View
57
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN
“PANGGILAN RASUL” KARYA HAMSAD RANGKUTI DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA
DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan
Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
MARIA ULFA
1113013000032
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
i
ABSTRAK
Maria Ulfa, NIM.1113013000032. Nilai Kemanusiaan dalam Kumpulan Cerpen
“Panggilan Rasul” Karya Hamsad Rangkuti dan Implikasinya terhadap
Pembelajaran Sastra di SMA.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yaitu tidak ditemukan penelitian
terkait nilai kemanusiaan dalam kumpulan cerpen, khususnya cerpen “Panggilan
Rasul”, rendahnya minat baca siswa terhadap karya sastra dan masih ditemukan
kesulitan siswa dalam menganalisis karya sastra. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat dalam kumpulan cerpen
“Panggilan Rasul” karya Hamsad Rangkuti serta implikasinya terhadap pembelajaran
sastra di SMA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai kemanusiaan
berdasarkan perspektif kebudayaan, sehingga teori yang digunakan adalah nilai
kemanusiaan berdasarkan aspek kebudayaan. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
terdapat enam nilai kemanusiaan pada tiga cerpen dalam kumpulan cerpen
“Panggilan Rasul”. Tiga cerpen yang dimaksud yaitu, “Panggilan Rasul”, “Karjan
dan Kambingnya”, dan “Ayahku Seorang Guru Mengaji”. Nilai kemanusiaan yang
terdapat dalam tiga cerpen tersebut yaitu: 1) manusia dan penderitaan, 2) manusia dan
kegelisahan, 3) manusia dan pandangan hidup, 4) manusia dan harapan, 5) manusia
dan cinta kasih serta 6) manusia dan keadilan. Keenam nilai kemanusiaan tersebut
terefleksikan melalui permasalahan yang dihadapi oleh tokoh-tokoh yang ada dalam
cerpen. Permasalahan tersebut di antaranya adalah keserakahan, keyakinan, dan
ketidakadilan. Penelitian ini dapat dimplikasikan terhadap pembelajaran sastra di
SMA, yaitu pada materi pokok menginterpretasi makna cerita pendek baik secara
lisan maupun tulisan.
Kata Kunci: Nilai, Kemanusiaan, Cerpen “Panggilan Rasul”, Cerpen “Ayahku
Seorang Guru Mengaji”, Cerpen “Karjan dan Kambingnya”, Hamsad Rangkuti.
ii
ABSTRACT
Maria Ulfa, NIM.1113013000032 The Humanity Values in a Collection of Short
Stories “Panggilan Rasul” by Hamsad Rangkuti and Its Implication for
Literature Learning in Senior High School.
This research is motivated by several factors such as, it has not been found the
research of the humanity values in a collection of short stories, especially short
stories of the “Panggilan Rasul”, the low interest of reading students to the literary
works and still found students' difficulties in analyzing the literary works. The
purpose of this research is to describe the humanity values that exist in a collection of
short stories “Panggilan Rasul” by Hamsad Rangkuti and its implications for learning
literature in high school. This research is undertaken because there is no research
about the value of humanity in a collection of short stories, especially short stories
“Panggilan Rasul” by Hamsad Rangkuti. In addition, the students still have the
difficulties in analyzing a literary work. The theory of humanity values that used in
this research is based on cultural perspective, so the theory that used are humanity
values are based on cultural aspects . The method used in this research is qualitative
method. The results of this research indicate that there are six humanity values at
three short stories of collection short stories Panggilan Rasul”. The three of short
stories are “Panggilan Rasul”, “Ayahku Seorang Guru Mengaji” and “Karjan dan
Kambingnya”. The humanity values that exist in the three short stories are 1) human
and suffering, 2) human and anxiety, 3) human and life view, 4) man and hope, 5)
man and love, also 6) man and justice. The six values are reflected through the
problems that faced by the character in the short stories. The problems that appeared
are greed, faithfulness, and injustice. The digging of the values are to carried out
character building of the student in the learning proccess and its help them to
evaluating and appreciating the literature. This research can be applied to the study of
literature in senior high school, that is on the subject matter to interpret the meaning
of short story both orally and in writing.
Keywords: Values, Humanity, Short Stories “Panggilan Rasul”, Short Stories
“Ayahku Seorang Guru Mengaji”, Short Stories “Karjan and Kambingnya”, Hamsad
Rangkuti.
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil Alamin, puji syukur ke hadirat Allah SWT yang
senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Nilai kemanusiaan dalam Kumpulan Cerpen
Panggilan Rasul Karya Hamsad Rangkuti dan Implikasinya terhadap Pembelajaran
Sastra di SMA”. Salawat dan salam semoga tercurah kepada baginda Nabi
Muhammad Saw, para keluarga, sahabat, serta pengikutnya hingga akhir zaman.
Penulis menyusun skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar
sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini membutuhkan
bimbingan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak. Sebagai ungkapan rasa hormat,
penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Toto Edidarmo, M.A., Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia yang memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Novi Diah Haryanti, M.Hum., dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, arahan, motivasi, dan saran selama penyusunan skripsi ini.
5. Seluruh dosen dan staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah
memberikan banyak ilmu pengetahuan selama penulis menyelesaikan studi di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Orang tua tercinta; Bapak Sanuri dan Ibu Ko’imah, yang tiada hentinya
mendoakan penulis dalam setiap sujudnya.
iv
7. Orang tua tersayang; Bunda Syarifah Abbas dan Romo Edi Sulaksono, yang
senantiasa mencurahkan kasih sayang serta dukungan moril dan materil tanpa
lelah dan kesah.
8. Adik dan ponakan tersayang; Arizal, Faik Afdhal, Kurrota A’yunin, Bintan
Azalia N., Idelia Elsamara, Mikail Muhammad A., Adila Litakuna K., Rakai
M.A., kalian adalah energi positif bagi penulis.
9. Para sahabat; Wini Astriani (teman tersayang), Nurul Hidayati (teman
seperjuangan), Elva Rosyidah (teman penuh rasa sabar), Mar’atun Sholihah
(emak kedua), Desi Yuliyanti (terbawel dan terbaik), Buyung Firmansyah
(self reminder), Rahma Murdiaweni, Nadya Maris Najmi Sakhiyyah, S.Pd,
Windi Mulya Jayanti, Ajeng Restiyani, Sartika, dan Fanny Widyanty yang
senantiasa membantu, mendoakan, dan menghibur penulis.
10. Teman-teman angkatan 2013 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
yang telah mewarnai kehidupan penulis.
11. Teman-teman Eks-Strawberry Accessories Lucky, Nanda, dan Nana
Penulis berharap semoga seluruh doa dan pengorbanan yang telah
diberikan kepada penulis akan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Amin.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, saran dan kritik serta masukan yang membangun sangat penulis
harapkan. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis,
pembaca, serta dunia pendidikan.
Jakarta, 11 Mei 2018
Maria Ulfa
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ....................................................................................................... i
ABSTRACT ..................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................v
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................1
B. Identifikasi Masalah ..............................................................................5
C. Batasan Masalah....................................................................................5
D. Rumusan Masalah .................................................................................5
E. Tujuan Penelitian ..................................................................................6
F. Manfaat Penelitian ................................................................................6
G. Metodologi Penelitian ...........................................................................7
BAB II KAJIAN TEORETIS .......................................................................10
A. Hakikat Cerpen....................................................................................10
1. Pengertian Cerpen .........................................................................10
vi
2. Unsur Intrinsik Cerpen ..................................................................11
B. Nilai-nilai Kemanusiaan......................................................................18
1. Manusia dan Cinta Kasih ..............................................................19
2. Manusia dan Keindahan ................................................................20
3. Manusia dan Penderitaan ..............................................................20
4. Manusia dan Keadilan ...................................................................23
5. Manusia dan Pandangan Hidup .....................................................24
6. Manusia dan Tanggung Jawab ......................................................25
7. Manusia dan Kegelisahan .............................................................26
8. Manusia dan Harapan ....................................................................28
C. Pembelajaran Sastra di SMA ..............................................................29
D. Penelitian Relevan ...............................................................................32
BAB III PENGARANG DAN KARYANYA ..............................................35
A. Biografi ...............................................................................................35
B. Pemikiran Hamsad Rangkuti ..............................................................38
C. Sinopsis Kumpulan Cerpen “Panggilan Rasul” ..................................42
1. “Panggilan Rasul” .........................................................................42
2. “Karjan dan Kambingnya” ............................................................43
3. “Ayahku Seorang Guru Mengaji” .................................................43
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ................................................45
A. Unsur Intrinsik ....................................................................................45
1. Tema ..............................................................................................45
2. Tokoh dan Penokohan ...................................................................51
3. Alur ...............................................................................................66
4. Latar ..............................................................................................77
5. Sudut Pandang ...............................................................................88
6. Gaya Bahasa ..................................................................................90
vii
B. Analisis Nilai Kemanusiaan dalam Kumpulan Cerpen
“Panggilan Rasul” ...............................................................................92
1. Manusia dan Penderitaan ..............................................................93
2. Manusia dan Kegelisahan ...........................................................101
3. Manusia dan Pandangan Hidup ...................................................104
4. Manusia dan Harapan .................................................................112
5. Manusia dan Keadilan .................................................................118
6. Manusia dan Cinta Kasih ............................................................121
C. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra di SMA..............................127
BAB V PENUTUP .......................................................................................130
A. SIMPULAN ......................................................................................130
B. SARAN .............................................................................................131
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................132
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
LEMBAR UJI REFERENSI
SURAT BIMBINGAN SKRIPSI
SAMPUL KUMPULAN CERPEN “PANGGILAN RASUL”
TENTANG PENULIS
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Lampiran 2 Lembar Uji Referensi
Lampiran 3 Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 4 Sampul Kumpulan Cerpen “Panggilan Rasul”
Lampiran 5 Tentang Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang universal. Pemaknaan tentang manusia
seakan tidak pernah menemui titik mutlak. Manusia sebagai makhluk sosial,
hidup dan berelasi dengan masyarakat yang ada di sekitarnya. Selain
berhubungan dengan masyarakat, manusia juga merupakan bagian dari
masyarakat itu sendiri. Sebagai bagian dari masyarakat, manusia terikat pada
aturan-aturan dan nilai yang berlaku dan disetujui secara bersama.
Satu dari sekian banyak nilai yang terkandung dalam karya sastra di
antaranya adalah nilai kemanusiaan. Nilai tersebut menjadi tolok ukur
manusia dalam menjalani kehidupan. Nilai kemanusiaan berkaitan dengan
harkat manusia, yakni tata cara memanusiakan manusia. Nilai ini meliputi
nilai manusia dan cinta kasih, manusia dan keindahan, manusia dan
penderitaan, manusia dan keadilan, manusia dan tanggung jawab, manusia
dan kegelisahan hidup, manusia dan pandangan hidup, serta manusia dan
harapan.1
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi nyatanya tidak diimbangi
dengan kemajuan intelektualitas dan kualitas manusianya, sehingga masalah-
masalah yang menyangkut kemanusiaan kerap terjadi di era globalisasi saat
ini. Beberapa contoh masalah kemanusiaan saat ini adalah permusuhan
antarumat beragama, korupsi yang merajalela, kemiskinan dan pengangguran
di mana-mana, dan masih banyak lagi.2 Hal itu terjadi karena manusia sudah
tidak lagi memaknai pentingnya nilai-nilai kemanusian dalam diri masing-
1 Hermanto dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara,2010), h.22.
2Mikhael Giwati, Bunuh Diri, Kemiskinan, dan Korupsi di Indonesia,
https://nasional.kompas.com/read/2017/09/12/14170551/bunuh-diri-kemiskinan-dan-korupsi-di
indonesia, diunduh pada tanggal 13 April 2018, pukul.10.40 WIB.
2
masing individu. Oleh sebab itu, dalam dunia pendidikan saat ini perlu adanya
penerapan dan penanaman nilai-nilai tersebut.
Pentingnya nilai kemanusiaan untuk diterapkan di sekolah di
antaranya sebagai pembentukan karakter peserta didik. Ada enam pilar
karakter dasar yang perlu dimiliki manusia, khususunya peserta didik yaitu,
penghormatan (respect), tanggung jawab (responsibility), kesadaran
berwarga-negara (citizenship-civic duty), keadilan dan kejujuran (fairness),
kepedulian dan kemauan berbagi (carring), serta kepercayaan
(trustworthiness).3 Keenam karakter itulah yang dibentuk melalui penanaman
nilai-nilai kemanusiaan.
Nilai-nilai kemanusiaan berhubungan erat dengan karya sastra. Hal itu
didasarkan pada makna atau pesan yang dibawa oleh karya sastra. Walaupun
demikian, karya sastra dalam makna yang lebih luas, tidak hanya memuat
nilai-nilai kemanusiaan akan tetapi mencakup keseluruhan pemikiran dan
keresahan pengarang terhadap suatu permasalahan.
Salah satu bentuk karya sastra yang banyak digunakan pengarang
dalam menyampaikan pemikirannya adalah cerpen. Cerpen merupakan cerita
yang berbentuk singkat dan padat. Walaupun memiliki bentuk yang singkat
dan padat, cerpen tidak kehilangan esensi dan maknanya dalam
menyampaikan gagasan dan pemikiran pengarang. Cerpen-cerpen yang
berkembang di Indonesia banyak mengangkat masalah sosial dan
kemanusiaan, salah satunya adalah cerpen yang dimuat dalam kumpulan
cerpen “Panggilan Rasul” karya Hamsad Rangkuti.
“Panggilan Rasul” adalah satu dari beberapa kumpulan cerpen yang ditulis
oleh Hamsad Rangkuti. Sebagai sebuah karya sastra, kumpulan cerpen
“Panggilan Rasul” belum pernah diteliti, khususnya terkait dengan nilai-nilai
kemanusiaan. Kumpulan cerpen tersebut terdiri dari empat belas cerpen yang
3 Fatchul Muin, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoretik dan Praktik, (Yogyakarta: Ar-Ruz
Media, 2011), h.211-212.
3
mengangkat permasalahan manusia yang terdapat dalam kehidupan sehari-
hari. Akan tetapi, berdasarkan pembacaan secara intensif yang dilakukan
peneliti, terdapat keterkaitan nilai kemanusiaan yang tercermin melalui tiga
cerpen dalam kumpulan cerpen “Panggilan Rasul”. Keterkaitan yang
dimaksud adalah adanya empat nilai kemanusiaan yang sama dan dominan
pada tiga cerpen tersebut yaitu manusia dan penderitaan, manusia dan
pandangan hidup, manusia dan harapan, serta manusia dan cinta kasih.
sedangkan dalam sebelas cerpen lainnya lebih merefleksikan nilai-nilai
kemanusiaan yang tidak memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Selain itu,
nilai kemanusiaan yang terdapat dalam tiga cerpen tersebut masih relevan jika
dikaitkan dengan permasalahan yang dihadapi manusia saat ini. Adapun tiga
cerpen yang dimaksud yaitu cerpen “Panggilan Rasul”, “Ayahku Seorang
Guru Mengaji”, dan “Karjan dan Kambingnya”.
Selain adanya keterkaitan nilai kemanusiaan dari ketiga cerpen yang
dalam kumpulan cerpen “Panggilan Rasul”, teknik penceritaan yang
sederhana dan mudah dipahami juga merupakan salah satu faktor yang
melatarbelakangi pemilihan kumpulan cerpen tersebut menjadi objek
penelitian. Kesederhanaan yang dimaksud yakni pemilihan kata yang
sederhana dan tidak banyak menggunakan kata-kata konotasi membuat cerpen
tersebut mudah dipahami oleh siswa tingkat menengah atas maupun tingkat
menengah pertama. Kesederhanaan kata dan bahasa yang digunakan dalam
kumpulan cerpen tersebut diharapkan dapat memperbaiki minat baca siswa
terhadap karya sastra. Minimnya minat baca siswa juga banyak dipengaruhi
oleh perkembangan teknologi seperti maraknya siaran televisi yang menarik,
sosial media, serta alat komunikasi dengan berbagai fitur terbaik dan
mutakhir.4 Hal itu membuat siswa lebih memilih berkutat dengan teknologi
4 Shahruddin El-Fikri, Menumbuhkan Minat Baca Masyarakat,
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/15/05/26/noyj6v-menumbuhkan-minat-
baca-masyarakat, diunduh pada tanggal 5 Juni 2018, Pukul 22.37 WIB.
4
dibanding membaca buku, khususnya buku sastra. Siswa juga lebih memilih
teenlit dan cheeklit dengan bahasa yang mudah dipahami dan tema ringan
yang relevan dengan kehidupan sehari-hari dibanding cerpen dengan muatan
makna yang berbobot.5 Hal itu pula yang membuat siswa tidak memahami
bahkan tidak mengenal istilah karya sastra dan unsur intrinsik yang
membangun sebuah karya.
Pembelajaran menginterpretasi makna teks cerita pendek baik secara lisan
maupun tulisan terdapat di kelas XI SMA, yaitu pada kompetensi dasar 4.1
tentang “Menginterpretasi Makna Teks Cerita Pendek secara Lisan dan
Tertulis”. Hal itu sesuai dengan silabus SMA kurikulum 2013. Peserta didik
dituntut untuk mampu menganalisis isi dan kebahasaan cerita pendek serta
menemukan makna yang terdapat dalam cerita pendek. Pembahasan mengenai
nilai kemanusiaan dalam cerita pendek memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan nyata, sehingga
siswa mendapatkan pengalaman belajar yang utuh. Oleh sebab itu, pemilihan
cerpen dan strategi pembelajaran yang baik dapat menunjang keberhasilan
proses pembelajaran itu sendiri. Berdasarkan pemaparan tersebut, peneliti
merasa tertarik untuk membuat penelitian terkait kumpulan cerpen “Panggilan
Rasul” karya Hamsad Rangkuti. Adapun judul penelitian peneliti yaitu “Nilai
Kemanusiaan dalam Kumpulan Cerpen “Panggilan Rasul” Karya
Hamsad Rangkuti dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di
SMA”.
5 Untung Wahyudi, Eksistensi Sastra dan Minat Baca Tulis di Kalangan Remaja,
http://riaupos.co/559-spesial-eksistensi-sastra-dan-minat-baca-tulis-di-kalangan-remaja.html, diunduh
pada tanggal 5 Juni 2018, Pukul 22.37 WIB.
5
B. Identifikasi Masalah
Penelitian ini akan difokuskan pada nilai-nilai kemanusiaan yang
terdapat dalam kumpulan cerpen “Panggilan Rasul” karya Hamsad Rangkuti.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah yang dapat
diidentifikasikan adalah sebagai berikut.
1. Sebagai kumpulan cerpen, dalam kumpulan cerpen “Panggilan Rasul”
belum banyak diteliti.
2. Kurangnya pembahasan mengenai nilai-nilai kemanusiaan dalam
kumpulan cerpen, khususnya kumpulan cerpen “Panggilan Rasul” karya
Hamsad Rangkuti.
3. Kurangnya minat siswa dalam membaca karya sastra terutama
pembelajaran tentang cerpen, karena pemilihan cerpen yang kurang tepat.
4. Kurangnya pemahaman siswa mengenai unsur intrinsik dan ekstrinsik
karya sastra, khususnya cerpen.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, peneliti membatasi masalah
dengan memfokuskan penelitian pada “Nilai-nilai Kemanusiaan dalam
Kumpulan Cerpen “Panggilan Rasul” karya Hamsad Rangkuti dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”.
Penelitian ini juga diperlukan untuk mengetahui struktur dari cerpen serta
implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana nilai kemanusiaan yang terdapat dalam kumpulan cerpen
“Panggilan Rasul” karya Hamsad Rangkuti?
2. Bagaimana implikasi kumpulan cerpen “Panggilan Rasul” karya Hamsad
Rangkuti dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA?
6
E. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan nilai kemanusiaan yang terdapat dalam kumpulan cerpen
“Panggilan Rasul” karya Hamsad Rangkuti.
2. Mendeskripsikan implikasi kumpulan cerpen “Panggilan Rasul” karya
Hamsad Rangkuti dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di
SMA.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memperluas khazanah ilmu
pengetahuan, terutama bidang bahasa dan sastra Indonesia. Khususnya
bagi pembaca dan penikmat sastra.
b. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan kepustakaan untuk
penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis:
a. Peneliti
Menambah pengetahuan dan pemahaman peneliti terhadap unsur
intrinsik cerpen serta nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat dalam
kumpulan cerpen Panggilan Rasul karya Hamsad Rangkuti.
b. Guru
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi dalam
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, khususnya tentang nilai-
nilai kemanusiaan maupun nilai-nilai lain yang terkandung di
dalamnya.
c. Siswa
Dapat meningkatkan minat dan motivasi dalam belajar bahasa dan
sastra Indonesia serta memahami makna dan nilai-nilai yang terdapat
dalam karya sastra, yang dapat dihubungkan dengan kehidupan nyata.
d. Peneliti Lain
7
Dapat digunakan sebagai landasan untuk penelitian yang sejenis secara
lebih mendalam.
G. Metodologi Penelitian
1. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah “Nilai Kemanusiaan dalam Kumpulan
Cerpen “Panggilan Rasul” karya Hamsad Rangkuti. Cerpen-cerpen yang
terdapat dalam kumpulan cerpen ini pernah diterbitkan dalam harian
Kompas dan Horison pada tahun 1981-2003, dan diterbitkan kembali
dalam bentuk kumpulan cerpen oleh Diva Press pada bulan Juni 2017.
Objek dalam penelitian ini adalah kumpulan cerpen “Panggilan Rasul”
karya Hamsad Rangkuti. Tiga cerpen yang menjadi pilihan peneliti di
antaranya adalah “Panggilan Rasul”, “Karjan dan Kambingnya”, dan
“Ayahku Seorang Guru Mengaji”. Setelah membaca kumpulan cerpen
“Panggilan Rasul” secara intensif peneliti menemukan keterkaitan nilai
kemanusiaan yang terdapat dalam ketiga cerpen tersebut, dan nilai-nilai
tersebut masih relevan jika dikaitkan dengan permasalahan yang
berkembang saat ini, sedangkan sebelas cerpen lainnya memiliki nilai
kemanusiaan yang berbeda dan tidak memiliki keterkaitan satu sama lain.
Oleh karena itu, peneliti memilih tiga cerpen sebagai objek penelitian.
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskripsi kualitatif. Metode ini merupakan varian dari metode kualitatif.
Laporan berdasarkan metode kualitatif mencakup masalah deskripsi
murni tentang program dan/atau pengalaman orang di lingkungan
penelitian. Tujuan deskripsi ini adalah untuk membantu pembaca
mengetahui apa yang terjadi di lingkungan di bawah pengamatan, seperti
apa pandangan para partisipan yang berada di latar penelitian, dan seperti
8
apa peristiwa atau aktivitas yang terjadi di latar penelitian. 6 Oleh karena
itu, untuk mengetahui peristiwa apa saja yang terjadi di dalam objek
penelitian, maka peneliti akan menguraikan peristiwa berdasarkan unsur-
unsur yang membangun cerita yang terdapat dalam kumpulan cerpen
“Panggilan Rasul”. Dengan menganalisis tiga cerpen yang menjadi fokus
penelitian. Peneliti berusaha mendeskripsikan hasil penelitian melalui
kata-kata sesuai dengan aspek yang diteliti, yaitu mengenai nilai-nilai
kemanusiaan.
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah kumpulan cerpen
“Panggilan Rasul” karya Hamsad Rangkuti, cetakan pertama, tahun
2017, terbitan Diva Press.
Sementara itu, data sekunder adalah data pelengkap dalam
penelitian berupa bahan bacaan kepustakaan seperti buku, jurnal, artikel,
karya ilmiah yang terkait dengan objek penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi
pustaka, dengan teknik simak dan catat. Teknik pustaka adalah teknik
pengumpulan data melalui literatur kepustakaan seperti buku, artikel,
jurnal, dan tulisan ilmiah yang terkait dengan objek penelitian. Sedangkan
teknik simak dan catat merupakan instrumen pokok yang dilakukan
terhadap sumber data. Penyimakan dan pencatatan secara cermat dan
terarah terhadap sumber data primer, yaitu adalah kumpulan cerpen
“Panggilan Rasul” karya Hamsad Rangkuti, dilakukan untuk memperoleh
data yang diperlukan. Hasil pencatatan tersebut kemudian digunakan
sebagai sumber data primer dalam penyusunan hasil penelitian.
6 Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif. (Jakarta: PT Raja
Grafindo), 2012, h. 174.
9
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dilakukan untuk menganalisis masalah
yang ada dalam novel adalah sebagai berikut.
a. Peneliti membaca objek penelitian secara intensif, yakni
dengan membaca secara berulang-ulang.
b. Melakukan analisis struktur cerpen yang meliputi, tema,
penokohan, latar, alur, sudut pandang, dan gaya bahasa.
Sehingga pembaca maupun peneliti memperoleh gambaran
yang utuh dari kumpulan cerpen “Panggilan Rasul” karya
Hamsad Rangkuti.
c. Analisis selanjutnya adalah dengan mengelompokkan bagian-
bagian dalam kumpulan cerpen “Panggilan Rasul” karya
Hamsad Rangkuti yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan.
Kemudian menambahkan informasi-informasi lain yang
mendukung analisis tersebut.
d. Mengimplikasikan kumpulan cerpen “Panggilan Rasul” karya
Hamsad Rangkuti terhadap pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia di SMA dengan cara menerapkannya dalam
pembelajaran sastra di sekolah.
10
BAB II
KAJIAN TEORETIS
A. Hakikat Cerpen
1. Pengertian Cerpen
Cerpen, sesuai dengan namanya, adalah cerita pendek. Akan tetapi, ukuran
panjang pendek itu memang tidak ada turannya. Tidak ada satu kesepakatan
antara para pengarang dan para ahli. Edgar Allan Poe dalam Burhan
menjelaskan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam
sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam — suatu hal
yang tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel.1 Sementara itu, dalam
kamus istilah sastra cerpen diartikan sebagai kisahan yang memberi kesan
tunggal yang dominan tentang satu tokoh dalam satu latar dan satu situasi
dramatik.2
Lebih lanjut HB Jassin dalam Waluyo mengatakan bahwa dalam cerita
pendek, pengarang mengambil sarinya saja. Oleh karena itu, ceritanya
(pendek) saja. Kejadian-kejadian perlu dibatasi pada kejadian yang benar-
benar dianggap penting untuk membentuk kesatuan cerita. Di samping itu,
cerita harus memiliki kepaduan atau kebulatan yang tinggi. Senada dengan
pendapat tersebut Hudson dalam Walujo mengatakan bahwa:
“ A Short story must contain one and only one informing idea and that this
idea must be worked out to this logical conclusion with absolute singleness
of aim and directness of method”.3
1 Burhan Nurgiantoro,Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajahmada University Press,
2012), h.10. 2 Abdul Rozak Zaidan dkk., Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h.50.
3 Herman J. Waluyo, Pengkajian Cerita Fiksi, (Surakarta: Sebelas Maret University Press,
1994), h.35.
11
Kutipan di atas dapat diartikan bahwa cerita pendek harus berisi satu
gagasan dan kesimpulan logis yang membentuk satu kesatuan. Sejalan dengan
Hudson, Stanton mengatakan bahwa cerita pendek haruslah berbentuk ‘padat’.
Jumlah kata dalam cerpen harus lebih sedikit ketimbang jumlah kata dalam
novel. Setiap bab dalam novel menjelaskan unsurnya satu demi satu.
Sebaliknya, dalam cerpen pengarang menciptakan karakter-karakter, semesta
mereka, tindakan-tindakannya sekaligus, secara bersamaan.4
Berdasarkan uraian di atas, cerpen dapat diartikan sebagai cerita yang
dapat dibaca sekali duduk, di dalamnya terdapat cerita atau kisah yang
dirangkai secara singkat, padat, dan jelas serta memiliki satu gagasan atau
kesimpulan.
Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya mengemukakan
suatu secara lebih banyak, secara implisit dari sekedar apa yang diceritakan.
Dengan kata lain, bentuk cerpen yang padat dapat menyampaikan
kompleksitas cerita dalam waktu yang singkat.5 Hal itulah yang menjadi
perbedaan mencolok antara cerpen dengan novel maupun karya sastra lainnya.
2. Unsur Intrinsik Cerpen
Cerpen sebagai karya sastra memiliki kesamaan dengan novel, yakni
dibangun oleh unsur-unsur pembangun cerita. Baik cerpen maupun novel
dibangun oleh dua unsur yang sering disebut dengan unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada diluar teks sastra,
tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra,
meskipun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Lain halnya dengan unsur
intrinsik, unsur tersebut diartikan sebagai unsur-unsur yang membangun karya
sastra dari dalam. Unsur-unsur tersebut adalah unsur yang secara faktual akan
4 Robert Stanton, Teori Fiksi, Terj. dari An Introduction to Fiction oleh Sugihastuti dan
Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h.76. 5 Burhan Nurgiantoro, Op,Cit., h.11.
12
dijumpai oleh orang yang membaca karya sastra.6 Unsur intrinsik cerpen
meliputi tema, tokoh, latar, alur, sudut pandang dan gaya bahasa, sama halnya
dengan unsur intrinsik novel, yang membedakan adalah secara umum unsur
intrinsik dalam novel lebih rinci dan kompleks dari unsur-unsur cerpen.
Berikut akan dijelaskan bagian-bagian dari unsur intrinsik sebuah karya
sastra, baik cerpen maupun novel.
a. Tema
Tema adalah ide yang mendasari cerita.7 Lebih lanjut Stanton
mengatakan bahwa tema merupakan sebuah gagasan utama. Tema
memberi kekuatan dan menegaskan kebersatuan kejadian-kejadian
yang sedang diceritakan sekaligus mengisahkan kehidupan dalam
konteksnya yang paling umum.8
Selanjutnya, Hartoko dan Rahmanto dalam Nurgiantoro
mengatakan bahwa tema merupakan gagasan dasar umum yang
menopang sebuah karya sastra, dan yang terkandung di dalam teks
sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-
persamaan atau perbedaan-perbedaan. Tema disaring dari motif-motif
yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan
hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik dan situasi tertentu.9
Tema jarang dituliskan secara tersurat oleh pengarangnya. Untuk
dapat merumuskan tema suatu karya baik itu cerpen maupun novel,
pembaca harus terlebih dulu mengenali unsur-unsur intrinsik yang
dipakai oleh pengarang dalam mengembangkan ceritanya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tema
merupakan gagasan utama sebuah cerita. Tema sebuah cerita dapat
6 Ibid, h.23.
7 Wahyudi Siswanto,Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo,2008), h.161.
8 Robert Stanton, Op,Cit., h.37.
9 Burhan Nurgiantoro, Op,Cit., h.68.
13
ditemukan melalui cara membaca dan memahami keseluruhan teks
atau cerita tersebut.
b. Tokoh dan Penokohan
Nurgiantoro dalam bukunya membedakan istilah tokoh dan
penokohan secara tegas. Menurutnya, istilah “tokoh” menunjuk pada
orangnya, atau pelaku cerita, sedangkan penokohan merupakan
pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan
dalam sebuah cerita.10
Kebanyakan pengarang menyajikan karakter para tokoh melalui
dua cara atau metode dalam karyanya, yaitu metode langsung
(telling) dan metode langsung (showing). Metode telling
mengandalkan pemaparan watak tokoh pada eksposisi dan komentar
pengarang. Berbeda dengan metode telling, metode showing (tidak
langsung) memperlihatkan pengarang menempatkan diri di luar
kisahan dengan memberikan kesempatan kepada para tokoh untuk
menampilkan perwatakan mereka melalui dialog dan action.11
Berdasarkan segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam
sebuah cerita, tokoh dibagi menjadi dua, yakni tokoh utama dan
tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang tergolong penting
dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi
sebagian besar cerita. Ia merupakan tokoh yang paling banyak
diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai
kejadian. Sementara itu, tokoh tambahan adalah tokoh-tokoh yang
hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, itu pun
mungkin dalam porsi penceritaann yang relatif pendek.12
10
Ibid, h.165. 11
Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2011), h.6. 12
Burhan Nurgiantoro, Op,Cit., h.176-177.
14
Dibanding dengan novel, tokoh-tokoh dalam cerpen lebih terbatas
lagi, khususnya yang berkaitan dengan perwatakan, pembaca harus
merekonstruksi sendiri gambaran lengkap mengenai tokoh yang ada
di dalam cerpen.13
c. Latar
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu,
menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan
sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.14
Lebih
lanjut Stanton menjelaskan bahwa latar adalah lingkungan yang
melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi
dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.15
Latar biasanya diwujudkan dengan menciptakan kondisi-kondisi
yang melengkapi cerita, baik dalam dimensi waktu maupun
tempatnya. Suatu latar bisa diciptakan dari tempat dan waktu
imajiner ataupun faktual. Dan yang paling menentukan bagi
keberhasilan suatu latar, selain deskripsinya, adalah bagaimana
penulis memadukan tokoh-tokohnya dengan latar di mana mereka
melakoni perannya.16
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa latar
merupakan situasi yang melandasi dan berkaitan dengan peristiwa-
peristiwa yang ada dalam cerita.
d. Alur (Plot)
Secara umum alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam
sebuah cerita. istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa
13
Burhan Nurgiantoro, Op,Cit., h.13. 14
Ibid, h.216. 15
Robert Stanton, Op,Cit., h.35. 16
Furqonul Aziz dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010), h.74.
