Kumpulan Cerpen Joni Ariadinata

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kumpulan cerpen terbaik Joni Ariadinata, cerpen kompas, cerpen indonesia

Citation preview

  • KUMPULAN CERPEN JONI ARIADINATAA

    Kambing

    Di pintu surga nanti, ia adalah kambing yang sial. Daging memang gemuk-gempal, bulu putih

    mulus, tanduk melingkar kokoh, harapan hidup dan masa depan gemilang ya ya, memang

    begitu, semua ihwal tentang syarat masuknya surga para kambing (seperti yang dikatakan

    Tuhan dalam kitab-Nya) telah tercukupi. Maka ketika roh baiknya dicabut, ia tersenyum. Di

    saat liang nafasnya ngorok lantaran sekarat, kamu bayangkanlah itu: darah ini muncrat

    melesat dari jantung muda dan sehat! Maka ia teramat ikhlas. Di kala lehernya yang mulus

    itu digorok dengan bismillah, lalu tulang penyangga leher itu ditebas paksa dengan suara

    krak! hingga menggelindinglah kepalanya dengan sukses (disertai sorak sorai anak-anak),

    ia masih begitu gembira. Lalu kakinya yang kokoh dipotong-potong, kulitnya yang mulus

    disayat-sayat, dagingnya diiris-iris, jerohan diobrak-abrik, hati dan jantung dicabut, tulang-

    belulang dicacah dirajang dipisah-pisah.

    Maka rohnya yang suci dan penuh harapan pun terbang menuju pintu surga. Surga yang

    dijaga para malaikat (malaikat yang menyerupai kambing-kambing dengan ketampanan tak

    tertandingi). Lalu, pada saat itulah ia tahu bahwa ia adalah kambing yang sial. Seorang

    malaikat penjaga dengan tegas berkata: Tuhan telah berkata kepadamu, lewat perantara

    aku, bahwa kamu ditolak untuk memasuki surga.

    Demikianlah maka ia menggerutu tentang sebab-sebab nasib yang celaka.

    Kampung Darjeling, itulah kampung para pencari surga yang ingin ia ceritakan. Di bawah

    terob deklit plastik saat seutas tali gantungan terpancang hebat, menjulur mengayun-ayun.

    Orang-orang menatap kagum, para lelaki, perempuan-perempuan, anak-anak, menantikan

    sesuatu. Berderet, bergimbung, ada yang pura-pura sibuk, menggobrol, menunjuk-nunjuk.

    Langit cerah. Angin sejuk. Di bawah deklit tali gantungan semakin hebat. Lalu meledak suara

    riuh: Mereka datang! Load speaker merek Toa dibunyikan: Sodara-sodara, binatang

    sudah datang. Harap bertepuk tangan!!

    Semua takbir! Ayo, yang bisa takbiran, semua ikut takbir! Mumpung hari raya kurban. Yang

  • hanya bisa ngomongin orang saja, kali ini diam! Ibu-ibu jangan cerewet. Cukup kalian lihat.

    Ke mana Usthaadd Mariot, he? Haji Dulroji sinis menyebut kata ustad dengan usthaadd

    lantaran kedudukannya di mata Tuhan lebih baik. Lalu tiga lelaki tua, peot, dan mungkin

    hampir mati, mengerti: mereka tertawa. Lalu seorang di antara yang tua, peot, dan mungkin

    hampir mati itu bilang: Usthaadd Mariot tak kelihatan. Tak datang. Dia pasti malu.

    Apa perlu disusul?

    Tak perlu, Haji Dulroji merebut mikropon yang dipegang Solsoleh. Solsoleh tentu

    bersikeras mempertahankan mikropon seperti membela nyawanya sendiri lantaran dalam

    rapat panitia besar, ia ditetapkan secara resmi menjadi pembawa acara. Solsoleh memberi

    sumbangan untuk binatang sebanyak 20 ribu, itulah kenapa ia mendapat kehormatan

    sebagai pembawa acara. Sementara Kaji Dulroji (ia menyebut kata haji dengan kaji

    semata-mata lantaran benci), cuman menyumbang 5 ribu. Tapi demi Tuhan Yang Maha

    Penyayang (karena melihat bagaimana mata Kaji Dulroji melotot), ia ngeri, dan

    menyerahkan mikropon segera. Aku hanya pinjam mikroponnya sebentar, Solsoleh!

    Nah, sodara-sodara, teriak speaker Toa dari mulut Haji Dulroji, sehubungan karena

    Usthaaaadddd Mariot tak datang (hadirin tertawa), maka kita mulai saja penyembelihan

    binatang. Tak perlu pake doa bahasa Arab untuk memulai pembunuhan binatang, karena

    hanya Usthaaadd Mariot yang biasanya suka pamer, pura-pura ngerti bahasa Arab (hadirin

    tertawa lagi). Tuhan tidak bodoh. Dia pasti ngerti bahasa kita. Setuju?

    Setuju!

    Orang-orang bersorak. Bergimbung berkeliling. Membentuk lingkaran. Binatang yang baru

    datang (diiringi sorak sorai) digiring ke tengah naungan deklit, di bawah tali gantungan

    hebat. Ia adalah binatang, seekor kambing gemuk yang gagah. Ia yang sesungguhnya dididik

    oleh tangan gembala jujur. Dengan makanan rumput halal yang selalu dijemput dengan

    bismillah. Hingga pada sebuah pagi (sebuah pagi yang ia rasakan sebagai puncak kemudaan

    dan kegagahan), tubuhnya yang perkasa itu digiring menuju pasar hewan. Lalu seorang

    saudagar bernama Juragan Imron menaksirnya dengan penuh kekaguman. Pada saat

  • bersamaan, muncul Lelaki Berpakaian Santri membawa segepok recehan terdiri dari uang

    logam ratusan, seribuan, lima ribuan, dan sepuluh ribuan dengan ukuran fantastik: satu

    kantong plastik kresek. Demikian Lelaki Berpakaian Santri mengatakan: Uang hasil

    patungan warga Kampung Darjeling untuk satu ekor kambing gemuk! Gembala jujur

    menerima uang dari Juragan Imron tujuh ratus dua puluh ribu. Lelaki Berpakaian Santri

    membeli kambing gemuk dari Juragan Imron seharga delapan ratus dua puluh ribu, dengan

    pesan penting (didahului oleh ucapan assalamualaikum) sebagai berikut: Dalam kuitansi,

    catat harganya sembilan ratus lima puluh dua ribu! Tentu, Juragan Imron mengatakan

    dengan bijak: Biasa lah sodara, kita sama-sama maklum. Tambah dua puluh ribu untuk

    menaikkan angka kuitansi. Bagaimana? Kedua-duanya mengangguk. Kedua-duanya

    tertawa. Lelaki Berpakaian Santri menyeret binatang dengan impian bisa membelikan

    anaknya pakaian, sekaligus jatah daging paling banyak. Sementara Juragan Imron melepas

    binatang dengan lega sambil menjawab ucapan salam yang berbunyi, Waalaikum salam

    warahmatullahi wabarokaatuh.

    Maka demikianlah binatang paling beruntung di hari raya kurban itu diseret menuju tiang

    tali gantungan. Haji Dulroji berkenan untuk tetap merebut mikropon dari Solsoleh,

    mengatakan dengan khidmat: Sodara-sodara, seperti kita ketahui bahwasanya Usthaaadd

    Mariot tidak datang karena malu. Kenapa karena malu? Karena sodara-sodara, seperti kita

    ketahui, dia tidak setuju dengan adanya kurban patungan. Nah, sehubungan dengan itu,

    saya minta sodara yang biasa membunuh binatang supaya maju menggantikan Usthaaadd

    Mariot!

    Kalo dia tidak setuju kurban patungan, kenapa dia tidak kurban saja sendirian?

    Nah, betul apa katamu Murod! Dia bilang, kurban patungan itu tidak sah. Nah, apa

    pendapatmu Murod? Seperti kita ketahui bersama, sodara-sodara, kurban itu yang penting

    adalah binatang. Binatang itu sekarang sudah ada, yaitu hasil patungan kita, warga yang

    beriman. Untuk itu, marilah sebelum kita bunuh, kita berdoa pake bahasa kita! Nah, sodara

    Murod, apakah kamu pernah membunuh binatang?

    Saya pernah membunuh babi hutan.

  • Sebentar Pak Haji, apa perlu para penyumbang patungan itu diumumkan? seseorang

    menyela.

