View
10
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penerimaan Ibu dengan Anak Cerebal Palsy
1. Pengertian Penerimaan Ibu
Penerimaan seorang ibu sangat mempengaruhi perkembangan
anak-anak yang berkebutuhan khusus di kemudian hari. Sikap ibu yang
tidak dapat menerima kenyataan bahwa memiliki anak berkebutuhan
khusus akan sangat buruk dampaknya, karena hal tersebut dapat membuat
anak merasa tidak diterima dan diabaikan.
Yusuf (Benny, 2014) mengungkapkan bahwa penerimaan adalah
salah satu tingkat kemampuan dan keinginan keluarga untuk hidup dengan
segala karakteristik yang ada didalamnya. Disisi lain Rogers (Anggraini,
2013) berpendapat bahwa, penerimaan ibu merupakan sikap seseorang ibu
yang menerima orang lain atau dalam hal ini adalah anaknya,secara apa
adanya secara keseluruhan, tanpa disertai persyaratan ataupun penilaian.
Menurut Johnson & Medinnus (Eliyanto & Hendriani, 2013),
penerimaan ibu sebagai pemberian cinta tanpa syarat sehingga penerimaan
ibu terhadap anaknya tercermin melalui adanya perhatian yang kuat, cinta
kasih terhadap anak serta sikap penuh kebahagiaan mengasuh anak.
11
Hurlock (Elianto, 2010) mengemukakan bahwa penerimaan ibu adalah
perhatian besar dan kasih sayang pada anak..
Werner (Hendriani, 2006), berpendapat bahwa terlepas dari
bagaimanapun kondisi yang dialami, pada dasarnya setiap manusia
memiliki hak yang sama untuk memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya.
Setiap orang berhak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan
yang kondusif dan suportif, termasuk bagi mereka yang mengalami
keterbelakangan mental. Akan tetapi realita yang terjadi tidaklah selalu
demikian. Di banyak tempat, baik secara langsung maupun tidak, individu
berkebutuhan khusus ini cenderung “disisihkan” dari lingkungannya.
Ibu yang dapat menerima kondisi anaknya cenderung memiliki
penilaian yang lebih positif terhadap kehidupannya. Sedangkan ibu yang
kurang mampu menerima kondisi anaknya lebih berfokus pada peristiwa-
peristiwa yang ia alami. Pengalaman setiap individu yang merupakan
penilaian positif atau negatif secara khas mencakup pada penilaian dari
seluruh aspek kehidupan seseorang disebut subjective well being (Diener,
dalam Wijayanti 2015).
Berdasarkan uraian di atas, penerimaan ibu adalah sikap positif
yang ditunjukkan seorang ibu terhadap anaknya dengan rasa senang dan
puas terhadap anaknya, menerima keadaan anaknya, baik secara fisik
maupun psikis dengan segala kelemahan dan kelebihan yang ada pada
anaknya tanpa ada rasa kecewa dan berusaha mengembangkan anaknya
seoptimal mungkin.
12
2. Aspek-Aspek Penerimaan Ibu
Hurlock (Elianto, 2010) mengemukakan beberapa aspek
penerimaan ibu terhadap anak meliputi :
a. Terlibat dengan anak. Sikap menerima ditunjukkan dengan
keterlibatan secara aktif dari orang yang menerima terhadap
aktifitas-aktifitas yang dapat memberikan kebahagiaan bagi
orang yang menerimanya.
b. Memperhatikan rencana dan cita-cita anak. Turut serta
memikirkan hal yang dapat mengembangkan dan membuat
anak semakin maju serta menjadi lebih baik.
c. Menunjukkan kasih sayang yaitu adanya upaya untuk bisa
memenuhi kebutuhan baik fisik maupun psikis.
d. Berdialog secara baik dengan anak. Bertutur kata dengan
baik dan bijak adalah cermin bahwa ia ingin menerima dan
menghargai orang lain.
e. Menerima anak sebagai seorang individu (person). Tidak
ada satu individu yang sama untuk karena itu, harus
menerima kekurangan dan kelebihan secara lapang dada
sehingga tidak membandingkan satu anak dengan anak lain.
f. Memberikan bimbingan dan semangat motivasi.
