View
57
Download
4
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rhinitis dan sinusitis Biasanya hidup berdampingan dan bersamaan pada Individu,
terminologi yang benar sekarang rinosinusitis. Kebanyakan pedoman dan dokumen para
ahli sekarang telah mengadopsi rinosinusitis bukannya sinusitis. Diagnosis rinosinusitis
dibuat oleh berbagai praktisi, termasuk allergologists, otolaryngologists, pulmonologists,
perawatan dokter primer, dokter anak, dan banyak lainnya.olehkarena itu, definisi akurat,
efisien, dan dapat diakses dari rinosinusitis diperlukan.
1.2 Tujuan
Setelah mempelajari ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan kita sebagai dokter
muda mengenali dan mendiagnosa rinosinusitis. Selain itu laporan ini untuk memenuhi
tugas yang diberikan oleh kepanitraan Rumah Sakit Islam Pondok Kopi stase THT.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Rinosinusitis Dewasa
Rinosinusitis pada dewasa didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus
paranasal yang ditandai oleh 2 atau lebih gejala salah satunya terdapat
obstruksi/kongesti/sumbatan nasal atau nasal discharge anterior/posterior nasal drip).
Nyeri wajah/nyeri tekan, Hilang atau berkurangnya penciuman
Tanda endoskopi:
1. Polip nasal
2. Discharge mukourulen secara primer dari meatus media
3. Udem/sumbatan nasal secara primer di meatus media
CT scan
1. Perubahan mukosa dengan kompleks osteomeatal dan atau sinus.
2.1.1Rinosinusitis Akut Dewasa
Rinosinusitis akut pada dewasa didefinisikan sebagai onset yang tiba-tiba 2 tau
lebih gejala dari :
1. Sumbatan/obstruksi/kongesti nasal.
2. Nasal discharge (antrior.posterior nasal drip)
3. Nyeriwajah/nyeri tekan
4. Berkurang atau hilangnya penciuman
Yang kurang dari 12 minggu :
Dengan gejala bebas interval jika gejala kambuh, dengan validasi oleh telepon atau
wawancara.
2.2 Definisi Rhinosinusitis Anak
Rinisinusitis anak mendefinisikan sebagai inlamasi hidung dan sinus paranasal yang
ditandai oleh 2 tau lebih gejala salah satunya berupa sumbatan/obstruksi/kongesti hidung
atau nasal discharge (anterior/posterior nasal drip). Nyeri wajah/nyeri tekan, batuk.
Tanda endoskopi
1. Polip nasal
2. Discharge mukopurulen secra primer di meatus media nasal
3. Udem/obstruksi nasal secara primer di meatus media
CT scan
1. Perubahan mukosa disertai kompleks osteomeatal dan atau sinus
2.2.1 Rinosinusitis akut pada anak
Rinosinusitis akut pada anak di definisikan sebagai onset yang tiba-tiba dari 2
tau lebih gejala :
1. Sumbatan/obstruksi/kongesti nasal
2. Nasal discharge yang kotor
3. Batuk (setiap waktu atau tiap malam hari)
Dengan interval bebas gejala jika masalah kambuh, validasi dengan telepon atau
wawancara. Pertanyaan ada gejala alergi (bersin, rhinorrea water, hidung gatal, dan
mata berair dan gatal) harus dimasukkan. ARS dapat muncul satu kali atau lebih
pada periode watu yang telah ditetapkan. Biasanya disajikan sevagai episode/tahun
tapi harus ada resulusi lengkap dari gejala antara episode itu untuk menegakkan
ARS berulang murni.
Common cold/rinosinusitis virus akut disefinisikan sebagai durasi gejala yang
kurang dari 10 hari.
Post virus sinosinusitis akut didefinisikan sebagai peningkatan gejala setelah 5
hari atau gejala perisisten stelah 10 hari dengn kurang dari durasi 12 minggu.
