Permasalahan Pokok Dalam Aksiologi

Preview:

Citation preview

Permasalahan Pokok dalam Aksiologi

Filsafat Ilmu

1. Persoalan Aksiologis dalam Kehidupan Sehari-hari.Pengantar:Apakah Nilai itu?Kita telah melihat tiga sektor besar realitas:

benda, esensi, dan keadaan psikologis.Menurut sementara orang, nilai sama dengan

sesuatu yg menyenangkan kita. Kelompok lain menambahkan, nilai identik dengan apa yang diinginkan; kelompok ketiga, nilai merupakan sasaran perhatian kita.

• Ket: Kondisi psikologis: kenikmatan, keinginan (merupakan suasana kejiawaan).

• Nicolai Hartmann: bahwa nilai adalah esensi.• Nilai tidak ada dalam dirinya sendiri, namun

tergantung pada pengemban atau penopangnya, yang umumnya adalah substansi yang berbadan.

• Sebagai contoh: ‘keindahan’ tidak ada oleh dirinya sendiri, seolah-olah mengawang di udara, namun ia mewujud di dalam obyek fisik: semisal, baju, batu, tubuh manusia, dsb.

• Kebutuhan akan pengemban untuk tinggal memberi sifat khusus pada nilai, membuatnya menjadi eksistensi yang bersifat ‘parasitis’, namun kekhasan tsb tdk dapat membenarkan pengacauan antara pendukung dengan yang didukungnya.

• Untuk menghindarkan pengacauan. Marilah kita contohkan beda ‘nilai’ dengan ‘benda’. Benda adalah sama dengan sesuatu yg bernilai, yaitu sesuatu yg ditambah nilai didalamnya.

• Contoh: sepotong pualam merupakan benda semata-mata; tangan pemahat menambahkan keindahan kepadanya dengan ‘membawakan segala sesuatu yg tidak semestinya’, sesuai dengan saran ironik dari seorang pemahat, dan benda yg berwujud pualam diubah bentuknya menjadi sebuah patung, menjadi sesuatu yang ‘baik’.

• Patung tsb terus-menerus menyimpan semua ciri khas pualam pada umumnya –beratnya, kerasnya, dan sebagainya; sekalipun demikian, sesuatu yang ditambahkanlah yang mengubahnya menjadi sebuah patung. Oleh karena itu, nilai bukan merupakan benda atau pengalaman, juga bukan merupakan esensi; nilai adalah nilai.

• Bahwa ‘nilai’ itu bukan merupakan benda atau unsur dari benda, melainkan sifat, kualitas, sui generis, yang dimiliki objek tertentu yang dikatakan ‘baik’.

Permasalahan Pokok dalam Aksiologi

1. Persoalan Aksiologis dalam Kehidupan Sehari-hari.

Tidak ada diskusi atau perbedaan pendapat yg berkaitan dengan perilaku seseorang, keluwesan seorang gadis, keadilan sebuah hukuman, atau kelezatan makanan yg tidak mengundang persoalan ttg nilai.

• ‘selera tidak dapat diperdebatkan (de gustibus non disputandum). Semisal, apakah benar bahwa orang tidak dapat mendiskusikan tentang citarasa?

• Apa yang akan menjadi dunia etis dan estetis jika kita menerima subyektivitas selera, masing-masing di antara kita akan patuh pada cara melihat segala sesuatu yg kita miliki.

• Estetika dan pendidikan moral akan menjadi mustahil, hidup santun tidak akan dipahami, penyesalan dosa akan nampak absurd. “santun” untuk siapa? “dosa” bagi siapa?

2. Nilai itu Obyektif atau Subyektif:

• Apakah objek itu memiliki nilai karena kita mendambakannya karena objek tsb memiliki nilai? Apakah hasrat, kenikmatan atau perhatian yg memberikan nilai kpd suatu objek, ataukah sebaliknya, kita mengalami preferensi ini karena kenyataan bahwa objek tsb memiliki nilai yg mendahului dan asing bagi reaksi psikologis badan organis kita? (apakah nilai itu objektif atau subjektif?)

• Nilai itu ‘objektif’ jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yg menilai; sebaliknya nilai itu ‘subjektif’ jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yg melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis.

