Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penerimaan Orangtua (Ibu) Yang Memiliki Anak Waria
1. Definisi Penerimaan Orangtua
Penerimaan orangtua menurut Hurlock (2006) merupakan suatu
bagian dari sikap orangtua yang dikarakteristikan dalam bentuk
ketertarikan akan kegembiraan serta rasa cinta terhadap anaknya.
Ditambahkan pula oleh Hurlock, konsep penerimaan orang tua ditandai
oleh perhatian besar dan kasih sayang terhadap anak. Orang tua yang
menerima akan memperhatikan perkembangan kemampuan anak dan
memperhitungkan minat. Anak yang diterima umumnya bersosialisasi
dengan baik, kooperatif, ramah, loyal, secara emosional stabil, dan
gembira.
Sedangkan menurut Lestari (dalam Mayangsari, 2013) penerimaan
orangtua adalah sikap dan cara orangtua dalam memperlakukan anak yang
ditandai dengan adanya komunikasi orangtua dengan anak, perhatian dan
kasih sayang, menghargai anak, memberi kepercayaan, serta
memerlakukan anak sesuai dengan kemampuannya. Orangtua dalam hal
ini adalah lingkungan terdekat dan utama dalam kehidupan anak. Selain
bertanggung jawab terhadap keluarganya, orangtua mempunyai peranan
yang sangat penting dalam perkembangan anak. Perlakuan yang diberikan
oleh orangtua terhadap anaknya akan memberikan dampak baik terhadap
11
relasi orangtua-anak baik secara langsung maupun tidak langsung bagi
anak.
Menurut Johnson & Medinnus (dalam Susanto, 2014) penerimaan
didefinisikan sebagai pemberian cinta tanpa syarat sehingga penerimaan
orangtua terhadap anaknya tercermin melalui adanya perhatian yang kuat,
cinta kasih terhadap anak serta sikap penuh kebahagiaan mengasuh anak.
Sedangkan menurut Rohner & Khalaque (dalam Kosasih, 2016) suatu
kondisi dimana orangtua dapat menerima suatu kenyataan, dimana
orangtua dapat memberi kasih, afeksi, perhatian, kenyamanan dan
dukungan kepada anak mereka terlepas keterbatasan mereka.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa penerimaan
orangtua ialah salah satu bagian dari sikap orangtua terhadap anaknya
dalam pemenuhan kasih sayang. Untuk pemenuhan kasih sayang tersebut
maka orangtua memberikan dalam bentuk komunikasi yang baik dengan
anak, perhatian dan rasa aman serta dukungan agar anak mampu
mengembangkan potensinya. Dengan kata lain penerimaan orangtua ialah
sikap menerima orangtua terhadap anak dengan segala kelebihan dan
kekurangannya.
12
2. Tahapan Penerimaan
Ada beberapa tahapan penerimaan yang akan dilalui oleh orangtua,
adapun tahapan tersebut sesuai dengan teori penerimaan oleh Kubbler
Ross (2008) yakni :
a. Tahap Penolakan (denial)
Tahap ini dimulai dari rasa tidak percaya bahwa anaknya memilih
identitas sebagai waria. Orangtua akan merasa kebingungan, bingung
harus bersikap seperti apa. Orangtua bertanya-tanya mengapa hal ini
bisa terjadi kepada anaknya, Kebingungan ini merupakan suatu hal
yang manusiawi, karena pada dasarnya orangtua mengharapkan yang
terbaik bagi anaknya. Kadang orangtua merasa malu untuk mengakui
bahwa anaknya adalah seorang waria dan akan bertambah buruk
dengan stigma negatif yang diberikan masyarakat.
b. Tahap Marah (anger)
Tahap ini ditandai dengan adanya reaksi emosi atau marah pada
orangtua yang memiliki anak waria, sehingga orangtua menjadi peka
dan sensitif terhadap masalah kecil yang pada akhirnya menimbulkan
kemarahan. Orangtua merasa terbebani dengan norma sosial di
Indonesia yang mengenal bahwa gender hanya dibagi menjadi dua
yakni pria dan wanita. Hal tersebut membuat orangtua diliputi dengan
kemarahan terhadap apa yang terjadi dengan anaknya.