2.3 Rinosinusitis bakterial akut (ABRS)
Rinosinusitis bakterial akut diusulkan setidaknya 3 gejala/ tanda dari:
1. Discharge yang tidak berwarna (dengan predominan unilateral) dan sekret puulen
pada lubang hidung.
2. Nyeri lokal yang hebat (dengan predominan unilateral)
3. Demam lebih dari 38ºC
4. Elevasi ESR/CRP
5. Double sickening (perburukan setelah awal fase lebih ringan pada penyakit)
Rinosinusitis kronik (dengan atau tanpa NP) pada dewasa didefinisikan sebagai
gambaran dua atau lebih gejala, salah satunya harus ada sumbatan/onstruksi/kongesti
nasal atau nasal discharge (antrior/posterior nasal drip), nyeri wajah/nyeri tekan,
hilang/berkurangnya penciuman yang lebih dari 12 minggu dengan validasi telepon atau
wawancara. Pertanyaan gejala alergi (bersin, rinorea seperti air, hidung gatal, mata
beraur dan gata) harus dimasukkan.
Rinosinusitis konik (dengan atau tanpa polip nasal) pada anak didefinisikan
sebgai gambaran 2 tau lebig gejala yang salah satuya terdapat
sumbatan/obstruksi/kongesti nasal, nasal discharge (anterior/posterior nasal drip), nyer
wajah/nyeri tekan, batuk, yag lebih dari 12 minggu dengan validasi melalui telepon atau
wawancara
2.4 Durasi Penyakit:
1. Akut jika lebih dari 12 minggu (resolusi lengkap dari gejala)
2. Kronik jika lebih dari 12 minggu (tanpa resolusi lengkap dari gejala, mungkin dapat
menjadi eksaserbasi).
2.5 Keparahan penyakit pada anak dan dewasa.
Penyakit ini dapat dibagi menjadi ringan, sedang dan berat berdasarkan total
keparahan visual analogue scale (VAS) skor (0-10cm)
1. ringan : VAS 0-3 CM
2. Sedang : VAS >3-7 cm
3. Berat VAS : >7-10 CM
Untuk mengevaluasi total keparahan, pasien diminta untuk menjawab pertanyaan
VAS. VAS > 5 Mempengaruhi kualitas hidup pasien, divalidasi hanya dalam CRS
dewasa sampai saat ini.
Bagaimana menganggunya gejala rinosinusitismu?
10 cm
Tidak mengganggu sangat menganggu
2.6 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Rinosinusitis Akut.
1. Paparan Lingkungan
Seperti infeksi saluran nafas, lingkungan rumah yang lembab dan berjamur, paparan
rokok, polusi udara, perubahan iklim yang bervariasi, asap kebakaran hutan, iritasi
akibat penggunaan produk farmasi.
2. Faktor anatomi
Pada pasien dengan ARS kambuhan, variasi anatomi termasuk sel haller, septum
deviasi, polip nasal, obstruksi choana oleh jaingan adenoid jinak, atresia choana,
odontogenik.
3. Alergi
Alergi atopik lebih tinggi menyebabkan gejala seperti bersin, rinorea, hidung gatal,
mata berair dan gatal.
4. Kerusakan silia
Kerusakan silia berkaitan dengan asap rokok.studi klinis melaporkan bahwa terdapat
peningkatan MMP-9 (Matrix Metalloproteinase 9), gelatinase yang berhubungan
dengan pembentukkan jaringan secara signifikan meningkat pada sekret nasal dari
anak yang terpapar rokok secara pasif dan juga respon alergi akut pada hidung dan
paru.
5. Diskinesia Silia Primer
Diskinesia silia primer berhubungan dengan gejala kronik aluran nafas atas, termasuk
nasal discharge (episodic nyeri wajah dan anosmis) dan bronkiektasis.