• Apakah nilai itu sangat dekat dengan kualitas seperti, panjang, yang melekat di dalam objek sekalipun tanpa hadirnya subjek?

• Atau, apakah nilai itu seperti bau, yang dalam rangka ada sebagaimana adanya, memerlukan hadirnya subjek untuk menafsirkannya, karena bau yg tidak dapat tercium oleh seseorang akan kehilangan maknanya?

• Satu hal yang nampak jelas: kita tidak dapat membicarakan nilai tanpa mempertimbangkan penilaian, baik yg aktual maupun yg mungkin.

• Pada hakikatnya, makna apa yg dimiliki nilai jika ia dapat lepas dari apresiasi manusia? Bagaimana kita mengetahui bahwa nilai seperti itu ada jika nilai dipaksa untuk menopang dirinya sendiri di luar lingkup penilaian manusia. Dalam hal ini, nampaknya subyektivisme memiliki dasar yg kuat; nilai tidak dapat bebas dari penilaian.

• Nilai itu mendahului penilaian. Jika tidak ada nilai, apa yg akan kita nilai?

• Jika nilai itu objektif, ia menegaskan, para individu mesti sampai pd satu kesepakatan ttg nilai-nilai tsb.

• Kebenaran tidak tergantung pada pendapat individu, melainkan tergantung pd objektivitas fakta; oleh karena itu, ia tidak diperkuat atau diperlemah oleh prosedur demokratik perhitungan suara.

• Demikian juga halnya dengan kasus nilai. Pendapat orang yg berselera rendah tidak mengurangi keindahan sebuah karya seni.

3. Aksiologi: Nilai Kegunaan Ilmu.

• Merupakan kenyataan yg tidak bisa dipungkiri, bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini, maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah.

• Apakah ilmu selalu membawa berkah, terbebas dari kutuk, yg membawa malapetaka dan kesengsaraan?

• Ilmu untuk menguasai alam.• Ilmu untuk menciptakan berbagai macam senjata,

teknik penyiksaan, cara memperbudak masa• Perkembangan ilmu sering melupakan faktor

manusia.• Teknologi tdk lg berfungsi sebagai sarana yg

memberikan kemudahan manusia, tetapi mengakibatkan manusia kehilangan sebagian arti dari kemanusiaannya.

• SECARA METAFISIK ILMU INGIN MEMPELAJARI ALAM SEBAIMANA ADANYA, SEDANGKAN DI PIHAK LAIN, TERDAPAT KEINGINAN AGAR ILMU MENDASARKAN KEPADA PERNYATAAN-PERNYATAAN (NILAI-NILAI) YANG TERDAPAT DALAM AJARAN-AJARAN DI LUAR BIDANG KEILMUAN DI ANTARANYA AGAMA.

• CONTOH: ILMU CLONING.

• Contoh: Pengadilan Galileo yang dipaksa mencabut pernyataannya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Para Ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya, dengan semboyan : Ilmu yang bebas Nilai.

• Konflik ini bukan saja terjadi dalam ilmu-ilmu alam, namun juga dalam ilmu-ilmu sosial di mana ideologi mencoba mempengaruhi metafisik keilmuan.

• ‘Dimana sebagian metafisik keilmuan dipergunakan das sollen dari ajaran moral yang terkandung dalam ideologi tertentu, dan bukan das sein sebagaimana ditutut oleh hakekat keilmuan.

• Golongan pertama, ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu seperti pada era Galileo.

• Golongan Kedua, mencoba menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat.

Golongan Kedua mendasarkan pendapatnya pd beberapa hal: ilmu secara faktual telah dipergunakan secara

destruktif oleh manusia yg dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yg mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan.

Ilmu telah berkembang pesat dan makin esoterik shg kaum ilmuwan lebih mengetahui ttg ekses-ekses yg munkin terjadi bila bila terjadi penyalahgunaan.

Ilmu telah berkembang sedemikian rupa, dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan manusia. (Ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau megnubah hakekat kemanusiaan).

Tanggungjawab Sosial Ilmuwan. Nuklir dan pilihan Moral. Revolusi Genetika.

Recommended