15
Judul : Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Tunarungu Nama/NPM : Nuria Khotimah/10503129 Pembimbing : Ni Made Taganing, M. Psi., Psi A B S T R A K S I Tunarungu adalah istilah yang menggambarkan keadaan kemampuan dengar yang kurang atau tidak berfungsi secara normal sehingga tidak mungkin lagi diandalkan untuk belajar bahasa dan wicara tanpa dibantu dengan metode dan peralatan khusus. Tunarungu berpengaruh terhadap seluruh perkembangan anak sebagai individu. Keadaan itu mempengaruhi perkembangan mental, kepribadian, emosi dan sosial si anak. Penerimaan merupakan sikap seseorang yang menerima orang lain apa adanya secara keseluruhan, tanpa disertai persyaratan ataupun penilaian. Apabila dalam keluarga terutama pada ibu ada penerimaan, maka dapat membantu dalam pengasuhan dan akan mendukung perkembangan anak. Namun tidak mudah bagi seorang ibu untuk dapat menerima begitu saja kondisi anaknya tetapi ibu akan melalui beberapa proses hingga akhirnya seorang ibu dapat menerima kondisi anaknya. Proses-proses penerimaan itu antara lain shock, denial, grief and depression, ambivalence, guilt, anger, shame and embrassment, bargaining, adaptation and reorganization, acceptance and adjustment. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran penerimaan ibu terhadap anaknya yang mengalami tunarungu, faktor-faktor yang menyebabkan penerimaan serta gambaran proses-proses penerimaan yang dialami. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam bentuk studi kasus. Subjek penelitian ini adalah seorang ibu yang memiliki anak tunarungu dan berjumlah satu orang. Dalam penelitian ini digunakan teknik wawancara terstruktur dan observasi non partisipan. Berdasarkan hasil penelitian secara umum, gambaran penerimaan yang ditunjukkan oleh subjek yaitu adanya harapan realistis terhadap keadaan, yakin akan standar dirinya, memiliki perhitungan akan keterbatasan pada dirinya, menyadari asset diri yang dimiliki, serta menyadari kekurangannya. Faktor-faktor yang menyebabkan penerimaan yang dialami oleh subjek terdiri dari pemahaman diri, makna hidup, pengubahan sikap, keikatan diri, kegiatan terarah, dan dukungan sosial sedangkan proses penerimaan yang dilalui oleh subjek terdiri dari beberapa proses, yaitu shock (kaget), grief and depression (perasaan duka dan depresi), guilt (perasaan bersalah), anger (perasaan marah), shame and embrassment (perasaan malu), adaptation and reorganization (adaptasi), acceptance and adjustment (menerima). Kata kunci : Proses Penerimaan dan Tunarungu.

Judul : Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Tunarungu Nama/NPM

  • Upload
    buikien

  • View
    232

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Judul : Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Tunarungu Nama/NPM

Judul : Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Tunarungu

Nama/NPM : Nuria Khotimah/10503129

Pembimbing : Ni Made Taganing, M. Psi., Psi

A B S T R A K S I

Tunarungu adalah istilah yang menggambarkan keadaan kemampuan dengar yang

kurang atau tidak berfungsi secara normal sehingga tidak mungkin lagi diandalkan untuk

belajar bahasa dan wicara tanpa dibantu dengan metode dan peralatan khusus. Tunarungu

berpengaruh terhadap seluruh perkembangan anak sebagai individu. Keadaan itu

mempengaruhi perkembangan mental, kepribadian, emosi dan sosial si anak.

Penerimaan merupakan sikap seseorang yang menerima orang lain apa adanya secara

keseluruhan, tanpa disertai persyaratan ataupun penilaian. Apabila dalam keluarga terutama

pada ibu ada penerimaan, maka dapat membantu dalam pengasuhan dan akan mendukung

perkembangan anak. Namun tidak mudah bagi seorang ibu untuk dapat menerima begitu saja

kondisi anaknya tetapi ibu akan melalui beberapa proses hingga akhirnya seorang ibu dapat

menerima kondisi anaknya. Proses-proses penerimaan itu antara lain shock, denial, grief and

depression, ambivalence, guilt, anger, shame and embrassment, bargaining, adaptation and

reorganization, acceptance and adjustment.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran penerimaan ibu terhadap

anaknya yang mengalami tunarungu, faktor-faktor yang menyebabkan penerimaan serta

gambaran proses-proses penerimaan yang dialami. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan

pendekatan kualitatif dalam bentuk studi kasus. Subjek penelitian ini adalah seorang ibu yang

memiliki anak tunarungu dan berjumlah satu orang. Dalam penelitian ini digunakan teknik

wawancara terstruktur dan observasi non partisipan.

Berdasarkan hasil penelitian secara umum, gambaran penerimaan yang ditunjukkan

oleh subjek yaitu adanya harapan realistis terhadap keadaan, yakin akan standar dirinya,

memiliki perhitungan akan keterbatasan pada dirinya, menyadari asset diri yang dimiliki, serta

menyadari kekurangannya. Faktor-faktor yang menyebabkan penerimaan yang dialami oleh

subjek terdiri dari pemahaman diri, makna hidup, pengubahan sikap, keikatan diri, kegiatan

terarah, dan dukungan sosial sedangkan proses penerimaan yang dilalui oleh subjek terdiri

dari beberapa proses, yaitu shock (kaget), grief and depression (perasaan duka dan depresi),

guilt (perasaan bersalah), anger (perasaan marah), shame and embrassment (perasaan malu),

adaptation and reorganization (adaptasi), acceptance and adjustment (menerima).

Kata kunci : Proses Penerimaan dan Tunarungu.

Page 2: Judul : Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Tunarungu Nama/NPM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia yang berpendengaran normal

memiliki latar belakang bunyi-bunyian. Dimana

bunyi-bunyian memberikan arti yang amat

penting bagi kejiwaan manusia untuk terus-

menerus mempunyai kontak dengan orang dan

alam di sekelilingnya. Keadaan seperti ini

membawa rasa aman bagi manusia dan

memperkaya penghayatan terhadap segala

sesuatu yang dialaminya.

Namun lain halnya dengan anak

tunarungu. Menurut Dudung & Sugiarto (1999),

tunarungu merupakan suatu istilah yang

menggambarkan keadaan kemampuan dengar

yang kurang atau tidak berfungsi secara normal

sehingga tidak mungkin lagi diandalkan untuk

belajar bahasa dan wicara tanpa dibantu dengan

metode dan peralatan khusus. Ketunarunguan

mengakibatkan anak tidak mendengar bunyi

secara umum sehingga berakibat pada

kehidupan perasaan yang kurang berkembang

dan tidak berjenjang. Jalan pikirannya terlalu

konkret dan sukar berpikir secara abstrak. Sukar

masuk ke dalam situasi perasaan orang lain.

Semuanya disebabkan oleh bunyi-bunyi di

lingkungannya tidak memberi pengaruh

kepadanya.

Menurut Safaria (2005) kebanyakan

orang tua akan mengalami shock bercampur

perasaan sedih, khawatir, cemas, takut, dan

marah ketika pertama kali mendengar diagnosis

mengenai gangguan yang dialami oleh anaknya.

Begitu pula dengan ibu yang anaknya

mengalami gangguan tunarungu. Perasaan tak

percaya bahwa anaknya mengalami tunarungu

kadang-kadang menyebabkan ibu mencari

dokter lain untuk menyangkal diagnosis dokter

sebelumnya, bahkan sampai beberapa kali

berganti dokter. Hal ini sangat memukul

perasaan ibu. Bagaimana tidak, anak yang

sangat dicintainya harus menderita suatu

gangguan yang menyebabkannya tidak

berkembang sebagaimana anak-anak lainnya.

