Upload
elvi-mursida-hanim
View
75
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
A. Coronary Artery Bypass Graft (CABG)
1. Definisi
Coronary Artery Bypass
Graft merupakan salah satu metode
revaskularisasi yang umum dilakukan pada
pasien yang mengalami atherosklerosis dengan
3 atau lebih penyumbatan pada arteri koroner
atau penyumbatan yang signifikan pada Left
Main Artery Coroner (Chulay&Burns, 2006).
Secara sederhana, CABG adalah
operasi pembedahan yang dilakukan dengan
membuat pembuluh darah baru atau bypass
terhadap pembuluh darah yang tersumbat
sehingga melancarkan kembali aliran darah
yang membawa oksigen untuk otot jantung yang
diperdarahi pembuluh tersebut.
Coronary Artery Bypass Grafting, atau Operasi
CABG, adalah teknik yang menggunakan
pembuluh darah dari bagian tubuh yang lain
untuk memintas (melakukan bypass) arteri yang
menghalangi pemasokan darah ke jantung.
Vena kaki atau arteri mamari (payudara) internal
bisa digunakan untuk operasi bypass. Operasi
ini membantu memulihkan aliran darah yang
normal ke otot jantung yang tersumbat.Pada
operasi bypass, pembuluh cangkok baru, yaitu
arteri atau vena sehat yang diambil dari kaki
atau tungkai ( vena saphena ), lengan ( arteri
brakialis atu radialis ), atau dada pasien,
kemudian diambil lewat pembedahan dan
dijahitkan ke sekeliling bagian yang tersumbat.
Pembuluh cangkok ini memasok darah
beroksigen ke bagian jantung yang
membutuhkannya, sehingga “mem-bypass”
arteri yang tersumbat dan memulihkan aliran
darah ke otot jantung.
CABG dilakukan dengan membuka dada dengan
pemotongan tulang dada untuk kemudian
menguakkan bagian kanan dan kiri dada
sedemikian sehingga jantung dapat terlihat
secara nyata. Sudah tentu banyak jaringan-
jaringan dan alat-alat harus dipisahkan dulu
sebelum sampai menjamah jantung. Dokter
Spesialis Bedah Jantung akan memastikan
kembali hasil kateterisasi yang menunjukkan
penyempitan. Setelah itu barulah memasang
pembuluh darah baru yang diambil dari kaki,
tangan atau pembuluh yang memperdarahi susu
tadi melewati tempat penyempitan. Sebelum
menutup kembali rongga dada lapis demi lapis,
sudah barang tentu diadakan pengujian
terhadap graft yang dipasang, kalau-kalau ada
kebocoran atau pendarahan baik pada pangkal
maupun ujung
2. Tujuan
Coronary Artery Bypass Grafting bertujuan
untuk revaskularisasi aliran arteri koronari akibat
adanya penyempitan atau sumbatan ke otot
jantung.
3. Indikasi
Pasien penyakit jantung koroner (PJK) yang
dianjurkan operasi CABG adalah pasien yang
hasil kateterisasi jantung ditemukan adanya:
a. Penyempitan >50 % dari left main disease
atau left main equivelant yaitu penyempitan
menyerupai left main arteri misalnya ada
penyempitan bagian proximal dari arteri anterior
desenden dan arteri circumflex.
b. Penderita dengan 3 vessel disease yaitu 3
arteri koroner semuanya mengalami
penyempitan bermakna yang fungsi jantung
mulai menurun (EF:<50%>.
c. Penderita yang gagal dilakukan balonisasi dan
stent.
d. Penyempitan 1 atau 2 pembuluh namun
pernah mengalami gagal jantung.
e. Anatomi pembuluh darah suitable (sesuai)
untuk CABG.
4. Kontraindikasi
Adapun kontraindukasi CABG secara mutlak
tidak ada,tetapi secara relatif CABG
dikontraindikasikan bila terdapat berbagai faktor
yang akan memperberat atau meningkatkan
resiko selama dan sesudah operasi, seperti:
a. Faktor usia yang sudah sangat tua.
b. Pasien dengan penyakit pembuluh darah
koroner kronik akibat diabetes mellitus dan EF
yang sangat rendah <15%.
c. Sklerosis aorta yang berat
d. Struktur arteri koroner yang tidak mungkin
untuk disambung.