15
yang terhubung secara kausal saja.17
Lebih lanjut Abrams dalam
Nurgiantoro menjelaskan bahwa sebuah plot atau alur sebuah karya
fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana
yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa
tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu.18
Plot memiliki lima tahapan, di antaranya adalah tahap
penyituasian, yaitu tahapan pengenalan situasi cerita yang berkaitan
dengan pengenalan latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap kedua yakni
tahap pemunculan konflik, pada tahapan ini peristiwa-peristiwa yang
menyulut konflik mulai dimunculkan. Tahap ketiga yaitu tahap
peningkatan konflik. Pada tahapan ini konflik yang telah
dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang
intensitasnya. Tahap selanjutnya yaitu tahap klimaks, pada tahap ini
intensitas konflik yang terjadi telah mencapai titik puncak.
Selanjutnya yaitu tahap penyelesaian. Pada tahap ini konflik yang
telah mencapai klimaks diberi penyelesaian. Pada tahap ini bentuk
penyelesaian konflik yang terdapat dalam cerita berbeda-beda
tergantung keinginan pengarangnya.19
Plot pada cerpen umumnya tunggal, hanya terdiri dari satu urutan
peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir (bukan, selesai, sebab
banyak cerpen maupun novel yang tidak berisi penyelesaian yang
jelas, penyelesaian diserahkan kepada interpretasi pembaca. Urutan
peristiwa dapat dimulai dari mana saja, misalnya dari konflik yang
telah meningkat, tidak harus bermula dari tahap perkenalan (para)
tokoh atau latar. Kalaupun ada unsur perkenalan tokoh dan latar,
biasanya tidak berkepanjangan. Oleh karena plot dalam cerpen
17
Robert Stanton, Op,Cit., h.26. 18
Burhan Nurgiantoro, Op,Cit.,h.113. 19
Ibid 149-150.
16
merupakan plot tunggal, maka konflik dan klimaksnya bersifat
tunggal.20
e. Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of view merupakan cara atau pandangan
yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,
tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam
sebuah karya fiksi.21
Berbeda dengan Nurgiantoro, Stanton menjelaskan bahwa sudut
pandang merupakan posisi ‘kita’ yang berbeda-beda dan memiliki
hubungan yang berbeda dengan peristiwa dalam cerita.22
.
Berdasarkan uraian tersebut, sudut pandang dapat diartikan sebagai
posisi pengarang dalam bercerita atau menyampaikan ceritanya.
Secara garis besar, sudut pandang cerita dibedakan menjadi dua
macam. Pembedaan tersebut didasarkan pada tujuan dan akibat yang
ditimbulkan dalam cerita.23
Kedua sudut pandang yang dimaksud
adalah sebagai berikut.
1. Sudut Pandang Persona Ketiga “Dia”
Pengisahan cerita dengan menggunakan sudut pandang persona
ketiga menempatkan narator di luar cerita yang menampilkan
tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata ganti. Sudut
pandang “Dia” dapat dibedakan menjadi dua jenis, dibedakan
berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang. Sudut
pandang “Dia” Mahatahu menempatkan posisi pengarang yang
serba tahu dan bebas menceritakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan tokoh “Dia”. Di lain pihak “Dia” yang
20
Ibid, h.12. 21
Ibid, h.248. 22
Robert Stanton, Op,Cit.,h.53. 23
Burhan Nurgiantoro, Op,Cit.,h.256-259.
17
bersifat serba terbatas, yakni memposisikan narator sebatas
pengamat cerita.
2. Sudut Pandang Persona Pertama “Aku”
Pengisahan cerita dengan menggunakan sudut pandang persona
pertama menempatkan narator sebagai seseorang yang terlibat
dalam cerita. Narator dalam cerita mengambil posisi sebagai
“Aku” yang mengisahkan dirinya sendiri. Sudut pandang “Aku”
dibedakan menjadi dua bagian yaitu, “Aku” sebagai tokoh utama
yang menjadi fokus, pusat kesadaran dan pusat cerita., dan “Aku”
sebagai tokoh tambahan yang hanya tampil sebagai saksi, witness
saja. Saksi terhadap berlangsungnya cerita yang ditokohi orang
lain.
f. Gaya bahasa
Gaya bahasa dapat diartikan sebagai cara pengarang dalam
menggunakan bahasa.24
Gaya bahasa (stile) ditandai oleh ciri-ciri
formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-
bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain,25
sedangkan keraf berpedapat bahwa style atau gaya bahasa dapat
dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara
khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai
bahasa).26
Gaya bahasa atau stile bermacam-macam sifatnya, tergantung
pada konteks di mana bahasa itu digunakan, tergantung selera
pengarang atau penulis dan tergantung pada tujuan dari tulisan
maupun tuturan yang disampaikan. Berkaitan dengan karya sastra,
gaya bahasa seakan menjadi identitas para pengarang atau pencipta
24
Robert Stanton, Op,Cit., h.61. 25
Burhan Nurgiantoro, Op,Cit., h.276. 26
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h.113.
18
karya sastra, karena bahasa yang digunakan setiap pengarang seakan
memiliki ciri khas tersendiri bahkan seakan merepresentasikan sosok
pengarang itu sendiri.
B. Nilai-nilai Kemanusiaan
Karya sastra pada dasarnya mengungkapkan masalah-masalah manusia
dan kemanusiaan, tentang makna hidup dan kehidupan.27
Akan tetapi,
pengarang memilih pengalaman manusia secara kreatif dan secara kreatif pula
menuangkannya ke dalam karya sastra, dengan bahasa sebagai medianya
sehingga hasilnya menjadi suatu karya seni yang yaitu karya sastra.28
Oleh
karena pengarang juga memilih pengalaman yang dituangkan dalam karyanya,
maka nilai-nilai yang ada di dalamnya juga menjadi beragam tidak hanya
berfokus kepada satu nilai sehingga antara karya yang satu dengan karya
lainnya memiliki nilai-nilai yang cenderung berbeda.
Satu dari sekian banyak nilai yang ada dalam karya sastra adalah nilai
kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan adalah suatu hal yang dapat
memanusiakan manusia atau bisa juga dikatakan juga kembali kepada fitrah
manusia. Fitrah manusia adalah punya sisi baik dan buruk. Selain itu manusia
juga mempunyai fitrah atau kecenderungan untuk menyempurnakan diri.
Proses penyempurnaan diri itu membutuhkan pengetahuan. Pengetahuan yang
dimiliki manusia itulah yang kemudian akan menentukan keberhasilan proses
penyempurnaan diri yang dilakukan.29
Joko Tri Prasetya, dkk mengatakan bahwa untuk dapat memanusiakan
manusia perlu pemahaman konsep tentang kemanusiaan. Konsep ini
merupakan pemahaman tentang aspek kemanusiaan yang dimiliki manusia
27
Ni Nyoman Karmini, Teori Pengkajian Fiksi dan Drama, (Denpasar: Pustaka Larasan,
2011), h.2. 28
Ibid, h.3. 29
Rusmin Tumanggor, dkk., Ilmu Budaya dan Sosial, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010), h.122.
19
aspek tersebut meliputi manusia dan cinta kasih, manusia dan keindahan,
manusia dan penderitaan, manusia dan keadilan, manusia dan tanggung
jawab, manusia dan pandangan hidup, manusia dan kegelisahan, manusia
dan harapan.30
Nilai kemanusiaan tersebut didasarkan kepada nilai yang
dimiliki manusia sebagai makhluk berbudaya, yaitu makhluk ciptaan Tuhan
yang telah dibekali akal dan rasa yang membedakannya dengan makhluk
lainnya.31
Berikut akan dijelaskan lebih lanjut mengenai nilai kemanusiaan.
1. Manusia dan Cinta Kasih
Secara sederhana cinta bisa diartikan sebagai paduan rasa simpati
antara dua makhluk. Rasa simpati ini tidak hanya berkembang di antara
pria dan wanita, akan tetapi bisa juga di antara pria dengan pria atau
wanita dengan wanita. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa rasa
simpati itu ditujukan kepada makhluk lain seperti tumbuhan dan
binatang.32
Senada dengan pendapat tersebut Erich Fromm dalam
Supartono mengatakan bahwa cinta adalah sikap, suatu orientasi watak
yang menentukan hubungan pribadi dengan dunia keseluruhan, bukan
menuju satu “objek” cinta. Selanjutnya, ia mengemukakan tentang adanya
cinta persaudaraan, cinta pershabatan, cinta keibuan, cinta erotis, cinta
diri sendiri, dan cinta terhadap Allah. Bersumber dari cinta-cinta tersebut,
seperti yang dikemukakan berikut ini, manusia memberikan kasih
sayangnya kepada yang lain, terutama kepada sesama manusia dalam
mewujudkan hubungan pribadinya.33
Cinta kasih atau cinta sejati tidak menuntut untuk memiliki, apalagi
menguasai, yang ada hanyalah rasa solidaritas, rasa senasib dan
30
Joko Tri Prasetya, dkk., Ilmu Budaya Dasar MKDU, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), h.6. 31
Lies Sudibyo, dkk., Ilmu Sosial Budaya Dasar, (Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2013), h.6. 32
Djoko Widagdo, dkk., Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h.38. 33
Supartono, Ilmu Budaya Dasar, (Bogor: Ghalia Indah, 2004), h.57.
20
sepenanggungan dengan yang dicintai. Cinta sejati sedikitpun tidak ada
hubungannya dengan kenikmatan atau keinginan.34
2. Manusia dan Keindahan
Keindahan identik dengan kebenaran. Keindahan adalah kebenaran,
dan kebenaran adalah keindahan. Keduanya mempunyai nilai yang sama
yaitu abadi, dan mempunyai daya tarik yang selalu bertambah, yang tidak
mengandung kebenaran berarti tak indah.35
Keindahan juga bersifat
universal, artinya tidak terikat oleh selera perorangan, waktu dan tempat,
selera mode, kedaerahan, atau lokal.36
Persepsi manusia terhadap keindahan antara yang satu dengan yang
lain itu tidak sama karena ditentukan oleh daya penggerak yang menjadi
sumber timbulnya keinginan terhadap keindahan itu sendiri. Persepsi
keindahan yang muncul dari akal dan budi dapat disebut sebagai
keindahan dalam arti yang sebenarnya; sedangkan keindahan yang
muncul dari dorongan nafsu merupakan keindahan semu. Keindahan
semu tentu tidak dapat diterima oleh “kemanusiaan manusia”, karena
hanya keindahan yang bersumber dari akal dan budilah yang mampu
menyempurnakan “kemanusiaan manusia”.37
3. Manusia dan Penderitaan
Penderitaan berasal dari kata “derita”, yang berasal dari bahasa
sansekerta yang artinya menahan atau menanggung. Derita artinya
menanggung atau merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan.
Penderitaan itu bisa berupa penderitaan lahir, batin, atau lahir batin.38
34
Djoko Widagdo, Op,Cit., h.58. 35
Joko Tri Prasetya, dkk, Op,Cit., h.75. 36
Djoko Widagdo, Op,Cit., h.60. 37
Ibid, h.78. 38
Ibid, h.81.
21
Penderitaan adalah beban fisik atau jiwa manusia yang dapat menekan
diri manusia. Lebih lanjut Franklin J. Meine dalam Sudibyo, dkk.
menyatakan bahwa penderitaan adalah keadaan yang berhubungan
dengan rasa sakit, tak menyenangkan hati, menderita rugi dan perasaan
tersiksa.39
Banyak sekali bentuk penderitaan yang dialami manusia, di antaranya
ada yang berasal dari dalam diri manusia dan dari luar diri manusia.
Penderitaan yang bersumber dari dalam diri manusia berasal dari
keinginan-keinginan manusia yang tidak dapat dipenuhi. Di dalam diri
manusia itu ada cipta, rasa dan karsa. Karsa adalah sumber penggerak
segala aktivitas manusia. Cipta adalah realisasi adanya karsa dan rasa.
Baik rasa dan karsa selalu ingin dipuaskan karena karsa selalu ingin
dilayani sedangkan rasa selalu ingin dipenuhi tuntutannya.40
Hal itu
sesuai dengan pandangan hedonis psikologis yang mengatakan bahwa
semua manusia dimotivasi oleh pengejaran kenikmatan dan penghindaran
penderitaan.41
Pengejaran kenikmatan yang dimaksud jika dikaitkan
dengan psikologi kepribadian Freud disebut sebagai prinsip kenikmatan
(pleasure principle). Pemenuhan akan kenikmatan itu tergantung pada
peran id, ego, dan superego yang terdapat dalam diri masing-masing
individu. Ketiga komponen tersebut merupakan komponen utama dalam
pemenuhan keinginan atau kebutuhan yang ada dalam diri seseorang.42
Ketika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan atau keinginannya
maka timbul perasaan takut, sedih, atau bahkan rendah diri yang menjadi
beban dalam hati dan pikirannya. Perasaan itulah yang kemudian disebut
dengan penderitaan.
39
Lies Sudibyo, dkk., Op,Cit., h.120. 40
Djoko Widagdo, Op,Cit., h.99. 41
M. Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar, (Bandung: PT Refika Aditama, 1998), h.68. 42
Yustinus Semiun,OFM., Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud, (Yogyakarta:
Kanisius,2006), h.60-68.
22
Salah satu penyebab penderitaan yang berkaitan dengan pemenuhan
kebutuhan manusia adalah kemiskinan. Secara sederhana kemiskinan
diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup
memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan
juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam
kelompok tersebut.43
Lebih lanjut Suparlan menjelaskan bahwa
kemiskinan merupakan suatu keadaan kekurangan harta atau benda
berharga yang diderita oleh seseorang atau sekelompok orang. Akibat dari
kekurangan harta atau benda tersebut maka seseorang atau sekelompok
orang itu merasa kurang mampu membiayai kebutuhan-kebutuhan
hidupnya sebagaimana layaknya. Kekurangmampuan tersebut mungkin
hanya pada tingkat kebutuhan-kebutuhan budaya (adat, upacara-upacara,
moral dan etika), atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
sosial (pendidikan, berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama) atau
pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang mendasar (makan,
minum, berpakaian, bertempat tinggal atau rumah kesehatan dan
sebagainya).44
Senada dengan pendapat tersebut, Prof. Dr. Emil Salim
dalam Hartomo dan Aziz menyatakan bahwa kemiskinan merupakan
suatu keadaan yang dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan pokok. Dengan kata lain, kemiskinan dapat
diartikan sebagai ketidakmampuan dalam pemenuhan kebutuhan pokok,
sehingga menyebabkan keresahan, kesengsaraan, dan kemelaratan dalam
setiap langkah hidupnya.45
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
kemiskinan merupakan ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi
43
Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006),
h.320. 44
Parsudi Suparlan, Kemiskinan Di Perkotaan, Bacaan Untuk Antropologi Perkotaan,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984), h.16. 45
Hartomo dan Arnicum Aziz, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h.329.
23
kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar hidupnya. Oleh sebab itu,
kemiskinan dapat dikategorikan sebagai salah satu penyebab penderitaan
yang dialami oleh manusia. Hal itu didasarkan pada tiga komponen yang
ada dalam pikiran manusia yang memiliki dorongan-dorongan alamiah
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya seperti yang telah diuraikan
sebelumnya.46
4. Manusia dan Keadilan
Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak
dan kewajiban.47
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadilan berasal
dari kata “adil” yang berarti tidak berat sebelah atau tidak memihak atau
tidak sewenang-wenang, sehingga keadilan mengandung pengertian
sebagai suatu hal yang tidak berat sebelah atau tidak memihak.
Keadilan dan ketidakadilan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia karena dalam hidupnya manusia menghadapi keadilan dan
ketidakadilan setiap hari. Keadilan menentukan harkat dan martabat
manusia karena masalah keadilan selalu berhubungan dengan masalah
hak dan kewajiban.48
Berbuat adil berarti menghargai dan menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia, begitu pun sebaliknya. Berbuat tidak
adil berarti menginjak-injak harkat dan martabat manusia karena keadilan
berkaitan dengan hubungan sesama manusia.49
Salah satu bentuk ketidakadilan adalah diskriminasi. Diskriminasi
diartikan sebagai setiap tindakan yang melakukan pembedaan terhadap
seseorang atau kelompok orang berdasarkan ras, agama, suku, etnis,
kelompok, golongan, status, dan kelas ekonomi, jenis kelamin, kondisi
46
M. Munandar Sulaeman, Op,Cit., h.78. 47
Djoko Widagdo, Op,Cit., h.103. 48
Ibid, h.105. 49
Ibid, h.123.
24
tubuh, usia, orientasi seksual, pandangan ideologi dan politik. Serta batas
negara, dan kebangsaan seseorang.50
Diskriminasi dikategorikan sebagai bentuk ketidakadilan karena
diskriminasi melanggar ketentuan HAM (Hak Asasi Manusia), seperti yang
tercermin dalam pasal 281 Ayat (2) UUD NKRI 1945 yang menyatakan
bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif itu.51 Selain itu penghapusan tindakan
diskriminasi juga telah ditetapkan dalam UU No.40 Tahun 2008.
5. Manusia dan Pandangan Hidup
Pandangan hidup adalah cara manusia memandang kehidupan atau
konsepsi manusia tentang kehidupan.52
Lebih lanjut Koentjaraningrat
dalam Munandar menjelaskan bahwa pandangan hidup adalah nilai-nilai
yang dianut oleh suatu masyarakat. Pandangan hidup terdiri atas cita-cita,
kebajikan, dan sikap hidup. Ketiga hal itulah yang menjadi bagian dari
pandangan hidup.53
Pandangan hidup juga tidak terlepas dari masalah nilai dalam
kehidupan manusia pada umumnya. Oleh karena itu, pandangan hidup
yang sempurna merupakan wujud pertama kebudayaan yang tidak boleh
terlepas dari nilai budaya. Pandangan hidup juga mencerminkan citra diri
seseorang karena pandangan hidup mencerminkan cita-cita dan aspirasi
orang tersebut.54
Apa yang dikatakan seseorang adalah pandangan hidup
karena dipengaruhi oleh pola pikir tertentu, meskipun pola pikir juga
50
Eli Setiadi, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2007), h.152. 51
Eli Setiadi, Loc. Cit, h.152. 52
Supartono, Op,Cit.,h.133. 53
M. Munandar Sulaeman, Op,Cit., h.73. 54
M. Munandar Sulaeman, Loc, Cit., h.73.
25
dapat dipengaruhi oleh kebiasaan berpikir yang terjadi di tengah
masyarakat.
Pandangan hidup berdasarkan sumbernya dibagi menjadi tiga macam
yaitu pandangan hidup yang bersumber dari agama, pandangan hidup
yang bersumber dari ideologi, dan pandangan hidup yang bersumber dari
hasil perenungan seseorang.55
Pandangan hidup yang bersumber dari
agama memiliki kebenaran mutlak karena merupakan ketentuan yang
telah ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sementara itu, pandangan
hidup yang bersumber dari ideologi merupakan abstraksi dari nilai-nilai
budaya suatu negara atau bangsa, sedangkan pandangan hidup yang
bersumber dari hasil perenungan seseorang berkaitan dengan ajaran dan
etika dalam menjalani kehidupan.
6. Manusia dan Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau
perbuatannya yang disengaja maupun tidak disengaja. Tanggung jawab
juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.56
Lebih lanjut Burhanuddin mengutip dari kamus menguraikan arti
tanggung jawab sebagai berikut.
“ Responsibility = having the character of free moral agent; capable
of determining one’s own acts; capable of deterred by consideration of
sanction or consequences.”57
Kutipan tersebut menitikberatkan pada kesanggupan untuk
menentukan sikap atas suatu perbuatan. Selain menentukan sikap, dalam
55
M. Munandar Sulaeman, Op,Cit.,h.76. 56
Djoko Widagdo, Op,Cit., h.144. 57
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas Moral dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1997), h. 28.
26
kutipan tersebut juga dijelaskan bahwa seseorang harus memiliki
kesanggupan untuk memikul risiko atas suatu perbuatan.
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang bertanggung jawab.
Disebut demikian karena manusia adalah makhluk individual sekaligus
makhluk sosial dan makhluk Tuhan. Manusia memiliki tuntutan yang
besar untuk bertanggung jawab karena mimiliki peranan dalam konteks
sosial, individual maupun teologis.
Pelanggaran terhadap setiap ketentuan dan tanggung jawab yang
dimiliki seseorang sangat mempengaruhi harga “kemanusiaannya” atau
harga diri yang bersangkutan.58
Oleh karena itu, setiap manusia akan
berusaha memenuhi tanggung jawab dan ketentuan yang berkenaan
dengan dirinya, masyarakat, maupun sang pencipta.
7. Manusia dan Kegelisahan
Kegelisahan berasal dari kata “gelisah”. Gelisah artinya rasa yang
tidak tenteram di hati atau merasa selalu khawatir, tidak tenang, tidak
sabar dan cemas. Rasa gelisah ini sesuai dengan suatu pendapat yang
menyatakan bahwa manusia yang gelisah itu dihantui rasa khawatir dan
takut.59
Kecemasan merupakan salah satu bentuk ekspresi kegelisahan. Freud
dalam Semiun menjelaskan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan
perasaan afektif yang tidak menyenangkan yang disertai dengan sensasi
fisik yang memperingatkan orang terhadap bahaya yang akan datang.
Freud membagi kecemasan menjadi tiga macam yaitu:
1. Kecemasan neurotik (saraf), adalah ketakutan terhadap suatu bahaya
yang tidak diketahui. Perasaan itu sendiri ada dalam ego, tetapi
sumbernya dari id. Orang mungkin mengalami kecemasan neurotik
58
Djoko Widagdo, dkk., Op,Cit., h.158. 59
Ibid, h.160.
27
terhadap kedatangan seorang guru, majikan, atau terhadap suatu figur
kekuasaan lain karena ia sebelumnya perasaan tak sadar akan
destruktivitas terhadap salah satu atau kedua orang tuanya.
2. Kecemasan moral, kecemasan ini terjadi karena konflik antara ego
dan superego. Kecemasan tersebut muncul karena adanya konflik
antara kebutuhan realistik dan tuntutan superego. Kecemasan moral
juga terjadi ketika seseorang gagal melakukan apa yang dianggap baik
atau benar secara moral. Contohnya ketika orang tua tidak mampu
memelihara dan memperhatikan anak-anaknya dengan baik.
3. Kecemasan realistik, kecemasan ini juga dikenal sebagai kecemasan
objektif , hampir serupa dengan ketakutan. Kecemasan realistik ini
dapat didefinisikan sebagai perasaan sebagai perasaan tidak
menyenangkan dan tidak spesifik terhadap suatu bahaya yang
mungkin terjadi. Misalnya seseorang mengalami kecemasan pada
waktu mengemudikan mobil di lalu lintas yang ramai di tengah kota
yang belum dikenal, suatu situasi penuh bahaya yang real dan
objektif.60
Berdasarkan tiga bentuk kecemasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
kecemasan berfungsi sebagai peringatan bagi individu agar mengetahui
adanya bahaya yang sedang mengancam, sehingga individu tersebut bisa
mempersiapkan langkah-langkah yang perlu diambil untuk menghadapi
bahaya yang mengancam itu.
Kecemasan yang tidak dapat ditanggulangi dengan tindakan yang
efektif disebut traumatik. Ia akan menjadikan individu dalam keadaan tak
berdaya, serba kekanak-kanakan. Freud dalam Semiun mengemukakan
60
Yustinus Semiun,OFM., Op,Cit.,h.87-92.
28
gagasannya tentang Project Scientific Psychology bahwa kecemasan
disebabkan oleh perasaan tidak berdaya yang luar biasa.61
Manusia suatu saat dalam hidupnya akan mengalami kegelisahan.
Kegelisahan yang cukup lama hinggap dalam diri manusia akan
menyebabkan suatu gangguan penyakit. Kegelisahan (anxciety) yang
cukup lama akan menghilangkan kemampuan untuk merasa bahagia.62
Alasan mendasar yang menyebabkan manusia gelisah adalah hati dan
perasaan yang mereka miliki. Bentuk kegelisahan yang dialami dapat
berupa keterasingan, kesepian, dan ketidakpastian. Perasaan-perasaan
semacam itu datang silih berganti dengan kebahagiaan dan kegembiraan
dalam kehidupan manusia.63
8. Manusia dan Harapan
Harapan berasal dari kata harap yang berarti keinginan supaya sesuatu
bisa terjadi.64
Harapan dan keinginan bersumber dari hati. Harapan
(expectation) merupakan keinginan yang hendak dicapai di masa yang
akan datang, tidak dapat terlepas dari masa sekarang maupun masa
lampau seseorang. Masa lampau memberikan pengalaman, masa sekarang
memberikan pemikiran dan masa depan merupakan harapan.65
Dalam
mencapai harapannya, manusia memiliki dorongan-dorongan (drive) yang
kuat terutama karena memiliki dua macam kebutuhan mutlak, yaitu
kebutuhan material untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya dan
kebutuhan spiritual untuk memenuhi kebutuhan rohaninya. Secara
sederhana dapat diuraikan mengenai kebutuhan jasmani dan rohani.66
61
Ibid, h.89. 62
Djoko Widagdo, dkk., Loc, Cit.,h.160. 63
Ibid, h.161. 64
Ibid, h.186. 65
Supartono, Op,Cit., h.178. 66
Ibid, h.179.
29
Kebutuhan jasmani meliputi pangan, sandang, dan papan, sedangkan
kebutuhan rohani meliputi kebahagiaan, kesejahteraan, kepuasan hiburan
dan sebagainya. Dalam mencukupi kebutuhan itu, baik kebutuhan kodrat
maupun kebutuhan hidup, manusia tidak dapat melakukannya sendiri
melainkan harus dengan bantuan orang lain.
Berkenaan dengan kebutuhan, ada lima macam kebutuhan yang
menjadi harapan manusia. Hal itu didasarkan pada teori kebutuhan
menurut Abraham Maslow.67
a. Harapan untuk memperoleh kelangsungan hidup (survival).
b. Harapan untuk memperoleh keamanan (safety).
c. Harapan untuk memiliki hak dan kewajiban untuk mencintai dan
dicintai (beloving and love).
d. Harapan untuk memperoleh status agar diakui dan diterima dalam
suatu lingkungan.
e. Harapan untuk memperoleh perwujudan dan cita-cita (self
actualization).
C. Pembelajaran Sastra di SMA
Sastra ialah karya tulis, yang jika dibandingkan dengan karya tulis lain
memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, serta
keindahan dalam isi dan ungkapannya. Ada tiga aspek yang harus terdapat
dalam sastra, yaitu keindahan, kejujuran, dan kebenaran.68
Tiga aspek dalam
karya sastra tersebut yang kemudian digali dan dijadikan sebagai sarana
pembelajaran dan pendidikan dalam pembelajaran sastra di sekolah.
Saat ini para guru, dosen, dan ahli sastra sepakat bahwa pengajaran yang
konvensional harus ditinggalkan dan diganti dengan pengajaran sastra yang
67
Djoko Widagdo, dkk, Op,Cit., h.187. 68
Hassan Alwi, dkk. (Tim Redaksi), Buku Praktis Bahasa Indonesia 1, (Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011), h. 159.
30
baru. Dalam pengajaran sastra yang baru, titik berat pengajaran sastra adalah
apresiasi sastra.69
Lebih lanjut Gove dalam Aminuddin menjelaskan bahwa
istilah apresiasi mengandung makna 1) pengenalan melalui perasaan atau
kepekaan batin dan 2) pemahaman serta pengakuan terhadap nilai-nilai
keindahan yang diungkapkan pengarang. Sementara itu, Squire dan Taba
dalam Aminuddin mengatakan bahwa apresiasi sebagai suatu kegiatan yang
melibatkan tiga unsur yaitu: 1) aspek kognitif, 2) aspek emotif, dan 3) aspek
evaluatif.70
Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelektual pembaca dalam
upaya memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif, seperti unsur
intrinsik dan ekstrinsik sebuah karya sastra. Aspek berikutnya adalah aspek
emotif. Aspek ini berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca sebagai
upaya dalam menghayati unsur-unsur keindahan sebuah teks sastra yang
dibaca. Sementara itu, aspek evaluatif merupakan aspek yang berhubungan
dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik-buruk, indah-tidak
indah, sesuai-tidak sesuai, serta sejumlah penilaian lain yang dimiliki secara
personal oleh pembaca. Setelah itu, pada tahap yang lebih lanjut apresiator
mampu meresponsi teks sastra yang dibaca sampai pada tahapan pemahaman
dan penghayatan sekaligus juga melakukan penilaian.71
Berdasarkan uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa apresiasi sastra merupakan kegiatan
menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan
pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan perasaan baik terhadap
karya sastra.
Aminuddin membagi kegiatan apresiasi sastra menjadi dua bentuk, yaitu
apresiasi sastra secara langsung dan secara tidak langsung. Apresiasi sastra
69
Sumardi, Panduan Apresiasi Cerpen untuk Siswa dan Mahasiswa, (Jakarta: Uhamka Press,
2012), h.21. 70
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2015),
h.34. 71
Ibid, h.34-35.
31
secara langsung adalah kegiatan membaca atau menikmati karya sastra berupa
teks maupun performansi secara langsung. Kegiatan membaca suatu teks
sastra secara langsung dapat terwujud melalui perilaku membaca, memahami,
menikmati, serta mengevaluasi teks sastra baik yang berupa cerpen, novel,
roman, naskah drama, maupun teks sastra yang berupa puisi. Selain melalui
teks, kegiatan apresiasi secara langsung dapat tercipta melalui kegiatan
mengapresiasi sastra pada kegiatan performansi misalnya ketika seseorang
melihat, mengenal, memahami, menikmati, ataupun memberikan penilaian
pada kegiatan membaca puisi, cerpen, pementasan drama, baik dalam radio,
televisi, maupun pementasan di panggung terbuka.72
Kegiatan apresiasi secara tidak langsung dapat ditempuh dengan cara
mempelajari teori sastra, membaca artikel yang berhubungan dengan
kesusastraan, baik di majalah maupun koran, mempelajari buku-buku maupun
esei yang membahas dan memberikan penilaian terhadap suatu karya sastra
serta mempelajari sejarah sastra.73
Dikatakan tidak langsung karena nilai
akhirnya bukan hanya mengembangkan pengetahuan seseorang tentang sastra,
tetapi juga meningkatkan kemampuan dalam rangka mengapresiasi suatu
karya sastra.
Berdasarkan manfaat yang diperoleh melalui kegiatan apresiasi karya
sastra tersebut, siswa diharapkan dapat mengambil nilai-nilai positif yang
terdapat dalam sebuah karya sastra. Selain meningkatkan minat baca siswa
terhadap karya sastra, kegiatan apresiasi sastra dapat meningkatkan cara
berpikir kritis. Hal itu didasarkan pada proses yang dilalui siswa ketika
memberikan penilaian terhadap sebuah karya sastra, siswa dituntut untuk
menganalisis dan memahami lebih jauh teks sastra maupun performansi karya
sastra. Selain itu, siswa dapat mengaitkan pengalaman membaca karya sastra
dengan situasi sosial masyarakat di lingkungannya maupun dengan fenomena-
72
Ibid, h.36. 73
Ibid, h.37.
32
fenomena lainnya, sehingga pembelajaran tersebut memberikan kesan dan
manfaat dalam kehidupan sehari-hari.
D. Penelitian Relevan
Peneliti telah melakukan penelusuran terkait penelitian terhadap lima
cerpen yang terdapat dalam kumpulan cerpen Panggilan Rasul. Akan tetapi
belum ada penelitian terhadap lima cerpen dalam kumpulan cerpen yang akan
diteliti. Adapun penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya terhadap
karya Hamsad Rangkuti adalah sebagai berikut.
Penelitian terkait karya Hamsad Rangkuti yang lain pernah dilakukan
oleh Satria Adi Andriyani, mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia,
Universitas Sebelas Maret tahun 2015 yang berjudul Analisis Wacana
Tekstual dan Kontekstual Kumpulan Cerpen Sampah Bulan Desember Karya
Hamsad Rangkuti serta Relevansinya sebagai Bahan Ajar di Sekolah
Menengah Pertama. Hasil penelitian menunjukkan struktur tekstual dan
kontekstual dari empat cerpen dalam kumpulan cerpen Sampah Bulan
Desember. Data yang menunjukkan struktur tekstual cerpen tersebut berupa
aspek gramatikal yang terdiri dari pengacuan (reference) sebanyak 82%,
penyulihan (substitution) 3%, pelepasan (elipsis) 1%, perangkai (conjunction)
14%, sedangkan aspek leksikal yang ditemukan berupa repetisi sebanyak
25%, sinonimi sebanyak 30 %, antonimi 11%, kolokasi 14%, hiponimi 1%,
dan ekuivalensi sebanyak 19%. Selain struktur tekstual, penelitian ini juga
menganalisi struktur kontekstual kumpulan cerpen Sampah Bulan Desember.
Berdasarkan analisis kontekstual yang dilakukan dalam penelitian ini,
ditemukan empat prinsip yang digunakan sebagai acuan untuk memahami
kumpulan cerpen Sampah Bulan Desember. Empat prinsip yang dimaksud
yaitu, prinsip penafsiran personal, prinsip penafsiran lokasional, prinsip
penafsiran temporal, dan penafsiran analogi.
33
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Amila Hillan, Mahasiswa
Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Sebelas Maret, tahun 2017 yang
berjudul Gaya Bahasa dan Diksi dalam Kumpulan Cerpen Kesetiaan Itu
Karya Hamsad Rangkuti serta Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa
Indonesia di Sekolah Menengah Atas. Hasil penelitian ini menunjukkan
adanya 12 jenis gaya bahasa yang mendominasi kumpulan cerpen Kesetiaan
Itu, dan gaya bahasa yang paling mendominasi adalah gaya bahasa simile.
Selain gaya bahasa dalam penelitian ini juga ditemukan empat jenis diksi yang
mendominasi kumpulan cerpen Kesetiaan Itu. Analisis diksi yang ditemukan
berdasarkan ketepatan diksi dan kata khusus yang digunakan oleh pengarang.
