View
239
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
iii
DARI REDAKSI
Dengan memanjatkan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, kami dapat menerbitkan Jurnal
Legislasi Indonesia Volume 11 Nomor 1 Tahun 2014. Pada penerbitan ini redaksi telah berusaha untuk
memilih artikel-artikel yang telah kami terima, dengan memperhatikan kaedah-kaedah yang telah
ditentukan bagi suatu Jurnal Ilmiah.
Pada penerbitan Jurnal Legislasi Indonesia Volume 11 Nomor 1 Tahun 2014 ini memuat artikel
mengenai: Pendidikan Politik Menyongsong Pemilu Legislatif Tahun 2014 dalam Ranah Demokrasi
Pancasila dan Demokrasi Deliberatif, Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Penuntutan
Tindak Pidana Pencucian Uang, Politik Agraria Di Yogyakarta: Identitas Patrimonial dan Dualisme Hukum
Agraria, Optimalisasi Penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai Instrumen Perencanaan
Penyusunan Undang-Undang, Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah tentang Retribusi Perpanjangan Izin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di Kota Medan, Kriteria Unsur Kegentingan yang Memaksa dalam
Penerbitan Perppu, Permasalahan Kedaulatan Wilayah Ruang Udara di Indonesia, Tanggung Jawab Hukum
dalam Kecelakaan Pesawat Terbang Sukhoi Superjet 100, Kerjasama Internasional Perpindahan
Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia, dan Transparansi dan Akuntabilitas
Penggalangan Dana Publik untuk Korban Banjir Jakarta 2013.
Pada Jurnal Legislasi Indonesia Volume 11 Nomor 1 Tahun 2014 redaksi mengucapkan terima kasih
dan memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Suhariyono, S.H., M.H., Bapak Linus
Doludjawa, S.H. dan Bapak A. Ahsin Thohari, S.H., M.H. yang telah turut berpartisipasi sebagai pembaca
ahli (Mitra Bestari).
Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi Jurnal Legislasi Indonesia serta
sumbangan pemikiran dalam bentuk tulisan dari pembaca sangat kami harapkan.
Salam Redaksi.
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014
DAFTAR ISI
Dari redaksi
Lembar Abstrak
Artikel:
Pendidikan Politik Menyongsong Pemilu Legislatif Tahun 2014 dalam Ranah Demokrasi Pancasila dan Demokrasi DeliberatifNadir ............................................................................................................................................
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang Muhammad Fadli .........................................................................................................................
Politik Agraria Di Yogyakarta: Identitas Patrimonial dan Dualisme Hukum AgrariaWasisto Raharjo Jati ....................................................................................................................
Optimalisasi Penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai Instrumen Perencanaan Penyusunan Undang-UndangArrista Trimaya ............................................................................................................................
Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di Kota MedanBudi S.P. Nababan .......................................................................................................................
Kriteria Unsur Kegentingan yang Memaksa dalam Penerbitan PerppuJanpatar Simamora .....................................................................................................................
Permasalahan Kedaulatan Wilayah Ruang Udara di Indonesia May Lim Charity .........................................................................................................................
Tanggung Jawab Hukum dalam Kecelakaan Pesawat Terbang Sukhoi Superjet 100 Velliana Tanaya
Kerjasama Internasional Perpindahan Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia Eka Martiana Wulansari .............................................................................................................
Transparansi dan Akuntabilitas Penggalangan Dana Publik untuk Korban Banjir Jakarta 2013Sudaryatmo .................................................................................................................................
Panduan Untuk Penulis Jurnal Legislasi Indonesia .............................................................
iii
vii - xii
1 - 14
15 - 24
25 - 34
35 - 44
45 - 54
55 - 64
65 - 72
73 - 84
85 - 106
107 - 112
112-1 - 112-6
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Keywords sourced from the article
This abstract sheet may be copied without permission and fees
UDC 342.8
Nadir
Pendidikan Politik Menyongsong Pemilu Legislatif
Tahun 2014 dalam Ranah Demokrasi Pancasila dan
Demokrasi Deliberatif
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.
Suksesnya pelaksanaan pemilu legislatif untuk memilih
wakil-wakil rakyat tahun 2014 akan sangat ditentukan oleh
suksesnya pelaksanaan pendidikan politik yang
dilaksanakan partai politik, calon anggota legislatif, KPU
atas nama negara, dan seluruh elemen masyarakat secara
integral dan komprehensif dengan memberikan pengarahan
positif kepada masyarakat guna mengetahui hak memilih
dan dipilih sebagai warga negara yang beradap, demokratis,
humanis, adil, damai, sejahtera dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Kata kunci: pendidikan politik, sejarah pemilu, pemilu
2014.
UDC 342.59
Fadli, Muhammad
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
penuntutan tindak pidana pencucian belum diatur secara
tegas dalam peraturan perundang-undangan manapun baik
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK)
maupun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang (UU PPTPPU). Akan tetapi kewenangan tersebut tetap
dijalankan oleh Jaksa KPK dalam beberapa kasus. Hal
tersebut menyebabkan dua hakim tindak pidana korupsi
melakukan dissenting opinion. Yang menjadi permasalahan
adalah bagaimanakah kewenangan KPK dalam penuntutan
tindak pidana pencucian uang? Tugas KPK hanya
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam
UU KPK. Sedangkan dalam UU PPTPPU KPK hanya sebagai
penyidik tindak pidana asal. Oleh karena itu, kewenangan
KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang perlu
diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan
sehingga tercipta kepastian hukum dalam menjalankan
kewenangan tersebut. Dengan demikian berkas hasil
penyidikan gabungan antara tindak pidana asal dan tindak
pidana pencucian uang dapat langsung disatukan
dakwaannya dalam bentuk kumulatif oleh Jaksa Penuntut
Umum dan dapat tercipta suatu penuntutan yang efektif
dan cepat (speedy prosecution) dengan demikian peradilan
sederhana, cepat, dan biaya ringan dapat diwujudkan
sebagaimana Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kata Kunci: Kewenangan, Penuntutan, Pencucian Uang,
Jaksa, KPK.
UDC 342.8
Nadir
Political Education In Carry Out Legislative General
Election Of 2014 In Pancasila And Deliberative
Democracy Sphere
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.
The success implementation of legislative general election in
choosing people representatives of 2014 will very determined
by the success implementation of political education
conducted by political party, legislative candidates, General
Election Commission (KPU) on behalf of state, and all society
elements integrally and comprehensively give positive
guidance to society about their rights in choose or to be
chosen, democratic, humanist, fair, peace, secure and
prosperous in life of nation and state.
Keywords: political education, historical of election, election
2014.
UDC 342.59
Fadli, Muhammad
The Authority Of Corruption Eradication Commission
On The Prosecution Of Money Laundering)
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.
The authority of Corruption Eradication Commission (KPK) on
the prosecution of money laundering has not been explicitly
set in any legislation either in Law Number 30 Year 2002 on
Corruption Eradication Commission or Law Number 8 Year
2010 on the Prevention and Eradication of Money Laundering.
However the authority is still applied by prosecutor of KPK in
several cases. Caused two judges of corruption court
performed a dissenting opinion. Thus, the problem appears
now is how the authority of the Commission in the prosecution
of money laundering? The task of the Commission is only to
investigate and to prosecute corruption cases as stipulated in
the Law Commission. While the Law on the Prevention and
Eradication of Money Laundering set Commission only as an
investigator for predicate offense. Thus, the Authority of the
Commission on the prosecution of money laundering should
be set explicitly on the aforementioned laws so as to create
legal certainty in the running of the authority. As of the
combined result of the investigation paper between predicate
offense and money laundering can be directly incorporated in
the form of cumulative charges by the Public Prosecutor, so as
to create an effective and speedy prosecution as such justice
is simple, fast, and low cost can be realized as stipulated on
Law Number 48 Year 2009 on Judicial Power.
Keywords: Authority, Prosecution, Money Laundering,
Prosecutor, KPK.
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Keywords sourced from the article
This abstract sheet may be copied without permission and fees
UDC 340.155.1
Jati, Wasisto Raharjo
Politik Agraria di Yogyakarta: Identitas Partrimonial dan
Dualisme Hukum Agraria
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis mengenai
dualisme hukum agraria yang berada di Yogyakarta.
Adapun dualisme tersebut telah termanifestasikan dalam
dua bentuk yakni implementasi hukum agraria nasional
maupun hukum agraria kerajaan. Adanya dualisme
tersebut menyebakan adanya ambiguitas maupun
ambivalensi dalam sistem pengaturan tanah di Yogyakarta.
Ambiguitas tersebut berwujud pada dilemma status tanah
antara tanah publik maupun tanah kerajaan. Ambivalensi
dilihat dari sikap pemerintah provinsi yang terjebak dalam
status sebagai wakil pemerintah pusat ataukah kerajaan.
Implikasinya adalah konflik status tanah yang belum selesai
hingga saat ini maupun komersialisasi tanah kraton. Maka
artikel ini akan berusaha menguraikan lebih lanjut letak
ambiguitas dan ambivalensi hukum agraria tersebut.
Kata kunci: ambiguitas, ambivalensi, hukum agraria
nasional, dualisme, hukum agraria kerajaan.
UDC 340.14
Trimaya, Arrista
Optimalisasi Penyusunan Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) Sebagai Instrumen Perencanaan Penyusunan
Undang-Undang
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.
Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan
dalam Prolegnas. Prolegnas adalah instrumen perencanaan
penyusunan Undang-Undang yang disusun secara
terencana, terpadu, dan sistematis. Penyusunan Prolegnas
antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR
melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani
bidang legislasi. Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR
dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus
menangani bidang legislasi, sedangkan penyusunan
Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum. Idealnya Prolegnas harus digunakan
sebagai skala prioritas program pembentukan Undang-
Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional
yang disusun untuk jangka panjang, jangka menengah, dan
jangka pendek. Pada kenyataannya, penyusunan Prolegnas
belum dijalankan secara optimal, baik oleh DPR maupun
oleh Pemerintah. Banyak RUU yang masuk dalam daftar
Prolegnas hanya sekadar dicantumkan judulnya saja, tanpa
disertai dengan Naskah Akademiknya, bahkan substansi
RUU tersebut belum dipersiapkan. Akibatnya DPR dan
Pemerintah sebagai pemrakarsa RUU sering tidak mampu
menjawab alasan mengapa suatu RUU perlu dibentuk. Hal
ini membuat banyak kalangan menilai bahwa Prolegnas
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Keywords sourced from the article
This abstract sheet may be copied without permission and fees
UDC 342.25
Nababan, Budi S.P.
Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah tentang
Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga
Kerja Asing di Kota Medan
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.
Globalisasi telah mempengaruhi situasi tenaga kerja, salah
satunya adalah fenomena tenaga kerja asing. Kehadiran
tenaga kerja asing merupakan tambang emas bagi
pendapatan asli daerah. Berdasarkan ketetentuan Pasal
150 huruf c Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Pasal 15 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 20l2 tentang
Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi
Perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing,
Pemerintah Daerah dapat memungut retribusi
perpanjangan izin mempekerjakan tenaga kerja asing.
Namun sampai saat ini Kota Medan belum memiliki
Peraturan Daerah (perda) tentang Retribusi Perpanjangan
lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing sehingga terhadap
tenaga kerja asing tidak dapat dipungut retribusi
perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing.
Dengan demikian jelas bahwa Perda tentang Retribusi
Perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing
conditio sine quanon bagi pemungutan retribusi
perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di
Kota Medan.
Kata kunci: Tenaga Kerja Asing, Retribusi, Peraturan
Daerah.
UDC 342.25
Nababan, Budi S.P.
Encouraging The Birth Of The Local Regulation On
Retribution Fees Renewal License For Hiring Foreign
Workers At Medan City
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.
Globalization has affected the work force condition. One of the
conditions is the foreign workers phenomenon. The
attendance of foreign workers is a gold mine for local revenue.
Based on Article 150 letter c of Law Number 28 of 2009 on
Regional Tax and Regional Retribution as well as Article 15
paragraph (2) of Government Regulation Number 97 of 20l2
on Fees and Levies Traffic Control Extension License for
Hiring Foreign Workers. Local Government can collect renewal
license retribution for foreign workers. But until now Medan
City does not have Local Regulations (Perda) on Fees Renewal
License for Hiring Foreign Workers, so that the foreign
workers are free from retribution renewal. It is clear that the
Local Regulation on Fees Renewal License for Hiring Foreign
Workers is a (conditio sine quanon) for license renewal
retribution collecting for hiring foreign workers in Medan City.
Keywords: Foreign Workers, Retribution, Local Regulation.
UDC 340.155.1
Jati, Wasisto Raharjo
Politic Of Agrarian In Yogyakarta: Partrimonial
Identity & Agrarian Law Dualism
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.
This article aims to analyze dualism case of the agrarian legal
in Yogyakarta. The dualism has been manifested in two
forms; the implementation of the national agrarian law and
the royal agrarian law. The existence of such dualism has
caused ambiguity and ambivalence in the regulation of land
in Yogyakarta. The ambiguity manifested in dilemma
between public land and royal land. Ambivalence came from
the provincial government's attitude is trapped in status as
representatives of the central government or kingdom. The
implication caused the land status of the conflict have not
been completed to date as well as the commercialization of the
palace ground. Then, this article will elaborate further about
the lies of ambiguity and ambivalence of the agrarian law.
Keywords: ambiguity, ambivalence, national agrarian law,
dualism, royal agrarian law.
UDC 340.14
Trimaya, Arrista
Optimalization of the Preparation of the National
Legislation Program (Prolegnas) as a Law-Making
Planning Instrument
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.
Law-making planning is being exercise through Prolegnas. As
an instrument for law-making planning, the Prolegnas is
arranged according to the plan, as well as integrated and
systematic in its nature. Initial preparation of the Prolegnas
between the House of Representatives and the Government is
coordinated by the House of Representatives through a House
organ in charge with legislation. The preparation in the House
of Representatives coordinated by Legislation Council (Baleg),
while in the Government, it is being coordinated by the
Ministry of Law and Human Rights of Republic of Indonesia.
Ideally, the Prolegnas should serve as a priority in law-
making for a forward looking on long, medium, and short
terms national legal system. However, both the House of
Representatives and the Government have failed to fully
consider Prolegnas as a priority. There are some drafts in
Prolegnas, listed only the title of the bill drafts, without any
Academic Manuscript attachment, and worse, without
proposed content of the bill. As a result, the House of
Representatives and the Government as the initiator of the bill
are often facing a problem of reasons behind a needed bill to
be drafted. This is why some thoughts that Prolegnas can not
deliver its function as an instrument for law-making planning.
Therefore, the preparation of Prolegnas must justify the real
need of any bills and not merely listing the title of the bills,
based on several indicators, such as the benchmarks used in
the preparation of Prolegnas, coordination between the
Government and the House of Representatives in preparation
of law-making and listed bills on Prolegnas, its legal and
political influences, especially in legislative politics so that the
preparation of the Prolegnas as an instrument for law-making
would be at its best.
Keywords: Prolegnas, instrument, bills, optimal.
belum dapat digunakan sebagai instrumen penyusunan
Undang-Undang. Dengan demikian, penyusunan Prolegnas
harus memuat justifikasi kebutuhan RUU secara nyata dan
bukan hanya memuat judul RUU saja, berdasarkan
beberapa indikator, yaitu: tolok ukur yang digunakan dalam
penyusunan Prolegnas, koordinasi antara Pemerintah dan
DPR dalam penyusunan dan penetapan Prolegnas, dan
pengaruh politik hukum, khusunya politik perundang-
undangan agar penyusunan prolegnas sebagai instrumen
perencanaan penyusunan Undang-Undang dapat menjadi
optimal.
Kata kunci: Prolegnas, instrumen, Undang-Undang,
optimal.
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Keywords sourced from the article
This abstract sheet may be copied without permission and fees
UDC 342.51
Simamora, Janpatar
Kriteria Unsur Kegentingan yang Memaksa dalam
Penerbitan Perppu
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.
Menurut ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,
bahwa dalam hal kegentingan yang memaksa, presiden
berhak menetapkan Perppu. Ketentuan ini menunjukkan
bahwa Perppu memiliki landasan konstitusional yang
cukup kuat dalam sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia. Namun demikian, sampai saat ini belum ada
pengaturan lebih lanjut tentang kriteria atau unsur-unsur
apa saja yang termasuk dalam kategori “kegentingan yang
memaksa”. Kondisi ini cukup berpotensi menimbulkan
penerbitan Perppu oleh Presiden menjadi sangat subjektif.
Kriteria suatu kondisi yang dapat dikategorikan sebagai
kegentingan yang memaksa sangat tergantung pada sudut
pandang yang dipergunakan oleh seorang presiden.
Padahal, Perppu merupakan salah satu jenis peraturan
perundang-undangan yang harus terikat dengan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam
rangka meminimalisasi dominasi pertimbangan subjektif
presiden serta potensi penyimpangan kekuasaan dalam
penerbitan Perppu, maka sangat diharapkan agar
mekanisme politik di DPR dalam rangka pembahasan suatu
Perppu dapat berlangsung secara objektif. Dengan
demikian, pada akhirnya akan dapat dibuktikan bahwa
kriteria kegentingan yang memaksa sebagai syarat mutlak
penerbitan Perppu tidak semata-mata didasarkan pada
pertimbangan subjektif Presiden.
Kata Kunci: Perppu, Kriteria Kegentingan, hak Presiden.
UDC 341.226.2
Charity, May Lim
Permasalahan Kedaulatan Wilayah Ruang Udara di
Indonesia
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.
Masalah status hukum ruang udara di atas wilayah daratan
dan perairan suatu negara berdaulat yang digunakan untuk
melakukan penerbangan sudah dibahas secara resmi
dalam Konferensi Paris 1910. Seiring perkembangan waktu,
pemahaman kedaulatan wilayah udara negara berkembang
dan diatur dalam Konvensi Chicago dan hukum positif
Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009
tentang Penerbangan. Akan tetapi Undang-Undang Nomor 1
tahun 2009 tentang penerbangan belum menjawab
persoalan kedaulatan wilayah udara. Penulis membeberkan
praktek pelanggaran kedaulatan wilayah udara Indonesia
dan bagaimana hukum positif Indonesia masih mempunyai
kelemahan dalam mengatur masalah pelanggaran
kedaulatan wilayah udara Indonesia. Permasalahan
masuknya pesawat-pesawat asing ke wilayah udara
Indonesia, penindakan hukum yang lemah akibat
kurangnya pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 1
tahun 2009 tentang Penerbangan serta permasalahan Flight
UDC 342.51
Simamora, Janpatar
The Criteria of Emergency Condition for Making Perppu
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.
Based on Article 22 paragraph (1) Constitution of the Republic
of Indonesia 1945, in terms of the emergency condition, the
president has the right to assign Perppu (Government
Regulation Replacement). This provision indicates that Perppu
has a strong foundation in Indonesian constitutional system.
However, until today there is no further adjustment of the
criteria or what elements are included in the category of
"emergency condition". This could potentially lead to the
issuance of Perppu by the president to be very subjective.
Criteria for a condition that can be categorized as an
emergency condition are highly dependent on the president's
view. Whereas, Perppu is one of the laws and regulations
that is bound by the principles of law making. In order to
minimize the dominance of the subjective considerations and
potential presidential power irregularities in the issuance of
Perppu, it is expected that the political mechanism in
Parliament in the framework of the discussion perppu can
take place objective. Thus, it will ultimately be able to be
evidenced that emergency condition criteria that force as an
essential condition in publishing Perppu is not solely based on
the subjective judgment of the president.
Keyword: Perppu, emergency criteria, president's right.
UDC 341.226.2
Charity, May Lim
The Problems of Indonesian Air Space Sovereignty
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.
Issue of legal status of the air space above the lands and
waters of a sovereign state that is used to make the flights
has been discussed formally in the Paris Conference in 1910.
Over the years, understanding of air space sovereignty in any
developing countries is set in the Chicago Convention and
Indonesian positive law, namely Law Number 1 of 2009 on
Aviation. However, Law Number 1 of 2009 about the flights
has not answered the question of the sovereignty of airspace.
The writer revealed the practice of Indonesian air space
violation of sovereignty and how the Indonesian positive law
still has weaknesses in regulating the violation of air space
sovereignty of Indonesia. Problems in flux of foreign air craft to
Indonesian air space, law enforcement is still weak due to the
lack of regulation in the Law Number 1 of 2009 on Aviation
and problems on Flight Information System (FIR) which is still
managed by other countries, whereas the FIR airspace
settings is in Indonesian airspace territory. These problems
must be immediately sought the solution, and in this case the
writer has an opinion to revise Law Number 1 of 2009 on
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Keywords sourced from the article
This abstract sheet may be copied without permission and fees
Aviation and build a cooperation of all parties to overcome
Indonesian air space sovereignty issues.
Keywords: flight, airspace territory.
Information System (FIR) yang masih dikelola oleh negara
lain, padahal wilayah udara pengaturan FIR adalah wilayah
udara Indonesia. Permasalahan tersebut harus segera dicari
solusinya.
Kata kunci: penerbangan, wilayah udara.
UDC 347.822.2
Tanaya, Velliana
Tanggung Jawab Hukum dalam Kecelakaan Pesawat
Terbang Sukhoi Superjet 100
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.
Di era modern penggunaan pesawat sebagai transportasi
utama sangat tinggi. Pada tahun 2001, sektor transportasi
udara telah membuat perkembangan yang sangat tinggi
dalam regulasi dan efek samping sehingga mengakibatkan
banyak perusahaan penerbangan baru telah muncul.
Mengingat fakta bahwa sebelumnya hanya ada beberapa
penerbangan yang dikenal di Indonesia seperti Garuda
Indonesia Airlines, Merpati Airlines, Mandala Airlines dan
lain-lain Meningkatnya jumlah yang signifikan dari
perusahaan maskapai baru adalah karena fleksibilitas dari
peraturan baru yang dikeluarkan pada tahun 2001.
Fleksibilitas peraturan baru dari maskapai penerbangan
nasional Indonesia juga berdampak pada meningkatnya
jumlah kecelakaan pesawat. Dari tahun ke tahun jumlah
kecelakaan pesawat udara di Indonesia semakin meningkat.
Bahkan setelah peraturan baru dibuat yang diharapkan
dapat mengurangi jumlah kecelakaan pesawat, itu tidak
menghentikan kecelakaan. Pada tanggal 9 Mei 2012,
kecelakaan Pesawat Sukhoi Superjet 100 terjadi. Sukhoi
Superjet 100 menghilang dalam penerbangan demonstrasi
berangkat dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta,
Indonesia. Pada tanggal 10 Mei, tampak bahwa pesawat
jatuh langsung ke sisi gunung berbatu. Sukhoi Superjet 100
kecelakaan pesawat disebabkan oleh kelalaian kru dalam
membuat keputusan. Karena kelalaian ini orang
membutuhkan penjelasan dan tanggung jawab dari
bandara, perusahaan pesawat terbang atau Airline crew.
Oleh karena itu, tujuan dari penelitian hukum ini adalah
untuk menganalisis bentuk-bentuk tanggung jawab
masing-masing pihak yang terlibat dalam kasus Sukhoi
Superjet 100 kasus kecelakaan adalah Airport, Aircraft
Company, Crew penerbangan dan Pemerintah. Hasil
penelitian hukum ini juga dimaksudkan untuk memperjelas
tanggung jawab berbagai pihak dalam kasus ini dan juga
untuk memajukan hukum penerbangan di Indonesia.
Kata kunci: Bandara, perusahaan pesawat, awak pesawat.
UDC 347.822.2
Tanaya, Velliana
Legal Responsibility in Sukhoi Superjet 100 Aircraft
Accident
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.
In the modern era the use of aircraft as the main
transportation is very high. In 2001, the air transport sector
has made a very high development in regulation and the side
effect thus resulting in many new airlines have emerged.
Considering the fact that previously there is only a few
airlines known in Indonesia such as Garuda Indonesia
Airlines, Merpati Airlines, Mandala Airlines and etc. The
significant increasing number of this new airline company is
due to the flexibility of the new regulations issued in 2001.
The flexibility of the new regulation of Indonesia national air
carrier also impact on the increasing number of aircraft
accidents. From year to year the number of aircraft accidents
in Indonesia is increasing. Even after a new regulation is
made which is expected to reduce the number of aircraft
accidents, it didn't stop the accident. On May 9, 2012 the
Sukhoi Superjet 100 Aircraft accident occurred. Sukhoi
Superjet 100 disappeared in a demonstration flight departing
from Halim Perdanakusuma Airport, Jakarta, Indonesia. On
May 10, it appears that the planes crashed directly into the
side of a rocky mountain. Sukhoi Superjet 100 plane crash
was caused by the negligence of the crew in making
decisions. Because of this negligence people need explanation
and responsibility from airport, aircraft company or Airline
crew. Therefore, the purpose of this legal research is to
analyze the forms of responsibility of each party involved in
the case Sukhoi Superjet 100 accident cases is the Airport,
Aircraft Company, the Flight Crew and The government. The
results of this legal research is also intended to clarify the
responsibilities of the parties in this case and also to advance
the aviation law in Indonesia.
Key words: Airport, Aircraft Company, Flight Crew.
UDC 341.232
Wulansari, Eka Martiana
Kerjasama Internasional Perpindahan Narapidana
Antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.
Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP), adalah suatu
perjanjian antar negara dengan subjek hukum negara dan
dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan
kewajiban di bidang Hukum Publik. Treaty on Transfer of
Sentenced Person (TSP ) merupakan salah satu upaya
pemerintah untuk memaksimalkan pembinaan kepada
narapidana. Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP),
dapat dilaksanakan apabila negara di mana Pengadilan
bersedia memindahkan narapidana ke negara asal dengan
beberapa konsekuensi yaitu pertama, narapidana tetap
harus menjalani hukuman sesuai yang telah diputuskan
oleh pengadilan. Kedua, pemindahan narapidana
mensyaratkan adanya Putusan Pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap. Ketiga, pemindahan
narapidana yang disepakati semata-mata adalah upaya
memfasilitasi para narapidana untuk dapat menjalani
hukumanya di negara asal.
Kata Kunci: Kerjasama Internasional, Perpindahan
Narapidana.
UDC 341.232
Wulansari, Eka Martiana
Treaty on Transfer of Sentenced Person Between
Foreigners and Indonesian Citizen
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.
Treaty on Transfer of sentenced Person (TSP), which is an
agreement between states with state as a legal subject made
in writing and creates rights and obligations in the area of
Public Law. Treaty on Transfer of sentenced Person (TSP) is
one of the government's efforts to maximize training to
inmates. Treaty on Transfer of sentenced Person (TSP), can be
implemented if the state where the court is willing to move the
prisoners to their home countries with few consequences: first,
inmates still have to wak on the appropriate punishment that
has been decided by the courts. Second, the transfer of
inmates requires a court verdict that had been legally
enforceable. Third, the agreed transfer of inmates is merely
facilitating the inmates to wak on the appropriate punishment
in the country of origin.
keywords: Treaty, Transfer of Sentenced Person.
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Keywords sourced from the article
This abstract sheet may be copied without permission and fees
UDC 347.51
Sudaryatmo
Transparansi dan Akuntabilitas Penggalangan Dana
Publik Untuk Korban Banjir Jakarta 2013
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.
Secara geografis sebagian besar dari wilayah Indonesia
adalah masuk dalam kategori daerah rawan bencana.
Baik bencana alam maupun bencana akibat ulah
menusia selalu melahirkan korban, melahirkan duka.
Dan tidak jarang intensitas bencana tidak bisa
diprediksi, sehingga jangankan korban, pemerintah pun
juga sering tidak berdaya karena besarnya jumlah dana
yang diperlukan untuk penanganan korban bencana.
Salah satu upaya untuk meringankan beban korban (dan
juga Pemerintah) adalah melalui penggalangan dana
publik. Artikel ini adalah penelitian pendahuluan tentang
transparansi dan akuntabilitas penggalangan dana
publik untuk korban banjir Jakarta 2013. Penelitian ini
hanya terbatas pada penggalangan dana publik yang
dilakukan oleh lembaga. Baik lembaga yang secara
khusus didirikian untuk misi sosial dan kemanusiaan,
lembaga keagamaan, lembaga komersial, media massa,
lembaga assosiasi pengusaha dan lembaga publik.
Tujuan penelitian ini untuk memberikan masukan bagi
pemerintah, dan mendorong lembaga yang melakukan
penggalangan dana publik untuk lebih transparan dan
akuntable dan sebagai sarana kontrol sosial.
Kata Kunci: bencana, dana publik, banjir Jakarta.
UDC 347.51
Sudaryatmo
Transparency and Accountability of Fundraising
Public for Victims of Flood Jakarta 2013
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.
Most of Indonesia's territory geographically belongs to the
category of disaster-prone areas. Both natural disasters
and disasters due to human behavior are always causing
casualties, causing grief. And sometimes the intensity of
disasters can't be predicted, so let the victims, the
Government also often disempowered because of the large
amount of funds required to handling the victims. One of
the efforts to alleviate the burden of the victim (and the
Government) is through a public fundraising. This article is
preliminary research about the transparency and
accountability of public fund raising for flood victims in
Jakarta 2013. This study only restricts public fundraising
conducted by the institute. Both institutions specifically
established for social and humanitarian missions,
commercial institutions, religious institutions, mass media,
associated employers and public institutions.The purpose
of this research is to provide input for the Government,
prompting the institutions that perform public fundraising
to be more transparent and accountable as a social control.
Keywords: disaster, public fund, flood in Jakarta.
1
PENDIDIKAN POLITIK MENYONGSONG PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2014
DALAM RANAH DEMOKRASI PANCASILA
DAN DEMOKRASI DELIBERATIF
(POLITICAL EDUCATION IN CARRY OUT LEGISLATIVE GENERAL
ELECTION OF 2014 IN PANCASILA AND DELIBERATIVE
DEMOCRACY SPHERE)
Nadir
Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan
Jl. Raya Panglegur KM. 3,5 Pamekasan Madura Jatim Indonesia
Email: mh_dira@yahoo.co.id
(Naskah diterima 19/12/2013, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014)
abstrak
Suksesnya pelaksanaan pemilu legislatif untuk memilih wakil-wakil rakyat tahun 2014 akan sangat ditentukan oleh
suksesnya pelaksanaan pendidikan politik yang dilaksanakan partai politik, calon anggota legislatif, KPU atas nama
negara, dan seluruh elemen masyarakat secara integral dan komprehensif dengan memberikan pengarahan positif
kepada masyarakat guna mengetahui hak memilih dan dipilih sebagai warga negara yang beradap, demokratis,
humanis, adil, damai, sejahtera dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kata Kunci: pendidikan politik, sejarah pemilu, pemilu 2014.
Abstract
The success implementation of legislative general election in choosing people representatives of 2014 will very determined
by the success implementation of political education conducted by political party, legislative candidates, General Election
Commission (KPU) on behalf of state, and all society elements integrally and comprehensively give positive guidance to
society about their rights in choose or to be chosen, democratic, humanist, fair, peace, secure and prosperous in life of nation
and state.
Keywords: political education, historical of election, election 2014.
mengajarkan harus ada organ yang disebut
parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat, dalam
bahasa Soepomo ketika pidato tanggal 31 Mei 1945
di depan sidang BPUPKI mengenai usul dasar
Negara Indonesia merdeka yaitu “Sistem Badan
Permusyawaratan”. Keanggotaan parlemen ini pada
umumnya diisi melalui Pemilu, ada juga
pengisiannya berdasarkan keturunan (seperti
majelis tinggi di Inggris), tetapi umumnya pengisian
keanggotaannya dilakukan melalui Pemilihan
umum dengan sistem kepartaian.
Jika dicermati dengan seksama ada yang
menarik menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum
calon anggota legislatif tahun 2014 mendatang
partai-partai politik telah mulai menarik perhatian
masyarakat melalui kegiatan memprolamirkan foto-
foto kontestan calon anggota DPR, DPD, DPRD
Propinsi/Kabupaten/Kota telah banyak dipasang di
pinggir jalan. Selain itu juga tidak kalah menariknya
A. Pendahuluan
Salah satu ciri khas negara hukum adalah
adanya pelaksanaan pemilihan umum anggota
legislatif yang dilaksanakan sesuai dengan
konstitusi suatu negara yang melekat dalam negara
demokratis termasuk negara hukum Indonesia
pelaksanaan pemilu legislatif diadakan tiap 5 (lima)
tahun sekali sebagai salah satu bentuk pastisipasi
rakyat secara langsung dalam pemilu legislatif.
Dalam pandangan Fukuyama negara hukum
bertalian dengan demokrasi karena esensi negara
hukum adalah kesediaan penguasa tunduk pada
hukum.
Pelaksanaan pemilihan umum anggota
legislatif sangat esensial dan massif dalam Negara
demokrasi modern karenanya selalu menimbulkan
problematika sosiokultural. Meskipun selalu
menimbulkan problem tetapi harus diadakan
pemilu legislatif untuk mengisi keanggotaan dalam
parlemen. Oleh karena itu, teori demokrasi modern
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 1 - 14 Pendidikan Politik Menyongsong.....(Nadir)
32
mengenai jumlah Partai Politik yang tidak begitu
banyak jika dibandingkan dengan Pemilihan Umum
legislatif tahun 2004 dan 2009 pasca reformasi.
Pemilihan umum tahun 2014 diikuti oleh 12 (dua
belas) partai politik dan 3 (tiga) partai lokal Aceh.
Pelaksanaan Pemilu di Indonesia yang digelar dalam
kurun waktu 5 (lima) tahun sekali merupakan
bentuk apresiasi demokrasi konstitusional dan
terlaksananya tata kelola hak memilih dan dipilih
bagi tiap warga Negara yang lazim dilakukan di
banyak Negara di dunia.
Adapun partai politik yang lolos verifikasi dan
sebagai kontestan peserta Pemilu tahun 2014
berdasarkan nomor urut:
1. Partai Nasdem
2. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
3. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
4. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
5. Partai Golongan Karya (Golkar)
6. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
7. Partai Demokrat
8. Partai Amanat Nasional (PAN)
9. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
10. Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA)
11. Partai Damai Aceh (PDA)
12. Partai Nasional Aceh (PNA)
13. Partai Aceh (PA)
14. Partai Bulan Bintang (PBB)
15. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)
Pemilihan umum merupakan fasilitasi
pelaksanaan kedaulatan rakyat memilih dan dipilih
yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Karena itu, seyogyanya Pemilihan
Umum harus mampu melibatkan partisipasi
rakyat, bukan saja hanya pada tahap pencoblosan
namun harus aktif dalam semua tahapan-tahapan
pelaksanaannya.
Pemilihan umum anggota legislatif (DPR, DPD,
DPRD Propinsi/kabupaten/kota di Negara
kesatuan Republik Indonesia merupakan salah
satu fasilitasi demokrasi untuk mengisi jabatan
kekuasaan pembentuk undang-undang di
Parlemen. Pemilihan umum legislatif merupakan
fasilitasi demokrasi yang dikemas sebagai
perwujudan kedaulatan rakyat untuk memilih
wakil-wakil rakyat di Parlemen.
Pemilu dengan sistem kepartaian ini rakyat
memilih partai, sedangkan partai-partai yang
menjadi kontestan dalam pemilu mengumumkan
nama-nama calonnya untuk menjadi anggota 1Parlemen. Karenanya, partai politik dibebani
kewajiban untuk melaksanakan pendidikan politik
kepada konstituen yang dapat digelar melalui
kampanye partai politik atau media lainnya.
Pendidikan politik bagi konstituen
menyongsong pemilu legislatif tahun 2014
dimaksudkan agar dapat mengahasilkan anggota
legislatif yang kridibel, akuntabel dan berkualitas
yang memiliki kekuasaan utama membentuk
pera turan perundang-undangan agar
menghasilkan produk perundang-undangan yang
responsif, otonom dan progresif serta jauh dari
produk perundang-undangan pesanan politik,
sehingga dengan pendidikan politik para konstituen
mengetahui calon anggota legislatif yang benar-
benar mampu duduk di parlemen.
Jika dicermati pelaksanaan Pemilihan umum
anggota legislatif bulan April tahun 2004 dan 2009
yang lalu terdapat banyak kelemahan: pertama,
seperangkat peraturan perundang-undangan
tentang Pemilu dan partai politik selalu berubah di
mana setiap menjelang pelaksanaan Pemilu selalu
memproduksi undang-undang baru. Kedua,
pengaturan Pemilu yang berubah-ubah terutama
terkait suara terbanyak yang bisa memicu sengketa.
Ketiga banyaknya partai politik peserta pemilu
sehingga menyulitkan masyarakat untuk memilih
calon-calon anggota legislatif. Keempat, kecurangan
terjadi di mana-mana sehingga memicu sengketa.
Kelima, kurangnya partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan pemilu, dan banyak kekurangan
lainnya. Keadaan tersebut tentunya tidak ingin
terulang kembali dalam pelaksanaan pemilu
legislatif tahun 2014.
Dalam kaitannya dengan partisipasi
masyarakat, Jazim Hamidi menilai partisipasi
masyarakat pada dasarnya merupakan wujud dari
demokrasi, di mana kekuasaan adalah dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat. Implementasi dari
prinsipnya ini bahwa seharusnya rakyat dalam
proses politik berhak mengetahui, berpendapat,
berperan serta, bereaksi baik positif maupun negatif
dalam setiap kebijakan pemerintah sesuai dengan 2hati nurani mereka.
Eksistensi partai politik benar-benar eksis
tatkala mendekati pelaksanaan pemilu. Semua
partai politik dengan calon anggota legislatifnya
ramai-ramai menyuarakan dan mempedulikan
keadaan masyarakat, sehingga populer di kalangan
masyarakat. Namun demikian, tatkala pelaksanaan
pemilu selesai, maka selesai pula dan beralih
menyuarakan kepentingan internal partai politik
atau kelompok partai mereka masing-masing.
Eksistensi partai politik tersebut dapat dilihat
ketika kampanye selesai, maka selesai pula
tanggung jawab mereka. Seyogyanya fungsi partai
politik melakukan pendidikan politik kepada
konstituen/masyarakat luas tidak ada batasan
waktu pelaksanaan pendidikan politik bagi
konstituen/masyarakat baik sebelum pelaksanaan
pemilihan umum ataupun setelah pemilihan umum
seperti pada masa jaring aspirasi turun ke rakyat.
Informasi dasar yang harus diperoleh masyarakat di
antaranya rekam jejak dari kandidat itu sendiri latar
belakang pendidikan, kemampuan dibidang ilmu
hukum dan kemampuan dibidang lain sesuai
dengan disiplin keilmuannya.
B. Refleksi Singkat Pertumbuhan dan
Perkembangan Pemilihan Umum Legislatif
Di Indonesia
B.1.Pemilihan Umum Tahun 1955
Negara Indonesia salah satu Negara pertama
kal i setelah proklamasi kemerdekaan
melaksanakan Pemilu sekitar tiga bulan setelah
kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan
Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu
sudah menyatakan keinginannya untuk bisa
menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946.
Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau
Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta
tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran
tentang pembentukan partai-partai politik.
Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk
memilih anggota DPR dan MPR akan
diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau
kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru
terselenggara hampir sepuluh tahun setelah
kemudian tentu bukan tanpa sebab. Namun,
berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh
Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang
pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih
anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember
1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan
Konstituante. Dalam Maklumat X hanya
disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan
Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR 3dan MPR, tidak ada Konstituante.
Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut
bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang
bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang
berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab
dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah
menyelenggarakan pemilu, baik karena belum
tersedianya perangkat perundang-undangan untuk
mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat
rendahnya stabilitas keamanan Negara dan tidak
kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah
sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan
perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan
kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan
kekuatan asing yang mengharuskan negara ini
terlibat peperangan. Tidak terlaksananya pemilu
pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang
diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945,
paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :
1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk
dalam penyusunan perangkat Undang-Undang
Pemilu;
2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara
akibat konflik internal antar kekuatan politik
yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat
yang sama gangguan dari luar juga masih
mengancam.
Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa
konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan
mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak
berniat untuk menyelenggarakan pemilu. Ada
indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan
politik untuk menyelenggarakan pemilu. Misalnya
adalah dibentuknya Undang-Undang Nomor 27
tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah
dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1949
tentang Pemilu. Di dalam Undang-Undang Nomor
12 tahun 1949 diamanatkan bahwa pemilihan
umum yang akan dilakukan adalah bertingkat
(tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini
didasarkan pada alasan bahwa mayoritas
1 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta: 2001, hlm. 75.
2 Jazim Hamidi, Pembentukan Perda Partisipatif, Prestasi Pustaka, Jakarta: 2008, hlm. 46.
3 http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16 Desember 2013.
54
warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta
huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung
dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.
Kemudian pada tahun 1950, ketika
Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana
Menteri, pemerintah memutuskan untuk
menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya.
Sejak itu pembahasan Undang-Undang Pemilu
mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia
Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat
sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada
waktu itu Indonesia kembali menjadi negara
kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat
dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian,
pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh
pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari
Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya
menyelenggarakan pemilu karena Pasal 57 UUDS
1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh
rakyat melalui pemilihan umum, tetapi pemerintah
Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan
pembahasan undang-undang pemilu tersebut.
Selanjutnya Undang-Undang ini baru selesai
dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan
Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang
Pemilu. Undang-Undang inilah yang menjadi
payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan
secara langsung, umum, bebas dan rahasia.
Dengan demikian Undang-Undang Nomor 27
Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1949 yang
mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung)
bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu
yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan
dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat
demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian
dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara
asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai
politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan
calon perorangan.
Menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya
kesadaran berkompetisi secara sehat. Misalnya,
meski yang menjadi calon anggota DPR adalah
perdana menteri dan menteri yang sedang
memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas
negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan
untuk menggiring pemilih yang menguntungkan
partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak
dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan
akan memenangkan pemilu dengan segala cara.
Karena pemilu kali ini dilakukan untuk dua
keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih
anggota Dewan Konstituante, maka hasilnya pun
perlu dipaparkan semuanya.
Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante
dilakukan tanggal 15 Desember 1955. Jumlah kursi
anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di
Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada
pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil
pemilihan anggota Dewan Konstituante
menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat
dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap
menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya
merosot 114.267 dibandingkan suara yang
diperoleh dalam pemilihan anggota DPR.
B.2.Pemilihan Umum Tahun 1971
Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS
menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung
Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga
tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk
mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah
Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang
mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan
dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI
MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi
dengan menetapkan bahwa Pemilu akan
diselenggarakan dalam tahun 1971. Sebagai
Presiden tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR
bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan
pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara
tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap 4berbau Orde Lama.
Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa
diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti
setelah 4 tahun pak Harto berada di kursi
kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang
kepartaian tanpa Undang-Undang kurang lebih
sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.
Undang-Undang yang diadakan adalah
Undang-Undang tentang pemilu dan susunan dan
kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang
pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR
menyelesaikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
1969 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor
16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR
dan DPRD. Penyelesaian Undang-Undang itu
sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.
Hal yang sangat signifikan yang berbeda
dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejebat
negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap
netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat
negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari
partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal.
Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para
pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu
peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya
pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan
yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan
seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan
aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu.
Dalam hubungannya dengan pembagian kursi,
cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971
berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971,
yang menggunakan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi
habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata
mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk
mengurangi jumlah partai yang meraih kursi
dibandingkan penggunaan sistem kombinasi.
Tetapi, kelemahannya sistem demikian lebih banyak
menyebabkan suara partai terbuang percuma.
Pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan
dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang
melakukan stembus accoord. Tetapi di daerah
pemilihan yang tidak terdapat partai yang
melakukan stembus acccord, pembagian kursi
hanya dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971
adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai dibagi
dengan kiesquotient di daerah pemilihan. Tahap
kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus
accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang
menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan
kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih
ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi
diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara
terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang
melakukan stembus accoord dari perolehan kursi
pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai
yang melakukan stembus accoord, maka setelah
pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung
kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar.
Namun demikian, cara pembagian kursi dalam
Pemilu 1971 menyebabkan tidak selarasnya hasil
perolehan suara secara nasional dengan perolehan
keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling
gamblang adalah bias perolehan kursi antara PNI
dan Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya
lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh
kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi.
B.3.Pemilihan Umum Tahun 1977
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1977
diselenggarakan secara serentak pada tanggal 2 Mei
1977 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun
DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-
Indonesia periode 1977-1982.
Pemilihan Umum ini diikuti 2 (dua) partai 5politik dan 1 (satu) Golongan Karya, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2
Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan
seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem
proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750
pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344
suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu
Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen.
Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232
kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu
1971. Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai
daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh
mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil
meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17
persen, atau bertambah 5 kursi dibanding
gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971.
Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis
eks Masjumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh
utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan
suara PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh
penurunan suara dan kursi di basis-basis NU,
sehingga kenaikan suara secara nasional tidak
begitu besar. PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari
Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan,
tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah,
Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
Secara nasional tambahan kursi hanya 5. PDI juga
merosot perolehan kursinya dibanding gabungan
kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni
hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi
di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan
Partai Katolik. Sebagai pemenang mayoritas hasil
pemilihan umum ini adalah Golongan Karya.
4 http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16 Desember 2013 5 http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16 Desember 2013.
Pendidikan Politik Menyongsong.....(Nadir)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 1 - 14
76
B.4.Pemilihan Umum Tahun 1982
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1982
diselenggarakan secara serentak pada tanggal 4 Mei
1982 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun
DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-
Indonesia periode 1982-1987.
Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi
secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal
merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan
Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar
dari PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut
tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan
masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar
meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi.
Pemilihan Umum ini diikuti 2 (dua) partai
politik dan 1 (satu) Golongan Karya, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan
umum ini adalah Golongan Karya.
B.5.Pemilihan Umum Tahun 1987
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1987
diselenggarakan secara serentak pada tanggal 23
April 1987 untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi
maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya)
se-Indonesia periode 1987-1992.
Pemilihan Umum ini diikuti 2 (dua) partai 6politik dan 1 (satu) Golongan Karya, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan
kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi
dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya
mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP
antara lain karena tidak boleh lagi partai itu
memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari
Ka'bah kepada Bintang dan terjadinya
penggembosan oleh tokoh-tokoh unsur NU,
terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sementara
itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga
menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat
dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan,
sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan
DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam
Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah
perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada
Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini.
Namun sebagai pemenang mayoritas hasil
pemilihan umum ini adalah Golongan Karya.
B.6.Pemilihan Umum Tahun 1992
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1992
diselenggarakan secara serentak pada tanggal 9
Juni 1992 untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi
maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya)
se-Indonesia periode 1992-1997.
Pemilihan Umum ini diikuti 2 (dua) partai 7politik dan 1 (satu) Golongan Karya, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan
umum ini adalah Golongan Karya. Cara pembagian
kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan
Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan
suaranya dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini
pada waktu itu agak mengagetkan banyak orang.
Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot
dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu
1987 perolehan suaranya mencapai 73,16 persen,
pada Pemilu 1992 turun menjadi 68,10 persen,
atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak
nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni
menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan 17
kursi dibanding pemilu sebelumnya.
PPP juga mengalami hal yang sama, meski
masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu
1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi
di luar Jawa suara dan kursi partai berlambang
ka'bah itu merosot. Pada Pemilu 1992 partai ini
kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada
penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa
Tengah. Malah partai itu tidak memiliki wakil sama
sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di
Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan
perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan
6 kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya
mampu menaikkan 1 kursi secara nasional. Yang
berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di
berbagai daerah adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini
PDI berhasil meningkatkan perolehan kursinya 16
kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi
56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987
dan 1992, PDI berhasil menambah 32 kursinya di
DPR RI.
B.7.Pemilihan Umum Tahun 1997
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1997
diselenggarakan secara serentak pada tanggal 29
Mei 1997 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun
DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se
Indonesia periode 1997-2002. Pemilihan Umum ini
merupakan yang terakhir kali diselenggarakan pada
masa Orde Baru.
Pemilihan Umum ini diikuti 2 (dua) partai 8politik dan 1 (satu) Golongan Karya, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2. Golongan Karya (Golkar)
3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi
yang digunakan tidak berubah, masih
menggunakan cara yang sama dengan Pemilu
1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan
suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997.
Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu
1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar
kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan
suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41.
Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi
325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil
pemilu sebelumnya. PPP juga menikmati hal yang
sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula
untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP
meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi
dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap
partai itu di Jawa sangat besar.
Sedangkan PDI, yang mengalami konflik
internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan
Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu,
perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan
hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan
45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992.
Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan
umum ini adalah Golongan Karya. Pemilu ini
diwarnai oleh aksi golput oleh Megawati
Soekarnoputri, yang tersingkir sebagai Ketua Umum
PDI yang tidak diakui rezim pemerintah waktu itu.
B.8.Pemilihan Umum Tahun 1999
Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama
setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999
dilangsungkan pada tahun 1999 pada tanggal 7
Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ
Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik. Lima besar
Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan
Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan 9Partai Amanat Nasional.
Walaupun Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan
perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat
menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu,
yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai
Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid di
mana saat itu, Megawati hanya menjadi calon
presiden. Hal ini dimungkinkan untuk terjadi
karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk
memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara
pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh
anggota MPR di mana Pemilu tahun 1999 diikuti
kurang lebih 48 (empat puluh delapan) Parpol di
antaranya Partai Kebangkitan Bangsa; Partai
Syarikat Islam Indonesia 1905; Partai Katolik
Demokrat; Partai Rakyat Indonesia; Partai Politik
Islam Indonesia Masyumi; dan Partai Bulan Bintang.
B.9. Pemilihan Umum Tahun 2004
Pemilihan Umum Indonesia tahun 2004 adalah
pemilu dimana rakyat untuk memilih presiden secara
langsung, dan cara pemilihannya benar-benar berbeda
dari Pemilu sebelumnya. Pada pemilu ini, rakyat dapat
memilih langsung presiden dan wakil presiden
(sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh
MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui
Presiden). Selain itu, pada Pemilu ini pemilihan
presiden dan wakil presiden tidak dilakukan secara
terpisah (seperti Pemilu 1999) pada pemilu ini, yang
dipilih adalah pasangan calon (pasangan calon
presiden dan wakil presiden), bukan calon presiden
dan calon wakil presiden secara terpisah.
6 http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16 Desember 2013.
7 http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16 Desember 2013.
8 http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16 Desember 2013.
9 http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16 Desember 2013.
Pendidikan Politik Menyongsong.....(Nadir)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 1 - 14
13 Ibid.14 Ibid.15 F. Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kansius, 2007, hlm. 12616 F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm. 128
98
Pentahapan Pemilu 2004
Pemilu tahun 2004 diselenggarakan secara
serentak pada tanggal 5 April 2004 untuk memilih
550 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 128
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD
Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-
Indonesia periode 2004-2009.
Hasil akhir pemilu menunjukan bahwa Golkar
mendapat suara terbanyak. Partai Demokrat dan
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dua partai terbaru
dalam pemilu ini, mendapat 7,45% dan 7,34%
suara. Pemilihan umum 2004 dinyatakan sebagai pemilu paling rumit dalam sejarah demokrasi.
B.10. Pemilihan Umum Tahun 2009
Pemilu tahun 2009 diselenggarakan untuk
memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD
Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2009-2014.
Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak
di hampir seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 9
April 2009 (sebelumnya dijadwalkan berlangsung
pada 5 April, namun kemudian diundur. Ada 38
partai memenuhi kriteria untuk ikut serta dalam
pemilu 2009. Partai Demokrat memenangkan suara
terbanyak, diikuti dengan Golkar dan Partai 10Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
C. Pendidikan Politik Menyongsong Pemilu Legislatif Tahun 2014
C.1.Pendidikan Politik Pemberdayaan Masyarakat
Barang kali sudah banyak para ahli hukum
dan politik yang memberikan pengertian pendidikan
politik, istilah pendidikan politik dalam bahasa
Inggris sering disamakan dengan istilah political
sosialization. Istilah political sosialization jika
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia akan
bermakna sosialisasi politik. Karenanya istilah
political sosialization disamakan dengan pengertian
pendidikan politik dengan istilah sosialisasi politik.
Sebenarnya sosialisasi politik tidak dapat
disamakan dengan pendidikan politik karena dalam
sosialisasi politik bisa bermakna penyampaian
keinginan politik para calon anggota legislatif itu
sendiri yang menjurus kearah mobilisasi
masyarakat ke dalam satu calon anggota legislatif
tertentu yang dapat bermakna positif atau negatif.
Dalam pandangan Khoiron, Pendidikan politik
sering disebut dengan istilah political forming atau
politische bildung. Disebut forming karena di
dalamnya terkandung intensitas untuk membentuk
insan politik yang menyadari status, kedudukan
politiknya di tengah masyarakat, sedangkan disebut
bildung (pendidikan diri sendiri) karena istilah ini
menyangkut aktivitas membentuk diri sendiri
dengan kesadaran penuh tanggung jawab untuk 11menjadi insan politik.
Pendidikan politik menurut Alfian (1986:235)
dalam bukunya Pemikiran dan Perubahan Politik
Indonesia, sebagai usaha yang sadar untuk
mengubah proses sosialisasi politik masyarakat
sehingga mereka memahami dan menghayati betul
nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem
politik yang ideal yang hendak dibangun.
Pendidikan politik dalam hal ini dipahami
sebagai perbuatan memberi latihan, ajaran, serta
bimbingan untuk mengembangkan kapasitas dan
potensi masyarakat dan calon anggota legislatif,
melalui proses dialogis yang dilakukan oleh partai
politik dan pemerintah sebagai pihak yang
bertanggung jawab pemajuan bangsa.
Pendidikan politik pada tingkatan warga yang
masih pada tahapan memenuhi kebutuhan
dasarnya atau sedang dalam menuju
kesejahteraannya, diperlukan metode dan media
yang mengakomodir kondisi tersbut. Pendidikan
politik yang ahistoris atau yang tidak kontekstual
dengan kebutuhan warga akan menjadi alat mimpi
dan pembiusan masal belaka. Pendidikan politik
akan dilecehkan dan akan tidak diterima oleh warga
sendiri. Hal ini bisa dimengerti, bagaimana warga
bisa mencerna dan memahami hal-hal idiologis.
Apabila pendidikan politik ahistoris dan hanya pada
tataran permukaan yang mengungkit emosi
kepentingan, maka yang akan berkembang adalah 12politik uang atau politik bantuan.
Sudarwo menilai pendidikan politik
pemberdayaan masyarakat, yaitu suatu proses
peningkatan daya masyarakat dalam meningkatkan
kualitas kehidupannya. Bukan proses memberi
bantuan masyarakat untuk meningkatkan kualitas
kehidupannya melainkan menghilangkan potensi
dan daya masyarakat sendiri. Karena itu, metode
dan media pendidikan politik yang berperspekti
pemberdayaan adalah adalah mempunyai 2 (dua)
output.
Pertama, output strategis ideologis dan kedua,
adalah output praktis pragmatis basic need.
Dengan demikian, ada 5 (lima) model pendidikan 13politik berbasis pemberdayaan masyarakat yaitu:
1. Penggerakan dan peningkatan daya warga
dalam pemenuhan kebutuhan dasar.
2. Analisis kesadaran kritis terhadap lingkungan
sosial, ekonomi, politik dan ekosisitem
lingkungannya.
3. Peningkatan membangun akses keberbagai
pusat sumberdaya yang dapat mendukung
kehidupannya.
4. Partisipasi dalam organisasi rakyat yang dapat
menjadi proses berafiliasi dan berganing politik
dengan partai poltik.
5. Membangun kemampuan dalam kontrol sosial
dan berbagai kebijakan publik.
Pendidikan politik dengan perspektip
pemberdayaan masyarakat diperlukan kecerdasan
dan kreativitas dalam pengemasan modul dan
kurikulum. Modul dan kurikulum pendidikan
politik yang terbaik adalah apabila menggunakan
media kerja yang langsung menyentuh kepentingan
dan kebututuhan warga. Metode yang paling tepat
digunakan adalah menggunakan metode
pendidikan orang dewasa dengan pendekatan 14partisipatif.
M. Shirozi, (2005 : 30) mengemukakan bahwa
terdapat beberapa pemikiran yang mendukung mulai
berkembangnya kesadaran masyarakat terhadap
hubungan antara pendidikan dan politik, yaitu: (i)
adanya kesadaran tentang hubungan yang erat
antara pendidikan dan politik. (ii) adanya kesadaran
akan peran penting pendidikan dalam menentukan
corak dan arah kehidupan politik. (iii) adanya
kesadaran akan pentingnya pemahaman tentang
hubungan antara pendidikan dan politik. (iv)
diperlukan pemahaman yang lebih luas tentang
politik. (v) pentingnya pendidikan kewarganegaraan.
Kurangnya pendidikan politik masyarakat
Indonesia menyebabkan masyarakat tidak
mengetahui mengenai hak dan kewajibannya dalam
pelaksanaan pemilu legislatif sehingga mudah
diarahkan untuk kepentingan personal calon anggota
legislatif. Dalam demokrasi modern proses demokrasi
yang sehat mensyaratkan adanya partisipasi politik
yang responsif dalam ruang publik dari masyarakat
warga. Partisipasi politik yang responsif hanya dapat
dimungkinkan jika masyarakat warga pendididikan
politiknya cukup memadahi.
C.2.Pendidikan Politik Dalam Demokrasi
Deliberatif
Gagasan demokrasi deliberatif Habermas
dicetuskan melihat gersangnya dominasi partisipasi
masyarakat di dunia barat yang tidak memiliki
ruang konsultasi publik dalam ranah politik,
ekonomi, dan hukum.
Secara etimologis deliberatif berasal dari kata
deliberatio yang artinya konsultasi, musyawarah,
atau menimbang-nimbang. Demokrasi bersifat
deliberatif jika proses pemberian alasan atas suatu
kandidat kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat
konsultasi publik, atau diskursus publik.
Demokrasi deliberatif ingin meningkatkan
intensitas partisipasi warga negara dalam proses
pebentukan aspirasi dan opini agar kebijakan-
kebijakan dan undang-undang yang dihasilkan oleh
pihak yang memerintah semakin mendekati
harapan pihak yang diperintah. Intensifikasi proses
deliberasi lewat diskursus publik ini merupakan
jalan untuk merealisasikan konsep demokrasi,
Regierung der Regierten (pemerintahan oleh yang 15diperintah). Demokrasi deliberatif memiliki makna
tersirat, yaitu diskursus praktis, formasi opini dan
aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai 16prosedur. Dengan demikian, demokrasi deliberatif
ingin membuka ruang yang lebih lebar bagi
partisipasi warga Negara. Hal ini merupakan suatu
upaya untuk semakin mendekat menuju cita-cita
demokrasi itu sendiri, yakni pemerintah oleh yang
memerintah.
Bagi Habermas ruang publik suatu jaringan
yang mengkomunikasikan informasi dari berbagai
cara pandang yang disaring sedemikian rupa,
sehingga menjadi opini publik yang relevan dengan
permasalahan masyarakat. Ruang publik
10 Anonymos, “hasil-pemilu/pemilu-legislatif”, dalam http://kpud-banjarkota.go.id/1/laporan-hasil-pemilu/pemilu-legislatif/pemilu-legislatif-2014/15-pemilu-legislatif.html diakses 10 November 2013.11 M. Nur Khoiron, et.al, Pendidikan Politik Bagi Warga Negara (Tawaran Operasional dan Kerangka Kerja). IKIS: Yogyakarta. hlm. 4.12 Fajar Sudarwo, Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Penekatan Pendidikan Politik Untuk Mencegah Konflik Pemilukada, dalam google.com diakses 23 Mei 2013.
Pendidikan Politik Menyongsong.....(Nadir)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 1 - 14
1110
merupakan fenomena sosial seperti tindakan,
pelaku, atau kolektivitas, tetapi ruang publik
melampaui konsep sosiologi konvensional tentang 17tatanan sosial. Sebenarnya ada kesamaan antara
demokrasi deliberatif dan demokrasi pancasila di
mana demokrasi Pancasila juga mengajarkan
diskursus publik, partisipasi politik masyarakat,
serta kedaulatan rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi.
