View
22
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
LAPORAN PENELITIAN
JUMLAH ANGKA KUMAN TOTAL DAN IDENTIFIKASI
KUMAN PATOGEN PADA IKAN TUNA (THUNNUS SP) DARI
PASAR IKAN KEDONGANAN, BALI
PENELITI:
Desak Gde Diah Dharma Santhi, Ssi,Apt, Mkes
Dr.dr. A. A Ngurah Subawa, M.Si
BAGIAN PATOLOGI KLINIK
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/
Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya kami dapat
menyelesakan Laporan penelitian yang berjudul: ―JUMLAH ANGKA KUMAN
TOTAL DAN IDENTIFIKASI KUMAN PATOGEN PADA IKAN TUNA
(Thunnus Sp) DARI PASAR IKAN KEDONGANAN, BALI‖. Laporan
penelitian ini merupakan studi pendahuluan untuk menjadi acuan dalam tahap
penelitian Pemeriksaan Kadar Histamin di dalam Ikan Tuna metode ELISA.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada rekan – rekan yang telah
memberi kesempatan melakukan penelitian di Sub Lab Kesehatan Lingkungan
RSUP. Sanglah serta ketua Departemen Patologi Klinik atas ijin penelitian yang
diberikan. Laporan penelitian Jumlah Angka Kuman Total dan Identifikasi
Kuman Patogen Pada Ikan Tuna (Thunnus sp) Dari Pasar Ikan Kedoganan, Bali.
Denpasar, 11 Desember 2017
Penyusun
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
RINGKASAN
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............………….…………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah ………………...…………………………………. 3
1.3 Tujuan Penelitian ………………...…………………………………. 3
1.4 Manfaat Penelitian ………………...…………………………………. 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Ikan Tuna (Thunnus Sp) ........................................................ 4
2.2 Histamin .……………………………………………………………… 4
2.3 Aktivitas Bakteri Pembentuk Histamin ……………………………… 5
2.4 Road Map dan Hipotesis Penelitian ……...…………………………… 7
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian …………………………………………………. 9
3.2 Waktu dan Tempat …………………………………………………. 10
3.3 Populasi dan Subjek Penelitian ………………………………………. 10
3.4 Bahan Uji ……………………………………………………………... 10
3.5 Variabel Penelitian …………………………………………………… 11
3.6 Definisi Operasional Variabel ………………………………………... 11
3.7 Alat Penelitian ………………………………………………………. 12
3.8 Prosedur Penelitian …………………………………………………… 12
3.9 Analisis Data ……………………………………………………….. 14
BAB 4. BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN
4.1 Anggaran Biaya ………….……….................................................... 15
4.2 Jadwal Penelitian ….………………………………………………… 15
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian ….………………………………………………… 16
5.2 Pembahasan ….………………………………………………… 21
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ….………………………………………………… 22
6.2 Saran ….………………………………………………… 22
REFERENSI ………………………………………………………………... 22
LAMPIRAN ………………………………………………………………... 26
RINGKASAN
Indonesia merupakan negara penghasil tuna terbesar kedua di dunia dengan
memasok lebih dari 16 persen total produksi tuna dunia. Ikan tuna merupakan
ikan dari familia Scombridae, memiliki kandungan histidin dengan level tinggi
yang akan diubah menjadi histamin pada kondisi hangat (suhu 20 - 300C) oleh
bakteri pembentuk histamin yang memiliki enzim histidine decarboxylase.
Histamin merupakan salah satu bahaya dalam pangan maka ditetapkan suatu
standar sebagai batas toleransi maksimum bagi histamin yang terkandung pada
daging ikan. Tinggi rendahnya standar berbeda-beda tergantung negara tujuan
ekspor.
Penelitian eksperimental ini bertujuan untuk profil organoleptis, keasaman,
serta jumlah bakteri total dan jumlah bakteri pembentuk histamine dalam ikan
tuna dari peraiaran Indonesia. Pengujian organoleptik ditujukan pada warna dan
lendir permukaan tubuh, dan tekstur daging. Metode yang digunakan untuk uji
organoleptik adalah metode score sheet dengan skala nilai 1-9. Nilai organoleptik
9 menunjukkan ikan dalam kondisi sangat segar.Kondisi ikan segar ditunjukkan
dengan nilai 7-8. Nilai 5-6 merupakan ambang batas antara kondisi ikan dan jelek.
Ikan dinyatakan busuk dan tidak layak dikonsumsi yaitu pada nilai organoleptik
1-4. Nilai pH merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menentukan
tingkat kesegaran ikan. Pada proses pembusukan ikan, perubahan pH daging ikan
sangat besar peranannya karena berpengaruh terhadap proses autolisis dan
penyerangan bakteri. pH daging ikan biasanya berkisar antara 7- 7,5 dan dapat
turun hingga tergantung dari Rentang pH ikan tuna dari 7.0 – 7.21 (pH netral),
menunjukkan mutu ikan tuna yang baik. Keberadaan bakteri dalam suatu bahan
pangan dapat ditandai dari jumlah koloni per gram bahan pangan melalui uji
jumlah angka kuman. Hasil uji angka kuman pada sampel dapat dulihat pada
tabel 1. Pada pemeriksaan angka kuman total, sebanyak 62.5 % tidak memenuhi
syarat Permenkes RI No. 1096/Menkes/ PER/VI/ 2011 dan SNI 7888 tahun 2009
(memiliki jumlah angka kuman ≥106) tetapi tidak diketemukan bakteri pathogen
(seperti Eschericia coli dan Salmonella sp). Disarankan perlunya pengawasan
mulai dari ikan ditangkap hingga ke proses penyimpanan sebagai upaya untuk
mempertahankan mutu ikan tuna yang dihasilkan.
Dengan mempelajari kadar histamine dan jumlah bakteri pembentuk
histamine dalam ikan tuna, diperoleh suatu data mengenai mutu dan keamanan
pangan ikan tuna yang yang dijual di Pasar Ikan Kedonganan. Selain itu dengan
mengetahui potensi ikan tuna, kasus penolakan ikan tuna Indonesia oleh karena
kadar histamin yang melebihi standard tidak terjadi. Disarankan perlunya
pengawasan mulai dari ikan ditangkap hingga ke proses penyimpanan sebagai
upaya untuk mempertahankan mutu ikan tuna yang dihasilkan.
Kata kunci: Histamine, TPC, Bakteri Pembentuk Histamin
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan tuna merupakan ikan dari familia Scombridae, genus Thunnus, terdiri
dari bermacam-macam jenis antara lain yaitu: mandidihang (Thunnus albacores),
mata besar (Thunnus obesus), abu-abu (Thunnus tonggol), tongkol (Euthinnus
afinis), albakora (Thunnus allalunga) dan sirip biru (Thunnus thynus). Ikan tuna
memiliki kandungan protein yang tinggi antara 22,6 - 26,2 gr/ 100 gr daging dan
lemak yang rendah, antara 0,2 - 2,7 gr/ 100 gr daging, mengandung mineral
kalsium, fosfor, besi dan sodium, vitamin A (retinol), dan vitamin B (thiamin,
riboflavin dan niasin), membuat permintaan produk ikan tuna dunia semakin
meningkat setiap tahunnya (Motalebi, dkk, 2010).