c. Tahap Tawar-Menawar (Bargainning)
13
Tahapan ini merupakan tahap dimana orangtua mulai berusaha untuk
menghibur diri dengan pernyataan seperti ini, “Mungkin kalau kami
menunggu lebih lama lagi, keadaan akan membaik dengan sendirinya”
dan berpikir mengenai upaya apa yang akan dilakukan untuk kebaikan
hidup anaknya.
d. Tahap Depresi (Depression)
Merupakan tahap yang muncul dalam bentuk keputusasaan dan
kehilangan harapan. Kadangkala depresi tersebut dapat juga
menimbulkan rasa bersalah, orangtua merasa bersalah karena tidak
mampu mendidik anak sesuai dengan harapan keluarga dan norma
yang ada dalam masyarakat serta agama. Orangtua kehilangan
harapan terhadap masa depan anaknya, pada tahap depresi orangtua
cenderung murung, menghindar dari lingkungan sosial terdekat, lelah
sepanjang waktu dan kehilangan gairah hidup.
e. Tahap Penerimaan (Acceptance)
Pada tahap ini orangtua sudah mencapai pada titik pasrah dan
mencoba menerima keadaan anaknya dengan tenang. Orangtua pada
tahap ini cenderung mengharapkan yang terbaik dengan kapasitas dan
kemampuan anaknya.
Dari tahapan penerimaan orangtua diatas dapat kita simpulkan
bahwa penerimaan terdiri dari beberapa tahap antara lain tahap penolakan
(denial), kemarahan (anger), tawar-menawar (Bergainning), depresi dan
terakhir sampai pada tahap penerimaan (acceptance).
14
3. Aspek-Aspek Penerimaan Orangtua
Beberapa aspek penerimaan orangtua terhadap anak menurut
Hurlock (1995) meliputi :
a. Terlibat dengan anak. Sikap menerima ditunjukkan dengan
keterlibatan secara aktif orangtua terhadap aktifitas-aktifitas yang
dikerjakan oleh anak, orangtua merasa bahagia bisa mengerjakan
suatu hal bersama anaknya. Maksud dari keterlibatan disini ialah
orangtua merasa senang saat bisa memberi pengaruh dalam hidup
anaknya.
b. Memperhatikan rencana dan cita-cita anak. Orangtua tua ikut turut
serta memikirkan hal yang dapat mengembangkan dan membuat anak
semakin maju dan menjadi lebih baik.
c. Menunjukkan kasih sayang yaitu adanya upaya untuk bisa memenuhi
kebutuhan baik fisik maupun psikis.
d. Berdialog secara baik dengan anak. Orangtua berbicara dengan tutur
kata yang baik dan bijak sebagai cermin bahwa ia ingin menerima dan
menghargai anaknya.
e. Menerima anak sebagai seorang individu (person). Orangtua
menerima anaknya dengan segala kelebihan serta kekurangannya,
tanpa membanding-bandingkan anak dengan anak lainnya, orangtua
menyadari bahwasannya anak merupakan individu unik yang patut
dihargai.
15
f. Memberikan bimbingan dan semangat motivasi. Tidak hanya
dorangan internal yang merupakan dorongan dalam diri anak,
melainkan dorangan eksternal dari orangtua bisa membuat anak
merasa dihargai dan bergairah untuk mencapai tujuan hidupnya.
g. Memberikan teladan. Sudah sepatutnya bagi orangtua mencontohkan
perilaku-perilaku yang baik kepada anaknya, sehingga sebagai
orangtua bukan hanya menuntut melainkan memupuk melalui contoh
perilaku yang dapat mendorong anak menjadi manusia yang lebih
positif.
h. Tidak menuntut berlebihan. Orangtua dapat menerima keadaan
anaknya dan tidak memaksakan anak seperti apa yang diinginkan oleh
orangtua.
Dari pemaparan oleh Hurlock diatas dapat kita simpulkan bahwa
aspek penerimaan orangtua meliputi keterlibatan orangtua dengan anak,
perhatian orangtua terhadap rencana dan cita-cita anak, menunjukkan
kasih sayang kepada anak, komunikasi yang baik dengan anak, menerima
anak sebagai individu (person), memberikan bimbingan serta semangat
motivasi kepada anak, mencontohkan perilaku baik kepada anak dan tidak
menuntut anak secara berlebihan.