Cita-cita pendidikan politik yang ingin dibangun
dalam konsep demokrasi deliberatif paling tidak,
yaitu: Pertama, diskursus publik antara calon
anggota legislatif dengan masyarakat sebagai
konstituen dalam menyampaikan visi, visi yang
akuntabel. Kedua, partisipasi masyarakat sebagai
konstituen dalam menyampaikan aspirasi kepada
calon anggota legislatif guna menghasilkan produk
hukum yang responsif. Ketiga, kedaulatan rakyat
sebagai konsekuensi fasilitasi diadakannya
pelaksanaan pemilihan umum legislatif. Keempat,
harmonisasi antara pemerintah dengan yang
diperintah (pemerintah dengan warga negara).
Kelima, uji publik calon anggota legislatif kepada
masyarakat sebagai konstituen untuk diketahui
layak tidaknya duduk sebagai anggota parlemen.
Dalam demokrasi deliberatif, keputusan
mayoritas dapat dikontrol melalui kedaulatan rakyat.
Masyarakat dapat mengkritisi keputusan-keputusan
yang dibuat oleh para pemegang mandat. Jika
masyarakat sudah berani mengkritisi kebijakan
pemerintah, maka secara tidak langsung mereka
sudah menjadi masyarakat rasional, bukan lagi
masyarakat irasional. Opini publik atau aspirasi
berfungsi untuk mengendalikan politik formal atau
kebijakan-kebijakan politik. Jika tidak ada
keberanian untuk mengkritik kebijakan politik, maka 18masyarakat sudah tunduk patuh terhadap sistem.
Dalam hubungan ini Fatkhurohman menilai,
dalam demokrasi deliberatif Negara tidak lagi
menentukan hukum dan kebijakan-kebijkan politik
lainnya dalam ruang tertutup yang nyaman, tetapi
masyarakat sispil melalui media dan organisasi
yang vokal memainkan pengaruh yang sangat
signifikan dalam proses pembentukan hukum dan
kebijakan politik itu. Medan publik menjadi arena di
mana perundang-undangan dipersiapkan dan 19diarahkan secara diskursif.
Dalam hubungan ini menurut Carlyle bahwa
aspek pertama dan yang paling mendasar dari
pemikiran politik pada abad pertengahan adalah
bahwa otoritas politik merupakan ekspresi dari
keadilan sebuah prinsip yang diperoleh langsung
dari hukum Romawi, prinsip penting yang kedua
adalah hanya ada satu sumber otoritas politik, yaitu 20masyarakat itu sendiri. Dalam hubungan ini John
Salisbury seorang filsuf Inggris di mana ia seorang
pejuang ambisius demi kebebasan individual
menyatakan bahwa setiap penguasa memiliki 21tanggung jawab terhadap masyarakatnya.
C.3.Pendidikan Politik Dalam Demokrasi
Pancasila
Perancang UUD 1945 dalam perdebatan di
BPUPKI dan PPKI menyepakati bahwa UUD yang
akan dibuat untuk menjadi landasan
penyelenggaraan berbangsa dan bernegara adalah
berdasarkan kedaulatan rakyat yang
penyelenggaraannya menggunakan mekanismen
demokrasi. Konsekuensinya, harus ada pemilihan
umum untuk memilih wakil-wakil rakyat yang
duduk diparlemen, baik pada parlemen pusat 22 maupun pada parlemen daerah.
Suksesnya pelaksanaan pemilu legislatif bukan
hanya sukses memilih para calon anggota legislator,
tetapi juga terciptanya pemilih yang berkualitas
sesuai dengan harapan peraturan perundang-
undangan di mana KPU berharap partisipasi
masyarakat untuk Pemilu tahun 2014 mencapai 75
Persen.
Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran
dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan
tanggung jawab setiap warga negara dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara serta
tanggung jawab sebagai anggota legislatif. Undang-
Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang
Partai Politik tidak menyebutkan seperti apa dan
bagaimana bentuk pendidikan politik yang harus
dilakukan. Namun demikian, dalam konteks
menyongsong Pemilu tahun 2014 setidak-tidaknya
dapat dikonstruksikan pendidikan politik bagi
masyarakat sebagai konstituen agar tidak mudah
dimobilisasi dan politik uang, yaitu:
1. Peningkatan penyampaian visi misi calon
anggota legislatif dalam diskursus publik
kepada semua elemen masyarakat guna
diketahui capaian akhir visi misinya.
2. Peningkatan daya pengetahuan masyarakat
mengenai rekam jejak calon anggota legislatif
tentang: latar belakang pendidikan,
kompetensi pedagogi, kompetensi personal,
kompetensi sociocultural, kompetensi
pengetahuan ilmu hukum dan ilmu-ilmu
lainnya, kompetensi moral, pengalaman
organisasi, pengabdian masyarakat sehingga
masyarakat mengetahui layak tidaknya calon
anggota legislatif untuk duduk sebagai anggota
DPR, DPD, DPRD.
3. Peningkatan pemahaman masyarakat tentang
kemampuan calon anggota legislatif dalam
mengemban fungsi legislasi, anggaran, dan
fungsi pengawasan.
4. Peningkatan partisipasi politik masyarakat
dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan.
5. Peningkatan inisiatif masyarakat dalam
merespon dan merumuskan kebijakan
pemerintah pusat maupun daerah.
6. Peningkatan penyampaian produk hukum
pemilu mekanisme kampanye, tata cara
pemilihan dan keabsahan pemilihan oleh KPU.
7. Peningkatan kesadaran hak memilih dan
dipilih serta kewajiban masyarakat dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Semua model atau bentuk pendidikan politik
yang penulis uraian di atas, dapat dilaksanakan
melalui dan kerjasama: (i) media elektronik televisi,
radio, sms lewat HP. (ii) media cetak surat kabar
harian, majalah. (iii) media mayantara internet. (iv)
asosiasi masyarakat perkumpulan petani,
perkumpulan dagang, jema'ah-jema'ah di desa-desa
dan lembaga formal maupun non formal yang dapat
memberikan tempat melakukan pendidikan politik.
Dalam Instruksi Presiden Nomor 12 tahun
1982 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan
Pendidikan Politik Generasi muda disebutkan
bahwa Pendidikan politik merupakan rangkaian
usaha untuk meningkatkan dan memantapkan
kesadaran politik dan kenegaraan guna menunjang
kelestarian Pancasila dan UUD 1945 sebagai
budaya politik bangsa. Pendidikan politik juga
harus merupakan bagian proses perubahan
kehidupan politik bangsa Indonesia yang sedang
dilakukan dewasa ini dalam rangka usaha
menciptakan suatu sistem politik yang benar-benar
demokratis, stabil, efektif, dan efisien. Karenanya,
pendidikan politik adalah proses penurunan nilai-
nilai dan norma-norma dasar dari ideologi suatu
negara yang dilakukan dengan sadar, terorganisir,
dan berencana dan berlangsung kontinyu dari satu
generasi kepada generasi berikutnya dalam rangka
membangun watak bangsa (national character
building).
Nilai-nilai tersebut di atas adalah nilai-nilai
Pancasila yang merupakan hasil perenungan jiwa
yang mendalam yang dilakukan oleh the faounding
people Indonesia yang dituangkan dalam satu
sistem saling mengisi dan saling mengkualifikasi.
Asas-asas pokok yang dipergunakan dalam
melaksanakan dan menyelenggarakan pendidikan
politik pada prinsipnya didasarkan atas asas yang
sesuai dengan keadaan serta sifat bangsa
Indonesia. Ada pun asas-asas pelaksanaan
pendidikan politik bagi generasi muda tersebut
seperti tercantum dalam Inpres Nomor 12 Tahun
1982, adalah asas umum, demokrasi, keterpaduan,
manfaat, bertahap, berjenjang, dan berkelanjutan,
aman.
Dalam hubungan ini Gaffar menilai, sedikitnya
ada 3 (tiga) alasan utama mengapa pendidikan
politik dan sosialisasi politik di Indonesia tidak
memberi peluang yang cukup untuk meningkatkan 23partisipasi politik masyarakat, yaitu:
1. Dalam masyarakat Indonesia anak-anak tidak
dididik untuk menjadi insan mandiri. Anak-
anak bahkan mengalami alienasi dalam politik
keluarga. Sejumlah keputusan penting dalam
keluarga, termasuk keputusan tentang nasib si
anak, merupakan domain orang dewasa. Anak-
anak tidak dilibatkan sama sekali.
2. Tingkat politisasi sebagian terbesar masyarakat
Indonesia sangat rendah. Di kalangan keluarga
miskin, petani, buruh, dan lain sebagainya,
tidak memiliki kesadaran politik yang tinggi,
karena mereka lebih terpaku kepada
kehidupan ekonomi dari pada memikirkan
segala sesuatu yang bermakna politik. Bagi
mereka, ikut terlibat dalam wacana politik
17 Reza A. A. Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Yokyakarta, Kanisius, 2007, hlm. 18 F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, Yogyakarta. Kanisius, 2009, hlm. 128.19 Fatkhurohman, Mengukur Kesamaan Paham Demokrasi Deliberatif, Demokrasi Pancasila dan Demokrasi Konstitusional, dalam Jurnal Konstitusi: Puskasi Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, Volume IV Nomor 2 November 2011, hlm. 43.20 Richard M. Ketchum (ed), 2004. Pengantar Demokrasi, Yogyakarta: Niagara. hlm. 36-3721 Richard M. Ketchum (ed), Op.Cit. hal. 3722 Anwar C, Aanalisis Terhadap Perkembangan Sistem Pemilu Legislatif di Indonesia, dalam Jurnal Konstitusi: Puskasi Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, Volume II Nomor 1 Juni 2009, hlm. 11 23 Afan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar Indonesia, Yogyakarta 1999.
Pendidikan Politik Menyongsong.....(Nadir)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 1 - 14
24 Ibid.25 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1991, hlm. 163
1312
tentang hak-hak dan kewajiban warga negara,
hak asasi manusia dan sejenisnya, bukanlah
skala prioritas yang penting. Karenanya tingkat
sosialisasi politik warga masyarakat seperti ini
baru pada tingkat kongnitif, bukan
menyangkut dimensi-dimensi yang bersifat
evaluatif. Karenanya kebijakan pemerintah
menyangkut masalah penting bagi masyarakat
menjadi tidak penting buat mereka. Karena ada
hal lain yang lebih penting, yaitu pemenuhan 24kebutuhan dasar.
Miriam Budiardjo memberikan tesisnya bahwa
partai politik memiliki sejumlah fungsi yang dapat
difungsikan untuk melaksanakan pendidikan
politik di antara beberapa fungsi yang lain, di mana
dalam negara modern, partai politik mempunyai 25beberapa fungsi:
1. Sebagai Sarana Komunikasi Politik
Parpol berfungsi menyalurkan aneka ragam
pendapat dan aspirasi masyarakat dan
mengaturnya sedemikian rupa sehingga
kesimpang-siuran pendapat dalam masyarakat
berkurang. Dalam masyarakat moderen yang
begitu luas, pendapat dan aspirasi seseorang
atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas
seperti suara di pandang pasir apabila tidak
ditampung dan digabung dengan pendapat dan
aspirasi orang lain yang senada. Proses ini
dinamakan “penggabungan kepentingan”
(interest aggregation). Sesudah digabung,
pendapat dan aspirasi ini diolah dan
dirumuskan dalam bentuk yang teratur. Proses
ini dinamakan, “perumusan kepentingan”
(interest articulation).
2. Sebagai Sarana Sosialisasi dan Pendidikan
Politik
Di dalam ilmu politik, sosialisasi politik
diartikan sebagai suatu proses dari seseorang
memperoleh sikap dan orientasi terhadap
fenomena politik di dalam lingkungan
masyarakat dimana ia berada. Biasanya proses
sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur
dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Proses
sosialisasi politik diselenggarakan melalui
ceramah-ceramah penerangan, kursus-kursus
kader, kursus penataran, dan sebagainya.
Seiring dengan fungsi partai politik di atas,
maka partai politik dibebani tanggung jawab
sebagai salah satu kewajiban memberikan
pendidikan politik kepada masyarakat berupa
arahan kepada masyarakat bagaimana menjadi
warga negara yang beradap, demokratis, adil damai,
sejahtera dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara bahkan KPU sebagai penyelenggara
Pemilu atas nama negara berkewajiban mendidik
masyarakat agar menjadi warga yang demokratis,
beradap menyongsong pemilu Tahun 2014
dikarenakan perkembangan masyarakat Indonesia
menuntut peningkatan peran, fungsi, dan tanggung
jawab partai politik dalam kehidupan demokrasi
konstitusional sebagai sarana partisipasi politik
masyarakat bangsa.
D. Kesimpulan
Undang-undang partai politik membebani
kewajiban kepada partai politik untuk memberikan
pendidikan politik kepada masyarakat, namun
demikian pendidikan politik di Indonesia tidak
hanya menjadi kewajiban partai politik, melainkan
tanggung jawab kolektif antara KPU atas nama
negara, partai politik dan seluruh elemen
masyarakat. Keberhasilan pemilu tahun 2014 akan
sangat ditentukan oleh suksesnya pendidikan
politik itu sendiri meskipun undang-undang partai
politik tidak menyebutkan seperti apa dan
bagaimana pendidikan politik itu dilakukan, namun
sekurang-kurangnya memberikan pengarahan
kepada masyarakat pada waktu jaring aspirasi
guna menjadi warga negara yang beradap,
demokratis, adil damai, sejahtera dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara menyongsong pemilu
demokratis Tahun 2014.
Sebagai sumbang saran yang dapat penulis
ajukan dalam penulisan ini adalah (i) disarankan
mendirikan lembaga informal yang mampu
mengelola program pendidikan politik bagi pemilih
dan calon anggota legislatif. (ii) Partai politik, KPU
tidak dapat menjalankan pendidikan politik
sehingga disarankan bekerja sama dengan seluruh
elemen masyarakat dan pihak akademisi yang lebih
mampu mengetahui kondisi sosial kemasyarakat
dan demokrasi karena mereka sering action
research. (iii) disarankan memberikan kesempatan
kepada pihak LSM, media, Ormas, termasuk juga
lembaga penelitian dan lembaga pemantau
independent karena mereka memiliki akses dan
tanggung jawab dalam melakukan pendidikan
politik. (iv) Undang-undang Nomor 2 tahun 2011
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2
tahun 2008 tentang Partai Politik memberikan
kewajiban kepada partai politik untuk melakukan
pendidikan politik, disarankan adanya perubahan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik memberikan bentuk atau model
pendidikan politik agar lebih jelas dan terarah.
Setiap menjelang pelaksnaan Pemilu selalu
memproduksi paket undang-undang politik baru,
disarankan untuk melakukan reset terlebih dahulu
agar undang-undang yang teleh dibentuk tidak
mudah lekang waktu.
Daftar Pustaka
Anonymos, “hasil-pemilu/pemilu-legislatif”, dalam diakses 10 November 2013
C, Anwar. 2009. “Analisis Terhadap Perkembangan Sistem Pemilu Legislatif di Indonesia”, dalam Jurnal Konstitusi: Puskasi Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, Volume II Nomor 1 Juni 2009.
Fatkhurohman, 2011. “Mengukur Kesamaan Paham Demokrasi Deliberatif, Demokrasi Pancasila dan Demokrasi Konstitusional”, dalam Jurnal Konstitusi: Puskasi Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, Volume IV Nomor 2 November 2011.
Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Indonesia.
Hamidi, Jazim. 2008. Pembentukan Perda
Partisipatif. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Harun, Andi. 2005. Angkasa Reformasi Terus
Bergerak di Mana Sang Pelopor Mengorbit.
Jakarta: Pustaka Cidesindo.
Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Fragmentaris.
Yogyakarta: Kansius.
Hardiman, F. Budi. 2009. Demokrasi Deliberatif.
Yogyakarta: Kanisius.
Ketchum, Richard M. (ed). 2004. Pengantar
Demokrasi. Yogyakarta: Niagara.
Khoiron, M. Nur. et.al, 1999. Pendidikan Politik Bagi
Warga Negara (Tawaran Operasional dan
Kerangka Kerja).Yogyakarta. IKIS.
Mahfud MD, Moh. 2001. Dasar dan Struktur Ketata-
negaraan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudarwo, Fajar. Pemberdayaan Masyarakat
Sebagai Penekatan Pendidikan Politik Untuk
Mencegah Konflik Pemilukada, dalam
google.com. diakses 23 Mei 2013.
Wattimena, Reza A. A. 2007. Melampaui Negara
Hukum Klasik. Yokyakarta. Kanisius.
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_cont
ent&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16
Desember 2013.
Pendidikan Politik Menyongsong.....(Nadir)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 1 - 14
1514
KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)
DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
(THE AUTHORITY OF CORRUPTION ERADICATION
COMMISSION ON THE PROSECUTION OF MONEY LAUNDERING)
Muhammad Fadli
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Selatan
Jl. Sultan Alauddin No. 102 Makassar Indonesia
Telp. (0411) 854731 Fax. 0411871160
Email : fadlilaw@gmail.com
(Naskah diterima 16/01/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014)
Abstrak
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penuntutan tindak pidana pencucian belum diatur secara
tegas dalam peraturan perundang-undangan manapun baik dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) maupun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU). Akan tetapi kewenangan tersebut tetap
dijalankan oleh Jaksa KPK dalam beberapa kasus. Hal tersebut menyebabkan dua hakim tindak pidana korupsi
melakukan dissenting opinion. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimanakah kewenangan KPK dalam penuntutan
tindak pidana pencucian uang? Tugas KPK hanya melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU KPK. Sedangkan dalam UU PPTPPU KPK hanya sebagai penyidik
tindak pidana asal. Oleh karena itu, kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang perlu diatur
secara tegas dalam peraturan perundang-undangan sehingga tercipta kepastian hukum dalam menjalankan
kewenangan tersebut. Dengan demikian berkas hasil penyidikan gabungan antara tindak pidana asal dan tindak pidana
pencucian uang dapat langsung disatukan dakwaannya dalam bentuk kumulatif oleh Jaksa Penuntut Umum dan dapat
tercipta suatu penuntutan yang efektif dan cepat (speedy prosecution) dengan demikian peradilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan dapat diwujudkan sebagaimana Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kata Kunci: Kewenangan, Penuntutan, Pencucian Uang, Jaksa, KPK.
Abstract
The authority of Corruption Eradication Commission (KPK) on the prosecution of money laundering has not been explicitly set
in any legislation either in Law Number 30 Year 2002 on Corruption Eradication Commission or Law Number 8 Year 2010
on the Prevention and Eradication of Money Laundering. However the authority is still applied by prosecutor of KPK in
several cases. Caused two judges of corruption court performed a dissenting opinion. Thus, the problem appears now is how
the authority of the Commission in the prosecution of money laundering? The task of the Commission is only to investigate
and to prosecute corruption cases as stipulated in the Law Commission. While the Law on the Prevention and Eradication of
Money Laundering set Commission only as an investigator for predicate offense. Thus, the Authority of the Commission on
the prosecution of money laundering should be set explicitly on the aforementioned laws so as to create legal certainty in the
running of the authority. As of the combined result of the investigation paper between predicate offense and money
laundering can be directly incorporated in the form of cumulative charges by the Public Prosecutor, so as to create an
effective and speedy prosecution as such justice is simple, fast, and low cost can be realized as stipulated on Law Number
48 Year 2009 on Judicial Power.
Key words : Authority, Prosecution, Money Laundering, Prosecutor, KPK.
A. Pendahuluan
Masalah tindak pidana pencucian uang atau
money laundering belakangan ini makin
mendapat perhatian khusus dari dunia
internasional. Perhatian yang demikian ini dipicu
semakin maraknya tindak pidana pencucian
uang dari waktu ke waktu, namun di sisi lain
masih banyak negara belum menetapkan sistem
hukumnya untuk memerangi atau menetapkan-1nya sebagai kejahatan yang harus diberantas.
Pada awalnya, secara internasional money
laundering terkait dengan perdagangan obat
bius/narkotika dan kejahatan besar lainnya, dan
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 1 - 14
1 N.H.T Siahaan, 2008, Money Laundering & Kejahatan Perbankan (edisi revisi), Jala Permata, Jakarta, hlm. 1.
Penjelasan ketentuan Pasal 74 dalam UU PPTPPU
menjelaskan bahwa:
“Yang dimaksud dengan "penyidik tindak
pidana asal" adalah pejabat dari instansi
yang o l eh undang -undang d ibe r i
kewenangan untuk melakukan penyidikan,
yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta
Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai Kementerian
Keuangan Republik Indonesia. Penyidik
tindak pidana asal dapat melakukan
penyidikan tindak pidana pencucian uang
apabila menemukan bukti permulaan yang
cukup terjadinya tindak pidana pencucian
uang saat melakukan penyidikan tindak
pidana asal sesuai kewenangannya.”
Berdasarkan penjelasan pasal tersebut, KPK
diberi kewenangan oleh undang-undang dalam
hal penyidikan tindak pidana pencucian uang
yang tindak pidana asalnya sesuai dengan
kewenangannya, yaitu penyidikan tindak pidana
korupsi. Penyidikan yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum diawali dengan adanya bahan
masukan suatu tindak pidana. Sumber bahan
masukan suatu tindak pidana berupa
pengetahuan atau persangkaan telah terjadinya
suatu perbuatan pidana dapat diperoleh penyidik
dari berbagai sumber, yaitu dari adanya laporan,
pengaduan, tertangkap, atau diketahui sendiri
oleh aparat penegak hukum dari hasil 9penyidikan. Selanjutnya kewajiban penyidik
untuk mencari atau mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tindak pidana
yang terjadi. Selanjutnya penyidik melimpahkan
berkas perkara kepada penuntut umum guna
dilakukan penuntutan tindak pidana di dalam
persidangan.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, “Penuntutan
adalah menuntut seorang terdakwa di muka
hakim pidana adalah menyerahkan perkara
seorang terdakwa dengan berkas perkaranya
kepada hakim, dengan permohonan, supaya
hakim memeriksa dan kemudian memutuskan 10perkara pidana itu terhadap terdakwa.”
Penuntutan tindak pidana pencucian uang yang
9 Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 60-61.10 Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia (edisi revisi), CV Sapta Artha Jaya Jakarta, hlm 164.11 Yudho Rahardjo, Kewenangan Jaksa KPK Gunakan Pasal TPPU Harus Diperkuat, http://www.gresnews.com/berita/hukum/ 981111-kewenangan-jaksa-kpk-gunakan-pasal-tppu-harus-diperkuat/, diakses pada tanggal 10 Desember 2013.
2 Ibid., hlm. 3-4.3 Yenti Garnasih, 2003, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money laundering), Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 6.4 Iman Sjahputra, 2006, Money Laundering (Suatu Pengantar), Harvarindo, Jakarta, hlm. 2.5 Yenti Garnasih, Penanganan Kejahatan Aliran Dana Perbankan, Korupsi, dan Pencucian Uang, Makalah disampaikan Pada Simposium Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi dengan tema “Rekonseptualisasi Politik Kriminal dan Persfektif Kriminologi dalam Penegakan Hukum di Indonesia”, diselenggarakan oleh Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar di Auditorium Prof. Amiruddin Universitas Hasanuddin Makassar, pada tanggal 19 Maret 2013, hlm. 7.6 Juni Sjafrien Jahja, 2012, Melawan Money Laundering (mengenal, mencegah, & memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang), Visimedia, Jakarta, hlm. 3-4.7 Ibid.8 Juni Sjafrien Jahja, 2012, Melawan Money laundering (mengenal, mencegah, & memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang), Visimedia, Jakarta, hlm. 54.
1716
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 15 - 24
tidak dikaitkan dengan kejahatan-kejahatan
seperti korupsi. Kini pencucian uang sudah
dikaitkan dengan proses atas uang hasil
perbuatan kriminal yang umumnya dalam
jumlah besar, sementara di berbagai negara,
termasuk indonesia, uang yang diperoleh dari
hasil korupsi adalah termasuk kategori kriminal,
maka masalah money laundering dikaitkan pula 2dengan perbuatan korupsi. Menurut Adnan
Buyung Nasution: “Sebagaimana terhadap
kejahatan yang berkaitan dengan narkoba,
pemberantasan pencucian uang juga dipandang
sebagai suatu strategi untuk memberantas
korupsi, yaitu dengan menghancurkan atau
menghalangi pelaku untuk dapat menikmati 3hasil korupsi tersebut.”
Pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang (UU PPTPPU). Pencucian uang
atau money laundering merupakan kejahatan
yang berupa upaya untuk menyembunyikan
asal-usul uang sehingga dapat dipergunakan 4sebagai uang yang diperoleh secara legal.
Menurut Yenti Garnasih, “Pencucian uang
merupakan suatu proses yang dilakukan untuk
mengubah hasil kejahatan seperti, korupsi,
kejahatan narkotika, perjudian, penyelundupan
dan kejahatan serius lainnya, sehingga kejahatan
tersebut menjadi nampak seperti hasil dari
kegiatan yang sah karena asal-usulnya sudah 5disamarkan atau disembunyikan.” Sedangkan
dalam Black's Law Dictionary, money laundering 6diartikan sebagai berikut:
“term used to describe investment or other
transfer of money flowing from racketeering,
drug transaction, and other illegal sources into
legitimate channels so that it's original sources
can not be traced. Money laundering is a
federal crime; 18 USCA 1956.”
Black's Law Dictionary memberikan
pengertian pencucian uang atau (money
laundering) adalah penyetoran/penanaman uang
atau bentuk lain dari pemindahan/pengalihan
uang yang berasal dari pemerasan, transaksi
narkotika, dan sumber-sumber lain yang ilegal
melalui saluran legal, sehingga sumber asal uang
tersebut tidak dapat diketahui/dilacak. Dari
terminologi dalam Black's Law Dictionary
tersebut dapat diketahui bahwa berbagai bentuk
dana “uang kotor” berasal dari kegiatan-kegiatan
atau transaksi menyimpang, seperti hasil
pemerasan, penghindaran pajak, bisnis
perjudian, korupsi, komisi, pungli, sogokan,
penyelundupan, serta perdagangan gelap 7narkotika dan obat terlarang.
Pemberantasan TPPU tidak terlepas dari
pemberantasan tindak pidana korupsi. Korupsi
merupakan salah satu tindak pidana asal
(predicate crime) dari tindak pidana pencucian
uang. Tindak pidana pencucian uang menganut
asas kriminalitas ganda (double criminality).
Kriminalitas ganda bermakna adanya dua
kejahatan pidana yang masing-masing sebagai
perbuatan tersendiri yang dalam terminologi
hukum dikenal sebagai concursus realis yang
terdiri dari kejahatan asal dan tindak pidana 8pencucian uang (money laundering). Salah satu
tindak pidana asal pencucian uang berasal dari
tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 2 Ayat (1) huruf a UU PPTPPU. Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
merupakan salah satu penyidik tindak pidana
asal yang diatur dalam Pasal 74 UU PPTPPU.
Adapun Penyidik dalam UU PPTPPU dirumuskan
dalam ketentuan Pasal 74, yaitu: “Penyidikan
tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh
penyidik tindak pidana asal sesuai dengan
ketentuan hukum acara dan ketentuan
peraturan perundang-undangan, kecuali
ditentukan lain menurut Undang-Undang ini.”
d i l akukan o l eh KPK be lakangan in i
dipertanyakan oleh sejumlah pihak. Hal tersebut
dikarenakan di dalam UU PPTPPU tidak diatur
mengenai kewenangan KPK dalam penuntutan
tindak pidana pencucian uang. Walaupun dalam
UU PPTPPU penyidik KPK dapat melakukan
penyidikan tindak pidana pencucian uang yang
tindak pidana asalnya adalah tindak pidana
korupsi. Akan tetapi kewenangan tersebut hanya
terbatas pada kewenangan penyidikan
sedangkan kewenangan KPK dalam penuntutan
tindak pidana pencucian uang belum diatur
dalam UU PPTPPU atau dalam peraturan
perundang-undangan manapun. Namun telah
dipratikkan bahwa jaksa penuntut umum di KPK
tetap menjalankan kewenangan penuntutan.
Padahal Pasal 51 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya
mengatur mengenai kewenangan Jaksa Penuntut
Umum di KPK. Menurut Yenti Garnasih, “tidak
ada satu pun pasal yang memberikan
kewenangan penuntutan tindak pidana
pencucian uang kepada KPK, baik itu Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
maupun Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang. Jadi harus segera diberikan
dasar hukum bagi KPK agar berwenang
melakukan penuntutan perkara tersebut. Selama
ini hakim pengadilan tipikor selalu memberikan
opini yang berbeda (dissenting opinion) apabila
Jaksa Penuntut Umum KPK mencantumkan
pasal tindak pidana pencucian uang dalam
dakwaannya. Vonis hakim dalam kasus
Fathanah dan Djoko Susilo memperlihatkan
adanya dissenting opinion. Kasus Djoko adalah
yang pertama kali dan Fathanah adalah yang
kedua kalinya. Beruntung hanya 2 hakim yang
memberikan dissenting opinion, kalau 3 dari lima
hakim yang mengadili perkara menyatakan
dissenting opinion maka perkara tindak pidana 11pencucian uang bisa gugur di dalam vonis.”
Berdasarkan latar belakang permasalahan
tersebut, maka akan dibahas mengenai
bagaimanakah kewenangan penuntutan tindak
pidana pencucian uang yang dilakukan oleh
Jaksa Penuntut Umum KPK dalam praktik.
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi.....(Muhammad Fadli)
12 Muhammad Djafar Saidi, 2007, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 1.13 Ni'matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 78.14 Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara edisi revisi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 100.15 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, 2012, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa Cendekia, Bandung, hlm. 137-139.
B. Pembahasan
B.1.Negara Hukum
Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)
menyatakan bahwa, “Negara Indonesia adalah
negara hukum”. Indonesia merupakan negara
hukum yang berarti Indonesia menjunjung tinggi
hukum dan kedaulatan hukum. Kekuasaan hukum
terletak di atas segala kekuasaan yang ada dalam
negara dan kekuasaan hukum terletak di atas
segala kekuasaan yang ada dalam negara dan
kekuasaan itu harus tunduk pada hukum yang
berlaku. Hakikatnya adalah segala tindakan atau
perbuatan tidak boleh bertentangan dengan hukum
yang berlaku, termasuk untuk merealisasikan
keperluan atau kepentingan negara maupun 12keperluan warganya dalam bernegara.
Salah satu asas penting dalam negara
hukum adalah asas legalitas. Substansi dari asas
legalitas tersebut adalah menghendaki agar setiap
tindakan badan atau pejabat administrasi
berdasarkan undang-undang. Tanpa dasar
undang-undang badan atau pejabat administrasi
negara tidak berwenang melakukan suatu tindakan
yang dapat mengubah atau mempengaruhi 13keadaan hukum warga masyarakat. Jadi badan
atau lembaga negara manapun harus menjunjung
tinggi asas legalitas sebagai asas yang wajib
dijunjung dalam bingkai negara hukum, begitupula
KPK dalam menjalankan tugas dan wewenang yang
dimilikinya harus berlandasakan dengan asas
kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal
5 huruf (a) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jadi dalam pelaksanaan tugas dan wewenang
harus memiliki dasar hukum atau didasarkan
dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, termasuk kewenangan KPK dalam
penuntutan tindak pidana pencucian uang yang
belum diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
B.2.Teori Kewenangan
Pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas
(legaliteitsbeginsel atau het beginsel van
wetmatigheid van bestuur), negara hukum yang
menempatkan asas legalitas sebagai sendi utama
penyelenggaraan pemerintahan, wewenang
pemerintahan (bestuursbevoegdheid) itu berasal
dari peraturan perundang-undangan. R.J.H.M.
Huisman menyatakan pendapat berikut:
“Een bestuursorgaan kan zich geen bevoegdheid
toeeigenen. Slechts de wet kan bevoegdheden
verlenen. De wetgever kan een bevoegdheid niet
allen attribueren aan een bestuursorgaan, maar
ook aan ambtenaren (b i jvoorbee ld
belastinginspecteurs, inspecteur voor het milieu
enz.) of aan special colleges (bijvoorbeeld de
kiesraad, de pachtkamer), of zelfs aan
privaatrechtelijke rechtspersoonen”. (Organ
pemerintah tidak dapat menganggap bahwa ia
memiliki sendiri wewenang pemerintahan.
Kewenangan hanya diberikan oleh undang-
undang. Pembuat undang-undang dapat
memberikan wewenang pemerintahan tidak
hanya kepada organ pemerintahan, tetapi juga
terhadap para pegawai {misalnya inspektur
pajak, inspektur lingkungan, dan sebagainya}
atau terhadap badan khusus {seperti dewan
pemilihan umum, pengadilan khusus untuk
perkara sewa tanah}, atau bahkan terhadap 14badan hukum privat.
Prinsip ini tersirat bahwa wewenang
pemerintahan berasal dari peraturan perundang-
undangan, artinya sumber wewenang bagi
pemerintah adalah peraturan perundang-
undangan. Seiring dengan pilar utama negara
hukum, yaitu asas legalitas (legaliteitbeginsel atau
het beginsel van wetmatigheid van bestuur),
berdasarkan prinsip ini pemerintahan berasal dari
peraturan perundang-undangan. Secara teoritis,
Kewenangan yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan tersebut diperoleh melalui
tiga cara yaitu, atribusi, delegasi, dan mandat, 15sebagai berikut:
a. Atribusi
Dalam istilah hukum, atribusi diterjemahkan
sebagai “pembagian (kekuasaan); dalam kata
atributie van rechtsmacht; pembagian
kekuasaan kepada berbagai instansi
(kompetensi mutlak), sebagai lawan dari
distributie van rechtmacht”. Salah satu
kekuasaan yang diberikan oleh undang-
undang kepada pemerintah adalah atribusi.
Menurut Indroharto, atribusi adalah
pemberian wewenang pemerintah yang baru
oleh suatu ketentuan dalam perundang-
undangan baik yang dilakukan oleh original
legislator atau delegated legislator.
b. Delegasi
Delegasi dalam istilah hukum adalah
penyerahan wewenang dari pejabat yang lebih
tinggi kepada yang lebih rendah. HD. Van Wijk
berpendapat bahwa pengertian delegasi adalah
penyerahan wewenang pemerintah dari suatu
badan atau pejabat pemerintahan lain. Bentuk
delegasi yang biasa adalah bentuk di mana
dalam instansi pertama suatu wewenang
pemerintahan yang dilambangkan kepada
suatu lembaga pemerintahan diserahkan oleh
lembaga ini kepada lembaga pemerintahan
lainnya.
c. Mandat
Wewenang yang didapat melalui atribusi dan
delegasi bisa dimandatkan kepada badan atau
pegawai bawahan jika pejabat yang
memperoleh wewenang itu tidak sanggup
untuk melakukan sendiri. H.D. Van Wijk
menjelaskan arti mandat adalah suatu organ
p e m e r i n t a h a n y a n g m e n g i z i n k a n
kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas
namanya. Berbeda dengan delegasi, mengenai
mandat, pemberi mandat tetap berwenang
untuk melakukan sendiri wewenangnya
apabila ia menginginkannya, dan memberi
petunjuk kepada mandataris tentang apa yang
diinginkannya.
Hans Kelsen mengemukakan hanya perilaku
manusia yang diberikan wewenang oleh tatanan
hukum. Perilaku individu tersebut diberikan
wewenang hukum dirinya yakni, kapasitas untuk
menciptakan norma hukum. Kapasitas untuk
bertindak pada dasarnya merupakan kapasitas
untuk melakukan transaksi hukum. Kapasitas
untuk melakukan transaksi hukum yaitu kapasitas
untuk menciptakan kewajiban dan hak, juga
merupakan wewenang hukum karena kewajiban
hukum dan hak ditetapkan oleh norma-norma
hukum dan norma-norma itu diciptakan dengan 16 transaksi hukum. Menurut Hans Kelsen, hukum
berupa peraturan-peraturan yang dibuat dan diakui 17oleh negara.
Kewenangan merupakan kapasitas untuk
bertindak yang diberikan kepada suatu individu
oleh tatanan hukum untuk melakukan tindakan
tertentu. Jadi dapat dikatakan bahwa kewenangan
untuk melakukan tindakan hanya diberikan pada
individu tertentu yang diberikan oleh tatanan
hukum untuk melakukan suatu tindakan
berdasarkan hukum itu sendiri. Dengan demikian,
kewenangan Jaksa Penuntut Umum Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam
melakukan penuntutuan terhadap tindak pidana
pencucian uang harus diberikan oleh tatanan
hukum atau dapat dikatakan kewenangan yang
dijalankan tersebut perlu mendapatkan dasar
hukum dari peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 huruf (a)
menyatakan, dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya Komisi Pemberantasan Korupsi
berasaskan pada asas kepastian hukum. Jadi
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya,
Komisi Pemberantasan Korupsi harus
berlandaskan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
B.3.Kewenangan Jaksa Penuntut Umum KPK
dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian
Uang
Salah satu tugas KPK berdasarkan Pasal 6
huruf (c) UU KPK yaitu, melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi.
KPK merupakan lembaga negara yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun yang dibentuk dengan tujuan
meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal
ini menunjukkan dalam pelaksanaan tugas dan
wewenangnya, KPK bebas dari campur tangan
pihak manapun termasuk dalam tugas,
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Jaksa
Penuntut umum KPK dalam menjalankan tugas
berdiri sendiri dan bebas dari intervensi manapun.
Jaksa penuntut umum yang bertugas di KPK
diangkat dan diberhentikan oleh KPK sebagaimana
Pasal 51 Ayat (1) UU KPK. Jadi kedudukan Jaksa
Penunut Umum KPK yang diangkat dan
diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
tidak lagi berada di bawah koordinasi Kejaksaan
Agung. Hal tersebut juga tidak terlepas dari
kesepakatan kerja sama yang dilakukan oleh
Kejaksaan Agung dan KPK. Jaksa Penuntut Umum
16 Hans Kelsen, 2011, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusa Media, Bandung, hlm. 165-167.17 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dn Teori Peradilan (Judicialprudence), Kencana, Jakarta, hlm. Hlm.61.
1918
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi.....(Muhammad Fadli)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 15 - 24
yang menjalankan tugas di KPK harus tunduk
terhadap UU KPK.
Adapun pengertian Jaksa Penuntut Umum
dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu, penuntut
umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penuntutan
dan melaksanakan penetapan hakim. Pasal 14
menyatakan Penuntut umum mempunyai
wewenang: a. menerima dan memeriksa berkas
perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik
pembantu; b. mengadakan prapenuntutan apabila
ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan
ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik; c.
memberikan perpanjangan penahanan, melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan dan atau
mengubah status tahanan setelah perkaranya
dilimpahkan oleh penyidik; d. membuat surat
dakwaan; e. melimpahkan perkara ke pengadilan; f.
menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa
tentang ketentuan hari dan waktu perkara
disidangkan yang disertai surat panggilan, baik
kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk
datang pada sidang yang telah ditentukan; g.
melakukan penuntutan; h. menutup perkara demi
kepentingan hukum; i. mengadakan tindakan lain
dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai
penuntut umum menurut ketentuan undang-
undang ini; j. melaksanakan penetapan hakim. Dari
perincian wewenang tersebut, dapat ditarik
kesimpulan bahwa jaksa atau penuntut umum di
indonesia tidak mempunyai wewenang menyidik
perkara dalam tindak pidana umum, misalnya
pembunuhan, pencurian, dan lain sebagainya dari
permulaan ataupun lanjutan. Ini berarti jaksa atau
penuntut umum di Indonesia tidak dapat
melakukan penyelidikan/penyidikan terhadap
tersangka atau terdakwa. Ketentuan Pasal 14 ini
disebut sistem tertutup, artinya tertutup
kemungkinan jaksa atau penuntut umum
melakukan penyidikanmeskipun dalam arti
inseidental dalam perkara-perkara berat,
khususnya dari segi pembuktian dan masalah
teknis yuridisnya. Pengecualiannya adalah jaksa
atau penuntut umum dapat menyidik perkara
dalam tindak pidana khusus, misalanya tindak 18pidana subversi, korupsi, dan lain sebagainya.
Tindak pidana khusus tersebut termasuk tindak
pidana pencucian uang.
18 Muhammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2004, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 21.
Pengertian jaksa sebagaimana diuraikan dalam
Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Jaksa
adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk bertindak sebagai penuntut
umum serta melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 1 Ayat (2) menyatakan pengertian penuntut
umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penuntutan
dan melaksanakan penetapan hakim. Sedangkan
Pasal 1 Ayat (3) Penuntutan adalah tindakan
penuntut umum untuk melimpahkan perkara
pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini dengan permintaan supaya diperiksa
dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Jadi,
Jaksa Penuntut Umum yang melaksanakan tugas
di KPK pada dasarnya memiliki tugas dan fungsi
yang sama sebagaimana yang dijelaskan dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, yaitu melakukan penuntutan terhadap
tindak pidana dan melaksanakan penetapan
hakim. Dalam UU KPK, Jaksa Penuntut Umum di
KPK diberi tugas khusus yaitu, melakukan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Pasal
51 Ayat (1) UU KPK menentukan bahwa Penuntut
adalah Penuntut Umum pada Komisi
Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan
diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi, Ayat (2) Penuntut Umum sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) melaksanakan fungsi
penuntutan tindak pidana korupsi, Ayat (3)
Penuntut sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
adalah Jaksa Penuntut Umum.
Pasal 72 Ayat (5) huruf c UU PPTPPU
menjelaskan sebagai berikut, jika penuntut umum
mengajukan surat permintaan keterangan
mengenai harta kekayaan dari orang yang telah
dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, tersangka,
atau terdakwa maka surat permintaan tersebut
harus ditandatangani oleh Jaksa Agung atau
Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan
diajukan oleh jaksa penyidik dan/atau penuntut
umum, hal ini menunjukkan bahwa jaksa yang
diberi kewenangan dalam melakukan penuntutan
tindak pidana pencucian uang dalam UU PPTPPU
masih terbatas jaksa yang dibawahi oleh Kejaksaan
Agung, bukan Jaksa Penuntut Umum yang
diangkat dan diberhentikan oleh KPK sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 51 Ayat (1) UU KPK.
Mengingat karakteristik kasus tindak pidana
pencucian uang bersifat kompleks dan multi
dimensi serta praktik internasional di negara lain,
Marwan Effendi berpendapat adalah hal yang tepat
untuk memberikan Jaksa sebagai penyidik tindak
pidana pencucian uang sebagaimana dalam
penjelasan Pasal 4 UU PPTPPU yaitu, dampak
positif Jaksa sebagai penyidik tindak pidana
pencucian uang sebagai berikut: apabila dalam
penyidikan tindak pidana korupsi jaksa penyidik
menemukan adanya tindak pidana pencucian
uang, maka Jaksa Penyidik tindak pidana asal atau
penyidik predicate crime tidak perlu lagi
menyerahkan kepada penyidik POLRI sehingga
tidak akan terjadi proses saling menunggu 1 9penyelesaian penyidikannya. Dengan
dilakukannya penyidikan sendiri oleh Jaksa
Penyidik atau penyidik predicate crime terhadap
tindak pidana pencucian uang bersamaan dengan
penyidikan tindak pidana korupsi sangat
mendukung proses penyidikan cepat (speedy
investigation) hal mana sejalan dengan ketentuan
Pasal 75 UU PPTPPU yaitu dalam hal penyidik
menemukan bukti permulaan yang cukup
terjadinya tindak pidana pencucian uang dan
tindak pidana asal, penyidik menggabungkan
penyidikan tindak pidana asal dengan tindak
pidana pencucian uang dan memberitahukannya
kepada PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis 20 Transaksi Keuangan).
Apabila berkas hasil penyidikan antara tindak
pidana asal atau predicate crime dan tindak pidana
pencucian uang atau dilimpahkan penyidik KPK
kepada Jaksa penuntut umum yang ada di KPK,
maka konsekuensi logisnya yaitu, Jaksa Penuntut
Umum dapat menyatukan langsung dakwaannya
dalam bentuk kumulatif, sehingga dapat tercipta
suatu penuntutan yang cepat (speedy prosecution)
dan efektif. Jika berkas penyidikan tindak pidana
asal atau predicate crime dengan berkas tindak
pidana pencucian uang terpisah penyidikannya
maka proses persidangan juga akan disidangkan
oleh majelis hakim yang berbeda karena majelis
yang satu untuk tindak pidana asal dan majelis
yang lain untuk tindak pidana pencucian uang,
karena belum tentu dapat dilimpahkan secara
berbarengan. Oleh karena itu, jika penyidikan
tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian
uang di satu tangan, maka jaksa penuntut umum
dapat mendakwakan secara kumulatif antara
tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian
uang dan melimpakannya secara bersamaan ke
pengadilan. Dengan demikian akan terjadi suatu
peradilan cepat (speedy trial) karena cukup 21disidangkan oleh suatu majelis hakim.
B.4.Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya
Ringan
Proses peradilan pidana terdapat beberapa
tahapan yang harus dilalui bagi para pencari
keadilan baik di tingkat penyelidikan, penyidikan,
pemeriksaan di pengadilan hingga tahap
penjatuhan putusan pemidanaan bahkan upaya
hukum jika dipergunakan oleh para pihak yang
memerlukan waktu, tenaga, maupun biaya yang
tidak sedikit bagi para pencari keadilan. Hal ini
diatur di dalam Undang Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 Ayat
(4) yang menyebutkan bahwa: peradilan dilakukan
dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Asas ini
menghendaki peradilan yang sederhana atau tidak
terlalu formal legalistik, proses yang berbelit-belit
dan berkepanjangan dan lebih mengutamakan
keadilan dari pada kepastian hukum. Waktu yang
dibutuhkan dalam proses yang sederhana adalah
cepat dan biaya yang dibutuhkan dalam proses
menjadi terjangkau oleh siapapun termasuk
masyarakat tidak mampu. Asas ini masih menjadi
keniscayaan dan masih dalam das sollen, karena
dalam kenyataannya (das sein) semua proses
peradilan terutama peradilan pidana, prosesnya
menghabiskan waktu yang lebih banyak.
Hal ini berkaitan dengan permasalahan
kewenangan penuntutan tindak pidana pencucian
uang yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum KPK.
Sebagaimana diketahui kewenangan penuntutan
tersebut belum diatur secara jelas di dalam
peraturan perundang-undangan sehingga
penuntutan tindak pidana pencucian uang
seharusnya diserahkan kepada Jaksa Penuntut
Umum di bawah Kejaksaan Agung bukan Jaksa
Penuntut Umum KPK sebagaimana peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Mengutip
19 Marwan Effendy, 2012, Sistem Peradilan Pidana (Tinjauan Terhadap beberapa perkembangan hukum pidana), Referensi, Jakarta, hlm. 72-73.20 Ibid.21 Ibid., hlm. 73.
2120
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi.....(Muhammad Fadli)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 15 - 24
23 Marwan Effendy, Op.Cit., hlm. 75.
22 Dewi Mardiani, Pakar: KPK Tak Keliru Bila Gunakan TPPU, http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/ 13/11/22/mwnyqt-pakar-kpk-tak-keliru-bila-gunakan-tppu, diakses pada tanggal 20 Desember 2013.
pendapat Mudzakir, “Kewenangan KPK dalam
tindak pidana pencucian uang itu dasarnya adalah
UU PPTPPU yang baru dan Undang-Undang
Pengadilan Tipikor. Dalam undang-undang itu
kewenangan KPK terbatas melakukan penyelidikan
dan penyidikan tindak pidana pencucian uang.
Kewenangan penuntutan itu berada dan harus di
tangan Jaksa di bawah Kejaksaan Agung. Tidak
disebutkan bahwa termasuk jaksa yang dimiliki 22KPK.”
Jika penuntutan tindak pidana pencucian
uang yang disidik oleh KPK diserahkan kepada
Jaksa Penuntut Umum di bawah Kejaksaan Agung
tentunya tidak akan berjalan efektif, hal ini
dikarenakan penuntutan tindak pidana korupsi
yang disidik oleh KPK akan di sidangkan di tempat
berbeda dengan penunututan tindak pidana
pencucian uang yang disidik oleh KPK sehingga
proses peradilan tidak lagi dapat berjalan efektif dan
efisien [Hal tersebut disebabkan, hasil penyidikan
penyidik KPK terhadap tindak pidana pencucian
uang yang disidik bersama tindak pidana korupsi
akan diserahkan kepada Kejaksaan Negeri
kemudian dilakukan penuntutan tersendiri di
pengadilan yang berbeda. Hal ini tentunya akan
melalui proses yang panjang dan tidak efisien
begitupula dalam hal pemeriksaan saksi-saksi di
persidangan], karena saksi yang sama akan
bersaksi di pengadilan yang berbeda. Hal tersebut
sangat berbeda jauh dengan tujuan yang
diharapkan dalam Undang Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 2
Ayat (4) yang menyatakan bahwa: peradilan
dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan. Hal yang lebih menghawatirkan adalah
terjadinya disparitas putusan. Jika putusan
peradilan terhadap tindak pidana asal tidak terbukti
sedangkan di pengadilan berbeda tindak pidana
pencucian uang tersebut terbukti dilakukan. Hal ini
tentunya akan menjadi permasalahan ke depannya.
Berdasarkan uraian di atas, diperlukan suatu
solusi atau penyelesaian yang lebih mendasar dan
ide pemikiran kembali sehingga kewenangan
penuntutan KPK dalam tindak pidana pencucian
uang memiliki kepastian hukum dan asas peradilan
sederhana, cepat, dan biaya ringan sehingga dapat
benar-benar direalisasikan. Salah satu cara yang
perlu dilakukan adalah segera melakukan revisi
terhadap UU KPK dan UU PPTPPU untuk
memperluas kewenangan Jaksa Penuntut Umum
KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian
uang. Hal ini sejalan dengan ketentuan yang telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 46 Tahun
2009 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK).
Pasal 5 UU PTPK menyatakan bahwa: Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya
pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara tindak pidana korupsi.
Sedangkan dalam Pasal 6 UU PTPK, dinyatakan
sebagai berikut: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 UU PTPK,
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara: a. tindak pidana korupsi; b. tindak pidana
pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah
tindak pidana korupsi; dan/atau c. tindak pidana
yang secara tegas dalam undang-undang lain
ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam pengadilan
tindak pidana korupsi kompetensi peradilan dalam
menangani tindak pidana korupsi telah diperluas
dalam mengadili tindak pidana pencucian uang
yang tindak pidana asalnya berasal dari tindak
pidana korupsi. Seharusnya hal tersebut juga
diatur pula dalam UU KPK maupun UU PPTPPU
kewenangan penyidikan KPK sekaligus penuntutan
terhadap tindak pidana pencucian uang yang
berasal dari tindak pidana korupsi. Dengan
demikian, proses penyidikan dan penuntutannya
dapat dilakukan secara efektif seperti yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009
tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang
berwenang mengadili tindak pidana pencucian
uang yang tindak pidana asalnya berasal dari
tindak pidana korupsi sehingga proses peradilan
akan berjalan efektif dan efisien (speedy trial). Selain
itu dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, dinyatakan bahwa: “Pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.” Jadi perkara tindak pidana
pencucian uang yang diajukan oleh Jaksa Penuntut
Umum KPK ke pengadilan tindak pidana korupsi
tetap menjadi wajib untuk diperiksa dan diadili oleh
pengadilan tindak pidana korupsi.
Jika melihat penggabungan proses penyidikan
tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian
uang, maka akan lebih efektif dan efisien jika berkas
hasil penyidikan tindak pidana pencucian uang juga
dilimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum KPK,
tidak lagi melimpahkan kepada Jaksa penuntut
Umum yang ada di Kejaksaan Negeri. Mengingat
pengadilan tindak pidana korupsi yang
dikhususkan mengadili tindak pidana korupsi telah
diberikan wewenang oleh undang-undang mengadili
tindak pidana pencucian uang yang berasal dari
tindak pidana korupsi. Seharusnya kewenangan
jaksa penuntut umum yang ada di KPK yang
dikhususkan melakukan penuntutan tindak pidana
korupsi diperluas dalam hal melakukan penuntutan
tindak pidana pencucian uang yang berasal dari
tindak pidana korupsi, sehingga speedy
investigation, speedy posecution, dan speedy trial
dapat tercipta. Prinsip Speedy investigation, speedy
prosecution, dan speedy trial sejalan dengan asas di
KUHAP dan UU Kekuasaan Kehakiman yaitu, asas
peradilan cepat, sederhana, dan biaya murah atau
ringan dengan tetap mempertimbangkan keadilan 23dan kepastian hukum.
C. Penutup
UU KPK memberikan kewenangan kepada KPK
dalam melakukan penyidikan dan penuntutan
tindak pidana korupsi. Akan tetapi di dalam
undang-undang tersebut tidak diatur secara tegas
mengenai kewenangan Jaksa Penuntut Umum KPK
dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang,
sedangkan di dalam UU PPTPPU hanya
memberikan kewenangan kepada KPK dalam
menyidik tindak pidana pencucian uang yang
tindak pidana asal (predicate crime) merupakan
tindak pidana korupsi. Kewenangan Jaksa
Penuntut Umum di KPK masih sebatas kewenangan
dalam melakukan penuntutan tindak pidana
korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Ayat (2)
UU KPK. Di lain pihak, kewenangan pengadilan
tindak pidana korupsi telah diperluas dalam
mengadili tindak pidana pencucian uang yang
tindak pidana asalnya berasal dari tindak pidana
korupsi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor
46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi. Sebaiknya kewenangan Jaksa Penuntut
Umum KPK juga turut diperluas dalam melakukan
penuntutan tindak pidana pencucian uang yang
tindak pidana asalnya atau predicate crime-nya
adalah tindak pidana korupsi. Maka penuntutan
dapat dilakukan secara efektif dan “tidak berbelit-
belit” sehingga tindak pidana asal dan tindak
pidana pencucian uang dapat disidangkan satu
pengadilan.
Sebagai negara hukum segala tindakan
pemerintah atau lembaga negara harus didasarkan
atas ketentuan hukum yang berlaku. Kewenangan
Jaksa Penuntut Umum KPK masih terbatas dalam
penuntutan tindak pidana korupsi. Kewenangan
penuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK terhadap
tindak pidana pencucian uang belum diatur secara
tegas dalam peraturan perundang-undangan
sehingga diperlukan dasar hukum ke depannya.
Agar kewenangan tersebut dapat dijalankan dan
selaras dengan kewenangan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi yang kewenangannya telah
diperluas dalam mengadili tindak pidana pencucian
uang yang tindak pidana asalnya dari tindak pidana
korupsi. Selain itu, jika Jaksa Penuntut Umum di
KPK diberi kewenangan penuntutan, maka proses
penyidikan hingga penuntutan tindak pidana
pencucian uang di KPK dapat saling berkaitan
sehingga proses peradilan cepat, sederhana, dan
biaya ringan atau peradilan cepat (speedy trial) dan
tidak berbelit-belit dapat diwujudkan sebagaimana
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Daftar Pustaka
Buku
Ali, Achmad. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal
T h e o r y ) d n T e o r i P e r a d i l a n
(Judicialprudence). Jakarta: Kencana.
Djafar Saidi, Muhammad. 2007. Perlindungan
Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian
Sengketa Pajak. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Djaja, Ermansjah. 2009. Memberantas Korupsi
Bersama KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi). Jakarta: Sinar Grafika.
Effendy, Marwan. 2012. Sistem Peradilan Pidana
(Tinjauan Terhadap beberapa perkembangan
hukum pidana). Jakarta: Referensi.
Garnasih, Yenti. 2003. Kriminalisasi Pencucian
Uang (Money laundering). Jakarta:
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
Hamzah, Andi. 1996. Hukum Acara Pidana
Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: CV Sapta
Artha Jaya.
2322
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi.....(Muhammad Fadli)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 15 - 24
1 Maria Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,(Jakarta: Penerbit KOMPAS, 2008), hlm. 165.
HR, Ridwan. 2011. Hukum Administrasi Negara
edisi revisi. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Huda, Ni'matul. 2005. Hukum Tata Negara
Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Jahja, Juni Sjafrien. 2012. Melawan Money
laundering (mengenal, mencegah, &
memberantas Tindak Pidana Pencucian
Uang). Jakarta: Visimedia.
Kelsen, Hans. 2011. Teori Hukum Murni Dasar-
Dasar Ilmu Hukum Normatif. Bandung: Nusa
Media.
Makarao, Muhammad Taufik dan Suhasril. 2004.
Hukum Acara Pidana dalam Teori dan
Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Muhammad, Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana
Kontemporer. Bandung: PT Citra Aditya
bakti.
Ridwan, Juniarso dan Achmad Sodik Sudrajat.
2012. Hukum Administrasi Negara dan
Kebijakan Pelayanan Publik. Bandung:
Nuansa Cendekia.
Sjahputra, Iman. 2006. Money Laundering (Suatu
Pengantar). Jakarta: Harvarindo.
Siahaan, N.H.T. 2008. Money Laundering &
Kejahatan Perbankan Edisi Revisi. Jakarta:
Jala Permata.
Yusuf, Muhammad, dkk. 2011. Ikhtisar Ketentuan
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang. The Indonesia
Netherlands National Legal Reports Program
(NLPR): Jakarta.
Makalah
Garnasih, Yenti. Penanganan Kejahatan Aliran
Dana Perbankan, Korupsi, dan Pencucian
Uang, Makalah disampaikan Pada
Simposium Nasional Hukum Pidana dan
Kriminologi dengan tema “Rekonseptualisasi
Politik Kriminal dan Persfektif Kriminologi
dalam Penegakan Hukum di Indonesia”,
diselenggarakan oleh Masyarakat Hukum
Pidana dan Kriminologi bekerjasama dengan
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Makassar di Auditorium Prof. Amiruddin
Universitas Hasanuddin Makassar, pada
tanggal 19 Maret 2013.
Sumber Elektronik
Mardiani, Dewi. 2013. Pakar: KPK Tak Keliru Bila
GunakanTPPU. http://www.republika.
co.id/berita/nasional/hukum/13/11/22/m
wnyqt-pakar-kpk-tak-keliru-bila-gunakan-
tppu, diakses pada tanggal 20 Desember
2013.
Rahardjo, Yudho. 2013. Kewenangan Jaksa KPK
Gunakan Pasal TPPU Harus Diperkuat.
http://www.gresnews.com/berita/hukum/9
81111-kewenangan-jaksa-kpk-gunakan-
pasal-tppu-harus-diperkuat/, (dikases pada
tanggal 10 Desember 2013).
Peraturan perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 16 Tahun tentang
Kejaksaan Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang
2524
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 15 - 24
POLITIK AGRARIA DI YOGYAKARTA:
IDENTITAS PARTRIMONIAL & DUALISME HUKUM AGRARIA
( AGRARIAN IN YOGYAKARTA:
PARTRIMONIAL & AGRARIAN LAW
Wasisto Raharjo Jati
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM
Jalan Godean Km.5 Yogyakarta Indonesia
wasisto.raharjo@mail.ugm.ac.id(Naskah diterima 08/01/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014)
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis mengenai dualisme hukum agraria yang berada di Yogyakarta. Adapun
dualisme tersebut telah termanifestasikan dalam dua bentuk yakni implementasi hukum agrarian nasional maupun
hukum agraria kerajaan. Adanya dualisme tersebut menyebakan adanya ambiguitas maupun ambivalensi dalam sistem
pengaturan tanah di Yogyakarta. Ambiguitas tersebut berwujud pada dilemma status tanah antara tanah publik
maupun tanah kerajaan. Ambivalensi dilihat dari sikap pemerintah provinsi yang terjebak dalam status sebagai wakil
pemerintah pusat ataukah kerajaan. Implikasinya adalah konflik status tanah yang belum selesai hingga saat ini
maupun komersialisasi tanah kraton. Maka artikel ini akan berusaha menguraikan lebih lanjut letak ambiguitas dan
ambivalensi hukum agraria tersebut.
Kata kunci: ambiguitas, ambivalensi, hukum agraria nasional, dualisme, hukum agraria kerajaan.