Berkaitan dengan karya Hamsad Rangkuti, belum ditemukan penelitian
tentang nilai-nilai kemanusiaan. Oleh sebab itu, penelitian selanjutnya adalah
penelitian tentang Nilai-nilai kemanusiaan dalam novel Bekisar Merah karya
Ahmad Tohari. Penelitian tersebut dilakukan oleh Kadek Adi Wira Permata, I
Wayan Rasna, dan I Gede Nurjaya, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, tahun 2014. Penelitian tersebut
dimuat dalam Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Undiksha,
Vol.2. No.1. Th.2014. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya nilai-nilai
kemanusiaan dalam novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari. Nilai
kemanusiaan yang ada dalam novel tersebut terdiri dari nilai hedonik, nilai
artistik, nilai etis, nilai kultural, nilai moral dan nilai religius.
Penelitian mengenai nilai-nilai kemanusiaan selanjutnya dilakukan oleh
Lizawati dan Ria Agustin. Penelitian tersebut berjudul Nilai Kemanusiaan
pada Tokoh dalam Cerpen Gadis karya Asma Nadia (Kajian Mimetik).
Penelitian ini dimuat dalam Jurnal Pendidikan Bahasa, IKIP PGRI
Pontianak,Vol. 6, No.2, Desember 2017. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa nilai kemanusian yang ditemukan pada tokoh dalam cerpen Gadis
karya Asma Nadia yaitu tidak memiliki rasa bersyukur, mencela orang lain,
34
dan mengumbar aib orang lain. Nilai-nilai itu pula yang kemudian didapati
peneliti tersebut dalam kehidupan nyata.
Berdasarkan keempat penelitian yang telah dilakukan membuat peneliti
perlu untuk melakukan penelitian dengan judul “Nilai Kemanusiaan dalam
Kumpulan Cerpen “Panggilan Rasul” Karya Hamsad Rangkuti” karena dua
penelitian terkait karya Hamsad Rangkuti meneliti dari segi kebahasaan
sedangkan peneliti melakukan penelitian dari segi kesusastraan. Sementara itu
dua penelitian tentang nilai kemanusiaan tersebut tidak mencakup keseluruhan
apa yang ada dalam diri manusia. Hal itu mendorong penulis untuk melakukan
penelitian secara lebih dalam mengenai nilai kemanusiaan dalam sebuah karya
sastra.
35
BAB III
PENGARANG DAN KARYANYA
A. Biografi
Hamsad Rangkuti yang bernama asli Hasjim Rangkuti merupakan
cerpenis legendaris Indonesia. Hamsad lahir pada tanggal 7 Mei 1943 di Titi
Kuning, Medan, Sumatera Utara. Anak keempat dari enam bersaudara ini
turut hidup berpindah-pindah bersama keluarganya. Terakhir kali ia tinggal di
kota Kisaran. Ayahnya bekerja sebagai penjaga malam pusat perbelanjaan. Ia
pun kerap menemani ayahnya berjaga. Untuk mengusir kantuk, ayahnya
banyak menuturkan cerita. itulah yang membekas dalam dirinya.1 Hal itu pula
kemugkinan yang membuat Hamsad mahir dalam membuat cerita pendek.
Hamsad mulai menulis cerpennya yang pertama tahun 1959. Cerpen itu
berjudul “Nyanyian Rambung Tua” yang kemudian dimuat dalam surat kabar
Indonesia Baru terbitan Medan. Saat menulis cerpen tersebut Hamsad baru
berusia enam belas tahun. Minat menulisnya baru tumbuh ketika ia duduk di
bangku Sekolah Menengah Pertama. Sepulang sekolah ia mampir ke halaman
Kantor Wedana di kotanya untuk membaca surat kabar mingguan Mimbar
Umum. Dari situlah Hamsad muda mulai mengenal karya-karya pengarang
dunia seperti Anton Chekov, Ernest Hemingway, Gorky, O. Henry, dan lain-
lain.2
Tahun 1965 Hamsad hijrah ke Jakarta. Di Jakarta ia bekerja sebagai
karyawan di kantor Persatuan Produser Film Indonesia yang dipimpin oleh
Usmar Ismail hingga tahun 1968. Ia sempat membantu sebuah majalah sastra,
namun majalah tersebut dilarang terbit karena memuat cerpen “Langit Makin-
1 Anonim, Hamsad Rangkuti Pengarang “Cemara”, dalam Harian Jayakarta edisi Kamis, 10
Maret 1998, diambil dari Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. h.9. 2 Ibid, h.9, kolom ke-2.
36
Mendung” karya Ki Pandji Kusmin. Kemudian, ia pindah bekerja pada
majalah Horison. Hamsad mulai bekerja di Horison sebagai karyawan biasa
hingga terakhir ia duduk sebagai Pemimpin Redaksi.3
Perjalanan kepenulisan Hamsad tidak selalu mulus, tahun 1960 ia hanya
mampu melahirkan tujuh cerpen yang ia anggap baik, dan setelah itu ia
sempat vakum dari dunia kepenulisan selama tujuh tahun. Setelah itu, tahun
1980 ia kembali menulis cerpen yang bahkan menjadi sebuah kejutan dari
sekian lama ia tidak menulis cerpen. Setelah mengikuti workshop penulisan
skenario film di tahun 1975, Hamsad merasa lebih percaya diri sehingga
mampu menghasilkan lima belas cerpen yang diberi judul “Lukisan
Perkawinan” (1981) meskipun pada awalnya kumpulan cerpen tersebut sulit
diterbitkan. Beberapa cerpen dalam kumpulan cerpen tersebut sempat
ditawarkan untuk dimuat dalam tiga majalah wanita, yaitu majalah Femina,
Kartini, dan Sarinah. Akan tetapi, ketiga majalah tersebut menolak beberapa
cerpen dengan alasan tertentu, bahkan ketika Hamsad menawarkan cerpen
“Sukri Membawa Pisau Belati” ke majalah Zaman dan Horison, cerpen
tersebut masih mendapatkan penolakan. Cerpen “Lukisan Perkawinan”pun
akhirnya diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan tahun 1981. Di tahun yang
sama kumpulan cerpennya yang berjudul “Cemara” diterbitkan oleh Grafiti
Press. Keberhasilan tersebut tidak luput dari peran teman-teman sastrawannya
yang banyak mengulas karya-karya Hamsad di berbagai media.4
Tahun 1980-an seakan fase produktivitas Hamsad Rangkuti dalam
menulis cerpen. Akan tetapi, hal itu tidak sesuai dengan harapan Hamsad,
karena setelah cerpen “Lukisan Perkawinan” dan “Cemara” diterbitkan,
cerpen-cerpen yang lahir sesudahnya tidak dilirik oleh para penerbit saat itu.
Perjalanan kepenulisan Hamsad terbayar ketika tahun 2002 kumpulan
3 Ibid, h.9.
4 Hamsad Rangkuti, Kumpulan Cerpen Lukisan Perkawinan, (Yogyakarta: Matahari, 2004),
h.vii-ix.
37
cerpennya yang berjudul “Bibir dalam Pispot” diterbitkan oleh Penerbit Buku
Kompas. Kumpulan cerpen “Bibir dalam Pispot” tersebut ternyata menuai
sukses dengan mendapatkan penghargaan Khatulististiwa Literary Award
tahun 2003. Penghargaan itu mengantarkan Hamsad pada mimpinya untuk
melihat karya pelukis dunia di museum kota London.5
Selain menulis cerpen, Hamsad juga menulis novel. Novel pertamanya
berjudul “Ketika Lampu Berwarna Merah”. Novel tersebut terpilih sebagai
pemenang sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta, yang
kemudian diterbitkan oleh Kompas pada 1981. Novel kedua Hamsad berjudul
“Klamono”. Novel tersebut menceritakan tentang ladang minyak di daerah
Sorong, Irian Jaya. Novel terakhirnya diberi judul “Hujan deras di Gunung”.
Novel tersebut menceritakan tentang penebangan pohon dengan setting di
daerah Kalimantan dan pedalaman Sumatera.6
Hamsad lebih dikenal sebagai cerpenis dibanding novelis, karena
karyanya kebanyakan berupa cerita pendek. Cerpen-cerpen Hamsad sangat
berbeda dengan cerpen-cerpen yang berkembang di zamannya. Achmad Rich
mengatakan bahwa cerpen-cerpen Hamsad lebih bersifat realis-imajis, yakni
gabungan antara kenyataan dalam kehidupan sehari-hari dengan fantasi atau
imaji yang diciptakannya sendiri. Selain itu, cerpen-cerpennya dianggap
konvensional karena ditampilkan dalam bentuk sederhana tanpa ada aksen-
aksen tertentu yang sedang berkembang pada masa itu. Hamsad tidak latah
oleh hadirnya cerpen-cerpen mutakhir yang cenderung absurd-ekstensialistis
bahkan sufistis, seperti karya Iwan Simatupang, Danarto, dan barangkali Putu
Wijaya. Hamsad dinilai sebagai seorang realis yang cakap memadukan
simpul-simpul imaji pada karya ciptanya.7
5 Ibid, h.x.
6 Anonim, Hamsad Rangkuti Pengarang “Cemara”, Op, Cit., h 9.
7 Ahmad Rich, Ulasan Lukisan Perkawinan, dalam arsip Pusat Dokumentasi Sastra H.B.
Jassin, 20 Mei 1985. h.1.
38
Hamsad banyak mengangkat masalah-masalah sosial yang terjadi di
sekitarnya. Hal itu merupakan bentuk kegelisahan-kegelisahan seorang
Hamsad Rangkuti terhadap masalah sosial tersebut. Selain itu, masalah-
masalah sosial tersebut dijadikan titik tolak dalam penciptaan karyanya yang
ia gunakan sebagai alat untuk menyampaikan kritik sosial baik terhadap
pemerintah maupun ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di tengah
masyarakat. Senada dengan hal itu, Rayani Sriwidodo dalam sebuah ulasan
terkait cerpen karya sahabatnya, ia berpendapat bahwa cerpen-cerpen Hamsad
selalu bertolak dari realitas problema khas negeri yang sedang berkembang,
lengkap dengan warna manusianya, masalah ekonomi sosialnya yang serba
kompleks sebagai bangsa muda dalam rangka mencari bentuk diri.
Dibandingkan menyajikan cerpen yang absurd dan sulit dipahami, Hamsad
justru menyusuri wilayah yang dimiliki masyarakat menengah kebawah. Ia
berbicara tentang kesedihan dan kesukaan masyarakat sekitar.8 Hal itu
dilakukan Hamsad dengan tujuan memberikan gambaran bahwa masyarakat di
sekitar tempat tinggalnya maupun masyarakat yang dilihatnya pada masa itu
bukanlah masyarakat yang sempurna. Gambaran ketidaksempurnaan itulah
yang ingin ia tunjukkan sehingga seseorang dapat berbuat sesuatu untuk
keadilan dan kebenaran.9
B. Pemikiran Hamsad Rangkuti
“Saya tergolong penulis berbakat alam”10
kalimat tersebut seakan
menjadi sebuah deklarasi kepengarangan seorang Hamsad Rangkuti. Cerpen-
cerpen Hamsad kebanyakan lahir dari peristiwa yang dilihatnya secara
8 Harianto Gede Panembahan, Bersenang-senang Membaca Cerpen Hamsad Rangkuti, dalam
kolom Serambi Budaya, Harian Berita Yudha edisi Kamis, 20 Juli 1989, h.5. Diambil dari Pusat
Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. 9 Hamsad Rangkuti, Op, Cit., h.xii.
10Hamsad Rangkuti, Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu,
(Yogyakarta: Diva Press, 2016), h.15.
39
langsung yang dikemas dengan imajinasi dan fantasinya sebagai seorang
pengarang.
Dunia cerpen Hamsad adalah dunia rata-rata pengarang Indonesia,
yakni kaum menengah bawah. Suasana kehidupan yang digambarkan adalah
dunia kelabu, penuh kesulitan ekonomi, dan penderitaan batin.11
Ada sesuatu
yang ingin dijangkau oleh Hamsad, dan sesuatu itu bukan hanya apa yang
diceritakan, tetapi di balik yang diceritakan itu. Hamsad menggunakan
cerpennya sebagai alat kritik sosial, tetapi kritik sosial itu tidak disampaikan
dengan marah-marah, bahkan disampaikan melalui humor yang segar, namun
menusuk dan tajam.12
Cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti menarik bukan karena eksentrisitas
dan eksperimentasi yang melandasinya, tetapi karena gayanya yang
konvensional. Hamsad mengadakan pembaharuan bukan pada bentuk, tapi ia
berupaya menyajikan bobot yang maksimal pada setiap hasil ciptaannya.13
Hamsad dengan cerpennya yang konvensional membedakan gaya
kepengarangannya dengan cerpen-cerpen yang beraliran absurd-ekstensialis-
dan sufistis. Hamsad merupakan seorang pengarang realis yang cakap
memadukan simpul-simpul imaji pada setiap karya ceritanya. Dialog-
dialognya yang naratif disajikan dengan data dan fakta yang lugas.14
Bagi
Hamsad, mengarang adalah berpikir. Menimbang-nimbang komposisi,
menyeleksi informasi, membangun unsur dramatik, dan memasukkan unsur-
unsur keindahan. Bukan berhanyut-hanyut dengan kata-kata atau menjadi
pedagang kata-kata.15
Walaupun demikian, cerpen-cerpen Hamsad di awal
11
Jakob Sumarjo, Lukisan Perkawinan: Hamsad Rangkuti, di dalam Majalah Horison. No. 4
Tahun 1983, h.199. Diambil dari Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. 12
Herman Ks., Tingkah Manusia dalam Cerpen Hamsad Rangkuti, dalam Harian Berita
Buana edisi Selasa, 20 Maret 1984, h.4 . Diambil dari Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. 13
Anonim, Hamsad Rangkuti Pengarang “Cemara”, Op, Cit., h.9. 14
Ahmad Rich, Ulasan Lukisan Perkawinan, Op Cit., h.1. 15
Anonim, Cerpenis Konvensional Nonpretensius Hamsad Rangkuti, dalam Harian Minggu
Pagi, Yogyakarta, edisi Minggu 12 Mei 1985. Diambil dari Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
40
kepengarangannya kurang mendapat apresiasi baik dari pihak penerbit
maupun para kritikus sastra. Pada awal kemunculannya, karya Hamsad dinilai
kurang matang dan terkesan kolot. Hal itu diungkapkan oleh Jakob Sumardjo
ketika menyampaikan ulasannya mengenai kumpulan cerpen “Lukisan
Perkawinan”(1981). Jakob mengatakan bahwa teknik yang digunakan
Hamsad sudah berhasil menarik perhatian pembaca, akan tetapi teknik yang
digunakan Hamsad dari segi kedalaman cerita kurang tercapai. Menurutnya
rata-rata cerpen Hamsad tidak banyak mengandung “misteri”, kurang
menggugah orang untuk mengembangkan sendiri tema yang diajukan
Hamsad.16
Itu pula yang kemungkinan menyebabkan nama Hamsad
tenggelam oleh nama-nama seperti Danarto, Iwan Simatupang, Putu Wijaya,
dan Kuntowijoyo dengan cerpen-cerpen eksperimentasinya.
Tahun 2003 menjadi tahun gemilang bagi seorang Hamsad, karena
karyanya di tahun 80-an berhasil diterbitkan dan mendapatkan penghargaan
Khatulistiwa Literary Award. Karya Hamsad yang mendapat penghargaan itu
merupakan kumpulan cerpen yang diberi judul “Bibir dalam Pispot”.17
Kumpulan cerpen tersebut terdiri dari 16 buah cerpen yang menceritakan
keadaan sosial masyarakat di sekitarnya. Permasalahan yang ditawarkan
dalam kumpulan cerpen “Bibir dalam Pispot”tersebut bukan hanya sekedar
bentuk kritik sosial, akan tetapi semua hal tentang tingkah laku manusia
dengan berbagai macam situasi yang melingkupinya.
Fenomena sosial dan kemanusiaan dalam cerpen-cerpen Hamsad
nyatanya bukan hanya dalam kumpulan cerpen “Bibir dalam Pispot”saja, akan
tetapi pada keseluruhan karyanya. Beberapa karya lainnya yang juga
menggambarkan fenomena sosial dan kemanusiaan juga tergambar dalam
kumpulan cerpen “Lukisan Perkawinan” (1981), “Cemara” (1981), novel
16
Jakob Sumarjo, Lukisan Perkawinan: Hamsad Rangkuti, di dalam Majalah Horison. No. 4
Tahun 1983, op.cit., h.199. 17
Hamsad Rangkuti, Op Cit., h. x.
41
“Ketika lampu Berwarna Merah” (1982),“Klamono” (1982),18
“Sampah Bulan
Desember” (2000), “Umur Panjang untuk Tuan Joyokoroyo” (2001), Senyum
“Seorang Jenderal” (2001), dan “Panggilan Rasul” (1986) yang diterbitkan
kembali sebagai kumpulan cerpen tahun 2017.19
Tema-tema cerpen Hamsad yang menampilkan kondisi sosial
masyarakat di sekitarnya bukan tanpa alasan. Dalam sebuah pengantar
Hamsad mengatakan bahwa sepanjang perjalanan hidupnya ia menyaksikan
begitu banyak kepalsuan dan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat, dan hal
itulah yang mendorongnya untuk mengekspresikan respons pribadi dalam
bentuk cerita pendek. Hamsad menambahkan bahwa ia merasa sangat dekat
dengan masyarakat karena ia merupakan salah satu dari anggota masyarakat
tersebut. Hamsad juga mengatakan bahwa salah satu cara yang dilakukannya
untuk mengetahui permasalahan yang terjadi di masyarakat adalah dengan
membaca koran dengan cermat. Selain itu, ia juga selalu bersentuhan
langsung dengan permasalahan yang ada di masyarakat melalui pergaulannya
dengan masyarakat setempat.20
Hamsad menjelaskan bahwa cerpen-cerpennya merupakan perpaduan
antara realitas nyata dan realitas baru dari kreativitas yang ia ciptakan.
Melalui cerita-cerita yang ditulisnya, ia ingin mengatakan bahwa kemiskinan
dapat menyebabkan orang berbuat nekat, tidak hanya kepada orang lain, tapi
juga kepada dirinya sendiri.21
18
Anonim, Hamsad Rangkuti Pengarang “Cemara”, Op Cit.,h.9. 19
Anonim, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/tokoh/3/Hamsad%20Rangkuti,
diunduh pada tanggal 24 Desember 2017, pukul 22.58 WIB.
20 Hamsad Rangkuti, Op Cit.,h.xi-xii.
21 Ibid, h.xii.
42
C. Sinopsis Kumpulan Cerpen “Panggilan Rasul”
1. Panggilan Rasul (1962)
Cerpen Panggilan Rasul menceritakan ketegangan yang terjadi ketika
ada seorang anak yang sedang dikhitan atau disunat rasul. Ketegangan
tersebut terjadi bukan tanpa alasan, melainkan karena peristiwa naas
pernah menimpa dua orang saudaranya yang meninggal setelah dikhitan.
Keluarga dan orang-orang kampung cemas menanti kabar yang keluar dari
kamar si anak yang tengah dikhitan.
Kecemasan yang luar biasa justru muncul dalam benak kedua orang
tua si anak yang tengah dikhitan, terutama sang ibu. Sang ibu yang
khawatir anak ketiganya akan mengalami nasib yang sama dengan kedua
kakak lelakinya terus menangis dan berdoa. Dalam situasi yang cemas itu
ibu si anak menyalahkan suaminya, ia menganggap apa yang dialami dua
orang puteranya adalah akibat dari perbuatan sang suami yang tak lain
merupakan seorang tuan tanah yang rakus, tamak, kikir, bahkan dicap
sebagai lintah darat. Sang istri mempercayai bahwa kematian dua anaknya
disebabkan oleh dendam warga kampung yang menitipkan racun pada
pisau dukun-dukun yang telah menyunat kedua anaknya. Walaupun
demikian, sang suami merasa telah berubah dan bahkan bernazar akan
memberikan separuh hasil panennya jika anak ketiganya selamat setelah
dikhitan. Kedua suami-istri tersebut kemudian memanjatkan doa untuk
keselamatan puteranya yang tengah dikhitan. Meskipun dari doa kedua
suami istri tersebut memiliki perbedaan. Jika sang suami memohon
keselamatan anaknya demi melanjutkan keturunan untuk mewarisi harta
kekayaannya, sedangkan sang istri tulus meminta keselamatan untuk
puteranya tanpa embel-embel duniawi. Cerita tersebut berakhir ketika
dokter menjelaskan bahwa proses khitan telah selesai dan kondisi si anak
baik-baik saja. Dokter menjelaskan secara logis mengenai proses khitan
43
yang menurutnya tidak ada hubungannya dengan racun yang ada di pisau
dukun-dukun sunat.
2. Karjan dan Kambingnya (1985)
Cerpen ini mengisahkan tentang seorang kuli pencabut rumput
bernama Karjan. Dikisahkan Karjan adalah seorang kuli pencabut rumput
yang tinggal di gubuk apak pinggiran rel kereta api. Suatu ketika ia
bertemu dengan teman lamanya yang bernama Parman. Pertemuan mereka
mengingatkan kenangan Parman ketika tinggal bersama di gubuk apak
pinggiran rel kereta api. Pertemuan singkat tersebut dimanfaatkan Parman
untuk memberikan seekor kambing sebagai hadiah atas pertemanan
mereka. Parman juga berharap agar teman-temannya, termasuk Karjan
dapat menikmati kambing guling seperti pesta kambing guling yang
pernah mereka lihat di kota.
Karjan membawa pulang kambing pemberian Parman. Akan tetapi,
ketika di tengah jalan, ia bertemu dengan seorang petugas yang
mencurigai kambing bawaan Karjan. Petugas mengira bahwa Karjan telah
mencuri seekor kambing. Susah payah Karjan menjelaskan dari mana
kambing itu berasal, namun petugas tetap tidak mempercayai keterangan
yang disampaikan Karjan. Petugas tersebut bersikeras mengatakan bahwa
kambing yang dibawa Karjan adalah hasil curian, karena petugas
berpendapat bahwa tidak mungkin seseorang yang miskin seperti Karjan
mempunyai teman yang mampu memberinya seekor kambing. Oleh sebab
itu, Karjan akhirnya ditangkap oleh petugas bersama dengan kambing
yang dibawanya.
3. Ayahku Seorang Guru Mengaji (2003)
Cerpen ini mengisahkan tentang sosok Ayah dari tokoh Aku yang
merupakan seorang guru mengaji. Ayah dikisahkan sebagai seorang yang
memiliki keimanan dan keyakinan akan ajaran agamanya. Perubahan
zaman menjadi penyebab berkurangnya jumlah murid-murid yang belajar
44
mengaji kepada tokoh Ayah. Perkembangan zaman menggantikan sosok
guru mengaji dengan kaset-kaset murottal yang diisi oleh qori-qoriah
ternama. Di samping itu, bukan hanya kehilangan murid, tokoh Ayah pun
harus kehilangan pekerjaan akibat kemajuan zaman. Ayah yang mulanya
bekerja sebagai pembuat kasur kapuk harus rela kehilangan pelanggan
karena adanya kasur karet keluaran pabrik. Hal itu pula yang membuat
istri dan anaknya meminta Ayah untuk menjadi pendoa di kuburan. Hal itu
sangat bertentangan dengan prinsip Ayah yang menganggap bahwa doa
dan ayat-ayat suci alquran hanya untuk dipelajari oleh manusia yang
masih hidup, bukan untuk orang yang telah meninggal. Akan tetapi,
karena desakan istri dan anaknya tokoh Ayah terpaksa menjadi orang yang
membacakan doa di kuburan. Setelah beberapa kali menjadi pendoa
ternyata nasib kembali membawanya menjadi seorang guru mengaji,
meskipun bukan seperti dulu kala, ketika santri-santri datang ke rumahnya
untuk mengaji. Sekarang justru Ayah yang dipanggil ke rumah muridnya
untuk mengajar mengaji. Dari kegemarannya menjadi seorang guru
mengaji itu pulalah yang mampu mengantarkannya menunaikan ibadah
haji. Cerpen Ayahku Seorang Guru Mengaji ditutup dengan kekaguman
sang anak kepada ayahnya yang tulus mengajarkan ilmu agama tanpa
mengharapkan balasan apapun, bahkan ia semakin kagum bahwa ayahnya
tidak kalah oleh perubahan zaman.
45
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Unsur Intrinsik
1. Tema
Tema merupakan gagasan dasar umum dalam sebuah cerita.
Tema juga memuat pesan dan tujuan pengarang dalam membuat
sebuah karya sastra. Ketiga cerpen dalam kumpulan cerpen “Panggilan
Rasul” memiliki tema yang berbeda-beda. Cerpen yang pertama yaitu
cerpen “Panggilan Rasul”. Cerpen tersebut mengangkat tema tentang
keserakahan seorang Tuan Tanah. Tema tersebut dikemas dalam
ketegangan yang terjadi saat anak ketiga Tuan Tanah sedang disunat.
Ketegangan tersebut terjadi karena sebelumnya, dua anak Tuan Tanah
tersebut meninggal dunia usai disunat. Tema besar dalam cerpen
tersebut dimunculkan melalui kepercayaan istri Tuan Tanah dan warga
desa yang menganggap kematian dua anak sebelumnya usai disunat
diakibatkan oleh ilmu dukun sunat yang telah dipesan oleh orang-
orang yang menaruh dendam atas perbuatan Tuan Tanah. Hal tersebut
tampak pada kutipan berikut.
“Kalau begitu, mengapa Syaifuddin meninggal pada hari
kedua, setelah dia disunat? Darah tak banyak keluar dari
lukanya. Syaifuddin kan juga penurut. Pendiam. Setengah
bulan hampir dia mengurung diri; karena kau ingatkan
kelakuan abangnya sehari sebelum disunat itu. Aku tidak
percaya! Aku tidak percaya, jika hanya oleh melompat-lompat
dan berkejaran setengah malam penuh. Aku tidak percaya itu.
Aku mulai yakin tentang desas-desus itu bahwa kau orang
yang tamak. Lintah darat. Inilah ganjarannya! Aku mulai
percaya desas-desus itu, tentang dukun-dukun yang mengilmui
luka di kemaluan anak-anak kita. Aku mulai yakin bahwa itu
karena kesombonganmu, kekikiranmu, angkuhmu, dan tak mau
46
tahu dengan mereka. Aku yakin, mereka menaruh racun di
pisau-pisau dukun itu.”1
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa istri Tuan Tanah mulai
mempercayai desas-desus warga tentang kematian kedua anaknya
yang diakibatkan oleh perilaku suaminya yang serakah, kikir, tamak
bahkan tidak peduli pada orang miskin. Perilaku itulah yang dianggap
sebagai pemicu dendam orang-orang terhadap Tuan Tanah hingga
menginginkan kematian anak-anaknya.
Keserakahan yang ingin disampaikan Hamsad tersamarkan oleh
ketegangan dan kecemasan yang terjadi ketika proses sunat rasul anak
bungsu Tuan Tanah berlangsung. Hal itu terjadi karena Tuan Tanah
dan keluarganya merasa khawatir apa yang pernah menimpa kedua
anaknya akan menimpa anak terakhir mereka yang sedang disunat. Hal
itu dapat dibuktikan pada kutipan berikut.
“Karton yang sebuah lagi dibersihkannya pula dengan ujung
jari-jarinya yang gemetar. Di antara bayang-bayang rambutnya
yang terjulai menimpa karton itu terbaca: Sayfuddin, anak,
kedua, disunat rasul tanggal 10 November 1957. Meninggal
dunia tanggal 11 November 1957.”2
“Oh masihkah akan ditulis juga kalimat-kalimat seperti ini,
dibelakang foto anakku yang ketiga itu nanti? Oh, Tuhanku!”
keluh wanita itu di antara isakannya.”3
Kedua kutipan tersebut menegaskan kekhawatiran yang
dirasakan istri Tuan Tanah berasal dari kematian anak sebelum anak
bungsunya yang meninggal dunia usai disunat. Hal itulah yang
kemudian menyamarkan tema besar dalam cerpen “Panggilan Rasul”.
1 Hamsad Rangkuti, Panggilan Rasul, (Yogyakarta: Diva Press, 2017), h.73-74.
2 Ibid, h.70.
3 Ibid, h.70
47
Selanjutnya adalah tema dalam cerpen “Karjan dan
Kambingnya”. Cerpen ini adalah cerpen yang ditulis Hamsad tahun
1985. Cerpen ini ditulis dua puluh tiga tahun setelah cerpen “Panggilan
Rasul”, akan tetapi kesederhanaan dan gaya bertutur cerpen ini tidak
jauh berbeda dengan cerpen sebelumnya. Cerpen ini mengangkat tema
tentang diskriminasi sosial. Tindakan diskriminasi muncul dari tokoh
Petugas Keamanan yang menilai dan membeda-bedakan seseorang
berdasarkan status sosialnya. Tindakan diskriminasi terjadi ketika
seorang kuli rumput bernama Karjan mendapatkan hadiah seekor
kambing dari seorang teman lamanya. Karjan yang sedang membawa
seekor kambing berpapasan dengan seorang petugas keamananan.
Petugas keamanan yang awalnya mencurigai Karjan yang sedang
membawa seekor kambing, akhirnya menuduh Karjan sebagai pencuri
seekor kambing. Petugas keamanan menuduh Karjan sebagai pencuri
seekor kambing berdasarkan identitas Karjan yang tak lain adalah
salah satu penghuni gubuk apak sebelah utara stasiun. Berdasarkan
keterangan yang disampaikan Karjan tersebut, petugas keamanan
menangkap Karjan dan kambingnya. Berikut adalah kutipan yang
menegaskan pernyataan tersebut.
“Kamu tinggal di mana?”4
“Di gubuk-gubuk apak di sebelah utara stasiun.”
“Kau penghuni gubuk-gubuk gelandangan itu?”5
“Benar, Pak.”6
“Kalau begitu kau orang miskin! Jawab yang benar. Dari mana
kambing ini kau peroleh?”7
4 Ibid, h.132.
5Ibid, h.133.
6 Ibid, h.133.
7 Ibid, h.133.
48
Keempat kutipan tersebut menggambarkan perilaku diskriminasi
sosial yang dilakukan oleh Petugas Keamanan. Hal itu terlihat dari
perkataan Petugas Keamanan yang mencurigai Karjan setelah
mendengarkan keterangan bahwa Karjan tinggal di gubuk apak
sebelah utara stasiun. Sikap petugas tersebut dikategorikan sebagai
tindakan diskriminasi karena membeda-bedakan perlakuan terhadap
seseorang berdasarkan status sosialnya. Tindakan diskriminasi
dilukiskan dengan jelas ketika Petugas Keamanan memutuskan untuk
menangkap Karjan atas dasar asumsi pribadi Petugas Keamanan yang
menganggap bahwa tidak mungkin seorang miskin mampu
memberikan seekor kambing pada Karjan. Hal itu dapat dibuktikan
pada kutipan berikut.
“Orang miskin yang telah menjadi kaya, adalah orang kaya.
Ingat! Dan ini perlu kau camkan: orang kaya, temannya adalah
orang-orang kaya. Orang miskin, temannya adalah orang-orang
miskin. Orang miskin tidak mungkin memberi seekor kambing
kepada orang miskin. Berdasarkan pertimbangan itu, saudara
kami tangkap!”8
Kutipan di atas menggambarkan perilaku diskriminasi yang
dilakukan Petugas Keamanan terhadap Karjan. Petugas Keamanan
membeda-bedakan manusia berdasarkan status sosialnya. Ia
menganggap bahwa orang dengan status sosial yang lebih tinggi akan
bergaul dengan orang yang memiliki status sosial tinggi pula.
Cerpen selanjutnya adalah cerpen “Ayahku Seorang Guru
Mengaji”. Cerpen ini mengangkat tema tentang keteguhan iman. Tema
tersebut dibangun melalui tokoh Ayah yang diceritakan narator
sebagai seorang guru mengaji, seperti yang tampak pada kutipan
berikut.
8 Ibid, h.134.
49
“Suara orang mengaji itu secara perlahan kurasakan seperti
mengukir masa kecilku. Ayah adalah seorang guru mengaji.
Murid-murid beliau datang dari sekitar rumah kami, anak-anak
para tetangga.”9
Tema besar dalam cerpen ini muncul melalui tokoh Ayah yang
tak lain adalah seorang guru mengaji. Ayah memiliki iman yang kuat.
Ia terus memiliki keyakinan bahwa ajaran agama harus disampaikan
kepada orang-orang yang membutuhkan. Hal itu digambarkan melalui
situasi yang ada dalam cerita. Ayah sempat kehilangan muridnya
akibat kemajuan zaman. Berikut adalah kutipan yang menegaskan
pernyataan tersebut.
“Kemudian keadaan telah menjadi lain begitu listrik masuk di
sepanjang jalan tempat kami tinggal. Semua rumah memasang
listrik. Semua rumah membeli televisi. Kulihat Ayah hanya
mengajar sepuluh murid di bawah cahaya lampu petromaks.
Murid-muridnya yang lain lebih tertarik menyimak acara di
televisi daripada menyimak ayat suci al-Qur’an di depan Ayah.
