17
HUKUM KELUARGA DI BRUNEI DARUSSALAM DAN INDONESIA (Analisis Deskriptif Komparatif) A. Pendahuluan Hukum keluarga adalah hukum yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan individu manusia. Hukum ini ada dengan tujuan untuk mengatur dan memberikan rambu-rambu bagi perilaku individu dalam kehidupannya berkeluarga atau berumah tangga. Pada awalnya hukum keluarga hanya berdasarkan pada hukum agama dan/atau hukum adat. Akan tetapi, dalam perkembangannya hukum ini diintervensi oleh Negara. Dengan maksud untuk menciptakan keseragaman dan ketertiban hidup bermasyarakat dan bernegara. Tidak hanya Negara-negara Islam yang menerapkan hukum Islam sebagai hukum positif di negaranya. Namun, banyak Negara-negara seperti di Asia tenggara yang melakukan hal tersebut, seperti Brunei Darussalam dan Indonesia. Walaupun kedua Negara tersebut sama-sama menjadikan hukum Islam sebagai sumber rujukan hukumnya. Akan tetapi, terdapat perbedaan-perbedaan prinsipil di antara keduanya. Dari perbedaan yang ada itulah nanti akan dapat terlihat Negara mana yang lebih menerapkan hukum Islam sebagai hukum positif di negaranya. 1

HKI

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: HKI

HUKUM KELUARGA DI BRUNEI DARUSSALAM DAN INDONESIA

(Analisis Deskriptif Komparatif)

A. Pendahuluan

Hukum keluarga adalah hukum yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan

individu manusia. Hukum ini ada dengan tujuan untuk mengatur dan memberikan rambu-

rambu bagi perilaku individu dalam kehidupannya berkeluarga atau berumah tangga.

Pada awalnya hukum keluarga hanya berdasarkan pada hukum agama dan/atau

hukum adat. Akan tetapi, dalam perkembangannya hukum ini diintervensi oleh Negara.

Dengan maksud untuk menciptakan keseragaman dan ketertiban hidup bermasyarakat

dan bernegara.

Tidak hanya Negara-negara Islam yang menerapkan hukum Islam sebagai hukum

positif di negaranya. Namun, banyak Negara-negara seperti di Asia tenggara yang

melakukan hal tersebut, seperti Brunei Darussalam dan Indonesia.

Walaupun kedua Negara tersebut sama-sama menjadikan hukum Islam sebagai

sumber rujukan hukumnya. Akan tetapi, terdapat perbedaan-perbedaan prinsipil di antara

keduanya. Dari perbedaan yang ada itulah nanti akan dapat terlihat Negara mana yang

lebih menerapkan hukum Islam sebagai hukum positif di negaranya.

Oleh karena itu, makalah ini akan membahas terlebih dahulu secara rinci hukum

keluarga yang diterapkan di Negara Brunei Darussalam yang notabene terkenal dengan

Negara Islam. Apakah hukum Islam menjadi rujukan satu-satunya bagi hukum keluarga

positif di negaranya? Apakah kaum minoritas (non muslim) Brunei terikat dengan hukum

keluarga positif yang bersumber dari hukum Islam? Dan apa saja perbedaannya dengan

hukum keluarga di Indonesia?

1

Page 2: HKI

B. Pembahasan

Brunei Darussalam (yang berarti Negara Brunei yang penuh kedamaian)

merupakan nama resmi Negara dengan Ibukota Bandar Seri Begawan. Negara ini

memiliki luas Wilayah 5.765km2 dengan jumlah penduduk 357.800 jiwa (2004). Bentuk

Negara Kesultanan Konstitusional dengan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan

Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan Haji Hassanal Bolkiah

Mu’izzaddin Wadaulah, Sultan dan Yang Dipertuan Negara Brunei Darussalam. Agama

yang mayoritas dianut adalah Islam, selebihnya Kristen, Budha, dan Animisme. Brunei

terbagi menjadi 4 distrik, yaitu : distrik Brunei Muara, distrik Tutong, distrik Belait, dan

distrik Temburong. Sistem politik dan pemerintahan Brunei Darussalam menganut

bentuk pemerintahan Kerajaan Mutlak (Monarchy Absolut ) yang bersendikan kepada

ajaran Islam menurut golongan Ahli Sunnah Waljamaah dengan berdasarkan kepada

keadilan, amanah, dan kebebasan. Sultan Hassanal Bolkiah merupakan Kepala Negara,

Kepala Pemerintahan dan Pemimpin Keagamaan sekaligus merangkap menteri

pertahanan dan menteri keuangan. Sultan Bolkiah adalah keturunan ke-29 yang

memerintah negeri tersebut dalam silsilah yang berumur 500 tahun.1

Sejarah masuknya Islam di Brunei dimulai pada saat penguasa Brunei, yaitu

Wang Alak Betatar, masuk Islam pada tahun 1425 (ketika kunjungannya ke Malaka

untuk menemui Sultan Muhammad Syah).2 Kesultanan Brunei menjadi Negara yang kuat

pada awal abad keenam belas. Namun, mulai abad ketujuh belas, kekuasaan Kesultanan

Brunei sedikit demi sedikit berkurang akibat adanya konsesi yang dibuat dengan Belanda,

Inggris, Raja Serawak, British North Borneo Company dan serangan-serangan para

pembajak. Pada abad kesembilan belas wilayah Brunei tereduksi menjadi sangat

kecilsampai batas-batas yang ada sekarang.3 Negara ini terus mengalami penurunan

kekuasaan hingga akhirnya berhasil menjadi Negara Kesultanan yang merdeka dan

berdaulat pada tanggal 1 Januari 1984.4

1 Sekilas Profil Negara Brunei Darussalam. Dalam http://www.presidenri.go.id/index.php/fokus/2006/02/27/245.html diakses tanggal 26 Oktober 2010.2 Innamullah Khan (Ed.). The world Muslim Gazeteer. Delhi: International Islamic Publisher, 1992. Hal. 175. Dalam M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern. Jakarta: Ciputat Press, 2003. Hal. 176.3 Acep Zoni Saeful Mubarok. Dalam M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern. Jakarta: Ciputat Press, 2003. Hal. 176-177.4 Ibid. hal. 175-176.

2

Page 3: HKI

Bentuk pemerintahan Brunei menurut Konstitusi di Kesultanan dijalankan oleh

Majelis Umum, Dewan Menteri, dan Badan Legislatif. Sultan mempunyai kekuasaan

yang sangat besar. Kekuasaan eksekutif tertinggi berada di tangan Sultan sebagai Menteri

Besar (Ketua Menteri) yang berdasarkan jabatannya juga menjadi anggota badan

legislative. Para anggota dewan Menteri dipilih dan diketuai oleh Sultan sendiri.5

1. Sejarah Perundang-undangan Dan Hukum

Sebelum kedatangan Inggris, Undang-Undang yang dilaksanakan di Brunei

adalah Undang-Undang Islamyang telah dikanunkan dengan Hukum Kanun Brunei.

Hukum Kanun Brunei tersebut telah ditulis pada masa pemerintahan Sultan Hasan

(1065-1619 M) yang disempurnakan oleh Sultan Jabbar (1619-1652 M).6 Kemudian,

Inggris mulai mencampuri urusan bidang Mahkamah Kesultanan Brunei pada tahun

1847. Karena pada tahun inilah hubungan resmi dengan Inggris dimulai. Pemerintah

Inggris di Brunei semakin jauh mencampuri urusan hukum Brunei setelah diadakan

perjanjian tahun 1856. Dengan perjanjian ini Inggris merasa memiliki saluran untuk

mengintervensi masalah kehakiman Kesultanan Brunei. Selanjutnya, pemberian

kekuasaan dalam bidang hukum secara penuh baru diberikan kepada Inggris setelah

ditandatanganinya perjanjian tahun 1888 dalam artikel VII yang di dalamnya terdapat