Abstract
This article aims to analyze dualism case of the agrarian legal in Yogyakarta. The dualism has been manifested in two
forms; the implementation of the national agrarian law and the royal agrarian law. The existence of such dualism has
caused ambiguity and ambivalence in the regulation of land in Yogyakarta. The ambiguity manifested in dilemma between
public land and royal land. Ambivalence came from the provincial government's attitude is trapped in status as
representatives of the central government or kingdom. The implication caused the land status of the conflict have not been
completed to date as well as the commercialization of the palace ground. Then, this article will elaborate further about the
lies of ambiguity and ambivalence of the agrarian law.
Keywords: ambiguity, ambivalence, national agrarian law, dualism, royal agrarian law
POLITIC OF
IDENTITY DUALISM)
A. Pendahuluan
Membincangkan masalah hukum agraria di
Daerah Istimewa Yogyakarta sangatlah unik dalam
lanskap politik agraria di Indonesia. Hal ini
dikarenakan di daerah tersebut berlaku hukum
nasional yakni UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok
Agraria dan hukum kerajaan yang keduanya hingga
kini masih eksis diberlakukan. Adanya dualisme
hukum agraria tersebut menjadikan tanah-tanah
yang berada di DIY sendiri menjadi tersekat-sekat
antara tanah nasional, tanah penduduk, tanah
Sultan (Sultan Ground), maupun tanah Pakualaman
(Pakualaman Ground). Adanya perbedaan status
tanah tersebut berasal dari adanya ketentuan Pasal
18 UUD 1945 yang menyatakan negara mengakui
adanya status keistimewaan yang dimiliki daerah
tertentu sebelum beridirinya republik. Hal itulah
yang kemudian mengakomodasi tanah berbasis
kerajaan sendiri memiliki keistimewaan khusus
dalam sistem agraria di Indonesia. Kasus
Yogyakarta sebenarnya sangatlah menarik untuk
dicermati sebagai daerah kerajaan yang memiliki
pengaturan tanah secara kultural tersendiri di saat
daerah-daerah yang sebelumnya berstatus wilayah
kerajaan mengafiliasikan diri ke dalam sistem
agraria nasional. Hak ulayat kerajaan atas tanah
masih diakui sebagai bentuk pengakuan status
istimewa dari negara.
Dalam pola pengaturan hak kepemilikan akan
tanah ulayat/adat berlaku prinsip “het hoagste
richtten aauzien van garand” dimana masyarakat
memiliki hak adat tertinggi untuk mengambil
manfaat atau hasil-hasil yang ada di wilayah
lingkungan hidup mereka serta memiliki kearifan 1lokal untuk memiliki bersama. Pengertian
2 Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal, (Jakarta : Grasindo, 2010), hlm.16.
3 Mungki Kusumaningrum, Status atas Hak Tanah Magersari di Yogyakarta, (Semarang : Progam Pascasarajana, 2004), tesis tidak dipubliksasikan, hlm. 52.4 Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa Dari Masa Ke Masa,(Jakarta : Penerbit Obor, 2008), hlm. 68.
masyarakat di sini ditekankan sebagai masyarakat
genealogis yang terbentuk karena adanya ikatan
kekeluargaan sehingga membentuk suatu 2hubungan yang sangat akrab dan intim. Maka
perkembangan dari hubungan tersebut
menimbulkan adanya pola komunalisasi tanah
secara sepihak oleh para elite dari masyarakat
hukum adat tersebut sehingga kemudian
membentuk kerajaan/daerah vorstenlanden
sendiri. Vorstenlanden merupakan sebuah kerajaan
dalam pola subordinasi kekuasaan kolonial yang
terpisah dari pemerintahan kolonial seperti halnya
Mangkunegaran, Kasunanan, Pakualaman, dan
Kasultanan yang umumnya terletak di Jawa.
Secara konstitusional, hak ulayat atas tanah di
DIY diakui dari berbagai bentuk perundangan mulai
dari UU No.3 Tahun 1950 (yang kemudian diubah
menjadi UU No.9 Tahun 1955) tentang
Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta
maupun yang terbaru kini UU No. 13 Tahun 2012
tentang Keistimewaan Yogyakarta. Tanah
kemudian dicantumkan sebagai bagian dari
identitas kultural dan keistimewaan Yogyakarta.
Sementara di lain pihak, UU No. 5 Tahun 1960
tentang Pokok Agraria juga diberlakukan sebagai
Keppres No 33 tahun 1984 juncto Peraturan
Mendagri No 66 tahun 1984, UUPA diberlakukan
secara penuh di DI Yogyakarta tetapi dalam
pengaturan penguasaan tanah hanya diatur
beberapa konversi perorangan bekas hak adat
menjadi hak milik, sedangkan untuk Tanah
Kasultanan (Sultan Ground) dan tanah Pakualaman
(Paku Alam Ground) belum diterapkan konversinya
dalam sistem hukum tanah nasional.
Adapun pemaknaan konversi tersebut
dimaknai sebagai adanya landreform yang selama
ini belum dilaksanakan di Yogyakarta.
Permasalahan konversi tanah ini memang menjadi
peka untuk dibicarakan karena hal tersebut sudah
menyinggung eksistensi keistimewaan Kesultanan
maupun Pakualaman. Dalam pasal 32 UU No.13
Tahun 2012 disebutkan bahwa kerajaan sendiri
adalah subjek hukum yang mengatur tanah
keprabon dan tanah non keprabon. Artinya negara
nasional bertindak sebagai agen ganda yakni
mengakui otoritas kerajaan dalam mengatur tanah,
namun juga mengakui otoritas negara dalam
mengatur tanah non keprabon.
Sebenarnya yang menjadi masalah dalam
dualisme hukum agraria di Yogyakarta adalah
masalah hak milik dan hak pakai tanah (angguduh)
yang hingga kini belum terselesaikan dalam
masalah agraria di Yogyakarta. Kedua hak tersebut
yang secara bersamaan diakui hukum justru
mengundang rivalitas dan kontestasi antar
keduanya. Rivalitas keduanya bersumber pada pola
saling klaim-mengklaim status tanah yang banyak
terjadi kasusnya di Yogyakarta. Namun di lain
kesempatan, kedua hak agraria tersebut juga
memiliki harmonis Oleh karena itulah, sangatlah
urgen dan signifikan untuk melihat penerapan
dualisme hukum agraria yang berlaku di Yogyakarta
ini. Maka yang menjadi pertanyaan penting dalam
pembahasan ini adalah bagaimana bentuk pro-
kontra dalam penerapan hukum agraria di
Yogyakarta?. Pertanyaan tersebut menjadi penting
bagi kita untuk melihat seberapa besar tingkat
harmonisasi ataukah kontestasi dalam penerapan
hukum agraria tersebut. Maka sebelum menjawab
pertanyaan utama tersebut, alangkah baiknya bagi
kita untuk mengetahui lebih lanjut histori legalitas
hukum agraria dalam kasus Yogyakarta.
B. Konstelasi Hukum Agraria di Yogyakarta
Selama masa kolonialisme di Indonesia,
Yogyakarta dinyatakan sebagai negeri yang merdeka
dan diakui eksistensinya oleh penguasa
pemerintahan Hindia Belanda yang berkedudukan
di Batavia. Keberadaan tanah di Yogyakarta diakui
setelah adanya perjanjian Giyanti pada 13 Februari
1775. Yogyakarta bersama Surakarta, Pakualaman,
dan Mangkunegaran diberikan status daerah
kerajaan (vorstenlanden) dan Sultan sebagai pemilik
hak mutlak tanah-tanah di wilayah itu (vorstdomein).
Di dalam sebuah kerajaan tradisional yang bersifat
feodal, persoalan yang bernilai strategis secara politik
bagi kekuasaan Sultan adalah masalah agraria,
dalam hal ini menyangkut kepemilikan atas tanah-
tanah di Kesultanan Yogyakarta. Tanah merupakan
perlambang dari eksistensi kerajaan maupun
legitimasi seorang raja memerintah masyarakatnya.
Maka penguasaan atas seluruh tanah merupakan
manifestasi dari hubungan patronase dari raja
kepada masyarakatnya.
Hubungan yang inheren tersebut ada
dikarenakan adanya dua konsepsi yakni konsepsi
vors tendomein (mi l ik ra ja ) dan juga
vorsteneigendomsrecht (hak milik raja) yang
kemudian mengkultuskan dan menahbiskan raja
adalah segala – segalanya dan semua yang ada
dalam kerajaannya merupakan untuk raja/mutlak
milik raja serta tidak dapat diganggu gugat. Hal itu
kemudiaan diperkuat dengan dikukuhkannya
Rijksblaad van Sultanaat Djogjakarta No. 16, pasal
1, tahun 1918 yang dikeluarkan oleh pihak kraton
yang berbunyi
“Sakabening bumi kang ora ana yektine
kadarbe ing liyan mawa wewenang egendom
dadi bumi kagungane kraton ingsun 3Ngajogjakarta Hadiningrat”
Artinya segala tanah yang tidak punya bukti
kepemilikan ataupun bukan dalam kekuasaan hak
eigendom pemerintahan kolonial menjadi tanah
milik Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam hal
ini dapat pula dideskripsikan bahwa Yogyakarta
memiliki pola kepatuhan terhadap kehidupan
tanah leluhur serta memiliki corak keistimewaan
dengan kraton yang dipimpin oleh sultan dan
memiliki pola pengelolaan tanah sendiri.
Aturan Rijkblad Kasultanan Tahun 1821 No.16
dan Rijkblad Puro Paku Alaman Tahun 1821 No.18
merupakan bentuk hukum agraria yang
diberlakukan di Yogyakarta selama zaman
kolonialisme Belanda. Adapun substansi dalam
aturan tersebut meliputi pengaturan tanah yang
terbagi hak-hak pakainya seperti berikut ini.
1) “Siti Maosan Ndalem” yakni tanah yang berada
d a l a m k o n t r o l l a n g s u n g S u l t a n
Hamengkubuwono X seperti halnya bangunan
Kraton Yogyakarta.
2) “Siti Kejawen” yakni tanah yang yang diberikan
oleh kerabat Sultan maupun abdi dalem seperti
halnya bangunan ndalem bagi kerabat sultan
maupun tanah perdikan bagi abdi dalem
sebagai balas jasa pengabdian kepada kraton
3) “Siti Magersari” yakni tanah yang digunakan
publik sebagai wujud penghargaan kraton
untuk masyarakat Yogyakarta.
Dalam hal ini tanah magersari sendiri
merupakan hak guna lahan masyarakat untuk
menumpang memakai tanah kraton sepanjang izin
permohonan pemakaiannya disetujui oleh pihak
kraton melalui kantor Kawedanan Hageng
Punokawan (KHP) Wahono Sarto Kriyo dan Tepas
Panitikismo. Adapun karakteristik tanah magersari
ini antara lain dijelaskan di bawah ini :
1) Hak yang sangat lemah
Dikarenakan bila sultan berkehendak atas
suatu tanah magersari yang diduduki
penduduk tertentu maka penduduk itu harus
meninggalkan tanah tersebut dan pindah ke
tempat lainnya.
2) Turun - temurun (erfelijk gebruiksrecht)
Kepemilikan tanah magersari sendiri bersifat
trans generasi serta hanya generasi itu saja
yang boleh memakai tanah tersebut
dikarenakan adanya ikatan pola pewarisan hak
pakai yang hierarkis dan kuat dari generasi
dulu hingga sekarang.
3) Tidak dapat dialihkan (tijdelijke vervreemding)
Tidak dapat dialihkan di sini lebih diartikan
sebagai status pengguna lahan tersebut tidak
bole di serahterimakan orang lain yang tidak
sesuai denga perjanjian sewa tanah dengan
kraton dan juga diperjualbelikan tanpa seizin
pihak kraton selaku pemilik tanah yang sah.
Bentuk – bentuk hak konsensi lahan yang
diperbolehkan dan juga diizinkan oleh pihak
kraton antara lain seperti:
1) Hak amanggon
Hak izin yang diberikan oleh pihak kraton
untuk masyarakat Yogyakarta yang
berminat menggunakan lahan magersari
hanya untuk ditempati tinggal beserta
bangunannya dan juga untuk melakukan
kegiatan lainnya.
2) Hak anggadhuh
Hak atas tanah magersari yang diberikan
kepada masyarakat Yogyakarta dalam
bentuk hak pakai lahan dan hak guna lahan.
3) Hak amakarya
Hak amakarya di sini merupakan hak
untuk mendayagunakan tanah magersari
untuk menghasikan produk – produk yang 4menguntungkan (hasil pertanian).
Hukum adat merupakan perangkat hukum
yang beraneka ragam isi norma-norma hukumnya.
Hukum adat masyarakat-masyarakat hukum adat
yang mengatur pertanahan, pada dasarnya ada
keseragaman karena mewujudkan konsepsi, asas-
2726
Politik Agraria Di Yogyakarta.....(Wasisto Raharjo Jati)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 25 - 34
asas hukum dan sistem pengaturan yang sama
dengan hak penguasaan tertinggi yang dalam
perundang-undangan dikenal sebagai hak ulayat.
Istilah hukum adat merupakan terjemahan dari
istilah “adatrecht” yang pertama kalinya
diperkenalkan oleh C. Snouck Hurgonje. Hukum
adat disini diartikan sebagai adat-adat yang
mempunyai akibat hukum. Yogyakarta sebagai
daerah yang masih memiliki kesultanan telah
melakukan politik kontrak dengan belanda ketika
masa penjajahan. Mereka tidak di atur dengan
sebuah UU (ordonantie) melainkan dalam sebuah
perjanjian. Politik kontrak kesultanan Yogyakarta
Pertama kali terjadi pada tanggal 13 Februari 1755.
Yang dikenal dengan nama Perjanjian Giyanti yang
dilanjutkan dengan perjanjian-perjanjian
berikutnya sampai pada politik kontrak kesultanan
Yogyakarta terakhir yang dibuat pada tanggal 18
Maret 1940.
Adapun sistem pola pengelolaan tanah tersebut
dinamakan sebagai tanah/hak magersari dimana
tanah kraton selain dipergunakan oleh sultan dan
kerabatnya juga bisa dipergunakan oleh rakyatnya.
Dari situ kemudian berkembang pandangan bahwa
tanah magersari merupakan wujud caos ndalem
perhatian raja terhadap rakyatnya. Oleh karena itu
kemudian dalam implementasi level praksisnya
adalah tanah kraton dipergunakan oleh rakyatnya
hanya sebatas menempati dan membangun suatu
bangunan tertentu tanpa melakukan kegiatan
transaksi jual beli terhadap keberadaan tanah
kraton yang dipakainya. Namun apabila ada rakyat
yang tidak patuh dengan poin yang terakhir
tersebut, maka yang bersangkutan harus bersiap
hak guna pakai tanah magersari tersebut dan harus
dikembalikan (dikundurake) kepada sultan selaku
pemilik tanah yang sah. Hak magersari atau dalam
bahasa kraton adalah ngindung secara harfiah
merupakan hak seseorang untuk menumpang
dengan asumsi mendirikan atau menempati suatu
tanah pekarangan dengan izin tertentu pula.
Makna ngindung sendiri dalam sistem agraria
di Yogyakarta secara harfiah dimaknai sebagai
menumpang atau secara perdata dapat diartikan
sebagai hak guna bangunan yang didirikan di atas
tanah kerajaan. Ngindung pada mulanya
merupakan bentuk kebijakan raja terhadap
bawahannya agar memiliki tempat tinggal tersendiri
guna melancarkan tugas-tugasnya di kraton.
Adapun pegawai kerajaan yang diberikan hak
ngindung biasanya disesuaikan dengan pangkat
yang mereka peroleh dalam sistem birokrasi
kerajaan. Adapun para kelompok priyayi biasanya
memiliki hak ngindung yang lebih besar
dibandingkan dengan pegawai kerajaan yang 5statusnya sebagai bangsawan. Bangsawan sendiri
selain mempunyai hak guna bangunan juga
memiliki hak menyewakan tanah. Hal ini terkait
sebagai upaya menjaga hubungan patrimonialisme
maupun loyalitas rakyat kepada kerajaan.
Merekalah yang acap kali disebut sebagai broker
tanah di masa kolonialisme karena seringkali
menyewakan tanah untuk kepentingan partikelir
seperti Sedangkan para pegawai kerajaan sendiri
umumnya memiliki hak guna bangunan saja,
namun tidak memepunyai hak menyewakan tanah
kerajaan tersebut.
Adapun ngindung (hak menumpang tanah)
dalam perkembangannya kemudian diperluas tidak
hanya dipergunakan oleh kalangan pegawai kraton
maupun bangsawan semata. Namun juga diperluas
penggunaan konsensi tanah kerajaan tersebut yang
tidak hanya tersebar di wilayah Yogyakarta, namun
juga ada yang berada di kawasan luar Yogyakarta
diklaim ada tanah kerajaan tersebut. Model
pembagian hak ngindung tersebut secara lebih
jelasnya dapat dilihat berikut ini:
a. Tanah yang diberikan kepada hak pakai
(Gebruiksrecht) kepada pemerintah Hindia
Belanda (Gubermen), untuk kantor-kantor,
sekolah-sekolah, rumah-rumah gadai, asrama-
asrama militer/polisi, kereta api. Hak pakai ini
terdaftar pada kantor pendaftaran tanah
(kadaster).
b. Tanah yang diberikan kepada N.I.S untuk
keperluan jalan kereta api.
c. Tanah yang diberikan kepada orang asing/
timur asing dengan hak eigendom dan opstal,
terdaftar pada kantor pendaftaran tanah.
d. Tanah yang diberikan kepada underneming
untuk emplasemen pabrik dan perumahan
pegawainya dengan hak konsensi, telah
berakhir perjanjiannya, sekarang diurus
pemerintah Daerah DIY.
e. Tanah yang diberikan dengan hak pakai kepada
kerabat/sentono raja (tanah kesentanan).
f. Tanah yang diberikan karena jabatan para abdi
dalem sri sultan, seperti: Pepatih Dalem, Bupati
Nayoko, Bupati.
g. Tanah untuk buah-buahan, disebut tanah
kebonan,
h. Tanah untuk pembinaan agama islam,
dinamakan tanah mutihan (tanah untuk
mensucikan diri)
i. Tanah untuk pejabat yang berjasa, disebut
tanah pardikan (tanah pemberian karena jasa-
jasanya)
j. Tanah pekarangan untuk rakyat dalam kota
diberikan dengan hak anganggo.
k. Tanah untuk rakyat diluar kota, diberikan hak
anggarap melalui bekel dan patuh, sebagian
hasilnya dihaturkan kepada raja sebagai bulu
bekti,glendong pengarem-arem.
Maka mengingat besarnya arti historis dan
kemanfaatannya yang tinggi di kalangan
masyarakat Yogyakarta. Koversi tanah kerajaan
menuju tanah nasional yang dikuasai oleh negara
sepenuhnya menjadi terhambat. Dalam hal ini, ada
berbagai permasalahan yang tumpang tindih antara
status tanah yang belum sepenuhnya jelas maupun
hak pemakaiannya. Bagi pihak kraton, tanah jelas
sangatlah penting sebagai aset ekonomi dan aset
budaya yang telah berakar pada sejarah sehingga
masih resisten dengan penguasaan negara. Namun
di satu sisi pula, integrasi Yogyakarta kepada
Republik Indonesia juga harus dimaknai sebagai
bentuk afirmasi Yogyakarta kepada hukum agraria
nasional sehingga wajib melepaskan tanah kerajaan.
Maka dalam titik inilah, sebenarnya tanah sebagai
bagian dari keistimewaan menjadi lokus masalah
penting yang cukup pelik. Bahkan ada berbagai
pihak yang menilai bahwa keberadaan tanah
kerajaan yang berstatus sebagai Sultanaat Grond
maupun Pakualaman Grond sendiri adalah free rider
dalam UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
Yogyakarta. Hal tersebut dikarenakan keistimewaan
sendiri hanya cukup masalah budaya, tata ruang,
maupun penetapan saja. Agenda landreform
(mengganti hukum agraria kolonial dengan hukum
agraria nasional) perlu dikedepankan dalam sistem
pengaturan tanah di Yogyakarta.
C. Kontestasi Hukum Agraria dengan Hukum
Kraton
Sultan Hamengkubuwono IX sebenarnya
sudah menyadari arti kepemilikan hak milik bagi
masyarakat ketika mengintegrasikan diri dalam
wilayah republik. Hak milik sendiri bagi Sultan
adalah upaya memutus feodalisme yang berakar
dalam kultur masyarakat dengan memberikan
kebebasan bagi masyarakat melalui hak
kepemilikan tanah. Dalam aturan yang
dikeluarkannya Peraturan Daerah No.5 Tahun
1954 tentang Hak Tanah di Yogyakarta. Sultan
meniadakan hak keistimewaan kerajaan atas tanah
di Yogyakarta maupun wilayah luar dengan
menghapus Rijksblaad Kasultanan 1918 Nomor 16 6jo. Risjkblaad 1915 Nomor 23. Adanya hak
ngindung selama ini dipandang tidak memiliki
kepastian dan ketentraman hati bagi si pengguna
tanah karena traumatik atas aksi pengambilalihan
tanah secara paksa oleh otoritas kerajaan.
Meskipun pengunaan hak ngindung sendiri dapat
dilakukan secara turun-menurun, namun kerajaan
masih memegang hak milik atas status tanah
tersebut. Hal itulah yang kemudian direformasi oleh
Sultan Hamengkubuwono IX dalam pasal 4 ayat 4
dalam perda tersebut bahwa masyarakat dapat
melakukan sertifikasi hak milik atas tanah kerajaan
jika tanah tersebut sudah ditempati selama 20
tahun. Artinya tanah kerajaan baik itu Sultanaat
Grond maupun Pakualaman Grond bisa diakuisisi
masyarakat berdasarkan hukum nasional. Perda
No. 5 Tahun 1954 yang dikeluarkan oleh Sultan
Hamengkubuwono IX merupakan pionir dalam
pelaksanaan landreform di Indonesia sebelum
diundangkannya UU No. 5 Tahun 1960. Sultan
paham betul bahwa redistribusi tanah secara adil
melalui sertifikasi hak milik merupakan sesuatu
yang esensial dalam hajat hidup orang banyak. Hal
inilah yang kemudian mendorong diterapkannya
reformasi agraria dengan menkonversikan tanah
kerajaan menjadi tanah privat. Selain masih
mempertahankan hak eigendom yakni hak milik
bersama bagi kepemilikan tanah komunal.
Peraturan yang dibuat oleh Sultan tersebut
sangatlah berani dan visioner. Berani dikarenakan
kerajaan harus merelakan keistimewaan ekonomi
yang dimilikinya atas persil-persil tanah tersebut
dengan meredistribususikan tanah secara komunal
kepada masyarakat luas. Visioner karena
feodalisme yang berujung pada sikap penghambaan
rakyat kepada rajanya harus direduksi karena baik
raja maupun masyarakat saling membutuhkan dan
berada dalam posisi yang setara.
Secara garis besar, peraturan tersebut memang
bagus, namun ada penggalan kekurangan yang
5 Gatot Murniatmo, Pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah secara tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Depdikbud, 1989), hlm. 88.
6 Munsyariff, “Kebijakan Pengaturan Pertanahan di Yogyakarta”, paper presented at Focus Group Discution Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional, 23 Desember 2010
2928
Politik Agraria Di Yogyakarta.....(Wasisto Raharjo Jati)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 25 - 34
berada dalam aturan tersebut. Pemerintah daerah
sendiri masih memegang prinsip domeinverklairing
1918 yang mana dikatakan semua tanah yang tidak
bertuan dan tidak bisa dibuktikan secara hukum
maka otomatis akan diakuisisi oleh pemerintah.
Memang domeinverklaring tersebut dalam
peraturan daerah tersebut sudah mereduksi
pengaruh feodalisme kerajaan dalam hak milik
menjadi hak asal-usul atas tanah ulayat sehingga
kemudian membagi tanah di Yogyakarta menjadi
dua macam yakni tanah keprabon dan tanah non
keprabon. Masalahnya yang timbul kemudian
adalah adanya multintepretasi dalam memaknai
hak asal-usul tersebut sebagai bentuk klaim
sepihak kerajaan atas tanah berdasarkan histori.
Hal itulah yang kemudian menjadikannya sebagai
lokus permasalahan dengan hukum agraria
nasional.
Sejatinya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Pokok Pokok Agraria ( UUPA) dan
Keppres Nomor 33 Tahun 1984, membawa
konsekuensi bahwa semua tanah di wilayah
Propinsi DIY tunduk pengaturannya,
penggunaannya, peruntukannya, peralihan
ataupun kepemilikannya. Dalam Diktum IV UUPA
disebutkan bahwa tanah swapraja dan tanah eks-
swapraja yang masih ada pada waktu berlakunya
UU ini hapus danmenjadi tanah negara yang akan
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Adapun dalam ketentuan perundangan lainnya
yakni Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961
mengatur penggunaan/pemanfaatan tanah-tanah
swapraja atau bekas swapraja yang hapus dan 7beralih kepada negara. Legitimasi kuat negara
melalui tanah-tanah kraton Yogyakarta sebagai
tanah eks swapraja dapat disimak dari pengaturan
lahan di Yogyakarta adalah terletak pada poin pasal
3 dalam UU Pokok Agraria yang berbunyi antara
lain:
“ bahwa pelaksanaan tanah ulayat dan hak
yang serupa dengan itu dari masyarakat –
masyarakat hukum adat sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian
rupa sehingga harus sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak
boleh bertentangan dengan Undang – undang
atau peraturan yang lebih tinggi lainnya.”
Artinya hak-hak tanah yang selama ini
bernuansa feodalisme sendiri dikonversikan
menjadi hukum nasional, misalnya saja:
a. Konversi Hak Anggaduh dan Anganggo menjadi
Hak Milik
b. Konversi Hak Andarbe Desa/Kalurahan
menjadi Hak Pakai
c. Konversi Hak Magersari/Ngindung dengan Hak
Sewa,
Oleh karena itulah, sebenarnya masih adanya
status Sultanaat Grond maupun Pakualaman Grond
sebenarnya tidak tersinkronisasi dengan UU Pokok
Agraria. Hal tersebut dapat disimak sebagai berikut ini:
1) Distorsi yang dimulai sejak pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria merupakan
pemicu awal dari munculnya hak-hak atas
tanah “melayang” yang terjadi sekarang ini.
Sandaran hukum adat yang menjadi titik berat
dalam Undang-Undang Pokok Agraria tidak
secara konsisten dijabarkan dalam pasal-
pasalnya. Terlihat dari masih diadopsinya
prinsip-prinsip hak atas tanah barat melalui
konversi hak atas tanah barat seperti Hak
Opstal menjadi Hak Guna Bangunan (HGB)
dan Hak Erfpacht menjadi Hak Guna Usaha
(HGU). Hal itu kemudian menjadi rancu bila
dipaksakan dalam tanah magersari itu sendiri
dikarenakan masyarakat Yogyakarta hanya
mengenal hak milik dan hak pakai. Hak milik di
sini kraton memiliki kepemilikan atas tanah
dan hak pakai dapat dijelaskan masyarakat
hanya diizinkan memakai tanah tersebut
hanya untuk tempat tinggal semata.
2) Undang-Undang Pokok Agraria ini bisa dibilang
sebagai undang-undang sektoral dan masih
ambigu dikarenakan posisi UU ini yang rentan
untuk dibajak dan dilangkahi oleh UU lainnya
semisal UU Pertambangan maupun UU
Eksplorasi Migas yang bisa menuntut warga di
sekitar area tambang tersebut untuk
menyerahkannya kepada negara atas nama
kesejahteraan umum dan itu pun tanpa harus 8melalui izin Undang-Undang Pokok Agraria.
3) Tanah Ulayat/adat sendiri teralienasikan
dengan berbagai peraturan penjelas maupun
peraturan pendukung dari Undang-Undang
Pokok Agraria maupun peraturan tersebut
sehingga masyarakat hukum adat sendiri
merasa termarjinalkan untuk menggunakan
tanah mereka sendiri dan apabila untuk
menggunakannya maka harus minta izin dulu
kepada negara.
Maka yang menjadi hal krusial dalam
menengahi dualism hukum agraria yang berada di
Yogyakarta adalah adanya konsensus bersama
terhadap intepretasi “hak asal-usul” maupun
“setifikasi hak milik”. Selama ini yang berkembang
dalam kontestasi penerapan hukum agraria melalui
UU Pokok Agraria dengan hukum agraria kerajaan
yang diatur dalam Surat Keputusan Kawedanan
Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo No.29/
dan No.K/81 selalu menimbulkan multiintepretasi
banyak pihak menyoal status tanah yang berada di
Yogyakarta. Adapun wacana yang berkembang
mengenai paradigma yang berkembang dalam
memaknai hak asal-usul sendiri dimaknai hak yang
berasal dari pengakuan sejarah bahwa semua
tanah di Yogyakarta sendiri adalah milik kerajaan
sebagai hak ulayat. Maka konteks tanah yang tidak
bertuan atau tidak bisa dibuktikan legalitas
hukumnya akan diakui sebagai tanah kerajaan.
Sedangkan pemahaman sertifikasi hak milik sendiri
dimaknai sebagai bentuk kepemilikan tanah
melalui hak milik setelah menempati tanah tersebut
selama 20 tahun. Kedua pemahaman tersebt
setidaknya saling berivalitas selama ini sehingga
sekiranya perlu dijernihkan pemaknaannya.
D. Multintepretasi atas “Hak Asal-Usul”
dengan “Sertifikasi Hak Milik” dalam
Dualisme Hukum Agraria di Yogyakarta
Yang perlu untuk dijernihkan pertama kali
mengenai kedua hal tersebut adalah status Daerah
Istimewa Yogyakarta sebagai kawasan swapraja
terleih dahulu. Status swapraja yang diberikan
pada Yogyakarta pada dasarnya merupakan
sebentuk kontral politik yang dilakukan oleh
Hamengku Buwono IX dengan ubernur Jendral
Tjarda van Sterkenborgh yang menghasilkan 59
pasal dan 16 ketentuan pokok, menghasilkan
ketentuan tentang kekuasaan Sultan yang bersifat
otonom dalam mengatur tanah miliknya sendiri
(tanah Kasultanan/Sultan Ground). Makna
swapraja yang ditekankan disini adalah perihal
suksesi kekuasaan di Yogyakarta yang
berlangsung secara turun-temurun. Adapun
ketentuan tersebut mengalami makna swapraja
dalam UU No.3 Tahun 1950 sendiri tidak
mengalami perubahan dimana status swapraja
masih diikutkan dalam UU tentang Pembentukan
Daerah Istimewa Yogyakarta ini.
Adapun bagi Sultan Hamengkubuwono IX
selaku integrator Yogyakarta memaknai dimensi
keistimewaan hanya perihal suksesi kekuasaan
dalam kepala daerah semata dengan tujuan
eksistensi kraton dan pakualaman sebagai aset
penjaga budaya tidaklah hilang sama sekali.
Adapun mengenai peraturan pertanahan yang
berada dalam substansi Perda No 5 Tahun 1954
diatur dalam status tanah keprabon dan tanah non
keprabon. Artinya prinsip domeinverklairing 1918
yang termaktub dalam hak asal-usul sendiri lebih
pada pengaturan tanah keprabon tersebut dan
bukanlah merambah pula pada tanah keprabon
tersebut. Namun kemudian makna hak asal-usul
sendiri sering disalahtafsirkan sebagai pengakuan
hak atas tanah yang dinilai belum dilegalkan dan
tidak bertuan secara absolut menjadi milik
kerajaan. Kondisi itulah yang seringkali
menimbulkan adanya perasaan cemas jika adanya
pengambilalihan oleh pemerintaha dengan
mengatasnamakan kraton.
Sedangkan yang dimaksudkan sertifikasi hak
milik di Yogyakarta diatur dalam Kepres No.
33/1984, dan dilanjutkan dengan Perda DIY No. 5
Tahun 1984 menyebutkan bahwa UU Pokok Agraria
sendiri mulai diberlakukan di Yogyakarta pada 1
April 1984. Dalam ketentuan perda tersebut
disebutkan bahwa tanah-tanah kerajaan dapat
disertifikasi hak milik oleh masyarakat jika sudah
ditempati selama 20 tahun lebih, bahkan bisa dibeli
dengan mengajukan konsensi pembelian kepada 9Panitikismo terlebih dahulu. Namun demikian,
adanya praktik pembelian tanah secara besar-
besaran atas tanah Sultan sendiri dinilai akan
merugikan masyarakat kecil yang sudah
menempati tanah kerajaan tersebut selama
bertahun-tahun sehingga pada praktinya praktik
UU Pokok Agraria sendiri belum diberlakukan
dalam pengaturan tanah kerajaan. Namun dalam
perkembangan berikutnya, manakala kraton dan
pakualaman ditetapkan sebagai subjek hukum
dalam UU No.13 Tahun 2012 dinilai menyebabkan
kerancuan tersendiri. Rancunya ialah potensi
konflik pemakaian Sultanaat Grond maupun
penggusuran sepihak bisa dilakukan demi 7 Ibid, hlm. 14.8 Ni'matul Huda, 2000, Beberapa Kendala dalam penyelesaian Status Tanah Bekas Swapraja di DIY, Jurnal Hukum, No. 13 Vol 7, hlm. 90-106. 9 Ahmad Nashih Lutfhi, Keistimewaan Yogyakarta : Yang diingat dan Yang dilupakan, (Yogyakarta: STPN Press, 2009), hlm. 165.
3130
Politik Agraria Di Yogyakarta.....(Wasisto Raharjo Jati)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 25 - 34
kepentingan yang lebih besar. Sekali lagi hal
tersebut menunjukkan adanya ambiguisme antara
pemerintah dengan kerajaan dimana keberadaan
tanah kerajaan sendiri masih dianggap sebagai
persil ekonomi bagi kerajaan. Kondisi tersebut yang
kemdian dimanfaatkan oleh para kerabat keratin
dan pakualaman untuk berbisnis ekonomi dengan
menggunakan tanah kraton dengan menyaru
sebagai investor.
Maka jika dirunut lebih mendalam lagi,
dualisme hukum agraria di Yogyakarta lebih
disebabkan adanya prinsip hukum yang dinilai
masih mengambang dalam sistem agraria nasional.
Pertama, terdapat dua paradigma hukum yang
berlaku yakni Lex Specialis Derogat Legi Generalis
dalam ketentuan pasal 32 UU No.13 Tahun 2012
tentang status kraton dan pakualaman dan Lex
Superior Derogat Legi Inferiori dalam ketentuan
Kepres No. 33/1984, dan dilanjutkan dengan Perda
DIY No. 5 Tahun 1984. Dalam prinsip yang
pertama, UU No 13 Tahun 2012 sendiri dapat
dikatakan lex specialis karena adanya status
keistimewaan bagi provinsi DIY sehingga diberikan
kewenangan tersendiri tentang pembuatan sistem
politik dan hukum salah satunya adalah
pengaturan tanah dengan mengatasnamakan
keistimewaan. Namun pada saat yang bersamaan,
DIY sebagai bagian dari sistem NKRI juga
diberlakukan UU Pokok Agraria melalui Keppres No.
3/1984 dimana Pemerintah DIY wajib menaatinya
sebagai lex superior sehingga dalam peraturan
sistem agraria di Yogyakarta. Pokok substansi yang
mencolok dari UU PA ini adalah asas
domeinverklairing yakni pemerintah provinsi atas
nama pemerintah pusat bisa menganeksasi tanah-
tanah yang dinilai bermasalah dan tidak bisa
dibuktikan secara legal. Pemerintah provinsi wajib
melaksanakannya sebagai agen pemerintah pusat
di daerah dengan mengimplementasikan UU Pokok
Agraria tersebut. Hal inilah yang kemudian
membuat posisi pemerintah DIY dalam upaya
mengeksekusi tanah tak bertuan menjadi tidak
jelas apakah bertindak atas pemerintah pusat
ataukah kerajaan. Dari adanya ruang abu-abu
itulah, komersialisasi tanah kraton maupun penye-
lewengan tanah kraton marak terjadi di Yogyakarta
baik terselubung maupu legal-formal. Meskipun
tanah non keprabon sendiri berstatus independen
dari pengaturan kerajaan, namun bisa saja
pemerintah provinsi melakukan pengaturan tanah
tersebut dengan membonceng kepentingan pusat.
Selain halnya dualisme prinsip hukum yang
mebuat posisi status tanah di Yogyakarta
menjadi dalam posisi “ketidakpastian” dan
“ketidakjelasan”. Masalah lainnya yang perlu
dijernihkan adalah pola tumpang tindih dan
maupun klaim sepihak. Hal inilah yang sekiranya
m e m b u a t k o n f l i k a n t a r a p i h a k
kraton/pakualaman dengan masyarakat perihal
status tanah yang mereka tempati. Maka posisi
pemerintah ataukah kerajaan menjadi kabur di
sini dikarenakana tidak adanya posisi yang jelas
antara dua entitas tersebut. Bagi pihak yang
bersengkata dengan kraton terkait sengketa
tanah kerajaan bisa mendalilkan pasal 7 dalam
perda 5 tahun 1954 yang bisa melakukan
sertifikasi hak milik jika sudah menempati 20
tahun atau dibeli dengan harga pantas.
Sementara bagi pihak pemerintah/kraton,
sengketa tersebut merupakan bagian dari upaya
menghalang-halangi kraton dalam melakukan
inventarisasi tanah maupun pemerintah dalam
mengeksekusi tanah yang belum jelas statusnya
tersebut.
Tabel 1
Maka jika mencermati lebih lanjut mengenai
tabulasi konfl ik tanah kerajaan yang
berlangsung. Secara keseluruhan, konflik sendiri
berlangsung dalam tiga ranah antara
masyarakat, pemerintah, kraton sehingga sulit
dibedakan mana yang benar mana yang salah.
Dalam berbagai hal, masyarakat jelas berharap
adanya sertifikasi hak milik bagi tanah yang
dimilikinya agar terjadi kepastian hukum yang
mententramkan hati penggunannya. Namun di
sisi yang berlawanan, pemerintah jelas betindak
dalam upaya pentertiban tanah sekaligus pula
tetap menjaga sultanaat grond sebagai aset persil
ekonomi bagi kerajaan.
E. Kesimpulan
Adanya dualisme dalam penerapan hukum
agraria di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri telah
membawa dampak pada ambiguitas dan
ambivalensi terhadapa otoritas regulasi agraria
daerah. Adapun ambiguitasnya terletak pada
multintepretasi terhadap pemaknaan “hak asal-
usul” maupun “sertifikasi hak milik” dalam
dualisme hukum agraria di Yogyakarta. Adanya hak
asal-usul tersebut memberikan kewenangan bagi
kraton untuk melakukan penataan dan
menginventarisasi kembali tanah keprabon dan
juga tanah non keprabon yang disinyalir dimiliki
secara tidak sah. Sedangkan sertifikasi hak milik
dimaknai sebagai bentuk demokratisasi agraria
dengan memberikan sertifikasi hak milik tanah
kepada masyarakat sesuai dengan agenda
landreform UU Pokok Agrarai. Ambivalensi dilihat
dari ketidakjelasan posisi pemerintah/kraton
dalam sistem regulasi tanah di Yogyakarta. Sebagai
bawahan pemerintah pusat, secara jelas
pemerintah provinsi harus melaksanankan agenda
reformasi agraria. Namun sebagai kraton,
pemerintah dihadapkan pada konflik kepentingan
mengingat banyaknya kepentingan baik internal
kerabat maupun pebisnis yang menaruh bisnisnya
ats tanah tersebut. Maka kondisi tersebut harus
segera diakhiri dengan menetapkan satu hukum
agraria saja yang berlaku di DIY dan membedakan
dengan jelas antara pemerintah dengan kraton
supaya tidak ada lagi konflik kepentingan atas
tanah-tanah tersebut.
Daftar Pustaka
Huda, Ni'matul. 2000, Beberapa Kendala dalam
penyelesaian Status Tanah Bekas Swapraja
di DIY. Jurnal Hukum.
Kusumaningrum, Mungki. 2004. Status atas Hak
Tanah Magersari di Yogyakarta. Tesis
Pascasarjana UNDIP.
Lutfhi, Ahmad Nashih. 2009. Keistimewaan
Yogyakarta : Yang diingat dan Yang
dilupakan, STPN Press, Yogyakarta. hlm. 165.
Munsyariff, 2010. Kebijakan Pengaturan
Pertanahan di Yogyakarta. Buletin BPN.
Murniatmo, Gatot.1989. Pola Penguasaan,
Pemilikan dan Penggunaan Tanah Secara
Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta,
Depdikbud, Jakarta. hlm. 88.
Saptomo, Ade. 2010. Hukum dan Kearifan Lokal,
Grasindo, Jakarta. hlm.16.
Sumardjono, Maria. 2008. Tanah dalam Perspektif
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Penerbit
KOMPAS, Jakarta. hlm. 165.
Wiradi, Gunawan. 2008. Dua Abad Penguasaan
Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di
Jawa Dari Masa Ke Masa, Penerbit Obor,
Jakarta. hlm.68.
3332
Politik Agraria Di Yogyakarta.....(Wasisto Raharjo Jati)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 25 - 34
2003
Konflik Sultanaat Grond15 penghuni Asrama Gatitomo Tungkak dengan Kraton
2006Sengketa Pasir Besi diPakualaman Grond
PPLP dengan Pemerintah dan Kraton/Pakualaman
2008
Penyelewengan dankomersialisasi Sultanaat Grond di Ambarrukmo
ahli waris SultanHamengku Buwono VIIdengan pemerintah
2012Konflik Hak Guna Sultanaat Grond
Lima warga Suryowijayandengan Kraton/Pemerintah
2013Konflik eksekusi tanah di bekas bioskop Indra
Ahli waris dengan Pemerintah
2013Pembangunan Hotel Quest
Masyarakat denganpemerintah / kraton
Tahun Konflik Sengketa Tanah Aktor yang Berkonflik
OPTIMALISASI PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL (PROLEGNAS)
SEBAGAI INSTRUMEN PERENCANAAN
PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG
(OPTIMALIZATION OF THE PREPARATION OF THE NATIONAL LEGISLATION
PROGRAM (PROLEGNAS) AS A LAW-MAKING PLANNING INSTRUMENT)
Arrista Trimaya
Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan
Sekretariat Jenderal DPR-RI
Jl. Jenderal Gatot subroto, Jakarta 10270, Indonesia
Email: arrista_dpr@yahoo.com
(Naskah diterima 06/01/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui.13/03/2014)
Abstrak
Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas. Prolegnas adalah instrumen perencanaan
penyusunan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Penyusunan Prolegnas antara
DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang
legislasi, sedangkan penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Idealnya Prolegnas harus digunakan sebagai skala prioritas
program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional yang disusun untuk
jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Pada kenyataannya, penyusunan Prolegnas belum dijalankan
secara optimal, baik oleh DPR maupun oleh Pemerintah. Banyak RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas hanya
sekadar dicantumkan judulnya saja, tanpa disertai dengan Naskah Akademiknya, bahkan substansi RUU tersebut
belum dipersiapkan. Akibatnya DPR dan Pemerintah sebagai pemrakarsa RUU sering tidak mampu menjawab alasan
mengapa suatu RUU perlu dibentuk. Hal ini membuat banyak kalangan menilai bahwa Prolegnas belum dapat
digunakan sebagai instrumen penyusunan Undang-Undang. Dengan demikian, penyusunan Prolegnas harus memuat
justifikasi kebutuhan RUU secara nyata dan bukan hanya memuat judul RUU saja, berdasarkan beberapa indikator,
yaitu: tolok ukur yang digunakan dalam penyusunan Prolegnas, koordinasi antara Pemerintah dan DPR dalam
penyusunan dan penetapan Prolegnas, dan pengaruh politik hukum, khusunya politik perundang-undangan agar
penyusunan prolegnas sebagai instrumen perencanaan penyusunan Undang-Undang dapat menjadi optimal.
Kata kunci: Prolegnas, instrumen, Undang-Undang, optimal.
Abstract
Law-making planning is being exercise through Prolegnas. As an instrument for law-making planning, the Prolegnas is
arranged according to the plan, as well as integrated and systematic in its nature. Initial preparation of the Prolegnas
between the House of Representatives and the Government is coordinated by the House of Representatives through a House
organ in charge with legislation. The preparation in the House of Representatives coordinated by Legislation Council (Baleg),
while in the Government, it is being coordinated by the Ministry of Law and Human Rights of Republic of Indonesia. Ideally,
the Prolegnas should serve as a priority in law-making for a forward looking on long, medium, and short terms national legal
system. However, both the House of Representatives and the Government have failed to fully consider Prolegnas as a
priority. There are some drafts in Prolegnas, listed only the title of the bill drafts, without any Academic Manuscript
attachment, and worse, without proposed content of the bill. As a result, the House of Representatives and the Government
as the initiator of the bill are often facing a problem of reasons behind a needed bill to be drafted. This is why some thoughts
that Prolegnas can not deliver its function as an instrument for law-making planning. Therefore, the preparation of Prolegnas
must justify the real need of any bills and not merely listing the title of the bills, based on several indicators, such as the
benchmarks used in the preparation of Prolegnas, coordination between the Government and the House of Representatives
in preparation of law-making and listed bills on Prolegnas, its legal and political influences, especially in legislative politics
so that the preparation of the Prolegnas as an instrument for law-making would be at its best.
Keywords: Prolegnas, instrument, bills, optimal.
3534
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 25 - 34
7 Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 04/DPR RI/II/2012-2013 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2013.8 Suhariyono AR.,2007. Peningkatan Kualitas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia Vol.4 No.2, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, hlm. 36.9 Ahmad Yani, 2011. Pasang Surut Kinerja Legislasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 104.10 Soetandyo Wignjosoebroto, 2008. Program Legislasi Nasional dan Kebutuhan Rakyat, Proceeding Workshop dan FGD Prolegnas Sebagai Politik Pembangunan Hukum Nasional, Baleg DPR RI, 21-22 Mei, Jakarta, hlm.86.
1 Pataniari Siahaan, 2008. Membangun Kerangka Politik Perundang-undangan Yang Jelas dan Terarah Melalui Program Legislasi Nasional, Proceeding Workshop dan FGD Prolegnas Sebagai Politik Pembangunan Hukum Nasional, Baleg DPR RI, Jakarta, hlm. 71.2 Ibid, hlm 72.3 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043.4 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.5 Ibid.6 Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa materi yang diatur dalam Prolegnas yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik.
A. Pendahuluan
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebanyak 4 kali
memberikan dampak yang sangat besar dalam
sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Perubahan tersebut secara khusus telah
menempatkan posisi Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) sebagai pemegang kekuasaan membentuk
Undang-Undang, yang sebelumnya berada di
tangan Presiden. Perubahan paradigma pemegang
kekuasaan membentuk Undang-Undang pada
dasarnya menguatkan posisi DPR sebagai lembaga
perwakilan rakyat, meskipun perubahan tersebut
tidak menghapus keberadaan Presiden untuk turut 1membentuk Undang-Undang.
Perubahan dalam sistem ketatanegaraan
negara Republik Indonesia membawa konsekuensi
bahwa DPR lebih proaktif dalam pembentukan
Undang-Undang, walaupun dalam prosesnya tetap
melibatkan Presiden melalui mekanisme
pembahasan untuk mendapatkan persetujuan 2bersama. Atas dasar kekuasaan signifikan
tersebut, DPR mempunyai fungsi legislasi, yaitu
fungsi membentuk Undang-Undang yang dibahas
dengan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama, sebagaimana tercantum dalam Pasal 69
huruf a Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan 3Perwakilan Rakyat Daerah.
Pembentukan Undang-Undang, baik yang
berasal dari DPR maupun Pemerintah berpijak pada
Prolegnas. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-4undangan mendefinisikan Prolegnas sebagai
instrumen perencanaan program pembentukan
Undang-Undang yang disusun secara terencana,
terpadu, dan sistematis.
Fokus utama Prolegnas tentu berkaitan juga
dengan salah satu elemen dari hukum, yaitu
materi/substansi hukum di dalam pembangunan
sistem hukum yang mencakup empat unsur atau
sub-sistem hukum yang satu sama lain saling
terkait, yaitu: (1) materi atau substansi hukum; (2)
sarana atau kelembagaan hukum; (3) aparatur
hukum; dan (4) budaya atau kesadaran hukum
masyarakat.
Perbedaan antara pengertian Prolegnas sebagai
instrumen dan substansi tersebut penting untuk 5dikemukakan. Hal ini disebabkan selama ini
pemahaman terhadap Prolegnas pada umumnya
cenderung pada pengertian materi/substansi.
Dengan demikian tidak mengherankan apabila ada
sebagian orang yang menganggap bahwa
sesungguhnya Prolegnas itu tidak penting karena
hanya berupa “daftar keinginan” yang diajukan oleh
Kementerian/LPNK, padahal sesungguhnya yang
harus dikedepankan adalah kedudukannya sebagai
instrumen/mekanisme yang merupakan bagian
dari proses pembentukan peraturan perundang-
undangan. Hal ini secara jelas ditegaskan dalam
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
bahwa perencanaan penyusunan Undang-Undang
dilakukan dalam Prolegnas.
Ketentuan mengenai Prolegnas juga diatur
dalam Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005
tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, dan Rancangan
Peraturan Presiden. Secara garis besar dijelaskan
bahwa dalam mempersiapkan Rancangan Undang-
Undang (RUU) yang datang dari Pemerintah, panitia
antarkementerian dan pemrakarsa dapat
mempersiapkan Naskah Akademik-nya terlebih
dahulu. Dalam rapat antarkementerian,
pemrakarsa dapat mengundang pakar, baik dari
perguruan tinggi maupun pihak lainnya. Setelah
RUU selesai dibahas, pemrakarsa diberikan
kesempatan untuk mengadakan sosialisasi kepada
masyarakat. Sosialisasi dimaksudkan sebagai
perwujudan asas keterbukaan untuk mendapatkan
masukan atas substansi RUU.
Prosedur tersebut dalam praktiknya belum
sepenuhnya dijalankan, baik oleh Pemerintah
maupun oleh DPR. Hal inilah yang mengakibatkan
penyusunan RUU tidak optimal. Banyak judul RUU
yang masuk dalam daftar Prolegnas hanya sekedar
dicantumkan judulnya saja, tanpa disertai dengan 6Naskah Akademik, bahkan substansi RUU tersebut
belum dipersiapkan. Pemrakarsa RUU sering tidak
mampu menjawab alasan mengapa suatu RUU
perlu dibentuk sehingga banyak kalangan menilai
Prolegnas hanya merupakan kumpulan daftar judul
RUU tanpa ada patokan yang jelas, baik dari
Pemerintah maupun DPR dalam menentukan RUU
yang menjadi prioritas.
Daftar judul RUU yang telah ditetapkan dalam
daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2013 adalah 70
(tujuh puluh) RUU ditambah 5 (lima) RUU 7kumulatif terbuka. Dari 75 daftar RUU yang telah
ditetapkan, terdapat judul RUU yang mempunyai
kemiripan substansi atau kedekatan substansi. Hal
ini terjadi karena tidak ada paparan atau
keterangan singkat mengenai masing-masing
substansi yang ingin diatur dalam setiap
Rancangan Undang-Undang yang ada dalam Daftar
Rancangan Undang-Undang Prolegnas 2013,
antara lain:
a. substansi pada judul Rancangan Undang-
Undang tentang Keperawatan seharusnya
dapat masuk dalam Rancangan Undang-
Undang tentang Tenaga Kesehatan; dan
b. substansi pada judul Rancangan Undang-
Undang tentang Percepatan Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Rancangan Undang-
Undang tentang Percepatan Pembangunan
Daerah Kepulauan seharusnya dapat
digabungkan dalam satu judul karena
substansi yang tercermin dari kedua judul
tersebut saling berkaitan.
Judul RUU yang mempunyai kemiripan
substansi atau kedekatan substansi tersebut dapat
menimbulkan masalah dan akan membingungkan,
terutama bagi pembentuk RUU terkait dengan
ruang lingkup pengaturan dan materi muatan yang 8akan diatur. Hal ini menunjukkan proses
penyusunan Prolegnas masih membuka peluang
terjadinya ketidaktelitian. Dengan demikian
menjadi sangat penting apabila penyusunan
Prolegnas tahun yang akan datang tidak memuat
judul RUU saja, tetapi juga mencantumkan
ringkasan need analysis atau justifikasi kebutuhan 9RUU, sehingga duplikasi dapat dihindarkan.
B. Latar Belakang Masalah
Untuk menyusun suatu Prolegnas yang
memuat justifikasi kebutuhan RUU secara nyata
dan bukan hanya memuat judul RUU saja, harus
dicantumkan suatu kajian yang memuat ringkasan
kebutuhan tersebut berdasarkan beberapa
indikator. Beberapa indikator yang dapat
digunakan yaitu: apa saja tolok ukur yang
digunakan dalam penyusunan Prolegnas?
Bagaimana koordinasi antara Pemerintah dan DPR
dalam penyusunan dan penetapan Prolegnas agar
dapat berfungsi optimal sebagai instrumen
perencanaan pembentukan Undang-Undang? dan
apakah ada pengaruh politik hukum, khususnya
politik perundang-undangan dalam penyusunan
Prolegnas.
C. Kerangka Teoritis
Hukum yang berisi norma-norma dan aturan-
aturan jika ingin ditaati oleh berbagai kepentingan
harus dapat diimplementasikan dalam hukum
positif yang berlaku dan harus direalisasikan di
lapangan. Aktualisasi dari hukum positif tersebut
tertuang dalam peraturan tertulis yang
mengakomodasikan kepentingan para pihak terkait
agar dapat memaksimalkan manfat yang akan
diperoleh masyarakat. Khusus untuk Undang-
Undang, penuangannya dilakukan dalam bentuk
legislasi, dimana legislasi adalah suatu proses
pembentukan undang-undang (lege<lex), yang
dilakukan oleh suatu badan yang dibentuk secara 10khusus untuk tujuan itu. Dalam hal ini badan
yang dimaksud adalah legislatif (DPR dan
Pemerintah).
Perencanaan penyusunan Undang-Undang
dilakukan dalam suatu Prolegnas. Prolegnas
merupakan instrumen perencanaan program
pembentukan Undang-Undang yang disusun
secara terencana, terpadu, dan sistematis yang
disusun berdasarkan metode dan parameter
tertentu serta dijiwai oleh visi dan misi
pembangunan hukum nasional. Pembangunan
hukum nasional mengandung makna
3736
Optimalisasi Penyusunan Program Legislasi Nasional.....(Arrista Trimaya)Vol. 11 No. 1 - : 35 - 44Maret 2014
teraktualisasinya fungsi hukum sebagai alat
rekayasa sosial (law as a tool of social engineering),
instrumen penyelesaian masalah (dispute
resolution), dan instrumen pengatur perilaku 11masyarakat (social control).
D. Pembahasan
D.1.Tolok Ukur Dalam Penyusunan Prolegnas
Pembentukan Undang-Undang, baik yang
berasal dari DPR maupun Pemerintah berpijak pada
Prolegnas. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
menyatakan bahwa perencanaan program
pembentukan Undang-Undang disusun secara
terencana, terpadu, dan sistematis diatur dalam
Prolegnas. Lebih lanjut ketentuan Pasal 18
menyatakan bahwa dalam penyusunan Prolegnas
tersebut penyusunan daftar RUU didasarkan atas:
a. perintah Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat;
c. perintah Undang-Undang lainnya;
d. sistem perencanaan pembangunan nasional;
e. rencana pembangunan jangka panjang
nasional;
f. rencana pembangunan jangka menengah;
g. rencana kerja Pemerintah dan rencana
strategis DPR; dan
h. aspirasi kebutuhan hukum masyarakat.
Penyusunan Prolegnas didasarkan pada visi
pembangunan nasional, yaitu terwujudnya Negara
hukum yang adil dan demokratis melalui
pembangunan sistem hukum nasional dengan
membentuk peraturan perundang-undangan yang
aspiratif.
Sedangkan maksud dan tujuan penyusunan
Prolegnas yaitu:
a. memberikan gambaran obyektif tentang
kondisi umum di bidang peraturan perundang-
undangan tingkat pusat;
b. menyusun skala prioritas penyusunan RUU
s e b a g a i s u a t u p r o g r a m y a n g
berkesinambungan dan terpadu sebagai
pedoman bersama dalam pembentukan
Undang-Undang oleh lembaga yang berwenang
dalam rangka mewujudkan sistem hukum
nasional;
c. menyelenggarakan sinergi antara lembaga yang
berwenang membentuk peraturan perundang-
undangan di tingkat pusat;
d. mempercepat proses pembentukan
perundang-undangan sebagai bagian dari
pembentukan sistem hukum nasional;
e. membentuk peraturan perundang-undangan
sebagai landasan dan perekat bidang
p e m b a n g u n a n l a i n n y a , s e r t a
mengaktualisasikan fungsi hukum sebagai
sarana rekayasa sosial/pembangunan,
instrumen pencegah/penyelesaian sengketa,
pengatur perilaku anggota masyarakat dan
sarana pengintegrasian bangsa dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
f. mendukung upaya dalam rangka mewujudkan
supremasi hukum, terutama penggantian
terhadap peraturan perundang-undangan
warisan kolonial dan hukum nasional yang
sudah tidak sesuai dengan perkembangan
masyarakat;
g. menyempurnakan peraturan perundang-
undangan yang sudah ada selama ini namun
tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan
masyarakat; serta
h. membentuk peraturan perundang-undangan
baru sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan 12masyarakat.
Pelaksanaan Prolegnas sampai dengan tahun
2009-2014 belum menunjukkan hasi l
pembangunan hukum yang sesuai dengan harapan
dan rasa keadilan masyarakat. Hukum belum
secara sungguh-sungguh memihak kepada
kepentingan rakyat dan hukum yang berlaku masih
belum dapat mengimplementasikan nilai-nilai atau
norma-norma yang hidup di dalam masyarakat,
padahal sudah ada penentuan skala priotas dalam
Prolegnas. Dalam menyusun Prolegnas khususnya
di DPR yang dikoordinasikan oleh Baleg memang
sudah beberapa kali dilakukan Rapat Dengar
Pendapat Umum (RDPU) guna menerima masukan 1 3dari masyarakat. Meskipun demikian
sesungguhnya usaha tersebut jauh dari maksimal.
Partisipasi masyarakat dalam penyusunan
Prolegnas seharusnya lebih dari sekedar RDPU,
mengingat jika hanya melalui RDPU, batas waktu
yang diberikan bagi masyarakat untuk dapat
memberikan masukan sangat pendek. Hal ini
tentunya akan sangat berpengaruh terhadap
kualitas masukan/saran yang diberikan oleh
masyarakat kepada Baleg.
Prolegnas merupakan proses penting dalam
perencanaan penyusunan Undang-Undang.
Sebagai perangkat pengaturan legal–formal dalam
kehidupan bernegara, Undang-Undang seharusnya
dapat merespon kebutuhan masyarakat yang
mendesak. Terlebih lagi dalam konteks perbaikan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang tengah
dilakukan di Indonesia. Undang-Undang
seharusnya dapat secara jeli membidik persoalan-
persoalan penting dalam masyarakat. Dalam
konteks ini, prioritas penyusunan Undang-Undang
menjadi hal yang strategis. Tidak adanya prioritas
yang jelas sejak awal akan membuat Undang-
Undang yang penting justru hanya mendapatkan
porsi waktu yang sedikit sehingga kualitas
substansinya menurun untuk tetap dapat
mengakomodasi aspirasi daerah.
Di samping itu, ketentuan Perpres Nomor 68
Tahun 2005 harus benar-benar dijalankan, yaitu
bahwa pengajuan Prolegnas jangan hanya judul-
judul saja, tapi juga harus dilengkapi dengan NA
s e b a g a i l a n d a s a n y a n g d a p a t
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hal ini
dikuatkan dengan ketentuan Pasal 43 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang menyatakan
bahwa RUU yang berasal dari DPR, Presiden, atau
DPD harus disertai Naskah Akademik. Kemudian,
jika dalam keadaan tertentu Pemerintah akan
mengajukan usul RUU di luar Prolegnas, maka
terlebih dahulu harus mengajukan izin prakarsa
kepada Presiden, dengan disertai penjelasan
mengenai konsepsi pengaturan RUU yang meliputi:
a. urgensi dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang ingin diwujudkan;
c. pokok pikiran, lingkup, atau obyek yang akan
diatur; dan
14d. jangkauan serta arah pengaturan.
