada ketentuan-ketentuan khusus.

Namun perbuatan zina tetap dianggap hina dan merupakan perbuatan terlarang.

Mbasuh dusun dalam perzinahan berlaku pada perbuatan zina kepada kerabatnya

atau pertalian sedarah, dan perempuan yang hamil tanpa diketahui siapa yang

menghamilinya, kemudian zina kepada istri orang lalu suami si perempuan

mengadu kepada kepala dusun maka disanksi mbasuh dusun.48

Namun demikian bukan berarti zina yang tidak termasuk dalam kategori

mbasuh dusun tidak diberi sanksi, melainkan ada sanksi tersendiri seperti

membayar denda dan dinikahkan. Perbuatan zina seperti ini banyak berlaku pada

kategori bergubalan dalam pengertian seorang laki-laki yang melarikan gadis

atau janda kerumahnya atau kerumah kepala dusun. Didalam Undang-undang

Simbur Cahaya dijelaskan bahwa jika terjadi perzinahan yang mengharuskan

mbasuh dusun, maka perkara ini tidak boleh diputuskan oleh kepala dusun,

melainkan harus diputuskan melalui rapat besar yaitu rapat yang diputuskan oleh

raja/sultan.49

Menurut dalam kitab Undang-undang hukum adat (Simbur Cahaya),

bahwa yang dikatakan perbuatan zina bukan seperti pengertian zina yang

dimaksud didalam definisi hukum Islam maupun zina secara umumnya.