Porter (dalam Moningsih, 2012) memaparkan beberapa ciri orang
tua yang telah menerima kondisi anaknya sebagai berikut :
a. Menunjukkan sikap menerima dan memberikan perasaan positif.
Orangtua menerima anak dengan segala kelebihan dan kekurangannya
16
serta menunjukkan afeksi yang positif yang diwujudkan dengan sikap
penuh perhatian dan cinta kasih.
b. Komunikasi yang tetap terjaga. Orangtua tetap berinteraksi dengan
anaknya walau terkadang tidak setuju dengan perbuatan anak, melalui
komunikasi yang baik akan tercipta hubungan yang baik pula.
c. Mendengarkan anak dengan pikiran terbuka. Orangtua dalam
menghadapi permasalahan yang menyangkut anaknya, tidak hanya
memandang dari satu sudut pandang saja. Orang tua tidak serta merta
menghakimi anak tanpa tahu dasar dari perbuatan tersebut.
d. Tidak memaksa untuk mengubah apa yang telah menjadi dasar
(potensi) dari bawaan seseorang. Dengan kata lain berarti orang tua
tidak berusaha memaksa anak untuk melakukan hal-hal yang bukan
menjadi kemampuan dan minatnya.
e. Menerima keterbatasan yang ada. Orang tua dengan lapang dada
menerima keterbatasan anak, tidak menyalahkan anak atas
kekurangannya.
f. Memberikan dukungan dan cinta setiap waktu, berbagi dalam suka
dan duka, tetap mendukung meskipun gagal. Orangtua mendukung
penuh apa yang dikerjakan oleh anaknya, mendorong anak menjadi
pribadi yang optimis.
g. Mencintai tanpa syarat. Dengan kata lain orangtua tidak menuntut
balas dari kasih sayang yang ia berikan kepada anaknya.
17
h. Senang menghabiskan waktu dan melakukan suatu hal bersama
anaknya. Orangtua terlibat dalam kegiatan anaknya namun tidak
mencoba untuk mengatur secara penuh kehidupan anaknya.
Dapat disimpulkan dari penjelasan diatas ciri-ciri penerimaan
orangtua meliputi sikap menerima serta penunjukkan perasaan positif,
komunikasi antara orangtua – anak yang terjaga, mendengar anak dengan
pikiran terbuka, tidak memaksa anak pada hal-hal diluar kemampuannya,
menerima keterbatasan anak, memberi dukungan juga cinta yang tulus
kepada anak, mencintai anak tanpa syarat, dan senang terlibat dalam
kegiatan dan menghabiskan waktu bersama-sama dengan anak.
Pendapat lainnya lagi mengenai aspek-aspek penerimaan orangtua
dikemukakan oleh Mussen, dkk (dalam Hadil, 2012) dalam empat aspek
antara lain :
a. Adanya kontrol, yaitu usaha untuk mempengaruhi aktifitas orientasi
cita-cita anak, membatasi ketergantungan agresif dan perilaku untuk
terus bermain.
b. Tuntutan kematangan, yaitu tekanan pada anak untuk melakukan
sesuatu sesuai dengan kemampuan intelektual, sosial dan emosinya.
c. Komunikasi yang jelas, contohnya menggunakan alasan untuk
menanyakan pendapat anak dan perasaannya.
d. Pengasuhan, meliputi perhatian, kasih sayang dan pemberian pujian
terhadap prestasi anak
18
Berdasarkan aspek-aspek tersebut dapat disimpulkan bahwa
penerimaan orangtua dapat dipengaruhi empat aspek utama yakni, kontrol
orangtua terhadap rencana dan cita-cita anak serta usaha pengendalian
terhadap perilaku anak yang dapat menyebabkan hal-hal buruk, lalu
tuntutan kematangan anak dalam bertidak sesuai dengan kemampuannya,
komunikasi dua arah antara orangtua-anak dan memberikan perhatian,
kasih sayang juga pujian terhadap prestasi anak sesuai dengan porsinya.