    Tidak perlu!! buru-buru Haji Dulroji mengelak dengan galak, tentu ia yang akan malu

    lantaran nilai patungannya cuman lima ribu. Ketika Ustad Mariot menuding pada saat rapat

    besar kampung, seminggu yang lalu, ia masih bisa mengelak dengan mengatakan: Sebagai

    haji, tentu aku sudah berniat berkurban. Tapi karena anakku mendadak minta dibelikan

    sepeda balap, maka niat itu terpaksa kutunda. Tahun depan aku pasti berkurban. Nah,

    sodara Ustad Mariot, daripada tidak ada yang berkurban sama sekali, bukankah lebih baik

    patungan? Nah, kurban itu yang paling penting adalah ada binatang, nah, bla-bla-bla.

    Sodara Murod, apakah sudah siap membunuh binatang? kembali Haji Dulroji memberi

    perintah. Tak usah diumumkan. Tuhan toh sudah tahu siapa yang beriman dan siapa yang

    tidak.

    Sebentar Pak Haji, ada surat dari Kepala Dusun! seseorang menyeruak maju. Haji Dulroji

    kembali mangkel. Surat apa, heh?

    Katanya amanat. Penting.

    Haji Dulroji menggerutu. Ia menerima amanat penting dan membacanya dalam hati:

    Kepada Haji Dulroji, ulama kepala panitia kurban. Sehubungan saya mendengar akan ada

    perayaan yang di dalamnya ada menyembelih kambing. Maka sehubungan istri saya hamil

    dan tadi malam nyidam dan ada permintaan perihal daging kambing. Maka harap setelah

    selesai penyembelihan, dikirim buntut dan satu paha kanan belakang untuk kepentingan

    nyidam dimaksud. Harap diteruskan kepada yang berwenang membagikan daging kambing.

    Sekian dan terima kasih. Tertanda Ngadimin Basir Kepala Dusun.

    Haji Dulroji komat-kamit tak jelas. Hadirin mendekat tak sabar, merubung hingga Haji Dulroji

    sontak marah: Yang tidak berkepentingan bubar! Coba, panitia inti berkumpul. Kita rapat

    darurat! Tentu, mendengar kata rapat darurat (yang artinya adalah pasti gawat), 23 orang

  • panitia inti yang terdiri dari 7 sesepuh sebagai koordinator setiap seksi, serta 16 anggota

    tetap langsung mendekat. Rapat bisik-bisik. Surat amanat kembali dibaca bisik-bisik. Tegang.

    Seseorang sesepuh bilang tak apa. Yang lain usul jangan paha kanan, buntut dan kaki kanan

    saja. Hus, lelaki ketua RT yang adalah masih famili Kepala Dusun menggerutu. Sukarim,

    ketua seksi undangan yang sejak awal memang gelisah, bilang dengan malu, Sebetulnya

    saya kepingin terus terang, istri saya kurang darah, tentu saja kalau boleh saya mau minta

    hatinya, dan juga jatah daging tentu, yah begitulah yang namanya penyakit, saya pikir

    semua pasti setuju, yah Demi mendengar hal-hal kegawatan soal penyakit, tiba-tiba

    semua wajah mendadak cerah. Sepertinya telah datang ilham-ilham yang baik. Haji Dulroji

    berkata jujur, ia kena asam urat, maka untuk jatahnya tak boleh tercampur usus, harus

    daging semua. 10 orang langsung mengatakan setuju, sambil mengatakan bahwa akhir-

    akhir ini mereka juga merasa darah rendah, kalau berdiri suka agak pusing, katanya.

    Walhasil, bagi yang mengatakan darah rendah, jatahnya harus ditambah. Ada yang usul

    secara istimewa bahwa sudah seminggu ini dua anaknya bertengkar terus, harus dikasih

    torpedo katanya, biar rukun. Maksud sodara Sali, dikasih kontol kambing? Itu memang baik

    untuk merukunkan dua saudara yang bertengkar, baik, nanti kita tambah jatahnya dengan

    torpedo. Semua tertawa. Lucu. Akhirnya rapat darurat ditutup dengan kesimpulan-

    kesimpulan yang mengagumkan. Seluruh panitia inti bisa bernafas lega, sampai ketika tiba-

    tiba Ahmad Masri bertanya: Bagaimana dengan jatah Ustad Mariot?

    Panitia inti yang nyaris bubar dengan tertawa, tiba-tiba hening. Menatap Haji Dulroji dengan

    tegang.

    Tak usah dikasih! Dia kan tidak setuju, Haji Dulroji berkata tegas.

    Tapi bagaimanapun dia imam di surau. Dan juga sering ngisi pengajian di kampung sebelah.

    Bagaimana kalau dia terus ngomongkan fitnah di kampung sebelah? Nah, ini dia muncul

    persoalan, dan baru terpikir oleh semua, bahwa Ustad Mariot bermulut tipis, nyinyir, dan

    ceriwis. Maka, demi melihat kegawatan muka-muka panitia inti yang mendadak terdiam,

    dengan bijak akhirnya Haji Dulroji mengambil keputusan penting. Sebuah keputusan yang

    diyakini semua pihak berdasarkan ilham yang datang dari Tuhan.

  • Kalau begitu, kita kirim kepala kambing!

    Rapat bubar. Di bawah tali gantungan yang hebat, Murod komat-kamit berdoa, dengan

    gobang berkilat. Siap membunuh.

    Adalah kambing sial, yang seluruh jiwa dan raganya telah dipasrahkan pada kehendak

    takdir. Di bawah naungan deklit. Angin sejuk. Matahari yang cerah. Kegembiraan orang-

    orang. Sesungguh-sungguhnyalah ia adalah kambing gemuk perkasa, yang dibesarkan oleh

    tangan gembala jujur. Dengan rumput halal yang senantiasa dijemput dengan bismillah.

    Maka ketika rohnya tercerabut, ia terbang dengan penuh keyakinan menuju pintu surga.

    Terbang diiringi gema takbir bersama jutaan roh-roh binatang suci yang datang dari

    berbagai penjuru. Demikian ia tak pernah paham, bahwa keputusan Tuhan atas nasibnya

    yang gemilang, lantaran terhalang oleh kemarahan seorang lelaki. Begitulah malaikat

    penjaga surga itu menceritakan, tentang seorang lelaki miskin yang tiba-tiba beringas. Ia

    adalah lelaki miskin yang menenteng kepala kambing penuh darah dari pintu rumahnya.

    Lelaki itu kemudian berteriak dan menyebut kepala kambing itu dengan sebutan kepala

    kambing haram. Dan dengan bengis melemparkannya ke tengah orang-orang.

    Jogjakarta, Desember 2008

    Tuhan, Bolehkah Kami Bunuh Diri?

    Segelas racun babi mengepul di atas meja. Asap kretek melenggok dari mulut menuju

    petromaks, membentuk gulungan hening. Abah Marta merapatkan handuk dari sergapan

    dingin di leher dengan gigi gemerotak. Di balik jaket berkaos tebal tersembunyi dada kering

    kerempeng mengatur desahan napas. Tersengal-sengal karena penyakit asma. Terengah-

    engah menimbulkan bunyi mirip pompa air mekanik. Mencengik. Mata keriputnya

    memicing, menatap Wardoyo menantunya yang tengah mempermainkan asap. Ragu-ragu.

    Berganti-ganti dengan fokus gelas racun menantang di meja. Suara dengkuran menembus

    gorden pintu di belakangnya; kamar Ambu Marsinah tidur. Ada kemerosak angin. Ada

  • kemerosak bambu-bambu bergesekan di luar.

    Mulailah. Wardoyo berkata pendek. Menghisap asap kretek ke dadanya dalam-dalam. Ada

    ketegangan merayap. Ada kegamangan mengalir. Abah Marta sekali lagi menatap wajah

    menantunya. Kepala Wardoyo mengangguk. Setengah dipaksa setengah putus asa, tangan

    Abah Marta maju meraih gelas. Racun hangat, manis bercampur kopi, mengepul hangat

    dalam genggaman. Gemetar. Bibir tuanya gagal tersenyum. Tak tega mata Wardoyo

    melambungkan ke langit-langit, melihat dua ekor cecak berkejaran. Menunggu.

    Pahit! Abah Marta menghentakkan cangkir. Mengusap bibirnya cepat. Kemudian

    meludah, getir. Setengah menit belralu, ia terhenyak. Wajahnya pucat. Panas merajam-

    rajam perutnya tanpa ampun. Menyeruak ke atas, membetot-betot usus. Lehernya tercekik:

    Wardoyyy ia berteriak parau. Tubuhnya lantas menggeblag jatuh. Sebelum kakinya

    menyepak meja dan kursi yang ia duduki terbalik. Suaranya gaduh. Abah Marta berkelojot-

    kelojot sekarat. Matanya membeliak. Kemudian sunyi. Mati.