dua aturan, yaitu:7

a. Kekuasaan hukum dan kriminalitas diberikan kepada komite kehakiman

Inggris untuk menangani kasus rakyatnya, kasus rakyat asing dari negara-

negara jajahan Inggris dan kasus rakyat Negara lain jika mendapat persetujuan

pemerintah Negara mereka.8

b. Kekuasaan hukum untuk mengadili kasus yang melibatkan rakyat Brunei jika

rakyat Brunei dalam kasus tersebut adalah seorang penuntut atau jaksa. Tetapi

5 Redaksi Ensiklopedi. Ensiklopedi. Hal. 50.6 Haji Mahmud Saedon Awang Othman. Mahkamah Syariah di Negara Brunei Darussalam dan Permasalahannya. Dalam Mimbar Hukum No. 23 Th. VI, 1995, hal. 41-42. Dalam M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern. Jakarta: Ciputat Press, 2003. Hal. 178.7 Ibid. hal. 178-179.8 (Bidang kuasa dan jenayah kepada jawatan kuasa kehakiman Inggris untuk mengendalikan kes rakyatnya, kes rakyat asing dari Negara-negara jajahan Inggris dan kes rakyat Negara lain jika mendapat persetujuan kerajaan Negara mereka.)

3

Page 4: HKI

jika di dalam sesuatu kasus itu, rakyat Brunei adalah orang yang dituntut atau

didakwa maka kasus itu akan diadili oleh Mahkamah Lokal.9

Pada tahun 1906, kekuasaan yang lebih luas dalam bidang hukum diberikan melalui

sebuah perjanjian. Dengan perjanjian tersebut Inggris lebih leluasa dalam mendapatkan

kekuasaan untuk mengintervensi dalam urusan perundang-undangan, pentadbiran keadilan dan

kehakiman, masalah Negara dan pemerintahan kecuali dalam perkara-perkara agama Islam.

Karena Undang-Undang adat dan kedudukan hukum syara’ dirasa tidak begitu jelas,

Kesultanan Brunei member petisi kepada Pesuruhjaya British pada 2 Juli 1906 yang isinya

menuntut:

(1) Setiap kasus yang berkaitan dengan agama Islam diadili oleh hakim-hakim

setempat.

(2) Meminta agar adat-adat dan Undang-Undang setempat tidak dirombak,

dipindah dan dilanggar selama-lamanya.

Dari kedua petisi ini, yang disetujui oleh Inggris hanya masalah nomor satu dan

ditindaklanjuti dengan mengembangkan Mahkamah Syari’ah yang akan mengendalikan urusan-

urusan agama Islam. Sedangkan yang kedua ditolak, penolakan itu didasarkan pada tujuan

perjanjian 1906 adalah untuk memperbaiki adat dan undang-undang setempat sebagai langkah

untuk menyelamatkan Brunei dari kehilangan-kehilangan wilayahnya. Untuk seterusnya

Mahkamah Syari’ah Brunei hanya dibenarkan melaksanakan undang-undang Islam yang

berikatan dengan perkara-perkara kawin, cerai, dan ibadat (khusus) saja. Sedangkan masalah

yang berkaitan dengan jinayat diserahkan kepada undang-undang Inggris yang berdasarkan

Common Law England.10

Peraturan dan perundang-undangan di Brunei terus menerus dirombak, seperti pada tahun

1912 Majlis Mesyuarat Negeri telah mengundangkan undang-undang agama Islam11 yang

9 Bidang kuasa untuk menghakimkan kes yang melibatkan rakyat Brunei jika rakyat Brunei dalam kes tersebut merupakan seorang penuntut atau pendakwa. Tetapi jika di dalam sesuatu kes itu, rakyat Brunei adalah orang yang dituntut atau didakwa maka kes itu akan diadili oleh Mahkamah Tempatan.