5. Teknik operasi CABG
Ada 2 teknik yang digunakan pada
operasi CABG yaitu on pump dan off
pump.Masing-masing teknik memiliki
kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Pada operasi on pump prosedur
dijalankan menggunakan alat mekanis mesin
jantung paru. Mesin jantung paru memungkinkan
lapangan operasi yang bebas darah sementara
perfusi tetap dapat dipertahankan untuk jaringan
dan organ lain di tubuh. Pintasan jantung paru
dilakukan dengan memasang kanula di atrium
kanan dan vena kava untuk menampung darah
dari tubuh. Kanula kemudian dihubungkan
dengan tabung yang berisi cairan kristaloid
isotonic. Darah vena yang diambil dari tubuh
disaring, di oksigenasi, dijaga temperatunya
kemudian dikembalikan ke tubuh. Kanula yang
mengembalikan darah ke tubuh dimasukkan ke
aorta ascenden
Selanjutnya untuk membuat
jantung arrestdiberikan cairan cardioplegia yang
formulanya tinggi kalium, mengandung
dekstrose, buffer pH, hiperosmolalitas, dan
anastesi lokal. Rute pemberiannya bisa
melalui root aorta (antegrade) dan melalui sinus
coronaries (retrograde) serta melalui keduanya.
Operasi teknik off pump tidak
menggunakan mesin jantung paru sehingga
jantung tetap berdetak secara normal dan paru-
paru berfungsi secara biasa saat operasi
dilakukan. Adapun kriteria pasien Off Pump:
a. Pasien yang direncanakan operasi elektif.
b. Hemodinamik stabil.
c. EF dalam batas normal.fungsi LV intact/utuh
d. Pembuluh darah distal cukup besar.
e. Usia tua disertai penyakit komorbid seperti
peny. Arteri karotis, aterosklerosis aorta,
disfungsi ginjal atau paru.
f. Mempunyai komplikasi dengan mesin CPB
( Cardio Pulmonary Bypass )
g. 1-2 vessel disease di anterior.
Tetapi operasi dengan teknik Off Pump memiliki
kontraindikasi absolut, diantaranya :
a. Hemodinamik tidak stabil
b. Buruknya kualitas target pembuluh darah
termasuk pembuluh darah intramyocad,
peny.pembuluh darah yang menyebar/difus,
pembuluh darah yang mengalami
kalsifikasi/penebalan.
Dan memiliki kontraindikasi Relatif yaitu :
a. LVEF <35%
b. Cardiomegali/ CHF
c. LM kritis
d. Recent/ current MCI
e. Cardiogenic shock
Keuntungan dari teknik Off Pump
(Benetti&Ballester,1995)
a. Meminimalkan efek trauma operasi.
b. Pemulihan/mobilisasi lebih dini.
c. Drainase darah pasca bedah minimal.
d. Tersedia akses sternotomi untuk reoperasi.
e. Menurunkan morbiditas dirumah sakit
(termasuk insiden infeksi dada, pemakaian
inotropik, kejadian SVT, transfuse darah, lama
rawat ICU)
f. Peneliti lain : pelepasan CKMB dan trop I lebih
rendah, kejadian stroke lebih rendah
6. Pembuluh darah yang digunakan sebagai
bypass.
Ada 3 pembuluh darah yang sering
digunakan sebagai bypass, yaitu Arteri Mamaria
Interna kiri = arteri intra thorakal kiri, arteri
radialis dan vena safena magna
Arteri mammaria interna (AMI). Biasanya
berasal dari dinding bawah arteri subklavia,
melewati bagian atas pleura dan tepat lateral
terhadap sternum. Penggunaan AMI dengan
ujung proksimal masih dihubungkan ke arteri
subklavia. AMI kiri lebih panjang dan lebih besar
sehingga sering digunakan sebagai bypass arteri
coroner (Shapira et al, 2002). AMI sering
digunakan karena memiliki kepatenan pembuluh
darah yang baik. Studi menunjukkan bahwa
sekitar 96% kasus CABG yang menggunakan
IMA dapat bertahan lebih dari 10 tahun (Wood et
al, 2005). IMA sering di gunakan untuk by pass
arteri Left anterior ascenden. Hal ini dsebabkan
karena jarak/lokasi LIMA dan LAD berdekatan
serta berada pada sisi yang sama.
Arteri radialis. Arteri ini melengkung
melintasi sisi radialis tulang Carpalia dibawah
tendo Musculus Abductor Pollicis Longus dan
tendo Musculus extensor Pollicis Longus dan
Brevis. Arteri radialis diinsisi lebih kurang 2 cm
dari siku dan berakhir 1 inchi dari pergelangan
tangan. Biasanya sebelum dilakukan
pemeriksaan Allen Test untuk mengetahui
kepatenan arteri ulnaris jika arteri radialis
diambil. Pada pasien yang menggunakan arteri
radialis harus mendapatkan terapi Ca Antagonis
selama 6 bulan setelah operasi menjaga agar
arteri radialis tetap terbuka lebar. Sebuah studi
menunjukkan bahwa arteri radialis memberikan
lebih banyak kemampuan revaskularisasi dalam
waktu yang lebih lama dibandingkan vena
safena (Dunning et al, 2005).