    ***

    BERPULUH tahun Rantawi didera penyakit menakutkan. Jika hawa malam berubah dingin,

    maka sesuatu menggodam dadanya telak. Gumpal kedua belah paru-parunya terasa

    terhimpit beban berton-ton dan mencekik saluran udara menuju arah kerongkongan. Di saat

    itulah dunia bagi Eantawi amat gelap dan sumpek. Satu-satu helaan napas ia keluarkan

    dengan susah payah, menimbulkan bunyi cengik yang menjijikkan; bahkan bagi telinganya

    sendiri. Barangkali jika bukan karena Ratri, anak perempuan satu-satunya yang mengeluh

    putus asa, ia tak akan setega ini: membunuh diri dengan segelas kopi bercampur racun babi.

    Memang Rantawi dengan kehidupannya telah hancur luluh: dua hektare sawah, setengah

    bahu perkebungan kopi, satu pabrik penggilingan padi telah lepas satu persatu dari

    tangannya untuk pengobatan tanpa hasil. Tapi melintas pikiran untuk bunuh diri, tak pernah

    sedikit pun terjangkau. Terlebih karena Rantawi selalu menyimpan ketahanan iman dengan

    tak pernah lekang berdoa. Berharap satu kemukjizatanakan datang pada suatu ketika.

    Tapi malam ini, Tuhan telah berlaku sangat tidak adil. Rantawi gamang atas kemauan Tuhan

  • pada dirinya. Keluarga Mayor Sulaiman mendadak memutuskan pertunangan sepihak bagi

    anaknya, Ratri. Tentu, adalah pukulan batin teramat hebat karena mereka justru

    menyalahkan penyakit yang Rantawi derita sebagai alasan pokok. Asma disamaratakan

    dengan sejenis lepra! Mereka menuntut dikembalikannya harta panjer yang diserahkan

    melalui upacara sukacita.Mereka takut Ratri hanya akan menghancurkan karier dan masa

    depan Kang Basuki, begitu kata Ratri.Dengan tangisan tersedak-sedak. Seperti Bapak.

    Karena asma adalah penyakit keturunan. Begitu yakin, apa mereka sudah memeriksamu?

    Mereka menolak. Juga Kang Basuki,Ratri putus asa. Tiga hari kemudian tak bisa ditanya. Ia

    hanya mengurung diri dalam kamar. Rantawi marah. Amat marah. Sungguh nasib telah

    memain-mainkannya seperti potongan gabus dalam amukan air deras. Tapi penegasan

    Keluarga Sulaiman memang beralasan. Satu-satunya yang patut dipersalahkan pasti

    hanyalah Tuhan. Begitulah ketika tangannya mantap menuangkan racun. Kini, tak mungkin

    ada lagi pemuda yang mau mendekati Ratri, Ayah! Rantawi memandang meja tertegun-

    tegun. Sejentik kegamangan menggelepar, tapi gumpal dendam menyumbatnya cepat.

    Irama jantung berlomba dengan kesunyian.Ya, ya, tidak akan ada pemuda yang mau

    menyunting ratri selama ia ada begitu barangjali keinginan Ratri. Entah karena

    keturunan, entah karena beban bahwa kenyataan Rantawi tak akan bisa lagi hidup tanpa

    sebuah gantungan. Diseretnya langkah menuju kamar Ratri. Anak itu tertidur dengan badan

    melungkar, penuh beban. Manik-manik keringat bermunculan pada leher dan ujung kening;

    ia hampiri kemudian mengusapnya lembut. Seekor nyamuk yang hinggap di betis dijentiknya

    hati-hati. Dirapatkannya selimut, kemudian keluar. Kekosongan menyergap ketika air mata

    dari sudut matanya jatuh. Segelas racun babi yang terdiam di meja. Rantawi melangkah ke

    kamar Ijah, isterinya. Ijah dengan gurat ketuaan yang makin kentara. Tersenyum dalam

    ketenangan mata terpejam. Begitu tabah. Bertahun-tahun wanita di hadapannya harus

    bekerja sendiri menggarap sawah yang masih tersisa. Rantawi tak sanggup lagi berpikir dan

    merasa. Langkahnya mantap. Meraup gelas. Menenggaknya dalam satu tarikan napas

    Putus asa. Gendang telinganya menangkap jerit tangis meneluwung tak bertepi. Badannya

    terguncang-guncang. Suara-suara teriakan, derit roda, suara-suara sepatu. Kemudian sepi.

    Senyap. Di manakah? Mungkinkah Tuhan

    Satu kejaiban terjadi: ia menangkap mata Ratri, mata isterinya, mata Basuki. Kemudian

    badannya melambung ingin meraup. Sebuah tangan kokoh menahannya.Rantawi harus

  • beristirahat, lamat-lamat katanya. Aneh, ia merasa betapa dadanya teramat lapang.

    Napasnya longgar tak tersumbat bunyi cengik menjijikkan. Kepala dan tubuhnya ringan.

    Dua hari engkau pingsan, begitu kata pertama ia dengar. Suara isterinya. Betulkah ia

    masih hidup? Rantawi ingin berteriak, Kenapa aku di sini? Betulkah kamu Ijah? Di manakah

    aku?"Asmamu kumat, isterinya menjelaskan. Aku membawamu ke rumah sakit. Sudahlah

    Kang, istirahat yang tenang. Kata dokter, asmamu kemungkinan besar sembuh. Entah

    kenapa. Tuhan maha adil, begitulah ketika Rantawi tersungkur dalam sujud. Mohon ampun

    dan penyesalan atas sangka buruk. Tiga hari setelah berbaring di Rumah Sakit dan

    dinyatakan sembuh total. Empat ekor kambing disembelih sebagai rasa syukur, dan seluruh

    kampung turut menikmatinya. Juga tentu, Basuki. Keluarga Mayor Sulaiman telah datang

    turut mengucapkan gembira dan minta maaf. Tuhan maha besar.

    ***

    SEHARI setelah syukuran, Wardoyo ditangkap. Berita menjalar cepat dari mulut ke mulut.

    Wardoyo membunuh Abah Marta dengan secangkir kopi dan racun babi! Pembunuhan amat

    keji, begitu komentar mereka. Mayat Abah Marta ditemukan membiru. Visum menyebutkan

    ususnya hancur membusuk. Orang-orang kampung mengutuk Wardoyo. Melemparinya

    dengan batu: Kafir! Mertuamu sendiri tega kau bunuh, heh? ramai berteriak. Riuh

    menggelandang Wardoyo, Kau bunuh atas dasar apa, Wardoyo? Rantawi. Demi Allah,

    Mang Rantawi yang menyuruhku Rantawi terbadai. Rantawi hanya bisa mematung, tak

    mampu berbuat apa-apa. Teror datang menyerganya begitu tiba-tiba. Sungguh ia begitu

    menyesal, amat menyesal telah menceritakan seluruh rahasia kesembuhannya pada

    Wardoyo, adik iparnya. Racun babi, begitu ia menceritakan dengan mantap: Entahlah.

    Segala obat telah diupayakan; tapi justru racun babi yang membikin aku sembuh. Heh,

    bukankah mertuamu menderita asma sepertiku? Bagaimana kalau ia mati? Tuhan telah

    menunjukkan sebuah keajaiban. Bahkan di dalam racun babi, bisa terdapat obat. Obat

    mujarab. Masih tidak percayakah kamu, Wardoyo? Dan kini ia sangsi. Diam-diam Rantawi

    merasa, ia ikut bandil besar dalam pembunuhan Abah. Berhari-hari Rantawi tak sudi makan.

    Sampai ketika polisi datang menjemputnya untuk ditanyai: Demi Allah, saya tidak

    berkomplot untuk membunuhnya! katanya.Keras. Dan tubuh Rantawi digelandang hina.

    Riuh hantaman puluhan caci; orang-orang kampung bergimbung. Menuding berteriak.

  • Kelebat bayangan Ratri ambruk. Lalu Ijah? Bergetar. Keringat dingin memercik. Gusti Allah

    bayangan yang buruk. Ia seperti melihat betapa Tuhan kini tengah bergitung; menjawab

    tantangannya ketika ia memilih mati bunuh diri. Benarkah tak ada dosa yang tak

    diperhitungkan? Dan kini Rantawi dipaksa menggigil, tersentak berteriak: Alangkah lebih

    terhormat mati ketimbang terhina di penjara

    Bandung, 1993

    Dimuat di Lampung post Silakan Kunjungi Situsnya! 04/03/2002

    Beringin Cinta

    Langit menepi. Malam pasti basah. Suara sirine melengking dalam jauh: lamat, dan

    menyakitkan. Irene memindahkan chanel televisi, berisik, berpindah-pindah; lalu ia matikan.