Murid yang sepuluh itu pun makin sehari ke sehari berkurang
satu-satu. Sampai pada saatnya tinggal aku sendiri yang
mengaji, walaupun sebenarnya aku telah khatam al-Qur’an tiga
kali. Dan ketika aku telah khatam al-Qur’an tiga kali, Ayah
sudah tidak menyimak aku membaca ayat-ayat suci itu. aku
hanya ingin menjaga agar Ayah tidak merasa kehilangan
seluruh muridnya.”10
Kemajuan zaman telah membuat Ayah kehilangan muridnya,
akan tetapi hal itu tidak mengubah keyakinan Ayah terhadap
prinsipnya sebagai seorang guru mengaji. Ayah terpaksa menjadi
pembaca doa di pemakaman karena ia sudah kehilangan murid dan
pekerjaanya. Walaupun demikian, ia tetap memegang teguh prinsipnya
tentang mengamalkan ajaran agama. Hal itu dapat dilihat pada kutipan
berikut.
9 Ibid, h.21.
10 Ibid, h.24.
50
“Aku tidak diam begitu saja setelah membaca Yaasiin dan doa
bagi mereka. Aku nasihati mereka. Aku katakan semua ini
kulakukan karena terpaksa. Ayat suci bukan untuk orang yang
telah mati. Tetapi untuk petujuk bagi orang yang masih hidup.
Ayat itu dibaca dan diamalkan, menjadi pedoman bagi kita dan
bekal untuk menolong hidup setelah mati. Maka ku katakan
kepada mereka agar mempelajari agama serta
mengamalkannya. Selalu setiap selesai membaca doa, aku
berkata begitu kepada mereka. Aku adalah guru agama. Aku
mengajarkan agama dan membaca ayat suci al-Qur’an kepada
murid-muridku. Tetapi, karena murid-murid tidak ada lagi
yang hendak menuntut ilmu agama di tempatku, maka aku
terpaksa membacakan ayat-ayat dan segala doa di makam ini
untuk mereka. Siapa yang mendengar? Orang yang meminta.
Kalian inilah. Kalian menganggap ayat-ayat itu sebagai
pelengkap waktu berziarah ke makam sanak keluarga. Bukan
semacam kebutuhan untuk penerang pada jalan hidup di dunia
dan bekal untuk di akhirat.11
Kutipan di atas menggambarkan kegigihan Ayah dalam
mengajarkan agama. Meskipun Ayah tidak menjadi seorang guru
mengaji, ia tetap mengajarkannya dengan cara yang berbeda. Ayah
yang menjadi pembaca doa di pemakaman sekaligus mengajarkan ilmu
agamanya melalui ayat-ayat alquran yang dibacakan. Selain
membacakan ayat suci alquran, Ayah juga memberikan nasihat tentang
pentingnya mempelajari ayat suci alquran sebagai petunjuk untuk
menjalani kehidupan.
Beberapa permasalahan yang diangkat dalam kumpulan cerpen
“Panggilan Rasul” tersebut memiliki kesamaan, yaitu beberapa nilai
kemanusiaan muncul sebagai bentuk identitas yang melekat dalam diri
manusia. Nilai kemanusiaan yang dimaksud yaitu manusia dan
pandangan hidup, manusia dan penderitaan, manusia dan harapan,
manusia dan kegelisahan, manusia dan keadilan, serta manusia dan
cinta kasih. Nilai kemanusiaan itulah yang kemudian menjadi
11
Ibid, h.33.
51
representasi seorang manusia, baik secara sikap, mental, emosional
dan moral.
2. Tokoh dan Penokohan
Nilai kemanusiaan dalam kumpulan cerpen “Panggilan Rasul”
muncul melalui tokoh-tokoh yang ada dalam cerita. Tokoh diartikan
sebagai pelaku cerita atau pengemban cerita, sedangkan penokohan
merupakan pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita.
Tokoh dan penokohan yang akan diuraikan dalam cerpen
“Panggilan Rasul” sebagai berikut.
a. Lasuddin (Anak Bungsu Tuan Tanah)
Lasuddin merupakan tokoh utama dalam cerpen ini, karena
seluruh pusat cerita berpangkal dan berakhir pada sosok Lasuddin.
Meskipun tokoh Lasuddin tidak memiliki dialog sama sekali, akan
tetapi narator memusatkan cerita pada proses sunat rasul yang
sedang dialami oleh Lasuddin. Kisah dibuka dengan situasi yang
menegangkan ketika dokter spesialis mulai melakukan proses
sunat, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut.
“Menitik air mata anak sunatan itu ketika jarum bius yang
pertama menusuk kulit yang akan segera dipotong.
Lambat-lambat obat bius yang didesakkan dokter spesialis
dari dalam tabung injeksi menggembung di sana. Dan anak
sunatan itu menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan
sakit yang perih, sementara dagunya ditarik ke atas oleh
pakciknya, agar tidak melihat kecekatan tangan dokter
spesialis itu menukar-nukar alat bedah yang begitu sering
dipraktikkan. Kemudian kecemasan makin jelas tergores di
wajah anak sunatan itu. Dia mulai gelisah.”12
Karakter Lasuddin diceritakan melalui metode showing, yakni
metode yang mengandalkan pemaparan watak tokoh dialog
12
Ibid, h.67.
52
maupun tindakan tokoh. Hal itu dapat dilihat pada yang
menggambarkan bahwa Lasuddin merupakan anak pemberani,
meskipun ia merasa kesakitan ketika disuntikkan obat bius oleh
dokter sunat, namun ia masih mencoba menahannya. Selain
pemberani, Lasuddin juga digambarkan sebagai anak yang
penurut. Hal itu disampaikan oleh tokoh lain, seperti yang tampak
dalam kutipan berikut.
“Tidak. Mudah-mudahan tidak. Lasuddin anak penurut,
tidak seperti abang-abangnya. Sungguh dia anak penurut.
Aku masih ingat almarhum Kamaruddin, tidak mau
mengindahkan kata-kataku. Jangan melompat-lompat dan
banyak lari-larian, sehari sebelum disunat. Tapi ia tidak
mengindahkannya. Terus saja berlarian bersama teman-
temannya. Dia seperti lupa akan disunat esok paginya.
Akibatnya darahnya turun. Dan dukun pun tak mampu
mengatasi.”13
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Lasuddin merupakan
anak yang penurut. Karakter Lasuddin tersebut disampaikan oleh
ibunya. Hal itulah yang kemudian disebut dengan teknik pelukisan
tokoh melalui metode showing.
b. Ibu (Istri Tuan Tanah)
Istri Tuan Tanah digambarkan sebagai sosok yang mudah
dipengaruhi. Hal itu terlihat dari kepercayaannya terhadap ramalan
dukun-dukun mengenai dua orang anaknya yang meninggal
setelah disunat. Berikut adalah kutipan yang mempertegas
penokohan istri Tuan Tanah.
“Aku masih saja khawatir. Ramalan dukun-dukun itu mulai
lagi mengganggu pikiranku. Kau juga mulai diganggu
ramalan mereka?”14
13
Ibid, h.73. 14
Ibid, h.71.
53
“Aku masih ingat, mereka menyebarkan ke seluruh
kampung ramalan-ramalan itu. Benarkah akan terjadi
seperti yang mereka katakan, bahwa semua keturunan kita
akan musnah di ujung pisau sunat? Yakinkah kau akan
itu?”15
Kutipan di atas menegaskan bahwa karakter Istri Tuan Tanah
mudah dipengaruhi. Ia bahkan meyakini ramalan-ramalan dukun
yang mengatakan bahwa kematian anaknya disebabkan oleh pisau
sunat. Ia percaya bahwa ada dukun-dukun yang mengilmui pisau
sunat anaknya karena diminta oleh orang-orang yang dendam atas
perilaku suaminya. Hal itu dibuktikan dengan kutipan di bawah
ini.
“…. Inilah ganjarannya! Aku mulai percaya desas-desus
itu, tentang dukun-dukun yang mengilmui luka di
kemaluan anak-anak kita. Aku mulai yakin bahwa itu
karena kesombonganmu, kekikiranmu, angkuhmu dan tak
mau tahu dengan mereka. Aku yakin, mereka menaruh
racun di pisau dukun-dukun itu.”16
Selain mudah dipengaruhi, istri Tuan Tanah juga memiliki sifat
mudah mengeluh. Ia lebih memilih mengeluh daripada berdoa
untuk keselamatan anak bungsunya yang sedang disunat. Hal itu
dapat dibuktikan dalam kutipan berikut.
“Oh masihkah akan ditulis juga kalimat-kalimat seperti ini,
dibelakang foto anakku yang ketiga itu nanti? Oh,
Tuhanku!” keluh wanita itu di antara isakannya.”17
“Oh Tuhan, cukuplah anak yang dua ini Engkau ambil
ketika sedang ku sucikan. Mengapa Engkau coba hamba-
Mu seberat ini? Lanjutkan keturunan kami, ya Allah. Oh
15
Ibid, h.72. 16
Ibid, h.74. 17
Ibid, h.70
54
anak-anakku yang malang…. Mengapa mesti mereka yang
menanggung semua ini?”18
Kutipan tersebut membuktikan bahwa istri Tuan Tanah
memiliki sikap mudah mengeluh dan pesimis. Meskipun pada
kutipan di atas istri Tuan Tanah memanjatkan doa kepada Tuhan,
akan tetapi ia juga mengeluhkan cobaan yang pernah
menimpanya.
c. Tuan Tanah
Tuan Tanah dalam cerpen digambarkan sebagai sosok yang
tamak, rakus, kikir, dan angkuh, bahkan tidak peduli pada
kesulitan orang lain. Ia hanya peduli pada harta yang ia miliki.
Pelukisan tokoh Tuan Tanah dalam cerpen ini memiliki kesamaan
dengan pelukisan tokoh Lasuddin. Tuan Tanah dikisahkan dengan
metode showing, yakni dilukiskan melalui dialog tokoh lain, yaitu
melalui dialog yang disampaikan oleh istri Tuan Tanah. Hal itu
dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
“Kau terlambat. Mengapa baru dalam bulan-bulan ini kau
lakukan semua itu? Bagi mereka, mungkin itu belum
cukup. Mereka minta lebih banyak, memusnahkan seluruh
keturunan. Menginginkan kematian Lasuddin juga. Oh
apakah anak yang tak berdosa itu akan mengulang nasib
abang-abangnya? Hanya buat menebus sikapmu yang kikir,
tamak, lintah darat. Oh, malangnya. Kejam sekali dendam-
dendam itu.”19
Pada kutipan di atas, Hamsad berusaha menggambarkat sifat
dan karakter tokoh Tuan Tanah melalui tokoh Istri, bahkan dalam
beberapa dialog, Istri mengungkapkan bahwa kematian kedua
anaknya disebabkan oleh perilaku suaminya yang tamak, kikir, dan
rakus layaknya seorang lintah darat. Di samping serakah, Tuan
18
Ibid, h.70 19
Ibid, h.74.
55
Tanah juga memiliki sifat sombong. Ia merasa bahwa apapun bisa
dilakukan dengan menggunakan kekayaan yang ia miliki. Hal itu
terdapat dalam kutipan berikut.
“Kalau benar begitu, apalagi yang sekarang mereka
sakitkan hati? Aku telah lama mengubah sikapku. Tiap
kemalangan, aku datangi. Tiap derma, aku sumbang.
Tiap kesusahan, aku tolong. Tidak seorang dari mereka
yang tidak kuundang dalam pesta tadi malam. Kau lihat
kan, tiga teratak itu penuh mereka banjiri. Aku yakin
mereka telah menerimaku, memaafkanku.”20
Pada kutipan tersebut Tuan Tanah merasa bahwa kejadian yang
menimpa dua anak laki-laki sebelumnya tidak akan menimpa anak
bungsunya yang sedang disunat. Ia merasa bahwa dengan
mengubah sikap dan menyumbangkan sebagian hartanya kepada
warga, maka ia akan dimaafkan dari segala keburukan yang ia
lakukan. Walaupun ia merasa telah mengubah sikap, akan tetapi
kesombongan dan kecintaannya terhadap harta masih tertanam
dalam dirinya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Mudah-mudahan mereka tidak melakukan itu. Oh,
Tuhanku, hanya dia yang kuharap melanjutkan
keturunanku. Pewaris harta yang sebanyak ini.”21
Kutipan tersebut menegaskan bahwa perilaku Tuan Tanah
sebenarnya sulit untuk diubah karena ketika ia berdoa pun tetap
saja mengkhawatirkan dan menyombongkan hartanya. Selain
sombong, Tuan Tanah juga digambarkan sebagai sosok yang
penakut. Ia tidak ikut menyaksikan proses sunat Lasuddin, ia
hanya mengintip dan menunggu di kamar sebelah meski
kecemasan melanda pikirannya. Ia takut apa yang dialami kedua
20
Ibid, h.74. 21
Ibid, h.75.
56
anaknya akan dialami juga oleh anak bungsunya. Hal itu dapat
dibuktikan pada kutipan berikut.
“Dokter baru menjepit ujung kulitnya. Aku tak sanggup
melihatnya. Beda benar dengan cara dukun sunat. Tapi kau
tak perlu khawatir, kuatkan hatimu. Bukankah katamu dia
seorang yang ahli.”22
“Mengapa Lasuddin abang tinggalkan?”23
“Aku tidak kuat melihatnya. Perutku tiba-tiba saja memulas
saat dokter menjepit dan mengangkat pisau yang mengilap,
segera akan memotong kulit ujung itu. Aku mau ke jamban
dulu.”
Pada kutipan di atas terlihat bahwa Tuan Tanah tidak sanggup
melihat kondisi anaknya secara langsung. Ia berusaha meyakinkan
istrinya bahwa anaknya akan baik-baik saja, akan tetapi ia sendiri
justru tidak melihat prosesnya secara langsung.
Selain tokoh utama, dalam cerpen “Panggilan Rasul” juga
terdapat beberapa tokoh tambahan seperti Pak Cik (Paman
Lasuddin), Dokter Sunat, dan warga kampung.
Selanjutnya tokoh dan penokohan dalam cerpen “Karjan dan
Kambingnya” akan diuraikan sebagai berikut.
a. Karjan
Karjan merupakan tokoh utama dalam cerpen “Karjan dan
Kambinnya”. Karjan digambarkan sebagai sosok pekerja keras dan
lugu. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Karjan pun mulai merumput dalam panas terik sinar matahari.
Dia mengangkat batu-batu yang gugur. Mencabut rumput-
rumput bila sulit ditajak dengan mata cangkul dan istirahat
kalau dia capek. Matahari membakar rumput-rumput yang
telah dicabut dan cepat menjadi kering. Sebentar-sebentar
22
Ibid, h.72. 23
Ibid, h.72.
57
kereta api melintas datang dan pergi. Kadang-kadang kereta api
berselisih pada rel ganda. Suara kedua kereta api itu
memekakkan, menerbangkan debu ke daun-daun di kedua
tepinya.”24
“Aku belum dapat menandaimu. Tapi pasti kau aku kenal.
Tidak ada orang yang kenal kepadaku kalau aku tidak
mengenalnya. Tolong ingatkan aku! Aku belum
menandaimu!”25
“Parman! Ya Parman yang tidak hentinya menggaruk!”26
Kutipan pertama membuktikan bahwa sosok Karjan
merupakan sosok pekerja keras. Ia tetap melakukan pekerjaannya
meski harus tersengat teriknya matahari dan mendengar kerasnya
suara kereta api yang melintas di rel sebelahnya. Ia melakukan
pekerjaannya dengan sepenuh hati, sedangkan kutipan yang kedua
dan ketiga menggambarkan keluguan Karjan ketika bertemu
dengan sahabat lamanya Parman. Karjan yang tak mengenali
Parman, secara terang-terangan meminta Parman untuk
mengingatkan dirinya yang belum mengenali sosok Parman.
Setelah Karjan mengingat siapa Parman, untuk meyakinkan
dirinya ia menanyakan keburukan Parman yang suka menggaruk
langsung kepada Parman. Selain pekerja keras dan lugu, Karjan
juga digambarkan sebagai sosok yang jujur dan dan pantang
menyerah, seperti yang tampak pada kutipan di bawah ini.
“Kamu tinggal di mana?”27
“Di gubuk-gubuk apak di sebelah utara stasiun.”
“Kau penghuni gubuk-gubuk gelandangan itu?”
24
Ibid, h.127. 25
Ibid, h.128. 26
Ibid, h.129. 27
Ibid, h.132.
58
“Benar, Pak.”
“Kalau begitu kau orang miskin! Jawab yang benar. Dari mana
kambing ini kau peroleh?”28
“Parman tinggal bersama kami beberapa tahun lalu di gubuk-
gubuk apak ini. Dia bosan bergelandangan di Jakarta dan
pulang ke kampungnya. Dia beternak kambing dan dialah yang
memberi kambing ini.”29
Kutipan di atas menegaskan bahwa Karjan memiliki sifat
jujur dan pantang menyerah. Ia tetap menyampaikan asal-usul dan
identitas dirinya kepada petugas keamanan yang mencurigai
dirinya. Ia pun berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan bahwa
kambing yang sedang dibawanya merupakan pemberian seorang
sahabat lama yang pernah tinggal di gubuk apak bersamanya.
b. Parman
Parman merupakan teman lama Karjan yang pernah tinggal
bersama di gubuk apak sebelah utara kawasan rel kereta api.
Parman digambarkan sebagai sosok yang baik, penuh kepedulian
dan setia kawan. Parman yang diceritakan pernah tinggal bersama
Karjan dan teman-temannya di gubuk apak nyatanya tidak pernah
melupakan apa yang telah dilaluinya bersama Karjan dan teman-
teman, meski ia tidak lagi tinggal di gubuk itu. Hal itu dapat
dibuktikan dalam kutipan di bawah ini.
“Bagaimana keadaan teman-teman?”30
“Belum juga kau diusulkannya menjadi pegawai tetap?”31
“Aku meneruskan usaha mertuaku. Beternak kambing. Aku
juga berkeliling membeli kambing-kambing penduduk dan
28
Ibid, h.133. 29
Ibid, h.133. 30
Ibid, h.129. 31
Ibid, h.130.
59
membawanya ke Jakarta. Ada oleh-oleh untuk kalian. Aku
masih saja tetap ingat bagaimana kita mengintip pesta teman
orang gedean di Jalan Proklamasi. Kita menelan ludah melihat
kambing guling itu.”32
“Kalian boleh makan kambing guling di malam Lebaran ini.
Aku telah siapkan satu ekor kambing untuk kalian.”33
Kutipan di atas menegaskan penokohan Parman, meskipun
tidak lagi tinggal bersama Karjan dan teman-teman, Parman tetap
menanyakan keadaan teman-temannya. Ia juga sangat peduli
kepada nasib Karjan yang tak kunjung diangkat sebagai buruh
tetap. Parman bahkan mengingat kenangan tentang keinginan
mereka menyantap kambing guling karena melihat sebuah pesta.
Kenangan seperti itu mungkin bagi sebagian orang tidak begitu
penting, tapi bagi Parman yang peduli dan memiliki rasa setia
kawan yang tinggi, hal itu sangat membekas dalam hatinya.
Kenangan itulah yang membuat Parman memberikan seekor
kambing kepada Karjan untuk dijadikan kambing guling sebagai
menu lebaran. Hal itu pula kemudian yang menjadi pemicu utama
permasalahan yang terjadi di antara Karjan dan petugas keamanan.
c. Petugas Keamanan
Petugas keamanan dalam cerpen ini digambarkan sebagai
sosok yang sombong, keras kepala, dan penuh rasa curiga. Hal itu
dapat dibuktikan dalam kutipan di bawah ini. Gagasan mengenai
ketidakadilan muncul melalui tokoh Petugas Keamanan. Hal itu
terlihat dari sikap Petugas Keamanan yang membeda-bedakan
seseorang berdasarkan status sosialnya.
“Kalau begitu kau orang miskin! Orang miskin temannya
adalah orang miskin! Jawab yang benar. Dari mana kambing
itu diperoleh.”34
32
Ibid, h.130. 33
Ibid, h.130.
60
“Kau suruh aku percaya pada sesuatu yang tidak mungkin?
Tinggalkan kambing itu.”35
“Semakin tidak mungkin. Sebuah kereta api berhenti di tengah
perjalanannya hanya untuk menurunkan seekor kambing
kepadamu? Sungguh tidak masuk akal!”36
“Cukup! Jangan teruskan bualmu. Pencuri sangat pandai
berbohong. Sekarang tinggal bersama kambing itu di gardu!37
Empat kutipan di atas menegaskan penokohan Petugas
Keamanan. Kutipan pertama menggambarkan keangkuhan Petugas
Keamanan yang memandang sebelah mata status sosial Karjan
sebagai orang miskin, sedangkan kutipan kedua dan ketiga
menggambarkan sifat keras kepala Petugas Kemanan yang tetap
tidak percaya pada keterangan yang disampaikan Karjan. Ia tidak
percaya bahwa kambing yang dibawa Karjan merupakan
pemberian seseorang yang turun dari sebuah kereta yang berhenti
di tengah perlintasan. Selanjutnya, kutipan yang terakhir
menegaskan sifat Petugas Keamanan yang penuh dengan rasa
curiga, bahkan ia tetap meyakini bahwa Karjan merupakan seorang
pencuri yang sedang membawa kambing hasil curiannya.
Selanjutnya tokoh dan penokohan dalam cerpen “Ayahku
Seorang Guru Mengaji” akan diuraikan sebagai berikut:
a. Ayah (Pak Achmad)
Ayah merupakan tokoh utama dalam cerpen ini. Hal itu
didasarkan pada pusat cerita yang dibebankan pada sosok Ayah
dari awal hingga akhir, bahkan seperti yang telah dijelaskan di
34
Ibid, h.133. 35
Ibid, h.133. 36
Ibid, h.133. 37
Ibid, h.134.
61
atas bahwa, dari sosok Ayahlah tema keteguhan iman itu
muncul. Ayah digambarkan sebagai sosok yang religius, tegas,
teguh pendirian, dan mudah tersinggung. Kereligiusan dan
ketegasan ayah dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
“…Bila aku melintas di ruang depan setelah
menggantungkan lampu petromaks yang baru ku pompa
anginnya, beliau dari tikar sembahyang itu akan melihat
kepadaku. Aku dapat membaca lirikan itu: ambil air
wudhu, shalat, ambil al-Quran dan baca. Ikut mengaji di
beranda! Maka, aku yang suka berpergian saat anak-anak
para tetangga itu mengaji, seperti kucing kehujanan aku
diam-diam pergi mengambil wudhu, shalat maghrib, lalu
duduk di ruang depan dengan kitab suci, bercampur
dengan anak-anak para tetangga. Barulah kemudian Ayah
muncul di ruang depan.”38
“…Sudah saatnya kau ikut mengajar mengaji. Kalau kau
tidak mau mengikuti jejakku, siapa yang akan mengajarkan
ajaran Ilahi itu kepada anak-anak yang baru tumbuh? Kau
harus menjadi guru mengaji. Ajari mereka! Tidak semua
anak-anak itu berkesempatan masuk sekolah madrasah.
Mereka siang sekolah di sekolah umum, malam harinya
mengaji. Maka, orang-orang seperti kitalah yang mengajari
mereka.”
Kutipan di atas menegaskan pelukisan karakter tokoh
Ayah. Kutipan pertama menggambarkan karakter Ayah yang
tegas. Hal itu terlihat dari cerita yang disampaikan tokoh Aku.
Tokoh Aku (Hayim) menceritakan bahwa hanya dengan lirikan
ayahnya (Pak Achmad) ia langsung mengerti apa yang
dimaksud oleh ayahnya. Hal itu menunjukkan bahwa Ayah
merupakan sosok yang tegas dalam mendidik anaknya,
terutama dalam hal agama. Sementara itu, kutipan kedua
menunjukkan sikap religius Ayah yang menginginkan anaknya
38
Ibid, h.21-22.
62
untuk mengikuti jejaknya sebagai seorang guru mengaji.
Menurut Ayah, orang yang mengerti agama seperti dia
memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mengajarkan
ilmunya kepada orang lain yang belum mengerti tentang
agama, terutama pada anak-anak kecil.
Selain memiliki sikap tegas dan religius Ayah juga
digambarkan sebagai sosok yang memiliki pendirian yang
teguh tetapi juga mudah tersinggung. Ayah yang awalnya
merupakan seorang guru mengaji bagi anak-anak tetangganya
harus rela kehilangan murid-muridnya karena kemajuan
zaman. Ia juga harus kehilangan pekerjaannya sebagai pembuat
kasur kapuk karena kehadiran kasur busa yang juga merupakan
dampak perubahan zaman. Hal itu pula yang membuat anak
dan istrinya membujuk agar Ayah mau menjadi pembaca doa
di makam. Sindiran demi sindiran yang disampaikan istri dan
anaknya membuat Ayah merasa tersinggung. Hal itu terlihat
pada kutipan berikut.
“Mulai pula kau ikut-ikutan menyindirku. Cukuplah ibumu
saja. Jangan kau ikut-ikutan.”39
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Ayah merasa
tersinggung atas sindiran-sindiran istri dan anaknya yang terus
membujuk untuk beralih profesi menjadi pembaca doa di
pemakaman. Akan tetapi Ayah tetap memiliki pemikiran yang
berbeda dari anak dan istrinya. Ayah yang awalnya tidak
menuruti saran dari anak dan istrinya, ia akhirnya menuruti
saran istri anaknya untuk menjadi pembaca doa di pemakaman,
39
Ibid, h.29.
63
meskipun niat dan tujuannya sangat berbeda dengan istri dan
anaknya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Aku tidak diam begitu saja setelah membaca Yaasiin dan
doa bagi mereka. Aku nasihati mereka. Aku katakan semua
ini kulakukan karena terpaksa. Ayat suci bukan untuk
orang yang telah mati. Tetapi untuk petujuk bagi orang
yang masih hidup. Ayat itu dibaca dan diamalkan, menjadi
pedoman bagi kita dan bekal untuk menolong hidup setelah
mati. Maka ku katakan kepada mereka agar mempelajari
agama serta mengamalkannya. Selalu setiap selesai
membaca doa, aku berkata begitu kepada mereka. Aku
adalah guru agama. Aku mengajarkan agama dan membaca
ayat suci al-Qur’an kepada murid-muridku. Tetapi, karena
murid-murid tidak ada lagi yang hendak menuntut ilmu
agama di tempatku, maka aku terpaksa membacakan ayat-
ayat dan segala doa di makam ini untuk mereka. Siapa
yang mendengar? Orang yang meminta. Kalian inilah.
Kalian menganggap ayat-ayat itu sebagai pelengkap waktu
berziarah ke makam sanak keluarga. Bukan semacam
kebutuhan untuk penerang pada jalan hidup di dunia dan
bekal untuk di akhirat.40
Kutipan di atas membuktikan kegigihan dan keteguhan
pendirian yang dimiliki Ayah. Sikap itu pula yang kemudian
menjadi tema utama dalam cerpen ini. Ayah digambarkan
sebagai seorang guru mengaji yang tidak tergerus oleh
kemajuan zaman, ia masih memiliki keteguhan dan keyakinan
mengenai pentingnya menebar kebaikan dengan mengajarkan
ilmu agama. Ia tetap mengajarkan ilmu agama seperti ketika ia
menjadi seorang guru mengaji, tetapi dengan cara yang sangat
berbeda. Ia harus menjadi pendoa di makam sekaligus
berdakwah dan mengajarkan ilmu agama seperti yang
diyakininya.
40
Ibid, h.33.
64
b. Aku (Hayim)
Aku (Hayim) dalam cerpen ini bertindak sebagai tokoh
tambahan sekaligus narator. Aku (Hayim) memiliki
karakter yang hampir sama dengan ibunya. Aku (Hayim)
berpikiran realistis dan perhitungan. Hal itu dapat dilihat
pada kutipan berikut.
“Tetapi, Ayah,” kataku. “Ayah dibayar berapa oleh
orang tua mereka? Semau mereka saja, bukan?
Untuk membeli minyak tanah sebulan saja tidak
cukup.”41
“Tetapi, para mubaligh kaya raya. Sekarang sudah
tidak saatnya bersikap seperti itu, Ayah. Semua
orang disekitar tempat kita ini sudah memasukkan
listrik ke rumah mereka. Apa salahnya kalau Ayah
meminta kesediaan orang tua murid-murid Ayah
untuk memasukkan listrik ke rumah kita? Aku capek
memompa listrik.42
Kedua kutipan di atas menegaskan karakter Aku yang
sangat realistis dalam memandang kehidupan. Tokoh Aku
memiliki pandangan bahwa segala sesuatu yang dilakukan
harus mendapat imbalan atau balasan. Selain realistis, Aku
juga memiliki watak yang sama dengan ibu yaitu suka
menyindir. Aku secara tidak langsung menyindir Ayah,
seperti yang tampak pada kutipan berikut.
“Kasur yang ku buat, kapuknya tidak tanggung-
tanggung.”43
“Itu baru kasur ya, Yah!”44
41
Ibid, h.23. 42
Ibid, h.23.` 43
Ibid, h.26. 44
Ibid, h.26.
65
Kutipan tersebut membuktikan bahwa Aku memiliki
sifat yang sama dengan Ibu, yaitu suka menyindir. Pada
kutipan tersebut Aku sedang menyindir kasur buatan Ayah
yang mulai tergantikan dengan adanya kasur busa keluaran
terbaru. Ayah mengakui kelemahan kasur buatannya
dibanding kasur busa keluaran pabrik, akan tetapi Aku
yang tak lain adalah anaknya masih saja mengolok-olok hal
itu.
c. Ibu
Ibu digambarkan seperti sosok ibu-ibu pada umumnya
yang berpikir realistis untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Ibu memiliki karakter suka menyindir dan iri hati. Hal itu
dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Lalu kapan orang datang lagi memesan kasur
buatanmu? Mana ucapan-ucapan memuji yang
diucapkan mereka waktu memesan kasur buatanmu
itu? ‘Malam pengantin terasa hambar kalau tidak
tidur di kasur buatan Pak Achmad!’ Ingin aku
mendengar ucapan itu dilontarkan mereka sambil
melihat benang pengikat dalam kasur itu,” kata ibu
pula.45
“Bapak Sanusi tadi menerima seekor kambing dari
seorang peziarah. Rupanya nadzar orang yang
memberi kambing itu diwujudkannya. Pak Sanusi
mendoakan orang itu berumur panjang, sehat, murah
rezeki dan naik pangkat. Semua itu terkabul. Pak
Sanusi menjual kambing itu ke pasar Tanah
Abang. Puluhan ribu dapatnya!”46
Kedua kutipan di atas menggambarkan karakter
tokoh Ibu. Kutipan pertama menggambarkan sifat Ibu
45
Ibid, h.25. 46
Ibid, h.30.
66
yang suka menyindir. Hal itu terlihat dari pujian yang
bernada ejekan tentang kasur buatan Ayah yang dulu
dielu-elukan sedangkan kutipan kedua menggambarkan
sifat iri hati yang dimiliki Ibu. Pada kutipan tersebut, Ibu
sedang menceritakan bahwa Pak Sanusi yang tak lain
adalah teman suaminya, baru saja mendapatkan seekor
kambing dari seseorang yang ia doakan di area
pemakaman. Hal itu dilakukan Ibu untuk mempengaruhi
Ayah agar mau menjadi pembaca doa di pemakaman.
Pada cerpen ini, tokoh Aku dan Ibu berdasarkan
perannya dalam cerita dikategorikan sebagai tokoh
tambahan yang mendukung munculnya konflik antara
keyakinan Ayah sebagai tokoh utama. Keyakinan yang
dimaksud adalah terkait prinsip hidup Ayah dalam
mengajarkan ajaran agama kepada orang yang
membutuhkan.
3. Alur
Secara umum alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa
dalam sebuah cerita. istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-
peristiwa yang terhubung secara kausal saja.47
Alur atau plot memiliki
lima tahapan yaitu dimulai dari tahap penyituasian, pemunculan
konflik, peningkatan konflik, klimaks, dan penyelesaian.
Tiga cerpen dalam kumpulan cerpen “Panggilan Rasul”
memiliki alur yang berbeda. Alur yang terdapat pada cerpen
“Panggilan Rasul” dan “Karjan dan Kambingnya” adalah alur maju,
sedangkan alur yang digunakan cerpen “Ayahku Seorang Guru
47
Robert Stanton, Teori Fiksi, Terj. dari An Introduction to Fiction oleh Sugihastuti dan
Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012),h.26.
67
Mengaji” adalah alur mundur. Berikut akan diuraikan lebih lanjut alur
dari ketiga cerpen tersebut.
Alur yang digunakan dalam cerpen “Panggilan Rasul” adalah
alur maju. Hal itu terlihat dari suasana yang dimunculkan di awal
cerita. Kisah dibuka dengan adegan Dokter yang membius anak Tuan
Tanah yang akan disunat. Peristiwa demi peristiwa bergerak secara
kronologis hingga ditutup dengan keberhasilan Dokter menyunat anak
bungsu Tuan Tanah. Hal itu menjawab kekhawatiran keluarga dan
warga desa yang mengira bahwa Lasuddin, anak bungsu Tuan Tanah
akan bernasib sama dengan dua kakaknya yang meninggal setelah
melakukan sunat rasul.
Pemunculan konflik dalam cerpen ini ditandai dengan situasi
yang tergambar di kamar depan sebuah rumah milik Tuan Tanah. Di
kamar tersebut sebuah keluarga dirundung cemas menyaksikan
seorang anak yang sedang disunat. Anak yang sedang disunat itu
menjadi pusat perhatian seluruh keluarga, bahkan semua orang. Hal itu
dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
“Di sekeliling pembaringan—dalam cemas yang mendalam—
satu rumpun keluarga anak sunatan itu terus menancapkan
mata mereka ke arah yang sama; keseluruhannya tidak beda
sebuah lingkaran di mana dokter dan anak lelaki itu sebagai
sumbu. Mereka semua masih bermata redup. Kelelahan
semalam suntuk melayani tetamu yang membanjiri tiga teratak
di depan rumah, belum hilang dalam masa sesingkat itu. tetapi
mereka bergegas bangun, ketika mendadak derum mobil
terdengar memasuki pekarangan pada subuh itu. Mereka
mengiringi langkah dokter naik tangga, dan sejurus kemudian
terciptalah lingkaran di kamar depan.”48
Selanjutnya masuk pada tahap peningkatan konflik. Peningkatan
konflik terjadi ketika orang tua anak yang sedang disunat, yakni Tuan
48
Ibid, h.67-68.