Vena Safena. Ada dua vena safena yang
terdapat pada tungkai bawah yaitu vena safena
magna dan parva. Namun yang sering dipakai
sebagai saluran baru pada CABG adalah vena
safena magna. Vena safena sering digunakan
karena diameter ukurannya mendekati arteri
coroner.
5. Komplikasi potensial pasca operasi CABG
a. Komplikasi jantung setelah operasi CABG
dapat ditangani berdasarkan empat komponen
yang mempengaruhi curah jantung meliputi
preload, afterload, frekuensi denyut nadi, dan
kontraktilitas.
Ø Gangguan preload meliputi hipovolemia,
perdarahan menetap, tamponade jantung dan
kelebihan cairan.
Hipovolemia merupakan penyebab tersering
terjadinya penurunan curah jantung setelah
operasi jantung. Prosedur operasi menyebabkan
kehilangan darah meski sudah dilakukan
penggantian cairan. Namun pada saat suhu
tubuh dinaikkan yang awalnya hipotermi
mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah
sehingga dibutuhkan lebih banyak cairan untuk
memenuhi rongga pembuluh darah.
Perdarahan pasca operasi jantung terbagi 2
yaitu medical dan surgical. Perdarahan medikal
terjadi karena gangguan pembekuan darah
akibat rusak dan pecahnya trombosit. Selain itu
mekanisme pembekuan darah juga akan
terganggu bila pasien dalam keadaan
hipotermik. Kedua, perdarahan surgical terjadi
karena faktor pembedahan seperti jahitan yang
bocor atau dari dinding dada akibat tusukan
kawat sternum. Jumlah drainase tidak boleh
melebihi 3cc/kgBB/jam selama 3 jam
berturut-.turut.
Tamponade jantung adalah kondisi dimana
terkumpulnya cairan di lapisan pericardium
jantung yang menekan jantung dari luar
sehingga menghalangi darah untuk masuk ke
ventrikel. Manifestasi klinisnya adalah terjadi
hipotensi arteri, bunyi jantung lemah, penurunan
haluaran urine, tekanan PCWP dan CVP
meningkat, takikardi, drainase berkurang, pulsus
paradoksus (penurunan lebih dari 10 mmHg
selama inspirasi), akral dingin.
Kelebihan cairan merupakan masalah yang
jarang terjadi pada pasien pasca bedah jantung.
Tekanan arteri Pulmonal, PCWP dan CVP
meningkat. Biasanya diberikan diuretic dan
kecepatan pemberian cairan via intravena
diperlambat.
Ø Gangguan afterload sering disebabkan oleh
perubahan suhu tubuh pasien.
Pada hipotermia terjadi konstriksi pembuluh
darah sehingga terjadi peningkatan afterload.
Penanganannya adalah dengan menghangatkan
kembali pasien secara bertahap, dan jika
diperlukan dilakukan pemberian vasodilator
sementara menunggu penghangatan.
Sebaliknya demam atau kondisi hipertermikakan
meningkatkan afterload. Penanganannya
dengan menjaga normotermia tubuh atau
dengan pemberian vasopressor.
Ø Hipertensi. Hipertensi terjadi akibat peningkatan
afterload. Jika pasien sudah mengalami
hipertensi sebelum pembedahan maka
penatalaksaan terapinya disesuaikan seperti
sebelum operasi.
Ø Aritmia. Aritmia dapat mempengaruhi curah
jantung. Tujuan utama penanganannya adalah
mengembalikan irama jantung ke irama sinus
normal dan mencapai irama stabil yang
menghasilkan curah jantung yang sesuai dengan
kebutuhan pasien.
Ø Gangguan Kontraktilitas. Gagal jantung terjadi
jika jantung tidak mampu memompakan darah
sesuai kebutuhan tubuh. Gejala klinis yang
muncul adalah terjadi penurunan tekanan arteri
rata-rata, takikardi, gelisah,kesulitan bernafas,
edema dan terjadi peningkatan PCWP, PA dan
CVP.
Ø Infark Miokard Post Operasi (PMI). Terjadi
kematian sebagian otot jantung sehingga
menurunkan kontraktilitas. Pengkajian yang
dilakukan harus teliti untuk membedakan dengan
nyeri karena faktor pembedahan. Infark miokard
harus dicurigai jika tekanan arteri rata-rata
menurun dengan preload yang normal. Serial
EKG dan enzim dapat membantu penegakkan
diagnose.
b. Komplikasi Paru-paru
Ø Hematothorax dan Pneumothorax
Adanya insisi atau perlukaan pada thorax dan
komponen-komponennya dapat menyebabkan
perdarahan. Pemasangan WSD berguna untuk
mengalirkan perdarahan yang terjadi sehingga
dapat mencegah akumulasi darah pada rongga
thorax ( hematothorax ). Hematothorax harus di
drain karena darah yang terakumulasi bisa
menyebabkan pertumbuhan bakteri dan
mencegah terjadinya fibrous dan penghambatan
ekspansi paru. Pencabutan WSD pun harus
dhindari adanya kebocoran udara.