    Klik. Sepi. Beranjak ke kamar, melihat kaca: tak ada senyum. Bunga kacapiring di luar jendela

    bergoyang-goyang. Malam pasti basah. Malam pastiIrene. Irene. Irene

    Fajar merekah. Dia tak datang. Malam gelap selalu tempatnya rindu. Tapi pagi keburu

    datang: matahari terang tak ada hujan. Telepon di kamar Irene berdering nyaring. Angkat

    Irene! Pagi belum hilang alatmu sudah berisik. Bangun, Cah Ayu! Suara Mama menggedok

    pintu. Dok-dok, dok-dok. Trilili. Gadis manis terbang merajuk. Jendela terbuka blak-blak

    kreot dan Mang Udin tersenyum di bawah menyiram bunga. Pagi Nona! lugu. Pagi,

    sewotlah ia. Kring-kring telepon kembali berdering, lari, disaut Nona seenak hati: Eh lu!

    Entar datang kagak? Hua-ha-ha. Jam sembilan yo? Di kantin. Heem! Yap. Sip. Sip. Gua belon

    mandiiii.

    Bibiiiik, renyah Irene memanggil di kamar mandi. Bik Zubaldah berlari zig-zag meletak

    sapu: Ada apa Non?

    Handuuuuk!

  • Geleng-geleng. Bunga kacapiring digoyang Udin. Sisa bunga kemarin layu dan jatuh. Ada

    suara Parta memanaskan mobil. Berita televisi nyaring melengking di ruang tengah. Mama

    teriak. Bik Zubaldah mencuci, menakar rinso. Dan angin mendesau debu di luar jauh. Kabel-

    kabel listrik. Jalanan ramai sedari subuh. Tak pernah teduh.

    Mamaaah, Irene pergiii. Kuliah!

    ***

    Di Florida, kampusnya sama. Ada banyak pohon, tapi bukan beringin, ha-ha! Di bawahnya,

    tentu, di bawah pohon saat istirahat, banyak mahasiswa berkumpul, baca buku dan diskusi.

    Di sini, juga sama. Ha-ha. Di bawah pohon, mahasiswa ngumpul-bergerumbul untuk ngibul

    dan main gaple! He-he Nyengingis. Segerombol orang nyekakak: Apa lu pernah ke

    Florida? Mahasiswa kok rajin amat, pake baca buku di bawah pohon.

    Nggak. Itu kata Taufiq Ismail di televisi.

    Djancuk! Suka-suka dia lah. He, lu lihat Aida kemarin kan? Asu. Ujian baca puisi di kelas

    pake nungging segala. Jelas, mata Pak Dorbi tak bisa dikibulin. Pasti nilainya bagus. Alamat

    buruk dah. Siangnya, benar saja dugaanku: dia minta cerai! Putus. Gila. Lu dulu yang ngotot

    mau sama Aida kan? Ambil dah sekarang. Buntingin aja sekalian. Gua udah bosen. Sumpah!

    Bibit Gondrong penjual es dan kacang ikut nyekakak: aneh? Tidak. Beringin di tengah

    kampus tempat jualan paling betah; dan siapa nyana. Bibit Gondrong sepuluh tahun

    ngendon di tempat ini nyaman tentu saja; di seberang dua kantin yang makin rame.

    Bergaul dengan mahasiswa sastra: bangga kenal seniman top yang juga dosen bernama Pak

    Saudi. Sesekali ikut bikin puisi jelek, biar gaul. He-he. Maklum nyampur mahluk-mahluk aneh

    yang kadangkala suka nyumpah-nyumpah dosen, maka jual kacang pun perlu strategi.

    Sedikit nyentrik lah, biar akur. Sengaja rambut dibikin gondrong meskipun tetap rapi, sebab

    siapa tahu ada mahasiswi sastra yang tertarik lalu kawin lalu mau membantu jualan kacang

    di sini. Bukankah itu nyentrik? He-he. Makanya, Bibit Gondrong tak perlu rikuh untuk

    sekedar ikut nyekakak. Apalagi topiknya lucu. Biar ikut-ikutan dibilang nyentrik: laris, akrab

  • merasa ikut top. Toh tetap saja tak ada apa-apanya dibanding mereka. Lihat saja: ada yang

    bangga celananya tak pernah dicuci dua tahun (he?), ada yang laki-laki gondrong tak perlu

    keramas, ada yang ngaku penyair maka jarang kuliah celana robek-robek jaket bau tak

    pernah bawa buku, ada cewek-cewek sukanya mamerin celana dalam belakang lalu ada

    yang bunting dan tetap saja bunting tak mau kawin. Lengkap. Kayaknya, dunia memang

    makin asyik dan ribut. Amit-amit.

    Burung pipit jatuh, plak! ditembak Amin Wangsitalaja, tersenyum bangga seperti jagoan

    (zaman model apa lagi ya Tuhanku yang lugu, ada mahasiswa ke kampus membawa senapan

    angin?). Angin menyiut dari arah perpustakaan, nun, duapuluh meter di atas puncak hampir

    menyentuh langit sehingga orang dengan enggan menyebutnya atas angin; dengan

    257 trap tangga berkelok-kelok melewati tingkatan-tingkatan tempat terpenting semacam:

    (1) gedung bazar pakaian import dan alat kecantikan serta sedikit ramuan tradisional

    kejantanan Cina, yang dipadu dengan 8 meja biliard, mutlak milik saham para guru yang

    dipimpin langsung Bapak Rektor Sebagai Pembina; (2) klinik kesehatan serta kamar

    penerangan KB, poster-poster HIV terbalik, dan alat peraga berupa contoh-contoh kelamin

    sehat; (3) bersebelahan dengan klinik, adalah Cafe Mahasiswa Abadi Sukses Mandiri

    (CMASM), tentu, tanggal 27 Juli kemarin caf legendaris itu dianggap sukses lantaran

    berhasil mengundang Inul lengkap beserta Orkes Dangdut Jonita pimpinan Haji Joni;

    kemudian (nomor 4) setingkat di atasnya adalah deretan kakus, melulu kakus: ada kakus

    mahasiswa, kakus dosen, kakus pegawai, tukang sapu, sampai satpam dan petugas parkir.

    Tentu bau tai. Nah, (nomor 5, tingkat gedung paling tinggi) persis di atas gedung kakus itulah

    letaknya perpustakaan, Perpustakaan Atas Angin, tak ada penghuninya, kecuali 2 petugas

    sial yang sudah peot ditimbun buku-buku yang seluruhnya rusak parah disantap tikus. Tak

    ada mahasiswa baca buku. Gedung perpustakaan itu lebih mirip tempat setan.

    Angin aroma tai yang bertiup dari WC, menghembus pohon beringin, dan pipit kecil mati

    ditembak Amin Wangsitalaja. Tak ada belas kasihan. Anak-anak masih terus-terusan ketawa.

    Hidup untuk ketawa. Bunyi tulalat-tulalit SMS. Cup-cup mmmuuuah! Sinar matahari yang

    payah, debu-debu, kantin yang makin ramai.

    Kantinku, kantinmu, kantin kita. Dikelola guru. Depan kampus, persis setelah pintu gerbang

  • seperti lazimnya kantin-kantin di seluruh kampus seantero negeri yang kayaknya

    mewajibkan mahasiswanya makan sebelum masuk gedung belajar. Mungkin takut kalau

    mahasiswanya kelaparan ketika belajar sehingga mengganggu kecerdasan. Makan sebelum

    belajar adalah baik, begitu kata guru setiap memulai pelajaran kuliah. Tentu. Dan

    selayaknya pasar makan yang bermartabat, debat-debat penting sering terjadi di sana: lebih

    ribut dan agresif dibanding ruang belajar. Wow! Sambil ketawa. Tak harus ada logika. Terus

    ketawa. Perempuan lelaki, berkeciplak mulut ngomongin pantat mobil kek, atau apalah:

    handphone, sepatu, parfum ketek, susu susi, dlsb, dlsb, huuuah.