Memberikan bimbingan dan semangat motivasi untuk maju
dan lebih baik tidak cukup dari dalam diri, dibutuhkan
13
motivasi eksternal untuk memompa motivasi orang yang
bisa menerima orang lain secara ikhlas akan dapat
memotivasi, membimbing dan memberi semangat sebab
kemajuan orang yang di bimbing adalah bagian dari
kebahagiaannya.
g. Memberi teladan. Memberikan contoh perilaku-perilaku
yang baik pada anak.
h. Tidak menuntut berlebihan. Dapat menerima keadaan anak
dan tidak memaksakan keinginannya agar anak menjadi
seperti keinginan orangtua.
Pendapat lain tentang penerimaan orangtua dikemukakan oleh
Mussen, dkk (Voluntir, 2014) yang meliputi 4 aspek yaitu:
a. Ada kontrol, yaitu usaha untuk mempengaruhi aktifitas
orientasi cita-cita anak, membatasi ketergantungan agresif
dan perilaku untuk terus bermain.
b. Tuntutan kematangan, yaitu tekanan pada anak untuk
melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuan intelektual,
sosial, dan emosinya.
c. Komunikasi yang jelas, contohnya menggunakan alasan
untuk menanyakan pendapat anak dan perasaannya
d. Pengasuhan, meliputi perhatian, kasih sayang dan
pemberian pujian pada prestasi anak.
14
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
aspek-aspek penerimaan ibu yang memiliki anak cerebal palsy meliputi (1)
Adanya perhatian dan kasih sayang dari seorang ibu untuk anaknya
seperti memberikan perlindungan dan kasih sayang pada anaknya; (2)
Adanya keterlibatan ibu dengan kehidupan anaknya ; (3) Komunikasi
yang baik pada anak seperti bertutur manis pada anak, menayakan
perasaan anak, pendapat anak dan adanya komunikasi yang hangat antara
ibu dan anak; (4) Memberikan kepercayaan pada anak agar anak dapat
mandiri walaupun sang anak memiliki terbatasan.
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Ibu
Hurlock (Fauziah, 2010), menyatakan bahwa penerimaan ibu
ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang pada anak. Penerimaan
ibu didalam pengertian Hurlock menerangkan berbagai macam sikap khas
orangtua terhadap anak. Sikap orang tua terhadap anak mereka merupakan
hasil belajar. Banyak faktor yang turut mempengaruhi sikap orang tua
terhadap anak antara lain :
a. Konsep “anak idaman”
b. Pengalaman awal dengan anak mewarnai sikap orang tua
terhadap anaknya.
c. Nilai budaya mengenai cara terbaik memperlakukan anak
d. Orang tua menyukai peran, merasa bahagia dan mempunyai
penyesuaian yang baik terhadap perkawinan akan
mencerminkan penyesuaian yang baik pada anak.
15
e. Apabila orang tua merasa mampu berperan sebagai orang
tua, sikap mereka terhadap anak dan perilakunya lebih baik
dibandingkan sikap mereka yang merasa kurang mampu
dan ragu-ragu.
f. Kemampuan dan kemauan untuk menyesuaikan diri
g. Alasan memiliki anak.
Sarasvati (2004) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
penerimaan ibu terhadap anaknya antara lain :
a. Dukungan dari keluarga besar. Semakin kuatnya dukungan
keluarga besar, ibu akan terhindar dari perasaan sendiri,
dengan dukungan keluar besar pula ibu akan menjadi lebih
kuat dalam menghadapi cobaan karena dapat bersandar
pada keluarga besar mereka.
b. Kemampuan keuangan keluarga. Di mana keuangan
keluarga yang memadai, dapat memberikan kesempatan
yang lebih baik bagi ibu untuk dapat memberikan
”penyembuhan” bagi anak mereka.
c. Latar belakang agama. Dengan kepercayaan yang kuat
kepada Yang Maha Kuasa membuat orangtua yakin bahwa
mereka diberikan cobaan sesuai dengan porsi yang mampu
mereka hadapi. Dengan keyakinan tersbut, mereka
mengupayakan yang terbaik untuk anak mereka, dan
16
percaya bahwa suatu saat, anak tersebut akan mengalami
kemajuan.
d. Sikap para ahli yang mendiagnosa anaknya. Dokter ahli
yang simpatik, akan membuat orangtua merasa dimengerti
dan dihargai. Apalagi jika dokter memberikan dukungan
dan pengarahan kepada orangtua (atas apa yang sebaiknya
mereka lakukan selanjutnya). Sikap dokter ahli yang
berempati, membuat orangtua merasa memiliki harapan,
bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi cobaan
hidup ini.
