Upload
jakabanda
View
184
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
HUKUM KELUARGA DI BRUNEI DARUSSALAM DAN INDONESIA
(Analisis Deskriptif Komparatif)
A. Pendahuluan
Hukum keluarga adalah hukum yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan
individu manusia. Hukum ini ada dengan tujuan untuk mengatur dan memberikan rambu-
rambu bagi perilaku individu dalam kehidupannya berkeluarga atau berumah tangga.
Pada awalnya hukum keluarga hanya berdasarkan pada hukum agama dan/atau
hukum adat. Akan tetapi, dalam perkembangannya hukum ini diintervensi oleh Negara.
Dengan maksud untuk menciptakan keseragaman dan ketertiban hidup bermasyarakat
dan bernegara.
Tidak hanya Negara-negara Islam yang menerapkan hukum Islam sebagai hukum
positif di negaranya. Namun, banyak Negara-negara seperti di Asia tenggara yang
melakukan hal tersebut, seperti Brunei Darussalam dan Indonesia.
Walaupun kedua Negara tersebut sama-sama menjadikan hukum Islam sebagai
sumber rujukan hukumnya. Akan tetapi, terdapat perbedaan-perbedaan prinsipil di antara
keduanya. Dari perbedaan yang ada itulah nanti akan dapat terlihat Negara mana yang
lebih menerapkan hukum Islam sebagai hukum positif di negaranya.
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas terlebih dahulu secara rinci hukum
keluarga yang diterapkan di Negara Brunei Darussalam yang notabene terkenal dengan
Negara Islam. Apakah hukum Islam menjadi rujukan satu-satunya bagi hukum keluarga
positif di negaranya? Apakah kaum minoritas (non muslim) Brunei terikat dengan hukum
keluarga positif yang bersumber dari hukum Islam? Dan apa saja perbedaannya dengan
hukum keluarga di Indonesia?
1
B. Pembahasan
Brunei Darussalam (yang berarti Negara Brunei yang penuh kedamaian)
merupakan nama resmi Negara dengan Ibukota Bandar Seri Begawan. Negara ini
memiliki luas Wilayah 5.765km2 dengan jumlah penduduk 357.800 jiwa (2004). Bentuk
Negara Kesultanan Konstitusional dengan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan
Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan Haji Hassanal Bolkiah
Mu’izzaddin Wadaulah, Sultan dan Yang Dipertuan Negara Brunei Darussalam. Agama
yang mayoritas dianut adalah Islam, selebihnya Kristen, Budha, dan Animisme. Brunei
terbagi menjadi 4 distrik, yaitu : distrik Brunei Muara, distrik Tutong, distrik Belait, dan
distrik Temburong. Sistem politik dan pemerintahan Brunei Darussalam menganut
bentuk pemerintahan Kerajaan Mutlak (Monarchy Absolut ) yang bersendikan kepada
ajaran Islam menurut golongan Ahli Sunnah Waljamaah dengan berdasarkan kepada
keadilan, amanah, dan kebebasan. Sultan Hassanal Bolkiah merupakan Kepala Negara,
Kepala Pemerintahan dan Pemimpin Keagamaan sekaligus merangkap menteri
pertahanan dan menteri keuangan. Sultan Bolkiah adalah keturunan ke-29 yang
memerintah negeri tersebut dalam silsilah yang berumur 500 tahun.1
Sejarah masuknya Islam di Brunei dimulai pada saat penguasa Brunei, yaitu
Wang Alak Betatar, masuk Islam pada tahun 1425 (ketika kunjungannya ke Malaka
untuk menemui Sultan Muhammad Syah).2 Kesultanan Brunei menjadi Negara yang kuat
pada awal abad keenam belas. Namun, mulai abad ketujuh belas, kekuasaan Kesultanan
Brunei sedikit demi sedikit berkurang akibat adanya konsesi yang dibuat dengan Belanda,
Inggris, Raja Serawak, British North Borneo Company dan serangan-serangan para
pembajak. Pada abad kesembilan belas wilayah Brunei tereduksi menjadi sangat
kecilsampai batas-batas yang ada sekarang.3 Negara ini terus mengalami penurunan
kekuasaan hingga akhirnya berhasil menjadi Negara Kesultanan yang merdeka dan
berdaulat pada tanggal 1 Januari 1984.4
1 Sekilas Profil Negara Brunei Darussalam. Dalam http://www.presidenri.go.id/index.php/fokus/2006/02/27/245.html diakses tanggal 26 Oktober 2010.2 Innamullah Khan (Ed.). The world Muslim Gazeteer. Delhi: International Islamic Publisher, 1992. Hal. 175. Dalam M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern. Jakarta: Ciputat Press, 2003. Hal. 176.3 Acep Zoni Saeful Mubarok. Dalam M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern. Jakarta: Ciputat Press, 2003. Hal. 176-177.4 Ibid. hal. 175-176.