10 Acep Zoni Saeful Mubarok. Dalam M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern. Jakarta: Ciputat Press, 2003. Hal. 179-180.11 Bandingkan dengan pendapat Hooker yang mengatakan bahwa Perundang-undangan modern tentang Islam pertama di Brunei adalah Perundang-undangan Islam Tahun 1912. Perundang-undangan ini merupakan pencampuran antara peraturan tempatan dengan peraturan…..Lihat M. B. Hooker. Islamic Law In South East. Singapore: Oxford University Press, 1984. Hal. …………………………..

4

Page 5: HKI

dikenal dengan “Muhammadans Law Enactement”12 yang disempurnakan pada tahun 1913

dengan aturan yang dikenal dengan“Muhammadans Marriages and Divorce Enactement”.13

Sampai yang terakhir yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Majlis Ugama, Adat

Negeri dan Mahkamah Kadi tahun 1955, yang telah berlaku pada tanggal 1 Januari 1956.14

Setelah tahun itu berturut-turut undang-Undang mengalami amandemen yaitu mulai tahun 1957,

1960, 1961, dan 1967.15 Ketika terjadi Revision Laws of Brunei pada tahun 1984, Undang-

Undang inipun mengalami revisi tapi hanya sedikit saja disamping namanya ditukar dengan Akta

Majlis Ugama dan Mahkamah Kadi Penggal 77.16

Sebenarnya perundang-undangan ini, menurut Hooker, didasarkan pada perundangan

yang berlaku di negeri Kelantan dengan mengalami penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi

Brunei. Peraturan ini membuat peraturan tentang:17

a. Pendahuluan (Bagian I pasal 1-4)

b. Majlis Ugama Islam (Bagian II pasal 5-44)

c. Mahkamah syari’ah (Bagian III pasal 45-96)

d. Masalah Keuangan (Bagian IV pasal 97-122)

e. Masjid (Bagian V pasal 123-133)

f. Perkawinan dan perceraian (Bagian VI pasal 134-156)

g. Nafkah Tanggungan (Bagian VII pasal 157-163)

h. Muallaf (Bagian VIII pasal 164-168)

i. Kesalahan (Bagian IX pasal 169-195)

j. Perkara Umum (Bagian X pasal 196-204)

2. Hukum Keluarga Islam

Undang-undang keluarga Islam Brunei yang terdapat dalam Undang-undang

Majelis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi Penggal 77 bentuk dan kandungannya

masih sama dengan undang-undang Majlis Ugama Islam, Adat Negeri dan 12 Undang-Undang ini hanya berkaitan dengan masalah kesalahan-kesalahan dalam ibadah dan hukum keluarga, khususnya nikah dan cerai bagi orang-orang Islam.13 Peraturan ini hanya sebagai penyempurna pelaksana aturan-aturan dalam Muhammadan Law, yang isinya berkenaan dengan peraturan nikah dan cerai bagi orang Islam.14 Undang-Undang ini bertujuan menyatukan Undang-Undang yang berkenaan dengan Majlis Ugama dan Undang-Undang Adat Istiadat Melayu.15 Tahir Mahmood. Personal Law In Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis. New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987. Hal. 198-199.16 ……………………………………………………. Dalam atho’ hal 18117 M. B. Hooker. Islamic Law In South East. Hal…………… Lihat juga Mahmood. Personal Law In Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis.hal……….