68
Tanah dan istrinya ketika mengenang peristiwa yang menimpa dua
anaknya beberapa tahun yang lalu. Dua anak lelakinya meninggal
dunia setelah disunat. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Cermat sekali perempuan itu melangkah ke dinding. Gambar-
gambar itu diturunkannya. Satu persatu ditatapnya erat-erat
seolah tak pernah ia selama ini melihatnya. Lalu mata yang
kemerah-merahan menahan tangis sejak pesta mulai sunyi,
perlahan kelopaknya dirapatkan. Segumpal besar air mata
bergulir di pipinya dan menitik menimpa kaca gambar itu.
Perlahan sekali gambar itu ia balikkan. Karton yang berdebu
diusapinya dengan ujung baju, samar-samar membayang
sederet tulisan. Ia tampak seperti membaca tulisan itu:
Kamaruddin, anak tertua, disunat rasul tanggal 6 Februari
1952. Meninggal pada tanggal 6 Februari 1952.49
Peningkatan konflik terjadi pada kutipan di atas, ditandai dengan
Istri Tuan Tanah yang menghubungkan peristiwa yang menimpa anak
lelakinya beberapa tahun lalu dengan anaknya yang sedang di sunat.
Konflik terus beranjak meningkat hingga mencapai klimaks ketika
sang istri menyalahkan suaminya. Istri menganggap perilaku suaminya
menyebabkan orang-orang menaruh dendam dan bermaksud
menghabisi seluruh keturunannya. Hal itu dapat dibuktikan pada
kutipan di bawah ini.
“Kau terlambat. Mengapa baru dalam bulan-bulan ini kau
lakukan semua itu? Bagi mereka, mungkin itu belum cukup.
Mereka minta lebih banyak, memusnahkan seluruh keturunan.
Menginginkan kematian Lasuddin juga. Oh apakah anak yang
tak berdosa itu akan mengulang nasib abang-abangnya? Hanya
buat menebus sikapmu yang kikir, tamak, lintah darat. Oh,
malangnya. Kejam sekali dendam-dendam itu.50
Kutipan tersebut mempertegas ketegangan yang terjadi antara
Istri dan Tuan Tanah. Istri menganggap bahwa perubahan perilaku
49
Ibid, h.70. 50
Ibid, h.74.
69
suaminya tidak akan mengurangi rasa sakit hati orang-orang yang
pernah disakitinya. Ia tetap mengkhawatirkan kondisi anak bungsunya
yang sedang disunat. Konflik diselesaikan dengan kepasrahan Tuan
Tanah dan Istrinya kepada Allah SWT. Kepasrahan tersebut dilakukan
karena hanya Tuhanlah yang mampu menyelamatkan nyawa anak
bungsunya. Hal itu dibuktikan pada kutipan di bawah ini.
“Mudah-mudahan mereka tidak melakukan itu. Oh, Tuhanku,
hanya dia yang kuharap melanjutkan keturunanku. Pewaris
harta yang sebanyak ini.”51
“Doa suami itu dilanjutkan oleh istrinya, “Mudah-mudahan
Engkau Yang Maha Pengasih, Yang Maha Kuasa,
memperkenankan doa hamba-Mu ini.”52
Kutipan di atas membuktikan bahwa Tuan Tanah dan Istrinya
mencoba untuk berbaik sangka dan mendoakan keselamatan anaknya.
Meskipun dalam doa yang dipanjatkan suaminya masih mencerminkan
kesombongannya sebagai Tuan Tanah.
Cerpen yang kedua adalah cerpen “Karjan dan Kambingnya”.
Alur yang digunakan dalam cerpen ini juga merupakan alur maju.
Cerita dibuka dengan gambaran latar yang berupa rel kereta api yang
mulai ditumbuhi rerumputan karena batu-batu di bantalan rel mulai
hilang akibat laju kereta dan aktivitas manusia yang berlalu lalang di
atasnya. Cerita terus bergerak secara kronologis dari awal hingga
akhir. Konflik mulai terlihat ketika Karjan menerima kambing
pemberian sahabat lamanya yang bernama Parman. Hal itu terlihat
pada kutipan berikut.
“Aku meneruskan usaha mertuaku. Beternak kambing. Aku
juga berkeliling membeli kambing-kambing penduduk dan
membawanya ke Jakarta. Ada oleh-oleh untuk kalian. Aku
51
Ibid, h.75. 52
Ibid, h.75.
70
masih saja tetap ingat bagaimana kita mengintip pesta teman
orang gedean di Jalan Proklamasi. Kita menelan ludah melihat
kambing guling itu.”53
“Kalian boleh makan kambing guling di malam Lebaran ini.
Aku telah siapkan satu ekor kambing untuk kalian.”54
Kutipan di atas memperlihatkan tahap pengenalanan konflik,
yakni tahap ketika konflik dalam sebuah cerita mulai dimunculkan
oleh pengarang. Dalam kutipan tersebut, Parman yang tak lain adalah
sahabat lama Karjan ingin memberikan seekor kambing sebagai oleh-
oleh sekaligus mengobati keinginan Karjan dan teman-teman yang
belum pernah menyantap kambing guling. Parman merasa terharu
ketika mengenang saat tinggal bersama Karjan dan teman-teman yang
hanya bisa menyaksikan pesta orang kaya dengan menu kambing
gulingnya harus menelan ludah karena mereka saat itu tidak mampu
membeli seekor kambing. Jadi, dengan memberikan seekor kambing,
Parman berharap agar Karjan dan teman-temannya bisa menikmati
lezatnya seekor kambing guling. Akan tetapi, kambing pemberian
Parman itulah yang menjadi pemicu kecurigaan seorang petugas
keamanan.
Konflik mulai meningkat ketika Karjan bertemu dengan seorang
petugas keamanan. Petugas keamanan yang berjaga di gardu
keamanan menaruh curiga ketika Karjan membawa seekor kambing
bandot. Kecurigaan tersebut dapat dibuktikan dengan kutipan di
bawah ini.
“Kambing ini pemberian teman saya.”55
“Kamu tinggal di mana?”56
53
Ibid, h.130. 54
Ibid, h.131. 55
Ibid, h.132. 56
Ibid, h.132.
71
“Di gubuk-gubuk apak di sebelah stasiun.”57
“Kamu penghuni gubuk-gubuk gelandangan itu?”58
“Benar, Pak.”59
“Kalau begitu kau orang miskin! Jawab yang benar.
Dari mana kambing ini?”60
Kutipan di atas menandai adanya peningkatan konflik. Hal itu
dilihat dari kecurigaan petugas keamanan kepada Karjan. Kecurigaan
petugas keamanan semakin menjadi-jadi ketika ia mengetahui bahwa
Karjan tinggal di gubuk-gubuk sebelah utara stasiun. Petugas
keamanan semakin tidak mempercayai Karjan, karena menurut
pendapatnya orang miskin tidak mungkin memiliki seekor kambing.
Konflik terus berlanjut dan semakin meruncing ketika petugas
keamanan terus menanyai dari mana kambing itu berasal. Konflik
mencapai klimaks ketika petugas menetapkan Karjan sebagai pencuri.
Petugas keamanan tidak mempercayai penjelasan yang disampaikan
Karjan. Ia tetap mempertahankan keyakinannya bahwa tidak mungkin
teman Karjan yang miskin mampu memberikan Karjan seekor
kambing. Hal itu diperkuat dengan kutipan berikut.
“Cukup! Jangan teruskan bualmu. Pencuri sangat pandai
berbohong. Sekarang tinggal bersama kambing itu di gardu!”61
“Jangan teruskan bohongmu! Orang miskin seperti kamu,
temannya adalah orang-orang miskin. Orang miskin tidak
mungkin memberi kambing kepada orang miskin.”62
57
Ibid, h.133. 58
Ibid, h.133. 59
Ibid, h.133. 60
Ibid, h.133. 61
Ibid, h.134. 62
Ibid, h.134.
72
Kutipan tersebut mempertegas klimaks pada cerpen ini. Hal itu
ditandai dengan pernyataan petugas keamanan yang menyebut Karjan
sebagai pencuri. Ketegangan tergambar jelas ketika petugas keamanan
menganggap keterangan yang disampaikan Karjan hanyalah sebuah
kebohongan. Konflik diselesaikan dengan penangkapan Karjan oleh
petugas keamanan. Petugas keamanan tetap meyakini bahwa kambing
yang dibawa Karjan adalah hasil curian. Hal itu dapat dilihat pada
kutipan berikut.
“Orang miskin yang telah menjadi kaya, adalah orang kaya.
Ingat! Dan ini perlu kau camkan: orang kaya, temannya adalah
orang-orang kaya. Orang miskin, temannya adalah orang-orang
miskin. Orang miskin tidak mungkin memberi seekor kambing
kepada orang miskin. Berdasarkan pertimbangan itu, saudara
kami tangkap!”63
Kutipan tersebut membuktikan bahwa konflik diakhiri dengan
penangkapan Karjan oleh petugas keamanan dengan alasan bahwa
Karjan tidak mungkin memiliki teman yang mampu memberinya
seekor kambing. Perlakuan tersebut termasuk tindakan diskriminatif,
bahkan dapat dikategorikan sebagai “tindakan semena-mena” karena
menghakimi seseorang berdasarkan status sosialnya.
Berbeda dengan alur kedua cerpen di atas, cerpen “Ayahku
Seorang Guru Mengaji” memiliki alur mundur (flash back), yaitu
tahapan peristiwa dibangun dari peristiwa yang pernah terjadi
sebelumnya. Hal itu dapat dilihat pada bagian awal cerpen, ketika Aku
sebagai narator mengenang masa kecilnya, seperti yang tampak pada
kutipan berikut.
“Suara orang mengaji itu secara perlahan kurasakan seperti
mengukir masa kecilku. Ayah adalah seorang guru mengaji.
Murid-murid beliau datang dari sekitar rumah kami, anak-anak
para tetangga. Setiap malam, kecuali malam Jumat, setelah
63
Ibid, h.134.
73
shalat Maghrib berdatanganlah dengan suara terompah di atas
batu kerikil. Aku sudah terbiasa memindahkan lampu
petromaks ke beranda, ke tempat murid-murid Ayah membaca
Al-Qur’an…”64
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa alur yang digunakan
pengarang dalam cerpen ini adalah alur mundur. Kisah diawali dengan
cerita yang disampaikan Aku, ketika ia mendengar suara orang
mengaji yang mengingatkannya kenangan masa kecil. Kisah bergerak
mundur ketika Aku mengingat sosok Ayahnya yang merupakan
seorang guru mengaji. Perjuangan seorang guru mengaji yang
memiliki keyakinan kuat tentang pengamalan ilmu agama dan nilai-
nilai kehidupan. Aku menceritakan jatuh bangun sosok Ayah baik
dalam pekerjaannya sebagai pembuat kasur maupun panggilan jiwanya
sebagai seorang guru mengaji.
Pemunculan konflik terjadi ketika listrik mulai masuk ke
kampung mereka. Hampir setiap rumah di kampung memasang listrik
dan menggunakan pesawat televisi. Perubahan itulah yang kemudian
membuat murid-murid Ayah semakin berkurang bahkan sampai habis
tak tersisa, hingga Ayah tidak lagi mengajar mengaji. Hal itu dapat
dilihat pada kutipan berikut.
“Kemudian keadaan telah menjadi lain begitu listrik masuk di
sepanjang jalan tempat kami tinggal. Semua rumah memasang
listrik. Semua rumah membeli televisi. Kulihat Ayah hanya
mengajar sepuluh murid di bawah cahaya lampu petromaks.
Murid-muridnya yang lain lebih tertarik menyimak acara di
televisi daripada menyimak ayat suci al-Qur’an di depan Ayah.
Murid yang sepuluh itu pun makin sehari ke sehari berkurang
satu-satu. Sampai pada saatnya tinggal aku sendiri yang
mengaji, walaupun sebenarnya aku telah khatam al-Qur’an tiga
kali. Dan ketika aku telah khatam al-Qur’an tiga kali, Ayah
sudah tidak menyimak aku membaca ayat-ayat suci itu. aku
64
Ibid, h.21.
74
hanya ingin menjaga agar Ayah tidak merasa kehilangan
seluruh muridnya.”65
Pemunculan konflik pada kutipan di atas ditandai dengan
masuknya aliran listrik dan maraknya warga yang membeli televisi
berimbas pada berkurangnya murid-murid yang belajar mengaji pada
Ayah. Murid-murid Ayah lebih memilih menyimak acara televisi
dibanding membaca al-Qur’an seperti biasanya. Hal itulah yang
menjadi titik awal permasalahan dalam cerpen ini. Konflik terus
bergulir, bukan hanya kehilangan murid, Ayah pun harus kehilangan
pekerjaannya sebagai pembuat kasur. Kasur buatan Ayah kalah
bersaing dengan kasur karet buatan pabrik. Kedua hal itu merupakan
dampak dari perubahan zaman yang kemudian menjadi konflik
keluarga Ayah. Konflik semakin meningkat ketika Ibu (Istri)
menyarankan Ayah untuk beralih profesi menjadi pembaca doa di
pemakaman. Ibu menyarankan hal itu karena menurutnya dengan
menjadi pembaca doa, Ayah dapat membantu menopang kebutuhan
hidup mereka. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Kau hafal semua ayat. Peziarah- peziarah itu suka dengan
ayat-ayat yang panjang. Makin lama doa dibacakan, kata Pak
Sanusi, para peziarah itu suka memberi uang banyak. Mulailah,
dari pada menganggur. Atau pelajari dulu situasinya. Datang
ke makam. Perhatikan mereka dari tempat aku menjual bunga.
Payung ada di belakang. Pakai sarung. Jangan pakai pantalon.
Kalau orang telah mengenal Pak Achmad sebagai pendoa yang
baik di pemakaman, tentu kau telah menemukan mata
pencaharian baru. Cobalah! Kelebihan jangan dipendam di
rumah.”66
Kutipan di atas membuktikan bahwa konflik mulai mengalami
peningkatan. Hal itu ditandai dengan Ibu yang berusaha membujuk
65
Ibid, h.24. 66
Ibid, h.27-28.
75
Ayah agar mau menjadi pembaca doa di pemakaman seperti Pak
Sanusi. Ibu berharap dengan menjadi pembaca doa di pemakaman,
Ayah tidak lagi menjadi seorang pengangguran. Akan tetapi pemikiran
Ibu bertentangan dengan pemikiran Ayah, karena bagi Ayah menjadi
pembaca doa di pemakaman bukanlah sebuah pekerjaan. Konflik
bukan hanya terjadi antara Ayah, Aku, dan Ibu, tetapi justru dalam diri
Ayah sendiri yang sesungguhnya tidak ingin melakukan anjuran Ibu
untuk menjadi pendoa di pemakaman. Akan tetapi, kebutuhan dan
tekanan menyebabkan Ayah mengikuti anjuran Ibu, meski pada
kenyataannya Ayah masih memegang teguh keyakinannya tentang
pentingnya mengajarkan ayat suci alquran. Konflik yang terjadi dalam
cerpen ini mencapai klimaks, ketika Ayah memilih menjadi guru
mengaji panggilan dibanding menjadi pembaca doa di pemakaman.
Hal itu ia putuskan bukan karena materi, tetapi karena prinsip yang ia
pegang teguh, bahwa “Ajaran agama untuk orang yang masih hidup,
bukan untuk orang yang telah meninggal”, seperti yang tampak pada
kutipan di bawah ini.
“Peristiwa itu membuka jalan bagi Ayah. Hampir tiap hari
Ayah dijemput ke rumah orang yang baru kematian istrinya itu.
Ayah juga mengajarkan membaca ayat suci al-Qur’an. Ayah
telah menjadi guru mereka. Hampir tiap hari Ayah
meninggalkan rumah. Ayah mengajarkan mengaji ke rumah-
rumah orang kaya, tetangga orang yang baru kematian istrinya
itu.”67
“Banyak permintaan untuk mengajar agama di rumah-rumah
sahabat mereka. Aku hampir tidak punya waktu. Kupikir
kesempatan mengajar harus diberikan juga kepada Pak Sanusi.
Ajaran agama untuk orang yang hidup! Bukan untuk orang
yang telah meninggal. Pak Sanusi mungkin sependapat dengan
aku! Dia harus mengajar kembali. Banyak orang kaya mencari
guru agama untuk mendidik anak-anak mereka. Mereka tidak
67
Ibid, h.35.
76
sempat mengantarkan anak-anak mereka ke surau-surau atau
ke rumah guru mengaji. Mereka mendatangkan guru agama ke
rumah mereka. Pak Sanusi harus ku ajak. Sayang ilmu
agamanya hanya dibacakan untuk orang yang telah mati. Pak
Sanusi harus ku ajak. Agama untuk orang yang hidup! Bukan
untuk orang yang mati!68
Kutipan di atas mempertegas klimaks atau puncak konflik dalam
cerpen ini. Pada kutipan di atas Ayah yang sudah mencoba menjadi
pembaca doa di pemakaman, akhirnya memutuskan untuk kembali
menjadi seorang guru mengaji, setelah menemukan jalan melalui
seorang peziarah yang memintanya menjadi guru mengaji bagi anak-
anaknya. Ia memutuskan untuk menjadi guru mengaji panggilan,
karena menurutnya ajaran agama hanya untuk orang yang masih hidup.
Ajaran tersebut dapat dijadikan pedoman dan bekal untuk menghadapi
kehidupan setelah kematian. Bukan malah sebaliknya, mengajarkannya
kepada orang yang ada di alam kubur. Walaupun demikian, prinsip dan
pemikiran Ayah sulit diterima Ibu yang selalu berorientasi kepada nilai
duniawi. Ibu selalu membandingkan rizki yang diperoleh Pak Sanusi
dan Ayah. Akan tetapi Ayah tetap memegang teguh keyakinannya
dalam mengajarkan ilmu agama.
Tahapan alur yang terakhir adalah penyelesaian konflik. Konflik
dalam cerpen ini diakhiri dengan buah kesabaran dan keyakinan Ayah
terhadap agama serta kehendak Allah. Keyakinannya terhadap agama
dan Sang Pencipta mampu mengantarkan Ayah ke Tanah Suci, seperti
yang tampak pada kutipan berikut.
“Orang kaya yang kematian istri itu meminta aku ikut ke tanah
suci sebagai pembimbing agama mereka.Orang kaya itu beserta
anak-anaknya akan menunaikan ibadah haji tahun ini. Aku
mereka minta ikut bersama mereka.”69
68
Ibid, h.36. 69
Ibid, h.38.
77
Kutipan tersebut membuktikan bahwa konflik diakhiri dengan
rezeki yang tak terduga yang didapatkan Ayah. Seperti yang tampak
pada kutipan di atas, Ayah diminta menjadi pembimbing ibadah haji
orang kaya yang istrinya telah meninggal. Ayah diminta ikut bersama
orang kaya tersebut bersama anak-anaknya.
4. Latar
Stanton mendefinisikan latar sebagai lingkungan yang
melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, serta semesta yang
berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang berlangsung. Latar
dibagi menjadi tiga macam yaitu latar waktu, latar tempat, dan latar
sosial. Latar waktu menujukkan waktu terjadinya peristiwa dalam
cerita sedangkan latar tempat menunjukkan tempat atau lokasi
terjadinya cerita, dan latar sosial menggambarkan situasi sosial
masyarakat dalam cerita.
a. Latar Waktu
Latar waktu yang digambarkan dalam cerpen “Panggilan
Rasul” adalah pagi hari. Cerita dimulai dengan adanya kecemasan
yang meliputi sekeluarga yang akan melakukan proses sunat rasul
anak bungsunya. Proses sunat itu dilakukan pada pagi hari setelah
pesta usai dilaksanakan. Berikut adalah kutipan yang menegaskan
pernyataan tersebut.
“Di sekeliling pembaringan—dalam cemas yang
mendalam—satu rumpun keluarga anak sunatan itu terus
menancapkan mata mereka ke arah yang sama;
keseluruhannya tidak beda sebuah lingkaran di mana
dokter dan anak lelaki itu sebagai sumbu. Mereka semua
masih bermata redup. Kelelahan semalam suntuk melayani
tetamu yang membanjiri tiga teratak di depan rumah,
belum hilang dalam masa sesingkat itu. tetapi mereka
78
bergegas bangun, ketika mendadak derum mobil terdengar
memasuki pekarangan pada subuh itu...”70
Kutipan di atas menggambarkan suasana menegangkan
ketika sekeluarga menunggui proses sunat rasul. Pada kutipan di
atas disebutkan kata subuh sebagai penanda bahwa peristiwa yang
ada dalam cerita terjadi di pagi hari.
Selanjutnya adalah latar waktu pada cerpen “Karjan dan
Kambingnya”. Pada cerpen ini pengarang menggambarkan
suasana sore dan malam hari sebagai waktu yang menandai
terjadinya cerita. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Hari itu Karjan melihat kereta api barang datang dari luar kota
menuju stasiun. Waktu itu hampir jam lima sore.”71
“Kami melihat pesta kambing guling beberapa tahun yang lalu.
Malam ini dia hadiahkan kepada kami satu ekor kambing
guling. Percayalah, Pak.”72
Kutipan pertama menggambarkan latar waktu sore hari,
seperti yang terlihat dari penceritaan tokoh Karjan yang melihat
kereta api barang melintasi rel. Pengarang menyebutkan bahwa
sore itu, waktu hampir memasuki pukul lima sore. Sementara itu,
pada kutipan kedua latar waktu menunjukkan suasana malam hari.
Hal itu terlihat dari dialog yang disampaikan Karjan ketika
menjawab pertanyaan petugas keamanan. Karjan mengucapkan
kata malam ini, kata tersebut menegaskan latar waktu yang
digambarkan dalam cerpen.
Pada cerpen “Ayahku Seorang Guru Mengaji”, latar waktu
yang digunakan pengarang adalah malam dan pagi hari. Hal itu
dapat dilihat pada kutipan berikut.
70
Ibid, h.68. 71
Ibid, h.127. 72
Ibid, h.133.
79
“…Setiap malam, kecuali malam Jum’at, setelah salat
Maghrib berdatanganlah dengan suara terompah di atas
batu kerikil. Aku sudah terbiasa memindahkan lampu
petromaks ke beranda, ke tempat murid-murid Ayah
membaca al-Qur’an…”73
“Masih pagi manalah ada. Bagaimana Ayah ini. Belum
tampak seorang pun,” kataku. “Ada orang datang memesan
kasur.”74
Kutipan pertama menegaskan bahwa waktu terjadinya
cerita adalah malam hari. Latar waktu malam hari digunakan
pengarang digunakan untuk mempertegas penokohan Ayah
sebagai seorang guru mengaji yang mengajar mengaji di malam
hari. Selain malam hari, peristiwa yang terjadi dalam cerpen
tersebut juga terjadi di pagi hari, seperti yang dijelaskan pada
kutipan kedua.
Berdasarkan latar waktu yang tergambar dari ketiga cerpen
di atas, dapat disimpulkan bahwa latar waktu digunakan
pengarang untuk mendasari situasi dan suasana yang terjadi dalam
cerita. Selain itu, latar waktu juga dapat mendukung aspek
imajinatif yang dimunculkan dalam cerita.
b. Latar Tempat
Latar tempat pada dasarnya memiliki fungsi yang sama
dengan latar waktu. Selain menjadi landas tumpu, latar tempat
juga berfungsi memberi kesan seolah-olah peristiwa dalam cerita
benar-benar terjadi.
Latar tempat pada cerpen “Panggilan Rasul” adalah rumah
Tuan Tanah di sebuah desa yang tidak disebutkan namanya. Tuan
Tanah tersebut dikisahkan sedang mengkhitan atau menyunat anak
73
Ibid, h.21. 74
Ibid, h.29.
80
bungsunya. Akan tetapi, proses sunat rasul anak Tuan Tanah
tersebut bukan proses sunat rasul biasa. Proses tersebut
mengundang kegelisahan Tuan Tanah dan Istrinya, dan rasa
penasaran warga kampung. Hal itu dikarenakan dua putera Tuan
Tanah sebelumnya meninggal dunia setelah disunat. Berikut
adalah kutipan yang menegaskan pernyataan tersebut.
“Bisik-bisik dari mulut ke mulut orang sekampung,
mulai ingin dibuktikan. Tiap orang sudah tahu, pagi itu
pagi sunatannya anak yang ketiga dari seorang tuan
tanah. Setiap pasang mata yang tak terbiasa bangun
subuh buta, meninggalkan kebiasaan yang
menyenangkan itu pada pagi itu. Dalam rumah, di
dapur, di beranda, di pekarangan, orang sekampung
membicarakan anak ketiga si tuan tanah. Apakah anak
terakhir itu akan mengalami nasib yang sama, itulah
yang akan dibuktikan. Tidak heran jika di pagi itu
tampak orang-orang lelaki-perempuan dalam selubung
kain sarung berlindung dari hawa dingin berbondong-
bondong-bondong berdatangan ingin kebolehan si
dokter yang khusus didatangkan dari kota.”75
Kutipan tersebut menggambarkan peristiwa yang menjadi
pusat cerita dalam cerpen “Panggilan Rasul”. Meskipun dalam
kutipan tidak disebutkan secara tersurat mengenai rumah Tuan
Tanah, akan tetapi peristiwa yang menarik perhatian tersebut
berasal dari proses sunat rasul yang dilakukan oleh anak ketiga
Tuan Tanah, sehingga dapat disimpulkan bahwa latar tempat yang
digunakan pengarang adalah rumah Tuan Tanah.
Secara spesifik latar tempat yang digunakan pengarang
dalam cerpen “Panggilan Rasul” adalah sebuah kamar bagian
depan Tuan Tanah, seperti yang tampak pada kutipan berikut.
“Di sekeliling pembaringan—dalam cemas yang
mendalam—satu rumpun keluarga anak sunatan itu
75
Ibid, h.75.
81
terus menancapkan mata mereka ke arah yang sama;
keseluruhannya tidak beda sebuah lingkaran di mana
dokter dan anak lelaki itu sebagai sumbu. Mereka
semua masih bermata redup. Kelelahan semalam
suntuk melayani tetamu yang membanjiri tiga teratak di
depan rumah, belum hilang dalam masa sesingkat itu.
tetapi mereka bergegas bangun, ketika mendadak
derum mobil terdengar memasuki pekarangan pada
subuh itu. Mereka mengiringi langkah dokter naik
tangga, dan sejurus kemudian terciptalah lingkaran di
kamar depan.”76
Kutipan di atas menegaskan kutipan sebelumnya bahwa
proses sunat rasul anak ketiga Tuan Tanah tersebut dilakukan di
kamar bagian depan rumah Tuan Tanah. Proses sunat tersebut
menjadi pusat perhatian sekaligus pusat masalah dalam cerpen
“Panggilan Rasul”.
Selanjutnya, latar tempat yang terdapat pada cerpen
“Karjan dan Kambingnya”. Latar tempat yang terdapat dalam
cerpen tersebut adalah kawasan rel kereta api dan gubu-gubuk liar
di tepi rel. Latar tempat tersebut juga digunakan pengaran untuk
mendukung latar sosial masyarakat menengah ke bawah yang
ingin di sampaikan pengarang. Berikut adalah kutipan yang
membuktikan pernyataan tersebut.
“…Penjaga pintu kereta meneruskan berita rumput yang
menyemak itu ke buruh lepas yang tinggal di gubuk-gubuk
liar yang tumbuh di sepanjang sisi rel dan tembok makam
kota. Jawatan kereta api telah acap kali menyuruh bongkar
gubuk-gubuk itu, tetapi dalam waktu singkat gubuk-gubuk
itu seperti semula. Mereka membangun gubuk-gubuk itu
begitu dekat dengan rel sehingga kereta api yang melintas
memadamkan lampu mereka…”77
76
Ibid, h.68. 77
Ibid, h.126.
82
Kutipan di atas menggambarkan kawasan rel kereta api
yang di sisinya dipenuhi gubuk-gubuk liar yang dihuni oleh buruh
harian lepas, dan warga lainnya dari golongan masyarakat
menengah ke bawah. Latar tersebut digunakan pengarang untuk
menunjang kondisi sosial yang ada dalam cerpen. Selain itu, latar
tersebut juga mencerminkan status sosial tokoh utama dalam
cerpen yaitu Karjan. Karjan merupakan seorang kuli pencabut
rumput yang juga menghuni gubuk-gubuk apak di tepi rel kereta
api. Berikut adalah kutipan yang menegaskan pernyataan tersebut.
“Karjan pun mulai merumput dalam panas terik sinar
matahari. Dia mengangkat batu-batu yang gugur.
Mencabut rumput-rumput bila sukar ditajak dengan mata
cangkul dan istirahat kalau dia capek. Matahari membakar
rumput-rumput yang telah dicabut dan cepat menjadi
kering. Sebentar-sebentar kereta api melintas datang dan
pergi. Kadang-kadang kereta api berselisih pada rel ganda.
Suara kedua kereta api mitu memekakkan, menerbangkan
debu-debu di kedua tepinya.”78
Kutipan di atas membuktikan bahwa kawasan rel kereta api
yang digambarkan menunjang penokohan Karjan sebagai kuli
pencabut rumput di kawasan rel kereta api. Berdasarkan kutipan di
atas, Karjan bukan hanya mencabuti rumput di sekitar perlintasan,
tetapi ia juga membersihkan dan merapikan batu-batu pada
landasan rel kereta api.
Latar tempat pada cerpen “Ayahku Seorang Guru
Mengaji” adalah sebuah rumah yang ditempati satu keluarga
lengkap yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan Anak. Rumah tersebut
adalah rumah seorang guru mengaji, yang tak lain adalah tokoh
utama dalam cerpen yaitu Ayah (Pak Achmad). Pengarang tidak
menyebutkan secara spesifik di mana rumah tersebut berada.
78
Ibid, h.127.
83
Pengarang hanya melukiskan latar tempatnya berupa sebuah
rumah dengan pekarangan yang luas. Hal itu dapat dilihat pada
kutipan berikut.
“Kau sekarang sudah khatam al-Qur’an tiga kali, kata
Ayah kepadaku di beranda suatu malam Jum’at yang
lengang. Kami melihat bulan ada di langit tepat di atas
pekarangan rumah kami yang lebar. “Sudah saatnya kau
ikut mengajar mengaji. Kalau kau tidak mau mengikuti
jejakku, siapa yang akan mengajarkan ajaran ilahi itu
kepada anak-anak yang baru tumbuh? Kau harus menjadi
guru mengaji. Ajari mereka! Tidak semua anak-anak
berkesempatan masuk sekolah madrasah. Mereka siang
sekolah di sekolah umum, malam harinya mereka mengaji.
Maka orang-orang seperti kitalah yang mengajari
mereka.79
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa percakapan
antara Ayah dan anaknya (tokoh Aku) terjadi di beranda
rumahnya. Pengarang juga menggambarkan latar suasana yang
indah pada kutipan di atas, yaitu kedua tokoh saling berbincang
sambil menatap bulan yang berada tepat di atas pekarangan rumah
mereka yang luas. Pada kutipan di atas, latar tempat digambarkan
sebagai pijakan pengarang untuk menyampaikan permasalahan
yang ada dalam cerita. Hal itu terlihat dari pembicaraan yang
dilakukan oleh tokoh Ayah yang menyampaikan keinginannya
kepada anaknya (tokoh Aku) mengenai pentingnya mengamalkan
ilmu yang dimiliki.
c. Latar sosial
Latar sosial yang tergambar dalam cerpen “Panggilan
Rasul” adalah masyarakat tradisonal yang masih memiliki
kepercayaan bahwa seseorang dapat mengirimkan ilmu hitam
79
Ibid, h.23.
84
untuk membalaskan sakit hati terhadap orang lain. Hal itu dapat
dibuktikan melalui kutipan berikut.
“…. Inilah ganjarannya! Aku mulai percaya desas-desus itu,
tentang dukun-dukun yang mengilmui luka di kemaluan anak-
anak kita. Aku mulai yakin bahwa itu karena kesombonganmu,
kekikiranmu, angkuhmu dan tak mau tahu dengan mereka. Aku
yakin, mereka menaruh racun di pisau dukun-dukun itu.”80
Kutipan tersebut membuktikan bahwa pengarang ingin
menggambarkan pemikiran masyarakat pada masa itu, dalam hal
ini ditampilkan melalui tokoh Istri Tuan Tanah. Pada kutipan
tersebut Istri Tuan Tanah mempercayai ramalan-ramalan dukun
mengenai penyebab kematian anaknya. Pada cerpen ini, bukan
hanya Istri Tuan Tanah yang mempercayai ramalan-ramalan
tersebut, akan tetapi warga kampung dalam cerpen tersebut juga
digambarkan mempercayai tentang adanya dukun yang dipesan
oleh orang-orang yang menaruh dendam atas perilaku Tuan
Tanah. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Keyakinan sudah begitu melekat di hati merek tentang
kematian satu rumpun anak orang kaya itu, di ujung pisau
sunat, makin tebal ketika kain penadah darah diganti
dengan kain yang baru.”81
“Kamar depan itu seolah tempat penting, di mana satu
jawaban dari suatu desas-desus yang sudah menjalari
seluruh kampung akan terpenuhi.”82
Kedua kutipan di atas membuktikan bahwa warga
kampung mempercayai suatu hal yang belum diketahui
kebenarannya. Kepercayaan warga terhadap hal-hal seperti itu
merupakan salah satu ciri masyarakat tradisional yang masih
80
Ibid, h.74. 81
Ibid, h.76. 82
Ibid, h.76.