Ikan cepat mengalami proses pembusukan (perishable food), jika tidak
diawetkan dengan benar. Ikan yang banyak mengandung histidin akan cenderung
lebih cepat membusuk dibandingkan ikan yang tidak banyak mengandung
histidin. Ikan-ikan familia Scombridae memiliki kandungan histidin dengan level
tinggi yang akan diubah menjadi histamin pada kondisi hangat (maksimum
produksi histamine yang tercatat pada suhu 20 - 300C) oleh bakteri pembentuk
histamin yang memiliki enzim histidine decarboxylase, yang hadir dalam usus
dan insang ikan seperti bakteri Morganella morganii, Escherichia coli, Klebsiella
pneumoniae, Proteus vulgaris, Hafnia alvei, Enterobacter aerogenes, Citrobactor
freundii, Aerobacter spp., Serratia spp.) (Anonim a, 2016). Konsumsi ikan yang
busuk menimbulkan keracunan seperti keracunan histamin (scombroid fish
poisoning) (Taylor, 1991).
Pada kadar yang rendah, histamin sebenarnya tidak terlalu berbahaya bagi
kesehatan manusia yang mengkonsumsinya, karena keracunan dan gejalanya
hanya terjadi bila histamin masuk ke dalam aliran darah. Pada asupan yang sangat
tinggi, tubuh sudah tidak mampu lagi mendetoksifikasi racun. Gejala-gejala
keracunan histamin meliputi sakit kepala, kejang, mual, wajah dan leher kemerah-
merahan, tubuh gatal-gatal, mulut dan kerongkongan terasa terbakar, bibir
membengkak, badan lemas dan muntah-muntah (Eitenmiller dkk. 1982). Gejala
keracunan histamin dapat terjadi sangat cepat, sekitar 30 menit setelah
mengkonsumsi ikan yang mengandung histamin tinggi. Kemudian gejala agak
menurun antara 3 hingga 24 jam setelah konsumsi, tetapi mungkin juga hingga
beberapa hari (Bremer, dkk, 2003; Houicher, dkk, 2013). Histamin pada ikan yang
busuk dapat menimbulkan keracunan jika terdapat sekitar 100 mg dalam 100 g
sampel daging ikan yang diuji (Kimata 1961). Menurut Chang Chen, dkk, 2008
histamin dapat menyebabkan keracunan makanan ketika konsentrasinya di dalam
ikan telah mencapai lebih dari 50 mg/100 g. Karena histamin merupakan salah
satu bahaya dalam pangan maka ditetapkan suatu standar sebagai batas toleransi
maksimum bagi histamin yang terkandung pada daging ikan. Tinggi rendahnya
standar ini berbeda-beda tergantung negara tujuan ekspor. Food and Drug
Administration (FDA) menetapkan bahwa untuk ikan tuna, mahi-mahi, dan ikan
sejenis, 5 mg histamin/100 g daging ikan merupakan level yang harus diwaspadai
dan sebagai indikator terjadinya dekomposisi, sedangkan 50 mg histamin/100 g
daging ikan merupakan level yang membahayakan atau dapat menimbulkan
keracunan. Oleh karena itu, jika ditemukan ikan dengan kandungan 5 mg
histamin/100 g daging ikan pada satu unit, maka kemungkinan pada unit yang
lain, level histamin dapat mencapai lebih dari 50 mg/100 g (FDA, 2002).
Dalam lima tahun terakhir, Indonesia menjadi negara penghasil tuna
terbesar kedua di dunia dengan memasok lebih dari 16 persen total produksi tuna
dunia (Anonim b, 2014). Pasar Ikan Kedonganan merupakan pasar ikan terbesar
di Bali, merupakan pasar pantai utama Bali di mana kapal nelayan mendarat
setiap hari dan mengangkut ikan segar tangkapannya seperti tuna, sarden, mahi-
mahi, dan udang, kepiting, lobster dan berbagai macam panen laut lainnya. Ikan
yang dijual tidak saja ditangkap dari perairan Jimbaran tetapi juga dari perairan
yang berdekatan seperti perairan pesisir Jawa, Sulawesi dan Bali sendiri Kusamba
dan Amed di sisi lain pulau. Perlu diketahui potensi ikan tuna yang dijual di pasar
ikan Kedonganan sehingga beberapa kasus penolakan ikan tuna Indonesia seperti
yang pernah terjadi di Uni Eropa dan Amerika Serikat, oleh karena kadar histamin
yang melebihi standar, kandungan logam berat seperti merkuri (Hg), timbal (Pb),
dan cadmium (Cd), serta oleh faktor lain seperti Salmonella, kotoran (filthy), dan
lain – lain tidak terjadi lagi.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah profil organoleptis ikan tuna yang dijual di Pasar Ikan
Kedonganan ?
2. Bagaimanakah karakteristik kimiawi keasaman dalam ikan tuna yang
dijual di Pasar Ikan Kedonganan?
3. Bagaimanakah karakteristik mikrobiologi (Angka Kuman Total)
dalam ikan tuna yang dijual di Pasar Ikan Kedonganan?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui profil organoleptis ikan tuna yang dijual di Pasar
Ikan Kedonganan
2. Untuk mengetahui karakteristik kimiawi keasaman dalam ikan tuna
yang dijual di Pasar Ikan Kedonganan
3. Untuk mengetahui karakteristik karakteristik mikrobiologi (Angka
Kuman Total) dalam ikan tuna yang dijual di Pasar Ikan Kedonganan
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data mutu dan
keamanan pangan ikan tuna yang yang dijual di Pasar Ikan
Kedonganan dilihat dari kadar histamine dan jumlah bakteri
pembentuk histamine.
1.4.2 Manfaat Praktis
Mengetahui potensi ikan tuna yang dijual di pasar ikan Kedonganan
sehingga kasus penolakan terhadap ikan tuna Indonesia oleh karena
kadar histamin yang melebihi standar dan lain – lain tidak terjadi lagi.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Ikan Tuna (Thunnus Sp)
Deskripsi ikan tuna secara umum adalah kepala simetris, bergaris rusuk
lengkap, bersisik lingkaran (cycloid), rangka terdiri atas tulang sejati dan bertutup
insang, badan berbentuk cerutu, jari-jari lemah sirip ekor bercabang pada
pangkalnya, sirip-sirip kecil di belakang sirip punggung dan sirip dubur ada.
Tulang rahang atas depan dan tulang-tulang hidung tidak membentuk cula, sirip
punggung dua, yang pertama berjari-jari mengeras, dan yang kedua mempunyai
bagian yang berjari-jari keras serta bagian yang berjari-jari lemah kadang-kadang
berlembaran seperti sirip-sirip kecil di belakang sirip dubur, sirip-sirip perut
terdiri atas satu jari-jari keras dan lima jari-jari lemah serta kadang-kadang dua
garis rusuk (Saanin 1984).
