View
12
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Lecture Notes :
Tatalaksana Tatalaksana Penyakit Kronik Penyakit Kronik di Bulan Puasadi Bulan Puasa
Tatalaksana Penyakit Kronik di Bulan Puasa
PT. MULTIMEDIKA DIGITAL INDONESIA
Rizki Nur Rachman Putra Gofur, dr.
Lecture Note :
Tatalaksana Penyakit Kronik
di Bulan Puasa Oleh : Rizki Nur Rachman Putra Gofur, dr.
DAFTAR ISI
1. Manajemen Dispepsia Saat Puasa 1
2. Tatalaksana Diabetes Melitus Saat Puasa 15
3. Puasa dan Kardiovaskular 33
4. Tatalaksana CKD di Bulan Puasa 45
5. Berpuasa Ramadhan di Tengah Pandemi
Covid 19 58
HALAMAN
Halaman
1
Manajemen Dispepsia Saat Puasa
Dispepsia merupakan kumpulan gejala
yang ditandai rasa tidak nyaman pada perut
bagian atas. Prevalensi dispepsia sekitar 25-
40% dari populasi, hampir separuh pasien
mengobati keluhannya sendiri, dan sekitar
25% datang pada fasilitas kesehatan. Keluhan
dispepsia dapat menyebabkan penurunan
kualitas hidup pasien, oleh karena rasa nyeri
yang tidak nyaman serta bisa menurunkan
produktifitas seseorang.
Puasa ramadhan menjadi tantangan
tersendiri pada pasien dispepsia karena tidak
adanya asupan makanan atau minuman
selama seharian. Keluhan dispepsia (nyeri
perut, kembung, indigestion, heartburn)
2
sering timbul pada orang yang memiliki pola
makan tidak sehat, seperti jumlah makan
yang berlebihan saat berbuka dan sahur.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk
mengetahui efek dari puasa ramadhan pada
penderita dispepsia. Dikatakan dalam sebuah
jurnal pada pasien dispepsia yang telah
terkonfirmasi adanya ulkuk peptik aktif tidak
disarankan untuk berpuasa. Dan penggunaan
proton pump inhibitors (PPI) ternyata dapat
memperbaiki keluhan dyspepsia pada
beberapa pasien. Lalu bagaimana manajemen
pasien dyspepsia saat berpuasa?..... Dan
bagaimana peran obat-obatan antisekretori
pada saat berpuasa?..... Artikel ini berusaha
menjawab pertanyaan tersebut.
3
Dispepsia
Dispepsia bukanlah sebuah diagnosis.
Dispepsia merupakan kumpulan gejala nyeri
perut atau rasa tidak nyaman pada perut yang
berpusat di abdomen bagian tengah.
Gejala utama pada dispepsia:
1. Retrosternal or epigastric pain
2. Rasa penuh
3. Kembung
4. Rasa terbakar di dada bagian tengah
5. Mual muntah
6. Anoreksia
Derajat nyeri pada dispepsia dapat
ringan hingga berat, dapat presisten (terjadi
4
terus menerus dan menetap) atau rekuren
(berulang), dan dapat membaik sendiri tanpa
pengobatan ataupun membutuhkan pengo-
batan.
Keluhan dispepsia dapat berhubungan
dengan berbagai keadaan, diantaranya
gangguan traktus gastrointestinal atas seperti
ulkus peptikus atau kanker gaster, patologi
abdomen bagian atas seperti adanya batu
empedu, ataupun kelainan yang disebaban
oleh sistem lain seperti infark miokard.
Pada tabel dibawah ini terdapat
pembagian sub grup dispepsia yakni sub grup
refluks, ulkus (seperti dalam ulkus peptikum),
dan dismotilitas. Lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel berikut.
5
Refluks Heartburn – adanya regurgitasi
dari asam lambung
Ulkus
Nyeri abdomen atas dengan
predominan tiga gejala :
Nyeri atau rasa tidak
nyaman pada epigastrik
Nyeri hilang setelah
pemberian makanan
Nyeri berkurang dengan
pemberian antasida atau
obat lain yang efektif
untuk ulkus pepti
Nyeri muncul sebelum
makan atau saat lapar
Nyeri dapat
membangunkan
seseorang dari tidur
6
Nyeri dapat hilang dan
timbul
Dismotilitas
Dicirikan oleh
ketidaknyamanan pada
abdomen atas disertai oleh tiga
atau lebih gejala :
Setelah makan perut
terasa penuh
Mual
Mual dan muntah
Perut bagian atas terasa
penuh namun tidak
terlihat adanya distensi
abdomen
Ketidaknyamanan pada
perut umumnya
diperberat dengan
makan
7
Satu hal lagi yang perlu diperhatikan,
adalah bahwa gejala-gejala ini tidak selalu
berdiri sendiri. Gejala dyspepsia umumnya
tumpang tindih (overlap) jadi gejala
dismotilitas dapat muncul bersamaan dengan
gejala refluks, dan gejala dimostilitas. Berikut
seterusnya, jadi sebaiknya dapat dilihat
dengan komperhensif dan tidak berfokus pada
satu gejala.
Tatalaksna Dispepsia
Sebelum memulai tatalaksana perlu
ditegakkan diagnosis dari dyspepsia tersebut.
Pikirkan tidak hanya proses patologis di
saluran gastrointestinal bagian atas tapi
pikirkan juga proses patologis lain seperti dari
jantung, hepar, paru-paru saluran kemih,
hingga saluran cerna bagian bawah. Terutama
8
untuk pasien-pasien lansia dengan faktor
risiko kardiovaskular. Pasien-pasien lansia
dengan penyakit kardiovaskular terkadang
juga datang dengan gejala abdominal.
Kemudian jika pasien sedang mengkonsumsi
berbagai obat yang dapat menyebabkan
dyspepsia, dapat dihentikan atau diganti
dengan obat lain yang memiliki manfaat
serupa, namun jika ragu dapat dikonsultasikan
dengan dokter spesialis. Obat-obat yang dapat
menyebabkan dyspepsia adalah aspirin /
NSAID, kalsium antagonis, nitrat, teofilin,
bifosfonat, dan steroid.
Pada beberapa kasus dispepsia dengan
“alarm sign” membutuhkan investigasi lebih
lanjut. Berikut “alarm sign” pada dispepsia:
9
Pendarahan gastrointestinal (dirujuk
pada hari yang sama)
Mual muntah presisten
Penurunan berat badan yang progresif
(tidak direncanakan)
Disfagia
Massa pada daerah epigastrik
Anemia akibat adanya pendarahan
gastrointestinal
Dispepsia yang tidak membaik/tidak
respon dengan terapi standar
Dispepsia dan Puasa
Gejala-gejala dyspepsia seperti panas,
nyeri, penuh, mual, juga umum ditemukan
pada pasien yang sedang puasa terutama
10
yang memimiliki kebiasan buruk seperti
makan berlebihan saat sahur dan berbuka.