Ø Atelektasis
Atelektasis bisa disebabkan oleh obat-obat
anastesi atau faktor-faktor negative dari pasien
itu sendiri. Saat intubasi vetilator hendaknya
disesuaikan dengan kondisi pasien dan adekuat
untuk mencegah atelektasis terutama pada post
op.
Ø Pneumonia
Insiden pneumonia pada operasi jantung terjadi
antara 2-9%. Pasien yang mengalami penyakit
paru kronik preop kolonisasi disaluran
pernapasan, atau peroko mempunyai insiden
angka kejadian untuk terkena pneumonia. Oleh
karena itu pengkajian kesehatan secara lengkap
sangat diperlukan dan dikomunikasikan juga di
post op. Pada post op, penggunaan NGT,
reintubasi, kedisiplinan cuci tangan, elevasi
kepala sedini mungkin, frekuensi perawatan dan
pembersihan mulut dan suction ETT merupakan
hal yang harus diperhatikan untuk pencegahan
pneumonia
Ø Emboli Paru
Insiden emboli paru 1-2%terutama disebabkan
oleh heparinisasi selama operasi dan
hemodelusi setelah operasi. Stoking kompresi
dan latihan mobilisasi di bed dan ROM tiap hari
mungkin diperlukan untuk mencegah emboli
paru.
Ø Kegagalan weaning
Insufisiensi respirasi adalah salah satu
komplikasi setelah operasi jantung.
Ketergantungan ventilator yang lama akan
menyebabkan kegagalan weaning. Intervensi
keperawatan yang penting segera dilakukan
adalah weaning ventilator sesuai protokol,
mobilisasi pasien sedini mungkin, pasien
didorong untuk bernapas spontan, manajemen
nyeri dan cemas.
c. Komplikasi Neurologis
Kebanyakan pasien mulai pulih kesadarannya
dari efek anastesi dalam 1 sampai 6 jam pasca
operasi. Pasien yang tidak mampu mengikuti
perintah sederhana dalam 6 jam atau
menunjukkan perbedaan kemampuan antara
tubuh kanan dan kiri harus dievalusi
kemungkinan stroke.
Defisit neurologi yang dihasilkan dari prosedur
intra operasi biasanya terjadi 24–48 jam pertama
setelah operasi. Selain dari penggunaan CPB,
gangguan neurologis yang terjadi setelah
beberapa hari perawatan biasanya dikarenakan
tidak stabilnya hemodinamik post operasi atau
terjadi AF (Atrial Fibrilasi).
d. Gagal ginjal dan ketidakseimbangan elektrolit
Hipokalemi dapat diakibatkan oleh masukan
yang kurang, pemberian diuretic,, muntah, diare
dan stress pembedahan. Perubahan EKG yang
muncul adalah gelombang T yang datar atau
terbalik dan adanya gelombang U. Kolaborasi
pemberian Kalium intravena perlu dilakukan.
Hiperkalemi dapat disebabkan oleh peningkatan
asupan, hemolisis sel darah merah, insufisiensi
ginjal, nekrosis jaringan. Gejala yang terjadi
adalah konfusi mental, gelisah, mual,
kelemahan, parastesia ekstremitas. Perubahan
EKG yang spesifik adalah gelombang T yang
tinggi dan lancip, peningkatan amplitude,
pelebaran QRS, dan QT yang memanjang.
Penanganannnya adalah kolaborasi pemberian
natrium bikarbonat, insulin IV dan glukosa.
Hipernatremi dan hiponatremi. Hiponatremi
cukup jarang terjadi, biasanya lebih
disebabkan peningkatan cairan yang masuk ke
tubuh sehingga terjadi pengenceran natrium
tubuh.
Hipokalsemi dan hiperkalsemi. Hipokalsemi
biasanya terjadi akibat alkalosis yang
menurunkan jumlah Ca dalam cairan ekstrasel.
Hiperkalsemi dapat menyebabkan aritmia yang
serupa dengan keracunan digitalis. Penanganan
segera harus dilakukan untuk mencegah
terjadinya asistole dan kematian.
e. Infeksi
Komplikasi yang sering dialami oleh pasien yang
mendapatkan tindakan pembedahan.
Penggunaan mesin CPB dan anastesi akan
menurunkan system imunitas tubuh. Selain itu
alat invasive yang melekat pada pasien bisa
menjadi sumber infeksi. Penangan infeksi
biasanya didasarkan pada protocol di setiap
rumah sakit.
Dekubitus
Luka yang terjadi akibat penekanan yang lama
pada bagian tubuh yang menonjol. Peranan
perawat sangat vital mencegah terjadinya
dekubitus khususnya pada pasien dengan
bedrest total. Miring kanan-kiri adalah salah satu
cara mencegah terjadinya dekubitus.
B. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Post Operatif Coronary Artery Bypass Graft
1. Pengkajian
Setelah operasi selesai, pasien segera
dipindahkan ke ruang Intensive Care
Unit.Segera setelah pasien tiba di ICU, perawat
harus segera melakukan pengkajian meliputi
semua sistem organ untuk menentukan status
pascaoperasi dibandingkan dengan preoperasi
dan mengetahui perubahan yang mungkin terjadi
selama pembedahan.
a. Status Kardiovaskular
Meliputi frekuensi dan irama jantung, tekanan
darah arteri, tekanan vena sentral (CVP),
tekanan arteri paru, tekanan baji paru (PCWP),
bentuk gelombang pada tekanan darah invasive,
curah jantung dan cardiac index, drainase
rongga dada, fungsi pacemaker.
b. Status Respirasi
Pengkajian terhadap status respirasi bertujuan
untuk mengetahui secara dini tanda dan gejala
tidak adekuatnya ventilasi dan oksigenasi.
Perawat mengkaji status respirasi pasien selama
operasi, ukuran endotrakeal tube, masalah yang
dihadapi selama intubasi, lama penggunaan alat
mesin jantung paru. Selanjutnya kaji gerakan
dada, suara nafas, setting ventilator (frekuensi,
volume tidal, konsentrasi oksigen, Mode, PEEP),
kecepatan nafas, tekanan ventilator, saturasi
oksigen, analisa gas darah.
c. Status Neurologi
Tingkat responsifitas, ukuran pupil dan reaksi
terhadap cahaya, reflex, gerakan ekstremitas,
dan kekuatan genggaman tangan.
d. Status Pembuluh darah perifer
Denyut nadi perifer, warna kulit, dasar kuku,
mukosa, bibir, cuping telinga, suhu kulit, edema.
e. Fungsi Ginjal
Haluaran urine, berat jenis urine, dan osmolalitas
f. Status Cairan dan elektrolit
Haluaran semua selang drainase, parameter
curah jantung, dan indikasi ketidakseimbangan
elektrolit.
g. Nyeri
Sifat, jenis, lokasi, respon terhadap analgesik
h. Status Gastrointestinal
Auskultasi bisisng usus, palpasi abdomen, nyeri
pada saat palpasi.
i. Status Alat yang Dipakai
Kepatenan alat dan pipa untuk menentukan baik
atau tidak kondisinya meliputi, pipa endotrakeal,
ventilator, monitor saturasi, kateter arteri paru,
infuse intravena, pacemaker, sistem drainase
dan urine.
Selanjutnya jika pasien sudah sadar dan
mengalami perkembangan yang baik, perawat
harus mengembangkan pengkajian terhadap
status psikologis dan emosional pasien,
kebutuhan keluarga, dan risiko akan komplikasi.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan
dengan gangguan fungsi miokardium ( preload,
afterload, kontraktilitas )
b. Risiko gangguan pertukaran gas berhubungan
dengan trauma pembedahan dada ekstensif
c. Risiko keseimbangan volume cairan dan
elektrolit berhubungan dengan gangguan volume
darah
d. Nyeri berhubungan dengan trauma operasi dan
iritasi pleura akibat selang dada
e. Risiko pola nafas inefektif berhubungan
dengan ketidakadekuatan ventilasi
f. Risiko infeksi berhubungan dengan luka insisi
3. Rencana Asuhan Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan
dengan gangguan fungsi miokardium ( preload,
afterload, kontraktilitas )
Tujuan: Mengembalikan curah jantung untuk
menjaga/mencapai gaya hidup yang diinginkan
Kriteria Evaluasi:
1) Parameter hemodinamik dalam batas normal
2) Drainase dada melalui selang pada 4-6 jam
pertama kurang dari 300 ml/jam
3) Tanda-tanda vital stabil
4) Nyeri terbatas pada luka operasi
5) EKG negative terhadap perubahan iskemik
Intervensi:
1) Pantau status kardiovaskular, pembacaan
parameter hemodinamik
Rasional: Efektifitas curah jantung ditentukan
oleh pemantauan hemodinamik
Ø Lakukan observasi tekanan arteri setiap 15 menit
sampai stabil
Ø Lakukan auskultasi suara dan irama jantung
Ø Lakukan observasi denyut nadi perifer
Ø Lakukan pengukuran tekanan atrium kiri, tekanan
diastolic arteri pulmonal dan PCWP untuk
mengkaji curah jantung
Ø Lakukan pemantauan PCWP, CO/CI, tekanan
atrium kiri, dan CVP untuk mengkaji volume
darah, tonus vaskular dan efektifitas
pemompaan jantung
Ø Pantau hasil EKG
Ø Lakukan pengukuran haluaran urine
Ø Lakukan observasi mukosa pipi,dasar kuku,
cuping telinga, dan ekstremitas
Ø Lakukan pengkajian kulit, perhatikan suhu dan
warnanya
2) Observasi adanya perdarahan persisten
drainase darah yang terus-menurus dan
menetap, hipotensi, CVP rendah,
takikardi. Persiapkan pemberian komponen
darah dan larutan vena.