2.2 Histamin
Histamin merupakan komponen amin biogenik yaitu bahan aktif yang
diproduksi secara biologis melalui proses dekarboksilasi dari asam amino bebas
serta terdapat pada berbagai bahan pangan seperti ikan, daging merah, keju, dan
makanan fermentasi (Keer, dkk, 2002). Histamin merupakan indikator utama
keracunan scombrotoxin. Scombrotoxin adalah toksin yang dihasilkan terutama
oleh ikan-ikan famili Scombroidae seperti tuna, cakalang, tongkol, marlin,
mackerel, dan sejenisnya (Lehane dan Olley 2000). Ikan-ikan golongan
scombroid biasanya memiliki kandungan histidin dengan level tinggi yang akan
diubah menjadi histamin oleh bakteri pembentuk histamin yang memiliki enzim
histidin dekarboksilase jika kondisi penyimpanan tidak dapat mengontrol
pertumbuhan bakteri (Anonim, 2016).
Ada dua macam histidin dalam daging ikan, yaitu histidin bebas yang akan
diubah menjadi histamin dan histidin terikat dalam protein. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perombakan histidin menjadi histamin adalah faktor waktu,
temperatur, jenis dan banyaknya mikroflora bakteri yang terdapat dalam tubuh
ikan (Sims, dkk, 1992). Satuan kadar histamin dalam daging ikan dapat
dinyatakan dalam mg/100 g; mg % atau ppm (mg/1000 g). Kandungan histidin
bebas pada jaringan ikan tuna lebih tinggi dibandingkan dengan spesies ikan
lainnya sehingga meningkatkan potensi peningkatan kadar histamin, khususnya
untuk penyimpanan dan penanganan yang salah (Keer dkk, 2002). Proses
dekarboksilasi histidin menjadi histamin dapat terjadi melalui dua cara yaitu
autolisis dan aktivitas bakteri.
2.3 Aktivitas bakteri pembentuk histamin
Setelah ikan mati, sistem pertahanan tubuhnya tidak bisa lagi melindungi
dari serangan bakteri, dan bakteri pembentuk histamin mulai tumbuh dan
memproduksi enzim dekarboksilase yang akan menyerang histidin dan asam
amino bebas lainnya pada daging ikan. Enzim ini mengubah histidin dan asam
amino bebas lainnya menjadi histamin yang mempunyai karakter lebih bersifat
alkali (Taylor dan Alasalvar 2002). Bakteri pembentuk histamin secara alami
terdapat pada otot, insang, dan isi perut ikan. Kemungkinan besar insang dan isi
perut merupakan sumber bakteri ini karena jaringan otot ikan segar biasanya
bebas dari mikroorganisme (Omura dkk, 1978). Bakteri ini akan menyebar ke
seluruh bagian tubuh selama proses penanganan. Penyebaran bakteri biasanya
terjadi pada saat proses pembuangan insang (gilling) dan penyiangan (gutting)
(Sumner dkk, 2004).
Banyak penelitian menyebutkan bahwa bakteri pembentuk histamin adalah bakteri
mesofilik, tetapi bakteri pembentuk histamin dapat tumbuh padadaging ikan
sardine pada temperatur <50C (Shahidi dan Botta 1994). Berbagai jenis bakteri
yang mampu menghasilkan enzim histidin dekarboksilase (HDC) termasuk famili
Enterobacteriaceae dan Bacillaceae. Umumnya spesies Bacillus, Citrobacter,
Clostridium, Escherichia, Klebsiella, Lactobacillus, Pediococcus,
Photobacterium, Proteus, Pseudomonas, Salmonella, Shigella, dan Streptococcus
menunjukkan aktivitas dekarbokasilase asam amino (Allen, 2004). Hasil
penelitian Behling dan Taylor (1982) menunjukkan Proteus morganii, Klebsiella
pneumoniae dan Enterobacter aerogenes merupakan bakteri yang mampu
menghasilkan histamin dalam jumlah besar yaitu > 100 mg/100 ml setelah
diinkubasi menggunakan TFIB (Tuna Fish Infusion Broth) pada suhu > 150C
selama < 24 jam, sedangkan Hafnia alvei, Escherichia coli dan Citrobacter
freundii menghasilkan histamin dalam jumlah kecil yaitu < 25 mg/100 ml setelah
diinkubasi menggunakan TFIB pada suhu ≥ 300C selama ≥ 48 jam. Bakteri
pembentuk histamin dapat tumbuh pada kisaran suhu yang luas. Pertumbuhan
bakteri pembentuk histamin berlangsung lebih cepat pada temperatur yang tinggi
(21,10C) daripada temperatur rendah (7,2
0C) (Behling dan Taylor, 1982 dalam
Valiollah, 2012). Laporan-laporan mengenai suhu optimum dan batas suhu
terendah untuk pembentukan histamin sangat bervariasi. Menurut Keer dkk,
(2002), suhu optimum pembentukan histamin adalah pada suhu 250C. Menurut
Yoguchi dkk, 1990, penyimpanan pada suhu 250C selama 24 jam dapat
meningkatkan kandungan histamin hingga 120 mg/100 g. Sedangkan menurut
Fletcher dkk, 1995, pembentukan histamine pada suhu 0-50C sangat kecil bahkan
dapat diabaikan. Hasil penelitian Price, dkk, 1991 juga menunjukkan bahwa
pembentukan histamine akan terhambat pada suhu 00C atau lebih rendah. Oleh
karena itu, Food and Drug Administration (FDA) menetapkan batas kritis suhu
untuk pertumbuhan histamin pada tubuh ikan yaitu 4,40C (FDA 2001). Lopez-
Sabater dkk, 1996 melaporkan bahwa bakteri pembentuk histamin seperti Proteus
morganii tumbuh baik pada pH netral, tetapi juga dapat tumbuh pada pH antara
4,7 - 8,1. Organisme ini tidak tahan terhadap NaCl, tetapi pada kondisi optimum
dapat tumbuh dengan penambahan NaCl lebih dari 5%.
Perbedaan dari jenis bakteri pembentuk histamin pada ikan golongan
scombroid diakibatkan perbedaan spesies ikan, prosedur penanganan, delay, dan
temperatur. Karakteristik mikroflora yang ada dapat dipengaruhi oleh kebiasaan
makan, lokasi geografis, musim, temperatur air, dan lain-lain. Bakteri pembentuk
histamin sulit dideteksi secara langsung, karena jumlahnya sedikit dibandingkan
bakteri lain pada ikan segar yang ditangkap. Oleh karena itu, untuk mendeteksi
bakteri-bakteri tersebut digunakan media khusus, yang disebut agar diferensial
Niven. Bakteri pembentuk histamin akan membentuk koloni berwarna ungu
dengan latar belakang medium berwarna kuning. Histamin yang terbentuk akan
meningkatkan pH medium, sehingga terjadi perubahan warna kuning menjadi
ungu (Niven dkk, 1981).
BAB 3. KERANGKA KONSEP
Adapun hipotesis dari penelitian ini:
1. Ikan tuna merupakan ikan dari famili scombroidae, memiliki kandungan
asam amino histidin dengan level tinggi yang akan diubah menjadi histamin
oleh bakteri pembentuk histamin.