Pasien dengan ulkus peptic yang aktif
sebaiknya disarankan untuk tidak berpuasa
karena kemungkinan untuk munculnya
komplikasi sangat tinggi. Pasien dengan ulkus
peptic yang tidak aktif, dapat berpuasa
sembari mengkonsumsi proton pump inhibitor.
Sebelum melakukan puasa sebaiknya
pasien yang menderita dyspepsia melakukan
kontrol ke dokter untuk dilakukan peme-
riksaan dan edukasi. Hindari dehidrasi selama
puasa, apalagi jika puasa dilakukan saat
musim kemarau. Konsumsi diet yang sehat
dan seimbang, pilih makanan yang kaya serat,
rendah garam, dan memiliki indeks glikemik
yang rendah. Saat buka puasa mulailah
11
dengan makanan yang ringan seperti kurma,
dan jangan mengisi perut terlalu banyak.
Setelah itu mulai makan berat setelah salat
terawih. Kemudian jangan segera tidur setelah
makan berbuka maupun sahur.
Edukasi lain adalah ada beberapa hal
dan makanan yang sebaiknya tidak di-
konsumsi saat berpuasa. Beberapa hal yang
harus dihindari adalah :
Makanan yang berlemak dan terlalu
banyak minyak
Buah yang mengandung asam seperti
lemon, anggur, tomat, dan jeruk
Makanan pedas
Makanan yang mengandung terlalu
banyak gula
12
Makan terlalu banyak saat berbuka
maupun sahur
Merokok
Langsung tidur setelah makan < 3-4 jam
Terapi medikamentosa pada dispepsia
fungsional :
1. proton pump inhibitor (diminum 30
menit sebelum makan)
a. omeprazole 20mg (1-2x/hari)
b. pantoprazole 40mg
c. rabeprazole 10 mg
d. esomeprazole 40mg
e. lansoprazole 15-30 mg
2. prokinetik (domperidon)
3. psikofarmasi (amitriptilin)
4. penghambat reseptor H2 (ranitidin)
5. antasida
13
Daftar pustaka
Abbas, Z. J Pak med Assoc. 2015 May;
65(5Suppl 1):S68-71
Bragazzi, N. L. et al. (2015) ‘Ramadan fasting
and infectious diseases: A systematic
review’, Journal of Infection in
Developing Countries, 9(11), pp. 1186–
1194. doi: 10.3855/jidc.5815.
E Chandra, S Ndraha
Indonesian Journal of Gastroenterology,
Hepatology and Digestive Endoscopy
Vol 14, No 2, August 2013
Moayyedi, P. M. et al. (2017) ‘ACG and CAG
Clinical Guideline: Management of
Dyspepsia’, American Journal of
Gastroenterology, 112(7), pp. 988–1013.
doi: 10.1038/ajg.2017.154.
Rimmani HH, et al
Digestive Disease 2019; 37:188-193
Talley NJ, Phung N, Kalantar JS. ABC of the
upper gastrointestingal tract:
14
Indigestion: When is it functional? BMJ
323:2001; 1294-1297
Talley, N. J. and Ford, A. C. (2015) ‘Functional
dyspepsia’, New England Journal of
Medicine, 373(19), pp. 1853–1863. doi:
10.1056/NEJMra1501505.
15
Tatalaksana Diabetes Melitus Saat Puasa
Bulan Ramadhan adalah bulan yang
penuh berkah, namun juga selalu menjadi
tantangan bagi dokter umum karena puasa
mengatur ulang aktivitas fisiologis dari tubuh.
Karena puasa saat Bulan Ramadhan,
masyarakat Indonesia menjalankan puasa dan
hanya makan di saat sahur yaitu sebelum
matahari terbit dan berbuka puasa yaitu
setelah matahari terbenam. Hal ini
menyebabkan konsumsi obat pun menjadi
berubah, dan berpotensi mengurangi
kepatuhan pasien karena perubahan pola
makan dan pola kehidupan. Selain itu puasa
sendiri juga memberikan dampak kesehatan
bagi pasien, dan tidak semua pasien
diperbolehkan untuk melakukan puasa
16
Ramadhan. Masalah-masalah ini umumnya
dihadapi oleh pasien-pasien dengan penyakit
kronis, dan salah satu penyakit kronis tersebut
adalah penyakit yang berhubungan dengan
metabolik seperti diabetes mellitus.
Sebelum memasuki materi, mari sedikit
mengingat kembali patofisiologi dari diabetes
mellitus dan apa hubungannya dengan puasa.
Sekresi insulin menyebabkan penyimpanan
glukosa di liver dan otot sebagai glikogen.
Pada orang sehat aktivitas ini dirangsang
dengan makan. Saat puasa, glukosa darah
cenderung rendah, menyebabkan penurunan
sekresi insulin, yang akhirnya menyebabkan
pembongkaran glikogen dan meningkatkan
gluconeogenesis. Karena puasa terus
berlanjut, maka glikogen akan semakin
17
sedikit, dan level insulin yang rendah pada
darah menyebabkan asam lemak terlepas dari
jaringan adipose. Oksidasi dari asam lemak
dapat menjadi keton yang dapat digunakan
sebagai bahan baar otot, jantung, hepar,
ginjal, dan jaringan lain. Hal ini menyisakan
glukosa untu dipakai otak dan eritorsit.
Pada individu tanpa diabetes, proses di
atas direulgasi oleh keseimbangan insulin dan
hormone kontrarulgator untuk mempertahan-
kan konsentrasi glukosapada level yang
fisiologis. Pada pasien dengan diabetes,
homeotstasis glukosa diganggu oleh
patofisiologi dari diabetes mellitus. Pada
pasien dengan insulin defisiensi yang berat,
puasa yang panjang tanpa adanya insulin
dapat menyebabkan pembongkaran glikogen
18
yang berelebihan gluconeogenesis dan keto-
genesis yang meningkat, menyebabkan
hiperglikemia dan ketoasidosis. Pasien dengan
diabetes mellitus tipe 2 dapat menderita
gangguan yang sama jika puasa berlangsung
dalam waktu lama. Ketoasidosis jarang
ditemukan walau tetap mungkin terjadi, dan
keparahan hiperglikemia tergantung dari
keparahan resistensi insulin.