Kata-kata seperti, “Hancur-luluh, seperti

disambar petir di siang bolong, pilu dan

memilukan, shock berat, ini tidak mingkin saya

alami, ah, betapa menderitanya, apa salah saya

Tuhan hingga Engkau menimpakan cobaan

berat ini pada keluarga kami” menggambarkan

betapa beratnya masalah yang sedang dihadapi

oleh seorang ibu dari anak dengan gangguan

tunarungu.

Banyak sekali dampak negatif yang

akan dirasakan oleh ibu, baik secara fisik

maupun psikologi.. Pemahaman awal akan

dampak negatif yang akan banyak timbul

merupakan langkah yang sangat penting yang

bertujuan agar ibu mampu secara cepat

menyadarinya sehingga mampu

mengendalikannya agar dampak tersebut tidak

bertambah berat. Bahkan mungkin saja

berakibat anak akan menjadi korban karena

kekurangan kasih sayang dan perhatian. Untuk

itulah diperlukan penerimaan dari seorang ibu

terhadap anaknya yang mengalami gangguan

tunarungu.

Menurut Rogers, (1979) penerimaan

merupakan sikap seseorang yang menerima

orang lain apa adanya secara keseluruhan, tanpa

disertai persyaratan ataupun penilaian.

Apabila dalam keluarga terutama pada

ibu ada penerimaan, maka akan dapat membantu

dalam pengasuhan dan akan mendukung

perkembangan anak. Besar kecil penerimaan

oleh keluarga akan mempengaruhi pada kualitas

hubungan keluarga. Terlebih penerimaan ibu,

semakin kuat perasaan keibuan pada seorang

wanita, maka semakin besar kemampuan untuk

mencurahkan kasih sayang dan cintanya kepada

anaknya, (Ibrahim, 2002).

Jika dilihat berdasarkan teori

penerimaan dari Kubler-Ross, (dalam Gargiulo,

1985) seseorang akan mengalami beberapa

proses dalam menerima suatu keadaan yang

tidak sesuai dengan harapannya, sampai-sampai

pada tahap dimana seseorang tersebut benar-

benar menerima keadaan yang terjadi. Maka

pada ibu yang memiliki anak tunarungu akan

mengalami beberapa proses dalam menerima

ketunarunguan pada anaknya, sampai-sampai

pada tahap dimana ibu benar-benar menerima

keadaan anaknya yang mengalami tunarungu.

Tahap-tahapnya yaitu pada primary phase: 1).

Shock (kaget), 2). Denial (menyangkal), 3).

Grief and depression (duka dan depresi),

Kemudian pada secondary phase: 1).

Ambivalence (dua perasaan yang bertentangan),

2). Guilt (perasaan bersalah), 3). Anger

(perasaan marah), 4). Shame and embrassment

(perasaan malu dan memalukan), Dan yang

terakhir yaitu pada tertiary phase: 1).

Bargaining (tawar-menawar),. 2). Adaptation &

reorganization (adaptasi dan reorganisasi), 3).

Acceptance & adjustment (menerima dan

memahami), Menurut Safaria (2005) faktor-

faktor yang menyebabkan cepat atau tidaknya

seseorang menerima suatu keadaan yang tidak

sesuai dengan harapannya pada dasarnya tidak

Page 3: Judul : Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Tunarungu Nama/NPM

lepas dari penafsiran orang tersebut terhadap

peristiwa yang dialaminya. Seringkali kita

cenderung melihat suatu peristiwa dari sisi yang

negatif dan jarang sekali kita melihatnya dari

sisi positif.. Ada dua faktor yang berpengaruh

dalam proses penerimaan, faktor yang pertama

yaitu faktor keluarga yaitu adanya hubungan

yang relatif harmonis antara ibu dengan ayah.

Jika hubungan antara ibu dengan ayah relatif

harmonis, maka keduanya akan lebih mampu

saling bekerja sama dalam merawat, mendidik

dan membimbing anaknya sehingga proses

penerimaan pun akan lebih cepat terjadi.

Sebaliknya jika hubungan antara ibu dengan

ayah buruk, maka beban psikis yang dipikul

keduanya akan bertambah berat. Kemudian

yang kedua yaitu faktor lingkungan sosial,

didalam lingkungan sosial mengembangkan

sikap perhatian, dukungan, penerimaan, dan

sikap empatik kepada sesama. Jika kita bersikap

penuh pengertian, mau membantu dengan tulus,

maka kita pun akan mendapatkan dukungan,

perhatian dari orang lain. Mengembangkan

hubungan yang suportif merupakan situasi yang

timbal-balik, dua arah, dan saling

mempengaruhi. Sehingga proses penerimaan

pada anak tunarungu akan lebih cepat terjadi.

Ciri-ciri orang yang menerima orang

lain juga dijelaskan oleh Sheerer (dalam

Cronbach, 1963) yaitu mempunyai keyakinan

akan kemampuan untuk menghadapi kehidupan,

menganggap orang lain berharga, berani

memikul tanggung jawab terhadap perilakunya,

menerima pujian atau celaan secara objektif, dan

tidak menyalahkan atas keterbatasan dan tidak

pula mengingkari kelebihan orang lain.

Adanya masalah-masalah psikologis

yang berhubungan dengan penerimaan ibu yang

memiliki anak tunarungu inilah yang membuat

penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan

ini, mulai dari respon awal terhadap diagnosis

sampai pada proses penerimaan.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut diatas,

maka timbul pertanyaan penelitian sebagai

berikut:

1. Bagaimana gambaran penerimaan ibu

terhadap anaknya yang mengalami

tunarungu?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang

menyebabkan penerimaaan ibu terhadap

anaknya yang mengalami tunarungu?

3. Bagaimanakah proses penerimaan ibu

terhadap anaknya yang mengalami

tunarungu?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui bagaimana gambaran penerimaan

ibu terhadap anaknya yang mengalami

tunarungu, faktor-faktor yang menyebabkan

penerimaan ibu terhadap anaknya yang

mengalami tunarungu, dan bagaimana proses

penerimaan ibu terhadap anaknya yang

mengalami tunarungu

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini terutama dalam

faktor yang menyebabkan penerimaan

terhadap anak tunarungu dapat

memberikan masukan yang bermanfaat

pada ibu agar dapat melakukan

perubahan dari penghayatan hidup tak

bermakna menjadi hidup bermakna

sehingga ibu dapat lebih cepat dan

lebih mudah untuk menerima dan

memahami kondisi anak. Serta untuk

anak dapat memberi semangat hidup,

motivasi dan menimbulkan

kepercayaan dirinya kembali.

2. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini memperkuat

hasil penelitian sebelumnya dari

Safaria (2005), Bastaman (1996),

Kubler-Ross, (dalam Gargiulo,

1985)dan terutama mengenai faktor-

faktor yang menyebabkan penerimaan

serta proses-proses penerimaan. Selain

itu penelitian ini di harapakan dapat

menjadi acuan bagi penelitian

selanjutnya khususnya yang

berhubungan dengan penerimaan ibu

yang mempunyaianaktunarungu.

Page 4: Judul : Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Tunarungu Nama/NPM

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Penerimaan

Dari berbagai definisi tersebut di

atas, pada dasarnya memiliki kesamaan

antara definisi yang satu dengan yang

lainnya. Yakni dapat dilihat bahwa

penerimaan berkaitan dengan proses

seseorang dalam menerima kenyataan yang

ada. Yakni dengan menerima orang lain apa

adanya secara keseluruhan, memiliki sikap

yang positif terhadap orang lain, mengakui

dan menerima berbagai aspek dari orang

lain termasuk kualitas baik dan buruknya.