2. Bakteri pembentuk histamin akan memberikan koloni berwarna merah
muda dengan halo pink pada latar belakang berwarna kuning atau orange
pada media modifikasi niven
Kerangka Konsep Penelitian
Tahap I
Organoleptis,
Keasaman, dan
Identifikasi
Bakteri
Penghasil
Histamin
Bahan uji :
Ikan Tuna yang
dijual di pasar
tradisional di kota
Denpasar
Luaran :
Organoleptis
pH
Total Plate Count
Publikasi Ilmiah
Tahap II
Analisis Kadar
Histamin dan
Jumlah Bakteri
Pembentuk
Histamin Pada
Ikan Tuna
(Thunnus Sp)
Bahan uji :
Ikan Tuna
yang dijual di
pasar
tradisional di
kota Denpasar
Luaran :
Jumlah Bakteri
Pembentuk Histamin
Analisis Kadar Histamin
Publikasi ilmiah
Isolasi enzim
HDC dan
Penentuan
Aktivitas
Optimum Enzim
HDC
Bahan uji :
Bakteri
Penghasil
Histamin
Luaran :
Isolasi enzim HDC
Aktivitas Optimum
Enzim HDC
Publikasi ilmiah
Tahap III
BAB 4. METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen laboratorium untuk
mengetahui mengetahui kadar histamine dan jumlah bakteri pembentuk histamine
dalam ikan tuna. Adapun tahapan dalam penelitian ini adalah:
1. Pengumpulan bahan uji ikan tuna dari pasar tradisional
2. Pemeriksaan Fisik (Organolpetis dan pH)
3. Pemeriksaan Total Plate Count dan pemeriksaan jumlah bakteri pembentuk
histamine
Gambar 4.1 Skema rancangan penelitian
Persyaratan Mutu dan Keamanan Pangan Ikan Tuna
Organoleptis:
-. Kenampakan
-. Bau
-. Tekstur
Cemaran Mikroba Fisika Parasit
Angka Lempeng Total
(ALT)
Escherichia coli
Salmonella
Vibrio cholerae
Histamin
Merkuri (Hg)
Timbal (Pb)
Kadmium
(Cd)
Cemaran Kimia
4.2 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan selama 8 bulan, dimulai setelah proposal ini
disetujui. Penelitian akan dilakukan di Instalasi Laboratorium Patologi Klinik FK
UNUD/ RSUP. Sanglah Denpasar untuk Pemeriksaan Kadar Histamin,
Pemeriksaan Total Plate Count dan Pemeriksaan Jumlah Bakteri Pembentuk
Histamin serta analisis data
4.3 Populasi dan Subjek Penelitian
Populasi dari penelitian ini adalah ikan tuna yang dijual di pasar ikan
Kedonganan. Sampel yang diambil sebanyak 40 sampel berdasarkan rumus
(Budiharta 2002) :
n = 4 PQ
L2
Keterangan :
n = besaran sampel
P = asumsi prevalensi
Q = 1 – P
L = galat yang diinginkan
Dengan tingkat kepercayaan 95 % dan galat yang diinginkan 5 % serta asumsi
prevalensi 2,5 % maka didapat :
n = 4 x 0,025 x 0,975
(0,05)2
= 39 (dibulatkan 40 sampel)
4.4 Bahan Uji
Bahan uji adalah adalah ikan tuna yang dijual di pasar tradisional pasar ikan
Kedonganan. Jenis ikan tuna yang dipilih adalah ikan tuna dari berbagai macam
spesies seperti mandidihang (Thunnus albacores), mata besar (Thunnus obesus),
abu-abu (Thunnus tonggol), tongkol (Euthinnus afinis), albakora (Thunnus
allalunga) dan sirip biru (Thunnus thynus). Sampel yang diperoleh kemudian
disimpan pada suhu rendah (sampai 00C).
4.5 Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga variabel,
yaitu:
Variabel bebas penelitian ini adalah kadar histamine dan jumlah bakteri
pembentuk histamine pada ikan tuna
Variabel tergantung penelitian ini adalah ikan tuna yang dijual di Pasar
ikan Kedonganan
4.6 Definisi Operasional Variabel
Operasional variabel penelitian ini dapat didefinisikan sebagai berikut :
Ikan Tuna adalah ikan tuna digunakan sebagai nama grup dari beberapa
jenis ikan yang terdiri atas jenis tuna besar (Thunnus spp. Seperti
yellowfin tuna, bigeye, southern bluefin tuna, dan albacore), dan jenis
ikan mirip tuna (tuna-like species) seperti marlin, sailfish, dan
swordfish.
Histamine adalah komponen amin biogenik yang diproduksi secara
biologis melalui proses dekarboksilasi dari asam amino bebas. Histamin
merupakan indikator utama keracunan scombrotoxin. Scombrotoxin
adalah toksin yang dihasilkan terutama oleh ikan-ikan famili
Scombroidae.
Kadar Histamin adalah kadar histamin dalam sampel ikan yang diukur
menggunakan metode ELISA (Enzymed Linked Immunosorbent Assay).
Bakteri pembentuk histamine adalah bakteri yang mampu
menghasilkan enzim Hdc termasuk bakteri Enterobacteriaceae dan
Bacillaceae, umumnya genus Bacillus, Citrobacter, Clostridium,
Escherichia, Klebsiella, Lactobacillus, Pediococcus, Photobacterium,
Proteus, Pseudomonas, Salmonella, Shigella dan Streptococcus.
Jumlah Bakteri Total (Total Plate Count) adalah penghitungan jumlah
pertumbuhan mikroorganisme setelah diinkubasi dalam media agar
pada suhu 35°C, 48 jam.
Analisis Jumlah Bakteri pembentuk histamine adalah analisis jumlah
bakteri yang memiliki aktivitas enzim Hdc yang akan menaikkan pH
dan membentuk warna merah muda dengan halo pink pada latar
belakang berwarna kuning atau orange.
4.7 Alat Penelitian
Alat yang digunakan untuk analisis histamin adalah Centrifuge Kubota
2010, Incubator Digisystem Lab Inc, ELISA Washer 470 Biomerieux, ELISA
Reader 270 Biomerieux. Alat yang digunakan untuk analisis Total Plate Count
(TPC) dan analisis bakteri penghasil histamin dengan media Niven (Modifikasi
Niven 1981) adalah pipet volumetrik, homogenizer, plastik steril, cawan petri,
inkubator, autoklaf, talenan, water bath, dan stopwatch.
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan laut jenis
tuna (Thunnus sp.), sedangkan bahan-bahan lainnya adalah Fast Histamin ELISA
kit, metanol, resin penukar ion (dowex 1-x800-100-mesh), aquades, HCl, NaOH,
H3PO4, ortoptalatdikarboksilaldehide (OPT), larutan TCA, asam borat, K2CO3,
vaseline, indikator conway, larutan Butterfield’s Phospate Buffered, Plate Count
Agar (PCA), Media niven (0.1% trypton, 0.2% yeast ekstrak, 0.1% L-histidin,
0.1% CaCO3, 2% NaCl, 2.5% agar, 0.01% phenol red).