Pasien yang melakukan puasa dalam
bulan Ramadhan memiliki risiko untuk terkena
komplikasi dari diabetes mellitus. Beberapa
komplikasi tersebut adalah hipoglikemia,
hiperglikemia, dan ketoasidosis diabetikum.
Komplikasi tersebut akan dijabarkan di bawah
ini
19
Hipoglikemia
Penurunan konsumsi makanan merupa-
kan faktor risiko yang sudah banyak dikenal
saat bulan puasa. Hipoglikemia menyebabkan
2-4 % mortalitas pada pasien DM tipe 1. Tidak
ada perkiraan pasti angka mortalitas akibat
hipoglikemia pada DM tipe 2, namun
hipoglikemia ini dirasa jarang ditemukan pada
diabetes tipe 2. Pasien DM tipe 2 lebih jarang
menderita hipoglikemia dibandingkan dengan
DM tipe 1, dan risiko ini jauh lebih rendah lagi
pada pasien DM tipe 2 yang mendapat terapi
oral saja.
Hiperglikemia
Kontrol glikemia pada pasien DM pada
bulan Ramadhan dilaporkan memburuk, baik,
atau tetap. Pasien yang berpuasa pada bulan
20
Ramadhan memiliki faktor risiko lima kali
peningkatan insiden hiperglikemia dan
membutuhkan perawatan di rumah sakit saat
bulan Ramadhan. Hal ini ditemukan pada
pasien diabetes mellitus tipe dua. Sedangkan
pada DM tipe 1 ditemukan risiko tiga kali lipat
menderita hiperglikemia berat dengan atau
tanpa ketoasidosis diabetikum. Hiperglikemia
dapat terjadi akibat penurunan dosis dari obat
yang mencegah hipoglikemia. Pasien yang
juga melaporkan peningkatan konsumsi
makanan dan gula memiliki risiko tinggi untuk
menderita hiperglikemia.
Ketoasidosis Diabetikum
Pasien dengan ketoasidosis diabetikum
umumnya yang menderita DM tipe 1. Pasien
yang berpuasa Ramadhan, memiliki risiko
21
besar untuk mengalami komplikasi ini. Apalagi
yang sebelumnya memiliki kepatuhan rendah
soal diet dan pengobatan. Ketoasidosis
diabetikum juga dapat muncul akibat
penurunan dosis insulin yang dilakukan sebab
terdapat asumsi konsumsi makanan juga
menurun saat bulan puasa.
Tatalaksana
Untuk pasien DM yang berpuasa dalam
bulan Ramadhan, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan. Pertama adalah tentu saja
memeriksakan diri ke dokter sebelum
melakukan puasa untuk menilai kondisi tubuh
serta menentukan apakah sang pasien bisa
melakukan puasa Ramadhan. Beberpaa
tatalaksana yang bisa dilakukan adalah :
22
Monitor gula darah secara mandiri,
tergantung dari jenis dan regimen terapi
yang diberikan. Monitor gula darah
dapat dilakukan beberapa kali sehari,
terutama untuk pasien yang diobati
menggunakan insulin dan insulin
sekretagog. Monitor gula darah
dilakukan 2-4 kali sehari, terutama
sebelum sahur, saat puasa, dan sesudah
berbua
Minta pasien periksa ke dokter minimal
1 bulan sebelum melakukan puasa untuk
edukasi, modifikasi regimen terapi, serta
menilai kondisi pasien
Minta pasien untuk tidak melewatkan
sahur karena dapat menyebabkan risiko
hipoglikemia
23
Hindari aktivitas fisik yang berlebihan
karena dapat menyebabkan dehidrasi
Jika terjadi hipoglikemia, sarankan
pasien untuk buka puasa dan konsumsi
makanan manis
Untuk modifikasi regimen terapi pasien,
umumnya dapat dilakukan seperti di
bawah ini :
Sebelum
Ramadhan Saat Ramadhan
Pasien yang se-
dang
melakukan diet
dan olahraga
Modifikasi durasi dan inten-
sitas dari aktivitas fisik, pas-
tikan pasien mengkonsumsi
cairan yang cukup
Pasien dengan
pengobatan
oral anti dia-
betes
Berikan pemberian cairan
yang cukup
Biguanid, Tidak perlu perubahan
Metformin 1x sehari diberikan
24
saat buka
2x sehari diberikan
saat sahur dan buka
3x sehari diberikan 1x
saat sahur dan 2x saat
buka
Sulfonilurea
sekali sehari
Berikan dosis saat
buka
Pada pasien dengan
gula darah baik, dosis
dapat diturunkan
Sulfonilurea
dua kali sehari
Dosis buka tetap
Pada pasien dengan
gula darah baik dosis
sahur dapat diturun-
kan
Pasien yang se-
dang menjalan-
kan terapi insu-
lin long /
intermediate
acting
NPH
/determir/glargine/degludec
1 x sehari
Turunkan dosis 15-30%,
berikan saat buka
Pasien yang se- Dosis normal saat buka
25
dang menjalan-
kan terapi
insulin short
acting
Hilangkan dosis makan siang
Turunkan dosis sahur
sebanyak 25-50%
Pasien yang se-
dang menjalan-
kan terapi
insulin premix
satu kali sehari
Dosis normal saat buka
Pasien yang se-
dang menjalan-
kan terapi
insulin premix
dua kali sehari
Dosis normal saat buka
Turunkan dosis sahur
sebanya 25-50%
Pasien yang se-
dang menjalan-
kan terapi
insulin premix
tiga kali sehari
Hilangkan dosis makan siang
Atur ulang dosis sahur dan
berbua
Lakukan titrasi dosis setiap
3 hari dengan cara
GDA pre sahur/pre buka <
70 mg/dl Turunkan 4 unit
GDA pre sahur/pre buka 70-
90 mg/dl Turunkan 2 unit
26
GDA pre sahur/pre buka 90-
126 mg/dl Tidak perlu
perubahan
GDA pre sahur/pre buka
126-200 mg/dl Naikkan 2
unit
GDA pre sahur/pre buka >
200 mg/dl Naikkan 4 unit
Sedangkan untuk beberapa OAD yang
dapat diberikan pada pasien DM, akan di-
review di bawah ini sekaligus catatan-catatan
penting yang perlu diperhatikam.