Sedangkan keadaan tertentu yang dimaksud
adalah:
a. untuk menetapkan Perpu menjadi Undang-
Undang;
b. untuk meratifikasi konvensi atau perjanjian
internasional;
c. untuk melaksanakan putusan Mahkamah
Konstitusi;
d. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan
konflik, atau bencana alam; dan
e. keadaan tertentu lainnya yang memastikan
adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang
dapat disetujui bersama oleh Baleg DPR dan 15Menteri.
D.2.Koordinasi antara Pemerintah dan DPR
dalam Penyusunan Prolegnas
Sampai saat ini beberapa prosedur
penyusunan Prolegnas belum efektif berlaku. Hal ini
disebabkan karena:
a. penyusunan peraturan perundang-undangan
masih mengabaikan pentingnya kegiatan
koordinasi lintas atau antar-lembaga;
b. sinkronisasi, harmonisasi seluruh peraturan
perundang-undangan untuk membuka akses
dan meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pembentukan Undang-Undang; dan
c. kurangnya sosialisasi produk perundang-
undangan yang terbentuk dan telah 16diundangkan.
Berkaitan dengan harmonisasi masih terdapat
p e r m a s a l a h a n k h u s u s , m i s a l n y a
pengharmonisasian dalam kerangka penyusunan
Prolegnas sampai saat ini belum berjalan dan belum
terkonsepsi dengan jelas. Forum konsultasi sebagai
media pengharmonisasian RUU pada saat ini
dilaksanakan dalam bentuk rapat Pembahasan
Tahunan Prolegnas yang cenderung hanya 17menyusun daftar prioritas Prolegnas.
Di samping itu, terdapat permasalahan lain
yang sering timbul dalam penyusunan Prolegnas,
yaitu tidak semua RUU diajukan instansi
pemrakarsa melalui satu pintu, yaitu melalui
Menteri Hukum dan HAM. Terdapat beberapa RUU
yang tiba-tiba sampai ke DPR; sebagian RUU adalah
non-Prolegnas bahkan berhasil disahkan oleh DPR.
Setiap tahun terjadinya penambahan RUU prioritas
11 Jurnal Legislasi Indonesia, 2005. Program Legislasi Nasional, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI,, Vol. 2, Nomor. 1-Maret, hlm. iii.12 Proceeding Workshop dan FGD Prolegnas Sebagai Politik Pembangunan Hukum Nasional, 2008. Baleg DPR RI, Jakarta, hlm. 4. 13 Ketentuan mengenai RDPU diatur dalam Pasal 137 ayat (2) Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
14 Pasal 3 ayat (1) Perpres Nomor 68 Tahun 2005.15 Pasal 3 ayat (2) Perpres Nomor 68 Tahun 2005.16 Penulis turut menjadi tim pendamping dalam pembahasan Perubahan RUU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan mendasarkan pada Risalah Pembahasan RUU dimaksud yang telah dibukukan oleh Sekretariat Jenderal DPR RI dalam Buku Proses Pembahasan Perubahan RUU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.17 Chairijah, 2008. Peran Program Legislasi Nasional Dalam Pembangunan Hukum Nasional. Disampaikan pada Diklat Penyusunan dan Perancangan Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, hlm 5.
3938
Optimalisasi Penyusunan Program Legislasi Nasional.....(Arrista Trimaya)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 35 - 44
23 Satya Arinanto, 2007. Hukum Sebagai Produk Politik dan Politik Hukum. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.4.24 Rival Gulam Ahmad, Bivitri Susanti, et.al. 2007. Jurus Merancang Peraturan Untuk Transformasi Sosial: Sebuah Manual Untuk Praktisi, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta, hlm. 21.25 M.P. Jain, Administrative Law Of Malaysia and Singapore, 1989. Kuala Lumpur: Malayan Law Jurnal Pte. Ltd, dalam Satya Arinanto,2008. Politik Hukum 3, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.19.26 Satya Arinanto, Op.Cit., hlm. 6.27 Derick W. Brinkerhoff dan Benjamin L. Crosby, Managing Policy Reform, Concepts, and Tools for Decision Makers in Developing and Trasitioning Countries, 2002. Kumarian Press Inc., California, hlm. 55 dalam Bivitri Susanti, Rival Ghulam Ahmad, et.al., 2006. Catatan PSHK tentang Kinerja Legislasi DPR 2005, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta, hlm. 59.
dari jumlah yang telah ditetapkan. Untuk keadaan
tertentu sebagaimana ditentukan oleh Pasal 23 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 hal ini
diperbolehkan, misalnya untuk mengatasi keadaan
luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam, dan
keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya
urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat
disetujui DPR dan pemerintah.
Permasalahan lainnya adalah penyusunan
Prolegnas di lingkungan Pemerintah seringkali tidak
didukung oleh kelengkapan data pokok program
pengajuan RUU maupun data pendukung dari
Kementerian/LPNK yang mengajukan program
RUU-nya sehingga berakibat kurangnya akurasi
dalam pengelolaannya. Intinya, koordinasi dan
konsultasi penyusunan Prolegnas antara Badan
Legislasi dan Menteri Hukum dan HAM merupakan
suatu forum untuk membicarakan pembangunan
hukum dalam kurun waktu tertentu. Pada
kenyataannya, koordinasi dan konsultasi ini masih
bersifat menggabungkan antara RUU dari DPR dan
RUU dari Pemerintah. Dalam hal ini kondisi yang
dihadapi adalah adanya kesulitan untuk
menentukan alasan mengapa suatu RUU masuk ke
dalam Prolegnas.
Kesulitan yang paling tampak dalam koordinasi
penyusunan Prolegnas adalah menetapkan urutan
prioritas RUU untuk satu tahun. Penataan
Prolegnas berdasarkan urutan akan mengalami
kesulitan, pertama, terkait dengan indikator yang
akan digunakan dan, kedua, berhubungan dengan 18implementasi program. Dengan demikian dalam
menetukan prioritas RUU salah satu indikator yang
digunakan adalah bahwa RUU tersebut sudah
tersusun draf RUU-nya dan sudah dilengkapi
dengan Naskah Akademiknya. Sistem dan prosedur
semakin penting sebagai pedoman penyusunan
Prolegnas dan penyusunan RUU, baik di
lingkungan DPR maupun Pemerintah, yang
memuat tahapan penyiapan dan penyusunan
Prolegnas dan RUU, mulai dari kegiatan
inventarisasi, pengumpulan data, penyusunan draf
Prolegnas atau Naskah Akademik RUU, sampai
pada penetapan Prolegnas atau perumusan naskah 19 awal RUU.
Menurut penelitian yang dilakukan PSHK,
proses penentuan prioritas input penyusunan
Prolegnas lebih banyak diwarnai oleh daftar kriteria
topik tanpa penjelasan mengenai masalah yang ada,
signifikansi dan urgensi, pokok-pokok pengaturan,
dan ruang lingkup peraturan. Prosedurnya pun
biasanya berupa pengumpulan daftar usulan tanpa
pembahasan. Akibatnya seringkali daftar Undang-
Undang dalam Prolegnas tidak mempunyai visi,
yaitu ke arah mana negara mau dibawa dalam
konteks pembentukan peraturan perundang-
undangan. Padahal visi dalam pembentukan
Undang-Undang merupakan hal penting karena
kebanyakan perubahan sistemik dalam masa 20transisi dilakukan melalui Undang-Undang.
Dengan demikian untuk mengatasi berbagai
persoalan tersebut, mutlak diperlukan koordinasi
antara DPR dan Pemerintah dalam penyusunan
dan penetapan Prolegnas, khususnya dalam
penentuan RUU skala prioritas. Hal ini
dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih
dalam pengaturan materi muatan dari judul-judul
RUU yang sudah diajukan dalam Prolegnas.
Penyusunan Prolegnas oleh DPR dan Pemerintah
harus dilaksanakan secara terencana, terpadu, dan
sistematis yang pelaksanaannya dikoordinasikan
oleh DPR melalui Baleg sehingga Prolegnas dapat
berfungsi optimal sebagai instrumen perencanaan 21pembentukan Undang-Undang.
D.3.Pengaruh Politik Hukum dalam Penyusunan
Prolegnas
Di masa orde baru, proses legislasi dijauhkan
dari masyarakat. Partisipasi tidak dikenal dalam
istilah penyusunan peraturan perundang-
undangan. Elite politik mendominasi proses
legislasi. Masyarakat diposisikan sebagai obyek
pembangunan, bukan pelaku perubahan sosial.
Hukum juga digunakan sebagai alat untuk
melakukan rekayasa sosial (law as a tool of social 22engineering), suatu perubahan sosial yang
dirancang penguasa untuk mencapai target
pembangunannya. Ketika hukum menjadi alat
rekayasa sosial, peraturan pun dilihat sebagai alat
untuk membentuk perubahan sosial tertentu yang
diinginkan penguasa.
Perancangan peraturan atau proses legislasi
mau tidak mau bertumpu pada visi pemegang
kekuasaan negara, bahkan mencari dan
mempertahankan kekuasaan pun menjadi
persoalan. Ini mewarnai proses legislasi dan
menjadikannya sebagai politik legislasi. Artinya
cara-cara pembentukan peraturan dengan sengaja
dipilih oleh penguasa. Cara-cara tersebut untuk
mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan oleh
penguasa. Akibatnya, peraturan bisa diarahkan
pada tujuan-tujuan tertentu.
Keadaan tersebut masih berlangsung sampai
era reformasi ini. Dalam penyusunan Prolegnas,
kerapkali dijumpai intervensi dalam penyusunan
dan pembuatan Undang-Undang dari segi politik.
Banyak RUU yang kental dengan muatan politik
lebih diutamakan untuk dibahas daripada RUU
yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat.
Misalnya, saat pembahasan RUU Pemilu dan RUU
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, lebih
banyak diminati oleh ”wakil rakyat” daripada saat
pembahasan RUU di bidang kesejahteraan rakyat.
Hal ini disebabkan dalam dua RUU tersebut banyak
kepentingan ”yang bermain” untuk mengatas-
namakan partai politiknya. Disini jelas terlihat
bahwa hukum sebagai produk politik, dalam arti
Undang-Undang yang dihasilkan nantinya
merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak 23politik yang saling berinteraksi dan bersaingan.
Namun demikian, memang dibenarkan jika
politik dapat melakukan intervensi terhadap
pembentukan dan pelaksanaan hukum sebab
hukum bukanlah merupakan suatu subsistem
yang ster i l dar i subsistem-subsistem
kemasyarakatan lainnya. Khusus untuk politik
legislasi berkisar antara lain pada:
a. sasaran pengaturan;
b. peran elite politik;
c. peran masyarakat;
d. posisi perancang; dan
24e. metode perancangan peraturan.
Sebagian besar kehidupan sosial-ekonomi
rakyat semakin berkembang. Keadaan ini juga
menciptakan kebutuhan akan legislasi. Hukum
diperlukan untuk mengambil tindakan apapun
yang mempengaruhi orang, badan, properti, atau
hak. Namun selain fungsi legislasi, fungsi lain juga
diperlukan, seperti melangsungkan debat pada
permasalahan-permasalahan kepentingan
nasional, mendiskusikan anggaran, ventilasi 25kepentingan publik, dan lain-lain.
Untuk meminimalisir intervensi politik dalam
produk legislasi yang dihasilkan, sangat diperlukan
konfigurasi politik demokratis, di mana dalam
susunan sistem politik membuka kesempatan bagi
partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif
menentukan kebijaksanaan umum. Partisipasi ini
ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil
rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang
didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan
diselenggarakan dalam suasana terjadinya 26kebebasan politik.
Konsep participary governance juga dapat
diterapkan dalam penyusunan Prolegnas yang
aspiratif. Masyarakat tidak semestinya berdiam diri
dan mengeluhkan pemerintahan yang tidak peduli
pada persoalan masyarakat. Masyarakat
mempunyai hak dan kewajiban untuk
menyampaikan pesan pada Pemerintah tentang
kebutuhannya, serta bagaimana Pemerintah
seharusnya memenuhi kebutuhan mereka
tersebut, lewat kebijakan yang diambil. Partisipasi
bertujuan memastikan keberhasilan pelaksanaan
suatu kebijakan. Meningkatkan partisipasi akan
membantu memastikan bahwa kepentingan
masyarakat dapat lebih besar terpenuhi dan dapat
menghasilkan titik temu antara kepentingan
tersebut dengan solusi yang diambil, yang pada
akhirnya meningkatkan kepuasan banyak pihak 27 akan suatu kebijakan.
E. Kesimpulan
1. Prolegnas harus disusun dengan tolak ukur
kebutuhan riil masyarakat dan harus
sungguh-sungguh memihak kepada
kepentingan rakyat pada umumnya. DPR dan
Pemerintah harus mempunyai jangkauan ke
18 Muhammad A.S Hikam, 2005. Pembentukan Undang-Undang Berdasarkan Program legislasi Nasional, dalam Jurnal Legislasi Indonesia: Program Legislasi Nasional, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI,), Nomor 1 Vol. 2, Jakarta, hlm. 28.19 Ibid.20 Masukan PSHK Untuk Badan Legislasi DPR Dalam Penyusunan Program Legislasi Nasional, disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Badan Legislasi DPR, November, 2004.21 Pasal 2 Perpres Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional.22 Teori ini dikemukakan oleh Roscoe Pound,seorang ahli Sosiologi hukum, menurutnya hukum merupakan alat dan sarana untuk merekayasa tertib kehidupan dalam masyarakat.
4140
Optimalisasi Penyusunan Program Legislasi Nasional.....(Arrista Trimaya)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 35 - 44
depan (visioner) dalam pembuatan RUU,
maksudnya RUU yang disusun sedapat
mungkin akan mengimplementasikan nilai-
nilai atau norma-norma yang hidup di dalam
m a s y a r a k a t s e r t a m e n g a k o m o d i r
permasalahan di masyarakat. Dalam
pengajuan Prolegnas juga harus dilengkapi
dengan NA sebagai landasan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah sesuai
dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 yang menyatkan bahwa
RUU yang berasal dari DPR, Presiden, atau
DPD harus disertai Naskah Akademik.
2. Koordinasi antara DPR dan Pemerintah dalam
penyusunan dan penetapan Prolegnas mutlak
diperlukan, khususnya dalam penentuan RUU
skala prioritas. Hal ini dimaksudkan agar tidak
terjadi tumpang tindih dalam pengaturan
materi muatan dari judul-judul RUU yang
sudah diajukan dalam Prolegnas. Penyusunan
Prolegnas oleh DPR dan Pemerintah harus
dilaksanakan secara terencana, terpadu, dan
s i s t e m a t i s y a n g p e l a k s a n a a n n y a
dikoordinasikan oleh DPR melalui Baleg
sehingga Prolegnas dapat berfungsi optimal
sebagai instrumen perencanaan pembentukan
Undang-Undang.
3. Pengaruh politik hukum, khusunya politik
perundang-undangan dalam penyusunan
Prolegnas, masih sangat kuat terutama dalam
penyusunan dan pembahasan RUU yang
kental dengan muatan politis. Namun, untuk
meminimalisir intervensi politik dalam produk
legislasi yang dihasilkan, sangat diperlukan
partisipasi rakyat dalam penyusunan Prolegnas
agar RUU yang dihasilkan dapat optimal untuk
menjawab kebutuhan masyarakat.
Daftar Pustaka
Buku
Ahmad, Rival Gulam. Bivitri Susanti, et.al. 2007.
Jurus Merancang Peraturan Untuk
Transformasi Sosial: Sebuah Manual Untuk
Praktisi. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan,
Arinanto, Satya. 2008. Politik Hukum 1. Jakarta:
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Sekretariat Jenderal DPR RI, 2009. Evaluasi
Prolegnas 2005-2009. Jakarta: Badan
Legislasi DPR Republik Inndonesia.
Susanti, Bivitri. Rival Ghulam Ahmad, et.al. 2006.
Catatan PSHK tentang Kinerja Legislasi DPR
2005. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan.
Wignjosoebroto, Soetandyo. 2002. Hukum:
Paradigma, Metode, dan Dinamika
Masalahnya. Jakarta: Elsam dan Huma.
Yani, Ahmad. 2011. Pasang Surut Kinerja Legislasi,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Artikel
AR, Suhariyono. 2007. Peningkatan Kualitas
Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia. Jurnal Legislasi
Indonesia Vol.4 No.2, Jakarta: Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan
Departemen Hukum Dan Hak Asasi
Manusia.
Hikam, A.S Muhammad. 2005. Pembentukan
Undang-Undang Berdasarkan Program
legislasi Nasional, dalam Jurnal Legislasi
Indonesia: Program Legislasi Nasional. Vol.
2, Nomor. 1-Maret, Jakarta: Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan
Departemen Hukum dan HAM RI.
Oka Mahendra, A.A. 2005. Program Legislasi
Nas iona l Ins t rumen Perencanaan
Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, dalam Jurnal Legislasi Indonesia:
Program Legislasi Nasional, Vol. 2, Nomor. 1-
Maret, Jakarta: Dierktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan Departemen
Hukum dan HAM RI.
Siahaan, Pataniari. 2008. Membangun Kerangka
Politik Perundang-undangan Yang Jelas dan
Terarah Melalui Program Legislasi Nasional.
Proceeding Workshop dan FGD Prolegnas
Sebagai Politik Pembangunan Hukum
Nasional, Jakarta: Baleg DPR RI.
Thaib, Dahlan. 2008. Membangun Kualitas Produk
Legislasi Nasional dan Daerah. Proceeding
Workshop dan FGD Prolegnas Sebagai Politik
Pembangunan Hukum Nasional, Jakarta:
Baleg DPR RI.
Wignjosoebroto, Soetandyo. 2008. Program Legislasi
Nasional dan Kebutuhan Rakyat. Proceeding
Workshop dan FGD Prolegnas Sebagai Politik
Pembangunan Hukum Nasional. Jakarta:
Baleg DPR RI.
Sumber Lain Yang Tidak Diterbitkan
Arinanto, Satya. 2008. Hukum Sebagai Produk
Politik dan Politik Hukum. Jakarta: Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
Chairijah. 2008. Peran Program Legislasi Nasional
Dalam Pembangunan Hukum Nasional.
Disampaikan pada Diklat Penyusunan dan
Perancangan Peraturan Perundang-
undangan Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia, Jakarta.
Peraturan Dasar dan Peraturan Perundang-
undangan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia (MPR RI). Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 27
T a h u n 2 0 0 9 t e n t a n g M a j e l i s
Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 123,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5043.
______Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan., Lembaran Negara Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5234.
______Peraturan Presiden tentang Tata Cara
Penyusunan dan Pengelolaan Program
Legislasi Nasional. Perpres Nomor 61 Tahun
2005.
______Peraturan Presiden tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, dan Rancangan Peraturan
Presiden. Perpres Nomor 68 Tahun 2005.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Keputusan DPR tentang Program Legislasi
Nasional Rancangan Undang-Undang
Prioritas Tahun 2013. Keputusan DPR
Nomor: 04/DPR RI/II/2012-2013, Jakarta:
Sekretariat Jenderal DPR RI.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Keputusan DPR tentang Peraturan Tata Tertib
Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia. Keputusan DPR Nomor 08/DPR
RI/I/2005-2006, Jakarta: Sekretariat
Jenderal DPR RI.
4342
Optimalisasi Penyusunan Program Legislasi Nasional.....(Arrista Trimaya)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 35 - 44
1 Mahmul Siregar, “Kepastian Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional dan Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 27 No. 4, 2008, hlm 64.2 Dionisius Narjoko, Policy Brief: Akibat Globalisasi Terhadap Kinerja Tenaga Kerja Pengalaman dari Sektor Tekstil dan Garmen Indonesia. http://www.dlsu.edu.ph/research/centers/aki/_pdf/_onGoingProjects/_indonesia/pbEmployment Drivers.pdf, diakses 27 Desember 2013.
MENDORONG LAHIRNYA PERATURAN DAERAH TENTANG
RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING
DI KOTA MEDAN
(ENCOURAGING THE BIRTH OF THE LOCAL REGULATION
ON RETRIBUTION FEES RENEWAL LICENSE
FOR HIRING FOREIGN WORKERS AT MEDAN CITY)
Budi S.P Nababan
Fungsional Perancang Pertama Peraturan Perundang-undangan pada Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara
Jl. Putri Hijau No. 4, Medan 20112, Indonesia, Telp. 0813-61459795
Email : budinababan.bn@gmail.com
(Naskah diterima 27/01/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014)
Abstrak
Globalisasi telah mempengaruhi situasi tenaga kerja, salah satunya adalah fenomena tenaga kerja asing. Kehadiran
tenaga kerja asing merupakan tambang emas bagi pendapatan asli daerah. Berdasarkan ketetentuan Pasal 150 huruf c
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Pasal 15 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 97 Tahun 20l2 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan lzin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing, Pemerintah Daerah dapat memungut retribusi perpanjangan izin mempekerjakan
tenaga kerja asing. Namun sampai saat ini Kota Medan belum memiliki Peraturan Daerah (perda) tentang Retribusi
Perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing sehingga terhadap tenaga kerja asing tidak dapat dipungut
retribusi perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing. Dengan demikian jelas bahwa Perda tentang Retribusi
Perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing conditio sine quanon bagi pemungutan retribusi perpanjangan
lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di Kota Medan.
Kata kunci: Tenaga Kerja Asing, Retribusi, Peraturan Daerah.
Abstract
Globalization has affected the work force condition. One of the conditions is the foreign workers phenomenon. The
attendance of foreign workers is a gold mine for local revenue. Based on Article 150 letter c of Law Number 28 of 2009 on
Regional Tax and Regional Retribution as well as Article 15 paragraph (2) of Government Regulation Number 97 of 20l2 on
Fees and Levies Traffic Control Extension License for Hiring Foreign Workers. Local Government can collect renewal license
retribution for foreign workers. But until now Medan City does not have Local Regulations (Perda) on Fees Renewal License
for Hiring Foreign Workers, so that the foreign workers are free from retribution renewal. It is clear that the Local Regulation
on Fees Renewal License for Hiring Foreign Workers is a (conditio sine quanon) for license renewal retribution collecting for
hiring foreign workers in Medan City.
Keywords: Foreign Workers, Retribution, Local Regulation.
berbagai penjuru dunia, terjadi pula migrasi
penduduk atau pergerakan tenaga kerja antar
negara. Pergerakan tenaga kerja antar negara ini 1dikenal dengan globalisasi tenaga kerja. Globalisasi
tenaga kerja telah mempengaruhi situasi
keterampilan dan pengetahuan tenaga kerja di 2Indonesia. Di Indonesia kehadiran pekerja asing
sebagai suatu kebutuhan sekaligus tantangan yang
A. Pendahuluan
Secara harafiah globalisasi berarti proses
transformasi dari fenomena lokal menuju ke arah
global. Globalisasi telah mengubah masyarakat
dan jika masyarakat berubah, hukum pun akan
ikut berubah sesuai dengan adagium ibi societas
ibi ius.
Salah satu wujud nyata dari globalisasi adalah
terjadinya pergerakan aliran modal dan investasi ke
4544
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 35 - 44
8 Pemerintah Akan Atur Tenaga Kerja Asing, http://www.m.tempo.co/read/news/2013/11/06/090527514/, diakses tanggal 27 Januari 2014. 9 HR Abdussalam, Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta, Restu Agung, 2008, hlm 322.10 Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) secara khusus diatur dalam Kepmenekertrans Nomor 220 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pengesahan RPTKA. RPTKA menjadi dasar untuk memperoleh IMTA. Adapun pengaturan IMTA diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 20/Men/2004 Tentang Tata Cara Memperoleh IMTA dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 07/Men/2006 Tentang Penyederhanaan Prosedur Memperoleh IMTA.
tidak dapat dihindari lagi, karena negara kita 3membutuhkan tenaga asing pada berbagai sektor.
Tenaga kerja asing (selanjutnya disingkat TKA)
sudah menjadi fenomena yang lumrah sebagai
bagian dari tenaga kerja di Indonesia. Pada akhir
tahun 2005 tercatat sebanyak 50.903 TKA yang
bekerja di Indonesia. Jumlah ini meningkat
dibandingkan pada tahun 2004 yang berjumlah
43.091 orang. Sebagian besar TKA tersebut bekerja
di sektor industri yaitu 13.212 orang (25,95 %),
sektor perdagangan sebanyak 9.817 orang (19,28
%) dan paling sedikit di sektor pertanian sebanyak
1.103 orang (2,17 %). Selanjutnya jumlah TKA atau
ekspatriat yang bekerja di Indonesia per Januari 4hingga Agustus 2013 sebanyak 48.002 orang.
Kehadiran TKA dalam perekonomian nasional
suatu negara mampu menciptakan kompetisi yang
bermuara pada efisiensi dan meningkatkan daya
saing perekonomian. Dipandang dari filosofis dan
spirit globalisasi, pada negara berkembang
penggunaan TKA dimaksudkan untuk alih
pengetahuan (transfer of knowledge) dan alih 5teknologi (transfer of technology) .
Dalam menggunakan TKA, Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279) mensyaratkan pemberi
kerja TKA untuk mendapatkan izin tertulis dari
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau
Pejabat yang ditunjuk yaitu izin memperkerjakan
tenaga kerja asing yang dapat diberikan untuk
jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat
diperpanjang. Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja
Asing (selanjutnya disingkat IMTA) ini sebenarnya
merupakan tambang emas bagi Pemerintah
Daerah. Retribusi Perpanjangan IMTA merupakan
salah satu retribusi yang diperbolehkan Pemerintah
Pusat untuk dipungut oleh Pemerintah Daerah
dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli
Daerahnya.
Sebagai bagian dari negara hukum, tentunya
segala kebijakan dan tindakan Pemerintah Kota
Medan harus berdasarkan aturan hukum. Hal ini
menjadi syarat mutlak untuk memungut pajak
maupun retribusi dari masyarakat, karena
pemungutan pajak dan retribusi tanpa didasari
aturan hukum merupakan perampokan. Di
Amerika Serikat dikenal dengan dalil “Taxation
Without Representation Is Robbery” sedangkan di
Inggris dikenal dengan dalil “No Taxation Without
Representation”.
Kedua dalil tersebut memiliki esensi yang sama
dengan kandungan Pasal 23A UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan
bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan Negara harus diatur
dengan undang-undang”. Sehingga berdasarkan
ketentuan Pasal 23A konstitusi ini, tanpa adanya
pengaturan (regeling) tidak ada landasan yuridis
bagi Pemerintah untuk memungut pajak ataupun
retribusi.
Cukup banyak orang asing yang bekerja di 6Kota Medan, namun sayangnya sampai sekarang
Kota Medan belum memiliki peraturan daerah
sebagai dasar hukum dalam pemungutan retribusi
perpanjangan IMTA. Padahal keberadaan para TKA
tersebut mampu memberikan kontribusi bagi kas
daerah Kota Medan.
Oleh karena itu penulis mencoba mengkaji
mengapa diperlukan Peraturan Daerah Tentang
Retribusi Perpanjangan IMTA di Kota Medan. Dalam
hal ini penulis mengkajinya secara yuridis normatif
yang didasarkan pada sumber kepustakaan
mengenai penggunaan tenaga kerja asing,
pengaturan hukum terhadap tenaga kerja asing,
serta retribusi daerah.
B. Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang
Ketenagakerjaan menyebutkan TKA adalah warga
Negara asing pemegang visa dengan maksud
bekerja di wilayah Indonesia. TKA di Indonesia
dibatasi dan sangat selektif penggunaan. Hal ini
dimaksudkan dalam rangka mendayagunakan
tenaga kerja Indonesia secara optimal serta
memberikan kesempatan kerja yang lebih luas bagi 7tenaga kerja Indonesia. Menurut Sunarno, Staf Ahli
Menteri Bidang Hubungan Antar Lembaga di
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, saat
ini komposisi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah
adalah sebanyak 49% maksimal diisi oleh TKA, 8sisanya 51% diisi oleh TKI.
Tujuan penggunaan TKA adalah untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kerja terampil dan
profesional di bidang tertentu yang belum dapat
diisi oleh tenaga kerja Indonesia serta mempercepat
proses pembangunan nasional dengan jalan
mempercepat alih ilmu pengetahuan dan tekonologi
dan meningkatkan investasi asing sebagai 9penunjang pembangunan di Indonesia.
Oleh karena itu, pada prinsipnya ada 2 (dua)
alasan utama mempekerjakan TKA, yakni:
a. TKA yang bersangkutan membawa modal
(sebagai investor) dalam rangka membuka
lapangan pekerjaan atau kesempatan kerja
yang lebih luas;
b. TKA yang akan dipekerjakan harus memiliki
keahlian (skill) atau wawasan pada bidang
tertentu yang belum dipunya atau dikuasai
oleh tenaga kerja Indonesia sehingga
diharapkan terjadinya alih pengetahuan
(transfer of knowledge) dan alih teknologi
(transfer of technology).
Dalam penempatan TKA di Indonesia, beberapa
yang penting yang harus diperhatikan adalah
sebagai berikut:
a. Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan
tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis
dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk,
kecuali bagi perwakilan negara asing yang
mempergunakan tenaga kerja asing sebagai
pegawai diplomatik dan konsuler tidak wajib
memiliki izin.
b. Pemberi kerja orang perseorangan dilarang
mempekerjakan tenaga kerja asing.
c. Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di
Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk
jabatan tertentu dan waktu tertentu.
d. Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja
asing harus memiliki rencana penggunaan 10tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri.
Untuk mendapatkan izin penggunaan TKA,
perusahaan pengguna TKA harus membuat lebih
dulu Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing
(RPTKA). RPTKA adalah rencana penggunaan TKA
pada jabatan tertentu yang dibuat oleh Pemberi
Kerja TKA (kecuali Instansi Pemerintah, Badan-
Badan Internasional dan Perwakilan Negara Asing)
untuk jangka waktu tertentu yang disahkan oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Dengan kata
lain RPTKA merupakan dasar untuk mendapatkan
izin mempekerjakan tenaga kerja asing. RPTKA ini
sekurang-kurangnya memuat alasan penggunaan,
jabatan TKA, jangka waktu penggunaan, dan
penunjukkan tenaga kerja pendamping.
C. Pengaturan Hukum Terhadap Tenaga Kerja
Asing
Ditinjau dari aspek hukum ketenagakerjaan,
pengaturan mengenai TKA pada dasarnya adalah
untuk menjamin dan memberi kesempatan kerja
yang layak bagi warga negara Indonesia di berbagai
lapangan dan level pekerjaan. Karenanya dalam
mempekerjakan TKA di Indonesia dilakukan
melalui mekanisme dan prosedur yang ketat
dimulai dengan seleksi dan prosedur perizinan
hingga pengawasan.
Sampai dengan sekarang pengaturan hukum
tentang TKA masih tersebar dalam berbagai
peraturan perundang-undangan. Beberapa
peraturan perundang-undangan tersebut yang
masih relevan antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan khususnya Bab VIII
menyangkut penggunaan TKA;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2012
tentang Jenis dan Tarif Atas Penerimaan
Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
c. Keputusan Presiden Nomor 75 tahun 1995
tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga
Negara Asing Pendatang;
d. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor: 223/Men/2003 tentang
Jabatan-Jabatan Di Lembaga Pendidikan Yang
Dikecualikan Dari Kewajiban Membayar
Kompensasi;3 Situasi Tenaga Kerja Dan Kesempatan Tenaga Kerja Di Indonesia, Jakarta 2006, Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan Badan Penelitian, Pengembangan, dan Informasi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I.4 Tahun 2013 Jumlah Pekerja Asing Di Indonesia Menurun. http://www.m.tribunnews.com, diakses tanggal 20 Januari 2014.5 Tim Perbankan dan Enquiry Point, Tenaga Kerja Asing Pada Perbankan Nasional. Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 5, Nomor 3, Desember 2007, hlm 1.6 Berdasarkan data yang ada di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan sebanyak 148 pencari kerja pada tahun 2012 menyampaikan permohonan izin untuk menjadi tenaga kerja asing. Kota Medan Dalam Angka 2013, Badan Pusat Statistik Kota Medan.7 Penjelasan Pasal 42 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
4746
Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah.....(Budi S.P Nababan)Vol. 11 No. 1 - : 45 - 54Maret 2014
e. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor: 228/Men/2003 tentang
Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja Asing;
f. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor: 20/Men/III/2004
tentang Tata Cara Memperoleh Ijin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing;
g. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor: No. 21/Men/IV/2004
tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Sebagai Pemandu Nyanyi;
h. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor: 07/MEN/III/2006 juncto
Nomor: 15/MEN/2006 tentang Penyederhanaan
Prosedur Penerbitan Ijin Mempekerjakan Tenaga
Kerja Asing;
i. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor: 02/Men/XII/2004
tentang Pelaksanaan Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Asing; dan
j. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor: 02/Men/III/2008 tentang
Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Selain diatur dalam peraturan perundang-
undangan di bidang ketenagakerjaan, penggunaan
TKA juga harus memperhatikan peraturan lain
seperti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian, Peraturan Pemerintah Nomor
31 Tahun 1994 tentang Pengawasan Orang Asing
dan Tindakan Keimigrasian dan Peraturan Daerah
tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan
Tenaga Kerja Asing dimana TKA tersebut bekerja.
D. Retribusi Daerah Dalam Bingkai Otonomi
Daerah
Perkembangan masyarakat Indonesia di era
orde baru telah memberikan pengalaman yang
cukup berarti, antara lain kebijakan di daerah yang
diputuskan dari pusat berdasarkan pendekatan
“top down” sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan
di daerah, maka salah satu cara mengatasi
ketidaksesuaian antara kebijakan yang ditetapkan
pusat dengan kondisi daerah adalah harus segera
dibuat sebuah kerangka kebijakan yang sangat
strategis. Kerangka inilah yang dikenal dengan 11otonomi daerah.
Kerangka otonomi daerah telah disusun dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang ini
kemudian dilengkapi dengan sejumlah peraturan
turunannya telah membawa perubahan dalam
pelaksanaan tata kepemerintahan di daerah.
Pemerintahan daerah menurut Undang-Undang
tentang Pemerintahan Daerah ialah penyelenggaraan
urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan
DPRD, menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam UUD
1945. Asas otonomi daerah ialah hak, wewenang dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan
perundang-undangan. Sedangkan tugas
pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah
kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah
provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa
serta dari pemerintah kabupaten/ kota kepada desa
untuk melaksanakan tugas tertentu.
Dalam alam otonomi, Pemerintah Daerah
diberikan kesempatan agar berkembang sesuai
dengan kemampuan sendiri dan tidak bergantung
sepenuhnya pada Pemerintah Pusat. Selain itu
dalam otonomi daerah terjadi efisiensi alokasi arus
barang publik ke daerah, mendekatkan pelayanan
kepada masyarakat lokal guna mendorong
demokratisasi, mengakomodasi aspirasi dan
partisipasi masyarakat daerah.
Selanjutnya Pemerintah Daerah diberi
kewenangan membuat kebijakan untuk mengatur 12rumah tangganya sendiri (desentralisasi). Seiring
dengan kewenangan yang telah diberikan,
Pemerintah Daerah juga dibebani tanggung jawab
yang sangat besar dalam mengatur dan mengurus
rumah tangganya. Ini berarti Pemerintah Daerah
membutuhkan pendanaan yang sangat besar
dalam mendanai kelangsungan hidup daerahnya.
Untuk mendukung pendanaan atas urusan
Pemerintah Daerah, undang-undang tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Daerah telah menegaskan bahwa sumber-
sumber pendanaan pelaksanaan pemerintahan
daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah, Dana
Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-lain
pendapatan yang sah.
Pendapatan Asli Daerah merupakan
pendapatan Daerah yang bersumber dari hasil
pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan
lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, yang
bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada
Daerah dalam menggali pendanaan dalam
pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan 13asas desentralisasi. Pendapatan Asli Daerah
antara lain berupa pajak daerah dan retribusi
daerah, diharapkan menjadi salah satu sumber
pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan daerah untuk meningkatkan dan
memeratakan kesejahteraan masyarakat.
Terkait dengan retribusi daerah, Undang-
Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
yang lama hanya mengatur prinsip-prinsip dalam
menetapkan jenis retribusi yang dapat dipungut
daerah, sehingga provinsi maupun kabupaten/kota
diberi kewenangan untuk menetapkan jenis
retribusi selain yang ditetapkan dalam peraturan
pemerintah. Pemberian peluang Pemerintah Daerah
untuk menetapkan retribusi selain yang telah
ditentukan dalam peraturan pemerintah pada
awalnya diharapkan agar dapat meningkatkan
penerimaan daerah, namun kenyataannya hampir
semua pungutan baru yang ditetapkan oleh daerah
memberikan dampak yang kurang baik terhadap
iklim investasi. Banyak pungutan daerah yang
mengakibatkan ekonomi biaya tinggi karena
tumpang tindih dengan pungutan pusat dan 14merintangi arus barang dan jasa antar daerah.
Menyadari bahwa kewenangan perpajakan dan
retribusi yang ada saat itu kurang mendukung
pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Pusat
menggantinya dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5049) dengan
tujuan sebagai berikut:
1. Memberikan kewenangan yang lebih besar
kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi
sejalan dengan semakin besarnya tanggung
jawab Daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat.
2. Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam
penyediaan layanan dan penyelenggaraan
pemerintahan dan sekaligus memperkuat
otonomi daerah.
3. Memberikan kepastian bagi dunia usaha
mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan
sekaligus memperkuat dasar hukum
pemungutan pajak daerah dan retribusi
daerah.
Lahirnya Undang-Undang tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah yang baru tersebut
juga diikuti dengan sejumlah peraturan pelaksana
seperti Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun
2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas
dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan
Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 216, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5358).
Bahkan beberapa Pemerintah Daerah telah
merespons ketentuan Pasal 150 huruf c Undang-
Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
dan Pasal 15 ayat (2) Peraturan Pemerintah tentang
Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi
Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja
Asing dengan membentuk Perda tentang Retribusi
Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja
Asing, seperti Provinsi Bali, Kabupaten Muara
Enim, Sumatera Selatan dan Kota Batam.
E. Pembentukan Perda Tentang Retribusi
Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga
Kerja Asing Di Kota Medan
Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh
Pemerintah Daerah sebagaimana yang
diamanatkan oleh Pasal 18 ayat (6) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
11 Syaukani, Menatap Harapan Masa Depan Otonomi Daerah, Gerbang Dayaku, Yogyakarta, 2000, hlm 139-140. 12 Adapun keuntungan yang dapat diperoleh dari kebijakan desentralisasi, yakni:
a. Memberikan peluang akses bagi Daerah setidaknya terhadap ketersediaan anggaran dalam APBN dan optimalisasi penerimaan Daerah;
b. Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota berada pada posisi yang relatif lebih baik daripada Pemerintah Pusat dalam meningkatkan efisiensi dan efektifitas perpajakan pada sektor tertentu bagi perekonomian daerah;
c. Daerah dapat membantu meningkatkan mobilisasi sumber-sumber penerimaan daerah sejalan dengan meningkatnya penerimaan perpajakan nasional.
Jusuf Anwar, Tantangan Implementasi Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 Dalam Membangun Ekonomi Daerah. Makalah Seminar Program Magister Ekonomika UGM, Sheraton Mustika Hotel, Yogyakarta, 4 Juni 2005, hlm 5.
13 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438).14 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049).
4948
Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah.....(Budi S.P Nababan)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 45 - 54
masyarakat, mengingat retribusi perpanjangan IMTA
sebelumnya merupakan pungutan Pemerintah Pusat
berupa PNBP yang kemudian menjadi retribusi
daerah. Selain itu tarif retribusi perpanjangan IMTA
yang akan ditetapkan berdasarkan tingkat
penggunaan jasa dan tidak melebihi tarif PNBP
perpanjangan IMTA yang berlaku pada kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang ketenagakerjaan. Pemanfaatan penerimaan
retribusi perpanjangan IMTA diutamakan untuk
mendanai kegiatan pengembangan keahlian dan
keterampilan tenaga kerja lokal yang alokasinya
ditetapkan melalui APBD.
Namun sayangnya pihak eksekutif maupun
pihak legislatif Kota Medan sepertinya belum
menyadari sepenuhnya potensi ini. Padahal Kota
Medan sebagai kota terbesar ke tiga di Indonesia
memiliki cukup banyak orang asing yang memohon
izin untuk bekerja seperti yang tersaji pada Tabel 1
dibawah ini.
Tabel 1Pemohon Izin TKA Tahun 2012
15 Refly Harun, Mempertimbangkan Hak-hak Konstitusional Warga Negara dalam Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, Makalah disampaikan dalam Expert Meeting: Penguatan Partisipasi Masyarakat dalam Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), Padang 21-22 Februari 2005, hlm. 8.16 David Kairupan, Aspek Hukum Penanaman Modal Asing Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm.7. 17 Buchari Zaenun, Administrasi dan Manajemen Pemerintah Negara Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1990), hlm. 5.18 Pasal 150 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049); “Jenis Retribusi selain yang ditetapkan dalam Pasal 110 ayat (1), Pasal 127, dan Pasal 141 sepanjang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Retribusi Jasa Umum:
1. Retribusi Jasa Umum bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Usaha atau Retribusi Perizinan Tertentu;
2. jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi;
3. jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau Badan yang diharuskan membayar retribusi, disamping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum;
4. jasa tersebut hanya diberikan kepada orang pribadi atau Badan yang membayar retribusi dengan memberikan keringanan bagi masyarakat yang tidak mampu;
5. Retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraannya;
6. Retribusi dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah yang potensial; dan
7. pemungutan Retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan/atau kualitas pelayanan yang lebih baik.
b. Retribusi Jasa Usaha:
1. Retribusi Jasa Usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Umum atau Retribusi Perizinan Tertentu; dan
2. jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang seyogyanya disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang dimiliki/dikuasai Daerah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh Pemerintah Daerah.
c. Retribusi Perizinan Tertentu:
1. perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka asas desentralisasi;
2. perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum; dan
3. biaya yang menjadi beban Daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perizinan; ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”.
19 Adapun proses perpanjangan IMTA adalah sebagai berikut:
pembentukan Perda. Meskipun demikian, bukan
berarti dalam pembentukan perda mengabaikan
hak-hak masyarakat, Pemerintah Daerah terikat
oleh rambu-rambu hukum tertentu, yang tidak lain
sesungguhnya merupakan hak konstitusional 15 warga negara.
Suatu perda merupakan refleksi dari suatu
kebijakan (political will) yang ditindaklanjuti dengan
proses pembuatan keputusan (policy making) dan
proses pembuatan ketentuan hukum (law making
process). Proses pembuatan suatu perda tidak bisa
dilakukan oleh eksekutif saja namun harus
melibatkan lembaga legislatif. Oleh karenanya para
pembuat kebijakan (policy makers) dan pembuat
perda (law makers) baik di eksekutif maupun di
legislatif perlu memiliki pemahaman yang baik atas 16permasalahan yang dihadapi di daerah.
Keberadaan Perda dalam otonomi daerah sangat
penting artinya sebab Perda merupakan
konsekuensi logis dari wewenang daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya 17sendiri.
Selain membentuk Perda dalam melaksanakan
otonomi, Pemerintah Daerah mempunyai
kewenangan untuk menggali potensi Pendapatan
Asli Daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 150
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang 18Pajak Daerah dan Retribusi Daerah , jenis Retribusi
Daerah dapat ditambah sepanjang memenuhi
kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang.
Salah satu retribusi daerah yang dapat
ditambah adalah retribusi perpanjangan IMTA yang
tergolong dalam retribusi perizinan tertentu.
Kewenangan Pemerintah Daerah untuk memungut
retribusi perpanjangan IMTA mulai diberlakukan
sejak tanggal 1 Januari 2013 sesuai dengan
ketentuan Pasal 18 Peraturan Pemerintah tentang
Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi
Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja
Asing. Hal ini untuk memberikan kesempatan
kepada daerah mempersiapkan kebijakan daerah
dan hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka
pelaksanaan pemungutan Retribusi Perpanjangan
IMTA.
IMTA adalah izin tertulis yang diberikan oleh
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau
Pejabat yang ditunjuk kepada pemberi kerja Tenaga
Kerja Asing. Adapun yang dimaksud dengan
Perpanjangan IMTA adalah izin yang diberikan oleh
gubernur atau bupati/walikota atau pejabat yang
ditunjuk kepada pemberi kerja tenaga kerja asing
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-19undangan. Sedangkan Retribusi Perpanjangan
IMTA adalah pungutan atas pemberian
perpanjangan IMTA kepada pemberi kerja tenaga
kerja asing.
Pemungutan retribusi perpanjangan IMTA di
Kota Medan relatif tidak akan menambah beban bagi
Sumber: Kota Medan Dalam Angka 2013.
Untuk tahun 2013 sendiri menurut Kepala
Seksi Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan, ada
sekitar 350 orang jumlah tenaga kerja asing yang
melapor ke Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Medan. Mereka yang melapor tersebut di antaranya
berkewarganegaraan Malaysia, RRC, dan Jerman.
Sebagian besar di antaranya bekerja sebagai
pendidik karena kebanyakan perusahaan dan
l embaga pend id ikan jasa par iw isa ta
mempekerjakan ekspatriat untuk meningkatkan
kualitas lulusan ataupun karyawannya. Selain itu
ada juga yang bekerja sebagai general manager di
hotel atau restoran, atau juru masak sejenis koki,
chef, dan pastri. Ada juga yang bekerja di
perusahaan perkebunan. Mayoritas TKA berjenis
kelamin laki-laki dan rata-rata berusia diatas 30 20tahun.
Pemungutan retribusi perpanjangan IMTA
dapat menambah pundi-pundi kas daerah Kota
Medan. Namun karena tidak adanya perda yang
mengatur hal tersebut maka TKA tidak bisa
dikenakan retribusi perpanjangan izin IMTA dan
menimbulkan kesan bagi masyarakat bahwa TKA
tidak mempunyai kontribusi terhadap pendapatan
daerah Kota Medan.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Seksi
Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Dinas Sosial
dan Tenaga Kerja Kota Medan mengatakan bahwa
kebanyakan TKA selama ini membayar biaya
perpanjangan izin dana pengembangan
keterampilan dan keahlian (DPKK) langsung kepada
Pemerintah Pusat, sedangkan ke kas Pemerintah
1) Dalam hal pemberi kerja TKA akan memperpanjang IMTA, maka harus mengajukan permohonan perpanjangan kepada Direktur atau Gubernur atau Bupati/Walikota;
2) Perpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh :
a. Direktur untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi.
b. Gubernur atau Pejabat yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
c. Bupati/Walikota atau Pejabat yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota untuk TKA yang lokasi kerjanya dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh ) hari kerja sebelum jangka waktu berlakunya IMTA berakhir.
4) Permohonan perpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengisi formulir perpanjangan IMTA dengan melampirkan:
a. Copy IMTA yang masih berlaku;
b. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
c. Copy polis asuransi;
d. Pelatihan kepada TKI pendamping;
e. Copy keputusan RPTKA yang masih berlaku; dan
f. Foto berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
5) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah lengkap, maka Direktur atau Gubernur atau Bupati/Walikota menerbitkan IMTA paling lama 3 (tiga) hari kerja.
Adapun IMTA dapat diperpanjang sesuai jangka waktu berlakunya RPTKA dengan ketentuan setiap kali perpanjangan paling lama 1 (satu) tahun.20 Kebanyakan Tenaga Kerja Asing Di Medan Berprofesi Sebagai Pendidik, http://www.m.ayogitabisa.com/berita-gita/, diakses tanggal 19 Januari 2014.
No. Lapangan Usaha Laki-laki
Perempuan
Jumlah
2 3 4 5
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan
1
-
1
Pertambangan dan Penggalian 1 - 1
Industri Pengolahan 35 1 36
Listrik, Gas, dan Air -
-
-
Bangunan - - -
Perdagangan, Hotel, dan Restoran 15 3 18
Angkutan, pergudangan, dan komunikasi
1 1 2
Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan/Tanah, dan Jasa Keuangan
2 - 2
Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan
38 50 88
Total 93 55 148
5150
Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah.....(Budi S.P Nababan)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 45 - 54
21 Tenaga Kerja Asing Tak Punya Kontribusi, http://www.m.koransindo.com, diakses tanggal 20 Januari 2014. 22 Menanggapi Program Legislasi Daerah ini, Budiman Panjaitan, Ketua Badan Legislasi DPRD Medan, menjelaskan tidak bisa memastikan kapan ke 12 Ranperda tersebut bisa selesai dibahas dan disahkan menjadi Perda. Hingga Pertengahan Januari 2014 Pemko Sudah Ajukan 12 Ranperda ke DPRD Medan, http://www.suaranasionalnews.com/?p=37765. diakses tanggal 20 Januari 2014.
Kota tidak ada. Berdasarkan DPKK, biaya
perpanjangan izin TKA sebesar USD 1.200 per
tahun. Seharusnya ketika masa izin habis maka
TKA tersebut memperpanjang izin ke dinas tenaga 21 kerja di tempatnya bekerja.
Solusi terhadap persoalan tersebut adalah
dengan membentuk Perda tentang Retribusi
Perpanjangan IMTA. Sebenarnya Pemko Medan
tahun 2013 telah mengusulkan Ranperda tentang
Retribusi Perpanjangan IMTA kedalam Program
Legislasi Daerah Tahun 2013, namun disayangkan
hingga akhir tahun 2013 ranperda ini belum selesai
dibahas. Kemudian pada tanggal 9 Januari 2014
DPRD Kota Medan telah menetapkan Program
Legislasi Daerah Tahun 2014 yang memuat 24 (dua
puluh empat) usulan ranperda yang terdiri dari 24
ranperda (12 ranperda di antaranya sisa masa kerja
2013 dan 12 ranperda lainnya merupakan usulan
baru dari Pemko Medan). Ke 12 ranperda sisa masa
kerja 2013 tersebut sudah diajukan Pemko Medan,
salah satunya adalah Ranperda tentang Retribusi 22Perpanjangan IMTA.
Sudah menjadi rahasia umum jika tahun 2014
ini merupakan tahun politik, di mana anggota
DPRD disibukkan dengan urusan kampanye untuk
mencalonkan diri kembali sebagai anggota legislatif
baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun
pusat. Namun demikian bukan berarti DPRD harus
melalaikan tugasnya di bidang legislasi. Ranperda
tentang Retribusi Perpanjangan IMTA haruslah
menjadi skala prioritas untuk dibahas dan
ditetapkan menjadi Perda Kota Medan mengingat
potensi TKA yang bekerja di Kota Medan.
F. Penutup
Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk
memungut Retribusi Perizinan Tertentu selain yang
telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, yang salah satunya adalah Retribusi
Perpanjangan IMTA.
Kota Medan sebagai salah satu daerah yang
memiliki potensi ekonomi yang cukup tinggi belum
memiliki payung hukum untuk memungut retribusi
tentang perpanjangan IMTA, sehingga sudah
sewajarnyalah membentuk Perda Retribusi tentang
Perpanjangan IMTA. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun
2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas
dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan
Tenaga Kerja Asing. Dengan demikian jelas bahwa
Perda Kota Medan tentang Retribusi Perpanjangan
Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing conditio
sine qua non bagi pemungutan retribusi
perpanjangan IMTA.
Daftar Pustaka
Buku
Abdussalam, HR. 2008. Hukum Ketenagakerjaan.
Jakarta: Restu Agung.
Badan Penelitian, Pengembangan, dan Informasi
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
R.I. 2006. Situasi Tenaga Kerja Dan
Kesempatan Tenaga Kerja Di Indonesia.
Jakarta.
Kairupan, David. 2013. Aspek Hukum Penanaman
Modal Asing Di Indonesia. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Syaukani. 2000. Menatap Harapan Masa Depan
Otonomi Daerah. Yogyakarta: Gerbang
Dayaku.
Siregar, Mahmul. 2008. Kepastian Hukum Dalam
Transaksi Bisnis Internasional dan
Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi di
Indonesia. Jurnal Hukum Bisnis Volume 27
Nomor 4.
Tim Perbankan dan Enquiry Point. 2007. Tenaga
Kerja Asing Pada Perbankan Nasional.
Bu l e t in Hukum Pe rbankan dan
Kebanksentralan, Volume 5 Nomor 3,
Desember.
Zaenun, Buchari. 1990. Administrasi dan
Manajemen Pemerintah Negara Indonesia
Menurut Undang-Undang Dasar 1945.
Jakarta: Haji Mas Agung.
Makalah
Anwar, Jusuf. Tantangan Implementasi Undang-
Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 Dalam
Membangun Ekonomi Daerah. Makalah
Seminar Program Magister Ekonomi UGM,
Sheraton Mustika Hotel, Yogyakarta 4 Juni
2005.
Harun, Refly. Mempertimbangkan Hak-Hak
Konstitusional Warga Negara Dalam
Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah, Makalah disampaikan dalam Expert
Meeting: Penguatan Partisipasi Masyarakat
dalam Proses Penyusunan Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD), Padang
21-22 Februari 2005.
Internet
Hingga Pertengahan Januari 2014 Pemko Sudah
Ajukan 12 Ranperda ke DPRD Medan,
http://www.suaranasionalnews.com/?p=37
765. diakses tanggal 20 Januari 2014.
K o t a M e d a n D a l a m A n g k a 2 0 1 3 ,
http//:www.medankota.bps.go.id, diakses
tanggal 23 Januari 2014.
5352
Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah.....(Budi S.P Nababan)Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 45 - 54
Kebanyakan Tenaga Kerja Asing Di Medan
B e r p r o f e s i S e b a g a i P e n d i d i k ,
http://www.m.ayogitabisa.com/berita-gita/,
diakses tanggal 19 Januari 2014.
Narjoko, Dionisius. Policy Brief: Menanggapi Akibat
Globalisasi Terhadap Kinerja Tenaga Kerja:
Pengalaman dari Sektor Tekstil dan Garmen
Indonesia, http://www.dlsu.edu.ph/
research/centers/aki/_pdf/_onGoingProjects
/_indonesia/pbEmployment Drivers.pdf,
diakses 27 Desember 2013.
Pemerintah Akan Atur Tenaga Kerja Asing,
http://www.m.tempo.co/read/news/2013/1
1/06/090527514/, diakses tanggal 27
Januari 2014.
Tenaga Kerja Asing Tak Punya Kontribusi,
http://www.m.koransindo.com, diakses
tanggal 20 Januari 2014.
KRITERIA UNSUR KEGENTINGAN YANG MEMAKSA
DALAM PENERBITAN PERPPU
(THE CRITERIA OF EMERGENCY CONDITION FOR MAKING PERPPU)
Janpatar Simamora
Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan
Jln. Sutomo No. 4A Medan 20234, Indonesia
E-mail: patarmora_81@yahoo.co.id(Naskah diterima 11/02/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014)
Abstrak
Menurut ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, bahwa dalam hal kegentingan yang memaksa, presiden
berhak menetapkan Perppu. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Perppu memiliki landasan konstitusional yang cukup
kuat dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Namun demikian, sampai saat ini belum ada pengaturan lebih
lanjut tentang kriteria atau unsur-unsur apa saja yang termasuk dalam kategori “kegentingan yang memaksa”. Kondisi
ini cukup berpotensi menimbulkan penerbitan Perppu oleh Presiden menjadi sangat subjektif. Kriteria suatu kondisi
yang dapat dikategorikan sebagai kegentingan yang memaksa sangat tergantung pada sudut pandang yang
dipergunakan oleh seorang presiden. Padahal, Perppu merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan
yang harus terikat dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam rangka meminimalisasi
dominasi pertimbangan subjektif presiden serta potensi penyimpangan kekuasaan dalam penerbitan Perppu, maka
sangat diharapkan agar mekanisme politik di DPR dalam rangka pembahasan suatu Perppu dapat berlangsung secara
objektif. Dengan demikian, pada akhirnya akan dapat dibuktikan bahwa kriteria kegentingan yang memaksa sebagai
syarat mutlak penerbitan Perppu tidak semata-mata didasarkan pada pertimbangan subjektif Presiden.
Kata kunci: Perppu, Kriteria Kegentingan, hak Presiden.
Abstract
Based on Article 22 paragraph (1) Constitution of the Republic of Indonesia 1945, in terms of the emergency condition, the
president has the right to assign Perppu (Government Regulation Replacement). This provision indicates that Perppu has a
strong foundation in Indonesian constitutional system. However, until today there is no further adjustment of the criteria or
what elements are included in the category of "emergency condition". This could potentially lead to the issuance of Perppu by
the president to be very subjective. Criteria for a condition that can be categorized as an emergency condition are highly
dependent on the president's view. Whereas, Perppu is one of the laws and regulations that is bound by the principles of
law making. In order to minimize the dominance of the subjective considerations and potential presidential power
irregularities in the issuance of Perppu, it is expected that the political mechanism in Parliament in the framework of the
discussion perppu can take place objective. Thus, it will ultimately be able to be evidenced that emergency condition criteria
that force as an essential condition in publishing Perppu is not solely based on the subjective judgment of the president.
Keywords: Perppu, emergency criteria, president's right.
A. Pendahuluan
Setelah cukup lama menuai perdebatan di
tengah-tengah publik, akhirnya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan sah
menjadi undang-undang setelah mendapat
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Perppu ini sendiri ditetapkan di Yogyakarta pada 17
Oktober 2013 oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan diundangkan pada tanggal yang
sama. Dilihat dari proses awal pembentukannya,
Perppu ini dianggap sebagai jalan penyelamatan
terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) yang
belakangan mengalami ketergerusan wibawa dan
kepercayaan publik, khususnya pasca
terbongkarnya dugaan kasus suap yang melibatkan
mantan Ketua MK, Akil Mochtar.
Sebagaimana disebutkan Janpatar Simamora
dalam tulisannya yang berjudul “Integritas MK
Tumbang” di Koran Jakarta, edisi Senin 07 Oktober
2013 bahwa mencuatnya aksi operasi tangkap
tangan yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) di rumah dinas Ketua MK pada Rabu malam,
02/10/2013, menjadi sejarah baru dalam
perspektif pembongkaran kasus suap yang
melibatkan petinggi negara selevel pimpinan
lembaga tinggi negara. Dalam aksi KPK itu, Akil
5554
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 45 - 54
Mochtar tertangkap basah bersama Chaerunisa,
politisi sekaligus anggota DPR dari Fraksi Partai
Golkar serta seorang pengusaha. Mereka terseret
dalam arus penangkapan yang sedang digulirkan
KPK karena diduga sedang melakukan transaksi
penyerahan sejumlah uang terkait dengan sengketa
pilkada di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan
Tengah. Jujur harus diungkapkan bahwa
tertangkapnya Akil Mochtar yang tidak lain adalah
pimpinan tertinggi di MK ketika itu telah
menggemparkan dunia peradilan negeri ini.
Tidak hanya itu, kasus suap yang paling
menggemparkan ini juga telah menumbangkan
marwah MK yang selama ini dikenal publik sebagai
lembaga yang masih bersih dan jauh dari noda liar
penelikungan hukum. Dunia penegakan hukum
benar-benar telah terjerembab dalam suasana duka
yang cukup mendalam dan akan sulit dipulihkan
pada kedudukan semula. Persepsi sejumlah pihak
selama ini yang menempatkan MK sebagai lembaga
peradilan yang (cukup) bersih dan memberikan
banyak harapan bagi para pencari keadilan,
ternyata tidak jauh beda dengan lembaga peradilan
lainnya. Bahkan, persoalan suap yang melibatkan
Ketua MK kala itu seolah telah “berhasil”
memutarbalikkan harapan publik selama ini.
MK yang kerap didengungkan dengan
pernyataan “masih bersih” ternyata sangat
berseberangan dengan fakta yang sesungguhnya.
Kalau sudah demikian, barangkali pernyataan yang
jauh lebih relevan untuk digulirkan adalah
mungkin “MK masih kotor”. Kekotoran tersebut
justru langsung menancap di pusaran kekuasaan
lembaga peradilan yang merupakan lembaga yang
dibidani melalui reformasi konstitusi (constitution
reform) itu. Sang pengawal konstitusi itu ternyata
tidak jauh bedanya dengan sejumlah oknum
penegak hukum yang begitu mudah menggadaikan
sumpah jabatan dengan segepok materi yang
disuguhkan oleh mereka-mereka yang hendak
meruntuhkan wibawa penegakan hukum demi
memenuhi hasrat pribadi dan golongannya.