e. Tingkat pendidikan suami istri. Semakin tinggi pendidikan,
realtif makin cepat pula orangtua menerima kenyataan dan
segera mencari penyembuhan.
f. Status perkawinan. Ketika status perkawinan yang
harmonis, memudahkan suami isteri untuk bekerja saling
bahu membahu, dalam menghadapi cobaan hidup yang
mereka alami.
g. Sikap masyarakat umum. Ketika masyarakat yang sudah
lebih menerima, mereka akan berusaha memberikan du-
kungan secara tidak berlebihan (pada saat berhadapan
dengan anak-anak dengan kebutuhan khusus). Menanyakan
secara halus apakah orangtua atau khususnya ibu tersebut
perlu bantuan, memberikan senyuman kepada sang anak,
17
memperlakukan orangtua seperti layaknya orangtua lain
(dengan anak yang normal), merupakan hal-hal sederhana
yang sebetulnya sangat membantu menghilangkan stres
pada keluarga dari anak dengan cerebal palsy.
h. Usia dari masing-masing orangtua. Usia yang matang dan
dewasa pada pasangan suami isteri, memperbesar
kemungkinan orangtua untuk menerima diagnosa dengan
relatif lebih tenang. Dengan kedewasaan yang mereka
miliki, pikiran serta tenaga mereka difokuskan pada
mencari jalan keluar yang terbaik.
i. Sarana penunjang. dengan semakin banyaknya sarana
penunjang, semakin mudah pula orangtua mencari
penyembuhan untuk anak mereka, sehingga makin tinggi
pula kesiapan mereka dalam menghadapi cobaan hidupnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
faktor penerimaan ibu yang memiliki anak cerebal palsy meliputi (1)
Dukungan dari keluarga besar; (2 Kemampuan keuangan keluarga; (3)
Latar belakang agama; (4) Sikap para ahli yang mendiagnosa anaknya; (5)
Tingkat pendidikan suami istri; (6) Status perkawinan; (7) Sikap
masyarakat umum; (8) Usia dari masing-masing orangtua; (9) Sarana
penunjang.
18
4. Jenis- Jenis Cerebral Palsy
Menurut Yulianto (Hendriani, 2013), cerebral palsy diklasifikasikan
menjadi enam, yaitu:
a. Spasticity, anak yang mengalami kekakuan otot atau
ketegangan otot, menyebabkan sebagian otot menjai kaku,
gerakan-gerakan lambat dan canggung.
b. Athetosis, merupakan salah satu jenis cerebral palsi dengan ciri
menonjol, gerakan-gerakan tidak terkontrol, terdapat pada kaki,
lengan, tangan, atau otot-otot wajah yang lambat bergeliat-
geliut tiba-tiba dan cepat.
c. Ataxia, ditandai gerakan-gerakan tidak terorganisasi dan
kehilangan keseimbangan. Jadi keseimbangan buruk, ia
mengalami kesulitan untuk memulai duduk dan berdiri.
d. Tremor, ditandai dengan adanya otot yang sangat kaku,
demikian juga gerakannya, otot terlalu tegang diseluruh tubuh,
cenderung menyerupai robot waktu berjalan tahan-tahan dan
kaku.
e. Rigiditi, ditandai dengan adanya gerakan-gerakan yang kecil
tanpa disadari, dengan irama tetap. Lebih mirip dengan getaran.
f. Campuran, yang disebut dengan campuran anak yang memiliki
beberapa jenis kelainan cerebral palsy.
Berdasarkan gejala dan tanda neurologis cerebral palsy dapat dibagi
menjadi beberapa jenis (Somanttri, 2006), yaitu :
19
a. Cerebral Palsy Spastic
Ciri-cirinya: Otot-otot berkontraksi dan Tangan bengkok
kearah tubuh
b. Cerebral Palsy dyskinetic
Ciri-ciri : Otot lengan,tungkai dan badan secara spontan
bergerak perlahan, menggeliat dan tak terkendali, Bisa juga
timbul gerakan yang kasar dan mengejang, Luapan emosi
menyebabkan keadaan semakin memburuk , dan Gerakan akan
menghilang jika anak tidur
c. Cerebral Palsy Ataxic
Ciri-cirinya: Mengalami gangguan dalam keseimbangan
badan dan gerak, Kehilangan rasa gerak pada jari-jari tangan
dan Gerak mata tidak terkontrol
d. Cerebral Palsy Dystonic
Ciri-cirinya: Penderita yang mengalami distonik dapat
mengalami misdiagnosis, Gerakan distonia tidak seperti
kondisi yang ditunjukkan oleh distonia lainnya, Umumnya
menyerang otot kaki dan lengan sebelah proximal, Gerakan
yang dihasilkan lambat dan berulang–ulang, terutama pada
leher dan kepala.