4.8 Prosedur Penelitian :
4.8.1 Analisis Kadar Histamin
Histamin ditentukan dengan metode ELISA menggunakan Ridascreen
Histamin / ELISA kit (R-Biopharm AG, Darmstadt, Jerman). Masing-masing
sampel ikan dihomogenisasi menggunakan dan 1 g sampel homogen dipindahkan
ke tabung centrifuge, tambahkan 9 mL air suling ke dalam sampel dan campur
dengan baik. Kemudian, sampe disentrifugasi pada 2500 rpm selama 5 menit pada
suhu kamar dan lapisan setelah lipid telah dihapus. 1 ml supernatan dipindahkan
ke tabung centrifuge lainnya, tambhakan 9 mL air suling dan dicampur baik.
Encerkan 200 uL larutan ini dengan air suling. Siapkan 100 uL solusi standar,
sampel dan kontrol ditambahkan ke dalam sumur sampel, masing-masing. 25 uL
reagen asilasi dan 200 uL buffer asilasi ditambahkan ke setiap asilasi baik dan
dicampur sebelum inkubasi selama 15 menit pada suhu ruang. 25 uL terasilasi
solusi standar, kontrol dan sampel siap digunakan untuk prosedur ELISA.
Absorbansi diukur pada 450 nm di ELISA Reader. Konsentrasi histamine dihitung
melalui pedoman dari Ridascreen kit. Batas deteksi dilaporkan sebagai 2,5 mg/
kg, menjadi nilai terendah.
4.4.2 Analisis Total Plate Count (TPC)
Prinsip kerja analisis TPC adalah pertumbuhan mikroorganisme setelah
diinkubasi dalam media agar pada suhu 350C, 48 jam, maka mikroorganisme
tersebut akan tumbuh berkembang biak dengan membentuk koloni yang dapat
langsung dihitung.
Prosedur kerja analisis TPC adalah sebagai berikut:
1. Timbang sampel secara aseptik sebanyak 25 gram dan ditambahkan 225 ml
larutan Butterfield’s Phospate Buffered, kemudian homogenkan selama 2
menit.
2. Homogenat ini merupakan larutan pengenceran 10-1
. Dengan menggunakan
pipet steril, diambil 1 ml homogenat dan dimasukkan ke dalam botol berisi 9
ml larutan Butterfield’s Phospate Buffered sehingga diperoleh contoh dengan
pengenceran 10-2
. Pada setiap pengenceran dilakukan pengocokan minimal 25
kali. Lakukan hal yang sama untuk pengenceran 10-3
, 10-4
, 10-5
, dan seterusnya
sesuai kondisi sampel.
3. Selanjutnya untuk metode cawan agar tuang (pour plate method), dipipet
sebanyak 1 ml dari setiap pengenceran dan dimasukkan ke dalam cawan petri
steril secara duplo menggunakan pipet steril.
4. Kedalam masing-masing cawan yang sudah berisi sampel, ditambahkan 12 - 15
ml media Plate Count Agar (PCA) yang sudah didinginkan hingga mencapai
suhu 450C. Setelah agar menjadi padat, cawan petri yang telah berisi agar dan
larutan sampel tersebut dimasukkan ke dalam inkubator dengan posisi terbalik
selama 48 jam, 350C.
5. Hitung jumlah koloni bakteri yang ada di dalam cawan petri. Jumlah koloni
bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri
antara 25 - 250 koloni.
4.8.3 Analisis jumlah bakteri pembentuk histamin (modifikasi Niven, dkk,1981)
Prinsip dari analisis bakteri pembentuk histamin adalah enterobactericeae akan
mengubah histidin menjadi histamin melalui proses dekarboksilase yang akan
menaikkan pH dan merubah warna pada media.
Prosedur kerja analisis bakteri pembentuk histamin adalah sebagai berikut:
Siapkan media modifikasi niven dengan cara mencampurkan semua bahan,
yaitu 0,1% trypton, 0,3% yeast extract, 1,8% L-histidin monohydrochlorid
monohydrat, 0,1% CaCO3, 0,5% NaCl, 2,5% agar, dan 0,003% phenol red,
kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu diencerkan menggunakan
aquades hingga 1000 ml. Panaskan hingga mendidih dan diatur pH 6,4
kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 1210C selama 15
menit.
Sampel sebanyak 25 gram dimasukkan ke dalam botol yang berisi 225 ml
larutan Butterfield’s Phospate Buffered, diblender hingga larutan homogen.
Homogenat ini merupakan larutan pengenceran 10-1
.
Dari campuran tersebut diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam botol berisi 9
ml larutan Butterfield’s Phospate Buffered sehingga diperoleh sampel dengan
pengenceran 10-2
, dikocok sampai homogen. Pengenceran dilakukan ad 10-4
.
Satu ml larutan sampel hasil setiap pengenceran dimasukkan ke dalam cawan
petri, lalu 12 - 15 ml media niven agar cair yang sudah didinginkan hingga
mencapai suhu 450C dituangkan kedalam masing-masing cawan yang sudah
berisi sampel.
Setelah agar menjadi padat, cawan petri yang telah berisi agar dan larutan
sampel tersebut dimasukkan ke dalam incubator dengan posisi terbalik selama
48 jam, 350C.
Hitung jumlah koloni berwarna merah muda dengan halo pink pada latar
belakang berwarna kuning atau orange.
Hasil penghitungan jumlah koloni bakteri pembentuk histamin tersebut
kemudian dibandingkan dengan nilai TPC sehingga diperoleh persentase
jumlah bakteri pembentuk histamin terhadap nilai TPC
4.9 Analisis Data
Setelah data terkumpul, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan data,
kemudian dianalisis sebagai berikut:
1. Uji normalitas variabel perlakuan dengan metode Shapiro-Wilk.
2. Uji homogenitas varians antar perlakuan dengan uji Levene, untuk melihat
homogenitas varians.
3. Uji komparasi varians perlakuan menggunakan t-test.
Analisis statistik tersebut diatas menggunakan nilai p lebih kecil atau sama
engan 0,05 sebagai batas kemaknaan dan memakai perangkat lunak statistik yaitu
Program SPSS for Windows.
BAB 5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen laboratorium untuk
mengetahui mengetahui kadar histamine dan jumlah bakteri pembentuk histamine
dalam ikan tuna. Semua bahan uji adalah ikan tuna yang dijual di pasar tradisional
pasar ikan Kedonganan. Jenis ikan tuna yang dipilih adalah ikan tuna dari
berbagai macam spesies seperti mandidihang (Thunnus albacores), mata besar
(Thunnus obesus), abu-abu (Thunnus tonggol), tongkol (Euthinnus afinis),
albakora (Thunnus allalunga) dan sirip biru (Thunnus thynus). Sampel yang
diperoleh kemudian disimpan pada suhu rendah (sampai 00C).
5.1.1 Pemeriksaan Organoleptik
Pengujian organoleptik ditujukan pada warna dan lendir permukaan tubuh,
dan tekstur daging. Metode yang digunakan untuk uji organoleptik adalah metode
score sheet dengan skala nilai 1-9.