85
percaya terhadap hal-hal gaib dan mudah dipengaruhi.
Berdasarkan kutipan di atas warga mempercayai bahwa kedua
anak TuanTanah sebelumnya disebabkan oleh ilmu yang
dikirimkan oleh orang-orang yang membenci perilaku Tuan
Tanah.
Berbeda dengan cerpen “Panggilan Rasul”, latar sosial
yang tergambar dalam cerpen “Karjan dan Kambingnya” adalah
gambaran masyarakat kalangan bawah yang tinggal di gubuk-
gubuk liar di pinggir rel kereta api. Kehidupan penghuni gubuk
liar diwakili oleh tokoh bernama Karjan yang bekerja sebagai kuli
pencabut rumput. Karjan digambarkan sebagai seseorang yang
memiliki pekerjaan serabutan. Selain Karjan, kondisi sosial warga
penghuni gubuk pinggir rel kereta api juga digambarkan melalui
kondisi gubuk-gubuk tersebut. Berikut adalah kutipan yang
membuktikan pernyataan tersebut.
Karjan pun mulai merumput dalam panas terik sinar
matahari. Dia mengangkat batu-batu yang gugur.
Mencabut rumput-rumput bila sulit ditajak dengan mata
cangkul dan istirahat kalau dia capek. Matahari membakar
rumput-rumput yang telah dicabut dan cepat menjadi
kering. Sebentar-sebentar kereta api melintas datang dan
pergi. Kadang-kadang kereta api berselisih pada rel ganda.
Suara kedua kereta api itu memekakkan, menerbangkan
debu ke daun-daun di kedua tepinya.”83
“… Jawatan kereta api telah acap kali menyuruh bongkar
gubuk-gubuk itu, tetapi dalam waktu yang singkat gubuk-
gubuk itu telah tumbuh seperti semula. Mereka
membangun gubuk-gubuk itu begitu dekat dengan rel
sehingga kereta api yang melintas memadamkan lampu
mereka. Dan bila malam, sebelum mereka tidur pulas di
dalam gubuk-gubuk pengap itu, mereka memancing kantuk
dengan kartu domino di serambi depan gubuk mereka,
83
Ibid, h.127.
86
bantalan-bantalan rel, kereta itu. Mereka merokok dari
puntung-puntung yang mereka pungut dalam batangan
baru…”84
Kutipan pertama menggambarkan kegiatan Karjan sebagai
kuli pencabut rumput di kawasan perlintasan kereta api.
Pengarang menggambarkan kesulitan yang dialami oleh Karjan
sebagai tokoh utama yang mewakili situasi sosial para penghuni
gubuk-gubuk liar di kawasan rel kereta api. Pada kutipan kedua
latar sosial dalam cerpen ini digambarkan melalui kondisi gubuk-
gubuk liar pinggir rel kereta api, yang pengap dan gelap karena
aliran listrik di gubuk akan padam akibat getaran kereta yang
melintas. Pengarang menggambarkan kondisi gubuk yang pengap
dan persisi berada di pinggir rel kereta membuat penghuninya
kesulitan untuk tidur sehingga mereka harus memancing rasa
kantuk dan lelah dengan bermain domino. Selain itu keterbatasan
ekonomi membuat mereka memunguti puntung rokok untuk
dihisap secara bergantian.
Berbeda dengan cerpen “Panggilan Rasul” dan “Karjan
dan Kambingnya”, latar sosial yang digambarkan secara lebih
spesifik dalam cerpen “Ayahku Seorang Guru Mengaji”. Latar
sosial yang muncul adalah perkembangan teknologi dan
komunikasi, serta masuknya aliran listrik ke seluruh pelosok
Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari penggambaran konflik yang
dialami tokoh Ayah, yaitu tentang seorang guru mengaji yang
kehilangan muridnya karena kemajuan teknologi dan komunikasi.
Berikut adalah kutipan yang membuktikan pernyataan tersebut.
“Kemudian keadaan telah menjadi lain begitu listrik masuk
di sepanjang jalan tempat kami tinggal. Semua rumah
84
Ibid, h.126.
87
memasang listrik. Semua rumah membeli televisi. Kulihat
Ayah hanya mengajar sepuluh murid di bawah cahaya
lampu petromaks. Murid-muridnya yang lain lebih tertarik
menyimak acara di televisi daripada menyimak ayat suci
al-Qur’an di depan Ayah. Murid yang sepuluh itu pun
makin sehari ke sehari berkurang satu-satu. Sampai pada
saatnya tinggal aku sendiri yang mengaji, walaupun
sebenarnya aku telah khatam al-Qur’an tiga kali. Dan
ketika aku telah khatam al-Qur’an tiga kali, Ayah sudah
tidak menyimak aku membaca ayat-ayat suci itu. aku
hanya ingin menjaga agar Ayah tidak merasa kehilangan
seluruh muridnya.”85
Kutipan tersebut menggambarkan perubahan sosial
masyarakat setelah kemajuan teknologi memasuki desa dan
lingkungan mereka. Pola pikir dan nilai-nilai yang dianut oleh
masyarakat pada masa itu mengalami pergeseran. Hal itu dapat
dalam kutipan, yaitu ketika anak-anak memilih menyimak acara
televisi dibandingkan mengaji ke tempat guru mengaji.
Selain masuknya aliran listrik, hal lain yang menandai latar
sosial yang terdapat dalam cerpen “Ayahku Seorang Guru
Mengaji” adalah adanya penyebutan radio transistor pertama di
Indonesia yang dibuat di Cawang. Jika dikaitkan dengan
penyebutan radio tersebut maka secara tersirat pengarang
menggambarkan situasi sosial masyarakat tahun 1956-1960an. Hal
itu didasarkan pada keterangan yang menyebutkan bahwa radio
transistor buatan Cawang dipasarkan pertama kali tahun 1956.
Berikut adalah kutipan yang membuktikan pernyataan tersebut.
“Tadi kulihat dia membeli radio transistor buatan Cawang.
‘Lumayan, asal bisa mendengarkan pengajian di radio’
kata Pak Sanusi kepadaku….”86
85
Ibid, h.24. 86
Ibid, h.31.
88
Kutipan di atas menegaskan bahwa penyebutan radio
transistor merupakan salah satu bentuk perkembangan teknologi
yang mempengaruhi pola pikir masyarakat. Kehadiran radio
transistor telah menggantikan kebiasaan mengaji yang sebelumnya
dilakukan sebelum kemunculan radio tersebut. Hal itu pula yang
menjadi salah satu faktor penyebab tokoh Ayah kehilangan
muridnya.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang ketiga cerpen dalam kumpulan cerpen
“Panggilan Rasul” berbeda-beda. Sudut pandang yang terdapat dalam
tiga cerpen tersebut adalah sudut pandang persona pertama “Aku” dan
sudut pandang persona ketiga “Dia”.
Sudut pandang yang digunakan dalam cerpen “Panggilan
Rasul” adalah sudut pandang persona ketiga “Dia” Mahatahu. Hal itu
didasarkan pada posisi narator yang berada di luar cerita dan
menyajikan tokoh-tokohnya dengan sebutan nama dan kata ganti,
seperti yang terlihat pada kutipan berikut.
“Wanita itu menatap lagi kedua gambar itu seperti tidak akan
pernah lekang dari matanya yang basah. Kemudian ia menatap
ke atas. Katanya, “Jika putraku yang ini, Lasuddin, Kau
selamatkan, ya Tuhan, kami akan serahkan dua pertiga dari
sawah-sawah itu buat mereka.”87
“Pandangannya ia alihkan pelan-pelan ke tempat suaminya
terbenam dalam titik-titik air mata.”88
Kedua kutipan tersebut membuktikan bahwa sudut pandang
yang digunakan dalam cerpen ini adalah sudut pandang persona
ketiga. Hal itu terlihat pada kutipan pertama yang menyebutkan tokoh
87
Ibid, h.71. 88
Ibid, h.71.
89
secara langsung dengan sebutan Wanita itu. Selain penyebutan tokoh,
pada kutipan pertama dan kedua pengarang menggunakan kata ganti
orang ketiga seperti ia dan –nya.
Sama halnya dengan cerpen “Panggilan Rasul”, cerpen “Karjan
dan Kambingnya” juga menggunakan sudut pandang persona ketiga
“Dia”. Posisi narator dalam cerpen berada di luar cerita dan memiliki
keleluasaan dalam menyajikan tokoh-tokoh dan cerita yang ada
dalamnya. Narator menyajikan tokoh-tokohnya dengan sebutan nama
secara langsung dan menggunakan kata ganti orang ketiga, seperti
yang tampak pada kutipan berikut.
“Karjan melompat dari atas tanah gundukan itu. Dia
menyongsong laki-laki yang berdiri di atas batu-batu. Kedua
orang itu berpelukan dan saling mengguncang tubuh orang
yang dipeluknya. Pada saat seperti itu, peluit lokomotif
melengking.”89
Penyebutan nama Karjan dan penggunaan kata ganti dia pada
kutipan di atas membuktikan bahwa pengarang menggunakan sudut
pandang orang ketiga dalam menyajikan tokoh maupun tindakan yang
dilakukan tokoh dalam cerpen.
Berbeda dengan kedua cerpen di atas, cerpen “Ayahku Seorang
Guru Mengaji” menggunakan sudut pandang persona pertama “Aku”.
Hal itu dilihat dari adanya tokoh “Aku” yang bertindak sebagai
narator. Meskipun tokoh “Aku” tidak bertindak sebagai pelaku utama
atau dengan kata lain “Aku” sebagai tokoh tambahan, akan tetapi
pengisahan dan penyajian tokoh didominasi oleh tokoh “Aku”. Hal itu
dapat dilihat pada kutipan berikut.
89
Ibid, h.129..
90
“Aku menurunkan lampu petromaks untuk menambah
anginnya. Lampu menjadi lebih terang dan Ayah tampak lebih
jelas.”90
“Setelah hari itu, Ayah duduk diam di depan rumah. Bunga-
bunga yang tumbuh di depan rumah telah disiramnya. Subuh
dipetik, pagi harinya dibawa Ibu ke meja dagangan di tepi
pagar makam. Kakakku mendapat tugas merajang halus daun
pandan. Tugasku membawa keranjang bersama Ibu pada pagi
hari ke pagar makam. Sepulang aku mengantar Ibu dari
tempat penjualan bunga di tepi pagar makam, kudapati Ayah
duduk termenung di beranda. Barangkali terpikir juga olehnya
anjuran Ibu.”91
Kutipan yang pertama menegaskan bahwa tokoh “Aku” ada
dan terlibat di dalam cerita, sedangkan kutipan kedua memposisikan
tokoh “Aku” yang sedang mengisahkan kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh tokoh-tokoh lain seperti “Ayah”,“Ibu”, dan “Kakak”.
Tokoh “Aku” tidak hanya menceritakan kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh tokoh-tokoh lainnya, tetapi juga menceritakan apa yang
dirasakan dan dipikirkan oleh tokoh lain. Seperti yang tampak pada
kutipan di atas, “Aku” menceritakan keadaan Ayahnya yang sedang
tertekan. “Ayah” terlihat duduk diam dan termenung di depan rumah
memikirkan anjuran istrinya untuk menjadi pembaca doa di
pemakaman.
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa seolah menjadi identitas bagi setiap pengarang.
Oleh karena itu bahasa maupun pilihan kata yang digunakan oleh
pengarang yang satu dengan pengarang lainnya akan sangat berbeda.
90
Ibid, h.27. 91
Ibid, h.28.
91
Gaya bahasa yang digunakan Hamsad dalam ketiga cerpen
pada kumpulan cerpen “Panggilan Rasul” lebih banyak menggunakan
bahasa sehari-hari. Diksi yang digunakan oleh Hamsad jugasederhana
karena tidak menimbulkan ketaksaan maupun kesukaran dalam
memahaminya. Selain sederhana, Hamsad yang berasal dari Sumatera
Utara banyak menggunakan kata-kata yang berasal dari bahasa Melayu
seperti, macis, tajak, lembu, berteluk belanga, berkain pelekat, dan
menandaimu. Hal itu dapat dibuktikan pada penggalan-penggalan
kalimat berikut.
“Dia masukkan pangkal rokok daun nipah itu ke mulutnya dan
dia menyalakan macis.”92
“…Besoknya kulihat Ayah pergi bersama-sama Ibu. Ayah
membawa paying hitam, mengantongi surat Yaasin, berteluk
belanga warna putih, bersarung kain pelekat, dan memakai
peci hitam…”93
“…Mencabut rumput-rumput bila sukar ditajak dengan mata
cangkul.”
“…Tolong ingatkan aku! Aku belum menandaimu!"
Selain, menggunakan kata-kata yang berasal bahasa Melayu
dalam cerpen “Karjan dan Kambingnya” ditemukan dua jenis gaya
bahasa yaitu hiperbola dan paradoks. Berikut adalah kutipan yang
membuktikan pernyataan tersebut.
“Kita gelar koran dan membanting daun-daun domino itu
menjadi deretan panjang yang terpatah-patah.”
“Ya. Kita semua heran. Apa yang dimakan kere seperti Parmi
sehingga dia begitu bahenol.”
92
Ibid, h.30. 93
Ibid, h.32.
92
Pada kutipan pertama kata membanting dan terpatah-patah
dapat dikategorikan sebagai pemberi kesan berlebihan. Penggunaan
gaya bahasa hiperbola pada kutipan di atas bertujuan untuk
menggambarkan keasikan Karjan dan teman-temannya ketika bermain
domino. Berbeda dengan kutipan pertama, gaya bahasa yang terdapat
pada kutipan kedua merupakan gaya bahasa paradoks. Hal itu terlihat
dari kalimat “Apa yang dimakan kere seperti Parmi sehingga dia
begitu bahenol”. Penggalan kalimat tersebut menggambarkan
pertentangan dua fakta yang benar-benar terjadi, yaitu dua hal yang
sulit diterima secara logis sepert kenyataan bahwa seseorang yang kere
bisa memiliki badan yang gemuk.
B. Analisis Nilai Kemanusiaan dalam Kumpulan Cerpen “Panggilan
Rasul”
Nilai kemanusiaan pada dasarnya merupakan segala sesuatu yang
melekat dalam diri manusia itu sendiri. Hal itu dapat disadari maupun
tidak disadari oleh masing-masing individu yang ada di dunia ini.
Analisis nilai kemanusiaan yang terdapat dalam kumpulan cerpen
“Panggilan Rasul” akan dibatasi pada temuan nilai-nilai kemanusiaan
dalam tiga cerpen yang penulis teliti, yakni (1) “Panggilan Rasul”, (2)
“Karjan dan Kambingnya”, dan (3) “Ayahku Seorang Guru Mengaji”.
Penulis akan mengaitkan nilai-nilai kemanusiaan dengan peristiwa yang
terjadi dalam ketiga cerpen tersebut.
Nilai kemanusiaan yang terdapat dalam cerpen (1) “Panggilan Rasul”,
(2) “Karjan dan Kambingnya”, dan (3) “Ayahku Seorang Guru Mengaji”
memiliki keterkaitan satu sama lain. Walaupun demikian, nilai tersebut
ditampilkan dalam bentuk yang berbeda karena pada dasarnya manusia
sebagai makhluk individu yang memiliki keunikannya masing-masing.
Oleh sebab itu, nilai kemanusiaan yang melekat pada diri tiap individu
93
juga hadir dalam bentuk yang berbeda. Nilai-nilai kemanusiaan yang
terdapat pada tiga cerpen tersebut adalah manusia dan kegelisahan,
manusia dan penderitaan, manusia dan pandangan hidup, manusia dan
harapan, manusia dan ketidakadilan, serta manusia dan cinta kasih.
Meskipun tiga cerpen tersebut menonjolkan beberapa nilai kemanusiaan
yang berbeda, akan tetapi dari ketiga cerpen tersebut terdapat satu
persoalan yang sama yakni menceritakan tentang manusia dan
penderitaan yang dialaminya. Penderitaan yang dialami tokoh-tokoh
dalam tiga cerpen tersebut hadir dalam bentuk yang berbeda-beda yang
disikapi berbeda pula oleh masing-masing tokohnya. Penjelasan
mengenai nilai-nilai kemanusiaan dalam tiga cerpen tersebut akan
diuraikan berdasarkan kategori nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat
dalam cerpen. Berikut adalah nilai-nilai kemanusiaan yang ditemukan.
1. Manusia dan Penderitaan
Penderitaan adalah kondisi di mana manusia sedang menahan
atau menanggung sesuatu yang membuatnya merasa tersiksa.
Penderitaan dapat berasal dari dalam diri manusia maupun dari
luar diri manusia. Penderitan dapat berupa penderitaan lahir, batin,
atau lahir batin. Penderitaan yang berasal dari dalam diri manusia
berasal dari tiga komponen utama dalam pikiran manusia yaitu, id,
ego, dan superego. Ketiga komponen tersebut mengatur
pemenuhan keinginan dan kebutuhan baik secara fisik maupun
psikis. Hal itu sudah dijelaskan pada bab sebelumnya.
Hubungan manusia dan penderitaan dalam cerpen (1)
“Panggilan Rasul”, (2)“Karjan dan Kambingnya”, dan (3)
“Ayahku Seorang Guru Mengaji” seolah menjadi gambaran
bahwa manusia selalu dihadapkan dengan penderitaan dan
kebahagiaan secara silih berganti. Penderitaan yang ada dalam tiga
cerpen tersebut hadir dalam bentuk yang berbeda-beda dan
94
disikapi dengan cara yang berbeda. Pengarang yang mengakui
bahwa cerpennya ditulis berdasarkan apa yang didengar, dilihat,
dan dirasakan mampu menampilkan penderitaan yang dialami
manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Pada cerpen “Panggilan Rasul” penderitaan dimunculkan
melalui kecemasan-kecemasan luar biasa yang dirasakan oleh
Tuan Tanah dan keluarganya yang menantikan kabar dari proses
sunat rasul anak bungsunya. Kecemasan tersebut berasal dari
peristiwa beberapa tahun sebelumnya, yaitu ketika kedua anaknya
yang meninggal usai di sunat. Kematian dua anak Tuan Tanah
tersebut diduga diakibatkan oleh orang-orang yang menaruh
dendam atas keserakahan Tuan Tanah. Hal itu dapat dibuktikan
dengan kutipan di bawah ini.
“Di sekeliling pembaringan—dalam cemas yang
mendalam—satu rumpun keluarga anak sunatan itu
terus menancapkan mata mereka ke arah yang sama;
keseluruhannya tidak beda sebuah lingkaran di mana
dokter dan anak lelaki itu sebagai sumbu. Mereka
semua masih bermata redup. Kelelahan semalam
suntuk melayani tetamu yang membanjiri tiga teratak di
depan rumah, belum hilang dalam masa sesingkat itu.
tetapi mereka bergegas bangun, ketika mendadak
derum mobil terdengar memasuki pekarangan pada
subuh itu. Mereka mengiringi langkah dokter naik
tangga, dan sejurus kemudian terciptalah lingkaran di
kamar depan.”94
Kutipan di atas menggambarkan penderitaan batin atau psikis
yang dialami oleh Tuan Tanah dan keluarganya. Kecemasan dan
ketakutan merupakan salah satu perasaan yang membuat manusia
menderita. Kecemasan merupakan perasaan tidak menyenangkan
sebagai akibat dari peringatan akan datangnya bahaya. Pada
94
Ibid, h.68.
95
kutipan di atas kecemasan dirasakan oleh keluarga dari si anak
yang sedang disunat. Kecemasan tersebut berasal dari peristiwa
yang dialami oleh kedua kakak si anak yang meninggal setelah
melakukan sunat rasul. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Cermat sekali perempuan itu melangkah ke dinding.
Gambar-gambar itu diturunkannya. Satu persatu
ditatapnya erat-erat seolah tak pernah ia selama ini
melihatnya. Lalu mata yang kemerah-merahan
menahan tangis sejak pesta mulai sunyi, perlahan
kelopaknya dirapatkan. Segumpal besar air mata
bergulir di pipinya dan menitik menimpa kaca gambar
itu. Perlahan sekali gambar itu ia balikkan. Karton yang
berdebu diusapinya dengan ujung baju, samar-samar
membayang sederet tulisan. Ia tampak seperti membaca
tulisan itu: Kamaruddin, anak tertua, disunat rasul
tanggal 6 Februari 1952. Meninggal pada tanggal 6
Februari 1952.”95
“Karton yang sebuah lagi dibersihkannya pula dengan
ujung jari-jarinya yang gemetar. Di antara bayang-
bayang rambutnya yang terjulai menimpa karton itu
terbaca: Sayfuddin, anak, kedua, disunat rasul tanggal
10 November 1957. Meninggal dunia tanggal 11
November 1957.”96
“Oh masihkah akan ditulis juga kalimat-kalimat seperti
ini, dibelakang foto anakku yang ketiga itu nanti? Oh,
Tuhanku!” keluh wanita itu di antara isakannya.”97
Ketiga kutipan di atas menegaskan bahwa kecemasan yang
muncul dalam benak keluarga dan orang tua anak yang sedang
disunat berasal dari kematian dua anak sebelumnya setelah disunat
rasul. Kecemasan tersebut menimbulkan perasaan tidak berdaya
95
Ibid, h.70. 96
Ibid, h.70. 97
Ibid, h.70.
96
yang luar biasa, sehingga pada kutipan di atas orang tua si anak
yang disunat hanya mampu menangis dan menyampaikan
kegelisahannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Penderitaan dari segi yang berbeda ditemukan dalam cerpen
“Ayahku Seorang Guru Mengaji”. Pada cerpen tersebut
penderitaan dialami oleh seorang guru mengaji yang kehilangan
murid-muridnya karena kemajuan zaman. Penderitaan tersebut
mungkin diartikan berbeda bagi orang lain, tapi akibat yang mucul
dari permasalahan tersebut berupa kesedihan dan kekecewaan bagi
tokoh Ayah dalam cerpen “Ayahku Seorang Guru Mengaji”. Ayah
yang memiliki keyakinan dan semangat dalam mengajarkan ilmu
agama harus kehilangan murid-muridnya karena tergantikan oleh
kecanggihan alat-alat elektronik yang mulai masuk ke
kampungnya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Kemudian keadaan telah menjadi lain begitu listrik
masuk di sepanjang jalan tempat kami tinggal. Semua
rumah memasang listrik. Semua rumah membeli
televisi. Kulihat Ayah hanya mengajar sepuluh murid di
bawah cahaya lampu petromaks. Murid-muridnya yang
lain lebih tertarik menyimak acara di televisi daripada
menyimak ayat suci al-Qur’an di depan Ayah. Murid
yang sepuluh itu pun makin sehari ke sehari berkurang
satu-satu. Sampai pada saatnya tinggal aku sendiri yang
mengaji, walaupun sebenarnya aku telah khatam al-
Qur’an tiga kali. Dan ketika aku telah khatam al-Qur’an
tiga kali, Ayah sudah tidak menyimak aku membaca
ayat-ayat suci itu. aku hanya ingin menjaga agar Ayah
tidak merasa kehilangan seluruh muridnya.”98
Kutipan di atas menggambarkan penderitaan Ayah yang
kehilangan murid-muridnya akibat perkembangan teknologi yang
98
Ibid, h.24.
97
mulai memasuki kawasan tempat tinggalnya. Perasaan kehilangan
tersebut tidak disampaikan oleh tokoh Ayah secara langsung
melainkan disampaikan oleh tokoh Aku yang tak lain adalah
anaknya. Perasaan kehilangan tersebut jika dikaitkan dengan
psikologi kepribadian Freud, merupakan bentuk pertahanan dari
superego tokoh Ayah yang memiliki keinginan kuat dalam
mengajarkan ilmu agama. Keinginan Ayah tersebut tidak bisa
dilaksanakan maupun dipaksakan, karena Ayah tidak bisa
melawan kemajuan teknologi yang mengalihkan perhatian murid-
murid pengajiannya. Oleh sebab itu rasa sedih merupakan bentuk
pertahanan dari keinginan-keinginan ideal yang dimiliki Ayah.
Selain itu, penderitaan yang dialami oleh Ayah dalam cerpen
“Ayahku Seorang Guru Mengaji” bukan hanya sebatas kehilangan
murid, tetapi juga kehilangan pekerjaan. Ayah harus kehilangan
pekerjaannya sebagai pembuat kasur kapuk. Kasur kapuk buatan
Ayah harus tergantikan karena kehadiran kasur busa buatan
pabrik. Hal itu pula yang membuat Ayah harus beralih profesi
sebagai pembaca doa di pemakaman, seperti yang terlihat pada
kutipan berikut.
“Apakah mereka juga nanti bosan tidur di kasur karet
busa itu?” kata ibu ikut-ikutan. Ibu mulai menyindir
Ayah. Memang sudah hampir tiga bulan ini tidak
pernah ada orang datang ke rumah untuk memesan
kasur yang dibuat Ayah. Biasanya hampir dua kali
sebulan, orang akan datang ke rumah untuk memesan
kasur buatan Ayah. Kasur-kasur buatan Ayah dipesan
oleh pengantin-pengantin baru . Ayah terkenal sebagai
guru mengaji dan pembuat kasur di daerah tempat
tinggal kami. Itulah usaha Ayah sehari-hari membuat
kasur dan di malam hari menjadi guru mengaji.”99
99
Ibid, h.25.
98
Kutipan di atas mempertegas penderitaan yang dialami Ayah
yang kehilangan pekerjaan karena adanya kasur busa buatan
pabrik. Kehilangan pekerjaan dapat menjadi penyebab seseorang
merasa menderita. Hal itu disebabkan oleh rasa rendah diri yang
dialami seseorang karena ia tidak dapat memenuhi keinginan-
keinginan dan kebutuhannya baik secara fisik maupun mental.
Penderitaan yang muncul dalam cerpen “Karjan dan
Kambingnya” bersumber dari keadaan sosial seorang pria
bernama Karjan. Karjan merupakan sosok yang mewakili potret
kehidupan warga pinggiran rel kereta api. Karjan adalah seorang
kuli pencabut rumput di perlintasan rel kereta api. Ia berharap
untuk menjadi buruh harian tetap di perlintasan kereta api, akan
tetapi keinginannya itu tidak pernah terwujud karena selalu
dipandang sebelah mata oleh para jawatan kereta api. Karjan
diremehkan karena ia adalah penghuni gubuk-gubuk apak sebelah
utara rel kereta api. Kemiskinan seolah menjadi hal yang membuat
Karjan dan teman-temannya menderita. Hal itu didasarkan pada
teori pada bab sebelumnya. Kemiskinan merupakan suatu keadaan
di mana seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar
mereka. Dalam hal ini, kemiskinan ditampilkan melalui pekerjaan
yang dilakukan oleh Karjan dan teman-temannya, seperti yang
tampak pada kutipan berikut.
“Kami masih seperti yang kau tinggalkan. Aku masih
mencari upahan merumput di pekarangan-pekarangan
orang kaya. Syahroni si penjaga palang pintu itu,
memberi pekerjaan.”100
“Belum juga kau diusulkannya menjadi pegawai
harian?”101
100
Ibid, h.129.130. 101
Ibid, h.130.
99
“Maringan? Pendatang dari Sumatra itu?”102
“Tidak pernah tertangkap. Tampaknya dua jari
tangannya makin lihai saja!”103
“Parmin, si pemungut puntung itu?” 104
“Masih juga memungut puntung! Suatu kali dia
mendapatkan puntung cerutu. Kami menghisapnya
bergantian.”105
Keenam kutipan tersebut membuktikan bahwa kemiskinan
merupakan penderitaan yang mampu membuat manusia
melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal itu
dapat dilihat pada kutipan, Karjan menjadi kuli pencabut rumput,
sedangkan teman-temannya ada yang menjadi pencopet, dan
pemungut puntung rokok. Selain pekerjaan serabutan yang
dilakukan oleh Karjan dan teman-temannya, potret kemiskinan
juga dilukiskan melalui lingkungan tempat tinggal mereka yang
berada persis dipinggir rel kereta api. Hal itu dapat dilihat pada
kutipan berikut.
“… Jawatan kereta api telah acap kali menyuruh
bongkar gubuk-gubuk itu, tetapi dalam waktu yang
singkat gubuk-gubuk itu telah tumbuh seperti semula.
Mereka membangun gubuk-gubuk itu begitu dekat
dengan rel sehingga kereta api yang melintas
memadamkan lampu mereka. Dan bila malam, sebelum
mereka tidur pulas di dalam gubuk-gubuk pengap itu,
mereka memancing kantuk dengan kartu domino di
serambi depan gubuk mereka, bantalan-bantalan rel,
kereta itu. Mereka merokok dari puntung-puntung yang
mereka pungut dalam batangan baru…”106
102
Ibid, h.130. 103
Ibid, h.130. 104
Ibid, h.130. 105
Ibid, h.130. 106
Ibid, h.126.
100
Kutipan di atas menegaskan bahwa kemiskinan merupakan
salah satu bentuk penderitan. Kemiskinan membuat seseorang
tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya
sebagaimana layaknya. Hal itu telah dijelaskan pada bab
sebelumnya. Pada kutipan di atas, digambarkan kondisi tempat
tinggal penghuni gubuk liar di tepi rel kereta api yang tidak layak.
Ketika kereta api melintas, aliran listrik gubuk mereka ikut padam
terkena getaran kereta yang melintas. Selain itu, penghuni gubuk
liar itu juga harus merelakan jika sewaktu-waktu gubuk mereka
dibongkar oleh pihak kereta api karena dianggap mengganggu
estetika lingkungan dan perlintasan kereta api.
Berdasarkan hasil analisis di atas, penderitaan yang terdapat
pada tiga cerpen tersebut bersumber dari keinginan-keingan
masing-masing tokoh yang sulit untuk dipenuhi. Pada cerpen
“Panggilan Rasul”, Tuan Tanah menginginkan keselamatan untuk
putera ketiganya yang sedang disunat, meski ia sendiri tidak tahu
apa yang akan menimpa anaknya. Sementara itu, penderitaan
dalam cerpen “Ayahku Seorang Guru Mengaji” berasal keinginan
Ayah untuk terus mengajarkan ilmu agama dan alquran.
Keinginan tersebut mengalami kesulitan karena Ayah kehilangan
seluruh muridnya akibat perubahan zaman. Selanjutnya
penderitaan yang terdapat dalam cerpen “Karjan dan
Kambingnya” berasal dari keinginan Karjan agar dapat diangkat
sebagai buruh harian tetap namun sulit diwujudkan karena status
sosialnya. Oleh karena itu, penderitaan yang terdapat pada ketiga
cerpen ini dapat dikategorikan sebagai penderitaan batin karena
penderitaan itu muncul dari perasaan dan pikiran yang dimiliki
tokoh-tokoh yang ada dalam ketiga cerpen tersebut.
101
2. Manusia dan Kegelisahan
Kegelisahan merupakan perasaan khawatir, cemas, dan takut.
Rasa gelisah muncul dari dalam hati manusia sebagai respon atas
masalah yang sedang dihadapi. Rasa gelisah atau cemas menurut
Freud merupakan perasaan tidak menyenangkan yang disertai
dengan sensasi fisik yang memperingatkan orang terhadap bahaya
yang akan datang. Hal itu telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
Hubungan antara manusia dan kegelisahan hanya terdapat pada
cerpen “Panggilan Rasul”, karena cerpen ini menggambarkan
situasi menegangkan yang terjadi ketika anak seorang Tuan Tanah
sedang disunat rasul. Kegelisahan atau kecemasan dalam cerpen
ini digambarkan dari awal hingga akhir. Kecemasan dalam cerpen
ini jika dikaitkan dengan jenis kecemasan yang diungkapkan
Freud dalam psikologi kepribadian termasuk dalam kecemasan
realistik. Kecemasan ini menyerupai ketakutan. Kecemasan
realistik merupakan perasaan tidak menyenangkan dan tidak
spesifik terhadap suatu bahaya yang mungkin terjadi.
Pada cerpen “Panggilan Rasul” kecemasan realistik berasal
dari proses sunat rasul anak bungsu seorang Tuan Tanah.
Kecemasan itu muncul bukan tanpa alasan. Kecemasan muncul
karena prasangka-prasangka yang berasal dari peristiwa beberapa
tahun sebelumnya. Dua orang putra Tuan Tanah meninggal usai
disunat rasul. Kematian tersebut dikaitkan dengan racun-racun
yang dikirimkan orang-orang yang dendam atas perilaku buruk
Tuan Tanah. Oleh karena itu kecemasan muncul dalam benak
Tuan Tanah, Istri dan keluarganya yang sedang menunggu proses
sunat rasul anak bungsunya. Mereka merasa khawatir dan takut
kalau anak bungsunya akan mengalami hal yang sama dengan
kedua kakaknya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.
102
“Di sekeliling pembaringan—dalam cemas yang
mendalam—satu rumpun keluarga anak sunatan itu
terus menancapkan mata mereka ke arah yang sama;
keseluruhannya tidak beda sebuah lingkaran di mana
dokter dan anak lelaki itu sebagai sumbu. Mereka
semua masih bermata redup. Kelelahan semalam
suntuk melayani tetamu yang membanjiri tiga teratak di
depan rumah, belum hilang dalam masa sesingkat itu.
tetapi mereka bergegas bangun, ketika mendadak
derum mobil terdengar memasuki pekarangan pada
subuh itu. Mereka mengiringi langkah dokter naik
tangga, dan sejurus kemudian terciptalah lingkaran di
kamar depan.”107
Kutipan di atas menggambarkan kecemasan yang luar biasa
ketika menyaksikan proses sunat rasul yang akan dilakukan oleh
anak bungsu Tuan Tanah. Kecemasan atau kegelisahan bahkan
tidak mengizinkan seseorang untuk merasakan lelah. Hal itu dapat
dilihat pada kutipan di atas yang menyatakan bahwa keluarga
tersebut masih terlihat lelah usai melayani tamu undangan pesta
sunatan semalam. Akan tetapi, karena merasa khawatir mereka
segera bangun ketika dokter sunat mulai memasuki pekarangan
rumah.