e. Cerebral Palsy Choreoathetoid.
Ciri-cirinya : memiliki otot variabel sering dengan otot
menurun (hypotonia)
20
f. Cerebral Palsy Hipotonik
Ciri-ciri : memiliki kesulitan yang lebih dari semua anak-
anak dengan cerebral palsy dalam mencapai tonggak
keterampilan motorik dan perkembangan kognitif normal.
g. Cerebral Palsy Campuran
Ciri-ciri : kerusakannya terletak pada daerah pyramidal dan
extrapyramidal dan bentuk kelainannya berupa spastic di kaki
dan rigid di tangan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan ada beberapa
jenis anak yang mengalami cerebal palsy meliputi (1) Cerebral Palsy
Spastic (2) Cerebral Palsy dyskinetic (3) Cerebral Palsy Ataxic (4)
Cerebral Palsy Dystonic (5) Cerebral Palsy Choreoathetoid. (6) Cerebral
Palsy Hipotonik (7) Cerebral Palsy Campuran
5. Tahap – Tahap Penerimaan Ibu Terhadap Anak dengan
Cerebral Palsy
Menurut Ross (Faradina, 2016) ada beberapa tahapan penerimaan
yang akan dilalui orangtua, yakni:
a. Tahap Penolakan (denial). Dimulai dari rasa tidak percaya
saat menerima diagnosa dari seorang ahli, perasaan orang
tua selanjutnya akan diliputi kebingungan.
21
b. Tahap Marah (anger). Reaksi marah ini bisa dilampiaskan
kepada beberapa pihak sekaligus. Bisa kepada dokter yang
memberi diagnosa.
c. Tahap Tawar-menawar (bargainning). Pada tahap ini,
orang tua berusaha untuk menghibur diri dengan
pernyataan seperti “Mungkin kalau kami menunggu lebih
lama lagi, keadaan akan membaik dengan sendirinya”.
d. Tahap Depresi (depression). Muncul dalam bentuk putus
asa, tertekan dan kehilangan harapan. Kadangkala depresi
dapat juga menimbulkan rasa bersalah, terutama di pihak
ibu, yang khawatir apakah keadaan anak mereka akibat dari
kelalaian selama hamil, atau akibat dosa di masa lalu.
Ayahpun sering dihinggapi rasa bersalah, karena merasa
tidak dapat memberikan keturunan yang sempurna
e. Tahap Penerimaan (acceptance). Pada tahap ini, orang tua
sudah menjadi kenyataan baik secara emosi maupun
intelektual. Sambil mengupayakan ”penyembuhan”, mereka
mengubah persepsi dan harapan atas anak. Orang tua pada
tahap ini cenderung mengharapkan yang terbaik sesuai
dengan kapasitas dan kemampuan anak mereka.
Sujadi (Voluntir, 2014) berpendapat bahwa penerimaan ini secara
umum melalui beberapa tahapan antara lain :
22
a. Tahap Shock ( kaget ). Tahap awal berupa kaget dengan
hadirnya anak cacat yang tidak diharapkan kehadirannya
b. berkembang menjadi bingung, takut dan tidak tahu apa
yang harus dilakukan. Perasaan ini menjadikan orang
tuamenolak kehadiran si anak, merasa bersalah dan
menyalahkan pasangannya.
c. Tahap Realization ( realisasi ). Sikap melihat kenyataan
bahwa benar anggota keluarga ada yang cacat,sehingga
mulai berkembang keraguan terhadap kemampuan untuk
menerima kenyataan ini.
d. Tahap Defensif ( membela diri ). Hasil dari meragukan
kemampuan dapat berkembang kecenderungan laridari
kenyataan. Ada yang tumbuh rasa masa bodoh atau
mengusahakan penyembuhan.
e. Tahap Acknowledgement ( mengakui ). Perkembangan yang
lebih positif adalah mulai tumbuh keinginan untuk
memelihara, merawat, mengasuh, sehingga perlu
dikonsultasikan dengan pihak-pihak lain yang dianggap
mengetahui hal ini.