    Angin tai masih terasa. Matahari payah nyenggol sedan jeep kijang-krista dan van KIA dari

    korea. Petugas parkir ngantuk setelah nyedot Dji Sam Soe. Pipit mati diinjak Bardi lantaran

    kesusu ngejar Intan Dewi Permadi yang lari lantaran marah lantaran malam tadi Bardi lupa

    nyium padahal Intan Dewi Permadi sudah minta dua kali padahal hari ini ada ulangan.

    Heeei pacar!! Tungguuu Akulah Bardi lelaki yang selalu hadir dalam mimpimu. Aku tulis

    seribu puisi dalam terik matahari! Dan bulan yang menghirup rindu dalam titik kebekuan

    batu. Aku cinta padamuuu Penyair! Penyair! Orang-orang bertepuk. Bardi terus berlari,

    merasa hebat seperti penyair. Pacar dipanggil tak peduli, ia ngebut naik krista terbaru.

    Mungkin berniat bunuh diri. Debu-debu mengepul. Mahasiswa lagi bersorak: Penyair!

    Penyair! Angin tai, dan matahari payah, ruang kuliah nun jauh di sana. Satmoko terlalu

    banyak merokok dan meludah. Ada Marno merobek kertas ulangan. Para guru sibuk

    mengajarkan sesuatu di kelas: entah puisi entah teori, yang jelas para guru sudah

    menghafalkannya sejak dua puluh tahun lalu.

    ***

    Lelap malam lampu-lampu di jalan. Kota tak juga sunyi. Irene tiba disambut gonggong Doli.

    Seharian entah, pergi kuliah mampir ke Ratna. Jam dua belas. Di kantin ketemu Dodi. Masuk

    ruang belajar bersama Dodi. Kencan jam tiga, jam tujuh menyusur pantai. Jam delapan

    makan di kafe, ikutan nyanyi tralala-trilili. Beli kaos kaki, tisue, dan memilih CD. Lalu keliling,

    mampir lagi di Ratna. Tengah malam Ratna cuap-cuap, katanya Martin payah, tahu ultah

    makan malam hanya di loby Sahid.

  • Ia tanya apakah Irene telat haid? Menggeleng.

    Malam basah Irene pulang. Mama tidur Parto membuka gerbang dengan mata rapat. Sunyi

    di kamar. Melempar diktat, nyetel televisi. Ingat Ratna ia buka celana. Kring-kring tilpun,

    tulalat-tulalit SMS. Jam tiga. Besok pagi jam sembilan ada kuliah. Oke, oke. Kita ketemu

    seperti biasa. Cup-cup. Ia harus tidur. Tidur untuk membuang umur.

    Yogyakarta, 14 Agustus 2003

    Dimuat di Batam Pos Silakan Kunjungi Situsnya! 09/07/2003

    Haji

    Karena bukan cerita fiksi, maka tidak mungkin Haji Jupri kawin dengan Marsiti. Tapi entah

    kenapa, kisah ini kemudian berkembang menjadi ruwet. Bahkan, menjadi bahan perdebatan

    tak habis-habis di warung-warung, tegalan, pasar, hingga masjid. Mulanya sih hanya iseng.

    Suatu hari Pak Haji tanya pada Kang Sirin, Apa kamu punya bibit yang bagus, Rin? katanya.

    Tentu, Pak Haji memang paling akrab dengan Kang Sirin. Bukan hanya karena Kang Sirin

    adalah langganan becaknya selama bertahun-tahun, tapi karena ketulusan dan keriangan

    Kang Sirin yang membuat Pak Haji betah.

    Kebetulan punya, Pak Haji. Betul lho, yang ini pasti sip. Saya bisa mintakan fotonya.

    Pak Haji tertawa. Nah, dari sinilah keruwetan cerita sebenarnya sedang dimulai.

    Kang Sirin telah hampir sepuluh tahun berkeliling di atas becaknya. Mengantar para

    langganan, terutama para pedagang di Pasar Kecamatan. Seperti halnya Pak Haji, para

    langganan rata-rata betah ngomong-ngomong dengan Kang Sirin. Mungkin lantaran ia gesit,

    atau Kang Sirin memang selalu berpakaian bersih, gampang disuruh, ataukah sifat Kang Sirin

    yang (meskipun tak lulus SD, tak bisa baca huruf latin) tapi selalu dengan wajah riang bisa

    mengimbangi omongan apa pun. Nah, tentu, dari berbagai pengetahuan omong-omong

  • beragam langganan itulah, maka sumber informasi Kang Sirin semakin beragam dan

    berkembang. Kalau tidak percaya, cobalah datang ke Pasar Kecamatan. Jika ada tukang

    becak dengan pakaian bersih, yang hapal nyaris seluruh gang di delapan desa, bahkan hapal

    hampir seluruh nama (mungkin watak orang-orangnya) maka itulah Kang Sirin!

    Nah, tiga minggu berselang itulah, ia mendapat langganan baru, yang membuatnya

    nyambung dengan maksud Pak Haji. Langganan baru itu bernama Marsiti. Tinggal di Desa S.,

    dan konon dia adalah pindahan dari Kota B. Lha kok ya kebetulan, Marsiti juga ngomong hal

    yang sama. Ia ingat persis ketika itu Marsiti juga bergurau, Kang Rin, mungkin enak ya kalau

    punya suami haji?

    Yang bener, Mbak Mar. Apa Mbak Mar belum punya suami?

    Ah, siapa yang mau bersuamikan aku, Kang?

    Lho, Mbak Mar itu cantik kok, Kang Sirin tertawa. Maksud saya, ada yang top lho. Tapi

    duda.

    Siapa?

    Haji Jupri.

    Haji Jupri yang terkenal itu? Wah, ya jangan. Ada-ada saja.

    Eh, siapa tahu jodoh. Omong-omong, kenapa Mbak Mar cari yang haji?

    Entahlah. Kang Sirin ini, aku cuma guyon. Awas lho kalo bilang-bilang. ?Kan malu.

    Ya enggak lah. Dijamin pokoknya. Tapi omong-omong, apa Mbak Mar serius nih?

    Nggak. Cuma guyon, bercanda! Sungguh.

  • Tapi siapa ngira, dari semula cuma bercanda, akhirnya berkembang menjadi rumit? Ini

    lantaran Kang Sirin merasa nyambung. Merasa klop. Saat Pak Haji bilang tentang bibit,

    mengeluh tentang perempuan, maka ia langsung bertindak dengan gesit. Nyamperin

    Marsiti, ngasih penjelasan ini-itu, lalu pinjem fotonya yang paling bagus. Marsiti memang

    cantik. Tentu saja semula Marsiti menolak, Apa Pak Haji tahu tentang saya? Saya takut,

    Kang Sirin. Sungguh.

    Pokoknya beres. Saya nanti yang akan meyakinkan Pak Haji. Dia orangnya baik. Pokoknya

    tidak bakal ngecewakan. Sudahlah Mbak Mar. Percaya sama saya, dengan gayanya yang

    yakin Kang Sirin setengah memaksa. Tapi siapa sih, perempuan yang menolak usul buat

    dilamar Pak Haji? Satu hal, Pak Haji Jupri adalah orang terkaya di Desa L., hal lain tentu saja

    ia duda, terkenal pengajiannya ke mana-mana, dan dikenal berwajah ganteng. Meskipun

    tentu saja ia sudah sepuh, sudah tua dengan banyak cucu. Tapi kalau kebetulan jodoh, apa

    mau dikata?

    Jadi, betul Pak Haji tahu tentang saya, Kang Sirin?

    Beres. Pokoknya biar saya yang jelaskan.

    Kang Sirin percaya. Marsiti pasti baik. Ia tak perlu menyelidikinya lebih jauh. Yang jelas ia

    cukup cantik, sopan, dan tidak kikir. Amat pas jika nyambung dengan Pak Haji. Lalu kenapa

    Marsiti takut? Ah, Kang Sirin hanya tertawa. Pastilah semua wanita akan segan dengan Pak

    Haji. Makanya Marsiti takut.

    ***

    Lalu kenapa akhir kisah yang sesungguhnya cantik dan mulia ini menjadi rumit? Ini dimulai

    oleh satu lemparan batu pada kap becak Kang Sirin. Betul-betul satu batu, yang melayang,

    dan hampir membentur kepala Kang Sirin. Kalau saja ia tidak bernasib baik, entah

    bagaimana nasib Kang Sirin selanjutnya. Persoalannya bukan batu yang melayang, tapi

    kenapa tiba-tiba ada orang yang melemparkannya, dan itu dilakukan dengan terang-

    terangan? Di depan pasar, di mana banyak orang yang menyaksikan!