Berdasarkan ketiga pendapat ahli yang telah dipaparkan
sebelumnya, dapat ditarik benang merah bahwasannya penerimaan
orangtua meliputi tiga hal utama, yakni komunikasi dua arah antara
orangtua dan anak, lalu pemberian afek yang mecakup kebutuhan fisik dan
psikisnya, serta dukungan kepada anak untuk terus tumbuh dan
berkembang menjadi versi terbaik dirinya, sehingga anak dapat
memaksimal potensi dan kelebihan dalam dirinya.
Sebagai aspek acuan untuk penelitian ini, peneliti memilih aspek-
aspek penerimaan orangtua dari Hurlock sebagai teori utama. Hal ini
didasarkan pada tiga aspek yang belum terjamah dari pendapat ahli
lainnya, adapun aspek tersebut seperti aspek pemberian motivasi,
mencontohkan perilaku teladan dan tidak menuntut anak secara
berlebihan. Ketiga hal tersebut penting untuk mendorong anak menjadi
pribadi yang pantang menyerah dalam menghadapi permasalahan hidup,
dapat berpikir bijak dan sadar bagaimana mengatasi kekurangan serta
memaksimalkan potensi dalam dirinya.
19
4. Faktor Penerimaan Orangtua dan Prinsip Pokok Relasi Orangtua-
Anak
Menurut Hurlock (2006) ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi sikap orangtua terhadap anaknya, sikap inilah yang akan
menjadi dasar penerimaan orangtua terhadap anaknya, berikut
pemaparannya :
a. Keinginan untuk mendapat anak, sebagian orangtua menginginkan
banyak anak sedangkan yang lainnya sedikit, atau sama sekali tidak.
Beberapa orangtua merasa perkawinan tidak lengkap tanpa kehadiran
anak, sedangkan yang lain merasa kehadiran anak dapat mengganggu
pekerjaan dan karirnya.
b. Keadaan fisik selama kehamilan dapat mempengaruhi sikap orangtua.
Apabila saat hamil ibu banyak menderita gangguan maka hal tersebut
akan berpengaruh pada sikap kepada anaknya.
c. Keadaan selama kehamilan, bagi banyak wanita kehamilan merupakan
saat depresi, kecemasan, dan khawatir tentang kelahiran anak,
mempunyai anak yang cacat, atau ketidakmampuan menjadi seorang
ibu, sedangkan bagi yang lain saat-saat tersebut merupakan saat
penantian yang bahagia.
d. Mimpi dan fantasi calon ibu. Rasa takut, keraguan, dan kecemasan
yang dialami oleh calon ibu sering diperkuat oleh mimpi dan fantasi
seperti halnya yang terjadi dalam keadaan emosi bahagia.
20
e. Pengalaman awal dengan anak, pengalaman yang menyenangkan
dapat membuat orangtua mempunyai sikap baik terhadap anaknya.
f. Sikap dan pengalaman teman, pengalaman yang buruk menjadi
orangtua dapat mempengaruhi pandangan calon orangtua.
g. Konsep tentang “Anak Idaman”, bila anak berprilaku tidak sesuai
seperti yang diharapkan orangtua maka orangtua akan merasa kecewa.
h. Kelas sosial orangtua, orangtua dari kelas sosial rendah biasa
menganggap anak sebagai konsekuensi yang tak terelakkan dari
hubungan kelamin sedangkan orangtua pada kelas menengah keatas
menganggap anak sebagai pemenuhan dari perkawianan.
i. Status ekonomi keluarga sangat berpengaruh terhadap sikap dalam
pengasuhan anak.
j. Usia orangtua juga berpengaruh, biasanya orangtua yang telah
berumur lebih bisa menjalankan perannya sepenuh hati daripada
orangtua muda.
k. Ibu yang mempunyai minat untuk menjadi ibu yang baik akan lebih
menguntungkan daripada ibu atau orangtua yang berfokus pada karir.
l. Media massa mempunyai peran besar terhadap sikap ibu kepada
anaknya. Dari media ibu bisa mendapat informasi edukatif dalam
pengasuhan anak.
Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
penerimaan orangtua antara lain, keinginan mempunyai anak, keadaan
fisik juga kondisi saat kehamilan, mimpi juga fantasi calon ibu,
21
pengalaman awal dengan anak, sikap dan cerita pengalaman oranglain,
konsep anak idaman, kelas sosial, status ekonomi, usia, minat ibu terhadap
anak, serta media massa.