Dari pendapat beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa
setiap ibu itu memiliki keunikan tersendiri dalam proses penerimaan
terhadap anaknya, dan terdapat beberapa tahapan penerimaan orang ibu
meliputi tahap denial (Penolakan / shock), tahap anger (Marah), tahap
23
bargainning (Tawar-menawar), tahap depression (Depresi), tahap
acceptance (Penerimaan)
B. Penerimaan Ibu terhadap Anak dengan Cerebral Palsy
Somantri (2006) menjelaskan anak cerebal palsy adalah anak yang mengalami
suatu kondisi yang mempengaruhi pengendalian sistem motorik sebagai akibat
lesi dalam otak atau dapat juga disebut suatu penyakit yang disebabkan oleh
gangguan perkembangan dan kerusakan dari sebagian otak yang berhubungan
dengan pengendalian fungsi motorik. Anak dengan Cerebral Palsy (CP)
seringkali disamakan dengan penderita gangguan mental, padahal hal tersebut
tidaklah benar karena seorang anak yang mengalami cerebral palsy apabila rutin
untuk di terapi dan di latih dia juga akan dapat melakukan sesuatu kegitan yang
berhubungan dengan motorik halus seperti anak normal bisanya misalnya berjalan
atau menulis.
Seseorang anak dengan cerebral palsy dapat menampakkan gejala kesulitan
dalam hal motorik halus, misalnya menulis atau menggunakan gunting, masalah
keseimbangan dan berjalan atau mengenai gerakan involunter; misalnya tidak
dapat mengontrol gerakan menulis atau selalu mengeluarkan air liur Somantri
(Nani, 2013). Keadaan tersebut bisa memunculkan banyak keterbatasan pada
anak dalam beraktivitas sehari-hari, sering anak dengan cerebal palsy dipandang
banyak memiliki kesulitan untuk melakukan kegiatannya, banyak reaksi
24
berkesinambungan antara gangguan fisik individual degan lingkungan sosialnya
Somantri( Nani, 2013).
Hurlock (Elianto, 2010) menyatakan kedisabilitasan menjadi penghambat
seseorang untuk melakukan penyesuaian pribadi maupun sosial. Hal tersebut bisa
terjadi karena perkembangan secara fisik kurang sempurna atau dengan ciri-ciri
fisik kurang menarik sehingga kemampuan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan
hidupnya sedikit terbatas. Dengan adanya keterbatasan kemampuan dalam
melakukan penyesuaian pribadi maupun sosial serta memiliki perkembangan fisik
dan mental yang tidak sama seperti kebanyakan orang, orang dengan cerebral
palsy sering dianggap rendah, dikucilkan, diabaikan, dianggap tidak memiliki
kemampuan apapun dan tidak jarang orang dengan cerebral palsy sering
menerima ejekan dari lingkungannya Riyanto ( Lila, 2014). Di banyak tempat
baik langsung maupun tidak, anak dengan cerebal palsy ini cenderung disisihkan
dari lingkungannya. Penolakan terhadap mereka yang mengalami cerebral palsy
tidak hanya dilakukan oleh individu lain yang tinggal di sekitar rumahnya saja,
beberapa anak yang mengalami cerebral palsy tidak diterima dalam keluarganya
sendiri (Hendriani, dkk, 2006).
Dengan adanya kekhususan terhadap anak tersebut, seorang anak dengan
cerebral palsy sangat membutuhkan penerimaan oleh keluarga yang dalam hal ini
adalah ibu. Menurut Ibrahim (Faradina, 2016) Ibu sendiri di dalam keluarga
berperan sebagai orang pertama dalam kehidupan anak yang mengajarkannya
tentang benda-benda di sekelilingnya, arti dari dunia di sekitarnya, bagaimana
menciptakan kontak sosial dengan orang lain dan bagaimana mengekspresikan
25
dan mengenal ekspresi emosi. Melalui bermain dan komunikasi Ibu membentuk
pengalaman hidup anak dan sebaliknya juga anak mempengaruhi perilaku orang
tua ketika berinteraksi dengan anak.