Melainkan berbeda daripada itu, zina yang dimaksud didalam kitab Undang-

undang adat ini disebut dengan mena gawe, bergubalan atau bujang bambang

gadis.50

Mena gawe disini dalam kasus perzinaan, namun mena gawe itu bukan

47

Mbasuh dusun adalah pelaksanaan sedekah membuang sial atau tolak balak

akibat adanya perbuatan perzinahan, yang mana perzinahan dianggap sebagai suatu

kehinaan yang mengandung malapetaka terhadap dusun tersebut. Sanksi mbasuh dusun

sendiri dengan cara bersedekah seekor kambing hingga kerbau. 48

Linda Wahyuni, “Sanksi Mbasuh Dusun Bagi Pelaku Zina Dalam Kitab Simbur

Cahaya Perspektif Hukum Islam (Studi Pada Masyarakat Kota Bengkulu)”, Tesis,

(Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2019) hlm. 68. 49

Ibid. hlm. 68 50

Ibid. hlm. 68-69

95

semata-mata dalam kasus perzinaan saja, melainkan dalam larangan lainnya juga

dianggap mena gawe, seperti halnya seorang laki-laki menyenggol tangan gadis

atau janda, laki-laki memegang kaki seorang gadis atau janda, dan lain

sebagainya. Demikian dengan arti bergubalan atau bambang disini, juga bukan

semata-mata perbuatan jahat atau perbuatan zina sebagaimana yang sering

dimaksud kebanyakan orang. Bergubalan atau bujang bambang gadis disini

dalam artian seorang laki-laki yang melarikan gadis atau janda kerumahnya

sendiri atau kerumah kepala dusun. Perbutan ini telah dianggap sebagai

larangan.51

Dari kasus pergubalan ada dua pengertian yaitu pergubalan gelap dan

pergubalan terang. Pergubalan gelap berarti jika sudah terjadi perzinaan maupun

hingga terjadi kehamilan pada si perempuan. Sedangkan pergubalan terang hanya

melarikan si gadis atau janda demi untuk memperoleh kesepakatan atau restu dari

kedua orang tua mereka.52

Sebagaimana zina yang dijelaskan didalam Undang-undang Simbur Cahaya

merupakan perbutan terlarang sebagaimana zina pada umumnya. Adapun dari

pengertian zina yang dijelaskan diatas pada dasarnya masing-masing mempunyai

sanksi yang berbeda, sanksi tersebut berkaitan dengan denda hingga mbasuh

dusun. Untuk memperjelas bentuk-bentuk dalam perzinaan selanjutnya akan

dijelaskan pada bagian bab-bab tertentu.53

Pada bagian ini akan dipaparkan mengenai jenis zina yang diatur dalam

Simbur Cahaya beserta sanksi-sanksinya. Materi ini adalah pasal-pasal tentang

zina yang dikutip langsung dari teks naskah Kitab Undang-Undang Simbur

Cahaya sesuai aslinya. Kitab Undang-Undang ini berdasarkan naskah yang di

gunakan dalam penelitian ini berjudul : UNDANG-UNDANG SIMBUR

TJAHAJA, PEROBAHAN BAHARU MENURUT KETETAPAN YANG

51

Ibid. hlm. 69 52

Ibid. hlm. 69 53

Ibid. hlm. 69

96

DIPUTUSKAN DALAM PERMUSYAWARATAN UTUSAN-UTUSAN KEPALA-

KEPALA ANAK NEGERI PADA TANGGAL 2 SAMPAI 6 SEPTEMBER 1927 DI

PALEMBANG

Bab Ke Satu

Adat Bujang Gadis dan Kawin

Pasal 6

Dan bujang gadis bergubalan tiada bunting atau bujang bambang gadis, bujang

itu kena pelajan 6 ringgit dan bujang gadis itu, hendak dikawinkan bagaimana

adat terang, tiada membayar lagi upah batin.

Dari pelajan 6 ringgit pulang dari pasirah amit penutup surat namanya, 3

ringgit pulang kepada kepala dusun dan 2 ringgit pada penggawa-penggawanya.

Dan jika bujang gadis lain-lain marga atau dusun itu denda di bagi dua,

sebagian pulang pada pesirah peroatin dan penggawa marga atau dusun bujang,

dan sebagian pulang pada pasirah peroatin dan penggawa marga atau dusun

gadis.

Keterangan :

Seorang laki-laki yang melarikan gadis atau rangda, kerumahnya sendiri

atau kerumah kepala dikatakan bergubalan.

Pergubalan bukan semata-mata berbuat jahat atau zina, sebagai

kebanyakan orang mengartikannya.

Pelajan akan dituntut kalau kejadian bergubalan. Kalau perkawinan

terjadi atas kesepakatan ahli gadis dan ahli bujang, gadis diantarkan oleh ahli-

ahlinya kerumah bujang, maka bujang tidak akan membayar pelajan, hanya ia

bayar upah tuah atau upah batin saja.

97

Pasal 7

Jika rangda bergubalan tiada bunting atau bambang laki-laki hendak laki-laki

itu membayar denda 3 ringgit 1 setengah ringgit pulang kepada pasirah (amit

penutup surat), dan 1 setengah ringgit pulang pada kepala dusun dan 1 ringgit

pada penggawa-penggawanya dan jika itu laki-laki dan rangda lain-lain marga

atau dusun, denda dibagi dua sebagian pulang pada pasirah, peroatin dan

penggawa laki-laki dan sebagai pulang pada pasirah peroatin dan penggawa

rangda.

Keterangan :

Kalau perkawinan itu tidak diatur oleh ahli laki-laki dan ahli rangda

melainkan maksud keduanya saja lantas rangda itu dibambangkan itu laki-laki

bergubalan itu laki-laki kena denda 3 ringgit pelajan

Tetapi kalau perkawinan itu diatur oleh ahli kedua belah dengan

memakai adat terang maka laki-laki itu hanya membayar pesaitan saja yang

banyaknya 1 ringgit (lihat pasal 2 bab ini)

Pasal 8

Jika bujang gadis pergubalan lantas bunting maka bujang kena denda 12 ringgit

dan bujang gadis itu hendaklah masa itu juga di kawinkan bagaimana adat

terang akan tetapi tiada membayar lagi upah batin.

Dari denda 12 ringgit jika di dusun pasirah, pulang pada pasirah 10 ringgit dan

2 ringgit pada penggawa-penggawanya dan jika di dusun pangadang 6 ringgit

pulang pada pasirah, 4 ringgit pada kepala-kepala dusun dan 2 ringgit pada

penggawa-penggawanya.