Kegelisahan yang terlalu mendalam akan menghilangkan
kemampuan seseorang untuk merasakan kebahagiaan.
Kegelisahan pada tahap lebih lanjut menjelma menjadi ketakutan-
ketakutan yang menyiksa pikiran manusia itu sendiri. Pada bab
sebelumnya dijelaskan bahwa kecemasan atau kegelisahan yang
tidak dapat diatasi disebut dengan traumatik. Hal itu
mengakibatkan seseorang merasa tidak berdaya, seperti yang
tampak pada kutipan berikut.
107
Ibid, h.67-68.
103
“ Ibu anak sunatan itu, di manakah dia? Oh ia terbenam
di kamar sebelah. Ia tak sanggup melihat apa yang
sedang dialami anak lelakinya. Di pipinya mengalir dua
tetes air mata. Dari mulutnya keluar kalimat-kalimat
yang tersendat dalam dalam isak yang pilu. Lalu, ayah
anak itu? Di mana dia? Oh, dia juga terbenam di kamar
yang sama, di tempat istrinya melepas sedu-sedan.
Suami-istri itu dibalut kecemasan yang dalam.
Keduanya sama mendoa, memohon berita yang baik
dari kamar depan.”108
Kutipan tersebut membuktikan bahwa kecemasan mendalam
dirasakan kedua orang tua si anak yang sedang disunat.
Kecemasan dan kekhawatiran yang dirasakan membuat mereka
tidak berani menyaksikan proses sunat anaknya secara langsung.
Mereka hanya mampu menunggu di kamar yang bersebelahan
dengan si anak. Ketidakberdayaan tersebut disebabkan oleh
ketidakmampuan mengatasi rasa cemas atau gelisah yang luar
biasa.
Kegelisahan yang terjadi dalam cerpen “Panggilan Rasul”
seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Kegelisahan atau
kecemasan berasal dari ramalan-ramalan dukun yang mengatakan
bahwa kedua anak lelaki Tuan Tanah meninggal akibat racun yang
diletakkan di pisau dukun sunat. Dukun-dukun sunat itu dianggap
sebagai utusan orang-orang yang dendam atas keserakahan Tuan
Tanah. Berikut adalah kutipan yang mempertegas pernyataan
tersebut.
“Kalau begitu, mengapa Syaifuddin meninggal pada
hari kedua, setelah dia disunat? Darah tak banyak
keluar dari lukanya. Syaifuddin kan juga penurut.
Pendiam. Setengah bulan hampir dia mengurung diri;
karena kau ingatkan kelakuan abangnya sehari sebelum
disunat itu. Aku tidak percaya! Aku tidak percaya, jika
108
Ibid, h.69.
104
hanya oleh melompat-lompat dan berkejaran setengah
malam penuh. Aku tidak percaya itu. Aku mulai yakin
tentang desas-desus itu bahwa kau orang yang tamak.
Lintah darat. Inilah ganjarannya! Aku mulai percaya
desas-desus itu, tentang dukun-dukun yang mengilmui
luka di kemaluan anak-anak kita. Aku mulai yakin
bahwa itu karena kesombonganmu, kekiranmu,
angkuhmu, dan tak mau tahu dengan mereka. Aku
yakin, mereka menaruh racun di pisau-pisau dukun
itu.” 109
Kutipan tersebut membuktikan bahwa kecemasan atau
kegelisahan merupakan salah satu perasaan tidak menyenangkan
akibat adanya peringatan datangnya bahaya. Pada kutipan tersebut
bahaya yang kemungkinan terjadi berasal dari luar. Hal itu terlihat
dari kutipan yang menyatakan bahwa bahaya yang dikhawatirkan
tersebut berasal dari desas-desus terkait orang-orang yang dendam
terhadap Tuan Tanah dan mengirimkan racun melalui pisau-pisau
yang digunakan oleh dukun sunat. Hal itulah yang membuat Istri
Tuan Tanah merasa cemas dan gelisah menanti proses sunat rasul
anak bungsunya. Ia takut jika anak bungsunya mengalami hal
yang sama dengan kedua kakaknya yang meninggal setelah
disunat rasul.
3. Manusia dan Pandangan Hidup
Pandangan hidup diartikan sebagai cara seseorang memandang
kehidupan. Pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa pandangan
hidup berkaitan dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat.
Pandangan hidup terdiri atas cita-cita, kebajikan, dan sikap hidup,
sehingga terkadang pandangan hidup mencerminkan citra diri
109
Ibid, h.74.
105
seseorang karena pandangan hidup itu mencerminkan cita-cita
atau aspirasinya.
Hubungan manusia dan pandangan hidup ditemukan pada tiga
cerpen sekaligus yaitu “Panggilan Rasul”, “Karjan dan
Kambingnya”, dan “Ayahku Seorang Guru Mengaji”. Pandangan
hidup yang terdapat pada ketiga cerpen tersebut hadir dalam
bentuk yang berbeda karena permasalahan yang diangkat juga
berbeda.
Pandangan hidup dalam cerpen “Panggilan Rasul” tercermin
melalui tokoh Ibu atau Istri Tuan Tanah. Istri Tuan Tanah
memiliki pandangan hidup yang bersumber dari agama. Ia
memiliki keyakinan bahwa perbuatan buruk yang dilakukan oleh
manusia akan mendapatkan balasan dari Tuhan. Keyakinan
tersebut berkaitan dengan peristiwa yang menimpa kedua putranya
beberapa tahun sebelumnya. Ia dan suaminya harus kehilangan
dua putranya yang meninggal dunia usai disunat. Ia percaya
bahwa kematian kedua anaknya tersebut disebabkan oleh perilaku
suaminya yang tak lain adalah Tuan Tanah. Tuan Tanah
digambarkan sebagai sosok yang memiliki sifat serakah, tamak,
dan kikir. Sifat itulah yang kemudian memicu sakit hati banyak
orang, sehingga diduga ada beberapa orang yang telah berbuat
jahat terhadap kedua anaknya. Hal itu pula yang membuatnya
merasa takut kalau kejadian sebelumnya akan terulang kembali
dan menimpa putra bungsunya yang sedang disunat. Berikut
adalah kutipan yang menegaskan pernyataan tersebut.
“Kalau begitu, mengapa Syaifuddin meninggal pada
hari kedua, setelah dia disunat? Darah tak banyak
keluar dari lukanya. Syaifuddin kan juga penurut.
Pendiam. Setengah bulan hampir dia mengurung diri;
karena kau ingatkan kelakuan abangnya sehari sebelum
106
disunat itu. Aku tidak percaya! Aku tidak percaya, jika
hanya oleh melompat-lompat dan berkejaran setengah
malam penuh. Aku tidak percaya itu. Aku mulai yakin
tentang desas-desus itu bahwa kau orang yang tamak.
Lintah darat. Inilah ganjarannya! Aku mulai percaya
desas-desus itu, tentang dukun-dukun yang mengilmui
luka di kemaluan anak-anak kita. Aku mulai yakin
bahwa itu karena kesombonganmu, kekikiranmu,
angkuhmu, dan tak mau tahu dengan mereka. Aku
yakin, mereka menaruh racun di pisau-pisau dukun
itu.”110
Kutipan tersebut menggambarkan pandangan hidup Istri Tuan
Tanah. Pandangan hidup tersebut bersumber dari nilai-nilai agama
yang mengajarkan setiap manusia untuk senantiasa berbuat baik.
Pada kutipan tersebut, Istri Tuan Tanah meyakini bahwa apa yang
menimpa kedua anaknya adalah balasan atas perbuatan buruk
yang dilakukan oleh suaminya. Ia bahkan merasa perubahan
perilaku suaminya kepada warga yang pernah disakiti tak akan
mengubah keadaan, karena apa yang pernah dilakukan suaminya
adalah perbuatan dosa. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan
berikut.
“Kau terlambat. Mengapa baru dalam bulan-bulan ini
kau lakukan semua itu? Bagi mereka, mungkin itu
belum cukup. Mereka minta lebih banyak,
memusnahkan seluruh keturunan. Menginginkan
kematian Lasuddin juga. Oh apakah anak yang tak
berdosa itu akan mengulang nasib abang-abangnya?
Hanya buat menebus sikapmu yang kikir, tamak, lintah
darat. Oh, malangnya. Kejam sekali dendam-dendam
itu.111
Kutipan di atas menegaskan bahwa Istri Tuan Tanah meyakini
kematian anaknya disebabkan oleh perilaku buruk suaminya. Hal
110
Ibid, h.74. 111
Ibid, h.74.
107
itu ditegaskan dengan kalimat Hanya buat menebus sikapmu yang
kikir, tamak, lintah darat. Kalimat tersebut merupakan penegasan
bahwa perbuatan buruk akan mendapatkan balasan yang buruk
pula. Oleh karena itu, untuk mengharapkan keselamatan anaknya,
Istri Tuan Tanah bernazar untuk memberikan dua pertiga
sawahnya kepada warga kampung. Hal itu dapat dilihat pada
kutipan berikut.
“Wanita itu menatap lagi kedua gambar itu seperti tidak
akan pernah lekang dari matanya yang basah.
Kemudian ia menatap ke atas. Katanya, “Jika putraku
yang ini, Lasuddin, Kau selamatkan, ya Tuhan, kami
akan serahkan dua pertiga dari sawah-sawah itu buat
mereka.”112
“Kau setujui nadzarku kan?”113
Kedua kutipan tersebut menegaskan kepercayaan yang dimiliki
Istri Tuan Tanah. Ia percaya bahwa dengan bernadzar melakukan
kebaikan, maka permohonannya kepada Allah atas keselamatan
anaknya akan dikabulkan. Kepercayaan tersebut bersumber dari
dari nilai-nilai agama yang ia yakini. Hal itu dikarenakan nadzar
dalam agama mengandung banyak pengertian. Nadzar adalah
mewajibkan sebuah ibadah yang pada dasarnya tidak wajib
dengan menggunakan lafaz yang menunjukkan hal yang dimaksud
atau diniatkan.114
Nadzar menurut ulama fikih adalah salah satu
perkara yang diwajibkan oleh seorang Islam, terutama terhadap
dirinya sendiri dan semata-mata hanya karena Allah SWT.
Sementara itu, menurut Mahzab Syafi’i dan Mahzab Hanafi
nadzar itu merupakan sunnah jika tujuannya beribadah kepada
112
Ibid, h.71. 113
Ibid, h.71. 114
Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid. 5, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), h. 145.
108
Allah SWT, seperti sembahyang, puasa, haji, dan sedekah.115
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nadzar merupakan
janji manusia kepada Allah SWT dengan tujuan beribadah kepada-
Nya. Pada kutipan di atas, nadzar yang disampaikan oleh Istri
Tuan Tanah berbentuk sedekah. Ia berjanji untuk menyerahkan
dua pertiga sawahnya kepada orang-orang yang membutuhkan. Ia
memohon keselamatan untuk putra bungsunya melalui nadzar
yang ia sampaikan.
Pandangan hidup selanjutnya terdapat dalam cerpen “Ayahku
Seorang Guru Mengaji”. Cerpen ini sarat dengan nilai pandangan
hidup. Cerpen ini memusatkan kisahnya pada satu tokoh, yaitu
tokoh Ayah yang tak lain adalah seorang guru mengaji. Pandangan
hidup dalam cerpen ini memiliki kesamaan dengan cerpen
“Panggilan Rasul”, yaitu pandangan hidup yang bersumber dari
nilai-nilai agama yang diyakini. Dalam cerpen ini, Pandangan
hidup tentang nilai-nilai agama terpancar dari sosok Ayah yang
sangat religius. Berikut adalah kutipan yang menggambarkan
pandangan Ayah tentang kebiasaannya sebagai guru mengaji.
“Jangan kau nilai berapa yang mereka beri. Semua itu
amal. Amal jangan kau ukur dengan imbalannya. Sekali
kau menakar imbalannya, maka perbuatanmu itu bukan
lagi amal namanya. Tetapi, orang yang diupah! Aku
bukan orang yang diupah. Aku guru mengaji.” 116
“Capek katamu? Kalau kau masih mengeluh karena
capek, itu bukan amal lagi namanya! Tuhan akan
menunjukkan jalan untuk kita memasukkan listrik bila
saat dikehendaki-Nya.”117
115
Ahmad Shalaby, Kehidupan Sosial dalam Pemikiran Islam, (Jakarta: Amzah, 2001), h.
220. 116
Ibid, h.23. 117
Ibid, h.23-24.
109
Pada kutipan di atas jelas digambarkan bahwa Ayah memiliki
pandangan hidup yang bersumber dari nilai-nilai agama yang
diyakininya. Ayah menjelaskan kepada anaknya bahwa dalam
beramal, manusia tidak boleh mengukurnya dengan imbalan atau
materi yang akan didapat. Semua hal yang dilakukan dengan
tujuan beribadah, hendaknya dilandasi rasa ikhlas dan hanya
mengharap ridha-Nya. Hal itu sesuai dengan firman Allah dalam
surat Al-Baqarah ayat 207 yang artinya.
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan
dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah
Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Q.S. Al
Baqarah: 207)
Pandangan hidup Ayah dalam cerpen “Ayahku Seorang Guru
Mengaji” sangat berorientasi kepada nilai-nilai agama. Ia
menjadikan agama sebagai landasan sekaligus pedoman dalam
menjalani kehidupan, bahkan ketika dia harus kehilangan murid
dan pekerjaannya karena kemajuan zaman, ia tetap berpegang
teguh pada prinsip dan nilai yang diyakini. Hal itu dapat
dibuktikan dengan kutipan berikut.
“Aku tidak diam begitu saja setelah membaca Yaasiin
dan doa bagi mereka. Aku nasihati mereka. Aku
katakan semua ini kulakukan karena terpaksa. Ayat suci
bukan untuk orang yang telah mati. Tetapi untuk
petujuk bagi orang yang masih hidup. Ayat itu dibaca
dan diamalkan, menjadi pedoman bagi kita dan bekal
untuk menolong hidup setelah mati. Maka ku katakan
kepada mereka agar mempelajari agama serta
mengamalkannya. Selalu setiap selesai membaca doa,
aku berkata begitu kepada mereka. Aku adalah guru
agama. Aku mengajarkan agama dan membaca ayat
suci al-Qur’an kepada murid-muridku. Tetapi, karena
murid-murid tidak ada lagi yang hendak menuntut ilmu
agama di tempatku, maka aku terpaksa membacakan
ayat-ayat dan segala doa di makam ini untuk mereka.
110
Siapa yang mendengar? Orang yang meminta. Kalian
inilah. Kalian menganggap ayat-ayat itu sebagai
pelengkap waktu berziarah ke makam sanak keluarga.
Bukan semacam kebutuhan untuk penerang pada jalan
hidup di dunia dan bekal untuk di akhirat.”118
Kutipan tersebut menegaskan bahwa Ayah memiliki
pandangan hidup tentang penerapan nilai-nilai agama dalam
kehidupan. Pandangan hidup tersebut mencerminkan citra dirinya
sebagai seorang guru mengaji. Akan tetapi, ketika Ayah harus
menjadi pembaca doa di pemakaman, ia tetap menyampaikan
ajaran agama seperti saat dia menjadi guru mengaji.
Berbeda dengan “Ayahku Seorang Guru mengaji”, dan
“Panggilan Rasul”, pandangan hidup yang terdapat dalam cerpen
“Karjan dan Kambingnya” lebih condong pada pandangan hidup
yang dianut oleh beberapa orang atau kelompok sosial tertentu.
Oleh karena itu, pandangan hidup yang terdapat dalam cerpen ini
tidak bersifat mutlak dan tidak bersumber dari nilai-nilai yang
luhur. Pada cerpen ini, pandangan hidup tercermin dari sikap
petugas keamanan yang mencurigai Karjan sebagai pencuri
kambing. Petugas tersebut bersikeras menganggap Karjan sebagai
pencuri karena status sosialnya sebagai penghuni gubuk apak
pinggiran rel kereta api. Berikut adalah kutipan yang menegaskan
pernyataan tersebut.
“Kalau begitu kamu orang miskin! Jawab yang benar.
Dari mana kambing itu kau peroleh?” 119
“Jangan teruskan bohongmu! Orang miskin seperti
kamu, temannya adalah orang miskin. Orang miskin
118
Ibid, h.33.
119
Ibid, h.133.
111
tidak mungkin memberi seekor kambing kepada orang
miskin.”120
“Orang miskin yang telah menjadi kaya, adalah orang
kaya. Ingat! Dan perlu kau camkan: orang kaya, teman-
temannya adalah orang kaya. Orang miskin, temannya
adalah orang miskin. Orang miskin tidak mungkin
memberi seekor kambing kepada orang miskin.
Berdasarkan pertimbangan itu, Saudara kami
tangkap!”121
Ketiga kutipan tersebut menegaskan bahwa pandangan hidup
yang dimiliki oleh petugas keamanan tersebut didasari oleh sikap
yang dimilikinya. Seperti yang telah dijelaskan pada bab
sebelumnya bahwa pandangan hidup terdiri atas cita-cita,
kebajikan, dan sikap hidup. Oleh karena sikap hidup berkaitan
dengan keadaan hati dalam menghadapi kehidupan, maka setiap
individu memiliki sikap hidup sesuai dengan lingkungan dan
faktor lain yang membentuknya. Hal itu terlihat pada kutipan.
Petugas keamanan mencurigai kambing yang dibawa Karjan
merupakan hasil curian. Pendapatnya itu didasarkan pada asumsi
pribadinya bahwa orang miskin hanya memiliki teman yang
miskin, sehingga ia tidak bisa bersikap lebih bijaksana. Ia hanya
menilai seseorang berdasarkan status sosialnya.
Berdasarkan analisis yang dilakukan, pandangan hidup yang
tercermin dari ketiga cerpen tersebut memiliki makna yang sama.
Kesamaan makna yang dimaksud yaitu mengenai cara manusia
memandang kehidupan melalui nilai-nilai yang terdapat dalam
ajaran agama. Pada analisis tersebut, tampak tata cara yang
diajarkan agama dalam menjaga hubungan baik dengan sesama
120
Ibid, h.134. 121
Ibid, h.134.
112
manusia, mengamalkan ilmu yang dimiliki kepada orang-orang
yang membutuhkan, dan menghargai hak-hak orang lain dengan
tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan status sosialnya,
seperti yang disampaikan dalam agama bahwa setiap manusia
memiliki derajat yang sama di hadapan Tuhan. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa ketiga cerpen di atas berusaha
melukiskan pandangan hidup yang dimiliki manusia hendaknya
didasarkan pada nilai-nilai agama karena agama telah mengatur
tata cara dalam menjalani kehidupan.
4. Manusia dan Harapan
Harapan artinya keinginan yang belum terwujud. Setiap orang
mempunyai harapan. Tanpa harapan manusia tidak ada artinya
sebagai manusia. Harapan yang dimiliki manusia diwujudkan
dengan usaha dan kekuatan lain yang berasal dari luar dirinya.
Kekuatan tersebut dapat berupa bantuan manusia lain dan bantuan
Sang Pencipta.
Hubungan manusia dan harapan ditemukan dalam tiga cerpen
sekaligus yaitu, “Panggilan Rasul”, “Ayahku Seorang Guru
Mengaji”, dan “Karjan dan Kambingnya”. Harapan yang terdapat
dalam tiga cerpen tersebut berbeda-beda, karena keinginan dan
kebutuhan manusia juga berbeda, tergantung pada kebutuhan
manusia itu sendiri.
Pada cerpen “Panggilan Rasul”, hubungan manusia dan
harapan tampak pada sosok Tuan Tanah dan Istrinya yang
mengharapkan keselamatan bagi putera bungsunya yang sedang
disunat. Harapan itu seolah menjadi harapan terbesar mereka
karena dua putera sebelumnya meninggal setelah disunat rasul.
113
Besarnya harapan sang istri membuatnya bernazar kepada Allah
SWT, seperti yang tampak pada kutipan berikut.
“Wanita itu menatap lagi kedua gambar itu seperti tidak
akan pernah lekang dari matanya yang basah.
Kemudian ia menatap ke atas. Katanya, “Jika putraku
yang ini Kau selamatkan, ya Tuhan, kami akan
serahkan dua pertiga dari sawah-sawah itu buat
mereka.”122
Kutipan tersebut menegaskan harapan Istri Tuan Tanah atas
keselamatan puteranya, bahkan ia rela menjanjikan sepertiga
sawahnya untuk diberikan kepada warga yang membutuhkan.
Nazar yang dibuat istri Tuan Tanah tersebut merupakan sebuah
permohonan yang ia panjatkan kepada Tuhan, sebagai bentuk
usaha untuk mewujudkan harapannya. Bukan hanya istrinya saja
yang mengharapkan keselamatan atas puteranya, tetapi juga sang
Tuan Tanah pun memanjatkan doa untuk keselamatan anaknya,
meski dalam bentuk yang berbeda. Hal itu dapat dilihat pada
kutipan berikut.
“Mudah-mudahan mereka tidak melakukan itu. Oh,
Tuhanku, hanya dia yang kuharap melanjutkan
keturunanku. Pewaris harta yang sebanyak ini.”123
Kutipan di atas membuktikan bahwa manusia memiliki
harapan untuk memperoleh kelangsungan hidup (survival). Hal itu
sesuai dengan teori kebutuhan yang digagas oleh Maslow dalam
Munandar yakni, 1) Harapan untuk memperoleh kelangsungan
hidup (survival), 2) Harapan untuk memperoleh keamanan
(safety), 3) Harapan untuk memiliki hak dan kewajiban untuk
mencintai dan dicintai (beloving and love), 4) Harapan untuk
122
Ibid, h.71. 123
Ibid, h.75.
114
memperoleh status atau untuk diterima atau diakui lingkungan,
dan 5) Harapan untuk memperoleh perwujudan dan cita-cita (self
actualization).124
Dalam hal ini harapan yang dimiliki Tuan Tanah
memiliki makna lain. Ia mengharapkan keselamatan puteranya
bukan berdasarkan kasih sayangnya sebagai orang tua, melainkan
karena ia merasa putera bungsunya merupakan pewaris tunggal
harta kekayaannya.
Hal yang sama juga terjadi dalam cerpen “Ayahku Seorang
Guru Mengaji”, meski tujuan yang ingin dicapai oleh tokoh Ayah
dalam cerpen ini berbeda dengan Tuan Tanah dalam cerpen
“Panggilan Rasul”. Harapan yang terdapat dalam cerpen ini juga
terkait dengan kelangsungan hidup, yakni tokoh Ayah yang tak
lain adalah seorang guru mengaji menginginkan anaknya untuk
melanjutkan jejaknya sebagai guru mengaji. Hal itu terlihat pada
kutipan berikut.
“…Sudah saatnya kau ikut mengajar mengaji. Kalau
kau tidak mau mengikuti jejakku, siapa yang akan
mengajarkan ajaran Ilahi itu kepada anak-anak yang
baru tumbuh? Kau harus menjadi guru mengaji. Ajari
mereka! Tidak semua anak-anak itu berkesempatan
masuk sekolah madrasah. Mereka siang sekolah di
sekolah umum, malam harinya mengaji. Maka, orang-
orang seperti kitalah yang mengajari mereka.”125
Kutipan tersebut menegaskan bahwa harapan yang dimiliki
oleh setiap manusia kemungkinan sama, meski tujuan yang ingin
dicapai sangat berbeda. Tokoh Ayah yang memiliki kebiasaan
sebagai guru mengaji memiliki keinginan dan cita-cita yang mulia.
Hal itu dapat dilihat pada kutipan di atas yang menyatakan bahwa
124
Djoko Widagdho, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h.187. 125
Hamsad Rangkuti, Op,Cit., h.23.
115
ia merasa memiliki kewajiban untuk membagikan ilmu agamanya.
Ia merasa bahwa mengajarkan ayat suci alquran merupakan
kewajiban bagi setiap muslim yang memiliki pengetahuan lebih
tentang alquran maupun nilai-nilai keagaman.
Selain pada tokoh Ayah, harapan juga tercermin dari tokoh Ibu
yang tak lain istri Ayah. Harapan yang muncul masih dalam
bentuk yang sama yaitu harapan untuk memperoleh
keberlangsungan hidup. Harapan itu merupakan sebuah keinginan
Ibu untuk memenuhi kebutuhan jasmani diri dan keluarganya. Hal
itu terlihat dari bujukan-bujukan Ibu yang ditujukan kepada Ayah
agar mau menjadi pembaca doa di pemakaman. Keinginan
tersebut muncul karena Ayah kehilangan pekerjaan. Ayah yang
bekerja sebagai pembuat kasur kapuk harus rela kehilangan
pelanggan karena adanya kasur busa buatan pabrik. Oleh karena
itu, Ibu terus berusaha membujuk Ayah agar mau menjadi
pembaca doa di pemakaman. Berikut adalah kutipan yang
membuktikan pernyataan tersebut.
“Kau hafal semua ayat. Peziarah- peziarah itu suka
dengan ayat-ayat yang panjang. Makin lama doa
dibacakan, kata Pak Sanusi, para peziarah itu suka
memberi uang banyak. Mulailah, dari pada
menganggur. Atau pelajari dulu situasinya. Datang ke
makam. Perhatikan mereka dari tempat aku menjual
bunga. Payung ada di belakang. Pakai sarung. Jangan
pakai pantalon. Kalau orang telah mengenal Pak
Achmad sebagai pendoa yang baik di pemakaman,
tentu kau telah menemukan mata pencaharian baru.
Cobalah! Kelebihan jangan dipendam di rumah.”126
Kutipan di atas membuktikan bahwa manusia selalu memiliki
harapan, meskipun tidak selalu bersifat mewah dan berlebihan.
126
Ibid, h.27-28.
116
Pada kutipan di atas, terlihat bahwa Ibu berharap dengan menjadi
pembaca doa di pemakaman, Ayah tidak lagi menjadi
pengangguran. Ibu menganggap bahwa menjadi pembaca doa di
pemakaman merupakan sebuah profesi. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa harapan Ibu dan Ayah sangat berbeda, jika Ibu lebih
berorientasi kepada hal-hal yang bersifat duniawi sedangkan Ayah
lebih mementingkan hal-hal yang berkaitan dengan agama dan
akhirat.
Selanjutnya adalah harapan yang terdapat dalam cerpen
“Karjan dan Kambingnya”. Harapan yang ditemukan dalam
cerpen ini lebih cenderung mengarah kepada harapan untuk
memperoleh perwujudan dan cita-cita. Kemiskinan yang menjerat
Karjan dan teman-temannya membuat mereka sulit untuk
memenuhi keinginan-keinginan yang mungkin bagi orang lain
hanyalah hal sederhana. Karjan dan teman-temannya ingin sekali
menyantap kambing guling seperti yang mereka lihat di sebuah
pesta orang-orang kaya. Akan tetapi, karena keterbatasan ekonomi
tersebut, mereka hanya mampu menikmati sate kulit kerbau
sambil menganggapnya sebagai sate kambing guling. Hal itu dapat
dibuktikan pada kutipan berikut.
“Aku meneruskan usaha mertuaku. Beternak kambing.
Aku juga berkeliling membeli kambing-kambing
penduduk dan membawanya ke Jakarta. Ada oleh-oleh
untuk kalian. Aku masih saja tetap ingat bagaimana kita
mengintip pesta taman orang gedean di Jalan
Proklamasi. Kita menelan ludah melihat kambing
guling itu.”127
127
Ibid, h.131.
117
“Ya, aku ingat! Kita beli sate kulit kerbau dari
pedagang pikulan dan kita bilang pada diri kita, itulah
daging sate kambing guling!”128
Kedua kutipan di atas menegaskan tentang harapan yang
dimiliki manusia untuk memperoleh perwujudan atau cita-cita.
Keinginan Karjan dan teman-temannya untuk memakan kambing
guling sulit diwujudkan karena keterbatasan ekonomi mereka. Hal
itu sangat berbanding terbalik dengan orang-orang gedean yang
mengadakan pesta taman dengan menu kambing guling. Hal itu
seolah menyiratkan bahwa makanan lezat hanya dapat dinikmati
oleh orang-orang kaya sedangkan orang-orang miskin hanya
mampu menikmati makanan lezat itu dalam angan-angan dan
mimpi.
Selain harapan untuk memperoleh perwujudan, dalam cerpen
Karjan dan Kambingnya juga terdapat harapan yang berkaitan
dengan perolehan status atau penerimaan dilingkungannya. Hal itu
terlihat ketika Karjan mencoba menyanggah tuduhan petugas
keamanan kepadanya. Berikut adalah kutipan yang membuktikan
pernyataan berikut.
“Saya tinggal di gubuk-gubuk apak di sebelah utara
stasiun. Kami adalah orang-orang miskin yang
merindukan makan sate kambing guling. Parman
memberikannya kepada kami, malam ini, Pak.”129
“Pada suatu saat orang miskin itu ada yang menjadi
kaya, itulah yang terjadi, Pak.”130
Kedua kutipan tersebut membuktikan bahwa manusia juga
memiliki harapan untuk memperoleh penerimaan dari
128
Ibid, h.131. 129
Ibid, h.134. 130
Ibid, h.134.
118
lingkungannya. Karjan dalam kutipan di atas berusaha
menjelaskan identitasnya dan alasan bagaimana ia mendapatkan
seekor kambing. Hal itu ia lakukan agar keterangan yang ia
sampaikan pada petugas dapat diterima. Karjan juga berharap agar
petugas keamanan dapat mengubah persepsinya tentang orang
miskin. Karjan ingin mengatakan bahwa orang miskin tidak
selamanya identik dengan keburukan. Karjan juga berusaha
menyampaikan bahwa orang miskin tidak selamanya menjadi
orang miskin, bukan hal yang mustahil jika orang miskin dapat
berubah menjadi orang kaya. Hal itulah yang kemudian dapat
dikategorikan sebagai harapan manusia untuk memperoleh
pengakuan dari lingkungannya.
Berdasarkan analisis ketiga cerpen tersebut, dapat disimpulkan
bahwa harapan yang dimiliki oleh kebanyakan manusia berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan. Pada ketiga cerpen tersebut
kebutuhan yang memicu adanya harapan adalah kebutuhan akan
kelangsungan hidup. Dengan adanya kebutuhan tersebut membuat
manusia memiliki keinginan-keingan tertentu untuk diwujudkan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa harapan merupakan salah satu
motivasi manusia untuk melanjutkan hidupnya.
5. Manusia dan Keadilan
Keadilan secara sederhana diartikan sebagai pengakuan dan
perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Akan tetapi,
dalam pengertian yang lebih luas keadilan berkaitan dengan
masalah kemanusiaan. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan
bahwa berbuat adil berarti menghargai atau menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia. Berbuat tidak adil berarti
menginjak-injak harkat dan martabat manusia; karena dengan
119
berbuat demikian ada manusia yang dirugikan. Berbuat tidak adil
berarti menganggap manusia lain lebih rendah atau lebih tinggi
daripada yang lain, meski pada hakikatnya manusia itu sama
derajatnya di hadapan Tuhan.
Hubungan manusia dan keadilan hanya terdapat pada cerpen
“Karjan dan Kambingnya”, meskipun yang ditemukan justru
merupakan masalah ketidakadilan. Akan tetapi, justru masalah
ketidakadilan perlu dijelaskan karena dengan mengetahui bentuk
ketidakadilan, seseorang akan mampu membedakan antara
keadilan dan ketidakadilan.
Ketidakadilan muncul pada cerpen “Karjan dan Kambingnya”
melalui permasalahan yang dihadapi oleh Karjan. Ketidakadilan
itu muncul ketika Karjan membawa seekor kambing pemberian
temannya melintasi gardu keamanan. Seorang petugas keamanan
mulai mencurigai Karjan yang sedang membawa seekor kambing.
Kecurigaan petugas keamanan merupakan hal yang wajar, jika ia
mau mendengarkan dan memperlakukan Karjan dengan bijaksana.
Akan tetapi, yang tampak adalah perilaku tidak adil yang
dilakukan oleh petugas keamanan, seperti yang tampak pada
kutipan berikut.
“Kamu penghuni gubuk-gubuk gelandangan itu?”131
“Benar, Pak.”132
“Kalau begitu kau orang miskin! Jawab yang benar.
Dari mana kambing ini?”133
“Pemberian teman saya.”134
131
Ibid, h.133. 132
Ibid, h.133. 133
Ibid, h.133. 134
Ibid, h.133.
120
“Tidak mungkin! Orang miskin temannya adalah orang
miskin! Jawab yang benar. Dari mana kambing ini kau
peroleh?”135
Keempat kutipan di atas menggambarkan perilaku tidak adil
yang dilakukan oleh petugas keamanan tehadap Karjan.
berdasarkan teori “manusia dan keadilan” pada bab sebelumnya,
berbuat adil salah satunya dilakukan dengan menghargai harkat
dan martabat manusia. Akan tetapi kutipan di atas tidak
mencerminkan perilaku adil, tetapi justru memperlihatkan perilaku
tidak adil atau sering pula disebut dengan diskriminatif. Hal itu
terlihat dari sikap petugas keamanan yang semakin curiga setelah
mengetahui bahwa Karjan merupakan salah satu penghuni gubuk-
gubuk pinggiran rel kereta api. Petugas keamanan menganggap
bahwa keterangan yang disampaikan Karjan tidak benar. Ia
berpendapat bahwa tidak akan ada orang miskin yang mampu
memberikan seekor kambing kepada orang miskin lainnya,
seperti yang terlihat pada kutipan keempat.