6. Merokok
Konsumsi rokok yang tinggi menjadi faktor predisposisi penyakit respirasi akut. Pada
anak yang terpapar rokk secara pasif dapat meningkatkan MMP-9 dan aktivasi
komplemen pada epitel saluran nafas.
7. Reflux laringofaringeal
Sedikit diketahu hubungan antara reflux laringofaringeal dengan sinusitis, tapi ini
berhubungan dengan kejadian GERD dengan sinusitis.
8. Cemas dan depresi
Pengaruh gangguan mental seperti depresi dan cemas mengakibatkan terjadinya
rinosinusitis meskpun patogenesisnya belum diketahui secara pasti.
9. Resistensi obat
Amoxicilin paling banyak digunakan sebagai antibiotik pada ARS ringan. Perubahan
patogenitas bakteri pada rinosinusitis bakterial akut memerlukan pertimbangan terapi
antibiotik.
2.7 Patofisiologi
Rinosinusitis adalah gangguan umum dan dapat dibedakan menjadi rinosinusitis
virus dan rinosinusitis bakterial dan sering didahului oleh rhinitis virus atau common
cold. Penelitian ini mengulang mekanisme yang mendasari rhinitis virus, rhinosinusitis
virus akut, dan rinosinusitis bakterial akut. Pertam, host perlu mengenali adanya
mikroorganisme melalui “pattern recognition”, menginisiasi mekanisme pertahanan host
melalui aktivasi jalur jalur mulptipel signal. Mekenisme pertahanan host terdiri dari
respon imun seluler dan melepaskan faktor kimia larut, yang bekerja dalam tubuh
melalui interaksi kompleks dengan sitokin dan mediator lainnya.
Berbagai perlindungan fisik dan biokimia mencegah masunya agen infeksius dalam
tubuh. Pertama tubuh mengandung berbagai macam pertahanan fisik dari benda asing
termasuk mikroorganisme. Paling penting adalah epitel kulit dan saluran nafas. Yang
melepaskan dan mengekspresikan mediator dan reseptor untuk inisiasi mekanisme
eliminasi. Sekret mukus oleh sel goblet mencegah adhesi mikrooranisme dengan sel
epitel, kemudian mencegah masuknya mereka ke dalam tubuh. Mikroorganisme menjadi
terperangkap dalam mukus dan dihilangkan secara mekanis dari saluran nafas oleh
pergerakan sel silia.
2.7.1 Virus
Virus memerlukan mikroorganisme interseluler, yaitu membutuhkan sel host
untuk replikasi. Mereka mengikat sel host, menggunakan intermolekul relatif
spesifik membran inang yang bertindak sebagai reseptor.
Rinovirus menginfeksi epitel saluran nafas melalui pengikatan reseptor ICAM-
1 pada permukaan sel. Kemudian diikuti penetrasi virus ke dalam sel dan replikasi
RNA virus. Ekspresi ICAM-1 diregulasi oleh virus itu sendiri, melalui IL-1 beta
dan nuclear factor (NF)-KB- dependent mechanism. Sehingga meningkatkan
infektivitasnya dan menghasilkan infiltasi sel inflamasi. Ekspresi ICAM-1
ditingkatkan oleh Th2 sitokin IL-13 dalam saluran nafas atopik. Sedangkan infeksi
rinovirus menurunkan level regulasi ICAM-1 di sel yang terinfeksi, menurunkan
tempat pengikatan seluler untuk virus dan membatasi infeksi host.
2.7.2 Bakteri
Superinfeksi bakterial tergantung pada faktof host dan faktor bakterial.