Nama
Generik
Dosis
harian
(mg)
Keunggulan Catatan
Sulfonilurea
Glipizid 2,5-20 Menurunkan
HbA1c seba-
nyak 1-2 %,
respon awal
bagus, tidak
Hipoglike-
mia,
kenaikan
berat ba-
dan, perlu
Glyburide 1,25 – 20
Glimepiride 1-4
Glicazide 40 – 320
27
ada lag time
sebelum
respon, dosis
sekali sehari,
harga murah
hati-hati
pada pasi-
en dengan
disfungsi
renal/hati,
dan alergi
sulfa
Meglitinides
Repaglinide 0,5 -8 Mennurunkan
HbA1c
sebanyak 1-
1,15 % dan
memilii waktu
paruh yang
lebih sedikit
dibandigkan
sulfonylurea
Hipoglike-
mia,
menaikkan
berat
badan, do-
sis yang
berulang,
dan lebih
mahal di-
banding-
kan sulfo-
nylurea
Nateglinide 60-120
Alpha
glukosidase
inhibitor
28
Acarbose 25-150
Menurunkan
HbA1c
sebanyak 0,5
– 0,8%,
menurunkan
glukosa post
prandial
tanpa
menyebaban
hipoglikemia,
tidak
menyebabkan
peningkatan
berat badan
Tidak lebih
efektif di-
banding-
kan sulfo-
nylurea
dan
metformin
dalam
menurun-
kan glike-
mia, dapat
menyebab
kan
produksi
gas dan
gejala
gastrointe
stinal
Insulin
sensitizer
Metformin 500-2000
Menurunkan
HbA1c
sebanyak 1 –
Efek
samping
gastrointe
29
2 %, tidak
mengubah
berat badan,
respon awal
yang baik,
pemakaian
jangka
panjang yang
aman, risiko
hipoglikemia
kecil, dapat
memperbaiki
profil lipid,
dapat
menurunkan
kejadian
makrovasku-
lar, harga
murah
stinal,
risiko
asidosis
laktat,
tidak
adapat
digunakan
pada
pasien
dengan
disfungsi
hati dan
hepar
Sedangkan untuk menjawab, pasien DM
dalam keadaan apa yang boleh melakukan
30
puasa Ramadhan, berikut adalah stratifikasi
risiko dari kondisi-kondisi umum.
Kategori
Risiko Kondisi
Risiko
sangat
tinggi
Pasien dengan hipoglikemia
berat selama 3 bulan
terakhir
Riwayat hipoglikemia
berulang
Kontrol glikemik yang buruk
Memilki riwayat KAD 3 bulan
terkahir
DM tipe 11
Menderita keadaan koma
hyperosmolar
hiperglikemiak dalam 3
bulan terakhir
Memilki pekerjaan dengan
aktivitas fisik berat
Hamil
Menjalani cuci darah
Glikemia moderat dengan
31
Risiko
tinggi
gulada darah 150-300 mg/dl
atau A1c 7,5% - 9,0 %
Insufiesiensi renal
Memiliki komplikasi
makorvaskular lanjut
Hidup sendiri dan diobati
dengan insulin atau
sulfonylurea
Pasien dengan kondisi
komorbid yang dapat
menyebabkan faktor risiko
tambahan
Usia tua dengan kesehatan
yang tidak baik
Risiko
Sedang
Diabetes terkontrol yang
diobati dengan short acting
insulin secretagogues
Risiko
rendah
Diabetes terkontrol dengan
terapi gaya hidup,
metformin, akarbose,
thizolindinediones, dan atau
terapi berbasis incretin, dan
32
pasien secara umum sehat.
Daftar pustaka
Al-Arouj, M. et al. (2010) ‘Recommendations for management of diabetes during Ramadan: Update 2010’, Diabetes Care,
33(8), pp. 1895–1902. doi: 10.2337/dc10-0896.
Ibrahim, M. et al. (2015) ‘Recommendations for management of diabetes during Ramadan: Update 2015’, BMJ Open Diabetes Research and Care, 3(1), pp. 1–9. doi: 10.1136/bmjdrc-2015-000108.
33
Puasa dan Kardiovaskular
Bulan Ramadhan selalu menjadi
tantangan bagi dokter umum karena puasa
mengatur ulang aktivitas fisiologis dari tubuh.
Karena puasa saat Bulan Ramadhan,
masyarakat Indonesia menjalankan puasa dan
hanya makan di saat sahur dan berbuka
puasa. Hal ini menyebabkan konsumsi obat
pun menjadi berubah, dan berpotensi
mengurangi kepatuhan pasien karena
perubahan pola makan dan pola kehidupan.
Selain itu puasa sendiri juga memberikan
dampak kesehatan bagi pasien, dan tidak
semua pasien diperbolehkan untuk melakukan
puasa Ramadhan. Masalah-masalah ini
umumnya dihadapi oleh pasien-pasien dengan
penyakit kronis, dan salah satu penyakit
34
kronis tersebut adalah penyakit yang
berhubungan dengan kardiovaskular. Artikel
ini akan membahas mengenai efek puasa
terhadap kardiovaskular. tips pengaturan
dosis obat selama puasa.
Sebelum memulai puasa Ramadhan
sebaiknya semua pasien dihimbau untuk
kontrol sehingga dokter dapat melakukan
penilaian mengenai kondisi kardiovaskular
pasien, memberikan edukasi mengenai puasa,
melakukan pengaturan ulang pada tatalaksana
pasien, serta menentukan apakah pasien
dapat melakukan puasa Ramadhan atau tidak.
Secara umum terdapat milyaran muslim
di dunia yang melakukan puasa Ramadhan.
Sebagian besar dari mereka, menurut studi
literature, dapat menjalankan puasa dengan
35
baik. Menurut studi oleh Chamsi-Pasha dan
Ahmed, dari 86 pasien poliklinik yang mereka
tangani dengan berbagai kondisi penyakit
kardiovaskular, sekitar 74% aspei sukses
melakukan puasa Ramadhan secara penuh.
Sedangkan sekitar 10,4% pasien tidak
berpuasa selama 1-7 hari, dan hanya 3,5%
yang tidak melakukan puasa sama sekali.
Tidak ada perubahan berarti pada pasien-
pasien dalam studi ini. Studi ini kemudian
menyimpulkan bahwa mayoritas pasien
dengan penyakit jantung yang stabil dapat
berpuasa tanpa ada dampak negative.
Studi lain oleh Al Suwaidi et al., melihat
kondisi 465 pasien penyakit kardiovaskular
stabil yang berpuasa saat ramadhan. Penyakit
kardiovaskular yang diobservasi pada penyakit
36
ini bermacam-macam mulai dari gagal
jantung, fibrilasi atrial, hingga angina.
Sebanya 91,2% pasien berpuasa tanpa ada
dampak negative. Hanya sekitar 6,7% yang
merasa keadaannya semakin buruk saat
puasa Ramadhan. Studi ini juga menemukan
bahwa 82,8% pasien patuh terhadap
pengobatan penyakit kardiovaskular dan seitar
68,8% pasien patuh dengan aturan diet.