5

Page 6: HKI

Mahkamah Kadi No. 20/1955. Dalam undang-undang tersebut masalah hukum

keluarga Islam diatur hanya 29 Bab yaitu di bawah aturan-aturan Marriage and

Divorce di bagian VI yang diawali dari pasal 134-156, dan Maintenance of

Dependent di bagian VII yang dimulai dari pasal 157-163.18

a. Pembatalan Pertunangan

Perbuatan membatalkan perjanjian pertunangan oleh pihak laki-laki

yang dibuat baik secara lisan maupun secara tertulis yang dilakukan mengikuti

hukum Islam, akan berakibat pada pihak laki-laki, yaitu harus membayar

sejumlah mas kawin, ditambah dengan perbelanjaan yang diberikan secara

suka rela untuk persiapan perkawinan. Apabila yang membatalkan perjanjian

tersebut dari pihak perempuan, maka hadiah pertunangan harus dikembalikan

bersama dengan uang yang diberikan dengan suka rela. Semua pembayaran

balik yang digariskan tadi bisa didapatkan kembali melalui pengadilan.19 Hal

ini tidak dijelaskan dalam fiqh Syafi’i secara eksplisit.20

b. Pendaftaran Nikah

Dalam Undang-undang Brunei orang yang bisa menjadi pendaftar

nikah cerai selain kadi besar dan kadi-kadi adalah imam-imam masjid,

disamping imam-imam itu merupakan juru nikah yang diberi kuasa (tauliah)

untuk menjalankan setiap akad nikah.21 Orang biasa melangsungkan sebuah

pernikahan adalah orang yang diberi tauliah oleh sultan atau yang diberi

kuasa oleh hukum untuk orang Islam, tetapi dalam hal ini kehadiran dan

kebenaran pendaftar juga diperlukan.22 Walaupun demikian pernikahan yang

tidak mengikuti aturan ini tetap dilangsungkan (sah), tetapi menurut aturan

hukum muslim dianggap sah dan hendaknya didaftarkan.23 Sedangkan yang

dinamakan perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan yang tidak

mengikuti hukum madzhab yang dianut oleh kedua belah pihak.24 Aturan-

aturan yang berlaku di atas merupakan reformasi hukum keluarga Islam yang

18 …………………..atho’ hal 18219 Pasal 136………………tahir mahmood hal 20020 Atho’ hal 18321 Pasal 135 ayat (1) dan (2)22 Pasal 137 ayat (1) dan (2)23 Pasal 135 ayat (3)24 Pasal 138

6

Page 7: HKI

sifatnya regulatory, karena dengan tidak adanya pencatatan dan pendaftaran

tidak menyebabkan batalnya suatu perkawinan. Bahkan dalam hal ini ternyata

di Brunei terasa lebih longgar dibanding dengan Negara Indonesia, karena

dengan tidak mendaftarkan perkawinan tersebut tidak merupakan suatu

pelanggaran.25

c. Wali Nikah

Persetujuan kedua belah pihak dalam perkawinan sangat diperlukan.

Di samping itu, wali pengantin perempuan pun harus memberikan persetujuan

atau Kadi yang mempunyai kewenangan bertindak sebagai wali raja yaitu

apabila tidak terdapat wali nasab atau wali nasab tidak menyetujui dengan

alasan yang kurang tepat.26

Aturan perwalian ini dikenal dalam madzab Syafi’i, di mana seorang

perempuan yang menikah harus mendapat izin dari walinya dan seandainya

tidak mempunyai wali, maka Sultan (penguasa) yang menjadi wali orang yang

tidak mempunyai wali.27

d. Perceraian yang Dilakukan Suami

Jika perempuan cerai sebelum disetubuhi maka ia tidak boleh

dikawinkan dengan orang lain kecuali dengan suaminya yang terdahulu dalam

masa iddah kecuali telah dibenarkan oleh Kadi yang berkuasa dimana ia

tinggal.28 Namun, ketentuan ini berbeda dengan kesepakatan para ulama

madzab (karena Brunei mendasarkan hukumnya pada hukum Islam khususnya

madzab Syafi’i) yang menyatakan bahwa wanita yang ditalak sebelum

melakukan khalwat, tidak mempunyai iddah.29

Dalam Undang-undang Brunei selanjutnya disebutkan bahwa bagi

perempuan yang dicerai dengan talak tiga tidak boleh nikah lagi dengan

suaminya yang terdahulu kecuali ia kawin dengan laki-laki lain dengan cara

yang sah dan bersetubuh dengannya kemudian diceraikan dengan cara yang

25 Atho’……hal 18526 Pasal 13927 Lihat al-Imam Abu Abdullah………………………..dalam atho’ hal 18628 Pasal 140 (c)29 Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqh Lima Madzab. ……….Lihat Q.S. Al-Ahzab ayat 49