Selain faktor-faktor diatas yang dapat memengaruhi penerimaan
orangtua terhadap anak, menurut Hinde (dalam Thompson, 2006), relasi
orangtua-anak mengandung beberapa prinsip pokok, seperti :
a. Interaksi. Orangtua dan anak berinteraksi pada suatu waktu yang
menciptakan suatu hubungan. Berbagai interaksi tersebut membentuk
kenangan pada interaksi di masa lalu dan antisipasi terhadap interaksi
di kemudian hari.
b. Kontribusi mutual. Orangtua dan anak sama-sama memiliki
sumbangan dan peran dalam interaksi, demikian juga terhadap relasi
keduanya.
c. Keunikan. Setiap relasi orangtua anak bersifat unik yang melibatkan
dua pihak, dan karenanya tidak dapat ditirukan dengan orang tua atau
dengan anak yang lain.
d. Pengharapan masa lalu. Interaksi orangtua-anak yang telah terjadi
membentuk suatu cetakan pada pengharapan keduanya. Berdasarkan
pengalaman dan pengamatan, orangtua akan memahami bagaimana
anaknya akan bertindak pada suatu situasi. Demikian juga sebaliknya,
anak kepada orangtuanya.
22
e. Antisipasi masa depan. Karena relasi orangtua-anak bersifat kekal,
masing-masing membangun pengharapan yang dikembangkan dalam
hubungan keduanya.
Dapat disimpulkan bahwa dengan terpenuhinya prinsip pokok
relasi orangtua-anak akan menimbulkan hubungan yang kooperatif.
Orangtua dan anak bisa saling mendukung dan memahami satu sama lain.
Hubungan orangtua dan anak menjadi lebih erat karena sama-sama terlibat
dalam kehidupan masing-masing. Orangtua dapat mempelajari perannya
secara maksimal dalam pengasuhan dan dalam hal mendidik, begitupun
anak dapat memenuhi kebutuhan kasih sayang dan rasa aman dari
orangtua.
5. Waria Dalam Pandangan Masyarakat Indonesia
Menurut (Arfanda & Sakaria, 2015) Kehidupan masyarakat
Indonesia selama ini hanya dikenal dua katergori jenis kelamin, yakni laki-
laki dan perempuan. Keduanya dikonstruk pada posisinya masing-masing
dan tidak boleh ada yang saling bertukar. Laki-laki dengan
kemaskulinannya dan perempuan dengan kefeminimannya serta keduanya
diposisikan untuk berpasangan. Tidak ada tempat untuk laki-laki dengan
laki-laki, perempuan dengan perempuan dan demikian pula laki-laki
dengan identitas penampilan perempuan atau sebaliknya. Masyarakat
terkadang menganggap hal tersebut adalah keabnormalan yang dianggap
berada diluar pola pengaturan yang sudah baku.
23
Pada beberapa daerah kehadiran waria merupakan bagian dari
keseharian masyarakat, tapi di banyak daerah lain waria justru berhadapan
dengan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda). Berbeda
dengan gay dan lesbian yang tidak bisa diidentifikasi secara fisik luput dari
stigma dan diskriminasi. Beberapa negara, seperti Eropa Barat, sudah
mengizinkan pernikahan di kalangan gay dan lesbian. Negara-negara yang
melegalkan pernikahan sesama jenis, yaitu: Belanda, Belgia, Spanyol,
Kanada, Afrika Selatan, Norwegia, Swedia, Portugal, Islandia, Argentina,
Meksiko, Uruguay, New Zeland dan Prancis.
Menurut Bockting dkk (2008) transgender (waria) sendiri dapat
diartikan sebagai suatu kondisi atau keadaan dimana terjadi kesenjangan
secara fisik dan psikis seseorang, ketika seseorang merasa bahwa kondisi
fisiknya tidak sesuai dengan apa yang dirasakan terutama terkait dengan
identitas seks). Setyanti (2011) memaparkan bahwa pria transgender
(Waria) yang hidup dan berada di Indonesia, merupakan bagian dari
negara Indonesia yang sama dengan masyarakat lainnya, Namun dalam
kesehariannya mereka mengalami berbagai tindakan diskriminatif yang
tidak menyenangkan dari kelompok masyarakat. Diskriminasi yang
mereka terima mulai dari pengucilan yang dilakukan pihak keluarga,
dihina dalam lingkungan pendidikan, dikeluarkan dari tempat bekerja,
perbedaan perlakuan dalam menerima pelayanan sosial masyarakat sampai
dengan tindakan pelecehan oleh aparatur pemerintahan dan pihak
kepolisian.