2
Bentuk pemerintahan Brunei menurut Konstitusi di Kesultanan dijalankan oleh
Majelis Umum, Dewan Menteri, dan Badan Legislatif. Sultan mempunyai kekuasaan
yang sangat besar. Kekuasaan eksekutif tertinggi berada di tangan Sultan sebagai Menteri
Besar (Ketua Menteri) yang berdasarkan jabatannya juga menjadi anggota badan
legislative. Para anggota dewan Menteri dipilih dan diketuai oleh Sultan sendiri.5
1. Sejarah Perundang-undangan Dan Hukum
Sebelum kedatangan Inggris, Undang-Undang yang dilaksanakan di Brunei
adalah Undang-Undang Islamyang telah dikanunkan dengan Hukum Kanun Brunei.
Hukum Kanun Brunei tersebut telah ditulis pada masa pemerintahan Sultan Hasan
(1065-1619 M) yang disempurnakan oleh Sultan Jabbar (1619-1652 M).6 Kemudian,
Inggris mulai mencampuri urusan bidang Mahkamah Kesultanan Brunei pada tahun
1847. Karena pada tahun inilah hubungan resmi dengan Inggris dimulai. Pemerintah
Inggris di Brunei semakin jauh mencampuri urusan hukum Brunei setelah diadakan
perjanjian tahun 1856. Dengan perjanjian ini Inggris merasa memiliki saluran untuk
mengintervensi masalah kehakiman Kesultanan Brunei. Selanjutnya, pemberian
kekuasaan dalam bidang hukum secara penuh baru diberikan kepada Inggris setelah
ditandatanganinya perjanjian tahun 1888 dalam artikel VII yang di dalamnya terdapat
dua aturan, yaitu:7
a. Kekuasaan hukum dan kriminalitas diberikan kepada komite kehakiman
Inggris untuk menangani kasus rakyatnya, kasus rakyat asing dari negara-
negara jajahan Inggris dan kasus rakyat Negara lain jika mendapat persetujuan
pemerintah Negara mereka.8
b. Kekuasaan hukum untuk mengadili kasus yang melibatkan rakyat Brunei jika
rakyat Brunei dalam kasus tersebut adalah seorang penuntut atau jaksa. Tetapi
5 Redaksi Ensiklopedi. Ensiklopedi. Hal. 50.6 Haji Mahmud Saedon Awang Othman. Mahkamah Syariah di Negara Brunei Darussalam dan Permasalahannya. Dalam Mimbar Hukum No. 23 Th. VI, 1995, hal. 41-42. Dalam M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern. Jakarta: Ciputat Press, 2003. Hal. 178.7 Ibid. hal. 178-179.8 (Bidang kuasa dan jenayah kepada jawatan kuasa kehakiman Inggris untuk mengendalikan kes rakyatnya, kes rakyat asing dari Negara-negara jajahan Inggris dan kes rakyat Negara lain jika mendapat persetujuan kerajaan Negara mereka.)
3
jika di dalam sesuatu kasus itu, rakyat Brunei adalah orang yang dituntut atau
didakwa maka kasus itu akan diadili oleh Mahkamah Lokal.9
Pada tahun 1906, kekuasaan yang lebih luas dalam bidang hukum diberikan melalui
sebuah perjanjian. Dengan perjanjian tersebut Inggris lebih leluasa dalam mendapatkan
kekuasaan untuk mengintervensi dalam urusan perundang-undangan, pentadbiran keadilan dan
kehakiman, masalah Negara dan pemerintahan kecuali dalam perkara-perkara agama Islam.
Karena Undang-Undang adat dan kedudukan hukum syara’ dirasa tidak begitu jelas,
Kesultanan Brunei member petisi kepada Pesuruhjaya British pada 2 Juli 1906 yang isinya
menuntut:
(1) Setiap kasus yang berkaitan dengan agama Islam diadili oleh hakim-hakim
setempat.