Hendriana, dkk (2006) berpendapat dukungan dan penerimaan dari orang tua
atau setiap anggota keluarga akan memberikan energi dan kepercayaan dalam diri
anak yang menyandang cerebal palsy untuk lebih berusaha meningkatkan setiap
kemampuan yang dimiliki, sehingga hal ini akan membantu anak dengan cerebal
palsy untuk dapat hidup mandiri, lepas dari ketergantungan pada bantuan orang
lain.
Dalam melewati proses penerimaan setiap ibu memiliki keunikan dan tahap-
tahap tersendiri. Ross (Faradina, 2016) berpendapat ada beberapa tahap dalam
penerimaan ibu, reaksi pertama yang sering muncul yaitu menolak menerima
kenyataan (tahap denial), pada tahap ini ibu merasa tidak percaya dan diliputi
kebingungan saat menerima diagnosis dari seorang ahli bahwa anaknya
mengalami cerebral palsy, ibu merasa bingung atas hasil diagnosis, bingung apa
yang harus dilakukan, dan bingung mengapa hal ini bisa terjadi pada anaknya. Hal
ini sangatlah manusiawi karena pada umumnya semua ibu ataupun orang tua
menginginkan keturunan yang baik dan sempurna. Pada tahap ini sangatlah tidak
mudah bagi seorang ibu ataupun orang tua manapun untuk dapat menerima apa
yang terjadi,seringkali ada rasa malu pada seorang ibu yang memiliki anak dengan
cerebal palsy untuk mengakui bahwa hal itu terjadi pada keluarganya. Keadaan
seperti ini bisa menjadi bertambah buruk jika keluarga ari ibu dengan anak
cerebal palsy ini mengalami tekanan sosial dari lingkungan mereka.
26
Reaksi yang kedua yang dijelaskan oleh Ross (Faradina, 2016) yang biasanya
muncul pada Ibu dengan anak engan cerebal Palsy adalah marah (tahap anger),
terkadang reaksi marah ini dilampiaskan kepada beberapa pihak sekaligus bisa
kepada lingkungan yang kurang sehat, kepada suami ataupun keadaan saat ibu
sedang hamil anak tersebut, bisa juga kepada dokter yang mendiagnosis atau bisa
juga kepada diri sendiri. Perasaan marah ini juga bisa muncul dalam bentuk
penolakan atau menolak untuk mengasuh anak tersebut. Pernyataan dalam hati
yang sering muncul dari seorang ibu yang memiliki anak Cerebal palsy sebagai
reaksi kemarahan mereka yang muncul dalam bentuk “tidak adil semua rasanya”,
“mengapa harus anak ku yang mengalaminya”, “apa salah ku kenapa begini?”.
Ross (Faradina, 2016) menjelaskan reaksi selanjutnya yang biasanya muncul
dari seorang ibu yang memiliki anak dengan cerebal palsy adalah menawar (tahap
bargainning), pada tahap ini biasanya seorang ibu atau orang tua memunculkan
sikap berusaha menghibur diri sendiri sendiri dengan pernyataan seperti “mungkin
ini memang jalan yang terbaik buat kami”,”mungkin Tuhan punya rencana indah
di balik ini”.
Setelah orang tua melewati tahap menawar (bargainning), Ross (Faradina,
2016) menjelaskan bahwa orang tua dengan anak cerebal palsy akan muncul rasa
depresi (tahap depression), biasanya muncul dalam bentuk putus asa, tertekan,
dan kehilangan harapan. Terkadang pada depresi menimbulkan rasa bersalah,
khawatir apakah keadaan anaknya sekarang itu karena akibat kesalahannya waktu
masa kehamilan, atau akibat dosa masa lalu. Ibu pun akan sering dihinggapi rasa
bersalah karena merasa gagal tidak dapat memberikan keturunan yang sempurna.
27
Biasanya rasa putus asa muncul sebagai bagian dari depresi akan muncul saat
sang ibu mulai membayangkan masa depan sang anak, siapa yang dapat
mengasuh anaknya kelak saat mereka sudah meninggal. Pada tahap ini ibu atau
orang tua akan cenderung murung, menghindar dari lingkungan sosial terdekat
mereka, meraasa lelah dan kehilangan gairah hidup.