Hanya 19 orang pasien yang membutuhkan
perawatan di rumah sakit akibat masalah
kardiovaskular. Studi ini menyimpulkan pasien
dengan penyakit kardiovaskular stabil dapat
berpuasa, dan efek yang ditimbulkan puasa
untuk penyakit jantung hanya minimal.
Beberapa studi yang menginvestigasi efek
yang ditimbulkan puasa ramadhan terrhadap
insiden sindroma korona akut, infark miokard
37
akut, dan unstable angina. puasa Ramadhan
tidak meningkatkan angka kejadian penyakit –
penyakit kardiak akut. Angka kejadian
penyakit penyakit seperti sindroma koroner
akut, dekompensasio kordis, dan stroke
memiliki angka yang sama pada bulan–bulan
tanpa puasa, dan juga pada bulan Ramadhan.
Sebuah studi yang dilakukan Temizhan
menginvestigasi efek puasa Ramadhan pada
penyakit jantung koroner. Mereka mem-
bandingkan kejadian infark miokard akut dari
unstable angina saat bulan Ramadhan dan
sebelum bulan Ramadhan pada tahun 1991-
1997. Studi ini kemudian mengumpulkan
subyek sebanyak 1655 pasien, kemudian studi
ini menemukan bahwa angka kejadian
penyakit jantung akut lebih sedikit pada bulan
Ramadhan dibandingkan sebelum atau
38
sesudah bulan Ramadhan. Justru angka
kejadian-kejadian penyakit ini lebih sedikit
pada bulan Ramadhan. Studi ini kemudian
menarik kesimpulan bahwa puasa Ramadhan
tidak meningkatkan penyakit jantung akut.
Menurut literature yang ditulis Perk et al.
pasien yang memiliki hipertensi ringan dapat
menjalankan puasa Ramadhan dengan baik
setelah sebelumnya dilakukan pemerisaan
fisik, edukasi, dan pengaturan dosis obat.
Untuk hipertensi grade 2-3 sering dikatikan
dengan risiko sedang hingga tinggi
kardiovaskular. Pasien-pasien yang masuk ke
dalam kelompok ini perlu dilakukan terambi
kombinasi untuk kontrol tekanan darah yang
efektif. Menurut studi lain oleh Ural et al.
pasien yang mengalami hipertensi grade 2
39
hingga 3 terkontrol tidak mengalami
perubahan tekanan darah saat puasa
Ramadhan. Konsumsi obat penurun tekanan
darah dua kali sehari sebelum sahur dan
sesudah buka merupakan regimen yang tepat
untuk kontrol tekanan darah dan diapliasian
saat bulan Ramadhan.
Namun hal ini berbeda untuk beberapa
pasien dengan kepatuhan rendah dan tekanan
darah tidak terkontrol. Dilaporkan angka
kunjungan ke unit gawat darurat dengan
kondisi terkait hipertensi pada bulan
Ramadhan meningkat. Kepatuhan yang buruk
ditambah dengan perubahan fisiologis pada
saat puasa termasuk rasa lapar di saat
tertentu dapat menyebabkan temuan ini.
Diuretik sebaiknya dihindari saat puasa,
40
terutama pada tempat-tempat yang panas,
atau jika harus diberian sebaiknya diberikan
setelah buka puasa. Pasien dengan tekanan
darah yang tidak terkontrol sebaiknya tidak
berpuasa sebelum tekanan darah merah
stabil. Pasien dengan kegawatdaruratan
kardiovasular harus ditangani sebagaimana
mestinya dengan protokol standard.
Sementara untuk kasus gagal jantung
atau heart failure. Al Suwaidi et al., mencoba
menginvestigasi hubungan puasa Ramadhan
dengan gagal jantung kongestif. 2160 pasien
menjadi subyek pada studi ini. Studi ini
menemukan bahwa angka masuk rumah sakit
pada gagal jantung kongestif tidak berbeda
pada bulan Ramadhan jika dibandingkan pada
bulan-bulan lain. Tidak terdapat perbedaan
41
dari gejala penyakit, maupun dilihat dari
parameter hematologis dan biokimiawi.
Namun studi ini juga menyarankan bahwa
pasien yang diobati menggunakan diuretic
sebaiknya tidak berpuasa terutama dalam
kondisi cuaca yang panas.
Sebelum melakuan puasa sebaiknya
pasien yang menderita penyakit kronis seperti
penyakit kardiovaskular mengunjungi dokter
untuk kontrol 1 atau 2 bulan sebelum puasa.
Kunjungan ini diperlukan untuk melakukan
pemeriksaan fisik, edukasi mengenai puasa,
serta pengaturan dosis obat. Dehidrasi dan
ketidakseimbangan elektrolit perlu dihindari
untuk pasien dengan diuretic, sebaiknya
diuretic tidak diberikan karena dapat
menyebabkan disritmia berat saat puasa.
42
Untuk pasien puasa, diuretik bukan pilihan
utama untuk pasien hipertensi. Sedangkan
untuk pasien gagal jantung kongestif diuretic
dapat diberikan dengan pengaturan dosis
berupa dosis yang lebih rendah terutama
untuk golongan loop diuretic apalagi jika
puasa dilakukan pada musim kemarau.
Ubahlah dosis obat menjadi sekali sehari jika
memungkinkan untuk membantu memperbaiki
kepatuhan pasien.
Untuk merangkum semua materi di atas,
berikut ini ada beberapa tips menangani
pasien kardiovaskular selama puasa. Berikut
adalah tips dari dr. Ragil Sp.JP:
Puasa Ramadhan umumnya aman
dilakukan untuk pasien gagal jantung
43
kronis pada kondisi stabil NYHA class 1
atau 2
Tetap lakukan pembatasan cairan dan
garam (jika memang sebelum puasa hal
ini dilakukan), dan jangan kurangi dosis
obat
Beberapa pasien tidak dapat melakukan
puasa, yang termasuk pada golongan
tersebut adala pasien
o Sakit Kritis
o Gagal jantung NYHA kelas 3-4
o Krisis hipertensi atau hipertensi
tidak terkontrol
o Sindroma koroner akut
44
Jika memungkinan ubah dosis menjadi
dosis tunggal. Hal ini mungkin dilakukan
untuk pengobatan pasien gagal jantung
Untuk obat dengan dua dosis, berikan
dengan jeda selama mungkin saat jam-
jam pasien tidak melakukan puasa.
Daftar pustaka
Chamsi-Pasha, H., Ahmed, W. H. and Al-Shaibi, K. F. (2014) ‘The cardiac patient during Ramadan and Hajj’, Journal of the Saudi Heart Association. King Saud
University, 26(4), pp. 212–215. doi: 10.1016/j.jsha.2014.04.002.