  • Desas-desus perjuangan Kang Sirin membuat banyak orang menjadi marah. Kang Sirin baru

    tahu bahwa tidak setiap kebaikan dibalas dengan hal-hal baik. Kebaikan Kang Sirin, dan

    ketulusannya berjuang untuk menyambungkan Pak Haji, ternyata berbalik menjadi

    kengerian. Bisa dibayangkan, jika tiba-tiba saja banyak langganan yang cemberut lalu cabut

    pindah becak lain. Bukankah itu mengerikan? Kang Sirin seumur-umur tidak pernah

    diperlakukan orang seperti menghadapi barang najis. Kenapa bisa Kang Sirin menyimpulkan

    bahwa dirinya dianggap najis? Karena orang yang pertama kali melempar batu itu bilang,

    Kamu anjing!

    Menjijikkan!

    Kafir!

    Anjing? Menjijikkan? Kafir. Benar-benar mengerikan. Dan orang-orang memang benar-

    benar memandang jijik. Kang Sirin tetap tak bisa menyimpulkan. Berhari-hari ia cuma

    melongo. Akhirnya tak berani keluar rumah. Tak berani narik becak. Bahkan, selentingan ia

    mendengar, orang-orang bakal mengepung rumah Kang Sirin. Subhanallah.

    Apa dosa Sirin?

    Padahal, tadinya ia cuma mau nolong. Kasihan Pak Haji. Semenjak ditinggal mati istri, ia jadi

    sepi. Bukankah menolong itu, kata orang tua, juga pekerjaan mulia? Dan kalau yang ditolong

    itu lantas memberi rezeki, jangan ditolak. Menolak rezeki itu ndak baik, Rin, begitu kata

    kakeknya dulu.

    Kang Sirin menganggap Pak Haji orang susah. Sungguh, ia sering mendengar sendiri

    kesusahan Pak Haji. Setiap kali mengantar sehabis jualan di pasar, ia bilang, Susahnya kalau

    orang sudah terlanjur dihormati, Rin. Mau minta tolong carikan istri, bilang ini dan itu,

    rasanya risih. Jangan-jangan malah dianggap lucu. Disangkanya kalau sudah haji, jadi imam

    di masjid, diundang ke sana ke mari, sudah sempurna begitu? Aku ini ya laki-laki normal lho

    Rin. (Jangan bilang-bilang ya? Nanti dikiranya ndak tabah, repot jadinya). Dipikir-pikir, kok

  • ya mendingan kamu lho Rin. Bebas cari-cari informasi, tanya-tanya, ke sana ke mari, ndak

    mungkin ada orang cerewet. Anak-anak lagi, sudah gede, sudah pada berumah tangga, kok

    ya maunya menangan terus. Ada yang bilang malu, ngisin-ngisini, malah yang bungsu

    bilangnya ndak jelas. Macem-macem lah Rin!

    Sudah jelas ?kan? Kalau orang semacam Kang Sirin saja tiba-tiba bisa jadi tumpuan keluhan

    Pak Haji, bukankah itu satu anugrah? Sedang Pak Haji orang yang paling terhormat. Amat

    mulia jika Kang Sirin bisa menolong. Kang Sirin lho, bukan Pak Soleh, Wak Katib, atau Lik

    Zaini yang dikenal orang sebagai ustaz. Nah, karena Kang Sirin tahu dan akrab dengan

    Marsiti, lalu memandang Marsiti itu baik, apa salahnya menawarkan Marsiti? Toh, kalau Pak

    Haji tidak mau ya tidak apa-apa. Kang Sirin tidak akan maksa. Edan po? Kang Sirin kok bisa

    memaksa Pak Haji. Jelas ndak mungkin. Tapi kini, Kang Sirin merasa dipentung kiri kanan.

    Aneh ya Pak Haji itu. Minta tolong malah sama tukang becak. Lantas, kita-kita yang pinter

    ini dianggap apa? Coba kalau terus-terang sama kita, bisa rame-rame ?kan dicarikan yang

    bagus, yang pantas. Bukan Marsiti.

    Melihatnya saja sudah muntah.

    Sirin saja yang goblok. Sudah enggak bisa baca, kere, eeee mau macem-macem. Kafir!

    Betul Wak, harus dikasih pelajaran. Wong gendeng, orang gila, mudah-mudahan disamber

    gledek.

    Ialah Gusti Allah ngasih cobaan sama Pak Haji. Padahal, apa sih kurang baiknya Pak Haji?

    Kok sama Sirin saja ketipu.

    Ini pasti ada dalangnya. Ndak mungkin kalau hanya inisiatif Sirin. Aku menduga kalau ndak

    kelompok haji mbelgedes Kampung Ciparay ya pasti kelompok Jamaah Pangoragan yang

    zikirnya jingkrak-jingkrak itu. Mereka sengaja membuat jebakan untuk menjatuhkan

    kewibawaan Pak Haji. Pokoknya hal ini harus diselidiki hingga tuntas. Aku ndak terima

    Kampung kita dipermalukan.

  • Kuncinya ya Sirin itu.

    Digebuk saja. Sekalian beres. Kepalang tanggung!

    ***

    Orangnya cantik ?kan, Pak Haji? Kulitnya putih. Tidak gemuk tidak kurus. Orangnya ramah,

    juga sopan.

    Punya anak tidak Rin?

    Tidak Pak Haji. Suaminya dulu meninggal muda. Pokoknya sip Pak Haji, orangnya juga baik.

    Syukurlah kalau tidak punya anak. Itu yang diharapkan. Sedikit berumur tak apa. Yang

    penting rumah ada yang ngurus. Tidak terlalu repot kalau habis jualan di pasar. Tapi, o ya,

    kira-kira apa dia mau dikerudung?

    Mungkin mau Pak Haji. Dia juga salat kok.

    Kang Sirin mesam-mesem ketika diselipi uang lima puluh ribu. Tak baik menolak rezeki

    meskipun besar. Hanya ditemani Pak Kadir, kerabat jauh Pak Haji yang amat dipercaya,

    mereka bertiga berangkat melamar. Tak perlu ribut-ribut. Dan pada hari berikutnya, Kang

    Sirin ikut jadi saksi. Seumur-umur jadi manusia, pada kali itulah Kang Sirin bisa merasa jadi

    orang penting.

    Daldiri, anak Pak Haji paling bungsu yang masih SMA, malah menolak ketika diajak:

    Mau ikut ke Sindang tidak Ri?

    Wah, besok ulangan je, Pak! Daldiri sama sekali tak terpikir kalau hari itu bapaknya kawin.

    Biasanya, paling banter hanya mengisi pengajian. Sehari setelahnya, ketika Pak Haji tiba-tiba

  • membungkusi pakaian, barulah Daldiri heran sembari tanya, Mau ke mana sih Pak?

    Kemarin kamu diajak tidak mau. Bapak sudah kawin, Le.

    Kawin? Itulah yang membikin Daldiri blingsatan, geger. Dalam situasi gawat semacam itu,

    Daldiri lari ke sana ke mari. Tilpun ke sana ke mari. Lapor pada ketiga kakaknya: Magelang,

    Solo, dan Temanggung. Jam tiga dini hari, mereka semua berdatangan dan langsung menuju

    Sindang. Pengantin lelaki diculik! Tanpa ampun. Digeret. Dipaksa untuk ikut. Di Pesantren

    Bambu Kuning Temanggung, anak-anak langsung mengepung dan menginterogasi.

    Menyemburkan seluruh kekecewaan, penyesalan, dan keberatan-keberatan yang tak boleh

    dibantah!

    Yang betul saja tho Le kalau njemput itu. Bikin geger dan kecewa.

    Justru Bapak itulah yang gak bener. Sudah tua kok ya kurang waskita. Kurang

    pertimbangan. Asal tangkap tanpa perundingan. Mbok ya ngasih kabar atau gimana, apa sih

    susahnya? Begini-begini juga anakmu itu dihargai, dihormati. Coba kalau kedengaran santri-

    santriku di pesantren ini, apa ya ndak memalukan? Bikin lebih geger? Pokoknya tidak ada

    alasan, detik ini juga harus dicerai! Saya carikan yang bagus. Yang pantas. Yang iman. Kawin

    kok sama lonte.