Perilaku pertugas keamanan semakin menjadi-jadi ketika
mengetahui Karjan hanyalah orang miskin. Ia menganggap bahwa
orang-orang yang miskin tidak mungkin memiliki teman yang
kaya. Ia membeda-bedakan manusia berdasarkan status sosialnya.
Berikut adalah kutipan yang menegaskan pernyataan di atas.
“Jangan teruskan bohongmu! Orang miskin seperti
kamu, temannya adalah orang miskin. Orang miskin
tidak mungkin memberi seekor kambing kepada orang
miskin.”136
“Orang miskin yang telah menjadi kaya, adalah orang
kaya. Ingat! Dan perlu kau camkan: orang kaya, teman-
135
Ibid, h.133. 136
Ibid, h.134.
121
temannya adalah orang kaya. Orang miskin, temannya
adalah orang miskin. Orang miskin tidak mungkin
memberi seekor kambing kepada orang miskin.
Berdasarkan pertimbangan itu, Saudara kami
tangkap!”137
Kedua kutipan di atas membuktikan bahwa manusia sebagai
makhluk individual terkadang mengesampingkan nilai keadilan,
meskipun hal itu merupakan bentuk pengingkaran sila kelima
Pancasila yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Sila tersebut memiliki makna bahwa setiap orang di
Indonesia akan mendapat perilaku yang adil baik dalam bidang
hukum, poilitik, sosial , ekonomi, dan budaya.138
Pada makna sila
tersebut yang perlu digarisbawahi adalah frasa setiap orang, jadi
semua orang berhak mendapatkan keadilan, tidak terkecuali
orang-orang miskin seperti Karjan. Oleh karena itu, perilaku
petugas keamanan di atas dapat dikategorikan sebagai bentuk
ketidakadilan, karena ia menuduh seseorang sebagai pencuri
hanya berdasarkan status sosial orang tersebut.
6. Manusia dan Cinta Kasih
Secara sederhana cinta bisa diartikan sebagai paduan rasa
simpati antara dua makhluk. Lebih lanjut dijelaskan bahwa cinta
adalah sikap, suatu orientasi watak yang menentukan hubungan
pribadi dengan dunia keseluruhan, bukan menuju satu “objek”
cinta. Oleh karena itu cinta hadir dalam berbagai dimensi seperti
cinta persaudaraan, cinta keibuan, cinta erotis, cinta diri sendiri,
dan cinta terhadap Allah. Bersumber dari cinta-cinta tersebut,
137
Ibid, h.134. 138
Munandar Sulaeman, M. Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar, (Bandung: PT Refika
Aditama, 1998), h.72.
122
seperti yang dikemukakan berikut ini, manusia memberikan kasih
sayangnya kepada yang lain, terutama kepada sesama manusia
dalam mewujudkan hubungan pribadinya.139
Hubungan manusia dan cinta kasih ditemukan dalam dua
cerpen sekaligus yaitu, cerpen “Ayahku Seorang Guru Mengaji”
dan “Karjan dan Kambingnya”. Sama halnya dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang telah dibahas sebelumnya, cinta kasih yang
muncul dalam dua cerpen tersebut juga hadir dalam bentuk yang
berbeda.
Cinta kasih yang ditemukan pada cerpen “Ayahku Seorang
Guru Mengaji” lebih mengarah pada cinta manusia kepada
Tuhannya. Cinta manusia kepada Tuhan merupakan tingkatan
cinta yang paling tinggi. Tidak semua manusia mampu
memunculkan rasa cintanya kepada Sang Pencipta. Hanya
manusia yang memiliki ketulusan dan kemurnian hati dalam
mengimani agama dan Tuhannya yang mampu memiliki cinta
kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini, cinta kasih
kepada Tuhan hadir melalui tokoh utama dalam cerpen “Ayahku
Seorang Guru Mengaji”. Tokoh utama dalam cerpen ini adalah
Ayah, seorang guru mengaji di kampungnya yang bekerja sebagai
pembuat kasur kapuk. Bagi Ayah, mengajarkan ilmu agama dan
ayat suci Alquran bukan lagi menjadi sebuah kewajiban,
melainkan menjadi tanggung jawab. Ayah memiliki pandangan
bahwa seorang muslim yang memiliki pengetahuan lebih di
bidang agama, memiliki tanggung jawab untuk mengajarkannya
kepada orang lain atau muslim yang lain. Berikut adalah kutipan
yang memperkuat pernyataan tersebut.
139
Supartono, Ilmu Budaya Dasar, (Bogor: Ghalia Indah, 2004),h.57.
123
“…Sudah saatnya kau ikut mengajar mengaji. Kalau
kau tidak mau mengikuti jejakku, siapa yang akan
mengajarkan ajaran Ilahi itu kepada anak-anak yang
baru tumbuh? Kau harus menjadi guru mengaji. Ajari
mereka! Tidak semua anak-anak itu berkesempatan
masuk sekolah madrasah. Mereka siang sekolah di
sekolah umum, malam harinya mengaji. Maka, orang-
orang seperti kitalah yang mengajari mereka.”140
Kutipan di atas membuktikan bahwa cinta kasih manusia
kepada Tuhan membuat manusia tidak lagi merasa terbebani
ketika menjalankan perintah-Nya. Cinta kepada Tuhan justru
membuat manusia merasa bertanggung jawab atas agama dan
Tuhannya. Ia menjadikan hal yang seharusnya menjadi kewajiban
berubah menjadi kebutuhan.
Selain itu cinta ikhlas manusia kepada Tuhan, dalam hal ini
Allah SWT, akan mendorong dan mengarahkan manusia kepada
penundukan semua bentuk kecintaannya.141
Pada cerpen “Ayahku
Seorang Guru Mengaji”, kecintaan kepada Allah juga
mengarahkan Ayah untuk mencintai sesama manusia. Hal itu
tampak pada kepeduliannya terhadap orang-orang yang
membutuhkan ajaran agama untuk pedoman hidup sekaligus bekal
di akhirat. Berikut adalah kutipan yang menegaskan pernyataan
tersebut.
“Apalagi yang diinginkan mereka? Harta telah
melimpah. Hanya pegangan yang ingin dicari mereka.
Itu cuma bisa didapatkan dalam agama. Mereka
sekarang sedang memerlukannya.”142
“Banyak permintaan untuk mengajar agama di rumah-
rumah sahabat mereka. Aku hampir tidak punya waktu.
140
Ibid, h.23. 141
Munandar Sulaeman, Op,Cit., h.58. 142
Hamsad Rangkuti, Op,Cit., h..36.
124
Kupikir kesempatan mengajar harus diberikan juga
kepada Pak Sanusi. Ajaran agama untuk orang yang
hidup! Bukan untuk orang yang telah meninggal. Pak
Sanusi mungkin sependapat dengan aku! Dia harus
mengajar kembali. Banyak orang kaya mencari guru
agama untuk mendidik anak-anak mereka. Mereka
tidak sempat mengantarkan anak-anak mereka ke
surau-surau atau ke rumah guru mengaji. Mereka
mendatangkan guru agama ke rumah mereka. Pak
Sanusi harus ku ajak. Sayang ilmu agamanya hanya
dibacakan untuk orang yang telah mati. Pak Sanusi
harus ku ajak. Agama untuk orang yang hidup! Bukan
untuk orang yang mati!143
Kedua kutipan di atas menegaskan bahwa cinta manusia
kepada Allah mampu menjadikan manusia mengarah kepada hal-
hal yang baik. Hal-hal baik yang dimaksud adalah seperti yang
tampak pada kutipan-kutipan di atas. Kepedulian Ayah kepada
orang-orang yang membutuhkannya, juga kepada sahabatnya Pak
Sanusi merupakan dampak positif atas cinta murninya kepada
Allah SWT.
Berbeda dengan “Ayahku Seorang Guru Mengaji”, cerpen
“Karjan dan Kambingnya” melukiskan cinta persahabatan yang
sangat dalam. Cinta persahabatan tercermin dari persahabatan
antara Parman dan Karjan serta penghuni gubuk-gubuk apak
pinggiran rel kereta api. Cinta persahabatan tampak ketika Parman
memberikan seekor kambing sebagai pemenuhan keinginan
teman-temannya yang tak mampu menyantap kambing guling. Hal
itu dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Aku meneruskan usaha mertuaku. Beternak kambing.
Aku juga berkeliling membeli kambing-kambing
penduduk dan membawanya ke Jakarta. Ada oleh-oleh
untuk kalian. Aku masih saja tetap ingat bagaimana kita
143
Ibid, h.36.
125
mengintip pesta taman orang gedean di Jalan
Proklamasi. Kita menelan ludah melihat kambing
guling itu.”144
“Ya, aku ingat! Kita beli sate kulit kerbau dari
pedagang pikulan dan kita bilang pada diri kita, itulah
daging sate kambing guling!”145
Cinta persahabatan tampak begitu jelas pada kedua kutipan di
atas. Hal itu dapat dilihat dari ingatan akan peristiwa kecil yang
dialami Parman ketika bersama Karjan dan teman-temannya.
Kenangan itu pula yang membuat Parman merasa sangat perlu
untuk memenuhi keinginan teman-temannya yang ingin makan
kambing guling.
Cinta persahabatan yang terjalin antara Parman, Karjan dan
teman-temannya bukan lagi sebatas pengorbanan materil. Lebih
daripada itu persahabatan yang terjalin di antara Parman, Karjan
dan teman-temannya karena mereka pernah berada pada situasi
yang sama dalam konteks hubungan sosial. Parman yang pernah
tinggal bersama di gubuk-gubuk apak pinggiran rel nyatanya
masih ingat kepada Karjan dan teman-temannya, bahkan ia
menanyakan kabar mereka satu-persatu kepada Karjan. Berikut
adalah kutipan yang menegaskan pernyataan tesebut.
“Bagaimana keadaan teman-teman?”146
“Belum juga kau diusulkannya menjadi pegawai harian
tetap?”147
“Maringan? Pendatang dari Sumatera itu?”148
144
Ibid, h.131. 145
Ibid, h.131. 146
Ibid, h.130. 147
Ibid, h.130. 148
Ibid, h.130.
126
“Parmin si pemungut puntung itu?”149
“Bawa pulang! Aku telah menyediakannya untuk pesta
kambing guling malam Lebaran kalian. Tiga hari yang
lalu juga aku membawa kambing-kambing. Dan aku
melihat kau.”150
“Salam sama teman-teman. Katakan aku tidak bisa
mampir. Kambing-kambing dalam gerbong barang ini
harus ku serahkan malam ini juga kepada tengkulaknya
di Tanah Abang. Baiklah, Karjan. Sampai ketemu dan
selamat Lebaran.”151
Keenam kutipan tersebut membuktikan bahwa cinta
persahabatan muncul dalam bentuk perhatian dan kepedulian yang
tulus. Perhatian dan kepedulian merupakan salah satu unsur dari
cinta kasih. Jika merujuk pada teori yang telah dijelaskan
sebelumnya, maka cinta persahabatan juga dapat mewujud dalam
bentuk kasih sayang. Oleh karena itu, kutipan di atas
menggambarkan perhatian Parman kepada Karjan dan teman-
temannya yang pernah menjadi bagian hidupnya selama berada di
gubuk-gubuk apak pinggiran rel kereta api.
Berdasarkan analisis mengenai cinta kasih yang terdapat pada
kedua cerpen tersebut dapat disimpulkan bahwa cinta kasih tulus
yang dimiliki manusia akan mengarahkan manusia untuk
senantiasa berbuat baik. Cinta kasih yang dimaksud dapat berupa
cinta kasih persahabatan, cinta kasih terhadap sesama manusia
maupun cinta kasih manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
149
Ibid, h.130. 150
Ibid, h.132. 151
Ibid, h.132.
127
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA
Salah satu fungsi sastra yang amat terkenal yang dicetuskan Horace
yaitu dulce and utile (menghibur dan bermanfaat).152
Berdasarkan fungsi
tersebut pengajaran sastra diharapkan bukan sekedar untuk memenuhi
tuntutan materi ajar yang ada dalam kurikulum dan silabus yang ada.
Lebih daripada itu, pengajaran sastra diharapkan dapat membentuk
karakter siswa melalui pengalaman belajar.
Saat ini para guru, dosen, dan ahli sastra sepakat bahwa pengajaran
yang konvensional harus ditinggalkan dan diganti dengan pengajaran
sastra yang baru. Dalam pengajaran sastra yang baru, titik berat
pengajaran sastra adalah apresiasi sastra.153 Apresiasi satra diartikan
sebagai kegiatan menggali karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga
menumbuhkan pengertian, pengharapan, kepekaan pikiran kritis, dan
kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra.154
Lebih lanjut
Aminuddin menjelaskan bahwa apresiasi sebagai suatu kegiatan
melibatkan tiga aspek yaitu: 1) aspek kognitif, 2) aspek emotif, dan 3)
aspek evaluatif.155
Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelektual pembaca
dalam upaya memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif,
seperti unsur intrinsik dan ekstrinsik sebuah karya sastra. Aspek
berikutnya adalah aspek emotif. Aspek ini berkaitan dengan keterlibatan
unsur emosi pembaca sebagai upaya dalam menghayati unsur-unsur
keindahan sebuah teks sastra yang dibaca. Sementara itu, aspek evaluatif
merupakan aspek yang berhubungan dengan kegiatan memberikan
152
Wellek, Renne., dan Warren, Austin. Teori Kesusastraan, Terj. dari Theory of Literature
oleh Melani Budianta. (Jakarta: Gramedia,1989), h.25. 153
Sumardi, Panduan Apresiasi Cerpen untuk Siswa dan Mahasiswa, (Jakarta: Uhamka Press,
2012), h.21. 154
Jakob Sumarjo dan Saini KM, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia, 1986), h.9. 155
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2015),
h.34.
128
penilaian terhadap baik-buruk, indah-tidak indah, sesuai-tidak sesuai,
serta sejumlah penilaian lain yang dimiliki secara personal oleh pembaca.
Setelah itu, pada tahap yang lebih lanjut apresiator mampu meresponsi
teks sastra yang dibaca sampai pada tahapan pemahaman dan
penghayatan sekaligus juga melakukan penilaian.156
Berdasarkan kegiatan apresiasi karya sastra tersebut, siswa diharapkan
dapat mengambil nilai-nilai positif yang terdapat dalam sebuah karya
sastra. Selain meningkatkan minat baca siswa terhadap karya sastra,
kegiatan apresiasi sastra dapat meningkatkan cara berpikir kritis. Hal itu
didasarkan pada proses yang dilalui siswa ketika memberikan penilaian
terhad ap sebuah karya sastra, siswa dituntut untuk menganalisis dan
memahami lebih jauh teks sastra maupun performansi karya sastra. Selain
itu, siswa dapat mengaitkan pengalaman membaca karya sastra dengan
situasi sosial masyarakat di lingkungannya maupun dengan fenomena-
fenomena lainnya, sehingga pembelajaran tersebut memberikan kesan dan
manfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Kegiatan apresiasi juga dapat dijadikan sarana pembentukan karakter
siswa secara tidak langsung, karena dalam praktiknya siswa diajak untuk
memahami nilai maupun pesan yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Siswa tidak dipaksa dengan aturan-aturan maupun kegiata-kegiatan
monoton yang menuntut mereka untuk memiliki sikap dan perilaku ideal,
sedangkan apresiasi sastra memberikan pilihan nilai-nilai yang positif
maupun negatif dalam bentuk gambaran kehidupan manusia.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, pengajaran sastra
diharapkan dapat membentuk karakter siswa dengan cara yang berbeda.
Penyimpangan dan kenakalan remaja bahkan hal-hal yang mengarah pada
156
Ibid, h.34-35.
129
kriminalitas diharapkan dapat diminimalisasi melalui pembentukan
karakter siswa dalam pengajaran sastra.
130
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tiga cerpen dalam
kumpulan cerpen Panggilan Rasul karya Hamsad Rangkuti, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut.
1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat enam nilai kemanusiaan
pada tiga cerpen dalam kumpulan cerpen Panggilan Rasul. Tiga cerpen
yang dimaksud yaitu, Panggilan Rasul, Karjan dan Kambingnya, dan
Ayahku Seorang Guru Mengaji. Nilai kemanusiaan yang terdapat dalam
tiga cerpen tersebut antaralain adalah manusia dan penderitaan, manusia
dan kegelisahan, manusia dan pandangan hidup, manusia dan harapan,
manusia dan cinta kasih serta manusia dan keadilan. Nilai-nilai tersebut
tidak semuanya terefleksikan pada tiga cerpen dalam kumpulan cerpen
Panggilan Rasul. Akan tetapi ada tiga nilai yang mendominasi ketiga
cerpen tersebut, yaitu manusia dan penderitaan, manusia dan pandangan
hidup, serta manusia dan harapan. Ketiga nilai tersebut mewakili
permasalahan yang diungkapkan oleh pengarang dalam cerpen. Pengarang
menampilkan nilai-nilai kemanusiaan melalui penderitaan yang dialami
oleh masyarakat kalangan bawah. Hal itu tampak dari permasalahan yang
ada pada tiga cerpen. Permasalahan yang muncul selalu berhubungan
dengan masyarakat kalangan bawah. Hal itu menggambarkan minat dan
perhatian pengarang terhadap keadilan dan kebenaran yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat.
2. Implikasi yang dapat diterapkan dari analisis Nilai-nilai Kemanusiaan
dalam Kumpulan Cerpen Panggilan Rasul Karya Hamsad Rangkuti
131
terhadap pembelajaran sastra di sekolah yaitu pada materi menganalisis isi
dan kebahasaan cerpen. Hal itu sesuai dengan kompetensi dasar pada
Kurikulum 2013 yaitu menganalisis teks cerita pendek, baik melalui lisan
maupun tulisan di tingkat SMA/MA. Dengan adanya penelitian ini, maka
kumpulan cerpen Panggilan Rasul dapat dijadikan sebagai salah satu
referensi untuk menganalisis isi dan kebahasaan cerpen, khususnya
mengenai nilai-nilai kemanusiaan, sehingga siswa dapat melakukan
pengamatan dan penilaian secara mendalam baik mengenai unsur intrinsik
yang membangun sebuah karya sastra maupun nilai-nilai yang tersirat di
dalamnya.
B. Saran
Berdasarkan simpulan dari hasil penelitian, maka peneliti memberikan
beberapa saran sebagai berikut.
1. Melalui analisis nilai kemanusiaan dalam kumpulan cerpen Panggilan
Rasul, peserta didik dapat memahami nilai-nilai yang terdapat dalam
sebuah cerpen dengan lebih mudah, khususnya nilai-nilai kemanusiaan.
Setelah memahami nilai-nilai yang ditemukan dalam sebuah cerpen,
peserta didik dapat mengambil nilai-nilai yang positif dari cerpen tersebut
untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Dengan adanya penelitian ini, tenaga pendidik maupun peneliti
selanjutnya dapat menggunakan kumpulan cerpen Panggilan Rasul
sebagai referensi ataupun objek penelitan. Nilai-nilai lain yang terdapat
dalam kumpulan cerpen ini dapat dipelajari dan diteliti secara mendalam
sehingga dapat memberikan manfaat baik di bidang pendidikan,
kebahasaan, maupun kesusastraan.
132
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hassan dkk. (Tim Redaksi), Buku Praktis Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2011.
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, Bandung: Sinar Baru Algesindo,
2015.
Aziz, Furqonul dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar. Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010.
Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2012.
Hartomo dan Aziz, Arnicum .Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Hermanto dkk,. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Bumi Aksara,2010.
Karmini, Ni Nyoman. Teori Pengkajian Fiksi dan Drama, Denpasar: Pustaka
Larasan, 2011.
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Mahayana, Maman S. Bermain dengan Cerpen: Apresiasi dan Kritik Cerpen
Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Mahayana, Maman S. Bermain dengan Cerpen: Apresiasi dan Kritik Cerpen
Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2011.
Muin, Fatchul. Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoretik dan Praktik. Yogyakarta:
Ar-Ruz Media, 2011.
Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajahmada University
Press, 2012.
Prasetya, Joko Tri dkk., Ilmu Budaya Dasar MKDU. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991.
133
Rangkuti, Hamsad. Kumpulan Cerpen Lukisan Perkawinan. Yogyakarta: Matahari,
2004.
-----------------------. Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan
Bibirmu. Yogyakarta: Diva Press, 2016.
-----------------------. Panggilan Rasul. Yogyakarta: Diva Press, 2017.
Rozak Zaidan, Abdul, dkk. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Sabiq, Sayid. Fikih Sunnah, Jilid. 5, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009.
Salam, Burhanuddin. Etika Sosial: Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta:
PT Rineka Cipta, 1997.
Semiun, Yustinus OFM., Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud,
Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Setiadi, Eli dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana, 2007.
Shalaby, Ahmad. Kehidupan Sosial dalam Pemikiran Islam, Jakarta: Amzah, 2001.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo,2008.
Soekanto, Soejono. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006.
Stanton, Robert. Teori Fiksi, Terj. dari An Introduction to Fiction oleh Sugihastuti
dan Rossi Abi Al Irsyad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Sudibyo, Lies, dkk. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2013.
Sulaeman, M. Munandar. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika
Aditama, 1998.
Sumardi. Panduan Panduan Apresiasi Cerpen untuk Siswa dan Mahasiswa. Jakarta:
Uhamka Press, 2012.
Sumarjo, Jakob dan Saini KM. Apresiasi Kesusastraan, Jakarta: Gramedia, 1986.
Suparlan, Parsudi. Kemiskinan Di Perkotaan, Bacaan Untuk Antropologi Perkotaan,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984.
Supartono. Ilmu Budaya Dasar. Bogor: Ghalia Indah, 2004.
Tumanggor, Rusmin, dkk. Ilmu Budaya dan Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010.
134
Waluyo, Herman J. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: Sebelas Maret University
Press, 1994.
Wellek, Renne., dan Warren, Austin. Teori Kesusastraan, Terj. dari Theory of
Literature oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia,1989.
Widagdo, Djoko, dkk. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008.
Arsip Media Cetak PDS HB Jassin
Anonim. Cerpenis Konvensional Nonpretensius Hamsad Rangkuti, dalam Harian
Minggu Pagi, Yogyakarta, edisi Minggu 12 Mei 1985. Diambil dari Pusat
Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Anonim. Hamsad Rangkuti Pengarang “Cemara”, dalam Harian Jayakarta edisi
Kamis, 10 Maret 1998, diambil dari Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Gede Panembahan, Harianto. Bersenang-senang Membaca Cerpen Hamsad
Rangkuti, dalam kolom Serambi Budaya, Harian Berita Yudha edisi Kamis,
20 Juli 1989. Diambil dari Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Herman Ks. Tingkah Manusia dalam Cerpen Hamsad Rangkuti, dalam Harian Berita
Buana edisi Selasa, 20 Maret 1984, h.4 . Diambil dari Pusat Dokumentasi
Sastra H.B. Jassin.
Rich, Ahmad. Ulasan Lukisan Perkawinan, dalam arsip Pusat Dokumentasi Sastra
H.B. Jassin, 20 Mei 1985.
Sumarjo, Jakob. Lukisan Perkawinan: Hamsad Rangkuti, di dalam Majalah Horison.
No. 4 Tahun 1983. Diambil dari Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Artikel Daring (Online)
Anonim. Bahasa dan Tokoh : Hamsad Rangkuti, http://badan bahasa.Kemendikbud.
go.id/lamanbahasa/tokoh/3/Hamsad%20%Rangkuti, diunduh pada tanggal 24
Desember 2017, pukul 22.58 WIB.
135
El-Fikri, Shahruddin. Menumbuhkan Minat Baca Masyarakat,
http://www.republika.co.id/berita/jurnalismewarga/wacana/15/05/26/noyj6vm
enumbuhkan-minat-baca-masyarakat, diunduh pada tanggal 5 Juni 2018,
Pukul 22.37 WIB.
Giwati, Mikhael. Bunuh Diri, Kemiskinan, dan Korupsi di Indonesia.
https://nasional.kompas.com/read/2017/09/12/14170551/bunuh-diri
kemiskinan-dan-korupsi-di indonesia, diunduh pada tanggal 13 April 2018,
pukul.10.40 WIB.
Wahyudi, Untung Eksistensi Sastra dan Minat Baca Tulis di Kalangan Remaja,
http://riaupos.co/559-spesial-eksistensi-sastra-dan-minat-baca-tulis-di
kalangan-remaja.html, diunduh pada tanggal 5 Juni 2018, Pukul 22.37 WIB.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
Nama Sekolah : SMAN………
Matapelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : XI /Ganjil
Materi Pokok : Menginterpretasi Unsur Intrinsik dan
Ekstrinsik Cerpen
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit
A. Kompetensi Inti
KI 1: Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
KI 2: Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab,
peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan
proaktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai
permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial
dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam
pergaulan dunia
KI 3
:
Memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan
faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin
tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora
dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban
terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan
prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan
minatnya untuk memecahkan masalah
KI 4
:
Mengolah, menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah
abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah
secara mandiri serta bertindak secara efektif dan kreatif, dan mampu
menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan
B. Kompetensi Dasar
4.1 Menginterpretasi makna teks cerita pendek, baik secara lisan maupun tulisan.
C. Indikator Pencapaian Kompetensi
4.1.1 Memahami isi teks cerita pendek.
4.1.2 Menginterpretasi isi (unsur intrinsik dan ekstrinsik) dalam cerita pendek secara
lisan.
4.1.3 Menginterpretasi isi (unsur intrinsik dan ekstrinsik) dalam cerita pendek secara
tulisan.
D. Tujuan Pembelajaran
1. Dengan membaca cerita pendek, siswa mampu memahami makna atau maksud
yang terdapat dalam teks cerita pendek.
2. Dengan berbicara, siswa mampu mempresentasikan unsur intrinsik dan
ekstrinsik yang ditemukan dalam teks cerita pendek.
3. Dengan menulis, siswa mampu menjelaskan makna yang ditemukan dalam teks
cerita pendek melalui tulisan.
E. Materi Pembelajaran
1. Unsur-unsur intrinsik cerpen
Tema
Tokoh dan Penokohan
Latar
Alur
Sudut Pandang
Gaya Bahasa
Amanat
2. Unsur ekstrinsik cerpen
Biografi Pengarang
Kondisi sosial masyarakat yang melatari cerpen
F. Media Pembelajaran
1. Powtoon
a. Unsur intrinsik cerpen
b. Unsur ekstrinsik cerpen
2. Contoh teks cerpen
a. Kumpulan cerpen Panggilan Rasul
G. Sumber Belajar
1. Buku Cetak Bahasa Indonesia
2. Kumpulan Cerpen Panggilan Rasul
3. Internet
H. Kegiatan Pembelajaran
1. Pertemuan (2JP)
a. Kegiatan Pendahuluan (8’)
Siswa merespon salam dan pertanyaan dari guru berhubungan dengan
kondisi dan pembelajaran sebelumnya.
Guru mengecek penguasaan kompetensi yang sudah dipelajari
sebelumnya dengan melakukan tanya jawab.
Guru menyampaikan garis besar cakupan materi dan kegiatan yang
akan dilakukan.
Guru menyampaikan lingkup penilaian, yaitu pengetahuan dan
keterampilan.
Guru menugasi siswa menyaksikan video Powtoon yang menayangkan
unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam cerpen.
b. Kegiatan Inti (60’)
1. Mengamati
Siswa menerima materi unsur-unsur intrinsik dalam cerpen yang
ditampilkan melalui proyektor.
Siswa secara individu mencermati unsur-unsur intrinsik dan
ekstrinsik dalam cerpen (slide powtoon) yang ditampilkan melalui
proyektor.
2. Menanya
Siswa membuat pertanyaan yang berhubungan dengan unsur-
unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam cerpen.
3. Mengumpulkan informasi/mencoba
Siswa secara individu/kelompok berdiskusi untuk menemukan
unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam cerpen.
4. Menalar/Mengasosiasi
Siswa secara individu/kelompok berdiskusi untuk menyimpulkan
hasil temuan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam cerpen .
5. Mengomunikasikan
Siswa secara berkelompok menyampaikan hasil diskusi secara
bergantian.
Siswa lain menanggapi presentasi kelompok lain secara baik.
c. Kegiatan Penutup (12’)
Guru bersama siswa menyimpulkan hasil pembelajaran.
Guru menyampaikan umpan balik dalam proses pembelajaran
menemukan makna teks cerita pendek.
Guru menyampaikan tugas kepada siswa, yaitu membuat review
mengenai teks cerpen yang didiskusikan oleh masing-masing
kelompok.
Guru menyampaikan kegiatan pembelajaran pertemuan berikutnya
berdasarkan pengalaman yang paling mengesankan.
I. Penilaian Hasil Pembelajaran
1. Teknik Penilaian
a. Aspek Sikap : Pengamatan
b. Aspek Pengetahuan : Tulis
c. Aspek Keterampilan : Lisan
2. Instrumen Penilaian
a. Penilaian Sikap
Rubrik Penilaian Sikap
No Nama Siswa Disiplin Jujur
Tanggung
Jawab Santun
Total
Skor
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1.
2.
3.
4.
dst
Keterangan:
Indikator PenilaianSikap
Disiplin
1. Tertib mengikuti intruksi
2. Mengerjakan tugas tepat waktu
3. Tidak melakukan kegiatan yang tidak diminta
4. Tidak membuat kondisi kelas menjadi tidak kondusif
Jujur
1. Menyampaikan sesuatu berdasarkan keadaan yang sebenarnya
2. Tidak menutupi kesalahan yang terjadi
3. Tidak mencontek atau melihat data/pekerjaan orang lain
4. Mencantumkan sumber belajar dari yang dikutip/dipelajari
Tanggung Jawab
1. Pelaksanaan tugas piket secara teratur.
2. Peran serta aktif dalam kegiatan diskusi kelompok
3. Mengajukan usul pemecahan masalah.
4. Mengerjakan tugas sesuai yang ditugaskan
Santun
1. Berinteraksi dengan teman secara ramah
2. Berkomunikasi dengan bahasa yang tidak menyinggung perasaan
3. Menggunakan bahasa tubuh yang bersahabat
4. Berperilaku sopan
b. Penilaian Pengetahuan
No. Indikator Pencapaian
Kompetensi Teknik
Penilaian Bentuk
Penilaian Instrumen
1. Menemukan unsur intrinsik
dan ekstrinsik dalam cerpen
Tulis Uraian Temukan unsur
intrinsik dan
ekstrinsik
dalam cerpen
Panggilan
Rasul!
2. Mempresentasikan unsur
intrinsik dan ekstrinsik yang
ditemukan.
Lisan Presentasi Presentasikan
unsur intrinsik
dan ekstrinsik
yang ditemukan
dalam cerpen
Panggilan
Rasul!
c. Penilaian Keterampilan
No. Indikator Pencapaian
Kompetensi Teknik
Penilaian Bentuk
Penilaian Instrumen
3.
Membuat reviu terhadap
cerpen yang telah dibaca dan
dianalisis.
Tulis Uraian Buatlah reviu
terhadap hasil
cerpen
Panggilan
Rasul!
3. Pedoman Penskoran
No. ASPEK PENILAIAN BOBOT NILAI
1 Menemukan unsur intrinsik dan
ekstrinsik dalam cerpen 3 10
2 Mempresentasikan unsur intrinsik dan
ekstrinsik dalam cerpen 3 10
3 Mampu membuat reviu terhadap cerpen
yang telah dibaca dan dianalisis. 4 10
TOTAL NILAI: (Bobot x nilai) 100
Tangerang Selatan, Mei 2018
Mengetahui
Kepala SMA/MA
Guru Mata Pelajaran,
Drs. H.Wawan Siswandi, M.Pd.
NIP.
Maria Ulfa, S.Pd.
NIP.
TENTANG PENULIS
Maria Ulfa, lahir di Cirebon, 4 Oktober
1993, menyelesaikan pendidikan
formalnya di SDN 114373 SEI
TAMPANG, Sumatera Utara.
Kemudian menyelesaikan pendidikan
menengah pertama di SMPN 1
PANGURAGAN, Cirebon, lalu
melanjutkan pendidikan menengah
atasnya di SMKN 1 KEDAWUNG,
Cirebon dan melanjutkan pendidikan
yang lebih tinggi di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
dengan bidang studi pilihan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia.
Anak pertama dari empat
bersaudara ini memilih menjadi
perantau demi mengejar cita-citanya
untuk mengenyam pendidikan di tingkat
yang lebih tinggi. Pernah berpindah-
pindah domisili membuatnya memiliki
banyak teman dari berbagai latar belakang suku yang berbeda. Selain itu, penulis
juga pernah mengikuti berbagai lomba mulai dari cerdas cermat, hingga Olimpiade
Biologi tingkat kabupaten. Di samping itu, penulis bertubuh minimalis ini memiliki
banyak kegemaran di antaranya yaitu, membaca buku, menyanyi, dan menonton
drama korea. Menurutnya, aktivitas apapun akan bermanfaat jika diawali dengan niat
yang baik. Selain itu, ia memiliki motto dalam hidupnya seperti berikut ini, “Jarak
antara tangis dan tawa adalah seumpama kepingan logam, jadi senantiasalah
bersyukur dan melakukan hal yang positif”.
Selama menjadi mahasiswa, penulis juga memiliki kegiatan lain di waktu
luangnya yaitu menjadi tutor di berbagai lembaga bimbel maupun privat. Beberapa
lembaga bimbel yang pernah menjadi tempatnya bekerja yaitu, Studia Center,
Maestro Bintaro, dan To Be Course Private.
Recommended