Anatomi yang normal, histologi, dan tempat fungsional dari jaringan host biasanya
mencegah infeksi bakteri. Faktor yang ditampilkan berhubungan dengan ABRS
yang termasuk patogen, kerusakan cilia, allergy, helicobacter pylori dan refluks
laringofaringeal dan intubasi nasotrakeal atau penggunaan nasogastric tube. Karena
infeksi viru, alergy atau faktor lainnya, beberapa perubahan mungkin terjadi di
jaringan nasal dan paranasal. Infeksi virus meninginduksi gangguan epitel,
meningkatkan sel goblet dan menurunkan sel silia. Akhirnya, perubahan itu
mengkontribusi obstruksi nasal. Sementara peningkatan tekanan dalam cavum
nasal karena akumulasi mukus. Secara cepat diikuti oleh tekanan negatif dalam
cavum nasal, karena gangguan sirkulasi udara sinus dengan absorpsi cepat dari
oksigen yang meninggalkan cavum sinus. Kemudian , kongesti lokan yang buruk
ini, menghasilkan retensi mukus, merusak pertukaran gas normal tanpa rongga
udara terintegrasi. Menurunkan oksigen dan Ph, menghalangi pembersihan
material infeksius dan debris inflamsi, dan eningkatkan resiko infeksi bakteri
sekunder. Seluruh perubahan lokalpada ruang nasal dan paranasal menjadi tempat
ideal untuk bateri berkolonisasi dan berkembang.
Infeksi virus dari jaringan nasal mungkin secara langsung meningkatkan
adhesi bakteri pada sel epitel. Peningkatan adhesi s. Aureus, s.pnemoniae dan H.
Influenza dalam sel yang terinfeksi rinovirus. Peningkatan ekspresi sel host
molekul adhesi dalam sel epitel cavum nasal. Setelah infeksi rinovirus, mungkin
mekanisme peningkatan kerentanan ABRS berhubungan dengan infeksi saluran
nafas atas yang di induksi oleh rinovrus.
2.8 Diagnosis dan Diagnosa Banding ARS.
ARS adalah kondisi yang sering dikelola sendiri oleh pasien tanpa perawatan
medis, dan biasanya diperbaiki secara spontan atau dengan pengobatan. Ketika pasien
konsultasi, biasanya ke dokter umum. Diagnosis dari gejala tipikal, khususnya sumbatan
nasal, discharge, nyeri wajah atau tekan, dan berkurangnya penghidu. ARS biasanya
terjadi sebagai komplikasi infeksi saluran nafas atas akut, dengan gejala persisten lebih
dari 10 hari atau gejala memburuk setelah lebih dari 5 hari. Gejala persis ten lebih dari
12 minggu menandakan kronik daripada rinosinusitis akut. perbedaan pada kondisi
lainnya seperti URTI virus, rhinitis alergi, penyakit oro-dental dan gejala nyeri wajah
mungkin pada kebanyakan kasus dalam sebeb klinis, meskipun investigasi diperlukan
ketika tetap ragu dalam diagnosis. Komplikasi septic jarang tapi serius dan semua dokter
pelayanan primer harus sadar gejala “red flag” seperti udem periorbital, dan gejala
visual yang memerlukan kegawatdaruratan penilaian spesialis. Meskipun antibiotik
secara umum diresepkan dalam praktek komunitas, gejala ARS dari ARS sering
berhubungan lebih banyak inflamasi dan gangguan mekanisme drainase sinus, dan
kebanyakan kasus antibiotik tidak diperlukan. Imging, investigasi hematology dan
mikrobiologi dan endoskopi tidak diperlukan secara rutin dalam mendiagnosis ARS tapi
mungkin dibutuhkan dalam penelitian pada pasien dengan resiko tinggi.