Dan jika bujang gadis lain-lain marga atau dusun itu denda dibagi dua

sebagaimana tersebut pada pasal 6.

98

Keterangan :

Upah batin yaitu upah tuah (lihat pasal 1 Bab ini).

Pasal 9

Jika rangda bergubalan lantas bunting laki-laki yang punya perbuatan kena

denda 12 ringgit bagaimana juga gadis bergubalan dan orang tua itu hendaklah

masa itu juga di kawinkan dan denda itu di bagi bagaimana tersebut di pasal 8

juga.

Pihak yang mungkir, tidak suka di kawinkan musti membayar pengasingan 8

ringgit.

Keterangan :

Pihak laki-laki atau pihak perempuan boleh kena pengasingan. Kalau

laki-laki yang tidak mau kawin ia kena pengasingan 8 ringgit. Uang ini di bayar

pada perempuan. Demikian juga kalau perempuan tidak mau kawin ia kena

pengasingan 8 ringgit, bayar pada laki-laki.

Pasal 10

Jika gadis atau rangda bunting, tiada nyata siapa yang punya perbuatan

perempuan itu di hukum rapat marga dengan denda sebesar-besarnya 12 ringgit

serta perlu perempuan yang bunting gelap atau sanaknya bersedekah kambing

“pembasuh dusun” namanya.

Keterangan :

Menurut pengertian secara lama bunting gelap (perzinahan) itu ialah

suatu kehinaan yang mengandung mala petaka bala petaka terhadap pada umum

99

(dusun lama) dari itu perlu sedekah membuang sial (tolak balak) yang di katakan

membasuh dusun.

Pasal 11

Jika perempuan bunting gelap tiada nyata siapa punya perbuatan, lantas pergi

numpang di rumah orang yang akan beranak maka orang yang punya rumah itu

kena tepung satu kambing.

Pasal 24

Jika orang punya bini membuat gawe dan lakinya mengadu, perempuan kena

hukuman saja dan kehendaknya dihukum satu kerbau pada lakinya dan denda 12

ringgit denda pada rapat juga.

Keterangan :

Pasal ini menghendaki :

1. Perempuan itu di hukum oleh rapat yang berkuasa artikel 284 (1) 1 e b dari

Undang-Undang hukum Indonesia yang hukumannya selama-lamanya 9 bulan.

2. Kehendak gentak perempuan itu (?) yaitu lawannya berbuat zina itu dihukum

satu kerbau diserahkan pada suami perempuan itu.

3. Laki-laki itu di hukum pula denda 12 ringgit jatuh pada rapat.

Pasal 25

Jika laki-laki bergubalan atau larikan orang punya bini ia kena setengah bangun

yaitu 40 ringgit kepada lakinya perempuan itu dan lagi ia kena 24 ringgit pada

rapat.

Jika laki-laki bambang perempuan bercerai belum habis idahnya tiga bulan

delapan belas hari lamanya, atau rangda yang lakinya belum mati lebih dari

100

empat bulan sepuluh hari lamanya, ia kena 12 ringgit denda, 6 ringgit pulang

pada laki perempuan itu, atau ahlinya rangda.

Keterangan :

Dalam pasal ini tersusun dua kesalahan :

a). Kalau bergubalan larikan orang punya bini di hukum:

1. Kena setengah bangun 40 ringgit pada suami perempuan itu.

2. Kena denda 24 ringgit buat rapat.

b). Kalau bergubalan larikan janda yang belum habis idahnya baik karena lakinya

mati atau cerai hidup menurut idahnya masing-masing kena denda 12 ringgit, 6

ringgit untuk bekas suaminya janda itu, atau untuk ahlinya janda itu.

Pasal 27

Jika sumbang dalam dusun tiada boleh itu perkara di putuskan oleh pesirah,

melainkan perkara itu hendaklah dibawa kepada rapat besar hukuman raja.