    Jangankan Pak Haji, Kang Sirin saja yang jadi pusat cerita tidak tahu kalau Marsiti itu bekas

    lonte. Ia kenal dan akrab sama Marsiti karena juga langganan becak. Malah kalau dihitung-

    hitung, ya Marsiti itulah langganan luar kampungnya yang paling jauh. Makanya kalau

    banyak orang memaki, Kang Sirin sesungguhnya ndak terima. Demi Allah Kang Sirin tidak

    bermaksud menjerumuskan Pak Haji. Kang Sirin saja barangkali, jika ketemu Marsiti

    sekarang, kepingin rasanya meludah. Memaki-maki Marsiti dengan kata-kata setan dan najis

    seperti yang diucapkan orang-orang. Tapi entah bagaimana alur dan konflik ceritanya, akhir-

    akhirnya Kang Sirin kok yang malah jadi suka sama Marsiti.

    ***

  • Konon, menurut data-data yang bisa ditelusuri, Kang Sirin memang bukan tipe orang cerdas.

    Pada suatu hari Kang Sirin ketemu Marsiti berwajah pucat, berbadan kurus, dan selalu

    batuk-batuk. Betul-betul amat berubah, sehingga membuat Kang Sirin pangling. Tapi begitu

    yakin bahwa itu Marsiti, sontak ia ingin meludah. Memaki Marsiti dengan kata-kata kamu

    anjing seperti yang hingga sekarang diucapkan orang-orang pada dirinya. Bahkan ingin

    Kang Sirin menggampar muka Marsiti dengan batu.

    Tapi Marsiti malah belum-belum sudah nangis. Entah rayuan gombal, entah elusan iblis,

    yang jelas iman Kang Sirin bergetar. Ia tiba-tiba menjadi iba. Kang Sirin lho, bukan Pak

    Soleh, Wak Katib, atau Lik Zaini yang dikenal sebagai ustaz. Bukan lagi makhluk berwujud

    Kang Sirin kalau melihat adegan yang begitu dramatis itu tidak langsung jadi tragis. Tiba-tiba

    ia ingin ikut menangis. Dan sejak pertemuan itulah hati Kang Sirin selalu berdesir dan

    berpikir. Barangkali inilah yang disebut cinta? Entahlah. Yang jelas semua orang semakin jijik

    jika bertemu Kang Sirin. Semua orang berpikir, kok masih ada orang bebal yang oleh Tuhan

    dibiarkan hidup? Sudah jelas ditipu, masih sempat-sempatnya berpikir menolong.

    Apakah kalau lonte tobat, tidak boleh kawin? begitu kata Marsiti. Bukan berarti setiap

    lonte tobat itu selalu naik pangkat menjadi germo. Sudah lima tahun Siti berhenti jualan

    daging begituan. Karena tobat itu bisa tenang kalau Siti kawin, maka Siti kepingin kawin. Siti

    emoh kawin sama gento. Kawin juga harus dengan orang baik, biar Siti ikut baik. Sukur kalau

    suami Siti bisa ngaji, biar Siti bisa belajar ngaji. Makanya, Marsiti berhenti. Menyusut air

    mata, Datangnya tawaran Pak Haji ibarat laron ketemu petromaks. Siti mengira itulah

    jawaban dari doa-doa tahajud Siti yang tak pernah berhenti untuk meminta. Meminta jadi

    orang baik. Meminta jodoh yang baik. Siti tak nyangka kalau ternyata akibatnya bisa dikutuk,

    dipisuh, disebut setan. Dulu banyak orang yang masih memaklumi Siti. Tapi kini.

    Kini Kang Sirin yang bengong. Kini Kang Sirin jadi punya pikiran sakit karena dirinya juga

    disebut setan. Kalau setan memang harus ketemu setan, mau apa lagi? Jelas setan yang satu

    ini butuh pertolongan.

    Jadi Mbak Siti ingin bisa mengaji? Dulu Kakek Kang Sirin juga mengajar ngaji. Dan Kang Sirin

    belajar mengaji di tempat Kakek. Kang Sirin bisa baca Alquran. Itu semua yang diajarkan

  • Kakek Kang Sirin. Kini Kakek Kang Sirin sudah meninggal dunia. Jadi. Jadi beruntunglah

    Kang Sirin dulu punya kakek dengan ilmu-ilmu yang baik. Beruntunglah Kang Sirin menjadi

    santri yang mengerti.

    Bayangkan, jika Kakek Sirin dulu sekolah, mungkin sudah dikenal jadi orang pandai. Pandai

    mengajar, jadi kiai atau setidaknya guru. Jika Kakek Sirin dulu kaya, mungkin sudah jadi haji.

    Karena haji, maka Kakek Sirin yang jadi imam di mesjid. Seperti Haji Jupri.

    dimuat di Pikiran Rakyat Silakan Kunjungi Situsnya! 02/17/2007

    Orang Kampung

    WAK MANGLI mulai berkeringat, menggigil. Suara deru angin. Pohon-pohon berpatahan.

    Kelebat lentik pagar di depan ambruk; menembus mimpi teramat buruk. Dosa apakah? Tiba-

    tiba. Lentik lampu sentir menabur jelaga, menuju atap. Hitam. Ia terpaksa terbangun

    berkali-kali, menguping telinga. Jelas isyarat hujan. Betul. Tak ada jam. Juga suara kentong

    peronda yang mustinya sudah berbunyi sedari tadi. Badai dari langit itu. Lelap.

    Apakah kamu dengar juga, Juminah? setengah mengigau, berteriak. Membangunkan

    istrinya, Jangan tidur. Aku khawatir

    Kita bisa melihatnya besok, pelan. Gerimit bibirnya mengguratkan garis letih. Menjawab.

    Sudahlah, ia menghibur. Tapi tak tenang. Wak Mangli hafal itu bukan isyarat baik, lalu:

    Hasnah! Bunga-bunga manggis itu pasti berjatuhan. Gagal. Ah, hujan sial. Lalu bagaimana

    dengan nasib Hasnah, Juminah?

    Aku tak tahu.

    Dengar: tahun ini tak akan ada buah. Apakah itu artinya? Besok kita akan tahu. Duh Gusti,

    Wak Mangli berdoa. Telentang. Pedas matanya dan tak sanggup lagi berfikir, Bahkan ingin

  • rasanya mati. Kau dengar Juminah? diam. Badai dari langit itu

    TOLOL. Memang pantas. Musim petai memanggul delapan belas bonggol petai: tersaruk-

    saruk dan mengetuk pintu terbunggkuk-bungkuk. Juminah, berbedak-gincu murah dipakai

    sewaktu-waktu; selendang kuning dan kebaya brukat, berjalan sepuluh kilo turun gunung.

    Tentu. Bau keringat dari ketiak, juga Wak Mangli bersarung kampret dengan wajah basah;

    nyaris mencium dengkul Juragan Faruk ketika datang: Kulo bawakan, Bapak Juragan Faruk!

    Duh, surat dari Bapak sudah kulo tahu. Kulo tak bisa baca, tapi Bapak Kadus berkata itu;

    bahwa, ehm, anu Bapak Juragan Faruk katanya memintai petai. Petai asli. Betulkah? Ah,

    bingah amarwatasuta, gembira berkah kagiri-giri. Semoga Hasnah di sini betah. Anak saya

    itu, Bapak Juragan. Sareatna-nya cuman begitu. Bodoh dan mohon petunjuk.

    Biasa mendelik tapi Juragan faham: terbahak. Mungkin lucu. Juga suka. Metingklak di atas

    kursi. Teriak memanggil babu, pekak. Ludah menyemprot gigi tongos, sungguh patut:

    Hasnaaah!!

    Senang. Wak Mangli memandang tak bosan-bosan. Gadis, ya, sudah perawan. Sebesar itu.

    Anaknya, buah hati. Kesayangan. Diambil empat tahun lalu untuk jadi _batur_. Jadi babu.

    Bayangkan, melayani Faruk! Sungguh besar anugrah Gusti Allah. Tapi nyaris. Tiga tahun lalu,

    dasar Hasnah memang bodoh, anak itu kabur. Marah. Pertama kali seumur-umur Wak

    Mangli memukul: Kamu yang tolol Hasnah! Ya Gusti

    Tapi Hasnah dijotos. Digerus. Endas Hasnah dibentur-bentur. Lihat, endas Hasnah masih

    metingul sebesar jengkol. Bengkak. Warnanya hijau. Oh

    Kamu. Kamu yang salah pasti. Dasar! Kamu itu, tak ngerti berkah. Dungu. Tak sembarang

    orang, tahu, bisa melayani Faruk! Pergi, ayo, kembali dan minta ampun, mengumpat. Dulu.