2. Karakteristik Penerimaan

Dalam hal ini Jersild, (1974)

menjelaskan beberapa karakteristik

penerimaan yakni, spontan dan bertanggung

jawab, tidak menyalahkan kondisi yang

ada, memiliki keinginan, gagasan, dan

aspirasi. Kemudian individu yang dapat

menerima orang lain akan memiliki

penilaian yang realistis mengenai

kemampuan dan pengertian akan arti orang

lain. Beberapa ciri penerimaan diri untuk

dapat membedakan antara orang yang dapat

menerima keadaan dirinya atau orang yang

telah mengembangkan sikap penerimaan

dalam dirinya dengan seseorang yang

menolak keadaan dirinya atau tidak dapat

bersifat realistis, yaitu:

a) Orang yang menerima dirinya memiliki

harapan yang realistis terhadap

keadaan dan menghargai dirinya.

b) Yakin akan standar-standar dan

pengakuan terhadap dirinya tanpa

terpaksa pada pendapat orang lain.

c) Memiliki perhitungan akan

keterbatasan dirinya dan tidak melihat

pada dirinya sendiri secara irrasional.

d) Menyadari asset diri yang dimilikinya

dan merasa bebas untuk menarik atau

menolak keinginannya.

e) Seseorang yang menyadari

kekurangannya tanpa menyalahkan

orang lain.

3. Reaksi-reaksi Awal Penerimaan

Menurut Selikowitz, (2001) setiap ibu

mengalami reaksi dalam penerimaan

anaknya, antara lain :

a). Syok

Semua ibu melewati fase ini, walaupun

mungkin hanya sejenak setelah

mendengar bahwa anaknya menderita

tunarungu. Banyak dari perasaan syok

itu dialami secara fisik misalnya tubuh

berkeringat dan menjadi dingin setelah

mengetahui bahwa anaknya menderita

tunarungu.

b). Rasa tidak percaya Manakala dihadapkan pada berita

buruk, salah satu mekanisme

perlindungan diri individu yang efektif

adalah penyangkalan. Namun

ketidakpercayaan ini sering kali total

pada taraf awal. Pada saat

diberitahukan, kadang penyangkalan

dapat terus berlangsung dan

menyebabkan para ibu mencari

pendapat lain atau terlibat dalam cara

pengobatan yang kontroversial bagi

anak mereka.

c). Perasaan sedih

Reaksi terhadap derita bahwa seorang

anak menderita tunarungu seringkali

menyerupai kesedihan yang dirasakan

setelah kehilangan orang yang dicintai.

d). Perasaan menolak Walaupun banyak ibu merasa malu

untuk mengungkapkannya, perasaan

menolak merupakan hal yang umum

pada taraf dini. Hal ini juga merupakan

respon naluriah dan mungkin sekali

muncul, manakala seorang anak yang

dalam suatu hal berbeda dari yang

lainnya dan tidak dapat diasuh dengan

baik di dalam lingkungannya.

e). Perasaan tidak mampu dan malu

Bagi banyak ibu, lahirnya seorang anak

dengan tunarungu merupakan sebuah

pukulan dahsyat bagi jati diri mereka.

Mereka merasa bahwa lahirnya seorang

anak yang cacat mencerminkan

kebutuhan mereka sendiri, terlebih bagi

bila mereka belum memiliki anak lain.

f). Perasaan marah

Banyak ibu mengalami kemarahan

sewaktu mereka mendapatkan dirinya

berada dalam situasi yang tidak dapat

mereka ubah. Banyak ibu mengalami

ini sebagai perasaan putus asa dan

pesimis. Mereka mudah menangis, sulit

Page 5: Judul : Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Tunarungu Nama/NPM

tidur dan makan serta tidak ada tenaga,

antusiasme menghadapi segala sesuatu.

g). Perasaan bersalah Para ibu sering kali merasa bersalah

memiliki anak yang menderita

tunarungu karena mereka yang

mengandung sang anak.

(Selikowitz, 2001).

4. Faktor-faktor Yang Menyebabkan

Penerimaan

Jika dilihat dari teori yang

dikemukakan oleh Bastaman (1996)

mengenai beberapa komponen yang

menentukan berhasilnya seseorang dalam

melakukan perubahan dari penghayatan

hidup tak bermakna menjadi hidup

bermakna maka pada ibu yang memiliki

anak tunarungu untuk mempercepat proses

penerimaan terhadap anaknya yang

memiliki gangguan tunarungu yaitu dengan

melakukan perubahan dari menghayati

hidup dengan tidak bermakna menjadi

hidup lebih bermakna. Komponen-

komponennya yaitu:

a) Pemahaman-diri (self-insight) Yakni meningkatnya kesadaran atas

buruknya kondisi diri pada saat ini dan

keinginan kuat untuk melakukan

perubahan kearah kondisi yang lebih baik.

b) Makna hidup (the meaning of life)

Yaitu nilai-nilai penting dan sangat

berarti bagi kehidupan pribadi

seseorang yang berfungsi sebagai

tujuan hidup yang harus dipenuhi dan

pengarah kegiatan-

kegiatannya. Perluas makna

hidup yang kita cari, buka pemikiran

kita, buka mata hati kita, lihatlah hal-

hal yang kita anggap sepele, namun

sebenarnya mengandung makna yang

luar biasa.

c) Pengubahan sikap (changing

attitude)

Yakni dari yang semula bersikap

negatif dan tidak tepat menjadi mampu

bersikap positif dan lebih tepat dalam

menghadapi masalah, kondisi hidup

dan musibah yang tak terelakkan.

d) Keikatan-diri (self-commitment)

Yakni komitmen individu terhadap

makna hidup yang ditemukan dan

tujuan hidup yang ditetapkan. Kuatkan

komitmen kita untuk bertindak positif,

konsisten dalam berusaha, tidak

mengenal kata menyerah dan putus asa,

apalagi hanya berpangku tangan.

Komitmen yang kuat akan membawa

diri kita pada pencapaian makna hidup

yang lebih mendalam.

e) Kegiatan terarah (directed activities)

yakni upaya-upaya yang dilakukan

secara sadar dan sengaja berupa

pengembangan potensi-potensi pribadi

(bakat, kemampuan, keterampilan)

yang positif serta pemanfaatan relasi

antar pribadi untuk menunjang

tercapainya makna dan tujuan hidup.

Hiasi hidup kita dengan aktivitas-

aktivitas positif seperti mengikuti

ceramah keagamaan, ikut dalam badan

amal, mengembangkan keterampilan

dan usaha, serta aktivitas-aktivitas

positif lainnya yang bisa kita lakukan.

f) Dukungan sosial (social support) Yakni hadirnya seseorang atau

sejumlah orang yang akrab, dapat

dipercaya dan selalu bersedia memberi

bantuan pada saat-saat diperlukan.

Kembangkan relasi sosial kita dengan

orang-orang disekitar, cari dan

temukan lingkungan sosial yang

kondusif, silaturahmi keberbagai pihak,

jangan mengisolasi diri

5. Proses-proses Penerimaan

Menurut Kubler-Ross, (dalam

Gargiulo, 1985) seseorang akan mengalami

beberapa proses dalam menerima suatu

keadaan yang tidak sesuai dengan

harapannya, sampai-sampai pada tahap

dimana seseorang tersebut benar-benar

menerima keadaan yang terjadi, yaitu:

a). Primary phase

(1). Shock (kaget)

Ibu merasa terguncang, tidak

percaya atas apa yang telah terjadi.

Biasanya ditandai dengan

menangis terus-menerus dan

perasaan tidak berdaya. Ibu sama

sekali tidak siap untuk menghadapi

kelainan pada anak.

(2). Denial (menyangkal)

Ibu menolak untuk mengenali

kecacatan anak dengan

merasionalisasikan kekurangan

yang ada, atau dengan mencari

penegasan dari ahli bahwa tidak

ada kecacatan pada anak.