Tabel 5.1 Score Sheet Uji Organoleptik Ikan
Parameter Ikan Segar Ikan Tidak segar
Kenampakan Cerah, terang, mengkilat, tak
berlendir
Suram, kusam, berlendir
Mata Menonjol keluar Cekung, masuk kedalam
rongga mata
Mulut Terkatup Terbuka
Sisik Melekat kuat Mudah dilepaskan
Insang Merah cerah Merah gelap
Daging Kenyal, lentur Tidak kenyal, lunak
Anus Merah jambu, pucat Merah, menonjol keluar
Bau Segar, normal seperti rumput
laut
Busuk, bau asam
Lain-lain Tenggelam dalam air Terapung diatas air
Nilai organoleptik 9 menunjukkan ikan dalam kondisi sangat segar.Kondisi
ikan segar ditunjukkan dengan nilai 7-8. Nilai 5-6 merupakan ambang batas antara
kondisi ikan dan jelek. Ikan dinyatakan busuk dan tidak layak dikonsumsi yaitu
pada nilai organoleptik 1-4.
5.1.2 Pemeriksaan Keasaman (pH)
Nilai pH merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menentukan
tingkat kesegaran ikan. Pada proses pembusukan ikan, perubahan pH daging ikan
sangat besar peranannya karena berpengaruh terhadap proses autolisis dan
penyerangan bakteri. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter.
Sebanyak 1 gram sampel dilarutkan dalam 20 ml aquades. Lalu ditambahkan 50
ml aquades dan dihomogenkan.Nyalakan alat pH-meter dan dibiarkan hingga
stabil. Elektroda dibilas dengan akuades. Elektroda dibiarkan tercelup beberapa
saat sampai diperoleh pembacaan yang stabil. Apabila telah stabil, maka pH
sampel telah didapat.
Hasil pengukuran pH daging ikan tuna segar adalah berkisar antara 5,80 –
6,00. Ikan yang sudak tidak segar pH dagingnya tinggi (basa) dibandingkan ikan
yang masih segar. Hal itu karena timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat basa
misalnya amoniak, trimetilamin, dan senyawa volatile lainnya.Ketika ikan mati,
proses biokimia yang terjadi berlangsung secara anaerobik yang menghasilkan
asam laktat yang dapat menurunkan pH daging ikan. pH daging ikan biasanya
berkisar antara 7- 7,5 dan dapat turun hingga tergantung dari jenisnya. Ikan tuna
dapat mencapai pH dibawah 5,5 dimana ikan lainnya memiliki pH 6,2 - 6,6
(Haard, 2002)
5.1.3 Jumlah Angka Kuman Total serta Identifikasi Kuman Patogen
Pemeriksaan Angka Kuman Total (Total Plate Count) yaitu penghitungan
jumlah pertumbuhan mikroorganisme setelah diinkubasi dalam media agar pada
suhu 35°C, 48 jam. Dilanjutkan dengan analisis jumlah bakteri pembentuk
histamine adalah analisis jumlah bakteri yang memiliki aktivitas enzim Hdc yang
akan menaikkan pH dan membentuk warna merah muda dengan halo pink pada
latar belakang berwarna kuning atau orange kadar.
Hasil pemeriksaan menunjuukkan keberadaan bakteri dalam suatu bahan
pangan dapat ditandai dari jumlah koloni per gram bahan pangan melalui uji
jumlah angka kuman. Pada pemeriksaan angka kuman total, sebanyak 62.5 %
tidak memenuhi syarat Permenkes RI No. 1096/Menkes/ PER/VI/ 2011 dan SNI
7888 tahun 2009 (memiliki jumlah angka kuman ≥106) tetapi tidak diketemukan
bakteri pathogen (seperti Eschericia coli dan Salmonella sp). Disarankan perlunya
pengawasan mulai dari ikan ditangkap hingga ke proses penyimpanan sebagai
upaya untuk mempertahankan mutu ikan tuna yang dihasilkan.
Escherichia coli dalam makanan laut dianggap kasus sanitasi dan
merupakan resiko bagi konsumen jika dikaitkan dengan bakteri pathogen,
terutama Escherichia coli. Namun kehadiran non-patogenik Escherichia coli pada
ikan dan kerang juga harusdipublikasikan kepada masyarakat karena bakteri ini
diakui sebagai indikator kontaminasi tinja. Beberapa langkah untuk memastikan
bahwa makanan laut itu tidak mengandung Escherichia coli beberapa langkah
yang harus dipertimbangkan yaitu (1) menjaga kualitas air, (2) perawatan pasca
panen, (3) kondisi kebersihan dalam proses penanganan, (4) dalam kasus-kasus
makanan olahan, langkah-langkah harus diambil untuk menjamin keamanan
bakteri selama semua proses. Selain itu sangat tidak dianjurkan untuk
mengkonsumsi ikan laut mentah atau setengah matang (Costa, 2013). Sumber-
sumber Escherichia coli berasal dari kotoran hewan atau manusia, urine manusia,
daging mentah, air cucian tangan, seafood yang belum masak. Jadi adanya
Escherichia coli dalam air menunjukan bahwa air tersebut sudah terkontaminasi
fases manusia dan mungkin dapat mengandung pathogen (Fardiaz, 1993).
Bakteri Escherichia coli juga dapat membahayakan kesehatan, karena
diketahui bahwa bakteri Escherichia coli merupakan bagian dari mikrobiota
normal saluran pencernaan dan telah terbukti bahwa galur-galur tertentu mampu
menyebabkan gastroenteritis taraf sedang sampai parah pada manusia dan hewan.
Escherichia coli juga dapat menyebabkan diare akut, yang dapat dikelompokkan
menjadi 3 katagori yaitu enteropatogenik (penyebab gasteroenteritis akut pada
bayi yang baru lahir sampai pada yang berumur 2 tahun), enteroinaktif (penyebab
diare pada anak anak yang lebih besar) dan enterotoksigenik (penyebab diare pada
orang dewasa). Dilaporkan pula bila Escherichia coli di dalam usus memasuki
kandung kemih, maka dapat menyebabkan sintitis yaitu suatu peradangan pada
selaput lendir organ tersebut (Melliawati, 2009).
Tabel berikut adalah tabel hasil pemeriksaan oragnoleptis, pH (keasaman),
jumlah Angka Kuman Total (/m3) serta identifikasi kuman patogen (Eschericia
coli dan Salmonella sp.) dalam 28 sampel Ikan Tuna dari Pasar Ikan Kedongan,
Bali.