Sumbang besar musti dihukum lagi buat pembasuh dusun seekor kerbau, dan

sumbang kecil seekor kambing yaitu dengan beras kelapa dan lain keperluan

sedekah cukup. (Lihat No. 58 Aanteek. Adat Rechtspraak).

Keterangan :

Pasal 294 1 e dari Undang-Undang hukum pidana Indonesia ada

menyebut kesalahan-kesalahan yang boleh atau hampir boleh di katakan

sumbang :

Sumbang kecil :

Mertua laki-laki setubuh dengan mantu (istri anaknya)

Mantu laki-laki setubuh dengan mertua (ibu istrinya)

101

Sumbang besar :

Bapak setubuh dengan anak perempuannya.

Anak setubuh dengan ibunya sendiri.

Saudara laki-laki setubuh dengan saudara perempuannya.

Bab Ke Lima

Adat Perhukuman

Pasal 41

Jika orang laki-laki masuk di dalam orang yang punya rumah nyata dengan

maksud hendak buat buat jahat dengan orang punya bini atau anak “kerap

gawe” namanya maka tertangkap di dalam rumah lantas di bunuh tidak menjadi

perkara, akan tetapi jika orang itu tertangkap di luar rumah tidak boleh di

bunuh. Maka dia kena tekap malu 20 ringgit, “kasekap utang di tumbak mati”

namanya serta kesalahannya di dakwa di muka rapat marga di hukum setinggi-

tingginya 24 ringgit.

Pasal 42

Jika malam hari orang bersembunyi di bawah orang punya rumah dengan

maksud yang tidak terang ia kena denda 123 ringgit sebab boleh bermaksud

“kerapati” hendak membunuh atau “kerap gawe” hendak bermaksud orang

punya bini atau anak gadis dan dari denda di bagi dua sebagai pulang pada

orang yang nangkap “tekap malu” namanya harta benda tanggung, dan sebagai

pulang pada rapat.

102

TAMBAHAN UNDANG-UNDANG SIMBUR TJAHAJA JANG TERPAKAI

DIBAGIAN OGAN KOMERING ILIR DAN SESAMANJA

BAB II PELANGGARAN SOPAN SANTUN

Pasal 18 Ayat 3

Barang siapa jang membijarkan orang berzinah ditempat kediamanja

atau tulung memberi tempat, maka ia dihukum denda sampai 12 ringgit.

Pasal 19

Djika laki-laki berzina dengan gadis atau rangda tiada bunting kedua

pehaknja laki-laki dan perempuan dihukum denda sampai 12 ringgit.

Pasal 20

Djika gadis atau rangda bunting maka ia dan laki-laki jang punja

perbuatan dihukum denda sampai 12 ringgit dan mereka itu hendaklah

dikawinkan.

Pasal 22

Djika laki-laki berzina dengan bini orang, maka mereka itu dihukum

denda sampai 12 ringgit seorang dan si laki-laki dihukum membajar “tekap

malu” 8 ringgit kepada laki-laki perempuan tersebut.

Pasal 23

Djika bini orang bunting gelap dan lakinja mengadu, perempuan itu

dihukum sampai 12 ringgit serta membasuh dusun yaitu: 1 kerbo, 100 gantang

beras, 100 bidji kelapa, 1 gutji gula nau 1 gutji bekasam dan harta benda

tanggung.

103

Pasal 28

1) Djika sumbang besar jang salah dihukum denda sampai 80 ringgit djika

sumbang ketjil sampai 40 ringgit masing- masing ditambah dengan pembasuh

dusun, menurut pasal 23.

2) Pelanggaran ini tidak boleh diputuskan rapat marga, melainkan hendaklah

dibawa ke rapat besar.

jika terjadi sumbang besar, maka dendanya sebesar 80 ringgit. Sedangkan untuk

perbuatan sumbang kecil maka dendanya 40 ringgit serta tetap melakukan sanksi

mbasuh dusun, sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 23.