Kondisi itulah yang kemudian membuat
pemerintah mengambil langkah hukum dalam
bentuk penerbitan Perppu. Versi pemerintah kala
itu, bahwa pasca tertangkapnya Akil Mochtar oleh
KPK dalam dugaan kasus suap telah menimbulkan
suatu kondisi kegentingan di tengah-tengah
kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya
kegentingan dalam bidang dunia peradilan. Wibawa
MK yang sebelumnya begitu kukuh sebagai
lembaga peradilan yang dipersepsikan publik masih
bersih, ternyata dalam sekejap melorot drastis dan
menimbulkan guncangan kepercayaan publik
terhadap lembaga pengawal konstitusi itu.
Namun demikian bahwa belakangan, cukup
banyak pihak yang mempersoalkan urgensi
penerbitan Perppu kala itu. Pasalnya, tidak
ditemukan adanya unsur kegentingan yang
memaksa sebagai syarat utama dalam penerbitan
Perppu. Kasus yang mendera mantan Ketua MK,
Akil Mochtar dipersepsikan tidaklah dapat
dikategorikan sebagau suatu kondisi yang
berdampak pada keadaan bangsa dan negara
dalam situasi kegentingan yang memaksa. Oleh
sebab itu, semestinya tidak relevan jika bila
kemudian persoalan itu dijadikan dasar dalam
penerbitan sebuah Perppu. Polemik itupun pada
akhirnya berujung pada langkah pengajuan judicial
review ke MK atas Perppu dimaksud. Namun
sayangnya kemudian, berhubung karena Perppu
dimaksud sudah disahkan menjadi undang-1undang , maka MK menyatakan bahwa
permohonan pemohon tidak dapat diterima karena 2sudah kehilangan objek.
Sebenarnya dalam catatan historisnya, jauh
sebelum keluarnya Perppu Nomor 1 Tahun 2013
itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah
beberapa kali mengeluarkan produk hukum yang
bernama Perppu. Dalam kurun waktu sejak Susilo
Bambang Yudhoyono menduduki jabatan sebagai
presiden hingga tahun 2010, setidaknya tercatat 3sudah 16 Perppu yang telah diterbitkan. Dari
sekian banyak Perppu dimaksud, selalu saja
diwarnai dengan ragam kritikan yang pada intinya
hendak menegaskan bahwa sesungguhnya tidak
cukup alasan bagi pemerintah untuk mengeluarkan
Perppu. Sejumlah dasar yang dijadikan Presiden
dalam penerbitan sejumlah Perppu selama ini
selalu diklaim sejumlah kalangan tidak cukup
memadai untuk dikategorikan sebagai suatu
kondisi “kegentingan yang memaksa” sebagai
landasan utama dalam penerbitan sebuah Perppu.
Ketidakjelasan parameter noodverordenings
dalam Perppu telah mengundang perdebatan
hangat di masyarakat. Parameter 'kegentingan yang
memaksa' merupakan parameter yang subjektif
yang ditentukan Presiden. Karena subjektif itulah,
frasa 'kegentingan yang memaksa' menjadi kabur
dan dapat dimultitafsirkan serta berpotensi menjadi
alat presiden untuk melanggengkan kekuasaannya.
Dengan demikian, penting bagi kita untuk
menelaah apa sebenarnya tujuan dari Pasal 22
UUDNRI Tahun 1945 yang memberikan payung 4hukum untuk pembentukan Perppu. Apa pula
sesungguhnya kriteria unsur “kegentingan yang
memaksa”?. Mengapa penerbitan Perppu selama ini
begitu sering memunculkan silang pendapat di
tengah-tengah publik?. Hal inilah yang akan
menjadi objek bahasan pada bagian berikutnya
dalam tulisan ini.
B.1.Landasan Konstitusional Pembentukan
Perppu
Dalam sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia, keberadaan Perppu cukup mendapat
landasan konstitusional yang memadai sebagai
sebuah produk hukum. Pasal 22 ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945 menentukan bahwa dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa, maka presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai
pengganti undang-undang (Perppu). Selanjutnya
dalam ayat (2) pasal tersebut ditentukan pula
bahwa Perppu dimaksud harus mendapat
persetujuan dari DPR dalam persidangan
berikutnya. Namun dalam hal DPR tidak
memberikan persetujuan, maka Perppu dimaksud
harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Sebaliknya, jika ternyata kemudian DPR
berkesimpulan bahwa Perppu dimaksud layak
untuk disetujui, maka dengan sendirinya Perppu
dimaksud akan disahkan menjadi undang-undang.
Didasarkan pada ketentuan dimaksud,
sesungguhnya keberadaan Perppu cukup
mendapat landasan konstitusional sebagai hak
seorang presiden. Perppu mendapat pengakuan
dalam konstitusi seperti halnya undang-undang.
Oleh sebab itu, menjadi sangat beralasan bagi
seorang presiden jika bila kemudian ditemukan hal-
hal yang termasuk dalam kategori kegentingan yang
memaksa dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara untuk mengeluarkan sebuah produk
hukum yang bernama Perppu.
Selanjutnya, guna menindaklanjuti ketentuan
dalam UUD NRI Tahun 1945, khususnya terkait
dengan keberadaan Perppu sebagai salah satu
produk hukum yang merupakan ranah
kewenangan presiden, maka keberadaannya pun
dipertegas kembali dalam hierarki peraturan
perundang-undangan. Sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, bahwa adapun jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan di tanah
air saat ini terdiri dari:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b) Ketetapan Majelis permusyawaratan Rakyat;
c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang;
d) Peraturan Pemerintah;
e) Peraturan Presiden;
f) Peraturan Daerah Provinsi; dan
g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disahkan menjadi undang-undang pada tanggal 19 Desember 2013. Pengesahan Perppu ini diwarnai dengan mekanisme voting dengan peta suara, sebanyak 221 anggota DPR mendukung dan 148 anggota DPR yang menolak. Adapun proses pembacaan putusan di MK terkait dengan pengujian Perppu ini baru dilakukan pada tanggal 30 Januari 2014. 2 Setidaknya terdapat 4 (empat) permohonan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan 1 (satu) dalam Penetapan MK dalam perkara yang sama karena pemohon menarik kembali permohonannya. Namun dari seluruh permohonan dimaksud, MK berkesimpulan bahwa permohonan Pemohon telah kehilangan objek, sehingga secara otomatis, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dan pokok permohonan Pemohon tidak lagi dipertimbangkan. Atas dasar itulah kemudian MK memutuskan bahwa permohonan para pemohon tidak dapat diterima.3 Adapun keenambelas Perppu dimaksud di antaranya adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2005 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya UU No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; Perppu Nomor 2 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepaulauan Nias Provinsi Sumatera Utara; Perppu Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji; Perppu Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD; Perppu Nomor 2 Tahun 2006 tentang
5756
Kriteria Unsur Kegentingan Janpatar Simamora.....( )Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 55 - 64
Penangguhan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Pengadilan Perikanan Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 71 ayat (5) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; Perppu Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU No. 36/2000 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi UU; Perppu Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara; Perppu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua; Perppu Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; Perppu Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan; Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan; Perppu Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; Perppu Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD; Perppu Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang; Perppu Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 3 Tahun 1992 tentang Keimigrasian; dan Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Lihat dalam “Sejak Bung Karno Hingga Presiden SBY Sudah Terbit 207 Perppu”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d00987b78d15/sejak-bung-karno-hingga-sby-sudah-terbit-207-perppu, diakses pada 03 Februari 2014.4 Janpatar Simamora, Multitafsir Pengertian “Ihwal Kegentingan yang Memaksa” dalam Penerbitan Perppu, Jurnal Mimbar Hukum UGM Yogyakarta, Volume 22 Nomor 1, Februari 2010, hlm. 58.
Kemudian dalam ayat (2) pasal tersebut
ditegaskan bahwa adapun kekuatan hukum
peraturan perundang-undangan sebagaimana
disebutkan dalam hierarki dimaksud adalah
didasarkan pada hierarki atau urutan daripada
peraturan perundang-undangan tersebut. Konsep
ini sama halnya dengan pandangan Hans Kelsen
yang mengatakan bahwa kesatuan norma-norma
hukum ditunjukkan oleh fakta bahwa
pembentukan norma yang satu, yakni norma yang
lebih rendah, ditentukan oleh norma lain yang lebih
tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh
norma lain yang lebih tinggi lagi dan bahwa
regressus (rangkaian proses pembentukan hukum)
ini diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi dan
pada akhirnya membentuk suatu kesatuan tatanan 5hukum.
Dilihat dari hierarki peraturan perundang-
undangan dimaksud, tampak dengan jelas bahwa
keberadaan Perppu cukup diakui secara tegas sama
halnya dengan peraturan perundang-undangan
lainnya. Dalam hierarki peraturan perundang-
undangan, Perppu ditempatkan sejajar dengan
undang-undang.
Kemudian dalam Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan ditegaskan bahwa
yang menjadi materi muatan Perppu adalah sama 6halnya dengan materi muatan undang-undang.
Sedangkan materi muatan undang-undang
sebagaimana disebutkaan dalam Pasal 10 ayat (1)
adalah berisikan hal-hal sebagai berikut:5 Hans Kelsen, 1971. General Theory of Law and State, Russel and Russel: New York (Diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, 2011, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusa Media: Bandung, hlm. 179.)6 Ketika materi muatan Perppu disamakan dengan materi muatan undang-undang, maka sebagai konsekuensinya bahwa materi muatan Perppu juga harus memuat atau mencerminkan asas-asas peraturan perundang-undangan yang tertuang dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. adapun asas-asas dimaksud adalah: pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhinneka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.7 Adapun tata urutan peraturan perundang-undangan yang merupakan pedoman dalam pembentukan aturan hukum di bawahnya diatur dalam Pasal 2 TAP MPR Nomor III/MPR/2000 dengan tata urutan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3. Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden; dan
7. Peraturan Daerah.
Kemudian dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR Nomor III/MPR/2000 dijelaskan bahwa Perppu dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
2. Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak peraturan pemerintah pengganti undang-undang dengan tidak mengadakan perubahan.
Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut harus dicabut.8 Adapun jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan ketika itu diatur dalam Pasal 7ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dengan jenis dan hierarki sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
a) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b) Perintah suatu undang-undang untuk diatur
dengan undang-undang;
c) Pengesahan perjanjian internasional;
d) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah
Konstitusi; dan/atau
e) Pemenuhan kebutuhan hukum dalam
masyarakat.
Dalam perjalanan sejarahnya, sekalipun telah
beberapa kali dilakukan penggantian regulasi
terkait dengan hierarki peraturan perundang-
undangan, keberadaan Perppu selalu mendapat
ruang pengaturan yang cukup memadai seperti
halnya peraturan perundang-undangan lainnya.
Pada saat berlakunya TAP MPR Nomor
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata 7Urutan Peraturan Perundang-undangan, Perppu
diakui keberadaannya dengan derajat hierarki
tersendiri, yaitu setingkat di bawah undang-undang
dan setingkat di atas Peraturan Pemerintah.
Kemudian, pada saat keberadaan TAP MPR Nomor
III/MPR/2000 digantikan dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan 8Peraturan Perundang-undangan, keberadaan
Perppu disejajarkan dengan undang-undang.
Dilihat dari sejumlah pengaturan dimaksud,
tentu dapat dipahami bahwa sesungguhnya
keberadaan Perppu cukup mendapat eksistensi
selama ini. Hal ini menunjukkan betapa urgensinya
keberadaan Perppu dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia. Bahkan sebelum amandemen
UUD 1945, terdapat penjelasan yang pada intinya
menegaskan bahwa Pasal 22 UUD 1945 adalah
mengenai noodverordeningsrecht presiden. Aturan
semacam ini memang sangat dibutuhkan dalam
rangka terjaminnya keselamatan negara oleh
pemerintah pada saat keadaan genting, yang
memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan 9cepat. Dengan demikian, maka secara
konstitusional, tidak terbuka ruang untuk
memperdebatkan keberadaan Perppu itu sendiri
dalam perspektif landasan hukumnya. Kalaupun
hendak dipersoalkan, barangkali hanya terkait
dengan mekanisme penerbitannya serta unsur-
unsur yang harus dipenuhi dalam proses
penerbitan Perppu dimaksud.
B.2.Unsur Kegentingan yang Memaksa dalam
Penerbitan Perppu
Sampai saat ini, belum ditemukan satu
regulasi pun yang mengatur masalah penerbitan
Perppu secara detail oleh presiden. Misalnya, apa
sesungguhnya yang dimaksud dengan “ihwal
kegentingan yang memaksa” sebagai syarat mutlak
dalam penerbitan Perppu sebagaimana diatur
dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Selain itu, apa saja yang menjadi unsur-unsur
pokok dari istilah “kegentingan yang memaksa”
juga belum diketemukan sampai sekarang.
Sejumlah pertanyaan inilah yang kemudian kerap
mengemuka di tengah-tengah publik ketika
presiden menerbitkan suatu Perppu.
Jika diartikulasikan satu per satu secara
gramatikal kata-kata “ihwal kegentingan yang
memaksa”, maka dapat dipahami bahwa istilah
“ihwal” memiliki makna “hal atau perihal”.
Sedangkan istilah “kegentingan” kurang lebih
mengandung makna “dalam keadaan bahaya atau
darurat maupun dalam suasana tegang”. Adapun
istilah “memaksa” dalam hal ini dapat diartikan
sebagai “sesuatu yang sangat mendesak”.
10Menurut Jimly Asshiddiqie, bila kemudian
dilakukan penelahaan lebih jauh terkait dengan
ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945 bahwa
setidaknya terdapat sejumlah unsur secara
kumulatif yang kemudian dapat membentuk suatu
keadaan darurat bagi negara (state of emergency)
serta menimbulkan suatu kondisi kegentingan yang
memaksa. Adapun unsur-unsur dimaksud yaitu,
pertama, adanya ancaman yang membahayakan
(dangerous threat), kedua, adanya kebutuhan yang
mengharuskan (reasonable neccesity), dan ketiga
adalah terkait dengan unsur adanya keterbatasan
waktu (limited time). Istilah “kegentingan yang
memaksa” dapat juga digambarkan sebagai suatu
kondisi yang tidak normal sehingga membutuhkan
upaya-upaya di luar kebiasaan untuk segera
mengakhiri kondisi dimaksud. Dalam kondisi yang
demikianlah, maka kehadiran Perppu diharapkan
menjadi instrumen hukum laksana undang-
undang yang berlaku dan mempunyai kekuatan 11mengikat kepada masyarakat.
Menurut Bagian Penjelasan UUD 1945
(sebelum amandemen), frasa “hal ihwal
kegentingan yang memaksa” merupakan
terjemahan dari noodverordeningsrecht. Dalam
bahasa hukum Amerika, hal ini sama dengan
konsep “clear and present danger”, situasi bahaya 12yang terang benderang. Dengan demikian, maka
setidaknya dapat dirinci sejumlah unsur-unsur
dari istilah “ihwal kegentingan yang memaksa”
sebagai berikut:
a) Terdapat suatu kondisi atau keadaan yang
sangat genting, berbahaya;
b) Situasi dimaksud dapat mengancam
keselamatan bangsa dan negara jika
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
Dalam ayat (2) dijelaskan bahwa Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Sedangkan dalam ayat (3) disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Perataran Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. Adapun dalam ayat (4) disebutkan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Lalu kemudian dalam ayat (5) disebutkan bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).9 Ibnu Sina Candranegara, Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar Lembaga Negara,Jurnal Yudisial, Volume 5 Nomor 1, April 2012, hlm. 3. 10 Jimly Asshiddiqie. 2007, Hukum Tata Negara Darurat, PT. Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 207.11 Reza Fikri Febriansyah. 2009, Eksistensi dan Prospek Pengaturan Perppu dalam Sistem Norma Hukum Negara Republik Indonesia, Desember 30, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/75-eksistensi-dan-prospek-pengaturan-perppu-dalam-sistem-norma-hukum-negara-republik-indonesia.html, diakses pada 20 Desember 2013.12 Haposan Siallagan dan Janpatar Simamora. 2011, Hukum Tata Negara Indonesia, UD. Sabar, Medan, hlm. 47-48.
5958
Kriteria Unsur Kegentingan Janpatar Simamora.....( )Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 55 - 64
13 Ibid., hlm. 48.14 Ni'matul Huda, Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 5, Oktober 2010, hlm. 77.
pemerintah tidak secepatnya mengambil
tindakan konkret;
c) Keadaan dimaksud membutuhkan proses
penanganan secara cepat. Jadi ada semacam 13“paksaan” untuk diselesaikan dengan segera;
d) Tidak ada alternatif sebagai sarana lain
sebagaimana lazimnya dalam kondisi normal
yang mampu untuk menyelesaikan keadaan
genting dimaksud.
e) Dilakukan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Sekalipun misalnya, kriteria atau unsur-unsur
istilah “ihwal kegentingan yang memaksa” dapat
diuraikan secara lebih spesifik, namun harus diakui
bahwa hal itu tidak serta merta akan menjadikan
jaminan bahwa presiden akan merujuk hal
dimaksud dalam proses penerbitan Perppu. Pasal
22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan
“dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,
presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang”. Jika dikaji
secara mendalam pasal dimaksud, maka
sesungguhnya begitu nyata terlihat adanya
subjektivitas presiden dalam menerbitkan sebuah
Perppu.
Artinya bahwa syarat objektivitas penerbitan
Perppu tidak dapat dipaksakan kepada presiden
sebagai pemegang otoritas penuh penerbitan
Perppu. Kalaupun hendak dikoreksi, maka hal itu
dapat dilakukan melalui jalur politik di DPR pada
saat pembahasan Perppu menjadi undang-undang.
Presiden diberikan keleluasaan dalam menafsirkan
apa sesungguhnya yang dimaksud dengan “ihwal
kegentingan yang memaksa”. Atas dasar itulah
maka kemudian setiap kali presiden menerbitkan
Perppu, maka setiap saat itu juga akan muncul pro
kontra pandangan terkait dengan keberadaan
Perppu itu sendiri.
Presiden bisa saja melihat suatu persoalan dan
kemudian mengkategorikannya sebagai suatu ihwal
kegentingan yang memaksa, sehingga harus
mengeluarkan Perppu dalam rangka mengatasi
persoalan dimaksud. Namun demikian, masyarakat
atau berbagai kalangan bisa saja melihat persoalan
yang sama tersebut sebagai sesuatu hal yang belum
termasuk dalam kategori ihwal kegentingan yang
memaksa. Demikian juga sebaliknya, masyarakat
bisa saja melihat suatu persoalan yang terjadi di
tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara
sebagai sebuah persoalan yang mengandung unsur
ihwal kegentingan yang memaksa, namun belum
tentu presiden akan mempunyai pandangan yang
sama dengan pandangan masyarakat luas.
Sebagai pemegang otoritas penuh, pandangan
presiden lah yang akan menjadi dasar dan ukuran
bagi terbitnya suatu Perppu. Apalagi kemudian
dalam Pasal 22 ayat (1) ditemukan kata “berhak”.
Dari sudut pandang kekuasaan presiden, hak
untuk menetapkan Perppu atas dasar penilaian
presiden sendiri yang bersifat sepihak mengenai
adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa itu, 14dapat dikatakan bahwa hal itu bersifat subjektif.
Hal ini dikarenakan presiden memiliki hak
sepenuhnya untuk menetapkan suatu Perppu jika
bila memang syarat-syarat untuk itu sudah cukup
memadai menurut pandangan subjektif seorang
presiden. Di sinilah kelahiran sebuah Perppu
berpeluang menimbulkan polemik karena terkesan
tidak objektif.
Memang terasa tidak adil apabila kemudian
sebuah produk hukum yang akan berlaku secara
umum justru diputuskan dengan sejumlah syarat
maupun kriteria yang sangat subjektif. Namun
demikian bahwa konstitusi telah menegaskan hal
dimaksud sebagai hak seorang presiden. Jika
memang pada akhirnya dirasa tidak adil atau tidak
mencerminkan nilai-nilai partisipatif, maka yang
harus digagas kemudian adalah bagaimana agar
ketentuan penerbitan Perppu oleh presiden
mendapat ruang pengaturan yang lebih detail, jelas
dan tegas. Jadi, bukan dengan mempersoalkan
pandangan subjektif presiden dalam menerbitkan
Perppu, karena kewenangan penerbitan Perppu
telah diamanatkan konstitusi sebagai hak penuh
seorang presiden.
B.3.Optimalisasi Peran DPR dalam Pengesahan
Perppu Menjadi UU
Upaya melakukan pengaturan terkait dengan
mekanisme dan syarat penerbitan Perppu secara
lebih detail, jelas dan tegas sebagaimana dalam
uraian di atas tentunya bukanlah hal mudah.
Pasalnya, ketentuan mengenai kewenangan proses
penerbitan Perppu diatur dalam UUD sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 22. Sebagai konsekuensi
dari pola pengaturan yang demikian, proses
perubahannya hanya dapat dilakukan melalui
proses amandemen terhadap UUD itu sendiri.
Sementara mengingat rumitnya serta panjangnya
proses perubahan terhadap UUD, maka menjadi
kurang efektif kiranya kalau hanya mengharapkan
perubahan mengenai mekanisme dan syarat
penerbitan Perppu oleh presiden melalui pintu
amandemen terhadap UUD itu sendiri.
Guna lebih mengobjektifkan penerbitan
Perppu, ditemukan pintu masuk lainnya selain
daripada lewat jalur amandemen terhadap UUD NRI
Tahun 1945. Adapun pintu masuk tersebut adalah
melalui proses persetujuan di DPR terhadap sebuah
Perppu dalam rangka pengesahannya menjadi
undang-undang. Sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 bahwa
Perppu yang telah dikeluarkan presiden harus
mendapat persetujuan oleh DPR dalam persidangan
berikutnya. Apabila kemudian sebuah Perppu
mendapat persetujuan dari DPR, maka secara
otomatis Perppu dimaksud akan berubah wujud
menjadi undang-undang. Namun manakala DPR
melakukan penolakan, maka dengan sendirinya
pula Perppu tersebut harus dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Proses politik di DPR ini dapat digunakan
sebagai sarana dalam rangka mengobjektifkan
sebuah Perppu yang dikeluarkan oleh presiden,
atau setidak-tidaknya dapat meminimalisasi sisi
subjektif presiden dalam menerbitkan Perppu.
Dengan demikian, kelahiran dan keberadaan
sebuah Perppu tidak terkesan hanya didominasi
pandangan presiden semata, namun ditemukan
mekanisme “pertanggungjawaban” secara politis
oleh presiden terhadap DPR dalam menerbitkan
sebuah Perppu.
Dalam hal proses penerbitan Perppu Nomor 1
Tahun 2013 misalnya, setidaknya terdapat dua
pertimbangan pokok yang dijadikan presiden dalam
menerbitkan dimaksud, yaitu:
a) bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (5) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, hakim konstitusi harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi
dan ketatanegaraan serta tidak merangkap
jabatan sebagai pejabat negara; dan
b) bahwa untuk menyelamatkan demokrasi dan
Negara hukum Indonesia serta untuk
mengembalikan kewibawaan dan kepercayaan
masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga negara yang menjalankan
fungsi menegakkan Undang-Undang Dasar,
perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, terutama terhadap
ketentuan mengenai syarat dan tata cara
seleksi, pemilihan, dan pengajuan calon hakim
konstitusi serta pembentukan majelis
kehormatan hakim konstitusi.
Dalam hal ini, apa yang menjadi pertimbangan
pemerintah memang cukup realistis. Pasalnya,
kasus yang menimpa Akil Mochtar kian menambah
kondisi penegakan hukum yang begitu carut marut,
sehingga tidak mengherankan jika kemudian
kepercayaan publik begitu tergerus habis terhadap
lembaga penegak hukum. Sebagaimana
dikemukakan oleh Janpatar Simamora dalam
tulisannya “Mengadili Sang Pengadil” di Harian
Waspada, Edisi Senin, 07 Oktober 2013 bahwa
perkara yang menimpa Akil Mochtar telah
mengakibatkan lembaga penegak hukum menjadi
kehilangan pamor dan wibawanya. Yang bergejolak
dan berkuasa justru wajah hukum dengan
menonjolkan kekuasaan dan kekuatan uang.
Semua orang tahu bahwa dalam alam penegakan
hukum, salah satu asas yang sering didengung-
dengungkan berbagai pihak ke permukaan adalah
asas equality before the law. Asas ini menekankan
adanya persamaan di hadapan hukum. Siapapun
sama di hadapan hukum, tanpa mengenal adanya
pengecualian. Ketika seseorang diduga melakukan
pelanggaran hukum atau jenis perbuatan lainnya
yang bertentangan dengan hukum, maka proses
penyelesaiannya adalah melalui mekanisme hukum
yang berlaku. Namun fakta menunjukkan bahwa
hukum tidak jarang justru begitu mudah lumpuh
ketika berhadapan dengan kekuatan materi dan
kekuasaan. Hukum begitu gampang dibeli dengan
imbalan sejumlah uang dan kekuasaan.
Terlepas dari itu, dalam perjalanannya
kemudian, setelah Perppu Nomor 1 Tahun 2013
bergulir ke DPR dalam rangka memperoleh
persetujuan, tampaknya mayoritas anggota DPR
memiliki pandangan yang sama bahwa tragedi suap
yang menimpa salah satu hakim MK cukup layak
dijadikan sebagai salah satu persoalan bangsa dan
negara yang memenuhi kriteria atau unsur
kegentingan yang memaksa sebagaimana syarat
utama dalam penerbitan sebuah Perppu. Sehingga
dengan demikian, maka Perppu dimaksud diterima
DPR dan disetujui menjadi undang-undang.
6160
Kriteria Unsur Kegentingan Janpatar Simamora.....( )Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 55 - 64
Hal itu menunjukkan bahwa upaya untuk
lebih mengobjektifkan proses penerbitan Perppu
masih bisa dilakukan selain melalui mekanisme
perubahan terhadap UUD NRI Tahun 1945. Tinggal
kemudian yang menjadi persoalan adalah
bagaimana agar DPR dapat menjalankan tugas dan
tanggung jawabnya dengan baik, khususnya dalam
rangka menilai layak tidaknya sebuah Perppu
untuk diterima keberadaannya dan disahkan
menjadi sebuah undang-undang. Hal ini sangat
penting untuk ditegaskan agar kemudian proses
politik dalam rangka mendapatkan persetujuan
terhadap Perppu untuk menjadi undang-undang
tidak terkesan hanya sebatas formalitas belaka atau
seperti “tukang stempel” yang hanya menerima dan
mengesahkan tanpa melalui proses pengkajian
secara matang.
Kalau mekanisme politik di DPR dapat berjalan
dengan baik, maka sesungguhnya tidak perlu
dikhawatirkan hak subjektif presiden dalam
menerbitkan sebuah Perppu. Kalaupun pada
akhirnya sisi subjektif pertimbangan presiden
teramat kentara pada saat terbitnya sebuah Perppu,
maka DPR dapat “mengubahnya” menjadi lebih
objektif melalui proses politik di Senayan atau
bahkan menolaknya untuk menjadi sebuah
undang-undang. Dengan demikian, setiap Perppu
yang dikeluarkan oleh presiden akan benar-benar
didasarkan pada fakta nyata bahwa negara dan
bangsa sedang dalam keadaan kegentingan yang
memaksa sebagaimana kriteria atau unsur keadaan
memaksa menurut pandangan mayoritas
penduduk negeri ini.
C. Penutup
Kewenangan presiden dalam menerbitkan
Perppu merupakan kewenangan konstitusional
karena diatur dalam UUD. Namun sampai saat ini,
belum ditemukan adanya pengaturan terkait apa
sesungguhnya yang dimaksud dengan “ihwal
kegentingan yang memaksa” dalam penerbitan
Perppu. Namun semikian, jika dicermati kata-kata
“ihwal kegentingan yang memaksa”, maka
setidaknya dapat diidentifikasi sejumlah kriteria
atau unsur yang tergolong dalam kategori
kegentingan yang memaksa, yaitu, pertama,
terdapat suatu hal atau keadaan yang sangat
darurat atau mendesak; kedua, tidak ada alternatif
sarana lain sebagaimana lazimnya dalam kondisi
normal yang mampu untuk menyelesaikan
keadaan darurat atau mendesak dimaksud dan
ketiga, keadaan dimaksud membutuhkan proses
penanganan secara cepat sehingga “dipaksa”
untuk diselesaikan dengan segera.
Sekalipun dapat diidentifikasi sejumlah
kriteria atau unsur yang dapat dikategorikan
sebagai suatu kegentingan yang memaksa, namun
demikian mengingat penerbitan Perppu
merupakan kewenangan mutlak presiden, maka
menjadi sangat dimungkinkan terjadi di mana
Perppu yang dikeluarkan disandarkan pada
pertimbangan subjektif seorang presiden. Oleh
sebab itu, kiranya perlu dipertegas apa
sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah
“ihwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945 serta apa saja syarat-syarat yang
terkandung di dalamnya. Hanya saja mengingat
rumitnya dan panjangnya proses yang harus
dilalui dalam melakukan amandemen terhadap
UUD, maka peran DPR dalam pembahasan Perppu
pada sidang berikutnya diharapkan dapat berjalan
optimal. Sehingga dengan demikian, maka kadar
subjektif pertimbangan presiden dalam
menerbitkan Perppu akan dapat diminimalisasi
dan diarahkan menuju pertimbangan-
pertimbangan seobjektif mungkin.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly. 2007, Hukum Tata Negara
Darurat, Jakarta: PT. Rajawali Grafindo
Persada.
Candranegara, Ibnu Sina, Pengujian Perppu Terkait
Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar
Lembaga Negara, Jurnal Yudisial, Volume 5
Nomor 1, April 2012.
Febriansyah, Reza Fikri. 2009, Eksistensi dan
Prospek Pengaturan Perppu dalam Sistem
Norma Hukum Negara Republik Indonesia,
D e s e m b e r 3 0 , h t t p : / / d i t j e n p p .
kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/75-
eksistensi-dan-prospek-pengaturan-perppu-
dalam-sistem-norma-hukum-negara-
republik-indonesia.html, diakses pada 20
Desember 2013.
Huda, Ni'matul, Pengujian Perppu oleh Mahkamah
Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 7
Nomor 5, Oktober 2010.
Kelsen, Kelsen. 1971, General Theory of Law and
State, Russel and Russel: New York
(Diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, 2011,
Teori Umum Tentang Hukum dan Negara,
Nusa Media: Bandung.
Siallagan, Haposan dan Simamora, Janpatar. 2011,
Hukum Tata Negara Indonesia, Medan: UD.
Sabar.
Simamora, Janpatar, Multitafsir Pengertian “Ihwal
Kegentingan yang Memaksa” dalam
Penerbitan Perppu, Jurnal Mimbar Hukum
UGM Yogyakarta, Volume 22 Nomor 1,
Februari 2010.
2010, “Sejak Bung Karno Hingga Presiden SBY
Sudah Terbit 207 Perppu”, http://www.
hukumonline.com/berita/baca/lt4d00987b
78d15/sejak-bung-karno-hingga-sby-sudah-
terbit-207-perppu, diakses pada 03 Februari
2014.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (sebelum dan sesudah
amandemen).
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-
Undang.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
Undan-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 94/PUU-
XI/2013, tentang perkara Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua Atas UndangUndang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi terhadap UndangUndang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-
XI/2013, tentang perkara Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua Atas UndangUndang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi terhadap UndangUndang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-
XI/2013, tentang perkara Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua Atas UndangUndang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi terhadap UndangUndang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-
XI/2013, tentang perkara Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua Atas UndangUndang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi terhadap UndangUndang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-
XI/2013.
6362
Kriteria Unsur Kegentingan Janpatar Simamora.....( )Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 55 - 64
A. Pendahuluan
Masalah status hukum ruang udara di atas
wilayah daratan dan perairan suatu negara berdaulat
yang digunakan untuk melakukan penerbangan
mulai dibahas secara resmi dalam Konferensi Paris
1910 yang berlangsung dari 10 Mei dan berakhir 29
Juni 1910. Latar Belakang Konferensi Paris 1910
adalah kenyataan banyaknya penerbangan yang
berlangsung di Eropa tanpa memperhatikan
kedaulatan negara di bawahnya (negara kolong)
karena pada saat itu belum ada pengaturannya.
Balon bebas tinggal landas dari suatu negara dan
mendarat di negara lain tanpa ada izin dari negara
yang bersangkutan akan membahayakan. Pesawat
udara dapat digunakan untuk mengangkut militer, 1 H.K.Martono, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik , Jakarta, 2012, Rajawali Pers, hlm. 11.
PERMASALAHAN KEDAULATAN WILAYAH RUANG UDARA DI INDONESIA
(THE PROBLEMS OF INDONESIAN AIR SPACE SOVEREIGNTY)
Abstrak
Masalah status hukum ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan suatu negara berdaulat yang digunakan
untuk melakukan penerbangan sudah dibahas secara resmi dalam Konferensi Paris 1910. Seiring perkembangan
waktu, pemahaman kedaulatan wilayah udara negara berkembang dan diatur dalam Konvensi Chicago dan hukum
positif Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Akan tetapi Undang-Undang Nomor
1 tahun 2009 tentang penerbangan belum menjawab persoalan kedaulatan wilayah udara. Penulis membeberkan
praktek pelanggaran kedaulatan wilayah udara Indonesia dan bagaimana hukum positif Indonesia masih mempunyai
kelemahan dalam mengatur masalah pelanggaran kedaulatan wilayah udara Indonesia. Permasalahan masuknya
pesawat-pesawat asing ke wilayah udara Indonesia, penindakan hukum yang lemah akibat kurangnya pengaturan
dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan serta permasalahan Flight Information System (FIR)
yang masih dikelola oleh negara lain, padahal wilayah udara pengaturan FIR adalah wilayah udara Indonesia.
Permasalahan tersebut harus segera dicari solusinya.
Kata kunci: penerbangan, wilayah udara.
Abstract
Issue of legal status of the air space above the lands and waters of a sovereign state that is used to make the flights has
been discussed formally in the Paris Conference in 1910. Over the years, understanding of air space sovereignty in any
developing countries is set in the Chicago Convention and Indonesian positive law, namely Law Number 1 of 2009 on
Aviation. However, Law Number 1 of 2009 about the flights has not answered the question of the sovereignty of airspace.
The writer revealed the practice of Indonesian air space violation of sovereignty and how the Indonesian positive law still
has weaknesses in regulating the violation of air space sovereignty of Indonesia. Problems in flux of foreign air craft to
Indonesian air space, law enforcement is still weak due to the lack of regulation in the Law Number 1 of 2009 on Aviation
and problems on Flight Information System (FIR) which is still managed by other countries, whereas the FIR airspace
settings is in Indonesian airspace territory. These problems must be immediately sought the solution, and in this case the
writer has an opinion to revise Law Number 1 of 2009 on Aviation and build a cooperation of all parties to overcome
Indonesian air space sovereignty issues.
Key words : flight, airspace territory.
May Lim Charity
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Jl. HR. Rasuna Said Kav.6-7, Jakarta Selatan Indonesia
Email : charity_maylim@yahoo.com
(Naskah diterima 17/02/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014)
mata-mata yang dapat mengancam keamanan 1nasional negara di bawahnya.
Di Indonesia, penerbangan sudah diatur sejak
zaman dahulu. Landasan hukum penerbangan
adalah Luchtvaart Besluit 1932 (Staatblad 1934
No.118) dan Luchtvaart Ordonantic 1934 (Staatblad
1934 No. 205 jo Staatblad 1942 No. 36). Selanjutnya
Luchtvaart besluit diganti dengan Undang-Undang
Nomor 83 tahun 1958 tentang Penerbangan.
Kemudian Undang-Undang tersebut diganti dengan
Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 tentang
Penerbangan. Seiring berjalannya waktu berganti
dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1992
tentang Penerbangan, berganti lagi sampai terakhir
6564
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 57 - 66
4 H.K Martono, Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional, Jakarta, 2013, Rajawali Pers, hlm. 3. 5 H.K Martono. Op Cit, hlm. 12.6 Ibid, hlm. 27-28.7 H. Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Jakarta, 2003. PT. Fikahati Aneka, hlm. 127.8 Lihat Chicago Convention On International Civil Aviation, 7 December 1944.
2 OECD, OECD Workshop on Principle for The Liberalizationof Air Cargo Transportation, Principles for The Liberalization of Air Cargo, 2000. http://www.oecd.org/dataoecd/7/9/1806687.pdf.3 H. Priyatna Abdurrasyid, Pertumbuhan Tanggung Jawab Hukum Pengangkut Udara, Jakarta, 2013, PT. Fikahati Aneska 2013, hlm. 2.
yang dipakai sekarang adalah Undang-Undang Nomor
1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Tentu pemikiran
para ahli dan anak bangsa dalam menelurkan ide
terhadap Undang-Undang Penerbangan tersebut
harus diapresiasi setinggi mungkin.
Pada prinsipnya Undang-Undang Nomor 1
tahun 2009 tentang Penerbangan mengatur
permasalahan lebih rinci bila dibandingkan dengan
Undang-Undang Nomor 15 tahun 1992 yang hanya
terdiri dari 15 bab dan 76 pasal. Undang-Undang
Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan terdiri
dari 24 Bab dan 446 pasal.
Menilik dari ketentuan Undang-Undang
tersebut, rasa-rasanya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2009 tentang penerbangan lebih bisa
memberikan kepastian hukum secara lebih baik
bagi semua pihak. Akan tetapi persoalan
penerbangan sekarang ini dan ke depannya menjadi
tidak mudah. Banyak persoalan dari berbagai sisi,
antara lain dibukanya single european sky dan
kemudian lahir ruang udara baru yaitu ruang udara 2baru Uni Eropa. Sejalan dengan kebijakan open sky
tersebut, tentu saja Indonesia sebagai bagian dari
World Trade Organization (WTO) menginginkan hal
itu juga dilakukan di tanah air. Belum lagi
persoalan angkutan penerbangan sipil dengan
segala lingkup permasalahannya.
Tulisan ini tidak membahas mengenai
persoalan-persoalan tersebut, akan tetapi mencoba
fokus pada persoalan penerbangan yang terkait
dengan prinsip kedaulatan udara terhadap praktek
di lapangan dengan banyaknya pelanggaran
pesawat asing yang melanggar kedaulatan wilayah
udara Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
mencoba menawarkan solusi melalui revisi
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang
Penerbangan.
Seperti kita ketahui bersama, di dalam
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang
Penerbangan, yaitu pelanggaran wilayah diatur
dalam Pasal 401, Pasal 402 dan Pasal 414. Pasal
401 menyebutkan “Setiap orang yang
mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau
pesawat udara Indonesia atau pesawat udara
asing yang memasuki kawasan udara terlarang
dipidana dengan pidana penjara paling lama 8
(delapan) tahun dan denda paling banyak
Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)
sedangkan menurut Pasal 402 menyebutkan
“Orang yang mengoperasikan pesawat udara
Indonesia atau pesawat udara asing yang
memasuki kawasan udara yang hanya dapat
digunakan untuk penerbangan pesawat udara
negara dipidana dengan pidana penjara paling
lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak
Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Pasal
414 menyebutkan “Setiap orang yang
mengoperasikan pesawat udara asing di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa izin
Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”. Walaupun
pengaturan mengenai kedaulatan wilayah udara
sudah dimuat dalam ketentuan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan,
namun dalam pandangan penulis, ketentuan
tersebut tidaklah memadai. Bila berbicara
mengenai kedaulatan sebuah negara, kita jangan
hanya berbicara mengenai kedaulatan tanah dan
kedaulatan air, tapi juga kedaulatan menyeluruh
termasuk kedaulatan udara.
B.1.Sejarah Kedaulatan Wilayah Udara
Di bidang ruang udara, kedaulatan tersebut
telah diperkenalkan oleh Montgolfer Bersaudara
yang berhasil meluncurkan balon pertama berawak
pada tahun 1783. Akan tetapi profesi hukum
ternyata sangat lambat menangani masalah-
masalah hukum di bidang penggunaan ruang
udara. Baru pada tahun 1901, seorang ahli hukum
Perancis, Fauchille yang sangat visioner
mengetengahkan bahwa ruang udara di atas
wilayah suatu negara membutuhkan kebebasan 3untuk pemanfaatan penerbangan.
Di antara para ahli hukum internasional pada
umumnya belum ada kesepakatan yang baku
secara internasional dapat diterima mengenai
pengertian udara (air law). Kadang-kadang
digunakan istilah hukum udara (air law) atau
hukum penerbangan (aviation law) atau hukum
navigasi udara (air navigation law) atau hukum
pengangkutan udara (air transportation law) dan
hukum aeronautika penerbangan (aeronautical law)
atau hukum udara aeronautica (air-aeronautical
law) saling bergantian tanpa dibedakan satu
terhadap lain. Istilah aviation law atau navigation
law atau air transportation law atau aerial law atau
aeronautical law atau air aeronautical law
pengertian yang lebih sempit dibandingkan dengan 4air law.
Undangan Konferensi Paris 1910 disampaikan
kepada negara-negara Eropa seperti Austria,
Hongaria, Inggris, Belgia, Bulgaria, Denmark,
Prancis, Jerman, Portugal, Rumania, Rusia,
Spanyol, Swedia, Swiss dan Turki pada Agustus
1909. Dalam undangan tersebut termuat beberapa
pertanyaan yang diajukan oleh Pemerintah Prancis
kepada setiap negara. Antara Desember 1908
sampai dengan Agustus 1909 kedua pemerintah
Inggris dan Prancis sepakat menghindari
pembahasan masalah-masalah mendasar,
terutama apakah ruang udara yang digunakan
untuk penerbangan internasional merupakan
wilayah negara di bawahnya (negara kolong) atau
apakah ruang udara merupakan ruang bebas yang
dapat digunakan untuk keluar masuk pesawat 5udara milik negara lain.
Konvensi Paris 1919 yang berjudul Convention
Relating to the Regulation of Aerial Navigation yang
ditandatangani pada 13 Oktober 1919 tersebut
terdiri dari dua bagian, masing-masing: naskah
utama (the main part) dan naskah tambahan.
Naskah utama masing-masing mengatur
kedaulatan atas wilayah udara, lintas damai
(innocent passage), zona larangan terbang
(nationality and registration mark), sertifikat
pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara dan
radio penerbangan, izin penerbangan,
keberangkatan dan kedatangan pesawat udara,
larangan pengangkutan bahan berbahaya,
klasifikasi pesawat udara (aircraft classification),
komisi navigasi penerbangan dan ketentuan
penutup dan naskah tambahan terdiri atas delapan 6Annex (A-H).
B.2.Prinsip Kedaulatan Negara di Ruang Udara di
Atas Wilayahnya
Masalah pemikiran ruang udara telah
merupakan persoalan jauh sebelum ruang udara 7tersebut dijadikan daerah lintas penerbangan.
Memang timbul perdebatan apakah ruang udara
tersebut benar-benar bebas, untuk mempertahan-
kan kedaulatan sebuah negara di bawahnya
ataukah terbatas, seperti laut teritorial
sebagaimana diatur dalam hukum laut
internasional, dalam arti ada lintas damai bagi
pesawat udara asing.
Di Indonesia sendiri kedaulatan wilayah udara
tersebar di berbagai peraturan antara lain:
- Undang-Undang No 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan
Pasal 1 angka 2
“Wilayah udara adalah wilayah kedaulatan
udara diatas wilayah daratan dan perairan
Indonesia”
Pasal 5
“Negara Kesastuan Republik Indonesia
berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah
udara Republik Indonesia”
- Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008
Tentang Wilayah Negara
Pasal 6 ayat 1 c
“Batas wilayah negara di udara mengikuti
batas kedaulatan negara di darat dan dilaut,
dan batasnya dengan angkasa luar ditetapkan
berdasarkan perkembangan Hukum
Internasional”
- Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Tata Ruang
Pasal 6 ayat 5
“Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya
diatur dengan undang-undang tersendiri”
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013
Tentang Keantariksaan
Pasal 1 angka 3
“Ruang Udara adalah ruang yang mengelilingi
dan melingkupi seluruh permukaan bumi yang
mengandung udara yang bersifat gas”8Article 1 Chicago Convention 1944
menyatakan “The contracting States recognize that
every State has complete and exclusive sovereignty
over the airspace above its territory”. Artinya, dapat
kita simpulkan kedaulatan di atas teritorial wilayah
negara merupakan kedaulatan penuh dari suatu
negara.
Konvensi Internasional yang mengatur
penerbangan sipil internasional dan telah mengikat
190 negara adalah Convention on International Civil
Aviation atau sering dikenal dengan sebutan
6766
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 65 - 72 Permasalahan Kedaulatan Wilayah.....( )May Lim Charity
Konvensi Chicago 1944 (Chicago Convention). Dalam
pasal 37 dengan jelas dikatakan bahwa untuk
meningkatkan keamanan dan keselamatan
penerbangan negara peserta Konvensi Chicago
1944 harus berupaya mengelola penerbangan sipil
(personil, pesawat, jalur penerbangan dan lain lain)
dengan peraturan, standar, prosedur dan
organisasi yang sesuai (uniform) dengan standar
yang dibuat International Civil Aviation Organization
(ICAO). Untuk itu ICAO selalu membuat dan
memperbarui standar and recomended practices
(SARPs) yang dituangkan dalam Annexes 1-18
dengan berbagai dokumen dan circular
penjabarannya yang harus dipatuhi oleh negara 9peserta Konvensi Chicago.
B.3.Contoh Kasus Pelanggaran Kedaulatan
Wilayah Udara Indonesia
Permasalahan masuknya pesawat asing ke
daerah wilayah kedaulatan Indonesia sudah sering
terjadi. Ada beberapa contoh kasus pelanggaran
wilayah udara Indonesia:
101. Kasus di Pulau Bawean
Kejadian penegakan hukum oleh TNI
Angkatan Udara pada tanggal 3 Juli 2003
adalah pada saat dilaporkan bahwa ada 5
Pesawat F-18 yang terbang dari Kapal Induk
USS Carl Vinson yang berlayar pada ALKI dan
berada di sekitar Pulau Bawean. Pesawat
tersebut terbang dengan melaksanakan
berbagai manuver, ketinggian bervariasi
antara Flight Level 15.000-35.000 feet,
kecepatan sekitar 450 Kts dan Squawk
number (IFF mode 3/A) 1200. Tidak ada
komunikasi dengan ATC Bali atau Surabaya
sebagai unit PLLU tersebut, karena pesawat
tersebut tidak melakukan komunikasi
sebagaimana yang diatur dalam ketentuan
penerbangan. Leader Pesawat TNI AU
melaksanakan misi identifikasi visual dan
pesawat F-18 tersebut diminta kontak ke ATC
setempat karena “Bali Control” tidak
mengetahui status mereka, akhirnya pesawat
tersebut kembali ke Pangkalan Iswahyudi.
112. Kasus di Bandara Mopah Merauke
Pada tanggal 10 November 2008, Pesawat jenis
V8 bernomor VH3-PFP milik Cape Air
Transport, pesawat dengan pilot Captain
William Henry Scott Bloxam, warga negara
Australia. Saat itu pesawat tidak membawa
surat izin penerbangan (security clearance dan
data approval) maupun visa. Istri sekaligus co-
pilot bernama Vera Scott Bloxam dan
penumpang Hubert Hofer, Karen Burke dan
Keith Rowald Mortimer.
123. Kasus di Sultan Iskandar Muda
Tanggal 20 Mei 2013, pesawat Donnier 328
(USAF) rute Maldives-Banda Aceh (BTJ) tidak
dilengkapi dengan Flight Clearance for
Indonesian Territory.
Pelanggaran wilayah udara tersebut masih
banyak lagi. Pelanggaran wilayah udara tersebut
tidak terjadi di wilayah udara Indonesia saja. Hal
tersebut juga terjadi di negara-negara lain.
Seperti diketahui kedaulatan udara Indonesia
adalah bagian tugas utama Tentara Nasional
Indonesia (TNI). Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
menyatakan “TNI bertugas melaksanakan kebijakan
pertahanan negara meliputi”: a. mempertahankan
kedaulatan wilayah negara; b. Melindungi
kehormatan dan dan keselamatan bangsa; c.
Melaksanakan Operasi Militer Selain Perang; d. Ikut
serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan
perdamaian regional dan internasional. Sementara
tugas TNI angkatan Udara menurut Pasal 10
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang
Tentara Nasional Indonesia adalah a.
melaksanakan tugas TNI di bidang matra
pertahanan; b. Menegakkan hukum dan menjaga
keamanan di wilayah yurisdiksi nasional sesuai
dengan ketentuan hukum nasional dan inter-
nasional yang telah diratifikasi; c. Melaksanakan
tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan
kekuatan matra udara serta d. Melaksanakan
pemberdayaan wilayah pertahanan udara.
Permasalahannya, point (b) yaitu “menegakkan
hukum dan menjaga keamanan di wilayah
yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan
hukum nasional dan internasional yang telah
diratifikasi” belum jelas, karena menurut ketentuan
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009
tentang Penerbangan “ketentuan lebih lanjut
mengenai pelanggaran wilayah kedaulatan,
penetapan kawasan udara terlarang, kawasan
udara terbatas, pelaksanaan tindakan terhadap
pesawat udara dan personel pesawat udara serta
tata cara dan prosedur pelaksanaan tindakan
pemaksaan oleh pesawat udara negara diatur
dengan Peraturan Pemerintah”
Menjadi pertanyaan kritis apakah pemahaman
kita sama dalam penuangan pelanggaran wilayah
udara tersebut melalui Peraturan Pemerintah,
misalnya saja mengenai security clearance
(perizinan keamanan terbang) dan Flight Approval
(izin terbang). Pengaturan mengenai keduanya
harus benar-benar detail dan rinci, misalnya
mengenai security clearance yang hendaknya
dilakukan juga kepada penerbangan sipil tidak
berjadual. Mungkin akan timbul perdebatan
mengenai ini di berbagai instansi terkait, akan
tetapi menurut penulis wilayah nusantara
Indonesia yang begitu luas sangat memungkinkan
sekali bagi pelanggaran wilayah kedaulatan negara
seperti pemotretan wilayah udara ilegal, survey iegal
teradap sumber daya alam Indonesia, terorisme,
penyelundupan senjata dan lainnya.
Selain itu mengenai flight approval (izin
terbang). Pada saat ini yang bisa diefektifkan dalam
penanganan pelanggaran pesawat udara asing yang
tidak memiliki flight approval hanya Pasal 17
Peraturan Dirjen Hubud No. Skep/195/IX/2008
tentang Petunjuk Pelaksanaan Persetujuan Terbang
(Flight Approval) yang menentukan bahwa pesawat
udara yang tidak memiliki Flight Approval
dikenakan biaya pendaratan tambahan:
a. untuk kegiatan angkutan udara dalam negeri
sebesar 100 kali dari biaya pendaratan yang
telah ditetapkan;
b. untuk kegiatan angkutan udara luar negeri
sebesar Rp. 60.000.000,-
Pasal 414 ketentuan Undang-Undang Nomor 1
tahun 2009 tentang Penerbangan menyatakan
“Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara
asing di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia tanpa izin Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah)”. Sementara izin yang dimaksud
adalah izin dari Menteri Perhubungan Udara dan ini
adalah izin mengenai angkutan udara dan
sanksinya berupa peringatan, pembekuan sertifikat
dan atau pencabutan sertifikat (ketentuan Pasal 63
ayat (5)) dan bukan pelanggaran wilayah udara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan
penjelasannya (memasuki wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia tanpa izin).
Selain itu pada ketentuan Pasal 8 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang
penerbangan ditentukan: personel pesawat udara,
pesawat udara, dan seluruh muatannya yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), diperiksa dan disidik sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
Permasalahannya adalah norma hukum aerial
instrusion tersebut tidak diikuti dengan sanksi dan
tindak pidananya, baik itu pidana maupun
alternatif sanksi lainnya. Ketentuan hukum yang
ada hanya diatur dalam bentuk Keputusan Menteri
Perhubungan Nomor 195/XI/2008.
B.4.Permasalahan Wilayah Udara di Lintas Batas
Negara
Ketentuan Article 2 Chicago Convention 1944
menyatakan “for the purpose of this convention the
territory of a State shall be deemed to be the land
areas dan territorial waters adjacent thereto under
the soverignty, suzerainty, protection or mandate of
such State”. Artinya, negara pihak Konvensi
Chicago harus memberikan pelayanan lalu lintas
pener-bangan wilayah udaranya. Wilayah udara
dimaksud disebut Flight Information Region (FIR).
Secara lebih singkat FIR adalah FIR adalah wilayah
udara yang di dalam wilayah udara tersebut
diberikan flight information services dan flight
alerting services. Pemberian pelayanan ini adalah
untuk keselamatan penerbangan. Flight Information
Services terdiri dari SIGMET (Significant
Meteorological Information) dan AIRMET (AIRman's
Meteorological Information), sementara Flight
Alerting Services adalah pemberian informasi jika
keadaan darurat, atau mengadakan koordinasi
dengan otoritas terkait untuk menangani keadaan
darurat.
Di Indonesia sendiri, wilayah udara Indonesia dibagi
dalam tiga zona FIR:
a. FIR Jakarta meliputi wilayah bagian Barat
Indonesia mulai bagian barat Pulau
Kalimantan hingga bagian Barat Indonesia
mulai Barat Jawa Tengah;
b. FIR Ujung Pandang meliputi wilayah bagian
timur Indonesia;
c. FIR Singapura meliputi wilayah Kepulauan
Riau dan Natuna.
9. Yadi Supriyadi, Keselamatan Penerbangan Terori dan Problematikanya, Jakarta, 2012, PT. Telaga Ilmu Indonesia, hlm. 5.
10. Suara Merdeka, 1993. AS terbukti Langgar Kedaulatan Udara RI., . suaramerdeka.com/harian/0307/09/nas15.html.
11. Tekno Kompas.Com, 2008. Lima Warga Australia Menerobos ke Merauke, http://tekno.kompas.com.read/2008/09/ 15/00391254/lima.warga.australia.menerobos.ke.merauke.
12. Nuga.Co, 2013. Pesawat Militer As di SIM Bisa Terbang lagi, http://www.nuga.co/nuga-news/pesawat-militer-as-di-sim-bisa-terbang -lagi.html.
http://www
6968
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 65 - 72 Permasalahan Kedaulatan Wilayah.....( )May Lim Charity
Penulis menyadari FIR tentu saja bukan
merupakan wilayah kedaulatan negara, sehingga
memberikan pengelolaan FIR kepada negara lain
bukanlah berarti memberikan pengelolaan batas
wilayah udara kepada negara lain. Akan tetapi
berkaitan dengan permasalahan tersebut, dalam
Pasal 458 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
tentang Penerbangan disebutkan: “Wilayah udara
Republik Indonesia, yang pelayanan navigasi
penerbangannya didelegasikan kepada negara lain
berdasarkan perjanjian sudah harus dievaluasi dan
dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan
navigasi penerbangan paling lambat 15 (lima belas)
tahun sejak Undang-Undang ini berlaku”
Untuk itulah perlu kiranya kepekaan kita
bersama dalam mengantisipasi persoalan ini,
karena ada wilayah udara Indonesia yang dikelola
oleh negara tetangga, yaitu wilayah Indonesia yang
berada di FIR Singapura. Wilayah udara ini dibagi
dalam penggolongan Zona yaitu:
a. Zona A: sekitar Batam dan sebagian Provinsi
Riau dikelola Singapura.
b. Zona B: sekitar perairan perbatasan di Laut
Natuna dikelola oleh Malaysia.
c. Zona C: sekitar perairan Laut Natuna hingga
perairan Belitung dan perairan Kalimantan
Barat dikelola Singapura.
Hal ini tidak sesuai dengan Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan yang menyatakan “Wilayah udara
adalah wilayah kedaulatan udara di atas wilayah
daratan dan perairan Indonesia” dan Pasal 5
“Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat
penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik
Indonesia”. Selain itu, sebagian besar negara di
dunia, termasuk Indonesia yang meratifikasi
Konvensi Chicago 1944 menganut pemahaman
setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan
eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayahnya
dan tidak dikenal adanya hak lintas damai.
Berdasarkan Article 11 Chicago Convention
1944 : “subject to the provision of this convention, the
laws and regulations of a contracting State relating to
the admission to or departure from its territory of
aircraft engaged in International air navigation or to
the operation and navigation of such aircraft while
within its territory shall be applied to the aircraft of all
contracting States without distinction as to nationality
ans shall be complied with by such aircraft upon
entering or departing from a while within the territory
of that State”, Singapura dan Malaysia memiliki
kewenangan memberikan pelayanan lalu lintas
penerbangan di FIR singapura termasuk wilayah
Indonesia Riau dan Natuna, akan tetapi wilayah
udara di wilayah Indonesia tetap adalah kedaulatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
C. Penutup
Kedaulatan wilayah udara sebuah negara
adalah kedaulatan sebagaimana tercantum dalam
Article 1 Chicago Convention 1944 yang menyatakan
bahwa wilayah udara yang berada di atas wilayah
teritorial suatu negara adalah hak eksklusif negara
bersangkutan. Hukum positif Indonesia yaitu
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan, menyatakan Wilayah Udara adalah
wilayah kedaulatan udara di atas wilayah daratan
dan perairan Indonesia.
Permasalahan yang terjadi di wilayah udara
Indonesia sangat beranekaragam, di antaranya
masuknya pesawat-pesawat asing ke wilayah udara
Indonesia dengan ketentuan hukum yang minim di
dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009
tentang Penerbangan serta permasalahan Flight
Information Region (FIR) yang masih dikelola oleh
negara lain.
Penulis menyarankan untuk segera dilakukan
revisi Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang
Penerbangan terkait permasalahan kedaulatan
wilayah udara Indonesia. Perlu kiranya kerjasama
dari berbagai instansi terkait dalam kaitan revisi
Undang-undang Nomor 1 tahun 2009 tentang
Penerbangan dan lobi internasional terhadap
pengelolan FIR oleh negara tetangga supaya
kedaulatan wilayah udara yang berada di atas
territori Indonesia menjadi sepenuhnya milik
Indonesia.
Daftar Pustaka
H.K.Martono, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik , Jakarta, 2012, Rajawali Pers
OECD, OECD Workshop on Principle for The
Liberalizationof Air Cargo Transportation,
Principles for The Liberalization of Air Cargo,
2000. http://www.oecd.org/dataoecd/7/
9/1806687.pdf
H. Priyatna Abdurrasyid, Pertumbuhan Tanggung
Jawab Hukum Pengangkut Udara, Jakarta,
2013, PT. Fikahati Aneska
H.K Martono, Hukum Udara Perdata Internasional
dan Nasional, Jakarta, 2013, Rajawali Pers
H. Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di
Ruang Udara, Jakarta, 2003., PT. Fikahati
Aneska
Yadi Supriyadi, Keselamatan Penerbangan Terori
dan Problematikanya, Jakarta, 2012, PT.