Chamsi-Pasha, M. and Chamsi-Pasha, H. (2016) ‘The cardiac patient in Ramadan’, Avicenna Journal of Medicine, 6(2), p. 33. doi: 10.4103/2231-0770.179547.
45
Tatalaksana CKD di Bulan Puasa
Puasa telah banyak diteliti oleh banyak
ilmuan dari seluruh dunia. Secara umum
puasa memberikan efek yang baik untuk
kesehatan. Puasa dilakukan oleh masyarakat
seluruh dunia dengan berbagai latar belakang
mulai dari sebagai tren, ajaran agama,
maupun karena alasan sosial budaya. Tidak
terkecuali bagi masyarakat Indonesia.
Masyarakat Indonesia mayoritas terdiri dari
pemeluk agama Islam. Agama Islam
mengajarkan untuk berpuasa selama bulan
Ramadhan dari terbit hingga tenggelamnya
matahari. Muslim yang berpuasa dalam bulan
Ramadhan tidak hanya muslim yang sehat
saja, namun juga para pengidap penyakit
kronis. Para pengidap penyakit kronis ini salah
46
satunya adalah pasien dengan chronic kidney
disease (CKD) atau gagal ginjal kronis. Lalu
bagaimana dampak puasa terhadap CKD?
Bagaimana tatalaksana pasien CKD selama
puasa?..... Bolehkah pasien CKD berpuasa?.....
Artikel ini berusaha menjawab pertanyaan
pertanyaan di atas.
Chronic Kidney Disease
Sebelumnya mari sedikit membahas
mengenai CKD untuk me-refresh pengetahuan
tentang CKD. Sub bab ini disarikan dari buku
Kapita Selekta Kedokteran (Tim Kapita Selekta
Kedokteran, 2014).
Definisi dari CKD adalah adanya
kelaianan structural dan fungsional pada
ginjal. Kerusakan ini tidak boleh bersifat
sementara dan harus bertahan minimal tiga
47
bulan. Kelainan stukrtur yang dimaksud
adalah kelainan struktural yang dapat dilihat
dari pemeriksaan penunjang berupa peme-
riksaan laboratorium. Kelainan tersebut adalah
albuminuria, sedimen urin, kelainan elektrolit.
Namun juga dapat melalui pemeriksaan
histologi, imaging, dan riwayat transplantasi
ginjal. Kelainan tersebut juga dapat dilihat dari
adanya penurunan laju filtrasi glomeroulus <
60 ml/menit/1,73 m persegi.
Etiologi yang menyebabkan CKD
bermacam-macam. Mulai dari infeksi yang
menyebabkan glomerulonefirtis, diabetes
mellitus yang menyebabkan nefropati
diabetikum, hipertensi, obstruksi pada saluran
kemih diakibatkan oleh batu atau tumor, lupus
sistemik, dan penggunaan obat-obatan yang
48
berlebihan. Prevalensi penyakit ini di negara
maju mencapai 10-13% sedangkan di
Indonesia didapatkan sektiar 12,5% menga-
lami penurunan fungsi gijal.
Manifestasi klinis dari CKD tidak spesifik.
Pada fase awal-awal penyakit ini umumnya
tidak menunjukkan gejala. Gejala muncul
pada fase akhir. Tanda dan gejala yang
umumnya dapat muncul akibat CKD adalah :
Ketidakseimbangan elektrolit dan asam
basa : dicirikan oleh tanda gejala
hyperkalemia, asidosis metabolic, serta
hiperfosfatemia
Ketidakseimbangan cairan yang ditandai
dengan edema pada ekstremitas, efusi
pleura, asites, peningkatan JVP, asites
49
Gejala-gejala gastrointestinal seperti
metallic taste, vomiting gastritis, ulkus
peptikum, dan malnutrisi
Gangguan kulit seperti kulit kering,
pruritus, dan perubahan warna kulit
Gangguan saraf seperti adanya
kelemahan otot, kelainan memori,
penurunan kesadaran
Anemia dan gangguan hemostasis
Penyakit-penyakit metabolic seperti
dyslipidemia, diabetes mellitus, dan
gangguan hormone seks.
Untuk mendiagnosis CKD selain dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik, perlu
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaan darah lengkap
perlu dilakukan untuk mendeteksi anemia.
50
Selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan
profil ginjal untuk menilai kenaikan ureum
atau serum kreatinin. Peningkatan profil ginjal
mengindikasikan adanya kerusakan ginjal.
Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan
elektrolit, CKD dicirikan dengan adanya
hyperkalemia, hipokalsemia, hiperfofatemia,
hipermagesemia.
Secara umum pasien baru CKD atau
dengan kecurigaan CKD (yang sebelumnya
belum didiagnosis CKD) perlu dirujuk ke
fasilitas kesehatan tingkat lanjut. Namun ada
beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa
perujukan harus dilakukan segera, beberapa
di antaranya adalah :
Pasien CKD baru yang perlu dicari
penyebab dari CKD tersebut
51
Pasien gagal ginjal akut yang tidak
respon dengan terapi awal dan tidak ada
perbaikan fungsi ginjal
Anemia dan CKD
Pasien kecurigaan CKD dengan riwayat
penyakit ginjal di keluarga
Terdapat hematuria
CKD yang semakin memburuk
CKD dengan hipertensi tidak terkontrol
atau tidak membaik dengan pemberian
obat
CKD dengan gangguan tulang
Level kalium yang sulit terkontrol
Albuminuria refrakter
CKD yang akan dilakukan transplantasi
ginjal
52
CKD dan Puasa
Puasa memiliki dampak tertentu pada
kondisi fisiologis tubuh diakibatkan tidak ada
konsumsi kalori dan cairan dari terbit matahari
hingga terbenam. Beberapa studi sudah
mencoba menjelaskan hubungan antara
keduanya. Studi oleh Al-Muhanna pada 140
pasien dengan CKD dengan rincian 40 pasien
hemodialysis rutin, 18 pasien peritoneal
dialisis, 15 pasien predialis, dan 67 dengan
terapi obat. Pada studi ini ditemuan tidak ada
efek samping puasa terhadap CKD. Namun
studi ini terbatas karena tidak mengeksklusi
pasien dengan gagal ginjal kronik stadium
akhir.
Studi lain dilakukan oleh Bakhit et al.
pada tahun 2017. Studi ini bersifar prospektif
53
observasional yang mengamati 65 pasien
dengan CKD stage 3-5. Observasi dilakukan
selama Ramadhan dan 3 bulan setelah
Ramadhan. Studi ini menemukan bahwa 33%
mengalami perburukan fungsi ginjal. Studi ini
kemudian menarik kesimpulan bahwa pasien
dengan CKD stage 3 atau lebih mengalami
perburukan fungsi ginjal saat melakukan
puasa Ramadhan.