Macam-macam yang dikategorikan zina berdasarkan sanksinya didalam

Kitab Undang-undang Simbur Cahaya sebagaimana dijelaskan seperti berikut:

a. Sanksi Membayar Denda

Sanksi denda adalah sanksi yang telah ditetapkan kepada suatu perbuatan yang

dianggap telah melanggar aturan dusun. Bentuk dari sanksi denda ini berupa

denda membayar seperti uang dan barang (hewan, buah-buahan, beras, gula, dan

lain- lain) seperti yang telah dijelaskan dalam Undang-undang Simbur Cahaya.54

Sanksi denda berlaku hampir untuk setiap perbuatan yang melanggar aturan,

namun dalam hal ini sanksi denda akan dijelaskan dalam kasus perzinaahan.

Adapun dalam kasus perzinahan dengan sanksi denda:.

1) Bergubalan dengan Isteri orang

2) Bergubalan dalam masa Iddah

3) Hubungan Terlarang Antara Mantan Pasangan Suami Isteri

b. Sanksi Membayar Denda dan Dikawinkan

Pada kasus yang terdapat pada sanksi ini yang mana si pelaku yang melanggar

54

Linda Wahyuni, “Sanksi Mbasuh Dusun Bagi Pelaku Zina Dalam Kitab Simbur

Cahaya Perspektif Hukum Islam (Studi Pada Masyarakat Kota Bengkulu)”, Tesis,

(Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2019) hlm. 70

104

akan dikenakan dengan dua sanksi yaitu denda dan dinikahkan.55

Adapun kategori

sanksi ini:

1) Bergubalan Budjang Gadis

2) Bergubalan Bujang Rangda

c. Sanksi Membayar Denda dan Mbasuh Dusun

Adapun sanksi yang memgharuskan membayar denda dan mbasuh dusun ini

dalam hal zina dikelompokkan kedalam:56

1. Bunting Gelap

2. Sumbang Kecil

3. Sumbang Besar

Dari ketiga macam sanksi pelaku zina dalam Simbur Cahaya tersebut,

jikalau di analisa baik sanksi denda, sanksi di kawinkan, dan sanksi mbasuh

dusun, semuanya tidak ada yang sesuai dengan syariat Islam seutuhnya yaitu di

hukum dengan rajam dan cambuk pada hukum pidana Islam. Jikalau di analisa

lebih dalam lagi nampaknya para mufti dan ulama yang menjadi penasehat raja di

negeri Palembang yang berasaskan Islam pada masa itu mengamini di

berlakukannya Simbur Cahaya sebagai Undang-Undang walau belum sesuai

dengan syariat Islam di karenakan unsur filosofis Simbur Cahaya sesuai dengan

adat dan budaya masyarakat tempat di berlakukannya Undang-Undang tersebut

dan juga tidak bertentangan dengan syariat Islam jikalau di tinjau dengan unsur

jinayah yaitu unsur formil dan di tinjau dengan jarimah ta’zir.