Telaga Ilmu Indonesia
Suara Merdeka, 1993. AS terbukti Langgar
Kedaulatan Udara RI., http://www.
suaramerdeka.com/harian/0307/09/nas15.
html
Tekno Kompas.Com, 2008. Lima Warga Australia
Menerobos ke Merauke, http://tekno.
kompas.com.read/2008/09/15/00391254/l
ima.warga.australia.menerobos.ke.merauke
Nuga.Co, 2013. Pesawat Militer As di SIM Bisa
Terbang lagi, http://www.nuga.co/nuga-
news/pesawat-militer-as-di-sim-bisa-terbang
-lagi.html
Convention On International Civil Aviation Signed At
Chicago, On 7 December 1944 (Chicago
Convention)
7170
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 65 - 72 Permasalahan Kedaulatan Wilayah.....( )May Lim Charity
TANGGUNG JAWAB HUKUM DALAM KECELAKAAN PESAWAT TERBANG SUKHOI
SUPERJET 100
(LEGAL RESPONSIBILITY IN SUKHOI SUPERJET 100
AIRCRAFT ACCIDENT)
Velliana Tanaya
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
M.H. Thamrin Boulevard 1100 Lippo Village Tangerang Indonesia
Email : velliana.tanaya@hotmail.com
(Naskah diterima 14/02/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014)
Abstrak
Di era modern penggunaan pesawat sebagai transportasi utama sangat tinggi. Pada tahun 2001, sektor transportasi
udara telah membuat perkembangan yang sangat tinggi dalam regulasi dan efek samping sehingga mengakibatkan
banyak perusahaan penerbangan baru telah muncul. Mengingat fakta bahwa sebelumnya hanya ada beberapa
penerbangan yang dikenal di Indonesia seperti Garuda Indonesia Airlines, Merpati Airlines, Mandala Airlines dan lain-
lain Meningkatnya jumlah yang signifikan dari perusahaan maskapai baru adalah karena fleksibilitas dari peraturan
baru yang dikeluarkan pada tahun 2001. Fleksibilitas peraturan baru dari maskapai penerbangan nasional Indonesia
juga berdampak pada meningkatnya jumlah kecelakaan pesawat. Dari tahun ke tahun jumlah kecelakaan pesawat
udara di Indonesia semakin meningkat. Bahkan setelah peraturan baru dibuat yang diharapkan dapat mengurangi
jumlah kecelakaan pesawat, itu tidak menghentikan kecelakaan. Pada tanggal 9 Mei 2012, kecelakaan Pesawat Sukhoi
Superjet 100 terjadi. Sukhoi Superjet 100 menghilang dalam penerbangan demonstrasi berangkat dari Bandara Halim
Perdanakusuma, Jakarta, Indonesia. Pada tanggal 10 Mei, tampak bahwa pesawat jatuh langsung ke sisi gunung
berbatu. Sukhoi Superjet 100 kecelakaan pesawat disebabkan oleh kelalaian kru dalam membuat keputusan. Karena
kelalaian ini orang membutuhkan penjelasan dan tanggung jawab dari bandara, perusahaan pesawat terbang atau
Airline crew. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian hukum ini adalah untuk menganalisis bentuk-bentuk tanggung
jawab masing-masing pihak yang terlibat dalam kasus Sukhoi Superjet 100 kasus kecelakaan adalah Airport, Aircraft
Company, Crew penerbangan dan Pemerintah. Hasil penelitian hukum ini juga dimaksudkan untuk memperjelas
tanggung jawab berbagai pihak dalam kasus ini dan juga untuk memajukan hukum penerbangan di Indonesia.
Kata kunci: Bandara, perusahaan pesawat, awak pesawat.
Abstract
In the modern era the use of aircraft as the main transportation is very high. In 2001, the air transport sector has made a very
high development in regulation and the side effect thus resulting in many new airlines have emerged. Considering the fact
that previously there is only a few airlines known in Indonesia such as Garuda Indonesia Airlines, Merpati Airlines, Mandala
Airlines and etc. The significant increasing number of this new airline company is due to the flexibility of the new regulations
issued in 2001. The flexibility of the new regulation of Indonesia national air carrier also impact on the increasing number of
aircraft accidents. From year to year the number of aircraft accidents in Indonesia is increasing. Even after a new regulation
is made which is expected to reduce the number of aircraft accidents, it didn't stop the accident. On May 9, 2012 the Sukhoi
Superjet 100 Aircraft accident occurred. Sukhoi Superjet 100 disappeared in a demonstration flight departing from Halim
Perdanakusuma Airport, Jakarta, Indonesia. On May 10, it appears that the planes crashed directly into the side of a rocky
mountain. Sukhoi Superjet 100 plane crash was caused by the negligence of the crew in making decisions. Because of this
negligence people need explanation and responsibility from airport, aircraft company or Airline crew. Therefore, the purpose
of this legal research is to analyze the forms of responsibility of each party involved in the case Sukhoi Superjet 100 accident
cases is the Airport, Aircraft Company, the Flight Crew and The government. The results of this legal research is also
intended to clarify the responsibilities of the parties in this case and also to advance the aviation law in Indonesia.
Keyword: Airport, Aircraft Company, Flight Crew.
7372
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 65 - 72
9 Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Cetakan ke II: (PT.Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 297.10 Chappy Hakim, Awas Ketabrak Pesawat Terbang,(Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia), 2009, hlm. 88.11 Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, Op.cit., hlm. 189.12 Chappy Hakim, Awas Ketabrak Pesawat Terbang Ibid.,hlm. 6.13 Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan ,Op.cit., hlm. 190.14 Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan ,Op.cit., hlm. 119.15 “Adam Air Penerbangan KI-574”, <http://id.wikipedia.org/wiki/Adam_Air_Penerbangan_574>, diakses 12 Oktober 2012.
A. Pendahuluan
Pada jaman dahulu sebelum terjadinya revolusi
industri, manusia harus berjalan kaki dari satu
tempat untuk menuju ke tempat lainnya. Seiring
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan,
manusia menciptakan roda pada tahun 3500
Sebelum Masehi (untuk selanjutnya akan disebut
“SM”) sebagai cikal bakal penemuan transportasi
modern. Pada tahun 2000 SM manusia kemudian
mulai menggunakan tenaga kuda sebagai sarana
transportasi. Perkembangan di bidang transportasi
ini terus berlanjut sampai pada tahun 1750-1850
dimana terjadinya Revolusi Industri yaitu
perubahan radikal dalam usaha mencapai produksi
dengan menggunakan mesin-mesin, baik untuk 1tenaga penggerak maupun untuk tenaga pemroses.
Puncak perkembangan transportasi udara
terjadi pada tahun 1903 ketika Orville Wright dan
Wilbur Wright atau yang dikenal dengan Wright
Bersaudara berhasil menerbangkan pesawat 2terbang ciptaannya di Amerika Serikat. Setelah
penemuan Wright bersaudara, pesawat terbang
kemudian mengalami banyak perubahan dan
modifikasi untuk mengakomodasi kebutuhan
transportasi udara baik untuk kebutuhan jarak
dekat maupun jauh dan tidak hanya di Amerika
Serikat namun juga di berbagai negara, termasuk 3Indonesia. Pada tahun 1911 telah dilakukan
demonstrasi penerbangan pesawat bermotor
pertama di Indonesia tepatnya di Surabaya dan
seiring dengan perkembangan-perkembangan
industri di Indonesia, muncullah maskapai
penerbangan pertama di Indonesia.. Maskapai
penerbangan sendiri merupakan suatu perusahaan
penerbangan yang bergerak dalam bidang angkutan
udara yang mengangkut penumpag, barang, pos,
dan kegiatan keudaraan lainnya dengan
mengangkut bayaran, dengan menggunakan
pesawat terbang bersayap tetap maupun bersayap
putar yang melakukan kegiatan penerbangan 4secara berjadwal maupun tak berjadwal.
Pengaturan mengenai penerbangan yang
pertama terdapat dalam Undang-undang Republik
Indonesia No. 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan
yang kemudian diganti dengan Undang-undang
Republik Indonesia No.15 Tahun 1992 tentang
Penerbangan. Undang-undang ini pada akhirnya
dicabut karena dianggap tidak efektif dengan
absennya pasal-pasal penting, sebagai berikut:
1. Sumber daya yang professional dalam 5pengoperasian penerbangan
2. Persyaratan kepemilikan pesawat udara untuk 6memperoleh ijin usaha angkutan udara niaga.
3. Sanksi administratif, sanksi peringatan atau
pencabutan sertifikat, lebih lanjut lagi sebagian
sanksinya dijabarkan dalam peraturan
pemerintah, sedangkan peraturan pemerintah 7tidak terdapat sanksi administratif.
Undang-undang No 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan diharapkan dapat mengatasi
kekurangan dari undang-undang yang sebelumnya.
Pada tahun 2001, terjadi kemajuan yang
sangat pesat di bidang transportasi udara yang
ditandai dengan banyaknya maskapai penerbangan
baru yang bermunculan. Hal ini merupakan fakta
yang mengejutkan mengingat sebelumnya hanya
dikenal beberapa maskapai penerbangan seperti
Garuda Indonesia Airlines, Merpati Airlines,
Mandala Airlines dan sebagainya. Penambahan
maskapai penerbangan yang signifikan ini terjadi
karena adanya kelonggaran dalam peraturan yang
dikeluarkan oleh Menteri Perhubungan Republik
Indonesia (untuk selanjutnya akan disebut
“MENHUB RI”) pada tahun 2001 yaitu Keputusan
Menteri No 11 Tahun 2001 yang merubah kebijakan
nasional tentang industri udara.
Dengan keputusan tersebut pemerintah
merubah jenjang tahapan pemberian ijin yang
diterbitkan untuk kegiatan angkutan udara niaga,
yang meliputi daerah operasi, rute dan 8pengaturan kapasitas yang semakin terbuka. Hal
ini menyebabkan semakin banyaknya maskapai
yang hadir di Indonesia dan menurunnya harga
tiket yang tadinya sangat mahal. Penurunan
harga tiket pesawat terbang sebagai akibat
persa ingan antar maskapai -maskapai
penerbangan baru yang muncul membuat
penggunaan jasa pesawat terbang menjadi
meningkat dan hal tersebut dapat dilihat dengan
banyaknya pengguna pesawat terbang yang
seringkali memenuhi bandara udara.
Peningkatan penyelenggaraan angkutan udara
nasional di Indonesia berdampak pula pada
meningkatnya angka kecelakaan pesawat terbang
yang menjadi semakin sering terjadi. Dari tahun ke
tahun jumlah kecelakaan pesawat terbang di
Indonesia tak dapat dianggap sebagai hal yang
ringan. Jenis kecelakaan yang terjadi bervariasi,
yaitu dari kecelakaan ringan seperti pendaratan
yang keluar landasan sampai dengan kecelakaan
berat yang terjadi pada saat penerbangan di udara 9(cruising flight) yang berakibat fatal. Jumlah korban
yang timbul dari kecelakaan tersebut tidaklah
sedikit, yaitu hampir lebih dari 500 (lima ratus) jiwa
setiap tahunnya. Akibat tingginya tingkat
kecelakaan pesawat terbang Indonesia, Uni Eropa
melarang semua pesawat terbang Indonesia. Pada
tahun 2008, ICAO pun menemukan terlalu banyak
kecelakaan yang melibatkan pesawat terbang
Indonesia, sehingga ICAO, FAA dan Tim Uni Eropa
menyimpulkan adanya penyimpangan yang serius 10di Indonesia. Hal ini menyebabkan jatuhnya
pengaturan atau penguasaan sebagian wilayah
udara Indonesia di bawah pengawasan Pemandu
Lalu Lintas Udara negara lain. Pemandu Lalu Lintas
Udara adalah pengawas lalu lintas udara yang
bertujuan memandu dan meningkatkan
keselamatan penerbangan, keterpadanan dan 11pergerakan seluruh pesawat udara di ruang udara.
Reputasi penerbangan di Indonesia yang
sebelumnya sudah cukup buruk menjadi semakin
buruk ditambah lagi pengaturan lalu lintas udara
yang dikuasai oleh negara lain. Dari segi teknis,
kualitas peralatan sudah sangat tua dan juga
kurang memadainya pendidikan di bidang yang
bersangkutan juga menyebabkan Indonesia
tertinggal dari kemajuan teknologi dan
pengoperasian lalu lintas udara dari negara lain. Hal
ini menunjukan bahwa pengaturan bandar udara 12terhadap lalu lintas udara tidak efisien.
Kelancaran lalu lintas udara diatur oleh Bandar
udara yang berfungsi untuk membantu Pilot dalam
mengendalikan keadaan darurat, memberikan
informasi yang dibutuhkan pilot (seperti informasi
cuaca, informasi navigasi penerbangan, dan 13informasi lalu lintas udara).
Pembentukan Undang-undang Penerbangan
yang baru diharapkan dapat menurunkan jumlah
kecelakaan pesawat terbang, namun yang terjadi
adalah sebaliknya. Regulasi baru tersebut
nampaknya tidak diperdulikan oleh beberapa
maskapai penerbangan, melihat masih tingginya
angka kecelakaan pesawat dan semakin banyak
munculnya maskapai penerbangan baru di
Indonesia yang masih tidak memenuhi standar
kelaikudaraan, Kelaikudaraan adalah terpenuhinya
persyaratan minimum kondisi pesawat udara dan
atau komponen-komponennya untuk menjamin
keselamatan penerbangan dan mencagah 14terjadinya pencemaran lingkungan.
Salah satu penyebab tingginya angka
kecelakaan pesawat yang di Indonesia adalah
rendahnya kualitas sumber daya manusia dalam
pengelolaan penerbangan serta peralatan yang
dipakai. Profesionalitas sangat diperlukan dalam
pelaksanaan tugas di bidang penerbangan
mengingat tanggung jawab yang sangat besar
sehingga apabila terjadi 1 (satu) kesalahan yang
kecil saja dapat memakan korban puluhan atau
bahkan ratusan jiwa. Rendahnya kualitas dan
profesionalitas di bidang penerbangan dapat dilihat
dari kasus kecelakaan Adam Air Penerbangan KI-
574 di perairan majene Sulawesi Barat pada tanggal
1 Januari 2007. Kecelakaan ini terjadi karena
Kapten penerbang pesawat terlalu sibuk untuk
mencari letak malfunction pesawat sehingga tidak
memperhatikan ketinggian pesawat terbang dan
pada akhirnya pesawat terbang terlalu rendah 15sehingga mendarat di perairan dan tenggelam.
Penyebab jatuhnya pesawat terbang Adam Air
adalah kerusakan pada alat sistem navigasi yang
membantu pesawat untuk mengetahui arah.
Setelah kecelakaan Adam Air baru diketahui bahwa
seringkali terjadi kerusakan diperangkat sistem
navigasi pesawat saat terbang. Akan tetapi oleh
pihak Adam Air komponen tersebut tidak langsung
diganti tetapi hanya diperbaiki dan dianggap masih
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ke-4, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995), hlm. 773.2 “Moda Transportasi/Sejarah transportasi, <http://id.wikibooks.org/wiki/Moda_Transportasi/Sejarah_transportasi>, diakses 25 Januari 20143 “Moda Transportasi/Sejarah transportasi”, Loc.cit.4 Martono,Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, edisi 1: PT.Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 369.5 Martono & Ahmad Sudiro, Hukum Angkutan Udara, Cetakan ke II: (PT.Raja Grafindo Persada, 2010), hal.22.6 Ibid., hlm. 19.7 Ibid., hlm. 43.8 “Perkembangan Pengaturan Kegiatan Angkutan Udara Dalam Negeri”, <http://hubud.dephub.go.id/?id+page+detail+30>, diakses 12 oktober 2012.
7574
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 73 - 84 Tanggung Jawab Hukum Dalam Kecelakaan.....(Velliana Tanaya)
16layak beroperasi. Hal seperti inilah yang
menyebabkan kecelakaan pesawat terjadi tidak
hanya satu atau dua kali saja dalam setahun dan
rata-rata kasus kecelakaan pesawat terbang terjadi
karena kelalaian teknis serta kelalaian manusia.
Kecelakaan pesawat terbang menyebabkan
kerugian bagi pihak maskapai penerbangan dan
terutama keluarga korban karena selain kehilangan
salah satu anggota keluarganya seringkali korban
kecelakaan pesawat sangat susah untuk ditemukan
jenazahnya.
Bilamana dilihat dari peningkatan jumlah
kasus kecelakaan pesawat di Indonesia dari tahun
ke tahun seharusnya dilakukan upaya untuk dapat
memajukan profesionalitas pengelolaan di bidang
penerbangan dan pemerintah sebagai pembuat
peraturan segera mengambil tindakan yang sifatnya
menanggulangi dan mengatasi agar tingkat
kecelakaan pesawat di Indonesia semakin
berkurang. Upaya yang dapat ditempuh oleh pihak
maskapai penerbangan adalah dengan merekrut
sumber daya manusia yang berkualitas serta
professional dalam menjalankan tugas dan
tanggung jawabnya mengingat tingginya risiko di
bidang penerbangan yakni menyangkut nyawa
banyak orang. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
jumlah pengguna jasa pesawat terbang. Dalam 1
(satu) pesawat dapat mengangkut kira-kira 50 (lima
puluh) sampai 100 (seratus) orang penumpang
tergantung jenisnya.
Contoh lainnya dari rendahnya kualitas dan
profesionalitas sumber daya manusia di maskapai
penerbangan Indonesia adalah jatuhnya pesawat
Merpati Nusantara Airlines Penerbangan 8968 di
Papua tahun 2011. Hasil dari penyelidikan adalah
kecelakaan ini disebabkan oleh kesalahan pilot. Hal
ini disebabkan pilot membatalkan pendaratan dan
membelokan pesawat ke arah kiri secara tajam
dengan kemiringan yg sangat tinggi yaitu 38 (tiga
puluh delapan) derajat. Hal itu juga diikuti dengan
ketidakpatuhan pilot untuk mengikuti prosedur
normal untuk menarik sirip sayap (flap) sehingga
mengakibatkan pesawat kehilangan ketinggian 17secara cepat. Kedua contoh kecelakaan pesawat
terbang yang pernah terjadi di Indonesia membawa
pada kesimpulan bahwa tidak dapat dipungkiri lagi
sudah terjadi pelanggaran hampir di setiap aspek
dalam maskapai penerbangan, yakni lapangan,
manajemen dan teknis penerbangan.
Maskapai penerbangan Internasional negara
lain hampir tidak pernah mengalami kecelakaan
pesawat pada waktu yang berdekatan. Hal tersebut
dikarenakan adanya kepatuhan, kedisiplinan dan
profesionalitas dalam melaksanakan kewajibannya
dan tanggung jawabnya. Apabila terjadi satu
kecelakaan yang kecil saja, maka sudah dapat
dipastikan bahwa maskapai penerbangan itu akan
dilarang untuk beroperasi, atau harus dilakukan
pemeriksaan secara mendetail oleh pihak yang
berwenang di bidang penerbangan. Hal ini
dilakukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan
berikutnya. Kedisiplinan maskapai penerbangan
asing dikarenakan kuatnya penegakan regulasi
dari pihak pembuat undang-undang sedangkan di
Indonesia dengan lemahnya penegakan hukum di
bidang penerbangan maka tidaklah asing bila setiap
tahunnya terjadi kecelakaan pesawat di Indonesia.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa kecelakaan pesawat terbang dapat saja
terjadi dalam berbagai aspek sehingga tidak hanya
maskapai penerbangan saja yang selalu diminta
pertanggung jawaban karena masih terdapat pihak
lain seperti pengelola Bandar udara serta awak
pesawat yang dapat saja berkontribusi dalam
kecelakaan tersebut. Seperti halnya dalam
kecelakaan Pesawat Terbang Sukhoi Superjet 100
yang terjadi pada tanggal 9 Mei 2012 ketika sebuah
pesawat Sukhoi Superjet 100 menghilang dalam
penerbangan demonstrasi yang berangkat dari
Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta,
Indonesia. Pada tanggal 10 Mei, reruntuhan
Superjet Sukhoi terlihat di tebing di Gunung Salak,
sebuah gunung berapi di provinsi Jawa Barat.
Karena bidang yang luas di mana puing-puing
pesawat menabrak gunung, penyelamat
menyimpulkan bahwa pesawat langsung menabrak
sisi berbatu gunung. Kecelakaan pesawat Sukhoi
Superjet 100 ini disebabkan oleh kelalaian pihak 18awak pesawat dalam mengambil keputusan.
Hal ini kemudian membuka ruang bagi orang
untuk mendapatkan pertanggung jawaban baik
dari pihak pengelola Bandar Udara, Awak Pesawat
atau Maskapai Penerbangan dalam hal terjadinya
kecelakaan pesawat terbang, yang akan tim peneliti
teliti lebih lanjut dalam penelitian berjudul
“Tanggung Jawab Hukum dalam Kecelakaan
Pesawat Terbang Sukhoi Superjet 100” dengan
rumusan masalah Bagaimana Bentuk Pertanggung
Jawaban Hukum Oleh Bandara, Awak Pesawat,
Perusahaan Penerbangan dan Pemerintah Dalam
Kecelakaan Pesawat Terbang Sukhoi Superjet 100?
B. Pembahasan dan Analisis
B.1.Kronologis Kecelakaan Pesawat Udara
Sukhoi Superjet 100, di Gunung Salak, Jawa
Barat tanggal 9 Mei 2012
Pada tanggal 9 Mei 2012, pesawat Sukhoi RRJ-
95B, registrasi 97004 dengan nomor penerbangan
RA 36801 yang dioperasikan oleh Sukhoi Civil
Aircraft Company melakukan penerbangan promosi
(demonstration flight) dari Bandar Udara Inter-
nasional Halim Perdanakusuma. Penerbangan yang
mengalami kecelakaan adalah penerbangan kedua
pada hari itu. Dalam penerbangan tersebut terdapat
45 orang yang terdiri dari 2 pilot, 1 navigator, 1 flight
test engineer dan 41 orang penumpang yang terdiri
dari 4 orang personil dari Sukhoi Civil Aircraft
Company (SCAC), 1 orang personil dari pabrik mesin
pesawat (SNECMA) dan 36 orang tamu undangan
yang terdiri dari 34 orang warga negara Indonesia, 1
warga negara Amerika dan 1 warga negara Perancis.
Penerbangan direncanakan menggunakan aturan
terbang secara instrumen (Instrument Flight
Rules/IFR) pada ketinggian 10.000 kaki selama 30
menit dengan bahan bakar yang mampu untuk
terbang selama 4 jam. Wilayah yang diijinkan untuk
penerbangan ini adalah di area Bogor sementara itu
pilot mempunyai asumsi bahwa penerbangan
tersebut telah disetujui untuk terbang ke arah radial 19200 HLM VOR sejauh 20 Nm.
Peta yang tersedia pada pesawat tidak memuat
informasi mengenai area Bogor sebagai area latih
pesawat militer maupun kontur dari pegunungan
disekitarnya. Dalam penerbangan tersebut Pilot In
Command (PIC) bertugas sebagai pilot yang
mengemudikan pesawat dan Second In Command
(SIC). Bertugas sebagai pilot monitoring. Di-cockpit,
pada tempat duduk observer (jump seat) duduk
seorang wakil dari calon pembeli.
Pada pukul 07:20 UTC (Universal Time
Coordinated) atau 14:20 WIB, pesawat tinggal
landas dari landasan 06, kemudian berbelok ke
kanan hingga mengikuti ke radial 200 HLM VOR
dan naik ke ketinggian 10.000 kaki. Pada pukul
07:24 UTC (14:24 WIB), pilot melakukan
komunikasi dengan Jakarta Approach dan
memberikan informasi bahwa pesawat telah berada
pada radial 200 HLM VOR dan telah mencapai
ketinggian 10.000 kaki. Pada pukul 0726 UTC
(1426 WIB), pilot minta ijin untuk turun ke
ketinggian 6.000 kaki serta untuk membuat orbit
(lintasan melingkar) ke kanan. Ijin tersebut
diberikan oleh petugas Jakarta Approach. Tujuan
pilot untuk turun ke ketinggian 6.000 kaki dan
membuat orbit adalah agar pesawat tidak terlalu
tinggi untuk proses pendaratan di Halim 20menggunakan landasan 06.
Pada pukul 07:32:26 UTC (1432 lewat 26 detik
WIB, berdasarkan waktu yang tercatat di Flight Data
Recorder/FDR pesawat menabrak tebing Gunung
Salak pada radial 198 dan 28 Nm HLM VOR, atau
pada koordinat 06°42'45”S 106°44'05”E dengan
ketinggian sekitar 6.000 kaki di atas permukaan
laut. Tiga puluh delapan (38) detik sebelum
benturan, Terrain Awareness Warning System
(TAWS) memberikan peringatan berupa suara:
“TERRAIN AHEAD, PULL UP” dan diikuti oleh enam
(6) kali “AVOID TERRAIN”. PIC mematikan (inhibit)
TAWS tersebut karena berasumsi bahwa
peringatan-peringatan tersebut diakibatkan oleh
database yang bermasalah. Tujuh (7) detik
menjelang tabrakan, terdengar peringatan berupa
suara “LANDING GEAR NOT DOWN” yang berasal
dari sistem peringatan pesawat. Peringatan
“LANDING GEAR NOT DOWN” aktif apabila pesawat
berada pada ketinggian kurang dari 800 kaki di atas
permukaan tanah dan roda pendarat belum 21diturunkan.
Pada jam 0750 UTC (1450 WIB) petugas
Jakarta Approach menyadari bahwa target pesawat
Sukhoi RRJ95B sudah hilang di layar radar. Tidak
ada bunyi peringatan sebelum lenyapnya titik target
pesawat dari layar radar.
Pada tanggal 10 Mei 2012 (keesokan harinya),
Badan Search and Rescue Nasional (BASARNAS)
berhasil menemukan lokasi pesawat. Semua awak
pesawat dan penumpang meninggal dalam
kecelakaaan ini serta pesawat dalam kondisi
hancur. Pada tanggal 15 Mei 2012, Cockpit Voice 16 “Adam Air Penerbangan 574 Bagian 2: Pemeliharaan Pesawat”, <http://www.ilmuterbang.com/artikel-mainmenu-29/keselamatan-penerbangan-mainmenu-48/104-adam-air?start=2,> diakses 12 Oktober 2012.17 “Merpati Nusantara Airlines Penerbangan 8968”, <http://id. wikipedia. org/ wiki/ Merpati_Nusantara_Airlines_Penerbangan_8968>, diakses 12 Oktober 2012.18 K e c e l a k a a n S u k h o i S u p e r j e t 1 0 0 d i G u n u n g S a l a k < h t t p : / / i d . w i k i p e d i a . o r g / w i k i / Kecelakaan_Sukhoi_Superjet_100_di_Gunung_Salak>, diakses 20 November 2012.
19 Aircraft Accident Investigation Report “Sukhoi Civil Aircraft Company Sukhoi RRJ-95B; 97004 Mount Salak, West Java”. National Transportation Safety Committee, 18 Desember 2012, hal. ix.20 Aircraft Accident Investigation Report ,Loc.cit., hal.ix.21 Aircraft Accident Investigation Report. Loc.cit., hal.ix.
7776
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 73 - 84 Tanggung Jawab Hukum Dalam Kecelakaan.....(Velliana Tanaya)
Recorder (CVR) telah ditemukan dalam keadaan
hangus akan tetapi memory module dalam keadaan
baik dan berisikan 2 jam rekaman dengan kualitas
yang baik. Pada tanggal 31 Mei 2012, Flight Data
Recorder (FDR) ditemukan dalam keadaan baik dan
berisikan 150 jam rekaman dari 471 parameters.
Kedua flight recorder (black box) ini dibaca di
laboratorium recorder milik KNKT oleh ahli dari
KNKT dan disaksikan oleh ahli dari Russia. Seluruh
parameter berhasil di-download dan dari hasil
download tersebut tidak ditemukan adanya indikasi
kerusakan sistem pada pesawat selama
penerbangan. Hasil simulasi yang dilakukan setelah
kejadian diketahui bahwa, TAWS berfungsi dengan
baik dan memberikan peringatan dengan benar.
Simulasi juga menunjukan bahwa benturan dapat
dihindari jika dilakukan tindakan menghindar
(recovery action) sampai dengan 24 detik setelah 22peringatan TAWS yang pertama.
Pelayanan Jakarta Radar belum mempunyai
batas ketinggian minimum untuk melakukan vector
pada suatu daerah tertentu dan Minimum Safe
Altitude Warning (MSAW) yang ada pada sistem
tidak memberikan peringatan kepada petugas
Jakarta Approach sampai dengan pesawat
menabrak. Vector adalah perintah berupa arah yang
diberikan oleh pengatur lalu lintas udara kepada 23pilot pada pelayanan radar.
B.2.Tanggung Jawab Bandar Udara dalam
Kecelakaan Pesawat Sukhoi Superjet 100
Bandar Udara bertanggung jawab
menyediakan pelayanan PKP-PK (Pertolongan
Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran)
yang berkewajiban untuk memberikan pertolongan
guna menyelamatkan para penumpang, sekaligus
menghindari kerugian yang lebih besar sebagai
dampak dari suatu kecelakaan pesawat terbang.
Bandara juga bertanggung Jawab untuk
memastikan suatu pesawat dapat mendarat dan
lepas landas dengan aman, dimana peran Pengatur
Lalu Lintas sangat besar untuk memastikan
terjaminnya suatu keamanan penerbangan di udara
sesuai dengan Peraturan Keselamatan Penerbangan
Sipil 139 Sub Bagian 139H dalam poin 139.135
tentang penerapannya PK-PK.
Dalam hal kecelakan Sukhoi Superjet, banyak
dugaan bahwa pengatur lalu lintas udara (air traffic
controler/ATC) Jakarta yang menyebabkan
kecelakaan karena memberikan ijin penurunan
ketinggian jelajah pesawat dari semula 10.000 kaki
(3.048 meter dpl) menjadi 6.000 kaki (1.830 meter
dpl) padahal di selatan Bogor ada jajaran Gunung
Halimun dan Salak, masing-masing memiliki
ketinggian puncak 6.219 kaki (1.895 meter dpl) dan
7.151 kaki (2.180 meter dpl). Sesuai dengan kotak
hitam perekam data, menunjukkan bahwa semua
sistem dalam pesawat Sukhoi SuperJet-100
berfungsi normal hingga detik terakhir tanpa ada
masalah. Meskipun kawasan Gunung Salak saat
itu diliputi awan Cumulonimbus, tetapi tidak terjadi
hempasan yang menurunkan ketinggian pesawat 24secara drastis.
Guna melakukan demo terbang (joyflight) di
Indonesia, SCAC menetapkan Bandara Halim
Perdanakusuma sebagai basis dan memilih PT
Indoasia Ground Utama sebagai kru darat untuk
mempersiapkan semua kebutuhan pra- dan pasca-
terbang. Mengingat padatnya lalu lintas udara di
ruang udara Jakarta bagian utara, maka demo
terbang bakal dilakukan di ruang udara Jakarta
bagian selatan dan bakal berlangsung dua kali.
Sempat muncul usulan rute demo terbang
Jakarta-Pelabuhan Ratu, namun pada akhirnya
disepakati demo terbang hanya berlangsung atas
Depok-Bogor sejauh maksimum 25 mil nautika (45
km) dari bandara Halim Perdanakusuma dengan
ketinggian jelajah maksimum 10.000 kaki (3.048
meter dpl). Dengan demikian demo terbang hanya
akan berlangsung di ruang udara Atang Sanjaya
Training Area, yang adalah kawasan militer hingga
ketinggian maksimum 6.000 kaki (1.828 meter dpl).
Di atas batas ketinggian 6.000 kaki ini
bukanlah kawasan militer sehingga diperbolehkan
untuk lalu lintas udara sipil. Yang menjadi titik
kesalahan kru darat, mereka tidak menyertakan
peta topografi dan mem-briefing karakter ruang
udara tujuan sehingga pilot dan kopilot
menganggap (bahkan meyakini) ruang udara itu
adalah datar (seperti ternyata dalam percakapan
pilot dengan tamu undangan di kokpit pada pukul
14:30:44 s/d 14:30:48 WIB) tanpa menyadari
bahwa persis di sisi selatan terdapat jajaran
Gunung Halimun dan Gunung Salak.
ATC Jakarta pun turut menanggung beban,
yang diawali dari kekeliruan pencatatan Sukhoi
SuperJet-100 dalam database mereka menjadi
Sukhoi-30, sehingga di tampilan di layar radar
adalah Su-30 (akronim Sukhoi-30). Padahal Su-30
adalah akronim untuk pesawat militer, sehingga
petugas ATC Jakarta pun menganggap
penerbangan Sukhoi SuperJet-100 itu sebagai
penerbangan “militer” yang membuatnya
diperkenankan untuk turun ke ketinggian 6.000
kaki saat berada di ruang udara Atang Sanjaya
Training Area, padahal seharusnya tidak
diperbolehkan.
Kesalahan berikutnya, ruang udara Gunung
Salak dan Gunung Halimun ternyata tidak
dimasukkan pula dalam database radar sehingga
tidak diketahui nilai ketinggian jelajah minimal
untuk terbang di sini. Dan kesalahan berikutnya
lagi, meski radar ATC Jakarta memiliki sistem alarm
yang bakal memberitahukan petugas jika ada
pesawat yang terbang terlalu rendah (dibawah
ketinggian jelajah minimal), namun pada saat
tragedi terjadi alarm itu ternyata dalam kondisi non-
aktif. Masalah kurangnya sumberdaya manusia di
ATC Jakarta juga menjadi bidikan KNKT mengingat
saat penerbangan Sukhoi SuperJet-100 itu
berlangsung, petugas ATC Jakarta yang
mengawasinya juga harus menangani 14
penerbangan lainnya secara simultan dan sendirian
sehingga terpaksa berperan sebagai petugas,
asisten dan supervisor sekaligus.
Beban kerja yang berat inilah yang
menyebabkan menghilangnya Sukhoi SuperJet-100
dari layar radar baru disadari dalam 24 menit pasca
kecelakaan. Sebaliknya otorisasi penurunan
ketinggian jelajah ke 6.000 kaki ternyata tidak
menjadi masalah mengingat hal itu memang
diperbolehkan dengan catatan hanya sebatas di
ruang udara Atang Sanjaya Training Area. ATC
Jakarta pun turut menanggung beban, yang diawali
dari kekeliruan pencatatan Sukhoi SuperJet-100
dalam database mereka menjadi Sukhoi-30,
sehingga di tampilan di layar radar adalah Su-30
(akronim Sukhoi-30). Padahal Su-30 adalah
akronim untuk pesawat militer, sehingga petugas
ATC Jakarta pun menganggap penerbangan Sukhoi
SuperJet-100 itu sebagai penerbangan “militer”
yang membuatnya diperkenankan untuk turun ke
ketinggian 6.000 kaki saat berada di ruang udara
Atang Sanjaya Training Area, padahal seharusnya
tidak diperbolehkan.
Ada beberapa factor sehingga kemungkinan
terjadinya kelalaian atau kelengahan sangat besar
dalam melaksanakan pekerjaan bagi ATC. Faktor-25faktor tersebut meliputi:
1. Personal
Kebutuhan akan personal di bidang ATC
sangat jelas. Pada unit Are Control Centre
kebutuhan idealnya adalah 10 (sepuluh) orang 26dengan perincian sebagai berikut:
a. 2 (Dua) Orang sebagai shift leader/
supervisor yang mengawassi setiap Air
Traffic Controller yang sedang bertugas dan
mengatur mekanisme kerja pada saat itu.
b. 4 (empat) Senior Air Traffic Controller yang
memiliki Radar Rating yang melakukan
fungsi pengaturan dan pemanduan lalu
lintas udara dengan memeprgunakan
peralatan radar.
c. 2 (dua) orang Senior Air Traffic Controller
yang melakukan pengaturan lalu lintas
udara tanpa peralatan radar.
d. 2 (dua) orang Junior Air Traffic Controller
sebagai Flight Data.
Tidaklah jarang hanya ada 5 (lima) orang saja
pada prakteknya di lapangan. Dalam kondisi
seperti dalam kenyataan diatas peranan
supervisor hampir tidak terlihat. Hal mana
disebabkan karena mereka ikut juga bekerja
sebagai controller sehingga fungsi pengawasan
tidak berjalan semestinya. Pada setiap shift selalu
dibagi menjadi dua kelompok. Yaitu kelompok
bagian barat dan kelompok bagian timur yang 27biasanya terdiri dari 3 (tiga) orang, yaitu:
a. Satu orang shift leader;
b. Satu orang Senior Air Traffic Controller yang
memiliki Radar Rating;
c. Satu orang Senior Air Traffic Controller (non
radar).
Mengingat bahwa unit-unit ATC bekerja selama
24 jam, maka waktu kerjanya dibagi menjadi 3 28(tiga) kelompok, yaitu:
a. Kelompok pagi, dari jam 07.00-14.00;
b. Kelompok siang, dari jam 14.00-19.00;
c. Kelompok malam, dari jam 19.00-07.00.
22 Aircraft Accident Investigation Report Loc.cit., hal.x.23 Aircraft Accident Investigation Report Loc.cit., hal.x.24 Aircraft Accident Investigation Report Loc.cit., hal.x.
25 Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Cetakan Kedua, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 146.26 Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dna Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Ibid., hlm. 146.27 Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dna Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Ibid., hlm. 147.28 Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dna Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Ibid., hlm. 147.
7978
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 73 - 84 Tanggung Jawab Hukum Dalam Kecelakaan.....(Velliana Tanaya)
2. Kapasitas Kerja
Kurang personal juga mempengaruhi kapasitas
kerja, karena disamping harus mengadakan
pengaturan dan pengawasan lalu lintas udar,
seorang ATC juga harus melakukan
Koordinasi. Untuk satu pesawat udara paling
sedikit memerlukan 2 (dua) kali koordinasi.
Apabila pada saat jadwal penerbangan yang
padat, maka kurang lebi haru dilakukan 40
(empat puluh) kali koordinasi dan hal ini
menyangkut hal-hal pokok saja. Agar
koordinasi berjalan lancar seharusnya hal ini
dilakukan oleh seorang Asisten Controller
sehingga Air Traffic Controller dapat
memaksimalkan peforma kerjanya pada
pengaturan dan pengendalian pesawat udara
yang aktif saja. Dalam pelaksanaan tugas ATC
seringkali pada saat yang sama seorang ATC
harus melakukan 2 (dua) pekerjaan sekaligus,
hal ini dapat dilakukan berkat kemantapan
serta pengalaman yang bersangkutan. Akan
tetapi tidak semua orang mempunyai kapasitas
yang sama. Terlebih dalam pekerjaan ini
membutuhkan ketelitian dan ketangkasan
dalam mengambil kebijaksanaan dalam suatu
keputusan yang harus seketika itu 29dilaksanakan.
3. Sarana Komunikasi
Dalam hal sarana komunikasi terdapat TX
(Transmitter) dan RX (Receiver), yaitu suatu
perangkat pesawat radio untuk memancarkan
dan menerima. Akan tetapi pada keadaaan
cuaca buruk pesawat radio seringkali
terganggu, terkadang pemberian instruksi
harus diulang berkali-kali karena suara yang
didengar tidak jelas atau terputus-putus.
Berikut adalah perangkat-perangkat
komunikasi dalam hal pengendalian lalu lintas 30udara, yaitu:
a. Local Baterray, merupakan perangkat
komunikasi didarat yang dipergunakan untuk
mengadakan kordinasi sesama unit ATC.
b. Inter Automatic Direct Speech, merupakan
perangkat komunikasi sesama ATC unit
pada pelabuhan udara yang berbeda.
Seringkali dalam operasi penerbangan
perangkat-perangkat ini berbunyi pada saat yang
bersamaan. Seorang Pemandu ATC harus mampu
mendengarkan dan mencatat semua yang
dikoordinasikan, bila terjadi kesalahan maka dapat 31mengakibatkan kejadian yang fatal.
Dalam hal pertanggung jawaban di dalam
dunia Penerbangan terdapat dua macam tanggung
jawab, masing-masing dalam arti liability dan 32tanggung jawab dalam arti responsibility. Dalam
hal Liability ATC tidak bertanggung jawab untuk
membayar kerugian yang diderita oleh pihak
korban kecelakaan pesawat, sebab tanggung jawab
tersebut ditanggung oleh perusahaan penerbangan
berdasarkan Pasal 1367 Kitab Undang-undang 33Hukum Perdata dan ajaran hukum yang berlaku.
Menurut ajaran hukum tersebut majikan dan
pegawainya dianggap menjadi satu untuk
keperluan tanggung jawab. Tanggung jawab dalam
hal Responsibility berdasarkan Undang-undang
Dasar Republik 1945 siapa pun akan diperlakukan
sama didepan hukum, termasuk dengan pemandu
lalu lintas udara (ATC). Pemandu lalu lintas udara
tetap bertanggung jawab terhadap tindakannya
tergantung tingkat kesalahan yang dilakukan.
Mereka dapat dikenakan sanksi administratif
berupa teguran lisan maupun tertulis, cabut
sertifikat kecakapan, tidak ada perpanjangan
sertifikat kecakapan dan sampai dapat diajukan di
pengadilan sesuai dengna tingkat kesalahan 34mereka. Akan tetapi dalam kasus Sukhoi pihak
bandara dianggap tidak bersalah sehingga tidak ada
pertanggung jawaban yang dituntut. Hal ini
dikarenakan kesalahan berada pada pihak pilot in
command dan sesuai dengan Undang-undang yang
berlaku pihak perusahaan penerbangan yang
bertanggung jawab atas kecelakaan pesawat
Sukhoi.
B.3.Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan
dalam Kecelakaan Pesawat Sukhoi.
Dalam hal jatuhnya pesawat Sukhoi,
perusahaan penerbangan Sukhoi yang berasal dari
Rusia yang bernama Sukhoi Civil Aircraft Company
(untuk selanjutnya akan disebut “SCAC”) harus
memberikan ganti rugi pada pihak keluarga korban
sesuai dengan Peraturan Menteri No. 77 Tahun
2011 (untuk selanjutnya akan disebut “PM
No.77/2011”) mengenai Tanggung Jawab
Pengangkut Angkutan Udara. Mengenai tanggung
jawab pengangkut Angkutan Udara yang dimaksud
dengan pengangkut dalam PM No.77/2011 pasal 1
ayat 2, yaitu:
“Badan Usaha Angkutan Udara, pemegang izin
kegiatan angkutan udara bukan niaga yang
melakukan kegiatan angkutan udara niaga
berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang
Penerbangan, dan/atau badan usaha selain Badan
Usaha Angkutan Udara yang membuat kontrak
perjanjian angkutan udara niaga.”
Dalam PM No.77/2011 juga terdapat definisi
kecelakaan dalam pasal 1 ayat 12 yaitu, Kecelakaan
adalah peristiwa pengoperasian pesawat udara yang
mengakibatkan kerusakan berat pada peralatan
atau fasilitas yang digunakan dan/atau korban jiwa
atau luka serius.
Sesuai dengan PM No.77/2011 dalam kasus
kecelakaan Sukhoi, SCAC milik Rusia ini harus
memberikan asuransi sebagai bentuk pertanggung
jawaban atas kecelakaan pesawat Sukhoi yang
jatuh pada tanggal 9 Mei 2012 lalu. Jenis Tanggung
jawab dan besaran ganti kerugian ini diatur dalam
Bab II PM No.77/2011 dimana Pengangkut yang
mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung
jawab atas kerugian terhadap:
a. Penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap
atau luka-luka;
b. Hilang atau rusaknya bagasi kabin;
c. Hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat
d. Hilang, musnah, atau rusaknya kargo;
e. Keterlambatan angkutan udara; dan
f. Kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.
Menteri Perhubungan meminta agar SCAC
untuk memberikan Asuransi pada pihak keluarga
korban dan ahli waris dari korban kecelakaan
pesawat. Sesuai dengan PM No.77/2011 pasal 3
huruf (a) ,yaitu: “Penumpang yang meninggal dunia
di dalam pesawat udara karena akibat kecelakaan
pesawat udara atau kejadian yang semata-mata ada
hubungannya dengan pengangkutan udara
d i b e r i k a n g a n t i k e r u g i a n s e b e s a r
Rp.1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima
puluh juta rupiah) per penumpang.”
Setelah hasil Investigasi KNKT atas kecelakaan
pesawat ini maka SCAC diwajibkan untuk
memberikan pertanggung jawaban berupa asuransi
senilai Rp.1.250.000.000 ( satu milyar dua ratus
lima puluh juta rupiah) sebagai ganti rugi atas
kecelakaan pesawat yang menimpa keluarga
penumpang pesawat Sukhoi.
B.4.Tanggung Pemerintah dan KNKT dalam
Kecelakaan Pesawat Sukhoi.
Pemerintah yang sebagaimana disebut dalam
penelitian ini adalah pihak-pihak yang
bertanggung jawab untuk memberikan sanksi
administratif dalam hal terjadi kecelakaan
dibidang penerbangan. Pihak-pihak tersebut
adalah Menhub, Dirjen Perhubungan Udara dan
KNKT. Dalam hal ini Menhub sebagai pemegang
otoritas penerbangan nasional yang bertanggung
jawab terhadap pengelolaan penerbangan sipil
terutama dalam aspek keamanan terbang
memberikan tugas pada Dirjen Perhubungan
Udara untuk mengawasi pelaksanaan Investigasi
Kecelakaan pesawat terbang yang dilaksanakan
oleh KNKT. Disini KNKT bertugas untuk mencari
sumber permasalahan dalam kecelakaan pesawat
terbang Sukhoi dan berkewajiban untuk
melaporkan hasil Investigasi kepada Dirjen
Perhubungan Udara.
Ini diatur dalam Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor: KM 25 Tahun 2009
mengenai Pendelegasian Kewenangan Menteri
Perhubungan Kepada Direktur Jendral
Perhubungan Udara Di Bidang Penerbangan dalam
pasal 1 (Satu). Sedangkan KNKT sendiri diatur
dalam Peraturan Pressiden No.2 Tahun 2012.
KNKT sebagai pihak Investigator juga berfungsi
sebagai berikut:
1. Komite bertanggung jawab untuk menyelidiki
dan melaporkan kecelakaan sistem
transportasi udara, insiden serius dan
kurangnya keamanan dalam pengoperasian
sistem transportasi udara di Indonesia.
2. Komite ini juga berpartisipasi sebagai
perwakilan yang terakreditasi di luar negeri
dalam investigasi kecelakaan dan insiden
serius yang melibatkan transportasi yang
dibangun, terdaftar dan atau pengoperasian
pesawat Indonesia.
3. Komite melakukan investigasi dan studi sistem
transportasi udara untuk mengidentifikasi,
memperbaiki dan mencari faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi keamanan dan
berpotensi menjadi faktor-faktor yang
signifikan dalam kecelakaan.
29 Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dna Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Ibid., hlm. 148.30 Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dna Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Ibid., hlm. 148.31 Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dna Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Ibid., hlm.148.32 Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan,Op.cit, hlm. 380.33 Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan,Op.cit,hlm. 380.34 Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, Op.cit, hlm. 380.
8180
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 73 - 84 Tanggung Jawab Hukum Dalam Kecelakaan.....(Velliana Tanaya)
4. Komite bertanggung jawab untuk secara
independen menasihati Menteri komunikasi
melalui NTSC pada tren keselamatan dan isu-
isu keamanan luas.
5. Penyelidikan kecelakaan pesawat yang
dilakukan sesuai dengan Annex 13 dari
Konvensi mengenai penerbangan sipil
internasional, dan mempertimbangkan hukum
Indonesia dengan peraturan yang ada.
Dalam Investigasi kecelakaan suatu pesawat
seperti dalam hal kasus kecelakaan Sukhoi, KNKT
berfungsi untuk mencari “Apa yang salah dan
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebab
kecelakaan dalam Pesawat”. Tujuan KNKT dalam
melaksanakan Investigasi untuk mencegah
terjadinya kecelakaan yang serupa dimasa
mendatang. Dalam hasil laporan Investigasi KNKT
ditemukan 3 (tiga) factor yang berkontribusi
terhadap kecelakaan pesawat Sukhoi ini, yaitu:
1. Awak pesawat tidak menyadari kondisi
Pegunungan di sekitar jalur penerbangan yang
dilalui karena beberapa factor yang berakibat
awak pesawat mengabaikan peringatan dari
TAWS.
2. Pelayangan Radar belum mempunyai batas
ketinggian minimum pada pesawat yang
diberikan vector (perintah berupa arah yang
diberikan oleh pengatur lalu lintas udara
kepada pilot pada pelayanan radar). Sistem dari
Radar di Jakarta belum dilengkapi dengan
MSAW (minimum safe altitude warning) yang
berfungsi untuk daerah Pegunungan Salak.
3. Terjadi pengalihan perhatian terhadap awak
pesawat dari percakapan yang berkepanjangan
dan tidak terkait dengan penerbangan. Hal ini
menyebabkan pilot yang menerbangkan
pesawat tidak dengan segera mengubah arah
pesawat ketika orbit dan pesawat keluar tanpa
sengaja.
Setelah Investigasi kecelakaan selesai KNKT
berkewajiban untuk mengumumkan hasil laporan
yang sudah disetujui oleh Menhub dan Dirjen
Perhubungan Udara kepada Publik yang kita kenal
sebagai “Media Release” dan pihak KNKT harus
mengeluarkan rekomendasi keselamatan kepada
Dirjen Perhubungan Udara, Bandara Internasional
Soekarno-Hatta, Departemen Industri Penerbangan
dan Industri Rusia SCAC. Menhub dan Dirjen
Perhubungan Udara sebagai pemegang otoritas
tertinggi disini bertanggung jawab untuk
memberikan sanksi administratif pada pihak yang
lalai dalam kecelakaan pesawat, akan tetapi para
pihak yang dipersalahkan tewas seketika pada saat
kecelakaan pesawat dan pihak ATC disini dianggap
tidak bersalah. Jadi kesalahan sepenuhnya terletak
pada pilot pesawat Sukhoi yang lalai dalam
mengambil keputusan disaat darurat.
C. Kesimpulan
Dari seluruh uraian uraian dalam penelitian
ini, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pihak
Bandara, Awak Pesawat, Perusahaan Penerbangan
dan Pemerintah memiliki tanggung jawab hukum
secara berbeda-beda dalam hal kecelakaan pesawat
Sukhoi Superjet 100 ini. Untuk lebih jelasnya
mengenai masing-masing tanggung jawab adalah
sebagai berikut:
a. Pihak Bandara tidak bertanggung jawab untuk
membayar kerugian yang diderita oleh pihak
korban kecelakaan pesawat akan tetapi pihak
bandara berkewajiban untuk memberikan
pertolongan dalam kecelakaan penerbangan
sesuai dengan Peraturan Keselamatan
Penerbangan Sipil 139 Sub Bagian 139H,
sebab tanggung jawab tersebut ditanggung oleh
perusahaan penerbangan berdasarkan Pasal
1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
dan ajaran hukum yang berlaku. Akan tetapi
ATC dapat dikenai tanggung jawab secara
administratif oleh Menhub apabila terjadi
kelalaian dalam pengoperasian lalu lintas
penerbangan dalam kasus Sukhoi Superjet 100
pihak Bandara dinyatakan tidak bersalah dan
pihak KNKT sudah mengkonfirmasi bahwa
kecelakaan pesawat tersebut semata-mata
dikarenakan kelalaian pilot dan dikarenakan
pilot tewas seketika dalam kecelakaan naas
tersebut maka pihak perusahaan penerbangan
yang berkewajiban untuk bertanggung jawab
kepada keluarga pihak korban kecelakaan
tersebut.
b. Sesuai dengan hasil investigasi KNKT
menonjolkan bahwa sebab kecelakaan pesawat
Sukhoi Superjet 100 disebabkan oleh kelalaian
pilot. Dimana terdapat 3 (tiga) faktor utama:
1. Awak pesawat tidak menyadari kondisi
Pegunungan di sekitar jalur penerbangan
yang dilalui karena beberapa factor yang
berakibat awak pesawat mengabaikan
peringatan dari TAWS.
2. Pelayangan Radar belum mempunyai batas
ketinggian minimum pada pesawat yang
diberikan vector (perintah berupa arah yang
diberikan oleh pengatur lalu lintas udara
kepada pilot pada pelayanan radar). Sistem
dari Radar di Jakarta belum dilengkapi
dengan MSAW (minimum safe altitude
warning) yang berfungsi untuk daerah
Pegunungan Salak.
3. Terjadi pengalihan perhatian terhadap awak
pesawat dar i percakapan yang
berkepanjangan dan tidak terkait dengan
penerbangan. Hal ini menyebabkan pilot
yang menerbangkan pesawat tidak dengan
segera mengubah arah pesawat ketika orbit
dan pesawat keluar tanpa sengaja.
Dalam hal ini pilot sebagai pihak yang
bertanggung jawab sepenuhnya atas
kecelakaan pesawat terbang ini seharusnya
diberikan sanksi administratif atas
kelalaiannya.
c. Perusahaan penerbangan SCAC sebagai
perusahaan penerbangan yang terlibat dalam
kecelakaan ini bertanggung jawab sepenuh
pada korban dan brrkewajiban untuk
mengganti rugi atas kerugian yang diderita atas
keluarga pihak korban kecelakaan SCAC
berkewajiban memberikan ganti rugi berupa
asuransi pada pihak keluarga korban sekitar
Rp.1.250.000.000,- ( satu milyar dua ratus lima
puluh juta rupiah) sesuai dengan Peraturan
Menteri No.77 Tahun 2011 angka 3 huruf (a).
d. Pemerintah yang memegang otoritas tertinggi
adalah Menhub dimana Menhub bertugas
untuk melaporkan hasil kecelakaan pesawat
udara yang terjadi di Indonesia pada presiden.
Dibawah Menhub terdapat Dirjen Hubud yang
bertugas untuk memberikan perintah kepada
KNKT, mengawasi pelaksanaan Investigasi dan
memberikan sanksi kepada pihak yang
dianggap lalai dalam kecelakaan pesawat.
Setelah Dirjen Hubud terdapat sebuah lembaga
yang bertugas untuk melakukan penyelidikan
terhadap sebab dan faktor sebuah kecelakaan
transportaidi Indonesia yaitu KNKT. Setelah
hasil investigasi selesai, pihak KNKT
berkewajiban untuk melapor kepada Dirjen
Hubud dan Melakukan Media Release untuk
kejelasan mengenai sebab kecelakaan pesawat
Sukhoi Superjet 100. Setelah hasil laporan
KNKT diterima oleh Dirjen Hubud maka
barulah Dirjen Hubud dapat menetapkan
sanksi administratif apakah yang akan
diberikan pada pihak-pihak yang lalai.
Disinilah letak tanggung jawab pemerintah
yaitu mencari titik terang suatu insiden
kecelakaan transportasi, memberikan sanksi
administratif dan memberikan kejelasan
kepada publik perihal kecelakaan Sukhoi
Superjet 100. Tugas dan Tanggung Jawab
Pemerintah diatur dalam Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor: KM 25 Tahun 2009
mengenai Pendelegasian Kewenangan Menteri
Perhubungan Kepada Direktur Jendral
Perhubungan Udara Di Bidang Penerbangan
dalam pasal 1 (Satu). Sedangkan KNKT sendiri
diatur dalam Peraturan Pressiden No.2 Tahun
2012.
Daftar Pustaka
Buku:
Aircraft Accident Investigation Report “Sukhoi Civil
Aircraft Company Sukhoi RRJ-95B; 97004
Mount Salak, West Java”. National
Transportation Safety Committee, 18
Desember 2012
Hakim, Chappy, Awas Ketabrak Pesawat Terbang,
Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2009,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ke-4,
Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1995
Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dan
Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional,
Cetakan Kedua,, Bandung: Mandar Maju,
1995
Martono,Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan,
edisi 1, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada,
2007
Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan
Internasional, Cetakan ke II, Jakarta,
PT.Raja Grafindo Persada, 2007
Martono & Ahmad Sudiro, Hukum Angkutan Udara,
Cetakan ke II, Jakarta, PT.Raja Grafindo
Persada, 2010
Website :
Moda Transportasi/Sejarah transportasi,
<http://id.wikibooks.org/wiki/Moda_Transp
ortasi/Sejarah_transportasi>, diakses 25
Januari 2014
8382
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 73 - 84 Tanggung Jawab Hukum Dalam Kecelakaan.....(Velliana Tanaya)
Perkembangan Pengaturan Kegiatan Angkutan
Udara Dalam Negeri”, <http://hubud.
dephub.go.id/?id+page+detail+30>, diakses
25 Januari 2014
Adam Air Penerbangan KI-574”, <http://id.
wikipedia.org/wiki/Adam_Air_Penerbangan_
574>, diakses 27 Januari 2014
Adam Air Penerbangan 574 Bagian 2: Pemeliharaan
Pesawat”, <http://www.ilmuterbang.
com/artikel-mainmenu-29/keselamatan-
KERJASAMA INTERNASIONAL PERPINDAHAN NARAPIDANA
ANTARA WARGA NEGARA ASING DAN WARGA NEGARA INDONESIA
(TREATY ON TRANSFER OF SENTENCED PERSON BETWEEN
FOREIGNERS AND INDONESIAN CITIZEN)
Eka Martiana Wulansari
Bagian Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia, Deputi Perundang-undangan
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta 10270 Indonesia
Email : ekamartianawulansari@yahoo.co.id(Naskah diterima 07/02/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014)
Abstrak
Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP), adalah suatu perjanjian antar negara dengan subjek hukum negara dan
dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang Hukum Publik. Treaty on Transfer of Sentenced
Person (TSP ) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memaksimalkan pembinaan kepada narapidana. Treaty
on Transfer of Sentenced Person (TSP), dapat dilaksanakan apabila negara di mana Pengadilan bersedia memindahkan
narapidana ke negara asal dengan beberapa konsekuensi yaitu pertama, narapidana tetap harus menjalani hukuman
sesuai yang telah diputuskan oleh pengadilan. Kedua, pemindahan narapidana mensyaratkan adanya Putusan
Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Ketiga, pemindahan narapidana yang disepakati semata-mata
adalah upaya memfasilitasi para narapidana untuk dapat menjalani hukumanya di negara asal.
Kata kunci: Kerjasama Internasional, Perpindahan Narapidana.
Abstract
Treaty on Transfer of sentenced Person (TSP), which is an agreement between states with state as a legal subject made in
writing and creates rights and obligations in the area of Public Law. Treaty on Transfer of sentenced Person (TSP) is one of
the government's efforts to maximize training to inmates. Treaty on Transfer of sentenced Person (TSP), can be implemented
if the state where the court is willing to move the prisoners to their home countries with few consequences: first, inmates still
have to wak on the appropriate punishment that has been decided by the courts. Second, the transfer of inmates requires a
court verdict that had been legally enforceable. Third, the agreed transfer of inmates is merely facilitating the inmates to wak
on the appropriate punishment in the country of origin.
Keywords: Treaty, Transfer of Sentenced Person.
bersangkutan di negara asal guna menjalani sisa
masa hukumannya, dalam suatu prosedur yang
dikenal sebagai Treaty on Transfer of Sentenced
Person (TSP).
Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP)
semakin mengemuka di era globalisasi dimana
interaksi dan hubungan antar negara maupun
“people to people contact” menjadi semakin
meningkat. Dalam prosesnya, norma-norma
hukum Internasional dan hukum nasional berlaku
sebagai aturan yang dijadikan dasar bagi suatu
negara didalam menerapkan suatu kebijakan.
Pertimbangan utama dilakukannya pemindahan
narapidana ini adalah karena alasan kemanusiaan,
antara lain, perbedaan bahasa, kebudayaan, agama
atau jarak yang jauh dengan keluarganaya sering
mengakibatkan narapidana mengalami kesulitan
A. Pendahuluan
Bagi Indonesia, meningkatnya hubungan
dengan negara-negara lain telah membawa dampak
bagi peningkatan arus orang dan barang yang
keluar dan masuk Indonesia. Hal ini dapat dilihat
dari banyaknya Warga Negara Indonesia (WNI) yang
berada di negara lain maupun Warga Negara Asing
(WNA) yang berada di Indonesia.
Peningkatan mobilitas antar negara
berimplikasi pada perlunya dipatuhi hukum
nasional yang mengatur interaksi orang dan barang
di wilayah tersebut. Pelanggaran hukum nasional
sering kali berdampak pada sanksi hukum
termasuk pemidanaan pelaku tindak pidana tampa
membedakan kewarganega raan yang
bersangkutan. Keadaan ini mendorong masyarakat
internasional untuk membentuk suatu mekanisme
pemindahan narapidana dari negara tempat yang
8584
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 73 - 84
penerbangan-mainmenu-48/104-adam-
air?start=2,> diakses 27 Januari 2014
Merpati Nusantara Airlines Penerbangan 8968”,
<http://id.wikipedia.org/wiki/Merpati_Nusa
ntara_Airlines_Penerbangan_8968>, diakses
27 Januari 2014
Kecelakaan Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak
<http://id.wikipedia.org/wiki/Kecelakaan_S
ukhoi_Superjet_100_di_Gunung_Salak>,
diakses 28 Januari 2014
dalam proses rehabilitasi, resosialisasi, dan
reintegrasi ke dalam masyarakat.