(3). Grief and depression (perasaan

duka dan depresi)

Page 6: Judul : Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Tunarungu Nama/NPM

Merupakan reaksi yang alami dan

tidak perlu dihindari, Karena

dengan adanya perasaan ini ibu

mengalami transisi dimana

harapan masa lalu mengenai “anak

sempurna” disesuaikan dengan

kenyataan yang terjadi saat ini.

Dalam fase ini rasa duka

disebabkan oleh perasaan kecewa

karena memiliki anak yang

menderita tunarungu. Sedangkan

depresi merupakan perasaan

marah pada diri sendiri karena

telah gagal melahirkan anak yang

normal. Salah satu perilaku yang

mungkin muncul pada fase ini

adalah penarikan diri dari

lingkungan.

b). Secondary phase

(1). Ambivalence (dua perasaan yang

bertentangan)

Kecacatan anak dapat

meningkatkan intensitas perasaan

kasih sekaligus perasaan benci

pada ibu. Perasaan negative

umumnya diiringi dengan perasaan

bersalah, sehingga beberapa ibu

mendedikasikan sebagaian besar

waktunya untuk anak, sedangkan

sebagian lagi menolak untuk

memberikan kasih sayang pada

anak dan menganggap anak tidak

berguna.

(2). Guilt (perasaan bersalah)

Pada fase ini ibu mungkin saja

merasa bersalah dengan kecacatan

anaknya, karena menganggap

bahwa dialah yang menyebabkan

kecacatan tersebut atau dihukum

karena dosanya dimasa lalu. Pada

fase ini biasanya ibu memiliki

pemikiran “kalau saja”. Pada saat

bersalah ibu juga menjadi obsesif

dan emosional serta secara berkala

bertanya mengapa hal ini dapat

terjadi.

(3). Anger (perasaan marah)

Perasaan ini dapat ditunjukkan

dengan dua cara. Pertama

timbulnya pertanyaan “mengapa

saya”, lalu yang kedua yaitu

“displacement”, dimana rasa

bersalah ditunjukkan pada orang

lain seperti dokter, terapis,

pasangan, atau anak kandungnya

yang lain.

(4). Shame and embrassment

(perasaan malu dan

memalukan)

Perasaan ini timbul saat ibu

menghadapi lingkungan sosial

yang menolak, mengasihani, atau

mengejek kecacatan anak. Sikap

lingkungan yang terus-menerus

seperti ini dapat menurunkan harga

diri karena beberapa ibu

menganggap anak merupakan

penerus dirinya. Kehadiran anak

yang cacat dapat mengancam

harga dirinya.

c). Tertiary phase

(1). Bargaining (tawar-menawar) Suatu strategi dimana ibu mulai

membuat “perjanjian” dengan

Tuhan, ilmu pengetahuan, atau

pihak manapun yang mampu

membuat anaknya kembali normal.

Misalnya: ibu yang membuat

pernyataan seperti “jika engkau

dapat menyembuhkan anakku,

maka aku akan mengabdikan

diriku padamu.

(2). Adaptation & reorganization

(adaptasi dan reorganisasi)

Adaptasi merupakan proses

bertahap yang membutuhkan

waktu dan berkurangnya rasa

cemas serta reaksi emosional

lainnya. Reorganisasi merupakan

suatu kondisi dimana ibu merasa

nyaman dengan situasi yang ada

dan menunjukkan rasa percaya diri

dalam kemampuan mereka untuk

merawat dan mengasuh anak,

sehingga untuk bertanggung jawab

atas masalah anak.

(3). Acceptance & adjustment

(menerima dan memahami)

Merupakan proses yang aktif

dimana ibu secara sadar berusaha

untuk mengenali, memahami, dan

memecahkan masalah, namun

tetap saja perasaan negatif yang

sebelumnya terbentuk tidak pernah

hilang. Pada fase ini ibu menyadari

kondisi anak dan menerimanya.

Page 7: Judul : Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Tunarungu Nama/NPM

B. Tunarungu

1. Pengertian Tunarungu

Menurut Dudung & Sugiarto (1999)

tunarungu adalah istilah yang

menggambarkan keadaan kemampuan

dengar yang kurang atau tidak berfungsi

secara normal sehingga tidak mungkin lagi

diandalkan untuk belajar bahasa dan wicara

tanpa dibantu dengan metode dan peralatan

khusus. Tunarungu berpengaruh terhadap

seluruh perkembangan anak sebagai

individu. Keadaan itu mempengaruhi

perkembangan mental, kepribadian, emosi

dan sosial si anak

Ada beberapa pengaruh yang terjadi

terhadap perkembangan anak tunarungu,

yaitu:

1. Ketunarunguan mengakibatkan anak

tidak mendengar bunyi secara umum,

sehingga menyebabkan:

a). Kehidupan perasaan kurang

berkembang dan tidak berjenjang,

di satu pihak sukar dirangsang,

tetapi di pihak lain dengan mudah

menjadi berkelebihan.

b). Jalan pikirannya terlalu konkret dan

sukar berpikir secara abstrak.

c). Sukar masuk ke dalam situasi

perasaan orang lain. Semuanya

disebabkan oleh bunyi-bunyi di

lingkungannya tidak memberi

pengaruh kepadanya.

2. Ketunarunguan mengakibatkan anak

tidak mendengar bunyi bahasa,

sehingga menyebabkan anak tunarungu

yang dididik, terutama secara visual

kinestesis tanpa mengikutsertakan

unsure auditif akan mengalami

kemiskinan dalam perkembangan

bahasanya. Intonasi dan bunyi bahasa

yang tidak dapat ditangkap lewat

pendengaran sangat menghambat

perkembangan bahasanya sebab

hakikat bahasa adalah bunyi, nada, dan

irama, bukan gerak bibir atau gerak

lidah.

2. Kriteria Tunarungu

Menurut Dudung & Sugiarto, (1999)

terdapat beberapa kriteria tunarungu, yaitu :

1). Berdasarkan Tingkat Kehilangan

Kemampuan Dasar

Tunarungu dapat dibagi atas tulis

dan kurang dengar atau pekak.

Golongan tuli adalah mereka yang

kehilangan kemampuan dengar 90

decibel (dB) atau lebih, sedangkan

golongan kurang dengar adalah mereka

yang kehilangan kemampuan dengar

kurang dari 90 dB. Golongan kurang

dengar ini masih dapat dibedakan atas

kurang dengar ringan (kehilangan

kemampuan dengar antara 30 sampai

50 dB), kurang dengar sedang

kehilangan kemampuan dengar antara

50 sampai 70 dB), dan kurang dengar

berat (kehilangan kemampuan dengar

antara 70 sampai 90 dB).

2). Berdasarkan Letak Kerusakan

Ditinjau dari letak atau lokasi

kerusakan dapat dibedakan atas

tunarungu konduktif dan tunarungu

perspektif. Tunarungu konduktif adalah

jenis ketunarunguan sebagai akibat dari

kerusakan telinga bagian luar dan

bagian tengah, sedangkan jenis

ketunarunguan perspektif akibat

kerusakan telinga bagian dalam sampai

syaraf-syaraf indra pendengaran.

3). Berdasarkan Saat Terjadinya

Kehilangan Pendengaran

Tunarungu dapat terjadi pada

seseorang sebelum orang itu memiliki

bahasa, dan di antara kedua masa itu.

Bila tunarungu itu terjadi pada saat

seseorang belum memiliki bahasa

disebut tunarungu pralingual dan bila

tunarungu terjadi pada sesorang yang

telah berbahasa disebut tunarungu

postlingual, dan bila terjadi di antara

kedua hal itu disebut tunarungu

interlingual

4). Berdasarkan Penyebabnya

Ditinjau dari faktor penyebabnya

dapat dibedakan atas tunarungu genetis

(bawaan), prenatal (sejak dalam

kandungan), natal (pada saat

kelahiran), dan postnatal (setelah

kelahiran).