Rasional: Perdarahan dapat terjadi akibat insisi
jantung, kerapuhan jaringan, trauma jaringan,
dan gangguan faktor pembekuan
3) Observasi adanya tamponade jantung:
hipotensi, peningkatan PCWP, tekanan atrium
kiri, CVP, bunyi jantung lemah, denyut nadi
lemah, distensi vena jugularis, penurunan
haluran urine, lakukan pengecekan
berkurangnya darah pada selang drainase. Kaji
adanya pulsus paradoksus.
Rasional: tamponade jantung terjadi karena
adanya perdarahan di kantung pericardium yang
akan menekan jantung dan menghambat
pengisian ventrikel secara adekuat. Penurunan
drainase menunjukkan bahwa darah cairan
terkumpul di kantung pericardium.
4) Observasi gagal jantung: hipotensi, peninggian
PCWP. CVP, tekanan atrium kiri, takikardi,
gelisah, asinosis, agitasi, distensi vena, dispneu,
ascites,. Persiapkan pemberian diuretic dan
digitalis.
Rasional: Gagal jantung yang terjadi akibat
penurunan aksi pemompaan jantung, dapat
mengakibatkan berkurangnya perfusi ke
organ vital.
5) Melakukan observasi adanya infark
miokardium. Lakukan pemeriksaan EKG dan
enzim berkala. Bedakan nyeri bekas luka
operasi dengan nyeri angina.
Rasional: Gejala bisa tertutup oleh tingkat
kesadaran pasien dan obat anti nyeri
b. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan
dengan penumpukan sekret pada ETT
Tujuan: Bersihan jalan napas efektif
Kriteria Evaluasi:
1) Jalan nafas paten
2) Analisa gas darah dalam batas normal
3) Selang endotrakeal tetap pada tempatnya,
seperti terlihat pada rontgen
4) Suara nafas jernih
5) Ventilator sinkron dengan respirasi
6) Dasar kuku dan membrane mukosa tidak pucat
7) Ketajaman mental sesuai dengan sedative
yang diberikan
8) Orientasi terhadap ruang dan waktu baik
Intervensi:
1) Jaga ventilasi assist-controlled atau intermitten
bila mungkin sinkronus
Rasional: dukungan ventilasi digunakan pada 4-
48 jam untuk mengurangi kerja jantung,
mempertahankan ventilasi yang efektif, dan
memberikan jalan nafas bila terjadi henti jantung
2) Pantau analisa gas darah, volume tidal,
parameter ekstubasi
Rasional: analisa gas darah dan volume tidal
menunjukkan efektifitas ventilator dan
perubahan yang harus dilakukan untuk
memperbaiki pertukaran gas
3) Auskultasi suara dada terhadap suara nafas
Rasional: krekel menunjukkan kongesti paru,
penurunan atau hilangnya suara nafas
menunjukkan pneumothorax
4) Tenangkan pasien dan pantau kedalaman
respirasi bila ventilasi tidak dalam
Rasional: sedasi membantu pasien untuk
mentoleransi selang ETT dan mengatasi sensasi
ventilasi
5) Lakukan fisioterapi dada
Rasional: membantu mencegah retensi sputum
dan atelektasis
6) Anjurkan untuk menarik nafas dalam, batuk
efektif, mobilisasi. Anjurkan untuk memakai
spirometer dan latihan terapi nafas. Anjurkan
menggunakan tahanan didada untuk
mengurangi ketidaknyamanan saat batuk atau
tarik nafas dalam
Rasional: membantu kepatenan jalan nafas dan
mencegah atelektasis dan membantu
perkembangan paru
7) Lakukan penghisapan lender trakheobronkial
dan dengan menggunakan teknik aseptic yang
baik
Rasional: retensi sekresi dapat mengakibatkan
hipoksia dan kemungkinan henti jantung, retensi
sekresi memudahkan terjadinya infeksi.
c. Nyeri berhubungan dengan adanya luka insisi
bedah, trauma syaraf intraoperasi.
Tujuan : Nyeri hilang/berkurang.
Kriteria hasil :
1) Menyatakan nyeri hilang.
2) Menunjukkan postur tubuh rileks.
3) Kemampuan istirahat/tidur cukup.
4) Membedakan ketidaknyamanan bedah dari
angina/nyeri jantung pra operasi.
Intervensi :
1) Dorong pasien untuk melaporkan tipe,lokasi
serta intensitas nyeri dan skala nyeri 0-
10.Tanyakan pasien bagaimana
membandingkan dengan nyeri dada praoperasi.