Kebebasan dasar dan hak dasar yang disebut
dengan Hak asasi Manusia (HAM) yang melekat
pada manusia secara kodrati merupakan anugrah
Tuhan Yang Maha Esa (YME). Pancasila sebagai
dasar negara mengandung pemikiran yang sejalan
bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan YME dengan
mengandung dua aspek yang terdiri atas aspek
individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas 1(bermasyarakat).
Kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi
orang lain, dan HAM tidak dapat diingkari.
Pengingkaran terhadap HAM berarti mengingkari
martabat kemanusiaan. Oleh karena itu setiap
orang, pemerintah, negara, atau organisasi apapun
mengemban kewajiban untuk bertanggung jawap
dalam menghormati, mengakui, melindungi,
membela dan menjamin HAM pada setiap manusia
tampa kecuali, termasuk HAM bagi narapidana
dalam pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
(LAPAS). Hal ini berarti bahwa HAM harus selalu
menjadi titik tolak dan tujuan dalam
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Kewajiban menghormati
HAM tersebut, tercermin dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) Tahun 1945 yang
menjiwai keseluruhan pasal dalam batang
tubuhnya terutama yang berkaitan dengan
persamaan kedudukan setiap warga negara dalam
hukum dan pemerintahan, dan hak asasi untuk
mendapatkan penghidupan yang layak.
Narapidana pada dasarnya tidak berbeda
dengan manusia lainya yang sewaktu-waktu dapat
melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat
dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas.
Dalam hal ini, yang harus diberantas adalah faktor-
faktor yang dapat menyebabkan narapidana
berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum,
kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban
sosial lain yang dapat dikenakan pidana.
Pemidanaan ada lah upaya untuk
menyadarkan narapidana atau anak pidana agar
menyesali perbuatannya, dan mengembalikanya
menjadi masyarakat yang baik, taat kepada hukum,
menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan
keagamaam sehingga tercapai kehidupan
masyarakat yang aman, tertib, dan damai. LAPAS
merupakan tempat untuk mencapai tujuan
pemidanaan tersebut melalui pendidikan,
rehabilitasi dan reintegrasi. Dalam sistem
Pemasyarakatan Indonesia, narapidana
diintegrasikan dalam masyarakat, maka gerak
usaha berpusat dan ditujukan kepada integritas
kehidupan dan penghidupan dari narapidana 2bersangkutan.
Tujuan utama dari sistem Pemasyarakatan
adalah rehabilitasi, yang diatur dalam Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik dalam Pasal
10 ayat (4) yang telah dirativikasi dengan UU Nomor
12 Tahun 2005 tentang Rativikasi Kovenan Hak
Sipil dan Politik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4558)
Dalam Article 10:4 menyatakan: “The penitentiary
system shall comprise treatment of prisoners the
essential aim of which shall be their reformation and
social rehabilitation”.
Menurut Jhon Kaplan alasan yang dapat
digunakan dalam memidana penjahat adalah 3rehabilitasi (rehablitation): The mot immediately
appealing justification for punishment is the claim
that it may be used to prevent crime by so changing
the personality of the offender that he will conform to
the dictates of law, in a word by reforming
him...(banyak permohonan dengan segera
membenarkan pemidanaan sebagai tuntutan dan
hal tersebut dapat digunakan mencegah kejahatan
dengan merubah kepribadian prilaku kejahatan
begitu ia akan mematuhi hukum, dalam satu kata
untuk memperbaiki dia). Rehabilitasi disini juga
diartikan sebagai tujuan dari pemidanaan. Teori
tentang tujuan pemidanaan, dikemukaan oleh
Herbert L. Parker menyatakan bahwa ada dua
pandangan konseptual yang masing-masing
mempunyai implikasi moral yang berbeda satu
sama lain, yaitu pandangan retributif (retributive 4view) dan pandangan utilitarian (utilitarian view).
Menurut Sahardjo, tujuan pidana penjara
adalah Pemasyarakatan.“Negara tidak berhak
membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat
daripada sebelum ia dipenjarakan” dan “tidak boleh
selalu ditunjukkan pada narapidana bahwa ia itu
penjahat”. Hal ini mengandung makna bahwa
pemenjaraan harus diletakkan dalam kerangka
untuk membangun para pelanggar hukum agar
mereka dapat kembali berintegrasi secara sehat
dengan masyarakat. Sahardjo kemudian sepuluh
prinsip pembinaan dan bimbingan bagi narapidana.
Prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan 5terdiri atas: orang yang tersesat harus diayomi
dengan memberikankepadanya bekal hidup sebagai
warga negara yang baik danberguna dalam
masyarakat; penjatuhan pidana bukan tindakan
pembalasan dendam dari negara; rasa tobat
tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan
dengan bimbingan; negara tidak berhak membuat
seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat
daripada sebelum ia masuk lembaga; selama
kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana
harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak
boleh diasingkan dari masyarakat; pekerjaan yang
diberikan kepada narapidana tidak bolehbersifat
mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi
kepentingan lembaga atau negara saja. pekerjaan
yang diberikan harus ditujukan untuk
pembangunan negara; bimbingan dan didikan
harus berdasarkan asas pancasila; tiap orang
adalah manusia dan harus diperlakukan
sebagaimanusia meskipun ia telah tersesat, tidak
boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu
penjahat; narapidana itu hanya dijatuhi pidana
hilang kemerdekaan; dan sarana fisik lembaga
dewasa ini merupakan salah satuhambatan
pelaksanaan sistem pemasyarakatan.
Sistem pemasyarakatan diselenggarakan
dalam rangka membentuk Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya,
menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif
berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup
secara wajar sebagai warga yang baik dan 6bertanggung jawab. Sistem pemasyarakatan
ber fungs i meny iapkan warga b inaan
pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara
sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan
kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas 7dan bertanggung jawab.
Narapidana merupakan manusia yang
memiliki spesifikasi tertentu. Secara umum
narapidana adalah manusia biasa, seperti kita
semua, tetapi kita tidak dapat menyamakan begitu
saja, karena menurut hukum, ada spesifikasi
tertentu yang menyebabkan seseorang disebut
narapidana. Narapidana adalah orang yang tengah
menjalani pidana, tidak peduli apakah itu pidana
penjara, pidana denda atau pidana percobaan.
Namun pada umumnya orang hanya menyebut
narapidana bagi mereka yang sedang menjalani
pidana penjara. Karena memiliki spesifikasi
tertentu, maka dalam membina narapidana tidak
dapat disamakan dengan kebanyakan orang.
Membina narapidana harus menggunakan prinsip-
prinsip pembinaan narapidana. Prinsip-prinsip
yang paling mendasar kemudian dinamakan
prinsip-prinsip dasar pembinaan narapidana. Ada
empat komponen penting dalam pembinaan 8narapidana, yaitu: diri sendiri, yaitu narapidana itu
sendiri; keluarga, adalah anggota keluarga inti, atau
keluarga dekat; masyarakat, adalah orang-orang
yang berada di sekeliling narapidana pada saat
masih di luar lembaga permasyarakatan rutan,
dapat masyarakat biasa, pemuka masyarakat, atau
pejabat setempat; dan petugas, dapat berupa
petugas kepolisian, pengacara, petugas keagamaan,
petugas sosial, petugas Lembaga Permasyarakatan,
Rutan, Balai Bispa, Hakim Wasmat dan lain
sebagainya. Keempat komponen pembina
narapidana, harus tahu akan tujuan pembinaan
narapidana, perkembangan pembinaan
narapidana, kesulitan yang dihadapi dan berbagai
program serta pemecahan masalah. Dalam
membina narapidana, keempat komponen harus
bekerjasama dan saling memberi informasi, terjadi
komunikasi timbal balik, sehingga pembinaan
narapidana dapat berjalan sesuai dengan yang
diharapkan.
Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP)
merupakan salah satu upaya pemerintah untuk
memaksimalkan pembinaan kepada narapidana.
Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP), dapat
dilaksanakan apabila negara dimana Pengadilan
bersedia memindahkan narapidana ke negara asal
dengan beberapa konsekuensi yaitu pertama,
narapidana tetap harus menjalani hukuman sesuai
yang telah diputuskan oleh pengadilan. Kedua, 2 Piagam Pemasyarakatan Indonesia, Bunga Rampai Pemasyarakatan, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementrian Hukum dan HAM RI, Jakarta: 27 April 2002. hlm 29.3 Alasan yang dapat digunakan dalam memidana penjahat terdiri atas: pembalasan (retribution), menakutkan (deterrence), membuat tidak mampu (incapacitation), dan rehabilitasi (rehablitation),Jhon Kaplan, Criminal Justice Introductory Cases and Material, the Foundation Press Inc, New York, 1978, hlm.27.4 Herbert L. Parker, The Limit of The Criminal Sanction, Stanford University Press, California: 1968, hlm.9.
5 Sahardjo, S.H., "Pohon Beringin Pengayom hukum Pancasila", Pidato pengukuhan pada tanggal 3 Juli 1963, di Istana Negara, Universitas Indonesia, hlm. 8 dan 15.6 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.7 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.8 Adi Sujatno, Pencerahan Di Balik Penjara, Mizan Media Utama (MUU), Juli, 2008.
8786
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106 Kerjasama Internasional Perpindahan Eka Martiana Wulansari.....( )
pemindahan narapidana mensyaratkan adanya
Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap. Ketiga, pemindahan narapidana yang
disepakati semata-mata adalah upaya memfasilitasi
para narapidana untuk dapat menjalani 9hukumanya di negara asal.
B. Urgensi Treaty on Transfer of Sentenced
Person (TSP) di Indonesia
Pembinaan narapidana adalah sebuah sistem.
Sebagai suatu sistem, maka pembinaan narapidana
mempunyai beberapa komponen yang bekerja
saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan.
Sedikitnya ada empat belas komponen yaitu:
falsafah, dasar hukum, tujuan, pendekatan sistem,
klasifikasi, pendekatan klasifikasi, perlakuan
terhadap narapidana, orientasi pembinaan, sifat
pembinaan, remisi, bentuk bangunan, narapidana,
keluarga narapidana dan pembina/pemerintah.
Pembinaan narapidana dilakukan di tempat
pembinaan. Tempat pembinaan narapidana terdiri 10atas:
1. Di dalam Lembaga Pemasyarakatan
Narapidana harus dipidana dan dibina di
Lembaga Pemasyarakatan saja. Narapidana
yang menjalani pidana di Lembaga
Pemasyarakatan, pada dasarnya selama
menjalani pidana, telah kehilangankebebasan
untuk bergerak, artinya narapidana yang
bersangkutanhanya dapat bergerak di dalam
Lembaga Pemasyarakatan sajaKebebasan
bergerak, kemerdekaan bergerak, telah
dirampasuntuk jangka waktu tertentu, atau
bahkan seumur hidup. Namun dalam
kenyataannya, bukan hanya kemerdekaan
bergerak sajayang hilang, tetapi juga berbagai
kemerdekaan yang lain ikut terampas. Dalam
proses pemidanaan, Lembaga Pemasyarakatan
yang mendapat porsi besar dalam
melaksanakan pemidanaan, setelah melalui
proses persidangan di pengadilan. Pada
awalnya tujuan pernidanaan adalah penjeraan,
membuat pelaku tindak pidana menjadi jera
untuk melakukan tindak pidana lagi. Tujuan
itu kemudian berkembang menjadi
perlindungan hukum, baik kepada masyarakat
(pihak yang dirugikan) maupun kepada pelaku
tindak pidana (pihak yang merugikan), agar
keduanya tidak melakukan tindakan hukum
sendiri-sendiri. Berangkat dari upaya
perlindungan hukum, maka pelaku tindak
pidana dalam menjalani pidananya, juga
mendapat perlakuan yang manusiawi,
mendapat jaminan hukum yang memadai.
Bentuk perlakuan dituangkan dalam usaha
Lembaga Pemasyarakatan untuk membina
narapidana, untuk mengenal diri sendiri,
sehingga dapat merubah diri sendiri menjadi
lebih baik, menjadi positif, tidak lagi
melakukan tindak pidana dan mampu
mengembangkan diri sendiri menjadi manusia
yang lebih berguna bagi nusa, bangsa, agama,
dan keluarganya. Berbagai upaya telah
dilakukan Lembaga Pemasyarakatan dalam
rangka mewujudkan pelaksanaan pidana yang
efektif dan efisien, agar narapidana dapat
mengenal diri sendiri. Usaha itu berupa
pembagian Lembaga Pemasyarakatan menurut
usia, misalnya Lembaga Pemasyarakatan
Khusus Anak di Blitar, Tangerang, Plantungan
dan Kalimantan. Lembaga Pemasyarakatan
Khusus Pemuda di Tangerang, Lembaga
Pemasyarakatan Dewasa Muda di Sukamiskin
Bandung, dan Lembaga Pemasyaraktan
Dewasa dihampir semua kota kabupaten.
B e g i t u j u g a d i d i r i k a n L e m b a g a
Pemasyarakatan berdasarkan jenis kelamin,
misalnya Lembaga Pemasyarakatan Khusus
Wanita di Malang, Semarang, Tangerang dan
Medan. Lembaga Pemasyarakatan juga dibagi
berdasarkan kapasitasnya, yaitu Lembaga
Pemasyarakatan Kelas I. II. dan III. Masih
dalam kaitan upaya melaksanakan
pemidanaan, telah dipisahkan menurut
tugasnya antara Lembaga Pemasyarakatan
dan Rumah Tahanan Negara (Rutan).
Sekali pun telah diusahakan berbagai hal
dalam rangka pembinaan narapidana selama
menjalani pidana, namun ternyata dampak
psikologis akibat pidana penjara masih
nampak dan memerlukan pemikiran yang
tuntas. Bagaimana juga dampak psikologis
akibat dari pidana penjara, jauh lebih berat
dibanding pidana penjara itu sendiri. Sehingga
sebenarnya seorang narapidana tidak hanya
dipidana secara fisik, tetapi juga secara
psikologis. Pidana secara psikologis merupakan
beban yang berat bagi setiap narapidana.
Sehingga diperlukan pemikiran untuk
memecahkan.Berbagai dampak psikologis 11tersebut antara lain:
a. Loos of personality, seorang narapidana
selama dipidana akan kehilangan
kepribadian diri, identitas diri, akibat
peraturan dan tata cara hidup di Lembaga
Pemasyarakatan. Narapidana selama
menjalani pidana, diperlakukan yang sama
atau hampir sama antara satu narapidana
dengan narapidana lainnya. Kenyataan ini
akan membentuk satu kepribadian yang
khas pula, yaitu kepribadian narapidana.
Cara perlakuan terhadap narapidana oleh
petugas Lembaga Pemasyarakatan, lebih
menjurus kepada pola hidup feodalisme,
sehingga terjadi klas-klas tertentu dalam
struktur kemasyarakatan di Lembaga
Pemasyarakatan. Masyarakat narapidana
terhagi dalam stratifikasi sosial, antara lain:
klas petugas (penguasa, priyayi), klas
narapidana pembantu pegawai (tamping,
pemuka), klas narapidana jenis kejahatan
keras (perampok, pembunuh), dan klas
narapidana jenis kejahatan ringan
(pencurian, penipuan). Stratifikasi sosial
tersebut membentuk tingkat penguasaan
wilayah yang berdasar kekuatan, besar,
banyak atau kerasnya tingkat kejahatan
yang dilakukan. Seorang narapidana yang
telah banyak melakukan kejahatan dengan
kekerasan, akan disegani dan berpengaruh
diantara teman-temannya. Demikian pula
seorang narapidana yang berkali-kali
masuk Lembaga Pemasyarakatan hanya
karena kasus pencurian, akan disepelekan
oleh teman-temannya. Akibatnya dalam
kehidupan kelompok berdasarkan sel
tempat tinggalnya, akan muncul satu
pimpinan kelompok, yang ditakuti dan
disegani. Dalam kumpulan sel yang disebut
blok akan muncul pula satu pimpinan blok
(non formal leader), sekalipun dalam blok
tersebut telah ditunjuk seorang pimpinan
yang sah (formal leader). Munculnya
dualisme kepemimpinan dalam blok akan
menimbulkan persaingan yang keras,
sehingga dapat terjadi perkelahian karena
berebut kekuasaan. Keadaan yang
demikian akan memecah belah kepribadian
narapidana, yang dari luar (sebelum masuk
Lembaga Pemasyarakatan) telah mengalami
keretakan kepribadian. Banyak sekali
n a r a p i d a n a y a n g k e h i l a n g a n
kepribadiannya, setelah berada di Lembaga
Pemasyarakatan, karena tidak mampu
menahan goncangan kehidupan dalam
Lembaga Pemasyarakatan.
b. Loos of security, selama menjalani pidana,
narapidana selalu dalam pengawasan
petugas. Seseorang yang secara terus
menerus diawasi, akan merasakan kurang
aman, merasa selalu dicurigai, dan merasa
selalu tidak dapat berbuat sesuatu atau
bertindak, karena takut kalau tindakannya
merupakan suatu kesalahan, yang dapat
berakibat dihukum atau mendapat sanksi.
Pengawasan yang dilakukan setiap saat,
narapidana menjadi ragu dalam bertindak,
kurang percaya diri, jiwanya menjadi labil,
salah tingkah dan tidak mampu mengambil
keputusan secara baik. Situasi yang
demikian, dapat mengakibatkan
narapidana melakukan tindakan
kompensasi demi stabilitas jiwanya.
Padahal tidak setiap kompensasi
berdampak positip. Rasa tidak aman di
dalam Lembaga Pemasyarakatan akan tetap
terbawa sampai keluar dari Lembaga
Pemasyarakatan, dan baru akan hilang jika
mantan narapidana telah mampu
beradaptasi dengan masyarakat.
c. Loos of liberty, pidana hilang kemerdekaan
telah merampas berbagai kemerdekaan
individual, misalnya kemerdekaan
berpendapat, kemerdekaan membaca surat
kabar secara bebas, melakukan hobby,
mendengarkan radio, menonton televisi,
memilih dan dipilih dalam pemilu, dan
sederetan kemerdekaan individual lainnya.
Secara psikologis, keadaan yang demikian
menyebabkan narapidana menjadi tertekan
jiwanya, pemurung, malas, mudah marah,
dan tidak bergairah terhadap program-
program pembinaan bagi diri sendiri.
Padahal pembinaan narapidana
memerlukan stabilitas kepribadian, rasa
aman dan perasaan bebas untuk
menentukan sikap. 9 Op.cit.,Penelaahan tentang Transfer of Prisioners, sebagai Salah Satu Tugas Seksi Bantuan Hukum Timbak Balik pada Sub Bidang Ekstradisi dan Bantuan Hukum Timbal Balik, Direktorat Pidana Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementrian Hukum dan HAM10 Adi Sujatno, Pencerahan Di Balik Penjara, Mizan Media Utama (MUU), Juli, 2008. 11 Ibid.
8988
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106 Kerjasama Internasional Perpindahan Eka Martiana Wulansari.....( )
d. Loos of personal communication, kebebasan
untuk berkomunikasi terhadap siapa pun
juga terbatasi. Narapidana tidak bisa bebas
untuk berkomunikasi dengan relasinya.
Keterbatasan ini disebabkan karena setiap
pertemuan dengan relasi dan keluarganya
waktunya sangat terbatas dan kadangkala
pembicaraan didengar oleh petugas yang
mengawasinya. Begitu juga halnya dengan
surat-surat yang harus diperiksa/ditilik,
buku bacaan dan surat kabar harus
disensor dulu. Sebagai manusia sosial,
narapidana memerlukan komunikasi
dengan teman, keluarga atau dengan orang
lain. Keterbatasan kesempatan untuk
berkomunikasi merupakan beban psikologi
tersendiri.
e. Loos of good and service, narapidana juga
merasakan kehilangan akan pelayanan.
Dalam Lembaga Pemasyarakatan,
narapidana harus mampu mengurus
dirinya sendiri. Mencuci pakaian, menyapu
ruangan, mengatur tempat tidurnya sendiri
dan lain sebagainya. Narapidana tidak boleh
memilih warna pakaian, atau membuat
pakaian dengan model tersendiri, semua
telah diatur agar sama, baik mengenai
warna maupun modelnya. Begitu juga
mengenai masakan, dan menu makanan,
semua telah diatur oleh pihak Lembaga
Pemasyarakatan. Hilangnya pelayanan,
menyebabkan narapidana kehilangan rasa
affection, kasih sayang, yang biasanya
didapat di rumah. Hal ini menyebabkan
seseorang menjadi garang, cepat marah,
atau melakukan hal-hal lain sebagai
kompensasi kejiwaannya.
f. Loos of Heterosexual, selama menjalani
pidana, narapidana ditempatkan dalam
blok-blok sesuai dengan jenis kelaminnya.
Penempatan ini menyebabkan narapidana
juga merasakan betapa naluri seks, kasih
sayang, rasa aman bersama keluarga ikut
terampas. Kasih sayang terhadap anak,
isteri/suami dan anggota keluarga yang lain
tak dapat ditemui selama di dalam Lembaga
Pemasyarakatan. Akan menyebabkan
penyimpangan seksual, misalnya
homoseks, lesbian, masturbasi, dan lain
sebagainya. Semua merupakan penyaluran
nafsu seks yang terpendam. Tentu saja
merupakan abnormalitas seksual, yang jika
tidak ditangani secara benar akan tetap
berlanjut setelah lepas dari Lembaga
Pemasyarakatan.
g. Loos of Prestige, narapidana juga telah
kehilangan harga dirinya. Bentuk-bentuk
perlakuan dari petugas terhadap
narapidana telah membuat narapidana
menjadi terampas harga dirinya. Misalnya,
penyediaan tempat mandi yang terbuka
untuk mandi bersama-sama, WC yang
terbuka, kamar tidur (sel) yang hanya
berpintu teralis besi dan lain sebagainya.
Alasan keamanan menjadi dasar utama dari
perlakuan terhadap narapidana, tetapi
dampak psikologis menjadi lebih besar
dibanding hasil dari alasan keamanan
tersebut. Kebiasaan-kebiasaan tersebut
akan membuat narapidana memiliki harga
diri yang rendah.
h. Loos of Belief, akibat dari berbagai
perampasan kemerdekaan, sebagai dampak
dari pidana penjara, narapidana menjadi
kehilangan akan rasa percaya diri sendiri.
Ketidakpercayaan akan diri sendiri,
disebabkan tidak ada rasa aman, tidak
dapat membuat keputusan, kurang mantap
dalam bertindak, kurang memiliki stabilitas
jiwa yang mantap. Ketidakpercayaan
terhadap diri sendiri akan mengganggu
program pembinaan, sebab kreatifitas
narapidana juga tidak dapat tersalurkan
dengan sempurna. Rasa percaya diri sangat
penting sekali dalam membina narapidana.
Kepercayaan dirinya dapat dicapai jika
narapidana telah mengenal diri sendiri.
i. Loos of Creativity, selama menjalani pidana,
narapidana juga terampas kreatifitasnya,
ide- idenya, gagasan-gagasannya,
imajinasinya, bahkan juga impian dan cita-
citanya. Karena apa yang menjadi cita-
citanya tidak segera dapat terwujud, tidak
segera dapat dilaksanakan. Kemandegan
dalam melaksanakan kreatifitas manusia,
akan mengganggu jiwa seseorang. Seperti
halnya kebutuhan manusia yang lain,
seperti makan, membaca, maka kreatifitas
adalah bagian dari kebutuhan manusia
dalam proses berpikir. Manusia ingin selalu
mengembangkan diri dalam berkreasi,
menemukan sesuatu, dan pikiran manusia
tidak akan berhenti berpikir. Itulah
sebabnya krcatifitas juga tidak pernah
berhenti, terus berkembang. Kreatifitas
tidak hanya berhenti dengan berpikir saja,
tetapi juga menuntut untuk diwujudkan.
Proses perwujudan yang akan menjadi
kendala bagi narapidana, sehingga menjadi
masalah tersendiri, menjadi problem
psikologis bagi narapidana.
2. Di luar Lembaga Pemasyarakatan
Berbagai bentuk pembinaan narapidana di luar
Lembaga Pemasyarakatan dan memenuhi
syarat untuk menjalani pembinaan di luar
lembaga pemasyarakatan, sebagian telah
dilaksanakan pemerintah oleh Lembaga
Pemasyarakatan, tetapi sebagian lagi masih
merupakan gagasan, ide yang masih
memerlukan pengembangan. Bentuk
pembinaan narapidana di luar Lembaga 12Pemasyarakatan yaitu:
a. Pembinaan dalam keluarga narapidana.
Bentuk pembinaan ini adalah pembinaan
narapidana yang ditempatkan di dalam
keluarga narapidana sendiri. Narapidana
yang telah memenuhi persyaratan tertentu,
kepadanya dapat diberikan pembinaan di
luar Lembaga Pemasyarakatan. Pembinaan
dapat berupa VI (Voorwaardelyke
Invrijheidsstelling) dalam bahasa Indonesia
disebut Pelepasan Bersyarat, atau PRT (Pre
Release Treatment) yang juga disebut
sebagai cuti bersyarat. Baik VI maupun PRT
merupakan bentuk dari pembinaan
n a r a p i d a n a d i l u a r L e m b a g a
Pemasyarakatan, artinya narapidana yang
mendapatkan VI atau PRT masih tetap
berstatus sebagai narapidana, hanya tidak
m e n j a l a n i p i d a n a d i L e m b a g a
Pemasyarakatan, tetapi tinggal dalam
keluarganya, sampai habis masa
pidananya. Selama tinggal di keluarganya,
narapidana tersebut dapat melakukan
semua aktivitasnya sebagai manusia,
sepanjang tidak bertentangan dengan
hukum yang berlaku. Jadi memperoleh
kebebasan yang mutlak, sama dengan
manusia pada umumnya. Untuk
mendapatkan VI maupun PRT diperlukan
persyaratan administrasi tertentu, sehingga
tidak semua narapidana bisa mendapatkan
VI atau PRT. Selama di keluarganya,
narapidana tersebut mendapat bimbingan
dari petugas Balai Bispa. Perkembangan
pembinaan dan kepribadian narapidana
menjadi tugas dan pengawasan Balai Bispa.
Selama tidak melakukan tindak pidana
atau melanggar hukum yang berlaku,
narapidana yang mendapat VI/PRT akan
tetap menjalani sisa pidananya di luar
Lembaga Pemasyarakatan. Peran Kepala
Desa dan masyarakat untuk membina dan
memberikan informasi kepada pihak
Lembaga Pemasyarakatan tentang
narapidana yang menjalani VI/PRT sangat
diharapkan sekali, sebab setiap masukan,
baik yang positif maupun yang negatif akan
sangat berguna bagi perkembangan
pembinaan narapidana di Indonesia.
b. P e m b i n a a n d a l a m L e m b a g a
Pemasyarakatan Terbuka. Narapidana yang
telah memenuhi persyaratan tertentu dan
telah mendapat ijin dari Kepala Lembaga
Pemasyarakatan, dapat ditempatkan di
Lembaga Pemasyarakatan Terbuka, jika
narapidana tersebut bersedia. Lembaga
Pemasyarakatan Terbuka, merupakan
bangunan rumah biasa yang ditempatkan
di alam terbuka, biasanya di tanah
pertanian milik Lembaga Pemasyarakatan,
atau tanah pertambakan, perkebunan dan
lain sebagainya. Para narapidana tersebut
bertugas menggarap tanah pertanian,
perkebunan atau tambak. Mereka dapat
berbaur dengan masyarakat di sekitarnya.
Melakukan kegiatan kemasyarakatan atau
keagamaan dengan masyarakat di
sekitarnya, menerima kunjungan keluarga
dan lain sebagainya. Pengawasan jauh lebih
longgar dibanding saat berada di Lembaga
Pemasyarakatan.
c. Bekerja di luar Lembaga Pemasyarakatan.
Narapidana juga dapat bekerja atau sekolah
di luar Lembaga Pemasyarakatan. Untuk
dapat bekerja, sekolah atau kuliah di luar
Lembaga Pemasyarakatan, harus
memenuhi persyaratan tertentu.
Narapidana yang bekerja, sekolah, kuliah
diluar Lembaga Pemasyarakatan, kalau
pagi hari keluar dari Lembaga
Pemasyarakatan untuk menunaikan
tugasnya, dan setelah selesai kembali lagi ke
Lembaga Pemasyarakatan. Jadwal
pekerjaan, sekolah, kuliah harus diberikan
kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan/
12 Ibid.
9190
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106 Kerjasama Internasional Perpindahan Eka Martiana Wulansari.....( )
Rutan, agar pihak yang mengawasi
narapidana tersebut tahu kapan
narapidana harus kembali ke Lembaga
Pemasyarakatan. Supaya narapidana tidak
menggunakan waktu luangnya untuk
kegiatan lain, selain yang telah diijinkan.
d. Pidana Waktu Luang. Seseorang yang telah
dipidana, se-harusnya dapat meng4jukan
permohonan kepada hakim, untuk
menjalankan pidananya hanya pada
saat/waktu luang saja. Terutama untuk
pidana jangka pendek, misalnya pidana
karena pelanggaran lalu lintas, pidana
karena tidak punya KTP dan lain
sebagainya. Pidana yang hanya berkisar
empat belas hari sampai satu bulan, dapat
dilakukan hanya pada saat waktu luang
saja, misalnya pada hari libur Sabtu dan
Minggu sejumlah pidana yang dijatuhkan
kepadanya. Pidana waktu luang belum
diterapkan di Indonesia, karena perangkat
bukunya belum ada. Tetapi bukan tidak
mungkin, pidana waktu luang diterapkan di
Indonesia dimasa mendatang, apalagi
penerapan beberapa undang-undang sudah
mulai dijalankan secara konsisten. Dengan
menjalani pidana waktu luang, seorang
narapidana akan memperoleh banyak
keuntungan, misalnya tidak kehilangan
pekerjaan, tercegah penularan kejahatan
dan beberapa kehilangan akibat pidana
penjara dapat dikurangi.
e. Rumah Transisi. Dalam pembinaan
narapidana di Indonesia, rumah transisi
belum ada. Rumah transisi adalah sebuah
rumah biasa yang ditempati oleh keluarga
petugas dan dalam keluarga itu juga
ditempatkan narapidana yang telah
memenuhi syarat untuk bekerja atau
belajar di luar Lembaga Pemasyarakatan.
Jadi narapidana yang telah memenuhi
persyaratan dan dapat bekerja atau belajar
di luar Lembaga Pemasyarakatan,
ditempatkan dalam sebuah rumah di luar
Lembaga Pemasyarakatan yang disebut
rumah transisi. Rumah transisi dapat
ditempati petugas dengan keluarganya,
tetapi dapat pula ditempatkan petugas
Lembaga Pemasyarakatan yang ditugaskan
secara bergilir. Dalam rumah transisi,
narapidana dapat bergaul dengan
masyarakat pada umumnya, dapat
mengikuti kegiatan kemasyarakatan,
keagamaan, atau kegiatan lain yang
diijinkan oleh undang-undang. Rumah ini
dimaksudkan untuk transisi narapidana
sebelum secara langsung dan penuh hidup
dengan masyarakat tanpa pengawasan
petugas. Fungsi rumah transisi juga
mempersiapkan narapidana untuk mulai
bekerja, sehingga setelah habis menjalani
pidana, sudah mempunyai pekerjaan atau
penghasilan yang tetap. Rumah transisi
didirikan di tengah pemukinan penduduk,
dapat di tengah kota, pinggiran kota, atau di
desa. Penempatan narapidana di rumah
transisi juga harus diperhatikan tentang
keahlian, latar belakang pendidikan/
pekerjaan, sehingga lebih cepat
menyesuaikan dengan masyarakat
sekitarnya, atau lebih cepat mendapatkan
pekerjaan. Rumah transisi dapat berupa
sebuah rumah, tetapi dapat pula berupa
rumah susun, atau bagian dari rumah
susun. Artinya sebagian rumah susun
digunakan untuk rumah transisi, sedang
bagian yang lain digunakan untuk
masyarakat biasa.
Pada dasarnya tujuan pembinaan narapidana
di luar Lembaga Pemasyarakatan adalah
mengurangi dampak psikologis akibat pidana
penjara, disamping juga upaya untuk mendekatkan
diri dari narapidana kepada masyarakat. Seringkali
seorang narapidana yang selama bertahun-tahun di
dalam Lembaga Pemasyarakatan, kurang tahu
akan perkembangan di luar Lembaga
Pemasyarakatan. Baik perkembangan fisik akibat
pembangunan, atau perkembangan berita,
teknologi dan perkembangan masyarakat. Dengan
pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan,
secara perlahan-lahan narapidana akan mampu
beradaptasi dengan masyarakatnya. Setelah habis
masa pidananya, narapidana benar-benar telah 13siap untuk terjun ke masyarakat.
Dalam upaya meningkatkan pembinaan bagi
narapidana, Treaty on Transfer of Sentenced Person
(TSP) merupakan salah satu bentuk dari Perjanjian
Internasional yang berkaitan dengan narapidana,
yang dimaksud dengan narapidana adalah WNA
dan WNI yang melakukan kejahatan disuatu
negara, dan diputuskan bersalah oleh Pengadilan
yang sudah berkekuatan hukum tetap, sehingga ia
tersebut harus menjalani hukumanya di negara 14tersebut. Dalam Pasal 2, UU Nomor 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
(Lembaran Negara Repubik Indonesia Tahun 2006
Nomor 63, Lembar Tambahan Negara Nomor 4634),
yang menjadi WNI adalah orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang
disahkan dengan undang-undang sebagai warga
negara.
Narapidana WNA dalam LAPAS Indonesia
mengalami permasalahan yang sangat kompleks
diantaranya tentang perbedaan kebiasaan,
kebudayaan dan bahasa. Selain itu narapidana juga
mengalami permasalahan dalam menjalani ibadah
yang sesuai dengan agama dan kepercayaanya juga
permasalahan makanan. Untuk mengurangi
permasalahan tersebut perangkat hukum yang
perlu dipersiapkan diantaranya, setiap LAPAS
harus menerapkan Standar Perlakuan Minimum
PBB terhadap narapidana. Selain itu perlu dibentuk
skema Transfer of Sentenced Person (TSP) sebagai
bentuk bantuan hukum terhadap narapidana WNA
dan sebagai bentuk kerjasama internasional.
Mekanisme lainya yang perlu diperhatikan adalah
model regional dari Transfer of Sentenced Person
(TSP), Standar Transfer of Sentenced Person (TSP)
dari PBB dan Undang-Undang yang bersifat
nasional yang mengatur tentang Transfer of 15Sentenced Person (TSP).
Di Indonesia, Treaty on Transfer of Sentenced
Person (TSP) baru memperoleh perhatian pada awal
tahun 2000, namun masih terbatas pada beberapa
instansi yang terkait dengan permasalahan Treaty
on Transfer of Sentenced Person (TSP). Faktor-faktor
yang menyebabkan adanya perhatian pemerintah
terhadap Treaty on Transfer of Sentenced Person
(TSP) yaitu, pertama, keanggotaan Indonesia pada
beberapa Konvensi Internasional, antara lain United
Nations Convention Against Transnasional
Organized Crime (UNTOC) dan United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC). Kedua,
tawaran dari negara lain untuk membentuk
perjanjian bilateral Treaty on Transfer of Sentenced
Person (TSP).
Ugensi Treaty on Transfer of Sentenced Person
(TSP) di Indonesia antara lain adanya kepentingan
nasional yang mendesak dan semakain banyak
negara sahabat yang menawarkan pembentukan
kerjasama Treaty on Transfer of Sentenced Person
(TSP) dengan Indonesia namun belum dapat direspon
di antaranya Malaysia, Thailand, China/Hongkong,
filiphina, Perancis, Nigeria, Iran, India, bulgaria,
Rumania, Brasil, Australia, dan Suriah.
Permintaan dari negara-negara sahabat
tersebut perlu dipertimbangkan dengan positif
dalam upaya menjaga bilateral yang telah
berlangsung dengan baik dan sal ing
menguntungkan. Sampai saat ini Indonesia belum
dapat menaggapi permintaan dari negara-negara
sahabat karena belum adanya legislasi nasional
mengenai Treaty on Transfer of Sentenced Person
(TSP). Dapat dipahami bahwa tawaran negara-
negara asing untuk membentuk kerjasama Treaty
on Transfer of Sentenced Person (TSP) dengan
Indonesia di dasari pada kepentingan jangka
pendek untuk memulangkan warga negara mereka
yang dipidana di Indonesia. Di lain pihak,
seharusnya pemerintah Indonesia juga dapat
berupaya untuk meluangkan warga negaranya yang
di hukum di luar negeri, guna melindungi dan
menjamin perlindungan HAM mereka dengan
memberikan hak-hak rehabilitasi, reintegrasi dan
asimilasi untuk kembali ke masyarakat.
Dalam hal, kepentingan nasional yang
mendesak dapat terlihat dalam data yang
dikeluarkan Direktorat Perlindungan WNI dan BHI,
Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler
Kementrian Luar Negeri RI pada tahun 2012,
jumlah WNI di luar negeri lebih dari 4.5 juta orang.
Angka tersebut belum termasuk WNI undocumented
yang jumlahnya juga sangat signifikan. Mayoritas
WNI tersebut adalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
yang mayoritas wanita dengan tingkat pendidikan
rendah, sehingga rentan terkena permasalahan
hukum. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya
kasus hukum yang dialami oleh WNI luar negeri
seperti ditunjukan pada Tabel 1 sampai dengan 16Tabel 4 berikut ini.
13 Ibid.
14 I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, CV Yrama Widya, Bandung: 2005, Note.8, hlm. 169.15 Mark Andrew Sherman, Transfer Of Prisoners Under International Instruments And Domestic Legislation: A Comparative Study, By Michael Plachta. Frieburg, Germany: Max-Planck-Institut, 1993. Pp. 565. Dm 58 (Softcover), The George Washington University, George Washington Journal of International Law and Economics, 1995, hlm. 49516 Ibid.,hlm. 3
9392
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106 Kerjasama Internasional Perpindahan Eka Martiana Wulansari.....( )
Tabel 1
17Data WNI di Luar Negeri Tahun 2011-2012
Tabel 2
18Profil WNI di Luar Negeri Tahun 2011-2012
Tabel 3
Jumlah WNI yang di Penjara di Luar Negeri 19Tahun 2011-2012
Tabel 4
Kasus-Kasus WNI Terancam Hukuman Mati di 20Luar Negeri Tahun 2011-2012
Permasalahan WNI di Luar Negeri sangat
beragam,antara lain:Evakuasi WNI terkait dengan 23 “Perjanjian Ekstradisi” adalah penyerahan orang oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan orang yang disangka atau dipidana karena melakukan kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdeksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang untuk mengadili dan memidananya (Pasal 1, UU Nomor 1 Tahun 1979);“Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance in Criminal Matters/MLA)” adalah merupakan bantuan berkenaan dengan proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara yang diminta; “Perjanjian Perpindahan Narapidana (Treaty on Transfer of Sentenced Person/TSP)” adalah kerjasama negara-negara anggota dapat mempertimbangkan untuk mengadakan kesepakatan atau perjanjian bilateral atau multilateral untuk mentransfer terdakwa yang dihukum penjara kewilayah hukum mereka atau bentuk lain dari penghilangan kebebasan karena tindak pidana yang dimaksud di dalam konvensi dengan tujuan agar mereka dapat menyelesaikan hukumanya disana; “The Transfer of Criminal Proceedings”, adalah kerjasama negara-negara anggota akan mempertimbangkan kemungkinan untuk saling mentransfer hasil dari penyidikan suatu tindak pidana yang disebutkan di dalam konvensi di dalam kasus-kasus dimana transfer itu dianggap sebagai kepentingan dari administrasi yang layak, khususnya dalam contoh-contoh yang layak, khususnya dalam contoh-contoh yang memberikan yuridiksi, denganmaksud untuk menkonsentrasikan penyidikan; “Law Enforcement Cooperation”, adalah kerjasama negara-negara anggota yang
Wilayah Jumlah %
Afrika
5.918 0.14%Eropa
85.393 2.02%
Amerika 185.159 4.38%
Asia 2.654.796 62.80%
Pasifik 90.465 2.14%Timur Tengah 1.205.652 28.52%
Total 4.227.383 100.00%
konflik politik dan bencana alam;Penanganan
kasus-kasus WNI/TKI di luar negeri yang terancam
hukuman mati; pemulangan TKI dari shelter
berbagai Perwakilan RI;penanganan WNI
overstayers di Arab Saudi;penanganan WNI
pendatang asing tanpa ijin (PATI) di Malaysia;
kasus-kasus penembakan WNI oleh Polisi Di Raja
Malaysia (PDRM); penanganan ABK WNI yang
terlibat dalam penyelundupan manusia (people
smuggling) di Australia; dan kasus ABK korban 21ekspoitas.
Langkah-Langkah Strategis Perlindungan
terhadap WNI, selama ini antara lain: Pertama,
langkah pencegahan (preventive), yaitu program
kegiatan yang bertujuan untuk mencegah ter-
jadinya kasus. Langkah pencegahan ini disesuaikan
dengan karakteristik permasalahan yang berbeda di
setiap perwakilan. Langkah-langkah tersebut
berupa kampanye penyadaran publik; desiminasi
informasi; kerjasama dengan para stakelolder baik di
pusat maupun daerah; welcoming program; outreach
pelayanan kekonsuleran; pemberdayaan
masyarakat di luar negeri; pendidikan dan pelatihan
bagi SDM di perwakilan. Kedua, langkah deteksi
dini(early detection), yaitu program kegiatan yang
bertujuan agar permasalahan atau kasus dapat
segera diketahui sebelum menjadi isu yang tidak
terkendali.Langkah-langkah tersebut berupa
pengembangan data base system basis IT;
singkronisasi dan integrasi database; penyediaan
hotline service; kunjungan ke penjara, tahanan
imigrasi, polisi dan sebagainya; penguatan jejaring
kerja kepada pejabat instansi setempat dan
stakeholders lainya baik di pusat maupun
Pemerintah RI. Ketiga, langkah perlindungan secara
cepat dan tepat (immediate response) yaitu, program
kegiatan untuk menyelesaikan kasus yang telah
terjadi. Langkah-langkah tersebut berupa
menanggapi secara cepat dan tepat setiap
pengaduan masyarakat; melakukan penanganan
khusus secara terukur; optimalisasi satgas Citizen
Service di Perwakilan RI; menyediakan sleter untuk
perlindungan fisik; pemberian bantuan hukum;
pemberian bantuan sosial dan kemanusiaan; dan 22repratiasi. Dengan adanya hukum nasional
tentang Transfer of Sentenced Person (TSP) di
Indonesia merupakan salah satu langkah-langkah
strategis dari pemeritah agar lebih mudah dalam
melindungi WNI di luar negeri.
Di lain pihak, banyak narapidana WNA yang
saat ini di penjara di Indonesia, dan seringkali
menimbulkan permasalahan karena adanya
tuntutan perlakuan yang dikaitkan dengan
penegakan nilai-nilai Universal HAM. Disamping itu,
keterbatasan kapasitas lembaga pemasyarakatan
untuk dapat menampung seluruh narapidana WNA
di Indonesia turut menjadi faktor yang perlu
dipertibangkan dalam menjawap tawaran kerjasama
Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP).
Salah satu keuntungan adanya hukum
nasional mengenai Treaty on Transfer of Sentenced
Person (TSP) adalah Indonesia dapat memiliki
kepastian hukum dan parameter yang jelas dalam
pelaksanaan Treaty on Transfer of Sentenced Person
(TSP) sesuai kepentingan nasional dan dalam
koridor yang dimungkinkan berdasarkan hukum
internasional, termasuk jenis-jenis kejahatan berat
tertentu yang mungkin bertentangann dengan rasa
keadilan masyarakat Indonesia. Adanya dasar
hukum juga memberikan kepastian bagi seluruh
instansi terkait dalam menyusun posisi terkait
dengan tawaran kerja sama Treaty on Transfer of
Sentenced Person (TSP).
Penyusunan legislasi nasional dapat mengacu
atau mengadaptasi ketentuan yang terkait Treaty on
Transfer of Sentenced Person (TSP) yang telah
disepakati pada forum multiteral, bilateral dan
hukum nasional dengan mempertimbangkan
kepentingan umum dan rasa keadilan masyarakat.
Dalam skema kerjasama Treaty on Transfer of
Sentenced Person (TSP) harus tetap mengacu pada
perlunya masing-masimg negara menghornmati
dan menegakan hukum nasional dimana hukuman
pidana dijatuhkan termasuk aspek penegakan
hukum dan pemantuan pelaksanaan hukum.
Seiring dengan semakin berkembangnya rezim
hukum Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP)
dan pratiknya yang telah lazim di manca negara,
serta guna memenuhi kebutuhan Indonesia untuk
melindungi warganegaranya di luar negeri yang
sedang menjalani hukuman, maka bagi pemerintah
RI dapat segera untuk menyamarkan persepsi dan
mengambil langkah-langkah kongkrit untuk
mempersiapkan suatu instrumen hukum nasional
yang mengatur kewenangan, prosedur dan
mekanisme Treaty on Transfer of Sentenced Person
(TSP) antar negara.
C. Treaty on Transfer of Sentenced Person
(TSP)
Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP),
merupakan suatu perjanjian antar negara dengan
subjek hukum negara dan dibuat secara tertulis
serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang
Hukum Publik. Treaty on Transfer of Sentenced
Person (TSP) dapat saja termuat dalam satu atau
lebih dari satu dokumen dan dapat saja di beri
nama apapun yang dalam proses pembuatannya di
sesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4012). Hal ini merupakan salah
satu cara untuk mewujudkan tujuan negara dan
pembangunan hukum nasional yang dilakukan
dengan pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baru sebagai landasan hukum
mekanisme kerja Hukum Internasional.
Instrumen kerjasama dalam Hukum Inter-
nasional baik secara bilateral maupun multilateral,
digunakan oleh negara-negara yang masih dalam
satu kawasan maupun tidak, terutama untuk
menyamakan persepsi tentang Hukum Positif di
masing-masing negara. Instrumen hukum yang
digunakan dalam kerjasama Hukum Internasional
antara lain Perjanjian Ekstradisi; Perjanjian
Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana
(Mutual Legal Assistance In Criminal Matters/MLA);
Perjanjian Perpindahan Narapidana (Treaty On
Transfer of Sentenced Person/TSP); The Transfer of
Criminal Proceedings; Law Enforcement Cooperation; 23Joint Investigation; dan Handing Over of Property.
Indonesia sudah memiliki dua Instrumen
17 Penanganan Kasus WNI di Luar Negeri, Direktorat Perlindungan WNI dan BHI, Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kementrian Luar Negeri RI, di sampaikan pada acara Focus Group Discussion(FGD) “Persepektif Nasional Pelaksanaan Kerjasama Internasional Transfer of Sentences Persons”, Bandung, 8-10 Maret 2013.18 Ibid.19 Ibid.20 Ibid. 21 Ibid,22 Ibid.
2011 2012
Negara
Jumlah Kasus2011
Jumlah yang
Dilepaskan dari
Ancaman Hukuman Mati Tahun
2011
Sisa Kasus 2011
Jumlah Kasus 2012
Jumlah yang Dilepaskan
dari Ancaman Hukuman Mati Tahun
2012
Jumlah Kasus yang
Masih di Proses
Arab Saudi 40 7 33 33 30 36Malaysia 149 16 133 66 31 168RRC 14 11 3 19 11 11Iran 3 2 1 0 - 1Singapura 2 1 1 1 1 1
BrunaiDarussalam
1 - 1 0 - 1
Total 209 37 172 119 73 218
9594
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106 Kerjasama Internasional Perpindahan Eka Martiana Wulansari.....( )
Total 4.227.383
TKI (60%) 2.536.429
Profesional (8%)
338.190
ABK (6%) 253.624
Pelajar (20%) 845.476
WNI lainya (ibu rumah tangga menikahdengan WNA, dll) (6%)
253.646
Negara Kasus Jumlah
Australia
People Smuggling (383), Narkoba (3), Keimigrasian (2) 288
Filipina
Terorisme (10), Narkoba (7), Perampokan (1) 18
Brunai
PerampAsusial (2), Pemerkosaan (2), Penyendupan (2), Narkoba (1)Pembunuhan (1) Memiliki Bahan Peledak (1)
okan dan Pencurian (24), Kemigrasian (3), Tindakan 36
Vietnam Narkoba (1), Pencurian (1) 2
Kamboja Pencurian (1) 1
Laos Pencurian (1) 1
Thailand Keimigrasian/legal entry (12), Perampokan (3) 15
Malaysia Pelanggaran Imigrasi (2430), Perkelahian (832), Kepemilika Senjata Api (24), Ketertiban Umum (2), Lain-lain (80), Illegal Fishing (1), Narkoba (703), Perampokan (3)
4073
Total 4415
26 United Nations Office on Drugs And Crime, Vienna, Handbook on the International Transfer of Sentenced Persons, United Nations, New York, 201227 Australian Institute of Criminology, Trends & Issues, In Crime and Criminal Justice, No.38,The International Transfer of Prisoners, July 1992, Canberra ACT 2601, Australia, http://www.aic.gov.au28 Article 2, The Agreement for the Transfer of Sentenced Persons between the Government of The Hong Kong Special Administrative Region of the People's Republic of China and the Government of the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland entered into force on 19 March 1998.29 Article 3, Treaty on the Transfer of Sentenced Persons between the Government of the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland and the Government of the United Arab Emirates, London 24 January 201330 Article 2, Convention on the Transfer of Sentenced Persons Strasbourg, 21.III.198331 Council of Europe, Committee of Ministers, Recommendation Rec(2006)2 of the Committee of Ministers to member stateson the European Prison Rules
kerjasama dalam Hukum Internasional, yaitu
“Perjanjian Ekstradisi” dan “Perjanjian Bantuan
Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal
Assistance in Criminal Matters/MLA)”.
Perjanjian Ekstradisi di Indonesia diatur dalam
UU Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979
Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3130). Indonesia juga sudah
melakukan beberapa Perjanjian Ekstradisi 24diantaranya adalah: Perjanjian Ekstradisi antara
Indonesia dengan Malaysia dalam UU Nomor 9
Tahun 1974 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1974 Nomor 63, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor
3044); Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia
dengan Filipina dalam UU Nomor 10 Tahun 1976
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976
Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3078); Perjanjian Ekstradisi
antara Indonesia dengan Thailand dalam UU Nomor
2 Tahun 1978 (Diundangkan di Jakartapada
tanggal 18 Maret 1978); Perjanjian Ekstradisi antara
Indonesia dengan Australia dalam UU Nomor 8
Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indoesia
Tahun 1994 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor
3565); dan Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia
dengan Korea dalam UU Nomor 42 Tahun 2007
tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara
Republik Indonesia dan Republik Korea (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4771).
Sedangkan, Perjanjian Bantuan Timbal Balik
dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance in
Criminal Matters/MLA) di Indonesia diatur dalam
UU Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal
Balik Dalam Masalah Pidana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 18,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4607). Indonesia juga sudah melakukan
Perjanjian Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah
Pidana antara Indonesia dengan China (RRC) dalam
UU Nomor 8 Tahun 2006 tentang Bantuan
Perjanjian Timbal Balik Dalam Masalah Pidana
antara Indonesia dengan Republik Rakyat China
(RRC) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4621).
Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP),
berbeda dengan Perjanjian Ekstradisi dan
Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah
Pidana (Mutual Legal Assistance in Criminal
Matters/MLA). Perjanjian Ekstradisi adalah bentuk
kerjasama Internasional di bidang hukum dimana
dikehendaki untuk tuntutan hukum atau
menjalani hukuman yang belum terpenuhi atas
pelanggaran hukum atau kriminal terhadap hukum
negara pemohon, dan Perjanjian Bantuan Timbal
Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal
Assistance in Criminal Matters/MLA) adalah bentuk
kerjasama Internasional yang merupakan bantuan
berkenaan dengan proses penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
negara yang diminta. Sedangkan Treaty on Transfer
of Sentenced Person (TSP) adalah bentuk kerjasama
Internasional dimana narapidana sudah menjalani
hukumannya di suatu negara, kemudian
dipindahkan ke negara asalnya untuk menjalani
sisa hukumanya.
Prosedur Treaty on Transfer of Sentenced
Person (TSP) berbeda dengan pertukaran
narapidana (exchange of prisioners) yang biasanya
terkait dengan Prisioners of Wars (POW) dimana
pertukaran dilakukan dengan resiprokal dengan
jumlah tahanan yang sama atau senilai. Treaty on
Transfer of Sentenced Person (TSP) adalah upaya
memindahkan narapidana yang dilakukan atas
dasar kasus per kasus sesuai dengan kepentingan
negara pada saat itu dan tidak selalu bersifat 25resipokal.
Salah satu faktor dalam hukum internasional
dibentuknya mekanisme Treaty on Transfer of
Sentenced Person (TSP) adalah hak asasi manusia
sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (3)
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
yang dishkan pada tanggal 25 Januari 2011, dan
telah diratifikasi atau disetujui oleh 167 Negara,
menetapkan bahwa "penting Tujuan "dari sistem
pemasyarakatan adalah" reformasi dan rehabilitasi
sosial "dari tahanan. ketentuan International
Perjanjian sehubungan dengan "rehabilitasi 26sosial".
Di berbagai negara telah mempunyai
pengaturan tentang Transfer of Sentenced Person
(TSP) sebagai dasar dalam kesepakatan antara
negara pengukum dengan negara penerima di
seluruh dunia untuk melakukan Transfer of
Sentenced Person (TSP). Alasan dilakukannya
Transfer of Sentenced Person (TSP) karena alasan
kemanusian dan hak asasi manusia. Selain itu
Transfer of Sentenced Person (TSP) juga meyebabkan
penghematan anggaran rehabilitasi terhadap WNA 27dan dapat menurunkan angka residivis.
Pengaturan mengenai Transfer of Sentenced
Person (TSP) di bebagai negara sangat beragam.
Berikut berupakan beberapa prinsip umum dari
Transfer of Sentenced Person (TSP), antara lain:
Prinsip dari Transfer of Sentenced Person (TSP)
merupakan perpindahan seorang terpidana yang
dapat ditransfer dari yurisdiksi/negara mentransfer
ke yurisdiksi/negara penerima yang dilakukan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
disepakati dalam perjanjian antara kedua negara
yang telah bersepakat untuk melakukan
perpindahan narapidana untuk menyelesaikan sisa 28masa hukumannya di negara asalnya.
Transfer of Sentenced Person (TSP) dapat terjadi
apabila ada kesepakatan antara kedua negara
untuk melakukan perpindahan/transfer terhadap
narapidana dari wilayah Negara penghukum ke
wilayah Negara asal terpidana dalam rangka untuk
mejalani sisa masa hukuman yang harus dijalani 29 yang sesuai dengan kesepakatan.
Prinsip-prinsip umum tentang Transfer of
Sentenced Person (TSP) yaitu para pihak yang
sepakat dalam pengalihan terpidana. Seorang
terpidana dapat ditransfer ke wilayah lain, dalam
rangka untuk menjalani sisa masa hukuman yang
dijatuhkan pada dirinya. Untuk itu terpidana dapat
mengajukan permohonan Transfer of Sentenced
Person (TSP). Transfer of Sentenced Person (TSP)
dapat diminta/diajukan oleh wilayah negara 30penghukum maupun wilayah negara peminta.
Prinsip-Prinsip yang diberlakukan dalam 31Transfer of Sentenced Person (TSP ) terdiri atas:
1. Setiap orang yang dipidana dengan pidana
perampasan kemerdekaan harus
diperlakukan dengan menghormati hak asasi
manusia;
2. Setiap orang yang menjalani masa hukuman
perampasan kemerdekaan masih mempuyai
hak walaupun dalam masa penahanan;
3. Ada batasan waktu minimum bagi pidana
perampasan kemerdekaan yang akan diajukan
untuk permohonan pertukaran narapidana;
4. Kondisi penjara untuk menjalani sisa
hukuman tidak boleh melanggar hak asasi
manusia;
5. Dalam menjalani masa hukuman di pejara
harus mengedepankan rehabilitasi terhadap
terpidana;
6. Setiap narapidana di berikan hak untuk
mengajukan permohonan perukaran
narapidana agar lebih dekat dengan
kebudayaan narapidana sehingga rehabilitasi
terhadap terpidana dapat terpenuhi;
7. Dilakukan kerjasama dengan dinas sosial
untuk membantu rehabilitasi narapidana;
8. Setiap petugas penjara harus melaksanakan
pelayanan publik di penjara sesuai dengan
standar minimum di penjara yang berlaku dan
melakukan pembinaan terhadap narapidana;.
9. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap
penjara secara reguler maupun independen.
Secara garis besar prinsip-prinsip Treaty on
Transfer of Sentenced Person (TSP) yang berkaitan
9796
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106 Kerjasama Internasional Perpindahan Eka Martiana Wulansari.....( )
bekerjasama secara erat, sejalan dengan sistem hukum dan administrasi domestik masing-masing untuk meningkatkan efektifitas tindakan penegakan hukum untuk memerangi kejahatan yang dimaksud dalam konvensi; ”Joint Investigation”adalah kerjasama penyidikan antara dua atau lebih negara melalui perjanjian berdasarkan kasus per kasus;“Handing Over of Property”, adalah kerjasama dimana pihak yang diminta sepanjang hukumnya memperbolehkan dan atas permintaan dari pihak peminta wajib menyita dan menyerahkan barang yang mungkin diperlukan sebagai bahan pembuktian atau yang diperoleh sebagai hasil dari kejahatan itu dan yang terdapat pada orang yang dituntut pada waktu penahanan dilakukan atau yang ditemukan sesudah itu. H.R Abdussalam, Hukum Pidana Internasional 2 (dua), Jakarta: Restu Agung, 2006, hlm.12-13.24 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, PT Revika Aditama, Bandung: 2000, hlm.228.25 Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementrian Luar Negeri RI, pada Pertemuan Focus Groub Discussion (FGD) mengenai “Persepektif Nasional pelaksanaan Kerja Sama Internasional Transfer of Sentence Persons (TSP)”, Bandung, 8-10 maret 2013, hlm. 2
32dengan Kedaulatan Hukum antara lain:
1. Transfer of Sentenced Person (TSP) dilakukan
berdasarkan suatu Perjanjian;
2. Transfer of Sentenced Person (TSP) adalah
mutlak untuk melanjutkan masa menjalani
hukuman (continued of enforcement) dan bukan
untuk mengubah atau mengurangi masa
menjalani hukuman (conversion of
enforcement);
3. Narapidana merupakan warganegara
administering/receiving state;
4. Dual Criminality;
5. Pelaksanaan putusan setelah dipindahkan
dapat dilakukan dengan berkelanjutan
(continued enforcement) atau dikonversikan
(conversion of sentence);
6. Narapidana yang telah dipindahkan dapat
diberikan ampunan (pardon), amnesty
(amnesty), atau dikomutasikan (commutation);
7. Terdapat Jumlah minimum sisa masa
hukuman yang harus dijalani di negara
Pentransfer sebelum narapidana dapat
mengajukan permohonan pemindahan (alasan
praktis);
8. Terdapat ketentuan dan mekanisme yang
memastikan bahwa hukuman bagi terpidana
telah berkekuatan hukum tetap, tanpa adanya
hak untuk upaya hukum, dan terpidana tidak
diperlukan lagi dalam proses hukum (bagi
dirinya atau perkara lain, pidana maupun
perdata);
9. Pemindahan baru dapat dilaksanakan secara
mutlak jika mendapat persetujuan 3 (tiga)
pihak yaitu: persetujuan narapidana sendiri
(sentenced persons) tanpa diwakilkan,
persetujuan negara Peminta (Requesting State),
dan persetujuan negara Pentransfer
(Transfering state);
10. Prinsip penolakan negara Pentransfer untuk
melaksanakan pemindahan narapidana harus
tanpa kewajiban untuk menyampaikan alasan
penolakan (wihout obligation to obtain the
explanation);
11. Bersifat Non Retroactive; dan
12. Tetap diperlukan hak monitoring di
Indonesia.Hanya berlaku bagi terpidana yang
di-vonis hukuman penjara dalam periode
waktu tertentu.
Untuk melaksanakan Treaty on Transfer of
Sentenced Person (TSP) dibutuhkan suatu
Perjanjian bilateral atau multilateral antar negara.