Ross (Faradina, 2016) menjelaskan untuk reaksi terakhir yang biasanya akan
muncul pada ibu yang memiliki anak dengan cerebal palsy yaitu pasrah dan
menerima dengan semua keaaan yang ada (tahap acceptance). Pada tahap ini ibu
atau orang tua dengan anak yang cerebal palsy sudah mulai berusaha untuk
menerima kenyataan secara emosi maupun intelektual terhadap kondisi yang ada
pada anaknya, ibu juga mulai mengupayakan penyembuhan dengan mencoba
mencarikan pengobatan bagi anaknya. Mereka juga mulai menggubah persepsi
dan harapan mereka atas anak mereka, pada tahap ini ibu cenderung
mengharapkan yang terbaik sesuai dengan kapasitas dan kemampuan anak
mereka. Ibu mulai mampu untuk menerima kondisi anaknya yang cerebal palsy
dan mulai bisa menyesuaikan diri dengan kondisi anak sehingga merasa sudah
siap untuk menjalani dan hidup bersama anak mereka yang mengalami cerebal
palsy ini.
Penerimaan seorang ibu sangat mempengaruhi perkembangan anak-anak yang
berkebutuhan khusus terutama anak yang mengalami cerebal palsy untuk di
kemudian hari. Karena tidak ada dorongan dan dukungan yang lebih baik untuk
seorang anak cerebral palsy selain yang berasal dari keluarga, khususnya dari
seorang Ibu. Hal ini disebabkan karena dalam pelukan ibu anak pertama kali
28
mengalami hubungan dengan manusia dan memperoleh kasih sayang dari dunia
sekelilingnya. Menurut Hidayat (1998) peran ibu sangatlah diperlukan terdahap
anak dengan cerebral palsy dalam menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut
agar mereka mampu berkembang dan beradaptasi dengan lingkungan.
Menurut Hurlock (Fauziah, 2010), ibu yang memiliki penerimaan yang tinggi
terhadap anaknya yang mengalami cerebal palsy akan menunjukkan sikap atau
ciri-ciri mau terlibat dengan anak. Dalam hal ini ibu memberikan aktivitas yang
memberikan kebahagian bagi anak seperti bermain bersama, melakukan hal-hal
yang dilakukan bersama dengan anak.
Menurut Hurlock (Fauziah, 2010) Ibu yang dapat menerima anaknya juga
akan memperhatikan rencana dan cita-cita anaknya dengan cara turut serta
memikirkan hal-hal apa saja yang dapat dilakukan anak dengan adanya
keterbatasan tersebut, yang dapat mengembangkan dan yang membuat anak
semakin maju serta menjadi lebih baik. Ibu akan menunjukkan kasih sayang
terhadap anak dengan mengupayakan memenuhi kebutuhan anak, dalam hal ini
bukan hanya kebutuhan secara fisik namun juga kebutuhan psikis sang anak.
Untuk kebutuhan fisik berupa pemenuhan kebutuhan anak sehari-hari cotohnya
makan, tempat tinggal dan lain-lainnya, sedangkan untuk kebutuhan psikis seperti
kasih sayang yang diberikan ibu, perhatian ibu, dukungan emosional, dan lain-
lain.
Harlock ( Fauziah,2010) menjelaskan bahwa ibu yang dapat menerima
anaknya akan melibatkan anak dalam berdialog secara baik dengan tutur kata
29
yang lemah lembut dan bijak sebagai cermin bahwa ibu ingin menerima dan
menghargai anak meskipun anak dengan cerebal palsy. Kemudian ibu yang
menerima anaknya dengan cerebal palsy akan menerima anak sebagai seorang
individu yang unik , ibu juga akan berpandangan bahwa tidak ada satu individu
pun yang sama. Oleh sebab itu ibu harus menerima kekurangan dan kelebihan
anak dengan lapang dada sehingga tidak membandingkan anaknya dengan yang
lain. Ibu senantiasa memberikan bimbingan dan semangat atau motivasi kepada
anak untuk kemajuan anak yang lebih baik.
Hurlock ( Fauziah, 2010) berpendapat sebagai orang tua terutama seorang ibu
yang sudah dapat menerima anaknya akan memberikan teladan bagi anak dengan
memberikan contoh perilaku yang baik kepada anak dan tidak menuntut berlebih
kepada anak, seperti menerima keadaan anak sepenuhnya serta tidak memaksakan
keinginan agar anak menjadi seperti keinginan orang tua.