Rasionalisasi : Penting untuk pasien
membedakan nyeri insisi dari tipe lain nyeri dada
seperti angina.Beberapa pasien CABG lebih
sering mengeluh ketidaknyamanan pada sisi
donor dibandingkan pada sisi bedah. Nyeri berat
pada area ini harus diselidiki untuk kemungkinan
komplikasi.
2) Observasi cemas, mudah terangsang,
menangis, gelisah,gangguan tidur. Pantau
tanda-tanda vital.
Rasionalisasi : Petunjuk non verbal ini
menunjukkan adanya derajat nyeri yang dialami.
3) Identifikasi/ tingkatkanposisi nyaman
menngunakan alat bantu bila perlu.
Rasionalisasi : Bantal/gulungan selimut berguna
untuk menyokong extremitas,mempertahankan
postur tubuh dan penahanan insisi untuk
menurunkan tegangan otot/ meningkatkan
kenyamanan.
4) Berikan tindakan nyaman seperti pijatan
punggung atau perubahan posisi.Bantu aktifitas
perawatan diri dan dorong aktifitas senggang
sesuai indikasi.
Rasionalisasi : Dapat meningkatkan
relaksasi/perhatian tak langsung dan
menurunkan frekuensi/kebutuhan dosis
analgetic.
5) Identifikasi/ dorong penggunaan perilaku
seperti bimbingan imajinasi, distraksi, visualisasi
nafas dalam.
Rasionalisasi : Teknik relaksasi dan penanganan
stress, meningkatkan rasa sehat,mengurangi
kebutuhan analgesic dan meningkatkan
penyembuhan.
6) Selidiki laporan nyeri diarea yang tak
biasanya(contoh betis kaki,abdomen),atau
keluhan tak jelas adanya ketidaknyamanan
khususnya bila disertai oleh perubahan
mental,tanda vital dan kecepatan pernafasan.
Rasionalisasi : Manifestasi dini terjadinya
komplikasi seperti trombopleibitis,infeksi,
disfungsi gastrointestinal.
7) Beri obat pada saat prosedur/ aktifitas sesuai
indikasi.
Rasionalisasi : Kenyamanan/ kerjasama pasien
pada pengobatan, ambulasi, dan produser
dipermudah oleh pemberian analgesic.
d. Risiko gangguan keseimbangan volume cairan:
kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
diuresis osmotic, perdarahan
Tujuan : Kebutuhan cairan dan
hisrasi pasien terpebuhi
Kriteria hasil : Hidrasi yang adekuat
dibuktikan oleh tanda vital yang atabil, nadi
perifer dapat diraba, capillary refill baik, haluaran
urine dan kadar elektrolit dalam batas normal
Intervensi :
1) Monitor parameter hemodinamik sacara ketat
Rasional: Memberikan informasi mengenai
keadaan hidrasi
2) Monitor nadi perifer, capillary refill, turgor kulit,
membrane mukosa
Rasional: untuk mengetahui perfusi ke
jaringan. Volume sirkulasi darah yang adekuat
penting untuk aktivitas selular yang optimal.
Perfusi ke jaringan yang baik menunjukkan
keadekuatan cairan di intravaskular
3) Monitor intake dan output
Rasional: Menentukan kondisi pasien
berhubungan dengan status cairan dan rehidrasi
yang akan dilakukan
4) Observasi adanya edema, peningkatan BB,
peningkatan tanda-tanda vital
Rasional: Mengevaluasi intervensi untuk
rehidrasi cairan. Rehidrasi yang tidak terkontrol
akan mengganggu keseimbangan volume cairan
di intravaskular
5) Kolaborasi: berikan terapi cairan dan pantau
pemeriksaan laboratorium
e. Risiko pola nafas inefektif berhubungan
dengan ketidakadekuatan ventilasi.
Tujuan : Inefektif pola nafas tidak
terjadi.
Kriteri hasil : Pasien menunjukan
pola nafas adekuat.
Intervensi :
1) Evaluasi frekuensi pernafasan dan kedalaman,
catat upaya pernafasan. Contoh adanya
dyspnoe,penggunaan otot bantu pernafasan
Rasionalisasi : Respon pasien bervariasi. Upaya
dan kecepatan nafas mungkin meningkat karena
nyeri, takut, demam, penurunan volume
sirkulasi, akumulasi secret, hipoksia, atau
distensi gaster.Penekanan pernafasan dapat
terjadi karena penggunaan analgesic yang
berlebihan.Pengenalan dini dan pengobatan
ventilasi dapat mencegah komplikasi.
2) Auskultasi bunyi nafas. Catat area yang
menurun/ tidak ada bunyi nafas dan adanya
bunyi nafas tambahan, kreakles atau ronchi.