Ada 2 (dua) tipe perjanjian internasional atau
konvensi tentang bentuk dasar dariTreatyon 33Transfer of Sentenced Person (TSP):
1. Multilateral Treaty, adalah perjanjian legal
antara beberapa negara, seperti yang dikenal
pada saat ini yaituCouncil of Europe Convention
on the Transfer of Sentenced Persons atau
Konvensi Dewan Eropa tentang Transfer
Narapidana. Konvensi ini telah ditandatangani
oleh 44 (empat puluh empat) negara, termasuk
Canada. Bentuk perjanjian internasional
lainnya adalah perjanjian multilateral
Commonwealth of Nations Scheme for the
Transfer of Convicted Offenders atau Pedoman
negara-negara Commenwealth tentang Transfer
Tahanan atau orang yang terhukum yang
ditandatangani oleh 7 (tujuh) negara, dan The
Inter-American Convention on Serving Criminal
Sentences Abroad atau Konvensi Antar Negara
Bagian Amerika tentang Layanan Hukuman
Pidana Luar Negeri yang ditandatangani oleh 6
(enam) negara; dan
2. Perjanjian bilateral adalah perjanjian antar dua
negara dan dalam perkembangannya dapat
disesuaikan dengan kebutuhan masing-
masing negara. Misalnya, Australia
menandatangani perjanjian bilateral
tentangTreaty on Transfer of Sentenced Person 34(TSP) dengan Thailand pada awal tahun 2001,
Perjanjian Bilateral antara Perancis dan
Thailand Nomor 24319 tentang Convention on
the cooperation in the execution of penal
sentences” yang ditandatangani pada tanggal
29 Agustus 1983. Filipina membuat Treaty on
Transfer of Sentenced Person (TSP) dengan
Spanyol dengan Resolusi Nomor 39 tentang
“Resolution Concurring In the Ratification of The
Treaty on The Transfer of Sentenced Persons
Between The Republic of The Philippines and
The Kingdom of Spain”. Amerika Serikat
memiliki 12 (dua belas) perjanjian bilateral
tentang transfer narapidana asing, yaitu
dengan negara Bolivia, Canada. Prancis,
Hongkong SAR, Kepulauan Marshall, Mexico,
Micronesia, Palau, Panama, Peru. Thailand,
dan Turki.
Berkaitan dengan Treaty on Transfer of
Sentenced Person (TSP), ada satu prinsip lagi yang
dianut oleh PBB (United Nations) yaitu prinsip 20
(dua puluh) dalam prinsip-prinsip utama
perlindungan untuk semua orang yang sedang
menjalani penahanan dalam penjara dalam bentuk
apapun, menyebutkan bahwa: jika tahanan atau
narapidana begitu menghendakinya, ia dapat, jika
memungkinkan, ditempatkan ditempat penahanan
atau pemenjaraan yang berada cukup dekat dengan
kediaman tetapnya”. Hal ini penting untuk
mempertahankan hubungan dengan para anggota
keluarga dan teman-teman. Jika para tahanan dan
terpidana ditempatkan jauh dari rumah mereka, hal
ini memembuat kunjungan sebagaimana halnya
dengan cuti mengunjungi keluarganya menjadi
lebih berat dan menghabiskan lebih banyak biaya.
Kemungkinan dari perpindahan ke suatu tempat
yang lebih dekat ke rumah harus dibicarakan
dengan semua tahanan sesegera mungkin setelah
kedatanganya di penjara. Di dalam banyak sistem
mungkin sulit, khususnya untuk tahanan wanita
dan anak, karena jumlah LAPAS atau penjara
wanita dan anak di tempat yang diinginkan lebih
sedikit dari pada jumlah LAPAS umum. Dalam
kasus para narapidana, ada pengertian bahwa
mereka harus jika memungkinkan, bisa menjalani
hukuman tersebut di negara mereka (Bentuk
perjanjian dalam pemindahan untuk tahanan orang
asing, diangkat dalam Kongres Kejahatan Ke-7 PBB, 35Tahun 1985).
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah
memberikan pedoman Model Treaty mengenai
Transfer of Sentenced Person (TSP) sejak Tahun
1990, dengan Resolusi Majelis Umum PBB (United
Nations Resolution Nomor A/RES/45/119 tentang
United Nations Model Treaty on The Transfer of
Supervision of Offenders Conditionally Sentenced or
Conditionally Released). Dasar pertimbangan utama
adanya perjanjian mengenai Transfer of Sentenced
Person (TSP) adalah HAM. Dalam Transfer of
Sentenced Person (TSP), HAM yang melekat dan
menjadi dasar pertimbangan dilakukanya 36perjanjian tersebut adalah kondisi-kondisi seperti:
1. Seorang narapidana yang melakukan tindak
pidana di suatu negara dan dijatuhi hukuman
atau pidana di negara tersebut tetap mendapat
hak untuk mendapat perlakuan dan hak yang
sama dengan narapidana lainya.
2. Seorang narapidana yang di penjara atau
dikurung jauh dari negaranya, menimbulkan
dampak seolah-olah narapidana tersebut
mendapat 2 (dua) kali hukuman, disatu sisi
narapidana tersebut harus menyerahkan
kebebasannya selama menjalani hukuman
akan tetapi narapidana tersebut juga
mengalami beberapa kendala tambahan seperti
komunikasi/bahasa asing dengan petugas
LAPAS maupun narapidana lainnya yang akan
mudah terjerat melakukan berbagai
pelanggaran dalam ketentuan LAPAS, kendala
menjalankan Agama dan Kepercayaanya,
kebersihan yang kurang memadai dan
keterbatasan tenaga medis.
3. Seorang narapidana yang jauh dari lingkungan
dimana dia biasa bertempat tinggal sehingga
akan menyulitkan dalam proses pembinaan
dan rehabilitasinya.
4. Seorang narapidana yang jauh dari lingkungan
dimana dia biasa bertempat tinggal sehingga
menyebabkan narapidana menderita karena
hilangnya kontak dengan keluarganya dan
akan memakan biaya yang mahal LAPAS
untuk mendatangkan keluarga narapidana.
5. Untuk menjauhkan perasaan dari narapidana
akan adanya tindakan diskriminasi,
pengucilan atau perasaan asing dengan
narapidana lainya.
Beberapa negara yang sudah melaksanaan
Transfer of Sentenced Person (TSP) diantaranya
adalah Amerika Serikat (USA) dan Hongkong;
Kerajaan Spayol dan Republik Colombia. Transfer of
Sentenced Person (TSP) merupakan perkembangan
baru di dunia modern yang dilaksanakan pertama
kali di Syria dan Lebanon pada Tahun 1951.
Dikawasan Eropa mekanisme Transfer of Sentenced
Person (TSP) baru berkembang sejak Tahun 1962
yaitu di 5 (lima) negara Skandinavia yang membuat
perjanjian yang salah satu isinya memuat
ketentuan mengenai dapat diberlakukannya
35 Membuat Standar-Standar Bekerja, dalam Buku Panduan Internasional mengenai PratekPemenjaraan yang Baik, Penal Reform Internasional, Maret, 2001, hlm. 150-151. 36 Majalah Hukum dan HAM Vol. VII No. 31 Maret-April 2009, Perjanjian Transfer of Sentenced Person, Jakarta: 2009, hlm.39.
9998
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106 Kerjasama Internasional Perpindahan Eka Martiana Wulansari.....( )
32 Reda Manthovani, Kejaksaan, dalam FGD: Persfektif Nasional Implementasi Internasional Transfer of Sentenced Person,Hotel Grand Royal Panghegar, Bandung, 9 Maret 201333 Prisoners Transfer Treaties. http://travel.state.gov/law/legal/trcatv/treatv 1989.html. tanggal 26 Juli 2009.34 Agreement between the Government of Australia and the Government of the Kingdom of Thailand on The Transfer of Offenders and Co-operation In the Enforcement Of Penal Sentences, date 26th July 2001, Volume 2208. 1-39238.
41 Dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan itikad baik berkonsultasi dan berkoordinasi dengan Menteri Luar Negeri yang dalam hal ini diwakili oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional (HPI) sesuai dengan pasal 5 ayat 1 UU Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UUPI).42 United Nations Convention Against Transnational Organized Crime yaitu Konvensi PBB menentang Tindak Pidana Transasional yang Terorganisasi, yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 5 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4960). Dalam article 17 tentang Transfer of Sentenced Person, menyatakan bahwa: “State parties may consider bilateral or multilateral agrrement or arrangements on the transfer to their territory of person sentenced to imprisonment or other from of deprivation of liberty for offences covered by this Convention, in other that they may complete their sentences their”. (negara-negara peserta Konvensi harus mempertimbangkan untuk membuat perjanjian bilateral atau multilateral atau mengatur mengenai pemindahan narapidana ke wilayah territory mereka untuk menjalani sisa hukuman penjara atau pembatasan atas gerak lainya yang dilindungi oleh Konvensi ini).43 United Nations Convention Against Corruption, yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi Anti Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4620), dalam Bab IV (empat) memuat mengenai transfer narapidana WNA dan WNI, bantuan hukum timbal balik, transfer proses pidana, kerjasama penegakan hukum, penyelidikan bersama, dan tehnik-tehnik penyelidikan khusus. Dalam article 45menyatakan bahwa: ”State may consider entering into bilateral or multilateral agrrement or arrangements on the transfer to their territory of person sentenced to imprisonment or other from of deprivation of liberty for offences established in accordance with this convention in order that they may complete their sentences there”.(negara dapat membuat perjanjian bilateral atau multilateral atau mengatur pemindahan narapidana atau orang yang telah dijatuhi hukuman untuk kembali ke wilayah mereka untuk menyelesaikan masa hukumannya).
Keputusan Pengadilan suatu negara di negara lain 37yang terlibat dalam perjanjian. Di Afrika, Transfer
of Sentenced Person (TSP) baru berkembang pada
Tahun 1961 yaitu pada 12 (dua belas) negara bekas
jajahan Perancis yang membuat perjanjian dalam
masalah peradilan. Sedangkan di Amerika Serikat
(USA) Transfer of Sentenced Person (TSP) baru
berkembang pada Tahun 1971 dengan
mengadakan perjanjian dalam masalah peradilan
dengan Mexico, kemudian dengan Kanada.
Perkembangan lebih cepat dicapai di Eropa dimana
pada Tahun 1983 dibawah Komite Eropa mengenai
masalah kejahatan telah menghasilkan Konvensi
Eropa mengenai Convention of The Transfer of
Sentenced Person, yang ditandatangani di
Strasbourg pada tanggal 21 Maret Tahun 1983, dan
ditandatangani oleh kurang lebih 44 (empat puluh
empat) negara, baik oleh anggota maupun bukan
anggota dari Council of Europe. Hingga Tahun 1996
Konvensi ini telah diratifikasi lebih dari 30 (tiga
puluh negara) termasuk Amerika Serikat (USA).
Negara-negara Liga Arab pada Tahun 1983 juga
telah mempunyai perjanjian Transfer of Sentenced
Person (TSP) dalam bentuk Riyadh Arab Agreement
on Yudicial 1983 dan juga telah menghasilkan Arab
Agreement on Yudicial Cooperation. Di kawasan
Amerika Selatan juga telah mempunyai perjanjian
Transfer of Sentenced Person (TSP), dalam bentuk
Inter-American Convention on Serving of Criminal
Sentences Aboard pada Tahun 1980, namun
sampai dengan Tahun 1996 hanya 2 (dua) negara
saja yang ikut meratifikasinya yaitu Kanada dan
Venezuela, sedangkan negara lainya baru pada 38tahap penandatanganan.
Ratifikasi perjanjian antara Pemerintah USA
dengan Pemerintah Hong Kong pada tanggal 15
April tahun 1997 tentang Transfer of Sentenced
Person (TSP) antara kedua negara yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Europe
Convention on The Transfer of Sentenced. Perjanjian
ini terjadi pada saat Pengembalian Hong Kong dari
dibawah kedaulatan Inggris ke Cina. Sedangkan
Cina bukan merupakan bagian dari Uni Eropa
maka dalam pelaksanaanya perlu adanya perjanjian
bilateral antara Hong Kong dengan USA. Isi dari
perjanjian tersebut antara lain definisi dan istilah
yang digunakan dalam perjanjian; para pihak
menentukan wilayah mana yang akan dilaksanakan
Transfer of Sentenced Person (TSP);para pihak
menunjuk otoritas pelaksana Transfer of Sentenced
Person (TSP); para pihak menentukan jangka waktu
atau sisa pidana yang harus dijalani apabila
melakukan Transfer of Sentenced Person (TSP);
mengharuskan bagi setiap narapidana yang akan
ditranfer telah menyetujui secara sukarela untuk
melakukan Transfer of Sentenced Person (TSP);
mempersiapkan dana untuk memenuhi syarat-
syarat administrasi dalam proses melaksanakan
Transfer of Sentenced Person (TSP); mempersiapkan
fasilitas pelaksanaan Transfer of Sentenced Person
(TSP); menetapkan bahasa yang digunakan dan
dalam membuat permintaan Transfer of Sentenced
Person (TSP) dan alokasi biaya dan perjanjian
Transfer of Sentenced Person (TSP)mulai berlaku 30
(tiga puluh) hari setelah para pihak saling
menyetujui atau sepakat masing-masing
persyaratan untuk dilakukan Transfer of Sentenced 39Person (TSP).
Di USA, sudah dikenal mekanisme perjanjian
bilateral dan multilateral mengenai perpindahan
narapidana asing ke negara asalnya tetapi
mekanisme perjanjian perpindahan narapidana ini
belum diatur dalam Undang-Undang Kongres yang
menerapkan kebutuhan perpindahan narapidana
tersebut. Karena belum diatur dalam Undang-
Undang Kongres maka kebutuhan, kendala-kendala
dan keberhasilan pelaksanaan perpindahan
narapidana di setiap negara-negara bagian di USA
tidaklah sama. Di USA hampir semua narapaidana
dapat mengajukan permohonan perpindahan untuk
menjalani sisa masa hukumanya di negara asalnya.
Hal tersebut diberitahukan bahwa perpindahan
narapidana merupakan hak mereka untuk
melakukanya pada waktu yang tepat. Efektifitas
perpindahan narapidana asing ini dirasakan
sebagai salah satu cara untuk mengoptimalkan
rehabilitasi terhadap narapidana tersebut dengan
menyelesaikan sisa masa tahananya di negara
asalnya karenadari segi bahasa, budaya dan 40kedekatan narapidana dengan keluarganya.
Pada saat ini hampir sebagian besar negara di
dunia telah melakukan pemindahan narapidana
antar negara. Apabila kita melihat tetangga dekat
Indonesia seperti Malayasia, Filipina, Thailand,
Vietnam, semuanya telah memiliki perangkat
hukum nasional sebagai landasan hukum Treaty on
Transfer of Sentenced Person (TSP) Indonesia hingga
saat ini belum dapat menerapkan perpindahan
narapidana dengan alasan belum adanya hukum
nasional yang mengatur, walaupun telah ada
keperluan dan urgensi untuk dilakukannya hal
tersebut. Saat ini terdapat banyak WNI yang
menjalani pidana penjara di berbagai negara, selain
itu terdapat pula permintaan dari beberapa negara
lain untuk memulangkan WNI Indonesia yang
ditahan di luar negara untuk menjalani rehabilitasi,
resosialisasi, dan reintegrasi mereka ke dalam
masyarakat, namun hal tersebut belum bisa
dilakukan karena ketiadaan dasar hukum nasional.
Prinsip-prinsip Treaty on Transfer of Sentenced
Person (TSP) antar negara belum dikenal dalam
sistem hukum Indonesia, yang dikenal hanyalah
prinsip pemindahan narapidana asing di dalam
negeri. Oleh karena itu, dasar hukum sampai saat
ini merujuk kepada sumber hukum internasional
yang berlaku. Dalam hal ini, Indonesia sebagai
negara anggota PBB, merujuk kepada Model Treaty
mengenai Transfer of Sentenced Person (TSP)sejak
tahun 1990, dengan Resolusi Majelis Umum PBB
(UN Resolution No. A/RES/45/119) tentang United
Nations Model Treaty on The Transfer of Supervision
of Offenders Conditionally Sentenced or Conditionally
Released, atau bisa diartikan, Model Perjanjian
tentang Transfer Pengawasan dari Narapidana
dalam keadaan Pidana Bersyarat dan Bebas
Bersyarat. Keberadaan model perjanjian ini belum
dikenal dalam hukum nasional Indonesia. Jika
memang Indonesia sepakat untuk menjalankan
Treatyon Transfer of Sentenced Person (TSP)
dibutuhkan suatu Perjanjian bilateral atau
multilateral antar negara, maka harus ada Lembaga 41Pemrakarsa.
Transfer of Sentenced Person (TSP) di Indonesia
belum mempunyai perangkat peraturan
perundang-undangan pokok yang mengatur
tentang mekanisme, muatan materi dan tatacara
pelaksanaan dari Transfer of Sentenced Person
(TSP). Sebagai suatu bentuk kerjasama
internasional, dasar hukum dalam melaksanakan
Transfer of Sentenced Person (TSP) di Indonesia
hanya ditekankan dalam beberapa Konvensi
Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia
sebagai mekanisme kerja Hukum Internasional,
antara lain: United Nations Convention Against 42Transnasional Organized Crime (UNTOC) dan
United Nations Convention Against Corruption 43(UNCAC) di mana Indonesia sudah menjadi negara
pihak kedua konvensi tersebut. Namun, perlu
dipahami bahwa United Nations Convention Against
Transnasional Organized Crime (UNTOC) dan United
Nations Convention Against Corruption (UNCAC),
hanya mengatur mengenai pemindahan narapidana
untuk jenis kejahatan yang masuk dalam ruang
lingkup UNTOC dan UNCAC, sedangkan jenis yang
diharapkan dapat diatur dalam perjanjian bilateral
dengan negara lain yang meliputi semua jenis
kejahatan sesuai dengan hukum nasional
Indonesia.
Dalam kaitanya dengan Perjanjian
Internasional dalam UU Nomor Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional menyatakan
bahwa dalam hal penandatanganan Perjanjian
Internasional, dilakukan oleh Kepala Negara, Kepala
Pemerintahan, atau Menteri Luar Negeri. Treaty on
Transfer of Sentenced Person (TSP) merupakan
Perjanjian Internasional, bukan kerjasama tehnik
dalam sebagai pelaksana Perjanjian Internasional
yang sudah ada, oleh karena itu dalam pembuatan
Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) ini yang
akan menandatangani adalah Presiden, dan bentuk
perjanjianya akan diratifikasi dalam bentuk
Undang-Undang karena karena menyangkut
37 Penelaahan tentang Transfer of Prisioners, sebagai Salah Satu Tugas Seksi Bantuan Hukum Timbak Balik pada Sub Bidang Ekstradisi dan Bantuan Hukum Timbal Balik, Direktorat Pidana Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementrian Hukum dan HAM, 2006, hlm.4.38 Ibid., hlm. 5.39 Marian Nash Leich, Prisoner Transfer Treaties, Contemporary Practice of The United States Relating to International Law, The American Society of International Law, 1997, hlm.61640 Louis Antonacci, Lessons From Lagrand: An Argument For The Domestic Enforceability Of Treaty-Based Rights Under International Prisoner Transfer Treaties, Santa Clara Journal of International Law, 2005. hlm. 22.
101100
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106 Kerjasama Internasional Perpindahan Eka Martiana Wulansari.....( )
kedaulatan, HAM dan pembentukan kaidah hukum
baru,sehingga dalam proses pembuatanya harus
melihat mekanisme Perjanjian Internasional yang 44sudah diakui dengan undang-undang.
Di Indonesia undang-undang merupakan
bentuk dari peraturan perundang-undangan yang
mengikat secara nasional, pembaharuan
masyarakat dengan jalan hukum berarti
pembahuan hukum melalui undang-undang dalam
peraturan perundang-undangan. Hal ini selaras
dengan teori hukum pembangunan yang
dikemukakan oleh Muchtar Kusumaatmadja,
bahwa hukum merupakan sarana pembaharuan
dalam masyarakat, dengan menjadikan hukum
sebagai sarana untuk mengubah alam pemikiran
masyarakat tradisional menjadi masyarakat 45modern.
D. Penutup
Bahwa Treaty on Transfer of Sentenced Person
(TSP) semakin mengemuka di era globalisasi dimana
interaksi dan hubungan antar negara maupun
“people to people contact” menjadi semakin
meningkat. Dalam prosesnya, norma-norma
hukum Internasional dan hukum nasional berlaku
sebagai aturan yang dijadikan dasar bagi suatu
negara didalam menerapkan suatu kebijakan.
Pertimbangan utama dilakukannya pemindahan
narapidana ini adalah karena alasan kemanusiaan,
antara lain, perbedaan bahasa, kebudayaan, agama
atau jarak yang jauh dengan keluarganaya sering
mengakibatkan narapidana mengalami kesulitan
dalam proses rehabilitasi, resosialisasi, dan
reintegrasi ke dalam masyarakat.
Dasar pertimbangan utama adanya perjanjian
mengenai Transfer of Sentenced Person (TSP) adalah
HAM. Dalam Transfer of Sentenced Person (TSP),
HAM yang melekat dan menjadi dasar
pertimbangan dilakukanya perjanjian tersebut
adalah kondisi-kondisi seperti:
1. Seorang narapidana yang melakukan tindak
pidana di suatu negara dan dijatuhi hukuman
atau pidana di negara tersebut tetap mendapat
hak untuk mendapat perlakuan dan hak yang
sama dengan narapidana lainya;
2. Seorang narapidana yang di penjara atau
dikurung jauh dari negaranya, menimbulkan
dampak seolah-olah narapidana tersebut
mendapat 2 (dua) kali hukuman, disatu sisi
narapidana tersebut harus menyerahkan
kebebasannya selama menjalani hukuman
akan tetapi narapidana tersebut juga
mengalami beberapa kendala tambahan seperti
komunikasi/bahasa asing dengan petugas
LAPAS maupun narapidana lainnya yang akan
mudah terjerat melakukan berbagai
pelanggaran dalam ketentuan LAPAS, kendala
menjalankan Agama dan Kepercayaanya,
kebersihan yang kurang memadai dan
keterbatasan tenaga medis; dan
3. Seorang narapidana yang jauh dari lingkungan
dimana dia biasa bertempat tinggal sehingga
akan menyulitkan dalam proses pembinaan
dan rehabilitasinya.
4. Seorang narapidana yang jauh dari lingkungan
dimana dia biasa bertempat tinggal sehingga
menyebabkan narapidana menderita karena
hilangnya kontak dengan keluarganya dan
akan memakan biaya yang mahal LAPAS
untuk mendatangkan keluarga narapidana.
5. Untuk menjauhkan perasaan dari narapidana
akan adanya tindakan diskriminasi,
pengucilan atau perasaan asing dengan
narapidana lainya.
Prinsip-prinsip Treaty on Transfer of Sentenced
Person (TSP) antar negara belum dikenal dalam
sistem hukum Indonesia, yang dikenal hanyalah
prinsip pemindahan narapidana asing di dalam
negeri. Oleh karena itu, dasar hukum sampai saat
ini merujuk kepada sumber hukum internasional
yang berlaku. Dalam hal ini, Indonesia sebagai
negara anggota PBB, merujuk kepada Model Treaty
mengenai Transfer of Sentenced Person (TSP)sejak
tahun 1990, dengan Resolusi Majelis Umum PBB
(UN Resolution No. A/RES/45/119) tentang United
Nations Model Treaty on The Transfer of Supervision
of Offenders Conditionally Sentenced or Conditionally
Released, atau bisa diartikan, Model Perjanjian
tentang Transfer Pengawasan dari Narapidana
dalam keadaan Pidana Bersyarat dan Bebas
Bersyarat. Keberadaan model perjanjian ini belum
dikenal dalam hukum nasional Indonesia. Jika
memang Indonesia sepakat untuk menjalankan
Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP)
dibutuhkan suatu Perjanjian bilateral atau
multilateral antar negara, maka harus ada Lembaga
Pemrakarsa, dan Undang-Undang nasional tentang
Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP), karena
menyangkut kedaulatan, HAM dan pembentukan
kaidah hukum baru, sehingga dalam proses
pembuatanya harus melihat mekanisme Perjanjian
Internasional yang sudah diakui dengan undang-
undang.
Daftar Pustaka
Buku
Abu Daud Busroh, “Ilmu Negara”, PT. Bumi Aksara,
Jakarta, 2009.
Adi Sujatno, Pencerahan Di Balik Penjara, Mizan
Media Utama (MUU), Juli, 2008
A.V. Dicey, The Relation Between Law and Public
Opinion; Richard D. Schwartz and Jerome H.
Skolnik (eds), Society and the Legal Order,
Basic Books Inc. Publishers, New York,
London, 1970
Bernard Arif Sidharta, Penelitian Hukum Normatif,
Analisis Penelitian Filosofikal dan Dogmatikal,
dalam buku Metode Penelitian Hukum
Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, Jakarta: 2011
Carl J.Friedrich (editor), The Phillosophy of Kant.
Immanuel Kant's Moral and Political Writings,
The Modern Library, New York, 1949
David J. Harris, Cases and Materials on
International Law, London: Sweet and
Maxwell, 1982
Djokosoetono, dihimpun oleh Harun Al Rasyid,
“Ilmu Negara”, In-Hill-Co, Jakarta, 2006
Frans E. Likadja dan Daniel Frans Bessie, Desain
Instruksional Dasar Hukum Internasional,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.
Haula Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum
Internasional, Keni Media, Bandung,
Cetakan4, 2011
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan
Negara, diterjemahkan dari General Theory of
Law and State , Nusamedia dan Penerbit
Nuansa, Bandung, 2006
Herbert L. Parker, The Limit of The Criminal Sanction,
Stanford University Press, California: 1968
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional,
CV Yrama Widya, Bandung: 2005, Note.8
Jhon Kaplan, Criminal Justice Introductory Cases
and Material, the Foundation Press Inc, New
York, 1978
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian
Hukum Normatif, Bayumedia Publishing,
Malang, Cetakan Ketiga, Juli 2007
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional,
terjemahan Bambang Iriana Djajaatmaja.
Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2000
Keterangan Pemerintah dalam RUU tentang
Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah
Pidana, Risalah Proses Pembahasan RUU
tentang Bantuan Timbal Balik Dalam
Masalah Pidana, Biro Persidangan DPR RI,
2006.
L.B. Curzon, Roman Law, London, 1966
Majalah Hukum dan HAM Vol. VII No. 31 Maret-
April 2009, Perjanjian Transfer of Sentenced
Person, Jakarta: 2009.
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu
Studi tentang Prinsip-Prinsipnya dilihat dari
Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada
Periode Negara Madinah dan Masa Kini,
Kencana, Jakarta, 2003, hal. 88-90.
Muladi, HAM dalam Persepektif Sistem Peradilan
Pidana, dalam HAM Hakekat, Implikasinya
dalam Presepektif Hukum dan Masyarakat,
PT Refika Aditama, Cetakan Pertama:
Januari 2005
Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar
Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia dan CV Sinar
Bakti, 1988
Muchtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum
dalam Pembangunan, PT Alumi, Bandung:
2002
ndM.N. Shaw, Internasional Law, Butterworths, 2 .,
ed., 1986
Membuat Standar-Standar Bekerja, dalam Buku
Panduan Internasional mengenai Pratek
Pemenjaraan yang Baik, Penal Reform
Internasional, Maret, 2001
Malcolm N. Shaw, International Law, Cambridge:
Cambridge University Press, 1997
N.A. Maryan Green, Internasional Law of Peace, ndLondon, Mc Donald and Evans, 2 .ed., 1998,
hal.213.
Penanganan Kasus WNI di Luar Negeri, Direktorat
Perlindungan WNI dan BHI, Direktorat 44 Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 10, Undang-Undang Nomor Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.45 Muchtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, PT Alumi, Bandung: 2002, hlm.89.
103102
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106 Kerjasama Internasional Perpindahan Eka Martiana Wulansari.....( )
Jenderal Protokol dan Konsuler Kementrian
Luar Negeri RI, di sampaikan pada acrara
Focus Group Discussion(FGD) “Persepektif
Nasional Pelaksanaan Ker jasama
Internasional Transfer of Sentences Persons”,
Bandung, 8-10 Maret 2013. 2008
Penjelasan Umum, Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Cet.1, Visimedia, Jakarta: 2007
Penelaahan tentang Transfer of Prisioners, sebagai
Salah Satu Tugas Seksi Bantuan Hukum
Timbak Balik pada Sub Bidang Ekstradisi
dan Bantuan Hukum Timbal Balik,
Direktorat Pidana Direktorat Jenderal
Administrasi Hukum Umum, Kementrian
Hukum dan HAM, 2006
Phillip C. Jessup, Transnational Law, New York,
1968
Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam
Indonesia (UII), Hukum Hak Asasi Manusia,
Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas
Islam Indonesia (UII) atau PUSHAM UII,
Yogyakarta, 2008, Cetakan Pertama
Piagam Pemasyarakatan Indonesia, Bunga Rampai
Pemasyarakatan, Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan, Kementrian Hukum dan
HAM RI, Jakarta: 27 April 2002.
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana
Internasional, PT Revika Aditama, Bandung:
2000
________________,makalah yang disampaikan pada
“Seminar Legislasi Nasional”, Badan Legislatif
DPR RI”, Jakarta, 21 Mei 2005.Soehino, “Ilmu
Negara”, liberty, Yogyakarta, 1980
Soe r j ono Soekan to da l am B e b e r a p a
PermasalahanHukum Dalam Kerangka
Pembangunan di Indonesia (Suatu Tinjauan
Secara Sosiologis), Cetakan 3, UI Press,
Jakarta, 1983
Sub Direktorat Statistik dan Dokumentasi,
Direktorat Bina Registrasi dan Statistik,
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan,
Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta:
2012.
United Nations Office on Drugs And Crime, Vienna,
Handbook on the International Transfer of
Sentenced Persons, United Nations, New
York, 2012
Vinogradof, Historical types of International Law,
Biblliotheca Visserania I,1923.
Vaughan Lowe. International Law, Clarendon Law
Series, Oxford University Press, 2007
Jurnal
Agreement between the Government of Australia and
the Government of the Kingdom of Thailand on
The Transfer of Offenders and Co-operation In
the Enforcement Of Penal Sentences, date 26th
July 2001, Volume 2208. 1-39238.
Australian Institute of Criminology, trends & issues,
in crime and criminal justice, No.38,The
International Transfer of Prisoners, July 1992,
ISSN 0817-8542, ISBN 0 642 18071 7, GPO
Box 2944, Canberra ACT 2601, Australia,
http://www.aic.gov.au
Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian
Internasional Kementrian Luar Negeri RI,
pada Pertemuan Focus Groub Discussion
(FGD) mengenai “Persepektif Nasional
Pelaksanaan Kerja Sama Internasional
Transfer of Sentence Persons (TSP)”, Bandung,
8-10 Maret 2013
Ekkehart Muller-Rappard, The Transfer Of Sentenced
Persons-Comments on The Relevant Council of
Europe Legal Instruments, The Pace University
School of Law, Pace Yearbook of International
Law, 1991:155
Mark Andrew Sherman, Transfer Of Prisoners Under
International Instruments And Domestic
Legislation: A Comparative Study, By Michael
Plachta. Frieburg, Germany: Max-Planck-
Institut, 1993. Pp. 565. Dm 58 (Softcover), The
George Washington University, George
Washington Journal of International Law and
Economics, 1995: 495
Marian Nash Leich, Prisoner Transfer Treaties,
Contemporary Practice of The United States
Relating to International Law, The American
Society of International Law, 19:616
Majalah Hukum dan HAM Vol. VII No. 31 Maret-
April 2009, PerjanjianTransfer of Sentenced
Person, Jakarta
Louis Antonacci, Lessons From Lagrand: An
Argument For The Domestic Enforceability Of
Treaty-Based Rights Under International
Prisoner Transfer Treaties, Santa Clara
Journal of International Law, 2005: 22
Reda Manthovani, Kejaksaan, dalam FGD: Persfektif
Nasional Implementasi Internasional Transfer
of Sentenced Person, Hotel Grand Royal
Panghegar, Bandung, 9 Maret 2013
Taman, Fajar, 23 November Tahun 2009, 20:18:13
GMT.Sudah Siapkah Kita Menghadapi
Pemindahan Narapidana Antar Negara
(Transfer of Sentenced Person/TSP), Majalah
Hukum dan HAM Online, Vol. 5 Nomor 26,
http:majalah.depkumham.go.id/node/141,
The Agreement for the Transfer of Sentenced Persons
between the Government of The Hong Kong
Special Administrative Region of the People's
Republic of China and the Government of the
United Kingdom of Great Britain and Northern
Ireland entered into force on 19 March 1998.
Treaty on the Transfer of Sentenced Persons between
the Government of the United Kingdom of
Great Britain and Northern Ireland and the
Government of the United Arab Emirates,
London 24 January 2013.
Internet
ASEAN Charter, www.asean.org/archive/.../
ASEAN-Charter.pdf
Convention on the Transfer of Sentenced Persons
Strasbourg, 21.III.1983, conventions.coe.int/
Treaty/en/Treaties/.../112.htm
Council of Europe, Committee of Ministers,
Recommendation Rec(2006)2 of the Committee
of Ministers to member stateson the European
Prison Rules, https://wcd.coe.int/
ViewDoc.jsp?id=955747
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum
Indonesia, www.jimly.com
Mohd. Burhan Tsani (Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada), Status Hukum
Internasional dan Perjanjian Internasional
dalam Hukum Nasional Republik Indonesia
(dalam perspektif Hukum Tata Negara),
http://www.scribd.com/doc/l6710653/Stat
us-Hukum-Internasional-Dan-Perjanjian-
Internasional-Dalam-Hukum-Nasional-RI-
Dalam-Perspektif-Hukum-Tata-Negara. 1
Desember 2009
Prisoners Transfer Treaties. http://travel.state.gov/
law/legal/trcatv/treatv 1989.html. tanggal
26 Juli 2009.
Tanggung Jawab Negara (State Responsibility),
Selasa, 02 April 2013, www.goggle.com
UN Convention Against Transnational Organized
Cr ime, www.unodc.org/unodc/en/
treaties/.../signatures.ht..
UN Convention Against Corruption, www.unodc.org/
.../Convention/08-50026_E.pdf
UN Charter, treaties.un.org/doc/Publication/
CTC/uncharter.pdf
Kumpulan Peraturan Perundang-undangan
Indonesia,Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945.
________, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1974
tentang Perjanjian Ekstradisi antara
Indonesia dengan Malaysia (LN Nomor 36,
Tahun 1974, LTN Nomor 3044).
________,Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1976
tentang Perjanjian Ekstradisi antara
Indonesia dengan Filipina (LN Nomor 38,
Tahun 1976, LTN Nomor 3078).
________,Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1978
tentang Perjanjian Ekstradisi antara
Indonesia dengan Thailand (LN Nomor 12,
Tahun 1978, LTN Nomor 3117).
________,Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979
tentang Ekstradisi (LN Nomor 2, Tahun 1979,
LTN Nomor 3130).
________,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), (LN
Nomor 76, Tahun 1981, LTN Nomor 3209).
________,Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
Tentang Pemasyarakatan (LN Nomor 77,
Tahun 1995, LTN Nomor 3614).
________,Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia (LN Nomor 165,
Tahun 1999, LTN Nomor 3886).
________,Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional. Manusia
(LN Nomor 185, Tahun 2000, LTN Nomor
4012).
________,Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006
tentang Bantuan Timbal Balik Dalam
Masalah Pidana Manusia (LN Nomor 18,
Tahun 2006, LTN Nomor 4607).
________,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2006
tentang Bantuan Perjanjian Timbal Balik
105104
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106 Kerjasama Internasional Perpindahan Eka Martiana Wulansari.....( )
Dalam Masalah Pidana antara Indonesia
dengan Repub l ik Rakya t Ch ina
(RRC),Manusia (LN Nomor 33, Tahun 2006,
LTN Nomor 4621).
________,Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006
tentang Konvensi Anti Korupsi (LN Nomor
32, Tahun 2006, LTN Nomor 4620).
________,Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia Manusia (LN Nomor 63, Tahun
2006, LTN Nomor 4643).
________,Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009
tentang Konvensi PBB menentang Tindak
TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENGGALANGAN DANA PUBLIK
UNTUK KORBAN BANJIR JAKARTA 2013
(TRANSPARENCY AND ACCOUNTABILITY OF FUNDRAISING PUBLIC
FOR VICTIMS OF FLOOD JAKARTA 2013)
Sudaryatmo
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
Kantor Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Jl. Pancoran Barat VII No. 1, Durentiga, Jakarta
Selatan, Indonesia
Email : sudar.ylki@gmail.com
(Naskah diterima 13/02/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014)
Abstrak
Secara geografis sebagian besar dari wilayah Indonesia adalah masuk dalam kategori daerah rawan bencana. Baik
bencana alam maupun bencana akibat ulah menusia selalu melahirkan korban, melahirkan duka. Dan tidak jarang
intensitas bencana tidak bisa diprediksi, sehingga jangankan korban, pemerintah pun juga sering tidak berdaya karena
besarnya jumlah dana yang diperlukan untuk penanganan korban bencana. Salah satu upaya untuk meringankan
beban korban (dan juga Pemerintah) adalah melalui penggalangan dana publik. Artikel ini adalah penelitian
pendahuluan tentang transparansi dan akuntabilitas penggalangan dana publik untuk korban banjir Jakarta 2013.
Penelitian ini hanya terbatas pada penggalangan dana publik yang dilakukan oleh lembaga. Baik lembaga yang secara
khusus didirikian untuk misi sosial dan kemanusiaan, lembaga keagamaan, lembaga komersial, media massa, lembaga
assosiasi pengusaha dan lembaga publik. Tujuan penelitian ini untuk memberikan masukan bagi pemerintah, dan
mendorong lembaga yang melakukan penggalangan dana publik untuk lebih transparan dan akuntable dan sebagai
sarana kontrol sosial.
Kata kunci: bencana, dana publik, banjir Jakarta.
Abstract
Most of Indonesia's territory geographically belongs to the category of disaster-prone areas. Both natural disasters and
disasters due to human behavior are always causing casualties, causing grief. And sometimes the intensity of disasters
can't be predicted, so let the victims, the Government also often disempowered because of the large amount of funds
required to handling the victims. One of the efforts to alleviate the burden of the victim (and the Government) is through a
public fundraising. This article is preliminary research about the transparency and accountability of public fund raising for
flood victims in Jakarta 2013. This study only restricts public fundraising conducted by the institute. Both institutions
specifically established for social and humanitarian missions, commercial institutions, religious institutions, mass media,
associated employers and public institutions.The purpose of this research is to provide input for the Government, prompting
the institutions that perform public fundraising to be more transparent and accountable as a social control.
Keywords: disaster, public fund, flood in Jakarta.
A. Pendahuluan
Secara geografis sebagian besar dari wilayah
Indonesia adalah masuk dalam kategori daerah
rawan bencana. Wilayah sekitar cincin api dari
sepanjang bukit barisan di Sumatra, menyusur Pulau
Jawa sampai ke Nusa Tenggara, kemudian naik ke
atas sampai ujung Pulau Sulawesi adalah wilayah
yang sangat rawan terjadi bencana gempa tektonik.
Selain faktor alam, aktivitas pertambangan,
perkebunann dan konversi lahan untuk
perumahan/industri yang tidak terkendali
berpotensi juga mengganggu daya dukung
lingkungan dan berakibat timbulnya bencana
ekologis seperti banjir yang akhir-akhir ini terjadi di
beberapa daerah.
Baik bencana alam maupun bencana akibat
ulah menusia selalu melahirkan korban,
melahirkan duka. Dan tidak jarang intensitas
bencana tidak bisa diprediksi, sehingga jangankan
korban, pemerintah pun juga sering tidak berdaya
karena besarnya jumlah dana yang diperlukan
untuk penanganan korban bencana.
Salah satu upaya untuk meringankan beban
korban (dan juga Pemerintah) adalah melalui
penggalangan dana publik. Apa saja aspek yang
107106
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106
Pidana Transasional yang Terorganisasi
Manusia (LN Nomor 5, Tahun 2009, LTN
Nomor 4960).
________,Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan
Warga Binaan Pemasyarakatan Manusia (LN
Nomor 68, Tahun 1999, LTN Nomor 3845).
________,Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan Manusia (LN
Nomor 61, Tahun 2006, LTN Nomor 4632).
harus diperhatikan dalam penggalangan dana
publik untuk korban bencana? Artikel ini adalah
penelitian pendahuluan tentang transparansi dan
akuntabilitas penggalangan dana publik untuk
korban banjir Jakarta 2013.
Adapun maksud dan tujuan dilakukan
penelitian dengan obyek penggalangan dana publik
untuk korban banjir Jakarta 2013, yaitu yang
pertama sebagai bahan masukan bagi pemerintah
(Pusat dan Daerah) untuk perbaikan, baik di level
regulasi dan pengawasan, khususnya aktivitas
penggalangan dana publik untuk keperluan
sosial/kemanusiaan.
Kedua, mendorong lembaga yang melakukan
penggalangan dana publik untuk lebih transparan
dan akuntable dalam melakukan penggalangan dan
pendistribusian dana publik, sehingga bisa
meningkatkan kepercayaan (trust) masyarakat
terhadap lembaga yang bersangkutan. Ketiga,
sebagai bentuk kontrol sosial atas aktivitas
penggalangan dana publik dan mencegah adanya
pihak-pihak yang menyalahgunakan bencana
sebagai kedok untuk mencari keuantungan pribadi.
Kempat, adanya lembaga penggalang dana publik
yang kredibel, dapat meningkatkan partisipasi
masyarakat untuk menyisihkan sebagian harta
untuk didonasikan, sekaligus untuk menggalang
solidaritas terhadap korban bencana banjir, sehingga
dapat meringankan penderitaan korban banjir;
Penelitian ini hanya terbatas pada
penggalangan dana publik yang dilakukan oleh
lembaga, baik lembaga yang secara khusus
didirikian untuk misi sosial dan kemanusiaan,
lembaga keagamaan, lembaga komersial, media
massa, lembaga assosiasi pengusaha dan lembaga
publik. Penggalangan dana publik yang dilakukan
oleh perorangan/kelompok masyarakat tidak
termasuk dalam obyek kajian dalam penelitian ini.
Karena alasan terbatasnya anggaran
penelitian, dari daftar lembaga yang melakukan
penggalangan dana publik, dipilih 11 lembaga.
Kepada 11 lembaga penggalang dana publik
tersebut,YLKI mengirimkan donasi untuk korban
banjir, masing-masing Rp 100.000,- ( seratur ribu
rupiah ) melalui transfer bank kepada 10 lembaga,
dan satu lembaga donasi melalui SMS sebesar Rp
5000 ( lima ribu rupiah ). Dengan demikian, dalam
penelitian ini YLKI juga bertindak dalam kapasitas
sebagai donatur.
Tiga bulan sejak mengirimkan donasi untuk
korban banjir, YLKI mengirimkan surat kepada 11
lembaga untuk meminta laporan pertanggung-
jawaban penggalangan dana publik bagi korban
banjir Jakarta, meliputi jumlah dana publik yang
berhasil dihimpun, distribusi dimana dana publik
disalurkan kepada korban banjir, termasuk jumlah
penerima manfaat. Hal yang juga tidak kalah
penting adalah dari total dana publik yang bisa
dihimpun, berapa persen yang digunakan untuk
biaya operasional lembaga dan berapa persen yang
disalurkan ke korban banjir.
B. Pembahasan
B.1.Regulasi tentang Penggalangan Dana Publik
untuk Kerperluan Bencana
Pada 26 April 2007, Pemerintah telah
mengundangkan Undang-undang Nomor 24 tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana. Sejak itu,
Undang-undang tersebut menjadi acuan dalam
penanggulangan bencana. Salah satu aspek penting
dalam penanggulangan bencana adalah soal
pendanaan. Namun sayangnya, Undang-undang
penanggulangan bencana belum mengatur secara
detail soal aspek pendanaan, lebih khusus lagi
penggalangan dana publik untuk keperluan
bencana.
Dalam Undang-undang penanggulangan
b e n c a n a d i a t u r , b a h w a p e n d a n a a n
pananggulangan bencana menjadi tanggung jawab 1pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah. Lebih
lanjut diatur, pemerintah mendorong partisipasi
masyarakat dalam penyediaan dana yang 2bersumber dari masyarakat. Namun undang-
undang penanggulangan bencana belum mengatur
bagaimana bentuk dan mekanisme partisipasi
masyarakat dalam penggalangan dana publik
untuk penanggulangan bencana. Baik partisipasi
dalam kapasitas sebagai penyelenggara
penggalangan dana publik, seperti syarat-syarat
minimal yang harus dipenuhi sebuah lembaga
sebelum melakukan aktivitas penggalangan dana
publik, maupun partisipasi masyarakat sebagai
donatur, seperti misalnya apa saja hak-hak donatur
yang harus diperhatikan lembaga yang melakukan
penggalangan dana publik.
Pengaturan penggalangan dana publik yang
lebih detail diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan
pengumpulan sumbangan. Ada dua substansi
penting dalam PP ini. Pertama, perlunya izin dari
pejabat yang berwenang bagi setiap lembaga yang
melakukan penggalangan dana publik untuk 3keperluan sosial/kemanusiaan.
Pengertian pejabat yang berwenang ini
tergantung dari ruang lingkup aktivitas
penggalangan dana publik. Untuk penggalangan
dana publik/sumbangan berskala nasional atau
lintas propinsi diperlukan izin dari Kementrian
Sosial. Untuk kegiatan berskala propinsi atau lintas
kabupaten/kota diperlukan izin dari Gubernur, dan
untuk penggalangan dana publik/sumbangan
berskala kabupaten/kota diperlukan izin dari 4Bupati/Walikota.
Kedua, substansi pengaturan tentang rasio
antara biaya operasional (overhead) lembaga
dibandingkan dengan total sumbangan/dana publik
yang berhasil dihimpun. Pembiayaan usaha
pengumpulan dana publik/sumbangan adalah
maksimal 10 persen dari total sumbangan yang 5dihimpun. Ketentuan ini penting dalam rangka
untuk memastikan bahwa dana yang dihimpun dari
publik akan sebagian besar diperuntukan bagi
korban bencana, bukan untuk pengurus lembaga
yang melakukan aktivitas penggalangan dana publik.
B.2.Perijinan
Terkait aspek perijinan, dari 11 lembaga yang
melakukan penggalangan dana publik untuk
korban banjir Jakarta 2013, ada tiga yang memiliki
perijinan. Satu lembaga memberikan penjelasan
tertulis bahwa perijinannya sedang dalam proses,
dan tujuh lembaga tidak memberikan informasi
tentang perijinan yang menjadi pijakan hukum
lembaga tersebut melakukan penggalangan dana
publik.
Dari tiga lembaga yang memiliki perijinan, dua
lembaga mengantongi ijin dari Kementrian Sosial
(PKPU, Elshinta Peduli dan MNC TV Peduli). MNC
TV Peduli memiliki perijinan dari Kementrian Sosial:
No. 360/HUK-PS/2013. Perijinan yang dimiliki
MNC TV Peduli cukup detail dan jelas, baik
mengenai tujuan perijinan, yaitu untuk
penggalangan dana publik bagi korban banjir di
Jakarta, jangka waktu penggalangan dana publik,
juga termasuk kewajiban MNC TV Peduli untuk
membuat laporan kepada Pemda DKI, paling lambat
tiga bulan setelah kegiatan penyaluran dana
bantuan banjir selesai distribusikan.
PKPU memiliki ijin untuk ruang lingkup
kegiatan berskala nasional dari Kementrian Sosial
Nomor No.08/HUK/2011, yang apabila dibaca
dengan teliti, perijinan itu hanya untuk melakukan
kegiatan sosial. Tidak ada statement dalam ijin
tersebut untuk melakukan kegiatan penggalangan
dana publik, juga tidak ada mekanisme pelaporan
kepada Kementrian Sosial.
Ijin yang dimiliki Elshinta Peduli yaitu ijin dari
Kementrian Sosial dengan Nomor ijin 639/HUK-
PS/2005. Namun ijin tersebut sudah daluwarsa
dan tidak pernah diperbaharui. Sedangkan PT XL
Axiata, melalui penjelasan tertulis kepada YLKI,
menyatakan ijin penggalangan dana publik untuk
korban banjir Jakarta masih dalam proses dan
kegiatan ini sudah dikomunikasikan kepada Dinas
Sosial Pemda DKI.
B.3.Profil Lembaga
Profil lembaga yang melakukan penggalangan
dana publik untuk korban banjir Jakarta 2013
cukup beragam. Dari 11 lembaga tersrbut, yang
paling banyak adalah lembaga sosial kemanusiaan
dan keagamaan ( Aksi Cepat Tanggap, Lazismu,
PKPU, PMI DKI Jakarta, Daarut Tauhid), disusul
lembaga komersial (MNC TV, Radio Elshinta, PT XL
Axiata, Mabua Harley Davidson ). Sisanya lembaga
negara (DPR RI) dan himpunan assosiasi
pengusaha (HIPMI Jaya ).
Bagi lembaga sosial, kemanusiaan dan
keagamaan, melakukan kegiatan penggalangan
dana publik untuk korban banjir Jakarta 2013
tidak begitu aneh, karena lembaga ini didirikan dari
awal memang untuk melakukan kegiatan sosial
kemanusiaan dan pada saat yang sama juga
memiliki kegiatan penggalangan dana publik.
Namun tidak demikian halnya dengan lembaga
komersial. Kalau lembaga komersial memiliki
kepedulian pada korban banjir dalam bentuk
sebagai donatur tidak ada masalah. Akan tetapi
ketika lembaga komersial juga melakukan
penggalangan dana publik, suatu wilayah yang
bukan core bisnisnya, ini hal yang layak
dipertanyakan, karena aktivitas penggalangan dana
publik bukan urusan sederhana, tetapi
membutuhkan keahlian, manajemen khusus baik
dalam pengelolaan, pendistribusian dan pelaporan.
1 Pasal 60 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.2 Pasal 60 ayat (2) undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
3 Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.4 Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.5 Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.
109108
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 107 - 112 Transparansi Dan Akuntabilitas Penggalangan.....(Sudaryatmo)
Ada tiga kategori lembaga komersial dalam
menunjukkan kepedulian pada korban banjir.
Pertama, sebagai donatur sebagaimana disebutkan
di atas. Kedua, sebagai penggalang/ pengumpul
dana publik, kemudian dana yang terkumpul
disalurkan kepada lembaga yang memiliki keahlian
di bidang penanganan bencana. Ketiga, sebagai
p e n g u m p u l d a n a p u b l i k s e k a l i g u s
mendistribusikan dana publik yang berhasil
dihimpun. Kategori ketiga ini sebaiknya dihindari,
kecuali lembaga komersial tersebut membuat
lembaga khusus di luar struktur korporasi yang
khusus bergerak di bidang sosial kemanusiaan.
Di luar lembaga sosial kemanusiaan dan
lembaga komersial, yang agak aneh adalah adanya
lembaga negara yang juga melakukan
penggalangan dana publik, yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat. Apabila0 memiliki kepedulian terhadap
korban banjir, DPR harusnya tidak bertindak
seperti lembaga sosial kemanusiaan, tetapi akan
lebih strategis apabila menggunakan kewenangan
yang dimilikinya, yaitu melalui instrumen legislasi
atau kewenangan budgeting dalam bentuk
menambah alokasi anggaran untuk keperluan
bencana, bukan ikut-ikutan lembaga swadaya
masyarakat untuk melakukan penggalatan dana
publik.
B.4.Rekening
Penyaluran donasi untuk kepentingan publik/
korban bencana banjir adalah salah satu aspek
penting dalam pengelolaan penggalangan dana
publik. Pertama, rekening harus atas nama
rekening lembaga, sehingga semua arus uang
masuk akan tercatat oleh bank. Dari sepuluh
lembaga yang menyediakan akses sumbangan
melalui bank, 9 lembaga menggunakan rekening
lembaga dan satu lembaga (DPR) menggunakan
rekening pribadi salah satu staf Ketua DPR. Satu
lembaga menggunakan akses sumbangan melalui
SMS (PT XL Axiata).
Penggunaan rekening lembaga dalam
penggalangan dana publik oleh lembaga sosial
kemanusiaan tidak merupakan masalah dan
memang seharusnya begitu. Namun tidak demikian
halnya dengan lembaga komersial. Penggalangan
dana publik oleh lembaga komersial dengan
menggunakan rekening atas nama PT, seperti yang
dilakukan MNC TV Peduli dan Mabua Harley
Davidson berpotensi menimbulkan masalah,
karena dana publik bercampur dengan dana
corporasi. Sebuah lembaga komersial yang memiliki
kepedulian pada korban banjir dengan melakukan
penggalangan dana publik, seyogyanya membuat
lembaga sosial terpisah, dengan menggunakan
rekening lembaga sosial, bukan rekening atas nama
PT, seperti yang dilakukan Elshinta peduli
kemanusiaan.
Penggalangan dana publik yang dilakukan DPR
dengan menggunakan rekening pribadi adalah
sebuah kesalahan fatal. Selain melanggar
ketentuan yang ada, juga kelihatan DPR
menggampangkan masalah dalam hal aktivitas
melakukan penggalangan dana publik. Hal ini
memprihatinkan, karena DPR yang seharusnya
tahu peraturan, justru berbuat melanggar
peraturan.
B.5.Laporan ke Donatur
Salah satu hak donator adalah memperoleh
laporan penggunaan dana publik yang berhasil
dihimpun, sesuai dengan peruntukan
sebagaimana dijanjikan di awal, yaitu untuk
korban banjir Jakarta. Dari 11 lembaga yang
melakukan penggalangan dana publik, ada empat
lembaga yang memberikan laporan tertulis ke YLKI
( MNC TV Peduli, PT XL Axiata, ACT dan Elshinta
Peduli ). Itupun setelah YLKI mengirimkan surat,
meminta laporan. Seharusnya, ada atau tidak ada
permintaan, sebagai bentuk apresiasi kepada
donatur, lembaga yang melakukan penggalangan
dana publik mengirimkan laporan kepada
donatur.
Rendahnya kesadaran lembaga yang
memberikan laporan kepada donatur ini
menunjukkan masih rendahnya perhatian lembaga
yang melakukan penggalangan dana publik
terhadap hak-hak donatur.
B.6.Laporan Keuangan dapat Diakses di Website
Hal yang tidak kalah penting dalam
penggalangan dana publik adalah aspek
transparansi. Salah satu yang bisa dilakukan
adalah mempublikasikan laporan keuangan yang
telah di audit dalam website lembaga, sehingga
dengan mudah dapat diakses oleh donatur/publik.
Dari 11 lembaga yang melakukan
penggalangan dana publik, semuanya mempunyai
website, namun hanya ada dua lembaga (MNC TV
Peduli dan PKPU ) yang mencantumkan laporan
keuangan dalam website, sehingga dapat diakses
oleh publik/donatur.
B.7.Ratio Biaya Overhead Lembaga Dibanding
Biaya Program
Bagi para donatur, ketika mau menyumbang
ke suatu lembaga, angka ratio biaya overhead
lembaga dibanding biaya program ini sangat
penting. Apakah dana publik yang terhimpun ini
sebagian besar memang jatuh ke korban, atau
habis untuk biaya overhead untuk menggaji
pengurusnya.
Dari 11 lembaga yang melakukan
penggalangan dana publik untuk korban banjir
Jakarta 2013, hanya ada dua lembaga yang
memberikan keterangan ( ACT dan PT XL Axiata ).
Untuk ACT, dari total dana publik yang berhasil
dihimpun untuk korban banjir Jakarta 2013
sebesar Rp 263.566.618, dipakai untuk biaya
operasional lembaga sebesar Rp 13.179.330 atau
setara 5 persen dari total dana terkumpul, dan
sisanya full untuk korban banjir Jakarta dalam
bentuk bantuan pangan, sandang dan personal
hygiene.
Untuk PT XL Axiata, dari total dana yang
berhasil dihimpun melalui SMS, setelah dipotong
Pajak Pertambahan Nilai 10 %, sebesar Rp
54.964.503. Ini berasal dari 5.625 pengirim SMS
dengan nilai sumbangan Rp 2000 per SMS dan
9.443 pengirim SMS dengan nilai sumbangan Rp
5.000 per SMS. Dana tersebut disalurkan kepada
korban banjir Jakarta melalui Yayasan Dompet
Dhuafa dalam bentuk program pemulihan ekonomi
masyarakat pasca bencana banjir di Kelurahan Jati
Pulo Jakarta Barat. Dari total dana untuk korban
banjir yang disalurkan melalui Yayasan Dompet
Dhuafa tersebut, jumlah sebesar Rp 5.500.000,-
atau setara 10 persen dari total dana terhimpun
digunakan untuk fee manajemen Dompet Dhuafa.
B.8.Hak-Hak Donatur
Masyarakat yang menyumbang sebagai
donatur mempunyai hak sebagai donatur. Hak-hak
donatur ini harus diperhatikan oleh setiap lembaga
yang melakukan aktivitas penggalangan dana
publik.
Dari 11 lembaga yang melakukan
penggalangan dana publik untuk korban banjir
Jakarta 2013, perhatian akan arti penting hak-hak
donatur masih sangat minim. Hampir tidak
ditemukan lembaga yang pada saat mendorong
masyarakat untuk menyumbang, pada saat yang
sama juga melakukan sosialisasi hak-hak donatur.
C. Kesimpulan
Setiap kali terjadi bencana selalu diikuti
dengan maraknya penggalangan dana publik.
Sebagai bentuk partisipasi masyarakat, hal ini
merupakan fenomena positip. Namun demikian,
perlu ada penataan, sehingga penggalangan dana
publik dapat benar-benar bermanfaat bagi korban
bencana. Sebagian lembaga yang melakukan
penggalangan dana publik, belum sepenuhnya
memberi perhatian yang memadai tentang arti
pentingnya hak-hak donatur. Di balik sebuah
lembaga yang melakukan aktifitas penggalangan
dana publik, melekat kewajiban untuk
memperhatikan hak-hak donatur.
Dari uraian di atas, ada sejumlah rekomendasi.
Pertama, perlu ada pembenahan di aspek regulasi.
Undang-undang penanggulangan bencana sudah
menyinggung soal arti pentingnya partisipasi
masyarakat dalam penanggulangan bencana,
termasuk aspek penggalangan dana publik. Namun
pengaturan masih sangat umum dan kurang
spesifik detail dan perlu disinergikan dengan
regulasi di sektor perpajakan, khususnya adanya
kebijakan insentif perpajakan bagi organisasi
nirlaba/donatur.
Kedua, perlu ada rating lembaga yang
melakukan penggalangan dana publik. Ini penting,
bagi masyarakat selaku donatur sebagai panduan
dan referensi dalam menyalurkan donator, dan juga
bagi lembaga yang melakukan penggalangan dana
publik untuk semakin peduli pada hak-hak
donatur.
Daftar Pustaka
Buku :
Abidin, Hamid., Kusumastuti, Yuni., Saidi, Zaim.,
2007. Kebijakan Insentif Perpajakan untuk
Organisasi Nirlaba: Pelajaran dari
Mancanegara, Piramedia, Depok.
Dirjdosisworo, Soedjono, 2002. Memorandum
Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Silk, Thomas (editor), 1999. Filantropi dan Hukum
di Asia: Tantangan untuk Indonesia, Asia
Pacific Philanthrop Consortium , Jakarta.
111110
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 107 - 112 Transparansi Dan Akuntabilitas Penggalangan.....(Sudaryatmo)
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang
Pengumpulan Uang dan Barang (Lembaran
Negara Tahun 1961 Nomor 214, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2273).
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang
Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan
112-1112
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 107 - 112
(Lembaran Negara tahun 1980 Nomor 49 ).
Artikel:
Sudaryatmo, Aturan penggalangan dana publik
untuk bencana, Koran Tempo, 16 Oktober
2009.
Sudaryatmo, Bencana dan Pelembagaan Filantropi,
Kompas, 3 Juni 2006.
Sudaryatmo, Aksi Filantropi Pascabencana, Koran
Tempo, 10 Juni 2006.
112-3112-2
112-5112-4
112-6
Recommended