3. Karakteristik Tunarungu

Menurut Prabowo & Puspitawati

(1997) karakteristik dapat ditinjau dari

perkembangan sosial, intelegensi,

pendidikan, bahasa, dan bicaranya.

1). Perkembangan Sosial

Umumnya mengalami hambatan

komunikasi dan juga hambatan belajar

tentang hal-hal yang berkaitan dengan

intelektual, hal ini menyebabkan

rendahnya kemampuan untuk

mengatasi dorongan/impuls karena ada

Page 8: Judul : Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Tunarungu Nama/NPM

kesulitan dalam melakukan interaksi

sosial (yang umumnya dilakukan

melalui kemampuan berkomunikasi),

kurang mandiri, toleransi terhadap

frustasi rendah, sangat egosentris

karena komunikasi umumnya hanya

dapat dilakukan dengan diri sendiri,

menjadi penuntut dan bersikap acting-

out(melebih-lebihkan)

2). Perkembangan Intelegensi

Populasi pada umumnya

mengikuti kurve normal tetapi sebagian

besar tetap normal selama tidak

mengalami kerusakan otak

3). Perkembangan Pendidikan Pendidikan yang sesuai dengan

kemampuan masing-masing (misalnya

ada yang dapat ditolong dengan

menggunakan hearing aid)

4). Perkembangan Bahasa

Nampak pada penguasaan

perbendaharaan kata (umumnya lebih

menguasai yang konkrit dan produksi

kalimatnya pendek)

5). Perkembangan Bicara

Umumnya cara bicara tidak jelas

(baik artikulasi, intonasi maupun kata-

kata sengau, contohnya m, n, ng)

Untuk mengembangkan kemampuan

komunikasi dapat dilakukan dengan cara:

1. Sign language, dengan gesture tangan;

2. Speech reading, belajar mengucapkan

atau melafalkan kata-kata dan membaca

gerakan bibir;

3. Taction dan Kinaesthetic Feedback,

dengan melatih indera peraba (misalnya

dengan mengenal getaran-getaran di

leher yang dihasilkan saat melafalkan

suatu kata);

4. Formal Speech Training

Untuk penderita yang memiliki

kemungkinan belajar bicara

C. Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak

Tunarungu

Penerimaan adalah pengasuhan dengan

penekanan pada interaksi yang berdasarkan pada

hubungan yang hangat dan saling

menguntungkan, sehingga akan meningkatkan

perkembangan kesadaran dan pemikiran moral

pada anak. Lebih jauh hal ini dihubungkan

dengan terpenuhinya kebutuhan akan kedekatan

(attachment) dan penghargaan diri (self-esteem).

Salah satu pengaruh pengasuhan yang hangat

dan responsif adalah tersampaikannya ide pada

anak bahwa ia sangat berharga dan pantas

mendapatkan perlakuan yang sebaik-baiknya.

Menurut Dudung & Sugiarto (1999)

tunarungu adalah istilah yang menggambarkan

keadaan kemampuan dengar yang kurang atau

tidak berfungsi secara normal sehingga tidak

mungkin lagi diandalkan untuk belajar bahasa

dan wicara tanpa dibantu dengan metode dan

peralatan khusus.. Tunarungu berpengaruh

terhadap seluruh perkembangan anak sebagai

individu. Keadaan itu mempengaruhi

perkembangan mental, kepribadian, emosi dan

sosial si anak. Ini tidak terlalu mudah untuk kita

pahami karena kita mempunyai pancaindra yang

sempurna.

Apabila dalam keluarga terutama pada

ibu ada penerimaan, maka akan dapat membantu

dalam pengasuhan dan akan mendukung

perkembangan anak. Terlebih penerimaan ibu,

semakin kuat perasaan keibuan pada seorang

wanita, maka semakin besar kemampuan untuk

mencurahkan kasih sayang dan cintanya kepada

anaknya, (Ibrahim, dalam Basri 2002).

Pada ibu yang memiliki anak tunarungu

untuk mempercepat proses penerimaan terhadap

anaknya yang memiliki gangguan tunarungu

yaitu dengan melakukan perubahan dari

menghayati hidup dengan tidak bermakna

menjadi hidup lebih bermakna. Komponen-

komponennya yaitu: pemahaman-diri (self-

insight), makna hidup (the meaning of life),

pengubahan sikap (changing attitude), keikatan-

diri (self-commitment), kegiatan terarah

(directed activities), dukungan sosial (social

support). Bastaman (1996)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan penelitian : metode kualitatif

dalam bentuk studi kasus.

B. Subjek Penelitian

1. Karakteristik Subjek

Subjek penelitian ini adalah ibu yang

memiliki anak tunarungu.

2. Jumlah Subjek

subjek dalam penelitian ini berjumlah

satu orang.

C. Tahap-tahap Penelitian 1. Tahap Persiapan Penelitian : Peneliti

membuat pedoman wawancara yang

disusun berdasarkan beberapa teori-teori

yang relevan dengan masalah.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian : Dalam

penelitian ini, peneliti bertemu langsung

dengan subjek yang bersangkutan untuk

Page 9: Judul : Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Tunarungu Nama/NPM

menanyakan perihal subjek yang

sekiranya bersedia diwawancarai.

D. Teknik Pengumpulan Data : wawancara

dan observasi.

E. Alat Bantu Pengumpul Data : Pedoman

Wawancara, pedoman observasi, alat

perekam, dan alat tulis

F. Keakuratan Penelitian

a. Triangulasi Data

Peneliti menggunakan berbagai sumber

data seperti dokumen hasil wawancara

dan hasil observasi dari subjek dan

significant other

b. Triangulasi Pengamat

Dosen pembimbing bertindak sebagai

pengamat (expert judgement) yang

memberikan masukan terhadap hasil

pengumpulan data.

c. Triangulasi Teori

Yaitu penggunaan berbagai teori yang

berlainan untuk memastikan bahwa

data yang dikumpulkan sudah

memenuhi syarat. berbagai teori

tentang gejal-gejala stress, sumber-

sumber stress, dan strategi coping yang

telah dijelaskan pada bab II untuk

digunakan dan menguji terkumpulnya

data tersebut.

d. Triangulasi Metode

Yaitu metode wawancara, metode

observasi.

G. Teknik Analisis Data : Mengorganisasikan

Data, Pengelompokkan Berdasarkan

Kategori, Tema, dan Pola Jawaban,

Menguji Asumsi atau Permasalahan yang

Ada Terhadap Data, Mencari Alternatif

Penjelasan Bagi Data, Menulis Hasil

Penelitian.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

A. Hasil Dan Pembahasan

Dalam membahas hasil penelitian

ditemukan hasil sebagai berikut :

a). Karakteristik Penerimaan

Menurut Jersild, (1974). beberapa

ciri penerimaan diri untuk dapat

membedakan antara orang yang dapat

menerima keadaan dirinya atau orang

yang telah mengembangkan sikap

penerimaan dalam dirinya dengan

seseorang yang menolak keadaan

dirinya atau tidak dapat bersifat

realistis, yaitu:

f) Orang yang menerima dirinya

memiliki harapan yang realistis

terhadap keadaan dan menghargai

dirinya.

g) Yakin akan standar-standar dan

pengakuan terhadap dirinya tanpa

terpaksa pada pendapat orang lain

h) Memiliki perhitungan akan

keterbatasan dirinya dan tidak

melihat pada dirinya sendiri

secara irrasional.

i) Menyadari asset diri yang

dimilikinya dan merasa bebas

untuk menarik atau menolak

keinginannya.

j) Seseorang yang menyadari

kekurangannya tanpa menyalahkan

orang lain

Dari hasi penelitian karakteristik

penerimaan dimana orang yang

menerima dirinya memiliki harapan

yang realistis terhadap keadaan dan

menghargai dirinya yang terjadi adalah

: subjek merasa optimis bahwa anaknya

akan terus berprestasi meskipun

mengalami tunarungu, subjek tidak

pernah memaksakan setiap kegiatan

yang dilakukan oleh anak, disesuaikan

dengan kemampuan dan keinginan

anak, selalu mendukung dan

menyemangati anak, subjek

menghargai dirinya sendiri dengan

selalu menjaga kesehatan dan tingkat

stress.