Menurut Voluntir, dkk (Lila, & Gracia, 2014) beberapa kajian telah
menegaskan bahwa penerimaan orang tua akan berdampak baik atau positif
terhadap perkembangan anak. Penerimaan orang tua sangat berpengaruh terhadap
penyesuaian psikologis anak, lebih lanjut penerimaan yang dirasakan anak akan
berdampak positif jangka panjang terhadap keberhasilan penyesuaian
psikologisnya.
Menurut Hurlock, Schneiders & Lore (Yusuf, 2004) ibu yang menerima
keadaan anaknya dengan cara memberikan perhatian dan cinta kasih yang tulus
kepada anak, menempatkan anak dalam posisi penting di dalam rumah,
30
mengembangkan hubungan yang hangat dengan anak, bersikap respek terhadap
anak mendorong anak untuk menyatakan perasaan atau pendapatnya, serta
berkomunikasi dengan anak dengan baik dan terbuka akan berdampak kepada
kepribadian anak. Anak akan menjadi lebih bisa bekerjasama, bersahabat, loyal,
memiliki emosi yang stabil, ceria dan optimis, jujur dan realitis (dapat memahami
kekuatan dan kelebihan yang ada pada dirinya).
Kemudian Hurlock, (Hendriani, 2013) juga berpendapat bahwa penolakan
dari orang tua atau ibu seperti bersikap masa bodoh terhadap anak, bersikap kaku,
kurang peduli dengan kesejahteraan anak, menampilkan sikap permusuhan
terhadap anak anak mengakibatkan anak berperilaku agresif (mudah marah,
gelisah, tidak patuh, keras kepala, dan suka bertengkar), submissive (pemalu, suka
menyendiri, penakut dan mudah tersinggung), sulit untuk bergaul dan pemalu.
Hendriani (2006) menambahkan bahwa tidak adanya penerimaan dari ibu
terhadap anak akan membuat mereka semakin rendah diri dan menarik diri dari
lingkungan, selalu diliputi ketakutan ketika berhadapan dengan orang lain maupun
melakukan sesuatu, dan pada akhirnya mereka akan menjadi orang yang tidak
dapat berfungsi secara sosial serta sangat tergantung kepada orang lain, termasuk
dalam hal merawat diri mereka sendiri.
C. Pertanyaan Penelitian
Dalam penelitian kualitatif pertanyaan penelitian merupakan hal yang sangat
penting. Miller & Huberman (Azwar, 2010) berpendapat bahwa pertanyaan
penelitian sering digunkan untuk mengungkapkan pengalaman individu yang
31
diteliti. Pertanyaan penelitian kualitatif dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu
Central Question dan Sub Question ( Creswell, dalam Rahmat 2009).
1. Central Question
Central question dalam penelitian kualitatif merupan pertanyaan
yang utama. Dalam penelitian ini cetral questionnya yaitu : Bagaimana
gambaran penerimaan ibu terhadap anak dengan Cerebal palsy?
2. Sub Question
Sub Question terbagi menjadi dua, yaitu issue sub question dan
topical sub question. Issue question adalah penjelasan dari pertanyaan
utama, yang meliputi :
a. Bagaimana keterlibatan saudara dengan anak sehari-hari?
b. Bagaimana saudara memperhatikan rencana dan cita-cita
anak saudara?
c. Bagaimana cara saudara menunjukkan kasih sayang kepada
anak?
d. Bagaimana cara saudara berdialog sehari-hari dengan anak?
e. Sejauh mana saudara bisa menerima kehadiran anak dengan
kondisi cerebal palsy?
f. Bagaimana cara saudara memberikan bimbingan dan
motivasi kepada anak?
g. Bagaimana saudara berperilaku kepada anak?
h. Sejauh ini apa yang menjadi keinginan saudara terhadap
anak?
32
Topical Question berfungsi sebagai pertanyaan tambahan yang
menjadi keterangan lain untuk memperoleh informasi yang komprehensif
tentang permasalahan utama, yang meliputi :
a. Apa harapan saudara terhadap anak dengan anak cerebal
palsy?
b. Bagaimana cara saudara untuk memenuhi kebutahan anak?
c. Bagaimana respon lingkungan dan keluarga saudara ketika
mengetahui saudara memiliki anak cerebal palsy?
Recommended