(2) Meminta agar adat-adat dan Undang-Undang setempat tidak dirombak,
dipindah dan dilanggar selama-lamanya.
Dari kedua petisi ini, yang disetujui oleh Inggris hanya masalah nomor satu dan
ditindaklanjuti dengan mengembangkan Mahkamah Syari’ah yang akan mengendalikan urusan-
urusan agama Islam. Sedangkan yang kedua ditolak, penolakan itu didasarkan pada tujuan
perjanjian 1906 adalah untuk memperbaiki adat dan undang-undang setempat sebagai langkah
untuk menyelamatkan Brunei dari kehilangan-kehilangan wilayahnya. Untuk seterusnya
Mahkamah Syari’ah Brunei hanya dibenarkan melaksanakan undang-undang Islam yang
berikatan dengan perkara-perkara kawin, cerai, dan ibadat (khusus) saja. Sedangkan masalah
yang berkaitan dengan jinayat diserahkan kepada undang-undang Inggris yang berdasarkan
Common Law England.10
Peraturan dan perundang-undangan di Brunei terus menerus dirombak, seperti pada tahun
1912 Majlis Mesyuarat Negeri telah mengundangkan undang-undang agama Islam11 yang
9 Bidang kuasa untuk menghakimkan kes yang melibatkan rakyat Brunei jika rakyat Brunei dalam kes tersebut merupakan seorang penuntut atau pendakwa. Tetapi jika di dalam sesuatu kes itu, rakyat Brunei adalah orang yang dituntut atau didakwa maka kes itu akan diadili oleh Mahkamah Tempatan.
10 Acep Zoni Saeful Mubarok. Dalam M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern. Jakarta: Ciputat Press, 2003. Hal. 179-180.11 Bandingkan dengan pendapat Hooker yang mengatakan bahwa Perundang-undangan modern tentang Islam pertama di Brunei adalah Perundang-undangan Islam Tahun 1912. Perundang-undangan ini merupakan pencampuran antara peraturan tempatan dengan peraturan…..Lihat M. B. Hooker. Islamic Law In South East. Singapore: Oxford University Press, 1984. Hal. …………………………..
4
dikenal dengan “Muhammadans Law Enactement”12 yang disempurnakan pada tahun 1913
dengan aturan yang dikenal dengan“Muhammadans Marriages and Divorce Enactement”.13
Sampai yang terakhir yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Majlis Ugama, Adat
Negeri dan Mahkamah Kadi tahun 1955, yang telah berlaku pada tanggal 1 Januari 1956.14
Setelah tahun itu berturut-turut undang-Undang mengalami amandemen yaitu mulai tahun 1957,
1960, 1961, dan 1967.15 Ketika terjadi Revision Laws of Brunei pada tahun 1984, Undang-
Undang inipun mengalami revisi tapi hanya sedikit saja disamping namanya ditukar dengan Akta
Majlis Ugama dan Mahkamah Kadi Penggal 77.16
Sebenarnya perundang-undangan ini, menurut Hooker, didasarkan pada perundangan
yang berlaku di negeri Kelantan dengan mengalami penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi
Brunei. Peraturan ini membuat peraturan tentang:17
a. Pendahuluan (Bagian I pasal 1-4)
b. Majlis Ugama Islam (Bagian II pasal 5-44)
c. Mahkamah syari’ah (Bagian III pasal 45-96)
d. Masalah Keuangan (Bagian IV pasal 97-122)
e. Masjid (Bagian V pasal 123-133)
f. Perkawinan dan perceraian (Bagian VI pasal 134-156)
g. Nafkah Tanggungan (Bagian VII pasal 157-163)
h. Muallaf (Bagian VIII pasal 164-168)
i. Kesalahan (Bagian IX pasal 169-195)
j. Perkara Umum (Bagian X pasal 196-204)
2. Hukum Keluarga Islam
Undang-undang keluarga Islam Brunei yang terdapat dalam Undang-undang
Majelis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi Penggal 77 bentuk dan kandungannya
masih sama dengan undang-undang Majlis Ugama Islam, Adat Negeri dan 12 Undang-Undang ini hanya berkaitan dengan masalah kesalahan-kesalahan dalam ibadah dan hukum keluarga, khususnya nikah dan cerai bagi orang-orang Islam.13 Peraturan ini hanya sebagai penyempurna pelaksana aturan-aturan dalam Muhammadan Law, yang isinya berkenaan dengan peraturan nikah dan cerai bagi orang Islam.14 Undang-Undang ini bertujuan menyatukan Undang-Undang yang berkenaan dengan Majlis Ugama dan Undang-Undang Adat Istiadat Melayu.15 Tahir Mahmood. Personal Law In Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis. New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987. Hal. 198-199.16 ……………………………………………………. Dalam atho’ hal 18117 M. B. Hooker. Islamic Law In South East. Hal…………… Lihat juga Mahmood. Personal Law In Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis.hal……….