Dari hasil penelitian karakteristik

penerimaan dimana seseorang yakin

akan standar-standar dan pengakuan

terhadap dirinya tanpa terpaksa pada

pendapat orang lain yang terjadi

adalah: anak merupakan motivasi

terbesar subjek setiap melakukan

kegiatannya, subjek sangat giat

mengumpulkan uang demi anak-

anaknya, subjek percaya diri dengan

kemampuannya dalam hal memasarkan

barang dagangannya.

Dari hasil penelitian karakteristik

penerimaan dimana seseorang akan

memiliki perhitungan akan

keterbatasan dirinya dan tidak melihat

Page 10: Judul : Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Tunarungu Nama/NPM

pada dirinya sendiri secara irrasional,

yang terjadi adalah: subjek saling

mengisi dan bekerjasama dengan suami

dalam hal anak dan dalam hal

pemenuhan kebutuhan atau masalah

ekonomi.

Dari hasil penelitian karakteristik

penerimaan dimana seseorang

menyadari asset diri yang dimilikinya

dan merasa bebas untuk menarik atau

menolak keinginannya, yang terjadi

adalah: subjek memiliki penyesuaian

sosial yang baik, subjek memiliki

potensi dalam berbisnis, subjek

memanfaatkan kelebihan yang dimiliki

dengan banyak bersosialisasi dengan

lingkungan, subjek menggunakan atau

menerapkan kelebihan yang

dimilikinya ketika subjek menghadapi

lingkungan sosial baru dan ketika

subjek memasarkan barang

dagangannya.

Dari hasil penelitian

karakteristik penerimaan dimana

seseorang yang menyadari

kekurangannya tanpa menyalahkan

orang lain, yang terjadi adalah: subjek

menyadari akan kekurangan yang ada

pada dirinya, subjek menerima kritikan

dari orang lain, subjek tidak

menyalahkan kekurangan yang ada

pada dirinya kepada orang lain.

2. Faktor-faktor Yang Menyebabkan

Penerimaan Menurut Safaria (2005) pada

dasarnya faktor-faktor yang mempengaruhi

cepat atau tidaknya proses penerimaan tidak

lepas dari penafsiran kita terhadap peristiwa

yang kita alami. Seringkali kita cenderung

melihat suatu peristiwa dari sisi yang

negatif dan jarang sekali kita melihatnya

dari sisi positif.

Jika dilihat dari teori yang

dikemukakan oleh Bastaman (1996)

mengenai beberapa komponen yang

menentukan berhasilnya seseorang dalam

melakukan perubahan dari penghayatan

hidup tak bermakna menjadi hidup

bermakna maka pada ibu yang memiliki

anak tunarungu untuk mempercepat proses

penerimaan terhadap anaknya yang

memiliki gangguan tunarungu yaitu dengan

melakukan perubahan dari menghayati

hidup dengan tidak bermakna menjadi

hidup lebih bermakna. Komponen-

komponennya yaitu:

a). Pemahaman-diri (self-insight) Yakni meningkatnya kesadaran atas

buruknya kondisi diri pada saat ini dan

keinginan kuat untuk melakukan

perubahan kearah kondisi yang lebih

baik.

b). Makna hidup (the meaning of life) Yaitu nilai-nilai penting dan sangat

berarti bagi kehidupan pribadi

seseorang yangberfungsi sebagai tujuan

hidup yang harus dipenuhi dan

pengarah kegiatan-kegiatannya. Perluas

makna hidup yang kita cari,

buka pemikiran kita, buka mata hati

kita, lihatlah hal-hal yang kita anggap

sepele, namun sebenarnya mengandung

makna yang luar biasa.

c). Pengubahan sikap (changing

attitude) Yakni dari yang semula bersikap

negatif dan tidak tepat menjadi mampu

bersikap positif dan lebih tepat

dalam menghadapi masalah, kondisi

hidup dan musibah yang tak

terelakkan.

d). Keikatan-diri (self-commitment) Yakni komitmen individu terhadap

makna hidup yang ditemukan dan

tujuan hidup yang ditetapkan. Kuatkan

komitmen kita untuk bertindak positif,

konsisten dalam berusaha, tidak

mengenal kata menyerah dan putus asa,

apalagi hanya berpangku tangan.

Komitmen yang kuat akan membawa

diri kita pada pencapaian makna hidup

yang lebih mendalam. Teguhkan hati

untuk berjuang membimbing anak kita,

apa pun yang nantinya akan kita

hadapi. Percayalah Tuhan YME pasti

akan memberikan jalan yang lapang

untuk kita, dan ingatlah sesungguhnya

akhir itu lebih baik dari permulaan.

e). Kegiatan terarah (directed activities)

Yakni upaya-upaya yang dilakukan

secara sadar dan sengaja berupa

pengembangan potensi-potensi pribadi

(bakat, kemampuan, keterampilan)

yang positif serta pemanfaatan relasi

antar pribadi untuk menunjang

tercapainya makna dan tujuan hidup.

Hiasi hidup kita dengan aktivitas-

aktivitas positif seperti mengikuti

ceramah keagamaan, ikut dalam badan

amal, mengembangkan keterampilan

Page 11: Judul : Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Tunarungu Nama/NPM

dan usaha, serta aktivitas-aktivitas

positif lainnya yang bisa kita lakukan.

Jangan hanya berputar pada aktivitas

yang negatif seperti bergosip,

melamun, berkeluh kesah, berpangku

tangan, hanya mengumbar kesedihan,

jika ini dapat kita hindari maka niscaya

kita akan mencapai kebermaknaan

hidup lebih baik di masa depan.

f). Dukungan sosial (social support)

Yakni hadirnya seseorang atau

sejumlah orang yang akrab, dapat

dipercaya dan selalu bersedia memberi

bantuan pada saat-saat diperlukan.

Kembangkan relasi sosial kita dengan

orang-orang disekitar, cari dan

temukan lingkungan sosial yang

kondusif, silaturahmi keberbagai pihak,

jangan mengisolasi diri hanya karena

kita memiliki anak yang mengalami

gangguan tunarungu. Jika I tu

yang kita lakukan, berarti kita

menyatakan kalah pada tunarungu.

Jangan berputus asa, berjuanglah terus

dan melalui dukungan sosial orang-

orang terdekat di sekitar kita,

kemenangan pasti akan kita raih.

Berdasarkan faktor pemahaman-diri

(self-insight) ditemukan hasil sebagai

berikut: subjek memiliki kesadaran atas

kondisi diri subjek sendiri ketika

mengalami kondisi yang buruk (baik secara

fisik maupun secara mental), subjek

memiliki keinginan yang kuat untuk

melakukan perubahan kearah kondisi yang

lebih baik, terutama bagi anaknya, subjek

memiliki tujuan hidup yang harus dipenuhi

yaitu anak-anaknya, semua kegiatan yang

subjek lakukan adalah untuk masa depan

anak-anaknya.

Berdasarkan faktor makna hidup (the

meaning of life) ditemukan hasil sebagai

berikut: subjek memaknai hidupnya selama

ini adalah selalu bersikap sabar dalam hal

apapun.

Berdasarkan faktor pengubahan sikap

(changing attitude) ditemukan hasil sebagai

berikut: subjek mampu bersikap positif

dalam menghadapi masalah.

Berdasarkan faktor keikatan-diri (self-

commitment) ditemukan hasil sebagai

berikut: subjek berusaha untuk bisa

konsisten dalam berusaha.