7

Page 8: HKI

sah sesuai dengan undang-undang.30 Peraturan perceraian Brunei yang lainnya

adalah seorang suami bisa menceraikan istrinya dengan talak satu, dua, atau

tiga menurut hukum muslim. Seorang suami mesti memberitahukan tentang

perceraiannya kepada pendaftar dalam tempo 7 hari.31 Seorang perempuan

yang sudah menikah bisa juga mengajukan permohonan cerai kepada Kadi

dengan mengikuti hukum muslim. Apabila suaminya rela, hendaknya ia

mengucapkan cerai kemudian didaftarkan, dan Kadi akan mengeluarkan akta

perceraian kepada kedua belah pihak.32

e. Perceraian dengan Talak Tebus

Di Brunei juga diberlakukan aturan yang menyatakan bahwa jika

pihak tidak menyetujui perceraian denagn penuh kerelaan, maka kedua belah

pihak bisa menyetujui perceraian dengan tebusan atau cerai tebus talak. Kadi

akan menilai jumlah yang perlu dibayar sesuai dengan taraf kemampuan

kedua belah pihak tersebut serta mendaftarkan perceraian itu.33

f. Talak Tafwid, Fasakh dan Perceraian oleh Pengadilan

Dalam ketentuan di Negara Brunei, seorang perempuan yang telah

menikah bisa juga memohon perceraian berdasarkan syarat dalam surat taklik

yang dibuat pada masa pernikahan.34 Perempuan di Brunei juga bisa memohon

kepada Mahkamah Kadi untuk mendapatkan perceraian lewat fasakh, yaitu

suatu pernyataan pembubaran perkawinan menurut hukum Muslim.

Pernyataan fasakh ini tidak akan dikeluarkan, kecuali mengikuti hukum

muslim dan pihak perempuan dapat memberikan keterangan dihadapan

sekurang-kurangnya dua saksi dengan mengangkat sumpah atau membuat

pengakuan.35 Bagi istri yang dicerai oleh suaminya bisa mengajukan

pemberian penghibur atau Mut’ah kepada Kadi dan setelah mendengarkan

kedua belah pihak Kadi memerintahkan untuk membayarnya.36

g. Hakam (Arbitrator)

30 Pasal 140 (d)31 Pasal 144 (1) dan (2)32 Pasal 145 (1) dan (2)33 Pasal 145 (3)34 Pasal 146 (1)35 Pasal 14736 Pasal 148

8

Page 9: HKI

Apabila selalu muncul masalah antara suami dan istri, maka Kadi bisa

mengangkat seorang, dua orang pendamai atau hakam dari keluarga yang

dekat dari masing-masing pihak yang mengetahui keadaannya.37 Kadi

memberikan petunjuk kepada hakam untuk melaksanakan arbitrasi dan harus

melaksanakannya sesuai dengan hukum Muslim.38 Apabila kadi tidak sanggup

atau tidak menyetujui apa yang dilakukan oleh hakam, kadi akan mengganti

dan mengangkat hakam yang lain.39 Demikian pula jika hakam berpendapat

bahwa pihak-pihak ini layak bercerai tetapi dengan tanpa adanya alasan untuk

menyatakan perceraian, maka Kadi akan mengangkat hakam yang lain dan

akan memberikan otoritas untuk mempengaruhi perceraian.40

h. Ruju’

Dalam Undang-Undang ini disebutkan adanya ruju’ setelah

dijatuhkannya talak, yaitu apabila cerainya dengan talak satu atau dua.