Rasionalisasi : Bunyi nafas sering menurun pada
dasar paru selama periode waktu pembedahan
sehubungan dengan terjadinya
atelekstasis.Kehilangan bunyi nafas aktif pada
area ventilasi sebelumnya dapat menunjukan
kolaps segmen paru khususnya bila drain dada
telah dibuka.
3) Observasi adanya penyimpangan gerakan
dada. Observasi penurunan ekspansi atau
ketidaksemitrisan gerakan dada.
Rasionalisasi : Udara atau cairan pada pleura
mencegah ekspansi dada lengkap dan
memerlukan pengkajian lanjut status ventilasi.
4) Observasi karakter batuk dan produksi sputum.
Rasionalisasi : Batuk dapat menyebabkan iritasi
selang ETT atau dapat menunjukan kongesti
paru. Sputum purulen dapat menunjukan
timbulnya infeksi paru. Mencegah kelemahan
atau kelelahan dan stress kardiovaskuler
berlebihan.
5) Lihat kulit dan membran mukosa sebagai
tanda adanya stenosis.
Rasionalisasi : Sianosis menunjukan hipoksia
berhubungan dengan gagal jantung atau
komplikasi paru. Pucat menunjukan anemia
karena kehilangan darah atau kegagalan
penggantiaan darah atau terjadinya kerusakan
sel darah merah dari pompa bypass
kardiopulmonal.
6) Tinggikan kepala tempat tidur, letakkan pada
posisi duduk atau semifowler. Bantu ambulasi
dini atau peningkatan waktu tidur.
Rasionalisasi : Merangsang fungsi pernafasan
atau ekspansi paru efektif pada pencegahan dan
perbaikan kongesti paru.
7) Ajak pasien berpartisipasi selama nafas dalam
gunakan alat bantu dan batuk sesuai indikasi.
Rasionalisasi : Membantu reekspansi atau
mempertahankan patensi jalan nafas khususnya
setelah melepaskan selang dada. Batuk tidak
diperlukan kecuali bila ada mengi atau ronchi
menunjukkan adanya retensi secret.
8) Tekankan menahan dada dengan bantal
selama nafas dalam dan batuk.
Rasionalisasi : Menurunkan tegangan pada insisi
dan meningkatkan ekspansi paru.
9) Jelaskan bahwa batuk atau pengobatan
pernafasan tidak akan menghilangkan atau
merusak/ terbukanya insisi dada.
Rasionalisasi : Berikan kenyakinan bahwa
cedera tidak akan terjadi dan dpt meningkatkan
kerjasama dalam program teraupetik.
10) Dorong pemasukan cairan maksimal dalam
perbaikan jantung.
Rasionalisasi : Hidrasi adekuat membantu
pengenceran secret, memudahkan ekspectoran.
11) Beri obat analgesic sebelumsebelum
pengobatan pernafasan sesuai indikasi.
Rasionalisasi : Memungkinkan pergerakkan
dada dan menurunkan ketidaknyamanan
berhubungan dengan insisi, memudahkan
kerjasama pasien dengan keefektifan
pengobatan pernafasan.
12) Catat respon terhadap latihan nafas dalam atau
pengobatan pernafasan lain, catat bunyi nafas,
batuk, atau produksi sputum.
Rasionalisasi : Catat keefektifan terapi, atau
kebutuhan untuk intervensi lebih agresif.
13) Monitor distress pernafasan, penurunan bunyi
nafas, takikardi, agitasi berat, penurunan TD.
Rasionalisasi : Hemothorax dan pneumothorax
dapat terjadi setelah pelepasan selang dada dan
memerlukan upaya intervensi untuk
mempertahankan fungsi pernafasan.
f. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka
op, terpasang alat di tubuh, imunosupresi
Tujuan: tidak terjadi infeksi
Kriteria Evaluasi: tidak terjadi demam dan
tercapai pemulihan luka tepat pada waktunya
Intervensi:
1) Lakukan prosedur mencuci tangan yang baik
staf dan pengunjung. Batasi pengunjung yang
mengalami infeksi.
Rasional: lindungi pasien dari sumber-
sumber infeksi
2) Monitor tanda-tanda vital pasien terutama suhu
Rasional: peningkatan suhu terjadi akibat proses
inflamasi. Identifikasi dini memungkinkan terapi
yang tepat
3) Ubah posisi secara berkala, pertahankan linen
kering dan bebas kerutan
Rasional: menurunkan tekanan dan iritasi pada
jaringan dan mencegah kerusakan kulit
(potensial pertumbuhan bakteri)
4) Hindari/batasi prosedur invasive
Rasional: menurunkan risiko kontaminasi,
membatasi entri portal terhadap agen infeksius
5) Patuhi teknik aseptik ketika melakukan
tindakan yang berhubungan dengan alat
invasive
Rasional: Mencegah kontaminasi kuman
pada alat-alat yang melekat pada tubuh