Tabel 5.2 Hasil Pemeriksaan
No. Nama Sampel Organoleptis Parameter pH Angka Kuman Total
(/m3)
Kuman Patogen
1 Tuna I 8 7.15 ≥ 106 Negatif
2 Tuna II 8 7.18 ≥ 106 Negatif
3 Tuna III 7 7.20 1.1 X 103 Negatif
4 Tuna IV 8 7.00 1.9 X 104 Negatif
5 Tuna V 8 7.09 ≥ 106 Negatif
6 Tuna VI 7 7.21 5.3 X 102 Negatif
7 Tuna VII 8 7.17 ≥ 106 Negatif
8 Tuna VIII 8 7.0 ≥ 106 Negatif
9 Tuna IX 7 7.20 ≥ 106 Negatif
10 Tuna X 8 7.09 ≥ 106 Negatif
11 Tuna XI 8 7.10 ≥ 106 Negatif
12 Tuna XII 8 7.06 2.6 X 104 Negatif
13 Tuna XIII 7 7.21 ≥ 106 Negatif
14 Tuna XIV 8 7.17 ≥ 106 Negatif
15 Tuna XV 8 7.13 ≥ 106 Negatif
16 Tuna XVI 8 7.20 ≥ 106 Negatif
17 Tuna XVII 8 7.16 ≥ 106 Negatif
18 Tuna XVIII 8 7.15 ≥ 106 Negatif
19 Tuna XIX 8 7.18 1.2 X 105 Negatif
20 Tuna XX 8 7.20 2.2 X 105 Negatif
21 Tuna XXI 8 7.00 5.0 X 105 Negatif
22 Tuna XXII 8 7.17 4.3 X 105 Negatif
23 Tuna XXIII 7 7.16 ≥ 106 Negatif
24 Tuna XXIV 8 7.20 ≥ 106 Negatif
25 Tuna XXV 8 7.17 2.1 X 105 Negatif
26 Tuna XXVI 8 7.18 8.7 X 105 Negatif
27 Tuna XXVII 8 7.02 2.4 X 105 Negatif
28 Tuna XXVIII 8 7.21 ≥ 106 Negatif
5.2 Pembahasan
Bahan pangan atau makanan disebut busuk atau rusak jika sifat-sifatnya
telah berubah sehingga tidak dapat diterima lagi sebagai makanan. Kerusakan
pangan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu pertumbuhan dan aktivitas
mikroorganisme, kerusakan karena serangga atau hewan pengerat, aktivitas enzim
pada tanaman atau hewan, reaksi kimia nomenzimatik, kerusakan fisik misalnya
karena pembekuan, hangus, pengeringan, tekanan, dan lain-lain. Gejala keracunan
sering terjadi karena seseorang mengkonsumsi makanan yang mengandung
bahan-bahan berbahaya, termasuk mikroorganisme, yang tidak dapat dideteksi
langsung dengan indera manusia. Bahan-bahan kimia berbahaya yang terdapat
pada makanan sukar diketahui secara langsung oleh orang yang akan
mengkonsumsi makanan tersebut, sehingga seringkali mengakibatkan keracunan.
Mikroorganisme berbahaya yang terdapat di dalam makanan kadang-kadang dapat
dideteksi keberadaannya di dalam makanan jika pertumbuhan mikroorganisme
tertentu menyebabkan perubahan-perubahan pada makanan, misalnya
menimbulkan bau asam, bau busuk, dan lain-lain. Akan tetapi tidak semua
mikroorganisme menimbulkan perubahan yang mudah dideteksi secara langsung
oleh indera kita, sehingga kadang-kadang juga dapat menimbulkan gelala sakit
pada manusia jika tertelan dalam jumlah sangat kecil di dalam makanan. Jumlah
yang sangat kecil ini tidak mengakibatkan perubahan pada sifat-sifat makanan.
Berbagai tanda-tanda kerusakan pangan dapat dilihat tergantung dari jenis
pangannya, beberapa diantaranya misalnya perubahan kekenyalan pada produk-
produk daging dan ikan, disebabkan pemecahan struktur daging oleh berbagai
bakteri. Kerusakan pada ikan ditandai dengan terbentuknya trimetilamin (TMA)
dari reduksi trimetilamin oksida (TMAO), sebagai berikut: H3C Trimetilamin-N-
oksida N-CH3 H3C Trimetilamin TMAO merupakan komponen yang normal
terdapat di dalam ikan laut, sedangkan pada ikan yang masih segar TMA hanya
ditemukan dalam jumlah sangat rendah atau tidak ada. Produksi TMA mungkin
dilakukan oleh mikroorganisme, tetapi daging ikan juga mengandung enzim yang
dapat mereduksi TMAO. Tidak semua bakteri mempunyai kemampuan yang sama
dalam meruduksi TMAO menjadi TMA, dan reduksi tergantung dari pH ikan.
Histamin, diamin, dan senyawa volatil (total volatile substances) juga digunakan
sebagai indikator kebusukan ikan. Histamin diproduksi dari asam amino histidan
oleh enzim histidin dekarboksilase yang diproduksi oleh mikroorganismeaa:
dekarbokdsilase Histidin Histamin Histamin merupakan penyebab keracunan
scromboid. Seperti halnya pada daging, kadaverin dan putresin merupakan diamin
yang juga digunakan sebagai indikator kebisukan ikan. Senyawa voatil yang
digunakan sebagai indikator kebusukan ikan termasuk TVB (total votatile bases),
TVA (total volatile acids) TVS (total volateli substance), dan TVN (total volatile
nitrogen). Yang termasuk TVB adalah amonia, dimetilamin, dan trimetilamin,
sedangkan TVN terdiri dari TVB dan senyawa nitrogen lainnya yang dihasilkan
dari destilasi uap terhadap contoh, dan TVS atau VRS (volatile reducing
substance) adalah senyawa hasil aerasi dari produk dan dapat mereduksi larutan
alkalin permanganat. Yang termasuk TVA adalah asam asetat, propionat dan
asamasam organik lainnya. Batas TVN maxsimum untuk udang yang bermutu
baik di Jepang dan Australia adalah 30 mg TVN/100g dengan maksimum 5 mg
trimatilamin nitrogen/100g. Untuk produk-produk laut seperti oister, clamdan
scallop, perubahan pH merupakan indikator kerusakan, yaitu pH 5,9-6,2 untuk
produk yang masih baik, pH 5,8 sudah agak menyimpang, dan pH 5,2 atau kurang
merupakan tanda kebusukan atau asam.
Histamin merupakan senyawa turunan dari asam amino histidin yang
banyak terdapat pada ikan. Asam amino ini merupakan salah satu dari sepuluh
asam amino esensialyang dibutuhkan oleh anak-anak dan bayi tetapi bukan asam
amino esensial bagi orang dewasa. Di dalam tubuh kita, histamin memiliki efek
psikoaktif dan vasoaktif. Efek psikoaktifmenyerang sistem saraf transmiter
manusia, sedangkan efek vasoaktif-nya menyerang sistem vaskular. Pada orang-
orang yang peka, histamin dapat menyebabkan migren dan meningkatkan tekanan
darah. Histamin tidak membahayakan jika dikonsumsi dalam jumlah yang rendah,
yaitu 8 mg/ 100 gr ikan. Keracunan ini biasanya akan timbul karena tingginya
kadar histamin yang terdapat pada ikan yang kita konsumsi. Menurut FDA (Food
and Drug Administration) keracunan histamin akan berbahaya jika seseorang
mengkonsumsi ikan dengan kandungan histamin 50 mg/100 gr ikan. Sedangkan
kandungan histamin sebesar 20 mg/ 100 gr ikan, terjadi karena penanganan ikan
yang tidak hiegenis.
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Analisis tingkat kesegaran ikan secara organoleptis menunjukkan nilai
7—8, menunjukkan mutu kesegaran ikan yang baik.
2. Nilai pH merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk
menentukan tingkat kesegaran ikan. Pada proses pembusukan ikan,
perubahan pH daging ikan sangat besar peranannya karena
berpengaruh terhadap proses autolisis dan penyerangan bakteri.