1. Diagnosis klinis pada pelayanan primer
Penilaian gejala ARS
1. Sumbatan, kongesti atau kesesakan nasal
2. Nasal discharge atau postnasal drip, sering mukopurulent
3. Nyei tekan dan nyeri wajah, sakit kepala.
4. Berkurang atau menghilangnya penciuman.
2. Uji klinis
a. Rhinoskopi anterior
Inflamasi nasal, mukosa udem, dan nasal discharge purulen terkadang polip
atau anatomi yang abnormal.
b. Temperatur
Suhu tubuh lebih dari 38 derajat celsius menggambarkan keparahan dan
pengobatan aktif. Secara signifikan berhubungan dengan gambaran positif kultur
bakteri, yang disominasi S. Pnemoniae, H. Influenza yang diperoleh dari aspirasi.
c. Inspeksi dan palpasi sinus
Terlihat membengkak dan tegang, yang mengindikasikan keparahan
penyakit. Diperlukan antibiotik meskipun identifikasi sensitivitas dan specifisitas
belum ditegakkan.
d. Nasal endoskopi
Tidak diperlukan sebagai pemeriksaan rutin dan yang dibutuhkan dalam
menegakkan diagnosis.
2.9 Management ARS
Pengobatan simtomatik diberikan sebagai strategi manegemen awal pada gejala
yang ringan. Kortikosteroid intranasal atau terapi adjuvan untuk antibiotik oral terbukti
efektif, namun pada pasien ARS yang berat, kortikosteroid oral dapat digunakan dalam
jangka waktu pendek meringankan sakit kepala., nyeri wajah, dan gejala akut lainnya.
Terapi antibiotik diberikan pada pasien yang demam tinggi atau nyeri wajah yang berat
(unilateral). Untuk terapi awal, paling banyak agen spectrum kecil terhadap patogen yang
harus digunakan. Komposisi herbal telah digunakan secar umum dalam pengobatan
ARS, tapi hanya sedikit DBPC studi randomyang menunjukkan khasiatnya.
Terapi antibiotik harus diberikan pada pasien dengan ARS berat, khususnya dengan
gambaran demam tinggi atau nyeri wajah yang hebat (uniateral). Dokter harus
mempertimbangkan manfaat sedang dari pengobatan antibiotik terhadap potensi efek
yang merugikan.
Kortikosteroid intranasal direkomendasikan untuk pengobatan ARS, baik dalam penyakit
sedang (monoterapi) dan berat (dengan antibiotik oral).
Pengobatan lainnya dapat diberikan antihistamin, namun tidak ada indikasi
penggunaan antihistamin dalam pengobatan ARS post virus, kecuali berdampingan
dengan rhinitis alergi. Pada ARS yang disebabkan infeksi bekteri sekunder terjadi akibat
gangguan mekanis,kerusakan pertahanan humoral dan seluler yang disebabkan infeksi
virus. Antihistamin mungkin efektif menurunkan gejala bersin dan rinore pada 2 hari
dalam rinosinusitis virus.
Dekongestan nasal umum digunakan dalam pengobatan ARS untuk menurunkan
kongesti dan berharap memperbaiki drainase dan ventilasi sinus, serta terbukti
meringankan kongesti nasal.penelitian experimental menyarankan manfaat efek
antiinflamasi dari xylometazoline dan oxymetazoline dengan penurunan sintesa nitrit
oksida dan aksi antioksidannya. Efek menurunkan kongesti pada konka medial dan
inferior dan mukosa infundibular, tapi tidak mempunyai efek pada mukosa sinus
etmoidal dan maksila.
Irigasi nasal atau antral adalh prosedur bilas cavum nasal dengan air, isotonik atau
hipertonik saline solution. Irigasi nasal dengan saline solution mempunyai efek yang
terbatas pada dewasa dengan ARS sedangkan pada anak dengan ARS lebih efektif dan
dapat mencegah infeksi berulang.
Pemanasan, udara lembab telah lama digunakan pada common cold. Secara teori
dapat membantu drainase kongesti mujus dan panas dapat merusak cold virus. Steam
inhalasi tidak menunjukkan manfaat yang konsisten dalam pengobatan common cold,
karenanya tidak direkomendasikan secra rutin.
Pengobatan lainnya seperti vaksinasi, pemeberian vit c, zinc, ipratropium
bromide,probiotik, NSAID, aspirin atau asetominofen, mukolitik, kandungan herbal,
cromoglycate dan echinacea.