Berdasarkan faktor kegiatan terarah

(directed activities) ditemukan hasil sebagai

berikut: subjek rutin mengikuti aktivitas-

aktivitas yang positif.

Berdasarkan faktor dukungan sosial

(social support) ditemukan hasil sebagai

berikut: memiliki teman yang akrab dan

selalu hadir memberi bantuan pada saat-saat

yang diperlukan, subjek selalu menjaga

silaturahmi dengan berbagai pihak.

3. Proses-proses Penerimaan

Menurut Kubler-Ross, (dalam

Gargiulo, 1985) seseorang akan mengalami

beberapa proses dalam menerima suatu

keadaan yang tidak sesuai dengan

harapannya, sampai-sampai pada tahap

dimana seseorang tersebut benar-benar

menerima keadaan yang terjadi, yaitu:

a). Primary phase

(1). Shock (kaget) Ibu merasa terguncang, tidak

percaya atas apa yang telah terjadi.

Biasanya ditandai dengan

menangis terus-menerus dan

perasaan tidak berdaya. Ibu sama

sekali tidak siap untuk menghadapi

kelainan pada anak.

(2). Denial (menyangkal)

Ibu menolak untuk mengenali

kecacatan anak dengan

merasionalisasikan kekurangan

yang ada, atau dengan mencari

penegasan dari ahli bahwa tidak

ada kecacatan pada anak.

(3). Grief and depression (perasaan

duka dan depresi)

Merupakan reaksi yang alami dan

tidak perlu dihindari, Karena

dengan adanya perasaan ini ibu

mengalami transisi dimana

harapan masa lalu mengenai “anak

sempurna” disesuaikan dengan

kenyataan yang terjadi saat ini.

Dalam fase ini rasa duka

disebabkan oleh perasaan kecewa

karena memiliki anak yang

menderita tunarungu. Sedangkan

depresi merupakan perasaan

marah pada diri sendiri karena

telah gagal melahirkan anak yang

normal. Salah satu perilaku yang

mungkin muncul pada fase ini

adalah penarikan diri dari

lingkungan.

Page 12: Judul : Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Tunarungu Nama/NPM

b). Secondary phase

(1). Ambivalence (dua perasaan yang

bertentangan) Kecacatan anak dapat

meningkatkan intensitas perasaan

kasih sekaligus perasaan benci

pada ibu. Perasaan negatif

umumnya diiringi dengan perasaan

bersalah, sehingga beberapa ibu

mendedikasikan sebagaian besar

waktunya untuk anak, sedangkan

sebagian lagi menolak untuk

memberikan kasih sayang pada

anak dan menganggap anak tidak

berguna.

(2). Guilt (perasaan bersalah)

Pada fase ini ibu mungkin saja

merasa bersalah dengan kecacatan

anaknya, karena menganggap

bahwa dialah yang menyebabkan

kecacatan tersebut atau dihukum

karena dosanya dimasa lalu. Pada

fase ini biasanya ibu memiliki

pemikiran “kalau saja”. Pada saat

bersalah ibu juga menjadi obsesif

dan emosional serta secara berkala

bertanya mengapa hal ini dapat

terjadi.

(3). Anger (perasaan marah) Perasaan ini dapat ditunjukkan

dengan dua cara. Pertama

timbulnya pertanyaan “mengapa

saya”, lalu yang kedua yaitu

“displacement”, dimana rasa

bersalah ditunjukkan pada orang

lain seperti dokter, terapis,

pasangan, atau anak kandungnya

yang lain.

(4). Shame and embrassment

(perasaan malu dan

memalukan)

Perasaan ini timbul saat ibu

menghadapi lingkungan sosial

yang menolak, mengasihani, atau

mengejek kecacatan anak. Sikap

lingkungan yang terus-menerus

seperti ini dapat menurunkan harga

diri karena beberapa ibu

menganggap anak merupakan

penerus dirinya. Kehadiran anak

yang cacat dapat mengancam

harga dirinya.

c). Tertiary phase

(1). Bargaining (tawar-menawar)

Suatu strategi dimana ibu mulai

membuat “perjanjian” dengan

Tuhan, ilmu pengetahuan, atau

pihak manapun yang mampu

membuat anaknya kembali normal.

Misalnya: ibu yang membuat

pernyataan seperti “jika engkau

dapat menyembuhkan anakku,

maka aku akan mengabdikan

diriku padamu.

(2). Adaptation & reorganization

(adaptasi dan reorganisasi)

Adaptasi merupakan proses

bertahap yang membutuhkan

waktu dan berkurangnya rasa

cemas serta reaksi emosional

lainnya. Reorganisasi merupakan

suatu kondisi dimana ibu merasa

nyaman dengan situasi yang ada

dan menunjukkan rasa percaya diri

dalam kemampuan mereka untuk

merawat dan mengasuh anak,

sehingga untuk bertanggung jawab

atas masalah anak.

(3). Acceptance & adjustment

(menerima dan memahami) Merupakan proses yang aktif

dimana ibu secara sadar berusaha

untuk mengenali, memahami, dan

memecahkan masalah, namun

tetap saja perasaan negatif yang

sebelumnya terbentuk tidak pernah

hilang. Pada fase ini ibu menyadari

kondisi anak dan menerimanya.

Berdasarkan hasil penelitian,

subjek hanya mengalami beberapa

proses dalam penerimaan, yaitu shock

(kaget), grief and depression (perasaan

duka dan depresi), guilt (perasaan

bersalah), anger (perasaan marah),

shame and embrassment (perasaan

malu), adaptation and reorganization

(adaptasi), acceptance and adjustment

(menerima).

Pada proses shock (kaget)

ditemukan hasil sebagai berikut: subjek

sempat merasa terguncang pada saat

pertama kali mengetahui diagnosis

pada anaknya, subjek merasakan

tubuhnya menjadi lemas, subjek

merasa tidak berdaya, dan subjek

hanya bisa menangis

Pada proses grief and depression

(perasaan duka dan depresi) ditemukan

hasil sebagai berikut: subjek sempat

Page 13: Judul : Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Tunarungu Nama/NPM

merasa kecewa memiliki anak yang

menderita tunarungu, karena menurut

subjek, ia mengharapkan seorang anak

yang terlahir normal seperti anak

normal pada umumnya, subjek sempat

merasa pesimis terhadap masa depan

anaknya, subjek merasa khawatir

ketunarunguan pada anaknya dapat

mempengaruhi masa depannya nanti.

Pada proses guilt (perasaan

bersalah) ditemukan hasil sebagai

berikut: Subjek sempat merasa bahwa

kecacatan yang dialami oleh anaknya

merupakan hukuman baginya atau

suaminya akibat dosa dimasa lalu,

Subjek sempat menjadi sangat obsesif

terhadap perkembangan anaknya pada

saat itu, Subjek selalu mencari banyak

informasi mengenai ketunarunguan

anaknya, Subjek sering membawa

anaknya ke tempat-tempat pengobatan

alternatif, berharap anaknya masih

dapat disembuhkan, Subjek banyak

bertukar informasi dengan para orang

tua murid di SLB, yang anaknya

mengalami tunarungu juga.

Pada proses anger (perasaan

marah) ditemukan hasil sebagai

berikut: subjek sempat berpikir

bahwa ketunarunguan ini merupakan

kesalahan dari suaminya.