24
Menurut Pedoman Umum Pelayanan Waria (Arfanda & Sakaria,
2015), ada dua permasalahan yang dialamai waria yaitu :
a. Permasalahan Internal
1. Merasa tidak jelas identitas dan kepribadiannya mengakibatkan
waria berada dalam posisi kebingungan, canggung, tingkah laku
berlebihan, dampak lainnya sulit mencari pekerjaan bahkan depresi
dan mau bunuh diri.
2. Merasa terasing dan merasa ditolak mengakibatkan para waria
meninggalkan rumah, frustasi, kesepian,mencari pelarian yang
seringkali makin merugikan dirinya.
3. Merasa ditolak dan didiskriminasi mengakibatkan permasalahan
terutama dalam kehidupan sosial, pendidikan, akses pekerjaan baik
formal maupun informal. Implikasinya adalah banyak waria yang
merasa kesulitan memperoleh pekerjaan, pendidikan, maupun
terhambat proses interaksi sosial.
b. Permasalahan Eksternal
1. Permasalahan keluarga
Pada konteks integrasi dengan keluarga para waria seringkali
dianggap sebagai aib dan mendatangkan kesialan dalam keluarga
sehingga banyak diantara mereka tidak mengakui, mengucilkan,
membuang, menolak, mencemooh bahkan mengasingkan. Selain
itu, keluarga juga menutup atau menarik diri dari masyarakat
2. Permasalahan masyarakat
25
Para waria dan komunitasnya dianggap sebagai sosok yang
melakukan penyimpangan yang banyak menimbulkan masalah di
lingkungan masyarakat. Terutama dari segi permasalahan seksual
yang dapat mempercepat penyebaran IMS (Infeksi Menular
Seksual) dan HIV/ AIDS. Disamping itu masyarakat juga
mempunyai stigma dan penolakan terhadap waria dan keluarganya
sehingga berdampak pada pengucilan sosial, diskriminasi dan
pelecehan serta perlakuan salah lainnya.
3. Data
Belum ada data yang akurat dan mutakhir tentang gambaran profil
waria. Hal ini menyebabkan sulitnya merumuskan program dan
kebijakan, serta rencana kerja bagi lembaga/instansi terkait dan
melaksanakan koordinasi secara terpadu.
4. Kebijakan
Belum optimalnya kebijakan dan peraturan yang memberikan
pelayanan sosial terhadap waria secara terkordinasi, terpadu dan
berkelanjutan sehingga kebutuhan waria terhadap akses ke dunia
pendidikan dan pekerjaan belum memperoleh perhatian yang
optimal.
Menjadi waria di Indonesia masih merupakan hal yang kontroversi.
Keberadaan waria masih dipandang sesuatu yang tidak lazim karena selain
tidak sesuai dengan norma sosial, hal tersebut juga ditentang masyarakat
berdasarkan syariat agama. Waria selalu distigma sebagai sesuatu yang
26
negatif, sehingga membuat waria sulit untuk mengeksplorasi dan
mengaktualisasikan dirinya. Karena ruang geraknya yang sempit sebagian
waria pun bekerja tidak jauh dari bidang kecantikan (salon), mengamen
dan pelacuran.
Terlebih lagi jika waria mendapatkan penolakan dari keluarga dan
orang tua. Membuat para waria kehilangan tempat berlindung, karena pada
dasarnya orangtua dan keluarga merupakan tempat yang bisa memberikan
rasa aman dan dukungan moril. Penolakan dari orangtua disebabkan
karena ketidakmampuan menahan rasa malu dan menanggung beban
memenuhi tuntutan sosial. Lain halnya bila orangtua dapat menerima
segala kondisi anaknya sebagai waria, hal tersebut lebih bisa mendorong
anak menjadi pribadi yang positif serta tidak terjerumus dalam hal-hal
negatif seperti anggapan masayarakat terhadap dunia waria.