2.10 Komplikasi
Komplikasi orbital, intrakranial, dan osseus dari ARS jarang tapi scara
potensial kejadian klinis yang serius. Komplikasi periobital termasuk cellulitis
preseptal, cellulitis orbital, subperiosteal, dan abses intraorbital, pengenalan dan
managemen segera (termasuk antibiotik i.v dan drainase yang dibutuhkan) untuk
menghindari sequele jangka panjang. Komplikasi intrakranial termasuk abses epidural
dan subdural sagital dan trombosis sinus kavenosus,. Mereka mungkin digambarkan
dngan gejala dan tanda non spesifik dan diagnosanya membutuhkan indeks yang tinggi
dari kecurigaan. Komplikasi osseus hasil dari osteomilitis dari skeleton fasial yang
berhubungan dengan progress inflamasi dan mungkin hadir sebagai tumor potts puffy
atau fistula frontokutaneus.
Rhinosinusitis Kronik dengan atau Tanpa Polip Nasal (CRSwNP atau CRSsNP)
2.11 Rinosinusitis kronik dengan atau tanpa polip nasal (CRSwNP/CRSsNP)
Faktor-faktor yang berhubungan dengan rinosinusitis kronik :
1. Kerusakan silia
Fungsi silia sangat penting dalam clereance sinus dan mencegah inflamasi kronik.
Diskinesia siia ditemukan pada pasien CRS dan kemungkinan reversibel, meskipun
perbaikan butuh beberapa waktu. Kecuali pada pasien sindrom kartagener dan
diskinesia silia primer, CRS menjadi masalah dan pasien biasanya mempunyai
riwayat infeksi saluran nafas. Pada pasien dengan fibrosis kistik ketidakmampuan
silia untuk transport mukus yang disebabkan malfungsi silia oleh karena itu CRS.
Polip nasal terdapat pada 40% pasien dengan fibrosis kistik.
2. Alergi
Inflamasi alergi menjadi predisposisi untuk berkembang menjadi CRS.
Pembengkakan mukosa nasal pada rinitis alergi pada ostium sinus mungkin
berbahaya untuk ventilasi dan bahkan sumbatan ostium sinus, menjadi retensi
mukus dan infeksi.
Laporan penelitian menyebutkan bahwa penenda atopy lebih banyak pada populasi
dengan CRS. Dilaporkan bahwa 54% pasien dengan CRS skin prick tesnya positif.
3. Asma
CRSwNP dan asma sering berhubunga pada pasien yang sama, tetapi
keterkaitannya masih kurang dimengerti. Penelitian radiografic abnormal sinus,
pada pasien asma menunjukkan prevalensi yang tnngi abnormal mukosa
sinus.semua pasien dengan dengan steroid dependen asma mempunyai perubahan
mukosa yang abnormal pada CT dibandingkan dengan 88% denan asma ringan
sampai sedang.
Wheezing dan ketidaknyamanan saluran nadfas ditunjukkan pada 31 dan 42%
pasien dengan CRSwNP, dan asma dilaporkan oleh 26% pasien dengan CRSwNP,
dibandingkan 6% yang terkontrol.
4. Sensitivitas terhadap aspirin
Pada pasien dengan sensitif terhadap aspirin 36-96% mempunyai CRSwNP dan
hingga 96% erdapat perubahan radiografic dan mepengaruhi sinus paranasal. Pasien
dengan sensitif aspirin, asma, dan nasal polip biasanya non atopik da prevalensi
meningkat lebih dari umur 40 tahun. Pasien anak-anak dengan asma, dan nasal
polip, dan sensitif aspirin biasanya mempunyai nasal polip dan rinosinusitis lebih
sering daripada anakanak yang dikontrol.