Sebelum melakukan puasa sebaiknya
pasien yang menderita penyakit kronis seperti
penyakit kardiovaskular mengunjungi dokter
untuk kontrol 1 atau 2 bulan sebelum puasa.
Kunjungan ini diperlukan untuk melakukan
pemeriksaan fisik, edukasi mengenai puasa,
serta pengaturan dosis obat. Pasien yang
diberikan diuretic perlu hati- hati karena dapat
54
menyebabkan dehidrasi dan ketidakseim-
bangan elektrolit. Untuk pasien puasa, diuretik
bukan pilihan utama untuk pasien hipertensi.
Walupun diuretic tidak rutin diberikan untuk
pasien CKD, namun kadang juga dapat
disertai dengan gangguan kardiovaskular dan
hipertensi dan mendapatkan obat ini.
Sekarang keputusan yang perlu
diberikan adalah apakah seorang pasien
dengan CKD dapat berpuasa atau tidak. Jika
ragu, sebaiknya dikonsultasikan dengan
dokter spesialis penyakit dalam. Namun
terdapat beberapa kriteria seorang pasien
CKD yang tidak diperbolehkan untuk puasa:
Poliuria, pasien dengan volume urin
yang lebih besar dari 2,5 liter per hari
55
Pasien dengan diabetes insipidus atau
diabetes mellitus yang tidak terkontrol
Pasien dengan segala jenis angina
Pasien dengan postural hipotensi
Pasien dengan infeksi akut
Pasien dengan ulkus peptic akut
Pasien dengan komorbid signfikan
seperti kardivaskular
Pasien yang tidak patuh dengan
modifikasi diet, obat, dan terapi.
Sedangkan untuk pasien CKD yang tidak
masuk kriteria di atas, ada beberapa tips yang
dapat diberikan selama puasa untuk menjaga
kondisi dan stabilitas penyakit. Tips tersebut
adalah :
56
Dosis obat dapat diatur dan diganti
menjadi dua kali sehari dan dikonsumsi
saat sahur dan berbuka
Hentikan puasa jika terjadi gejala
ketidakseimbangan elektrolit atau
peningkatan plasma kreatinin > 30%
Hentikan puasa jika terjadi gejala -
gejala tersebut : edema, sesak, pusing
berputar, anoreksi, lemas, dan
kelemahan
Follow up pemeriksaan ke dokter setiap
1 atau 2 minggu. Pemeriksaan dilakukan
sebelum, saat, dan sesudah Ramadhan.
Saat buka hindari makanan tinggi
potassium dan pospor seperti kurma,
kismis, kacang, keju, jus, teh, dan kopi
57
• Konsumsi air sekitar 1 – 2,5 liter, namun
jangan berlebihan. Konsumsi ini juga
bisa menyesuaian planning terapi.
Daftar pustaka
Ahmad S & Chowdhury TA, 2019. Ther Adv Endocrinol Metab 2019, Vol. 10: 1–11
Am Fam Physician. 2017 Dec 15;96(12):776-783
Bakhit et al., 2017. Saudi Med J. 2017 Jan; 38(1): 48–52
Bragazi, 2014. J Res Med Sci. 2014 Jul; 19(7): 665–676.
Tim Kapita Selekta Kedokteran. 2014.Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesklapius.
58
Berpuasa Ramadhan di Tengah
Pandemi Covid 19
Ramadhan adalah bulan suci bagi
masyarakat Muslim di seluruh dunia. Tidak
terkecuali bagi masyarakat Indonesia. Masya-
rakat Indonesia menjalani serangkaian ritual
dalam bulan Ramadhan mulai dari berpuasa,
berdiam diri di masjid, bertemu dengan sanak
saudara, hingga salat tarawih. Namun
berbagai ritual keagamaan ini membutuhkan
sedikit pengaturan di tengah pandemic Covid
19.
Covid – 19 yang merupakn singkatan
dari Coronaviruse Diesease 19 menular
melalui kontak dekat antar manusia dan
manusia. Virus ini menyebar melalui titik-titik
59
air kecil yang disebut droplet. Droplet menular
ketika seseorang yang terinfeksi batuk, bersin,
atau berbicara. Untuk mengatasi penularan
Covid 19 ini, berbagai negara termasuk
Indonesia sudah melakukan mitigasi bencana
dengan menerapan physical distancing.
Physical distancing sangat krusial untuk
memperlambat laju penluran Covid -19.
Aturan ini yang kemudian mengharuskan
adanya modifikasi pada ibadah-ibadah yang
menyebabkan berkumpulnya banyak orang.
Physical Distancing menyebabkan sebagian
besar masjid ditutup, aktivitas mudik ditunda
dan dibatasi, dan tentu saja dapat
memberikan dampak yang besar dalam
aktivitas ibadah masyarakat Muslim Indonesia.
Berikut ini panduan mengadakan ibadah serta
keadaan keagamaan dan puasa Ramadhan
60
yang dikeluarkan oleh World Health
Organization.
Membatalkan aktivitas yang membuat
banyak orang berkumpul sebaiknya dilakukan.
Walaupun hal ini tentu harus dilakukan
dengan hati-hati dengan memperhatikan
keadaan sosial, ekonomi, dan budaya
masyarakat. Jika tidak memungkinkan,
lakukan pembatasan, modifikasi, penundaan,
pembatalan, agar meminimalisasi risiko
tertular Covid 19. Keputusan ini sebaiknya
memang diambil oleh pemerintah pusat
sebagai salah satu bentuk mitigasi bencana.
Namun pemerintah daerah bahkan
pemerintah desa atau kelurahan dapat
melakukan sendiri jika memungkinkan. Jika
memungkinkan alihkan aktivitas-aktivitas ini
61
untuk dilakukan di ruang virtual atau online.
Alihkan aktivitas berkumpul masyarakat
banyak, diganti dengan siaran telivis, radio,
atau menggunakan fasilitas video call atau
video meeting.
Jika aktivitas ibadah yang melibatkan
orang banyak terpaksa harus dilakukan,
pastikan mitigasi transmisi Covid 19
diperhatikan dan dijalankan dengan sangat
baik. Gunakan guideline yang dikeluarkan oleh
Kementrian Kesehatan RI sebagai panduan
untuk melakukan physical distancing. Pastikan
warga patuh dengan aturan ini. Untuk
membuat warga patuh, minta para pemuka
agama untuk menyampaikan pesan-pesan
mengenai Covid 19 dan Physical Distancing
pada warga. Gunakan taktik komunikasi yang
62
kuat, dan gunakan strategi agar pesan dapat
sampai ke seluruh warga.