Tinggal bersama setelah bercerai mesti berlaku dengan kerelaan kedua belah

pihak denagn syarat tidak melanggar hukum Muslim dan kadi harus

mendaftarkan untuk “tinggal bersama” itu.41 Apabila perceraian yang bisa

dirujuk kembali dilakukan dengan tanpa sepengetahuan istri, maka ia tidak

dapat diminta untuk tinggal bersama sampai diberitahukan tentang perkara

itu.42 Kemudian jika setelah menjatuhkan talak -yang masih bisa dirujuk

kembali- pihak suami mengucapkan ruju’ dan pihak istri menerimanya, maka

istri dapat diperintahkan oleh kadi untuk tinggal bersama, tetapi pihak tersebut

tidak bisa dibuat sekiranya pihak istri tidak memberi kerelaan.43

i. Surat Kematian

Apabila suami telah meninggal dunia atau diyakini ia telah meninggal

dunia atau tidak terdengar beritanya dalam waktu yang lama, untuk bisa

menikah kembali ia harus menganggap mati sesuai dengan hukum keluarga

orang Islam. Tapi karena Surat Kematian di bawah Birth and Registration

37 Pasal 149 (1)38 Pasal 149 (2)39 Pasal 149 (3)40 Pasal 146 (5)41 Pasal 150 (1), (2), dan (3)42 Pasal 150 (5)43 Pasal 150 (6): (a) dan (b)

9

Page 10: HKI

Enactment tidak bisa didapatkan, maka seorang Kadi dapat mengelua\rkan

surat pernyataan kematian supaya pihak istri bisa kawin lagi, tentunya setelah

mengadakan penyelidikan yang tepat.44 Seorang istri tidak bisa menikah

kembali tanpa adanya surat pernyataan tersebut walaupun Pengadilan Tinggi

telah mengesahkan atas pernyataan kematian suaminya.45

j. Nafkah dan tanggungan anak

Pembicaan nafkah hanya dipakai dalam tuntutan yang dibuat oleh

orang Islam terhadap orang Islam yang lainnya. Yang termasuk kedalam ini

adalah para istri anak sah yang masih belum dewasa, orang yang tidak mampu

membiayai (fiskal), orang yang berpenyakit dan anak diluar nikah. Tiga syarat

?????????????? ini bisa dijadikan tuntutan46 berdasarkan hukum Muslim

yang dalam hal menentukan hak untuk nafkah. Dalam kasus anak diluar

nikah, Mahkamah Kadi akan membuat ketentuan yang dianggap sesuai.47

Perintah bisa dikuatkan melalui Mahkamah Majistret atau Mahkamah Kadi

Besar.48

C. Analisis Komparatif

Dalam sub bab ini penulis akan membandingkan ketentuan Hukum Keluarga

Islam yang berlaku di Brunei dan Indonesia (Undang-Undang Perkawinan No. 7 Tahun

1974). Di mana kedua Negara ini sama-sama menggunakan hukum Islam sebagai sumber

rujukannya. Dari pemaparan table di bawah ini, maka akan terlihat apakah hukum Islam

menjadi rujukan satu-satunya bagi hukum keluarga positif di Brunei? apakah kaum

minoritas (non muslim) Brunei terikat dengan hukum keluarga positif yang bersumber

dari hukum Islam? dan apa saja perbedaannya dengan hukum keluarga di Indonesia?

serta akan dapat terlihat Negara mana antara Brunei dan Indonesia yang lebih

menerapkan hukum Islam sebagai hukum positif di negaranya.

No. Perihal PersamaanPerbedaan

Brunei Indonesia

44 Pasal 151 (1)45 Pasal 151 (2)46 Pasal 158-16047 Pasal 16148 Pasal 163

10

Page 11: HKI

1.Pembatalan pertunangan

- Diatur dalam pasal 136Tidak diatur dalam UU perkawinan No. 7 Tahun 1974

2.Pendaftaran dan Pencatatan Nikah

Diatur masalah pendaftaran dan pencatatan nikah

Tidak mendaftarkan perkawinan bukan merupakan pelanggaran

Tidak mendaftarkan perkawinan bukan merupakan pelanggaran

D. Simpulan

Alamat web: segala2 tentang brunei http://www.muib.gov.bn/

DAFTAR PUSTAKA

11