Keasaman (pH) ikan tuna dari 7.0 – 7.21 (pH netral), menunjukkan
mutu ikan tuna yang baik.
3. Pada pemeriksaan angka kuman total, sebanyak 62.5 % tidak
memenuhi syarat Permenkes RI No. 1096/Menkes/ PER/VI/ 2011 dan
SNI 7888 tahun 2009 (memiliki jumlah angka kuman ≥106) tetapi
tidak diketemukan bakteri pathogen (seperti Eschericia coli dan
Salmonella sp).
6.2 Saran
Disarankan perlunya pengawasan mulai dari ikan ditangkap hingga ke
proses penyimpanan sebagai upaya untuk mempertahankan mutu ikan
tuna yang dihasilkan
DAFTAR PUSTAKA
Anonim a. 2016. Assessment of Fish Quality. Biochemical and Chemical
Methods. http:// www.fao.org/docrep/V7180E/V7180e09.htm. Diakses pada
7 Mei 2016.
Anonim b. 2016. Indonesia penghasil Tuna Kedua di Dunia. http:// www.
infopublik.id/.../indonesia-penghasil-tuna-terbesar-kedua-di-dunia. Diakses
pada 7 Mei 2016.
Allen DG, Jr. 2004. Regulatory control of histamine production in North Carolina
harvested mahi-mahi (Coryphaena hippurus) and yellowfin tuna (Thunnus
Albacares): a HACCP-based industry survey. [tesis]. Raleigh: Department
Food Science, North Carolina State University.
Bremer PJ, Fletcher GC, Osborne C. 2003. Scombrotoxin In Seafood.
Christshurch: New Zealand Institute for Crop and Food Research Limid.
Chang Chen, Hsien-Feng Kung, Wen-Chieh Chen, Wen-Feng Lin, Deng-Fwu
Hwang, Yi-Chen Lee, Yung-Hsiang Tsai. 2008. Determination of histamine
and histamine-forming bacteria in tuna dumpling implicated in a food-borne
poisoning. Food Chemistry 106; 612–618.
Eitenmiller RR, Orr JH, Wallis WW. 1982. Histamine formation in fish:
microbiological and biochemical condition. Martin RE, Flack GJ, Hebard
CE, Ward DR, editor. Chemistry and Biochemistry of Marine Product.
Connecticut: AVI Publishing Company.
[FDA] Food and Drug Administration. 2001. Fish and Fisheries Products Hazards
and Control Guidance. Ed ke-3. Washington DC. www.fda.gov [3 Agustus
2010].
Fletcher GC, Summer G, Winchester RV dan Wong RJ. 1995. Histamine and
histidine in New Zealand marine fish and shellfish species, particularly
Kahawai (Arripis trutta). J. Aquat. Food prod. Technol. 4(2): 533-574.
Houicher Abderrahmane, Esmeray Kuley, Badis Bendeddouche dan Fatih Ozogul.
2013. Histamine and tyramine production by bacteria isolated from spoiled
sardine (Sardina pilchardus). African Journal of Biotechnology; Vol. 12(21),
pp. 3288-3295.
Kanki K, Yoda T, Tsukamoto T, Shibata T. 2002. Klebsiella pneumonia produces
no histamine: Raoultella planticola and Raoultella ornithinolytica strains are
histamine producers. J. Appl. Environ. icrobiol.68(7): 3462-3466.
Kerr M, Lawicki P, Aguirre S, Rayner C. 2002. Effect on Storage Conditions on
Histamine Formation in Fresh and Canned Tuna. Victoria : Public Health
Division, Victorian Government of Human Services: 9-10.
Kim SH, Velazquez JB, Gigrey BB, Eun JB, Jun, SH, Wei CI, An HJ. 2003.
Identification of the main bacteria contributing to histamine formation in
seafood to ensure product safety. J. Food Sci. Biotechnol. 12(4): 451- 460.
Kimata M. 1961. The histamine problem. Borgstorm G., editor. Fish as Food. Vol
1. New York Academic Press.
Ko, IS. 2006. Factor affecting histamine level in Indonesia canned albacore tuna
(Thunnus alalunga) [tesis]. Department of Marine Biotechnology. Norway:
University of Tromsø.
Lehane L, Olley J. 2000. Histamine fish poisoning revisited. J of Food Microbiol.
58(2):1-37.
Lopez-Sabater El, Rodriguez-Jerez JJ, Hernadez-Herrero M, Mora-Ventura MT.
1996. Sensory quality and histamine formation during controlled
decomposition of tuna (thunnus thynnus). Journal of Food Protection
59(2):167-174.
Mangunwardoyo W, Romauli Aya Sophia, dan Endang Sri Heruwati. 2007.
Seleksi dan Pengujian Aktivitas Enzim L=Histidine Dcarboxylase dari
Bakteri Pembentuk Histamin. Makara, Sains, Vol.11, No. 2:104-109.
Motalebi,A.A., Hasanzati, R.A., Khanipour, A.A., Soltani, M., 2010. Impacts of
whey protein edible coating on chemical and microbial factors of gutted
Kilka during frozen storage. Iranian Journal of Fisheries Sciences. 9(2),
255- 264.
Niven CF, Jeffrey MB, Corlett DA. 1981. Differential plating medium for
quantitative detection of histamine-producing bacteria. Applied and
Environmental Microbiology. 41(1):321-322.
Omura, Y., Proce, R. J. and Olcott, H. S., 1978. Histamine-forming bacteria
isolated from spoiled skipjack tuna and jack mackerel. Journal of Food
Science. 43, 1779-1781.
Ozugul F dan Ozugul Y. 1999. Comparison of methods used for determination of
total basic nitrogen (TVB-N) in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Turk
J Zool 24: 113-120.
Price RJ, Melvin EF, Bell JW. 1991. Postmortem changes in chilled round bled
and dressed albacore. J. Food Sci. 35(8): 318-321.
Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta: Bina Cipta.
Shahidi F, Botta JR. 1994. Seafoods: Chemistry, Processing Technology, and
Quality. London : Blackie Academic and Professional : 10-33.
Sims, dkk. 1992. Quality Indices for Canned Skipjack Tuna : Correlation of
Sensory Attributes with Chemical Indices. Journal of Food Science 57/5.
Sumner J, Ross T, Ababouch L. 2004. Application of Risk Assessment in the Fish
Industry. Rome: FAO.
Taylor, Steve L. 1991. Histamine Food Poisoning: Toxicology And Clinical
Aspects. CRC Critical Reviews in Toxicology. Volume 17, Issue 2.
Taylor T, Alasalvar C. 2002. Seafood-Quality, Technology and Nutraceutical
Applications. Berlin: Springer.
Valiollah Koohdar, Razavilar Vadood, Kadivar Abolhassan and Shaghayegh
Alireza. 2012. Histamine-producing bacteria isolated from frozen longtail
tuna (Thunnus tonggoh). African Journal of Microbiology Research Vol.
6(4) pp. 751-756.
Yoguchi R, Okuzumi M, Fujii T. 1990. Seasonal variation in number of
mesophilic and halophilic histamine-forming bacteria on marine fish.
Nippon Suisan Gakkaishi. 56: 1473-1479.
Recommended