Pada proses shame and

embrassement (perasaan malu)

ditemukan hasil sebagai berikut:

subjek sempat merasa malu sewaktu

pertama kali membawa anaknya jalan-

jalan keluar rumah, subjek merasa

sedih dan kesal ketika orang lain

memandang aneh anak subjek

Pada proses adaptation and

reorganization (adaptasi dan

reorganisasi) ditemukan hasil sebagai

berikut: subjek sempat mengalami

kecemasan yang berlebihan, subjek

merasa khawatir sesuatu yang tidak

diharapkan akan terjadi pada anaknya,

subjek selalu mengontrol aktifitas

bermainnya anak, atau hanya sekedar

mengamati dari jauh ketika anak

bermain dengan temannya, subjek

sudah merasa nyaman dengan situasi

yang ada pada saat ini, terlebih ketika

subjek mulai menyekolahkan anaknya

di SLB, subjek mampu menggunakan

bahasa isyarat untuk berkomunikasi

dengan anaknya, saat ini subjek sudah

merasa percaya diri untuk merawat dan

mengasuh anaknya. bahkan terkadang

subjek juga suka memberikan masukan

pada ibu-ibu yang lainnya dalam hal

merawat dan mengasuh anak

tunarungu, subjek membutuhkan waktu

yang lama untuk bisa menyesuaikan

dengan situasi yang ada saat ini dan

semuanya merupakan proses yang

panjang.

Pada proses aceptance &

adjustment (menerima dan memahami)

ditemukan hasil sebagai berikut: subjek

sudah sangat memahami mengenai

ketunarunguan pada anaknya, saat ini

tidak pernah muncul perasaan-perasaan

negatif pada diri subjek, subjek telah

menerima kondisi anaknya saat ini,

subjek memberikan perhatian yang

berbeda dengan anaknya yang lain.

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, secara

garis besar dapat dilihat gambaran

penerimaan pada ibu yang memiliki anak

tunarungu dalam hal ini terlihat bahwa ibu

memiliki harapan yang realistis, ibu merasa

yakin akan standar-standar dirinya, memiliki

perhitungan akan keterbatasan pada dirinya,

menyadari asset diri yang dimiliki, dan

menyadari kekurangannya. Ini semua tidak

lepas dari faktor-faktor yang menyebabkan

penerimaan, yang mana semua faktor-faktor

ini sangat membantu mempercepat proses

penerimaan subjek terhadap anaknya yang

mengalami tunarungu. Faktor-faktor tersebut

adalah faktor penghayatan hidup, yang terdiri

dari pemahaman diri, makna hidup,

pengubahan sikap, keikatan diri, kegiatan

terarah, dan dukungan sosial. Sedangkan

gambaran proses penerimaan pada ibu yang

memiliki anak tunarungu, dalam hal ini

terlihat bahwa subjek mengalami beberapa

proses penerimaan berupa shock (kaget), grief

& depression (perasaan duka dan depresi),

guilt (perasaan bersalah), anger (perasaan

marah), shame & embrassment (perasaan

malu), adaptation & reorganization (adaptasi

dan reorganisasi), acceptance & adjustment

(menerima dan memahami).

Page 14: Judul : Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Tunarungu Nama/NPM

B. Saran

1. Bagi ibu yang memiliki anak tunarungu

Agar menjaga tingkat stress, karena

bagaimanapun sebagai ibu dari anak

yang mengalami tunarungu akan

banyak terbebani oleh persoalan ini,

hal ini berarti ibu akan mengalami

banyak ketegangan dan stress. Untuk

itulah pada waktu tertentu ibu perlu

menghibur diri bersama pasangan,

sejenak lepas dari anak dan menikmati

kegiatan tanpa adanya interupsi. Hal ini

akan sangat bermanfaat agar ibu

mampu mengembalikan semangat

juang dan mengembalikan kondisi

psikologis agar menjadi segar kembali.

2. Kepada SLB Mekar Sari

Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan banyak informasi kepada

para orang tua yang memiliki anak

tunarungu mengenai hal yang

menyangkut tunarungu, agar para

orang tua dapat lebih mengerti dan

memahami mengenai tunarungu.

3. Kepada seluruh masyarakat, hendaknya

memberikan sikap perhatian,

dukungan, penerimaan, dan sikap

empatik kepada ibu yang mempunyai

anak tunarungu dan anak yang

mengalami tunarungu, agar tetap

merasa nyaman dan percaya diri untuk

tetap dapat bersosialisasi dengan

lingkungannya.

4. Untuk Peneliti Selanjutnya

Penulis menyadari bahwa penelitian ini

jauh dari hasil yang memuaskan untuk

itu bagi peneliti yang akan mengadakan

penelitian dengan topik yang sama

hendaknya memperbanyak subjek

penelitian agar lebih bervariasi dan

penelitian dilakukan dengan waktu

yang lebih lama sehingga dapat

melakukan observasi dan wawancara

secara lebih cermat.

DAFTAR PUSTAKA

Alsa, Asmadi. (2003). Pendekatan

kuantitatif & kualitatif serta

kombinasinya dalam

penelitian psikologi.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Basri, A. S. (2002). Problematika

perkawinan. Majalah

AyahBunda. No. 15. Jakarta:

Yayasan Aspirasi Pemuda

Bastaman, Dj Hanna. (1996). Meraih

hidup bermakna. Jakarta:

Paramadina.

Cronbach, Lee J. (1963). Educational

psychology. New York:

Harcourt Brace & World Inc.

Dudung & Sugiharto. (1999). Pedoman

guru pengajaran wicara untuk

anak tunarungu. Jakarta.

Gargiulo. (1985). Working with parents

of exceptional children. A

guide for professional

Hendro, P. & Ira, P. (1997). Psikologi

pendidikan: Seri diktat kuliah.

Jakarta: Gunadarma.

Heru Basuki, A. M. (2006). Penelitian

kualitatif: untuk ilmu-ilmu

kemanusiaan dan budaya.

Jakarta : Universitas

Gunadarma.

J. Donald. Walters. (2006). Rahasia

penerimaan diri. Kanisius:

Yogyakarta.

Jersild, A. T. (1974). Psychology of

adolescence. New York:

McGraw-Hill Book.

Maria, S. Y. (1999). Pedoman guru

pengajaran bina persepsi

bunyi dan irama untuk anak

tunarungu. Jakarta.

Miles, M.B. & Huberman, A.M.

(1992). Analisis data

kualitatif. Jakarta: Universitas

Indonesia Press.

Moleong, L. J. (2005). Metode

pendekatan kualitatif.

Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Page 15: Judul : Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Tunarungu Nama/NPM

Mussen, P.H. (1993). Psikologi

perkembangan dan

kepribadian anak. Jakarta :

Arcan.

Nawawi, H. (2003). Metode penelitian

bidang sosial. Yogyakarta:

Gadjah Mada University

Press.

Poerwandari, K. (1998). Pendekatan

kualitatif untuk penelitian

perilaku manusia (rev.ed).

Jakarta: Lembaga

Pengembangan Sarana

Pengukuran Pendidikan

Psikologi (LPSP3) UI.

Poerwandari, E.K. (2001). Pendekatan

kualitatif untuk penelitian

perilaku manusia. Jakarta:

Lembaga Pengembangan

Sarana Pengukuran dan

Pendidikan Psikologi (LPSP3)

Universitas Indonesia.

Rogers, C.R. 1971. On becoming a

person a therapist’s view of

psychotherapy. London:

Constable & Company. Ltd.

Rubin, T (1974). Dr. rubin, please

make me happy. The common

sense of mental health. New

York: Abror house.

Ryff, C.D. (1996). Psychological well

being. Encyclopedia of

gerontology vol.2. Madison:

Academic Press. Inc.

Safaria, T. (2005). Autisme:

Pemahaman baru untuk hidup

bermakna bagi orang tua.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Schultz, D. (1991). Growth

psychology: Models of the

healthy personality

(terjemahan). Yogyakarta:

Kanisius.

Selikowitz, Mark. (1990). Mengenal

sindrom down. Jakarta:

Penerbit Arcan.

Sugiyono. (1999). Metode penelitian

administrasi. Bandung:

Alfabeta.

Wiwit, W., Jash., Metta. (2003).

Mengkomunikasikan moral

kepada anak. Jakarta: Elex

Media Komputindo.

Yin, R. K. (1994). Studi kasus : desain

dan metode. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.