5
Mahkamah Kadi No. 20/1955. Dalam undang-undang tersebut masalah hukum
keluarga Islam diatur hanya 29 Bab yaitu di bawah aturan-aturan Marriage and
Divorce di bagian VI yang diawali dari pasal 134-156, dan Maintenance of
Dependent di bagian VII yang dimulai dari pasal 157-163.18
a. Pembatalan Pertunangan
Perbuatan membatalkan perjanjian pertunangan oleh pihak laki-laki
yang dibuat baik secara lisan maupun secara tertulis yang dilakukan mengikuti
hukum Islam, akan berakibat pada pihak laki-laki, yaitu harus membayar
sejumlah mas kawin, ditambah dengan perbelanjaan yang diberikan secara
suka rela untuk persiapan perkawinan. Apabila yang membatalkan perjanjian
tersebut dari pihak perempuan, maka hadiah pertunangan harus dikembalikan
bersama dengan uang yang diberikan dengan suka rela. Semua pembayaran
balik yang digariskan tadi bisa didapatkan kembali melalui pengadilan.19 Hal
ini tidak dijelaskan dalam fiqh Syafi’i secara eksplisit.20
b. Pendaftaran Nikah
Dalam Undang-undang Brunei orang yang bisa menjadi pendaftar
nikah cerai selain kadi besar dan kadi-kadi adalah imam-imam masjid,
disamping imam-imam itu merupakan juru nikah yang diberi kuasa (tauliah)
untuk menjalankan setiap akad nikah.21 Orang biasa melangsungkan sebuah
pernikahan adalah orang yang diberi tauliah oleh sultan atau yang diberi
kuasa oleh hukum untuk orang Islam, tetapi dalam hal ini kehadiran dan
kebenaran pendaftar juga diperlukan.22 Walaupun demikian pernikahan yang
tidak mengikuti aturan ini tetap dilangsungkan (sah), tetapi menurut aturan
hukum muslim dianggap sah dan hendaknya didaftarkan.23 Sedangkan yang
dinamakan perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan yang tidak
mengikuti hukum madzhab yang dianut oleh kedua belah pihak.24 Aturan-
aturan yang berlaku di atas merupakan reformasi hukum keluarga Islam yang
18 …………………..atho’ hal 18219 Pasal 136………………tahir mahmood hal 20020 Atho’ hal 18321 Pasal 135 ayat (1) dan (2)22 Pasal 137 ayat (1) dan (2)23 Pasal 135 ayat (3)24 Pasal 138
6
sifatnya regulatory, karena dengan tidak adanya pencatatan dan pendaftaran
tidak menyebabkan batalnya suatu perkawinan. Bahkan dalam hal ini ternyata
di Brunei terasa lebih longgar dibanding dengan Negara Indonesia, karena
dengan tidak mendaftarkan perkawinan tersebut tidak merupakan suatu
pelanggaran.25
c. Wali Nikah
Persetujuan kedua belah pihak dalam perkawinan sangat diperlukan.