5. Keadaan immuncompromised
Antara kondisi yang berhubungan dengan disfungsi sistem imun, kongeital
immunodefisiensi menampakkan dirinya dengan gejala lebih awal. Meskipun
disfungsi sistem imun terjadi nanti dalam hidup dan hadir dengan CRS. Pada
penelitian retrospektif pada pasien dengan sinusitis yang sulit disembuhkan,
ditemukan insiden tinggi pada disfungsi imun. Dalam 60 pasien dengan tes fugsi sel
T limfosit secara in vitro , 55% menunjukkan proliferasi abnormal dalam respon
untuk recall antigen. Immunoglobulin rendah, titrasi IgA dan IgM ditemukan 18%,
17% dan 5%, masing-masing pada pasien dengan sinusitis kambuhan. Dilaporkan
bahwa rinosinusitis terdapat pada sebagian dari populasi postitif HIV.
6. Faktor genetik
Meskipun CRSsNP telah diteliti pada sejumlah keluarga, tidak ada abnormalitas
genetik yang telah diidentifikasi berhubungan dengan CRS. Mesipun peran faktor
genetik dalam CRS tlah dilibatkan pada pasien dengan fibrosis kistik dan diskinesia
silia primer dan ada beberapa bukti dalam CRSwNP.
7. Keadaan hamil dan endokrin
Selama kehamila, terjadi kongesi nasal sekitar 1-5 wanita. Patogenesis dari
gangguan ini belum dimengrti. Disamping efek hormonal secara langsung dai
estrogen, progesteron dan GH plasenta pada mukosa nasal, efek hormonal tidak
langsung seperti perbahan pembuluh darah yang terlibat.
8. Faktorlokal host
Variasi anatomi seperti konka bulosa, septum deviasi, dan prosesus uncinatus
displace telah disarankan sebagai potensial faktor resiko untuk berkembang menjadi
CRS. Meskipun beberapa peneitian telah membuat pernyataan seperti ini telah
disamakan penebalan mukosa pada CT dengan CRS. Namun beberapa penelitian
membuktikan tidak ada hubungan kelainan anatomi dengan CRS.
9. Faktor lingkungan
Merokok berhubungan dengan prevalensi CRS yang tinggi di kanada dan paparan
rokok secera signifikan berhubungan dengan CRS.
10. Faktor iatrogenik
Antara faktor resiko CRS , faktor iatrogenik tidak dilupakan karena mereka
berespon terhadap pembedahan sinus. Di antara kelompok dengan 42 pasien dengan
mukokel, 11 harus lebih dulu dibedah dengan gambran 2 tahun sebelumnya. Alasan
lain kegagalan setelah pembedahan dapat resirkulasi dari mukus ostium maxila, dan
kembali melalui pemisahan secara bedah dibuat antrostomy mengahasilkan
peningkatan resiko infeksi persisten sinus.
11. Helicobacter pyloi dan larongofaringeal reflux
12. Osteitis
2.12 Mekanisme Rinosunusitis Kronik
Secara spesifik, peningkatan sintesis dari proinflamasi leukotrien dan penurunan
sintesis atiinflamasi prostaglandin telah diusulkan sebagai mekanisme tidak hanya pada
sensitif aspirin polip nasal, tapi juga aspirin toleran CRSwNP. Meskipun, beberapa
bukti teori mendukung dari pendapat CRSwNP, antusias meredam oleh khasiat klinis
yang terbatas dari inhibitor jalut leukotrien. Hipotesis barier imun disulkan bahwa
defek koordinasi barier secar mekanik dan respon imun innate dari epitelium sinonasal
sebagai manifestasi CRS. Defek ini secara teori memicu peningkatan kolonisasi
mikroba dengan pertahanan lengkap dari agen mikroba, menekan kerusakan barier dan
kompensasi respon imun adaptif. Satu mekanisme potensial molekular untuk hipotesis
ini termasuk defak lokal dalam jalur STAT 3 yang telah dikenali dalam beberapa
bentuk dari CRS. Defek sistemik dalam STAT 3 telah dikenali pada penjakit Job’s,
sebuah gangguan dengan beberapa kesamaan terhadap CRSwNP.