6. Dinamika Penerimaan Orangtua (Ibu) Yang Memiliki Anak Waria
Bagi anak, orang tua adalah tempat perlindungan pertama yang
dapat mencurahkan kasih sayangnya. Orang tua sudah selayaknya dapat
memberikan rasa aman dan semua kebutuhan yang diperlukan anak, baik
kebutuhan sandang pangan ataupun kebutuhan afeksi. Seperti halnya yang
disampaikan oleh Ulfiah (2016) bahwa hendaknya orang tua mampu
memahami, menangkap dan turut merasakan apa yang anak rasakan serta
bagaimana kesan atau persepsi anak tentang orang tua.
27
Seiiring berjalannya waktu, menjadi orang tua tidaklah semudah
membalikkan telapak tangan. Ketika anak terus tumbuh dan berkembang
baik dari sisi fisik dan sosioemosionalnya, maka saat itu juga orang tua
mendapatkan tantangan baru dalam mengasuh dan mendidik anaknya.
Sebagai orangtua tentunya mempunyai keinginan memberikan yang
terbaik untuk sang buah hati, namun kadangkala apa yang menurut
orangtua baik bagi anak belum tentu bisa dipatuhi dan dijalankan dengan
baik oleh anak. Pertentangan antara orangtua-anak yang tidak segera
diselesaikan menurut Ulfiah (2016) akan meningkatkan situasi yang penuh
permusuhan dan konflik yang semakin membesar.
Menurut Adam & Lauren (2001) konflik antara orang tua dengan
anak pada umumnya bersifat hierarkis dan berkenaan dengan kewajiban.
Dimana dalam hal ini orang tua berada pada posisi yang lebih tinggi
sedangkan anak memiliki kewajiban untuk taat kepada orangtua. Sehingga
hal ini menyebabkan orangtua tidak menghiraukan faktor-faktor lain yang
menjadi pemicu konflik, orangtua berpandangan bahwa sebagai anak
sudah sewajibnya mematuhi semua perintah dari orang tua.
Sama halnya dengan konflik orangtua yang memiliki anak waria.
Secara umum walaupun tidak semua orang tua menolak terang-terangan
identitas anaknya sebagai waria namun hal tersebut terus menjadi konflik
antara orangtua dan anak yang berkepanjangan, karena status sebagai
waria bukanlah hal yang biasa di masyarakat Indonesia. Selain hal tersebut
tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada di Indonesia, hal ini juga
28
bertentangan dengan norma agama. Dimana disebutkan dalam HR. Ahmad
no.3151, yang artinya”Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita,
begitu pula wanita yang menyerupai laki-laki”.
Menurut Smetana (2004) cara pandang orangtua dan anak yang
berbeda terhadap konflik dan ketidaksetujuan pada suatu hal dikarenakan
orangtua selalu melihat dari sudut pandang kewenangan orangtua dan
tatanan sosial. Dimana pada tatanan sosial masyarakat di Indonesia
menurut Sakaria (2015) jenis kelamin dibagi menjadi dua kategori yakni
laki-laki dan perempuan, laki-laki dengan maskulinitasnya dan perempuan
dengan feminimitasnya dan kedua hal tersebut tidak boleh saling tertukar.
Sehingga berdasarkan hal-hal tersebut yang menjadi alasan orangtua tidak
begitu saja bisa menerima identitas anaknya.
Melihat dari perspektif kewenangan orangtua, orangtua
menganggap konflik terselesaikan ketika anak sudah menyetujui dan
mengikuti pendapat orangtua. Oleh karena itu, pada umumnya menurut
Demo (dalam Ulfiah, 2016) orangtua sering menilai hubungan dengan
anak baik-baik saja dan konflik di antara mereka bukanlah suatu yang
terlalu keras dan sering. Namun, dari sudut pandang anak, mematuhi atau
menuruti pendapat orang tua setelah terjadinya perbedaan, pertentangan,
atau konflik tidak selalu berarti konflik itu sudah selesai.
Aspek keterlibatan menurut Hurlock (1995) merupakan aspek yang
penting terhadap penerimaan orangtua. Penolakan dari orangtua otomatis
akan menghilangkan keterlibatannya dalam hidup anak, karena penolakan
29
menandakan bahwa orangtua tidak ingin ambil pusing terhadap anaknya.