Di samping itu, wali pengantin perempuan pun harus memberikan persetujuan
atau Kadi yang mempunyai kewenangan bertindak sebagai wali raja yaitu
apabila tidak terdapat wali nasab atau wali nasab tidak menyetujui dengan
alasan yang kurang tepat.26
Aturan perwalian ini dikenal dalam madzab Syafi’i, di mana seorang
perempuan yang menikah harus mendapat izin dari walinya dan seandainya
tidak mempunyai wali, maka Sultan (penguasa) yang menjadi wali orang yang
tidak mempunyai wali.27
d. Perceraian yang Dilakukan Suami
Jika perempuan cerai sebelum disetubuhi maka ia tidak boleh
dikawinkan dengan orang lain kecuali dengan suaminya yang terdahulu dalam
masa iddah kecuali telah dibenarkan oleh Kadi yang berkuasa dimana ia
tinggal.28 Namun, ketentuan ini berbeda dengan kesepakatan para ulama
madzab (karena Brunei mendasarkan hukumnya pada hukum Islam khususnya
madzab Syafi’i) yang menyatakan bahwa wanita yang ditalak sebelum
melakukan khalwat, tidak mempunyai iddah.29
Dalam Undang-undang Brunei selanjutnya disebutkan bahwa bagi
perempuan yang dicerai dengan talak tiga tidak boleh nikah lagi dengan
suaminya yang terdahulu kecuali ia kawin dengan laki-laki lain dengan cara
yang sah dan bersetubuh dengannya kemudian diceraikan dengan cara yang
25 Atho’……hal 18526 Pasal 13927 Lihat al-Imam Abu Abdullah………………………..dalam atho’ hal 18628 Pasal 140 (c)29 Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqh Lima Madzab. ……….Lihat Q.S. Al-Ahzab ayat 49
7
sah sesuai dengan undang-undang.30 Peraturan perceraian Brunei yang lainnya
adalah seorang suami bisa menceraikan istrinya dengan talak satu, dua, atau
tiga menurut hukum muslim. Seorang suami mesti memberitahukan tentang
perceraiannya kepada pendaftar dalam tempo 7 hari.31 Seorang perempuan
yang sudah menikah bisa juga mengajukan permohonan cerai kepada Kadi
dengan mengikuti hukum muslim. Apabila suaminya rela, hendaknya ia
mengucapkan cerai kemudian didaftarkan, dan Kadi akan mengeluarkan akta
perceraian kepada kedua belah pihak.32
e. Perceraian dengan Talak Tebus
Di Brunei juga diberlakukan aturan yang menyatakan bahwa jika
pihak tidak menyetujui perceraian denagn penuh kerelaan, maka kedua belah
pihak bisa menyetujui perceraian dengan tebusan atau cerai tebus talak. Kadi
akan menilai jumlah yang perlu dibayar sesuai dengan taraf kemampuan
kedua belah pihak tersebut serta mendaftarkan perceraian itu.33
f. Talak Tafwid, Fasakh dan Perceraian oleh Pengadilan
Dalam ketentuan di Negara Brunei, seorang perempuan yang telah
menikah bisa juga memohon perceraian berdasarkan syarat dalam surat taklik
yang dibuat pada masa pernikahan.34 Perempuan di Brunei juga bisa memohon
kepada Mahkamah Kadi untuk mendapatkan perceraian lewat fasakh, yaitu
suatu pernyataan pembubaran perkawinan menurut hukum Muslim.
Pernyataan fasakh ini tidak akan dikeluarkan, kecuali mengikuti hukum
muslim dan pihak perempuan dapat memberikan keterangan dihadapan
sekurang-kurangnya dua saksi dengan mengangkat sumpah atau membuat
pengakuan.35 Bagi istri yang dicerai oleh suaminya bisa mengajukan
pemberian penghibur atau Mut’ah kepada Kadi dan setelah mendengarkan
kedua belah pihak Kadi memerintahkan untuk membayarnya.36
g. Hakam (Arbitrator)
30 Pasal 140 (d)31 Pasal 144 (1) dan (2)32 Pasal 145 (1) dan (2)33 Pasal 145 (3)34 Pasal 146 (1)35 Pasal 14736 Pasal 148
8
Apabila selalu muncul masalah antara suami dan istri, maka Kadi bisa
mengangkat seorang, dua orang pendamai atau hakam dari keluarga yang
dekat dari masing-masing pihak yang mengetahui keadaannya.37 Kadi
memberikan petunjuk kepada hakam untuk melaksanakan arbitrasi dan harus
melaksanakannya sesuai dengan hukum Muslim.38 Apabila kadi tidak sanggup
atau tidak menyetujui apa yang dilakukan oleh hakam, kadi akan mengganti
dan mengangkat hakam yang lain.39 Demikian pula jika hakam berpendapat
bahwa pihak-pihak ini layak bercerai tetapi dengan tanpa adanya alasan untuk
menyatakan perceraian, maka Kadi akan mengangkat hakam yang lain dan
akan memberikan otoritas untuk mempengaruhi perceraian.40
h. Ruju’
Dalam Undang-Undang ini disebutkan adanya ruju’ setelah
dijatuhkannya talak, yaitu apabila cerainya dengan talak satu atau dua.