Mengamati kandungan pasal demi pasal yang rinci dan uraian yang

dipaparkan sebelum ini, diperoleh pemahaman tentang sopan santun gender yang

ketat. Jangankan mengelus gadis ataupun bentuk anarki gender yang lebih besar,

menyenggol gadis saja, seorang bujang akan mendapat hukuman. Sementara itu,

55

Ibid. hlm. 71 56

Ibid. hlm. 72

105

sepanjang dengan tujuan untuk membentuk keluarga, Simbur Cahaya selalu

berpihak pada anak muda yang berkepentingan.57

Denda uang berkisar antara 2 sampai 80 ringgit. Dua ringgit dikenakan

bagi yang naro gawe, sedang 80 ringgit untuk sumbang besar yaitu perbuatan

tidak senonoh bapak dengan puterinya atau anak laki-laki dengan ibunya, atau

sesama saudara kandung. Selain denda uang dikenakan pula sanksi bentuk lain

untuk kesalahan ini. Denda yang lain berupa bahan makanan, ternak dan

sebagainya. Denda terbesar adalah 1 ekor kerbau nyamo (standar, yaitu panjang

tanduknya sama atau melebihi panjang telinga), 100 gantang beras, 100 biji

kelapa, 1 guci (gentong) gula enau, 1 guci bekasam (lauk tradisional) serta

sejumlah benda tanggung. Ini dikenakan pada perempuan bunting gelap yang

diadukan suaminya. Denda terkecil ialah denda yang dijatuhkan pada orang yang

mengindungkan wadon-wadon sejagad, yaitu seseorang berbuat cabul dengan

binatang. Pelaku kesalahan ini dikenakan denda seekor kerbau.

Dalam istilah yang resmi dipergunakan Undang-Undang Simbur Cahaya,

denda itu disebut tekap malu. Maksudnya sebagai usaha untuk me-nekap atau

menutupi rasa malu akibat terjadinya pelanggaran. Akan tetapi berapa pun ganti

rugi (dari denda) yang diperoleh orang yang dikenai pelanggaran, tentu amat sulit

sebenarnya menghapuskan rasa malu itu dengan begitu saja. Seorang gadis yang

disenggol, tentu saja merasa sulit untuk mengusir rasa malu yang menyelimuti

hatinya, meski denda beberapa ringgit58

telah dilunasi untuknya sesuai tuntutan

adat.

57

Saudi Berlian, “Pengelolaan Tradisional Gender : Telaah KeIslaman atas

Naskah Simboer Tjahaja”, (Palembang: Millennium Publisher & Masyarakat Peduli

Musi, 2000), hlm. 47 58

Ahmad Patih, mantan Kepala Marga Sakatiga, menerangkan berdasar

ingatannya waktu persiapan penelitian Saudi Berlian ini, bahwa 1 ringgit = 2,5 rupiah. 1

rupiah = 1 suku emas 24 karat. (Palembang, 11 Juli 1987). Jikalau kita konversikan

keharga emas per-juli 2020 maka 1 ringgit denda pada Simbur Cahaya sekitar 4 jutaan

lebih pada tahun 2020 ini.

106

Hukuman badan diberlakukan pula dalam Simbur Cahaya pada

umumnya. Akan tetapi, sepanjang berkenaan dengan penerapan sopan santun

gender, hukuman badan ini tidak banyak diterapkan. Hukuman tertinggi

menyerupai hukuman mati, yaitu bagi yang terkena kerap gawe. Gambaran kerap

gawe yaitu apabila seseorang masuk ke dalam rumah dan nyata-nyata akan

berbuat tidak senonoh dengan istri atau anak gadis di rumah itu, ia boleh

langsung di bunuh di tempat. Sanksi-sanksi itu ada yang diturunkan untuk tertib

kosmis yang bersifat magis, seperti basuh dusun, ada untuk kepentingan sosial,

seperti sanksi putus, dan ada pula yang di maksudkan untuk menjaga kepentingan

magis orang seorang, seperti tekap malu yang disebutkan di atas tadi. Basuh

dusun di lakukan apabila terjadi suatu kejadian besar, seperti bunting gelap, yaitu

perempuan yang hamil tanpa di ketahui dengan siapa ia telah melakukan

hubungan kelamin. Mengikuti aturan yang telah ada sejak lama, bunting gelap

(zina) ialah suatu kehinaan yang mengundang malapetaka bagi semua (dusun

laman) sehingga memerlukan sedekah untuk membuang sial dan menolak bala.

Dari hasil analisis dan telaah terhadap sanksi pelaku zina dalam Kitab

Undang-Undang Simbur Cahaya adat Kesultanan Palembang Darussalam

sepanjang pembahasan tersebut yaitu sanksi yang dominan dan paling banyak di

terapkan di berbagai sanksi tindak pidana zina yaitu sanksi berupa denda dengan

jumlah tertentu sesuai isi undang-undangnya dengan nilai mata uang ringgit

melayu Palembang pada masa itu.