Orangtua yang membiarkan anaknya begitu saja, akan membuat anak
merasa tidak berguna dan rendah diri.
Hilangnya aspek keterlibatan juga akan menghilangkan komunikasi
dua arah antara orangtua dan anak, sehingga anak tidak dapat
mendiskusikan tentang rencana dan cita-citanya ke depan. Buruknya
komunikasi membuat anak akan melakukan hal semaunya sendiri, anak
tidak menghiraukan pendapat-pendapat lain karena keputusannya berpusat
pada diri sendiri. Tidak adanya komunikasi yang baik juga akan
menimbulkan kesalahpahaman yang berkepanjangan antara anak dan
orangtua, keinginan orangtua dan anak tidak akan sampai pada titik tengah
yang dapat menguntungkan kedua belah pihak.
Komunikasi yang tidak seimbang dan solutif, membuat orangtua
hanya akan menuntut suatu yang ideal dalam sudut pandangnya namun
membuat anak tertekan karena diluar batas kemampuannya. Orangtua
terus menuntut anak untuk patuh terhadap kemauannya sehingga
mengabaikan kesejahteraan anak. Sehingga anak yang kesejahteraannya
terhambat menurut Hurlock (2006) cenderung akan bertumbuh menjadi
pribadi dengan rasa dendam, perasaan tidak berdaya, frustasi, perilaku
gugup dan sikap permusuhan terhadap orang lain.
Menerima anak sebagai individu (person) berarti orangtua
menghargai setiap kelebihan dan kekurangan dalam diri anak. Penerimaan
orangtua akan mengarahkan pada sikap tidak terbebani dengan kekurangan
30
anak, melainkan fokus dengan cara bagaimana untuk bisa membimbing
dan memotivasi anak sehingga memaksimalkan potensi yang ada di dalam
dirinya.
Apabila anak sudah diterima sebagai individu, maka orangtua dapat
membangun kepercayaan anak dan bisa mempengaruhi anak melalui
perilaku-perilaku teladan seperti halnya mendorong anak dalam hal-hal
baik, namun tidak berusaha mengarahkan anak menjadi pribadi ideal diluar
karakteristik dan kemampuan anak.
Bila semua aspek penerimaan diri terpenuhi maka hal tersebut
dapat memberikan dampak yang positif tidak hanya pada orangtua tapi
juga anaknya. Orangtua yang mampu menerima anak dengan segala
kondisi akan hidup lebih tenang dan menganggap anak sebagai anugerah
Tuhan yang harus dijaga dan dirawat dengan baik. Anak pun merasa
bahwa keberadaannya dihargai dan lebih terdorong untuk menjadi pribadi
yang bermanfaat bagi orangtua dan keluarga.
Berdasarkan uraian diatas, penerimaan orangtua merupakan hal
yang penting untuk diberikan kepada anak. Hal ini sejalan dengan yang
disampaikan Hurlock (2006), bahwa orangtua yang menerima,
memperhatikan, perkembangan kemampuan anak dan memperhitungkan
minat anak akan membuat anak dapat bersosialisasi dengan baik,
kooperatif, ramah, loyal, secara emosional stabil dan lebih gembira.
Penerimaan orangtua juga akan membangun hubungan emosional yang
jauh lebih kuat. Penerimaan orangtua juga akan berdampak pada
31
pertumbuhan diri anak, anak akan menjadi lebih percaya diri dan merasa
berharga.
B. Pertanyaan Penelitian
1. Central Question :
Bagaimana gambaran penerimaan diri orang tua yang memiliki anak
waria?
2. Sub Question :
a. Bagaimana keterlibatan anda dalam hidup anak?
b. Bagaimana anda menanggapi rencana dan cita-cita anak ?
c. Bagaimana cara anda dalam mengasihi anak ?
d. Bagaimana komunikasi yang terjalin antara anda dan anak ?
e. Apa yang anda ketahui tentang kondisi anak saat ini?
f. Bagaimana bentuk bimbingan dan motivasi yang anda berikan pada anak ?
g. Bagaimana cara anda mendidik anak ?
h. Apa yang anda harapkan dari anak anda ?