Kerusakan epitel dan atau disfungsi barier menghasilkan kolonisasi S. Aureus.
Kemudian menyusul sekresi toksin superantigenik yang berefek pada sel multipel
termasuk sel epitel, limfosit, eosinofil, fibroblast dan sel mast. Secara lokal, efek
jaringan untuk membantu miroorganisme menghindari respon imun hospes. Efek host
primer yaitu condong kepada respon inflamasi pada pelepasan Th2, mengaktifkan
polyclonal lokal IgE, mendorong eosinofil dan sel mast degranulasi dan peubahan
metabolisme eucasonoid. Efek jumlah jaringan lokal ini diyakini membentuk polip.
Kemampuan S. Aureus untuk tinggal dengan sel epitelial janan nafas mungkin hanya
proses bekembang biak.
2.13 Diagnosis
2.13.1 Gejala dan Tanda
Penilaian subjektif rinosinusitis berdasarkan pada :
1. Sumbatan, obstruksi nasal
2. Nasal discharge atau postnasal drip, sering mukopurulen
3. Nyeri wajah dan tekan, sakit kepala
4. Kehilangan penciuman.
Gejala lama : iritasi faringeal, laringeal dan trakeal disebabkan oleh nyeri
tenggorokan, disfonia, batuk, dimana gejala umum termasuk menantuk, malaise, dan
demam. Gejala secara umu sama pada ARS dan CRS dengan atau tanpa polip nasal.
Tapi pola gejala dan intensitas bervariasi,. Bentuk akut biasanya lebih jelas dan lebih
berat.
2.13.2 Diagnosis ARS dan CRS
ARS : onset tiba-tiba pada 2 gejala atau lebih, salah satuyahaus ada
sumbatan/obstruksi/kongesti nasal, nasal dischrge (anterior/posterior drip), nyeri
wajah/tekan, berkurang atau hilangnya oenciuman yang kurang dari 12 minggu.
Tanda endoskopik yaitu discharge purulen dari meatus media, udem/mukosa
obstruksi secara primer di eatus media, pencitraan jarag dilakukan kecuali pada
kasus berat/komplikasi.
CRS : dengan atau tanpa polip nasal yaitu inflamasi hidung dan sinus paranasal yang
ditandai oleh 2 gejala atau lebih. Salah satunya harus ada bstruksi/sumbatan nasal,
nasal discharge anterior/posterior nasal drip, nyeri wajah/tekan, berkurang atau
hilangnya penciuman yang lebih dari 12 minggu. Tanda endoskopik didapati polip
nasal atau nasal discharge primer dai meatus media atau udem/obstruksi mukosa
primer pada meatus media.
Pada CT scan terlihat perubahan mukosa dengan kompeks osteomeatal atau sinus.
1. Pengobatan CRSsNP dengan kortikosteroid
Khasiat dari glukokortikoid karena kemampuanya untuk mengurangi infiltrasi
eosinofil di jalan nafas dengan mencegah peningkatan kelangsungan hidup dan
aktivasi. Antara glukokotikoid topikal dan sistemik mempunyai efek yang sama
yaitu secara langsung menurunkan klangsungan hidup dan aktivasi eosinofil.
Contoh obat : beklometason, flutikason, mometason
2. Pengobatan CRSsNP dengan antibiotik
Amoxicilin, amoxicilin klavulanat, siprofloxacin.
3. Antihistamine
4. Mucolytics and expectorants
5. homeopathic remedies,
6. proton pump inhibitors,
7. surfactants including baby shampoo or nasal decongestants
Pengobatan CRSwNP dengan kortikosteroid
Fluticasone propionate, Beclomethasone dipropionate, Mometasone furoate, Flunisolide,
Budesonide.
Recommended