    Katanya dicakar Bu Juragan juga. Digencet palu. Amit-amit. Anak jaman sekarang tak faham,

    bahwa begitulah cara priyagung memberi ajar. Mewangsitkan petuah. Sopan santun. Agar

    patuh. Berbakti dan mengabdi. Sungguh. Tapi tak apa. Hasnah masih kencur. Makanya harus

    dipaksa: Ayo. Kemasi lagi pakaianmu, nduk. Bapak yang akan ngantar. Bapak akan ngglesot,

    nyembah. Mencium kaki. Meminta ampun

  • Gemeragap bayangan kembali memercik. Hasnah bisa pergi. Dipaksa. Tapi begitulah,

    memang takdir Gusti Allah: empat bulan barusan, Hasnah kembali. Datang. Berdiri

    diambang pintu: ketawa nyekakak. Rambut trondol, cepak, seperti ah, ya, demit mur;

    katanya binatang pilem. Astaga. Bedak merah. Tebal. Gincu abang dan, celana komprang

    pendek mirip petani, Kamu

    Hasnah bunting. Ditiduri Pak Faruk. Semalam dua kali. Enak. Ini surat. Suruh datang. Bapak

    disuruh ke sana. Nyembah. Dan minta ampun.

    LANGIT. Tumpah _menjelegurkan_ bunyi pekak. Bledek. Barangkali runtuh. Tujuh turunan

    amit-amit, Juminah nangis segruk-segruk: alangkah. Jika masanya anugrah datang. Tapi

    hujan! Angin sial puting-beliung siapa tahu. Merontokkan harapan itu. Tentang gugurnya

    bunga-bunga manggis, duh! Impian Wak Mangli, bahwa empat bulan lagi Hasnah bakal

    kawin. Tak perlu bawa-bawa ubo rampe segala; duit, biaya seabrek-abrek seperti orangtua

    perawan kampung dipinang perjaka. Nanggap wayang. Duih, amat astaga mahalnya.

    Darimana? Duit sejuta melihatpun tak bakal. Tak perlu, begitu Bapak Juragan Faruk,

    malaikat itu, membenarkan sambil pethakilan dan ludah muncrat-muncrat: Hasnah akan

    kawin dengan Udin. Ibu Faruk setuju. Nyembelih kambing, empat kambing dan wayang!

    Hok-hok-hok, ueddan. Udin itu. Anakmu bakal jadi orang kota. Bisa nulis, Udin itu, juga bisa

    baca. Bisa nyopir. Dia, Udin itu, calon suami Hasnah, juga kerja di sini. Jadi sopir. Pintar dia.

    Turunan bagus.

    Katanya. Wak Mangli hanya nangis. Iba. Juga Juminah, berkali-kali. Terimakasih. Ingin sujud

    dan mengucap, Gusti Allah! Gusti Allah!!

    Udud. Sebul-sebul asap rokok dari mulut tongos. Bapak Juragan Faruk _ngendiko_, berkata

    lagi begini: Jadi tak perlu bawa duit. Hok-hok-hok. Hanya ucapan terimakasih itu. Nah,

    Mangli, jika kupingmu tidak budek. Kudengar kau punya pohon manggis raja yang bagus.

    Kata orang rasanya paling enak di Dusun Jablus Melebus. Kalau panen besok, bawalah

    manggis ajaib. Itu sudah cukup. Seratus kilo sudah cukup. Manggis raja! Hok-hok-hok.

  • Ser seratus, Juragan?

    Senyap. Lentik pucuk api sentir menggeriap. Wak Mangli tersadar mencangkung melamun.

    Jelatang hitam menabur, menuju atap. Klap!! Kilat, petir. Wak Mangli terjengat: Cilaka,

    Hasnah.!!

    HARI ujug-ujug subuh. Lenyap sebentar, Wak Mangli kaget. Tertidur. Jam berapa? Tak ada

    jam disini. Bunyi jago kluruk meneluwung jauh, pasti. Itu suara Si Bangkok, ayam tetangga.

    Bumi sepi, suara angin sepoi sunyi. Aha. Wak Mangli menggerudug menggebrak jendela:

    gelap. Tak sabar.

    Juminah! Bangun. Siapkan obor!!

    Embun kinclong di ujung daun. Padang rumput, teranyas dingin jalan setapak diterabas

    telapak. Telanjang. Ada bias warna putih, di ufuk timur berkibar-kibar. Ditirai kabut: remang.

    Moncong tongperet menungging-nungging dengan denging irama, binatang pengisap air

    yang suka nyanyi serentak. Ratusan. Berdenyar-denyar menemplek pada batang-batang

    basah. Jalan menanjak, berkelok. Dari lembah bawah sudah terlihat _juntrung_ mentiung

    pohon kesayangan: manggis raja. Ohoooi! Raja manggis yang banyak dicicip para priyayi di

    kota, dipesan jauh hari. Pohon mukjizat itu, satu-satunya pohon penopang hidup setelah

    petai dan jambu klutuk. Dan kini, kembali dipinang justru dari rajanya priyayi, duh! Hasnah!

    Hasnah! Semoga hujan tidak merontokkan bunga!! Dan kawinlah kau. Kawin! melonjak.

    Doanya perih. Pada Gusti, pada malaikat, dan harapan dari berkah Juragan Faruk.

    Melompat jadi bergas. Gemerudug ia-nya, cemas. Buru-buru. Wak Mangli itu, serasa

    jantung mendegup, berlari. Juminah terengah menghempas nafas. Sesak. Tertinggal jauh

    langkah Wak Mangli. Cepat. Kelebat sosok Wak Mangli lenyap ditelan gerombol semak.

    Lentik obor tak perlu, dibuang Juminah, lantaran langit berubah. Ia berhenti, mendadak:

    Juminaaaah!! Juminaaaah!! dari jauh. Suara teriak tertatih-tatih. Empat orang menyusul.

    Memanggul gergaji, kapak, tengah menanjak; dan segulung tambang besar. Untuk apakah?

    Tertegun. Ada firasat buruk, naluri perempuan petani berbisik. Aneh.

  • Kaukah itu, Juminah? berteriak. Semakin dekat.

    Ya.

    Tadi malam hujan sangat deras, jelas. Wajah Pak Kadus Jablus Melebus mulai bicara.

    Tersengal-sengal. Semakin tegas. Tiga penebang lain: Emen, Karto, dan Sali, berotot kekar:

    hanya terdiam. Kikuk. Pandang matanya berkilat. Juminah melongo.

    Ada kabar kiriman surat untukmu. Maksudku, tadi sore. Tapi hujan sangat deras. Aku tak

    bisa mengantar. Ah, maksudku, surat itu sangat penting. Makanya aku susul kemari. Tadi

    pagi-pagi, aku ke rumah. Ya Tuhan, gugup. Pak Kadus menunjuk selembar kertas. Tengadah

    ke langit: Dari Bapak Camat Umar

    He?! Juminah. Melotot lutut bergetar. Gusti Allah!

    Betul. Kamu dapat anugrah. Maksudku, ya Tuhan, begini, berbisik. Sebagai warga yang

    paling baik, begitu kata Bapak Camat Umar. Kamu harus rela. Dimana Wak Mangli?

    menunjuk. Juminah tak paham.

    Begini: kamu kan tahu, Juminah, sekarang musim hujan? Jembatan Cihampelas sudah dua

    kali hanyut. Kamu suka lewat ke sana bukan? Juga Wak Mangli. Nah, begini, katanya ehm.

    Menurut anu, eh, warga kebanyakan, clingak-clinguk. Sejenak sunyi. Emen dan Karto

    membuang muka. Entah. Sedang Juminah beku.

    Baiklah, katanya. Tegar dan malu-malu: Jembatan itu harus dipatok dengan kayu yang

    besar. Tak ada kayu yang lebih besar selain manggis raja milikmu. Bukankah begitu,

    Juminah? Semua orang tahu. Betul. Bapak Camat bilang begitu. Pagi ini harus ditebang.

    Kamu beruntung, Juminah. Kamu telah disebut Bapak Camat Umar itu, sebagai ah, apa

    katanya itu? Kadus melongok Sali. Meminta bantuan. Emen dan Karto melengos. Nyinyir

    mereka, berwajah keras, lantas meludah: Pahlawan pembangunan!

  • Tak ada cakap. Bayang Wak Mangli mengabur di sana. Sebentar. Juminah beku. Juga

    bayangan Hasnah, anak perempuan yang bakal kawin. Dan manggis raja kesayangan? Kini

    tak ada hujan. Jadi teramat sunyi. Bukit ini paling biru. Paling sedih. Sedang matahari

    mengambang. Meleleh. Mungkin. Sebab air mata Juminah tengah menitik. Seperti telaga.

    Juga di sini. Sampai kapan?

    Yogyakarta, 1997