Tinggal bersama setelah bercerai mesti berlaku dengan kerelaan kedua belah
pihak denagn syarat tidak melanggar hukum Muslim dan kadi harus
mendaftarkan untuk “tinggal bersama” itu.41 Apabila perceraian yang bisa
dirujuk kembali dilakukan dengan tanpa sepengetahuan istri, maka ia tidak
dapat diminta untuk tinggal bersama sampai diberitahukan tentang perkara
itu.42 Kemudian jika setelah menjatuhkan talak -yang masih bisa dirujuk
kembali- pihak suami mengucapkan ruju’ dan pihak istri menerimanya, maka
istri dapat diperintahkan oleh kadi untuk tinggal bersama, tetapi pihak tersebut
tidak bisa dibuat sekiranya pihak istri tidak memberi kerelaan.43
i. Surat Kematian
Apabila suami telah meninggal dunia atau diyakini ia telah meninggal
dunia atau tidak terdengar beritanya dalam waktu yang lama, untuk bisa
menikah kembali ia harus menganggap mati sesuai dengan hukum keluarga
orang Islam. Tapi karena Surat Kematian di bawah Birth and Registration
37 Pasal 149 (1)38 Pasal 149 (2)39 Pasal 149 (3)40 Pasal 146 (5)41 Pasal 150 (1), (2), dan (3)42 Pasal 150 (5)43 Pasal 150 (6): (a) dan (b)
9
Enactment tidak bisa didapatkan, maka seorang Kadi dapat mengelua\rkan
surat pernyataan kematian supaya pihak istri bisa kawin lagi, tentunya setelah
mengadakan penyelidikan yang tepat.44 Seorang istri tidak bisa menikah
kembali tanpa adanya surat pernyataan tersebut walaupun Pengadilan Tinggi
telah mengesahkan atas pernyataan kematian suaminya.45
j. Nafkah dan tanggungan anak
Pembicaan nafkah hanya dipakai dalam tuntutan yang dibuat oleh
orang Islam terhadap orang Islam yang lainnya. Yang termasuk kedalam ini
adalah para istri anak sah yang masih belum dewasa, orang yang tidak mampu
membiayai (fiskal), orang yang berpenyakit dan anak diluar nikah. Tiga syarat
?????????????? ini bisa dijadikan tuntutan46 berdasarkan hukum Muslim
yang dalam hal menentukan hak untuk nafkah. Dalam kasus anak diluar
nikah, Mahkamah Kadi akan membuat ketentuan yang dianggap sesuai.47
Perintah bisa dikuatkan melalui Mahkamah Majistret atau Mahkamah Kadi
Besar.48
C. Analisis Komparatif
Dalam sub bab ini penulis akan membandingkan ketentuan Hukum Keluarga
Islam yang berlaku di Brunei dan Indonesia (Undang-Undang Perkawinan No. 7 Tahun
1974). Di mana kedua Negara ini sama-sama menggunakan hukum Islam sebagai sumber
rujukannya. Dari pemaparan table di bawah ini, maka akan terlihat apakah hukum Islam
menjadi rujukan satu-satunya bagi hukum keluarga positif di Brunei? apakah kaum
minoritas (non muslim) Brunei terikat dengan hukum keluarga positif yang bersumber
dari hukum Islam? dan apa saja perbedaannya dengan hukum keluarga di Indonesia?
serta akan dapat terlihat Negara mana antara Brunei dan Indonesia yang lebih
menerapkan hukum Islam sebagai hukum positif di negaranya.
No. Perihal PersamaanPerbedaan
Brunei Indonesia
44 Pasal 151 (1)45 Pasal 151 (2)46 Pasal 158-16047 Pasal 16148 Pasal 163
10
1.Pembatalan pertunangan
- Diatur dalam pasal 136Tidak diatur dalam UU perkawinan No. 7 Tahun 1974
2.Pendaftaran dan Pencatatan Nikah
Diatur masalah pendaftaran dan pencatatan nikah
Tidak mendaftarkan perkawinan bukan merupakan pelanggaran
Tidak mendaftarkan perkawinan bukan merupakan pelanggaran
D. Simpulan
Alamat web: segala2 tentang brunei http://www.muib.gov.bn/
DAFTAR PUSTAKA
11