Physical Distancing
Lakukan physical distancing dengan
paling tidak mempertahankan jarak
sejauh 1 meter di antara warga lain di
setiap waktu
Gunakan salam dan sapa yang tidak
memerlukan kontak fisik seperti melam-
baikan tangan, mengangguk, atau
menaruh tangan di tengah dada
Hindari tempat-tempat ramai dan hindari
mengadakan acara-acara bertema Ra-
madhan yang menyebabkan berkumpul-
nya banyak orang
Untuk warga yang menderita sakit
terutama gejala Infeksi saluran
63
pernapasan atas seperti batuk, pilek,
demam, dan sesak untuk mengisolasi
diri di rumah jika gejala ringan dan
mengunjungi fasilitas kesehatan jika
gejala memburuk. Untuk warga yang
seperti ini, dilarang datang ke acara-
acara yang berisi banyak orang
Untuk lansia atau orang dengan
penyakit penyerta seperti diabetes,
penyakit paru obstrruksi kronis, dan
penyakit jantung, sebaiknya dilarang
untuk menghadiri acara-acara yang
menjadi tempat berkumpul banyak
orang karena rentan menderita penyaki
berat akibat Covid 19.
64
Acara
Jika terpaksa melaksanakan acara, ada
beberapa rambu-rambu yang harus dipatuhi.
Beberapa diantaranya adalah :
Jika harus dilakukan, adakan acara di
luar ruangan. Jika harus dilaksanakan di
dalam ruangan pastikan ventilasi baik
dan aliran udara cukup
Perpendek waktu acara sesedikit mung-
kin agar membatasi potensi tertular
Covid 19
Jika mungkin, ubah pertemuan keaga-
maan menjadi pertemuan kelompok-
kelompok kecil dengan beberapa orang.
Hindari pertemuan dengan jumlah orang
yang banyak
Minta warga yang mengikut pertemuan
keagamaan untuk melakukan physical
65
distancing saat duduk maupun berdiri.
Berikan masing-masing orang tempat
yang tetap saat wudhu dan sholat
Atur warga yang masuk dan keluar dari
acara atau tempat-tempat ibadah,
pastikan warga yang masuk dan keluar
melakukan physical distancing
Jika ada warga yang sakit, larang warga
tersebut untuk mengikuti acara. Bantu
petugas kesehatan untuk melakukan
tracing pada warga lain di acara
tersebut
Pastikan warga yang beraktivitas
melakukan perilaku hidup bersih sehat
Pastikan tempat-tempat ibadah dan
tempat berkumpul keagamaan memiliki
air dan sabun untuk cuci tangan, atau
hand rub berbasis alcohol 70%. Pastikan
66
hal-hal ini ada di tempat masuk dari
masjid
Pastikan ada tisu dan tempat sampah
tisu, begitu juga ada tempat tersendiri
untuk menaruh sampah serta kain bekas
ibadah
Minta warga untuk membawa sajadah
sendiri dan diletakkan di atas karpet
masjid
Jika memungkinkan tempelkan poster /
pengingat soal physical distancing, cuci
tangan, perilaku hidup bersih sehat,
serta pesan-pesan untuk mencegah
Covid 19
Bersihkan tempat ibadah secara rutin,
lakukan pembersihan sebelum dan
sesudah warga berkumpul. Bersihkan
dengan deterjen dan desinfektan
67
Tempat-tempat yang perlu diberikan
perhatian khusus adalah tempat-tempat
yang sering dikunjungi banyak orang
seperti tempat wuduh. Pastikan tempat
wudhu bersih, dan sediakan tempat cuci
tangan
Bersihkan juga area-area bersama yang
sering dilewati dan disentuh orang
seperti gagang pintu, pegangan tangga,
serta tombol saklar lampu. Bersihkan
dengan desinfektan.
Zakat dan Shodaqoh
Zakat juga bagian penting saat bulan
Ramadhan, begitu juga dengan shodaqoh saat
bulan Ramadhan. Saat menyalurkan zakat
maupun shodaqoh seperti saat membagi buka
puasa, tetap perlu diperhatikan physical
68
distancing. Hindari mengumpulkan banyak
orang dalam satu tempat, gunakan wadah
individu untuk masing-masing warga. Begitu
juga dengan proses masak, pengepakan,
hingga pembagian harus mematuhi aturan
physical distancing.
Puasa
Sejauh ini belum ada hubungan antara
puasa dengan covid 19. Namun jika seorang
pasien menderita penyakit kronis, harpa
mengkonsultasikan diri ke dokter apakah
dirinya boleh berpuasa atau tidak. Untuk
masyarakat yang sehat, secara umum tidak
ada masalah jika ingin berpuasa saat era
Covid 19.
Aktivitas fisik juga tetap perlu dilakukan
selama pandemi Covid 19. Banyak masyaraat
69
yang akhirnya membatasi aktivitas fisik karena
tidak dapat keluar rumah. Namun aktivitas
fisik dapat dilakukan dalam rumah. Jika
terpaksa dilakuan di luar rumah tetap patuhi
aturan physical distancing dan terapkan
perilaku hidup bersih sehat. Masyarakat juga
dihimbau untuk makan sehat dan
mengkonsumsi nutrisi seimbang. Hindari
makanan yang sudah diproses, pilih makanan
yang segar dan minum banyak air. Hal ini
juga diperlukan agar sistem imun tetap kuat
dan terhindar dari Covid 19.
Kesehatan mental serta psikososial juga
perlu diperhatikan. Pandemi menyebabkan
masyarakat terkurung di rumah sehingga
kesehatan mental dapat terganggu. Man-
faatkan waktu-waktu sendiri di rumah untuk
70
beribadah bersama keluarga. Waktu sendiri ini
juga dapat digunakan untuk refleksi diri akan
kondisi ibadah setahun sebelumnya. Tidak
lupa untuk selalu menjalin silaturahmi, hal ini
bisa dilakukan lewat teknologi digital seperti
video call.
Daftar pustaka
WHO (2020) ‘Safe Ramadan practices in the context of the COVID-19’, (April), pp. 1–3.
(WHO, 2020)
Lecture Notes :
Tatalaksana Tatalaksana Penyakit Kronik di Bulan PuasaPenyakit Kronik di Bulan Puasa
Tatalaksana Penyakit Kronik di Bulan Puasa
MEDIA INFORMASI DAN KOMUNIKASI DOKTERINDONESIA
Rizki Nur Rachman Putra Gofur, dr.
Recommended